The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SRIYATNI, M.Pd., 2022-05-18 03:24:44

Layout Legenda Tuban

Layout Legenda Tuban

ikan bader, ikan nila, dan kura-kura raksasa. Selain ikan
dan kura-kura, juga ada kelelawar yang hidup menempel
di dinding gua sampai pada kedalaman 700 meter.

Sulalah atau asal usul Goa Ngerong dimulai dari
kisah Raden Arya Bangah. Raden Arya Bangah adalah
bupati Gumenggeng. Dia putra dari Raden Haryo Randu
Kuning dari Kerajaan Pajajaran.

Raden Arya Randu Kuning adalah salah satu putra
dari Raden Haryo Metahun dan cucu dari Prabu
Banjaransari, raja Kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Karena
tidak mau naik tahta, Raden Arya Randu Kuning
mengembara ke arah timur, dengan seizin kakeknya.
Sampai di sebelah utara Kalakwilis (sekarang Kecamatan
Jenu, Tuban), Raden Arya Randu Kuning menghentikan
pengembaraannya, dan kemudian membuka Hutan
Srikandi yang terletak di tepi pantai dekat gunung
Kalakwilis. Lama-lama Hutan Srikandi menjadi sebuah
perkampungan, yang akhirnya menjadi sebuah kabupaten
yang iberi nama Kabupaten Lumajang Tengah dengan
raden Arya Randu Kuning sebagai bupatinya, yang
kemudian bergelar Kyai Ageng (Kyai Gede Lebe
Lontang). Beliau dikaruniai seorang putra bernama Raden

~ Legenda Tuban ~ 101

Arya Bangah, yang mempunyai kesaktian lebih dari
ayahnya serta mempunyai paras yang elok

Akan tetapi setelah ayahandanya mangkat, Raden
Arya Bangah tidak mau diangkat menjadi bupati
Lumajang Tengah. Ia memilih berkelana bersama
pengikutnya ke arah selatan. Sesampainya di kaki
pegunungan kapur Rengel, Arya Bangah dan para
pengikutnya bahu-membahu membuka hutan untuk
dijadikan perkampungan. Siang dan malam Arya Bangah
dan para pengikutnya bekerja keras untuk mewujudkan
cita-citanya.

Berkat kerja kerasnya, wilayah yang tadinya
hanya berupa perkampungan kecil lama-kelamaan
berkembang pesat menjadi sebuah kabupaten yang aman,
sejahtera, dan rakyatnya hidup tenang dan makmur.
Tempat baru itu diberinya nama Kabupaten Gumenggeng.
Raden Arya Bangah memimpim Kabupaten Gumenggeng
dengan arif dan bijaksana sehingga kehidupan rakyatnya
serba kecukupan. Dan karena kearifannya, rakyatnya pun
sangat mencintai dan menghormatinya.

Namun, di tengah kejayaannya, Kabupaten
Gumenggeng mengalami bencana kekeringan yang

102 ~ Legenda Tuban ~

berkepanjangan. Warga kesulitan air karena sumber-
sumbernya mengering. Raden Arya Bangah pun merasa
sedih dengan keadaan rakyatnya yang semakin menderita.
Akhirnya beliau memanggil seluruh punggawa kabupaten
untuk membahas cara menanggulangi bencana
kekeringan supaya rakyatnya tidak semakin menderita.

“Apakah diantara kalian ada yang bisa
memberikan saran untuk mengatasi bencana kekeringan
ini?” tanya Raden Arya Bangah kepada para
punggawanya.

“Mohon ampun, Gusti. Hamba tidak punya saran
apa pun yang dapat hamba sampaikan.” Jawab salah satu
punggawa dengan perasaan takut.

“Demikian pula dengan kami, Gusti..” kata para
punggawa lain dengan serempak.

“Hmmmm...,” Raden Arya Bangah hanya
bergumam dan terdiam. Dia tepekur, tangan kirinya
ditopangkan pada pegangan kursi kebesarannya sambil
memegang kepala, menandakan bahwa dia sedang
berpikir keras.

Setelah beberapa saat, akhirnya beliau berkata,
“umumkan pada seluruh rakyat, bahwa siapa saja yang

~ Legenda Tuban ~ 103

dapat mengatasi masalah kekeringan ini, akan kuberikan
hadiah yang sangat besar!”

“Sendiko, Gusti,” jawab para punggawa
serempak.

Mereka lalu mohon undur diri untuk segera
melaksanakan perintah Raden Arya Bangah. Para prajurit
pun dikerahkan untuk menyampaikan titah sang bupati.
Pengumuman itu disebarkan mulai dari daerah ibukota
kabupaten sampai ke pelosok-pelosok.

Namun, setelah beberapa pekan bahkan berbulan-
bulan, tak ada satu orang pun yang dapat mengatasi
kekeringan yang semakin parah. Pada saat itu tersiarlah
kabar bahwa ada seorang prajurit dari Mataram yang
bernama Ki Jalak Ijo yang sakti mandraguna. Mendengar
hal itu, Raden Arya Bangah segera memanggil Ki Jalak
Ijo untuk membantunya mengatasi masalah kekeringan
yang melanda kabupaten Gumenggeng,

“Ada apakah Gusti memanggil hamba?” tanya Ki
Jalak Ijo.

“Aku memohon bantuanmu untuk mengatasi
kekeringan yang sedang melanda di wilayahku, Kisanak.
Apakah kamu sanggup?”

104 ~ Legenda Tuban ~

“Sanggup, Gusti! Hamba akan berusaha keras
untuk melaksanakan tugas ini,” jawab Ki Jalak Ijo dengan
mantap dan tegas.

“Baiklah, saya bebankan tugas ini padamu. Segala
keperluanmu akan terpenuhi,” titah sang bupati.

“Sendiko, Gusti,” jawab Ki Jalak Ijo.
Demi melaksanakan tugasnya, Ki Jalak Ijo
berjalan ke arah barat. Dia berjalan dan terus berjalan
tanpa mengenal lelah. Setelah berhari-hari, sampailah dia
di mulut sebuah goa. Dia memutuskan untuk beristirahat
sebentar.
Di depan gua, Ki Jalak Ijo bertemu dengan
seorang pemuda yang bernama Idris.
“Permisi, Kisanak. Perkenalkan, nama saya Idris.
Kalau boleh tahu, siapakah nama Kisanak dan berasal dari
mana?” tanya Idris.
“Nama saya Ki Jalak Ijo. Saya berasal dari
Kabupaten Gumenggeng. Saya mendapat tugas dari Gusti
Adipati Arya Bangah untuk mencari sumber air karena
Kabupaten Gumenggrng sedang dilanda kekeringan,”
jawab Ki Jalak Ijo sambil mengamati suasana sekitar gua.

~ Legenda Tuban ~ 105

“Oooo... begitu. Semoga Kisanak dapat segera
melaksanakan tugas mulia itu!”

“Terima kasih, Kisanak. Tempat ini sepertinya
cocok untuk bertapa,” gumam Ki Jalak Ijo sambil
berkeliling mengamati gua.

“Iya, Ki. Bolehkah saya membantu, Kisanak?”
Idris pun menyampaiakan keinginannya untuk ikut
membantu Ki Jalak Ijo.

Dengan senang hati, Ki Jalak Ijo pun mengangguk
pertanda bahwa dia mengabulkan keingginan Idris.

“Saya sudah berjalan sejauh ini tetapi belum
menemukan sumber air yang dapat menyelamatkan
masyarakat Kabupaten Gumenggeng. Marilah kita
memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa dengan
bertapa.”

“Baiklah, Ki. Sebentar, saya akan membersihkan
tempat ini dulu agar nyaman untuk bertapa.” Idris pun
segera membersihkan tempat tersebut dengan alat
seadanya. Setelah bersih, keduanya segera bertapa,
memohon petunjuk apa yang harus mereka lakukan agar
dapat menyelamatkan rakyat Gumenggeng yang dilanda
kekeringan berkepanjangan.

