oleh salah seorang siswiku yang begitu setia. Daku berpikir
pasti sepi di jalan karena bangku di sebelahku kosong sebab
temanku Tihawa batal berangkat. Tapi ternyata sepanjang
perjalananku ke Medan sangat menyenangkan karena kursi di
sampingku ditempati seorang gadis dari Tangse yang
bernama Linda. Kami berkenalan, ia sangat ramah sehingga
perjalanan yang semula kuduga membosankan menjadi
sangat berkesan malam itu. Dalam batinku berbisik,
“Ternyata Allah SWT mempermudah perjalananku."
Keesokan harinya daku tiba di Medan dengan selamat
dan langsung dijemput oleh famili yang telah lama tak
berjumpa. Daku istirahat sejenak di rumah makcik karena
keberangkatan dengan sebuah maskapai penerbangan sore
harinya ke Kuala Lumpur transit. Ya, semua itu terjadi karena
daku kehabisan tiket pesawat karena itu harus transit Kuala
Lumpur. Daku berpikir bagaimana caranya harus seorang diri
di Bandara Kuala Lumpur nantinya. Tapi, ya sudahlah dijalani
saja. Sore harinya daku ke Bandara Kualanamu ditemani
kakak tersayang yang begitu setia mendampingi dari mulai
daku berangkat sampai jadwal kepulangan dari Thailand.
Sampai di bandara, tiba‐tiba datang seorang laki‐laki
setengah baya menghampiri kami lalu meminta bahan‐
bahanku untuk check in. Daku langsung menyerahkan paspor
dan tiket serta ia segera berbalik menuju ruang check in. Tak
lama kemudian ia datang menghampiri kami. Daku masih
terheran sambil bertanya siapa gerangan laki‐laki di depanku
ini.
Namun tak lama ia berlalu setelah membantu. Daku
masih terheran.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 143
“Er, kok aneh ya siapa orang itu, kok tiba‐tiba membantu
kita lalu pergi begitu saja?" ujar kakakku heran.
Di dalam hatiku berbisik kembali.
“Ya Allah SWT, kembali Engkau memudahkan urusan
hamba, syukur Alhamdulillah ya Raab.”
Akhirnya, waktu keberangkatan pun tiba, hingga akhirnya
daku mendarat di Kuala Lumpur malam harinya. Dalam
kesendirian daku terus memasuki bandara dengan hati
bertanya‐tanya.
“Di manakah daku harus transit malam ini agar aman
karena seorang diri di tengah malam yang sepi?”
Tiba‐tiba mataku berbentur dengan ruang di pojok
bandara. Yaps, musala alias hotel kotak. Itu ruang yang
nyaman untukku bermalam. Akhirnya, dengan pertolongan
Allah SWT malam pun berganti hingga akhirnya daku kembali
check in untuk melanjutkan penerbangan ke Thailand. Dalam
batinku bermohon ketika dalam pesawat.
“Ya Allah SWT, berilah kemudahan kepada hamba untuk
melakukan penerbangan selangkah lagi. Jika Engkau
memudahkan maka tiada yang mampu mempersulit Ya,
Raab."
Akhirnya, setelah menempuh penerbangan selama dua
jam empat puluh lima menit pesawat mendarat dengan
mulus di Bandara Don Mueang Bangkok. Daku sangat terharu
sampai meneteskan air mata sambil memanjatkan rasa syukur
atas kekuasaan Allah SWT yang telah mempermudah
perjalananku dari Aceh hingga tiba di Thailand Bangkok.
Akhirnya, di Bandara Don Mueang daku berkumpul
dengan teman‐teman sesama penulis seluruh Nusantara, tak
144 | Tim Penulis Jelajah Literasi
terhingga rasa bahagia dalam batinku. Selama tiga hari di
Bangkok kami ditemani oleh pendamping yang setia dan
tulus menghadapi berbagai polah tingkah kami yang
terkadang suka jail, lucu dan super heboh. Maklum, kalau
sudah ngumpul suka lupa kontrol hehehe ....
Kami ditemani sampai acara selesai oleh Mas Adie yang
sangat baik, sabar meskipun wajah beliau tampak begitu
lelah. Namun, ia tetap tersenyum melayani ibu‐ibu penulis
yang super heboh. Kami pindah hotel malam itu agar lebih
cepat ke bandara esok harinya. Saat di hotel inilah Allah SWT
kembali memperlihatkan kekuasaan‐Nya. Malam itu tanpa
sengaja daku dipertemukan dengan “Rudi” mahasiswa dari
kota Yogyakarta yang sedang berlibur. Dialah yang
membantuku keesokan harinya ke bandara sampai daku
berangkat meninggalkan Bangkok. Ya Allah SWT, di saat
semua teman sudah berangkat dan daku sendiri di hotel
karena pesawat berangkat sore hari, pada saat itu Engkau
hadirkan “dewa penolong". Kembali air mata berurai di kedua
pelupuk mataku ketika pesawat terbang menuju Kuala
Lumpur untuk perjalanan pulang kembali ke Aceh.
Selamat tinggal Thailand‐Bangkok, ternyata daku tidak
bermimpi telah menginjakkan kaki di sana. Seuntai kalimat
yang selalu terpatri di sanubariku yang telah membuatku
tegar dalam kesendirian dalam perjalanan yakni “Jika Allah
SWT Mempermudah, Tiada yang Mampu Mempersulit”.
Oleh: Erlina, M.Pd.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 145
146 | Tim Penulis Jelajah Literasi
3 Hari Menjelajahi Bangkok
P enilaian sebagai penulis buku Jendela Nurani yang
dilakukan secara independen oleh MediaGuru telah
membawa saya, Caroline, pimpinan LKP Caroline Salon
dan Spa, Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat ikut
serta dalam rombongan Jelajah Literasi Bangkok 2019
bersama 9 penulis lainnya yang diselenggarakan selama 3 hari
di kota Bangkok, Thailand.
Penetapan sebagai 10 penulis buku terbaik oleh
Direktorat Pembinaan GTK PAUD dan Dikmas, Ditjen Guru
Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI merupakan suatu anugerah bagi saya dan
tentu juga untuk 9 teman penulis lainnya seperti Ibu Herin
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 147
Ratna dari Yogyakarta, Ibu Djuariningsih dari Bangka
Belitung, Ibu Kadek Restika Dewi dari Bali, Ibu Neni Syarifatun
dari Jakarta, Ibu Tri Purnasari dari Kalimantan Selatan, Ibu Sri
Janji dari Semarang, Ibu Rahmi Muliani dari Sumatera Barat,
Ibu Yuli Kurniati dari Lampung, Ibu Wahyuningsih dari
Kalimantan Timur.
Pertama saya menyampaikan puji dan syukur ke hadirat
Tuhan karena anugerah ini dan rasa terima kasih kepada Ibu
Istiqomah dari tim MediaGuru yang ikut melakukan penilaian
152 buku karya penulis seluruh Indonesia dan telah memilih 10
penulis buku terbaik. Saya juga menyampaikan terima kasih
yang sebesar kepada Bapak‐bapak dan Ibu‐ibu dari Direktorat
Pembinaan GTK PAUD dan Dikmas yang telah memberikan
fasilitas yang luar biasa kepada saya dan teman‐teman penulis
untuk dapat pergi ke Bangkok ‐ Thailand bergabung bersama
rombongan besar MediaGuru dalam kegiatan Jelajah Literasi
Bangkok 2019. Ini merupakan suatu pengalaman yang sangat
berharga dan takkan terlupakan bagi saya.
Awal membaca surat pemberitahuan dari Direktorat
melalui email saya merasa tidak percaya untuk kebenaran
surat itu. Maklum, sekarang banyak beredar surat‐surat
pemberitahuan bermodus penipuan yang mengatasnamakan
instansi atau lembaga pemerintah. Saya mencoba bertanya
kepada teman lainnya melalui grup WA Kelas PGTK PAUD dan
Dikmas dan disarankan untuk melakukan konfirmasi dengan
menghubungi salah satu ibu yang bertugas di Direktorat
Pembinaan GTK PAUD dan Dikmas.
