The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SRIYATNI, M.Pd., 2022-05-18 03:24:44

Layout Legenda Tuban

Layout Legenda Tuban

Asal-usul Desa Bate Bangilan

Oleh: Joyo Juwoto

Desa Bate berada di wilayah kecamatan Bangilan,
tepatnya di sebelah perbatasan bagian selatan kecamatan
Bangilan. Desa Bate termasuk desa terpencil, karena
berada di dekat hutan. Untuk menuju Bate harus melewati
area persawahan penduduk.

Walau terpencil, desa ini termasuk kawasan desa
budaya, karena kesenian kentrung asli T uban berasal dari
desa Bate dengan tokoh legendarisnya yang bernama

~ Legenda Tuban ~ 1

mbah Basiman. Beliau memiliki murid yang bernama
Mbah Surati, dalang terakhir generasi kentrung Bate.

Selain terkenal dengan kentrungnya, Bate yang
sebagian besar penduduknya sebagai petani dan
penggarap lahan hutan jati ini juga memiliki legenda yang
cukup unik. Berikut cerita turun-temurun tentang asal-
usul desa Bate.

Dikisahkan pada jaman dahulu, wilayah ini
belumlah bernama, masih berupa hutan belantara.
Wilayah ini awalnya dihuni oleh masyarakat pelarian, ada
bekas perampok, berandal, dan sebagainya. Lama
kelamaan wilayah ini cukup ramai dan menjadi sebuah
perkampungan liar. Ada seorang yang dianggap sebagai
pemimpin, namanya Mluyo Kusuma.

Ki Mluyo Kusuma ini cukup sakti dan disegani
masyarakat. Dia memiliki dua pusaka sakti yang berupa
Ayam Jago dan seekor kuda.

Dua pusaka andalan Mluyo Kusuma inilah yang
menjadikan wilayah ini cukup tentram dan damai. Tiap
malam Ayam Jago dan kuda ini berkeliling menjaga
keamanan perkampungan.

2 ~ Legenda Tuban ~

Anehnya, jika siang hari dua pusaka Ki Mluyo
Kusuma ini berubah menjadi batu, dan bersemayam di
punden perkampungan.

Suatu ketika, datanglah seorang gadis penjual
jamu memasuki wilayah ini. Gadis ini cukup cantik
dengan kulit kuning bersih. Si penjual jamu ini
menjajakan jamunya, banyak penduduk desa yang tertarik
dan membelinya.

Gadis penjual jamu ini bernama Putri Bah-tei.
Seorang gadis keturunan Tionghoa. Perlu diketahui,
memang di Bangilan telah ada orang-orang dari Cina yang
telah bermukim di Bangilan sejak cukup lama.

Ki Mluyo Kusuma sendiri juga tertarik ada
penjual jamu yang cukup cantik. Ia pun membeli jamu dan
juga diberikan kepada Ayam Jago dan kudanya. Setelah
meminum jamu hasil rajikan gadis tersebut tubuhnya
terasa segar, capek-capek sehabis bekerja di sawah
menjadi musnah.

Ki Mluyo Kusuma terpikat dengan gadis penjual
jamu tersebut. Ia mengutarakan maksud hatinya untuk
mempersunting Putri Bah-tei, gadis penjual jamu. Gayung

~ Legenda Tuban ~ 3

pun bersambut si gadis menerima lamaran Mluyo
Kusuma.

Betapa senangnya warga perkampungan tersebut
memiliki ibu kepala kampung yang cukup cantik. Setelah
dirasa cukup akhirnya digelarlah pesta perkawinan ki
Mluyo Kusuma dan sang gadis.

Pada saat digelar pesta perkawinan yang
berlangsung bermalam-malam, ada sekelompok
berandalan yang beraksi mencuri pusaka Ki Mluyo
Kusuma. Pusaka itu kemudian dibuang ke luar pulau.
Karena sudah beberapa kali pusaka yang menjadi andalan
desa tersebut dicuri dan dibuang tetapi dapat pulang
kembali.

Begitulah kehidupan silih berganti, kadang senang
kadang susah, saling bergantian mengisi dinamika
kehidupan. Perkampungan yang awalnya cukup damai
kini sering disatroni maling dan berandal. Masyarakat
harus berjaga-jaga dan meronda tiap malam, karena dua
pusaka penjaga keamanan desa telah raib dan tidak
kembali.

4 ~ Legenda Tuban ~

Lama-kelamaan istri Mluyo Kusuma tidak
kerasan tinggal di wilayah tersebut. Akhirnya ia pergi
mengembara dan meninggalkan Mluyo Kusuma.

Betapa sedihnya hati Mluyo Kusuma ditinggal
istrinya, untuk mengenang istrinya Mluyo Kusuma
menamakan perkampungan tersebut dengan nama Bate,
dari kata putri Bah-tei, seorang penjual jamu yang
terkenal kalau itu.

Sedang Bah-tei sendiri mengembara dan tinggal di
wilayah Karang Tengah desa Bangilan dan menjadi cikal
bakal punden desa dengan sebutan Randa Kuning yang
maqamnya masih dinyadrani oleh masyarakat sampai hari
ini.

Demikian sekilas tentang asal-usul desa Bate
kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban dari kisah yang
diceritakan secara turun temurun.

Bangilan, 20/12/2020

~ Legenda Tuban ~ 5

Asal-usul Desa Demit Jatirogo

Oleh: Joyo Juwoto

http://demit-jatirogo.desa.id/first/artikel/191

Desa Demit adalah salah satu desa yang ada di
kecamatan Jatirogo. Desa Demit mayoritas penduduknya
adalah petani, selain itu Demit terkenal sebagai desa
penghasil kerajinan batu bata merah.

Selain karena tekstur tanah yang memang cocok
dipakai bahan baku bata merah, wilayah ini juga dekat
dengan hutan yang memungkinkan pembakaran batu bata
menggunakan kayu dari hutan. Kualitas batu bata dari
daerah Demit sudah tidak diragukan lagi.

6 ~ Legenda Tuban ~

Mungkin pembaca bertanya, kok nama desanya
serem ya? Demit. Dalam bahasa Jawa demit berarti hantu,
atau gendruwo. Tapi benarkah desa Demit adalah desa
hantu?

Berikut saya ceritakan ulang mengenai asal-usul
desa Demit, semoga kisah cerita turun temurun ini bisa
dikenang dan dilestarikan keberadaannya sebagai salah
satu wisdom lokal masyarakat.

Dahulu kala ada suatu daerah terpencil yang mana
daerah tersebut masih berupa hutan belantara. Diceritakan
suatu ketika ada seorang wali bersama dengan para
pengawalnya melewati daerah itu. Tepat pada saat itu
datang waktu untuk melakukan sholat dhuhur.

Sang Wali dan pengikutnya itu pun mencari
tempat yang dapat digunakan untuk menjalankan sholat
dhuhur. Akan tetapi tidak ada tempat yang layak
digunakan untuk sholat, hingga akhirnya salah satu
pengawalnya mengusulkan untuk membuka daerah itu
menjadi sebuah padepokan.

"Wahai Sang Kiai, bagaimana jika kita membuka
hutan ini menjadi padepokan, dan kita menetap di sini?
Kata salah satu pengikut Wali tersebut.

