Gaok gaok gaok gaok gaok”
Lalu tembang dilanjutkan,
“Jamur-an ya ge-ge thok;
Ja-mur a-apa-ya ge-ge thok;
Jamur gajihmengembang ke mana-mana;
Semprat semprit jamur apa?
Jamur Gagak;Gaok gaok gaok”
Kami berhamburan, menggerakkan kedua tangan seperti
burung yang sedang terbang. Mulut kami mengeluarkan suara
menirukan suara burung gagak. Setelah semua berhasil meniru-
kan burung gagak, kami kembali bernyanyi. Tak ada hukuman
karena semua mampu menirukan suara dan gerakan terbang
burung gagak.
“Jamur-an ya ge-ge thok
Ja-mur a-apa-ya gege thok
Jamur gajih mberjijih sak
ara-a-ra sira bage jamur apa?
Jamur kethek menek
Kethek menek Kethek menek
Kethek menek Kethek menek”
(Jamur-an ya ge-ge thok;
Ja-mur a-apa-ya ge-ge thok;
Jamur gajihmengembang ke mana-mana;
kamu jadi jamur apa?
Jamur monyet;
Monyet memanjat,monyet memanjat,monyet memanjat).”
Kami berlarian mencari pohon di sekitar arena permainan,
lalu menirukan kethek menek (monyet memanjat). Kami sibuk
berebut pohon untuk dipanjat.Satu pohon untuk satu anak.Anak
yang tidak dapat melakukan apa yang menjadi kesepakatan akan
mendapat hukuman,istilahnya dia akan “dadi”. Kami berlomba
untuk menjadi pemenang tanpa harus bertengkar dan tanpa ada
tangis. Bila salah satu dari kami menangis, permainan akan di-
238 Eksotisme Gumuk Pasir
hentikan oleh bapak-ibu kami. Intinya, kami tidak menginginkan
hal itu, sehingga kami tetap menjaga kerukunan. Demikian
permainan itu kami mainkan sampai bosan dan lelah. Permainan
akan berlangsung lama bila keesokan harinya kami tidak masuk
sekolah. Sering dalam satu waktu, kami berganti-ganti permain-
an. Jamuran, gobak sodor, dan petak umpet adalah permainan yang
sering kami lakukan pada malam hari. Ketika bulan bersinar
penuh, kami akan bersukacita di halaman rumah.
Siang di bawah pohon yang rindang, di halaman rumah yang
jembar(luas), kami akan memainkan permainan lain. Dakon,
serokan,dan lompatan (lompat tali). Bukan hal yang aneh bila pada
tempat tertentu. di halaman rumah kami, terdapat bagian yang
berlubang-lubang. Lubang berjumlah dua belas yang memang
sengaja kami buat untuk bermain dakon. Untuk biji dakon kami
menggunakan kerikil atau biji buah Sawo yang kami sebut kecik.
Kala itu barang plastik belum banyak digunakan, alat permaianan
kami masih sederhana. Alam dengan arif telah memanjakan kami
dengan kekayaannya. Tumbuhan dengan ranting, daun, buah,
kulit, biji, bahkan bunganya, mampu menjadi mainan yang me-
narik di tangan terampil kami. Kreativitas kami akan terasah
untuk membuat alat permaianan. Kami hanya perlu titen.Titen
dapat digambarkan sebagai kemampuan seseorang dalam me-
milih suatu benda setelah sebelumnya memahami ciri-ciri benda
yang dimaksud.
Tidak semua tumbuhan dapat kami jadikan mainan. Ada
tumbuhan berduri dan beracun, jenis tumbuhan seperti itu harus
kami hindari karena dapat menyakiti kami. Orang tua kami telah
mengajarkan tumbuhan mana saja yang boleh digunakan dan
mana yang tidak boleh.
Tidak hanya melibatkan kemampuan berpikir, permainan
kami juga melatih kemampuan fisik, emosi, dan sosial. Ketika
bermain, kami harus berpikir untuk mengatur strategi agar bisa
keluar sebagai pemenang. Bagaimana kami berlari, melompat,
merangkak, memanjat, telah membuat otot kamimenjadi kuat
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 239
dan lentur. Secara tidak langsung, kami telah berolahraga.Kami
berusaha mengendalikan perasaan ketika kalah dalam permain-
an. Tidak ada waktu untuk bersedih karena permaianan akan
terus berlanjut. Permainan kelompok telah mengajarkan kepada
kami untuk menjaga keutuhan tim, di sampingmenghargai ke-
mampuan masing-masingserta memberi kesempatan kepada
kawan unjuk kebolehan tanpa sekali pun merendahkan. Kese-
imbangan olah pikir dan fisik kami begitu terjaga dalam per-
mainan tradisional.
Bagi anak perempuan, bermain boneka adalah hal yang
mengasyikkan,tetapi jangan membayangkan boneka kami seperti
boneka Barbie. Kami cukup mengambil tangkai daun pepaya,
memotongnya sepanjang kira-kira dua jengkal. Untuk rambutnya
kami mengambil selembar daun pisang dan kami suwirkecil-kecil.
Lembaran daun pisang yang telah di-suwir, kami gulung dan
masukkan ke dalam salah satu ujung tangkai daun pepaya.
Ditekuk ke salah satu sisi hingga jadilah rambut panjang menjun-
tai. Tidak mewah,sangat sederhana,tetapi sangat berharga bagi
kami.
Tidak seperti boneka dari kain atau plastik, boneka kami
akan mengering dalam beberapa hari. Untuk bermain boneka
lagi, kami harus membuat yang baru. Kata ibu, aku pernah di-
belikan boneka dari plastik,tetapi ingatan akan hal itutak pernah
muncul ke permukaan. Boneka seingatku adalah glonggong yang
diberi suwiran daun pisang sebagai rambutnya. Mungkin karena
boneka itu hasil kreativitas tanganku sendiri sehingga aku masih
mengingatnya sampai sekarang.
Kami anak desa tidak membutuhkan arena khusus untuk
bermain. Di manapun, di setiap sudut desa kami adalah arena
bermain yang nyaman. Halaman rumah dengan tanahnya yang
gembur tempat kami biasa membuat rumah-rumahan,tempat
kami bermainpetak umpet, tak-tuk, lompat tali, juga pasaran.
Sawah menawarkan lumpurnya yang hitam dan lembut. Tegalan
menyediakan aneka rumput, semak, dan perdu, juga berjenis
240 Eksotisme Gumuk Pasir
serangga cantik. Kalendi barat desa menjanjikan gemericik air
jernih, pasir halus, batu dengan berbagai bentuk yang unik serta
aneka ikan kecil, keong,udang dan kepiting. Tak ada tiket yang
harus kami bayar untuk memakai tempat tersebut. Alam menye-
diakannya secara cuma-cuma.
Permainan masa kecilku semakin lengkap dengan kehadiran
kakek. Tangan terampilnya tak pernah letih mengajari kami
membuat mainan baru. Dari kayu randu yang empuk diajarinya
aku menbuat enthong (sendok nasi). Untuk adik laki-lakiku, kakek
mengajarinya membuat ketapel dan layang-layang juga bedilan
dari pelepah pisang. Kakek juga membuat gubuk kecil dengan
atap getepe dan berdinding karung goni untuk kami bertiga. Gu-
buk itu didirikannya di sisi kanan halaman rumah. Tak jarang
teman-teman turut bergabung dengan kami bermain di gubuk
mungil itu. Mereka tidak seberuntung aku yang mempunyai
kakek sangat perhatian. Meski lelah dengan pekerjaan sawah-
nya, kakek sering menyempatkan diri bermain dengan kami.
Dengan wawasan yang cukup luas, kakek juga sering men-
dongengkan cerita para nabi.Sungguh seseorang yang luar biasa.
Suara gangsir di teras rumah membuyarkan lamunanku.
Kusadari kedua sudut bibirku terangkat. Sedari tadi mungkin
senyum itu menghiasi bibirku. Indah, masa yang benar-benar
indah, tak terlupakan dan tak tergantikan. Semua permainan
masa kecilku bermunculan di kepala, ada denyut nyeri meng-
getarkan hatiku.
Kuingat, permainan itu mulai bergeser dengan masuknya
listrik ke dasaku. Sejak saat itu, malam hari di desaku tak ubah-
nya seperti siang hari. Lampu-lampu dipasang di teras dan di
tepi jalan. Halaman rumah kami terang benderang bagai siang.
Listrik membawa serta temannya yang bernama televisi ber-
warna ke rumahku. Televisi hitam putih dengan tenaga aki ter-
geser oleh televisi berwarna dengan tenaga listrik. Ketika itu
belum banyak yang mempunyai kotak ajaib yang dapat menge-
luarkan suaradan gambar bergerak yang tampak hidup. Pada
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 241
malam hari, halaman rumahku masih ramai.Bukan oleh anak-
anak yang bermain, melainkan oleh orang-orang yang ingin
menonton televisi. Mulai saat itu, pada malam hari,meskipun
bulan bersinar terang, kami lebih sering duduk di depan televisi
daripada bermain bersama teman di halaman. Perlahan tapi
pasti,latar-ku menjadi sepi dari dolanan menyenangkan saat lalu.
