The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini membahas dinamika hubungan antara politik dengan media massa dengan berbagai variabelnya

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Dedi Sahputra, 2023-02-21 00:15:21

Politik dan Media Massa dalam Dinamikanya dengan Pendapat Umum, Komunikasi Massa, Komunikasi Politik dan Civil Society

Buku ini membahas dinamika hubungan antara politik dengan media massa dengan berbagai variabelnya

Keywords: Politik dan Media Massa

i POLITIK DAN MEDIA MASSA Dalam Dinamikanya dengan Pendapat Umum, Komunikasi Massa, Komunikasi Politik dan Civil Society Penulis: DR. DEDI SAHPUTRA, MA Editor: Ismet Rauf POLITIK DAN MEDIA MASSA Dalam Dinamikanya dengan Pendapat Umum, Komunikasi Massa, Komunikasi Politik dan Civil Society


ii Penulis : Dr. Dedi Sahputra, MA Editor : Ismet Rauf Desain Cover : Luqman El-Hadi Penata Letak : Luqman El-Hadi Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Bekerjasama dengan: Panitia Hari Pers Nasional (HPN) Pusat 2019 Gedung Dewan Pers Lt. IV Jl.Kebon Sirih No.34 Jakarta 10110 Cetakan I: Februari 2019 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis dari Penerbit Perpustakaan Nasional POLITIK DAN MEDIA MASSA Dalam Dinamikanya dengan Pendapat Umum, Komunikasi Massa, Komunikasi Politik dan Civil Society xx + 104 hal: 14 cm x 21 cm ISBN: 978-602-5931-19-2 Tim Buku Hari Pers Nasional 2019 Djunaedi Tjunti Agus (Ketua) Widodo Asmowiyoto Sudarwanto Budi Raharjo Ismet Rauf Bernadus Wilson Lumi Maria D.Andriana AR Loebis TD Asmadi Taty Fatimah (Sekretariat) Dicetak oleh: PT. Semesta Rakyat Merdeka


iii Daftar Isi Bab I MEDIA MASSA & DEMOKRASI Pendahuluan 1 Menjelaskan Penggunaan Media Massa 7 Beberapa Kajian 11 Bab II MEDIA MASSA DARI WATCHDOG KE PETSDOG Pendahuluan 17 Sejarah Media Massa Sebagai Watchdog 19 Bab III PROPAGANDA Pendahuluan 24 Jenis-jenis Propaganda 28 Wacana dalam Propaganda 37 Model Propaganda 38 Propaganda Membangun Citra 40 Propaganda Terorisme 42 Bab IV CIVIL SOCIETY & MEDIA BARU Pendahuluan 45 Pilkada Gubernur Sumatera Utara 47 Komunikasi Politik 49 Studi Gerakan Sosial Baru 52 Civil Society di Sumatera Utara 55 1. Kongres Umat Islam 59 2. Gerakan Shubuh Berjamaah 62 3. Gerakan Ceramah di Masjid 65 Kesimpulan 71 Bab V MAHATHIR MOHAMMAD & MEDIA MASSA Pendahuluan 73 Politik & Media 75 Kasus Korupsi 79 Dominasi China 82 Penutup 84


iv Bab VI MEDIA MASSA: KOMUNIKASI & PESAN Citra dan Tanggung Jawab Media 86 Perang Citra Legislatif-Eksekutif 92 Efek Komunikasi Massa Peristiwa Unjukrasa 95 Pelajaran dari Berita Hoax 98 Kesan dari Pemerintahan 101 Pengesahan UU Pilkada 103 Komunikasi Pemasaran Pemerintah 106 Unsur Komunikasi dalam Pemilu 110 Pemberantasan Korupsi Perspektif Komunikasi 111 Perppu dan Komnikasi Istana 112 Komunikasi Politik Istana 113 Pesan Komunikasi Kebijakan Pemerintah 119 Kegamangan dalam Komunikasi 121 Debat Pilpres; Tinjauan Komunikasi 124 Komunikasi Politik Umat Islam 127 Pemilu dan Public Sphere 130 Pesan Komunikasi MCA 133 Pesan Pembangunan Perspektif Komunikasi 139 Bab VII MEDIA MASSA & POLITIK Wabah Social Prejudice 143 Etika dan Kewajaran Politik 149 Pancasila dan Opini Publik 152 Menggantungkan Harapan pada Pemilu? 155 Pancasila dan Toleransi 158 Mencari Motif Kisruh Parpol 162 Memosisikan Politik Kesejahteraan Rakyat 165 Meluruskan Stigma “Politik Aliran” 169 Memahami Istilah “Politik Aliran” 171 Koalisi Partai Lama-Baru 172 BBM dan Kemandirian Bangsa 176 Kegaduhan Politik Menjelang Pemilu 180 Hasil Pemilu & Pemilih Cerdas 186 Hak dan Kekerasan Komunal 189 Provokasi dan Isu Radikalisme 193 Momentum Dinamika Politik 2011 196 Catatan Menjelang Pemilu 200 Benarkah Indonesia Negara Gagal? 203 DAFTAR PUSTAKA 207 TENTANG PENULIS 212


v


1 Bab I Media Massa Demokrasi Pendahuluan Dalam sistem demokrasi akan terwadahi heterogenitas masyarakat baik dari sisi agama, etnik, keragaman, ide, aliran pemikiran, ideologi dan semua produk pemikiran manusia. Oleh karena sifat mayoritas merupakan salah satu ukuran dalam demokrasi, maka pengaruh sebuah pemikiran ditentukan oleh kemampuannya menjadi arus di masyarakat. Karena itu opini publik menjadi sangat penting dalam demokrasi, sama pentingnya dengan lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Artinya wacana publik harus dimenangkan dulu sebelum memenangkan wacana legislasi dan memenuhi lembaga eksekutif. Dalam kehidupan demokrasi langsung dan pemilihan secara langsung maka pencitraan menjadi sangat penting. Penilaian publik sebagai konstituen menjadi penentu bagi suatu tujuan politik. Karenanya dalam demokrasi langsung, sebuah pencitraan harus dibangun secara sistematis dan terukur untuk mencapai hasil yang maksimal. Di samping itu, faktor pendorong lainnya dalam memenangkan wacana publik adalah kemampuan memobilisasi opini publik. Kenyataannya, dalam kehidupan politik &


