Siapa Lelaki yang Menghuni
Bed di Belakangku?
K eikutsertaanku dalam kegiatan Jelajah Literasi
Bangkok yang diselenggarakan oleh MediaGuru
Indonesia pada tanggal 15 ‐ 18 Februari 2019, bukanlah
tanpa persiapan yang matang. Aku selalu berkonsultasi
dengan suami tercinta mulai dari perlengkapan yang harus
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 43
kubawa sampai nominal bath dan rupiah yang akan menjadi
nilai tukar di sana.
Jadwal kegiatan yang disepakati bersama tour guide
ternyata kembali ke tanah air hari Minggu tanggal 17 Februari
dengan variasi waktu berbeda setiap peserta. Aku ingat betul
saat temanku mengajak untuk ikut jelajah literasi ini. Beliau
dengan sukarela menggalang biaya tiket karena akan lebih
menguntungkan apabila kita memesan tiket jauh hari
sebelum keberangkatan. Karena saat itu konsentrasiku pada
kegiatan seleksi TOT Sasisabu, aku ikut saja ketika ternyata
aku mendapatkan tiket kembali ke tanah air dengan maskapai
yang sama di hari Senin tanggal 18 Februari.
Saat aku menerima jadwal final kegiatan jelajah literasi,
ada rasa menyesal megnapa aku ikut pulang hari Senin,
sehingga aku harus ekstensi hotel yang otomatis akan
berpengaruh pada bujetku. Selain itu, pengalaman pertama
kalinya bagiku pergi ke negeri orang. Jelas ada rasa khawatir
bagaimana kami di sana jika tanpa tour guide? Lahaula
Walakuataillahbillah, mudah‐mudahan tak terjadi apa‐apa
nanti saat kami menjelajah kota Bangkok tanpa tour guide
harapku pada Sang Mahakuasa.
Minggu, 17 Februari 2019 pada saat sebagian besar
peserta jelajah literasi mempersiapkan penerbangan kembali
ke tanah air, aku bersama delapan orang emak‐emak yang
berasal dari berbagai kota dari provinsi yang berbeda pula
harus mencari hotel untuk satu malam sebelum keesokan hari
kami terbang ke tanah air. Untung tour guidenya sangat
peduli terhadap nasib kami. Meskipun di detik‐detik terakhir
menjelang kepulangan ke tanah air karena tugas lain
44 | Tim Penulis Jelajah Literasi
menunggunya, ternyata mereka masih menyempatkan untuk
mengarahkan kami.
Hotel segera dipesan untuk sepuluh orang, walaupun
akhirnya salah seorang mengundurkan diri karena khawatir
terlambat dengan penerbangan besok pagi. Kami pun
diarahkan bagaimana harus antre taksi dari bandara menuju
hotel hingga alamat hotel yang harus kami tunjukkan kepada
sopir taksi yang ternyata tidak bisa berkomunikasi dengan
bahasa Inggris. Alhamdulillah, semua berjalan lancar.
Akhirnya kami tiba di Dinba Poshtel, perjalanan sekitar 25
menit dari Bandara Don Mueang.
Hotel kelas asrama atau dormitory dengan bentuk kamar
memanjang berisi enam bed bertingkat untuk kapasitas dua
belas orang. Aku tetap bersyukur berkesempatan menjadi
penghuni jenis hotel dormitory dengan kamar mandi terpisah
di luar kamar. Dibandingkan dengan beberapa teman lain
yang memutuskan untuk menghabiskan malam di Don
Mueang, bandara yang akan menerbangkan kami ke tanah air
esok hari.
Sementara dua orang emak‐emak yang lain melanjutkan
jelajah ke Madame Tussauds, aku memilih untuk segera
berbaring di bed bawah nomor dua. Saat mata mulai
terpejam, hatiku sudah tiba di tanah air, sampai akhirnya aku
pun terlelap. Sesaat aku terbangun karena kudengar suara
ramai percakapan dengan bahasa Thailand. Ternyata ada
tamu seorang perempuan bangsa Thailand yang ingin
menyalakan AC kamar. Sekilas saja aku melihat
perawakannya. Seperti seorang laki‐laki, gumamku. Ah, pasti
itu petugas hotel yang membantu menyalakan AC. Aku
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 45
mencoba untuk tetap tenang. Kulanjutkan petualanganku ke
pantai kapuk. Ah, mengapa aku jadi gelisah? Tak jua bisa
kupejamkan mata ini. Lalu aku tengok bed di belakangku yang
hanya terhalang bilah kayu yang tidak terlalu rapat. Kuintip
melalui celah bilah kayu pemisah bed. Lho, kok ada laki‐laki?
Bukankah semua temanku emak‐emak dengan hijab rapi
menutup tubuh? Lalu siapa lelaki dengan kacamata yang
tampak sedang duduk bersila di bed belakangku? Ya Allah,
lidungilah hamba. Doa pun kupanjatkan segera.
Untuk menghilangkan resah gelisah, akhirnya aku
memutuskan untuk ke kamar kecil saja bersama seorang
temanku yang belum sempat melaksanakan kewajiban empat
rakaatnya karena kantuk yang membuatnya terlelap. Dari
kamar kecil aku beranikan diri untuk kembali melihat
penghuni bed di belakangku agar lebih jelas. Tampak ia
tertidur lelap dengan potongan rambut pendek tanpa hijab.
Aku tetap beranggapan ia adalah tamu lain. Bukan
rombongan emak‐emak yang datang bersamaku. Aku
tertegun di atas seprei putih, ingin segera pagi saja rasanya.
Ah, dia sudah terlelap, jadi aku pun akan mencoba untuk
beristirahat agar esok hari bangun tubuhku terasa segar.
Kututup bola mataku sambil tak lupa kuucap doa untuk
keselamatanku malam ini.
Senin, 18 Februari pukul empat pagi aku segera ke kamar
mandi. Ingin kuawali hari ini dengan dua rakaat agar
keberkahan tetap menghampiri. Saat aku akan meminjam
sajadah, tak bisa kutahan tawaku meledak sesaat karena baru
kusadari lelaki yang aku kira penghuni bed di belakangku
46 | Tim Penulis Jelajah Literasi
adalah emak haji dari Karawang. Hahahaha…, maafkan saya
Bu, tadi malam aku mengira yang tidur di bed ini bukan ibu.
Aku menceritakan kegelisahanku semalam saat kutengok
bu haji yang tanpa hijab terlelap di bed belakang. Hah? Bu haji
pun terbengong‐bengong mendengar prasangkaku padanya
semalam. Ya ampun, karena kami baru pertama bersua
dengan keseharian dalam pertemuan tanpa melepas hijab.
Saat semalam saja bersua tanpa hijab membuat prasangka
seorang wanita seolah‐olah lelaki.
Saat ini pun aku masih tersenyum simpul mengingat
pengalamanku semalam di Dinba Posthel dormitory, hotel
asrama Kota Thailand. Tak mudah terlupakan, membuatku
ingin kembali berpetualang.
Siti Aisah, S.Pd.SD
(Guru SD Negeri Bojongkiharib Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 47
48 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Berbusana Thailand di Wat
Arun, Bikin Kami Jadi Seleb
Sekejap
H ari kedua Jelajah Literasi MediaGuru adalah ke
destinasi wisata impianku, Wat Arun. Kami
menikmati perjalanan di Chao Phraya River yang
bersih dan memesona dengan perahu yang unik dan cantik
menuju Wat Arun. Di kiri kanan sungai berjajar berbagai
bangunan. Ada hotel, mal, kuil, kafe, dan rumah‐rumah
penduduk. Sungai ini juga memiliki jembatan megah yang
kami lewati ketika menuju Thailand Islamic Centre.
Kebersihan, kerapian, dan keindahannya membuatku iri. Duh,
seandainya sungai‐sungai di kotaku bersih dan bisa kembali
jadi sarana transportasi.
