kalanya air sangat dalam, dan kami tidak berani
berspekulasi seberapa kedalaman dasar sungai. Kami
harus berenang sambil mengapung menggunakan ban
yang sudah kami siapkan. Waktu berenangpun bervariasi
kadang sebentar kadang agak lama. Hal ini membuktikan
juga bahwa kedalaman dasar sungai di dalam Goa
Ngerong sangat bervariasi.
         Ada juga bagian daratan tepi sungai yang tidak ada
airnya dan cukup luas, sehingga kami dapat agak sedikit
berjalan santai sambil melihat-lihat pemandangan dalam
goa yang ternyata juga ada bukit-bukit kecil. Namun
demikian juga bukan berarti kami dapat berjalan dengan
nyaman. Karena justru di bagian daratan yang tidak dialiri
air itu dipenuhi dengan tumpukan kotoran kelelawar yang
membenamkan kaki kami hampir selutut. Atap goapun
sangat bervariasi, ada yang sangat tinggi dan ada pula di
bagian tertentu yang sangat rendah.
         Demikian juga ruangan yang ada sepanjang
penulusuran dalam Goa Ngerong terdapat ruangan yang
sangat luas, namun ada juga ruangan yang sempit. Salah
satu ruangan yang sangat luas ada dibagian gua yang
atapnya berlubang. Sehingga kita bisa melihat langit dan
~ Legenda Tuban ~  201
bulan dari dalam goa, karena kebetulan pada waktu itu
bulan bersinar terang. Menurut penjelasan salah satu dari
kami, lubang itu ada di daerah Ndawar Blandong. Lebar
sungai yang dialiri air juga ada yang sangat luas, tetapi
juga ada bagian sungai yang hanya selebar kurang lebih
hanya 1 sampai 1,5 meter saja. Arus sungai di dalam Goa
Ngerong juga tidak konstan. Ada bagian yang arusnya
sangat kuat bahkan mampu menyeret tubuh kita, ada juga
bagian sungai yang begitu tenang bahkan seolah-olah
tidak mengalir.
         Selama perjalanan kami merasakan bahwa
penyusuran kedalaman Goa Ngerong dengan sungai
didalamnya, jalannya terus menanjak meskipun tidak
terlalu ekstrim. Salah satu titik tanjakan yang sangat
ekstrim yaitu ketika ada di air terjun dengan ketinggian
antara 4 sampai 5 meter. Sehingga kami harus memanjat
untuk melewati air terjun yang cukup deras itu melalui
tebing dinding goa yang ada di sebelah kiri kami. Sangat
kebetulan sudah ada tali pengaman yang sudah terpasang,
sekaligus membantu mempermudah rombongan kami
memanjat naik ke atas air terjun, yang belakangan kami
ketahui ternyata tali itu sudah dipasang oleh rombongan
202 ~ Legenda Tuban ~
mahasiswa dari Jakarta yang kebetulan juga melakukan
aktifitas yang sama.
         Di atas air terjun inilah ruangan dan atap gua
sangat sempit, dan tanjakan sangat terasa. Sehingga arus
air yang mengalirpun sangat deras dan kuat, dan membuat
kami benar-benar harus ekstra hati-hati. Karena kalau
terlepas dan terpeleset sedikit saja, bisa langsung terseret
arus dan jatus ke air terjun. Ditambah lagi dengan dasar
sungai yang tidak lagi berlumpur, namun terdapat batu-
batu yang tajam dan bisa membuat kulit kaki kami sobek
dan berdarah. Namun semua itu kami tepis dan tidak kami
rasakan, karena semangat kami untuk segera sampai ke
ujung goa.
         Karena kuatnya arus, kami sangat merasakan kaki
kami ditabraki oleh ikan-ikan yang terseret arus. Bahkan
tidak jarang ketika kami melangkah, telapak kaki kami
menginjak ikan yang terasa licin. Beberapa saat
kemudian, sampailah kami pada salah satu titik yang
benar-benar membuat kami gemetaran. Ditengah-tengah
kuatnya arus sungai yang sedang kami susuri, tiba-tiba
terdengar suara mendesis yang sangat keras dan kuat.