2 menunjukkan bahwa seorang pemimpin politik adalah orang yang memiliki kemampuan memobilisasi opini publik; dan kegiatan memobilisasi opini publik adalah komunikasi. 1 Suatu akibat dari ledakan teknologi komunikasi tercermin dalam perhatian pada efek media massa pada masyarakat. Alat-alat elektronika yang canggih dikhawatirkan mempunyai kekuatan mengendalikan pikiran orang. Untungnya, ketakutan ini telah dilunakkan oleh pengkajian ilmiah yang serius tentang efek media massa pada rakyat yang menerimanya.2 Diskursus yang berkembang dan mengemuka dalam hal memenangkan wacana publik adalah; Haruskah kita punya media kalau ingin memenangkan wacana publik? Pendapat yang menyatakan bahwa media harus dimiliki untuk memenangkan wacana publik mengemukakanbahwa media adalah alat yang sangat vital sebagai saluran untuk pembentuk opini umum. Arus deras informasi dari media massa akan dengan sedemikian rupa membentuk suatu opini seperti yang diinginkan oleh si perancang pesan sehingga memperoleh dukungan secara luas oleh publik. Media massa memiliki peranan yang amat menentukan dalam membentuk pendapat umum terhadap suatu persoalan. Sesuatu yang sesungguhnya tidak terlalu penting namun dapat berubah menjadi penting sebagai akibat dari opini publik yang dihasilkan oleh media massa. Sama halnya orang yang sesungguhnya tidak terlalu menonjol akan tetapi dapat menjadi orang penting dari hasil liputan media massa terhadap dirinya. Demikian pula dengan keberagaman. Wujud keberagaman mengalami perubahan yang cukup drastis pada masa belakangan ini, salah satunya sebagai akibat dari pendapat umum yang dikemas media massa. Pada masa lalu, fenomena kberagaman lebih banyak dilihat sebagai kreativitas masyarakat agraris dengan pola kehidupan yang dibentuk oleh berbagai mitos dan legenda. Wacana keberagaman lebih banyak dilihat 1 Effendy, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), h. 159. 2 Fisher, B. Aubrey. Teori-teori Komunikasi (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1990), h. 179- 180.


3 sebagai aktivitas kemanusiaan yang paling pribadi dan oleh karena itu tidak layak dipahami memiliki keterkaitan dengan pranata sosial, politik, ekonomi, pendidikan, hukum, sosial dan sebagainya. Akan tetapi media massa mengemas penampilan keberagaman itu dan akhirnya sekarang ini wujud keberagaman telah mengalami perubahan yang dahsyat karena telah merambah bidang politik, ekonomi, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, kesenian, entertainment dan lain-lain. Bahkan terkadang, penampilan agama itu menjadi kehilangan sakralitas dan spritualitas praktis. Tampilan agama dapat menjadi lunak atau keras akan sangat tergantung bagaimana media massa mengkemasnya. 3 Pendapat lain yang berbeda menyebutkan bahwa tugas untuk memenangkan wacana publik tidak hanya dapat disederhanakan dengan cara memiliki media. Karena memenangkan wacana publik adalah jauh lebih besar dari itu yakni suatu seni tentang bagaimana mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat. Atau bagaimana membuat publik berpikir dengan cara yang diinginkan, bagaimana membuat publik mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang dikenakan kepada mereka.4 Pikiran adalah referensi yang diperlukan masyarakat untuk memberi arah, merasionalisasikan sikap dan tindakan, membantu menentukan pilihan, menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memberi solusi. Tatkala Uni Sovyet runtuh di awal dekade 90-an, orang-orang Barat merayakannya sebagai suatu kemenangan kapitalisme dan ekonomi pasar. Bagi mereka, komunisme tidak lagi sanggup menjawab tantangan zaman yang dihadapi masyarakat. Komunisme mengalami kemarau dan kekeringan yang tidak kunjung selesai manakala negara yang menyangganya kemudian kehabisan nafas untuk tetap bertahan. Maka syarat pertama yang harus dimiliki adalah kekayaan pikiran yang ditentukan oleh dua hal yakni kekayaan orisinalitas referensi dan kemampuan mengekspresikan referensi 3 Lubis, M. Ridwan, “Signifikansi Media Massa Dalam Mendorong Keberagaman Sebagai Faktor Harmonisasi Dunia (Medan, 10 Januari 2004), hal. 1. 4 Matta, Anis, Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih Kemenangan (Jakarta: Penerbit Pustaka Saksi, 2002), hal. 37.


4 dan memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, yakni selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, umat Islam sebagai stakeholders terbesar bangsa ini, telah menjadi pihak yang beririsan kepentingan dengan kekuasaan. Untuk menyebut sebagai contoh, setidaknya peristiwa berkumpulnya umat Islam dari berbagai penjuru Nusantara di sekitar Monumen Nasional (Monas) atau yang dikenal dengan peristiwa 411 dan 212 menunjukkan adanya irisan tersebut. Sementara pada sisi umat Islam memiliki yang pertama yakni orisinalitas referensi tetapi harus berlatih untuk memiliki yang kedua yakni kemampuan mengekspresikan referensi dan memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman. Umat Islam memiliki Alquran dan Sunnah, namun mesti berijtihad untuk menemukan ‘mutiara-mutiaranya’. Proses ijtihad ini kemudian ternyata tidak berlangsung secara mulus, karena muncul berbagai stigma yang mengarah langsung kepada umat Islam. Label-label seperti anti Pancasila atau anti NKRI atau pemecahebalah kemudian semakin memperuncing dari masalah yang sebenarnya. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa bangsa ini tengah memasuki sebuah fait accompli yang digerakkan oleh sesuatu yang tidak terlihat secara nyata. Aktoraktor politik yang berada di tengah arena tidak dapat serta merta mengungkap kepentingan sebenarnya yang sedang dimainkan. Dala hal ini media massa adalah alat utama untuk mencari jejak aktor utamanya. Caranya dengan melihat pada opini publik yang terbentuk di tengah-tengah masyarakat, yang akan menjawab satu pertanyaan penting di dalamnya; siapa yang diuntungkan? Padahal sebuah pemikiran dengan struktur yang solid akan berpengaruh pada tiga hal. Pertama, pada tingkat kejelasan pikiran dalam benak kita pada keseluruhan susunan kesadaran kita. Kedua, pada tingkat keyakinan kita terhadap pemikiran tersebut, yang biasanya selalu tinggi. Ketiga, pada kemampuan kita membahasakannya atau pada daya ungkap yang tercipta dari kejelasan pikiran tersebut. Semakin jelas pemahaman kita terhadap suatu pikiran, semakin sempurna kemampuan kita membahasakannya.


