The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SRIYATNI, M.Pd., 2022-05-18 03:24:44

Layout Legenda Tuban

Layout Legenda Tuban

yang rata-rata berangkat bersama anggota keluarganya.
Setelah Majapahit berdiri mereka enggan pulang kembali
ke Trowulan, Tuban. Mereka lebih memilih untuk
bermukim di sana hingga beranak-pinak membentuk
perkampungan baru di sana. Perkampungan baru itu
akhirnya dinamai sesuai dengan nama daerah mereka
berasal yaitu: Trowulan.

Di samping keistimewaan Trowulan seperti yang
telah saya sebutkan tadi, masih ada lagi hal menarik
lainnya yang perlu dibincangkan dari keberadaan dukuh
tersebut. Itu adalah soal paras wajah para gadisnya yang
kesohor ayu rupawan. Ya, memang dari dahulu para gadis
Trowulan dikenal rata-rata berparas cantik. Senyum tawa
para gadisnya pun sungguh menawan hati. Gadis
Trowulan jika tersenyum akan tampak lesung pipinya.
Konon karena alasan kecantikan gadis Trowulan inilah,
maka Ranggalawe pernah menyembunyikan
Tribuaneswari di Trowulan agar selamat dari kejaran
mata-mata Kediri yang dipimpin oleh Ardaraja–putra
Jayakatwang. Dengan menyembunyikan Tribuaneswari
di Trowulan, maka kekhawatiran Ranggalawe akan
ancaman bahaya pengejaran yang dilakukan oleh pasukan

~ Legenda Tuban ~ 51

Kediri menjadi sedikit berkurang. Dia merasa nyaman,
aman, dan tenteram jika Tribuaneswari berada di
Trowulan. Sebab dengan berada di sana Ranggalawe
yakin sekali mata-mata Kediri akan mengalami kesulitan
dalam melacak keberadaan salah satu putri Kertanegara
itu.

Nah, bagaimana kisah cerita asal mula nama
Dukuh Trowulan yang melegenda itu? Beginilah kisah
yang berulang kali tersampaikan melalui tradisi lisan yang
terawat rapi dalam ingatan kolektif masyarakat Trowulan
Tuban hingga saat ini.

Syahdan tercerita, tatkala Prabu Kertanegara ingin
mengembangkan wawasan Cakrawala Mandala
Dwipantara–suatu gagasan besar untuk memersatukan
Nusantara di bawah panji Singasari, maka dikirimlah
prajurit pilihan yang tergabung dalam Armada Sarwajala
di bawah pimpinan Kebo Anabrang menuju ke
Dharmasraya. Puluhan ribu prajurit saat itu
diberangkatkan melalui Pelabuhan Kambang Putih yang
berada di Tuban. Misi inilah yang kelak dikenal sebagai
Ekspedisi Pamalayu. Sebelum diberangkatkan ke
Dharmasraya, seluruh pasukan itu berkumpul dan

52 ~ Legenda Tuban ~

terkonsentrasi di sebuah tanah datar yang sangat luas yang
bernama Warunggahan. Pengiriman armada berkekuatan
besar ini konon berlangsung sangat mulus, nyaris tanpa
kendala apa pun.

Karena daerah Warunggahan ini dianggap telah
punya jasa besar terhadap Singasari, maka tidak lama
berselang waktu daerah itu diberi penghargaan Anugerah
Sima oleh Kertanegara. Daerah yang memeroleh
anugerah semacam itu nantinya akan bebas mengatur
daerahnya sendiri dan dibebaskan pula dari pungutan
pajak kerajaan. Pun, pada kesempatan itu Prabu
Kertanegara telah berkenan pula untuk mengutus Paduka
Mpunku Sri Buddhaketu–seorang pembesar Singasari–
untuk mengurus daerah perdikan baru tersebut.

Maka berangkatlah Paduka Mpunku Sri
Buddhaketu bersama dengan istri, anak, menantu, dan
cucu yang usianya belum genap lima tahun itu menuju
Warunggahan. Sesampai di Warunggahan mereka
berlima segera membuka tanah lapang yang amat luas
tersebut untuk dimanfaatkan sebagai daerah permukiman
dan lahan persawahan yang sangat subur. Sementara itu

~ Legenda Tuban ~ 53

beberapa warga asli Warunggahan juga terus beranak-
pinak hingga keturunannya sangat banyak.

Waktu terus berjalan. Tak lama kemudian Paduka
Mpunku Sri Buddhaketu pun tutup usia. Kedudukannya
sebagai pemimpin daerah tersebut akhirnya diserahkan
kepada anak semata wayang mendiang yang bernama Ki
Palangdongan. Dia memang tampak mewarisi bakat
pemimpin ayahnya. Cerdas, lincah, pemberani, adil, dan
bijaksana. Suami Nyai Palangdongan ini sangat
berpengaruh sekaligus dihormati warganya. Dari
perkawinannya dengan Nyai Palangdongan dia memiliki
anak tunggal yang diberi nama Niken Tirtawati. Paras
wajah Niken Tirtawati tidak jauh dari ibunya. Sama-sama
cantik menawan hati. Niken Tirtawati inilah yang kelak
akan menjalani takdirnya sebagai salah satu istri
Ranggalawe.

Alkisah, ketika Tuban berada di bawah kekuasaan
Bupati Raden Aryo Dandang Wacono, daerah di sekitar
Warunggahan telah berkembang semakin pesat. Daerah
yang berada di sekitar Warunggahan seperti Taragan,
Banaran, Jagabayan, Panjetan, Pangajaran, serta beberapa
daerah lainnya telah lebih dahulu terbentuk dan memiliki

54 ~ Legenda Tuban ~

nama dukuh masing-masing. Kini, tinggal daerah yang
ditempati oleh Ki Palangdongan saja yang belum
memiliki nama dukuh. Sebagai tetua daerah itu, dia
disarankan oleh Ki Ageng Papringan–nama lain Raden
Aryo Dandang Wacono–agar segera membentuk dukuh
sekaligus menamainya.

Sepulang dari pertemuannya dengan Ki Ageng
Papringan, maka di malam berikutnya segera digelar
pertemuan dengan seluruh warga dukuh. Rencananya,
warga akan diajak berembuk untuk membahas penamaan
dukuh mereka. Namun, hingga larut malam pertemuan itu
berlangsung, nyatanya warga tetap belum juga
menemukan nama yang cocok untuk menamai dukuh
mereka. Akhirnya pertemuan itu pun ditutup. Mereka
pulang ke rumah masing-masing. Pertemuan itu hanya
menghasilkan satu kata mufakat saja; semua warga
sepakat untuk menugasi Ki Palangdongan agar segera
mencari nama yang cocok untuk dukuh yang letaknya
berada di sebelah utara Telaga Widodaren itu.

Keesokan hari di serambi rumahnya yang luas
tampak terjadi percakapan antara Ki Palangdongan dan
Nyai Palangdongan. Di sebelah Nyai Palangdongan

~ Legenda Tuban ~ 55

tampak Niken Tirtawati yang masih berusia belasan tahun
tengah asyik duduk sambil menyiapkan sirih, tembakau,
pinang, kapur, dan gambir untuk digunakan menginang
ibunya.Cucu kesayangan Paduka Mpunku Sri
Buddhaketu yang kulitnya kuning langsat itu sesekali juga
tampak berpindah tempat–mendekat dan bergelayut
manja di pundak ayahnya.