Kami pun antre merapat di Dermaga Tha Tien sambil
melihat ikan besar‐besar yang muncul ketika diberi makan.
Orang Thailand memercayai siapa pun yang memberi makan
ikan‐ikan itu akan mendapat berkat, tapi jangan sekali‐kali
ambil ikannya, ya!
Setelah sampai di depan Wat Arun, kami berfoto
bersama dengan seluruh peserta. Seru dan ramai kami
bergaya dan cari posisi, tapi fotografernya ternyata jauh lebih
gaya ketika memotret. Alhamdulillah, membuat kami semua
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 49
tertawa. Alhasil, fotonya sangat ceria. Alhamdulillah, juga
fotonya sudah bisa diambil sebelum kami pulang ke Indonesia
dengan menebus seratus bath.
Setelah itu kami diberi waktu sejam untuk menjelajah
Wat Arun, tapi dibatasi untuk tidak masuk Wat Arun karena
kami mesti berbagi waktu dengan destinasi wisata lain. Duh,
padahal ingin sekali menyentuh dan berfoto di kuil megah
dan indah itu. Kami pun berjalan berfoto‐foto menggunakan
gawai. Pandangan mataku tertuju ke penyewaan baju
tradisional Thailand seharga 200 bath. Lumayan mahal, tapi
tak apalah untuk kenangan. Alhamdulillah, Bu Zuyyinah dan
Bu Aisah yang di dekatku mau.
Kami pun memilih baju yang warnanya kami suka.
Banyak juga kami bertemu teman‐teman rombongan yang
menyewa. Ternyata kain‐kain itu tidak berjahit, tetapi
menggunakan peniti, sehingga siapa pun bisa
menggunakannya. Kain bagian bawah atau frill (timah dosa),
kain yang menutup bagian perut (dosa tua), dan yang
menutup bagian atas (hua dosa). Setelah itu kami bergeser
ke tempat lain dan dipakaikan gelang, kalung, dan semacam
songkok hias di kepala. Cukup berat dan tidak boleh
menunduk selama memakainya juga tidak menggunakan
kacamata. Mengganggu pandangan mata yang sudah minus,
plus, dan silinder. Namun, tak apalah cuma sebentar.
Setelah itu kami berjalan dan berfoto‐foto bersama
dengan latar belakang Wat Arun tentunya. Ketika kami
hendak berfoto, tidak lama kemudian banyak orang‐orang
yang ikut bersiap memotret. Mereka tersenyum dan
50 | Tim Penulis Jelajah Literasi
sebagian minta izin memotret. Kami pun tersenyum
mengangguk. Setelah itu bergantian mereka minta foto satu
per satu. Layaknya selebritis, kami pun mengizinkan dan
terus tersenyum. Ada yang dari Turki, Italia, dan beberapa
yang saya lupa. Yang unik adalah ketika seseorang meminta
izin foto, memvideokan dan berbincang dalam bahasa
Inggris. Lama‐lama logat melayunya membuat saya bertanya
asalnya, ternyata ia dari Padang dan itu membuat kami
berteriak sambil menginformasikan asal daerah kami.
Obrolan tambah seru sampai ke pekerjaan dan kantor.
Kami pun segera kembali ke tempat penyewaan karena
waktu sewa sudah lewat dari sepuluh menit. Pemandu kami
datang dan menegur pemilik penyewaan, sehingga kami
membayar seratus bath saja. Setelah itu kami berkeliling
membeli sedikit suvenir, lalu berjalan sambil berfoto‐foto
menuju bus yang akan membawa kami ke Thailand Islamic
Centre.
(Emi Priyanti, Guru Bahasa Indonesia SMPN 30 Jakarta)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 51
52 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Farewell Time
M inggu, tanggal 17 Februari 2019 adalah hari
terakhir kami mengikuti Exploration of Literacy in
Bangkok‐Thailand. Tiket pesawat kami kelompok
Grobogan, Jawa Tengah jam 15.00. Atas saran Mas Adhi,
sebaiknya kami ke bandara 3 jam before departure time agar
tidak ketinggalan pesawat. Setelah ke pusat oleh‐oleh kami
turun di depan JJ Mall. Ada rasa haru, sedih, dan gimana gitu
karena harus berpisah dengan tema‐teman, Pak Bukhori (tour
guide yang kadang seperti marah karena ketidaktahuan kami)
dan Mas Adhi yang membantu dan menjawab setiap
pertanyaan kami.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 53
Tak berapa lama taksi kami datang. Saya duduk dengan
Mr. Driver. "To Don Moeang airport please." Dia jawab
memakai bahasa Thailand. Saya tanya lagi "How much to the
airport? Dia menjawab dengan bahasa Thailand lagi. Saya jadi
bingung, sepertinya sopir ini tidak bisa bahasa Inggris.
Kemudian sang sopir utak‐atik mobile phone di depannya.
Dengan bahasa isyarat dia menunjuk ke mobile phonenya,
saya disuruh bicara. Saya tanya, "Can you speak English?
Muncul di layar bahasa Thailand.
Kemudian dia menjawab memakai bahasa Thailand yang
muncul di layar bahasa Inggris, "Not at all." Hatiku bersorak
"Wow, it's amazing." Sebagai guru ndeso ini pertama kalinya
berkomunikasi 3 arah. Akhirnya, kami bisa berkomunikasi
dengan lancar lewat bantuan translator dari HP. Ada bahasa
Inggrisku yang berlepotan saat dia bertanya, "How about
expressway add 70 bath?" Is it more quicker? jawabku. Itu
salah seharusnya "Is it quicker?" Untung tidak ada yang
protes. Setelah beberapa saat (karena saya lupa tidak melihat
jam) sampai juga di Bandara Don Moeang gedung 1.
Argometer tertulis 135. Saya pertegas dengan pertanyaan,
"It's one hundred thirty five, right? Dia menggangguk.
Dengan rasa senang 200 bath saya serahkan tanpa minta
kembalian. "This money for you”. Dia pun tersenyum. Dalam
hati saya berkata,” Kayak bos saja tidak minta kembalian.
Hebat juga jadi bos di negara orang, the White Elephant's
Country. Hehehe…
Setelah jam 12 loket mulai buka. Dengan mengular kami
antre menuju loket. Tiba‐tiba saya melihat tas seperti tasnya
Bu Neti. Maksud hati membantu, tas itu saya geledah. Tanpa
54 | Tim Penulis Jelajah Literasi
diduga dan dinyana ada suara bapak‐bapak. “Mbak, itu tas
saya. Mau dibawa ke mana?” Saya kaget dan malunya minta
ampun. Lalu berkata,” Maaf, Pak saya kira tas teman saya.”
"Oh my God. What an embarassing experience!“ Kami
melanjutkan perjalanan, tanpa sengaja tanganku menyenggol
tas orang di depanku. Dengan penuh kecurigaan dia segera
menatapku dan meraba tasnya terbuka apa tidak. Saya minya
maaf, “Sorry for touching your bag.” Kubertanya dalam hati,
"Is my face like a criminal person?”
Tiba saatnya masuk pesawat. Pada saatnya pramugari
menawarkan makanan, saya minta,”Pop mie, please." Saya
dikasih kopi. Saat minta "Soft drink, please." Saya dikasih
chicken stick (dalam hati saya berkata ndak papa chicken stick
bisa buat oleh‐oleh anak). Lalu saya bilang "One more, please"
karena anakku dua. Ternyata “misunderstood” yang
membawa berkah. Kedua anakku senang dengan chicken
stick dan minta lagi. "Ibu keluar negeri lagi kapan? Jangan
lupa belikan oleh‐oleh yang banyak, ya!” Tanya dan pinta
anakku, kuamini. Semoga di lain kesempatan saya bisa ikut
jelajah literasi berikutnya. Walaupun saat mau berangkat ada
keragu‐raguan harus mandiri dari Indonesia ke Bangkok,
Bangkok ke Indonesia. Alhamdulillah, diberi kelancaran Allah
dan sampai tanah air tepat waktu dan selamat. Ada kesan
tersendiri yang tidak dapat dilukiskan.