Ternyata setelah kami dekati, didepan kami terdapat
~ Legenda Tuban ~  203
lubang pusaran air yang begitu deras dengan diameter
antara 1 sampai dengan 1,5 meter, yang menghisap
sebagian debit air, sehingga membuat arus semakin keras
dan kuat.
         Sungguh kami tidak bisa membayangkan jika ada
yang terhisap dan masuk ke dalam lubang yang menganga
dari pusaran air itu. Pasti akan hilang dan tidak bisa
ditemukan, karena lubang pusaran air itu masuk kedalam
tanah yang kita tidak tahu kemana arah dan ujungnya. Ada
yang mengatakan pusaran itu bermuara di Pemandian
Beron namun ada juga yang mengatakan lubang pusaran
air itu bermuara di Pemandian Bektiharjo. Wallahu a’lam.
Kami semua hanya termangu sambil berhenti sejenak,
karena sangat terkesima dengan dahsyatnya pusaran air
yang ada di depan mata kami.
         Beruntung, di sisi sebelah kanan kami di samping
pusaran itu masih tersisa ruang yang memungkinkan kami
untuk terus berjalan naik sambil berpegangan dan
menempel di dinding goa agar tidak sampai terbawa arus
dan terhisap ke pusaran air. Kami semua sangat bersyukur
bisa melewati pusaran dengan selamat, sehingga kami
204 ~ Legenda Tuban ~
dapat terus melakukan perjalan mencapai titik terakhir
yaitu ujunga Goa Ngerong.
         Tidak terasa setelah menempuh perjalan yang
terus mendaki hampir kurang lebih 3 jam, melalui
berbagai situasi dan kondisi dan rintangan yang ada,
akhirnya sampai jualah kami pada ujung goa. Ruangan
ujung Goa Ngerong berupa goa dengan atap yang tidak
terlalu tinggi, kurang lebih antara 5 meteran. Ada juga
batu-batu kecil yang menjuntai kebawah dan terdapat
tetesan-tetesan air. Tidak terlalu luas, kalau ditaksir
sekitar 30 meter persegi dan tentu saja dipenuhi dengan
air. Kedalaman air rata-rata di bawah panggul orang
dewasa. Dasar goa sedikit berlumpur, dan banyak ikan
dan udang yang ada didalamnya. Ada yang mengatakan
bahwa ikan-ikan dan udang yang hidup di situ adalah ikan
yang buta, karena selalu hidup di dalam kegelapan.
         Kami agak berlama-lama dan bersantai di tempat
itu sambil sedikit menghilangkan rasa penat untuk
persiapan perjalanan pulang. Kami terus mengamati
sekeliling, bahkan kadang-kadang beberapa kali
menyelam untuk membuktikan dan mencari barangkali
masih ada lubang atau jalan kearah tertentu, dan ternyata
~ Legenda Tuban ~  205
hal itu sama sekali tidak kita temukan. Jadi tempat itu
benar-benar merupakan pangkal Goa Ngerong sekaligus
merupakan hulu sungai bawah tanah yang mengalir di
dalamnya.
         Setelah dirasa cukup kamipun segera bergegas
meninggalkan tempat itu untuk kembali menuju ke luar
goa. Sebentar berjalan, menjelang air terjun dalam
perjalanan keluar kami berpapasan dengan rombongan
mahasiswa dari Jakarta yang kebetulan baru berangkat
naik. Mereka membawa perlatan yang lengkap dan lampu
yang sangat terang untuk keperluan dokumentasi.
Sebentar kami sempat saling sapa dan kemudian kamipun
meneruskan perjalanan masing-masing.