5 Kemampuan meyakinkan publik terlah berkembang menjadi sebuah pengetahuan baru yang dalam hal ini orang tidak lagi mempertanyakan kebenaran dari sebuah pikiran, tetapi berpikir bagaimana menjadikannya sebuah milik publik. Hal ini bertumpu kepada beberapa hal. Pertama, pada penguasaan teoretis terhadap pikiran kita tentang struktur pemikiran orang lain dan varian-varian yang membentuknya. Kedua, pada kejelian kita dalam menentukan entry point yang tepat untuk melakukan penetrasi terhadap pemikiran orang lain. Ketiga pada kemampuan menemukan format bahasa yang tepat dengan struktur kesadaran, bentuk logika, kecenderungan estetika, dan situasi psikologis serta momentum yang mengorelasi pikiran kita dengan suasana mereka. Inilah yang disebut dengan seni memengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat.5 Inilah uraian dari firman Allah yang berbunyi: Kami tidak mengutus seorang Rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka (Q.S. Ibrahim/14: 4); ...dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS. An Nisa’/4: 9); Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (Q.S. Al Ahzab/33: 70); ...dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka (QS. An Nisa;/4: 63). Dalam perspektif Islam, komunikasi massa ini ditekankan pada aspek subjek dan objek yakni komunikator itu sendiri, pesan dan cara penyampaian pesan tersebut. Sementara aspek efek dari pesan yang dirancang berdasarkan Alquran dan Hadis adalah sesuatu yang sejalur. Mahyuddin Abd. Halim menulis bahwa komunikasi Islam adalah proses penyampaian atau pengoperan hakikat kebenaran agama Islam kepada khalayak yang dilaksanakan secara terus menerus dengan berpedoman kepada Alquran dan Al Sunnah baik secara langsung atau tidak, melalui perantaraaan media umum atau khusus, yang bertujuan untuki membentuk pandangan umum yang benar berdasarkan hakikat kebenaran agama dan memberi kesan kepada kehidupan seseorang dalam aspek aqidah, 5 Ibid., hal. 38-40.


6 ibadah dan muamalah.6 Aspek objek yang dimaksud adalah kejujuran dalam berbicara, menepati janji, memenuhi amanah, menjaga kemaluan, menundukkan pandangan dan mengekang diri dari perbuatan maksiat. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Musnand Ahmad, IV/205: “Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit bahwa Nabi SAW bersabda : Berilah jaminan kepadaku enam hal dari kamu sekalian, maka aku akan menjamin surga untuk kamu sekalian. Enam hal itu adalah 1. berlakulah jujur jika berbicara, 2. tepatilah janji, jika kamu berjanji, 3. laksanakanlah dengan baik jika kamu diberi amanah, 4. jagalah kemaluanmu, 5. tundukkanlah pandangan matamu, 6. kekanglah tanganmu {dari melakukan perbuatan maksiat}7 (H.R. Imam Ahmad) Selanjutnya meskipun dalam porsi dan dasar pemikiran yang berbeda, namun dua pendapat tentang media massa ini sebetulnya memiliki persamaan yakni menjadikan media massa sebagai alat untuk memenangkan wacana publik. Dalam dunia politik, tugas memenangkan wacana publik ini juga tidak bisa dilepaskan dari peranan media massa. Ini sudah mulai tampak mencolok di tahun 1968 ketika Presiden Amerika Serikat Richard Nixon memenangkan nominasi partainya berkat liputan televisi. Ada tiga staf Nixon yang menonjol dalam hal ini, yakni Roger Ailes, Harry Treleaven dan Al Scott. Dalam masyarakat ada kelompok yang berjumlah banyak dan terus bertambah jumlahnya, sangat mempercayai televisi. Mereka umumnya memilki tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan yang sedang-sedang saja. Mereka inilah sasaran utama para pembujuk profesional, karena pilihan mereka ditentukan oleh semenarik apa bujukan itu dikemas. Inilah khalayak yang oleh Robert MacNeil dalam bukunya The People Machine, sebagai kelompok yang tidak begitu canggih, namun pendidikannya lebih banyak daripada generasi sebelumnya yang umumnya konservatif dan cenderung pasif 6 Kholil, Syukur, “Komunikasi Dalam Perspektif Islam”, dalam Hasan Asari & Amroeni Drajat (Ed), Antologi Kajian Islam (Bandung : Citapustakan Media, 2004) hal. 252. 7 Munawwar, Said Agil Husin; Mustaqim, Abdul, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 179.


7 dalam masalah-masalah dunia. Karena mereka tidak memperhatikan sesuatu dengan cara mendalam, mereka umumnya mudah percaya terhadap segala sesuatu yang disampaikan kepada mereka.8 Pencitraan, dalam masyarakat Indonesia pada umumnya sangat kental pada pengaruh pola keberagaman masyarakat. Identitas personal dan kelompok terlebih dahulu akan dikenali oleh latar belakang agama, disusul latar belakang etnis dan seterusnya. Politik identitas adalah sebuah makna yang khusus dalam kasus Indonesia. Jika para sarjana Barat cenderung memandang politik identitas sebagai faktor negatif, maka di Indonesia, politik identitas adalah sebuah keniscayaan terhadap keragaman yang melekat dalam jati diri bangsa ini. Keberadaan politik identitas justru memperkuat demokratisasi karena menekankan pada prinsip mayoritas sebagaimana substansi demokrasi itu sendiri. Karena itu berbicara tentang politik pencitraan maka tidak akan lepas dari berbicara agama dan keberagaman. Pada masa lalu pola keberagaman yang terdapat di kalangan umat Islam terdapat dua bentuik yakni tradisional dan modernis. Tapi pada masa kini pola itu dapat berkembang lagi dengan bentuk yang lain yaitu neotradisional, neo-modernis dan persaudaraan religio-politik. Pola neo-modernis yaitu kelompok umat Islam yang ingin lebih menunjukkan kelebihan Islam dari agama lain, sehingga selalu diupayakan titik temu antara konsep Islam dengan pola kehidupan modern. Sehingga yang terjadi adalah rasionalisasi Islam guna dilihat kaitannya dengan kehidupan modern. Dengan demikian, langkah ini adalah merupakan pembenaran terhadap tesis yang mengatakan bahwa Islam adalah sesuai untuk segala masa dan tempat (al Islam salihun likulli zaman wa makan). Menjelaskan Penggunaan Media Massa 8 Rivers, William L., et. Al., Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, terj. Haris Munandar dan Dudy Priatna, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 270.


