kemudian membuatku naik pitam karena argumen Mas Danu selalu tepat sasaran sementara aku tidak pernah mau kalah. “Ya pokoknya sepenglihatan gue, kalian itu nggak kayak adik-kakak pada umumnya! Makanya gue iri. Kalian punya waktu dan ruang buat saling terbuka, akrab, sering diskusi. Lo dari dulu sering banget ngasih gue nasihat yang gue yakin banget itu dapat dari mas Danu,” Sashi menyelesaikan ucapannya yang sempat terputus. Mendadak, aku tidak bisa bersuara. Betul, apa yang dikatakan Sashi sepenuhnya tepat. Tapi sebenarnya, aku masih terbelenggu kenyataan pedih yang membawaku sampai titik ini, hidup berdua saja dengan seorang kakak laki-laki di dalam rumah yang sepi dan terasa kosong. “Justru ... gue masih suka menolak apa yang gue punya sekarang; gue masih suka berandai-andai, andai
ibu ada, andai ayah nggak pergi secepat itu. Kalau dipikir-pikir, semua udah diatur Tuhan dan gue harus menerima. Kepergian ayah-ibu tercover dengan kehadiran mas Danu, ironisnya, gue masih suka lupa bersyukur atas itu. “Gue masih punya mas Danu yang rela menghidupi gue, biayai kebutuhan gue bahkan ngurusin gue dari masih belum banyak ngerti sama hal-hal keras dalam hidup sampai sekarang. Mas Danu nggak pernah nuntut apa-apa dari gue, dia selalu memastikan gue bahagia dan nyaman sama apa yang gue jalani. Jahat kan kalau gue masih meminta yang lebih dari ini? Memiliki mas Danu di hidup yang sekarang udah lebih dari cukup sebetulnya, tapi balik lagi, guenya aja yang kurang bersyukur dan terlalu sering berandai-andai.” Aku melepaskan setengah dari seluruh untai kata tentang Mas Danu yang sudah lama mendekam dalam
hati, entah sejak kapan tepatnya, aku mencari-cari tempat yang tepat untuk menumpahkan hal ini dan ternyata, Sashi-lah jawabannya. Memang sejak dulu, hanya Sashi yang tahu hampir semua kisah hidupku, Sashi satu-satunya teman yang kupunya sebelum aku terjun ke organisasi di perkuliahan. Sashi keras di luar, lembut di dalam. Dia penuh pengertian, dia tahu cara menghargai orang lain dan itu alasan mengapa aku mempercayai Sashi sebagai tempat berbagi cerita. “Terusin, barangkali lo mau sekalian curhat, sebanyak apa pun pasti gue dengar.” Aku mengedar pandang, memindai seisi kamar, sampai netraku mendapati bingkai berfoto dua anak kecil yang tak lain adalah aku dan Mas Danu di atas meja belajar yang sudah alih fungsi menjadi meja kerja. “Lo tau, kan ... Mas Danu itu berjasa banget dalam hidup gue. Dia bisa jadi sosok kakak-ayah-ibu yang sesuai porsi; dia tau kapan saatnya jadi kakak, kapan harus bersikap seperti ibu, kapan harus bertindak
layaknya ayah buat gue. Dia selalu memastikan gue nggak sendiri, selalu bilang ‘kita punya satu sama lain’ yang artinya saling mengisi, saling menguatkan, dan masih banyak saling yang lain. Kadang gue bertanyatanya, apa iya di dunia ini gue cuma punya mas Danu? Keluarga dekat atau jauh nggak ada sama sekali?” “Nah! Itu dia, gue juga pernah penasaran. Jadi gimana sih sebetulnya?” tanya Sashi. “Ternyata emang iya, ayah-ibu anak tunggal. Hubungan kami sama nenek dari ibu udah nggak baik sejak nenek jelek-jelekin gue di depan ayah; salah satu saudara dari ayah sebenarnya ada tapi di kampung dan gue sama mas Danu nggak kenal sama beliau, pun ... nggak ingat sama jalan ke kampung ayah.” “Jadi setelah ayah nggak ada ... kalian mulai hidup berdua-literally-berdua-aja?” “M-hm.” Aku mengangguk. “Di saat itulah gue mulai ragu dan bertanya-tanya, apa gue bisa? Apa mas
Danu bisa? Gue juga takut mas Danu makin benci sama gue atau merasa keberatan atas keberadaan gue di sini. Tapi ternyata semua itu di luar apa yang gue pikirkan. Pelan-pelan berjalan, pelan-pelan menyadarkan gue kalau hidup hanya dengan mas Danu nggak seburuk yang gue kira.” “Kalau soal benci ... apa mas Danu pernah merasa begitu terhadap lo?” pertanyaan Sashi terdengar hati-hati. Sudut bibirku terangkat sesaat sebelum menjawab, “Jelas pernah. Dulu, gue nanya sama dia dan dijawab jujur. Dia pernah merasa benci sama gue, benci karena harus kehilangan ibunya karena gue—adiknya— lahir, kehilangan kasih sayang dari satu-satunya orangtua yang dia harapkan, nggak dipungkiri ... dulu ayah lebih fokus sama gue dan mungkin tanpa sengaja mengabaikan mas Danu. Setelah dia lebih dewasa, dia bisa memuat ulang pola pikirnya sampai akhirnya jadi kakak laki-laki yang serba cukup buat gue.”
Sashi menghela napas, aku yakin dia mendapati mataku yang digenangi air. “Baik lo maupun mas Danu punya luka dengan rasa tersendiri, ya. Kalian hebat, sumpah. Kalian berhasil survive dan mendapatkan hasil mendekati sempurna untuk sama-sama saling menguatkan dan meyakini kalau masih punya satu sama lain. Pasti berat buat lo ninggalin mas Danu setelah sah nanti, ya ....” “Iya, jujur seminggu belakangan gue kepikiran ini terus.” Suaraku bergetar, tak mau menutupi lebih lama, aku pun menumpahkan air mata. “Mas Danu selalu ngasih alasan nggak mau nikah karena nggak mau ninggalin gue sendiri, tapi sekarang gue yang bakal nikah dan pasti ninggalin dia sendiri. Gue merasa egois tapi mau gimana lagi ... mas Danu lebih sedih kalau gue memilih nggak nikah juga.” “Betul. Gue yakin mas Danu bahagia banget sekarang, apalagi calon adik iparnya laki-laki baik yang
mapan dan dewasa, menerima kekurangan lo, bahkan keluarganya terbuka sama kalian berdua, kan?” Aku menghapus jejak air mata di pipi dengan punggung tangan, kemudian mengulas senyum tipis. “Tuhan Maha Adil, ya. Gue nggak punya apa yang dimiliki orang lain; tapi gue punya apa yang nggak dimiliki orang lain.” Sashi mengangguk setuju, dia mendekat ke arahku, merengkuh pundak dan memberi usapan hangat. “Gue nggak tau apa rencana Tuhan selanjutnya, gua harap lo bahagia dan bisa lebih bersyukur atas apa yang ada. Gue nggak bakal pergi begitu aja dari hidup lo, Mara ....” Jadi, besok adalah hari di mana aku dan laki-laki yang kutemui hampir sepuluh tahun yang lalu mengikat janji untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius, hubungan yang bukan sebuah permainan, hubungan yang katanya tidak akan Mas Danu rasa atau alami.