Sri hartini, M.Pd.
(Guru SMP Negeri 2 Kradenan, Kab. Grobogan, Jawa Tengah)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 55
56 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Tour Thailand Penuh
Keunikan
J anuari yang ceria di saat jari‐jariku membuka
ponsel membuka WhatsApp lalu mataku tertuju pada
grup literasi ternyata di dalamnya berisi imbauan
tentang Jelajah Literasi ke Bangkok yang diadakan oleh Tim
MediaGuru. Kubaca persyaratan untuk bisa mengikuti
kegiatan tersebut. Bersama Kepala Dinas Pendidikan Kota
Pangkalpinang, kami mendaftar ke MediaGuru agar bisa ikut
serta dalam kegiatan ini.
Senang sekali hati ini ketika membaca bahwa program
jelajah literasi diadakan. Aku bisa bertemu kembali dengan
teman‐teman sesama penulis. Keinginanku hanya satu ingin
menimba ilmu dan saling berbagai dengan teman‐teman
masalah menulis agar tulisan yang dihasilkan berkualitas.
Keberangkatan ke negara Thailand semakin dekat. Aku
mempersiapkan semua keperluan di sana. Sebelum
berangkat terlebih dahulu aku berpesan kepada guru‐guru
dan siswa pada saat apel pagi kuutarakan kepergian ke
Thailand adalah menimba ilmu agar sepulangku dari Thailand
ada perubahan pada sekolah yang kupimpin menjadi lebih
baik. Semua warga sekolah mendengar apa yang kuutarakan
dan mereka berdoa semoga perjalananku ke Thailad
dilindungi Allah SWT.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 57
Kamis sore dengan menggunakan penerbangan dengan
salah satu maskapai penerbangan aku terbang ke Jakarta
dan menginap di salah satu hotel yang dekat dengan
bandara. Keesokan paginya sekira pukul 4.00 kami check out
dari hotel menuju Bandara Soekarno Hatta. Di dalam tiket
menuju Thailand tertera waktu keberangkatan pukul 06.25.
Tepat pukul 06.25 kami pun berangkat ke Thailad. Di tiket
tertera 0 bagasi dan barang yang dibawa ke kabin hanya
maksimal 7 kg. Aku berusaha membawa barang seperlunya
saja agar tidak melebihi timbangan karena kelebihan barang
bawaan 1 kg kena cas Rp 250.000, 00.
Perjalanan dari Indonesia ke Bangkok memakan waktu
selama 3 jam. Tepat pukul 10.00 rombongan tiba di
Bandara DMK Bangkok. Peserta jelajah literasi berjumlah 95
orang yang terdiri Tim MediaGuru, para penulis berprestasi,
pegawai Kemendikbud, Kepala Dinas Kota Pangkalpinang,
pengawas, kepala sekolah, dan guru serta para penulis
setanah air. Semua peserta yang baru tiba belum bisa
melanjutkan perjalanan karena masih menunggu rombongan
yang masih dalam perjalanan. Semua peserta mencari
kesibukan masing‐masing. Ada yang asyik mengabadikan
situasi bandara dengan berfoto ria. Ada yang asyik
mengobrol dengan sesama penulis dan ada juga yang sibuk
mencari restoran untuk membeli makanan. Semuanya
bersemangat.
Setelah rombongan datang barulah kami semua
melanjutkan perjalanan dengan menggunakan 2 bus
bertingkat menuju gedung SEAMEO untuk mendapatkan
pengetahuan tentang SEAMEO. Sesampai di gedung tersebut
58 | Tim Penulis Jelajah Literasi
kami disambut dengan ramah oleh para pegawai SEAMEO.
Semua peserta memasuki ruang pertemuan. Kami semua
mendengar paparan tentang SEAMEO dan sebagai
narasumbernya Bapak Gatot. Banyak sekali ilmu yang kami
dapatkan di SEAMEO dan para peserta berjanji untuk
mengimbaskan ilmu yang didapat setelah pulang ke tanah air.
Sungguh menyenangkan perjalanan hari ini.
Hari kedua perjalanan dilanjutkan ke River City Bangkok.
Semua peserta untuk sampai ke tempat yang dituju
menggunakan kendaraan speed boat. Panitia menyediakan 2
buah speed boat. Sebenarnya aku merasa ngeri juga naik
kendaraan yang satu ini. Apalagi panitia tidak menyediakan
pelampung bagi penumpang. Aku melihat semua peserta
dengan bersemangat naik ke speed boat. Rasa takutku jadi
hilang. Aku juga naik bersama mereka. Ada satu peserta
jelajah literasi tidak mau ikut. Peserta itu berasal dari Aceh,
alasannya dia masih trauma kejadian tsunami di daerahnya.
Semua peserta menikmati perjalanan ini dengan penuh
canda tawa. Pengemudi speed boat menghentikan
kendaraannya sebentar agar para penumpang bisa
berkesempatan untuk melihat pemandangan sekitarnya. Ada
yang memberi makan ikan dan berswafoto. Semuanya
menikmati dengan gembira.
Ketika kami melemparkan serpihan roti tawar ke sungai
kulihat banyak ikan patin besar‐besar sekali. Tetapi anehnya
ikan itu tidak boleh ditangkap maupun dimakan karena ikan
patin itu menurut kepercayan masyarakat Thailand
merupakan hewan keramat. Senang sekali melihat ikan patin
saling berebutan menyantap serpihan roti. Setelah kami
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 59
memberi makan ikan, perjalanan dilanjukan lagi ke suatu
tempat yang di dalamnya terdapat wihara, tempat rakyat
Budha bersembahyang yang sangat tinggi dan megah.
Banyak juga turis dari berbagai negara yang berkunjung ke
tempat itu. Di sekitar wihara terdapat toko‐toko kecil yang
menjual berbagai suvenir masyarakat setempat. Dengan
menggunakan ponsel aku bersama Ibu Kadis mengabadikan
kenangan indah di tempat itu. Kemudian acara dilanjutkan ke
pusat perbelanjaan yang ada di kota Thailand.
Banyak peristiwa yang lucu saat berbelanja karena para
penjual banyak yang tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka
hanya bisa berbahasa Thailand sehingga komunikasi saat
berbelanja menggunakan bahasa tangan dan bahasa
kalkulator. Semua peserta agak menghemat juga saat
berbelanja karena terbentur dengan muatan koper yang
dibawa. Sebagian besar para peserta pulangnya
menggunakan maskapai penerbangan yang tidak ada bagasi.
Barang milik penumpang hanya bisa dibawa ke kabin dan
muatannya tidak boleh lebih dari 7 kg. Masalah seperti inilah
yang membuat kami harus seminimal mungkin berbelanja.
Ingin rasanya membawa oleh‐oleh untuk keluarga dan handai
tolan di tanah air tetapi keterbatasan muatan barang di kabin
membuat kami untuk lebih mengerem saat berbelanja.
Setelah acara shopping selesai semua peserta diminta
panitia masuk ke dalam bus dan langsung meluncur ke hotel
tempat kami menginap. Semua peserta kelihatan capai sekali
dan di dalam mobil tertidur dengan lelap sehingga tidak
menyadari mobil sudah sampai di hotel.
60 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Hari ketiga perjalanan para peserta dibagi menjadi dua
grup dengan tempat kunjungan yang berbeda. Grup pertama
meneruskan wisata dan shopping sedangkan grup yang
kedua mengunjungi Sekolah Indonesia Bangkok (SIB). Aku
dan Ibu Kadis masuk dalam kelompok grup kedua berkunjung
ke Sekolah Indonesia Bangkok bersama tim MediaGuru.
