The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by kertasmantusi, 2023-08-21 01:16:49

ANTALOGI KERTAS PUTIH 2022

ANTALOGI KERTAS PUTIH 2022

Keywords: KERTASPUTIHMANTUSI,KARYA SISWA MAN 1 BEKASI

Antologi Cerpen dari madarasah


Kertas Putih Antologi Cerpen dari madarasah Penulis Heri Herdianto, Marsya Aulia Putri, Indah Laylla, Eka Wirdiyani Jamilah, Aulia Novi Nuranisa, Siti Alfira Febrianti, , Marsya Aulia Putri


Kertas Putih (Antologi Cerpen dari Madrasah ) Oleh : , Heri Herdianto, Marsya Aulia Putri, Indah Laylla, dkk 2022 Hak cipta dilindungi Undang Undang All rights reserved Diterbitkan dan disebarluaskan oleh Langgam Pustaka Cetakan Pertama , Desember 2021 Editor : Heri Herdianto M.Pd Desain Sampul & Lay Out : Heri Herdianto M.Pd Penata Letak : Heri Herdianto M.Pd


KATA PENGANTAR KEPALA MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 BEKASI KABUPATEN BEKASI Assalamu’alaikum w.w Alhamdulilah, Saya Ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga kita dapat menyaksikan kelahiran buku Antologi cerpen dari Madrasah karya komunitas menulis MAN 1 Bekasi. Sholawat dan salam Senantiasa semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Semoga kita mendapat syafaatnya di hari akhir nanti. Aamiin. Kehadiran buku antologi Cerpen ini, semoga menjadi sepirit untuk para pegiat menulis di MAN 1 Bekasi terutama untuk para siswa - siswi kami tercinta. Sebuah karya bila disusun rapih tidak akan hilang begitu saja bahkan akan abadi menjadi sutu jejak waktu kita sendiri. Di buku ini, selain siswa siswa, terdapat pula karya-karya dari guru. ini diharapkan dapat memberikan konten yang lebih bervariasi baik dari segi karakter, isi, dan keluasan maknanya.


Terima kasih tak terhingga kami ucapkan kepada komunitas KERTAS atau komunitas menulis MAN 1 Bekasi yang berperan dalam menumbuh kembangkan literasi khususnya penumbuhan minat membaca dan menulis di MAN 1 Bekasi. Buku yang berjudul “ Kertas Putih “ hasil karya komunitas menulis MAN 1 Bekasi sangat bagus untuk dibaca sehingga dapat dijadikan referensi untuk dapat menumbuhkembangkan minat baca dan membuat suatu karya tulisan yang bermanfaat bagi pengembangan literasi siswa dan siswi MAN 1 Bekasi bahkan masyarakat lainnya. Salam Literasi, Salam Mantusi Jaya Cerdas Ceria Wassalamualaikum w. w Kepala MAN 1 Bekasi Drs. H.Amal Basyari


ANTARA PILIHAN DAN KELUARGA Orang tua tidak setuju dengan pilihan anak gadis mereka, itu biasa. Bukan barang baru. Orang tua kan juga manusia, mempunyai harapan dan dambaandambaan yang mungkin pada diri mereka tidak kesepian. Biarlah anak yang mencapainya. Biarlah anak yang lebih mulia. Yang lebih senang. Yang lebih bermartabat. Mungkin juga hanya karena melihat tetagga mempunyai menantu makmur, ia tak mau kalah. Bisa juga karena melihat anak-anak saudaranya rata-rata mempunyai suami yang tampak mentereng, ia juga tak mau kalah. Paling tidak harus sebanding. Syukur-syukur kalau bisa lebih. Itu memang biasa. Tetapi kalau semua saudaranya, terutama kakakkakaknya, ikut bicara dengan nada yang sama, Dita jadi tidak mengerti. Mereka toh bukan buta huruf, rata-rata


tamat sekolah lanjutan atas. Mereka juga masih muda, tentu pernah merasakan bagaimana jatuh cinta. “Cinta, cinta, apa itu cinta!” kata saudara sulungnya, Kang Yayan. “Kau harus menggunakan otakmu, Dita. Kau paling cantik di antara saudara perempuanmu. Kau juga pandai bergaul, dua hal yang sangat dibutuhkan oleh orang seperti Pak Hartawan yang masa depannya terang cemerlang. Cantik tetapi bodoh, untuk dia tak ada gunanya. Pikirkan baik-baik. Kau menikah dengan Pak Hartawan, itu berarti kau juga mengabulkan harapan orang tua, ibu bapak kita yang demikian ingin salah seorang anak mereka meraih tempat terhormat. Di antara kita semua, pendidikanmu yang paling tinggi. Seharusnyalah kalau otakmu bisa lebih terbuka daripada kami.” “Kang. . .” kata Dita mencoba tetap sabar dari gempuran-gempuran yang selama ini menyerang dirinya. “Saya tidak mencintai Pak Hartawan. Bukan


karena ia seorang duda, bukan karena saya tak ingin punya anak tiri, bukan karena ia terpaut jauh usianya dengan saya melainkan. . .” “Apa yang terpaut jauh? Paling-paling belasan tahun saja. Kau sekarang dua puluh delapan, Pak Hartawan paling ada empat puluh lima. Sedangkan orang lain banyak yang terpaut Dua puluh tahun, malahan lebih. Dan bisa berbahagia. Sebab sebenarnya kebahagiaan itu tidak perlu di cari jauh- jauh, Dita. Kau pasti ingin mempertahankan atau mencari kebahagiaan, makanya kau tak ingin lepas dari Aeri. Kebahagiaan itu sesungguhnya hanyalah kepasrahan kita dalam menerima sesuatu, Dita. Itu saja.” “Tetapi, Kang. . . bukan hanya itu soalnya. Saya dengan Aeri mempunyai prinsip hidup yang sejalan dan. . .” “Alaaaa. . . apa itu prinsip hidup? Janganlah engkau terlalu muluk berpikir sebab orang hidup