Bercerita pada Sashi lumayan membuat perasaanku lega, karena memang di saat-saat seperti ini aku butuh dikuatkan. Saat kebanyakan perempuan yang hendak menikah ditemani dan diberi nasihat oleh ibunya, aku tidak bisa merasakan itu. Ah, lagi-lagi aku berandai. Tapi ... biar tidak ada ibu di sisiku, aku masih punya Mas Danu yang sejak kemarin tidak mau diam. Memastikan semua perlengkapan sudah ada dan menyumbang tenaga sebesar yang dia punya, awalnya dia berniat mengulurkan uang juga tapi aku berusaha menolaknya halus-halus. Bukannya hendak terlihat tak butuh bantuan, aku merasa untuk acara ini sudah menjadi tanggung jawabku dan Mahesa—laki-laki yang kutemui hampir sepuluh tahun lalu—maka Mas Danu tidak perlu turut mengeluarkan uangnya. Mas Danu sudah cukup bahkan sangat-sangat membantuku dalam urusan ini. “Setelah ini tanggung jawab Mas buat jagain kamu selesai, karena bakal diambil alih sama Mahesa.
Setelah kamu nikah, kayaknya Mas nggak bisa ngasih uang dengan alasan buat kebutuhan kamu lagi, ya? Kan udah ada suami yang tugasnya jelas-jelas menafkahi.” Entah aku harus bereaksi seperti apa, yang jelas itu benar. Tanggung jawab Mas Danu atas diriku akan lepas sebentar lagi, bebannya akan berkurang setelah ini— meski dia tak pernah menganggap beban—dan perannya yang merangkap sebagai kakak-ayah-ibu tidak akan mengikatnya erat-erat karena aku tidak lagi tinggal dengannya setiap hari mulai dua hari yang akan datang karena harus ikut dengan Mahesa. “Aku pasti pulang tiap Minggu,” ucapku. “Sebulan sekali juga nggak apa-apa,” jawab Mas Danu. “Nggak bakal bisa aku sebulan sekali! Seminggu aja udah kangen,”
“Ya terserah, sih ... kalau kamu nggak sibuk dan dikasih izin sama Mahesa ya silakan pulang kapan pun dan sesering apa pun.” “Tapi aku pulang bukan cuma karena kangen sama Mas, aku mau beres-beres rumah yang selama seminggu pastinya nggak dipeduliin sama Mas karena sibuk kerja. Mau ngurusin tanamanku, sama mau masak buat Mas.” Aku mengubah posisi dari yang sebelumnya duduk jadi berbaring dengan kepala yang diletakkan pada paha Mas Danu. “Kalau aku udah pindah nanti ... Mas jangan nunda-nunda makan, nyapu rumah seenggaknya sekali sehari dan yang paling penting, hilangin jiwa workaholic dari dalam diri Mas.” Sejak ayah pergi, Mas Danu jadi lebih keras dalam bekerja. Sering membawa banyak berkas mentah ke rumah, dini hari senantiasa duduk di depan laptop, tak jarang dia hanya tidur satu sampai dua jam saja. Jelas aku khawatir bahkan pernah marah sampai akhirnya kami bertengkar setelah sekian lama, aku bilang pada
Mas Danu untuk lebih memedulikan kesehatannya daripada pekerjaan. Kerja boleh, tapi kesehatan nomor satu sebab kalau jatuh sakit semuanya akan terbengkalai. “Mas usahain,” jawabnya, sesingkat itu. “Aku serius,” “Mas juga serius.” “Setelah ini tanggung jawab Mas bakal lebih ringan, Mas kerja buat diri sendiri, nggak harus biayai aku lagi. Jadi bisa kan kalau kerjanya nggak terlalu parah kayak kemarin?” “Mungkin bisa, tergantung kerjaannya sebanyak apa dan serumit apa. Kalau butuh lembur ya lembur, tapi kalau kerjaannya lagi surut Mas pasti istirahat.” “Jangan sampai sakit karena kerja, oke?” Mas Danu mengangguk, jemari tangan kanannya menyisir lembut rambutku buat mataku refleks terpejam.
“Mas bahagia atas keputusan kamu, Dek. Mas harap kamu bisa menemukan kebahagiaan dan kehangatan yang selama ini kamu cari-cari, Mas minta jangan pernah kamu lupa jalan pulang dan makam ayahibu.” Jemari yang semula menyisir rambutku kini berhenti. “Mas sayang sama kamu, akan selalu begitu. Tolong jangan pernah merasa bersalah lagi,” lanjutnya. Mataku panas, aku menahan kuat-kuat air di mata agar tidak turun sekarang. Karena keadaan rumah sudah lebih sepi, tetangga yang turut membantu persiapan pernikahanku esok hari sudah kembali ke rumahnya masing-masing dan akan kemari lagi besok pagi; aku memiringkan badan, menyembunyikan wajahku pada perut Mas Danu. Tanpa berniat menjawab ucapannya beberapa detik tadi, aku hanya diam, sebab jika bersuara sudah pasti aku akan menangis. “Kamu nggak mau ngomong apa-apa gitu? Suasananya lagi cocok banget buat ngobrol serius,” kata Mas Danu yang menyadari aku tak bersuara.