8 Sejak munculnya media massa di ruang publik, dan dirasakan memiliki banyak pengaruhnya, para sarjana mulai melakukan penelitian tentang dampak atau kekuatan media massa dalam memengaruhi khalayaknya (media studies). Uses and Effect Theory (teori penggunaan dan efek) adalah salah satu teori yang biasa digunakan untuk meneliti efek dari berita di media massa atas opini umum masyarakat yang menjadi khalayak. Teori ini merupakan sintesis dari pendekatan Uses and Gratifications dan teori tradisional mengenai efek yang pertama kali dikemukakan Windahl pada tahun 1979 ini. Konsep ‘use (penggunaan) merupakan bagian yang sangat penting atau pokok dari pemikiran ini. Karena pengetahuan mengenai penggunaan media dan penyebabnya, akan memberikan jalan bagi pemahaman dan perkiraan tentang hasil dari suatu proses komunikasi massa. Penggunaan media massa dapat berarti ‘exposure’ yang semata-mata menunjuk pada tindakan mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tersebut dapat menjadi suatu yang lebih kompleks, dimana isi tertentu dikonsumsi dalam kondisi tertentu, untuk memenuhi fungsi tertentu dan terkait harapan-harapan tertentu untuk dapat dipenuhi. Fokus dari teori ni lebih kepada pengetian yang kedua. Dalam Uses and Gratifications, penggunaan media pada dasarnya ditentukan oleh kebutuhan dasar individu. Sementara pada Uses and Effect, kebutuhan hanya salah satu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penggunaan media. Karakteristik individu, harapan dan persepsi terhadap media, dan tingkat akses kepada media akan membawa individu kepada keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan isi media massa. Hasil dari proses komunikasi massa dan kaitannya dengan penggunaan media akan membawa pada bagian terpenting berikutnya dari teori ini. Karena substansi dari komunikasi massa sebetulnya adalah dari media itu sendiri, yang menjadi alat untuk menyamaikan pesan dari komunikator kepada khalayak yang ramai. Pesan-pesan yang disampaikan tersebut merupakan hubungan yang sangat erat antara komunikator sebagai pengguna dan media sebagai saluran untuk mencapai khalayaknya. Ada berbagai bentuk yang dimiliki dalam hubungan antara si pengguna dengan media yang


9 merupakan alat saluran tersebut. Hubungan antara penggunaan dan hasilnya, dengan memperhitungkan pula isi media, memiliki beberapa bentuk perbedaan, yaitu : a. Pada kebanyakan teori efek tradisional, karakteristik isi media menentukan sebagian besar dari hasil. Dalam hal ini, penggunaan media hanya dianggap sebagai faktor perantara, dan hasil dari proses tersebut dinamakan efek. Dalam pengertian ini pula, Uses and Gratifications hanya akan dianggap berperan sebagai perantara, yang memperkuat atau memperlemah efek isi media. Dalam perspektif ini di mana kekuatan isi pesan media dipandang sebagai faktor yang sangat penting maka diperlukan suatu ketrampilan untuk merancang pesan secara maksimal agar dapat mempengaruhi khalayak dan menimbulkan efek yang diinginkan sesuai dengan tujuan merancang pesan. Isi media yang merupakan pesan yang sengaja dirancang tersebut kemudian hanya perlu disampaikan oleh media. b. Dalam berbagai proses, hasil lebih merupakan akibat penggunaan daripada karakteristik isi media. Penggunaan media dapat mengecualikan, mencegah atau mengurangi aktivitas lainnya, di samping dapat pula memiliki konsekuensi psikologis seperti ketergantungan pada media tertentu. Jika penggunaan merupakan penyebab utama dari hasil, maka ia disebut konsekuensi. Dalam arti lain, publik pengguna media dianggap sebagai pihak yang memiliki ketergantungan pada suatu media tertentu dengan demikian, isi pesan atau isi media faktor yang lebih kurang melengkapinya. Kajian ini menyimak lebih dalam terhadap penggunaan media oleh khalayak yang lebih jauh pada sifat ketergantungan. c. Di samping kedua perbedaan yang diuraikan di atas tersebut, ada beda lainnya dari penggunaan media ini dengan menggabungkan antara keduanya. Kita dapat beranggapan juga bahwa hasil ditentukan sebagian oleh isi media yang dilakukan melalui perantaraan penggunaannya dan


10 sebagian lain hasilnya ditentukan oleh penggunaan media itu sendiri. Oleh karenanya ada dua proses yang bekerja secara serempak, yang bersamasama menyebabkan terjadinya suatu hasil yang kita sebut ‘conseffects’ (gabungan dari konsekuensi dan efek). Proses pendidikan biasanya menyebabkan hasil yang berbentuk ‘conseffects’. Dimana sebagian hasil disebabkan oleh isi yang mendorong pembelajaran (efek), dan sebagian lain merupakan hasil dari suatu proses penggunaan media yang secara otomatis mengakumulasikan dan menyimpan pengetahuan. Pandangan ini memberi arti sama pentingnya isi media seperti halnya penggunaan media. Kedua faktor ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi secara bersama menimbulkan efek terhadap penggunaan media. Dalam arti lain efek dan konsekuensi bergabung bersama dalam suatu proses komunikasi hingga menimbulkan’conseffects’. Ilustrasi mengenai hubungan-hubungan tersebut dapat dilihat pada dua diagram berikut:9 Hasil-hasil tersebut dapat ditemukan pada tataran individu dan masyarakat. Sendjaja S.Djuarsa juga menguraikan diagram berikut: 9 Djuarsa, Sendjaja S., Teori Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994), hal. 199-200. Isi Media Isi Media Penggunaan Media Penggunaan Media Penggunaan Media Penggunaan Media Efek Konsekuensi Isi Media Conseffets Audience dan karakteristik intra/ekstra individu termasuk kebutuhan dan kepentingan Akses kepada harapan dan persepsi terhadap media, isi dan komunikator Keputusan untuk menggunakan altenatif fungsional


11 Beberapa Kajian Dalam beberapa dekade belakangan ini, media studies telah muncul menjadi lapangan penelitian yang popular. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan memiliki relevansi dengan penelitian ini, yakni: 1. “Survei Jajak Pendapat Sikap Politik Masyarakat Kota Medan terhadap Pilkada Langsung Walikota/Wakil Walikota Medan” yang dilakukan oleh Lembaga Analisis Sosial (LSAS) pada tahun 2004.10 Penelitian ini mengambil sampel di 21 kecamatan yang ada di Kota Medan dengan 1500 responden. Penyebaran kuesioner mengambil sebanyak 71-72 responden per kecamatan. Responden dalam penelitian ini adalah para calon pemilih dalam Pilkada langsung Kota Medan berusia minimal 17 tahun, atau yang sudah menikah. Dalam penelitian 10 Lembaga Studi Analisis Sosial (LSAS), Rangkuman Hasil Penelitian Volume 1 tahun 2006. Keputusan untuk menggunakan media dan isi Pengunaan media: Jumlah isi yang digunakan, jenis isi yang digunakan, hubungan dengan isi yang digunakan, cara konsumsi Media dan karakter isi Hasil pada tataran individu ................................ ........................................ .......................... . Efek: . . Konsekuensi: . . Conseffects . . terutama disebabkan . . terutama disebabkan . . disebabkan . . media/karakteristik . . oleh penggunaan . . sekaligus oleh isi . . isi . . media . . media . ................................ ........................................ .......................... Hasil pada tataran lainnya


