"Makasih papa sayang". Ucap ku sambil mencium uang dari papa. Nilai uang dari papa lebih banyak dari yang diatas meja tadi hohoho. "Sama sama anak papa". •••• Waktu sudah berlalu 15 menit, akhirnya mobil papa memasuki kawasan sekolah ku. Sudah banyak siswa siswi yang berdatangan. Papa masih menyetirkan mobilnya menuju ke lobi sekolah. tidak sedikit yang menyapa nya, "assalamualaikum pak Rangga". "Selamat pagi pak". "Dadah papa, Febby cari ilmu dulu ya". Pamit ku sambil mencium tangan papa. "Belajar yang benar ya, jangan terlalu capek". "Siap bos".
"Assalamualaikum pah". Salam ku sambil menutup pintu mobil. "Waalaikumsalam, papah berangkat ya". Pamit papa sebelum menjalankan mobilnya. "Hati-hati ya pa". Kata ku dengan tangan melambai-lambai. Setelah mobil papa menghilang dari pandanganku, aku melangkah masuk, tapi tiba-tiba... "FEBBY". Panggil seorang wanita dari kejauhan. Dia berlari kearah ku dengan senyum lebarnya. Dia Dinda Aprilia, sahabat ku. Sahabat nya bukan sahabat abal abal, aku dan Dinda sudah bersahabat sedari kecil, semenjak papa mama ku dan ayah bunda Dinda mempertemukan kita. Dari TK sampai sekarang selalu satu sekolah, entah kenapa seperti tidak bisa dipisahkan, yang lebih puncak nya lagi itu di bangku SMA, sedari kelas 10 sampai kelas 12 selalu sekelas,
tapi aku tidak pernah bosan selalu bersama nya, begitu juga dengannya. Orang tua Dinda adalah rekan bisnis sekaligus sahabat SMA papa. Om Andy juga sama seperti papa, dia memiliki perusahaan nya sendiri dan juga hanya punya satu anak, yaitu Dinda. Aku membentangkan tangan ku agar Dinda bisa memelukku. Karena saat dia turun dari mobilnya dan berlari ke arah ku dia langsung memberikan isyarat kalau dia ingin memeluk ku. "Apa kabar hari ini?". Tanya ku. "Alhamdulillah happy". Aku dan Dinda pun kemudian melangkah menuju kelas 12 IPA 1. Saat kita sudah berada di kelas, aku dan Dinda memulai perbincangan, mulai dari rencana makan sepulang sekolah sampai ke pelajaran hari ini.
"Din, nanti jadi?". Tanya ku sambil menatap wajah nya. "Jadi dong". "Berdua aja nih?". "Sama Azmi hehe". Jawab nya. Sudah ku tebak, pasti Dinda mengajak pacarnya itu. "Din, kamu mau tetap berpacaran? Pacaran itu kan dosa". Aku mulai menceramahi nya. "Eem itu..". Dinda belum sempat menyelesaikan perkataannya tapi langsung ku sela. َء ,Din " ۤ َو َسا ۗ ٓى اِّنَّ ٗه َكا َن فَا ِّح َشةً َربُوا ال زِّ نٰ َوََل تَقْ ْي ًًل. ِّ Allahَ سب bukan hanya melarang kita untuk berzina, tapi Allah melarang kita untuk mendekati perbuatan zina. Berpacaran itukan mendekati zina, putusin lah azminya".
Dinda hanya melongo mendengarkan ku berceramah panjang lebar. "Ibu Febby yang insyaallah menjadi penghuni surga aamiin, dengerin dulu saya ngomong. Aku tuh mau kasih tau kamu feb kalau aku ngajak Azmi itu untuk membicarakan hal itu, aku ingin minta putus dari dia karena aku sudah sadar itu adalah perbuatan yang sangat tidak si sukai Allah". Kata Dinda yang ikut panjang lebar. "Eeh hehe, maaf maaf. Terus kenapa kamu ngajak aku juga?". Tanya ku. "Suapa suasananya gak canggung feb, supaya kamu bisa bantu aku jelasin ke dia juga, hehe". Jawab nya dengan mata berbinar menatap ku. "Ooh seperti itu tujuannya. Kalau begitu aku ingin ada bayaran nya". Kata ku ditegas-tegaskan tapi hanya bercanda.
Dinda tertawa melihat tingkah ku. "Siap Bu bos, kau mau bayaran apa? 1M?. Tanya nya seperti iya saja dia akan memberikan ku uang sebanyak itu. "Banyak uang nih ibu Dinda ini". Ledekku sambil tertawa. "Lebih tepatnya uang ayah sih". Jawabnya dengan tawanya yang lepas. "Kamu sudah mengerjakan PR kimia?". Tanya ku. Tawa nya langsung terhenti setelah mendengar pertanyaan ku dan langsung menegakkan badannya. "A...ada PR?". "Ada Din, dua soal". "Aku belum lagi, Febby..tolongin, ajarin aku". Dia merayu ku dengan memeluk tangan ku. "Ayoklah, keluarin bukumu". Pintah ku dengan senang hati.