~ Legenda Tuban ~ 7

Sang wali pun menyetujui saran dari salah satu
pengawalnya itu. Dan saat itu juga dimulailah
pembabatan hutan hingga akhirnya menjadi tanah yang
lapang dan luas.

"Baiklah, pengembaraan kita akhiri di tempat ini.
Kita akan membuka hutan ini menjadi sebuah padepokan,
agar masyarakat bisa belajar agama di sini." ujar sang wali
kepada muridnya

Untuk melengkapi sarana padepokan maka sang
wali berpikir untuk mendirikan masjid di tempat tersebut,
agar kelak dapat digunakan untuk beribadah bersama
sekaligus tempat untuk belajar para santri-santrinya.

Sebelum proses pembangunan masjid
dilaksanakan sang wali akan melaksanakan sholat hajat
terlebih dahulu guna meminta petunjuk kepada Allah
SWT. Namun ketika akan mengambil air wudlu ia
mencari-cari sumber air di sekitar padepokan. Sang wali
tidak menemukan sumber air hingga akhirnya ia berjalan
ke arah selatan dari padepokannya.

Dan ternyata di wilayah bagian selatan dari
padepokan ditemukan sebuah sendang besar, airnya

8 ~ Legenda Tuban ~

sangat bersih jernih. Sendang itu sangat asri dengan
pepohonan yang menghijau di sekitarnya.

Sang wali kemudian menuju ke sendang itu dan
mengambil air wudlu. Pada saat wali mengambil air
wudlu beliau merasakan sesuatu yang aneh, air di sendang
itu ternyata sangat dingin sekali yang dalam bahasa Jawa
disebut “ademe amit-amit" (betul-belul dingin).

"Air sendang ini bersih dan jernih, tapi airnya
sangat dingin. Ademe amit-amit, besok kalau tempat ini
ramai maka sebagai penanda tempat ini saya beri nama
Demit, dari kata “ademe amit-amit." Begitu kata Sang
wali sesudah mengambil air wudhu.

Karena tempat itu dirasa cocok untuk pemukiman,
akhirnya Sang wali membangun masjid didekat sendang
tersebut. Lama kelamaan daerah itu menjadi ramai dan
banyak orang yang sama menetap di sana.

Sebagaimana yang disabdakan oleh sang wali,
nama daerah tersebut dikenal dengan sebutan “DEMIT”
sebuah nama yang diambil dari sebuah sendang yang
airnya dingin sekali atau “ademe amit-amit”. Sendang
tersebut sampai sekarang masih ada dan digunakan

~ Legenda Tuban ~ 9

pengairan oleh masyarakat yang ada di Desa Demit
Kecamatan Jatirogo Kabupaten Tuban.

Demikian kisah asal-usul desa Demit yang
dikisahkan oleh sesepuh desa secara lisan dan turun
temurun dari generasi ke generasi. Semoga tulisan
sederhana tentang asal-usul desa ini bisa ikut menjaga
kelestarian dan kebudayaan yang ada di sekitar kita.

10 ~ Legenda Tuban ~

Dukuh Klaseman, Trutup,
Plumpang: Mitos Pejabat

Oleh: Cak Sariban

simpeldes.com

Jalanan Tuban Kota dari arah Semarang menjulur
ke selatan serong timur mengikuti jejak jalan utama ke
arah Surabaya. Setelah menuruni jalan Kepet, ke selatan
terdapat sempalan pertigaan. Pertigaan besar ini bernana
protelon Pakah. Jika lurus ke arah Surabaya, jika belok
kanan ke arah Plumpang, Rengel, Soko, dan bisa
nyambung ke Bojonegoro.

~ Legenda Tuban ~ 11

Pakah ke selatan memasuki wilayah Kecamatan
Plumpang. Pada titik pusat Kecamatan Plumpang terdapat
kantor kecamatan dan pasar. Pasar Plumpag ke arah Barat
dalam jalanan utama itu terdapat Desa Sumurjalak, Dukuh
Penebusan Desa Kepoh Agung, Desa Kesamben, dan
Desa Trutup. Desa Trutup yang sering juga disebut Desa
Talun itu merupakan desa wilayah Kecamatan Plumpang
paling barat yang berbatasan dengan wilayah Kecamatan
Rengel.

Desa Trutup, tepatnya telon tengah, ke selatan
tersambung dengan Dukuh Klaseman. Dukuh Klaseman
merupakan satu-satunya dukuh wilayah Desa Trutup.
Dukuh Klaseman yang terletak di selatan Desa Trutup ini
merupakan dukuh yang unik. Dulu-dulu, orang-orang
Trutup menganggap saudaranya yang tinggal di Dukuh
Klaseman sebagai wong deso.

Jumlah penduduk Dukuh Klaseman tidak begitu
banyak, sampai sekarang kurang lebih 100 kepala
keluarga. Sebelum tahun dua ribuan, dukuh ini termasuk
wilayah yang terbelakang. Listrik masuk dukuh ini baru
tahun 1995-an. Pandangan masyarakatnya sangat
sederhana. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani.

12 ~ Legenda Tuban ~

Para pemuda bekerja sambilan selepas bersawah dengan
menjadi kuli panggul gamping ke Desa Trutup atau
Kesamben. Dua desa ini terdapat industri pembakaran
batu gamping dan jual-beli kayu bangunan.

Sejak dulu, di Dukuh Klaseman tidak ada
lembaga formal. Anak-anak belajar di SD ke Desa Trutup
dan MI ke Desa Kesamben. Jarak dua desa itu dengan
Dukuh Klaseman kurang lebih 1 dan 2 kilo meter. Karena
tradisi kesederhanaan, anak-anak dukuh Klaseman
memikili dua ciri utama: sekolah dengan sungguh-
sungguh dan taat beragama. Sebelum tahun dua ribuan,
masyarakat Dukuh Klaseman harus ke Desa Trutup ketika
menunaikan salat jumat.

Meski termasuk berkultur tidak terdidik, anak-
anak Dukuh Klaseman yang bersekolah tinggi cenderung
memperoleh jalan hidup beruntung. Satu orang kaya di
dukuh ini, Mbah Haji Usman, pada tahun tujuh puluhan
sudah menyekolahkan salah seorang anaknya, Mashar,
ke jurusan Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Namanya kelak terkenal menjadi Dokter Mashar Usman.
Dokter Mashar selain praktik dokter juga mengajar di
kampus almamaternya. Pada tahun di mana jarang orang

~ Legenda Tuban ~ 13

sekolah ke luar negeri, Mashar waktu itu sudah berhasil
memperdalam ilmu radiologinya di Kampus Prancis
untuk studi magister.

Seangkatan Dokter Mashar, ada nama Setiajid.
Setiajid adalah putra Mbah Modin Rustamadji yang
berhasil menjadi pejabat di lingkungan Kemenag Provinsi
Jawa Timur. Generasi sebelum dua orang terpelajar itu
nyaris tak terkabarkan tentang pendidikan di dukuh ini.