Sebagai ketua rombongannya Pak Ihsan.
Di Sekolah Indonesia Bangkok Tim MediaGuru
memberikan materi tentang Sagusabu (Satu Guru Satu Buku)
dan Sasisabu (Satu Siswa Satu Buku). Rombongan disambut
dengan ramah oleh tuan rumah. Setelah itu tim MediaGuru
masuk ke sebuah ruangan yang ditempati siswa dan satu
ruangan lagi yang ditempati guru. Para tim memberikan
penjelasan mengenai bagaimana membuat tulisan yang baik.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Pangkalpinang juga
mendapatkan kesempatan sebagai motivator dalam kegiatan
tersebut. Sedangkan pengunjung yang lain mengamati
lingkungan sekolah. Suasana sekolah kelihatan nyaman dan
asri membuat kami betah untuk berlama‐lama di tempat itu.
Acara pemberian materi kepada siswa dan guru berjalan
dengan lancar dan sukses. Semua peserta kegiatan Sagusabu
dan Sasisabu kelihatan bersemangat untuk menulis.
Tepat pukul 14.00 rombongan meminta izin untuk
kembali ke hotel. Setelah sampai di hotel, aku, Bu Kadis, dan
Ibu Rini peserta dari Bojonegoro memisahkan diri dari
rombongan tim MediaGuru menuju hotel tempat kami
menginap yang berada di dekat dengan Bandara DMK
Bangkok.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 61
Sepanjang jalan menuju ke Bangkok kami bertiga selalu
tertawa karena teman kami Rini berkomunikasi dengan sopir
taksi menggunakan bahasa Inggris dan jika kami mendengar
ada kata‐kata yang lucu kami bertiga tertawa terbahak‐bahak.
Untung saja sopirnya masih muda, ramah, dan bisa bahasa
Inggris sehingga suasananya menjadi nyaman.
Sesampai di hotel ada saja cerita lucu. Bagaimana kami
bertiga kebingungan untuk menyalakan shower. Tekan sana
tekan sini. Untung saja alatnya tidak rusak. Akhirnya, dapat
juga kami temukan cara membukanya.
Pagi‐pagi sekali temanku Rini dari Bojonegoro siap untuk
pergi ke bandara karena pesawat yang ditumpanginya
terbang pukul 07.30 ke Indonesia. Tinggallah kami berdua di
hotel. Tiga jam setelah kepergian Rini aku bersama Bu Kadis
bersiap‐siap mau ke bandara juga karena pesawat yang kami
tumpangi terbang ke Indonesia pukul 10.25.
Sebelum ke bandara kami berdua menimbang koper yang
akan kami bawa. Pesawat yang kami tumpangi tidaj
menyediakan bagasi. Penumpangnya tidak mendapatkan
jatah bagasi, hanya di kabin saja seberat 7 kg. Wah, kami
terkejut juga. Setelah ditimbang koper beratnya bertambah
karena ada beberapa oleh‐oleh yang disimpan di dalamnya.
Berat koper mencapai 10 kg lebih. Lalu kami berdua
mengambil inisiatif membuka kembali koper tersebut dan
mengeluarkan beberapa pakaian. Lalu kami meminta izin
pihak hotel untuk ke toilet. Di dalam toilet baju yang sudah
dikeluarkan kami pakai kembali berlapis‐lapis. Rasanya panas
sekali dan yang lucunya waktu mau ke toilet buang hajat lama
sekali prosesnya. Hal ini membuat orang‐orang yang antre
62 | Tim Penulis Jelajah Literasi
cemberut karena terlalu lama menunggu. Kami diam saja
pura‐pura tidak tahu.
Ada lagi hal yang lucu saat di bandara. Uangku yang
tersisa 350 Bath, kubelikan semua dengan buah‐buahan dan
jagung. Kami makan bersama dengan temanku di bandara.
Akibatnya perutku mules. Waduh, bagaimana ini, aku bingung
sekali karena toilet di bandara tidak menyediakan air untuk
istinjak. Akhirnya, dengan penuh percaya diri aku mengambil
1 bungkus permen dan kugenggam erat‐erat seperti
menggenggam batu agar niat untuk ke toilet tidak jadi.
Alhamdulillah, sugesti itu sukses juga.
Tepat pukul 16.00 pesawat yang kami tumpangi tiba di
Jakarta. Kami menginap semalam di hotel karena pesawat
yang menuju Pangkalpinang tidak ada lagi. Keesokan paginya
terbang dengan menggunakan sebuah maskapai, kami
terbang ke Pangkalpinang dan pulang ke rumah masing‐
masing dalam keadaan sehat walafiat. Keluarga sudah
menyambut gembira kedatangan kami. Alangkah bahagia
karena bisa berkumpul kembali dengan keluarga.
Suswani, S.Pd.
(Kepala SDN 37 Pangkalpinang Babel)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 63
64 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Ikan Teri Sambal
Pahlawanku
S ebelum pergi ke Bangkok aku sudah berpikir akan
mendapat kesulitan menyesuaikan diri di sana
terutama masalah makanan. Apalagi aku terlahir di
Pulau Bangka yang sebagian besar makanannya berasal dari
laut. Kuliner di Bangka bermacam‐macam, dari makanan
ringan sampai makanan berat berasal dari hasil laut.
Lidahku sulit sekali untuk makan dari daerah lain apalagi
dari negara lain. Makanan khas Bangka yang paling terkenal
adalah lempah kuning ikan laut yang rasanya agak asem dan
pedas serta sayur darat dari terasi Bangka sungguh nikmat
disantap bersama lalap dan sambal terasi. Sedangkan,
makanan ringannya adalah getas, pempek, kemplang, dll.
Semuanya berbahan dasar dari ikan laut.
Sebelum pergi ke Bangkok aku diberi teman makanan
kesukaanku berupa ikan teri sambal. Temanku sangat tahu
bahwa makanan itu merupakan salah satu makanan idolaku.
Setelah kami tiba di Bangkok oleh panitia kami dipersilakan
untuk menyantap makanan yang sudah disiapkan di restoran.
Banyak sekali hidangan yang disiapkan tetapi aku tidak punya
selera untuk memakannya. Kulihat teman‐teman
lahap menyantap makanan yang disediakan.
Dalam hatiku berpikir bahwa aku harus makan kalau tidak
tubuhku menjadi lemas, sedangkan perjalanan kami masih
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 65
panjang. Masakan dan kuliner di Thailand tidak begitu
berbeda dengan di Indonesia hanya kehalalannya perlu
diragukan itu yang menyebabkan aku lebih berhati‐hati dalam
menyantap makanan. Di Indonesia kulinernya sungguh luar
biasa beraneka ragam bentuk maupun rasanya setiap daerah
mempunyai ciri khas tersendiri. Sungguh indah dan penuh
keunikan kuliner yang ada di Indonesia sangat jauh berbeda
dengan kuliner yang ada di Thailand. Aku merasa bangga
menjadi warga negara Indonesia.
Kemudian aku mengambil makanan yang telah
dihidangkan berupa nasi putih saja lalu aku teringat bahwa
ada ikan teri sambal di dalam tasku. Dengan lahap nasi
tersebut habis kumakan bersama lauk yang kubawa. Ke mana
pun aku berada ikan teri sambal selalu kubawa. Pada waktu
sarapan, makan siang maupun makan malam ikan teri sambal
selalu menjadi lauk favoritku.
Selama perjalanan dua kali hidangan makan siang yang
membuatku berselera makan pada saat di restoran yang
dikelola orang Indonesia dan makanan yang disajikan di
Sekolah Indonesia Bangkok.
Ketika kami tiba di restoran Indonesia kami disajikan
makanan yang lauknya hampir sama dengan di Indonesia.