Dinda itu tidak suka meminta jawaban, dia lebih suka jika dia di ajarkan cara menjawab nya, karena menurutnya itu jauh lebih baik, dia menjadi lebih paham dan orang yang mengajarkan nya pun akan menjadi semakin paham. ••••• Kring Kring Bel pulang sekolah pun akhirnya berbunyi. Tidak sedikit siswa siswi yang berhamburan meninggalkan kelas masing-masing. Sedangkan aku dan Dinda sedang menunggu sopir Dinda untuk menjemput kita ketempat yang sudah di tuju. Tin "Neng Dinda, neng Febby". Panggil supir nya Dinda.
Aku dan Dinda segera menghampiri mobil milik Dinda. Kita tidak bisa berlama-lama, karena banyaknya mobil siswa siswi yang berantrean untuk menjemput. "Jadi neng ketempat biasa?". Tanya supir. "Jadi pak". Mobil pun melaju dengan santai ke tempat tujuan. ••••• "Azmi, sini!". Panggil Dinda saat dia melihat pacarnya itu sedang mencari keberadaan kita. Azmi segera menghampiri meja ku dan Dinda berada. "Hi Dinda, hi Febby". Sapa nya. "Hi Azmi". Jawabku kemudia kembali beralih melihat menu makanan yang berada ditangan ku. Aku merasakan ada sebuah tangan yang menyolek pinggang ku. "Tidak apa-apa, jangan ragi. Kamu sudah
benar kok". Ujar ku saat melihat muka sahabat ku sangat gugup. "Huff, bismillah. Azmi". Mulai nya. "Kenapa Din?". Tanya Azmi dengan wajah tersenyum. "Eem..sebelumnya aku minta maaf mungkin ini akan menyakiti hati mu". "Oke akan ku maafkan, ada apa?". Muka nya terlihat sangat santai seolah-olah dia sudah tau apa yang akan terjadi. "Eem..kita putus saja ya, aku sadar kalau ini tidak baik, kita sangat di larang untuk mendekati zina". "He'em". Azmi hanya menyahut singkat. "Aku yakin, kalau kita berjodoh pasti Allah akan mendekatkan kita kembali walaupun kamu dan aku berada dalam jarak yang sangat jauh".
"Oke, tidak masalah. Aku akan menunggu dan akan meminang mu". Jawaban Azmi sangat santai, tapi terdengar sangat serius dan tulus. ••••• Perbincangan hari itu berakhir dengan persetujuan kedua belah pihak dan juga makan sore. Dinda dana Azmi resmi putus. Hari ini adalah hari kelulusan. Aku dan Dinda sudah berada di sekolah. Teman-teman yang lain juga sudah berada di sekolah bersama orangtuanya. Papa mama tadi sedang berbincang dengan ayah bunda nya Dinda, Kemungkinan mereka sekarang sudah berada di aula. "Sst Din, aku sudah cantik belum?". Tanya ku sok cantik. "Iih feb, memang nya harus seperti itu ya gaya nya". Dia hanya tertawa melihat tingkah ku. "Cantik
kok, cantik banget malah". Lanjutnya sambil memegang pipiku. "Uuuh sayang deh sama Dinda". Aku pun memeluknya. "KEPADA SELURUH MURID KELAS 12 UNTUK SEGERA DATANG DAN BERKUMPUL DI AULA". Pemberitahuan dari kepala melalui speaker yang membuat semua murid seketika terdiam. "Baik pak". Jawab teman-teman sekelas ku saat suara itu menghilang. "Yuk feb". Ujar Dinda langsung menarik tangan ku. "Eeh Dinda..tunggu!". Teriak ku. Dinda langsung menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah ku. "Kenapa?". Tanya nya. "Itu.. toga ku ketinggalan". Jawabku sambil menunjuk togaku yang berada di atas meja Dinda.
"Aduh dasar pikun". Ejek nya sambil melepas tangan ku. "Yuk". Aku dan Dinda pun akhirnya sampai di aula sekolah. Di dalam sudah tersusun kursi-kursi yang sudah di tetapkan nama-nama siswa nya dan juga sudah berkumpul para orangtua murid. Aku dan Dinda langsung mencari nama kita dan akhirnya ketemu, tapi yah sudah kuduga bahwa kursi ku dan Dinda berjarak dua kursi, aku tidak bersampingan dengannya. "Murid-murid, silahkan duduk di kursi masingmasing, acara akan segera dimulai!". Kata Bu Anita menggunakan mikrofon yang di pegang nya. Beliau adalah wali kelas ku, wali kelas 12 IPA 1. Semua murid segera duduk di kursi mereka, tidak membutuhkan waktu lama acara pun di mulai dengan ber-MC kan Bu Anita.
Acara sudah berlangsung selama setengah jam, mulai dari pembacaan Kalam ilahi dan beberapa persembahan dari adik kelas. Dan sekarang berlangsung pembacaan peraih nilai tertinggi dalam ujian sekolah. "Peraih nilai sempurna dalam mata pelajaran agama Islam adalah...". Bu Anita menggantung kata-kata nya, membuat murid-murid yang mendengar nya menjadi tegang. "Dinda Aprilia" "Febby Aulia" "Dan Muhammad Azmi. Dipersilahkan kepada murid yang di sebut nama nya untuk naik ke atas panggung". Tidak ku sangka bahwa nama ku terdapat dalam nama peraih nilai sempurna, yang membuat ku berkontak mata dengan Dinda, kita berdua sama sama tidak menyangka. Aku, Dinda dan Azmi pun segera naik
ke atas panggung untuk diberi medali dan piala serta berfoto. ••••• Acara di aula akhirnya berakhir. Aku dan Dinda sangat tidak menyangka ternyata nama kita banyak mendapat penghargaan. "Selamat ya Dinda, Febby. Nama kalian seperti nya membajak penghargaan deh tahun ini, banyak banget". Kata temen-teman sekelas ku dan Dinda. "Terimakasih teman-teman". "Kita duluan ya, dah". Kata mereka sambil melambaikan tangan. "Dah". Misi ku dan Dinda sekarang adalah mencari papa mama dan juga om Andy dan Tante Dilla. "Papa..mama..". Panggil ku saat sudah menemukan mereka.