Inspirasi bersekolah setelah generasi Mashar dan
Setiajid, tumbuh di era delapan puluhan. Awalnya
dilakukan pemuda desa bernama Makin. Makin yang
mengenyam pendidikan guru pada karir terakhirnya
menjadi kepala sekolah SD. Adik-adik kelas Makin ketika
itu terkenal sebagai remaja kecil Klaseman yang di
Bangku SD Talun terkenal memiliki talenta. Ada nama
Rediono yang pandai, juara kelas, dan lihai menggiring
bola. Asto terkenal memiliki keterampilan berbicara
melebihi teman-temannya. Asto sangat fasih menirukan
gaya siaran Roni Wijaya, salah satu penyiar radio di
Surabaya. Sukono pintar menggambar, pelajaran eksak,
dan memiliki jiwa memimpin teman-temannya. Siti
Fatfiyah pintar dan tumbuh dari keluarga agak terdidik

14 ~ Legenda Tuban ~

karena kakaknya seorang kepala dusun dan masih
berkerabat dengan Setiajid. Ada Pula nama Yateni dan
Sariban. Yateni yang setelah mondok di Sarang,
Rembang, berganti nama menjadi Mohamad Qosim.
Sariban akhirnya terkenal dengan nama Cak Sariban,
penulis cerita ini.

Kelak nama anak-anak itu memiliki garis nasib
berbeda-beda. Rediono dan Asto tak melanjutkan ke
SMP. Alasannya sama, keluarganya takut menyekolahkan
anaknya karena menganggap bersekolah mememerlukan
banyak biaya dan itu akan mempersulit keluarga di tengah
hidup keluarga yang sudah sulit. Rediono sempat belajar
ke Pondok Sidoarjo. Kini Rediono bertani dan tinggal di
desa isterinya yang tak lagi di Klaseman. Asto tetap
tinggal di desanya. Hidupnya bermanfaat sebagai tukang
pembawa acara, petugas sambutan tatkala ada acara
hajatan warga, aktif di ketakmiran masjid, dan tukang
memberi pengumuman kalau ada warga meninggal dunia.

Dua figur yang menginspirasi generasi
selanjutnya adalah Sukono dan Siti Fatfiyah. Keduanya
lolos dari persepsi masyarakatnya bahwa sekolah tak ada
gunanya. Keduanya dapat berkuliah di Surabaya. Kini

~ Legenda Tuban ~ 15

Sukono menjadi kepala SMPN di Tuban. Siti Fatfiyah
menjadi guru SMAN 3 Tuban. Generasi selanjutnya,
yakni Mohamad Qosim, memilih jalur pondok pesatren
dan kini berguna bagi masyarakat sebagai tokoh
penggerak keagamaan dan termasuk wiraswastawan
berhasil di desanya. Sementara itu, Cak Sariban sempat
menjadi guru dan pengajar di beberapa perguruan tinggi
dan memperoleh beasiswa untuk studi doktoral.

Di balik perjuangan antargenerasi Dukuh
Klaseman, tempat ini menyimpan banyak cerita yang
mengandung kearifan lokal. Berikut mitos-mitos yang
berkembang di wilayah paling barat daya Kecamatan
Plumpang itu.

Mbah Sariyah
Setiap tahun setiap usai panen raya, masyarakat

Klaseman menggelar acara manganan atau sedekah bumi.
Biasanya dilangsungkan pada bulan Oktober. Sedekah
bumi diselenggarakan di lokasi sumur desa berada di
pojok barat daya desa. Sumur ini sering disebut Sumur
Kulon yang menurut mitos dibuat Mbah Sariyah.

16 ~ Legenda Tuban ~

Berkah Mbah Sariyah membuat sumur, dulu
hampir semua penduduk desa mengambil air dan mandi
di tempat mandi umum di sumur itu. Seiring masyarakat
membuat sumur secara mandiri dengan teknologi bor,
sumur Mbah Sariyah tidak lagi banyak dimanfaatkan
warga. Dulu lokasi ini merupakan ruang publik warga.
Mereka mengambil air atau ngangsu, mandi, mencuci
pakaian, dan anak-anak serta pemuda bermain bola foly
di lapangan samping barat laut sumur di bawah pohon
beringin besar.

Alkisah sumur ini dibuat oleh sesepuh desa pada
zaman dahulu. Namanya Mbah Sariyah. Alkisah Mbah
Sariyah bernadar kalau sumur yang digalinya keluar air,
dia akan syukuran dengan nanggap janggrong. Janggrong
adalah kesenian tledek yang menampilkan penari wanita
berbaju khas jawa dengan melantunkan tembang-tembang
Jawa. Ketika penari menari dan menembang dengan
iringan gamelan, para pria mengikuti menari dengan
media slendang.

Dalam perkembangannya, tarian ini di kalangan
masyarakat Tuban disebut tayub atau sinder. Dulu waktu
penulis masa kecil, anak laki-laki disebut dewasa jika
sudah khitan dan berani mbeso atau menari mengikuti

~ Legenda Tuban ~ 17

tarian sinder. Pada anak-anak santri atau yang terbiasa
beribadah di surau, mbeso dianggap tindakan yang tidak
agamis.

Sampai sekarang sumur Mbah Sariyah dianggap
tempat yang bersejarah warga klaseman. Acara manganan
dengan pertunjukkan sinder masih dilakukan warga
dengan dukungan pemerintahan desa. Biaya manganan
biasanya dari urunan warga secara suka-rela dengan
karang taruna atau pemuda desa sebagai pelaksana acara.

Manganan pada zaman dahulu sangat dinanti oleh
anak-anak. Pasalnya dengan manganan, keluarga mereka
akan memasak makanan yang enak, menyembelih ayam,
dan membagi makanan kepada kerabat yang dituakan.
Anak-anak mulai pagi sudah berduyun-duyun membawa
tenong, kiso, atau tempat makanan untuk ater-ater
(mengantar makanan) kepada sanak famili.

Setelah makanan diberikan, biasanya tempat
makanan diberi uang untuk diambil oleh anak-anak yang
ater-ater tadi. Anak-anak sangat senang memperoleh
uang ‘sangu’ yang nanti siang dan malam harinya
digunakan membeli jajan sambil menyaksikan tayup.
Pada saat malam menjelang manganan dan siang saat
pertunjukan tayup, di belakang rumah-rumah penduduk

18 ~ Legenda Tuban ~

seputar sumur kulon terdapat orang-oranng bermain judi.
Jenis judi yang lazim adalah plaseran, bola glundung, dan
upyuk. Mereka sengaja mencari tempat yang nyelempit,
agar tidak diketahui petugas keamanan karena judi adalah
larangan.

Biasanya dulu manganan sumur kulon hari Rabu.
Kamis paginya dilakukan manganan kuburan. Manganan
kuburan dilakukan di kuburan selatan desa dengan acara
doa dan makan-makan seluruh warga. Doa dan makan-
makan dilakukan siang hari. Sejak pagi menjelang acara
doa, semua penduduk desa membersihkan makam
leluhurnya dan berziarah menabur bunga. Sekarang
manganan kuburan diperbesar kegiatannya dengan acara
tahlil dan pengajian. Apalagi di area samping timur
makam berhimpit pagar kini disiapkan bangunan
sederhana untuk acara tahlil dan pengajian.

Bagi warga Klaseman yang telah meninggalkan
kampung halamannya, momen manganan sumur dan
manganan kuburan adalah momen yang dinantikan untuk
pulang kampung. Mereka saling bersilaturahi dengan
kerabat, mengenang masa kecil, dan berziarah ke makam
leluhur.