Ada ikan gurami, lalap, sayur tumis kangkung, dadar telur,
dan capcai. Kami merasa seperti di negara sendiri. Semua
peserta makan dengan lahapnya. Walaupun lauknya
bermacam‐macam, tetapi ikan teri sambal tetap menjadi
laukku. Begitu juga pada saat makan siang di Sekolah
Indonesia Bangkok, kami disajikan pula makanan khas
Indonesia antara lain sayur asem, tempe dan tahu bacem,
66 | Tim Penulis Jelajah Literasi
ikan asin, dan lalap. Sungguh nikmat menu makanan pada
saat itu sehingga aku melupakan ikan teri sambalku. Aku
makan hidangan yang disediakan dengan lahap tanpa ada
ikan teri sambal.
Tepat pukul 15.00 setelah tim
MediaGuru selesai memberikan materi Sagusabu dan
Sasisabu kepada guru dan siswa kami mohon pamit untuk
kembali ke hotel. Ketka sampai di hotel baru aku teringat
bahwa ikan teri sambal kesukaanku tertinggal di meja taman
Sekolah Indonesia Bangkok. Badanku jadi lemas karena aku
mulai tidak berselera untuk makan.
Di hotel tempat kami menginap disiapkan sarapan pagi
berupa roti panggang, susu, dan kopi. Namun, semua
hidangan itu tidak kusentuh sama sekali. Aku hanya minum
air putih saja dicampur gula sedikit. “Pahlawanku” tidak ada
lagi karena telah kusia‐siakan, dia tidak mau lagi bersamaku.
Sungguh menyesal karena telah menyia‐yiakan ikan teri
sambal yang sangat berjasa menemaniku dan
membangkitkan selera makanku ketika berada di Thailand.
Dia adalah pahlawanku.
Suswani, S.Pd.
(Kepala SDN 37 Pangkalpinang Babel)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 67
68 | Tim Penulis Jelajah Literasi
“Si Pembantai” MediaGuru,
Berwajah Upin dan Ipin
T im editor MediaGuru akan bekerja sama dengan Pabrik
“Bodrex” Indonesia. Mengapa demikian? Mengudap
naskah penulis sangatlah memusingkan kepala.
Khalayak membaca tulisan khas kebangsaan Thailand. Tulisan
yang beraksara muter‐muter yang tak pernah kita tahu
maknanya. Uh, emosiku seketika tersulut mendengar kalimat
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 69
ini dari Pemred MediaGuru. Siapa lagi yang berani ngomong
seperti ini di MediaGuru kalau bukan sang trainer andal, Eko
Prasetyo.
Dua kali mengikuti pelatihan yang beliau gawangi di
Sumut, sesi swasunting saya sebut sebagai sesi pembantaian.
Sehingga pria yang selalu mengirim kalimat “Percaya dengan
kekuatan cinta” di berbagai grup WA MediaGuru, saya
panggil “si pembantai”. Alasan saya sangat mendominasi
kalangan penulis lainnya, mengapa? Swasunting identik
dengan sesi memperbaiki kesalahan‐kesalahan dalam
merangkai kalimat pada naskah ataupun sinopsis. Pada sesi
ini, Pemred MediaGuru mengeluarkan jurus jitunya, tulisan ini
horor. Sebuah peringatan bahwa kita perlu memoles kata‐
kata lazim dengan kosakata baru. Seperti gadget diganti
dengan gawai. Beliau arif sekali mengoreksi tulisan para
peserta, agar naskah buku yang dibaca memberikan makna
yang indah pada setiap untaian kalimatnya.
Ini adalah sekelumit pengalaman saya ketika
membersamai dan lebih dekat mengenal MediaGuru. Oh my
God, tandasku ketika terakhir kalinya mengikuti pelatihan
menulis yang di‐trained beliau. Sindiran‐sindiran yang pedas
tapi bernuansa lucu yang bisa menyulap suasana ruangan
seperti studio “Opera van Java”. Yang saya heran adalah
wajah seriusnya itu loh, semua peserta sudah tertawa atas
sindiran‐sindirannya, namun pria yang top up di blog
gurusiana ini tidak ikut tertawa. Benar‐benar wajah
pembantai.
Nah, ketika saya mengikuti jelajah literasi di Bangkok
yang baru saja selesai digelar, wajah “si pembantai”, Pemred
70 | Tim Penulis Jelajah Literasi
MediaGuru berubah seketika. Aku melihat wajah Upin dan
Ipin ketika meminta ayam goreng kepada Kak Ros (dalam film
Upin dan Ipin). Maaf, ini merupakan suasana yang lucu
selama aku mengikuti jelajah literasi di Bangkok. Saya berada
satu bus dan duduk berseberangan dengan beliau. Ketika itu
aku sedang asyik mendengarkan MP3 di gawaiku sambil
mengikuti lirik lagu yang diputar.
Wajah orang yang kelaparan, mengharapkan bus yang
kami tumpangi segera turun di restoran atau di kafe. Beliau
duduk bersama Mas Iwan (panggilan akrab di MediaGuru),
dan Mas Rizky Dasilva. Saat beliau mengudap permen yang
diberikan oleh Mas Iwan, wajahnya lucu sungguh lucu.
Mengudap ball candy seperti mengudap ayam goreng. Belum
lagi habis di mulutnya, jari telunjuk dan jempolnya menggamit
ball candy lagi. Sontak saya tertawa dan menghampiri beliau.
Mengapa? Karena aku pernah membaca status WA‐nya.
“Lebih baik menahan lapar daripada menahan rindu”.
Biuehhh. Ejekku sambil menghampiri beliau. Karena merasa
bosan dan bus kami tak kunjung turun di restoran, aku
merasa ingin menggelitikinya. Seperti beliau menggelitik
tulisanku ketika itu. Sembari aku menyodorkan stik coklat
yang kubawa dari rumah (kebiasaanku ketika bepergian) dan
berkata, “Lebih baik menahan rindu atau menahan lapar?”
tanyaku sambil tertawa mengejeknya. Dan wajah beliau
terciduk bagaikan wajah Upin‐Ipin yang sedang terperangkap
tipu muslihat Kak Ros dalam film.
Tak dapat menyembunyikan wajah seriusnya sebagai
trainer andal, dia mengudap stik coklat sambil menyorot
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 71
wajahku yang tak henti menertawakannya. Wajah di mana
membutuhkan segelas kopi, ayam goreng, dan nasi.
Bus pun berhenti di salah satu restoran Thailand, Picnic
Hotel. Tanpa sengaja, aku semeja makan malam bersamanya.
Aku makan salad buah dan sayur, sementara itu beliau makan
nasi ala ciri khas Thailand. Tak henti‐hentinya aku menggelitik.
“Lapar kok makan ball candy”.
“Terima kasih ransel ajaib, sudah memberi pengganjal
dalam perutku (raut wajah pembantainya keluar lagi). Dari
siang hingga malam, baru ini ketemu nasi,” katanya.
Aku pun diam seketika. Khawatir beliau marah karena
digelitik terus.
“Percayalah kekuatan cinta MediaGuru,” ujarku. Selama
ini beliau suka menggelitik para penulis. Suasana berubah
ketika di Jelajah Literasi Bangkok, penulis yang menggelitik
Pemred MediaGuru yang memiliki jari super andal dalam
meramu kalimat di blog gurusiana.
Mahniar Sinaga, S.Si.,S.Pd.
(Guru SD Taman Harapan Medan)
72 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Menuju Negeri Gajah Putih
dengan Makanan Halal
P enulis adalah seorang guru dan bertugas di SMA
Negeri 2 Rambatan Kabupaten Tanah Datar Sumatera
Barat. Meskipun berprofesi sebagai guru, penulis
gemar traveling. Cukup banyak tempat wisata dalam negeri
yang telah penulis kunjungi, seperti Pulau Bali, Pulau Jawa,
Jakarta, Siak Sri Indrapura, Batam, Banda Aceh, Sabang Pulau
Weh, dan tentunya tempat wisata terkenal di provinsi
Sumatera Barat. Sedangkan untuk luar negeri penulis pernah
ke Malaysia, Singapura, Brunei, dan yang terakhir ini penulis
mengunjungi negara Gajah Putih, Thailand.