berumah tangga itu tidak memerlukan prinsip hidup dan sebagainya. Aku sudah punya pengalaman. Semua itu hanya tetek bengek. Sekarang aku mau tanya, kau ingin menyenangkan hati orang tua atau tidak?” “Apakah selama ini saya menyusahkan mereka?” tanya Dita agak kesal. “Ya, dengan kebandelanmu itu,” rupanya kakaknya juga agak kesal. “Kebandelan? Apakah orang yang ingin mempertahankan kesetiaannya bisa disebut bandel?” “Dita, dengarlah. . .(sekarang nadanya menurun). Dibanggakan. Orang tua kita, belum. Kakak-kakakmu yang perempuan, tidak mendapat kesempatan itu. Dan sekarang kau mendapatkannya. Itu satu anugerah, Dita. Berilah mereka perasaan senang, anggaplah itu sebagai balas budi kita atau bakti kita sebagai anak.”


Dita tak sanggup lagi menyahuti kata-kata kakak sulungnya sebab ia takut bertengkar. Bakti, katanya. Bakti sebagai anak. Kenapa? Apakah selama ini tidak cukup ia berbakti dengan jalan memelihara nama baik orang tua dan menyenangkan mereka menurut kemampuannya? Kenapa bakti harus dengan menerima jodo pilihan orang tua? “Harapan selagi gadis memang muluk.” Kata kakaknya yang kedua, Teh Aisah. “Tetapi setelah menikah aku tahu, sebenarnya sumber kebahagiaan itu sedikit-sedikit terkikis habis kalau ekonomi kocar-kacir. Setiap saat hanya cekcok, tersinggung sdikit pun marah. Aku menyesal kenapa dahulu tidak menerima lamaran Pak Basuki saja. Tetapi penyesalan yang tak berarti. Makanya aku ingin menekankan kepadamu, Dita, kau dungu kalau menolak lamaran Pak Hartawan. Kau pun mematahkan kebahagiaan orang tua. Kami tidak bisa menyenangkan hati mereka. Kaulah sekarang yang mendapat kesempatan itu. Aku dengan sungguh hati


meinta kepadamu, Dita. Orang tua habis terperas tenaganya sama kita semua. Sekarang engkaulah yang akan menebus semua itu. Senangkan mereka. Menikah dengan Pak Hartawan berarti. . .” “Teh Aisah,” kata Dita, “saya kira, mereka tidak mengharap balas budi dari. . .” “Akh, itu omong kosong, Dita! Aku tak ingin bicara banyak, kau menolak berarti kau tak memberi kesempatan kepada orang tua untuk bersenang hati. Apa kau tidak kasihan, semua saudara selalu memanasi hati mereka karena belum ada anak mereka yang bisa dibanggakan. Hatiku juga ikut panas tetapi apa daya. Suamiku hanyalah pegawai negeri yang. . .” Tak teruskan kalimatnya tetapi Dita mengerti ke mana arah kata-katanya. Suami Aisah memang hanya pegawai negeri yang tak bisa mencari tambahan nafkah kecuali gajinya itu.


Tetapi yang paling kejam adalah saudaranya yang ketiga, Dian. “Kau harus mau berkorban sedikit, Dita. Sudah jelas hati Ibu dan Bapak akan senang bilang menerima Pak Hartawan. Dan aku sendiri bisa melanjutkan lagi sekolah. Kau kan tahu, aku ingin sekali kuliah di Unpad. Jangan hanya cinta yang kauperhitungkan sebab kau benar-benar orang yang egois, yang hanya mementingkan dirimu sendiri, kesenanganmu sendiri, kebahagiaanmu sendiri! Cobalah kalau kau berani menolak! Hebat kalau kau sanggup membawa calon suamimu kemAeri, berkenalan dengan kami. Untung besar kalau dia boleh menginjak rumah ini. Kau harus berpikir seribu kali, Dita!” Menolak Pak Hartawan sudah jelas akibatnya, ia tak akan mendapat restu menikah dengan Aeri yang amat dicintainya itu. Hati Dita terasaperih sekali. Aeri yang mempunyai harapan tinggi, Aeri yang katanya menemukan ketentraman di dalam kelembutan


perempuannya, Aeri yang menitipkan jantung hati kepadanya. Haruskah jantung hati itu direnggutkan dengan paksa? Duh, betapa akan sakitnya! Mungkin benar juga, kalau ia menurutkan kata hatinya sendiri, ia termasuk orang yang egois. Tetapi siapakah manusia yang tidak egois di dunia ini? Orang tuanya pun, sama saja. Saudara-sausaranya, sama saja. Mereka ikut bicara, ikut menekan, soalnya masing-masing merasa mempunyai kepentingan. Kepentingan pribadi! Kalau tidak, tentu akan dibebaskan ia memilih lelaki yang dicintainya. Apalagi kakaknya yang nomor tiga. Dian itu, ia sudah bicara dengan gamblang. Sumpah setia kepada Aeri, mungkin ia tak akan sebingung itu. Tinggal menerima kenyataan. Tetapi sekarang, bukan hanya sekeping hati yang amat dicintainya. Dan sekeping lagi adalah hatinya sendiri. Ia tak bisa memutuskan.