12 ini ditemukan bahwa program pembangunan kandidat merupakan suatu hal yang menentukan dalam Pilkada Kota Medan. Masyarakat pemilih sangat memperhatikan program pembangunan para calon sebelum menjatuhkan pilihannya. Sebanyak 56,2% masyarakat pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh program pembangunan pasangan calon. Berita media menjadi faktor yang signifikan, karena program pembangunan para kandidat adalah informasi yang didapat masyarakat pemilih dari media massa. Di samping itu 23% para pemilih dipengaruhi berita di media. Dalam kategori media, ternyata media cetak (koran) masih merupakan hal yang paling mempengaruhi pilihannya. 2. Sementara itu penelitian yang dilakukan Nashrillah pada tahun 2002 dengan judul “Minat Masyarakat Medan Menonton Siaran Agama di Televisi” mengambil 300 sampel dari tiga kelompok masyarakat yakni siswa, mahasiswa dan orangtua.11 Dalam penelitian ini ditemukan sekitar 48,1% rata-rata responden menonton televisi lebih dari dua jam sehari bahkan 26,3% responden yang rata-rata menonton lebih dari tiga jam sehari. Hanya 27% responden yang menonton televisi kurang dari satu jam sehari. Mean yang diperoleh untuk jumlah waktu menonton televisi ini 2,583, itu berarti rata-rata responden menonton televisi lebih dari dua jam sehari. Hasil penelitian juga menunjukkan 83,6% responden menonton siaran agama di televisi dalam satu minggu terakhir sebelum disebarkan angket. Penelitian ini menemukan, dari tiga stasiun televisi yang menjadi sampel yaitu SCTV, RCTI dan Indosiar, menunjukkan bahwa siaran agama di televisi sangat sedikit, ratarata hanya sekali siar sehari. Itupun sudah termasuk iklan yang hampir menghabiskan sepertiga hingga setengah dari seluruh siaran agama. Sehingga siaran agama yang efektif sebenarnya hanya 15-20 menit untuk sekali siar. 11 Nashrillah, “Jurnal Penelitian Medan Agama”, No.1/thn.2002.


13 Dari segi kelompok usia, yang paling lama menonton siaran agama di televisi berusia 46 tahun ke atas. Mayoritas di antara mereka atau sebanyak 62,07% rata-rata menonton siaran agama di televisi selama lebih dari 30 menit sehari. Sedangkan kelompok usia 21-45 tahun hanya sekitar 25,58% yang menonton siaran agama di televisi selama lebih dari 30 menit sehari. Kondisi ini membuktikan bahwa perbedaan usia akan mempengaruhi pola penggunaan media massa, termasuk pilihan materi pemberitaan dari media massa. Dari segi tingkat pendidikan, responden yang berpendidikan S1 lebih lama menonton siaran agama di televisi lebih dari 30 menit sehari hanya 23,1%. Dari segi pekerjaan, pegawai swasta dan wiraswasta merupakan kelompok yang paling lama menonton siaran agama di televisi. Sedangkan yang paling banyak tidak menonton siaran agama di televisi adalah kelompok orang yang tidak bekerja atau menganggur. 3. Penelitian lain dilakukan Lydia Elton dengan judul “Pengaruh Pemberitaan Surat Kabar Terhadap Persepsi Masyarakat Pengguna Jasa Transportasi Udara Di Surabaya (Kasus Studi Kecelakaan Pesawat Adam Air). 12 Penelitian ini mengambil sample 400 orang penumpang yang datang dan berangkat melalui Bandara Juanda Surabaya. Dalam penelitian ini Lydia Elton berkesimpulan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara berita surat kabar mengenai kasus kecelakaan pesawat Adam Air terhadap persepsi masyarakat pengguna jasa transportasi udara di Surabaya. Berubahnya persepsi masyarakat bahwa media mempunyai pengaruh besar dalam menentukan persepsi terhadap suatu peristiwa tertentu, hal ini juga disebabkan karena rentang waktu yang lama antara kejadian kecelakaan dengan waktu penyebaran kuesioner sehingga mengakibatkan besarnya kemungkinan terjadi perubahan persepsi masyarakat atau psikologi penumpang. 12 Elton, Lydia, “Pengaruh Pemberitaan Surat Kabar Terhadap Persepsi Masyarakat Pengguna Jasa Transportasi Udara Di Surabaya (Kasus Studi Kecelakaan Pesawat Adam Air)”, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA ISSN 1978-385X Vol. 1 No.2, Surabaya Juli 2007.


14 Meskipun masyarakat mulai was-was dan meragukan kualitas maskapai Adam Air, ternyata diketahui bahwa sebagian besar masih memilih mau berpergian menggunakan maskapai Adam Air. Hal ini terjadi karena masyarakat masih mementingkan faktor ekonomis yaitu harga tiket. Hasil analisis korelasi yang menunjukkan adanya korelasi negatif dan tak berarti antara berita surat kabar dengan persepsi masyarakat yaitu sebesar 0,021. Korelasi negatif ini menunjukkan tidak ada hubungan antara berita surat kabar dengan persepsi. 4. Studi perilaku pemilih juga dilakukan Universitas Columbia. Studi ini bertujuan untuk menilai pengaruh komunikasi dan persuasi dalam kampanye. Menurut hasil studi Columbia, ini mengakui adanya pengaruh identifikasi partai : bahwa pemilih tidak hanya digerakkan oleh isu-isu baru, melainkan juga isu-isu lama yang masih tertanam di benak pemilih. Hal ini menegaskan, para pemilih bukanlah tabularasa yang siap diisi dengan informasi apa saja, melainkan mereka juga telah mempunyai keyakinan yang seringkali sulit diubah propaganda kampanye. Sebagai pengaruh faktor sosial, studi Columbia juga mengungkapkan pengaruh media massa terhadap perilaku pemilih. Hanya saja menurut studi ini, pengaruh tersebut tidak langsung, melainkan diperantarai oleh diskusi dengan para pemilih lainnya.13 5. Penelitian yang dilakukan Didik Budijanto dan Wijiartini yang berjudul “FaktorFaktor yang Mempengaruhi Hubungan Seks di Luar Nikah para ABK di Komunitas Pelabuhan”. Penelitian ini bertujuan menganalisis perilaku seksual Anak Buah Kapal (ABK) dan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi hubungan seks di luar nikah para ABK tersebut. Studi yang dilakukan secara cross sectional di komunitas Pelabuhan Tanjung Perak ini mengambil sampel secara simple random dari populasi ABK berbendera 13 Nursal, Adman, Political marketing: Strategi Memenangkan Pemilu (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 40-41.


