barang unik lainnya. Selain itu, juga buah‐buahan segar dijual
di sini. Jambu air, nanas, kelapa muda yang begitu khas.
Rasanya segar dan manis buahnya. Buah‐buahan itu bisa kita
dapatkan hanya dengan harga 15 bath. Berbelanja di Wat
Arun rasanya seperti berbelanja di Indonesia karena rata‐rata
pedagang bisa menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan
sebagai alat pembayaran kita bisa menggunakan mata uang
rupiah.
Para penjual pun menyiapakan uang kembalian dengan
mata uang rupiah. Hal ini memudahkan kita untuk berbelanja.
Di Wat Arun juga tersedia tempat penyewaan baju tradisional
Thailand seharga 100 bath yang dapat digunakan untuk
berfoto‐foto. Dari Wat Arun kami melanjutkan perjalanan
menuju “Asiatique River front Night Market” yang terletak di
kawasan Chanroenkrung. Sesuai dengan namanya tempat ini
dibuka sejak pukul 17.00 s.d pukul 23.00. Tidak ada perbedaan
waktu antara Indonesia dan Bangkok. Berbagai suvenir
Bangkok tersedia, mulai dari kerajinan tangan, sepatu, baju,
patung, kain, tas, ukiran, gantungan kunci yang juga menjadi
simbol negeri ini. Harganya bervariasi dan yang
menyenangkan harga bisa ditawar. Hal unik yang saya lihat di
sini, jika pembeli tidak bisa menggunakan bahasa Inggris,
mereka menawar dengan menggunakan kalkulator.
Hari berikutnya sesuai itenary, kami mengunjungi Kuil
“WAT PHO”. Kuil ini merupakan kuil tertua di Bangkok dan
salah satu destinasi utama para wisatawan karena keunikan
dan kemegahannya. Di kuil ini terdapat bangunan patung
Buddha yang sangat besar, patung emas raksasa. Banyak
orang menyebutnya “Sleeping Buddha” karena posisi patung
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 193
yang unik. Biasanya patung Buddha digambarkan dalam
posisi duduk bersila tapi di sini patung dalam posisi sedang
tidur, berbaring mengarah ke samping dengan menopangkan
tangan kanan di kepalanya bertumpu pada dua bantal emas
yang bertahtahkan mosaik kaca.
Di sekitar kuil ini juga ada kurang lebih sekitar 108 patung
Budha yang disusun sebagai simbol keberuntungan. Di kuil ini
kita bisa bersedekah dengan membeli koin yang akan kita
masukkan ke dalam mangkuk‐mangkuk perunggu yang ada di
koridor dan diyakini bisa memberikan keberuntungan. Koin‐
koin yang terkumpul digunakan oleh para biarawan untuk
biaya perawatan.
Setelah puas menikmati indahnya pemandangan di Kuil
Wat Phao, kami melanjutkan perjalanan menuju Royal Grand
Palace yang super megah. Tempat ini merupakan bangunan
bersejarah yang menjadi ikon negara Thailand. Menurut
sejarah bangunan ini didirikan pada tahun 1782 atas perintah
Raja Rama I. Sekarang Royal Grand Palace digunakan untuk
pelaksanaan seremoni keluarga keluarga dan jamuan
kenegaraan. Jam berkunjung dibuka setiap hari dari pukul
08.30 ‐ 13.30. Selain melihat Grand Palace, di tempat ini kita
juga bisa sekalian melihat Wat Phra Kaew yang biasa disebut
juga dengan Temple of The Emerald Buddha. Kuil ini
merupakan salah satu kuil paling suci di Thailand.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30, dilanjutkan
dengan makan siang di sebuah restoran di daerah Royal
Grand Palace. Salah satu menu yang dihidangkan
mengingatkan kita dengan makanan khas Indonesia “sambel
terasi” dengan lalapan kacang panjang, kubis, dan terong.
194 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Setelah selesai makan siang kami melanjutkan perjalanan
menuju Bandara Don Muang Airport Bangkok. Alhamdulillah,
sampai di Indonesia pukul 01.00 dini hari. Sebuah perjalanan
yang luar biasa, menginspirasi, dan banyak memberikan
pengetahuan.
Terima kasih kepada Direktorat GTK PAUD dan DIKMAS
atas apresiasinya, juga kepada Tim MediaGuru atas
bimbingannya.
Djuariningsih, S.Pd.,M.M.
(Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Pangkalpinang)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 195
196 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Gara‐Gara Buku
S iang yang cukup panas menemani kami. Rasa lelah
sepulang kerja juga menyapa. Kebersamaan dengan
suami saat makan menjadi sedikit penyejuk untuk hari
yang gerah.
Alhamdulillah, makan siang dengan semangkuk sayur dan
ikan asin terasa begitu nikmat. Sesaat setelah makan, naluri
untuk ke kamar dan melihat sohib sejati sang smartphone
muncul. Mungkin ada WhatsApp baru yang harus aku baca
dan ternyata benar.
“Aaayaaaaah…” teriakan kerasku mengejutkan seisi
rumah.
“Ayah”… (sambil berlari dari kamar menuju ke dapur).
“Kenapa?” kata ayah dan suamiku yang sedang duduk
terkejut mengira kalau aku melihat ular di kamar.
Tanganku yang sedang memegang HP gemetaran.
“Ami dapat undangan ke Thailand, Yah.”
Ayah dan Uda menatapku dengan tatapan sedikit heran
dan senyum.
“Ke Thailand ngapain?” kata ayah dan uda.
“Buku Ami masuk 10 besar, Yah. Jadi Ami dapat
undangan peserta Jelajah Literasi ke Thailand.”
“Boleh Ami ikut, Yah?” sambil menatap ayah.
“Tanya sama suami Ami, kan sekarang sudah ada suami.”
Begitulah kata ayah padaku.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 197
Aku senyum miring dan melayangkan pandangan kepada
Uda.
Mataku langsung menatap kepada Uda, ia adalah
suamiku. Kami baru menikah kurang 4 dari bulan. Tatapan
penuh rasa berdosa kepadany karena dia harus aku
tinggalkan lagi untuk beberapa hari. Ini kedua kalinya. Setelah
sebulan menikah aku juga harus pergi selama tiga hari karena
ada undangan ke Yogyakarta dalam rangka penulisan Modul
Paket B.
“Alhamdulillah, kesempatan yang bagus, pergilah.”
Dengan senyum berat dan bangga Uda menyetujuinya.
Aku tahu ada rasa berat sebenarnya di hatinya, tapi rasa
bangga dan dukungan kepada istrinya jauh lebih besar.
Hatiku mulai berbunga‐bunga menanti hari
keberangkatan. Rasa bahagia bersyukur dan terharu
menyelimuti hatiku, walaupun ada sedikit rasa was‐was. Tapi
kembali aku pasrahkan segala kepada‐Nya.
“Rencana‐Nya selalu indah, percayalah. Tak usah menjadi
pemutus segalanya. Pasrahkan saja pada‐Nya setelah kau
berusaha”. Ini adalah salah satu moto hidupku.
Aku percaya setiap rencana‐Nya selalu indah. Begitu pun
kesempatan ini. Belum hilang rasanya bahagiaku saat menjadi
peserta peningkatan GTK PAUD DIKMAS ke Negara Republik
Federasi Jerman dua tahun yang lalu dan hari ini Allah
memberi lagi kesempatan untuk berjelajah literasi.
Hari keberangkatan pun tiba. Perjalanan menuju Bangkok
cukup mulus. Ketika pesawat meninggalkan landasan, aku
menatap langit Jakarta yang kutinggalkan, menatap jauh ke
langit biru dan awan putih. Ada rasa haru sejenak mendekap
198 | Tim Penulis Jelajah Literasi
tubuhku, mataku mulai berkaca‐kaca. “Nikmat Tuhan mana
lagi yang harus kudustakan?” ucapku dalam hati.
Terima kasih Ya Allah, Kaujadikan aku satu dari 10 orang
yang beruntung itu. “Tulisan sederhana yang aku tulis
dengan penuh rasa”. Begitulah aku menyebut karya
pertamaku Tangga Ikhlas Menuju Istana Bahagia. Tak kusangka
buku pertama yang aku tulis ini mampu menerbangkanku ke
Negeri Gajah Putih. Buku yang ditulis dengan penuh rasa cinta
untuk almarhumah ibuku. Allah membuktikan lagi padaku
bahwa sesuatu atas dan untuk rasa cinta kepada orang tua
selalu tak luput dari pantauan‐Nya.