~ Legenda Tuban ~ 19

Mbah Dipo
Di bagian lain, masyarakat Klaseman memiliki

sesepuh desa. Namanya Mbah Dipo. Makam Mbah Dipo
berada di makam desa. Makam Mbah Dipo terlihat lebih
panjang daripada makam pada umumnya. Nisannya pun
tampak berbeda karena dari batu jenis lama dan berukuran
besar.

Makam Mbah Dipo berdampingan dengan
isterinya. Oleh remaja kampung, nisan Makam Mbah dipo
dan isteri sekarang diberi tanda dengan dibungkus kain
mori putih. Tidak ada ahli yang bisa menjelaskan
keberadaan makam Mbah Dipo ini.

Alkisah kata pemuka agama di sana, Mbah dipo
adalah murid Pahlawan Diponegoro yang memiliki
kesalehan dan jiwa religius yang baik. Cerita ini bergayut
dengan kultur masyarakat Klaseman yang sejak dahulu
lebih nyantri. Pada tahun tujuh puluhan, anak-anak
Klaseman cenderung bersekola MI ketimbang SD.
Budaya agamis sampai sekarang terus berkembang di
dukuh kecil ini dengan banyaknya musala yang dibangun
di setiap RT dan didirikan masjid megah serta gedung
TPQ atas prakarsa Bani Mbah Kaji Usman yang
didukung masyarakat setempat.

20 ~ Legenda Tuban ~

Mitos Pejabat dan Tanah Emas
Orang-orang Klaseman yang mengenyam

pendidikan tinggi dan bekerja di birokrasi pemerintahan,
tak satu pun yang menetap di dusunnya. Mereka
membuka kehidupan baru di kota lain dengan alasan
mendekati kantor tempat mereka bekerja atau kawin
dengan pasangan dari luar Klaseman. Cerita tentang
kesuksesan Dokter Mashar, Setiajid, Makin, Sukono, Siti
fatfiyah, serta yang lain yang tidak tinggal di desanya
dibenarkan banyak sesepuh dukuh itu.

Almarhum Pak Ngasnan, ayah penulis, suatu
malam pernah bercerita begini. Dulu pada zaman agresi
Belanda ada pejabat Belanda yang inspeksi ke Dukuh
Klaseman. Setelah meninggalkan desa, belum juga jauh,
sampai jalan timur desa ke arah Desa Trutup, dokar yang
ditumpangi pejabat itu rusak porak-poranda tanpa sebab.
Sejak saat itu berkembang mitos bahwa pejabat yang
memasuki Dukuh Klaseman bakal tidak mampu bertahan
lama atas jabatannya.

“Mangkane pegawai ra ana sing no desa iki
(Karena itu tidak ada pegawai yang tinggal di desa ini),”
kata Pak Ngasnan waktu itu.

~ Legenda Tuban ~ 21

Sisi lain yang menarik dari dukuh ini adalah ada
mitos bahwa warga yang rumahnya selatan jalan desa
paling selatan berjajar lurus ke arah timur dengan Sumur
Kulon memiliki hoki menjadi pegawai negara atau
pejabat. Mitos ini semakin berkembang setelah kini
Kepala Desa Trutup dijabat Slamet Widodo, keponakan
Sukono, yang juga berumah di selatan jalan. Di selatan
Jalan memang tecatat tempat tinggal silsilah Dokter
Mashar, Sukono, Slamet Widodo, dan kakak Widodo--
Kapri Atmadi--yang kini bekerja di pertamina, dan juga,
Cak Sariban-penulis cerita ini.

Semua mitos hanyalah titen masyarakat. Yang
jelas di selatan jalan Dukuh Klaseman paling selatan kini
berdiri TPQ besar dan masjid indah tempat anak-anak
Klaseman mengaji dan salat berjamaah. Semoga tulisan
ini menginspirasi pembaca betapa pendidikan teramat
penting dalam kehidupan karena orang yang mulia di
dunia ini adalah orang yang memberi atau mencari ilmu.

Tuban, Desember 2020.

22 ~ Legenda Tuban ~

Legenda Desa Sumurjalak
Kecamatan Plumpang

Oleh: Sriyatni

Senja di Sumurgung

Sumurjalak sebuah desa yang terletak di jalan raya
Plumpang-Rengel, kurang lebih 1 km dari kota kecamatan
Plumpang. Desa yang sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani ini cukup tentram dan
asri sebagai ciri khas budaya pedesaan. Udaranya masih
sejuk karena tidak ada pabrik yang berdiri di desa ini.

~ Legenda Tuban ~ 23

Penduduknya sangat rukun dan terkenal suka bergotong-
royong. Sumurjalak mempunyai wilayah yang cukup luas.
Hingga ada 4 pedukuhan di desa ini, yaitu Dusun
Sumurgung, Dusun Jalak. Dusun Tegal Rejo, dan Dusun
Mbangolang. Terjauh adalah Dusun Mbangolang yang
berada di kawasan hutan Desa Sumberagung.

Desa Sumurjalak cukup luas karena anak
keturunan warga Murgung dan Jalak yang membuka
ladang di daerang Tegal Rejo atau Galboro dan
Mbangolang. Walaupun bukan desa terpencil namun,
Sumurjalak termasuk desa tertinggal dibandingkan desa
tetangganya yaitu Desa Plumpang dan Desa Kesamben.
Kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya
pada pendidikan tinggi juga rendah. Ini pengaruh dari
kultur petani yang hanya mengandalkan hasil panen saja.
Itu pun kalau panen, kalau diserang hama akan lain lagi
ceritanya. Jadi pendidikan adalah barang mahal bagi
sebagian besar penduduknya. Mereka juga beranggapan
bahwa untuk apa sekolah tinggi akhirnya juga tidak jadi
apa-apa.

Konon Desa Sumurjalak belum ada, semua masih
berupa hutan dan semak belukar. Namun, sudah ada

24 ~ Legenda Tuban ~

beberapa orang penduduk yang tinggal di kawasan sungai
yang jauh dari desa tepatnya di daerah Njukung atau utara
Dusun Njalak. Sungai kecil itu akan mengering pada
musim kemarau dan cukup menyulitkan masyarakat yang
tinggal di Gal Pomahan namanya.

Suatu hari ada seorang wali melewati Gal
Pomahan. Rupanya sang wali kelelahan dan ingin sejenak
beristirahat di tempat itu setelah melakukan
pengembaraan. Didekatinya salah seorang yang sedang
bekerja di ladang itu.

“Ki Sanak bolehkah kiranya aku meminta seteguk
air untuk menghilangkan dahagaku.” ujar sang wali.

“Maaf Ki Sanak air persediaan kami tinggal
sedikit, kami tidak bisa memberikannya untukmu,
berjalanlah ke selatan mungkin ada air di sana.” jawab
seseorang dari mereka.

“Baiklah kalau begitu Ki Sanak aku akan
melanjutkan perjalanan, terima kasih aku sudah diizinkan
berteduh.”

Sang wali pun melanjutkan perjalanannya ke arah
selatan sesuai petunjuk orang-orang yang ada di Gal
Pomahan itu. Ternyata di sana ada banyak orang yang

~ Legenda Tuban ~ 25

sedang membabat pohon-pohon dan semak-semak untuk
dijadikan tempat tinggal.