106 ~ Legenda Tuban ~

Dalam pertapaannya, Ki Jalak Ijo mendengar
suara gaib, “Bangunlah, Kisanak! Hentikan
pertapaanmu! Pergilah ke arah utara, ke pegunungan
Ndermawu! Di sana ada seorang empu sakti yang
bernama Empu Supa. Mintalah sebuah pusaka yang
dapat membuka gua ini agar keluar airnya!”

Ki Jalak Ijo pun segera membuka mata dan
membangunkan Idris dari pertapaannya.

“Bangunlah, Idris! Kita harus segera pergi ke
pegunungan Ndermawu!” kata Ki Jalak Ijo sambil
mengguncang bahu Idris dengan pelan.

“Hmmmm..,” Idris bergumam lalu membuka
matanya perlahan, “ada apa, Ki?” tanyanya kemudian.

“Kita harus segera pergi ke Pegunungan
Ndermawu,” jawab Ki Jalak Ijo sambil berkemas.

“Mengapa kita harus ke sana?” tanya Idris.
“Cepatlah berkemas! Nanti kuceritakan di
perjalanan.”
Idris pun tak berani bertanya lagi dan segera
berkemas. Mereka pun berjalan ke arah pegunungan
kapur utara menuju Ndermawu. Berhari-hari mereka
berjalan kaki. Tak jarang mereka harus bersusah payah

~ Legenda Tuban ~ 107

naik turun pegunungan kapur yang sangat terjal. Namun
semuanya tak menyurutkan langkah mereka untuk
mendapatkan pusaka.

Akhirnya sampailah mereka berdua di Ndermawu
dan bertemu dengan Empu Supa.

“Ada apa Kisanak mencari saya?” tanya Empu
Supa penuh selidik.

“Kami datang memohon bantuan Empu. Menurut
petunjuk yang saya terima, hanya Empu yang dapat
menolong kami, menyelamatkan rakyat Gumenggeng dari
bencana kekeringan,” Ki Jalah Ijo menjelaskan maksud
kedatangannya kepada Empu Supa.

“Hmmmm, ternyata Kisanak berdua to yang
dimaksud dengan utusan yang ada di mimpi saya.
Baiklah, sebenarnya saya sudah mempersiapkan
pusakanya. ini, terimalah!” kata Empu Supa sambil
menyerahkan pusakanya.

Ki Jalak Ijo menerima pusaka tersebut dan
berkata, “terima kasih, Empu.” Dia mengamati pusaka
yang baru saja diterimanya. Pusaka itu tidak berupa keris
ataupun senjata lainnya, tetapi berupa teken (tongkat yang
salah satu ujungnya melengkung).

108 ~ Legenda Tuban ~

“Pergunakan teken itu untuk membuka mulut gua.
Tancapkan pusaka ini ke tanah dalam gua lalu cabut!
Lakukan sebanyak tiga kali, maka kalian akan
mendapatkan sumber air yang kalian inginkan,” kata
Empu Supa menjelaskan.

“Baiklah, Empu! Terima kasih dan kami mohon
undur diri untuk kembali ke gua.”

“Silahkan, Kisanak. Hati-hati! Semoga kalian
dapat melaksanakan tugas dengan baik!”

Idris hanya menjadi pendengar selama di rumah
Empu Supa. Dalam hati dia merasa heran, ternyata Empu
Supa sudah mengetahui kedatagan mereka berdua.
Sementara Ki Jalak Ijo tak merasa heran. Karena
kesaktiannya, bukan hal yang aneh jika Empu Supa sudah
mendapat firasat sebelumnya.

Setelah berpamitan dan mengucapkan terima
kasih, Ki Jalak Ijo dan Idris segera melakukan perjalanan
kembali menuju gua di kaki bukit kapur. Sama seperti
perjalanan sebelumnya, mereka harus melalui perbukitan
kapur yang terjal. Dengan tekad yang kuat, sampailah
mereka di depan mulut gua yang dituju.

~ Legenda Tuban ~ 109

“Hah, akhirnya kita sampai di mulut gua ini
kembali, Idris.”

“Iya, Ki. Huh huh...” jawab Idris dengan napas
ngos-ngosan.

“Sebelum kita melaksanakan pesan Empu Supa,
marilah kita berdo’a terlebih dahulu memohon
pertolongan Tuhan.”

Mereka pun bersedekap dan memejamkan mata,
berdo’a kepada Tuhan agar dimudahkan dalam
menyelesaikan tugas. Setelah beberapa lama, mereka
membuka mata, lalu Ki Jalak Ijo menancapkan teken itu
ke dalam tanah, di dalam gua.

Jleb... Crash.. Setelah menancapkan teken, Ki
Jalak Ijo pun segera mencabutnya. Sesuai dengan pesan
Empu Supa, Ki Jalak Ijo melakukannya sebanyak tiga
kali.

Tancapan pertama yang keluar dari lubang yang
dihasilkan bukan air, tetapi ikan palung atau ikan bader
(puntius javanicus). Tancapan kedua, barulah air yang
keluar, dan pada tancapan yang ketiga, munculah
beberapa ekor bulus (kura-kura air tawar) yang membuat
mata air bertambah besar dan menjadi sungai bawah

110 ~ Legenda Tuban ~

tanah. Akhirnya gua tersebut diberi nama Goa Ngerong.
Kata Ngerong berasal dari bahasa Jawa “rong” yang
berarti lubang.

Setelah berhasil mendapatkan sumber air di Goa
Ngerong, Ki jalak ijo menghadap Arya Bangah,
melaporkan keberhasilannya. Arya Bangah sangat
berterima kasih kepada Ki Jalak Ijo yang sudah menolong
rakyatnya dari bencana kekeringan. Ki Jalak Ijo
berpamitan untuk kembali ke Mataram untuk melanjutkan
kewajibannya sebagai seorang prajurit.

Sampai sekarang, air terus mengalir dari dalam
Goa Ngerong dan membentuk sungai. Airnya tidak hanya
mencukupi kebutuhan di Desa Rengel, namun juga
sampai ke beberapa desa, seperti Desa Sawahan, Desa
Sumberejo, dan Desa Ngadirejo.

---ooo0ooo---

Narasumber : Bapak Mustaim, 74 tahun, Dusun Gemblo
Desa Rengel

~ Legenda Tuban ~ 111

Kidung Ngerah Babat Alas
Rayung

Oleh: Budi Wasasih
SDN Plumpang III

Dokumen pribadi. Sumur Njaba saat ini.

Sahabat baca terkasih,
Sebelum membaca legendaku ini, bolehkah
kupinjam suaramu untuk menyenandungkan lagu Desaku
bersama-sama? Resapi syairnya. Dekap syahdunya.
Jangan kau lepas. Tuturkan nadamu dengan memutar

112 ~ Legenda Tuban ~

kembali memorimu tentang keindahan kampung halaman.
Yuk … 1 ..2 .. 3!

Desaku yang kucinta
Pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda
Dan handai taulanku
Tak mudah kulupakan
Tak mudah bercerai
Selalu kurindukan
Desaku yang permai
Bagaimana rasa suaramu? Haru mendayu bukan?
Aku pun begitu. Air mata turut serta meningkahi. Lagu
karya L. Manik di atas selalu saja membawa bergerbong
kenangan akan keindahan alam desa. Aroma rerumputan,
sorak-sorai gembala, suara jangkrik seakan menggema di
telinga. Anak-anak berlarian di bawah hujan. Malam
purnama mereka abadikan dengan permainan. Di malam
gelap kunang-kunang melintas berbagi sinar. Sepenuh
cinta. Seperti cintaku pada desaku tercinta:
NGRAYUNG.
Oh ya, sahabat baca pasti penasaran dengan Desa
Ngrayung, sebuah desa kecil yang melegenda di wilayah

~ Legenda Tuban ~ 113

Kecamatan Plumpang. Sebuah desa yang bertahtakan
pemandangan elok barisan pohon siwalan yang melajur di
sebelah timur desa dari sisi selatan ke utara. Sebuah desa
yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebuah desa yang
menjadi miniatur Indonesia, kata Pak Carik Rasmadi,
SH(narasumber). Inilah legenda Desa Ngrayung. Baca
baik-baik ya!