Dengan harap‐harap cemas saya menghubungi Ibu
Emilda Lovisia dan merasakan surprise setelah beliau
148 | Tim Penulis Jelajah Literasi
menyatakan bahwa surat ini benar adanya dan memberikan
penjelasan bahwa segera mengirimkan foto paspor halaman
yang berisi nama, pas foto, dan nomor paspor langsung via
email ke Direktorat. Kali pertama saya mengabarkan berita
gembira ini kepada suami selanjutnya kepada anak‐anak saya.
Walau mereka semua penasaran termasuk saya sendiri juga
mempunyai pertanyaan, Kok bisa ya buku “Jendela Nurani”
dan saya terpilih sebagai 10 orang penulis terbaik?
Ternyata pertanyaan yang sama juga dirasakan oleh
beberapa teman penulis yang saya hubungi via telepon dan
kami segera mempersiapkan dokumen yang diminta oleh
Direktorat untuk disampaikan lewat email. Untuk kelancaran
komunikasi antara kami dalam rangka persiapan
keberangkatan ke Bangkok, maka direktorat membuat grup
WA Jelajah Literasi Bangkok agar mempermudah
penyampaian informasi atau menampung pertanyaan‐
pertanyaan kami yang dianggap perlu sehubungan dengan
persiapan keberangkatan ke Bangkok.
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah saya ke
Jakarta pada hari Kamis pagi untuk bergabung dengan 9
penulis lainnya di salah satu hotel yang tidak jauh dari
Bandara Soekarno Hatta. Komunikasi dalam grup WA untuk
saling memberi inforamasi yang sudah tiba di hotel dan yang
sudah berada di kamar sehingga kami dapat mengenal
langsung teman‐teman lainnya. Setelah makan malam
bersama kami mendapat pengarahan dari Ibu Emilda Lovisia
dan Ibu Ida Faridah dari Direktorat juga menyerahkan semua
persyaratan administrasi yang telah kami bawa dan sembari
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 149
tukar‐menukar buku karya tulis masing‐masing serta berbagi
cerita. Sungguh kami semua merasa senang dan gembira.
Keesokan hari kami berkumpul dan bersama dari hotel
menuju ke Bandara Soekarno Hatta, rombongan kami
bertambah beberapa orang teman dari Direktorat yang ikut
mendampingi perjalananan ke Bangkok. Rasa kantuk saya
telah dikalahkan oleh rasa gembira karena akan merasakan
perjalanan bersama rombongan penulis ini. Kebetulan di
dalam pesawat dari Jakarta menuju Bangkok saya duduk
bersebelahan dengan Ibu Wahyuningsih. Setelah terbang
selama 3,5 jam mendaratlah pesawat yang saya tumpangi di
Bandara Don Muang, Bangkok.
Sambil menunggu tibanya Bapak Mohammad Ihsan, CEO
MediaGuru Indonesia dan Bapak Eko Prasetyo beserta
rombongan lainnya yang belum mendarat, saya mengisi
waktu dengan berswafoto dan foto bersama teman‐teman di
bandara. Setelah rombongan lengkap dengan menggunakan
2 bus kami menuju ke tempat seminar “Digital Literacy
Towards the Industrial Revolution 4.0 Era” yang
diselenggarakan oleh SEAMEO (The Southeast Asian
Ministers of Education Organization), dengan rasa ingin tahu
dan semangat untuk mengerti saya mengikuti seminar ini.
Dari tempat seminar rombongan MediaGuru menuju
tempat makan malam. Saya menyantap makan malam yang
telah disediakan dengan lahap. Selesai makan malam
rombongan menuju Livotel Hotel untuk bermalam di sana.
Rasa capai dan kantuk mulai menjalari badan saya, maklum
karena dari jam 3 pagi sudah bangun untuk persiapan
berangkat. Saya sekamar dengan Ibu Rini dari Bojonegoro,
150 | Tim Penulis Jelajah Literasi
penulis rombongan MediaGuru. Saya melewati malam
pertama di Bangkok dengan nyenyak.
Dengan menggunakan kaus lengan panjang kombinasi
warna putih dan biru muda yang diberikan oleh Direktorat,
pada hari kedua rombongan mulai menjelajah kota Bangkok
diawali berkunjung ke Kuil Wat Arun yang berada di pinggir
sungai Chao Phraya. Kami naik perahu mengarungi sungai
terlebar di Bangkok itu. Sebagai tempat wisata, kuil ini selalu
dalam keadaan bersih. Foto Raja Thailand yang besar
terpampang di taman di depan kuil bersanding dengan
bendera kerajaan dan bendera negara Thailand sebagai
penghormatan yang tinggi kepada raja dan negara.
Saya menyempatkan untuk berfoto dengan latar
belakang kuil tersebut menggunakan busana khas negeri
Gajah Putih layaknya puteri raja. Dari kuil ini rombongan
melanjutkan perjalanan ke Ton Son Mosque yang merupakan
masjid tertua di Bangkok, yang diperkirakan dibangun
sebelum pemerintahan Raja Song Tham pada tahun 1610‐
1628. Masjid ini juga sebagai Islamic Center di Bangkok yang
dapat menunjukkan adanya perkembangan agama Islam di
Bangkok.
Setelah puas melihat Masjid Ton Son dan berfoto
bersama dan makan siang, perjalanan dilanjutkan ke Platinum
Fashion Mall dan MBK Center. Di tempat ini kami membeli
pernak‐pernik yang bercirikan Thailand. Setelah itu
dilanjutkan ke Erawadee tempat menjual obat‐obatan
berbahan herbal. Tertarik saya membeli obat gosok yang
hangat untuk mengolesi kaki yang mulai pegal karena
berjalan kaki cukup lama di dalam kedua mal ini. Namun, hal
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 151
ini tidak mengurangi semangat saya untuk mengikuti
rombongan ke tempat wisata Asiatique lengkap dengan
bianglala yang tampak dari kejauhan.
Ketika matahari sudah terbenam tampak gemerlap
lampu bianglala menambah keindahan Asiatique the
Riverfront yang berada di pinggir Sungai Chao Phraya yang
bernuansa pergudangan pelabuhan yang luas. Di dalamnya
berisi toko‐toko yang menjual suvenir, baju, oleh‐oleh, dan
resto‐resto tempat kuliner. Suatu penataan tempat wisata
yang unik dan menjadi daya tarik wisatawan asing maupun
domestik untuk menghabiskan malam minggu di sana. Cukup
larut malam rombongan meninggalkan Asiatique menuju ke
Livotel Hotel tempat rombongan bermalam.
Tepat hari Minggu adalah hari ketiga dan merupakan hari
terakhir saya berada di Bangkok. Setelah makan pagi di hotel
rombongan Direktorat dan 10 penulis memisahkan diri dari
rombongan MediaGuru karena akan mengunjungi Kuil Wat
Pho yang terkenal dengan patung Budha Berbaring dalam
ukuran raksasa. Di kuil terdapat banyak patung Budha
berbagai ukuran yang mencapai jumlah ribuan patung dan
lebih banyak dibandingkan kuil lainnya. Kuil Wat Pho
dibangun dengan gaya arsitek khas Thailand yang kaya
budaya dengan ditempeli batu‐batu manikam dan dihiasi
pecahan porselen warna‐warni membuat kesan unik dan
mewah.
Kuil Wat Pho bersebelahan dengan The Grand Palace
atau Istana Raja yang memberlakukan aturan berbusana
dengan menutupi tungkai dan kaki apabila ingin masuk ke
dalam istana. Di luar pagarnya saya menyempatkan diri
152 | Tim Penulis Jelajah Literasi
berfoto di Tuk‐Tuk ukuran panjang. Sebuah kendaraan
transportasi mirip bajaj khas Thailand yang dipakai hampir di
seluruh wilayah Thailand.