“Ki, sebaiknya kita beri nama apa dukuh kita ini,
ya?” tanya Nyai Palangdongan kepada suaminya.

“Entahlah, Nyai. Aku juga sedang memikirkan
tentang nama apa yang cocok dan terbaik untuk dukuh
kita ini,” jawab Ki Palangdongan sambil meminum
legen1) yang baru saja disadap dari pohon siwalan di
belakang rumahnya yang asri itu.

“Apakah hingga kini Jengandika2) belum
memiliki gambaran tentang nama dukuh ini, Ki?” tanya
ibu dari Niken Tirtawati sembari mengunyah daun sirih
hingga rongga mulutnya tampak memerah.

“Belum, Nyai,” jawab Ki Palangdongan singkat.
“Ya, sudahlah, Ki. Kami serahkan sepenuhnya
perkara pemberian nama dukuh ini kepadamu. Namun,
ada baiknya jika Jengandika terlebih dahulu memohon

56 ~ Legenda Tuban ~

petunjuk kepada Sang Mahakuasa. Barangkali melalui
ulah tapa brata Jengandika akan memeroleh petunjuk
tentang itu,” terdengar suara lirih Nyai Palangdongan
memberi nasihat pada suaminya tercinta.

“Baiklah, Nyai. Mulai besok saya akan bersemadi
di bawah pohon trembesi yang berada di dekat Telaga
Widodaren sana. Tolong siapkan uba rampe3) untuk
semadiku, ya!” seru Ki Palangdongan.

Syahdan, dimulailah semadi itu. Pada awal
semadinya Ki Palangdongan memang menemui beraneka
macam godaan. Itu terjadi utamanya jika hari sudah larut
malam. Ada-ada saja godaan itu. Kadang di depannya
melintas kelabang4) hitam yang ukurannya sebesar paha
orang dewasa; kadang ada penampakan banaspati5) yang
bertengger di dahan pohon trembesi tepat di atas Ki
Palangdongan bersemadi–yang suara sangat ngegirisi6);
kadang ada juga penampakan wanita cantik setengah
bugil yang kemudian secepat kilat berubah menjadi wewe
gombel7) yang sangat menakutkan; dan godaan lainnya
yang pasti akan membuat bulu tengkuk berdiri. Namun,
segala godaan itu berhasil ditaklukkan oleh Ki
Palangdongan. Tampaknya, keturunan pertama dari

~ Legenda Tuban ~ 57

Paduka Mpunku Sri Buddhaketu ini tidak sedikit pun
merasa waswas dan takut atas segala godaan itu.

Hingga, tepat saat hari ketujuh Ki Palangdongan
bersemadi, di malam Respati Manis8) datanglah
pencerahan itu. Waktu itu, di antara sadar dan tidak sadar,
bahkan bisa dikatakan terasa seperti mimpi, Ki
Palangdongan merasa didatangi oleh mendiang ayahnya.

“Anakku, Palangdongan. Bangunlah dari
semadimu, Ngger9). Aku sudah mengerti tentang apa yang
engkau kehendaki. Berilah nama dukuhmu itu dengan
nama Terang Wulan, Ngger,” ucap mendiang penerima
Anugerah Sima dari Singasari itu. Belum sempat Ki
Palangdongan berkata-kata tokoh penuh wibawa itu sudah
meneruskan kalimatnya lagi.

“Terang Wulan itu bermakna rembulan yang
sedang bersinar terang, Ngger. Nama itu memang sengaja
aku pilihkan untuk nama dukuhmu. Nama itu kupandang
cocok untuk menamai dukuhmu. Nama itu adalah simbol
dari keberadaan para gadis di dukuhmu yang berparas
wajah cantik rupawan. Kecantikan gadis dukuh ini
memang luar biasa. Bagai rembulan purnama yang
bersinar terang.”

58 ~ Legenda Tuban ~

Mendengar penjelasan itu Ki Palangdongan ingin
menjawab. Namun, lidahnya terasa kelu hingga dia tidak
mampu berbicara apa-apa lagi. Mulutnya rapat terkunci.

“Tahukah engkau, Ngger, mengapa gadis di dukuh
ini semuanya berparas jelita? Itu semua adalah karena
berkah dari air suci Telaga Widodaren ini. Lantaran
mereka telah mandi dari anugerah air yang begitu jernih
ini, maka kulit dan badan wanita di dukuhmu menjadi
tampak putih berseri. Oleh karena itu jangan pernah
engkau sia-siakan anugerah besar yang telah diberikan
Sang Mahabaik untukmu. Pesanku, Ngger, rawatlah
dengan baik Telaga Widodaren ini. Jagalah
kelestariannya. Jangan biarkan warga dukuh ini
mengotori air atau merusak keberadaan telaga ini. Jika itu
sampai terjadi, maka sengsaralah hidup seluruh
keturunanmu kelak, Ngger. Manfaatkan sumber air telaga
ini dengan penuh bijaksana, Ngger!” begitu pesan yang
disampaikan Paduka Mpunku Sri Buddhaketu yang
sosoknya segera menghilang meninggalkan Ki
Palangdongan dalam kesendirian dan kesunyiannya.

Malam telah berganti pagi. Sebentar lagi mentari
pasti datang untuk menampakkan diri. Riuh suara ayam

~ Legenda Tuban ~ 59

hutan terdengar bersahutan dari Hutan Pandermawu yang
berada di selatan sana. Suaranya terdengar begitu nyaring
menggema, terpantulkan oleh keberadaan dinding Tebing
Watu Andha yang sangat eksotis itu. Di kaki langit
sebelah timur sana tampak semburat sinar berwarna
jingga. Ki Palangdongan pun terjaga dari semadinya.
Embusan angin pagi di awal musim kemarau yang begitu
dingin itu terasa menembusi kulit tubuhnya yang sudah
mulai menua.

Segera dia tinggalkan Telaga Widodaren
tempatnya bersemadi. Sesampai di rumah dengan
bergegas lalu dikumpulkannya seluruh warga dukuh.
Canang dibunyikan untuk memanggil para warga. Tua-
muda, besar-kecil, pria-wanita semua datang ke rumah Ki
Palangdongan. Mereka berkumpul di tanah lapang yang
berada tepat di depan rumah Ki Palandongan. Lalu,
dengan suara lantang dan mantap diumumkannya nama
dukuh mereka, yaitu Dukuh Terang Wulan. Selanjutnya
Ki Palangdongan meminta warga agar segera menggelar
selamatan sebagai wujud rasa syukur mereka kepada Sang
Mahatunggal. Warga pun patuh akan imbauan Ki
Palangdongan itu. Nasi tumpeng, ingkung pitik cemani10),

60 ~ Legenda Tuban ~

aneka sambal dan lalapan, ditambah dengan sajian jajan
pasar, seperti: kucur, rengginang, nagasari, apem, serabi,
bugisan, ketan salak, madu mangsa, klepon, getuk lindri,
onde-onde, cenil, putu ayu, dan masih banyak lagi yang
lainnya–semuanya lengkap tersaji untuk digunakan
sebagai sarana ritual selamatan. Roman muka seluruh
warga dukuh berseri-seri merayakan pesta pora
pemberian nama dukuh mereka itu.