Legenda Desa Ngrayung bermula dari sungai yang
membujur di sisi utara Desa Plumpang. Di tepian sungai,
di tanah alluvial itulah tumbuhan rayung tegak
berkecipak membentang membentuk hutan. Tumbuhan
dari kelompok plantae ini begitu memikat. Rumput buluh
yang menahun, dengan akar tinggal yang menjalar
memanjang dan batang yang tegak, kekar, pejal tak
berongga dengan panjang 200 - 400 sentimeter. Daunnya
berpelepah keunguan. Bunga-bunganya terkumpul dalam
malai dan cabangnya bertandan, berambut panjang
berwarna putih. Rayung cukup tahan dengan kekeringan.
Pun tetap kokoh diterpa limpahan air. Mudah dan lekas
tumbuh membuat rayung masuk kelompok tumbuhan liar
yang tangguh untuk dimanfaatkan.

114 ~ Legenda Tuban ~

Saat masih muda, rayung bisa dijadikan sebagai
pakan ternak. Parutan tunasnya yang dicampur air dapat
dijadikan obat tetes mata. Pucuk atau umbutnya dapat
direbus untuk sayuran. Begitu juga dengan kuncup bunga
majemuknya yang masih sangat muda biasa dimasak
sebagaimana tebu telur. Daunnya yang dikeringkan dapat
digunakan untuk membuat atap. Batang dan bagian-
bagian lain bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
kertas(pulp).

Begitulah pesona rayung. Ia menjadi sedemikian
menjanjikan untuk menjadi pembuka kehidupan. Maka
tak heran jika banyak orang berdatangan di hutan tempat
rayung banyak tumbuh. Ya. Hutan Rayung. Atau lebih
dikenal dengan Alas Rayung. Tersebutlah seorang laki-
laki tua bernama Pak Moro. Orang tersebut berasal dari
pedukuhan Juwet, Desa Magersari. Dialah orang pertama
yang datang di Alas Rayung. Ia membabat sebagian kecil
tumbuhan rayung dan digunakan untuk membuat rumah.

Kemudian datanglah orang kedua. Ia bernama Ki
Surobonto dari Dukuh Ngareng, Desa Jatimulyo. Ia pun
turut membabat Alas Rayung. Dengan kerja keras ia
mendirikan huma kecil untuk tempat tinggal. Hari demi

~ Legenda Tuban ~ 115

hari. Waktu terus berlalu. Ketenteraman dan
kesejahteraan Ki Surobonto yang tinggal di Alas Rayung
terdengar oleh para tetangganya dari desa asal. Maka
datanglah seorang laki-laki bersama segerombol
keluarganya. Karena datang bergerombol maka laki-laki
tersebut akhirnya dipanggil dengan nama Mbah
Gerombol. Bersama keluarganya beliau pun membabat
Alas Rayung. Tempat tinggal dengan atap daun rayung
ramai-ramai mereka dirikan. Ladang untuk bercocok
tanam pun mereka buka.

Bulan berlalu. Tahun berganti. Mentari terus
menyinari Alas Rayung. Kehidupan Alas Rayung mulai
tampak. Bersemarak. Angin selatan membawa Pak
Rodjo, Pak Tosari, dan Pak Gebyok ke alas yang
memakmurkan itu. Mereka dari Desa Plumpang. Mereka
pun sama dengan pendahulunya. Babat hutan dan
membuka ladang serta nyaman bertempat tinggal.

Lalu di suatu senja yang indah. Teduh sentosalah
alam semesta. Gemericik air sungai mengalirkan irama.
Senada gemulai daun-daun rayung. Sedari pagi tampak
kelebat burung-burung prenjak beterbangan mengitari
hutan. Riang kepaknya membawa kabar. Kabar akan

116 ~ Legenda Tuban ~

kedatangan seorang suci dari Ngimbang Suwirek,
Madura. Kiai Amatdari namanya. Kedatangan beliau
disambut sukacita oleh orang-orang yang lebih dahulu
mendiami Alas Rayung. Kiai Amatdari terkesima melihat
antusias warga. Hingga Kiai Amatdari membulatkan hati
untuk tinggal di Alas Rayung sampai akhir hayat.

Dengan rendah hati Kiai Amatdari mengajak
warga untuk beribadah kepada Allah swt. Kiai Amatdari
memberi petuah bahwa bagaimana pun panjang usia yang
diberikan kepada manusia jika tidak bertakwa apalah
gunanya. Pembekalan akan iman, Islam, dan ihsan pun
beliau terapkan dengan penuh takdhim. Demikianlah
cahaya tauhid warga Alas Rayung terang benderang
membelah angkasa raya. Dakwah sang Kiai pun menguar
ke mana-mana. Banyak warga desa lain berdatangan ke
Alas Rayung. Ingin belajar tentang Islam. Ingin dekat
dengan sang Kiai. Dan akhirnya memperoleh
ketenteraman tinggal di Alas Rayung.

Waktu terus bergulir. Masa indah bersejarah tiba.
Pagi itu Alas Rayung diguyur hujan. Padahal musim
sedang kemarau. Warga berdiam diri di gubuk mereka
masing-masing. Para perempuan sedang memasak di

~ Legenda Tuban ~ 117

pawon. Anak-anak mereka menghangatkan badan di
depan tungku. Sesekali tangan mereka turut memasukkan
janggel dengan cuthik kayu carang. Para lelaki pun tidak
berpangku tangan. Mereka menganyam daun-daun
rayung kering untuk dibuat tikar. Aroma singkong rebus
menyeruak memenuhi Alas Rayung. Para warga
mensyukuri karunia Tuhan. Atas Alas Rayung yang
subur. Atas lebatnya hasil ladang mereka. Melimpah
untuk mengganjal perut dan melangsungkan hidup.

“Hooooiiiii….”
Suara lantang Ki Surobonto menggema
memanggil para tetangga yang rumahnya tidak begitu
jauh.
“Ada apa, Ki?” jawab Pak Tosari keluar dari
rumahnya. Waktu itu hujan sudah reda dan matahari
begitu cerah bersinar.
“Lihat ke atas,” teriaknya lantang. Tangannya
yang kekar teracung ke langit. Mendengar teriakan Ki
Surobonto, tetangga yang lain ke luar. Begitu juga dengan
Kiai Amatdari. Melihat Kiai Amatdari ke luar rumah, Ki
Surobonto berlari mendekati.

118 ~ Legenda Tuban ~

“Kiai, ada kluwung di atas Alas Rayung,” ujarnya
dengan napas memburu. Semua warga membuntuti.

“Subhanallaaaah … itu kuasa Tuhan, Ki! jawab
Kiai Amatdari sembari membuka kedua tangannya dan
mengusapkan ke wajahnya. Semua warga turut
melakukan hal yang sama seperti sang Kiai.

Tiba-tiba dari arah timur dan barat banyak orang
berdatangan ke Alas Rayung. Mereka adalah para
orangtua yang membawa serta anak-anaknya. Tampak
keringat mereka mengucur setelah jauh berjalan kaki dari
desanya masing-masing. Sesampai di hadapan Kiai
Amatdari, mereka bersimpuh dan menghaturkan sembah.