"Ayah...bunda..". Panggil Dinda. "Wah kalian hebat, banyak meraih penghargaan". Kata om Andy. "Alhamdulillah Om, ini adalah rezeki dari Allah". Jawab ku. "Alhamdulillah". "Kita foto dulu yuk". Kata mama sudah menyiap kan kamera nya. "Yuuk". Semuanya langsung mengambil posisi dan...cekrik cekrik. Aku kembali ke kelas bersama Dinda setelah berfoto dengan keluarga. Saat tiba dikelas aku sangat terkejut mendapati meja ku dan meja Dinda dipenuhi oleh hadiah-hadiah, seperti banyak buket bunga, coklat, baju, buku, dan masih banyak lagi.
Aku akhirnya membuka suara untuk bertanya tentang hadiah ini. "Guys, ini dari siapa.". Anak-anak sontak melihat kearah ku dan langsung menjawab pertanyaan ku. "Itu buat kalian berdua dari semua kelas 12 MIPA, bahkan anak IPS ada yang sampai ngasih buat kalian tuh". Aku sangat terkejut karena aku tidak akan menyangka akan mendapatkan hadiah-hadiah ini, bahkan aku tidak pernah menyangka bahwa aku dan Dinda begitu populer? Hihihi. "Makasih banyak ya semuanya". Ucap ku dan Dinda sangat terharu. "Sama sama Febby, Dinda. Selamat ya buat prestasi nya, kalian itu luar biasa". Kata anak-anak. Kegiatan hari ini sudah selesai, mulai dari berfoto dengan teman-teman kelas dan teman-teman seangkatan
dan lainnya. Sekolah sudah mulai sepi, anak-anak sudah pada berhamburan pulang dan berlibur. Aku dan Dinda berencana ingin pulang. "Din, hadiah mu boleh untuk ku?". Tanya ku. Sebenarnya dalam hati ini sangat malu untuk memintanya. "Tentu saja boleh feb, semua hadiah ku untuk mu saja". Jawab Dinda dengan memberikan semua hadiahnya kepadaku. Aku terkejut, sangat terkejut. "Kau serius?". "Serius feb, kamu kan sahabat ku, sahabat yang bukan ku kenal baru baru ini, semua yang kamu mau pasti akan aku kasih". Katanya. Aku sedih sekaligus bahagia karena bisa memiliki Dinda. "Thank you so much Din". Aku langsung memeluknya. "Eits, jangan semuanya, tinggalkan dua buket bunga, dan foto-foto jangan kamu bawa oke".
"Siap Bu bos". ••••• Berbulan-bulan telah berlalu begitu cepat dan tanpa sadar aku dan Dinda sekarang sudah berkuliah. Aku dan dia kuliah di kampus yang sama lagi, hahaha memang dasar. Tapi aku dan dia tidak berada di jurusan yang sama, aku masuk jurusan ilmu gizi dan Dinda di jurusan manajemen. Tersisa satu semester lagi untuk ku dan Dinda lulus. "Febby". Aku mencari asal suara itu, aku sangat mengenali panggilan itu, ya itu Dinda. "Hai". "Ada apa Din?". Tanya ku.
"Ini ada hadiah untukmu". Jawab nya sambil memberikan hadiah yang sudah terbungkus di tangan nya. "Wah, hadiah lagi?". "Ish kamu ini, memang nya kenapa? Aku akan memberikan semuanya untuk mu". Jawab nya dengan ekspresi cemberut. "Semuanya untukku?". "Iya". "Kalau begitu, berikan pria yang sedang mendekati mu itu untuk ku". Kata ku tanpa ragu. "Hah? Ka..kamu ingin Arya?". Tanya nya sangat terkejut dengan permintaan ku. "Iya aku mau Arya, boleh tidak?". "Tentu saja boleh Febby, kamu kan sahabat ku". Jawab nya. walaupun terdengar ikhlas, tapi aku tau
bahwa hatinya berat untuk memberikan nya, karena Arya adalah cowok yang saat ini sedang mendekati nya dan berhasil membuatnya nyaman. "Thank you Dinda". Ucap ku sambil memeluk Dinda erat. "Sama sama bestie". ••••• Kelulusanku dan sahabat ku sudah kita lalui, sekarang saat kita menjalani pekerjaan kita. Aku mendengar kabar bahwa Dinda sudah keterima di perusahaan ayahnya. Aku berencana untuk mengunjungi nya. Sebelumnya aku menelepon Dinda untuk mengabari nya kalau aku ingin berkunjung. Assalamualaikum, Dinda aku ingin datang ke kantor mu ya". Kata ku dalam telepon.