Ia juga tidak berani bilang apa-apa kepada Aeri sampai suatu saat Ayahnya memanggil dia pulang dan berkata dengan tegas, “Aku sudah menerima lamaran Pak Hartawan. Tiga bulan lagi kau menikah. Jangan bantah, itu demi kepentinganmu serta anak cucumu. Sekarang kau bersedih, aku tahu, namun nanti kau akan berterima kasih kepada Ayah. Percayalah!” Apa lagi yang bisa dilakukannya? Haruskah ia menangis berguling-guling seperti anak kecil? Haruskah ia marah mencak-mencak dan memaki-maki Ayahnya yang telah tua itu? Dita hanya menunduk menerima keputusan itu. Kantong-kantong dibawah mata Ayahnya serta garisgaris di kening yang menandakan usianya, menahan dia untuk berbuat sesuatu. Namun hatinya terasa beku. Sekeping hati yang merah telah menjadi hitam. Dan sekeping lagi, tak tahu apa-apa, menanti saat bahagia yang dikiranya akan datang. Ayahnya tidak bertanya lagi, “Kau setuju?”


Kakaknya yang tiga pun, tidak. Begitu juga ibunya. Semuanya sudah menyerahkan kepada Ayahnya. Dan memang Ayahlah yang kuasa. Sekarang tinggal ia yang memutuskan, akan menurut saja kepada keputusan Ayahnya, untung-untungan menikah dengan Pak Hartawan yang baru dikenalnya selintasan saja? Ataukah hendak nekad mempertahankan Aeri dengan catatan ia tak boleh datang lagi ke rumah karena tentu Aeri tak mempunyai tempat. Jangankan Aeri, dirinya sendiri pun tak akan lagi mempunyai tempat. Duhai. . . pikirnya, untuk mereka rupanya lebih berharga Pak Hartawan (dan itu berarti martabat serta kekayaannya) daripada dirinya. Untuk Pak Hartawan, mereka rela kehilangan anak dan saudara. Untuk Pak Hartawan, mereka tak segan-segan menekan anak dan saudara, menyakiti hati yang lagi mekar berseri. Untuk Pak Hartawan, semua bersatu-padu membunuh cintanya kepada Aeri. Dan Pak Hartawan berarti martabat serta kekayaan.


Sekali lagi, martabat serta kekayaan! Dan hatinya bertanya, apakah engkau akan menikah dengan martabat, dengan kekayaan, Dita? Bukankah itu pengabdian seorang anak? Ada yang menyahutinya. Pahit! Getir! Pengabdian? Apakah cara yang seperti itu bisa disebut pengabdian? Itu sebuah perkosaan yang berlindung di dalam pengabdian. Semua memperkosa engkau, Dita! Memperkosa hak asasimu sebagai manusia. Tidakkah engkau ingin berontak? Masa depanmu akan ditentukan oleh hAeri ini. Kalau langkahmu salah, seluruh masa depanmu berubah. Kau harus berani menentukan sikapmu, Dita, kau bukan melawan kepada kehendak orang tua melainkan kepada pemerkosaan hak asasi.


Itu benar, itu benar. . . tetapi kau tidak sanggup, wahai sahabatku! Aku tidak sanggup! Ke mana aku nanti harus pulang kalau keluarga tidak lagi mau menerima? Aku takut, sahabatku. . . Apa yang kau takutkan? Kau mempunyai ilmu yang akan menjagamu dari kelaparan. Itulah gunanya kau sekolah. Agar bisa hidup mandiri. Dalam keadaan apa pun bisa hidup tanpa merepotkan orang lain. Kalau kau menyerah dan menikah dengan Pak Hartawan, duda kaya yang hidup sebagai pengusaha, ilmu yang telah kau timba akan siasia. Kau paling-paling hanya akan Aerisan antar istri pengusaha, menata meja, mengatur anak tiri. Mana mau orang kaya seperti Pak Hartawan melihat istrinya bekerja apalagi menambah ilmu. Ooo. . . itu tidak ada di dalam kamusnya, Dita. Maka kalau engkau mau, sama saja dengan engkau hendak bunuh diri pelan-pelan.


Demikianlah benturan-bemturan di dalam dirinya, terus berlanjut, tidak berkeputusan. Ketika ia kembali ke Bandung, dan bertemu lagi dengan Aeri, benturanbenturan itu semakin dalam dan kuat. Benturan-benturan itu merampas waktu tidurnya dan konsentrasi kerjanya. Aeri melihat perubahan itu. Wajah Dita yang laya dan pucat serta sikapnya yang seperti tidak terkontrol. “Kau sakit, Dit?” tanya Aeri yang sengaja mengantarkannya pulang ke tempat kosan. “Tidak. Orang tuaku dan saudara-saudaraku yang sakit.” “Semuanya sakit?” tanya Aeri yang tak tahu urusannya. “Ya.” “Sakit apa?” “Sakit jiwa,” kata Dita. “Sakit jiwa?” Mata Aeri melotot, kaget bukan main.