“Hai Ki Sanak, bolehkah aku menumpang
istirahat sejenak di tempat ini?” tanya sang wali kepada
orang-orang yang ditemuinya.

“Oh silahkan Tuan, ini minumlah barang seteguk
air dan makanlah sedikit makanan untuk bekalmu
meneruskan perjalanan.” kata tetua masyarakat yang
sedang bekerja itu. Mereka kemudian bercerita sulitnya
mencari air di tempat itu kala musim kemarau tiba.
Mereka membabat hutan untuk membuat pemukiman dan
mencari sumber air. Sang wali mendengarkan dengan
seksama cerita orang-orang yang telah memberikannya
makan dan minum walaupun mereka sedang dalam
kesusahan.

Sang wali terharu mendengar cerita itu.
“Iya Ngger, kalian semua telah menolongku dari
lapar dan haus dalam pengembaraanku, kelak tempat ini
akan penuh dengan sumber air walaupun musim
kemarau.”
Usai berkata-kata sang wali berdiri dan sedikit
menjauh dari kerumunan. Akhirnya beliau menancapkan

26 ~ Legenda Tuban ~

tongkatnya dalam-dalam ke tanah. Tanpa diduga
sebelumnya dari bekas tongkat itu keluarlah sumber air
yang sangat jernih. Seketika orang-orang yang berada di
tempat itu bersungkem kepada sang wali seraya tak henti-
hentinya berterima kasih.

Setelah itu sang wali berpesan,
“Buatlah sumur di tempat ini, kelak kalian akan
tinggal di sebelah selatan sumur ini, jika zaman sudah
ramai beri nama tempat tinggal kalian “Sumurgung”
karena sumur ini akan terus agung atau banyak airnya.
Kalian tidak akan kekurangan air walaupun musim
kemarau.”
Sebelum pergi sang wali menoleh ke arah utara.
Ada pohon kepoh yang dihinggapi oleh banyak burung
jalak. Akhirnya sang wali juga berwasiat sebelum pergi
untuk memberi nama tempat di bawah pohon kepoh itu
“Sumurjalak” karena berada di dekat sumur dan banyak
burung jalaknya.
Itulah cerita tentang Desa Sumurjalak yang
diceritakan secara turun temurun dari zaman dahulu.
Memang benar sumur dan pohon randu raksasa itu masih
ada. Dulu di tahun ’80-an sumur Murgung namanya akan

~ Legenda Tuban ~ 27

semakin melimpah airnya. Air yang melimpah ini
mengalir hingga menjadi sungai yang sangat jernih sekali.
Di sumur ini juga diadakan sedekah bumi setiap tahun.
Dulu setiap sedekah bumi di sumur ini diadakan
pertunjukan wayang. Konon penunggu sumur sangat
menyukai wayang katanya.

Namun sayang, sekarang sumur ini hanya tinggal
legenda. Setelah tahun 1989 ada seorang nenek yang
bunuh diri karena banyak hutang dengan masuk ke sumur
ini. Sumur ini jadi tidak ada yang mengambil airnya.
Sungguh tragis bukan semakin banyak airnya namun,
ketika tidak ada orang yang mengambil airnya semakin
habis.

Setiap orang mengambil air di sumur ini, dulu
selalu memasukkan uang logam ke dalam sumur, ini
sebagai tanda terima kasih katanya. Setelah mengering
uang logam mulai zaman Belanda ada di sumur ini ada.
Karena mengingat cerita legenda sumur ini, akhirnya
masyarakat bergotong-royong membersihkan sumur. Dan
ajaib, setelah sumur ini bersih airnya kembali ada lagi dan
cukup lancar.

28 ~ Legenda Tuban ~

Kemajuan zaman membuat setiap orang
mempunyai sumur di rumah masing-masing. Mereka
yang dulu harus mengangkat air dengan jun atau kaleng
sekarang sudah tidak ada lagi. Akhirnya sumur Murgung
pun sepi. Namun, airnya tetap melimpah. Lagi-lagi petaka
berulang, sumur yang airnya telah kembali deras
dimanfaatkan oleh sebagian orang menggunakan diesel
untuk mengairi sawah. Alhasil sumur ini kembali
berkurang sumber airnya dan sekarang sudah tidak
digunakan lagi. Hanya tersisa bagunan sumur dan pohon
randu gabret penanda sejarah Desa Sumurjalak.

Demikian cerita ini diceritakan oleh Mbah
Kasmijo sesepuh desa Sumurjalak yang telah berusia 72
tahun. Semoga menjadi pengingat betapa kuasa Allah
kepada hambaNya yang selalu berterima kasih dan
bersyukur atas nikmatnya.

~ Legenda Tuban ~ 29

Putri Nglirip Kasih Tak Sampai

Oleh: Oktian Ika Ardhiani

Pada jaman dahulu kala di sebuah desa hiduplah
seorang putri yang cantik jelita. Putri ini bernama Putri
Nglirip. Putri Nglirip adalah putri Adipati Tuban di zaman
sebelum kerajaan Majapahit. Sang Bupati dan istrinya
sangat mencintai putri cantiknya itu. Putri Nglirip tidak
tinggal dengan ayahanda dan ibundanya di kadipaten
tetapi memilih tinggal dengan kakek neneknya di desa.

Kecantikan Putri Nglirip sangat tersohor sehingga
banyak rakyat membicarakan dirinya, termasuk seorang
30 ~ Legenda Tuban ~

lelaki muda rakyat jelata yang menjadi sangat penasaran
dan bertekad untuk bisa bertemu dengan Putri Nglirip.
Lelaki tersebut bernama Joko Lelono. Rasa
penasarannya ini membawa Joko Lelono datang ke desa
sang putri melamar sebagai pengurus kuda di rumah
sang kakek dan akhirnya ia bisa bertemu dengan Putri
Nglirip. Dengan menjadi pengurus kuda sang kakek,
Joko Lelono setiap saat bisa bertemu dengan Putri
Nglirip yang cantik jelita. Menjadi seorang pengurus
kuda, tugas Joko Lelono adalah melayani sang putri
menata kuda saat sang putri ingin berkuda. Karena
seringnya bertemu akhirnya mereka saling jatuh cinta
dan menjadi pasangan kekasih. Karena perbedaan kasta,
percintaan mereka haruslah disembunyikan

Namun, kisah percintaan keduanya akhirnya
sampai juga di telinga sang ayahanda Bupati Tuban.
Mendengar kisah percintaan putrinya dengan rakyat
jelata, sang bupati marah besar. Sehingga sang bupati
berniat membawa putrinya ikut ke kadipaten.

Mendengar hal itu, sang putri menjadi sedih. Ada
keinginan di hatinya untuk melarikan diri dari
pengawasan ayahandanya. Joko Lelono lalu memikirkan

~ Legenda Tuban ~ 31

jalan keluar untuk membawa kekasihnya Putri Nglirip
keluar dari Tuban. Joko Lelono mempunyai rencana
membuat kebakaran kecil di gudang makanan kuda.
Sehingga dengan keributan tersebut, sang putri akan
mudah lolos dari pengawasan prajurit kadipaten.