Tujuan traveling bukan sekadar bersenang‐senang, tetapi
untuk menggali potensi tempat wisata tersebut. Selain
traveling, penulis juga hobi fotografi dan menulis. Sepulang
traveling, penulis membuat tulisan dari pengalaman traveling
tersebut. Semua tulisan tersebut dapat dilihat di website
penulis www.fitrianygustariny.com. Khusus tulisan traveling
telah terdapat lebih dari 100 tulisan. Alhamdulillah, bahkan
untuk kisah perjalanan wisata Malaysia‐Singapura‐Batam
telah dibukukan oleh penerbit Pustaka MediaGuru dengan
judul “Cendera Mata 3 Negara”.
Kali ini penulis akan menceritakan kunjungan ke negara
Gajah Putih, Thailand. Tepatnya ke Bangkok selama 4 hari, 14
s.d 18 Februari 2019. Kegiatan ini dimotori oleh MediaGuru
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 73
Indonesia, dengan peserta guru, dosen, dan akademisi lain
dari seluruh provinsi di Indonesia. Kunjungan kali ini tidak saja
melakukan wisata, tetapi juga mengkuti seminar The
Southeast Asian Minister of Education Organization
(SEAMEO).
Pengalaman selama di Bangkok tentu ada suka dan
dukanya. Suka, tentunya penulis melihat secara langsung
kota Bangkok dan dapat mengikuti Seminar SEAMEO, suatu
kegiatan seminar yang dikelola oleh organisasi pendidikan
paling bergengsi di tingkat Asean. Manfaat lainnya, penulis
mengetahui apa dan bagaimana kebudayaan dari negara
satu‐satunya di dunia yang tidak pernah dijajah ini. Dukanya,
“Susahnya mencari makanan halal” di Negara Gajah Putih ini.
Baru saja penulis menginjakkan kaki di Bandara Don
Mueang (DMK) Bangkok, perut sudah “kriuk‐kriuk” tanda
minta diisi. Rupanya hal itu juga dirasakan oleh 3 teman
seperjalanan. Akhirnya, penulis dan teman‐teman “muter‐
muter” sampai capai di bandara DMK. Ternyata sangat sulit
mencari makanan halal di tempat ini.
Selama di Bangkok, tempat makanan halal yang penulis
ketahui dan datangi ada di tiga tempat, pertama di Livotel
tempat menginap, kedua di JJ Mall, dan ketiga di Restoran
Sophia. Menu di Livotel sesuai lidah Indonesia dan tentu saja
halal. Selanjutnya di JJ Mall, makanan halal hanya terdapat di
lantai 2 dan lantai 3. Saat di JJ Mall, penulis dan rombongan
hanya makan di Lantai 2 saja. Penjualnya berparas India Arab.
Transaksi menggunakan bahasa Inggris. Sebagai penanda
bahwa yang menjual makanan tersebut adalah muslim, di
etalase tertera Lafaz Allah dan Muhammad. Selanjutnya di
74 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Restoran Sophia, tepatnya pada plang nama Restoran Sophia
jelas tertera tulisan halal dengan bahasa Arab dan bahasa
Indonesia.
Santap Siang di Sophia Restoran, salah satu restoran halal di Bangkok, Sabtu
16 Februari 2019 (Foto Pribadi)
Andaikata selera tidak “pilih‐pilih”, banyak tersedia
makanan halal. Seperti buah‐buahan. Tetapi mana mungkin
perut menerima menu buah terus, apalagi orang Indonesia
kalau belum makan nasi, berarti belum makan. Akhirnya,
karena sulitnya menemukan makanan halal selain buah‐
buahan, penulis menyarankan untuk membeli nasi putih saja.
Ternyata usul penulis diterima oleh teman‐teman. Lantas
pertanyaannya, mengapa hanya membeli nasi putih? Ini dia
jawabnya. Ada satu hal yang sangat penting yang menjadi
kendala bila berkunjung ke daerah nonmuslim, termasuk ke
Bangkok yang mayoritas beragama Budha. Apa itu? Tentu
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 75
saja makanan halal. Jujur saja ada perasaan was‐was bila ingin
membeli makanan atau minum di tempat tersebut. Takut
terbeli makanan yang diharamkan oleh Islam untuk
memakannya. Selain itu penulis juga punya penyakit
“langsung mau muntah” bila mendengar makanan haram
tersebut, akhirnya hilanglah selera makan. Sehingga selama
ini kalau hendak melakukan perjalanan, penulis membawa
bekal sendiri dari rumah yang disiapkan sedemikian rupa
sehingga bekal tersebut dapat bertahan dalam perjalanan.
Demikian juga saat akan “Jelajah Literasi Thailand” ini.
Saat akan “Jelajah Literasi Thailand” ini, penulis
membawa nasi putih dibungkus kecil‐kecil. Sebelumnya daun
pembungkus nasi dioleskan minyak kelapa, agar nasi tidak
basi. Demikian juga dengan lauknya. Lauk yang dibawa tentu
saja masakan khas Minang, negeri tempat penulis berasal.
Apa itu? Tentu saja rendang Padang, ikan Siam goreng, ikan
“bilih” goreng, serta “samba lado goreng”. Lauk dan
“samba lado goreng” dipisah dan dibungkus kecil‐kecil dalam
plastik untuk satu kali makan. Tujuan dikemasnya nasi, lauk,
dan “samba lado goreng” dalam bungkusan kecil‐kecil untuk
satu kali makan, sehingga langsung habis dan tidak merusak
bungkusan nasi, lauk, dan sambal yang lainnya. Jadi, cara ini
tidak akan merusak makanan dari tangan atau terkena udara.
Alhamdullilah, berkat trik di atas, selama jelajah literasi
ini, penulis dan tiga teman lainnya dapat menikmati makanan
halal tersebut. Bekal yang dibawa tersebut hanya dikeluarkan
bila makannya tidak bersama pemandu. Sebab dengan
pemandu tentu saja rombongan dibawa ke tempat yang
makanannya dijamin halal.
76 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Demikian sekelumit pengalaman penulis terkait makanan
halal saat Jelajah Literasi di Thailand. Masih banyak kisah
menarik lainnya yang penulis alami mulai sebelum
keberangkatan hingga kepulangan dari negara Gajah Putih
ini. Ingin tahu! Nantikan kisahnya pada tulisan berikutnya,
Oke?
Fitriany Febby Adiana Gustariny
(Guru Ekonomi SMAN 2 Rambatan Kab.Tanah Datar Sumatera Barat)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 77
78 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Menggapai Asa di Bumi
Gajah Putih
M embaca pesan WA dari seorang teman,
MediaGuru akan mengadakan acara Jelajah
Literasi di Bangkok Thailand. Saya yang memang
gemar bertualang (alhamdulillah, beberapa kota di negara
lain telah sempat dikunjungi seperti; Korea selatan, Beijing
China, Turki, Dubai, Brunei Darussalam, Singapore, Malaysia,
dan hampir 65 % kota di Indonesia telah ditapaki) langsung
tergerak untuk ikut serta. Apalagi petualangan kali ini
bertajuk Jelajah Literasi yang diadakan Media Guru (yang
notabenenya selalu bikin acara yang hots‐hots). Sangat
berharap pulang dari kegiatan bertambah ilmu kepenulisan
sekaligus refreshing ke luar negeri.