15 Indonesia segala jurusan yang sedang sandar. Jumlah sampel yang diperoleh 80 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstrujtur, sedang analisis data dilakukan secara deskriptif dan regresi logistik ganda. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 80 orang ABK, sebagian besar berpendidikan SLTA (45,0%); berumur > 30 tahun (51,3%); dan jenis pekerjaan kelasi (25,0%), juru mudi (13,8%), dan juru minyak (12,5%). Lama kerja responden sebagian besar < 10 tahun (85,0%), berstatus kawin (57,5%); dan lama perkawinan < 5 tahun (73,8%). Jika dilihat dari sisi perilaku seksualnya, dari 46 (57,5%) orang yang menikah, 45,65% diantaranya melakukan hubungan seksual dengan istrinya 2 kali per minggu. Sedangkan jjika dikaitkan dengan pernah tidaknya melakukan hubungan seks di luar nikah maka sebagian besar pernah (71,7%). Hasil tabulasi silang antara frekuensi hubungan seks dengan istri per minggu dan pernah tidaknya melakukan hubungan seks di luar nikah, sebagian besar (90,5%) terjadi pada mereka yang frekuensi hubungan seks dengan istri ≤ 1 kali per minggu dibandingkan dengan yang > 1 kali per minggu (56,0%). Selanjutnya, hasil analisis regresi logistik ganda menjelaskan bahwa frekuensi hubungan seks dengan istri per minggu berpengaruh secara signifikan (p = 0,0045) terhadap pernah tidaknya melakukan hubungan seks di luar nikah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ABK yang frekuensi hubungan seks dengan istrinya ≤ 1 kali per minggu, beresiko jajan 7 kali lebih besar dibandingkan yang frekuensi hubungan seks dengan istrinya > 1 kali per minggu (OR = 6,9229). Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa faktor dominan yang berpengaruh terhadap hubungan seks di luar nikah adalah frekuensi hubungan seks dengan istri per minggu. Secara umum, penelitian ini merumuskan empat kesimpulan, yakni : 1. Sebagian besar ABK pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah. 2. Frekuensi hubungan seksual di luar nikah besar sekali.


16 3. Alasan melakukan hubungan seksual di luar nikah sebagian besar iseng, diajak teman, atau mencari variasi. 4. Sebagian besar ABK yang melakukan hubungan seks di luar nikah tidak memakai kondom saat berhubungan seksual. 5. Frekuensi hubungan seksual dengan istri per minggu berpengaruh terhadap melakukan tidaknya hubungan seks di luar nikah.14 14 Budijanto, Didik dan Wijiartini, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Seks di Luar Nikah para ABK di Komunitas Pelabuhan (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Depkes RI, 2001)


17 Bab II Media Massa; Dari Watchdog Ke Petdog Pendahuluan Perkembangan media massa mainstream di Indonesia dalam masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) menunjukkan sesuatu yang menarik. Bidang kajian komunikasi massa di Indonesia menunjukkan betapa pertemuan antara politik kekuasaan dengan media massa berada pada satu titik yang telah mengubah wajah media massa, utamanya media massa nasional mainstream. Para sarjana komunikasi politik meyakini hubungan kekuasaan dengan media massa sebagai kompetisi antara kelompok kepentingan terhadap sumber daya yang terbatas (utamanya kekuasaan dan legitimasinya), secara amat khusus dalam masa kampanye Pemilu (Ghazali, 2004). Pada hakikatnya media massa dan kekuasaan adalah dua pihak yang saling mempengaruhi. Dalam hal ini sesungguhnya media massa berfungsi melindungi masyarakat dari


18 kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Sebagai pranata sosial, pers bukan sekedar sarana komunikasi publik tetapi memikul tanggung jawab sosial baik dalam makna “social responsibility” maupun “social accountibility”. Begitu pula pers sebagai pranata politik (the fourth estate), bukan saja sekedar sebagai alat komunikasi politik. Tidak kalah penting menjadi avan garde cita-cita politik (cita-cita bernegara) (Jurnal Dewan Pers, 2016). Selanjutnya dalam paper ini istilah media massa digunakan sebagai pengganti istilah pers, mengingat istilah pers, sesuai dengan artinya cenderung hanya menekankan media cetak saja (dalam arti sempit) (Ngurah Putra, 2004). Fungsi lain pers dalam masyarakat demokratis berkaitan dengan kenyataan bahwa agar demokrasi dapat berjalan atau menjadi kenyataan hidup diperlukan hak-hak politik dan kebebasan sipil untuk melindungi kepentingan kelompok minoritas dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, pers memiliki fungsi sebagai watchdog (anjing penjaga) yang berfungsi untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah), organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta. Ini dilakukan agar mereka bertanggungjawab terhadap segala tindakan mereka (Ngurah Putra, 2004). Media seharusnya menyediakan informasi independen; dan idealnya menjadi wacthdog terhadap segala potensi penyelewengan kekuasaan dan kebohongan (Croteau & Hoynes, 2000: 6). Media massa menjadi watchdog terhadap pemerintah ini dibedakan dengan lapdog (anjing peliharaan), atau attackdog (anjing penyerang) bagi kekuasaan (Coronel, 2009). Jika watchdog adalah jenis media massa yang menjalankan fungsinya mengawasi pemerintahan, maka lapdog adalah media massa yang sekedar menyuarakan kepentingan pemerintah dan cenderung mengabaikan aspirasi publik, manakala attackdog adalah media massa yang cenderung menyerang pemerintah dan cenderung mengabaikan objektivitas. Para pakar politik dunia, dalam analisis kontemplatifnya tentang masa depan bidang ini kemudian mulai mengingatkan mendesaknya kajian-kajian tentang politik komunikasi yakni mengenai hak warga untuk menjadi pengelola informasi yang aktif