Matahari semakin tinggi, setelah menjelajahi Kuil Wat
Pho dan Istana Raja yang luas, rombongan menuju ke tempat
pembuatan tas yang dari bahan kulit ikan pari, kulit buaya
yang harganya tidak terjangkau untuk saya beli. Kemudian
rombongan menuju ke Bandara Don Muang untuk kembali ke
Jakarta menggunakan Air Asia QZ253. Sebelum jam 20.45
waktu setempat pemberitahuan boarding diumumkan. Badan
terasa penat dan kaki pegal. Saya berharap dapat tidur di
kursi pesawat yang sedang mengudara.
Arloji tepat menunjukkan jam 00.20 waktu Jakarta,
pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Soekarno
Hatta. Setelah mengurus semua dokumen keimigrasian dan
mengambil bagasi, rombongan menuju Hotel Orchardz untuk
beristirahat. Sebelum hari Senin sore saya kembali ke Lombok
dengan membawa kenangan indah dalam kebersamaan
teman‐teman penulis.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 153
154 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Bangkok ...I am coming
L ewat tengah hari kaki menapak di Negeri Gajah
Putih. Bahagia berbalut syukur. Rasanya ingin teriak
“Bangkok I am coming”. Kedatangan membawa
sebongkah harapan untuk menemukan sesuatu yang berbeda
dari negara tercinta yang dapat dijadikan pelajaran. Kegiatan
pertama berlangsung di SEAMEO, yang merupakan agenda
istimewa bagi para peserta mendapat informasi seputar
perkembangan dunia pendidikan memasuki era industri 4.0.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 155
Para peserta yang sebagian besar adalah para pendidik ini
seolah mendapatkan suplemen khusus. Setelah menghadiri
seminar melalui video conference (VICON) dengan aplikasi
WEBEX. Suasana pertemuan ilmiah yang tidak lazim dan
memberikan kesan tersendiri hingga termotivasi untuk terus
belajar dan mengembangkan kopentensi sebagai pendidik.
Perjalanan Jelajah Literasi Bangkok 2018 menyimpan
banyak kenangan dan pelajaran. Tak sekadar jalan‐jalan
karena hanya sedikit destinasi wisata yang dikunjungi. Tak
sekadar wisata belanja karena banyak mal dan pasar yang
diburu. Sehingga menggoda peserta literasi merelakan
lembar demi lembar bath‐nya berpindah tangan ke pedagang
yang tak fasih berbahasa Inggris apalagi bahasa Melayu.
Namun, banyak hal yang dapat kita nikmati dari perjalanan
singkat ini, setidaknya itu kesanku.
Benar kata pepatah lama, “banyak berjalan banyak
dilihat”. Suasana perjalanan memaksa peserta harus mandiri
dalam menggali informasi dan melihat fenomena masyarakat
dan budaya Thailand. Belajar tidak harus mengunjungi semua
tempat wisata yang menjadi ikon Kota Bangkok. Menyusuri
ruas jalan Kota Bangkok dari pagi hingga malam, mengamati
perilaku warga kota, melihat suasana kehidupan masyarakat,
berinteraksi dengan modal bahasa Inggris yang pas‐pasan
dicampur sedikit bahasa isyarat saat menawar barang
belanjaan atau sekadar bertanya di mana toilet memberikan
sensasi tersendiri.
Sedikit sekali informasi yang terserap sepanjang jalan.
Huruf keriting dan melingkar membuat para peserta tiba‐tiba
menjadi buta huruf. Sedikit sekali tulisan yang terpampang di
156 | Tim Penulis Jelajah Literasi
pinggir jalan disertai keterangan dalam bahasa Inggris di
bawah huruf keriting tersebut. Seolah orang Thailand ingin
para pengunjung harus berusaha mempelajari bahasa
mereka. Jelas terlihat bagaimana mereka menghargai bahasa
dan aksara sendiri. Aksara Thai mendominasi ruang publik.
Sesuatu yang wajar dan patut diapresiasi. Mereka
melestarikan bahasanya dan bangga dengan budayanya.
Kebingungan tidak dapat membaca tulisan keriting
aksara Thai ini ditambah dengan kekhawatiran terkena arus
listrik saat berada di bawah kabel listrik yang nyaris menyapa
kepala kita. Gulungan kabel listrik yang tak teratur dan
bentangan rendah sepanjang jalan menjadi pesona
tersendiri. Negara yang menjadi destinasi wisata dan surga
belanja para wisatawan ternyata pengelolaan bayar listriknya
masih sederhana namun menjadi pemandangan yang unik.
Tak salah juga bila ada yang mengatakan kabel listrik ini
sebagai Amazing of Thailand.
Hal lain yang mengusik adalah bentangan sungai yang
membelah Thailand yang sangat bersih dan terawat.
Menyusuri Sungai Chao Phraya menggunakan kapal menuju
Wat Arun menyadarkan kita bagaimana menghargai alam
dengan baik. Peringatan untuk tidak membuang sesuatu apa
pun ke sungai kerap dilakukan tour guide. Bahkan ritual
memberi makan ikan patin hanya boleh dengan roti pilihan
yang dijual awak kapal. Aturan yang tegas dan
menguntungkan bagi penduduk dan sungai yang mereka
hormati.
Wajarlah jika sungai di Thailand dapat memberikan energi
baru dan menenangkan pikiran para pengunjung. Entah
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 157
kepercayaan apa yang diyakini masyarakat Thailand sehingga
begitu konsisten dalam menjaga sungainya. Saat kita bisa
menjaga kebersihan dan keseimbangan alam, maka alam
akan memberikan sesuatu yang kita butuhkan. Termasuk
keuntungan finansial dengan menjadikannya destinasi wisata
yang mendunia.
Setiap perjalanan menggoreskan kesan. Setiap perjalanan
menorehkan kenangan. Setiap perjalanan memiliki makna.
Setiap perjalanan mengandung pelajaran. Jadilah kita pejalan
yang bijak yang dapat merasakan semuanya.
Fadillah Rahmi Nasution S.Sos.
(Guru SMAN I Galang Deli Serdang, Sumatera Utara)
158 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Berliterasi ke Negeri Siam
T hailand merupakan satu‐satunya negara di kawasan
Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh bangsa
asing. Pertaniannya sangat maju membuat negara ini
dikenal dengan sebutan lumbung padi Asia Tenggara. Di
Indonesia hasil pertanian negeri gajah putih ini juga cukup
terkenal. Semua komoditas unggul ditemukan di sini. Ada
jambu, durian, kelapa, dan yang sangat ternama adalah ayam
bangkok.
Dulu kerajaan Thailand bernama Swarna Bumi yang
sekarang diabadikan namanya di Bandara Don Muang
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 159
Bangkok. Lalu berubah nama menjadi Siam, Muangthai, atau
Thailand. Thailand dikenal dengan sebutan Negeri Gajah
Putih, karena gajah putih dianggap keramat oleh
penduduknya. Thailand bernama resmi Pratet Thai atau Raja‐
Anachakara Thai.
Suku bangsa yang tinggal di Thailand adalah Thai, Lao,
Melayu, Cina, Mon, dan Khmer. Dengan agama mayoritas
Budha, Islam, Kristen, dan Hindu. Penduduk Thailand sangat
tertib antre dan cinta akan kebersihan. Rumah makan di sana
menyiapkan air panas untuk menyeterilkan alat makan yang
telah dipakai oleh pengunjung. Mereka setiap pukul 07.00
menghentikan semua aktivitas bila mendengar lagu
kebangsaan berkumandang.
Sebelum berangkat ke Thailand mengikuti kegiatan
jelajah literasi yang diselenggarakan oleh MediaGuru, terlebih
dahulu saya meminta izin dari suami. Setelah beliau
mengizinkan baru ke kepala sekolah dan Koordinator
Wilayah Bidang Pendidikan Kecamatan Plumpang. Atas
dukungan Korwil saya meminta surat tugas dari Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Tuban. Alhamdulillah, gayung
bersambut. Beliau memberi surat tugas sekaligus dukungan
kepada saya. Tidak lupa saya memberikan kenang‐kenangan
buku kepada beliau.