Mentari di langit Bangkok menyapa kedatangan kami
yang telah bercucur keringat. Bahasa asing itu mulai ramah di
telingaku karena berduduk manis menanti rombongan
beberapa jam di Bandara Don Muang.
Pemandangan pertama melihat kota ini mataku disuguhi
dengan gedung‐gedung pencakar langit, seperti kotak‐kotak
yang bersusun menjulang. Seperti akar‐akar yang keluar dari
tanah. Hal pertama yang terlintas di kepalaku bagaimana
jadinya kalau di sini adalah daerah rawan gempa. Maklumlah,
aku orang Padang yang sering merasakan gempa. Jadi ada
rasa trauma melihat gedung‐gedung tinggi itu.
Panas menyengat mengiringi jelajah kami. Tapi rasa
bahagia dan antusias kami membuat panas ini seperti kipas
penyejuk yang membuat langkah terasa lebih ringan.
Kegiatan kami dimulai dengan mengikuti seminar bersama
SEAMEO. Ini adalah seminar yang sangat menarik. Banyak
ilmu baru yang aku peroleh di sini. Sungguh aku beruntung.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 199
Allah memberikan aku kesempatan untuk belajar dan
bertemu dengan orang‐orang hebat.
Kegiatan berikutnya adalah mengunjungi tempat‐tempat
bersejarah di Bangkok seperti Grand Palace, Kuil Wau Arun,
dan Kuil Wat Pho. Tempat‐tempat ini sungguh memesona
teman. Aku tak ingin menceritakan betapa menggodanya
Bangkok. Aku lebih ingin menjelaskan betapa bahagia dan
beruntungnya aku terpilih sebagai 10 penulis terbaik dari
Kemdikbud. Menjadi orang berprestasi itu menyenangkan
dan membahagiakan. Naik pesawat gratis, tidur di hotel
mewah, biaya gratis, difasilitasi, dan mendapat uang saku.
Wah, luar biasa. Masyaallah.
Hal yang paling berkesan dalam perjalanan ini adalah
harus bermalam di Bandara Soekarno‐Hatta untuk pertama
kalinya. Berhubungan penerbangan kembali, kami dari
Bangkok sampai Jakarta adalah pukul 01.00 WIB malam dan
penerbangan lanjutanku ke Padang adalah pukul 06.00 WIB
pagi. Rasanya lebih efisien bila menunggu saja di bandara.
Beruntungnya aku tak sendiri. Ada Mbak Kade yang juga lebih
pagi lagi dari saya karena penerbangannya kembali ke Bali
pukul 05.30 WIB. Kami menikmati detik‐detik dingin dengan
mata 3 watt di bandara. Tapi bermalam di terminal 3 Bandara
Soekarno‐Hatta saat sepi dengan kondisi yang luas, itu
sesuatu yang memberi rasa berbeda. Sedikit mencekam tapi
juga berasa punya hotel sendiri.
Berkaryalah, lakukanlah semua dengan sepenuh hati
dan lihat keajaiban yang akan terjadi. Allah tak pernah tidur,
Ia akan selalu membalas setiap usahamu.
Rahmi Muliani
(Tutor Kesetaran SPNF SKB Kota Bukittinggi, Sumbar)
200 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Kenangan Indah di Thailand
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 201
M endengar cerita dari Noviana, sahabatku, bahwa
akan ada seminar dan Jelajah Literasi Bangkok
Thailand, aku langsung ingin ikut. Aku memang
ingin sekali melihat negara lain selain Indonesia. Pasti ada
perbedaan dengan negara Indonesia.
Semua persiapan sudah dilakukan, baik persiapan
untuk yang ditinggalkan maupun untuk keberangkatannya
sendiri. Tibalah saatnya hari yang ditunggu‐tunggu untuk
berangkat ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM)
Padang Sumatra Barat. Perjalanan Solok – Padang kami
tempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Dalam perjalanan
menuju BIM kami berhenti di kedai makan untuk mengisi
perut. Ketika sedang sarapan, aku terkejut dengan
pertanyaan sahabatku yang menanyakan pasporku. Tanpa
paspor itu perjalananku tidak bisa dilanjutkan ke Thailand.
Astaghifirullah, ternyata pasporku tinggal!
Dalam kepanikanku, suamiku menenangkan. Beliau
langsung menghubungi adik buat mengantarkannya ke
masjid dekat tempat kami sarapan. Dalam waktu kurang lebih
1 jam adik yang ditunggu akhirnya datang. Alhamdulillah.
Dengan sedikit ngebut akhirnya kami sampai juga di BIM.
Tanpa pikir panjang lagi, kami langsung masuk bandara dan
sampai ruang tunggu. Tidak lama kami duduk, kami dengar
pengumuman dari pengeras suara bahwa pesawat kami di‐
delay selama 2 jam walaupun kenyataannya 3 jam. Sampai di
Jakarta aku langsung silaturahmi dan bermalam ke tempat
kakak.
Pagi‐pagi sekali aku bangun untuk menuju Bandara
Soetta untuk berangkat ke Bandara Don Mueang, Bangkok.
202 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Thailand sebuah negara yang selama ini hanya aku dengar
dari berbagai media. Penerbangan kami tempuh dengan
pesawat Thai Lion Air lebih kurang 3,5 jam. Sepanjang
perjalanan begitu lama menurutku. Selama ini naik pesawat
paling jauh hanya menempuh waktu 2 jam. Aku menyibukkan
diri dengan mulai menulis kisah perjalanan ini, sampai benar‐
benar mata ini mengantuk. Sampai di Bandara Don Mueang
Bangkok sekitar pukul 10.30 pagi waktu setempat. Kami
memasuki bandara sesuai prosedur bandara internasional.
Mulai dari cek paspor sampai masuk dan mengambil bagasi.
Aku berkumpul sambil menunggu teman‐teman dari berbagai
daerah yang ada di Indonesia. Ada yang berasal dari daerah
Aceh, Medan, Jakarta, Surabaya, dan lain‐lain. Bahkan ada
yang berasal dari Pulau Kalimantan. Subhanallah, aku bisa
bayangkan, akan mendapat saudara yang banyak nanti
selama perjalanan literasi 3 hari ini. Aku tidak mau membuang
waktu. Kami langsung berkenalan terutama dengan teman
sekamarku, Bu Riana. Rupanya dia dari kampung halamanku,
Padang.
Tiba‐tiba haus menyerang. Aku sudah tidak tahan lagi.
Aku dan Ibu Riana langsung menuju kafe minuman. Aku
memesan capucino dingin, temanku memesan hot drink.
Pelayannya semua cantik.
Kunjungan pertama kami menuju SEAMEO. Kami
disambut ramah oleh pegawainya. Alhamdulillah, acara
berjalan lancar sampai sore. Selanjutnya kami diberangkatkan
lagi menuju hotel untuk melepas lelah setelah beraktivitas
sejak dini hari.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 203
Saat bangun pagi hari, terasa semua letih hilang dan
berganti dengan bahagia. Setelah mendengar agenda
selanjutnya akan berangkat ke suatu tempat rekreasi dengan
naik perahu yang nantinya kami akan memberi makan ikan
patin dengan roti yang kami beli. Sungguh menakjubkan
ciptaan Allah. Selama ini belum pernah aku melihat ikan patin
sebesar itu. Setiap roti yang kami berikan langsung dimakan
dengan lahap oleh ikan‐ikan itu. Setelah itu dilanjutkan
dengan melihat kuil atau tempat bersejarah di Thailand yang
menyerupai Candi Borobudurnya Indonesia.
Kami mengunjungi Asiatique, tempat kami berbelanja
oleh‐oleh. Uniknya berbelanja di sini, ada penjualnya yang
pandai berbahasa Indonesia. Jadi kami sangat terbantu dalam
bertransaksi. Tidak seperti di tempat lain, yang penjualnya
tidak mengerti bahasa Indonesia dan kebanyakan kami pun
belum menguasai bahasa internasional yaitu bahasa Inggris.
Berbagai macam oleh‐oleh kami beli untuk handai tolan yang
menanti di kampung.
Malamnya, selesai berbelanja kami kembali ke Hotel
Livotel, tempat menginap kami selama 2 malam. Makanan
yang kami makan selama di sini cukup menggugah selera.