Setelah mendapat jawaban darinya aku segera melanjutkan pekerjaanku. Tidak membutuhkan waktu lama aku akhirnya sampai di perusahaan tempat Dinda bekerja. Dia memberikan jawaban bisa kalau aku berkunjung sekarang. "Dinda..". Panggil ku saat melihat sosok Dinda. "Febby..". Aku jatuh dalam pelukannya. "Waah kamu jadi manajer?". Tanya ku saat melihat kartu nama yang sedang ia kenakan. "Iya Alhamdulillah, kamu tau tidak susah sekali saat interview". Kata nya dengan ekspresi sangat senang. "Eeem, aku ingin jabatan mu, boleh?". Minta ku tanpa ragu.
Ekspresi Dinda yang awalnya penuh kegembiraan seketika berubah menjadi ekspresi penuh tanda tanya dan sedih. "Eem boleh deh, aku kan sahabat mu apapun akan ku berikan ke kamu feb". Jawab nya. Sudah ku duga dia akan memberikan nya. "Thank you Dinda". Aku memeluk tubuh Dinda erat. "Sama-sama Febby, yuk aku temani kamu lihat lihat kantor". Kata nya sambil menarik tangan ku. ••••• Hari ini adalah hari pertama aku bekerja di perusahaan om Andy menjadi seorang manajer. Aku berangkat bersama Dinda. "Semangat kerjanya ya Dinda". Kata ku sambil memeluk tubuh Dinda. "You too Febby". Dinda membalas pelukan ku.
Aku dan Dinda berpisah di pintu kantor, karena tempat kerja kita berbeda. Ayah Dinda sudah tau kalau aku menggantikan Dinda menjadi manajer dan Dinda menjadi karyawan biasa. Saat sedang bekerja tiba-tiba datang seorang wanita menginformasikan kepada semua karyawan, "saat ini internet di perusahaan sedang ada gangguan, jadi tugas kalian yang harus di upload hari ini, di upload menggunakan kuota kalian dulu, dimengerti?". "Dimengerti Bu". Jawab semua karyawan. "Huuuf". Dinda sangat jengkel dan sedih, karena pekerjaan nya itu. Dari kejauhan ada sekelompok orang yang sedang membicarakan Dinda. "Lihat dia, kasihan ya. Sahabat nya enak enakan dengan pekerjaan yang telah dia dapat menjadi manajer sedangkan dia, menjadi karyawan biasa".
"Iya, kalau aku jadi dia aku tidak akan memberikan jabatan yang sudah susah payah aku dapatkan". Tambah yang lain. Perbincangan mereka terdengar sampai ke telinga Dinda yang membuat Dinda semakin jengkel dan sedih. Saat itu aku lewat di dekat Dinda dan mendengarkan percakapan orang-orang itu sekaligus melihat kearah Dinda. "Febby". Panggil Dinda saat melihat ku berjalan melewati nya. Aku tidak menoleh sedikitpun dan terus berjalan meninggalkan tempat itu. Aku mengurungkan niatku untuk menemui Dinda. Dinda semakin sedih melihat sikapku yang acuh kepadanya. "Hah, kok Febby seperti itu". Pikirannya sudah campur aduk antara pikiran buruk tentang ku,
sedih, menyesal, kesal. Dia sangat pusing dengan itu semua. Saat Dinda ingin menangis datanglah seorang pria tinggi nan tampan memberikan nya sebungkus makanan ringan. "Kenapa mukanya di tekuk saja? Kalau ingin bekerja itu harus tenangin pikiran mu dulu, ini ada Snack, dimakan ya". Katanya. Dalam hari Dinda dia seperti pernah mendengar suara pria itu dan membuatnya penasaran ingin melihat wajah pria itu. "Hah, Azmi?". Tanya nya saat sudah melihat wajah pria itu. "Iya, aku Azmi, kenapa?". "Kenapa kamu ada di sini?" "Kan aku bekerjasama dengan perusahaan ayah mu". Jawab nya kemudian menarik kursi yang ada di samping Dinda untuk dia duduki. "Sejak kapan?".
"Sudah hampir seminggu". "Hah? Kok aku tidak tau". Azmi hanya tersenyum kecil kemudian tangan nya mengambil Snack yang sudah Dinda buka dan memakan nya. "Dih ngasih ke orang tapi dia makan juga". Ejek Dinda yang membuat nya tertawa. "Biarin". ••••• Seminggu berlalu dan aku mendapat kabar bahwa Dinda dan Azmi akan menikah. Semua orang dikantor sudah mendapatkan undangan pernikahan termasuk aku juga, tapi aku tidak diberikan langsung oleh Dinda, melainkan lewat perantara. Hari pernikahan tidak jauh dari waktu undangan itu disebar. Hanya berjarak satu hari saja. Dan hari ini
adalah hari di mana pernikahan itu berlangsung. Aku sedang bersiap-siap untuk berangkat ke acara sahabat ku. Saat aku berada di sana terlihat tamu undangan yang sedang berkumpul untuk bersiap-siap mengambil bunga yang akan dilemparkan olah sepasang pengantin baru dan aku hanya memperhatikan nya dari kejauhan. "Satu..dua...tiii..". Ucapan Dinda terhenti saat ingin melempar buket bunga ditangannya. "FEBBY!". Panggil nya saat dia melihat ku ingin pergi meninggalkan tempat ini. Aku sontak terkejut saat suara itu, suara yang sudah lama tidak kudengar memanggil ku saat ini memanggil ku. Aku pun langsung menoleh kearah nya. Dinda berlari ke arah ku sambil membawa buket bunga itu. "Febby, bunga berharga di hari bahagia ku ini
untuk mu my best friend .". Katanya sambil menaruh bunga itu di tangan ku. Aku tidak menyangka dengan kejadian ini. "Aku sudah tau semuanya. Azmi dan ayah sudah menceritakan nya kepada ku". Kata nya dengan air mata mengalir dari mata nya. Dinda menceritakan semua yang dia dengar tentang apa saja yang aku lakukan. Flashback on "Lo itu gak punya malu atau gimana sih, lo itu udah punya banyak cewek, Lo itu play boy banget sih, masih aja ngedeketin sahabat gua. Jangan berani-berani lo deketin Dinda lagi, sekali lagi gua liat lo deketin Dinda, habis Lo sama gua, paham?". Bentak ku ke Arya si play boy. Adegan berganti..