Tiket dibelikan oleh suami, begitu juga uang saku. Yang
membuatku terkesan dinas juga memberikan uang saku.
Walaupun diiringi hujan deras dan kemacetan karena ada
perbaikan jalan di kawasan Lamongan, perjalanan cukup
lancar. Hal ini karena suami yang setiap hari pergi ‐ pulang
160 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Tuban‐Surabaya sudah hafal jalan‐jalan tikus yang ada di ruas
ini.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam, kami sampai
di bandara. Karena berangkat pukul 01.00 WIB rasa kantuk
membuatku tertidur. Ternyata suami mengantarku ke
terminal 1 Bandara Juanda Surabaya. Setelah menerima
pesan WA dari Bu Rini, saya baru terbangun dan menuju
terminal 2.
Sesampai di bandara, saya bertemu Bu Sri Subekti dan
suami yang sedang check in. Kami bertemu dengan Bu Rini,
Bu Diah, dan Pak Iwan. Lalu kami shalat Subuh berjemaah di
musala bandara dan Pak Masmuh menjadi imamnya. Setelah
shalat semua masuk ke pesawat karena beliau terbang pukul
05.00 WIB dan saya pukul 06.20 WIB.
Tidak ada teman untuk bercakap‐cakap. Akhirnya, saya
tertidur di kursi bandara dan terbangun ketika terdengar
suara Bu Pipit menelepon. Ternyata Pak Ihsan, Bu Isti, Bu Ari,
Pak Eko, dan teman sekamarku Bu Alfi sudah ada di kursi
belakangku. Wah, ternyata pulas benar tidurku. Bu Pipit yang
masih berputar dengan taksi yang tersesat, akhirnya harus
berlari‐lari check in dan bergabung dengan rombongan kami.
Dua jam setengah sampailah kami di Bandara Kuala
Lumpur untuk transit dan bergabung dengan rombongan
yang berangkat pukul 05.00 WIB tadi. Kami sempat berfoto
bersama di miniatur Menara Petronas. Ini kali pertama aku
menginjakkan kaki di Kuala Lumpur. Setelah menunggu
sekitar satu jam kami segera melanjutkan perjalanan dengan
pesawat menuju Bangkok. Kami tiba pukul 12.25. Waktu
Bangkok ternyata sama dengan Surabaya.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 161
Di bandara yang cukup ramai ini kami bergabung dengan
tim yang berangkat dari Jakarta. Setelah mengadakan
meeting dengan leader kami melanjutkan perjalanan dengan 2
bus yang mengangkut rombongan kami sebanyak 94 orang.
Bus high deck yang membawa kami di perjalanan sangat
nyaman. Kami bergegas ke tempat seminar karena sudah
ditunggu oleh pihak SEAMEO (Perwakilan Kementerian
Pendidikan Asia Tenggara). Hari Jumat pukul 16.00 kami tiba
di tempat seminar yang telah dipersiapkan oleh SEAMEO.
Materi diberikan dalam bahasa Inggris dan Pak Gatot
Hadi Priowirjanto selaku pimpinan SEAMEO dari Indonesia
melakukan video conference dengan kami sebagai peserta
seminar. Untuk memperoleh sertifikat dari SEAMEO tidak
mudah. Kami harus melakukan serangkaian tugas dengan
baik barulah sertifikat diberikan. Sertifikat itu hanya berlaku
selama satu tahun. Setelah itu kami harus berinovasi kembali
untuk mendapatkannya setiap tahun. Seminar selesai dan
perjalanan berlanjut ke tempat makan di restoran halal.
Ada sisi negatif dari wajah Thailand, kabel listrik terlihat
semrawut dan bertumpuk di sepanjang jalan. Membuat
pemandangan kota kurang menawan. Perjalanan yang kami
tempuh cukup dekat, namun karena kemacetan parah kami
harus menahan rasa lapar selama 3 jam di dalam bus. Untuk
mencari makanan di Thailand kita harus mencari tempat yang
berlabel halal karena mengingat mayoritas penduduk yang
beragama nonmuslim.
Hari kedua kami menyusuri Sungai Chao Praya dengan
perahu menuju Wat Arun. Hm, saya sempat mencicipi kelapa
muda di sana. Rasanya luar biasa serasa minum sirup kelapa
162 | Tim Penulis Jelajah Literasi
segar dan manis sekali. Tak lupa kami mengunjungi Islamic
Centre untuk menunaikan shalat Zuhur berjemaah dengan
penduduk setempat.
Selanjutnya kami mengunjungi beberapa tempat wisata
belanja dan kembali ke tanah air setelah 3 hari berada di sana.
Di setiap perjalanan pasti ada pembelajaran apalagi berada di
negeri orang. Saya semakin menemukan arti persahabatan
sejati. Bu Pipit, Bu Alfi, Bu Sri Subekti, dan Pak Masmuh
saudara baru seperjuangan di hotel sempit dekat Bandara
Don Muang Bangkok, Thailand.
Sriyatni,S.Pd. SD.
(Guru SDN Sumurjalak II Kecamatan Plumpang Kabupaten
Tuban, Jawa Timur)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 163
164 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Bahasa Kalkulator vs Bahasa
Indonesia
B epergian ke luar negeri masih menjadi angan‐angan
sebagian orang. Susasana, adat kebiasaan, budaya,
serta bahasa yang berbeda menjadi daya tarik
wisatawan. Demikian pula halnya dengan Thailand. Negara
yang dikenal dengan sebutan Negeri Gajah Putih ini memiliki
kesan tersendiri bagi saya dibandingkan dengan negara lain
yang pernah saya kunjungi.
Kesan pertama, kami kesulitan berkomunikasi dengan
masyarakat Thailand yang kurang menguasai bahasa Inggris
sebagai bahasa internasional. Di mana‐mana kami
menemukan orang lebih paham bahasa Thailand. Kesulitan ini
bertambah lagi dengan bentuk tulisan Thailand yang bentuk
hurufnya mlungker‐mlungker seperti huruf Jawa Kuno. Sama
sekali tidak bisa dieja. Jadi saat kondisi mendesak, kami
menggunakan bahasa tarsan (baca: isyarat).
Demikian pula dengan para pedagang, mayoritas
menguasai bahasa Thailand. Untuk berkomunikasi saat
berjualan, mereka memilih berkomunikasi menggunakan
kalkulator. Misalnya, ketika saya tanya harga kaus hitam yang
bertuliskan Thailand, dia mengetik angka 150 di kalkulatornya.
Saya tawar dengan mengetik angka 100. Dia geleng‐geleng
kepala sambil menunjuk kaus putih. Artinya, yang putih boleh
100 bath. Kemudian dia mengetik lagi angka 130. Demikianlah
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 165
tawar‐menawar sampai akhirnya harga disepakati 120 bath
untuk kaus berwarna. Jadi kesan pertama, bahasa kalkulator
lebih dominan di kalangan pedagang.
Kesan saya tersebut berbeda saat menemukan cara
pandang yang berbeda dari pedagang yang saya temui di
Floating Market Pattaya (pasar apung) dan Asiatique (pasar
malamnya Thailand). Ternyata ada pedagang yang secara
serius mau belajar bahasa Indonesia. Ceritanya saat saya dan
teman‐teman berkunjung ke pasar apung, kami tertarik
buah‐buahan dagangan gadis cantik yang menawarkan
menggunakan bahasa Indonesia.
“Mari … silakan,” sapanya. Secara otomatis kami
berhenti dan melempar senyum.
“Eh bisa berbahasa Indonesia?” tanya kami meyakinkan
diri.
“Hehe...dikit‐dikit,” katanya dengan lafal yang terdengar
lucu, sambil tersenyum manis.