Lain dengan seleraku sebagai orang Padang asli. Selalu
berselera kalau melihat sambal atau cabai. Walaupun
demikian, ada juga yang bisa dimakan untuk bertahan hidup.
Senangnya hati ini di kala makan di rumah makan yang
lengkap masakan Indonesia. Ada ikan, ayam, dan yang lebih
disukai, ada hidangan telur dadar. Makan pada siang itu
terasa sangat nikmat sehingga tidak ada satu pun yang
tersisa di piring. Alhamdulillah. Kami ramai‐ramai memakan
204 | Tim Penulis Jelajah Literasi
durian montong yang memang sangat terkenal. Rasanya
nikmat sekali. Begitu juga dengan buah‐ buahan yang lain,
seperti mangga, jambu air dan nanas. Terasa mahabesarnya
Allah yang telah menciptakan buah‐buahan dengan rasa yang
maknyus.
Setelah selesai berbagai kegiatan di Thailand, tiba
saatnya kami bersiap untuk kembali ke tanah air lagi. Semua
kenangan yang indah tercipta dan tersimpan di memori otak
ini. Kenangan indah bersama para peserta Jelajah Literasi
yang baik dan ramah. Semoga silaturahmi yang telah terjalin
tidak terputus begitu saja.
Semoga di lain kesempatan kita akan bisa bertemu dan
saling berbagi ilmu dalam waktu dan kegiatan yang berbeda.
Terima kasih yang sebesar‐besarnya kami ucapkan pada
panitia yang telah mengemas acara ini dengan sebaik‐
baiknya. Semoga semua lelahnya diganti oleh Allah SWT
dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin.
Mohon maaf kepada semua peserta jika ada salah dan
khilaf selama bersama. Selamat kembali berkarya di tempat
pengabdian yang berbeda‐beda. Semoga sukses selalu
mengiringi aktivitas kita. Yang pasti di bawah rida Allah SWT.
Aamiin.
Murni, S.Pd.
(Yayasan Pendidikan Iqra' Kota Solok Sumatra Barat)
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 205
206 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Perbedaan Muka dan Pantat
Platinum
S abtu, 16 Februari 2019 adalah hari kedua saya berada di
Bangkok. Seperti biasa usai makan pagi bersama
sampai pukul 07.30 WIB dilanjutkan persiapan untuk
berkunjung ke objek wisata Wat Arun yang terletak di tepian
Sungai Patthaya. Dari penginapan menuju ke lokasi lumayan
jauh, perjalanan sekitar satu jam. Kami diturunkan di tepi jalan
dekat pusat belanja sambil menunggu kesiapan pemandu.
Sejenak kami berfoto‐foto bersama di salah satu sudut depan
sebuah galeri seni. Sayangnya belum buka. Tetapi lumayan
bisa berfoto ria dengan latar belakang foto Raja Thailand
yang banyak tepampang di setiap perusahaan besar dan
tempat‐tempat penting strategis lainnya. Rombongan kami
dibagi menjadi 2 kelompok dan siap menuju lokasi mengikuti
pemandu.
Untuk mencapai Kuil Wat Arun ternyata kami harus
menyeberangi Sungai Patthaya. Kami naik sampan secara
bergilir sambil menikmati keindahan tepian Sungai Patthaya.
Bagiku ini lumayan mengasyikkan. Setelah melihat ikan patin
di depan kuil kami turun memasuki area Kuil Wat Arun.
Ternyata sungguh indah, artistik, dan menakjubkan dengan
kekhasan lokal religi Thai. Untuk segala macam pernik candi
dan bagiannya terbuat dari bahan keramik sehingga tampak
putih bersih dipandang apalagi saat terkena sinar. Kunjungan
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 207
diakhiri pada pukul 11.30 WIB. Kami menuju bus dan
melanjutkan perjalanan menuju ke Masjid Islamic Center
untuk shalat Zuhur. Sayangnya, ada 4 teman kami yang
tertinggal rombongan dan akhirnya menyusul jumpa
rombongan lagi di Islamic Center. Setelah cukup untuk shalat
dilanjutkan jalan kaki sekitar 150 m menuju ke resto untuk
makan siang di seberang jalan. Melewati jembatan
penyeberangan kulihat rapi, bersih, tertib, tertata, dan
kurasakan budaya antre yang mendarah daging dari warga
Thailand.
Objek selanjutnya yang kami kunjungi adalah pusat
perbelanjaan Platinum. Sekitar 1 jam perjalanan baru tiba di
tempat. Kami diturunkan di jalan kecil antara 2 bangunan
tinggi dengan durasi 1,5 jam kunjung. Kami berempat
memutuskan memasuki toko di kiri jalan sampai di lantai 2.
Ternyata kami berdua terpisah dari rombongan. Berdua
kuteruskan jalan ke atas, lalu turun kembali ke lokasi bus. Tapi
masih sepi.
Akhirnya, kami masuk ke toko yang di kanan jalan untuk
cari oleh‐oleh gantungan kunci. Ternyata tempatnya di lantai
5. Setelah dapat kami pun turun untuk kembali ke parkiran
bus. Memasuki lantai 1 kurasakan arah jalan kami berubah.
Tidak seperti saat kami masuk. Kami mulai kehilangan arah.
Kami kembali mencari jalan keluar lalu balik lagi menemukan
pintu keluar dan bertemu 2 teman yang sama‐sama bingung.
Tapi naas, jalan keluar yang kami temukan bukanlah jalan
awal masuk kami tadi. Karena di pintu keluar itu ada
panggung pertunjukan kecil dan banyak penjual makanan
kaki lima.
208 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Perasaan panik mulai menjangkiti kepalaku. Pertunjukan
barongsai tak lagi menarik perhatianku. Sambil diam berpikir
anakku mengajak menyusuri jalan ke arah kanan otomatis
kami berpisah dengan 2 ibu di sini. Kira‐kira jalan 50 meter
hatiku ragu‐ragu. Anakku kuajak kembali ke pintu keluar
semula dan sampai di tempat 2 ibu tadi sudah tidak tempat
lagi. Sementara jam sudah menunjukkan waktu kumpul. Saya
ditelepon oleh Bu Reni. Ia mengingatkan kami supaya cepat
karena akan ditinggal bus. Terus kami berusaha berjalan
menaiki jembatan penyeberangan dan kucoba bertanya
teman‐teman di grup WA, tapi gagal karena memang sama‐
sama buta lokasi. Beruntung Bu Herin Ratna mengirim peta
lokasi bus kami di WA. Lalu kami turun dari jembatan
mengikuti arah peta. Ternyata kami melewati jalan yang
sudah kutempuh sebelumnya. Lalu lurus belok ke kanan dan
akhirnya kami melihat bus kami. Akhirnya, sampailah ke
rombongan lagi.
Terima kasih ya Allah juga teman‐teman yang banyak
membantu kami sehingga tidak jadi ketinggalan rombongan.
Begitu kami naik, bus bergerak meninggalkan lokasi platinum
store dan alangkah masygulnya hatiku. Ternyata bus
melewati jalanan yang tadi kususuri saat tersesat tak tahu
arah. Andai saya tetap diam di tempat pun, bus ini
melewatiku dan bisa menghampiri kami. Jadi sebenarnya
kami hanya memutari gedung tersebut.
Bagiku ini pengalaman indah, unik tak terlupakan, dan
akhirnya saya menyadari dan paham perbedaan muka dan
pantat platinum store.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 209
Denah yang menyelamatkan kami
Rombongan kami melanjutkan perjalanan ke MDK
yang tidak begitu jauh dari Platrinum Store. Kami pun
menikmati malam di MDK dengan kekhasan makanan di
antara wisatawan dari beragam negara dan bangsa. Benar‐
benar keberagaman orang, budaya, dan kekhasan Thailand.
Ponorogo, 25‐2‐ 2019
Arum Kistiwi, Guru SMP Negeri 2 Ponorogo
210 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Ekspektasi dan Realitas
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 211
M embaca postingan kegiatan Jelajah Literasi ke
Bangkok, spontan membangkitkan semangatku
untuk mengikuti kegiatan ini. Berkunjung ke
Negeri Gajah Putih merupakan impianku sejak lama. Aku
penasaran dengan keanekaragaman budaya dari negeri ini
sehingga menurutku inilah saat yang tepat untuk menjawab
semua teka‐tekiku selama ini.