         Perjalanan pulang terasa begitu lebih cepat karena
menurun. Tepat pukul 01,00 dini hari rombongan kami
sudah tiba kembali di pintu keluar goa. Kami semua
bersyukur sudah berhasil keluar lagi dengan selamat tidak
kurang suatu apapun. Hanya saja begitu keluar, hampir
sekujur tubuh kami rasanya sangat gatal seperti digigit
ribuan semut. Padahal selama berada di dalam goa hal itu
sama sekali tidak kami rasakan. Mungkih efek dari
banyaknya kotoran kelelawar yang menempel di sekujur
206 ~ Legenda Tuban ~
badan. Kamipun buru-buru mengambil sabun dan sampho
untuk segera membersihkan badan kami sekaligus
menghilangkan rasa gatal tersebut. Benar saja, setelah
mandi dan membersihkan badan rasanya kembali segar
dan gatal-gatalpun hilang. Sehingga kami dapat
beristirahat dan tidur dengan tenang karena kecapaian,
setelah lebih dulu kami menyantap nasi bungkus karena
ternyata kami juga kelaparan usai menyelesaikan
perjalanan menyusuri Goa Ngerong yang cukup
melelahkan.
~ Legenda Tuban ~  207
TENTANG PENULIS
                             Joyo Juwoto, Santri Pondok
                             Pesantren ASSALAM Bangilan
                             Tuban Jawa Timur. Tinggal di
                             desa Banjarworo Kecamatan
                             Bangilan Kabupaten Tuban.
Penulis bisa dihubungi via Whatshap dinomor
085258611993 atau email di [email protected].
Sriyatni, S.Pd. SD, penulis
adalah seorang guru SD yang
bertugas di SDN Sumurjalak II,
Kecamatan              Plumpang,
Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Menulis merupakan hal yang paling menyenangkan dan
membuat hati lapang tanpa beban. Penulis 5 buku solo dan
puluhan buku antologi ini berharap dapat terus berkarya
untuk mencetak generasi emas Indonesia. Guru
berprestasi dari Kabupaten Tuban ini ingin bermanfaat
bagi sesama, dapat berbagi, dan menginspirasi.
208 ~ Legenda Tuban ~
Penulis dapat dihubungi di email
                          [email protected] atau WA
                          081332945680. Cak Sariban lahir
                          di Tuban 2 September 1968.
                          Pendidikan dasar hingga sekolah
                          pendidikan guru [SPG]
diselesaikan di kota kelahirannya. Studi S-1 diselesaikan
pada tahun 1993 di IKIP Surabaya dengan melakukan
riset karya-karya Danarto dalam perspektif sufistik Islam
dan filsafat eksistensialisme. Selama kuliah, banyak
menulis Legenda dan tulisan kebudayaan di Harian Bisnis
Indonesia, Kompas, dan Horison. Sempat bekerja sebagai
editor di Jawa Pos Group dan PT Bina Ilmu Surabaya.
Pada tahun 2004 menyelesaikan pendidikan magister
pendidikan sastra dengan konsentrasi kajian teori
strukturalisme genetic Lucian Godmann. Pada tahun 2012
menyelesaikan studi doktornya di Unesa Surabaya. Kini
mengisi hidupnya sebagai pendidik di SMPN 2 Tuban,
pengajar di Pascasarjana Unisda Lamongan, USB Tuban,
dan menikmati hari-hari dengan membaca, berkebun, dan
ngopi ria sambil menikmati berdiskusi pikiran merdeka
dalam ziarah penghambaan Tuhan bersama komunitas
sahabat literasi, penulis, budayawan, seniman, serta
~ Legenda Tuban ~  209
orang-orang jalanan di kotanya. Karya yang telah
diterbitkan adalah novel anak Merajut Harapan [PT Bina
Ilmu Surabaya, 1996]; antologi Legenda Parade Topeng
[Unisda Press, 2001]; Metode dan Penerapan Penelitian
Sastra [Lentera Cendikia Surabaya, 2009]; antologi
Legenda Wanita Tanpa Tisu, Laki-laki Tanpa Kaos Kaki
[FBS UNESA Surabaya, 2010]; Menemukan
Keindonesiaan: Sastra Postkolonial (2016); dan
kumpulan puisi Bunga Kasih Menara Makrifat Rindu
Jalan Hu (2020). Kini sedang mepersiapkan karya
selanjutnya berupa antologi catatan kehidupan:
Kelahiran, Kehidupan, Kematian: Tak Berkesudahan.