“Kiai, bolehkah kami ikut ngerah babat Alas
Rayung?” pinta mereka dengan suara memohon. Kiai
Amatdari memandang mereka dengan sinar kasih sayang.
Sang Kiai tersenyum dan menoleh kepada Ki Surobonto
dan lainnya.

“Bagaimana menurut kalian? Apa permintaan
mereka kita luluskan?” tanya Kiai Amatdari.

“Boleh saja, Kiai. Menurut wejangan Kiai, kita
harus saling mengasihi. Hari ini mereka ke sini mau
mencari kehidupan. Mudah-mudahan atas kemurahan

~ Legenda Tuban ~ 119

Tuhan, Alas Rayung akan menjadi tempat kami bersama
sampai akhir hayat, Kiai. Seperti keteguhan Kiai di sini.
Benar begitu, Kawan-kawan?” Ki Surobonto menoleh
kepada warga lainnya.

“Benar, Ki. Kami sangat setuju. Kiai,” kata Pak
Tosari diiringi anggukan semua warga.

Para pendatang tersenyum lega. Mereka diterima
dengan tulus. Kiai Amatdari menengadah. Mata hatinya
memanjat keberkahan. Lalu sang Kiai mengelus
jenggotnya dan khidmat berucap.

“Para warga tercinta, seiring bertambahnya warga
yang ngerah babat Alas Rayung dan tinggal di sini, maka
sudah tiba saatnya hutan ini menjadi sebuah
perkampungan. Besok kalau ada keramaian zaman,
kunamakan desa ini … Desa NGRAYUNG.”

Seluruh warga terkesima dengan apa yang
diucapkan oleh Kiai Amatdari. Pandangan takjub tertuju
ke Kiai. Lalu Sang Kiai melanjutkan perkataannya.

“Ngrayung berasal dari kata Ngerah Babat Alas
Rayung. Meskipun wilayahnya tidak seluas desa-desa
lainnya,tetapi atas kuasa Tuhan yang Maha Pengasih dan
Penyayang, Ngrayung akan menjadi sebuah desa yang

120 ~ Legenda Tuban ~

permai dan sentosa. Di desa kita ini nanti akan banyak
bangunan-bangunan penting yang didirikan. Begitu juga
dengan keturunan-keturunan kalian. Mereka nanti akan
menjadi orang-orang cerdas dan pekerja keras. Mereka
akan terampil dan berani tampil di depan. Mereka akan
menjadi insan-insan yang berguna bagi desa dan juga
bangsanya.”

Semua warga serempak menadahkan tangan dan
berteriak, “Aamiin.. aamiin.. aamiin ya robbal alamiin …”

Hari itu, almanak tepat di ujung Agustus 1757.
Pelangi di langit Desa Ngrayung berkemilau bersama
gesek indah daun-daun rayung. Lalu tanpa dikomando
seluruh perempuan segera ke dapur masing-masing.
Mereka membuat tumpeng-tumpeng sederhana. Barisan
tumpeng itu digelar pada malam harinya. Saat cahaya
perak bulat nan elok tersenyum di langit. Manakala kesiur
angin malam menumbuhkan air mata syukur atas hari
bersejarah berdirinya Desa Ngrayung.

Lima hari(sepasar) kemudian diadakalah rembug
desa untuk memilih seseorang yang mampu memimpin
Desa Ngrayung. Suara bulat tertancap kepada Pak Tosari.
Maka dinobatkanlah Pak Tosari sebagai lurah pertama

~ Legenda Tuban ~ 121

yang disebut dengan Dalem Tosari. Lurah berikutnya
berturut-turut adalah Pak Gebyok, Pak Badjing, Pak
Ridin, Pak Dongkol Kuat, dan Pak Wongsodikromo
Katiman.

Ada hal menarik saat kepemimpinan
Wongsodikromo Katiman. Pada saat itu masa penjajahan
Jepang. Semua penduduk yang berjenis kelamin laki-laki
disuruh memotong rambut sampai bersih hingga gundul.
Lurah Wongsodikromo memerintahkan warga desa agar
mengikuti aturan Jepang itu. Tetapi sejatinya beliau
sangat tidak setuju. Betapa beliau sangat tidak suka jika
orang-orang Jepang itu dengan seenak perutnya
memegang-megang kepala plontos warganya. Ia geram
dengan polah tingkah Jepang, karena menurutnya anggota
tubuh yang lebih dulu keluar dari rahim ibu adalah kepala.
Maka itu sangat tidak sopan apabila kepala dibuat mainan.
Lalu hari-harinya penuh dengan pergolakan batin. Singkat
cerita akhirnya beliau mengundurkan diri dari jabatannya.
Ia tak sudi menjadi budak Jepang. Bagi beliau kehormatan
di atas segalanya.

Untuk mengisi masa kekosongan kepemimpinan
maka diangkatlah Pak Urip sebagai lurah. Walaupun Pak

122 ~ Legenda Tuban ~

Urip tidak tercatat sebagai lurah definitif, tetapi beliau
berjasa dalam menyelamatkan para tentara Republik
Indonesia dengan mengelabui penjajah.

Lurah berikutnya adalah Pak Baris Trunodisastro.
Lurah ketujuh yang diangkat pada tanggal 25 Mei 1945
ini berkarakter sangat disiplin. Apabila saat bulan
merdeka tiba, maka beliau berkeliling desa. Jika ada salah
satu warga yang tidak memasang bendera merah putih di
depan sisi kanan rumahnya, maka beliau tak segan-segan
untuk berkata keras pada warga tersebut agar segera
memasang bendera merah putih. Jiwa nasionalisnya
sangat tinggi. Saat bersapari dari rumah ke rumah warga
desanya, beliau memerintahkan untuk memasang foto
presiden dan wakil presiden, dengan komposisi gambar
burung garuda dan Pancasila di atasnya.
Kepemimpinannya banyak dikenang oleh warganya.
Penulis mengenal beliau dalam kemasan paket pemimpin
yang lengkap. Pintar, disiplin, dekat dengan warga, suka
seni budaya, dan suka bercerita. Saat sedekah bumi Mbah
Guru, beliau bercerita kepada warganya. Saat itu
gendhing tayub masih mengalun.

~ Legenda Tuban ~ 123

“Warga desaku, ketahuilah bahwa hari ini sedang
diadakan sedekah bumi Mbah Guru. Dulu setelah
terjadinya Desa Ngrayung, ada seorang warga bernama Ki
Surobonto membersihkan lokasi di sebelah utara, ya di
sini ini. Pada saat itu area ini disebut Kayen. Setelah
bersih, beliau mendirikan sebuah padepokan untuk tempat
berkumpulnya para pemuda dan orang tua, yang
digunakan musyawarah untuk menghitung hari waktu
tanam dan punya hajatan atau yang disebut dengan
pangumpuling ilmu kejawen.”

Gendhing tayub masih mengalun. Mbah Inggi
Baris seksama meneruskan cerita.

“Selanjutnya acara kumpulan tersebut dibuat
selapanan atau 36 hari sekali, yaitu setiap hari Kamis
Pahing. Seperti sekarang ini. Tidak hanya ilmu tanam dan
hajatan yang dibahas. Tetapi meluas sampai dengan
bimbingan ilmu panguwating raga/kanoragan. Ilmu bela
diri yang dimaksud adalah untuk membentengi diri karena
pada masa itu masih dalam situasi melawan penjajah
Belanda. Kepiawaian Ki Surobonto sebagai guru dalam
gladen kanoragan terkenal sampai ke manca desa. Suatu
hari datanglah seorang kakek tua. Kedatangannya

124 ~ Legenda Tuban ~

bertujuan untuk menguji kemampuan Ki Surobonto. Si
Kakek ini berpura-pura minta seteguk air untuk
menghilangkan rasa hausnya. Ki Surobonto berkata,
“Kamu akan saya beri air kalau kamu bisa mengalahkan
saya.” Si Kakek berkata, “Sebetulnya aku tidak suka
berkelahi, tetapi demi kehausan tenggorokanku ini untuk
seteguk air, aku siap.” Maka terjadilah perkelahian.
Bertubi-tubi Ki Surobonto menyerang si Kakek. Namun
si Kakek tidak pernah melawan. Ia hanya menghindar,
Selalu menghindar hingga Ki Surobonto kehabisan
tenaga. Ki Surobonto menyerah kalah dan minta
perkelahian dihentikan. Ia berikan secawan air untuk si
Kakek dan berkata kepada murid-muridnya, “Wahai
muridku, kalian sudah tahu bahwa aku, gurumu, telah
kalah dengan kakek ini. Ilmuku masih belum ada apa-
apanya. Maka itu kuperintahkan kalian untuk memanggil
orang ini dengan sebutan MBAH GURU.”