“Kau kaget?” Dita bertanya. Ada senyum sinis di bibirnya. Aeri makin kaget lagi melihat senyuman itu. Apakah Dita lahir dari keluarga yang berpenyakit jiwa? Oh, alangkah mengerikannya kalau benar demikian. Ia menatap sekujur perwujudan Dita yang amat dicintainya dan jatuh pada matanya yang layu. “Apakah semua itu benar, Dita?” tanya Aeri amat hatihati. “Ya. Kau tentu tak ingin lagi berhubungan dengan aku, bukan?” Aeri tergagap. Berhubungan dengan orang-orang yang berpenyakit jiwa tentu bukan satu hal yang menyenangkan, apalagi kalau punya istri berpenyakit jiwa.


“Dita. . .” kata Aeri sambil memegang lengan kekasihnya, “Ada yang menganggu hatimu, bukan? Katakanlah. . . mungkin aku bisa menolongmu.” “Tidak, Aeri. Tak akan ada seorang pun yang bisa menolongku.” “Siapa tahu, kan?” “Tidak.” “Kalau demikian, kau harus bisa menlong dirimu sendiri,” kata Aeri. “Setiap persoalan selalu bisa dipecahkan asal kepala tetap dingin. Harapanku, kau mau berbagi rasa denganku.” “Kau sanggup kira-kiranya?” tanya Dita. “Akan kucoba,” jawab Aeri. “Kalau sanggup, kau hebat sekali.” “Akan kucoba,” kata Aeri tanpa prasangka.


“Aku tiga bulan lagi dipaksa harus menikah dengan Pak Hartawan,” kata Dita.


Agak lama tertegun. Ia mengerti kenapa sikap Dita akhir-akhir ini demikian berubah. Diambilnya lengan Dita, diusap-usapnya perlahan. Betapa ia amat mencintai gadis itu! Betapa harapan masa depan menjanjikan kebahagiaan! Tiba-tiba ada dua tetes air mata bergulir di pipi Dita, mewakili keperihan hatinya yang penuh dengan aneka benturan. “Aku bingung, Aeri. . .” katanya, “aku tak tahu harus bagaimana. . .” Dita memejamkan matanya. Aeri segera memberinya saputangan. Ia tidak ingin mempersulit perasaan gadis itu, mungkin dengan membujuknya atau memberinya nasihat-nasihat yang emosional. Lama tak ada yang bicara. Dita menumpahkan tangisnya ke dalam saputangan Aeri. Ia tahu, kalau menangis di dada kekasihnya, ia tak akan berhenti menangis. Kalau bisa, sebenarnya ia tak ingin cengeng supaya bisa berpikir jernih. Tetapi ia ingin tahu juga bagaimana


reaksi Aeri. Apakah Aeri akan mundur atau justru maju dengan nekad. Aeri masih membisu, hanya dadanya yang turun naik kurang teratur seperti menahan hempasan-hempasan. Ia tahu, Dita bukan gadis tanggung lagi. Ia juga tahu, Dita seorang yang berotak cerdas, berpikiran jernih dan kreatif sekali. Jadi, tak ada gunanya ia merajuk dengan merendah-rendahkan diri karena calon yang diajukan orang tua Dita, seorang lelaki makmur. Sebaliknya, ia juga merasa tidak pantas kalau menekan Dita untuk berbuat nekad. Itu terlalu besar resikonya untuk Dita. Membayangkan beturan-benturan yang ada di hati kekasihnya, Aeri jadi iba sekali kepada Dita. Perang batin itu tentu bukannya ringan. Berat. Terlalu berat. Dan ia tak bisa membantunya.


Sama sekali. “Tiga bulan masih lama, Dita. . .” kata Aeri, “janganlah memforsir diri. Nanti kita pikirkan, bagaimana baiknya. Aku takut kau sakit.” “Yakh. . .” kata Dita dengan keluhan. “Tiga bulan memang lama dan aku harus menjalaninya padahal rasanya seperti api neraka.” “Tawakallah, sabarlah. . .” bujuk Aeri. “Dan kau juga harus tawakal, Aeri. . .” Muncul lagi tetes air mata di sudut mata Dita. “Ya,” kata Aeri, menelan air liur kegetiran di hatinya. Ia tahu apa arti kalimat Dita itu. Harus tawakal,berarti belum tentu keputusan Dita menguntungkan dirinya. Keperihan itu menggigitnya dan berubah jadi kemarahan kepada “pemerkosa” Dita. Tetapi ia bisa menahan diri. Janganlah ia menambah beban batin kekasihnya yang


sedang perang sabil. Ia lebih baik diam dan membantunya dengan jalan batin lagi. “Apakah kau bisa mengerti kalau. . . kalau. . . aku tak sanggup bertahan dari tekanan mreka, Aeri?” Mata Dita menatap sendu. “Ya. . .” sahut Aeri. “Ya?” Aeri menarik napas dalam-dalam. Serba salah. Kalau ia bisa mengerti dan tidak berbuat apa-apa, dimanakah tanda cintnya? “Kau harus yakin kan citaku, Dita,” kata Aeri. “Aku juga amat yakin cintamu kepadaku. Kalau kau sudah menentukan sikap, tempuhlah dengan konsekuen. Itu saja yang bisa aku katakan. Aku tahu kau bukan perempuan sembarangan. Tak perlu aku bicara panjangpanjang atau membujuk-bujuk.