Negeri yang terkenal dengan kuliner yang enak, buah‐
buahan dan produk hasil pertanian yang number one
kualitasnya, makanan hasil olahan yang nikmat dapat
diperoleh dengan mudah, suvenir yang dapat dibeli dengan
harga yang murah namun kualitas tidak murahan, barang‐
barang seni seperti patung, gantungan kunci, lukisan, hiasan
dinding yang menawan semua membuat pikiranku melayang
segera membuktikan. Bukan sekadar itu, tentunya rasa
penasaran ini didukung pula oleh tugas saya sebagai guru
mapel Seni Budaya pada pembelajaran materi kelas 9 yang
mengulas tentang seni dari Thailand, sehingga kegiatan ini
sangat mendukung proses pembelajaran di kelas.
Segala administrasi pun segera kusiapkan. Mulai dari
mengecek paspor yang sudah lama aku simpan di lemari,
menyiapkan pakaian, koper, menukar uang rupiah ke dalam
Thai bath, dan browsing cuaca di Thailand. Tidak ketinggalan
browsing kuliner, tempat wisata dan belanja, harga tiket
pesawat dan tiket masuk ke destinasi wisata, semua
dilakukan.
Pelaksanaan jelajah di bulan Februari tidak menunggu
lama. Waktu itu sudah menginjak pertengahan bulan Januari.
Aplikasi untuk pembelian tiket pesawat selalu aku pantau
212 | Tim Penulis Jelajah Literasi
dengan harapan mendapatkan tiket yang murah. Proses tidak
akan mengkhianati hasil. Tiket murah pun kudapatkan.
Jakarta menuju Bangkok seharga Rp 1.200.000,00,
sedangkan Bangkok menuju Semarang kuperoleh seharga Rp
1.400.000,00. Kedua rute tersebut sama‐sama menggunakan
pesawat Thai‐Lion.
Tepat tanggal 14 Februari 2019 kumulai kegiatan Jelajah
Literasi dari Semarang dengan naik Kereta Api Jaya Baya
pukul 18.45 WIB kelas ekonomi. Alat transportasi yang
lumayan nyaman. Penumpang tidak begitu penuh sehingga
kursi‐kursi yang kosong pun dapat kumanfaatkan untuk
merebahkan badanku yang sudah mulai penat. Rasa kantuk
pun datang menyerang ketika beberapa jam berada di dalam
kereta. Apalagi saat itu hari kamis setelah seharian
menjalankan ibadah puasa sunat Senin‐Kamis badan terasa
lelah sehingga rasa kantuk tak dapat ditahan.
Pukul 02.00 WIB tiba di Stasiun Senin Jakarta bersamaan
dengan empat teman rombongan dari Purwodadi. Kami
berempat segera meluncur ke Bandar Udara Soekarno Hatta
terminal 2 dengan menyewa mobil. Satu jam kemudian
sampailah di Soetta. Masih ada waktu untuk membersihkan
badan dan shalat Subuh lalu mengganti baju seragam batik
motif batik Nusa Tenggara Timur untuk mempermudah
pertemuan sesama anggota kegiatan Jelajah Literasi sebelum
check in dilakukan.
Lelah dan kantuk semua lenyap tergantikan oleh
semangat untuk segera melihat Negara Thailand. Selama 3,5
jam berada di pesawat tidak banyak hal baru yang
kutemukan. Serasa masih di Indonesia karena para
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 213
penumpang masih berwajah Asia tidak seperti waktu
perjalanan ke Eropa tahun lalu yang sudah kulakukan.
Penumpangnya sebagian besar berwajah bule. Pukul 10.00
tiba di DMK Bangkok. Hal pertama yang dilakukan adalah
mencoba makan siang di bandara dengan menu khas
Thailand yaitu Kha Niew Muang atau Mango Sticky Rice. Kha
Niew Muang adalah menu dengan bahan dasar nasi ketan
yang pulen (lengket), dihidangkan dengan potongan buah
mangga yang manis ditambahkan kuah santan yang gurih.
Menu yang saya pesan yang lain adalah Tom Yung Kung di
Indonesia lebih dikenal dengan nama Tom Yung udang. Cita
rasanya lebih enak di sini dengan kuah yang gurih dan aroma
udang yang kental. Tidak ketinggalan menu sehat Som Tom
Papaya atau salad. Sebuah menu dengan bahan buah dan
sayur segar yang diberikan bumbu pedas dan sedikit asin
menambah cita rasa salad ini.
Kegiatan jelajah literasi di hari pertama adalah mengikuti
seminar di SEAMEO (Southeast Asian Ministers of Education
Organization), sebuah organisasi internasional yang
dimaksudkan untuk memajukan kerja sama di bidang
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan di daerah
Asia Tenggara. Banyak informasi yang diperoleh dari seminar
ini. Salah satunya adalah mengikuti salah satu program
kegiatan yang diselenggarakan oleh SEAMEO yang
disampaikan oleh Direktur Seameo, Bapak Gatot.
Kegiatan tersebut adalah Virtual Coordinator Training
(VCT) Batch 3 yang difasilitasi oleh SEAMEO Secretariat
Bangkok bekerja sama dengan Kemendikbud. Mendengar
berita ini menyulut semangatku untuk segera bisa
mendaftarkan diri. Rupanya beberapa teman sudah ada yang
214 | Tim Penulis Jelajah Literasi
lebih dulu mengikuti kegiatan Virtual Coordinator Training
(VCT) Batch 2. Melihat paparan dari teman‐teman yang
pernah mengikuti dalam seminar tersebut, banyak sekali
manfaat yang diperoleh yaitu banyak mendapatkan
informasi, pengetahuan, dan pengalaman dari guru‐guru
yang lain.
Kegiatan pada hari kedua adalah berkunjung ke salah
satu destinasi wisata yang terkenal di Thailand yaitu Kuil Wat
Arun yang terkenal dengan julukan Si Candi Fajar yang
memesona di tepi Sungai Chao Phraya. Satu hal yang tidak
terlewatkan adalah mengenakan pakaian khas dan menikmati
segarnya coconut water. Kelapa di Thailand cenderung
berukuran lebih kecil dari kelapa yang ada di Indonesia,
namun rasanya lebih segar dan seperti ada rasa vanilanya.
Tidak ketinggalan memesan Po Thai atau mi khas Bangkok
dan khao tom atau bubur ayam yang lezat.
Perjalanan dilanjutkan ke Asiatic seperti pasar malam
dengan barang‐barang yang cukup murah apabila pintar
menemukan penjual yang memberi harga murah. Harga
antarkios tidak sama. Sebuah menu yang membuat bulu
kuduk berdiri di Asiatic ini adalah Crocodille Grill BBQ Sauce
yaitu buaya panggang. Antara ngeri, penasaran, dan takjub
bercampur jadi satu. Buaya berukuran sedang yang sudah
dilepas kulitnya tertidur di atas panggangan api. Dari dekat
terlihat mulut menganga sehingga tampak barisan gigi
runcingnya. Terasa mual perut ini sehingga tak ada nafsu
untuk menyantapnya. Perjalanan yang menyenangkan
membuatku jadi lebih mandiri dan berani. Terima kasih
MediaGuru. Kami tunggu info trip berikutnya ke negara yang
lain lagi.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 215
Endang Widoretno, S.Pd,M.Pd.
(SMP Negeri 2 Ungaran, Kabupaten Semarang)
216 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Four Hots in Bandara Don
Mueang
M enjelajahi negeri orang tentu menjadi hal yang
menyenangkan, apalagi bila banyak temannya
tentu semakin asyik. Demikian pula yang kualami.
Kali pertama pergi ke luar negeri sungguh mendebarkan.
Selain takut pertama kalinya naik pesawat, sudah tebersit
bagaimana sulitnya bila mau berkomunikasi di sana. Ini
menjadi problem yang membayang‐bayangi kepergianku ke
Negeri Gajah Putih. Kami berangkat dari Bandara S0etta
pukul 08.00 dan tiba di Bangkok pukul 11.30 siang waktu
setempat. Kebetulan sekali tak ada perbedaan waktu antara
Jakarta dengan Bangkok (Thailand).
Begitu pesawat mendarat, seluruh penumpang antre
turun. Waktu itu di pesawat aku duduk di kursi 11 dan
temanku, Ibu Astri (nama samaran) yang kebetulan satu
instansi duduk di kursi 28 sehingga aku bisa turun dari
pesawat lebih dahulu. Iseng‐iseng aku mencari teman satu
grup Jelajah Literasi. Kami benar‐benar belum pernah kopdar.