Tibalah saatnya yang ditunggu tepat pada hari Kamis,
tanggal 14 Februari 2019 bertolak dari Bandara Internasional
Minangkabau (BIM) menuju Jakarta. Awal perjalanan dimulai
dengan kabar berita pesawat yang akan membawa ke
Thailand via Jakarta delay sampai beberapa kali. Namun hal
itu tidak mengurangi sedikit pun rasa yang ada. Pukul 17.35
WIB dengan gagahnya pesawat yang kami tumpangi
mendarat di Bandara Soetta Jakarta.
Pertualangan belum berakhir bahkan baru akan dimulai.
Keberangkatan ke Bangkok Thailand esok harinya. Dari ranah
Minang saya ditemani Ir. Fitriany Febby Adiana G, SE., MP.,
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 79
M.Pd.E. seorang guru SMA yang luar biasa. Sudah banyak
sekali buku yang ditulisnya, lebih kurang 26 judul buku yang
sudah ber‐ISBN. Saya betul‐betul merasa kecil bila
dibandingkan. Sementara saya pada tahun 2018 yang lalu,
hanya menghasilkan dua buku dan empat karya ilmiah yang
dimuat di jurnal ber‐ISBN. Saya mengenal Fitriany saat beliau
mengikuti Seleksi Guru SMA Berprestasi dan Berdedikasi
tahun 2018 tingkat Provinsi Sumatra Barat. Kebetulan waktu
itu saya jadi salah seorang jurinya.
Selepas shalat Magrib, datang lagi satu peserta yang juga
mengikuti kegiatan Jelajah Literasi ini. Seorang ibu cantik
yang juga luar biasa. Beliau bernama Dr. Laila Maharani, M.Pd.
seorang dosen di Universitas Islam Negeri Bandar Lampung.
Dia istri seorang pejabat teras di kampus UIN yang telah
melanglang buana. Ibu Dr. Laila juga seorang penulis dan
narasumber yang sedang melejit (naik daun). Buku puisinya
yang bertajuk Aksara Laila Mencari Engkau dibacakan dalam
80 | Tim Penulis Jelajah Literasi
sebuah pertunjukan puisi di Brunei Darussalam. Malam ini
ngebolang di Bandara Soetta Jakarta ditemani oleh dua orang
hebat yang telah malang melintang di dunia kepenulisan.
Kesempatan ini tidak saya sia‐siakan untuk menimba ilmu dan
berbagi pengalaman dengan mereka.
Tanpa terasa waktu berlalu, sekitar pukul 03.15 WIB
datang lagi seorang wanita yang tidak kalah istimewanya.
Beliau bernama Fitri Analis, S.Pd., M.Pd. Saya sudah lama
mendengar Namanya dari teman‐teman kuliahnya di IKIP
Padang tahun 1988 dulu. Beliau sosok yang aktif dan kreatif di
Kampus Selatan. Peruntungan nasib membawa wanita asli
Ranah Minang ini berkiprah di Daerah Khusus Ibukota. Selain
mengajar di SMP‐SMA beliau juga DLB di beberapa
universitas swasta di Jabodetabek. Bu Fitri Analis juga
seorang penggiat sastra yang telah malang melintang di
dunia persastraan dan telah menerbitkan beberapa buku.
Saya yang hanya seorang Pengawas Sekolah di Dinas
Pendidikan Provinsi Sumatra Barat merasa sangat beruntung
mengenal orang‐orang hebat ini.
Jumat, 15 Februari 2019 tepat pukul 06.35 WIB pesawat
yang kami tumpangi dengan anggunnya membawa peserta
Jelajah Literasi menuju Don Mueang Bangkok Thailand.
Pertualangan baru dimulai di Negara Gajah Putih bersama
orang‐orang hebat.
Banyak kisah dan asa berpirau. Menimba ilmu sambil
bersama para pengiat literasi Indonesia. Saya bangga menjadi
bagian dari mereka. Terima kasih sahabat sekaligus guru
kehidupanku. Terima kasih MediaGuru yang telah mewadahi
ini semua.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 81
Ranah Minang, 22 Februari 2019
Mulyadi Wijaya
(Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan Provinsi Sumatra Barat)
82 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Belum Jadi Jelajah
Diawali dari tawaran teman yang sudah tergabung
dalam MediaGuru untuk ikut Jelajah Literasi Bangkok,
saya tertarik untuk mengikutinya karena memang
belum pernah ke negeri Gajah Putih ini. Pendaftaran dan
semua informasi terkait keberangkatan dibantu oleh
temanku yang baik ini karena saya sendiri sangat banyak
kegiatan yang membuat hampir saja tidak jadi ikut. Bahkan
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 83
paspor pun ternyata sudah expired, harus diurus kilat via agen
tentunya.
Sepekan sebelum berangkat, baru ada kepastian untuk
benar‐benar ikut bersama suami. Peserta yang lain sudah
membeli tiket jauh‐jauh hari, sedang saya beberapa hari baru
hunting. Apalagi izin dari kantor suami juga baru didapat.
Karena sudah mepet waktunya, kami mencari jalur alternatif
via Kuala Lumpur sekaligus ingin mengulang kunjungan ke
sana lagi. Tiga hari menjelang keberangkatan, suami sakit
sehingga malam sebelum pergi diakatakan bahwa tidak jadi
pergi besok. Huff......saya pun pasrah dan hanya berdoa
semalaman agar suami diberi kesembuhan dan kekuatan
untuk pergi esok hari. Setelah shalat Subuh, suami pun
mengajak untuk siap‐siap. Oh, agak sedikit lega walau hati ini
galau, badan tidak enak dan kepala pusing karena kurang
tidur. Akhirnya kami pun berangkat, menginap di Malaysia
semalam untuk melanjutkan perjalanan esok harinya ke
Bangkok.
Landing di Bangkok di batas waktu yang ditentukan
panitia karena ada sedikit keterlambatan terbang membuat
kami agak khawatir ditinggalkan rombongan karena antrean
mengular di bagian imigrasi bandara sementara komunikasi
kami belum terhubung. Kesan pertama yang kurang nyaman
adalah saat di toilet bandara DMK yang memang tidak
disediakan keran air untuk membilas setelah buang air, hanya
tisu yang ada. Kesan negeri jorok, pikirku, padahal kata orang
negeri ini bersih. Hm, satu budaya yang sangat berbeda.
Makan perdana di Bangkok pun harus langsung beradaptasi
84 | Tim Penulis Jelajah Literasi
dengan menu, walau sudah di restoran dengan menu halal,
tetap saja tidak selezat masakan minang .
Kunjungan pertama adalah ke lembaga gabungan
Kementerian Pendidikan se‐Asia Tenggara yang disebut
SEAMEO. Kegiatan seminar singkat berupa paparan tentang
programnya. Bapak Gatot Hari Priowirjanto selalu direktur
SEAMEO berasal dari Indonesia. Beliau memberikan
sambutan yang hangat dengan penjelasan yang lengkap serta
motivasi untuk terus meng‐up grade para pendidik.
Dilanjutkan dengan diskusi yang dipimpin pimpinan SEAMEO
yang berlangsung 30 menit. Intinya, imbauan agar guru
Indonesia memanfaatkan jaringan ini untuk terus belajar agar
kualitas pendidikan meningkat. Kegiatan hari pertama ditutup
dengan makan malam di sebuah hotel. Karena ketidakpastian
kehalalan makanan, walaupun disajikan sangat menarik,
membuat selera makan kami terbang.
Hari kedua sebenarnya penuh dengan aktivitas wisata
yang menjanjikan kesenangan. Tetapi sayang sekali, sakit
suami kambuh lagi sehingga kami pun tidak bisa mengikuti
kegiatan hari itu. Cerita hari kedua hanya berisi pengalaman
merawat suami di negeri orang dan mencari makanan ke
Seven Eleven Mart yang berada di sekitar hotel. Rencana akan
menyusul rombongan pada siang atau sore hari juga batal
karena kondisi sudah tidak memungkinkan dan rute
rombongan pun tidak pasti posisinya.