Apa yang lebih baik bagi dirimu.” “Itulah yang aku tidak tahu, Aeri. . .” keluh Dita, tampak mencoba menahan diri agar tidak jatuh dalam emosi murahan. “itu yang membuat aku goncang dan merasa senewen. Aku ingin minta tolong kepadamu namun itu tak mungkin. Kita harus sama-sama tawakal, Aeri. . .” “Ya,” kata Aeri. Kemudian ia bangkit, mencium kening Dita dan pamit pulang. Orang tua serta saudara-saudaranya senang sekali dan bersyukur tak berkeputusan ketika ternyata tanpa banyak kesusahan, Dita menyetujui pernikahannya dengan Pak Hartawan. Padahal mereka mengira, Dita masih akan bertingkah. Ketika sekali lagi ia dipanggil pulang dan diberitahu bahwa pernikahannya hanya tinggal satu bulan lagi, Dita hanya mengiyakan. Dan ketika ia dipertemukan dengan suaminya, Dita tidak banyak bertingkah tetapi memberi hati pun tidak. Biasa saja.


Dita melihat seraut wajah yang agak angkuh namun penampilannya memang simpatik apalagi ditunjang oleh pakaian yang mahal dan serasi. Walaupun demikian, bagi Dita, lelaki itu tak ada bedanya dengan lelaki-lelaki yang lain, dengan pak darso, dengan Deri atau dengan Mang Aeri, sopir bus yang menjadi langganannya. Tidak menimbulkan perasaan apa-apa ia memang lelaki, hanya itu. Tetapi ia harus memutuskan. Bukan apa yang terbaik bagi dirinya melainkan apa yang terbaik untuk mereka, orang tua serta sadara-saudaranya. Mungkinkah ia kurang menaruh kesetiaan atau cinta kepada Aeri? Entah. Ia bingung. Ia sebenarnya tak bisa memutuskan. Tetapi ia harus memutuska. Ia tahu dengan keputusannya itu dirinya dinantikan oleh ketidak pastian tetapi ia juga tahu kalau tidaj segera memutuskan, ia akan gila. Gila karena didera keputusasaan. Gila karena didesa kegelisahan. Gila karena didera kebingungan. Dengan keputusan itu mau tak mau dirinya harus pasrah.


Pasrah akan kenyataan yang akan datang dan yang harus dihadapinya. “Kau mengerti kalau aku memutuskan begitu, Aeri?” tanyanya kepada Aeri pada satu hAeri. Aeri yang melihat Dita didera kegelisahan luar biasa, demikian. Ia ingin marah namun tak sanggup. Ia tahu, Dita bukan perempuan yang bisa bersikap tanpa pemikiran yang panjang. “Kau marah, bukan?” “Ya. . . tetapi tak bisa berbuat apa-apa,” sehut Aeri jujur. “Kau kecewa?” “Ya.” “Kau benci kepadaku?” “Jangan tanyakan itu, Dita. Kau tahu betapa aku mencintaimu.”


“Juga setelah keputusan ini kuambil?” “Ya.” “Dan kau tak ada usul, Aeri?” sungguh mengabaikan suara Dita. **** Agar kau berbuat nekad? Aku cinta kepadamu, sayang. Kau nekad dan aku akan kehilangan tempatmu di lingkungan keluarga, utamanya orang tua dan saudarasaudaramu. Aku ikut bingung sangat bingung. Ini sungguh menyakitkan, akan tetapi aku percaya bahwa jodoh nasib memang rahasia Tuhan. Kalau Tuhan mengizinkan kita berjodoh, kita akan bertemu juga, entah kapan, entah di mana. Mungkin setelah kita samasama tua. Tak ada yang mustahil didalam hidup ini, bukan?” “Kau sungguh lelaki yang kukagumi, Aeri. . .” kata Dita. “Aku ingin hidup bersamamu. Aku ingin menikmati


keindahan bersamamu. Kalau nanti tidak mungkin, aku ingin menikmatinya sekarang. Sekarang, Aeri. . .” “Apa maksudmu?” tanya Aeri agak tersentak. “Mari kita isi hari-hari kita yang tidak lama lagi dengan manis madu orang bercinta.” “Jangan! Nanti suamimu kecewa! Nanti sia-sia pengorbananmu! Nanti. . .!” “Jadi aku harus memelihara diriku untuk lelaki yang tidak kucintai itu supaya ia tidak kecewa?” tanya Dita. “Dan engkau, lelaki yang kucintai, apa yang akan kau kenangkan dari diriku kalau aku lepas begitu saja?” Aeri amat terharu mendengar kata-kata Dita. Ia merengkuh gadis itu dan memeluknya erat-erat. Air mata Dita menetes perlahan. Sudah menjadi anganangannya bahwa iya ingin memasuki malam pengantin dengan kegadisannya yang sempurna. Tapi kini, anganangan itu tak ada lagi. Semua orang memojokkan


dirinya. Semua orang menekan dirinya. Dan semua orang menunjang serta membela lelaki itu. Sungguh aneh! Anehnya bin ajaib! Kenapa justru lelaki itu yang mereka bela dan bukan dirinya? Dendam membara didalam hatinya namun ia harus menekannya dalam-dalam. Semua orang tak ada yang memikirkan dirinya, masing-masing hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri. “Aeri. . .” katanya, “berikan kepadaku kenangna yang indah, yang akan menjadi bekalku berjalan.” Aeri menahan napas. Dibelainya rambut Dita perlahanlahan, hatinya terasa perih, Dita tahu ia tak akan berbahagia, pikirnya getir. Ia ingin sekali membawa kabur gadis itu, akan tetapi itu tidak mungkin. Ia punya nama baik, ia anak sulung, kedua hal itu harus menjadi pertimbangannya. “Asal kau tak akan menyesal nanti. . .” bisik Aeri.