Kemudian dia mengambil buku dan dengan antusias
bertanya pada kami beberapa kosakata baru yang ingin dia
kuasai. Dia menunjuk semua buah yang ada di hadapannya
dan menanyakan istilah dalam bahasa Indonesia. Mulai dari
mangga, nanas, rambutan, dan pisang. Juga kata thank you
dan good luck dalam bahasa Indonesia. Selain mencatat, dia
juga belajar cara mengucapkannya. Kata “terima kasih”
dengan mudah dilafalkannya. Namun, dia kesulitan saat
mengucapkan kata “semoga beruntung”. Berkali‐kali
dicobanya namun dia selalu tertawa terpingkal‐pingkal
karena kata “beruntung” baginya aneh dan lucu sekaligus
susah ditirukan. Jadilah kami ikutan tertawa berderai
166 | Tim Penulis Jelajah Literasi
melihatnya belepotan belajar bahasa Indonesia, sehingga
mengundang perhatian beberapa pedagang di sekitarnya.
Kami sangat salut dengan semangatnya yang mau belajar.
Pengalaman berikutnya di Asiatique, pasar malam yang
menyajikan aneka oleh‐oleh khas Thailand. Di sana kami
menemukan sebuah toko yang penjualnya lumayan fasih
berbahasa Indonesia. Semula kami mengira dia pernah
tinggal di Indonesia.Ternyata tidak. Dia serius mempelajari
bahasa Indonesia. Dia berceritera kalau orang Indonesia suka
belanja. Tidak hanya membeli untuk keluarga saja, tetapi juga
tetangga dan teman‐temannya. Terlebih lagi dia menerima
mata uang rupiah untuk pembayaran. Jadilah konsumen yang
sudah menipis persediaan uang bath‐nya jadi bisa belanja lagi.
Dari pengakuannya dengan menguasai bahasa Indonesia
tokonya selalu ramai dikunjungi konsumen dari negara kita
dan komunikasi lancar. Terbukti, mahir berbahasa Indonesia
telah meningkatkan rezekinya dibandingkan saat dia masih
berbahasa kalkulator.
Ari Pudjiastuti
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 167
168 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Literasi Bangkok Jalan
Kenangan
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 169
Diawali dengan pergulatan batin menyoal
keberangkatan, nginden tiket pesawat, titik temu di DMK
Bangkok, beda bahasa, beda daerah asal, so pasti seru.
Persoalan memang muncul dalam perizinan, baik keluarga
ataupun lembaga. Namun satu sisi ada keseruan dan
tantangan di sana.
Keren bangettttt.
Bagi saya ini adalah perjalanan pertama. Subhanallah,
seorang pengawa dari pinggiran saat itu bisa duduk bareng,
berangkat bareng, sama seperti mereka dari daerah lainnya.
Artinya, walaupun dari pinggiran tapi saat itu bisa
seperti mereka, punya semangat yang sama dan berdiri
sejajar dengan mereka dan satu hal yang berbeda kain, batik
"Teluk Belanga" khas Kalimantan Tengah juga telah ada di
Seameo Bangkok‐Thailand. Dahsyat!
Ternyata banyak hal yang bisa didapat dalam jelajah ini. Di
SEAMEO .. guru nggak lagi bengong. Can Arum, tatapan mata
tak lagi kosong. Tom Yam yang bikin ngiler... Durian jumbo “Si
Monthong" bikin kantong bolong. Aksesori, pedagang
makin laris. Over bagasi membuat hati emak‐emak jadi miris.
Celotehan dan candaan adalah inspirasi. Hambatan dan
permasalahan menjadi lisensi dramatis sebuah literasi.
Kebersamaan dan kekompakan adalah misi jelajah literasi.
MediaGuru makin maju, guru jadi bermutu menatap masa
depan baru terus maju. JlB (Jelajah Literasi Bangkok, red.)
oke banget, seru, deru, dan lucu.
Sundari, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
170 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Serpihan‐Serpihan Kisah
Thailand Selatan "Pattani"
Oleh : Tuti Haryati, M.Pd.
M engikuti program Jelajah Literasi yang diadakan
Mediaguru, semakin menantang saya untuk ikut.
Kesempatan ini selalu memberi rezeki saya untuk
selalu terlibat di dalamnya. Tidak ada hal yang saya obsesikan,
kecuali belajar dan terus belajar. Agar saya selalu bisa meng‐
upgrade kemampuan diri dan menularkan ke semua guru
yang mau belajar.
Keputusan yang saya ambil untuk ikut Jelajah Literasi
Bangkok, diumumkan tiga bulan yang lalu. Saat itu bulan
November 2018. Saya menantang untuk bisa ikut dan
alhamdulillah, Allah memberi restu‐Nya bersamaan dengan
larisnya buku kami di pasar online.
“Alhamdulillah, bisa buat uang saku,” gumamku dalam
hati. Rida itu menyertai setiap langkah yang saya ambil.
Mbolang ke Bangkok akan mewujdkan cita‐cita saya
ke Thailand Selatan. Keingintahuan saya tentang bagaimana
masyarakat Muslim di sana, akhirnya diridai‐Nya. Saya pun
memaksakan diri untuk belajar bagaimana komunitas
masyarakat Thailand Selatan. Masyarakat di sana masih jadul
gaya pembelajarannya. Beda dengan masyarakat mayoritas
yang semua akses keilmuan dan pengembangan diri
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 171
difasilitasi oleh pemerintah Bangkok. Sedangkan masyarakat
Pattani, mereka berupaya sendiri dalam mengembangan
sekolah dan pesantrennya.
Sangat terlihat perbedaannya dalam mensikapi
bagaimana pendidikan di sana bisa maju. Mulai dari
kebahasaannya. Masing‐masing melibatkan melayu Muslim di
selatan, etnis perbukitan di utara, dan orang Isan di timur
laut. Identitas Muslim Melayu di selatan, masyarakat komunis
di utara secara jelas berbeda dengan mayoritas Thai‐Buddha,
sedangkan di timur laut hanya berbeda etnis, yaitu kelompok
Laos‐Thai, meskipun beragama yang sama.
Perbedaan ini memang sangat mencolok, pada tahun
1983, jauh sebelum krisis moneter yang bermula di Thailand,
Kota Metropolis Bangkok memiliki pendapatan per kapita,
51.441 bath, sementara Minoritas Muslim, konflik dan
rekonsiliasi di Thailand Selatan ‘97, 16.148 bath, tiga kali lipat
lebih rendah dibandingkan Bangkok, sementara di bagian
utara, 12.441 bath dan wilayah timur laut, 7.146 bath.
(http://indramunawar.blogspot.com‐2009).
Perbedaan ini menimbulkan kekecewaan, kecemburuan,
dan rasa tidak adil yang kemudian berakibat pada keinginan
masyarakat untuk otonomi dan merdeka. Dua puluh empat
tahun kemudian, kesenjangan ini pun semakin lebar karena
pemerintah menaruh curiga atas tumbuhnya kekuatan
masyarakat di wilayah ini dan pembangunan tidak
diprioritaskan.
Konsekuensi yang terlihat di luar aspek ekonomi, yaitu
lambatnya peningkatan sumber daya manusia, pendidikan
yang tidak merata, dan tekanan kebijakan berbasis keamanan
172 | Tim Penulis Jelajah Literasi
yang mengancam masyarakat. Kesenjangan ini pula yang
menurunkan tingkat nasionalisme masyarakat di luar
mayoritas Thai‐Buddha. Perbedaan yang mencolok antara
Melayu Muslim di selatan dan Buddha‐Thai di seluruh wilayah
Thailand dilihat oleh Ted Robert Gurr tidak pada keragaman
etnisitasnya, tetapi lebih pada agamanya. Muslim di selatan
Thailand dan Buddha dianut hampir di seluruh Thailand.
Selama perjalanan menyusuri kota Pattani, banyak
serdadu pemerintahan dengan sigap menjaga perbatasan.