19 dan mandiri (Ghazali, 2004). Pada perkembangan selanjutnya terjadinya fenomena beralihnya media massa sebagai watchdog menjadi lapdog memunculkan gegar di media sosial. Kencenderungan media massa seabgai lapdog yang mengabaikan aspirasi publik membuat masyarakat memilih media yang menjadikannya pengelola informasi secara aktif dan mandiri melalui media sosial. Sejarah Media Massa Sebagai Watchdog Gagasan media massa menjadi pengawas pemerintahan (watchdog) sudah berusia lebih dari 200 tahun lamanya. Di tahun 1700-an munculnya demokrasi perwakilan liberal di Inggris dan Amerika. Pondasi demokrasi yang masih muda ini adalah prinsip "kebebasan pers" sebagai pernah dipuji oleh John Stuart Mill pada tahun 1859 dalam tulisannya On Liberty (Fisher, 2014). Pada tahun 1791, cita-cita kebebasan pers dan kebebasan berbicara masuk dalam Amandemen Pertama konstitusi sebagai bagian dari Bill of Rights dari negara demokrasi baru di Amerika yang akhirnya diadopsi oleh Kongres masa itu. Pada akhir abad ke 18 di Inggris, ketika wartawan mulai melaporkan persidangan di House of Commons, secara ideal wartawan bertindak sebagai “pemeriksa” pemerintah yan menyebabkan terciptanya metafora status kelembagaan bahwa media massa sebagai kekuatan keempat (Fisher, 2014; Hampton, 2010). Pentingnya fungsi keempat jurnalisme ini menjadi terkenal pada tahun 1950-an dengan munculnya Siebert, Peterson & Schramm (1956/1973). Dua dari empat teori pers menekankan pentingnya pers bebas untuk demokrasi dan tanggung jawab jurnalistik kepada publik. Teori pers dimaksud adalah "libertarian" dan "tanggung jawab sosial" yang disajikan untuk lebih memihak pada peran jurnalisme dalam demokrasi liberal dan fungsinya sebagai pengawas. Selanjutnya 26 tahun kemudian konsep media massa sebagai watchdog menjadi semacam mistik (Louw, 2010). Selanjutnya ide media massa memonitoring pemerintah dan mengekspos eksesnya telah menjadi daya tarik baru di banyak bagian di dunia. Globalisasi, jatuhnya


20 rezim otoriter dan sosialis, dan deregulasi media di seluruh dunia telah memicu minat baru dalam serta lonjakan dalam upaya mendukung perilaku watchdogging atau perilaku pengawasan oleh media massa (Coronel, 2010). Artinya, meski pun ide tentang watchdog ini sudah cukup lama dikembangkan, tetapi akan selalu saja ada negara harus mengkaji ulang tentang peran watchdog di negara demokrasi, sebagaimana yang terjadi di negara rezim otoriter, atau negara-negara komunis. Negara demokrasi yang dimaksud adalah negara dengan masyarakat transisi yang masih mengalami kegamangan dalam hubungan antara kekuasaan dengan media massanya. Media massa sebagai watchdog adalah kekuatan keempat demokrasi setelah setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang dalam perannya dianggap dapat menjamin terjadinya check and balances terhadap kekuasaan. Untuk mendukung pernyataan ini teori liberal klasik sejak akhir abad ke 17 telah mengemukakan pendapat bahwa publikasi dan keterbukaan akan memberikan perlindungan terbaik dari ekses kekuasaan. Ide media massa sebagai kekuatan keempat ini didasarkan pada premis bahwa negara dengan kekuasaannya harus dicegah melangkahi batas-batas mereka. Jhon Stuart Mill berpendapat bahwa free flow information (arus bebas bebas informasi) melalui pers bebas sangat penting untuk menjaga masyarakat informasi dan untuk melindungi warga negara terhadap pemerintah yang korup atau tirani (Louw, 2010). Dengan peran seperti ini, maka media massa dalam tampilan pemberitaannya tidak akan dapat dihindari sebagai media yang menyampaikan kritik secara terbuka dan akuntabel. Wujudnya sering dalam bentuk laporan investigatif yang mengiuraikan berbagai penyelewengan kekuasaan yang berlangsung dalam berbagai lembaga yang ada (Ngurah Putra, 2004). Di era tahun 1980-an dan 1990-an adalah era kebangkitan gagasan dalam hubungan kekuasaan dengan media massa ini. Sebagaimana disinggung di atas, pada umumnya kebangkitan gagasan ini muncul di reruntuhan sosialis dan rezim otoriter yang masyarakatnya sedang mengalami transisi. Gagasan akan watchdog ini sebagai respons masyarakat dalam menghadapi korupsi yang merajalela, lemahnya supremasi


21 hukum, dan pemerintah yang menjadi predator atau tidak kompeten dapat memberikan layanan dasar. Hari ini bahkan terjadi di negara-negara di mana demokrasi adalah sebuah eksperimen yang cukup baru (Coronel, 2010). Di Indonesia ide watchdog mulai berkembang di era Reformasi, atau sejak jatuhnya kekuasaan Orde Baru. Euforia media massa tidak saja terjadi secara kualitatif, tetapi juga secara kuantitatif. Anggota Dewan Pers, Wikrama Iryans Abidin mengungkapkan, secara kuantitatif jumlah media massa di era Reformasi mengalami lonjakan luar biasa ketimbang Orde Baru, dimana setahun pasca reformasi dalam sehari terbit lima media massa baru. Selama 32 tahun era Orde Baru hanya berdiri 289 media cetak, enam stasiun televisi dan 740 radio. Setahun pascareformasi jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau bertambah enam kali lipat. Jika dihitung dengan skala waktu, berarti setahun pascareformasi telah lahir 1.389 media cetak baru, atau 140 perbulan atau hampir lima media per hari. Jumlah media cetak itu kini telah berkurang dan tercatat sebanyak 830, 60 televisi, 2.000 radio berizin dan 10 ribu radio gelap. Sedangkan jumlah wartawan saat ini mencapai 40 ribu orang (Antaranews, 2008). Sedangkan secara kualitatif, media massa mengalami perubahan drastis, dan jauh lebih berani mengkritisi pemerintah. Dilihat dari hak bermedia, keadaan di Indonesia telah berubah 180 derajat (Hill dan Sen, 2000). Reformasi telah meruntuhkan segala tembok pembatas dalam hal akses terhadap media, terutama dalam memperoleh, menghasilkan, dan menyebarkan informasi. Momentumnya sangat tepat untuk melakukan reformasi hukum terhadap kerangka kerja regulasi demi menetapkan perubahan struktural jangka panjang. Salah satu agenda terbesar adalah amandemen UUD 1945. Hanya dengan cara demikianlah, kebijakan-kebijakan lain, termasuk yang terkait dengan media, dapat dikoreksi secara yudisial serta memiliki kekuatan hukum. Tanpa adanya jaminan atas hak terhadap media, usaha untuk memastikan implementasi UUD 1945, hukum, kebijakan, peraturan serta segala bentuk regulasi melalui media tidak akan memiliki landasan yang legal. Adanya Amandemen Kedua dan Ketiga atas