"Ini ada iPad plus cassing plus pen iPad untuk mu Din". Kata ku kepada Dinda sambil memberikan seperangkat iPad yang ku beli dua hari lalu. "Hah, kamu serius? Kenapa?". Dia tampak begitu terkejut sekaligus sangat senang. "Serius Dinda Aprilia...ya aku ingin memberikan hadiah yang berkesan untuk mu dan kemarin aku meminta hadiah ku karena aku tau kamu tidak suka menerima begitu banyak hadiah ya kan?". Kata ku sambil mengangkat kedua alis ku. "Iih sayang deh, terus kamu apakan hadiah-hadiah itu?". Tanya nya. "Aku berikan kepada yang lebih membutuhkan". Jawabku. "Iiiiih makin sayang sama Febby". Dia kemudian langsung memeluk ku erat. Adegan berganti...
"Oooh jadi lo cowok kurang ajar tukang korupsi!! Lo berani beraninya ya memanipulasi data perusahaan pak Andy untuk kesenangan Lo sendiri. Gua sudah mengurus ini semua dan sebentar lagi akan ada polisi yang akan menjemput dan menjebloskan Lo ke penjara dan mulai saat ini Lo gak usah datang lagi ke perusahaan ini, paham?". Bentak ku mengeluarkan semua amarah ku. Aku tidak terima jika perusahaan om Andy di korupsi. Setelah kejadian itu aku ingin menghampiri Dinda, tapi aku mengurungkan niatku kerena melihat Dinda sepertinya marah kepada ku. Saat aku berjalan ingin meninggalkan tempat Dinda aku menabrak seorang pria. "Azmi?". Tanya ku saat sudah melihat wajah pria itu. "Kok kamu bisa ada di sini?". Tanya ku. "Perusahaan ku yang bekerjasama dengan perusahaan pak Andy". Jawab nya. "Ooh ternyata kamu".
"Kamu sendiri?". "Aku mengambil jabatan Dinda menjadi manajer". "Kamu itu kenapa sih, selalu mengambil apa milik Dinda?". "Sst kamu tidak mengerti Dinda seperti aku mengerti dia, aku hanya ingin menjaga nya dari siapapun yang berani menyakiti nya, paham gak". Aku pun menceritakan semua kejadian yang sudah kulakukan. Azmi pun mengerti dan kami pun berbaikan lagi. "Ini tolong kasih ini ke Dinda, seperti dia sedang sedih". Kata ku sambil memberikan coklat yang awal nya aku ingin memberikan sendiri. "Kenapa tidak kasih sendiri?". "Seperti Dinda sedang marah ke aku". Aku selalu sedih melihat ekspresi Dinda tadi. "Sekalian kamu pdkt lagi sama Dinda hihihi". ledek ku.
"Oke, makasih Febby". Flashback off. "Kamu itu selalu jadi pawang ku di luar rumah, kamu itu sahabat sejati ku. Aku sangat bahagia punya seorang sahabat seperti mu.". Dinda terus memeluk ku. "Hei buat yang sedang baca cerita ini, tidak ada sahabat sejati yang ingin menyakiti sahabatnya sendiri, melainkan mereka akan selalu melindungi mu tanpa sepengetahuan mu. Kalian tidak boleh berprasangka buruk ke Febby, dia itu adalah sahabatku yang paling aku sayang, sampai ada yang berprasangka buruk bahkan sampai menyakiti nya, habis kalian sama aku". Kata Dinda. "Kamu itu berlebihan ah Dinda". "Aku serius, sampai ada yang menyakiti mu bahkan suami mu nanti, dia akan berurusan dengan ku. Lihat saja". Dinda menjadi seram seketika.
"Iya deh ratu nya Azmi". Aku dan Dinda melepas tawa kita sampai puas. "Eeh feb, ngomong-ngomong nih ya, kok kamu bisa se-teliti itu melihat karyawan yang memanipulasi data perusahaan?". Seperti Dinda sangat penasaran. "Tentu saja teliti, masa S1 ilmu gizi tidak teliti, tidak akan lulus aku nanti". Jawab ku. Kita pun melanjutkan acara dengan penuh kebahagiaan.