Kemunculan mainan seperti nitendo, monopoli, ular tangga
semakin mendorong permainan tradisional tersisihkan. Per-
maianan baru itu tidak menuntut keterampilan tangan.Anak-
anak tinggal membeli dan menggunakannya, tidak usah repot-
repot membuat sendiri. Barangkali ini cikal bakal sifat manja
anak-anak sekarang. Bagaimana tidak?Mainan tinggal beli dan
uang juga tinggal minta, tidak banyak usaha yang dilakukan anak
sekarang untuk dapat bermain. Semakin hari semakin banyak
orang yang mampu menangkap peluang”membaca” kondisi
tersebut. Mereka menciptakan berbagai macam permainan dan
mainan dengan bahan plastik. Hingga akhirnya, mainan yang
terbuat dari bahan alami mulai ditinggalkan.
Lebih jauh kuperhatikan, permaianan masa kecilku men-
dekati sirna, kemajuan teknologi telah menggantikan keber-
adaanya. Anak-anak sekarang lebih memilih bermaian play station
dan gameonline dengan gawainya. Lihat saja betapa asyiknya
seorang anak yang sudah memegang gawai, betapa lincah je-
marinya bergeser di atas layar, betapa luwes tangannya me-
megang joy stick ketika bermaian play station.Berbeda dengan
permaianan tradisional, di mana setiap permainan membutuhkan
alat yang berbeda. Permainan anak sekarang cukup mengguna-
kan satu alat, yaitu gawai. Benda itu dapat menampung berpuluh
permainan dan dapat dibawa ke mana-mana.
Bukan hanya narkoba yang dapat menjadi candu, game di
gawaimampu membius jutaan anak. Bukan hal yang asing lagi
ketika kita mendengar atau membaca berita kasus anak bolos
sekolah karena lebih memilih berada di warnet untuk main play
station daripada belajar di sekolah. Mereka dapat duduk berjam-
242 Eksotisme Gumuk Pasir
jam, bahkan sehari penuh bermain game di warnet. Kebutuhan
dasar seperti makan, minum atau mandi menjadi tak penting
lagi.Kalau sudah seperti itu tentu kesehatan menjadi taruhan.
Gangguan kesehatan bukan hanya datang dari perilaku yang
tidak sehat, tetapi juga berasal dari radiasi yang ditimbulkan
oleh gawai. Meski mereka sadar akan risiko yang harus ditang-
gung ketika bermain gawai, tetap saja pesona gawai tak dapat
mereka tolak. Bukan masalah bagi anak-anak sekarang jika ke-
giatan itu menghabiskan semua uang saku mereka. Mereka tak
akan surut bermain, meski prestasi jauh dari diri.
Eloknya, permainan di gawai juga membius orang dewasa,
kondisi ini jarang dijumpai dalam permainan tradisional. Orang
dewasa yang bergabung dengan anak-anak untuk melakukan
permainan tradisional kadangkala dicap kekanak-kanakan,sering
juga dikatakan kurang kerjaan. Hal berbeda ketika kita menyak-
sikan orang dewasa yang bermain berbagai game (termasuk game
untuk anak-anak) dengan gawainya. Perilaku itu dianggap lazim
dan dapat berterima, tidak ada tudingan kekanak-kanakan atau
kurang kerjaan.
Permaianan modern juga membawa anak ke arah pribadi
anti sosial. Mereka merasa dapat melakukan apa pun sendirian.
Interaksi dengan teman terabaikan, toh untuk bermain, tanpa
teman pun jadi. Di manapun, dalam keadaan apapun, asal me-
megang gawai permaianan dapat dilakukan. Dampaknya akan
terlihat ketika anak terjun membaur dalam kegiatan kelompok
yang menuntut kerjasama dan kekompakan,kukan tidak mung-
kin anak akan cenderung mementingkan dirinya sendiri. Ke-
mungkinan lain, anak akan menarik diri dari perannya dalam
kerja kelompok.
Entah karena hanya ingin mengenang masa lalu atau me-
mang ingin menghidupkan dan melestarikan warisan budaya
berupa dolanan atau permainan tradisional, sekarang ini dolanan
anak mulai dihidupakan lagi oleh berbagai institusi.Lomba men-
jadi ajang yang dipilih untuk membudayakannya kembali.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 243
Beberapa permaian seperti jek-jekan ataubentenganmulai dilatihkan
lagi. Usai lomba dan membawa piala, permaianan tradisional
tak beranjak dari tempatnya semula, yaitu di pinggir arena. Per-
mainan tak lantas membumi seperti harapan semula. Permainan
itu hanya akan hidup ketika lomba berlangsung dan mati suri
ketika musim lomba telah purna.
Banyak manfaat yang dapat kita petik dari permainan tradi-
sional, diantaranya:
1. Menumbuhkan kreativitas.
2. Mengasah keterampilan.
3. Memupuk rasa persaudaraan.
4. Mengembangkan rasa bangga terhadap warisan budaya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa permainan
tradisional membawa dampak positif bagi anak-anak. Meng-
hidupkan kembali permainan tradisional merupakan tindakan
bijaksana yang patut diapresiasi.
GLOSARIUM
Bedilan : senjata api mainan.
Getepe : anyaman daun kelapa biasanya digunakan se-
Glonggong bagai atap.
Jek-jekan atau : tangkai daun papaya.
: permaian yang pada prinsipnya adalah memper-
bentengan
Kalen tahankan markas yang
Pasaran : dimiliki masing-masing regu dari serangan lawan.
Tak-tuk : sungai kecil.
Tegalan : bermain sebagai penjual dan pembeli.
: nama lain permainan engklek.
Suwir : sawah yang sudah dikeringkan dan ditanami
pepohonan.
: menyobek memanjang sesuai serat daun.
244 Eksotisme Gumuk Pasir
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline
http://blackalpha5.blogspot.co.id/2014/03/karya-tulis-ilmiah-
dampak-gadget-di.html
http://www.kompasiana.com/sukartiningsih/permainan-anak-
anak-dari-masa-ke-masa-dalam-mendidik-karakter-di-luar-
pendidikan-formal_552e225f6ea834e8078b457b
https://mkundarto.wordpress.com/2008/09/22/ilmu-titen/
http://www.kompasiana.com/januarpurwanto/jek-jekan-
permainan-jadul-melatih-
sportivitas_552b6f7f6ea83421498b45a3
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 245
SEBERKAS SINAR
Yuli Kiswantini
SMP Negeri 4 Pandak
Setelah mencapai beberapa meter mendekati sekolah, saya
terjatuh dari sepeda. Kaca spion kanan tersangkut di jendela
sebuah mobil yang ingin mendahului saya. Mobil itu menarik
motor saya dari belakang dengan cepat. Saya terjatuh dan tidak
sadarkan diri, sementara Irin terlempar dari sadel sepeda hingga
terjatuh ke dalam got di pinggir jalan raya.
***
Saya adalah seorang guru bahasa Indonesia di salah satu
sekolah menengah pertama di kabupaten Bantul. Sebagai se-
orang pendidik, saya selalu berusaha memberikan yang terbaik
untuk anak-anak didik. Salah satu wujud menjadi pendidik yang
profesional adalah saya selalu berangkat pagi,tidak terlambat
masuk sekolah. Pada kesempatan ini, saya akan menceritakan
salah satu pengalaman yang paling berkesan .
Rabu 6 Agustus 2008, udara pagi hari terasa sangat dingin.
Matahari mulai bersinar terang, mendung tidak tampak lagi.
Seperti hari-hari biasa,saya sibuk mempersiapkan bekal si kecil.
Setelah itu, saya berangkat ke sekolah menggunakan sepeda
motor bersama Irin, anak kedua saya.
Saat perjalanan menuju sekolah,ada perasaan khawatir
dalam benakku, masih tersimpan dalam pikiran waktu itu, si kecil
wajahnya amat cemberut, susah ditinggal,meminta sesuatu,
246 Eksotisme Gumuk Pasir
namun belum terpenuhi.Saat itu, saya harus segera pergi dari
rumah, mengingat waktu semakin siang.
“Bagaimana kalau ibu jatuh, Rin? Kau tidak dapat bersama
ibu,” saya juga tidak tahu, entah kenapa kata-kata tersebut keluar
dari mulutku. Irin tidak begitu menghiraukan kata-kata itu, yang
ia inginkan cepat sampai sekolah. Iahanya diam mendengarkan
perkataan itu, seperti ditebas semilirnyaangin lalu.