“Enggak, aku yakin Mas tau isi kepalaku.” Kudengar tawa pelan dari Mas Danu. “Pindah ke kamar, jangan tidur di sofa. Besok harus bangun jam empat pagi sebelum orang-orang datang,” titahnya, malam ini aku tidur dengan Mas Danu di kamarnya sebab kamarku tengah ditempati Sashi. “Udah siap belum?” “Siap nggak siap harus siap,” sahutku yang kemudian bangkit untuk pindah ruangan. Mas Danu definisi sempurna yang paling tepat, bagiku. Tanpa harus menjabarkan apa-apa lagi, Mas Danu mutlak sempurna. Dia berhasil menjadi seorang kakak yang bertanggung jawab atas segala tugastugasnya, dia sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik pula. Aku mengharapkan kebahagiaan yang pantas untuk Mas Danu dapat setelah semua yang dia lakukan demi kebahagiaanku selama ini. Apa pun yang menjadi
keputusannya, aku berusaha untuk menerima dan turut bahagia; seperti apa yang dia lakukan untukku. Agaknya ribuan terima kasih tidak akan bisa menggantikan jasanya, jelasnya ... aku bersyukur atas kehadirannya dan merasa beruntung bisa memilikinya sebagai kakakku, kakak yang juga berperan sebagai ayah-ibu, dia serba bisa dan selalu membuatku merasa cukup. Aku menyayanginya, tentu saja. Harapan yang paling besar dan dalam, kuminta pada Tuhan untuk tidak mengambilnya dariku, cukup ayah dan ibu yang pergi dari hidupku lebih dulu. Kalau aku bisa menawar takdir, aku mau akulah yang lebih dulu pergi. “Selamat malam, selamat tidur, Mas Danu ....” lirihku.
PROFIL PENULIS Hallo kawan kawan semua kenlin nama Aulia Novi Nuranisa, Sekarang menduduki bangku kelas sebelas ips 4 di MAN 1 Bekasi. Lahir di kota Brebes pada 10 November tahun 2004. Menulis merupakan hobi saya sejak SMP, dimulai dari sering menulis puisi hingga sekarang aktif menulis cerita bergenre alternate universe di twitter. Saya harap hasil imajinasi dan karya saya bisa dinikmati dan dihargai oleh siapa pun yang membaca.
HUJAN DAN SECANGKIR KOPI Bunyi lonceng yang terletak di pintu masuk kafe menandakan datangnya pengunjung. Gadis berambut sebahu dengan seragam putih abu yang dibalut outer rajut berwarna marun datang dengan sepatunya yang basah dan sedikit lusuh. Tangannya mengusap-usap roknya yang kebasahan akibat kecipratan air. Pukul dua siang, Jakarta dibasahi hujan yang jatuh dengan deras ditemani angin yang semakin membuat udara menjadi dingin. Setelah memesan minuman, gadis itu pun berjalan menuju kursi yang menghadap ke sebuah jendela. Bibirnya yang tipis membentuk senyuman. Entah mengapa hatinya merasa lega sebab kursi yang ia duduki selama tiga hari belakangan ini kosong tidak ditempati. Lalu duduklah ia, matanya yang sayu menatap lurus memperhatikan embun dibalik kaca sambil sesekali
menghela napas berat. Dengan pikiran yang kacau ia menopang dagunya sambil melamun. Matanya nyaris tak mengedip memperhatikan rintik-rintik air hujan yang jatuh. “Matcha latte.” Suara itu menyadarkan lamunan Anyelir, si gadis berambut sebahu. Anyelir spontan menengok ke samping kiri dan mendapati lelaki yang—tidak terlalu asing dalam ingatannya. Ia terdiam beberapa saat memperhatikan lelaki di sampingnya itu. Lelaki berpostur tinggi, rambut lurus yang agak gondrong, alis yang tebal, mata yang agak belo, juga hidung yang mancung. Lelaki itu memakai sweater abu muda dengan bawahan jeans berwarna navy. Anyelir langsung mencoba mengingat-ingat wajah lelaki ini yang sepertinya sudah pernah ia temui beberapa waktu yang lalu. Sadar dari itu, Anyelir segera
mengambil alih minuman dari tangan si lelaki dan mengucapkan “terima kasih.” Lelaki itu mengangguk lalu berbalik badan pergi entah kemana. Anyelir tak terlalu ambil pusing mengenai si lelaki misterius yang mengantarkan matcha latte miliknya. Pikirannya kembali tertuju pada nilai-nilai ujian yang menurun akibat memikirkan permasalahan keluarganya yang akhir-akhir ini sedang tidak baik-baik saja. Hal itu membuat Anyelir tidak dapat fokus sepenuhnya pada pelajaran. Anyelir benar-benar pusing sekaligus sedih dalam satu waktu, dua hal itu berhasil membuatnya gusar dan kesal tak keruan. Anyelir pikir dengan menikmati es matcha latte ini pikirannya akan sedikit tenang, ternyata tidak dan sama saja. Gadis itu melenguh sambil menurunkan kepala dan menempelkannya ke atas meja. Terdengar suara seseorang yang tengah terkekeh, Anyelir menyadari lalu sesegera mungkin mengangkat
kepalanya dan mencari seseorang itu. Tepat di sampingnya, seseorang terduduk menghadap Anyelir sambil menggenggam cangkir kopi, yang ternyata adalah ... si lelaki misterius itu! “Aneh,” gumamnya pelan sambil menggelenggelengkan kepala. “Aku?” tanpa ragu dan dengan percaya dirinya Anyelir menyeplos bertanya begitu saja. “Iya, kamu ...” lelaki itu menyipitkan matanya melihat batge nama yang terdapat diseragam Anyelir, “Anyelir Ayuningtyas.” lanjutnya. “Anye, panggil aja Anye.” “Faresta.” Lelaki itu menjulurkan tangannya memperkenalkan. Anyelir membalas juluran tangan dan mengangguk singkat lalu mengalihkan fokus dengan mengaduk-aduk es matcha latte miliknya.
“Suka matcha?” tanya Faresta yang ternyata masih memperhatikan Anyelir dari samping. “Lumayan,” “Mau kupesankan kopi?” “Nggak usah.” “Kenapa?” Anye mengangkat gelas berisi matcha latte miliknya. “Pertama, minumanku belum habis. Kedua, aku nggak suka kopi. Ketiga, setelah minumanku habis dan hujannya reda aku akan segera pulang. Terima kasih.” “Biasanya kalau sedang hujan-hujan begini orang-orang yang datang ke kafe akan lebih memilih untuk memesan secangkir kopi panas dibanding es matcha latte.” “Lalu?”