Akhirnya, malam yang ditentukan tiba. Joko
Lelono membakar gudang pakan kuda. Keributanun
terjadi. Para prajurit pengawal kadipaten fokusnya
teralihkan dan sibuk menghentikan kebakaran sehingga
terlupakan mengawasi keberadaan sang putri.

Akhirnya sang putri bisa keluar dari rumah
kakeknya dengan bantuan Joko Lelono. Mereka berdua
berlari masuk hutan dan menuju kabupaten Bojonegoro.
Joko Lelono berencana menikahi sang putri Nglirip
sesampainya di Kabupaten Bojonegoro dan hidup bahagia
tanpa dikenali siapapun juga.

Sayangnya, dalam perjalanan menuju Kabupaten
Bojonegoro mereka ditangkap oleh pengawal Putri
Nglirip yang ternyata sigap telah mengikuti mereka.
Secara paksa mereka merebut Putri Nglirip dari tangan
Joko Lelono dan membawa Putri Nglirip kembali ke
Tuban. Dengan sisa kekuatan yang tersisa, Joko Lelono

32 ~ Legenda Tuban ~

melawan para pengawal. Namun, karena pengawal Putri
Nglirip jumlahnya sangat banyak, Joko Lelono pun
mengalami kekalahan. Para pengawal membunuh Joko
Lelono di depan Putri Nglirip. Melihat kematian
kekasihnya, sang putri menangis dan berteriak sejadi-
jadinya.

Namun karena tak kuasa melawan banyaknya
pengawalan, Putri Nglirip akhirnya bisa dibawa kembali
pulang ke rumah kakeknya. Hidup Putri Nglirip bagai di
sangkar emas. Hari-harinya dipenuhi dengan air mata.
Sang putri akhirnya bertapa di salah satu goa di balik air
terjun di tengah hutan. Putri yang patah hati ini menutup
diri menolak ditemui siapa pun, termasuk ayah dan
bundanya. Sesekali sang putri muncul tengah mengambil
air di dasar air terjun. Sang putri sangat sedih atas
kematian kekasihnya dan memilih untuk bersemedi di
dalam gua tersembunyi di balik air terjun sampai akhir
hayatnya.

Konon arwah Putri Nglirip sangat sering
menampakkan diri di sekitar air terjun. Masyarakat sekitar
menyebutnya Putri Nglirip. Sehingga air terjun di tengah
hutan tersebut diberi nama AIR TERJUN NGLIRIP.

~ Legenda Tuban ~ 33

Kisah cinta Putri Nglirip dan Joko Lelono ini
memberikan banyak pelajaran moral seperti kesetiaan,
keteguhan hati, dan sikap pantang menyerah dari
seorang wanita. Usaha Putri Nglirip untuk berjuang
mendapatkan cinta sejati menunjukkan betapa harta dan
tahta bukan merupakan tujuan hidup utama seorang
wanita.

Secara kasat mata air terjun Nglirip mengundang
pesona. Akan tetapi di baliknya, ada mitos melegenda
yang masih dipegang warga setempat.

Putri Nglirip akan sangat kecewa bila ada orang
bercumbu rayu di sekitar air terjun. Warga meyakini,
Putri Nglirip akan marah jika rumahnya di sekitar goa air
terjun Nglirip dipakai pacaran. Air Terjun Nglirip
pantangan untuk dijadikan tempat berkencan pasangan
yang tengah dimabuk asmara. Apalagi sepasang calon
pengantin. Dijamin tak sampai 40 hari setelah kencan di
obyek wisata alami itu, hubungan asmara bakal terputus.
Bisa jadi cumbuan di Nglirip ibarat percumbuan terakhir
bagi mereka yang berani melanggar mitos tersebut. Dan
orang Tuban, bagi pasangan kekasih tak berani
menginjakkan kaki di wilayah Air Terjun Nglirip. Turun

34 ~ Legenda Tuban ~

temurun pula, tak satu pun calon pengantin berani
bercumbu rayu di di sana

Terlepas dari benar atau tidaknya mitos tersebut,
yang jelas di lokasi Air Terjun Nglirip ini memang dapat
dirasakan pesona dan aura misterinya. Air Terjun Nglirip
atau dikenal dengan nama Grajagan Nglirip oleh
masyarakat sekitar memiliki ketinggian kira-kira 30 meter
dan lebar 28 meter dengan air yang jernih mengalir begitu
derasnya. Di balik air terjun juga akan ditemui sebuah
goa yang cukup besar yang konon merupakan goa tempat
Putri Nglirip menghabiskan sisa hidupnya dalam
kesedihan. Sumber air terjun ini berasal dari beberapa
sumber air di daerah Hutan Krawak yang berjarak sekitar
3 km dari lokasi dan menyatu di sebuah bangunan dam
yang berada di atas air terjun.

Air terjun Nglirip setiap hari banyak dikunjungi
oleh wisatawan yang tertarik dengan keindahan dan
panorama alamnya yang menawan. Selain itu juga karena
tertarik dengan adanya legenda Putri Nglirip yang begitu
kuat melekat dengan keberadaan wisata ini

~ Legenda Tuban ~ 35

Lanjar Maibit

Oleh: Setyo Pamuji

Sendang Maibit Kecamatan Rengel

Deru nafas yang tersengal-sengal, langkah kaki
terasa berat, wajah letih dan keringat yang mengucur
deras.

“Sebaiknya kita istirahat dulu Mbak,” tawar
pemuda yang juga tak kuasa menahan letih.

“Tapi, aku tidak mau tertangkap oleh sekumpulan
orang-orang yang tak manusiawi itu,” jawab mbaknya.

“Kita sudah jauh dari mereka mbak, lihatlah
sumber mata air itu!, kita bisa minum dan berteduh di

36 ~ Legenda Tuban ~

bawah pohon besar itu.” Ucap sang adik yang disertai
anggukkan mbaknya sebagai tanda setuju.

Kini mereka berdua pun melepas lelah dan beban
hidupnya sejenak hingga terlelap di bawah pohon.
Namun, tiba-tiba datang lelaki tua yang membuat mereka
terbangun dengan suara yang parau.

“Bangunlah!” tidak ada respon dari mereka.
“Bangun! Bangunlah!” akhirnya mereka
terbangun.
“Tidak!” teriak perempuan itu.
“Tolong jangan paksa saya untuk menuruti
kemauan kamu,” ibanya
“Jangan kau sentuh mbak ku!” hardik sang adik
seraya berdiri dan menghalangi lelaki tua itu agar tidak
menyakiti mbaknya.
“Kalian jangan takut, saya akan melindungi kalian
dari orang-orang yang menginginkan mbakmu,” kata
lelaki tua itu sembari tersenyum.
“Bagaimana dia bisa mengetahui tentang
keadaanku?” bisik perempuan itu kepada adiknya.
“Sepertinya si Mbah ini orang sakti mbak,” sang
adik menerka.

~ Legenda Tuban ~ 37

“Saya Bibit, orang memanggil saya mbah Bibit,”
lelaki tua itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh
mereka.

“Saya Sri Panganti dan ini Jaka Grenteng adikku.”
Akhirnya Sri Panganti dan Jaka Grenteng
menerima tawaran untuk tinggal bersama Mbah Bibit.