Akhir‐akhir ini terjadi pembantaian muslim, tapi
keberadaannya bagaimana tidak diekspos lebih jauh. Demi
menjaga keamanan akhirnya tentara dari pemerintah
mengadakan penjagaan ketat agar tidak terjadi pertumpahan
darah lagi.
Masyarakat yang kental akan etnis sangat sulit untuk
disatukan. Apalagi beberapa etnis atau agama telah tumbuh
dalam satu kekuatan dinamis selama ratusan tahun. Sangat
terlihat pada keberadaan negara dengan penduduk
multiagama dan multietnik mendapat tantangan besar
bagaimana menyatukan mereka dalam payung satu
nasionalisme.
Dari permasalahan di atas, sangat jelas dua negara yang
belum berhasil ’menaklukkan’ kelompok ini di antaranya
Thailand Selatan dan Filipina. Yang kebetulan sama‐sama
Muslim minoritas di tengah mayoritas Buddha di Thailand dan
Kristen di Filipina. Sementara Islam menyebar ke berbagai
negara di Asia Tenggara, di antaranya ke Thailand Selatan,
atau dikenal dengan sebutan Muslim Pattani, atau secara
resmi di Thailand, Islam Pattani.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 173
Terlepas dari masalah yang terjadi. Saya semakin
tertantang untuk bisa berbagi bersama komunitas mereka.
Walaupun saya hadir di sana hanya dua hari, akan tetapi
manfaat yang luar biasa yang bisa saya bagikan yaitu tentang
bahasa Inggris dan literasi.
Mengapa harus bahasa Inggris? Mereka ternyata tidak
bisa berbicara dalam bahasa Inggris. Mereka bisanya bahasa
Melayu Pattani. Berbeda dengan bahasa Malayu yang ada di
Malaysia. Sehingga kesulitan bagi saya untuk bisa berbagi
ilmu yang saya miliki. Antusias mereka mengikuti
pembelajaran bahasa Inggris sangat terlihat bahwa mereka
ingin bisa. Model pembelajaran di BEC Pare Kediri, saya
berikan kepada mereka. Sifat pengulangan bahasa Inggris
yang menjadikan mereka siap untuk selalu mengucapkan
walaupun sifatnya sederhana.
Motivasi saya kepada mereka, selain bahasa Arab, santri
wajib menguasai bahasa Inggris. Kesenjangan pendidikan
yang terjadi agar tidak terulang dan santri bisa belajar sampai
perguruan tinggi dan kembali ke desanya untuk
mengembangkan pendidikan di daerahnya. Harapan besar,
agar kaum minoritas bisa bersanding dengan kaum mayoritas
dalam mengembangkan SDM‐nya.
Yang kedua, saya ajarkan tentang literasi. Saya kuatkan
motivasi kepada santri dari ilmu yang saya dapatkan dari
SEAMEO di Bangkok. Saat itu Pak Gatot sebagai direkturnya.
Ia mengatakan bahwa kalau kita mau berhasil atau sukses
maka kita harus menghilangkan dua hal, yaitu “Jangan Malu
dan Jangan Malas”. Dua motivasi dari beliau saya bawa dan
saya sampaikan kepada santri di sana.
174 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Terima kasih atas kesempatannya, MediaGuru. Dengan
waktu yang bersamaan akhirnya saya bisa melakukan
perjalanan ke kota lain. Tujuan mulianya yaitu melihat
keberagaman budaya, agama, dan semangat belajar
masyarakat terhadap perkembangan industri 4.0. serta
kekuatan pembelajaran pada abad 21. Dua hal ini menjadi
kekuatan dan kecakapan pembelajaran yang harus kita
siapkan sebagai bekal santri kita pada zamannya kelak.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 175
176 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Tiga Hari Berkeliling
Bangkok, Thailand
P ada hari Jumat sampai Minggu tanggal 15 ‐ 17 Februari
2019, saya, suami dan 94 orang lainnya yang
tergabung dalam Grup MediaGuru Indonesia, yang
diketuai oleh CEO MediaGuru, Mohammad Ihsan didampingi
Pemimpin Redaksi MediaGuru, Eko Prasetyo melakukan acara
Jelajah Literasi ke Bangkok, Thailand.
Hari Jumat pagi jam 10.15 waktu Bangkok, pesawat
yang membawa saya dan rombongan yang berangkat dari
Bandara Soekarno Hatta telah mendarat dengan mulusnya.
Pintu pesawat terbentang lebar, menyeruakkan udara hangat
dan segar dari alam negeri Thailand. “Welcome to Bangkok,”
batin saya. Serasa tak sabar menyambut dua hal, yaitu
masuknya udara segar ke paru‐paru hingga lenyaplah
gangguan pernapasan yang hadir ketika saya berada di
angkasa dan yang kedua adalah banyaknya pengalaman
baru di negeri orang. Seorang pramugari cantik berwajah
sangat ramah menyapaku,” Arunsawat ka, kobkun ka.”
Artinya, selamat pagi, dan terima kasih. Aku hanya bisa
membalasnya dengan senyuman saja.
Di sepanjang jalan yang kami lalui selama 3 hari
terlihat gedung‐gedung tinggi baik yang terbuat dari material
kaca maupun tembok semen. Khususnya gedung bertembok
semen, sebagian besar gedung terlihat kusam baik itu
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 177
pemilihan warna catnya, maupun oleh karena kerak‐kerak
kotoran yang berasal dari tetesan air hujan ataupun jamur
yang menempel. Sangat jarang ditemui gedung dengan cat
berwarna cerah dan indah seperti di Indonesia. Juga banyak
dijumpai rumah‐rumah susun dengan kondisi baik maupun
rumah susun kumuh.
Yang unik di Bangkok adalah kondisi kabel listrik yang
semrawut di tiang‐tiang dipinggir jalan. Ada kabel yang
dililitkan di tembok pinggir jalan yang bisa dengan mudah
tersentuh tangan. Hm, hati‐hati tingkat dewa jika Anda ke
Bangkok dan berjalan di area seperti ini! Yang menarik
selanjutnya adalah Bangkok kota yang terdapat klinik
kecantikan untuk bedah plastik terbanyak di dunia. Di
Bangkok banyak bus yang sudah lumayan tua kondisinya
masih digunakan sebagai transportasi umum.
Bangkok sebagai salah satu tujuan wisata dunia
memang mempunyai banyak tempat wisata. Di antaranya
adalah wisata religi yaitu Kuil Wat Pho yang terdapat patung
raksasa Budha emas yang tengah berbaring. Kuil Wat Arun
yang terdapat di komplek River City. Bangunannya sangat
megah dan indah menjulang di tepian Sungai Chao Praya, di
mana kita bisa menyusuri sungai menggunakan perahu serta
memberi makan banyak sekali ikan patin yang dianggap
keramat di sungai itu.
Di kedua kuil ini kesopanan pengunjung masih
diperhatikan. Para wisatawan asing khususnya, saya lihat
banyak berpakaian mini tidak diperbolehkan masuk. Mereka
harus menutupi bagian bawah tubuh mereka dengan kain
yang disediakan. Ketika memasuki kuil utama yang di
178 | Tim Penulis Jelajah Literasi
dalamnya terdapat patung besar Budha, semua harus
melepaskan sepatu, topi, dan kacamata dan meminimalkan
suara. Kita juga dilarang duduk di barisan patung‐patung
Budha.