Setelah beberapa meter mendekati sekolah,sayaterjatuh dari
sepeda. Kaca spion kanan tersangkut di jendela sebuah mobil
yang ingin mendahuluiku. Mobil itu menarik motor saya dari
belakang dengan cepat. Saya terjatuh dan tidak sadarkan diri,
sementara Irin terlempar dari sadel sepeda hingga terjatuh ke
dalam got di pinggir jalan raya.
Saya dan Irin ditolong oleh beberapa orang dengan cara
diangkat lalu didudukkan. Irin bangun.ia melihat dirinya sudah
berada di dalam mobil dan dijejali dengan berbagai pertanyaan.
Ia bingung, ketika ditanyai tentang ayahnya. Cepat-cepatia mem-
berikan jawaban bahwa ayahnya bekerja sebagai guru di Kokap.
Irin menoleh ke belakang melihat wajah sayaberlumuran darah.
Saya dan Irin masih beruntung bertemu dengan orang-orang
yang berhati baik. Mereka dengan tulus ikhlas menolongdan
membawake rumah sakit terdekat. Kami bersyukur, tidak jauh
dari tempat kejadian terdapatdua rumah sakit swasta, Riski
Amalia Medika dan Pura Raharja. Waktu itu jalan Brosot sangat
ramai,begitu banyak pengendara yangsimpang-siur.
Hanya dalam waktu sejenak kami sudah berada di Rumah
Sakit Riski Amalia Medika. Saat berada di rumah sakit tersebut,
saya ditanya oleh petugas mengenai orang yang akan bertang-
gungjawab dalam hal pembiayaan.Untungnya, salah satu bapak
yang menolongku menelepon suamiku. Mendengar hal tersebut,
suamiku langsung datang ke rumah sakit.
Irin hanya tiga hari mondok di rumah sakit, sedangkansaya
harus tetap berada di rumah sakit karena perlu penanganan se-
rius. Saya dipindahkan ke RSUP Sardjitoyang memiliki peralatan
lebih lengkap. Hari pertama, saya mengalami masa kritis,
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 247
keadaanku sangat mengkhawatirkan. Hari kedua, saya masih
kritis. Hari ketiga, kata doktermerupakan penentuan nasib se-
seorang dan saat itu saya masih dalam kondisi kritis. Saya hanya
bisa berbaring terus menatap ke atas dan melihatdi sekitar ran-
jang. Saya ingat sekali, di ruangan tersebutterdapat sebuah kursi,
meja, dan almari. Tanpa terasa, saya berada di rumah sakit
selama 25 hari.
Dokter Sita merawat danmemperhatikan perkembanganku
setiap hari. Beliau tidak pernah lelah mengingatkan untuk me-
minum obat.
“Cepat sembuh, ya! Obat-obatan memang sudah tersedia
di rumah sakit ini, tetapi kamu perlu mencari beberapa kantong
darah karena kebetulan stok darah di rumah sakit ini sudah
habis,” kata dokter Sita.
Mendengar hal tersebut, keluarga saya segera mencarikan
darah ke PMI dan mencari pendonor darah. Setelah dua hari,
keluarga saya mendapatkan darah dari seorang pendonor asal
Kotagede.
Mata ini menangis, saya merindukan orang tua. Saya rindu
akan kasih sayang yang selalu memanjakan. Saya melihat si kecil
berdoa sendiri meminta pada Tuhan,”Tolong berikan obat buat
ibuku, ya Tuhan.”
Hal lain yang saya ingat adalah murid-murid menitipkan
sesobek kertas dandimasukkan ke dalam amplop kecil yang ber-
tuliskan,”Semoga cepat sembuh ya, Bu!”
Kadang harus tersenyum bahagia karenaberuntungmemiliki
saudara-saudara hebat yang selalu ada. Saya dilatih belajar untuk
bangun oleh dokter. Sebenarnya suasana seperti ini membosan-
kan, namun tetap harus menjalaninya. Mengapa hal ini terjadi
dalam diriku? Seperti sebuah mimpi. Setiap mau bangun, kepala
terasa pusing. Saya memaksakan diri belajar duduk setiap harinya.
“Jangan putus asa,” kata suamiku memberi semangat.
“Ya,” jawabku agar menyenangkan hatinya.
Suatu hari saya malas makan,lidah ini terasa pahit. Ada
pertentangan dalam batin, saya malas makan padahal obat harus
248 Eksotisme Gumuk Pasir
habis. Melihat saya malas makan, dokter mengambil tindakan.
“Ibu harus makan, jika belum makan akan menimbulkan efek
tidak baik bagi tubuh.Lambung akan menjadi sakit,” kata dokter
Arif.
Beberapa saat setelah itu, saya melihat seorang anak me-
nangis minta makan kepada orang tuanya. Saya sadar bahwa
bisa makan itu rezeki. Akhirnya saya memaksakan diri makan
demi kesehatan dan wujud syukur pada Tuhan.
Sebelum pulang dari rumah sakit, tangan saya harus
digendong dengan kain karena dipasang platina. Saya dipesan
agar selalu berhati-hati menjaga bagian tulang yang patah. Pada-
hal ada dua tulang yang patah, yaitu tulang rusuk dan tangan.
Setelah meninggalkan rumah sakit, seminggu sekali saya harus
kembali untuk kontrol kesehatan.
Setelah kejadian itu, saya tak bisa melakukan aktivitas
dengan cepat. Saya juga tidak bisa mengangkat beban berat.
Jika berpapasan dengan mobil sayamenjadi manusia paling
penakut. Saya trauma dengan kecelakaan waktu itu.
Hari demi hari kulewati. Kuhadapi segala permasalahan
dengan penuh kesabaran. Saya merasa seperti sedang mengerja-
kan sebuah ujian berat dan harus lulus. Saya belajar untuk bisa
sabar dan mengatasi masalah sendiri. Gagasan baru dalam
pikiranku mulai menciptakan imajinasi kreatif dam menghilang-
kan rasa takut dalam hati. Ada satu penggalan kata yang saya
ingat, yaitu imajinasi merupakan kemampuan mencipta gagasan
baru atau gambaran mental dalam pikiran Anda (Sudarto, 2007:30).
Semangat bekerja mulai muncul walaupun harus dengan
berjalan kaki cukup jauh karena saya belum berani naik motor.
Untuk sementara waktu, saya harus naik bus. Kejadian tesebut
saya jadikan sepenggal kisah yang kumasukkan dalam sebuah
kotak sejarah baru. Saya sadar, kadang yang kita harapkan ber-
beda dengan kenyataan yang ada. Mulailah saya berkhayal me-
niup segala debu yang menerpa diriku,begitu juga segala macam
kenangan pahit dalam hidup. Cukup sekali saja saya mengalami
hal ini,tidak mau lagi.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 249
Menjelang tengah malam, saya tidak bisa tidur, lalu bangun
duduk bersimpuh. Saya pandangi seberkas sinar di dalam kamar.
Seberkas sinar tersebut adalah cahaya-cahaya yang menghilang-
kan kegelapan kemudian menyinari kehidupan ini. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 1990:108), berkas artinya ‘kumpulan
suatu benda’, sedangkan sinar berarti ‘pancaran terang atau cahaya’
(Depdiknas, 1990:842). Berdasarkan hal tersebut, seberkas sinar
dapat diartikan sebagai kumpulan pancaran terang atau cahaya.
Sudah hampir pagi, segera saya buka tirai-tirai yang me-
nutupi jendela rumah tua ini dan membersihkan debu-debunya.
Dahulu gelap, sekarang berubah menjadi kelihatan terang.Kini
dengan penuh rasa percaya diri, sinar tersebut telah mengubah,
merasuki tubuh, dan menyelimuti diriku,walaupun kadang hanya
sebentar, kemudian saya biarkan sirna.
Seberkas sinar selalu muncul menyinari setiap kehidupan
untuk berkaca tentang hari esok. Hari esok yang lebih baik
tentunya; memungkinkan banyak variasi bentuk untuk memper-
indah pola pikir seseorang. Saya belajar dari pengalaman.
“Pola pikir merupakan peta mental yang dicapai sebagai dasar untuk
bersikap dan bertindak. Pola pikir menentukan sikap seseorang dan tindak-
annya,perbuatan seseorang sangat ditentukan oleh cara pandang orang
itu terhadap sesuatu dan keyakinan bahwatindakan yang diksayakan
itu adalah benar.”(Sudarto, 2007: 63).
Hikmah yang saya ambil dari kejadian ini adalah tidak boleh
menyalahkan orang lain atas musibah yang terjadi. Saya mung-
kin kurang berhati-hati saat mengendarai sepeda motor atau
mobil, salah dalam bertindak, terlalu gegabah dalam menyele-
saikan sesuatu, kurang konsentrasi dan kurang mempedulikan
sesama untuk berbagi kasih sayang.