Faresta terdiam dan menyeruput kopi yang berada digenggaman tangannya. “Apa tidak bosan tiga hari berturut-turut pesan es matcha latte itu?” Anye membelalakkan matanya mendengar ucapan Faresta, bagaimana lelaki itu bisa tahu? Apakah dia penguntit? Pengagum rahasia? Atau seorang mata-mata? “Tentu nggak. Karena aku memang suka matcha.” jawab Anyelir agak sewot. Mendengar nada bicara Anyelir membuat Faresta tersenyum, gadis ini benar-benar menarik perhatiannya. Sudah sejak tiga hari lalu, Faresta memperhatikan Anyelir. Dihari pertama ia melihat gadis itu menangis tanpa mengeluarkan suara, dan dihari kedua Anyelir datang lagi, dengan mata yang terlihat sembap seperti orang habis menangis semalaman juga kantung matanya yang menghitam seperti orang yang kurang tidur. Dua hari itu, Anyelir datang hanya untuk sekedar duduk meminum matcha latte tanpa ditemani siapapun. Dan
kini tanpa disangka gadis itu datang lagi, tapi kali ini ia terlihat lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Hal ini tentu membuat Faresta penasaran pada Anyelir, gadis yang ia ingat pernah menolongnya diacara reuni SMA, ketika penyakit asma-nya kambuh. “Besok kamu datang lagi kesini?” tanya Faresta. Anyelir mengalihkan pandangannya, terdiam dan tak menjawab. “Kalau sempat, datanglah.” lanjut Faresta. Tak terasa hujan pun reda, Anyelir segera bangkit dari duduknya, berjalan menuju kasir dan segera beranjak keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Faresta menghentikan langkah Anyelir yang belum jauh dari kafe. “Anyelir, saya cuma mau ajak kamu minum kopi bersama, di sini.” “Aku udah bilang kalau aku nggak suka kopi.”
“Kenapa?” “Pahit!” Setelah mengucapkan itu Anyelir berlari secepat mungkin menjauhi dan meninggalkan Faresta, karena ia takut lelaki itu membuntutinya, lantas ia menghentikan taksi dan menaikinya untuk segera sampai ke rumah. Keesokan harinya, Faresta datang ke kafe pagi-pagi sekali. Bukan untuk meminum kopi melainkan untuk memantau keadaan di sana. Faresta adalah anak dari pemilik kafe ini, jadi wajar saja ia sering habiskan waktu di sini. Sudah satu minggu ia menggantikan posisi sang ayah di Jakarta, karena sebetulnya ia tinggal dan berkuliah disalah satu universitas di Yogyakarta. Waktu tak terasa dan hari sudah beranjak sore, ternyata Anyelir tidak kunjung datang. Faresta pikir gadis itu sibuk dan tidak sempat mampir kemari, tak apa, masih ada esok hari. Ia yakin Anyelir akan datang.
Harapan dan keyakinan itu ternyata tidak benar terjadi. Sudah satu Minggu lamanya Faresta menunggu Anyelir untuk datang, tapi nihil. Sebetulnya jikalau ia harus menunggu lebih lama—tidak masalah. Akan tetapi ia harus cepat kembali ke Yogyakarta. Dan hari ini adalah hari keberangkatan Faresta. Dua bulan kemudian. Tepat dibulan Desember, bulannya musim hujan. Sore itu setelah hujan reda, tiba-tiba saja ia rindu meminum matcha latte di kafe langganannya. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, ia pun sampai dan segera memesan minumannya pada seorang pelayan. “Matcha latte satu, atas nama Anyelir.” Setelah itu ia duduk dan tak lama pelayan datang membawakan pesanannya. “Oh iya, dua bulan lalu sebelum mas Faresta pergi ke Yogya, ia menitipkan surat ini,” Si pelayan menyodorkan secarik kertas putih yang hampir usang. Perlahan Anyelir membuka dan membaca surat itu,
Saya tidak pernah berharap kamu membaca surat ini, karena yang saya inginkan adalah berbicara langsung dihadapanmu. Anyelir, saya senang dapat dipertemukan kembali dengan kamu. Sebetulnya hari itu saya menghampirimu dengan niat untuk mengucapkan “terima kasih” saja, tapi ternyata belum sempat mengucapkannya kamu sudah terburu-buru untuk pulang. Terima kasih pernah menolong saya waktu itu. Dan, saya tidak tahu kenapa setelah saya menyuruhmu untuk datang kembali, justru kamu tidak datang. Tidak masalah, tidak apa-apa, saya memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kamu, tapi saya yakin pasti ada alasan yang membuatmu tidak datang, lagi. Anyelir, tiga hari itu saya memperhatikan dan menyaksikan kesedihanmu. Saya tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, tapi, percayalah, saya pun ada alasan mengapa menyuruhmu untuk datang kembali. Ingat, mengapa saya menawarkan secangkir kopi? Karena saya tahu matcha latte tidak cukup membuatmu tenang. Saya memang tidak bisa membaca pikiranmu, tapi saya
yakin pertengkaran terjadi di dalamnya. Gadis seusiamu tidak pantas terlalu larut dalam kesedihan, Anyelir, apa pun masalah yang menghampirimu, hadapilah. Memang tidak mudah menyelesaikan perkara hidup, maka dari itu, berusahalah. Jika gagal, bangkitlah. Jika terjatuh, bangkitlah kembali. Kamu boleh menangis karena lelah, asalkan jangan pernah merasa putus asa, karena seberat apa pun masalahnya pasti ada jalan keluarnya. Hidup memang terkadang terasa pahit, tapi jangan jadikan itu sebagai alasanmu untuk takut melangkah. Tuhan tidak pernah memberikan ujian melebihi kemampuan hambanya, Anyelir, jadi bersabarlah, karena semua indah akan ada pada waktunya. Walaupun terdengar klise, tapi memang benar adanya. Dalam menghadapi persoalan hidup yang tiada habisnya, juga untuk bisa menyelesaikannya, tolong jangan menyimpulkan apapun sebelum kamu mencoba dan melakukannya sendiri. Seperti kopi pahit yang kamu bilang, padahal tidak semua kopi rasanya pahit. Anyelir, apakah egois kalau saya berharap dipertemukan lagi
denganmu? Karena sejujurnya masih banyak hal yang ingin saya bicarakan. Egoiskah saya yang menginginkan duduk berdua denganmu, berbincang sambil menunggu hujan reda dan menikmati kopi bersama? Saya rasa dengan itu saya dapat berterima kasih, dan mungkin kamu juga akan lebih mengerti makna hujan dan secangkir kopi yang saling melengkapi. Sampai bertemu kembali, Anyelir. Rasa bersalah menghampiri Anyelir setelah membacanya, tapi andai Faresta tahu ia tak datang karena merasa benar-benar hancur mengetahui perceraian kedua orang tuanya. Anyelir merasa semua yang dikatakan Faresta bagai angin yang menenangkan dan air yang menyejukkan.“Maaf saat itu aku tidak sempat datang, terima kasih untuk surat berarti yang kamu tulis. Baik-baik di sana, Faresta. Dan semoga kita dipertemukan kembali.” ucapnya dalam hati.