Semenjak peristiwa penamaan dukuh itu mereka
dengan bangga selalu menyebut dirinya sebagai orang
Terang Wulan. Kata Terang Wulan–dalam perjalanan
kurun waktu yang teramat panjang–kemudian berubah
bentuk menjadi Trangwulan. Hingga akhirnya pada
zaman sekarang berubah lagi pelafalannya–karena
pengaruh pelafalan lidah orang Jawa–menjadi
Trowulan.[]

(Siding–Bancar, 27 Desember 2020)

~ Legenda Tuban ~ 61

Catatan penjelas
1) Legen: nama minuman yang terbuat dari sadapan

bunga kelapa, aren, dan siwalan (Jw.)
2) Jengandika: Anda (Jw.)
3) Uba rampe: peranti, perlengkapan (Jw.)
4) Kelabang: lipan (Jw.)
5) Banaspati: hantu menakutkan dalam mitologi Jawa;

berwujud kobaran api
6) Ngegirisi: sangat menakutkan (Jw.)
7) Wewe gombel: hantu menakutkan dalam mitologi

Jawa; berwujud wanita berambut panjang, suka
menculik anak-anak
8) Respati Manis: nama hari dalam penanggalan Jawa
Kuna; Kamis Legi
9) Ngger: kata sapaan–dalam bahasa Jawa–dari
seseorang yang lebih tua kepada yang lebih muda;
lazim digunakan oleh bapak/ibu/kakek/nenek
terhadap anak/cucunya
10) Ingkung pitik cemani: khazanah masakan Jawa berupa
ayam yang diolah secara utuh, diikat leher dan
kakinya; menggunakan bahan ayam cemani yang
berwarna hitam legam; lazim digunakan sebagai
sarana sesaji

62 ~ Legenda Tuban ~

Batu Itu Kini Telah Terkubur
Bumi

Oleh: Mujihadi
SMP Negeri 3 Bancar Kabupaten Tuban

https://news.okezone.com

Sebongkah batu hitam di tepi jalan itu tampak
kesepian. Diam dalam gigil dingin di musim penghujan,
pun terpanggang oleh panas terik sinar mentari di musim
kemarau. Tak ada teman sebongkah batu pun yang
tampak menemaninya. Benar-benar dia dalam

~ Legenda Tuban ~ 63

kesendiriannya. Di sisi kanan-kirinya hanya terhampar
luas sawah petani yang tidak mengacuhkannya lagi.
Sesekali tampak melintas sekawanan burung pipit yang
tak sudi pula untuk bertegur sapa denganya. Bagaimana
dengan bangsa manusia? Sama saja adanya! Mereka juga
tidak ada yang memedulikannya. Mereka–bangsa
manusia–itu telah asyik dengan urusan kesehariannya
sendiri-sendiri. Padahal, tidakkah mereka semua tahu
bahwa batu hitam itu dahulu adalah saksi bisu awal
terbentuknya dusun mereka? Lalu, di manakah letak batu
hitam yang tampak tanpa teman bersanding itu?

Jika Anda melintas dari pertigaan Gang Pasar
Layur Desa Banjarjo Kecamatan Bancar Kabupaten
Tuban terus ke arah selatan; sesampai di Pasar Layur
Anda teruskan lagi sedikit ke arah selatan; dan ketika telah
tiba di jalan simpang empat–dekat SD Negeri Banjarjo–
Anda belok ke kanan menuju ke arah barat melintasi jalan
AMD, maka sekitar jarak dua ratus meter Anda akan
menemui batu yang saya maksud itu. Letaknya persis
berada di pinggir jalan. Sebelah utara jalan, tepatnya.
Konon, itulah reruntuhan pintu gerbang candi yang
pernah kesohor sejak era Singasari. Satu-satunya candi

64 ~ Legenda Tuban ~

yang pernah berdiri tegak di tepi pesisir Tuban yang
pantainya membentang begitu panjang dari Bancar hingga
Palang itu.

Candi tersebut dalam tradisi lisan sering disebut
sebagai Candi Bulu. Secara administratif candi tersebut
sekarang berada dalam lingkup wilayah Desa Bulujowo.
Desa Bulujowo adalah salah satu di antara 24 nama desa
yang berada di Kecamatan Bancar Kabupaten Tuban.
Lokasinya berada lebih kurang berjarak 45–50 km
sebelah barat pusat Kabupaten Tuban. Keberadaan candi
itu sendiri tampak kurang terawat. Hanya ada sejenis
papan peringatan bertuliskan larangan mengambil,
memindahkan, dan memugar batu di area itu tanpa seizin
instansi yang berwenang. Diduga, candi ini sekarang yang
tampak adalah bagian atasnya saja. Sedangkan bagian
kaki dan tubuh candi telah tertimbun tanah.

Candi itulah yang konon menjadi cikal bakal nama
Dusun Karangcandi yang merupakan bagian dari Desa
Bulujowo Kecamatan Bancar itu. Bagaimana kisah
ceritanya? Ikutilah kisah cerita yang telah berabad-abad
lamanya dikisahkan dalam tradisi lisan itu.

~ Legenda Tuban ~ 65

Syahdan, Singasari dari dahulu kala telah dikenal
sebagai kerajaan yang memiliki kekuatan armada laut
yang begitu digdaya. Kekuatan armada laut Singasari
yang kuat ini sangat ditakuti oleh kerajaan lain di dalam
maupun di luar Nusantara. Namun demikian, Raja
Singasari masih berkeinginan untuk membangun armada
laut yang lebih kuat lagi. Armada laut yang kuat tentu
harus didukung oleh ketersediaan kapal yang banyak dan
berukuran besar. Kapal yang berjumlah banyak dan
berukuran besar ini sangat diperlukan saat memobilisasi
pasukan yang berkekuatan besar. Untuk membuat kapal
yang keberadaannya sangat strategis itu, maka tentu
dibutuhkan adanya galangan kapal yang besar juga.

Singasari tahu jika wilayah Tuban sangat strategis
untuk dijadikan sebagai tempat membuat kapal. Itu karena
daerah Tuban berada di dekat pantai. Di Tuban pulalah
tersedia bahan baku pembuatan kapal yang melimpah.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kayu jati yang
dihasilkan dari hutan Pegunungan Kendeng Utara sangat
bagus untuk membuat kapal yang kokoh. Apalagi di
Tuban juga sudah ada Pelabuhan Kambang Putih yang
terkenal itu. Maka, sangat tepat jika raja terakhir Singasari

66 ~ Legenda Tuban ~

keturunan Ken Angrok itu memutuskan untuk
membangun galangan kapal di Tuban. Di daerah Bulu,
persisnya.

Warga Bulu tentu menyambut keputusan
Kertanegara itu dengan sangat senang hati. Bagaimana
tidak, dengan rencana itu tentu nanti Bulu bakal semakin
ramai dan dikenal oleh daerah lainnya. Pun demikian,
warga Bulu akan mendapatkan berkah kemakmuran dari
pembuatan galangan kapal ini. Maka segera saja
pekerjaan besar itu dimulai. Ahli-ahli pembuat kapal
didatangkan ke Bulu untuk bekerja di galangan kapal.
Mereka ada yang berasal dari Jepara, Lasem, Madura, dan
bahkan ada yang didatangkan dari daerah Banjar,
Kalimatan. Sontak saja daerah Bulu menjadi daerah yang
amat ramai karena kedatangan orang-orang dari berbagai
daerah.