Hari terakhir Jelajah Literasi Media Guru di Bangkok,
kami sangat berharap bisa mengikuti kegiatan satu hari saja.
Sejak pagi kami sudah berusaha agar kondisi fit, tapi Allah
tidak mengizinkan suami untuk ikut. Karena anak‐anak kami
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 85
sudah menagih buah tangan Bangkok, saya kuatkan hati
untuk ikut walaupun suami harus tinggal. Ternyata kunjungan
rombongan hanya ke pusat perbelanjaan Chucatuk yang
jaraknya cukup jauh dari hotel. Sesampai di sana sudah jam
makan siang, peserta dibebaskan mencari lunch sendiri. Saya
yang sejak datang di Bangkok belum makan yang mengena,
di pelataran mal ternyata ada yang menjual nasi ikan asin plus
sambelnya. Hm, saya langsung ngiler, apalagi penjualnya
muslim yang membuat lega bin plong melahapnya.
Peserta jelajah akan bersiap menuju bandara setelah
kegiatan shopping, tapi saya dan sepasang teman dari
Pekalongan sudah berjanji akan pergi ke Wath Poh atau Kuil
Budha Tidur yang menjadi salah satu ikon Thailand. Dengan
tiket masuk 200 bath, kami menikmati pemandangan
mayoritas pengunjung yang beragama Budha melakukan
ritual di beberapa kuil. Perasaan aneh menghampiriku karena
hanya kami pengunjung yang memakai kerudung. Tapi tak
apalah, hitung‐hitung menambah pengalaman melihat Budha
tidur dan patung Budha sangat besar yang disembah oleh
umatnya.
Setelah itu kami pergi ke Asiatique untuk membeli oleh‐
oleh. Bagi saya ini untuk menebus penasaran karena hari
sebelumya tidak ikut ke sana. Kawasan yang ramainya di
malam hari, kami nikmati di sore hari saat toko‐toko masih
banyak yang tutup dan orang masih sepi. Tapi saya justru
bersyukur karena bisa dengan leluasa menikmati tepian
sungai yang indah. Karena pengunjung masih lengang dan
cuaca cerah, saya bisa puas berpose tanpa gangguan.
Lumayan, buat kenangan di lokasi yang kabarnya jadi pusat
86 | Tim Penulis Jelajah Literasi
keramaian di malam hari ala Bangkok, yang juga kata orang
tidak jelas mana perempuan asli atau yang sudah direnovasi.
Selain itu, yang membuat saya terpana adalah menu
sajian Bangkok yang sungguh luar biasa membuat perutku
diaduk‐aduk. Ada kecoa, lipan, kalajengking, sate kaki seribu,
cacing daaaaan.....buaya panggang. Hi....
Waktu kunjungan di Bangkok pun habis, datanglah hari
berkemas, belum jadi jelajahku.
Yeni Deswita
(Founder SDIT‐SMPIT IQRA’ Kota Solok Sumatra Barat)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 87
88 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Jerawat Bangkok
Orang Indonesia itu memang
sangat kreatif, selalu saja bisa
membuat sebutan yang mudah
untuk dikenang, brandid sepanjang
masa, seperti aku nich, lebay abiss
….aku sebut ini yang menempel di
raut mukaku jerawat Bangkok,
kenapa? Ada, kan ayam Bangkok
karena ayamnya besar, kuat, ada
jambu Bangkok karena buahnya
besar, lah ini aku seumur hidup punya jerawat yang gedenya
“alamaaakk” dan itu aku dapatkan dua hari menginjak tanah
di Bangkok, minum airnya negeri Bangkok.
Semakin hari semakin besar ini jerawat sampai dengan
aku pulang ke tanah airku Indonesia sebagai oleh‐oleh
keluarga dan sahabat tercinta. Setiap kali ketemu dengan
handai tolan selalu mereka menyapaku “wah‐wah ini oleh‐
oleh dari Bangkok, jerawat Bangkok”, nggak cocok itu
dengan airnya sana, udaranya sana, ya jelaslah orang aku ini
darah Indonesia tulen yang baru kali itu menginjak tanah
keluar negeri. Apa pun itu bentuknya wajib kita syukuri,
“jerawat Bangkok” semakin menambah manisku dan
membuat gemes para sahabat untuk memencetnya.
Mungkin karena jatuh cinta ya? Iya, jatuh cinta dengan
sahabat‐sahabat baru sepuluh penulis terbaik GTK PAUD dan
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 89
Dikmas, teman‐teman dari Kementerian, Direktorat GTK
PAUD dan Dikmas, dan teman‐teman MediaGuru yang
memang membuatku terjatuh cinta.
Bagaimana tidak jatuh cinta, mereka memperlakukan
kami dengan sangat baik, bahkan sangat istimewa. Tak henti‐
hentinya sepanjang perjalanan di Thailand berucap syukur.
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Berkehendak yang
sudah menulis dalam takdir‐Nya bahwa kamilah yang
mendapatkan bejo (keberuntungan) mendapatkan
penghargaan untuk ikut kegiatan Jelajah Literasi ke Bangkok.
Juga terima kasih yang mendalam kepada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat GTK PAUD dan
Dikmas yang sudah memberikan pelayanan yang sangat baik.
Mereka menjadi inspirasi bagi kami bahwa kita harus
memberikan pelayanan yang prima, tulus ikhlas, dan cerdas
kepada masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari cara mereka
memperlakukan kami.
Berkat MediaGuru kami menjadi seperti ini. Kami berani
dengan leluasa menorehkan kata demi kata ke dalam
lembaran halaman yang akhirnya menjadi sebuah buku yang
kami sendiri tidak mengira akan mampu menjadi yang terbaik
dari mereka. Keakraban mereka bersama kami sangat jelas
dapat dirasakan. Tidak ada batas di antara kami. Kami dapat
tertawa tanpa ditahan dan berbisik‐bisik tanda ada
keseriusan. Mereka mampu memberikan pembelajaran yang
berharga seumur hidup kami. Dari pelosok seantero
Nusantara, perbedaan budaya terdengar dari logat
berbicaranya membuat suasana keakraban kami menjadi
lebih segar. “Horas bahhh!” kata teman dari Medan,
90 | Tim Penulis Jelajah Literasi
membuat suasana anteng menjadi sontak gelegar. “Ora
ngapak ora kepenak.” Terdengar juga logat banyumasan
yang selalu saja membuat kami tertawa.
Sepanjang jalan, sepanjang sudut saya nempel saja
dengan teman yang bawa tongsis, yang kameranya keren,
agar bisa nebeng berpose ikutan foto. Bukankah ini momen
yang mungkin hanya satu kali seumur hidup, jalan‐jalan ke
Thailand, gratis pula. Momen ini akan kujadikan sejarah
sepanjang masa dalam album kenangan. Iya, Herin si cantik
dari Jogja baik sekali, kameranya juga keren, membuat kami
bersepuluh (aku, Bunda Jua, Bunda Yuli, Mbak Neni, Mbak
Herin, Bunda Caroline, Mbak Kade, Mbak Rahmi, Mbak Sari,
dan Mbak Ning) runtang‐runtung (ke mana‐mana) selalu
bersama.
Menikmati wisata dan belajar serta semua pelayanan
yang supermewah dengan gratis di negeri Thailand, negeri
yang tidak pernah dijajah, yang bersih, tertib, disiplin tinggi
warganya, kental dengan penghormatan terhadap
budayanya. Ini patut kita contoh dan diambil pelajaran
berharga untuk kemajuan Indonesia tercinta. Sangat
bersyukur. Memang setiap detik hidup ini layak untuk
disyukuri. Terima kasih Allah SWT untuk hidup yang selalu
indah ini.
Sri Janji
(Penilik Korwilcam Bidang Pendidikan Kecamatan Bergas, Kabupaten
Semarang, Jateng)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 91
92 | Tim Penulis Jelajah Literasi