Ketika menemukan kawan baruku yang kebetulan antre di
toilet, kutunggu di depan pintu supaya bisa bersama‐sama
dengan rombongan. Idep‐idep sambil menunggu Ibu Astri
pikirku. Tetapi yang kutunggu ternyata tidak datang juga.
Toilet sudah sepi. Teman‐teman sudah beranjak menuju pintu
keluar. Lima belas menit kemudian barulah dari kejauhan
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 217
kulihat Ibu Astri muncul. Tampak temanku yang satu ini
sibuk mengutak‐atik HP supaya WhatsApp‐nya bisa aktif
kembali. Dirinya tidak beranjak juga ketika kuajak menyusul
teman‐teman yang sudah berjalan di depan.
Benar saja akhirnya kami ketinggalan rombongan. Begitu
bertemu dengan petugas cek tiket, kami dibuat kalang kabut.
Apa sebab? Pasalnya kami tidak tahu bahasa Thailand.
Temanku tetap menjawab dengan bahasa Indonesia. Petugas
menjawab dengan bahasa Inggris. Bu Astri tambah panik dan
tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, aku meminta petugas
menuliskan kesalahan kami di kertas. Ternyata kami harus
mengisi alamat hotel karena dalam form kami menuliskannya
SEAMEO, padahal itu bukan nama hotel. Ketika memasuki
loket pemeriksaan imigrasi temanku Bu Astri dipanggil karena
form untuk kantor imigrasi belum lengkap. How long will you
be staying, begitu pertanyaannya (kira‐kira begitu
pertanyaannya, maaf kalau keliru karena aku pun belepotan
dalam bahasa Inggris). Karena tidak paham, temanku hanya
geleng‐geleng kepala. Kadang berceletuk dengan bahasa
Indonesia. Ditanya pula where is the destination? Dijawab no,
no... Aku sedikit mengerti maksud yang ditanyakan petugas
imigrasi, kemudian kujawab pertanyaan pertama bahwa kami
akan tinggal selama 4 hari. Aku bilang four days, four days...
Singkat jawabanku karena memang bisaku begitu. And we
will stay in Livotel Hotel. Ternyata jawabanku sudah
membuatnya lega. Ternyata di form pengisian oleh temanku
dituliskan 4 hot bukan 4 days. Hahaha…
Berjibaku dengan hot berlalu. Kini berlanjut kisah unik
kami yang lain. Aku dan Bu Astri sudah terpisah dari teman‐
218 | Tim Penulis Jelajah Literasi
teman grup literasi. Kami tidak tahu harus ke mana mencari
bus rombongan setelah lepas dari petugas loket pengecekan
imigrasi. Kepanikan serupa terulang lagi, rasa was‐was kalau
tidak bisa menemukan hotel tempat kami menginap nanti.
Bolak‐balik kami berjalan dan menghubungi teman, hasilnya
nihil. Kami bahkan mau masuk lagi ke dalam ruang
pengecekan di Bandara Don Muang, tetapi tidak diizinkan
petugas. Akhirnya dengan modal nekat aku bertanya pada
petugas bandara dengan kalimat where is gate 1 and go to
bus? Alhamdulillah, walaupun aku tidak bisa mengulanginya
jawaban petugas di sini, tetapi aku paham bahwa aku harus
jalan lurus kemudian belok ke kanan. Alhamdulillah, betapa
girangnya hati kami melihat segerombolan orang duduk di
kursi karena mereka adalah rombongan jelajah literasi.
Intinya kuasailah banyak bahasa dan jangan pernah
merasa minder menjadi guru bahasa. Sepandai apa pun orang
bila tidak menguasai bahasa dengan baik maka tidak akan
maju karena tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Dengan
bahasa kita bisa menulis apa saja dan kita bisa memengaruhi
orang banyak. Bahkan dengan bahasa kita bisa menaklukkan
dunia!
Sukis Wati
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 219
220 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Meniti Pesona Literasi
Negeri Seribu Arwah
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 221
B erkesempatan mengikuti jelajah literasi di luar negeri
bagiku its amazing, terlebih meniti pesona literasi di
Negeri Seribu Arwah. Terbayang negeri yang
terdengar jago dalam membuat film‐film cerita rakyatnya
yang horor, memiliki pesona keindahan spiritual yang masih
kental dan budaya keunikannya yang sangat dijunjung tinggi
oleh penduduknya hingga saat ini. Persiapanku dari rumah
hanya simpel, cukup membawa satu stel baju, smartphone
dan uang bath yang cukup banyak.
Aku berangkat bersama tiga rekanku dari Grobogan. Dag‐
dig‐dug debar hatiku saat mendengar pesawat dari Bandara
Internasional Soekarno Hatta mulai take off menuju negeri
yang aku idamkan dalam khayalanku. Tidak lama aku
menikmati indahnya awan bersama pramugari‐pramugari
cantik berbusana merah di dalam pesawat. Tepat 3 jam 15
menit pesawat landing di Bandara Internasional Don Moeang,
Thailand. Pijakan pertama kakiku di bandara. Bersimpuh
menangis haru aku meluapkan rasa syukur yang tak terkira
mencicipi ciuman pertama tanah bandara. Di sini aku dan
ketiga rekanku bergabung dengan CEO Gurusiana yang
familiar dan rombongan dari Indonesia lainnya.
Kunjungan kami pertama di gedung SEAMEO
(Shoutheast Asian Ministers of Education Organization),
terdengar asing, ya! Ini merupakan gedung Organisasi
Menteri Pendidikan se‐Asia Tenggara. Penyambutan yang
sangat ramah dari pihak SEAMEO. Sebelum kami memasuki
ruangan, mereka memberikan buku tentang kegiatan
SEAMEO. Selanjutnya kami mengikuti seminar yang dipimpin
manajer SEAMEO yang tampan bak artis Korea. Seminar itu
222 | Tim Penulis Jelajah Literasi
tentang “Digital Literacy towards the Industrial Revolution
4.0 Era”. Diskusi mulai hangat manakala sesi tanya jawab
dengan media bahasa Inggris dibuka. Dari seminar tersebut,
ternyata pihak SEAMEO menyarankan pada kami untuk
mengikuti program Virtual Coordinator Indonesia Batch 3
yang ternyata dilombakan se‐Asia Tenggara. Program itu
berisikan pelatihan bagi para guru dalam mengolah training
online via Webex. Luar biasa ya, di hari pertama kami sudah
mendapatkan tambahan pengetahuan. Selanjutnya kami
melanjutkan perjalanan menuju tempat peristirahatan kami di
Hotel Lifotel.
Sepanjang perjalanan tidak luput dari pandanganku,
meski badan lelah dan mata terasa penat. Aku mulai suka
memperhatikan hal‐hal kecil yang tampak. Patung Budha
banyak terlihat bersama dengan kelengkapan sesajinya, di
depan bangunan besar, di tepi jalan bahkan di sudut‐sudut
rumah. Mungkin bentuk penghormatan penduduk Thailand
kepada sang Budha karena mayoritas penduduknya pemeluk
agama Budha. Terlebih saat bus yang membawa rombongan
kami beriringan dengan bus angkutan umum Thailand. Aku
temukan hal yang unik. Sopir bus tersebut membunyikan
klakson manakala berpapasan dengan patung Budha di
samping jalan. Beberapa penumpang meletakkan tangan di
dada seraya menundukkan kepala sebagai wujud
penghormatan.
Kunjungan kami di hari kedua menyusuri Sungai Chau
Praya dengan perahu tongkang menuju Kuil Wat Arun yang
sangat eksotis. Sepanjang mengarungi sungai itu tidak aku
jumpai sampah yang berserakan dan mengambang di
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 223
permukaannya, meskipun sungai itu digunakan sebagai media
transportasi air setiap hari. Betapa tinggi kesadaran
penduduk Thailand menjaga alam di sekitar tempat
tinggalnya. Hal yang unik di sini, tradisi memberi makan ikan
patin dengan roti. Menurut kepercayaan penduduk setempat
ikan‐kan itu akan membawa berkah doa untuk kelancaran
rezeki si pemberinya. Penduduk setempat juga tidak
memperbolehkan menangkap ikan‐ikan yang ada di depan
kuil atau tempat ibadah karena menurut kepercayaan mereka
hal itu dapat membawa sial atau malapetaka.