Benar juga adanya. Nyatanya, warga Bulu
memang merasakan banyak berkah dari pembangunan
galangan kapal yang berada di wilayahnya. Berkah dari
terbangunnya galangan kapal itu adalah warga Bulu
merasa hidupnya semakin makmur sentosa. Demi
mendengar bahwa Bulu sudah menjadi daerah yang

~ Legenda Tuban ~ 67

makmur dan semakin ramai, maka banyak pula
masyarakat dari luar Bulu yang berbondong-bondong
ingin mengadu nasib di Bulu. Mereka datang ke Bulu
dengan harapan agar hidupnya lebih sejahtera. Dengan
demikian–dari waktu ke waktu–semakin ramailah daerah
pesisir yang berada di ujung barat wilayah Tuban itu.

Ketika wilayah Bulu telah menjadi daerah yang
ramai dan kabar tentang itu sudah didengar oleh
Kertanegara, maka sang raja memerintahkan agar di Bulu
segera dibangun sarana peribadatan berupa candi.
Harapan sang raja atas pendirian candi ini adalah agar
kehidupan beragama di Bulu lebih meningkat lagi. Di
samping itu, pendirian candi ini juga dimaksudkan untuk
memberi kemudahan bagi pembesar Singasari yang
kebetulan sedang berkunjung ke Bulu jika ingin beribadah
di sana. Maka, segeralah dicari tempat yang strategis
untuk membangun candi tersebut. Akhirnya, tak lama
berselang waktu diperoleh tempat yang cocok untuk
keperluan itu. Tempat yang dipilih sebagai lokasi
pendirian candi itu berada di sebelah barat kawasan Hutan
Banger dan di sebelah utara kawasan Telaga Bulu.

68 ~ Legenda Tuban ~

Syahdan, segera bergotong-royonglah warga Bulu
membangun candi itu. Arsiteknya tentu seseorang yang
didatangkan dari pusat Kerajaan Singasari. Untuk
membangun candi itu dipilihlah jenis bebatuan yang
dipandang mampu bertahan terhadap segala cuaca agar
candi tersebut kelak mampu berumur panjang.
Pembangunan candi itu pun tidak memakan waktu yang
begitu lama. Hal itu bisa tercapai karena berkat semangat
kerja yang dilakukan secara gotong-royong oleh semua
warga. Setelah candi itu berdiri, Prabu Kertanegara
memerintahkan Ki Wamana agar menjadi pemangku
candi sekaligus sebagai pemimpin peribadatan di sana.

“Wahai, Ki Wamana, berangkatlah engkau ke
pesisir utara Tuban yang paling barat!” seru Prabu
Kertanegara kepada Ki Wamana.

“Sendika dhawuh1), Gusti,” jawab Ki Wamana
sembari menyembah.

“Jadilah pemangku candi di sana dan bimbinglah
warga agar selalu dekat kepada Sang Mahakuasa, Ki!”
Kertanegara meneruskan perintahnya.

“Kapan patik harus berangkat menuju ke sana,
Gusti Prabu?” tanya Ki Wamana.

~ Legenda Tuban ~ 69

“Besok sebelum matahari terbit engkau harus
sudah berangkat ke sana, Ki,” jawab Prabu Kertanegara.

Keesokan harinya berangkatlah Ki Wamana
memenuhi perintah rajanya. Tidak ada seorang pun
anggota keluarganya yang ikut serta. Maklum, sebagai
seorang yang menjalani laku hidup wadat2) dia memang
tidak memiliki istri maupun anak. Pagi itu dia berangkat
hanya ditemani oleh empat pengikut setianya saja. Pagi
sekali mereka berlima sudah memacu kudanya menuju
arah barat laut–menuju Bulu, Tuban.

Ki Wamana adalah seorang yang sangat taat
terhadap ajaran agamanya. Di Singasari kebiasaan saban
hari Ki Wamana adalah memimpin ritual peribadatan di
candi-candi. Selain taat dalam menjalani ajaran
agamanya, dia juga dikenal sebagai seorang yang sangat
sopan dan santun. Cara bersikap dan berbicaranya
sungguh amat lemah lembut. Dia pun dikenal sangat
dermawan. Seringkali pula tampak pemimpin candi itu
juga berbagi sedekah kepada warga sekitar yang kurang
mampu. Berkat kesopansantunan hidup dan kesalehan
sosialnya itulah, maka dia sangat dihormati oleh semua

70 ~ Legenda Tuban ~

warga. Ajakan dan nasihatnya pun selalu dipatuhi oleh
warga.

Seiring berjalannya waktu warga Bulu semakin
lama semakin banyak jumlahnya. Dari yang asalnya
hanya berjumlah beberapa keluarga kini sudah
berkembang menjadi beberapa puluh keluarga. Wilayah
yang pada awal perkembangannya baru terbentuk satu
desa saja–yaitu Desa Bulu–kini sudah terbentuk dua desa
baru yang saling memisahkan diri. Desa itu bernama Desa
Bulujowo dan Bulumeduro. Itu memang lazim terjadi
sebagai akibat dari berkembangnya jumlah warga yang
ada di sana. Bahkan, kedua desa itu kini masing-masing
juga sudah membentuk dusun-dusun kecil yang menjadi
bagian dari desa mereka. Ki Wamana sebagai orang yang
dituakan di wilayah sekitar candi didesak oleh warga agar
berkenan memberi nama pada dusun mereka. Namun,
hingga beberapa tahun berlalu Ki Wamana ternyata belum
juga berkenan memberi nama terhadap dusun mereka.

Hingga pada suatu ketika Ki Wamana sudah
sangat tua renta dan jatuh sakit. Di saat sakit itulah para
sahabat tampak menyambanginya. Di antara para
sahabatnya itu adalah Ki Garga–tetua Desa Bulujowo, Ki

~ Legenda Tuban ~ 71

Antalaga–pemangku Telaga Bulu, dan Ki Darana–
pemangku Hutan Banger. Mereka bertiga tampak
bersedih menunggui Ki Wamana yang saat itu terkulai
lemah di atas ranjangnya.

“Ki Wamana, sabar, ya. Semoga Jengandika3)
segera sembuh dari sakit,” terdengar suara Ki Darana
yang mendoa dan menguatkan semangat sang pemangku
candi itu.

“Terima kasih atas doa dan kunjungan Jengandika
semua, ya,” jawab Ki Wamana lirih.

“Ki Garga, Ki Antalaga, dan engkau Ki Darana,”
lanjut Ki Wamana meneruskan kalimatnya lagi.

“Paring dhawuh4), Ki ,” jawab serempak mereka
bertiga.

“Rasanya ..., sisa umurku ini tidak akan lama lagi,
Ki,” sambung Ki Wamana sambil memandangi satu per
satu para sahabatnya itu. Belum sempat ketiganya
menjawab. Ki Wamana sudah meneruskan kalimatnya
lagi.

“Besok setelah kepergianku, namailah dusun ini
dengan nama Dusun Karangcandi, ya. Pesanku ...,
sepeninggalku nanti para tetua semua harus mampu

72 ~ Legenda Tuban ~

menjaga kerukunan antarpemeluk agama yang ada di sini.
Menurut firasatku, sebentar lagi di Bulu ini akan
berkembang masyarakat dengan berbagai ragam agama
dan kepercayaan. Mereka semua harus diayomi5) agar
hidupnya rukun dan tenteram. Ingatlah, bahwa kerukunan
antarumat beragama itu sangat penting. Jagalah mereka
agar tidak saling memaksakan kebenaran keyakinan
beragama mereka masing-masing. Jagalah mereka agar
saling menghormati dan menghargai satu dengan yang
lainnya. Mereka jangan sampai terpecah belah hanya
karena persoalan perbedaan keyakinan. Kita semua sangat
memahami bahwa agama itu sifatnya sangat pribadi.
Tidak ada seorang pun yang bisa memaksa seseorang
untuk memeluk agama tertentu. Pemaksaan agama
dengan cara apa pun tidak akan berhasil. Apalagi dengan
jalan berperang. Jelas itu tidak akan berhasil. Penyiaran
agama haruslah dengan jalan damai, jalan persudaraan,”
lanjut Ki Wamana meneruskan nasihatnya.