Demikianlah kisah Mbah Guru yang dikisahkan
oleh Mbah Inggi Baris. Ketika itu aku masih berusia 7
tahun, sedang asyik menunggu jodang kakek yang
kebetulan saat itu menjabat sebagai carik atau sekretaris
desa.

~ Legenda Tuban ~ 125

Punden Mbah Guru yang berada di tengah
persawahan itu hingga kini masih dimangani(disedekahi
bumi). Yang menjadi ciri khas manganan Mbah Guru
adalah diadakan tiap tahun sekali di hari pasaran Kamis
Pahing. Selain itu, selalu ada persembahan langen tayub.
Suatu waktu, karena suatu hal, saat manganan tidak ada
langen tayub. Entah sugesti atau apa, yang pasti saat itu
Ngrayung mengalami puso. Seluruh tanaman gagal
panen. Tetapi menurut penulis itu hanya kebetulan saja.
Toh seperti sekarang ini, saat Mbah Guru tidak dimangani
karena pandemi, melimpah juga panen warga desa kami.
Semoga ini menjadi petunjuk bagi warga desa kami
bahwa Allah lah yang mengatur segalanya.

Oh ya, ada satu hal yang ingin kuceritakan tentang
punden Mbah Guru. Puluhan tahun yang lalu, manakala
tahun 1982, saat melintas di sisi timur punden Mbah Guru,
aku melihat seekor ular naga membujur di pematang.
Karena kaget, aku menjerit. Tapi jeritanku hanya dapat
kudengar sendiri. Rantang nasi yang akan kukirim ke
Bapak di Tegal Krecuk pun jatuh. Keringat dingin
mengucur deras membasahi tubuh. Ingin aku berbalik ke

126 ~ Legenda Tuban ~

rumah dengan berlari sekencang-kencangnya. Baru mau
kuangkat rantangku, tiba-tiba ada suara di belakangku.

“Ndhuk, ada apa kamu kok gemeteran? Kok
keringatmu mengucur?” tanya Kang Sanimo, laki-laki
dewasa yang akan pergi ke tegal juga.

“Itu, Kang. A…a..ada ular. Besaaar sekaliiiii ….
hiiii …,” aku berjingkat ke belakang tubuhnya.
Berlindung.

“Mana?”
“Itu, Kaaaang. Di depan sampean,” telunjukku
tepat menunjuk ular naga yang berbaring tenang di depan
Kang Sanimo.
“Wah, Ndhuk. Ternyata Kang Sanimo tidak bisa
melihat ular naga itu. Hanya kamu yang bisa melihat.”
Aku heran. Kenapa begitu ya. Lalu lirih kudengar
Kang Sanimo berucap Summun bukmun umyun fahum la
yarjiuun. Sebanyak tiga kali. Bersamaan dengan kalimat
ketiga ucapannya ular naga itu bergerak pelan ke barat.
Sisiknya yang mengkilat tertimpa sinar matahari siang,
indah sekali. Lurik-lurik. Laksana batik. Lama kutatap
keindahannya. Aku seperti terbawa mimpi.
“Ndhuk, apa ular itu sudah pergi?”

~ Legenda Tuban ~ 127

“Sudah, Kang. Dia ke barat, Kang. Menuju
punden.”

“Ya sudah, nggak usah takut ya. Ayo kuantar
sampai ke Tegal Krecuk.”

“Iya, Kang.”
Kami berjalan beriringan. Aku di depan. Kang
Sanimo di belakang. Baru sepuluh langkah, aku
mendengar ada orang sedang bluron. Suara laki-laki.
Banyak. Ramai. Bersendau-gurau. Aku berhenti. Kutoleh
ke kiri. Ke arah sumber suara. Sebuah empang kecil di
sebelah timur punden. Tampak kering. Tidak terlihat ada
sedikit pun air. Karena memang musim sedang kering.
“Ada apa lagi, Ndhuk?” tanya Kang Sanimo.
“Kang, ada banyak laki-laki sedang mandi. Di
situ. Tapi aku hanya mendengar suaranya saja,” tanganku
menunjuk. Kang Sanimo memandang sekilas.
“Kang Sanimo hanya mendengar suaramu,
Ndhuk.”
Kupandang Kang Sanimo. Kang Sanimo tidak
mendengar juga? Aku membatin. Lalu tangannya meraih
lenganku. Lekat.

128 ~ Legenda Tuban ~

“Ayo, Ndhuk. Kita teruskan berjalan. Apa yang
kamu lihat dan dengar di sini akan menjadi cerita di suatu
hari nanti. Saat kamu menjadi seorang guru. Bukankah
kamu ingin menjadi guru?”

Wah, Kang Sanimo kok tahu cita-citaku. Apa
Tarsum, adiknya, yang bercerita? Saat aku menjawab
pertanyaan dari Bu Tik, guru kelas 4-ku yang
menanyakan cita-citaku dan aku menjawabnya ingin
menjadi guru? Aku dan Tarsum memang sekelas.

Aku termangu. Tak mengerti ucapannya kala itu.
Aku baru mengerti. Saat ini. Saat kutulis cerita ini. Saat
banyak warga Desa Ngrayung menjadi guru. Konon,
karena ada Mbah Guru di desa kami. Wallahu a’lam bish-
shawab.

Dokumen pribadi. Punden Mbah Guru

~ Legenda Tuban ~ 129

***
Selain Mbah Guru, Ngrayung juga punya Sumur
Njaba. Dulu, sumur ini dibuat oleh Mbah Gerombol.
Letaknya di luar pemukiman warga. Maka itu dinamakan
Sumur Njaba(sumur luar). Sumur ini menjadi sumber
penghidupan untuk warga Desa Ngrayung bagian tengah
dan utara. Sama dengan Mbah Guru, tiap tahun Sumur
Njaba ini juga dimangani. Ada langen tayubnya. Dan aku
selalu suka dengan gending Kecik Manila kesukaan Mbah
Inggi Baris. Sebuah gending nasihat penyemangat yang
ditujukan untuk kaum muda. Begini penggalan liriknya:
Kecik-kecik, kecike manila, ya Mas ya
Prayogane tumrap para mudha
Mbesuk dadi, Mas, wong kang dipercaya
Sing becik dienggo, dibuwang barang sing ala
Dan Mbah Inggi Baris ngebutne sampur.
Melangkah perlahan di tengah palagan tayub. Gerakan
beksannya luwes. Khas seorang pecinta seni. Lalu
beberapa pemuda mengepung Mbah Inggi Baris. Dengan
sampur dan beksan yang guyub. Laki-laki lainnya berdiri
di luar arena tayub dan memberi tepukan hangat untuk
sang pemimpin. Sebuah pemandangan yang mampu

130 ~ Legenda Tuban ~

membuatku kagum. Sekagum-kagumnya. Hingga kini.
Setiap kali ada manganan, kenangan beksan itu sungguh
dalam di hati.