Belajar dari pengalaman,banyak manfaat yang dapat dipetik,
terutama dalam melangkah.Seseorang perlu berpikir sebelum
bertindak. Seperti mendapatkan wawasan baru, setelah kejadian
tersebut saya semakin berhati-hati. Upaya belajar dari peng-
alaman membentuk perilaku saya, selalu berhati-hari sehingga
akan terlatih menyelesaikan tindakan dengan benar dan terhin-
250 Eksotisme Gumuk Pasir
dar dari segala kejelekan. Tidak terasa pula kita sering menyakiti
hati orang lain di sekitar, baik dalam bertutur kata maupun
tingkah laku yang membuat mereka menjadi jengkel. Hidup itu
terasa sangat indah serta menarik apabila mampumenyenangkan
hati orang lain, membuat mereka tersenyum. Memang tidak
mudah melakukan hal tersebut, hanya sebagian kecil orang yang
berhasil mewujudkannya. Saat ini, saya menikmati kehidupan
sebagai anugerah dari TuhanYang Maha Esa. Saya tidak boleh
pasrah dengan keadaan, tetapi harus berjuang tanpa putus asa
demi suatu cita-cita.
Terkadang yang terbaik untuk kita, belum tentu baik bagi
orang lain. Lakukanlah mulai dari hal kecil yang dianggap sepele,
baru meningkat ke hal yang besar. Semuanya bermula dari diri
sendiri dengan kejujuran danorang lain tentu akan merasakan
dampaknya. Di lingkungan keluarga sendiri,orang tua dapat
menjadi contoh bagi anak-anaknya, suri teladandalam keluarga.
Dalam masyarakat,orang akan berkaca untuk memilih yang ter-
baik untuk ditiru dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik.
Saat ini, saya menjalani hari-hari seperti biasa, seperti tidak
pernah terjadi apa-apa. Terima kasih Tuhan akan mukjizatMu,
perlindungan, dan bimbinganMu yang membuatku kuat hingga
hari ini. Terima kasih untuk keluarga saya karena kalian adalah
penyemangat. Terima kasih kepada teman dan murid-muridatas
kebaikanyang tidak akan pernah saya lupakan. Semoga kisah
saya ini dapat menginspirasi bagi sesama.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 251
SETIAP KATA ADALAH EKSIL:
PERTEMUAN KECIL DENGAN
PENYAIR PALESTINA
Tia Setiadi
Aku tak dapat melihatmu lagi
Tapi kulihat dirimu di setiap jendela
Dan kita mendengar hal yang sama
Kini aku sedang menangis
Dan kau sedang mencium
(Nathalie Handal, dalam sajak La Movida)
/1/
Pada malam Jumat (29 Oktober 2015) kami—aku, Dedi Arsa,
Dimas Emanuel, Gunawan Tri Atmojo, Raedu Basya—harus
pergi dari Ubud ke rumah kreatif Sanur untuk sebuah acara
pembacaan dan diskusi puisi, sebagai bagian dari program Ubud
Writers. Bersamaan dengan kami berangkat juga Nathalie
Handal, yang menurut informasi yang kami terima merupakan
penyair asal Amerika. Karena aku cukup banyak membaca sastra
dan budaya Amerika jadi akulah yang punya inisiatif pertama
untuk menyapa dan kemudian berbincang dengan Nathalie
Handal. Tak disangka perbincangan kami berlangsung panjang
dan dalam, jauh dan berliku menembusi pelbagai ranah dan
masalah. Perbincangan kami bagaikan petualangan tanpa peta
252 Eksotisme Gumuk Pasir
dan arah yang jelas, tapi justru karena itu seringkali mengejutkan
dan mendebarkan, penuh tanjakan dan kemungkinan-kemung-
kinan baru. Pada beberapa titik dan persimpangan kami kadang
berhenti, mengambil nafas jeda, melihat ke sekitaran, kepada
awan, jalan, kehidupan, kebahagiaan dan kemalangan. Teman-
teman penyair yang lain sesekali menitipkan pertanyaannya ke-
padaku, yang kuterjemahkan sekenanya, dan membuat arah pe-
tualangan makin berliku dan kaya. Setiap kata menjadi arah,
setiap kalimat menjadi momen penyingkapan. Aku tak menyang-
ka pertemuan kecil dan percakapan bersahaja itu adalah awal
dari suatu persahabatan kami yang mengasyikan dan menak-
jubkan.
/2/
Pada mulanya aku bilang kepada Nathalie bahwa aku sangat
menyukai para penyair Amerika seperti Whitman, Frost, T.S.
Elliot, William Carlos William, Linda Hogan dan Robert Pinsky.
Lalu dia bertanya kepadaku apa aku tahu dan suka Allen
Ginsberg? Kujawab aku tahu Ginsberg tapi tak begitu suka puisi-
puisinya. Nathalie bilang dia punya kenangan tersendiri tentang
Ginsberg. Saat kali pertama dia datang ke Amerika, sekitar satu
dekade silam, dia ditugasi penyair Mahmoud Darwis untuk me-
wawancarai Ginsberg. Nathalie dengan nyali yang ciut namun
dengan semangat yang membara akhirnya berhasil mewawan-
carai Ginsberg secara panjang lebar. Setahun kemudian Ginsberg
meninggal.
“Itu berkesan sekali bagiku,” kata Nathalie.
“Apa hubunganmu dengan Mahmoud Darwis dan sebenar-
nya kau ini dari mana, Nathalie?” tanyaku.
Dia jawab:” Aku yuniornya Mahmoud Darwis sebagai jur-
nalis dan penyair, dan aku dari Palestina.”
Aku tertegun. Dia juga.
Sejenak kemudian obrolan beralih tentang kondisi terakhir
Palestina.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 253
Pada momen ini, suara Nathalie berubah. Nadanya gemetar,
iramanya sayu, dan jauh. “Kau tahu, Tia, saat ini, saat aku ber-
bicara denganmu sekarang ini, di kampung halamanku sedang
terjadi pembantaian besar-besaran. Anak-anak itu…mereka juga
dibantai. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa.” Kulihat sepasang
mata Nathalie yang teduh dan biru, yang kemudian perlahan-
lahan berubah menjadi redup dan hampir berkaca-kaca. Ada
sesuatu yang terpendam pada kalimat-kalimat sedih Nathalie
yang mengalir dalam bahasa inggris yang sempurna itu. Mungkin
kekecewaan, mungkin kemarahan, mungkin campuran ke-
duanya.
Di luar, bulan baru saja muncul, bulan di langit perbatasan
Sanur yang agung. Nathalie menerawang jauh sekali ke kaki
langit, bahkan mungkin menembus lebih jauh lagi...
“Pantas saja kau tadi tak begitu antusias saat aku bicara ten-
tang para penyair Amerika, itu mustahil kalau kau penyair asli
Amerika. Jadi penyair mana yang paling kau sukai sebenarnya?”
“Aku paling suka penyair Amerika Latin dan Spanyol. Aku
suka sekali Neruda, Vallejo, Alberti, Mistral…”
“Apa kau suka Octavio Paz?” cecarku.
“Ya, tentu. Aku suka sajak-sajak Paz. Tapi aku juga suka
esai-esai dia yang dahsyat. Ada satu kumpulan esai dia yang
punya makna istimewa bagiku. Tentang erotisme dan spiritualis-
tas, sayang aku membacanya dalam bahasa Spanyol (nantinya,
kuketahui bahwa Nathalie menguasai bahasa Inggris, Spanyol,
Arab, dan Perancis) dan lupa judul dalam edisi Inggrisnya.”
“Oh, aku tahu betul buku itu. Judulnya “The Double Flames”
Aku bahkan bawa buku itu ke Ubud, karena aku selalu membaca
dan membacanya lagi. Aku penggila karya Paz. Dia itu dewa
bagiku” tukasku dengan berapi-api.
“Tak perlu kau bilang, aku sudah tahu itu dari nada bicara-
mu, dari riak di raut wajahmu. Itu sama kalau kau sebut nama
Lorca di depanku,” ujar Nathalie seraya tersenyum simpul me-
lihat semangatku yang meluap-luap.
254 Eksotisme Gumuk Pasir
“Kau penggila Lorca? Kau sama dengan salah seorang pe-
nyair terbesar kami, W.S. Rendra, yang bahkan bukan hanya
puisi-puisinya, tapi bahkan kepribadiannya juga terpengaruh
oleh Lorca.”
“O ya, waah menakjubkan sekali! Aku pun tergila-gila Lorca
dan aku menulis satu kumpulan puisi bertajuk “Poet in Andalucia.”
Kumpulan puisiku itu adalah respon dan dialogku dengan Lorca
yang pernah menulis “Poet in New York” Sastrawan besar Alice
Walker sangat suka puisiku itu dan pernah memuji-mujinya. Aku
kebetulan bawa buku itu dan aku ingin sekali kau membacanya,
sekaligus akan kuberikan kepadamu buku puisi pertamaku “The
Invisible Stars”. Tapi maaf kepada teman-teman penyair yang
lain aku tak bisa memberi mereka buku-bukuku itu, karena aku
cuma bawa sedikit sekali bukuku ke Ubud ini.