***
Kabar keberadaan Sri Panganti begitu cepat
sampai di telinga masyarakat. Hal ini karena
kecantikannya sempurna bak bidadari yang mampu
memikat hati para pemuda bahkan lelaki beristri. Banyak
pemuda dari daerah dan luar daerah yang ingin melihat
dan mempersuntingnya. Mereka mencari dengan menuju
rumah mbah Bibit dan menyebut mahbit (yang artinya
rumah mbah Bibit) dan kini dikenal dengan desa Maibit.
“Mbah, saya sama Jaka Grenteng mau mandi di
sendang sekalian mencuci baju,” pamit Sri Panganti.
“Ya Nduk, hati-hati,” jawab mbah Bibit.
“Sekalian saya juga mau pamit dulu mbah, saya
kangen keluarga di Kediri,” Jaka Grenteng ikut
berpamitan.
“Ya Cung, hati-hati.”

38 ~ Legenda Tuban ~

Suasana di sekitar sendang begitu asri, kicauan
burung seolah menggoda kecantikan Sri Panganti. Tidak
sedikit perempuan yang iri dengan Sri Panganti.

“Cantik tetapi suka goda lelaki,” cemooh dari
salah satu perempuan

“Lho, sudah punya suami Sri?” lanjutnya.
“Jangan asal bicara! Ini mbakku!” Jaka Grenteng
mencoba meluruskan.
Seketika perempuan itu pergi meninggalkan
mereka, seusai melakukan aktivitasnya Jaka Grenteng
pamit kepada Sri Panganti untuk berkunjung ke Kediri.
Sedangkan Sri Panganti pulang ke rumah mbah Bibit. Di
tengah perjalanan ada seorang pemuda yang
menggodanya.
“Cah ayu, sini nikah sama mas,” godanya “aku
tresna awakmu” (aku cinta kamu) timpalnya lagi.
“Maaf mas, jangan pegang-pegang,” berontak Sri
Panganti lalu berlari sekuat tenaga, saat berlari Sri
Panganti tidak menghiraukan apapun sehingga kakinya
tersandung batu dan terjatuh.
“Ah…!” teriaknya. Namun, ia kebingungan
karena tubuhnya seolah melayang hingga tersadar bahwa

~ Legenda Tuban ~ 39

ada seorang lelaki yang menahan tubuhnya. Kini empat
mata itu saling bicara penuh tanya, jantung mereka
bergetar kencang.

“Sri…!” teriak pemuda yang mengejarnya yang
membuat Sri Panganti sadar dan mencoba bangun dari
jatuhnya.

“Maafkan saya Tuan,” sambil menunduk malu.
“Kamu tidak apa-apa? Ijinkan saya mengantarmu
pulang,” tanya lelaki itu.
“Kenalkan saya Minak Anggreng anak bupati dari
padangan, kamu siapa?”
“Sri,.. Sri Panganti mas.” sembari tersenyum
malu.

***
Minak anggreng melamar Sri penganti dan mereka
menikah dengan suasana yang begitu meriah. Namun, Sri
terlihat murung karena adiknya tidak datang saat
pernikahannya. Di sudut halaman rumahnya nampak
Minak Anggreng yang bercengkrama dengan beberapa
pemuda, raut muka Minak Anggreng terlihat marah,
kedua alisnya hampir menyatu, kedua tangannya

40 ~ Legenda Tuban ~

mengepal dan langkah kakinya begitu cepat menuju
rumah menemui kekasihnya yang baru di nikahinya.

“Braaak!” bunyi meja yang di pukul oleh tangan
Minak Anggreng.

“Mas ono opo to iki?” (Mas ada apa ini?) Tanya
Sri Panganti.

“Aku tidak percaya kamu! Lebih baik aku pergi!”
bentak Minak Anggreng.

“Pergi kemana mas? Tolong jelaskan yang
sebenarnya,” Sri Panganti masih belum mengerti maksud
dari suaminya.

“Sudah, biarkan aku bertapa untuk mencari
pusaka dan kebenarannya.” Minak Anggreng pergi tanpa
peduli akan air mata Sri Panganti yang tumpah.

Hari demi hari Sri Panganti lalui dengan penuh
tanda tanya akan kepergian suaminya. Yang membuatnya
bersedih kini ia harus menjalani kehidupan seperti masa
lampaunya yaitu dikejar-kejar oleh para lelaki yang ingin
mempersuntingnya. Para lelaki itu menganggap bahwa
Sri Panganti sebagai Lanjar karena ditinggalkan pergi
oleh suaminya sebelum melakukan hubungan suami istri.

*****

~ Legenda Tuban ~ 41

“Sri panganti, ternyata kamu bidadari yang turun
dari langit, kedatanganku bermaksud untuk melamarmu,”
terang lelaki tersebut.

“Saya tidak bisa, saya masih bersuami dan siapa
kamu?” tanya Sri panganti.

“Berani kamu menolak! Aku Dalang Bedoyo dari
desa Maner-Prumbon.”

Seketika itu Sri Panganti berlari dari kejaran
Dalang Bedoyo dan mampu meloloskan diri tepat berada
di desa Beron-Rengel. Di sana Sri Panganti juga menjadi
buah bibir karena kecantikannya dan menarik perhatian
Kebo Glondor.

“Di mana kamu Sri...Sri.” gumam Kebo Glondor.
Namun, salah satu anak buahnya memberitahukan
keberadaan Sri Panganti atau Lanjar Maibit dan menuju
ketempat persembunyiannya.
“Lanjar! Sri Panganti!, cantiknya,” panggil Kebo
Glondor.
Sri Panganti merasa ketakutan dan segera berlari.
Namun, Kebo glondor menghalanginya.
“Maaf, saya sudah bersuami dan tolong jangan
ganggu saya,” jelas Sri Panganti.

42 ~ Legenda Tuban ~

“Apa aku kurang bagus? Kurang kaya? Sampai
kamu menolak cintaku!” marah Kebo glondor.

Sri Panganti segera berlari begitu melihat Kebo
Glondor lengah. Kebo Glondor terus mengejar namun
tidak mendapati Sri Panganti dan kini bersembunyi di
desa Logawe-Sawahan.

“Kurang ajar kamu Sri! Semua lelaki kamu tolak,
awas kalau kamu berani menolakku!” ancam Minak
Jepolo dengan suara sengau ciri khasnya yang ternyata
juga tertarik pada kecantikan Sri Panganti.

“Begitu aku ketemu sama kamu, langsung aku
nikahi kamu Sri... Sri… Cah ayu.” sembari tersenyum
licik.

Minak Jepolo sangat yakin akan mendapatkan Sri
Panganti karena dia adalah penemu cincin Sri Panganti
yang hilang waktu mandi. Pada saat itu Sri Panganti
berjanji akan menikah dengan orang yang
mengembalikan cincinnya.

*****
“Plung” suara air di dekat tempat Sri Panganti
melepas lelah sontak mengagetkannya.

~ Legenda Tuban ~ 43

“Katak atau ikan tadi?” tanyanya dalam hati
sembari melihat-lihat ke pinggiran sungai Logawe.

“Hai… Lanjar! Sri… Sri… ternyata kamu disini,”
kata Minak Jepolo sambil tertawa terbahak-bahak.

Sri Panganti kembali dirundung ketakutan, ia
berharap kali ini ada yang menolongnya.