BIODATA PENULIS Siti Alfira Febrianti, siswi MAN 1 BEKASI yang lahir di kota Sumedang pada tanggal 3 Februari 2005. Anak pertama dari tiga saudara. Saya hobi membaca, maka dari itu saya tertarik kedalam dunia kepenulisan. Tahun 2018 saya mulai menulis dan dipublikasikan dalam wattpad. Saya dapat menuangkan pikiran juga perasaan ke dalam tulisan, maka dari itu saya senang menulis. Dan saya bersyukur diberi kesempatan untuk ikut serta dalam antologi cerpen ini, karena dengan itu, karya yang saya tulis dapat dinikmati dan maknanya sampai kepada banyak orang. Mari berkenalan lebih dekat dengan mengunjungi ; Instagram @alfiraa.f, Wattpad @Alfira_F
MY MEMORIES : THE CASE Malam itu hujan mengguyur kota Jakarta dengan lebatnya. Tak lupa suara petir yang terdengar cukup menyeramkan. Sampai seorang pria yang tengah di sekap di rumah tua itu pun bergetar ketakutan di kala orang yang ada di hadapannya kini menggenggam pisau daging dengan darah itu. Pisau yang baru saja menguliti kaki nya. Lidah nya kelu suara nya pun tertahan di tenggorokan akibat kain yang menyumpal di mulutnya. Kini pria itu hanya pasrah kepada yang maha kuasa. JJJEEDDAARR Lagi dan lagi suara petir dan gemuru terdengar seakan untuk meredam isakan tertahannya. Sungguh, demi tuhan ia mengutuk pria di hadapannya. Siapa pun orang yang berada dibalik jas hitam itu, baik lelaki atau perempuan, dirinya akan tetap mengutuk orang itu. Dirasakan lagi di kaki sebelah kanan nya sebuah benda
yang dingin tengah menyayat kakinya. Untuk kedua kalinya iya merasakan perih yang luar biasa. Sementara orang di balik jas hitam itu hanya tersenyum bahagia dikala mainannya itu berteriak kesakitan. Dirinya tak mengindahkan teriakan itu dan asik menguliti tubuh mainan nya itu hingga ujung kepala. Dan mainan nya itu pun diam. Lagi dan lagi mainan nya itu sudah rusak suara nya, menurutnya. Jika bagi seorang yang berakal sehat pria itu sudah dinyatakan tak selamat alias sudah meninggal akibat di kuliti. Orang berjas hitam itu masih belum puas, dan ia merasa perutnya lapar, dan mulai berpikir tentang rasa daging dari mainan nya tersebut. Ia pun mulai memotong tubuh mainan nya itu dengan pisau daging di tangannya. Memotong dengan rapih layak nya seorang dokter bedah. Setelah selesai dengan kegiatannya dalam memotong tubuh itu, ia segera mengambil beberapa potongan dan ia masukkan ke dalam tak koper nya. Ia hanya mengambil kepala, kaki
kanan, dan organ bagian dalam mainan nya itu. sisa nya iya tak membawanya, ia biarkan saja sisa potongan itu disana. Lalu ia pun segera pergi dari sana dengan koper yang berisi potongan mainan nya dan juga pisau dapur yang tadi ia bawa. Saat itu hujan masih membasahi bumi Jakarta yang juga dihiasi dengan petir dan gemuruh dari langit. Orang itu pun keluar dari rumah kosong dan meninggalkan rumah kosong itu dengan bekas mainan nya itu. Kini malam berganti pagi, hujan pun mulai mereda dikala pagi menyingsing. Menampilkan bumi Jakarta yang basah sehabis di guyur hujan semalaman. Jalanan pun terlihat memiliki banyak genangan. Beberapa tempat pun ada yang terendam banjir, mengingat betapa padatnya Ibu kota itu. Seseorang yang tengah berjalan pun sedikit terheran-heran dengan sebuah genangan yang memiliki warna berbeda. Dirinya berpikir mungkin itu hanya lah cat yang luntur, tetapi bila di pikirkan lebih jauh tak mudah untuk hujan melunturkan cat tembok.
Sekali lagi orang itu memerhatikan lebih detail genangan itu. Ia baru mengetahui genangan itu tercipta dari aliran di sampingnya dengan warna yang sama namun lebih pekat. Karena genangan yang ia temukan warnanya sudah terbaru dengan air dari genangan lain. Ia yang penasaran segera pergi ke arah hulu dari aliran tersebut. Hulu dari aliran itu mengarah pada rumah kosong yang memang sudah lama tak berpenghuni. Orang utu sedikit ragu dikala mengingat rumor yang beredar di masyarakat tentang rumah ini. Namun ia segera menepisnya dengan rasa penasaran nya yang memuncak. Ia pun tiba di suatu ruangan, dan berapa terkejutnya ia. Di ruangan itu ada sebuah mayat tergeletak di lantai ruangan itu dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Bahkan orang itu saja sampai pusing dan mual saat pertama kali melihat. Ia segera pergi berlari keluar, sampai-sampai jatuh beberapa kali. Saat di luar ia berpapasan dengan beberapa warga lainnya yang sedang berjalan.