Destinasi Kuil Watt Arun tidak gratis. Untuk masuk
kesana harus membayar 300 bath, senilai dengan Rp
150.000,00 dalam rupiah Indonesia. Ornamen kuil itu sangat
indah dengan balutan warna cat putih berlapis keemasan
menunjukkan kekhasan Negeri Seribu Arwah. Pandanganku
tidak luput pada sekelompok pedagang kerajinan tangan
yang menawarkan keunikan barang dagangannya. Cukup
murah. Tas bermotif gajah dijual 100 bath, gantungan kunci
gajah, dompet bermotif gajah hingga patung‐patung gajah
ditawarkan 100 bath, itu senilai Rp 50.000,00 saja.
Betapa penduduk Thailand sangat menghormati gajah
sehingga dalam ornamen apa pun motif gajah selalu
diikutkan. Gajah di sini sangat dikeramatkan sehingga
perburuan dan eksploitasi terhadap gajah dilarang. Untuk itu
Thailand disebut pula Negeri Gajah Putih yang artinya gajah
dianggap suci. Karena lelah aku beristirahat sejenak sambil
meneguk segarnya kelapa muda yang rasanya ternyata lebih
enak dengan daging buah yang lebih tipis dan halus. Thailand
224 | Tim Penulis Jelajah Literasi
memiliki keunikan beragam, mulia dari menu kuliner dan hasil
kerajinan tangan hingga keindahan alamnya.
Usai dari Kuil Watt Arun, kunjungan berikutnya di Ton
Son Mosque. Ton Son Mosque merupakan salah satu masjid
terbesar di negeri seribu arwah. Kesempatan untuk bersujud
tidak kulewatkan. Haru rasanya dapat melakukan ibadah di
negeri asing dalam masjid terbesarnya. Komunitas muslim di
negeri ini sangat dihormati dan disegani. Mayoritas muslim di
sini adalah orang‐orang pebisnis yang sukses.
Kunjungan selanjutnya ke Siam Paragon dan Madame
Tussauds. Saat iti aku dan beberapa rekan lainnya memilih ke
Madame Tussauds. Kami harus naik thuk‐thuk untuk sampai
ke Madame Tussauds, yang lumayan jauh dari Siam Paragon.
Tiket masuk ke Madame Tussauds 700 bath setara Rp
350.000,00. Madame Tussauds merupakan museum patung
lilin yang menyajikan tiruan tokoh‐tokoh dunia dan artis
Bollywood maupun Hollywood. Luar biasa, patung Ir.
Soekarno dan Lady Diana menyambut kedatangan
pengunjung. Bagi yang suka berswafoto ria ini merupakan
surganya.
Faiyah Dian Iswari, Guru SDN 1 Ngarap‐arap, Grobogan
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 225
226 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Bangkok yang Ayu
Di kesunyian nan segar hari suci ini, Jumat 22 Februari
2019, membara lagi semangat menulisku. Betapa
membekas di angan terhampar tergelar menyeruak
seluruh gambaran kota Bangkok. Untuk menulis bukan lagi
usia ukurannya. Semangat dapat tumbuh dari beragam usia.
Manusia punya niatan pun bisa muncul dari beragam asal,
profesi, maupun usia manusia. Ya, bersyukurlah aku. Dengan
mengucap Alhamdulillah saya masih diberikan kesempatan
dari‐Mu ya Allah untuk bisa menyatu dengan komunitas yang
hebat yang dicetak, dibentuk, dihimpun, dan dibimbing oleh
MediaGuru. Sehingga kami bisa bergaul dan membaur
dengan beragam rasa kebersamaan untuk menuju satu.
Berkarya berkarya dan berjaya demi Indonesia Jaya.
Banyak cerita lucu yang akan saya tulis. Ada seribu rencana
yang terhalang karena rasa sakit kaki yang terkilir. Namun,
bersyukurlah seluruh kegiatan dari panitia meski dengan
tertatih‐tatih bisa saya ikuti. Saya salut terhadap panitia yang
sabar dan telaten serta menjadi pencerah yang hebat. Terima
kasih. Semoga menjadi amal panitia yang selalu
mendatangkan berkah. Aamiin.
Daftar Literasi Bangkok adalah niatan yang menyegarkan
angan. Alhamdulillah, dengan rida‐Mu Ya Allah, saya dapat
masuk dalam acara Jelajah Literasi Bangkok yang terdaftar
secara random sejak 15 Februari 2019 dengan titik berkumpul
di Bandara DMKl pukul 13.00.
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 227
Jarak yang sangat jauh dari Ponorogo sampai
Cengkareng membutuhkan kondisi tubuh yang sehat. Saya
berangkat dengan tenang dan tidak terburu‐buru. Sesama
teman perjalanan japrian menemukan kata sepakat. Kami
berempat berangkat bersama melewati Cengkareng sehingga
yang jauh diusahakan pada tanggal 14 sudah bisa berkumpul
di Jakarta.
Sesuai kesepakatan kami berkumpul tanggal 14 dan
bermalam di Jakarta. Alhamdulillah, kami bisa tidur di Hotel
Amaris, yang lokasinya ada di sekitar bandara. Setelah
bersepakat akhirnya pukul 05.00 kami sudah menuju
bandara, lalu kami berkumpul kembali pada pukul 06.35.
Setelah itu kami sudah masuk pesawat dan tepat pukul 07.15
WIB terbang menuju Bangkok. Dalam penerbangan kami
sempat bersenda gurau dan bercakap‐cakap. Tak lupa kami
berdoa bersama untuk kelancaran dan keselamatan.
Alhamdulillah, tepat pukul 12.15 pesawat sudah mendarat di
Bandara DMK.
Pertama mata memandang keluar jendela, ungkapan rasa
syukur kami sampaikan. Berkat jasa MediaGuru kami bisa
merasakan dan menapakkan kaki di negeri orang yang selama
ini belum pernah saya impikan. Bersyukur, bersyukur, dan
bersyukur meskipun sewaktu di bandara Jakarta kakiku
sempat terkilir. Senangnya hati akan menepis rasa nyeri di
kaki. Selanjutnya saya memasuki bandara sesuai dengan
prosedur yang ada. Kami melewati bagian imigrasi dan
sebagainya. Alhamdulillah, semuanya lancar.
Karena waktu berkumpul masih ada sisa kurang lebih 45
menit, kami berempat menunggu di deretan tempat duduk
228 | Tim Penulis Jelajah Literasi
yang telah disediakan di bandara. Di antara sekian
penumpang turunlah teman‐teman dari MediaGuru. Mereka
turun dari pesawat yang transit di Kuala Lumpur. Ada jeda
waktu atau hambatan sehingga datangnya sedikit terlambat.
Namun, tepat pukul 14.00 semua peserta sudah lengkap
memasuki ruang tunggu di Bandara DMK. Selanjutnya kami
semua naik bus yang sudah dipersiapkan panitia. Saya
bersama Mbak Reni dari Jember kebetulan mendapat bus 1.
Setelah dari SEAMEO kami melanjutkan perjalanan
menuju ke penginapan. Sebelum memasuki kamar masing‐
masing kami dikumpulkan di halaman hotel. Saya menempati
kamar 502 lantai 5 yang satu kamarnya dihuni oleh 2 orang.
Kebetulan saya satu kamar dengan Mbak Reni yang berasal
dari Jawa Timur. Ternyata kami berbeda kota. Mbak Reni
berasal dari Jember, saya dari Ponorogo.
Setelah menuju kamar masing‐masing, kami diberikan
kesempatan beristirahat sampai dengan selesai shalat
Magrib. Setelah itu kami pun siap‐siap turun ke lantai dasar.
Di sana kami makan malam bersama. Setelah makan malam
acara dilanjutkan menuju tempat perbelanjaan yaitu di daerah
yang asing bagi saya. Di sana sebagian teman ada yang
belanja berbagai keperluan sesuai yang sudah direncanakan.
Saya hanya melihat‐lihat saja. Tidak ikut berbelanja di pusat
perbelanjaan itu. Keesokan harinya kami menuju ke Pattaya.
Nah, di Pattaya inilah kami menikmati wisata air. Kami naik
perahu yang berkapasitas penumpang 28 orang. Pada saat
kami di atas perahu tradisional itu kami melihat gedung‐
gedung yang menjulang tinggi. Setiap perahu ditemani
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 229
seorang pemandu wisata. Kebetulan yang memandu
kelompok saya adalah Mas Terri, namanya.