“Tidak,” kata Dita. “Sungguh?” “Ya,” kata Dita Sekali lagi Aeri memeluk Dita. Yakh, pikirnya, kalau cinta tak bisa diselamatkan, apa boleh buat, ia mencari jalannya sendiri . . . Demikialah, mereka ibarat sepasang merpati yang hendak mati besok. Keduannya sulit dipisahkan. Keduanya tak ada yang lelah mengepakkan sayap, berputar menjelajah taman, mengganggu bunga-bunga yang mekar penuh madu. Keduanya saling mengisap, saling membelit, saling menumpahkan angan-angan dan dambaan. Untuk kemudian, keduanya saling menghempas kelelahan. “Kau bahagia, sayang?” tanya Aeri. “Amat bahagia.”


“Tak akan menyesal walaupun esok . . .” “Tak akan menyesal walaupun esok akan kiamat,” kata Dita. “Apa kau masih akan bisa tersenyum nanti?” “Ya, kalau ingat akan kenakalanmu.” “Tidak malah akan menangis?” “Senyum dan tangis bagiku sama saja nanti.” “Sayang . . .!” “Hmm.” “Sudah kita nikmati surga itu. Nanti kita hanya akan jatuh ke neraka,” kata-kata itu terdengar emosional. **** “Titipkan saja angin lalu.” “Aku iri kepada lelaki yang berbahagiaitu.”


“Berbahagia?” Dita menatap Aeri. “Kupikir lelaki itu akan bahagia?” “Ya, kan?” Dita tersenyum, sinis sekali. Aeri melihat kesinisan itu namun ia tak berkata apa-apa. Ia tak merasa perlu bertanya. Ia sudah seharusnya mengerti. Ia sendiri tak tahu, hendak dihanyutkan ke mana Dita dengan pernikahannya itu. “Lelaki itu tidak akan berbahagia, Aeri . . .” kata Dita dengan nada suara yang datar. “Aku bukan perempuan yangcocok baginya. Aku juga tidak mengerti kalau ia ingin menikahi aku padahal kami tidakpernah bertemu kecuali selintas-selintas.” “Karena kau cantik, Dita,” kata Aeri. “Hanya lelaki dungu yang mau menikahi perempuan karena kecantikannya,” kata Dita. “Apalah arti kecantikan kalau hatinya tak ikut serta.”


“Kau benar,” kata Aeri. “Tetapi banyak juga lelaki yang beranggapan bahwa hati wanita akan mencair karena kekayaan. Mungkin calon suamimu termasuk ke sana. Ada harapan di hatinya, andaikata semula kau tak mencintai dia, suatu saat hatimu akan cair juga karena . . .” “Baiklah sama-sama kita lihat nanti,” kata Dita. “Hai, jadi kau menantang?” “Ya.” “Kau tampak dendam kepada calonmu?” “Memang!” “Ia kan tidak bersalah? Lelaki berhak melamar perempuan yang disukainya seperti juga perempuan berkah menolak lelaki yang disukainya.” Dita menatap kepada Aeri seperti ingin mencari arti kata-kata lelaki itu lewat matanya.


“Apakah engkau menyindirku, Aeri?” “Sama sekali tidak,” kata Aeri. “Tetapi kau salah kalau dendam kepada calonmu.” “Aku tak ingin melihat ia berbahagia.” “Tetapi aku berdoa semoga kalian berbahagia.” Kata Aeri dengan tenang. “Aeri!” “Ya!” kata Aeri. “Aku selalu ingin melihat engkau berbahagia. Kau pasrah kepadaku dan aku terima kepasrahanmu itu karena aku mencintaimu. Nanti kau harus memasrahkan diri kepada suamimu. Aku tak maumelihat asal mula kepasrahan itu, akan tetapi aku berharap suatu saat kau akan berbahagia. Kau tidak boleh dendam kepada suamimu; ia ingin menikahi engkau tentu di hatinya ada niat baik. Ia tidak merampas kau dari tanganku karena ia tidak tahu bahwa kau sudah mempunyai kekasih.”


“Ya,” kata Dita akhirnya, “ia memang tidak bersalah tetapi ia bukan lelaki harapanku. Yang bersalah adalah orang tuaku.” “Kuharap engkau pun bisa memaafkan mereka,” kata Aeri. Dita tidak menyaut. Ia merasa tiba-tiba sakit hati oleh sikap dan kata-kata Aeri. Tak seorang pun yang mau dan bisa mengerti hatiku, pikirnya sendu. Tak seorang pun yang mau ikut merasakan keperihan hatiku. Juga Aeri. Sebodo! Terjadilah apa yang akan tejadi. Dunia tidak lagi menarik hati. Lelaki tidak lagi menarik hati. Jangankan Pak Hartawan, Jauharu pun tidak! **** Maka ketika pada pertemuannya yang kedua, Pak Hartawan berkata kepadanya, “Dik Dita, nanti tak perlu bekerja lagi di kantor.”