“Terima kasih Nathalie, aku jadi tak sabar sekali ingin
membacanya.”
Memasuki ceruk kota Sanur jalan mulai macet dan ruwet,
semacet dan seruwet otak para pemimpin di negeri zamrud
khatulistiwa dan rayuan pulau kelapa yang malang ini. Tapi justru
aku senang karena aku punya kesempatan lebih lama bercakap
dengan Nathalie.
“Kau pernah baca Edward Said?” tanya Nathalie sekonyong-
konyong.
“Tentu, kataku, “di sini hampir semua buku Said telah diter-
jemahkan, dibaca dan dikagumi, dan mungkin disalahpahami.
Kadang dipakai untuk menyerang pihak-pihak lain dengan cara
semena-mena. Pihak yang diserang itu pun sering kali memakai
Said juga untuk menangkisnya…begitulah”
Nathalie tertawa, lepas dan nyaring sekali, dan saat dia ter-
tawa seolah-olah bebutiran embun dan seribu bunga yang mekar
serempak berjatuhan dari alam Nirwana. Sejuk dan semarak
sekali!
“Aku beruntung karena saat ini aku bisa bekerja di bekas
kantornya Said, dan mengajar di kampus tempat dia dulu meng-
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 255
ajar” katanya kemudian. (Kelak dari biografi singkat dalam
bukunya aku tahu, Nathalie adalah Profesor Sastra dan Ahli
Asia serta Timur Tengah di Colombia University, persis meng-
gantikan posisi Edward Said).
“Kau sangat, sangat beruntung, Nathalie” ujarku.
/3/
Dalam perjalanan pulang kembali ke Ubud, aku meminta
Nathalie bernyanyi, dan dengan ragu-ragu campur tak percaya
diri dia menyanyikan sepenggal lagu Arab. Tak dinyana, suara-
nya merdu sekali, khidmat tapi juga mengiris. Nyanyian itu nge-
langut diterbangkan angin yang tiba-tiba saja menerobos jendela
mobil yang sedikit terbuka, beralun-alun dan menggerai sampai
jauh, jauh sekali, menggelombang bagaikan kilauan rambutnya
yang panjang dan bersemu pirang.
Aku hibur dia dengan menyanyikan lagu dangdut kesuka-
anku “Rembulan Bersinar Lagi” karya penyanyi maestro
Mansyur S. Kuterjemahkan sekenanya dalam bahasa inggris, dan
Nathalie bilang dengan amat riang: “Rembulan sangat dipuja
juga dalam nyanyian serta puisi-puisi cinta Timur Tengah.’
Kejadian itu berlangsung dua malam lalu, dan lantaran acara
kami sering bentrok, kami tak pernah bersua lagi sejak itu. Tapi
aku janji kepada Nathalie akan mengenalkan dan menulis ten-
tangnya buat pembaca Indonesia. Dan dia berjanji akan meng-
usahakan penerbitan puisi-puisi penyair Indonesia kontemporer,
dan memintaku agar untuk memberikan semacam peta atau
gambaran perpuisian Indonesia masa kini kelak via email (dari
penelusuranku kemudian, kuketahui bahwa selain sebagai pe-
nyair dan penulis handal, Nathelie juga seorang editor yang
sangat dihargai di Amerika, dan telah menerbitkan di antaranya
The Poetry of Arab Women: A Contemporary Anthology, yang
memenangkan PEN Oakland Josephine Miles Book Award dan
dijuluki sepuluh buku feminis terbaik oleh The Guardian, sebagai
editor antologi Language for a New Century: Contemporary Poetry
256 Eksotisme Gumuk Pasir
from Middle East, Asia and Beyond, yang dianggap sebagai salah
satu dari sepuluh Antologi Internasional Terbesar oleh Academy
of American Poets). Tentu saja permintaan murah hati itu langsung
kuiyakan dengan suka cita.
Nathalie memberikan kepadaku dua kumpulan sajaknya,
yakni “Poet in Andalucia” dan “The Invisible Stars” Dalam buku
“Poet in Andalucia” ada komentar Alice Walker: “puisi-puisi
yang mengandung kedalaman, sebuah nyanyi sedih tentang
kerinduan dan pelepasan. Sedang tentang “The Invisible Stars”
kritikus Raul Zurita membaptisnya sebagai sebuah “mahakarya
yang menggugah.” Dari biografi singkat dalam buku “The Invi-
sible Stars” itu aku tahu kalau Nathalie Handal kelahiran Beth-
lehem, Palestina, 1969, dan termasuk salah seorang penyair
perempuan penting dunia saat ini. Kumpulan puisinya sudah
memenangkan banyak penghargaan penting seperti the Gold Medal
Independent Publisher Award, Alejo Zuloago Order in Literature, dan
the Gift of Freedom Award.
Puisi-puisi Nathalie pada umumnya terkomposisi dalam
kalimat-kalimat yang ringkas dan bait-bait yang ramping, diksi-
diksinya bening segar, pendaran maknanya padat dan dalam,
diperciki dengan metafor-metafor yang seringkali meledak tiba-
tiba secara tak terduga atau menggerai memecah ke pelbagai arah
yang tak disangka-sangka. Hal-hal kecil dan bersahaja di sekitar-
nya, dalam sentuhan Nathalie, menjelma menjadi sasmita dan
perlambang, yang mengguriskan keluasan dan kedalaman peng-
hayatannya, ketajaman visi dan kejernihan indra-indranya. Te-
rasa pula bahwa apa pun yang ditulisnya, apa pun yang di-
singkapnya, senantiasa digelayuti semacam perasaan rawan dan
goyah. Selalu terkilas bersitan pergumulan yang keras bahkan
dalam puisi-puisinya yang paling tenang sekalipun. Kerawanan
itu, kegoyahan itu,adalah pantulan nasib negerinya sendiri yang
senantiasa tercabik-cabik dan bergolak oleh konflik tanpa ujung
atas nama iman, tuhan, dan kebenaran.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 257
Kusitir salah satu puisi pendeknya:
Hati Ayahku yang Terbelah
Kesunyian dalam secangkir kopi
Adalah kesunyiannya
Dan itu satu-satunya yang menggugahnya
Demi mengerti
Nasibnya sendiri
Dia pun minum kopi yang lebih pahit lagi
Sehabis kami bicara Nathalie tanpa sungkan memelukku
dengan erat dan sayang tak ubahnya seorang kakak yang secara
tak disangka-sangka bertemu dengan adiknya setelah puluhan
tahun tak pernah bersua. Aku masih ingat apa yang dia bisikkan
saat itu, sepenggal kalimat yang sedih dan sayu, yang akan terus
terngiang-ngiang dalam telingaku:
“Bagiku setiap kata adalah eksil, tapi aku selalu berharap
aku bisa menemukan rumah”
Sekali lagi aku mendengar suaranya yang gemetar saat dia
menyebut rumah, dan sekali lagi kulihat mata biru jernihnya
hampir berkaca-kaca.
Sesampainya di hotel malam itu langsung kubuka secara acak
buku “The Invisible Stars” dan kutemukan puisi yang meng-
getarkan ini:
KILYOUM
Aku punya sebuah negeri
Yang tak terlihat
Tak punya bendera
Atau cahaya bulan
Tak punya sungai
Atau bukit
Tak punya awan
Untuk memahami langit
Atau api
Untuk membebaskan hasrat
258 Eksotisme Gumuk Pasir
Tapi dalam kesedihan peta-petanya
Ada jawaban yang kami perlukan.
Usai membacanya tiba-tiba saja aku ingin menangis.
Ubud, 31 Oktober 2015.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 259
TENTANG ESAI DAN
LORONG-LORONG SUNYI
DI LANTAI 9
Ida Fitri
Setiap menjelang senja, gedung ini sepi seperti kuburan.
Lantai 9 seperti memenjarakan orang-orang. Mereka, para pe-
neliti dari berbagai negara itu bertekun di bilik masing-masing
sejak seusai makan siang hingga hari mulai temaram. Tulisan
mesti dicukupkan, laporan mesti dirampungkan dan bacaan
mesti ditamatkan sebelum pukul enam sore. Jika tidak, mereka
akan ketinggalan bis gratis terakhir yang mengantarkan orang-
orang berpindah tempat di dalam kawasan Bukit Timah Campus.
Pukul lima, aku meninggalkan ruangan Susan. Mengendap
di lorong yang sepi berlantai kayu. Melewati deretan bilik
dengan pintu-pintu tertutup di kanan kiri. Aku kembali ke per-
pustakaan yang menjadi tempat kerja kami selama enam minggu.