Setelah lama mereka saling berbincang, ketiga
orang tamu itu minta undur diri untuk kembali ke
rumahnya masing-masing. Rumah Ki Wamana yang asri
itu kini tampak kembali sunyi sepi. Burung-burung yang

~ Legenda Tuban ~ 73

biasanya rajin bersuara di sekitar candi pun tak terdengar
berkicau. Tampaknya burung-burung itu murung hingga
mereka enggan bersuara. Mereka murung karena
menyaksikan sang pemangku candi yang saat ini sedang
sakit keras. Sesekali hanya burung gagak yang kadang
tampak melintas di bubungan rumah yang menghadap ke
utara itu. Burung pemilik bulu hitam legam itu lalu
hinggap di atas pohon nagasari6) sambil mengeluarkan
suara yang biasanya membawa firasat kurang baik.

Tak lama berselang waktu, sekitar sepekan setelah
kunjungan ketiga sahabatnya itu, akhirnya Ki wamana
mengembuskan napasnya yang terakhir. Warga segera
berdatangan untuk mengurus jasad orang yang selama
hidupnya tak pernah menikah itu. Sesampai di rumah
duka mereka begitu terpana saat melihat betapa raut wajah
jenazah itu memancarkan aura yang begitu gemilang.
Bibirnya pun tampak menyunggingkan seulas senyum
seakan merasa bahwa nirwana7) telah menunggu di alam
sana. Warga berduka karena pemimpin yang amat mereka
hormati telah tiada. Kabar tentang wafatnya Ki Wamana
juga segera disampaikan kepada para pembesar kerajaan
di Singasari

74 ~ Legenda Tuban ~

Siang hari itu juga jenazah Ki Wamana
diperabukan di dekat candi dengan upacara keagamaan.
Sebelum ritual perabuan jenazah dimulai, Ki Garga–
mewakili tetua–memberi kalimat sambutan. Dalam
kalimat sambutannya Ki Garga mengucapkan rasa terima
kasih atas kehadiran para pelayat. Ki Garga mengatakan
bahwa semua warga Bulujowo dan sekitarnya merasa
sangat kehilangan atas wafatnya Ki Wamana. Selanjutnya
disampaikan pula tentang wasiat Ki Wamana agar warga
menamai dusun ini dengan nama Dusun Karangcandi.
Warga mengangguk tanda mengerti sekaligus menyetujui
penamaan dusun tersebut.

Tumpukan kayu yang digunakan untuk
pembakaran jenazah segera dinyalakan. Ki Darana
ditunjuk untuk menjadi orang pertama yang
menyalakannya, disusul kemudian oleh Ki Antalaga
sebagai orang kedua, dan yang didaulat sebagai orang
yang ketiga adalah Ki Garga. Setelah itu obor diserahkan
kepada seorang pembesar dari Singasari–yang kebetulan
saat itu sudah beberapa hari berada di Bulu–untuk
menyalakan perapian yang kali terakhir. Api pun segera
berkobar dengan hebat. Jenazah yang berada di atas

~ Legenda Tuban ~ 75

tumpukan kayu yang menyala itu pun cepat juga terbakar.
Hingga beberapa saat kemudian hanya tinggal tersisa
abunya saja.

Selesai sudah upacara perabuan jenazah Ki
Wamana. Selanjutnya, warga pulang ke wismanya
masing-masing dengan masih menyisakan kesedihan
yang mendalam. Begitulah seperti kata pepatah; gajah
mati meninggalkan gading macan mati meninggalkan
belangnya. Jika akhirnya mati, maka manusia akan
meninggalkan nama besarnya. Meninggalkan jasa
kebaikannya. Demikian pula yang terjadi sepeninggal diri
Ki Wamana. Warga akan selalu mengingat jasa dan
keluhuran budi sang pemangku candi itu. Lalu, mulai saat
itulah warga setempat sepakat untuk menamai dusun
mereka dengan sebutan Dusun Karangcandi–
sebagaimana isi pesan yang telah diwasiatkan oleh Ki
Wamana sebelum wafatnya. Suatu dusun yang mana
dinamai demikian karena di dekat tempat itu memang
terdapat candi yang telah lama berdiri dengan
megahnya.[]

(Siding–Bancar, 4 Januari 2021)

76 ~ Legenda Tuban ~

Catatan penjelas:
1. Sendika dhawuh: siap melaksanakan perintah (Jw.)
2. Wadat: orang yang membujang; orang yang tidak

kawin
3. Jengandika: Anda (Jw.)
4. Paring dhawuh: ungkapan untuk menyatakan bahwa

seseorang siap menerima perintah (Jw.)
5. Diayomi: dilindungi (Jw.)
6. Nagasari: pohon yang tingginya mencapai 12 meter,

daun dan buahnya berbentuk lonjong berkulit keras,
bijinya berwarna cokelat tua; mesua ferrea
7. Nirwana: tempat kebebasan (kesempurnaan); surga

~ Legenda Tuban ~ 77

Riwayat Galombo atau
Gedongombo

Oleh: Maria Nitri

http://blog.umy.ac.id

Galombo berasal dari bahasa Jawa yaitu tegal
amba/ombo artinya ladang yang luas. Daerah yang luas
berada tepat sebelah selatan Kota Tuban. Anak muda
zaman sekarang tidak banyak yang mengenal Galombo.
Mereka mengenalnya dengan Gedongombo karena
begitulah yang tercatat di administrasi daerah.

78 ~ Legenda Tuban ~

Desa Galombo yang sekarang telah menjadi
kelurahan Gedongombo termasuk dalam wilayah
Kecamatan Semanding. Merupakan desa/kelurahan
dengan wilayah paling luas seantero Tuban. Luasnya
meliputi 5 dusun yang masing-masing dusun luasnya
hampir menyerupai luas desa-desa yang lain. Lima dusun
yang dimaksud adalah Dusun Dondong, Dusun Wire,
Dusun Jarkali, Dusun Widengan dan Dusun Kiring.

Menurut cerita yang beredar, riwayat Desa
Gedongombo berkaitan dengan Syekh Maulana Ishaq.
Jadi penulis berupaya menemui juru kunci Makam Syekh
Maulana Ishaq Al Maghribi, Mbah Kamso Imrohadi, S.Pd
supaya mendapatkan cerita yang utuh.

Menurut penuturan beliau, nama Gedongombo
terpengaruh oleh putri Barawijaya V yaitu Mbok Randa
Galombo. Nama tersebut bukan nama sebenarnya,
melainkan hanya nama panggilan saja.

Kisah lengkap Galombo atau Gedongombo
berawal dari julukan putri Prabu Brawijaya V yang
menyebut dirinya Mbok Randa Galombo.