Kensriana, Guru SDN 1 Mangkajayan Ponorogo, Jawa Timur
230 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Pesona Budaya Antre di
Bangkok
S ebanyak 85 pendidik dan penulis
dari Indonesia berliterasi ke negara yang
diberi julukan Negeri Gajah Putih dan negara yang
mendapatkan anugerah Master Card Seventh Annual Global
Destination. Anugerah ini berupa penghargaan kepada
Thailand sebagai kota yang banyak dikunjungi wisatawan di
dunia.
Muhibahku ke negara Thailand bukan sekadar pelesiran.
Di setiap perjalanan literasi ke negara lain akan ada hikmah
yang dipetik untuk pemantik karakter yang perlu diteladani
oleh bangsa kita. Karakter yang perlu dimaknai bernilai tinggi
dan perlu diteladani adalah penataan antrean saat
kedatangan memasuki bandara Internasional DMK (Don
Mueang).
Bangkok sebagai wajah dari pintu gerbang negara
Thailand. Sebelum melihat lebih banyak kota Bangkok. Jejak
pertama kakiku melangkah di Bandara Internasional DMK
menuju ke pemeriksaan paspor imigrasi. Pemeriksaan
imigrasi di bandara ini dipilah‐pilah antrean tempat cek
paspor kedatangan. Tertulis pada papan di atas untuk
pelancong domestik, pelancong dari negara Asean, Asia,
China, pelancong internasional untuk (benua Eropa, Amerika,
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 231
Afrika), dan yang menarik hatiku ada loket pengecekan
antrean yang khusus para biksu.
Mungkin inilah bandara yang terunik di dunia. Hanya di
Bandara Bangkok yang terdapat khusus pelayanan untuk
para biksu. Di bandara Bangkok ini disediakan pelayanan
antrean khusus biksu. Petugas melayani para biksu lebih
hormat dan santun. Hal ini terlihat dari petugas imigrasi
memuliakan pemuka agama biksu ini dengan
membungkukkan badan dan menundukkan kepala kepada
para biksu ketika melayani mengecek paspornya.
Pelayanan hormat cek paspor ini mengindikasikan bahwa
orang Thailand menghormati pemuka agamanya yang
memiliki ilmu agama sangat dalam. Karakter yang baik dari
bangsa Thailand pun ditampilkan di tepi jalan (trotoar). Ketika
perjalanan saya menuju hotel ditampakkan pembelajaran
kebaikan dari bangsa gajah putih. Terlihat dari kaca mobil bus
wisataku. Pemandangan budaya antre, saya melihat
antrean yang panjang berbaris berjajar satu baris di trotoar
(di tepi jalan). Saya kira antrean apa ini? Di ujung barisan itu
terjawablah sudah. Ternyata penduduk Bangkok antre untuk
naik ojek motor.
Tiba di hotel saya diperlihatkan dengan budaya antrean
memasuki lift berjajar rapi. Selain itu juga di toilet tampak
budaya antre. Di ruang publik kereta MRT, ketika di LRT,
menaiki bus. Di mana‐mana baik di dalam ruangan maupun di
ruang publik terlihat bangsa Thailand selalu menerapkan
budaya antre. Dengan penataan budaya antre ini
sehingga mempercepat dan memudahkan orang satu per
232 | Tim Penulis Jelajah Literasi
satu untuk memasuki bus, kereta tanpa harus berdesak‐
desakan.
Budaya antre ini simbol menghargai sesama manusia
yang terlebih dahulu datang dengan tidak melihat
kedudukan, ras, warna kulit, suku, pangkat, dan jabatan
orang. Kota Bangkok terpadat sama dengan kota Jakarta
yang sedang menata dan menghias diri. Namun, penataan
karakter sumber daya manusia lebih utama dan tidak serta‐
merta terwujud budaya antre. Perlu pembiasaan berulang‐
ulang agar kebiasaan antre menjadi karakter baik dan
membudaya. Antre terembus di mana‐mana. Sungguh
indahnya pembiasaan antre ini akan terpatri dalam karakter
bangsa. Lama‐kelamaan mengkristal akan terbentuk menjadi
budaya antre yang patut menjadi model dan dicontoh oleh
bangsa lain.
Soleha, SMPN 79 Jakarta
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 233
234 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Jangan Menua Tanpa Karya
Oleh: Tri Purnasari, S.Pd. AUD
S ujud syukur yang pertama kulakukan ketika membaca
email yang dikirimkan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Isinya berupa pengumuman
pemenang Lomba Penulisan Literasi GTK PAUD dan Dikmas.
Sangat membanggakan karena dari 146 buku, bukuku
termasuk 10 terbaik yang berhak untuk mendapatkan
penghargaan berupa perjalanan Jelajah Literasi Bangkok.
Bagaimana pun aku berterima kasih kepada suami dan orang
tua yang aku yakin pastilah salah satu doa mereka untukku
hingga namaku bisa tertera di dalam kertas pengumuman itu.
Persiapan matang kulakukan, walau ada perasaan sedih
karena harus meninggalkan buah hati yang sedang sakit.
Dengan ucapan Bismillah aku berangkat, menggantungkan
harapan kepada Allah agar menjaga keluargaku.
Selama kurang lebih tiga hari berada di sana, Bangkok
menurutku sebuah kota yang luar biasa. Wisata budaya,
destinasi berbelanja, hingga street food yang ditawarkan
sungguh menggiurkan. Tidak heran banyaknya objek wisata
menjadikan ibukota dari Thailand ini mampu menarik banyak
wisatawan Asia maupun mancanegara.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah SEAMEO
atau The Southeast Asian Ministers of Education Organization,
yaitu sebuah organisasi antarpemerintah regional yang
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 235
didirikan pada tahun 1965 di antara pemerintah negara‐
negara Asia Tenggara untuk kerja sama dalam pendidikan,
ilmu pengetahuan dan budaya. Di sana kami disambut
dengan ramah dan ikut menghadiri seminar tentang
pengenalan SEAMEO.
Hari berikutnya kami menaiki tourist boat menyusuri
Sungai Chao Phraya. Sungai ini mengalir sangat deras,
kecoklatan yang bersih. Di sepanjang sungai banyak penjual
suvenir, jajanan khas Thailand, gedung‐gedung tinggi serta
kapal yang hilir mudik mengangkut penumpang.
Pemberhentian boat di sebuah dermaga menuju Wat Arun.
Wat Arun adalah kuil Budha tertua yang memiliki gaya
arsitektur unik yaitu dinding‐dindingnya tertutup porselen
dan keramik yang berwarna‐warni. Menariknya di sekitar kuil
banyak penjual suvenir yang menawarkan dagangannya
dengan berbahasa Indonesia bahkan menerima pembayaran
dengan rupiah.
Foto: Wat Arun
236 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Ke Bangkok tanpa berbelanja rasanya ada yang
kurang. Terkenal dengan destinasi shopping kami mendatangi
Platinum Plaza, Asiatique hingga Chatuchak Market. Berbagai
pilihan suvenir, baju hingga makanan maupun makanan
ringan khas Thailand benar‐benar memanjakan saya (hehe…).
Untuk makanan tentu kita harus hati‐hati dalam memilih,
label halal yang paling diutamakan. Di pinggir jalan‐jalan
Bangkok pun banyak sekali penjual jajanan khas Thailand atau
sering disebut Street Food. Yang bikin jantungku berdegup
kencang ketika lewat di depan penjual yang bertulisan
Crocodile Grill with BBQ Sauce. Melotot dan meneguk liur aku
pun cepat‐cepat berlalu.
Hari terakhir kami menyempatkan diri mengunjungi Wat
Pho yaitu sebuah kuil Budha terbesar. Tiket masuk sebesar
100 THB, kita bisa berkeliling Wat Pho. Kuil ini memiliki
Reclining Buddha atau patung Budha tidur yang berukuran
tinggi sekitar 15 meter dan panjang 46 meter. Patung ini
dilapisi emas sehingga terlihat megah. Untuk masuk ke dalam
kuil kita harus berpakaian sopan dan melepas alas kaki.
Royal Grand Palace juga sempat kami kunjungi. Grand
Palace merupakan kompleks bangunan bersejarah yang
menjadi objek wisata terkenal yang dikunjungi wisatawan.
Sebuah bangunan yang luar biasa megah di dalamnya
merupakan istana kediaman raja‐raja Thailand. Cocok sekali
untuk foto‐foto karena spot‐nya yang megah.