“Ya,” hanya itu jawaban Dita. “Malahan sebaiknya sejak sekarang minta berhenti saja, supaya kita bisa sering bertemu. Itu penting, terutama untuk anak-anak.” “Tetapi untuk berhenti bekerja kan tidak seperti berhenti jadi sopir, misalnya, sekarang bilang besok bisa berhenti. Harus ada tenggang waktu,” kata Dita. “Segeralah membuat permohonan kalau demikian.” “Ya,” kata Dita. Datang di Bandung, Dita segera membuat permohonan berhenti bekerja. Tetapi kepada Aeri ia tak bilang apaapa sehingga Aeri mengetahui hal itu dari orang lain. Entah apa sebabnya, sejak Aeri mengatakan bahwa ia harus bisa memaafkan orang tuanya, ia merasa sakit hati diam-diam kepada lelaki itu. Kalau Aeri datang ke rumah, ia sudah berpesan kepada anak-anak yang ada di rumah bahwa ia tidak ada. Tiga hari Aeri datang, tiga


kali juga Dita tak menemuinya. Hanya di kantor mereka bisa bertemu tetapi Dita agak menjauh. Di saat pulang, Aeri mencegat Dita. “Kabarnya kau hendak berhenti bekerja, Dita,” katanya. “Ya.” “Dan kau tak bilang kepadaku?” “Apa kau kepala kantor?” Aeri tak segera menjawab. Ia tahu, ada sesuatu yang salah. Tetapi hatinya tak enak diperlakukan seperti itu oleh Dita. “Kau marah kepadaku, Dita?“ Kenapa harus marah? Kau tidak bersalah. Tak ada seorang pun yang bersalah. Aku hanya tak ingin diganggu. Ingin sendirian. Ingin tenang sendirian!” “Dan kau keberatan kalau sekarang kuantar pulang?”


“Ya.” “Ya?” Aeri menatap kaget. “Ya!” Kemudian Dita berjalan tergesa, menyusul temannya. Lebih baik aku tidak berhubungan lagi dengan dia, pikirnya sebal. Setelah menikmati manis madu, dimintanya agar aku memaafkan orang tua dan tidak boleh dendam kepada calon suami yang sebenarnya memisahkan dia dan aku. Persetan dengan lelaki! Ketika ia datang di rumah, Aeri sudah menunggu di sana. Dita tampak tak senang melihatnya. “Maafkan aku mengganggu,” kata Aeri dengan nada yang formal. “Kau tentu sudah tak sabar ingin dekat dengan dia, bukan?” “Ya!” sahut Dita dengan wajah keruh. Ia mencoba hendak masuk ke rumah namun dihalangi oleh JuahAeri.


“Aku tak sabar lagi, ingin pengantinan dengan dia. Kau mau apa, Aeri, mengangguku di sini?” Aeri menatap Dita. Yang ditatap malah menantang. Di matanya yang selalu teduh tampak api kemarahan. Aeri menunduk. Tanpa sepatah kata, ia membalik dan pulang. Dita tersedu-sedu sendiri di kamarnya. Oh, di manakah kekuatanku, pikirnya. Di manakah akal warasku? Aku melayang-layang seperti layangan putus talinya. **** Aeri ? Di manakah, ke manakah cintaku yang dahulu demikian mulia? Kenapa sekarang hanya ada dendam dan kebencian semata? Beruntung, permintaan berhenti itu tidak lama segera dikabulkan. Dita secepatnya kabur tanpa memberitahu Aeri. Tiba di rumah ia disambut dengan sukacita oleh orang tua serta saudara-saudaranya. Sikap Dita biasa saja, malah boleh dikata agak dingin. Kalau tidak


ditanya ia tidak bicara. Ia pulang bukan karena senang, hanya karena paksaan. Otaknya jadi buntu. Yang datang semuanya hanya memuji keberuntungannya. Dita merasa muak dengan segalanya itu. Tak aneh kalau ia akhirnya lebih banyak mengurung dirinya di kamar. Semakin mereka sibuk mengurus hari pernikahannya, semakin ia tidak peduli. Kakak sulungnya jadi marah. “Kau itu bagaimana, sih? Mau menikah atau tidak?” bentaknya kesal. “Kalian yang mau menikah,” sahut Dita, “saya hanya diharuskan menikah.” “Pakailah otakmu. Berontak pun sia-sia kalau sudah sampai di sini. Kalau mau begini, kenapa engkau harus pulang? Pulang berarti engkau mau menerima. Kalau begini caranya engkau menyiksa dirimu sendiri sekaligus menyiksa orang lain. Aaawas, kalau nanti kau memalukan orang tua!” ancamnya.


Dita tidak menyaut. Menyaut pun tidak ada gunanya. Dita tidak gentar menghadapi malam pertama dengan Pak Hartawan. Ia tenang saja. Dahulu ia punya anganangan, sekarang angan-angan telah hilang. Dahulu ia punya impian indah, kini impian indah itu sudah hilang. Yang tinggal hanyalah sesosok tubuh perempuan, tanpa angan-angan, tanpa dambaan, tanpa impian indah. Apakah lelaki itu hendak marah, ia tak akan peduli. Apakah lelaki itu hendak menceraikannya dengan alasan bersikap dingin kepadanya, ia tak akan peduli. Bukankah ia masih mempunyai orang tua dan saudara yang kata mereka amat dicintainya. Hmm. . . Hampir Dita tidak percaya melihat kegembiraan mereka di kala menghadapi hari pernikahannya dengan Pak Hartawan. Penuh dengan gurau-senda dan tawa-ria.