Begitulah Ngrayung. Kidung Ngerah Babat Alas
Rayung terus mengalun. Dengan luas wilayah hanya 100
ha, banyak bangunan penting berebut didirikan di
Ngrayung. Sebut saja Stasiun Plumpang. Namanya
Stasiun Plumpang. Tetapi letaknya di Ngrayung. Sama
juga dengan Koramil. Koramil Plumpang pun ada di
Ngrayung. Lalu SMPN 1 Plumpang yang terletak di
belakang Koramil. Pun SMP PGRI Plumpang. Kala itu.
Lalu sekarang menjadi KPP Universitas Ronggolawe
Tuban. Begitu pula tempat peribadatan. Selain masjid, ada
gereja di desa kami. Banyak warga desa tetangga yang
datang ke desa kami untuk beribadah. Oh ya, ada juga
Kantor Perhutani di Ngrayung. Di sebelah utara Perhutani
ada TK Tunas Rimba. Sebuah TK tua yang pertama kali
didirikan di wilayah Kecamatan Plumpang.

Ah, riuh berserinya desa kami. Sama seperti yang
dikatakan Kiai Amatdari. Sekian ratus tahun lalu. Dari
perkataannya itu pula akhirnya membawa keberkahan.
Keberkahan menemukan makam sosok yang telah

~ Legenda Tuban ~ 131

memberi nama Desa Ngrayung. Hal ini berawal saat Pak
Carik Rasmadi SH menuturkan, bahwa sebelum Mbah
Inggi Baris wafat, beliau sempat bercerita dan berpesan.

“Rik, dulu kata Mbah Buyut saya ada seorang Kiai
dari Madura datang ke sini. Namanya Amatdari. Tapi
beliau terkenal dengan nama Bujuk Rayung atau Sunan
Rayung bernama Sayyid Ahmad Badri Martolaksono.
Tolong kamu cari kuburannya. Beliau wafat pada 16
Djumadil Ula tahun 1759 Masehi.”

Sekian puluh tahun lamanya pesan itu baru
mampu diemban oleh Pak Carik Rasmadi. Dan pada
tanggal 26 Juli 2019, setelah bekerja sama dengan
pemerintah kabupaten yang diwakili oleh pembuka situs
makam, yaitu Romo KH. Ahmad Agus Abdullah Rubaid,
makam Kiai Amatdari ditemukan di tengah pemakaman
desa. Setelah ditelusuri ternyata Sayyid Ahmad Badri
Martolaksono merupakan keturunan ke 32 dari silsilah
sayyidatuna Fatimah Az-Zahro binti Rosulullah
Muhammad saw. Subhanallaaaah. Maha Suci Allah
dengan segala ketetapan-Nya. Banyak orang berdatangan
untuk berziarah ke makam Sunan Rayung atau Bujuk
Rayung. Bujuk adalah kata yang berasal dari Madura.

132 ~ Legenda Tuban ~

Bujuk mempunyai arti seseorang yang sudah meninggal
dan menjadi pemandu dalam mengerjakan ibadah para
warga desa. Sebagai bentuk rasa syukur, pemerintah desa
pun menggelar haul tiap tahun.

Dokumen pribadi. Makam Sunan Rayung Sayyid Ahmad Badri
Martolaksono.

Sahabat baca terkasih.
Demikianlah sekelumit kisah legenda dari Desa
Ngrayung. Desa yang amat kucinta. Di desa inilah tumpah
darahku. Di sinilah kuhirup udara pertama yang meritme
cinta hingga hari ini. Selamanya. Dan kidung cinta itu
terus merelung jiwa. Di sinilah tiap hari berlama-lama
kunikmati sunrise, pemandangan indah mentari pagi
menerobos terasering Nggenengan dengan latar ratusan

~ Legenda Tuban ~ 133

pohon siwalan yang berbaris rapi di atasnya., yang
menjadi pagar betis wilayah desa kami. Di bawah
terasering, hamparan tetumbuhan pangan tersaji. Pun di
samping Mbah Guru, berkelebat daun-daun jati sebagai
pembungkus nasi pecel maupun nasi kuning. Wah, sedap
nian!

Terima kasih tak terhingga untuk Bapak Carik
Rasmadi, SH, yang telah berkenan memberi referensi
yang cukup untuk penulisan legenda Desa Ngrayung.
Sembah sujud untuk almarhum Mbah Carik Ramdji,
kakekku, yang mengajakku menenun cerita di masa
kecilku. Salam takjub untuk almarhum Mbah Inggi Baris
yang telah memukauku dengan yom pemimpin sejati.
Ketahuilah, Mbah, mentari Desa Ngrayung lebih terang
bersinar karena suri teladan para pendahulu. Begitu pula
dengan almarhum Pak Inggi Kabdi dan Paklik Inggi
Hartono, SE, yang telah mengemban sebagai kepala desa
kedelapan dan kesepuluh, yang kini telah berpulang dan
berkumpul bersama putra-putra terbaik yang dimiliki
Ngrayung. Salam takzim untuk Pak Inggi Suyono sebagai
kepala desa kesembilan.

134 ~ Legenda Tuban ~

Selamat berjuang untuk Pak Inggi Edi Susanto,
kepala desa kami saat ini. Bersama sepenuh cinta kami
ber-2.195 jiwa, selamat menjadikan Ngrayung lebih baik
lagi. Pun terima kasih kepada semua perangkat yang telah
setia mendampingi. Semoga Allah SWT senantiasa
memberi keberkahan dan kebahagiaan untuk Desa
Ngrayung. Aamiin.
Salam Kidung Ngerah Babat Alas Rayung

Bumi Bujuk Rayung
Ngrayung, 6 Januari 2021

Sekretaris Desa Ngrayung 135
Rasmadi, SH
(narasumber)

~ Legenda Tuban ~

Kisah Brawijaya V

Oleh: Agung Priyo Pidekso

Makam Brawijaya V (https://www.perlupiknik.com)

Bicara tentang masa lalu Kabupaten Tuban tidak
lepas dari bicara tentang Islam di Tanah Jawa. Kadipaten
Tuban memang dulu menjadi salah satu daerah tujuan
bersandar para Gujarat dan penyebar agama Islam di
Tanah jawa. Salah satu daerah yang menjadi pusat
pendaratan dan basis perjuangan para Auliya’ terdahulu
adalah sepanjang Jalan Hayam Wuruk Perempatan Kapur
Kelurahan Gedongombo..
136 ~ Legenda Tuban ~

Hingga saat ini, banyak makam-makam Auliya’
yang masih diziarahi umat Islam. Seperti Syeh Maulana
AL-Magrobi, Seyh Siti Jenar, Seyh Atas Angin, Sunan
Bejagung Lor, dan Sunan Bejagung Kidul. Selain 5 (lima)
pejuang tersebut, masih banyak lagi para pejuang Islam
yang dimakamkan di Bumi Ronggolawe.

Salah satunya adalah makam Brawijaya V yang
merupakan raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-
nasakah Babad dan serat Tanah Jawa. Makam ini berada
di daerah Gedongombo yang berjarak sekitar 3km arah
selatan dari pusat kota Tuban.

Sebenarnya mudah untuk menuju ke makam
Brawijaya V ini. Walau berada dekat dengan
perkampungan, tetapi karena tidak adanya papan nama
sebagai penunjuk arah menuju ke lokasinya dan letaknya
yang agak tersembunyi , membuat kita harus mau
bertanya pada warga setempat.

Makam Brawijaya V berada di kawasan
pemakaman warga dengan melewati sebuah bangunan
gapura. Makam itu berjarak sekitar 100 meter dari gapura
dan berada dalam naungan pohon beringin yang besar dan
rindang.