Walaupun hanya 3 (tiga) hari menjejakkan kaki di
Bangkok, namun sungguh pengalaman yang luar biasa. Yang
aku tahu selama berada di sana, mereka sangat menjunjung
tinggi budaya bersih dan budaya antre. Sedikit cerita, ketika
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 237
aku berbelanja makanan ringan untuk oleh‐oleh aku ditawari
tester untuk dicoba. Baru aku membuka bungkusnya, tiba‐
tiba si penjual merebut kulit pembungkus dan langsung
menyimpan ke dalam kantong bajunya. Aku agak terkejut
melihat kelakuan penjual, namun mulai memahami. Mungkin
dia takut aku akan membuangnya sembarangan. Sungguh
budaya bersih yang patut kita tiru.
Bangkok walaupun lebih panas dari kota kecilku, namun
mampu menawarkan perjalanan yang cukup menarik. Aku
jadi teringat dengan tanah airku, ribuan pulau yang
merengkuh pertiwi, pasti lebih banyak lagi destinasi wisata
yang tak kalah dari Bangkok.
Perjalanan literasi ini benar‐benar memberi arti bagiku.
Sebuah perjalanan mencari hikmah, setidaknya ada harapan
yang dapat kugenggam untuk menjadi sebuah tulisan. Aku
terenyuh dengan sebuah puisi dari sastrawan di kotaku Alm.
Burhanuddin Soebely pada salah satu baitnya:
Hidup harus memberi setitik arti
Mati harus meninggalkan sedikit amsal
Karena itulah makna lahirnya para satria
Aku percaya kita semua adalah seorang satria bilamana
mampu memberi manfaat kepada orang lain walau hanya
dengan sebuah tulisan. Seperti perjalananku ke Bangkok, ini
semua gara‐gara menulis. Menulis dengan ikhlas untuk terapi
jiwa yang berbuah kado Jelajah Literasi Bangkok. Teruslah
menulis. Jangan Menua tanpa Karya.
Tri Purnasari, S.Pd.AUD, TK ‘Aisyiyah 1 Kandangan)
238 | Tim Penulis Jelajah Literasi
Fobia Timbangan
P engalaman pertama di negeri gajah putih menoreh
kenangan penuh warna. Berjuta kisah dan kesan
menghias sepanjang perjalanan. Bertemu dengan
orang‐orang baik keluarga besar MediaGuru dari seluruh
penjuru negeri memompa energi untuk terus belajar dan
berbagi.
SEAMEO adalah tempat yang kami kunjungi pada hari
pertama di Thailand. Hari kedua petualangan kami berlanjut
pada beberapa destinasi yang didominasi tempat berbelanja.
Nah, di sinilah jiwa emak‐emak sejati tak terbendung lagi.
Barang bagus dengan harga relatif lebih murah daripada di
negeri sendiri membuat rasa khilaf tak terkendali. Godaan
akan bayangan orang‐orang tersayang seperti ayah, ibu,
anak‐anak, dan para cucu tak mampu meredam hasrat untuk
terus membeli dan membeli lagi.
Sepanjang tempat destinasi yang kami singgahi, dapat
dipastikan barang bawaan yang semakin menambah beban
bagasi. Namun, sayangnya hal ini baru disadari saat hari
ketiga menjelang kepulangan ke Indonesia. Setelah dikemas
ternyata ada 2 bawaan yang terdiri dari tas koper dan kardus.
Parahnya lagi, saat ditimbang berat koper 11 kilogram dan
kardus 9 kilogram. Kepala pening saat cek biaya bagasi 750
ribu rupiah.
Inilah awal mula munculnya penyakit fobia timbangan
menghampiri diri. Otak berpikir keras bagaimana cara agar
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 239
tidak bayar biaya bagasi. Alhamdulillah, dengan keyakinan
bahwa setiap kesulitan pasti ada jalan, di grup WA ada teman
berbagi trik menghindari biaya bagasi. Berat koper yang akan
dibawa ke kabin harus tetap sesuai aturan tidak boleh lebih
dari 7 kilogram. Sedangkan bawaan yang lain bisa
dimasukkan ke dalam beberapa tas jinjing bergambar gajah
yang merupakan ciri khas Thailand. Kebetulan kemarin aku
sempat membeli beberapa tas jinjing tersebut.
Bermodal kenekatan, di pagi buta barang kukemas
menjadi dua yaitu koper dan kardus. Naasnya lagi taksi tidak
mau masuk ke depan hotel kami. Dengan sangat terpaksa
kami berlima, yaitu aku, Bu Sriyatni, Bu Alfi, Bu Sri Subekti dan
Pak Masmuh yang menginap di hotel yang sama berjalan kaki
keluar hotel menuju jalan raya tempat taksi berhenti. Dengan
semangat membara kutenteng koper seraya membopong
kardus berisi oleh‐oleh untuk orang‐orang yang kukasihi.
Tanpa kusadari saat naik taksi ternyata alas kaki yang kupakai
adalah sandal hotel. Sepatu baruku tertinggal di bawah
tangga. Sesegera mungkin aku berlari kembali ke hotel.
Kutinggalkan keempat sahabatku dengan perasaan terheran‐
heran.
Sesampai di Bandara Don Muang segera kucari tempat
yang aman. Disertai keringat dingin yang mengucur deras
akhirnya barang‐barang bawaan kumasukkan ke dalam
beberapa tas bergambar gajah. Benar juga, saat tiba di
bandara akhirnya aku beserta barang bawaanku lolos tanpa
biaya bagasi.
Usaha menyelamatkan barang bawaan dari timbangan
tidak berhenti sampai di sini. Tiba waktu barang‐barang
240 | Tim Penulis Jelajah Literasi
dimasukkan ke mesin pemindai. Petugas memberhentikanku
sejenak. Saat itu jantungku serasa mau copot. Dia berbicara
dalam bahasa Inggris maksudnya menyuruhku untuk
membagasikan barang‐barangku. Aku yang mengerti dengan
arti perkataannya pura‐pura bingung dan bego, seolah‐olah
tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Kulihat dia semakin
kebingungan menjelaskan kepadaku. Akhirnya, aku disuruh
menunggu tanpa boleh lewat dan dia berlalu untuk
memanggil petugas lain. Melihatku yang kebingungan, ada
bule di sebelahku menyuruhku segera lewat mumpung tidak
ada petugas. Kesempatan ini tidak kusia‐siakan, segera aku
berlari menjauh dari tempat itu. Kulihat teman‐temanku
berdiri menunggu dengan terheran‐heran karena aku terbirit‐
birit berlalu melewati mereka begitu saja.
Perjalanan kami lanjutkan menuju ruang tunggu dan kami
berhenti sejenak di toilet. Kurapikan barang‐barangku di
sana. Dua isi tas bergambar gajah kumasukkan ke dalam
koper. Jadi sekarang tinggal koper dan dua tas bergambar
gajah yang kubawa. Lega sudah hati ini merasa terlepas dari
timbangan maut.
Tak berapa lama kami pun masuk pesawat. Begitu naik
pesawat dan duduk aku langsung terlelap setelah senam
jantung gara‐gara fobia timbangan.
Ketika mendarat untuk transit di Malaysia kami tersesat
keluar pintu imigrasi. Kami pun mencari pintu masuk untuk
cek di pintu imigrasi lagi. Di situlah jantungku berdegup lebih
kencang lagi. Setelah melewati konter boarding pass ternyata
di pintu masuk disediakan timbangan lagi. Temanku melihat
wajahku langsung pucat pasi. Kami diberhentikan oleh
Jelajah Literasi Bangkok 2019 | 241
petugas dan disuruh menimbang tas bawaan kami. Karena
aku tahu persis koperku mempunyai berat 10 kilogram. Aku
mencari alasan untuk menghindari timbangan. Dengan sedikit
rayuan yang memelas akhirnya kami dibiarkan lolos tanpa
harus menimbang barang bawaan kami. Huuuh, lega sudah
bisa melewati timbangan maut. Sepulang dari jelajah literasi
Thailand rupanya penyakit fobia timbangan terus
menghantui. Setiap melihat timbangan jantungku berdebar
dan tertawa sendiri mengingat petualangan kami di jelajah
literasi.
Pipit Pudji Astutik, Guru SDN Tunjungsekar 03, Kota Malang
242 | Tim Penulis Jelajah Literasi