PROFIL PENULIS Hallo sahabat pembaca dan penulis,.. Nama lengkap ku Eka Wirdiyani Jamilah. Panggil saja Diyan, Lahir di Bekasi, 17 Mei 2005 yang merupakan pelajar di MAN 1 Bekasi. Awal memulai sekolah di sekolah SDI Al Azhar 12 Cikarang lulus tahun 2017. Merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Diyan sangat suka menulis cerita, karena dengan menulis cerita Diyan bisa menuangkan dan bisa mengeluarkan apa yang ada didalam imajinasi Diyan, dengan imajinasi yang di tuangkan menjadi sebuah cerita Diyan bisa menghibur para pembaca dengan karya Diyan. Diyan sedang membuat novel di Wattpad dengan judul "He Deserves to be Happy" Dan sudah membuat 1 karya cerpen dengan judul "semua untuk sahabat?" juga di susul dengan satu karya cerpen lagi
PERFECT “Jujur, Mas pernah benci sama kamu. Benci karena ibu harus pergi setelah kamu lahir dan ayah memprioritaskan kamu bahkan rela cuti kerja berkalikali sampai potong gaji sedangkan Mas nggak lagi merasa diperhatikan dan dipedulikan. Ayah selalu bilang, ‘Kamu udah besar, Nak.’ tiap kali dengar kalimat itu Mas nggak tau harus senang atau marah. “Tapi itu dulu, sekarang Mas udah jauh lebih dewasa dan bisa paham sama keadaan. Kalau dipikirpikir, Mas jelas lebih beruntung daripada kamu dan udah seharusnya Mas ngasih kamu kasih sayang sebesar yang kamu butuhkan.” Airlangga Kamandanu, kupanggil dia Mas Danu. Laki-laki yang lahir delapan tahun lebih dulu dariku, laki-laki yang harus kehilangan ibunya di usia delapan pula. Andai aku tidak terlahir ke dunia, mungkin
sekarang Ayah, Ibu dan Mas Danu tengah menikmati hidup dan menua bersama. Nenek dari ibu bilang kehadiranku adalah sebuah sial, sebab karena aku lahir, ibu harus pergi. Bahkan ... Nenek mengecapku secara terang-terangan—pembunuh, katanya. Hubungan keluarga antara Ayah, Mas Danu dan aku dengan Nenek tidak lagi baik setelahnya. “Jelas setelah dengar itu ayah marah, makanya ayah nggak pernah bawa kita ke rumah nenek lagi. Karena menurut ayah kamu nggak seperti yang dibilang nenek, Mas juga beranggapan sama kayak ayah. Jangan khawatir, kamu nggak salah,” ucap Mas Danu ketika aku dirundung ingatan perih masa-masa yang telah lalu. “Tapi karena aku lahir, ibu harus pergi, kenyataan ini nggak akan bisa berubah. Ibu lemah karena aku dan kalau saat itu dokter lebih mengutamakan ibu, yang terjadi nggak bakal kayak gini,” sanggahku, merasa bersalah.
“Yang terjadi pada kita itu yang terbaik menurut Tuhan, nggak perlu kamu sesali sebegitunya karena balik lagi, kamu nggak salah,” pungkasnya. Tak dipungkiri, Mas Danu memang pernah menyimpan rasa benci padaku. Namun realita bilang bahwa hidup akan terus berlanjut dan kepergian merupakan bagian dari hidup, maka Mas Danu mulai belajar untuk menerima dan membuka pikirannya. Terhitung delapan belas tahun sudah Ibu meninggalkan kami, tak ada yang pernah mengira kalau Ayah turut menyusul setelahnya. Ayah pergi dengan begitu tenang; tak ada sakit, tanpa suara, napas terakhirnya berembus kala Ayah tengah tidur entah tepatnya pukul berapa. Masih teringat jelas bagaimana histerisnya diriku yang pertama kali mengetahui kalau Ayah sudah tak lagi di sisi, aku menangis sejadi-jadinya bahkan berteriak memanggil Ayah tanpa peduli suaraku akan habis atau tenggorokan yang sakit setelahnya. Yang kumau saat itu hanya Ayah kembali membuka
matanya. Aku menolak makan selama dua hari, mengurung diri di kamar, tidak berminat melakukan apa-apa sebab yang kurasa hanyalah hampa; tidak tahu harus apa. Dari luar, tentu saja Mas Danu tidak tinggal diam, dia terus mengetuk pintu; memanggilku berkalikali sampai membanjiri roomchatku dengan puluhan pesan dan panggilan yang tak kuberi respons sekecil apa pun. Satu pekan setelah kepergian Ayah, ketakutan dan pertanyaan-pertanyaan mulai datang mengusik, bersarang menunggu jawaban. Apa aku bisa? Apa Mas Danu bisa? Aku harus apa setelah ini? Masih banyak lagi tanda tanya yang lainnya.