Putri Prabu Brawijaya V ingin menemui ayahnya
dengan bukti sebuah susuk peninggalan ibunda yang telah

~ Legenda Tuban ~ 79

wafat. Keinginannya bertepatan dengan kedatangan Prabu
Brawijaya V ke Tuban bersama dengan Mbah Atas
Angin, Mbah Asyari, Mbah Maulana Ishaq dan Mbah
Asmoro Qondi. Mereka ke daerah Tuban untuk
menghadang pasukan Demak yang akan menyerang dan
meng-Islam-kan Majapahit.

Prabu Brawijaya tidak serta merta mengakuinya,
karena tidak bertemu langsung dengan istrinya yang
ternyata sudah meninggal. Prabu Brawijaya akan
mengakui bahwa dia putrinya jika sang putri berhasil
melakukan sesuatu sebagai syaratnya.

Sang putri harus membuat tenunan berupa kotang
antakusuma yang yang tidak boleh ada jahitannya sama
sekali. Harus berupa kain utuh yang ditenun hanya dalam
satu malam. Sang putri menyanggupinya. Ia pun segera
menyiapkan berbagai peralatan yang akan dipergunakan
dalam membuat tenunan itu.

Proses memenun akan dilakukan di tempat Mbah
Maulana Ishaq, karena sebenarnya sang Putri menaruh
hati pada beliau. Setelah semua siap, sang Putri segera
memulainya. Dalam semalam ia akan bersemedi di atas
sebuah bayang yang ditumpukan pada 4 buah batu

80 ~ Legenda Tuban ~

sebagai pangganti kakinya. Supaya tenunannya jadi, sang
Putri tidak boleh turun dari bayang tersebut walau apapun
yang terjadi.

Ternyata pada pertengahan malam, jarum tenun
terjatuh. Karena sang Putri tidak boleh turun dari tempat
semedi, maka ia berucap sesuatu.

“Ya Allah . . . jika ada seseorang di sini yang mau
mengambilkan jarumku, aku akan sangat berterima
kasih!” ucapnya penuh harap.

“Jika ia laki-laki, akan aku jadikan ia suami. Jika
perempuan, maka aku akan menganggapnya sebagai
saudara,” lanjutnya.

Malam itu ada seekor anjing yang lewat,
mendengar ucapan sang Putri. Kemudian anjing itu pun
mendekat. Mengambil jarum dengan moncongnya.
Walaupun anjing diharamkan dalam agama Islam, tapi
sang Putri merasa sangat berterima kasih. Maka sang
Putri pun menerima jarum itu dan mengizinkan anjing
untuk tinggal di dekatnya.

Selesai membuat tenunan, sang Putri berhasil
diakui oleh Prabu Brawijaya V. Si anjing pun dirawat
dengan penuh kasih sayang oleh sang Putri. Si Anjing

~ Legenda Tuban ~ 81

juga sering membantu setiap putri memerlukan bantuan.
Maka munculah ikatan batin di antara mereka.

Suatu hari si anjing meninggal. Sang Putri
menguburkanya di bawah pohon Awar-awar. Entah
berkah apa

yang dimiliki si anjing, pohon itu hingga kini
masih hidup dan tumbuh menjulang tinggi. Sejak
kematian anjing itulah sang Putri menganggap dirinya
menjadi randa (janda) karena merasa sudah menikah
secara batin dengan anjing tersebut. Maka disebutlah ia
Mbok Randa Galombo.

Sementara itu di dusun Widengan terdapat
lapangan terbang milik Belanda. Lapangan terbang zaman
penjajahan Belanda yang digunakan untuk mobilitas
mereka menggunakan helikopter.

Lidah orang Jawa zaman dulu mengatakan
helikopter sebagai spedo. Sampai sekarang jalan yang
menuju tempat tersebut juga terkenal dengan jalan dan
gang spedo. Lapangan tersebut sekarang digunakan
menjadi ladang bengkok bagi para pamong desa.

Lapangan itu dikelilingi dengan gedung-gedung
yang besar. Mbok Randa Galombo mengatakan bahwa

82 ~ Legenda Tuban ~

gedung-gedung di daerah tersebut amba artinya besar-
besar dan luas. Maka ketika ada pemberian nama desa
dulu ditetapkan namanya menjadi Gedongombo yang
berasal dari gedhung kang amba.

.

~ Legenda Tuban ~ 83

Dam Dung

Oleh: Nursholihah

Pemandian Silowo-Merakurak

Di kecamatan Merakurak terkenal dengan sumber
air Silowo yang airnya berlimpah ruah. Di sana untuk
mendapatkan air sangatlah mudah dan bahkan berlebih.
Jika kaki dihentak-hentakkan beberapa kali saja di tanah
yang lembap, maka bekas hentakan itu akan
mengeluarkan air. Oleh karena air yang sangat berlimpah
maka perlu dibuatkan bendungan.

Dahulu, bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa
Belanda, penjajahan itu sampai ke pelosok desa dan

84 ~ Legenda Tuban ~

bahkan sampai pada tempat-tempat terkecil termasuk
bagian paling sudut desa Tahulu namanya dukuh Pelang.
Pada zaman penjajahan itu bangsa Belanda sangat
serakah. Hasil panen rakyat Indonesia dibawa pulang ke
negaranya, dan tidak ketinggalan hasil panen petani
dukuh pelang. Dukuh Pelang berdekatan dengan dukuh
Mendalan, di dukuh Mendalan ini ada tempat yang
disebut Santren. Dukuh Pelang dan Santren dekat sekali
yang hanya dipisahkan oleh sawah dan sungai. Sungai ini
dibendung dengan alat seadanya; tlabukan1, batang
pisang, ganggang, lumpur, dan direkat dengan
menggunakan lumut. Agar orang bisa lewat, di atas
sungai dibuatkan jembatan dengan bahan seadanya pula;
bambu, pohon pinang, rembulung2, tlabukan, lalu dirajut
dengan menggunakan pleleg 3. Jembatan sederhana ini
sangat membantu orang yang hendak lewat dari desa satu
ke desa lainnya. Juga para petani yang hendak ke sawah
dan orang-orang pelosok yang hendak ke pasar. Zaman
dahulu belum ada kendaraan. Ke manapun pergi
ditempuh dengan jalan kaki. Hanya orang-orang kaya
yang memiliki sepeda ontel. Untuk keperluan ke kota ada
kendaraan yang namanya cikar4. Melalui jalanan berbatu.

~ Legenda Tuban ~ 85

Jembatan sederhana itu oleh bangsa Belanda
diganti dengan cor agar mereka mudah mengangkut hasil
panen rakyat untuk dibawa ke negaranya. Dengan penuh
semangat penduduk Santren, Pelang, dan sekitarnya
bekerja membanting tulang memeras keringat sembari
selalu berdoa mohon diselamatkan dan diberi kesehatan
oleh Allah. Setiap hari para pekerja berperang melawan
rasa takut, dan harus berhati-hati karena sungai itu dihuni
banyak buaya. Tak kenal lelah bekerja dan terus berdoa,
akhirnya jembatan cor pun selesai. Jembatan cor dibuat
tanpa pagar dan jika dilewati berbunyi dung jika kaki
dihetak-hentakkan berbunyi dung dung dung ....