PROFIL PENULIS Hallo sahabat pembaca dan penulis,.. Salam dari dari saya, Heri Herdianto M.Pd, Lahir di Ciamis, 06-30-1989, merupakan guru PNS di MAN 1 Bekasi sejak 2019. awal sekolah di SDN 6 Situmandala melanjutkan Ke SMPN 1 Rancah, dan masauk SMAN 1 Rancah, tidak menunggu lama setelah kulus SMA melanjutkan S1 di Universitas Galuh Ciamis dengan mengambil jurusan Pendidikan Sejarah dan lulus tahun 2011, setelah lulus bekerja di PT Harapan rakyat Media (harapanrakyat.com dan koran Harapan Rakayat Banjar). Tahun 2014 berkesempatan menjadi Guru di SMK Taruna Bangsa Ciamis sampai tahun 2019, ditahun 2014 melanjutkan pendidikan ke Universitas Sebelas Maret dan mengabil rumpun pendidikan Magister pendidikan Sejarah yang lulus tahun 2016. Setelah lulus S2 mendapat kesempatan menjadi dosen di universitas Galuh Ciamis sampai tahun 2019. Buku yang pernah di terbitkan ialah buku sejarah singkat bupati bupati galuh ciamis 1618 -2019, Antologi Seterang Rembulan dan Antologi Puisi Supraviroli, Antologi Puisi dari madrasah kami pun bias. WA 082223336874, fb Heri Herdianto, email [email protected] dan IG Heri_herdianto_m.pd


Semuanya untuk Sahabat? "Febby! Bangun nak, lihat sudah jam berapa ini". "Iya mah, lima menit lagi ya". Jawab ku dengan mata terpejam. Aku masih sangat mengantuk, aku ingin terus tidur huhuhu:'( Ceklek Mama ku membuka pintu dan masuk ke kamar ku, kemudian dia menarik selimut yang masih menutupi seluruh badanku. "Apa? Lima menit lagi? Ini sudah pukul lima pagi sayang, ayok cepat bangun!". Suruh mama sambil mematikan AC kamar ku. Aku terduduk dengan mataku yang masih ku pejamkan.


"Hmm, masih tidur? Kamu tidak mau sholat subuh?". Mama ku itu sangat sayang kepada ku, dia selalu mengajari ku semua kebaikan, agama, tata krama, dan masih banyak lagi deh. Dia adalah malaikat pelindung ku. I love you mah. "Eh i..iya mah, Febby bangun kok, nih liat". Kata ku seraya menunjukkan mata ku yang sudah terbuka. Aku segara beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi untuk menyikat gigi dan juga mengambil air wudhu. Mama ku tersenyum melihat tingkah ku, kemudian dia kembali keluar. ••••• Hi, nama ku Febby Aulia. Aku sekarang sedang menduduki bangku SMA dengan jurusan IPA. Aku anak tunggal dari kedua orang tua yang sangat baik, aku bersyukur terlahir dari rahim mama ku.


Mama ku berkerja sebagai ibu rumah tangga dan papa ku adalah pemilik perusahaan besar di Bandung, hehe bukan mau sombong •‿• aku bersekolah di SMA swasta di Bandung. "Bismillah, ushollii sunnata as-shubhi rok'ataini lillahi ta'alaa". Ucap ku dalam hati sebelum takbiratul ihram. Sepuluh menit berlalu, aku sudah selesai menunaikan ibadah sholat subuh dan tidak lupa juga dzikir dan berdoa nya "allahumma agghfirlii wa liwaalidayya warhamhuma kama robbayaani as shogiiro". Sekarang aku beranjak untuk mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. ••••• "Selamat pagi papa". Sapa ku saat aku melihat papa sudah duduk di kursi meja makan.


"Hi, selamat pagi putri papa yang cantik". Balas papa sambil mencium pipi ku setelah aku mencium tangannya. "Selamat pagi mama ku yang cantik". Sapa ku sambil berjalan mendekati mama yang sedang menyiapkan sarapan. "Selamat pagi juga sayang". Mama kemudian mencium kening ku. Aku segara menghampiri kursi ku dan bersiap menyantap sarapan pagi ini. Sarapan pagi ini adalah sandwich dan susu, eem yummy. "Pah, aku berangkat bareng papa kan?". Tanya ku. "Iya dong sayang". "Okey".


Tidak memerlukan waktu lama, dan sekarang sudah menunjukkan pukul 06.15 yang menandakan aku dan papa harus segara berangkat. Aku mengambil tas ku dan berpamitan dengan mama "mah, Febby pergi cari ilmu dulu ya". "Iya sayang, doa mama selalu menyertai mu". "Sayang, aku pergi cari nafkah dulu ya, kamu baik baik di rumah, jangan kecapean". Ujar papa sambil mencium pipi dan kening mama. Iih so sweet banget sih, apalah daya ku yang jomblo:'( "Hati-hati ya sayang". Balas mama. "Assalamualaikum". "Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuhu". "Kamu nanti pulang sama pak Mamat ya". Kata papa sambil menyetir.


"Eem..tidak usah deh pa, rencana nanti aku sama Dinda mau pergi makan". "Kemana?". "Tenang pa, tempat biasa aku sama Dinda". Jawab ku. Papa itu sangat protek sama aku, hehehe mungkin karena aku anak semata wayangnya kali ya. "Ooh iya iya, terus pulang nya?". "Seperti biasalah pah, diantar sampai rumah sama Dinda". "Okey. Oh iya tadi sudah dapat uang jajan atau belum?". "Ooh iya aduuh, kelupaan pah belum diambil dari meja tamu". Jawab ku sambil menepuk keningku. "Kamu ini, masih mudah sudah pikun". Ledek papa. "Nih". Ujar papa sambil memberikan ku uang dari saku nya.


Click to View FlipBook Version