Sekarang tinggal di Jl. Pramuka 9/27 Tuban bersama isteri
terkasih Juli Heksa Setyawati, putra-putri tersayang:
Satya Omar Rabani, Salma Aulia Dwisaraswati, dan
Muhamad Salman Ibrahim. Alamat email:
[email protected].; twiter@caksarib. Semoga karya
ini memberi manfaat sesama dan dicatat sebagai jariyah
dunia-akhirat serta diridai sebagai ibadah oleh Allah
SWT.[]
210 ~ Legenda Tuban ~
Oktian Ika Ardhiani, S.Pd,
                             dilahirkan di Tuban 22 Oktober
                             1976, Jawa Timur. Ia meluluskan
                             SD dan SMP di Tuban Jawa
                             Timur, SMA di Bojonegoro Jawa
                             Timur, S1 PKn di IKIP Negeri
Surabaya, D2 PGSD di Unesa Surabaya, S1 PGSD di
UNIROW Tuban serta kini melanjutkan study di Pasca
Pendidikan Dasar Unirow Tuban. Sejak tahun 2002
penulis mengabdikan diri sebagai Guru Sekolah Dasar di
lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Tuban hingga
sekarang.
         Karya tulis yang sudah dihasilkan oleh penulis
sudah sangat banyak. Penulis memiliki sanggar literasi
untuk anak-anak sekolah di lingkungannya bernama
‘Sanggar Literasi Bu Okta’ yang mengajarkan anak-anak
untuk gemar menulis dan menerbitkan buku karya anak-
anak sendiri. Ia bisa menghubungi penulis melalui:
085233714887 atau email:
[email protected]
~ Legenda Tuban ~  211
Penulis : Setyo Pamuji,S.Pd.,
Bertempat tinggal di desa Maibit
RT 08 RW 01 kecamatan Rengel,
Mengajar di SDN V Rengel, FB:
Tyopam,                Instagram:
@setyopamuji52.
212 ~ Legenda Tuban ~
MUJIHADI dilahirkan dan besar
                           di Prunggahan Wetan Kecamatan
                           Semanding, Tuban. Menyukai
                           kegiatan menulis sastra dan asyik
                           melakukan kajian terhadapnya.
                           Karya cerita pendeknya bersama
21 penulis Jawa Timur tercatat telah dimuat dalam
antologi cerita mini berjudul Hikayat Pagi dan Sebuah
Mimpi (2016; Penerbit Love Live, Lamongan). Beberapa
kajian sastranya juga tercatat sempat terbit di beberapa
jurnal ilmiah. Di antaranya termuat dalam Jurnal
Paragraf–Tuban, Jurnal Paramasastra Universitas Negeri
Surabaya tahun 2016, dan Jurnal Appi-Bastra Surabaya
tahun 2016. Berkesempatan mengeditori buku antologi
cerita mini (cermin) Saat Ramadan Hampir Usai karya
guru Tuban, Analekta Legenda Kegigihan Seorang Ayah
karya siswa SMP Negeri 2 Jatirogo, Kab. Tuban, dan
menguratori buku Tonggak: Bunga Rampai Kisah
Inspiratif karya salah satu guru SD di Tuban adalah
sungguh merupakan pengalaman yang sangat berkesan
baginya. Karya solo yang pernah ditulis pengarang antara
lain: Nyanyi Sunyi Matahari dan Rembulan (antologi
~ Legenda Tuban ~  213
Legenda, 2017; Penerbit Pustaka Ilalang, Lamongan),
Matahariku Gerhana (Cerita Anak untuk Bahan Literasi
Siswa Sekolah Dasar, 2020; Penerbit Dwi Putra Jaya,
Bojonegoro), dan Tukang Ojek Misterius (Pusparagam 21
Catatan Kisah Sketsa Kehidupan, 2020, Penerbit Pustaka
Djati, Lamongan). Dari tahun 1993 hingga kini penulis
masih aktif mendedikasikan diri membersamai siswa
salah satu SMP di Kabupaten Tuban dalam memelajari
bahasa dan sastra Indonesia. Penulis bertempat tinggal di
Desa Siding Kecamatan Bancar Kabupaten Tuban. Dapat
disapa melalui kontak handphone: 085232923387, posel:
[email protected]
214 ~ Legenda Tuban ~