Ruang dengan rak-rak buku di ujung, meja bundar di tengah
dan deretan komputer yang bisa kami gunakan untuk menulis.
Kulihat May masih di sana. Aku menghampirinya dan mengata-
kan bahwa aku sudah selesai berurusan dengan Susan. Perem-
puan Malaysia itu mendapat giliran berikutnya.
Aku menyapu ruangan dengan pandangan. Dari 26 orang
peserta kelas menulis, hanya lima saja yang masih bertahan hingga
sesore ini. Sisanya mungkin sudah pulang atau memilih mengetik
260 Eksotisme Gumuk Pasir
di perpustakaan pusat universitas. Beberapa di antaranya mung-
kin sedang berkonsultasi dengan mentornya di ruangan lain.
Aku maklum jika kian hari makin sepi. Ini adalah masa-masa
terberat kami karena tenggat waktu pengumpulan tulisan se-
makin dekat.
Memulai esai
Selembar kertas penuh coretan terlepas dari tanganku. Me-
layang sekilas lalu mendarat di dekat kaki. Susan –mentor untuk
penulisan esai, telah menggambar kritik dan masukannya dengan
coretan-coretan di draft pertama yang sedang kupersiapkan se-
bagai pendahuluan untuk esaiku.
“Kamu tidak akan menulis buku. Waktunya hanya sepuluh
menit untuk menyampaikan pikiranmu tentang sebuah subjek
dengan tiga ribu kata saja,” Susan mengingatkan.
“Tetapi Susan, jika hanya seperti ini, aku hanya menyampai-
kan sesuatu yang sangat ringan. Tidak mendalam. Ini terlalu
sederhana,” aku protes kepadanya ketika ia mencoret begitu
banyak ide-ide yang aku anggap brilian. Sebuah draft pendahulu-
an yang menjadi bulan-bulanan. Aku lunglai dengan hasil kon-
sultasi pada tahap ini.
“Ida, yang penting adalah kejernihan menyampaikan pikiran.
Fokus. Logis. Itu sudah cukup. Daripada yang kamu sampaikan
menjadi sesuatu yang kabur karena jumlah kata yang terbatas
untuk menerangkan,” demikian katanya lagi ketika mengakhiri
konsultasi di awal penyusunan esai.
Aku bermenung. Memang perlu kerendahan hati untuk bisa
menuliskan pikiran dengan sederhana, tetapi terang bagi pem-
baca. Yaitu tidak berambisi untuk terlihat hebat dengan bahasan
yang terlalu luas dan pada akhirnya justru tidak membunyikan
pendapat dengan nyaring serta terang. Bukan mengenai banyak
hal yang justru akan terdengar seperti gumam.
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 261
Setelah itu aku menjalani masa-masa sunyi. Di malam hari
aku mengetik, berkawan sepi dan bercangkir-cangkir kopi.
Tulisan bertambah secara bertahap saat orang-orang lelap. Aku
juga bertafakur di perpustakaan untuk membaca. Sebab aku
percaya jika hendak menulis maka harus mau membaca. “Kamu
tidak akan bisa mengeluarkan apa pun jika kepalamu kosong.
Isilah kepalamu dengan membaca, baru kamu akan kaya dengan
ide. Bukankah gelas yang kosong tidak akan mengeluarkan air?”
demikian Susan bermetafora saat aku mengeluh padanya ketika
mengalami kemacetan di tengah menulis.
Pada minggu ketiga, aku sudah bisa bercerita kepada Susan
mengenai konteks luas terkait perkara yang ingin kutulis. Aku
hendak menggiring pembaca untuk masuk pelan-pelan ke dalam
inti masalah. Ia tak banyak komentar untuk tahap pendahuluan
yang berisi pengenalan masalah dan pertanyaan yang mengusik
kepalaku. Rupanya tiga paragraf yang aku susun bisa meyakin-
kan Susan sebagai pembaca pertama. Ia bisa paham dengan situ-
asi global yang terjadi di sekitar perkara dan mengerti mengapa
pendapatku penting untuk mengemuka.
Esai yang mulai menjadi
Di suatu sore aku ketinggalan bis tak berbayar yang beredar
di dalam kampus. Pukul enam lebih aku meninggalkan gedung
berlantai sepuluh itu. Berjalan menyusuri Botanic Garden menuju
stasiun kereta terdekat untuk pulang. Bersama orang-orang yang
joging dan mereka yang tergesa pulang setelah bekerja. Di dalam
kereta, kepalaku riuh dengan ide-ide penting untuk diuraikan
di paragraf-paragraf berikutnya. Dua puluh menit berlalu tanpa
peduli pada sekitar. Sekumpulan wajah-wajah lelah yang acuh
dan sibuk dengan gawai atau pikiran masing-masing, serta merta
buyar saat kereta berhenti di stasiun tujuan.
Tiba di kamar, malam belum larut benar. Tetapi kantuk me-
nyerang tanpa ampun. Untung saja sebelum lupa aku masih
262 Eksotisme Gumuk Pasir
sempat mencatat poin-poin yang kususun di dalam kereta, yaitu
semua ide yang mesti dituliskan di draft pertama. Itu saja dulu,
pikirku. Jika lancar, minggu depan bisa mulai bekerja untuk draft
kedua yaitu mengedit dengan memotong yang tidak relevan
atau menambah data untuk menguatkan argumen. Harapannya,
tidak bekerja banyak untuk memoles tulisan pada draft ketiga
sebelum mengirimkan tulisan utuh ke panitia.
Aku terlelap hingga pagi. Kemudian rutinitas di awal hari
terulang kembali. Mandi, membeli Bakpao panas di kantin untuk
sarapan, menyambar koran pagi yang tersedia gratis lalu ber-
gegas menuju halte bis. Dalam dua puluh menit perjalanan semua
sudah terisi. Bakpao mengisi perut dan informasi aktual mengisi
kepala. Berikutnya adalah mengikuti kelas menulis yang di-
bimbing oleh Paul dan Susan sampai saatnya untuk makan siang.
Pukul dua belas orang-orang keluar dari bilik kerja masing-
masing. Sunyi telah pecah oleh gaduh. Mereka saling menukar
tegur dan sapa di sepanjang lorong, di dalam lift dan berlanjut
hingga kantin di gedung sebelah.
Makan siang di kantin adalah ibarat sayur di mangkuk sup.
Orang dari berbagai negara berkumpul bersama dalam satu
ruang. Jika beruntung bisa semeja dengan mentor dan mendapat
konsultasi tambahan di luar jadwal. Selebihnya adalah percakap-
an dengan peserta lain mengenai topik esai masing-masing yang
ternyata bisa dipungut dari mana saja. Carlos dari Filipina me-
nulis tentang anak yang lebih dekat dengan pengasuh ketimbang
ibunya. Maya, perempuan asal Jakarta yang kuliah di Thailand,
menelisik perempuan-perempuan korban Perang Dunia II. Para
pengungsi yang mencari suaka menjadi topik tulisan Jera yang
kuliah di Jepang. Sekelompok pekerja rumah tangga yang ber-
kumpul tiap minggu di halaman gereja seusai misa menjadi topik
penelitian Kipgen, pria dari India. Bahkan gosip yang terdengar
remeh diubah oleh April menjadi esai yang menarik, sebab mam-
pu melawan narasi utama yang digulirkan oleh sebuah rezim di
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 263
Filipina. Percakapan ‘after lunch’ bubar saat jam 1 siang. Gedung
berlantai sepuluh itu menyedot orang-orang untuk kembali
masuk ke ruang-ruang kerja hingga sore.
Memang, sore tak pernah sama. Meski jarang terjadi, tak
selamanya lantai 9 itu seolah hanya aku penghuni satu-satunya.
Pada sebuah sore yang lain, aku bertemu dengan Alex di dapur.
Ia –peneliti magang dari Inggris itu hendak membuat kopi.
Sambil mengudap wafer, dengan cangkir kopi di tangan kiri,
ia bertanya tentang kemajuan tulisan. Aku ceritakan padanya,
bahwa sedang mengumpulkan pendapat beberapa orang yang
sebelumnya telah membahas topikku. Hal ini penting agar aku
bisa menghindari pengulangan pendapat yang sudah ada.
“Pendapat mereka hanya mendampingi. Jangan sampai
kamu mengutip dan menyerukan pendapat mereka itu tetapi
pernyataanmu sendiri tenggelam di antaranya,” Alex berpesan
sambil mencuci cangkir kopinya yang telah kosong. Sebelum ia
meninggalkan dapur, kami sempat mengobrol tentang plagiat
di Amerika Serikat yang disorot media hingga orang yang ber-
sangkutan harus menanggalkan jabatan politiknya. Dengan logat
khas British a la James Bond, ia mengingatkanku untuk selalu
waspada agar tak tergelincir pada plagiarisme yang tak disengaja.
Baik yang parsial atau timbul karena alih bahasa.