“Ada apa mencari saya,” tanya Sri Panganti.
“Aku ingin menagih janji kamu, Cah ayu,” sambil
menunjukkan cincin milik Sri Panganti.
“Jangan banyak alasan kamu! Nanti aku berikan
kamu ikan betik sekalian sawah yang luas.”
“Bukan saya ingkar janji, namun saya masih
bersuami.” jelas Sri Panganti.
Segera ia berlari karena ketakutan bahkan kali ini
ia tak berhenti untuk istirahat walau sebentar saja. Berlari
dan berlari hingga berada di wilayah Temayang-Kerek.
“Seharusnya saya pulang ke rumah mbah Bibit,
karena disana saya akan aman.” sesal Sri panganti.
Di daerah Temayang-Kerek ini, Sri Panganti
melihat sesosok pemuda yang mirip adiknya. Ia pun
menghampirinya.

44 ~ Legenda Tuban ~

“Permisi, apa…” kalimatnya terputus sesaat
setelah pemuda itu memalingkan badan darinya.

“Mbakyu…”
“Adikku… Jaka Grenteng, mbak tidak mimpi
kan?” tanya Sri Panganti sambil memeluk melepas
kerinduannya.
Tangis haru warnai pertemuan mereka, belum
sempat bercengkrama mereka dibuat kaget oleh suara
yang dikenali oleh Sri Panganti.
“Wani kowe mblenjani janji, Sri!” (Berani kau
nodai janji, Sri) teriak Minak Anggreng.
“Kangmas Minak Anggreng, saya sudah mencari
kemana-mana,” Kata sri bahagia.
“Ternyata benar kamu selingkuh dengan lelaki
itu,” Minak anggreng menunjuk Jaka Grenteng.
“Mas, ini adikku,” jelas Sri Panganti
“Iya mas, saya adiknya mbak Sri,” Jaka Grenteng
ikut meluruskan kesalahpahaman tersebut.
Minak Anggreng tetap bersikukuh bahwa Sri
Panganti telah berselingkuh dan berniat membunuh
keduanya. Sedangkan Sri Panganti menyanggupi
keinginan suaminya untuk dibunuh.

~ Legenda Tuban ~ 45

“Mas, silakan bunuh kami! Tetapi saya punya
syarat,” iba Sri Panganti.

“Apa!” jawab Minak anggreng
“Setelah kamu bunuh kami, kuburlah kami dalam
satu liang, setelah itu bongkarlah!” jelas Sri Panganti.
“Untuk apa?” tanya Minak Anggreng.
“Jika kepala kami berhadapan, itu benar terjadi
perselingkuhan. Namun, jika kepala kami berlawanan
arah maka kami tidak berselingkuh.”
“Baiklah! Itu semua hanya omong kosong kamu
saja, saya yakin kalian akan terbukti berselingkuh!”
Minak Anggreng dengan keras kepalanya.
Minak Anggreng masih bersikukuh membunuh
istrinya dan Jaka Grenteng lalu melakukan syarat yang
diberikan oleh istrinya.
“Sri… Sri… Sri… maafkan saya yang telah
termakan fitnah dan membunuh kesetiaan kamu.” Tangis
penyesalan Minak anggreng karena terbukti bahwa
istrinya tidak berselingkuh dengan Jaka Grenteng disertai
pembongkaran makam yang menunjukkan arah kepala
mereka berlawanan arah. Minak Anggreng pun
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena tak kuasa

46 ~ Legenda Tuban ~

menahan rasa penyesalan yang membuat istrinya
meninggal.

Hingga saat ini masyarakat desa Maibit menyakini
bahwa perempuan yang berstatus janda lebih cantik
mempesona dibandingkan dengan masa lajang atau
perawannya.

Keterangan:
Narasumber : Mustaim (70an) Ds. Gemblo-Rengel

~ Legenda Tuban ~ 47

Sihir Pesona Kecantikan Bidadari
Dukuh Trowulan

Oleh: Mujihadi
Smp Negeri 3 Bancar Kabupaten Tuban

https://bincangmuslimah.com

Pembaca yang budiman. Apakah Anda pernah
mendengar nama sebuah dukuh yang sering disebut
sebagai Dukuh Trowulan? Pernah mendengarnya, bukan?
Ya, Dukuh Trowulan. Namun, yang saya maksud di sini
bukanlah daerah Trowulan di Mojokerto–tempat yang
diyakini dahulu sebagai daerah ibukota Majapahit yang
48 ~ Legenda Tuban ~

terkenal itu. Sekali lagi, bukan itu yang saya maksud.
Dukuh Trowulan yang saya maksud di sini adalah sebuah
dukuh yang berada di kawasan Desa Bektiharjo
Kecamatan Semanding Kabupaten Tuban.

Baiklah. Jika memang Anda belum mengenal
Dukuh Trowulan, maka saya akan memandu Anda untuk
menemukan daerah yang sebenarnya sangat penting
dalam sejarah peradaban Tuban ini. Dukuh Trowulan ini
berada tidak jauh dari Pemandian Bektiharjo yang
masyhur itu. Letaknya lebih kurang berada di lima
kilometer arah selatan dari pusat Kabupaten Tuban. Jika
Anda berkendara mobil, dari Perempatan Pasar Baru
Tuban–perempatan yang sebelah barat–Anda bisa
mengarahkan kendaraan ke arah selatan melewati Desa
Karang Kecamatan Semanding. Lalu, terus saja ke
selatan hingga nanti melintasi Desa Prunggahan Wetan.
Jika sudah sampai di Pertigaan Sendere, maka
berbeloklah ke kanan. Teruslah menyusuri jalan tersebut
hingga nanti akan menjumpai Pertigaan Panjetan (Desa
Prunggahan Kulon). Nah, sesampainya di pertigaan
tersebut, silakan Anda berbelok ke kiri–ke arah selatan.

~ Legenda Tuban ~ 49

Tidak jauh dari tempat itu–sekitar berjarak dua ratus
meter–Anda sudah sampai di tempat tujuan.

Mengapa Dukuh Trowulan ini dikatakan memiliki
peran penting dalam sejarah peradaban Tuban? Jawabnya,
tentu saja karena alasan bahwa sesungguhnya sudah sejak
dari dahulu kala para leluhur Trowulan telah banyak
memberi kontribusi positif terhadap eksistensi Tuban.
Konon, di dukuh inilah dahulu Ranggalawe telah
mengembangbiakkan, merawat, dan melatih kuda-kuda
andalannya. Kuda-kuda istimewa miliknya semacam Nila
Ambara, Andha Wesi, dan Brahma Cikur menurut cerita
lisan juga dipelihara di dukuh ini. Dari tradisi tutur juga
tercerita bahwa Dukuh Trowulon ini keberadaannya lebih
tua jika dibanding dengan daerah Trowulan di Mojokerto.
Ada cerita yang menuturkan bahwa leluhur orang-orang
Trowulan di Mojokerto sesungguhya berasal dari Dukuh
Trowulan yang ada di Tuban.

Konon, ketika Ranggalawe diminta oleh Raden
Wijaya agar membantu membuka Hutan Tarik– awal
berdirinya Majapahit, maka beliau segera mengerahkan
ratusan tenaga kerja yang diambilnya dari orang-orang
Trowulan, Tuban. Mereka merupakan rombongan besar

50 ~ Legenda Tuban ~


Click to View FlipBook Version