~ Legenda Tuban ~ 137

Cungkup Makam Brawijaya V ini tampak cukup
sederhana bagi seorang raja kerajaan Majapahit, kerajaan
besar di Pulau Jawa pada masa lampau. Hanya terdapat
ornamen berbentuk sepasang naga yang mengapit pintu
masuknya.

Di dalam bangunan cungkup makam terdapat
makam Brawijaya V yang berselubung kain kelambu.
Ada banyak taburan bunga setaman di makam itu.
Ornamen payung kebesaran ala kerajaan menghiasi di
depan makam.

Menurut Mbah Dullah, "Untuk Brawijaya V
memang dimakamkan di Tuban. Sedangkan makam
Brawijaya I, Brawijaya II dan Brawijaya III ada di
Mojokerto dan makam Brawijaya IV ada di Rembang.
Sedangkan untuk Brawijaya V ini adalah sosok auliya’
yang sangat di hormati dan di segani di kerajaan
majapahit. Prabu Brawijaya adalah seorang tokoh yang
sangat besar jasa pengabdiannya bagi kejayaan Kerajaan
majapahit. Patut diduga bahwa beliau termasuk salah
seorang dari sekian banyak waliyullah yang pada zaman
kerajaan majapahit. Tempo dulu yang telah dipersatukan
oleh Allah dari berbagai penjuru Nusantara. Para Kekasih

138 ~ Legenda Tuban ~

Allah itu terpanggil dan berkumpul di bumi Demak
Bintoro untuk berjuang menyiarkan dan menegakkan
agama Islam ke berbagai penjuru negeri.

Mulai dari bupati Tuban pertama hingga saat ini,
setiap tahun mengagendakan jadwal kepada staf pemda,
kecamatan hingga staf kelurahan untuk berziarah ke
makam Brawijaya untuk berdoa. Mitos makam Brawijaya
diyakini warga Tuban dan sekitarnya bahwa anak atau
keluarganya bila ingin masuk menjadi anggota TNI harus
berziarah di makam Brawijaya V.

~ Legenda Tuban ~ 139

PANGERAN
GEDONG SYEKH SITI JENAR

Oleh: Agung Priyo Pidekso

Pantai di Desa Labuhan,
https://inovasidesa.kemendesa.go.id

Seorang penyiar agama, sekitar abad 14 masehi
dari tanah Malaka, tepatnya di Pasai, bernama Datuk
Sholeh. Penyiar agama tersebut memiliki anak laki-laki
bernama Abdul Djalil atau lebih dikenal dengan nama
Datuk Djabar Rata. Putra Datuk Sholeh tersebut, ketika
menginjak dewasa menuntut ilmu kepada ulama Syiah di
140 ~ Legenda Tuban ~

Bagdad. Kemudian mendapat gelar nama pewalian
dengan sebutan Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah
Abang. Setelah selesai berguru, Syekh Siti Jenar kembali
ke kampung halamannya di tanah Malaka.

Seiring dengan bertambah matang dalam ilmu
beragama Islam, Syekh Siti Jenar mengemban misi
dakwah dari ayahhandanya untuk menyiarkan agama
Islam. Syekh Siti Jenar pergi ke Timur. Pulau Jawa
menjadi tujuan untuk berdakwah dan siar agama Islam.
Perjalanan yang di tempuh untuk sampai ke tanah Jawa
melaui jalur laut dengan menaiki sebuah perahu. Tetapi,
ditengah perjalanan tepatnya di Laut Jawa, perahu yang
dinaiki Syekh Siti Jenar pecah dihantam badai dan
gelombang. Dalam musibah tersebut, Syekh Siti Jenar
ditolong oleh ikan Mladang. Ikan Mladang merupakan
sejenis ikan yang pipih, berekor kuning, dan kulitnya
halus seperti kulit manusia. Ikan tersebut kemudian
menolong dan membawa Syekh Siti Jenar ke tepi laut atau
“labuh”. Tempat menepinya syekh siti jenar tersebut
dijadikan nama sebuah desa yaitu Desa Labuhan yang
termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Brondong,
Kabupaten Lamongan.

~ Legenda Tuban ~ 141

Syekh Siti Jenar melanjutkan perjalanannya
dengan menaiki gajah menuju ke Barat. Setelah berjalan
3 kilometer dari Labuhan, gajah yang dinaiki Syekh Siti
Jenar terperosok ke dalam lubang “kecenthong”. Tempat
terperosok gajah tersebut kemudian dijadikan nama
sebuah desa yaitu Desa Kenthong. Perjalanannya
kemudian diteruskan ke arah selatan sampai di dusun
Gembyang. Gajah yang dinaiki Syekh Siti Jenar tiba-tiba
mati di desa tersebut dan menjadi sebuah patung batu.

Syekh Siti Jenar melanjutkan perjalanannya dan
berdakwah agama Islam ke berbagai tempat dengan cara
berpindah-pindah. Banyak tempat yang disinggahi, salah
satunya Desa Widengan. Di desa tersebut Syekh Siti Jenar
bertemu dengan seorang gadis desa. Anak dari Ki Deng
dan Nyi Deng. Beliau menikahi gadis tersebut dan
mempunyai satu keturunan yang bernama Syekh Bindi.

Berselang dari beberapa waktu dari
pernikahannya, Syekh Siti Jenar beserta keluarganya
berpindah ke barat menuju Desa Gedongombo. Kemudian
Syekh Siti Jenar bermukim di desa tersebut dengan
bertani di sebelah utara Desa Gedongombo. Tepatnya di
kawasan Puthuk Luthek. Syekh Siti Jenar juga mendirikan

142 ~ Legenda Tuban ~

gubuk di sekitar kampung tersebut. Gubuk tersebut
didirikan dengan tujuan untuk mempermudah dalam
mengawasi ladang dan para putra bangsawan yang suka
mencari buah juwet (jamblang) di tempat tersebut. Gubuk
tersebut tepatnya berada di sebelah barat Puthuk Luthek
dan sekarang dikenal dengan nama Turosobo. Nama
tersebut diambil dari gabungan kata putro sobo karena
banyaknya putra bangsawan yang suka keluyuran sobo di
tempat tersebut. Gubuk yang didirikan Syekh Siti Jenar
tersebut kemudian sekarang didirikan sebuah masjid yang
bernama Masjid Baitul Muttaqin sampai sekarang masih
kokoh berdiri sebelah timur makam Syeh Siti Jenar.

Seiring berjalannya waktu, Syekh Siti Jenar
beserta keluarganya bermukim di Dusun Dondong, Desa
Gedongombo sampai akhir hayatnya. Syekh Siti Jenar
meminta disebut Pangeran Gedong dan wafatnya
dimakamkan di pemakaman umum Desa Gedongombo
beserta keluarganya.

Di balik kebersahajaan Syekh Siti Jenar terdapat
pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat
Gedongombo dan sekitarnya. Pantangan tersebut bahwa
seluruh masyarakat di Desa Gedongombo dan sekitarya

~ Legenda Tuban ~ 143

terutama keturunan Syekh Siti Jenar tidak diperbolehkan
memakan ikan Mladang yang telah menolong Syekh Siti
Jenar ketika tenggelam di Laut Jawa. Barang siapa yang
melanggar pantangan tersebut, dapat menderita penyakit
buras. Penyakit buras merupakan sejenis penyakit gatal-
gatal dan bisul di sekujur tubuh dan tidak ada obatnya
apabila memakan dengan sengaja. Kalau tidak disengaja
maka harus meminta maaf dengan berziarah dan mandi air
sumur wali yang berada di kompleks pemakaman Syekh
Siti Jenar yang berada di sebelah selatan masjid.

Sampai saat ini makam Syekh Siti Jenar sering di
ziarahi oleh masyarakat dari beberapa kalangan dan
daerah yang ada di Indonesia. Bahkan sering di ziarahi
oleh peziarah yang berasal dari luar negeri seperti
Belanda, Australia, Malaysia, Singapura, dan Brunai
Darusalam. Pemakaman tersebut masih terawat dengan
baik sampai sekarang. Juru kunci yang merawat
pemakaman tersebut bernama Mbah Sugeng.