Rasa cemas yang datang setiap kali aku rindu pada Ayah buatku ragu untuk melanjutkan hidup. Aku takut perasaan benci Mas Danu padaku yang katanya telah hilang akan muncul di kemudian hari sebab kini kami hanya tinggal berdua saja, aku takut Mas Danu melepasku begitu saja. Tapi ternyata ... yang terjadi justru berbanding terbalik dengan apa yang selama itu kutakutkan. Mas Danu mulai menunjukkan sisi lain yang sebelumnya tidak pernah kulihat dan ketahui, dia mendadak berubah hampir 180 derajat. Sikapnya yang perhatian benar-benar menunjukkan aksi nyata, bukan sekadar basa-basi, seperti bertanya melalui pesan apa aku sudah makan siang setiap weekday pukul dua belas atau satu siang sebab dia tengah bekerja dan pada jamjam itu dia sedang istirahat, bertukar pesan adalah alternatif kami untuk berkomunikasi. Dia bisa menyayangi orang di sekitarnya lebih dari dia menyayangi dirinya sendiri, sebab dia bilang, “Kita
cuma punya satu sama lain, udah seharusnya kita saling menyayangi. Karena setelah ayah-ibu nggak ada, nggak ada lagi yang sayang sama kita selain Tuhan dan diri sendiri.” Mas Danu punya jiwa tanggung jawab yang tidak bisa diragukan, dia mengambil alih semua tugas ayah dan ibu untukku dengan menjadi pemerhati yang andal, penasihat yang ilmunya selalu bisa kupetik. Saat aku memasuki masa transisi dari remaja menuju dewasa, Mas Danu dengan senang hati menceritakan suka duka menjadi orang berumur disertai petuah agar aku tidak melakukan ini dan harus melakukan itu. Mas Danu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membiayai kuliahku sampai lulus, bahkan di saat aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri, dia menolak berhenti memberiku beberapa dari penghasilannya. “Mas masih punya tanggung jawab buat menghidupi kamu, pakai aja uangmu buat kepentingan lain,”
katanya yang selalu memastikan kebutuhan finansial dan materialku tercukupi. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari kami berdua, dalam dua hari itu—lebih tepatnya satu setengah hari sebab Mas Danu masih harus kerja di hari Sabtu hingga pukul lima sore—banyak kegiatan yang sudah kami rencanakan; mulai dari belanja sayur dan makanan ringan untuk stok satu minggu, refreshing mata dan pikiran dengan pergi ke tempat hiburan seperti bioskop, jalan kaki malam hari menyusuri lingkungan tempat kami tinggal sembari membicarakan apa saja yang terlintas di benak, atau yang paling sering di siang hari kami pergi ke danau kecil yang tidak terlalu jauh dari rumah; tempat kami singgah untuk istirahat dari berbagai hiruk-pikuk dalam hidup beberapa jam saja. Meski hanya berbentuk kubangan air dengan dalam kirakira lima meter dan sekelilingnya ditumbuhi pohon trembesi, danau itu tak pernah mengecewakan kami sebab yang menjadi sudut pandangnya adalah
ketenangan dan gemerisik daun nan menyegarkan telinga. Kami duduk di batang kayu besar yang dipotong pendek dan diletakkan dengan posisi berdiri, biasanya digunakan untuk pemancing menaruh ember berisi ikanikan hasil tangkapan atau tempat duduk pengunjung yang datang untuk menikmati secuil dari eloknya ciptaan Tuhan seperti yang selalu dilakukan aku dan Mas Danu. Pada waktu ini ... kami memanfaatkan waktu untuk saling terbuka. Terbawa suasana tenang, pikiran yang semula semrawut seperti benang kusut perlahan mulai bisa ditarik lurus, layaknya moderator; baik aku maupun Mas Danu mulai bertanya dari hal-hal ringan terlebih dulu. “Apa? Mas tau kamu ngajak ke sini karena ada yang mau diobrolin.” Ya, seperti yang sudah kubilang.
“Mmm ... mungkin ini pertanyaan yang udah jelas jawabannya tapi aku mau dengar sendiri dari mulut Mas.” Mas Danu mengangguk, mempersilakan aku untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. “Mas capek nggak sih setiap hari harus kerja? Bukan capek badan aja, tapi juga capek mental. Setelah ayah nggak ada aku tau banget Mas jadi kerja lebih keras, makin sibuk, jarang atau mungkin nggak peduli sama diri sendiri. Jadi aku merasa ... Mas Danu kerja sekeras ini karena aku, karena tanggung jawab yang Mas bawa, aku takut jadi beban buat Mas Danu ....” aku melanjutkan. “Kalau ditanya capek atau enggak, jelas capek karena yang namanya kerja badan dan pikiran kita harus sejalan dan itu butuh energi yang besar. Capek badan iya, capek mental iya. Kalau ditanya Mas kerja buat apa? Ya buat kita, buat memenuhi kebutuhan hidup
kita. Yang perlu digaris bawahi, Mas nggak pernah merasa terbebani tanggung jawab Mas atas kamu. Justru karena ada kamu, Mas jadi terpacu buat semangat kerja sampai tujuan Mas tercapai. Kamu itu amanah dari ayah yang harus Mas jaga, syukurnya ... ayah pergi di saat kondisi Mas terbilang cukup stabil dari segi ekonomi dan mental. “Kepergian ayah juga membuat Mas makin merasa dewasa, belajar dari banyak hal terutama dalam mengurus kamu. Mas yang dulu terlalu cuek, sekarang bisa berubah jadi lebih hangat dan peka, itu berkat kamu yang secara nggak langsung mengajari Mas buat jangan begini dan harus begitu,” jelas Mas Danu dengan damai. Aku mendapati ketulusan yang besar selama mendengar kata-kata yang diucap Mas Danu, bagaimana dia meyakiniku dengan jawabannya agar aku tidak lagi merasa menjadi beban untuknya; kejujurannya yang