Para warga yang melihat seorang pemuda yang baru saja keluar dari rumah kosong dengan terburu-buru dan wajah yang pucat itu pun segera menghampirnya dengan sedikit panik. Mereka pun segera menenangkan pemuda tersebut, setelah pemuda itu sedikit lebih tenang, mereka pun mulai bertanya apa yang terjadi dan kenapa ia terlihat sangat takut saat keluar dari rumah kosong tersebut. "Hei nak, apa yang terjadi?" tanya salah seorang pria paruh baya dari rombongan warga tersebut. "Mengapa wajah mu pucat?" tanya nya lagi. Pemuda itu tak bisa berkata-kata, meski sudah sedikit di tenang kan oleh para warga itu, tetap saja hatinya masih gelisah. Bayangan mayat yang mengerikan itu masih melekat di kepala nya. Susah payah ia membuka mulut untuk menjelaskan pada yang lain. "A-aku, ta-tadi me-melihat ada....a-ada mayat di-disana" ujar si pemuda itu dengan susah payah sembari
menunjuk ke arah rumah kosong itu. Tangan nya masih gemetar saat ingin menunjuk ke arah rumah kosong itu. Sedangkan para warga yang mendengar ucapannya itu langsung saling tatap. Dan memutuskan agar beberapa dari mereka pergi kedalam untuk mengecek kebenarannya dan sisanya menunggu di luar kalau-kalau saja ada hal aneh terjadi nantinya. Saat warga-warga itu masuk kedalam mereka mulai menyium bau anyir. Sempat terpikirkan oleh mereka tentang hal-hal mistis. Setiap sudut ruangan mereka susuri dan sampailah mereka ke ruangan yang berada di samping dapur. Betapa terkejutnya mereka bahwa ucapan anak muda tadi benar adanya. Di lantai ruangan itu tergeletak sebuah mayat dengar keadaan yang sungguh mengerikan. Hanya ada tubuh yang sudah di potongpotong. Dan juga, beberapa organ dalam yang terurai
keluar serta darah merah pekat yang sudah terlihat agak mengering. Para warga pun yang berada di dalam segera keluar rumah untuk memberitahu apa yang mereka lihat pada yang lain nya. "Pemuda itu benar!" ucap salah seorang warga yang masuk ke dalam tadi. "Di-disana, ada mamayat" lanjutnya dengan tubuh bergetar, warga Laing yang ikut masuk ke dalam juga ikut bergidik mengingat apa yang di lihat oleh mereka di dalam sana. "Kalau begitu ayo kita lapor ke polisi sekitar" usul salah satu warga yang tadi menunggu di luar. Segera mereka melapor ke kantor polisi sekitar. Sesampai nya disana mereka pun menjelaskan secara detail apa yang baru mereka temukan. Setelah menerima laporan tersebut pihak polisi langsung turun ke lokasi dan tak lupa untuk menyegel lokasi tersebut. Polisi yang melihat kondisi mayat tersebut sangat mengerikan pun langsung
menyimpulkan bahwa ini adalah tindak kasus pembunuhan yang juga sempat terjadi beberapa waktu lalu. Meski sudah mengetahui pola pembunuhan sang pelaku, tetap saja para polisi sampai saat ini pun masih belum mengetahui siapa dalang dibalik pembunuhan berantai 4 bulan terakhir ini. Para polisi pun segera mengirimkan potongan tubuh itu untuk didalkukan otopsi. Mereka juga menyisiri lokasi guna menemukan petunjuk lainnya yang mengarah pada pelaku. Di rumah sakit lebih tepat nya di laboratorium, mereka sudah menerima potongan tubuh tersebut. Ini bukan lah kali pertama bagi mereka dan pihak polisi. Ya, sudah 4 bulan belakangan ini hal seperti ini terjadi. Sudah ada belasan korban yang mereka otopsi, dan ini merupakan korban ke 12 yang mereka temukan selama 4 bulan belakangan ini. Ini juga mengisyaratkan bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang pembunuh berantai. Pihak polisi pun meminta agar para warga untuk tetap
waspada, dan menyarankan apabila tidak memiliki kepentingan saat malam hari lebih baik berdiam diri saja dirumah. Kembali ke laboratorium, disana para dokter ahli forensik dan bedah tengah berusaha mengidentifikasi potongan tubuh tersebut. Salah seorang dokter disana yang merupakan seorang wanita muda izin untuk pergi ke kamar mandi. Setelah sampai disana ia pun bersandar pada pintu masuk. Kini ia benar-benar merasakan detak jantung nya yang berdebar kencang, hati nya gelisah, pikirannya tak fokus. Sungguh, ia sangat terkejut dengan hasil yang di keluarkan pada sample darah tersebut. Ia berusaha untuk berpikir jernih namun tetap tak bisa. Pria itu, mengapa pria itu yang menjadi target orang itu selanjutnya? pikir si wanita muda itu. Ia merasa kehilangan dikala pria yang belakangan ini menemani dan menghibur nya telah pergi selama nya. Dia tahu siapa pembunuh nya, tapi ia memilih diam. Bukan karena ia takut, tapi ia justru ingin
tak ada korban lagi. Cukup kedua orang tua nya dan sang paman yang menjadi korban. Kini tubuh wanita itu bergetar, ia tak kuasa menahan tangisan dan iya menutup mulut agar isak kan itu tak terdengar oleh orang lain. Dengan sekuat tenaga ia pun mulai menenangkan hatinya. Ia pun segera membuka pintu dibelakang nya dan segera pergi dari tempat itu. Di laboratorium seorang wanita muda masuk ke dalam dan menghampiri salah seorang profesor disana. "Pak Karina tidak ada pak" ucap wanita tersebut. Yang diajak berbicara pun mulai menoleh kearah yang mengajaknya berbicara. "Kau sudah mengecek nya dengan benar?" tanya pria tua itu. Wanita muda yang menjadi lawan bicara pria tua itu menganggukkan kepalanya penuh keyakinan. Mata nya masih berfungsi dengan baik, pikir si wanita muda. Profesor itu hanya menghela napas. Apa lagi yang terjadi pada gadis itu?. Hati sang profesor saat ini
menjadi khawatir. Ia menyuruh wanita muda yang juga muridnya di kelas itu untuk kembali ke pekerjaan nya dan ia pun pamit untuk keluar sebentar. Ia dia harus segera menemukan anak gadis nya itu sebelum hal-hal yang tak di ingin kan terjadi. Sementara di rooftop seorang wanita muda tengah menikmati angin yang menerpa wajah nya lembut. Ia pun merentangkan tangannya. Dirinya tak peduli dengan pijak kan nya saat ini. Ya, ia berburu di pagar pembatas itu, niat nya sudah bulat, dirinya harus segera mengakhiri ini lebih cepat, ia juga terpaksa mengorbankan dirinya sebagai yang ke-13 agar orang tersebut tak lagi membunuh atau melakukan hal seperti ini lagi. Ia sudah cukup muak. Ia pun berniat menjatuhkan dirinya sendiri dari atas gedung tempat orang-orang sakit dirawat itu. "Ini hal bodoh kau tau".