Dapur kembali sunyi. Tergeletak dua kaleng Cola, beberapa
bungkus coklat dan dua butir jeruk di atas meja dapur. Kertas
kuning berperekat yang tertempel mengatakan ‘Please help
yourself’ –silakan ambil sendiri, untuk menandai makanan yang
bisa dikonsumsi oleh umum. Tanpa tulisan itu, dijamin tak ada
orang yang berani mengambilnya. Komunikasi seringkali hanya
melalui kertas-kertas kuning yang ditempel di dapur, di per-
pustakaan, di mana-mana. Demikian aturan dan informasi ber-
edar untuk diketahui tanpa harus bertemu muka dan dibicara-
kan. Benar-benar percakapan bisu di gedung yang sunyi.
264 Eksotisme Gumuk Pasir
Kupungut sebutir coklat lalu mengunyahnya. Sejenak aku
menikmati sunyi di lorong sepi lantai 9. Aku masih punya sedikit
waktu sebelum pulang dan hari bertambah gelap. Tiba-tiba mesin
foto kopi yang diletakkan di depan dapur mengeluarkan bunyi.
Sungguh mengejutkan lamunan. Lembar-lembar kertas keluar
sendiri. Menumpuk di baki kertas. Aku terpana. Satu, dua, lima,
banyak! Aku bergegas meninggalkan dapur dan mesin foto kopi
yang terus mengeluarkan kertas sendiri.
Di lorong yang sempit dan panjang itu aku bertemu Malini.
“Hai. Tunggu ya, kita pulang bareng. Aku ke mesin foto kopi
dulu. Aku baru saja ngeprint,” kata peneliti senior dari India itu
sambil bergegas menuju ke arah mesin foto kopi yang ternyata
terhubung dengan seluruh komputer di mana pun di lantai 9.
Sungguh konyol, tadi aku sempat merasa takut.
Mengakhiri esai
Seminggu menjelang program penulisan berakhir, aku belum
bisa menutup esai. Ini konsultasiku yang terakhir dengan Susan.
Sebab besok kami harus mulai bersimulasi mempresentasikan
esai yang sudah ditulis. Ia memberiku teka-teki tentang penutup
yang terbuka.
Bagaimana itu? Aku mengerutkan kening saat meninggalkan
ruangannya. Di sepanjang lorong yang sepi itu suara Susan meng-
gema di kepala. Ia menyarankan di bagian akhir ini aku mesti
menutup tulisan tetapi sekaligus membukanya kembali. Apalagi
katanya, karena di kepalaku masih banyak ide yang belum ter-
sampaikan.
“Esai tak harus menjadi tulisan yang final. Kita harus meng-
akhirinya sebab panitia membuat batasan jumlah kata. Namanya
juga esai, pendek saja, yang nyaman dibaca dalam sekali duduk.”
“Aku tidak paham,” kataku.
“Sebuah tulisan memang harus diakhiri, dihentikan dengan
sebuah titik. Tetapi esai yang baik mestinya bisa menjadi pe-
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 265
mantik bagi terbitnya ide atau esai-esai yang lain. Baik untuk
dirimu sendiri maupun untuk orang lain.”
Mari terus menulis esai, bapak dan ibu guru.
Salam hangat.
266 Eksotisme Gumuk Pasir
BIODATA PESERTA
BENGKEL BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA GURU SLTP
KABUPATEN BANTUL 2016
Aan Novianto, S.Pd., lahir di Bantul pada 31
Agustus 1983, pengajar di SMP Negeri 1 Bantul.
Alamat rumah di Bulusan, Canden, Jetis, Bantul,
DIY. Ponsel 081804020722
Andayani, S. Pd., lahir di Bantul pada 19 Oktober
1973. Menjadi tenaga pengajar di SMP Negeri 3
Bantul. Alamat rumah di dusun Gedong RT 02,
Panjangrejo, Pundong Bantul, DIY. Ponsel
081392555736. Posel: [email protected]
Dasiyati, S.Pd., lahir di Bantul pada 1 Februari 1960.
Tenaga pengajar di SMP 2 Banguntapan, Bantul.
Alamat rumah di Mangkukusuman GK IV / 1524
RT 006 RW 002 Yogyakarta, 55225. Ponsel
081328019410. Posel:
[email protected]
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 267
Dwi Astuti, S.Pd., lahir di Banyumas pada tanggal
8 Nopember 1972. Tenaga pengajar di SMP 1
Sanden, Bantul. Posel: [email protected]
Dwi Wahyu Astarini, S.Pd., lahir di Bantul pada
19 September 1988. Tenaga pengajar di SMP
Unggulan ‘Aisyiyah Bantul. Alamat rumah di
Demangan, Jambidan, Banguntapan, Bantul.
Ponsel 085225057625 dan 085228423788. Posel:
[email protected]
Endang Trisusilowati, S.Pd., lahir di Bantul pada 13
Januari 1965. Tenaga pengajar di SMP Muhamma-
diyah 1 Bambanglipuro. Alamat rumah di Sawungan
Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul. Ponsel
085100028995. Posel: [email protected]
Dra. Fidelis Bekti Sukendri, tenaga pengajar di SMP
Negeri 2 Kasihan, Bantul. Alamat rumah di Tanen,
Hargobinangun, Pakem, Sleman. Ponsel
08164264580
268 Eksotisme Gumuk Pasir
Haryanta, tenaga pangajar di SMP Negeri 2
Srandakan, Bantul. Sering menulis cerita di majalah
sekolah. Alamat rumah di Kalakijo RT 02 Guwosari
Pajangan, Bantul. Ponsel 081227077577. Posel:
[email protected]
Mudyastuti Wiraningrum, S.S., lahir di Yogyakarta
pada 5 Januari 1972. Tenaga pengajar di MTsN
Wonokromo, Bantul. Alamat rumah di Glagah Lor
RT 01 Tamanan, Banguntapan, Bantul. Ponsel
089674660211. Posel [email protected]
Mujiyem, S.Pd., lahir di Bantul pada 19 Maret 1964.
Tenaga pengajar di SMP Negeri 1 Pundong. Alamar
rumah di Pasutan RT 01, Trirenggo, Bantul, Yog-
yakarta. Ponsel 081328063521 dan 089670219954.
Posel: [email protected]
Murdaningsih, S.Pd., lahir di Bantul pada 29 Juni
1963. Tenaga pengajar di SMP Negeri 2 Pandak.
Alamat rumah di Rt 04 Koripan, Poncosari,
Srandakan, Bantul. Ponsel 087839024331. Posel:
[email protected]
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 269
Ngatijah,S.Pd., tenaga pengajar di SMP Negeri 2
Kretek. Alamat rumah di Soropadan RT 05
Tirtomulyo, Kretek, Bantul, Yogyakarta. Ponsel
081328080439
Niken Catur Dewi Risetyawati, S.Pd., lahir di
Bantul pada 10 Agustus 1972. Tenaga pengajar di
SMP Muhammadiyah Bantul. Alamat Rumah di
Pandak, Wijirejo, Bantul, DIY. Posel:
[email protected]
Ninditya Ikawati, S.Pd., lahir di Magelang pada 02
Juni 1993, penulis dan pemerhati bahasa. Menjadi
tenaga pengajar di SMP Negeri 3 Pajangan. Posel:
[email protected]
Dra. Hj. Nining Umul Hidayati, lahir di Wonosobo
pada 16 Desember 1963. Tenaga pengajar di SMP
Muhammadiyah Sewon. Alamat rumah di Klidon
RT 02 RW 33 Sukoharjo Ngaglik, Sleman, DIY.
Ponsel 08121576883.
270 Eksotisme Gumuk Pasir
Nurgiyanti, S.Pd., tenaga pengajar di SMP Negeri 2
Imogiri Bantul Yogyakarta. Alamat rumah di
Mriyan Timbulharjo Sewon Bantul, DIY. Ponsel
081264702535. Posel: [email protected]
Nuzul Nurjayanti, S.Pd., lahir di Bantul pada 28
Februari 1987. Tenaga pengajar di SMP Al Ma’Arif
Bantul. Ponsel 087839583587
Rina Harwati, S.Pd., lahir di Gunungsugih Kecil
pada 23 Agustus 1980. Tenaga pengajar di MTsN
Piyungan. Alamat rumah di Jalan Jenderal A. Yani
No 98 Badegan RT 12 Bantul, DIY. Ponsel
08175460926 dan 085878417057. Posel:
[email protected]
Rina Purwandari, S.Pd., lahir di Sleman pada 20
Februari 1982. Tenaga pengajar di SMP Negeri 2
Piyungan. Alamat rumah di Kedunggalih,
Sumbersari, Moyudan, Sleman, Yogyakarta, 55563.