144 ~ Legenda Tuban ~

Syeh Maulana Al Maghribi

Oleh: Agung Priyo Pidekso

Makam syeh Jummadil Kubro, https://news.detik.com

Syekh Maulana Maghribi adalah salah satu putra
syaikh jumadil kubro atau syaikh jumadil kubroh seorang
ulama dari Arab, yang disuruh menyiarkan agama islam
di Asia, dan akhirya tinggal di Campa.

Berdasarkan salah satu cerita atau Babad Sejarah
Kerajaan Demak, Syekh Maulana Maghribi adalah
seorang pemeluk agama Islam dari Jazirah Arab.
Beliau adalah penyebar agama Islam yang memiliki ilmu

~ Legenda Tuban ~ 145

sangat tinggi. Sebelum sampai di Demak, beliau terlebih
dahulu mengunjungi tanah Pasai (Sumatera). Sebuah
riwayat juga mengatakan bahwa Maulana Maghribi masih
keturunan Nabi Muhammad SAW dan masuk golongan
waliyullah di tanah Jawa.

Syekh Maulana Maghribi mendarat di Jawa
bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Demak. Beliau
datang dengan tujuan untuk mengislamkan orang Jawa.
Runtuhnya Kerajaan Majapahit (tonggak terakhir
kerajaan Hindu di Jawa) diganti dengan berdirinya
Kerajaan Demak yang didukung oleh para wali (orang
takwa).

Sesudah pelaksanaan pemerintahan di Demak
berjalan baik dan rakyat mulai tenteram, para wali
membagi tugas dan wilayah penyebaran agama Islam.
Tugas pertama Syekh Maulana Magribi di daerah
Blambangan, Jawa Timur. Beberapa saat setelah menetap
di sana, Syekh Maulana Maghribi menikah dengan putri
Adipati Blambangan. Namun pernikahan baru berjalan
beberapa bulan, beliau diusir oleh Adipati Blambangan
karena terbukanya kedok bahwa Syekh Maulana ingin
menyiarkan agama Islam.

146 ~ Legenda Tuban ~

Setelah meninggalkan Blambangan, Syekh
Maulana Maghribi kemudian menuju Tuban. Di Kota
tersebut, Syekh Maulana Maghribi ke tempat sahabatnya
yang sama-sama dari Pasai, satu saudara dengan Sunan
Bejagung dan Syaikh Ibrahim As-Samarqondi. Dari kota
Tuban, Syekh Maulana Maghribi kemudian melanjutkan
pengembaraan syiar agamanya ke Mancingan. Ketika
menyebarkan Islam di Mancingan, Syekh Maulana
sebenarnya sudah memiliki putra lelaki bernama Jaka
Tarub (atau Kidang Telangkas) dari istri bernama Rasa
Wulan, adik dari Sunan Kalijaga (R Sahid). Tatkala
ditinggal pergi ayahnya, Jaka Tarub masih bayi.

Sebelum Syekh Maulana Magribi sampai
Mancingan, di sana sudah menetap seorang pendeta
Budha yang pandai bernama Kyai Selaening. Kediaman
pendeta tersebut di sebelah timur Parangwedang. Tempat
pemujaan pendeta dan para muridnya di candi yang
berdiri di atas Gunung Sentana. Mula-mula Syekh
Maulana menyamar sebagai murid Kyai Selaening.
Dalam kehidupan keseharian, Syekh Maulana kadang-
kadang memperlihatkan kelebihannya pada masyarakat
setempat. Lama kelamaan Kyai Selaening mendengar

~ Legenda Tuban ~ 147

kelebihan yang dimiliki Syekh Maulana Maghribi.
Akhirnya Kiai Selaening memanggil Syekh Maulana
Maghribi dan ditanya siapa sebenarnya dirinya.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Syekh Maulana
Maghribi untuk menyampaikan kepada Kyai Selaening
tentang ilmu agama yang sebenarnya. Kedua orang
tersebut kemudian saling berdebat ilmu. Akan tetapi Kyai
Selaening tidak mampu menandingi ilmu Syekh Maulana,
sejak saat itu Kyai Selaening ganti berguru kepada Syekh
Maulana. Kiai Selaening kemudian masuk agama Islam.

Pada waktu itu, di padepokan Kyai Selaening
sudah ada dua orang putra pelarian dari Kerajaan Majapait
yang berlindung di sana yaitu Raden Dhandhun dan
Raden Dhandher. Keduanya anak dari Prabu Brawijaya V
dari Majapait. Karena Kyai Selaening masuk Islam, dua
putra Raja Majapait itu juga menjadi Islam. Kedua orang
itu kemudian berganti nama menjadi Syekh Bela-Belu
dan Kyai Gagang (Dami) Aking. Meski berhasil
mengislamkan Kyai Saleaning dan para muridnya, Syekh
Maulana tidak segera meninggalkan Mancingan. Di sana
beliau tinggal selama beberapa tahun, membangun
padepokan dan mengajarkan agama Islam kepada warga

148 ~ Legenda Tuban ~

desa. Beliau tinggal di padepokan di atas Gunung Sentono
dekat candi. Candi tersebut sedikit demi sedikit dikurangi
fungsinya sebagai tempat pemujaan. Hingga meninggal,
Kyai Selaening masih menetap di padepokan sebelah
timur Parangwedang. Sebelumnya beliau berpesan
kepada anak cucunya agar kuburannya jangan
diistimewakan. Baru tahun 1950-an makam Kiai
Selaening dipugar oleh kerabat dari Daengan . Kemudian
pada tahun 1961 diperbaiki hingga lebih baik lagi oleh
salah seorang pengusaha dari kota.

Sesudah dianggap cukup menyampaikan syiar di
sana, Syekh Maulana meninggalkan Mancingan
kemudian berpesan agar padepokannya dihidup-hidupkan
seperti halnya ketika orang-orang itu menjaga candi. Di
padepokan tersebut kemudian orang-orang membuat
makam bernisan. Siapa yang ingin meminta berkah Syekh
Maulana cukup meminta di depan nisan tersebut, seolah
berhadapan langsung dengan beliau.

Kembali ke Tuban
Sesudah dari Mancingan, Syekh Maulana

Maghribi kembali ke kota Tuban lagi untuk melanjutkan

~ Legenda Tuban ~ 149

syiar agama Islam di wilayah Tuban Jawa Timur hingga
wafat dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman umum
yang ada di Lingkungan Dondong Kelurahan
Gedongombo. Di area makam Seyh Maulana Magribi itu
juga ada makam Habib Abdul Qodir bin Alwy Assegaf,
dan Habib Idrus bin Salim. Menurut beberapa versi
makam Syekh Maulana Maghribi ini ada di tiga tempat,
yaitu di Kelurahan Gedongombo Kecamatan Semanding
Kabupaten Tuban, di Kab. Gersik dan di Kab.Cirebon. Di
makam Syeh Maulana Maghribi setiap tahun di adakan
acara sedekah bumi oleh warga sekitar Gedongombo.
Sedekah Bumi ini dipercayai oleh warga Gedongombo
sebagai ucapan terima kasih. Sedekah bumi di makam
Syeh Maulana Magribi ini juga ada acara wayangan
semalam suntuk. Menurut cerita mbah Parji, Dulu ketika
waktu sedekah bumi di Makam Seykh Maulana tidak
dikasih acara Wayangan, sumur yang ada di sekitar
makam mengeluarkan bunyi suara gamelan dan suara
nyanyian sinden menyanyikan tembang-tembang Jawa
semalem suntuk.

150 ~ Legenda Tuban ~


Click to View FlipBook Version