Suara itu, suara yang membuat dirinya menjadi frustasi akibat perbuatan yang dibuat olehnya. Ia bersumpah tak kan memaafkan orang itu. "Kau mau aku mengendalikan mu lagi?". Suara itu kian membisik di telinganya. Ia bersumpah untuk tak kali terikat oleh orang tersebut namun apalah daya, dirinya tak bisa lepas dari orang itu. Mengapa tuhan seperti ini pada ku, hati si wanita muda itu bimbang. Ini seperti deja vu bagi nya. Entah tarikan dari mana kini dirinya seakan ditarik kebelakang oleh seseorang, dan benar saja saat ia menoleh, ia melihat pria tua yang sudah ia anggap sebagai ayah itu tengah menggenggam tangan kiri nya kuat. Ia pun terjatuh di pangkuan pria tua itu. Setelah nya ia berdiri, tubuh nya yang masih sedikit limbung pun di bantu oleh pria tua itu agar tegak kembali. “Bagaimana Anda mengetahui saya disini?” tanya wanita muda itu. “Inting seorang ayah” jawaban yang di lontar kan oleh pria tua itu mampu membuat wanita muda tersebut bergetar hatinya. Dada nya
merasakan sesak dikala mendengar ucapan pria yang 20 tahun lebih tua dari nya itu. Bayangan-bayangan di masa lalu kini terputar otomatis di kepala nya. Dirinya ingin tak mengingat hal itu, tapi semakin di lupakan kejadian tersebut semakin terasa baru dialaminya. “Lebih baik kita kembali ke bawah, tak baik disini berlama-lama” ajak si pria tua itu. Pria itu pun merangkul tangan yang lebih muda. Wanita muda itu hanya terdiam, mulutnya seakan terkunci, Lida nya kaku. Lagi dan lagi selalu pria ini yang menyelamatkan, ujar wanita muda itu dalam hatinya. Seharusnya ia tetap bertahan, karena bagaimana pun pria tua disamping nya ini ada orang pertama yang memahami dirinya selain dari si korban yang kini sedang ia periksa. “Terima kasih” pada akhirnya pun wanita itu bisa mengucapkan kata yang seharusnya ia katakan sedari tadi. Sementara pria tua itu hanya tersenyum sembari menepuk pelan pundak nya. Keduanya pun menurunin anak tangga dengan keadaan yang sunyi senyap.
Di rumah kosong itu kini terpasang garis polisi serta beberapa anggota penyidik dari kepolisian yang menyusuri setiap sudut rumah itu untuk mencari barang yang mencurigakan. Namun seperti biasanya, nihil. Taka ada satupun petunjuk yang di temukan disana. Meski begitu para polisi tersebut masih tetap berharap dan berusaha untuk bisa menemukan petunjuk selanjutnya, yang mengarah pada pelaku. Saat dua anggota polisi tersebut setiap inci dari ruangan dimana mayat di temukan, mereka melihat ada nya jejak tangan yang berada disudut ruangan, dan tangan tersebut tertutup oleh lemari besar. Mereka berpikir bahwa sepertinya kasus pembunuhan kali ini menggunakan banyak orang. Namun mereka juga kurang yakin karena pola pembunuh si pelaku tersebut terkadang terlihat seperti pembunuhan yang dilakukan sendiri dan terkadang terlihat seperti pembunuhan yang dilakukan berkelompok.
Setelah lemari itu di singkirkan mereka melihat jelas bahwa itu memang benar sebuah telapak tangan, namun telapak itu tak sempurna karena terlihat seperti sudah di kerok dengan benda tajam. Seakan memang sengaja agar sidik dari telapak tersebut tidak bisa terindentifikasi oleh alat pelacak. Meski begitu kedua polisi yang menemukan telapak tadi kemudian melihat kebawah untuk menemukan serpihan dari tembok yang di kerok itu. Nihil, lagi-lagi seperti itu. Bagaimana bisa seorang pembunuh bisa serapih ini, ya mungkin saja dilakukan nya secara berkelompok, tapi jika pembunuhan itu dilakukan sendirian bagaimana? Mustahil, pikir kedua polisi tersebut. Tetapi bisa saja itu terjadi apabila sang pelaku ada seorang pembunuh berantai. Kedua polisi tadi segera melapor pada sang kapten. Sang kapten yang menerima laporan tersebut segera mendatangi tembok yang di maksud dan mulai mengambil gambar untuk di identifikasi. Meski pun dirinya tahu hal tersebut akan membutuhkan kan waktu yang cukup lama, karena jejak telapak tersebut terlalu sempurna.
Malam pun tiba, seorang polisi muda tengah bekerja lembur, dirinya terpaksa lembur akibat dari kasus pembunuhan hari ini. Ia mulai menempelkan foto yang diambil dari tkp. Ia buka setiap halaman dokumen dan menilik lebih detail isi dokumen tersebut. Hingga seseorang menyodorkan kopi nya. Polisi muda itu menoleh, dilihatnya rekan senior nya itu yang juga ikut duduk bergabung dengan dirinya. “Fokus boleh lang, tapi harus ingat badan juga butuh istirahat” ucap polisi senior itu. “Hehehe, iya bang. Ini terima kasih kopi nya, jadi ngrepotin” ujar yang lebih muda merasa tak enak. “Ya tenang saja, kau seperti tak mengenal aku saja” ucap polisi senior itu dan menyeruput kopi milik nya. “Oh iya gas, aku turut berduka cita atas meninggal nya sahabat mu itu” ucap si polisi senior pada pemuda disamping nya. Bagas, Polisi muda itu hanya mengangguk lesu, sejujurnya kini hatinya tengah hancur akibat ditinggal sahabat nya yangs e dari kecil sudah bersama. Ia mengingat saat dirinya
dan mendiang sahabat nya itu bertemu, di kelas saat masih duduk di sekolah dasar itulah kedua nya bertemu. Bagas yang sebenarnya merupakan anak yang pemalu dan sering menyendiri di pertemukan oleh seorang anak lainnya dengan kepribadian yang terbalik dari nya. Andra, nama anak itu yang nantinya akan menjadi sahabat nya sampai sang sahabat meninggal dunia. Bagas masih di tak bisa menerima kematian sahabat nya yang mengenaskan itu. Bahkan dia sempat mengamuk dirumah sakit saat hasil otopsi menyatakan bahwa DNA dari potongan tubuh itu cocok dengan DNA milik Andra. Mereka mengetahui dari riwayat pendonor darah yang setiap bulan rutin mendonorkan darah nya ke rumah sakit tersebut. Itulah yang menjadi kan bekerja lembur sekarang untuk mencari tahu siapa pelaku nya. Dia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa dia harus membawa pembunuh itu ke makam Andra baik dalam keadaan hidup atau mati.