Ponsel 085601991833 dan 088216252284. Posel:
[email protected]
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 271
Rini Widayati, S.Pd., lahir di Nganjuk pada 16 April
1970. Tenaga pengajar di SMP Mataram, Bantul.
Alamat rumah di Panggungan Kidul, Trihanggo,
Gamping, Sleman, DIY. Ponsel 08562964141. Posel:
[email protected]
Dra. Riyanti Puji Nurweni, Sleman pada 21 Januari
1965. Tenaga pengajar di SMP Negeri 1 Kasihan,
Bantul. Alamat rumah di Gedongan, Sinduadi,
Mlati, Sleman. Ponsel 085292881091
Rr. Budiningsih,S.Pd., lahir di Purwokerto, 8 Juni
1963. Tenaga pengajar di SMP Negeri 1 Pleret.
Alamat rumah di Wonokromo 2 Rt 06, Wonokromo,
Pleret, Bantul. Ponsel 085643178617. Posel:
[email protected]
RR. Suwasiati, S.Pd., lahir di Yogyakarta pada 17
April 1967. Tenaga pengajar di SMP Negeri 1
Bambanglipuro, Bantul. Alamat rumah di Jagan RT
05 Canden, Jetis, Bantul 55781. Ponsel 08179431417.
Posel: [email protected]
272 Eksotisme Gumuk Pasir
SiskaYuniati, lahir di Bantul pada 26 Juni1980.
Tenaga pengajar di MTs N Giriloyo. Prestasinya
antara lain di memenangkan lomba artikel Balai
Bahasa Yogyakarta (2010) dan Lomba Blog Kebaha-
saan Badan Bahasa Kemdiknas (2010), serta men-
dapat penghargaan Internet Sehat Blog & Content
Award dari Indonesian ICT Partnership Association
(2010). Karyanya, “Senja Mentereng di Bukit Ban-
teng” dimuat dalam buku Potensi Pesisir Kabupaten
Bantul (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Bantul, 2014). Ponsel 085292885222. Posel:
[email protected]
Siswahyudi, S.Pd., lahir di Bantul pada 12 Maret
1978, menjadi tenaga pengajar di SMP Negeri I
Pajangan. Alamat rumah di Salam, Patalan, Jetis,
Bantul. Ponsel 082135990088
Sumirah, Spd., lahir di Bantul pada 5 Juni 1966.
Tenaga pengajar di SMP Putratama Bantul (Yaya-
san Putratama Bantul). Alamat rumah di Jong-
grangan RT 05 DK Babadan, Bantul, DIY. Ponsel
085743609263. Posel: [email protected]
Sumiyati, S.Pd., lahir di Bantul pada 8 Agustus
1971. Tenaga pengajar di SMP Negeri 2 Pandak.
Alamat rumah di Kamijoro, Sendangsari, Pajangan,
Bantul. Ponsel 0815228797447. Posel:
[email protected]
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 273
Suparman, S.Pd., lahir di Purworejo pada 18
Agustus 1959. Tenaga pengajar di SMP Negeri 3
Pleret. Alamat rumah di Bedukan, Pleret, Bantul.
Posel 085878976957.
Suratna, lahir di Bantul pada 21 Maret 1961. Tenaga
pengajar di SMP Muhammadiyah Jetis. Alamat
rumah di Gabusan RT 07, Timbulharjo, Sewon,
Bantul, DIY. Ponsel 08121573643. Posel:
[email protected]
Taufiq Aris wardoyo, S.Pd., lahir di Bantul pada
27 April 1986. Tenaga pengajar di SMP Islam Pres-
tasi Al-Mubtadi’ien, Bantul. Alamat rumah di Sam-
paran RT 04, Caturharjo, Pandak, Bantul, DIY. Pon-
sel 085786333100. Posel: [email protected]
Titik Wuryandari, S.Pd., lahir di Yogyakarta pada
6 Oktober 1960. Tenaga pengajar di SMP Negeri 4
Banguntapan. Alamat rumah di Kerto Kidul Pleret,
Bantul DIY. Ponsel 085643567850. Posel:
[email protected]
274 Eksotisme Gumuk Pasir
Toyib Ikhwanta, S.Pd., lahir di Bantul pada 20 April
1964, menjadi tenaga pengajar di SMP Negeri 3
Sewon. Alamat rumah di Kutu RT 5 Sumbermulyo,
Bambanglipuro, Bantul. Ponsel 081325624849.
Walsiti, S.Pd., lahir di Bantul pada 17 Agustus 1961.
Tenaga pengajar di SMP Negeri 1 Imogiri. Alamat
rumah di Puton RT 3 Trimulyo, Jetis, Bantul. Ponsel
08174104295
Widiati, lahir di Bantul pada 5 Juli 1972. Tenaga
pengajar di SMP Negeri 1 Imogiri. Alamat rumah di
Bulus Wetan, Sumber Agung, Jetis, Bantul. Ponsel
085329602024
Wikandriya Pinta Pangarsa, S.Pd., lahir di Bantul
pada tanggal 10 Februari 1987. Tenaga pengajar di
SMP Negeri 2 Pandak. Alamat rumah di Koripan,
Poncosari, Srandakan, Bantul, DIY. Ponsel
085747575535. Posel: [email protected]
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 275
Yuli Ekawati,S.Pd., lahir di Bantul pada 14 Juli 1975.
Tenaga pengajar di SMP Negeri 3 Imogiri. Alamat
rumah di Garjoyo, Imogiri, Imogiri, Bantul, DIY.
Ponsel 081229427072. Posel:
[email protected]
Yuli Kiswantini, S.Pd., lahir di Tuban pada 31 Juli
1964. Tenaga pengajar di SMP Negeri 4 Pandak.
Alamat rumah di Pedukuhan II Panjatan, Kulon-
progo, DIY. Ponsel 081392254762. Posel:
[email protected]
276 Eksotisme Gumuk Pasir
BIODATA TUTOR
BENGKEL BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA GURU SLTP
KABUPATEN BANTUL 2016
Tia Setiadi, lahir di Subang pada 7 November 1980.
Menulis sajak dan esai-esai bertema budaya, sastra
dan filsafat pada pelbagai media di antaranya
Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Jurnas, Suara Merdeka,
Suara Karya, Pikiran Rakyat, lampung Post, Horison,
MataBaca, Jurnal Cipta, Jurnal Diskursus, Jurnal
Cerpen Indonesia, Jurnal puisi Rumah Lebah, Ruang
Puisi, Jurnal Sastra Digital, Jurnal Sajak, Jurnal Poetika,
Jurnal Kritik, dan lain-lain.
Ida Fitri Astuti, saat ini bekerja di ICRS (Indonesian
Consortium for Religious Studies) dan sebagai
penyiar Sonora FM 97,4 Yogyakarta. Kadang-ka-
dang menulis untuk seni rupa dan merekam peris-
tiwa dalam catatan perjalanan. Rupa-rupa tulisan
dikerjakan bersama tim bidadari untuk sebuah
biografi (2016) dan empat museum Sangiran sejak
2013 hingga kini; bersama LIKE Indonesia menulis
ulang dongeng rakyat untuk Frankfurt Bookfair
2015. Tetapi utamanya, sedang menulis tesis di
CRCS UGM (Center for Religious dan Cross Cultural
Studies). Terbuka untuk berbagi cerita dan diskusi
melalui kotak surat [email protected]
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 277
BIODATA PANITIA
BENGKEL BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA GURU SLTP
KABUPATEN BANTUL 2016
Nindwihapsari, lahir di Surakarta pada 28
November 1977. Saat ini bekerja di Balai Bahasa
Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat rumah di
Sidoarum, Sleman. Ponsel 08988088438, posel:
[email protected]
Endang Siswanti, lahir di Sleman pada 13 Juni 1964.
Saat ini bekerja di Balai Bahasa Daerah Istimewa
Yogyakarta. Alamat rumah di Cebongan Lor,
Tlogoadi, Kecamatan Mlati. Ponsel 081226708397
Willibrordus Ari Widyawan, lahir di Yogyakarta
pada 22 Agustus 1975. Saat ini bekerja di Balai
Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat
rumah di Gedongkiwo, MJ I/93 RT 50 RW 10,
Yogyakarta. Ponsel 0818802747337, posel:
[email protected]
278 Eksotisme Gumuk Pasir
Budi Harto, lahir di Surabaya pada 24 Oktober 1965.
Saat ini bekerja di Balai Bahasa Daerah Istimewa
Yogyakarta. Alamat rumah di Mojosari RT 32 RW
07, Playen, Gunungkidul, DIY. Ponsel
085385271998, 085729741000. Posel:
[email protected]
Nanang Yunanta, lahir di Yogyakarta pada 23
Januari 1982. Saat ini bekerja di Balai Bahasa Daerah
Istimewa Yogyakarta. Alamat rumah di Barepan,
Tamanmartani, Kalasan, Sleman. Ponsel
089672433850
Antologi Esai Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia Guru SLTP Kabupaten Bantul 279
280 Eksotisme Gumuk Pasir