Pada suatu hari ada seorang pemuda yang gagah,
tampan, berkulit putih bersih, berambut pendek tertata
rapi mengkilat melewati jembatan itu. Seorang kakek
sedang bekerja di kebun sagu dekat jembatan. Kakek
sangat waspada dan hati-hati. Karena jika matahari mulai
meninggi dan cuacu terasa panas, biasanya buaya-buaya
sungai itu naik ke jalan untuk berjemur berjajar bersama
teman-temannya menikmati panas matahari. Jalanan
yang berlumpur sering kali oleh kakek diuruk dengan
menggunakan pangkal pohon sagu yang tidak terpakai

86 ~ Legenda Tuban ~

agar orang yang lewat tidak terperosok ke dalam lumpur.
Warna pangkal pohon sagu mirip seperti warna kulit
buaya sungai. Jika orang tidak biasa lewat, sering
kesulitan membedakan pangkal pohon sagu dan buaya
karena selain warna yang hampir sama bentuk pangkal
pohon sagu juga hampir sama dengan bentuk badan
buaya.

Pemuda tampan itu disapa oleh kakek,
“Hai ... nak. Kau pemuda dari kota ya?”
“Iya kek.” Jawab pemuda tampan.
“Kalau lewat sini hati- hati ya nak, biasanya kalau
matahari sudah terasa panas begini, buaya-buaya suka
berjemur di jalan tidak jauh dari sini, arah yang akan
kamu lewati. Kamu mau ke mana nak? Kok sendirian?”
“Saya mau ke rumah pak de kek. Hati-hati ya nak,
banyak buaya. Ah, Kek buaya takut sama saya yang
lewat.”
Dalam hati kakek berkata,
“Ah sombong amat anak ini.” Kakek tetap
berpesan
“Hati-hati ya nak.”

~ Legenda Tuban ~ 87

“Gak pa pa Kek buaya itu pasti takut sama saya
yang lewat.” Jawab pemuda tampan itu.

“Ya sudah kamu lewat saja.”
Kakek melanjutkan pekerjaannya. Tak lama
kemudian terdengar suara jeritan yang sangat keras.
“Kaki ...! Kaki ...! Kaki...! kaki ...!”
Kakek bergegas lari menuju suara jeritan.
“Byar!” Dada kake berhamburan. Kakek
tercengang dan menghela napas panjang. Apa yang
dikhawatirkan dan dipesankan kepada anak muda tadi
benar-benar terjadi.
Pemuda tampan itu tergeletak dengan wajah
serupa kain kafan dan badannya terkulai lemas dengan
kaki kanannya buntung dan bersimbah darah.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.” Kakek
mengucap istirja.
Kakek menolong pemuda itu. Pemuda itu terus
mengerang kesakitan dan meratapi kakinya yang hilang
sepotong. Jarinya menunjuk-nunjuk buaya yang
membawa kakinya. Mulutnya seolah tersumpal pohon
sagu. Tah sepatah kata pun bisa keluar. Air bening
menderas dari mata sembabnya.

88 ~ Legenda Tuban ~

Kakek teriak sekuatnya.
“Tolong ...! Tolong ...! Tolong ...!”
Kebetulan saja ada Kang Di dan Pak Kamit lewat
hendak pergi ke sawah.
“Ada apa Kek, kenapa ini?”
“Lihat kakinya!”
“Astaghfirullahhal azim, kenapa ini Kek?”
“Kakinya dimakan buaya itu lihat dibawa masuk
ke sungai.”
Pemuda tampan itu masih membisu
. “Kenapa ini Den?”
Walau sudah tahu, sengaja Kang Di bertanya agar
pemuda tampan itu mau membuka mulutnya.
“Dung ,,, dung ... dung .... Semenjak kejadian itu
jembatan cor yang ada di bendungan itu disebut dengan
DAMDUNG.

Tuban, 31 Desember 2020

~ Legenda Tuban ~ 89

Keterangan: : Pangkal pelepah daun sagu
1. Tlabukan : Pelepah daun sagu
2. Rembulung : sejumlah serat bagian tepi
3. Pleleg pangkal pelepah sagu
: kereta sapi
4. Cikar

Nara sumber:
1. Mbah Mahmudah (alm) berpulang 1987
2. Ali Syatho (alm) 1934-2016
3. Siti Fatimah (alm) 1949-2002

90 ~ Legenda Tuban ~

Kebo Kemali

Oleh: Nursholihah

http://www.mitrarakyat.com

Syahdan ... setelah melalui tahun Seribu Sembilan
Ratus Enam belas, perjuangan Mbah Ji Shaleh
mengajarkan agama Islam di Merakurak yang bertempat
di Santren1 dilanjutkan oleh cucunya yang bernama
Masran. Masran yang terkenal jadhug kanuragan tak
gentar menghadapi berbagai rintangan. Jin, setan, demit,
iblis, binatang buas, dan lainnya adalah sahabatnya.

~ Legenda Tuban ~ 91

Mereka hidup bersama dan bersama-sama menghuni rawa
kala itu yang sekarang disebut sumber air silowo.

Suatu hari Sang Ratu Iblis sedang mempunyai
hajat menantu. Semua warga di Santren diundang. Pesta
besar-besaran. Hidangan untuk tamu undangan
disediakan prasmanan; mulai nasi jagung, urap, sayur
lodeh pondoh2, ikan asin goreng, sate kambing, rendang
kerbau, becek kerbau, ikan sungai bakar, sambal terasi,
nasi goreng, dadar telur, sayur menir plandingan, lodeh
tewel, garang asem kutuk, perkedel, tempe goreng, kare
ayam, krupuk udang, dan lainnya semua ada. Benar-benar
pesta yang mewah dan meriah. Warga Santren terkagum-
kagum menyaksikan hidangan yang serba mewah,
tersebab keseharian mereka bisa makan itu saja sudah
bersyukur.

Sehari sebelum acara pesta, Masran yang biasa
dipanggil Mbah Ran diundang oleh Sang Ratu ke Istana
untuk menyembelih kerbau. Bergegas mbah Ran
berangkat ke istana iblis dengan membawa parang yang
sudah diasah setajam mungkin. Usai kerbau disembelih
mbah Ran meminta santrinya menyiangi dan memotong-

92 ~ Legenda Tuban ~

motong bagian-bagian badan kerbau untuk memudahkan
yang memasak.

“Ratu, tugas kami sudah selesai. Kami pamit
pulang.”

“Iya Mbah, jangan lupa besok hadir bersama santri
dan warga ya ....”

“Baiklah, insya Allah kami datang.”
“Ini ada sesuatu, bawalah pulang.”
“Terima Di ....” ujar mbah Ran pada Kasdi
santrinya
“Loh, emas Mbah?”
“Iya. Bawa!”
Mbah Ran dan santrinya pun pulang. Mereka
membalikkan badan, terus lurus berjalan ke depan tanpa
menoleh menuju surau yang disinggahi. Sesampai di
surau Kasdi memberikan emas pemberian Sang Ratu
kepada mbah Ran. Namun betapa terkejutnya Kasdi
melihat emas yang digenggam sedari tadi tiba-tiba saja
tidak ada di tangannya. Padahal mereka tidak singgah di
mana-mana. Namun ada dua rimpang kunir di
genggamannya.
“Mbah, ini emas yang diberi Sang Ratu tadi.”

~ Legenda Tuban ~ 93

“Iya, tanam di belakang surau sana. Kapan-kapan
bisa digunakan untuk membumbui ikan.”