Di Bangkok ada beberapa tempat belanja murah dan
lengkap yang cukup besar yaitu di Platinum Plaza, Pasar
Chatuchak dan Asiatique. Berbagai macam suvenir dan
pakaian tersedia di sini. Selain berbelanja cukup murah, di
Asiatique kita bisa menikmati kuliner aneka minuman dan
masakan seafood sangat lezat serta camilan sambil duduk
santai di pinggir sungai besar Chao Praya. Saya menjumpai
pula kuliner ekstrem seperti buaya panggang dan aneka
serangga; kalajengking, jangkrik, lipan, dan juga hewan
melata yang diolah dan siap makan. Di Asiatique bisa
menikmati pertunjukan seni beladiri khas Thailand Muay Thai
Show. Juga terdapat gedung opera untuk pertunjukan para
lady boy yang mendunia. Di Bangkok ada pula Herbal Center
bernama Erawadee yang menyediakan berbagai produk
pengobatan herbal.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 179
Di semua tempat yang menarik dikunjungi bagi saya tetap
menyisakan beberapa kendala, pertama yaitu makanan halal.
Karena sebagai muslim kita harus menjaga makanan kita
tetap halalan toyyiban. Bagi yang tidak memperhatikan
kondisi halal tidaknya makanan. Bangkok merupakan sebuah
surga kuliner dengan harga tidak terlalu tinggi pula. Kedai‐
kedai makanan lezat banyak digelar di pinggir jalan.
Kendala berikutnya adalah para pedagang dan sopir
taksi sangat minim berbahasa Inggris, sehingga kadang saya
dan lawan bicara saya sama‐sama tertawa menggunakan
bahasa isyarat agar saling memahami. Diberitakan bahwa
orang Thailand mengharapkan orang luar yang memasuki
Thailand yang harus belajar bahasa mereka, bukan mereka
yang belajar bahasa asing. Itu bentuk dari rasa nasionalisme
di Thailand.
180 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Kendala berikutnya adalah di toilet umum yang tidak
tersedia air untuk membersihkan diri. Hanya ada tisu. Bahkan
di beberapa tempat toilet umum tidak ada tisu sama sekali.
Jadi, sebaiknya selalu ada tisu di tas kita ketika ke Bangkok
kalau perlu botol air sekalian.
Di Bangkok saya sempat menemukan perkampungan
muslim di tepi sungai kecil. Di situ terdapat sebuah komplek
penjual makanan yang disebut Halal Mart. Saya tidak ragu
makan apa pun di situ karena penjualnya semua berhijab dan
tentu saja muslim. Kami juga sempat singgah ke markas besar
Kantor Kementerian Pendidikan se‐ASEAN yang disebut
SEAMEO. Di sini kami diberi pengantar tentang apa
sebenarnya organisasi ini. Juga kami ditunjukkan jalan
berbagai terobosan kemajuan pendidikan yang bisa kita
terapkan di Indonesia. Di akhir kata, saya bisa berujar bahwa
di antara plus dan minusnya Bangkok, perjalanan kali ini saya
rasa sangat menyenangkan. Terima kasih Tim MediaGuru.
Ernawati Marsita, S.Pd.
(Guru SMPN 2 Kandeman, Kab.Batang, Jateng)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 181
182 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Potret Kehidupan Religius di
Thailand
T hailand adalah negara yang sering dikenal sebagai
Negeri Gajah Putih. Putih melambangkan kesucian,
karena negara ini belum pernah dijajah oleh negara
mana pun. Negara ini juga terkenal sebagai tujuan wisata
para turis, sehingga tidak mengherankan jika banyak mal
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 183
megah menghiasi di setiap sudut kota menjajakan barang‐
barang yang cukup terjangkau. Bidang pertanian juga
merupakan salah satu andalan negeri ini, dengan produk
unggulan berupa aneka buah segar.
Thailand memiliki kekayaan alam, budaya serta
sejarah yang sangat unik. Setiap budaya, ajaran agama serta
norma‐norma yang diselipkan dalam kehidupan sehari‐hari
masyarakat Thailand membuat wisatawan dapat merasakan
atmosfir religius ketika berada di Negeri Gajah Putih ini. Itulah
yang saya alami sebagai gegar budaya atau shock culture
dalam kunjungan edukatif bersama MediaGuru kali ini.
Sungguh salut dengan kesungguhan mereka dalam
menghargai akan keyakinannya. Begitu banyak pernak‐pernik
kepercayaan Budha. Setiap rumah bahkan kantor hampir ada
tempat pemujaan yang dikenal dengan rumah suci atau house
spirit. Bunga melati yang dironce sedemikian bagusnya dan
berbentuk kalung menjadi ciri khas peribadatan mereka.
Adanya mitos bahwa karangan bunga melati bisa
menghindarkan dari gangguan roh jahat dengan cara
menggantungkannya. Begitu juga dengan aroma dupa yang
wangi menambah kesakralan suasana sekitarnya. Agama
budha sudah menjadi pattern of behavior masyarakat
Thailand.
Agama dan tradisi nampak bersinergi begitu harmonis
dan indah. Sudah menjadi tradisi mereka sebelum melakukan
aktivitas di pagi hari selalu diawali dengan berdoa di depan
rumah. Nampak sederhana dan mereka selalu melakukan di
mana saja. Karena di setiap bangunan maupun jalan selalu
ada patung budha dengan berbagai sesaji di sekelilingnya.
184 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Tradisi keagamaan tidak pernah luntur oleh perkembangan
modernisasi yang ada. Mereka sangat menjunjung tinggi
ajaran‐ajaran Budha, selalu berbuat baik kepada orang lain.
Maka tidak heran jika di sana mereka begitu santun dan
hormat pada setiap orang yang dijumpainya. Meskipun
sedikit yang menguasai bahasa asing, tetapi tidak membuat
warga Thailand acuh tak acuh terhadap wisatawan. Mereka
tetap berupaya berkomunikasi dengan pengunjung meskipun
harus menggunakan bahasa isyarat, bahkan dengan
teknologi google translate.
Pada intinya masyarakat di Thailand terkenal dengan
orang orang yang mudah senyum dan sangat ramah.
Kesenangan merupakan gaya hidup masyarakat Thailand, hal
ini merupakan salah satu ajaran Budha. Thailand juga
mengusung kebebasan. Mereka bebas memilih gender
mereka sendiri. Maka tak heran jika di sana banyak lady boy
yang bebas menunjukkan jati dirinya.
Potret kehidupan religius Thailand juga bisa dilihat di
Wat Arun. Untuk menuju ke sana harus melewati river city ke
arah Chao Praya Express Boat. Uniknya sebelum sampai ke
Kuil Wat Arun, kita dianjurkan memberi makan ikan ikan patin
dengan cara membuang roti di salah satu sudut pantai itu.
Menurut kepercayaan, memberi makan ikan patin di sungai
Chao Phraya akan mendatangkan keberuntungan. Dengan
sebungkus roti seharga 20 bath kami memberi makan ikan‐
ikan patin yang bebas beranak pinak tanpa ada yang berani
mengeksploitasinya. Warga Thai menganggap keramat ikan
patin, sehingga dilarang mengonsumsi ikan ini. Apalagi ikan
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 185
tersebut berada di depan Wat Arun sebagai tempat ibadah
warga.
Wat Arun atau Kuil Fajar merupakan salah satu
peribadatan utama umat Budha di Thailand. Kuil ini dibangun
dengan ornamen yang indah dari keramik. Sehingga jika
terkena sinar matahari candi ini seolah menyala karena
struktur keramik tersebut. Keberadaan candi putih
menambah keindahan Wat Arun. Di sekitarnya toko‐toko
suvenir, pernak‐pernik Budha ada di sana dan dijual dengan
harga yang murah. Selain itu, juga dijajakan berbagai buah
buahan segar, nanas, mangga, jambu, jambu air dengan
ditaburi sambal bergaram. Lumayan unik juga bagi lidah
Indonesia.
Riana Fathonatul Q.
(Guru SMPN 1 Widodaren, Ngawi, Jatim)
186 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Menembus Batas Budaya
(Berkebaya di SEAMEO)
“B une jadi jalan ke Bangkok?” begitu kata dede,
putri ragilku.
“Iya, Dede,” jawabku.
Dengan wajah heran dede kembali berkata,” Katanya
mau ke Bangkok, kopernya mana, Bune?”