“Saya pamit dulu ya gas, udah mau tengah malam ini, saya izin telat sebentar saja ke istri saya” ucap sang senior, Amin, itulah nama senior nya yang kini sudah berjalan menuju keluar kantor. Bagas lagi-lagi menghela napas nya, saat ini ia ingin sekali menangis namun ia tak boleh, ia tak ada waktu untuk menangis. Ia harus tetap tegar demi mengungkapkan siapa pelaku pembunuhan sang sahabat. Bagas teringat dengan sidik jari yabg ditemukan oleh nya dan senior nya tadi. Ia pun segera mengirim kan sebuah email berisi foto tersebut ke bagian penyidikan fotografi. Kini malam berganti pagi, sang raja malam diganti kan oleh sang raja siang, hari pun silih berganti. Sudah seminggu sejak kejadian pembunuhan itu, dan kini Bagas masih belum mendapat jawaban dari rekan-rekan nya di bagian penyidikan fotografi. Dia pun memutuskan menuju ruangan sang atasa untuk meminta izin melihat barang bukti lain nya. Setelah mendapat izin ia hanya menemukan beberapa foto yang diambil dari
tkp saja, tak ada pakaian, tak ada barang-barang korban, terkecuali kain yang diduga untuk menutup mulut korban. Kain ini juga sudah di periksa oleh tim forensik dan hasilnya sama, menunjukkan kecocokan dengan DNA miliki Andra sahabatnya yang sebenarnya juga polisi seperti dirinya. Namun, entah bagaimana sahabat nya itu tiba-tiba menghilang dan tak bisa di hubungi. Terakhir kali dirinya menghubungi sang sahabat yaitu sekitar 6 hari sebelum sahabatnya itu benar-benar hilang. Jika bertanya apakah Bagas sudah menelpon kembali nomor Andra selanjutnya? Jawabannya sudah, dan hasil nya tetap nihil, tak ada yang menjawab. Bahkan 1hari setelah dirinya menghubungi Andra, nomor sang sahabat selalu dalam status di luar jangkauan. Ia pun sudah mengecek tracking dari jejak nomor sang sahabat, dan hasil nya tidak ada pancaran sinyal yang di biasa nya ditunjuk apabila seseorang ingin melacak keberadaan dari sebuah nomor. Ia sempat putus asa, namun ia harus tetap berusaha demi sang sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri itu.
Bagas pun pergi ke kontrakan tempat mendiang sahabatnya itu tinggal. Berharap menemukan petunjuk disana. Namun saat dia beristirahat sejenak iya melihat sebuah buku yang terselip di antara kabel di belakang tv saat ia ingin menyalakan tv tersebut. Diraih nya buku itu, namun saat sebelum di buka, tiba-tiba dari arah gerbang depan kontrakan terdengar ada yang datang, ia yang memang datang tanpa meminta izin atasan itu pun panik. Itu karena tempat yang sekarang ia kunjungi itu adalah tkp selanjutnya yang juga akan di lakukan penyelidikan. Ia teringat jikalau kontrakan mendiang sahabatnya itu memiliki akses keluar melalui pintu belakang, ia pun segera pergi kesana agar tidak ketahuan. Dan untungnya saja ia pun berhasil lolos dari sana tanpa ketahuan. Bagas pun segera pergi dari sekitaran kontrakan tersebut dengan buku harian milik sahabatnya itu. Meski ini merupakan pelanggaran kode etika penyidikan tetap saja ia akan nekat dan tak memikirkan konsekuensi nya.
Namun sial nya ia cukup ceroboh sebagai polisi yang sering melakukan penyidikan. Ya, dia meninggalkan sidik jari nya pada benda-benda yang barusan ia pegang disana dan tak lupa jejak sepatu yabg tercetak di lantai berdebu itu. Para polisi yang menemukan banyak kejangalan disana pun merasa bahwa itu semua dilakukan oleh sang pelaku untuk menghilangkan barang bukti lainnya di rumah korban. Namun ada satu orang polisi disana yang masih kurang yakin dengan pendapat para rekannya itu. Karena biasanya si pelaku selalu melakukan segala nya dengan rapih tanpa kecerobohan sama sekali. “Bisa saja pelaku memang sengaja melakukan hal ini” ujar salah seorang polisi disana. “Tapi untuk apa?” tanya polisi senior itu yang merasa ragu dengan kebanyakan di rumah itu, dia adalah Amin. Disisi lain Bagas tak menyadari bahwa dirinya di intai oleh seseorang dengan baju serba hitam dan topi hitam serta masker hitam. Hari itu memang sudah siang namun orang berpakaian serba hitam itu tak peduli, dirinya tetap
mengikuti pemuda bernama Bagas itu sampai ke tempat tujuan nya. Yang ternyata tujuan dari Bagas adalah rumah nya sendiri, ia tinggal disana sendirian. Sesampai nya di rumah Bagas segera mengunci pintu rumah nya dan menuju kamar nya untuk menyelidiki apa isi buku harian sahabatnya itu. Didalam hati ia selalu mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya kepada mendiang sahabatnya karena sudah berani membuka buku harian milikinya. Halaman demi halaman ia membuka nya. Di awal diary tersebut selalu menceritakan hal-hal yang biasa nya di alami sang sahabat juga terkadang ada catatan kecil seperti harus membayar kontrakan dan hal-hal yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Sampai pada halaman dimana sang sahabat menuliskan bahwa pada saat itu dirinya sedang jatuh cinta pada seorang dokter muda. Dihalaman selanjutnya pun juga tertulis perasaan sang sahabat yang kian hari semakin mencintai wanita muda tersebut, sampai akhirnya Bagas mengetahui nama