“Loh! apa Mbah Ran tahu kalau ini kunyit?”
“Ya enggaklah ... yang membawa kamu kok.”
“Lha kok disuruh menanam?”
“Ya gurauanlah ... sudah ayo mandi lalu salat
zuhur.”
“Baik Mbah.”
Aroma orang punya hajat sudah mulai tercium di
kampung Santren. Terlihat lalu lalang delman mengusung
barang-barang perlengkapan pelaminan, alat-alat makan,
bunga-bunga, dan kursi pengantin menuju istana. Angin
membawa harum bumbu masak yang sedang digongso.
Berbaur harum aroma bunga setaman.
Keesokan harinya, sinar matahari samar-samar
menerobos sela-sela rimbun dedaun sagu. Sangat sulit
untuk menentukan waktu dengan menggunakan jam.
Orang-orang di kampung Santren menunggu kentongan di
pukul untuk mengetahui waktu. Tersebab hanya di surau
dan masjid yang ada jam dinding. Di rumah-rumah tidak
menyediakan. Untuk mengetahui waktu salat, menunggu

94 ~ Legenda Tuban ~

bedug ditabuh. Di kampung itu jam dinding tidak menjadi
kebutuhan.

Bedug di masjid ditabuh bersahut-sahutan dengan
kenthongan dari rumah Pak RT. Suara itu sangat jelas
dengan jeda, hingga hitungan ke dua belas. Pertanda
waktu menunjukkan pukul dua belas. Disusul dengan
suara azan Khusen yang meliuk-liuk, pertanda memanggil
salat zuhur berjamaah. Mbah Ran dan santrinya pun
bergegas berangkat ke masjid. Sementara orang ada yang
menunaikan salat zuhur di rumah, ada pula yang
berjamaah di surau. Usai salat zuhur adalah waktu yang
ditentukan oleh Sang Ratu untuk pesta yang mengundang
seluruh warga kampung Santren. Orang-orang di
kampung itu pun bersiap untuk berangkat. Mereka pada
keluar dari rumah mengenakan baju yang paling bagus
yang dimiliki, baru beberapa saja melangkahkan kaki,
tiba-tiba mereka sudah berada di istana yang megah
beralaskan permadani warna merah membentang, hiasan
bunga-bunga memenuhi semua sudut, ruang itu teramat
luas berdindingkan tampilan-tampilan berbagai musik.
Ada angklung, hadrah, kosidah, rock, gamelan, semua
ada. Tetamu pun jejogetan, dijamu dengan berbagai menu

~ Legenda Tuban ~ 95

makanan dan minuman yang sangat lezat. Yang hampir
saja tidak pernah dinikmati. Musik bertalu-talu. Orang-
orang warga kampung Santren menyaksikan berbagai
macam tetamu yang bergaun mewah, abyor menyilaukan
mata. Sang Ratu berdiri di pintu masuk, mengenakan gaun
kebesaran ratu yang serba merah, tersenyum ramah
menyambut kedatangan tamu undangan. Benar-benar
suasana pesta yang poya-poya.

Pesta berlangsung serasa sekejap. Padahal sudah
melebihi bedug salat asar. Orang-orang kampung Santren
terlena dengan pesta. Mbah Ran mengingatkan orang-
orang agar segera meninggalkan tempat. Setelah
dipastikan semua sudah pulang, baru mbah Ran
meninggalkan tempat. Mbah Ran pulang paling akhir
tersebab dia khawatir orang-orang tidak tahu jalan pulang.

Keesokan harinya, pak Jan yang bertempat tinggal
di Pelang, kampung yang bersebelahan dengan Santren
melapor pada mbah Ran bahwa kerbaunya hilang satu.
Namun ada setengah batang pohon pisang yang tergeletak
di kandang kerbaunya. Semalam dia melihat kerbaunya
masih utuh dan tidak ada potongan pohon pisang.
Mendengar laporan itu mbah Ran mendatangi kandang

96 ~ Legenda Tuban ~

pak Jan. Mbah Ran menyaksikan keadaan yang sama.
Lalu dipinggirkanlah potongan pohon pisang tersebut
sembari berkata ...

“Apa yang aku sembelih kemarin itu kerbaumu?
aku kok curiga.”

Sesampai di rumah, mbah Ran mendengar suara
jebar-jebur di sungai dekat rumahnya. Di dekatinya suara
itu, semakin jelas dan jelas. Diamatinya seperti ada
makhluk sebesar kerbau. Setelah diamati dengan
seksama, benar-benar kerbau yang sedang mandi di
sungai. Dihalaulah kerbau itu menuju rumah pak Jan di
Pelang, kalau saja itu adalah kerbau pak Jan yang hilang.
Kerbau itu tidak mau berlari menuju ke arah Pelang, tetapi
sebaliknya malah menghadap mbah Ran membuka
mulutnya lebar-lebar terlihat giginya yang runcing
berwarna putih perak dan menyala.

“Hai Kerbau, sebenarnya kamu siapa?”
“Aku kerbaunya pak Jan yang hilang dan kau cari
itu.”
“Bukankah kau sudah kusembelih?”

~ Legenda Tuban ~ 97

“Yang kau sembelih itu pohon pisang. Ketika kau
meletakkan pisau di leherku tuanku menyeretku dan
menggantikanku dengan pohon pisang.”

“Mengapa gigimu berubah menjadi runcing-
runcing dan menyala putih?”

“Iya. Gigiku telah diganti oleh tuanku di istana.
Sebab itu aku tidak bisa pulang ke kandangku di rumah
pak Jan. Sekarang aku telah menjadi keluarga istana.
Panggil aku Kebo Kemali.”

“Kembalilah kamu ke alammu, kalau kamu di sini
bersama orang-orang, nanti mereka sungkan dengan
dirimu.”

“Sebenarnya aku ingin pulang, tapi tak tahu jalan.
Jadi aku jalan-jalan berharap bisa pulang.”

Semenjak itu orang-orang di kampung Santren
dihebohkan dengan Kebo Kemali. Dia suka mandi jebar-
jebur di sungai dan suka jalan-jalan di kampung sehingga
sering kali orang melihat wujudnya dengan gigi runcing
berwarna perak menyala dan mulut yang selalu terbuka
sehingga tampak jelas di pandang mata.***

Tuban, 31 Januari 2021

98 ~ Legenda Tuban ~

Keterangan:
1. Santren = nama pemukiman yang sekarang hilang

dari KTP. Dulu nama pedukuhan.
Munculnya nama Santren berasal dari kata
santri, dan di tempat itulah orang-orang
nyantri, sehingga dijuluki santren lihat
di buku Cerita Rakyat Tuban.
2. Pondoh = bagian terdalam ujung pohon sagu.

Sumber informasi:
1. Bapak Ali Syatho (Alm)
2. Ibu Siti Fatimah (Alm)
3. Mbah Hadi Prayitno
4. Mbah Sabidin

~ Legenda Tuban ~ 99

Sulalah Goa Ngerong

Oleh: Indah Hindar Wahyuni

Goa Ngerong tempo dulu

Goa Ngerong terletak di kecamatan Rengel
kabupaten Tuban dan berada tepat di kaki bukit gunung
kapur dan berada tepat di pinggir jalan raya. Goa Ngerong
memiliki lobang degan panjang 1,8 km potensinya dapat
mencapai 30 km. Gua ini adalah gua air yang hanya bisa
diarungi dengan perahu karet. Pada kedalaman 1.000
meter dapat ditemui air terjun. Di dalam gua, terdapat
kolam kecil yang dihuni banyak ikan, seperti ikan tawes,
100 ~ Legenda Tuban ~


Click to View FlipBook Version