Hehehe….sambil berkemas kujawab keheranan putriku.
“Cukup bawa ransel, Dede … biar nggak kena bagasi.”
Maklum pesawat yang saya tumpangi Air Asia.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 187
“Kenapa lagi pikirku, toh sudah tak tutupi jaket. Lagian
juga mau tidur. Belum tahu dia taktikku,” batinku dalam hati
sambil senyum sendiri. Kereta Tansaka membawa kami
menuju ibu kota dan sampailah kami di Bandara Cengkareng.
Sebelumnya kami sempat ke toilet dulu untuk bersih‐bersih.
Kubuka baju beserta daleman kukemas dengan tas palstik
Tepat pukul 07.00 WIB pesawat yang membawa kami
menuju Bandara Don Mueanng. Kurang lebih tiga jam
penerbangan tibalah kami di Bandara Don Mueang, Bangkok.
Setelah melalui proses pemeriksaan bertemulah kami dengan
para rombongan dari Jelajah Literasi MediaGuru. Lalau kami
berganti kostum dulu. Kesepakatan kami berkostum batik
nuansa merah.
Yes! kataku. Kebetulan sekali sekarang tanggal 15.
Teringat akan Peraturan daerah (Perda) nomor 9 tahun 2012
tentang bahasa, sastra, dan aksara Jawa bahwa Pegawai
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah diwajibkan berpakain adat
Jawa di setiap tanggal 15. Sekaligus nguri‐uri busana adat
Jawa. Walaupun hanya kukenakan kebayanya saja. Paling
tidak sebagai seorang Pegawai PemProv. Jawa Tengah,
sekaligus guru bahasa Jawa. Saya ingin terlihat njawani
walaupun di negeri tetangga. Di antara 99 peserta jelajah
literasi MediaGuru ke Bangkok mungkin hanya sayalah satu‐
satunya peserta yang berkebaya. Apakah ini yang dinamakan
menembus budaya?
Perjalanan jelajah literasi kami mulai dari Bandara Don
Mueang dengan dipandu oleh guide kami, Mrs.Buchori di bus.
Destinasi berawal dari sini. Di Negeri Gajah Putih, mayoritas
penduduknya beragama Budha. Kota Bangkok menurut
188 | Tim Penulis Jelajah Literasi
penduduk asli menyebutnya sebagai “Krung Tam” adalah
kota dewa. Di sepanjang perjalanan kami dapati tempat yang
bersih dan tidak ada sampah berserakan. Keheranan kami
kembali bertambah ketika sedang di persimpangan jalan,
biarpun lalu lintas padat merayap di siang itu tidak terdengar
suara klakson kendaraan bermotor. Semuanya tertib dan
begitu memperhatikan kepentingan orang lain. Budaya
disiplin di negeri ini patut kita jadikan teladan
Tujuan pertama kami di The Southeast Asian Ministers Of
Education Organization (SEAMEO, Organisasi Menteri
Pendidikan Asia Tenggara) adalah organisasi pemerintah
regional di antara pemerintah negara‐negara Asia Tenggara
untuk mempromosikan kerja sama regional dalam
pendidikan, ilmu pengetahuan dan budaya di wilayah
tersebut. Sebagai sebuah organisasi yang terus
mengembangkan kapasitas manusia dan mengeksplorasi
potensi masyarakat sepenuhnya.
Jelajah literasi kembali mengenalkan saya apa itu
SEAMEO. Di sinilah saya baru paham bahwa SEAMEO adalah
sebuah lembaga yang mempertahankan pekerjaan dan
aspirasi untuk pembangunan bersama masyarakat di wilayah
se‐Asia Tenggara untuk membuat kehidupan yang lebih baik
dalam kualitas dan kesetaraan dalam pendidikan. Semua
terasa asing bagiku, jelajah literasi betul‐betul membukakan
mata literasiku. Saya menjadi semakin paham bahwa saya
bukanlah siapa‐siapa dan bukan apa‐apa, banyak orang hebat
di sekeliling saya. Kami merasa satu dalam sebuah wadah
MediaGuru Indonesia. Itulah hebatnya Pak Ihsan. Beliau
selalu memberikan inspirasi bagi kami semua.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 189
Keakraban kembali terjalin di antara kami. “Percayalah
akan kekuatan cinta” Terima kasih Jelajah Literasi MediaGuru
Indonesia, terima kasih semuanya.
Bu Melint Sulastri, Purworejo Bumi Lengkong, 24
Februari 2019
190 | Tim Penulis Jelajah Literasi
“Negeri Gajah Putih”
Bangkok
B ulan Februari merupakan bulan yang menyenangkan.
Bersyukur diberikan kesempatan bisa berkunjung ke
Negeri Gajah Putih, Bangkok. Kesempatan ini
merupakan pengalaman pertama melakukan perjalanan ke
negeri ini. Kunjungan dilakukan selama tiga hari, berangkat
dari Jakarta dengan menggunakan pesawat. Begitu mendarat
di negeri ini suasana begitu terasa indah. Bangkok
merupakan negara yang kaya akan situs‐situs budaya. Di
antaranya macam kuliner dan ragam budaya sehingga
Bangkok menjadi salah satu objek wisata terpopuler. Untuk
itu menjadi impian setiap orang bisa berkunjung ke negeri ini.
Hari pertama mengikuti seminar SEAMEO (The Southeast
Asian Minester of Education Organization) “Digital Literacy
Towards the Industrial Revolution 4.0 Era. Salah satu
pematerinya adalah Bapak Gatot Hari Priowirjanto, selaku
direktur SEAMEO. Dalam seminar ini dijelaskan bahwa
peningkatan kompetisi dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan yang menjadi dasar utama adalah peningkatan
pengetahuan yang diperoleh dari literasi. Sebagai generasi
milenial dengan fasilitas teknologi yang begitu canggih kita
bisa tahu seisi duni. Selain itu, juga dijelaskan bagaimanan
meningkatkan kapasitas sumber daya manusia terutama
peningkatan kompetensi guru dalam melaksanakan proses
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 191
belajar mengajar yang menarik dan invovatif dengan
menggunakan digital.
Hari kedua kami melanjutkan perjalanan menuju Wat
Arun sebuah kuil indah di Bangkok yang disebut sebagai kuil
fajar. Perjalanan menuju Wat Arum dilakukan menelusuri
sungai, yaitu sungai “Chao Phraya”. Sungai ini merupakan
sungai utama di Thailand. Salah satu alat transportasi yang
digunakan untuk menyusuri sungai ini adalah perahu. Perahu
ini merupakan salah satu jenis transportasi andalan pariwisata
di Thailand. Kami pun menggunkan alat trasnportasi ini
menyusuri sungai menuju Wat Arun.
Seraya berpegangan pada tepian perahu tak henti‐
hentinya mata ini menikmati pemandangan, pemukiman
penduduk di tepi sungai yang didominasi oleh rumah‐rumah
yang terbuat dari kayu, gedung‐gedung yang menjulang
tinggi, kapal yang hilir mudik membawa penumpang dan
barang. Dari sungai Chao Pharaya , Wat Arun terlihat begitu
indah dan megah dengan ukiran/ornamen‐ornamen yang
sangat cantik dan menarik dan terkenal dengan sebutan
“Temple of Dawn” kuil atau candi yang indah saat terbenam
matahari. Begitu mau merapat lokasi kuil di tepi sungai
terlihat begitu banyaknya ikan patin berenang menunggu
para wisatawan memberikan makanan berupa sepotong roti.
Menurut cerita ikan tersebut tidak boleh diambil karena
dianggap sebagai penjaga kuil tersebut.
Kurang lebih sekitar 25 menit kami sampai di Kuil Wat
Arun. Di komplek Wat Arun sendiri ternya terdapat
perbelanjaan. Di sana kita bisa membeli aneka suvenir khas
Thailand, mulai dari pajangan, aksesori, kaus, tas hingga
192 | Tim Penulis Jelajah Literasi