bilang kalau dariku dia belajar untuk lebih hangat dan peka, aku senang mengetahui itu. “Ada satu pertanyaan lagi, tapi ini agak sensitif ... semoga Mas nggak emosi,” “Apa?” “Kak Jo, kak Tulus dan kak Yovi udah menikah semua, apa Mas nggak ada keinginan buat nyusul mereka? Sebentar lagi Mas kepala tiga, apa nggak terlalu tua buat menikah?” tanyaku; Jo, Tulus dan Yovi adalah nama tiga teman dekat Mas Danu yang sejauh ini kukenal dan kerap kali menyambangi rumah kami setiap ujung minggu setelah semuanya berkeluarga, sebelumnya mereka bisa datang ke rumah setiap hari kalau mereka mau dan tidak sibuk. Alih-alih tersulut api tersinggung berujung emosi seperti yang kukhawatirkan, yang Mas Danu beri sebagai respons yakni memandangku dengan segaris
senyum tipis, setelah itu ekspresinya berubah serius. “Tolong jangan merasa bersalah, ya.” Aku mengangguk spontan. “Sejak dua tahun lalu Mas memilih nggak menikah, dalam artian nggak akan punya istri, anak, atau keluarga baru. Alasannya, karena Mas nggak mau ninggalin kamu lebih dulu. Karena kalau Mas menikah dan berkeluarga, Mas bakal lebih fokus sama keluarga Mas sendiri lalu tanpa sengaja melepas kamu. Mas bisa aja bawa kamu tinggal di rumah baru Mas, tapi cepat atau lambat istri Mas bakal merasa nggak bebas karena kehadiran kamu dan takutnya menyinggung kamu. Kebayang? Jadi, daripada Mas menikah untuk kebahagiaan tapi ujungnya ketemu sama masalah baru, lebih baik Mas cari aman dengan nggak berpasangan.” Jawaban itu tidak pernah kuduga sebelumnya, keputusan untuk tidak menikah bukankah sulit untuk diambil?
“Terus gimana jadinya kalau nanti aku yang nikah?” tanyaku. “Tentu Mas mempersilakan kamu karena Mas nggak mau kamu kesepian, kalau kamu menikah, kamu bakal punya keluarga baru. Mas bisa tinggal sendiri di rumah kita yang sekarang, kamu nggak perlu pusing mikirin gimana jadinya blablabla ....” “Kalau gitu aku egois, dong ... Mas rela nggak nikah dengan alasan nggak bisa ninggalin aku sendiri, sedangkan aku?” “Mas laki-laki, lebih tua dari kamu pula.” “Seharusnya itu nggak dipakai sebagai alasan, laki-laki atau perempuan juga punya perasaan dan pasti merasa kehilangan kalau ditinggal seseorang yang memang dekat.” “Ok, alasan lain ... Mas merasa dengan nasib yang Mas punya, nggak ada salah dan larangan untuk
Mas memilih hidup sendiri tanpa pasangan selamanya. Mas merasa hidup seperti ini udah cukup buat Mas bahagia dan bersyukur, Mas juga udah nyaman sendiri. Untuk memantapkan keputusan ini juga butuh waktu yang lama, dua tahun lalu baru ada pikiran dan setengah tahun lalu baru mantap, setahun setengah, kan?” “Mas udah betul-betul yakin...?” Mas Danu mengangguk, disusul senyum. “Nggak apa-apa kalau suatu saat Mas ubah keputusan itu, Mas nggak perlu merasa malu karena terkesan jilat ludah sendiri.” “Mas rasa nggak bakal berubah.” ***
(bintang tiga ini sebagai tanda paragraf-paragraf sebelumnya bagian dari flashback/kilas balik dan setelah ini latar waktu berubah jadi masa sekarang) Tok tok tok .... Pintu kamar kuketuk pelan, kamarku sendiri yang malam ini hingga lusa akan disinggahi teman lama yang kini tinggal di kota lain bersama anak dan suaminya dalam rangka menghadiri acara milikku yang akan dilangsungkan esok hari, tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam, aku langsung masuk dan duduk di kasur. “Gue lihat Juan lagi di luar sama mas Danu, jadi gue ke sini, deh. Mau ngobrol banyak sama lo, habisnya dari siang pas lo baru sampai kita belum sempat ngobrol banyak, kan? Gue nahan kangen dari tadi, Shi ....” cerocosku, nama temanku Sashi, Juan nama suaminya, terhitung sembilan tahun kami terpisah jarak, akhirnya hari ini kami bertemu kembali.
“Kangen parah gue sama lo, Maraaa! Tapi nggak apa-apa gue ngerti lo lagi sibuk, sekarang kok lo bisa ke sini? Emang udah kelar siap-siapnya?” tanya Sashi, tangannya tengah mengelus-elus punggung anak perempuannya yang baru terlelap beberapa menit sebelum aku kemari. Dia memanggilku Mara, versi pendek dari Asmara. Nama lengkapku Asmara Pitaloka. Aku menggeleng. “Udah dipegang mas Danu semua, gue juga udah didorong-dorong suruh masuk buat istirahat dari tadi.” Sashi menghela napas, dia membenarkan posisi duduknya agar bisa leluasa bicara empat mata denganku. “Enak ya punya kakak kayak mas Danu, jujur dari dulu gue iri banget sama hubungan adik-kakak kalian. Gimana, ya ... kalian jarang berantem—“ “Enggak, kok! Kita masih sering berantem,” aku memotong. Meski kelihatan dekat dan harmonis, aku dan Mas Danu acap kali berselisih pendapat yang