22 UUD 1945 menjadikan hak atas media dan informasi secara jelas ditetapkan dan dirumuskan (Yanuar dkk, 2013). Sejak masa kepemimpinan Bj.Habibie, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono KH. (SBY), media massa terlihat berperan sebagai watchdog, bahkan attackdog. Dengan terbukanya kran kebebasan pers, pemerintahan seolah-olah diposisikan sebagai “lawan tanding” bagi media massa, sehingga cenderung tendensius bahkan bombastis, meski dalam tataran tertentu terlihat menjalankan fungsinya sebagai watchdog. Namun sejak era kepemimpinan Jokowi semua yang kita lihat di sini adalah contoh yang menunjukkan seperti apa yang disebut Marshal Mc.Luhan bahwa media nasional telah melampaui fungsinya sebagai “perpanjangan manusia” (McLuhan, 1964) karena telah berperan sebagai perpanjangan pemerintah (Yanuar dkk, 2013). Iklim demokrasi semestinya merupakan jaminan bagi kebebasan bagi media massa untuk menjalankan fungsinya. Dalam demokrasi baru dan lama, gagasan media sebagai mata publik dan telinga, tidak hanya perekam pasif. Laporan yang meliputi pejabat untuk memeriksa kinerja pemerintah, adalah juga bentuk watchdogging (Coronel, 2010). Media massa haruslah pihak yang aktif melakukan penelusuran, bahkan penyidikan ke sumber-sumber yang valid sebelum menurunkan laporan yang tak terbantahkan. John Tulloch (1993) menyebut news management (manajemen berita) untuk menyebut adanya upaya di luar institusi pers untuk mempengaruhi liputan media massa. Mereka memproduksi informasi yang akan disiarkan oleh media massa dan melakukan hubungan dengan para pengambil keputusan di institusi media massa (Tulloch, 1993). Tapi konglomerasi media yang menjadi ciri abad milenial ternyata menimbulkan ekses bagi keberadaan media. Belum lagi ditambah dengan karakteristik kepemilikan media yang merambah dunia politik bahkan telah menjadi lazim pimpinan media mainstream menjadi pimpinan partai politik. Persoalan serius yang muncul kemudian akan bermuara pada dua titik ekstrem. Pertama, jika partai politik yang memiliki afiliasi dengan media massa mainsteam tertentu menjadi oposisi bagi


23 pemerintah, maka ia akan menjadi mata pisau yang tajam bagi berbagai kebijakan pemerintahan. Sebaliknya, jika partai politik yang memiliki afiliasi dengan media massa maintream tertentu maka ia akan menjadi corong kebijakan pemerintah, dan menumpulkan daya kritisnya. Dalam posisi yang kedua ini, media massa yang jati dirinya adalah watchdog (anjing penjaga) akan berubah menjadi petdog (anjing peliharaan). Watchdog di sini merujuk pada pelayan kepentingan umum, bukan kepentingan pemilik media (bisnis-ekonomi-politik).15 Media massa yang digambarkan sebagai watchdogs yang garang menyalak setiap kali ada sesuatu yang asing, apalagi yang salah dan menyimpang, telah berubah menjadi petdog, yakni anjing peliharaan yang hanya bisa mengkaing-kaing karena dihardik oleh pemiliknya yang memiliki afiliasi politik terhadap penguasa. Bab III Propaganda 15 Anggia Valerisha, “Dampak Praktik Konglomerasi Media Terhadap Pencapaian Konsolidasi Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Vol 12, No.1 2016, h.14.


24 Pendahuluan Dalam prakteknya, istilah propaganda sering digunakan dalam organisasi partai politik. Dalam struktur kepengurusan, baik di tingkat pusat sampai di tingkat daerah, dijumpai departemen propaganda. Biasanya departemen ini bergandengan dengan departemen informasi atau pun media massa yang bertugas untuk menyebarluaskan informasi dari partai politik dimaksud kepada khalayak secara luas. Mereka yang bertugas membawahi departemen ini biasanya adalah para mantan wartawan, atau orang yang dianggap dekat dengan wartawan. Tujuannya tidak lain agar memudahkan akselerasi partai politik dimaksud untuk melakukan diseminasi informasi kepada khalayak luas untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya suara pemilih. Dari akar katanya, propaganda berasal dari bahasa Latin yakni propagare yang berarti menaburkan, menyebarkan. Kata ini terambil dari kalimat Congregatio De Propaganda Fide pada tahun 1622 ketika Paus Gregorius XV mendirikan seuatu organisasi untuk mengembangkan agama Katolik Roma di Italia maupun di negaranegara lain.16 Nimmo menyebutkan dengan berdirinya organisasi tersebut para misioner 16 Sastropoetro, R.A. Santoso, Propaganda Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa, [Bandung: Alumni, 1983], h.16.


25 ditugasi untuk satu kelompok yang terdiri dari beberapa ribu pemeluk baru yang diharapkan.17 Dengan peristiwa terbentuknya organisasi tersebut menandai pertama kali propaganda dilakukan.18 Sumber lain menyebutkan sebenarnya propaganda sudah digunakan jauh berabad-abad yang lalu. Misalnya penggunaan propaganda di masa-masa awal dalam Inkripsi Behistu (515 SM) digambarkan memuat tentang kenaikan Darius I ke tahta Persia. Demikian juga propaganda dibahas dalam Arthashastra yang ditulis mahaguru Universitas Takshashila, Chanakya (35O-283 SM). Cara propaganda kemudian dipraktikkan oleh Chandra Gupta Maurya (34O-293 SM) yang tidak lain murid dari Chanakya. Chandra Gupta kemudian mendirikan dan memimpin kekaisaran Maurya dengan cara-cara propaganda. Jejak tentang propaganda tercatat juga terlihat dari tulisan Livy (59 SM) seorang penulis dari Romawi Kuno. Selanjutnya Dâlg Cais dalam bukunya berjudul The War of the Irish with the Foreigners menggambarkan strategi propaganda digunakan penguasa Irlandia di abad ke-12 dalam perang melawan kekuatan asing.19 Propaganda dari asal kata ini diartikan sebagai:20 Propaganda is systematic strategic mass communication conveyed by an organization to shape perceptions and manipulate the cognitions of a specific audience. Its ultimate goal is to direct the audience’s behaviour to achieve a response that furthers the political objectives of the propaganda organization/Propaganda adalah strategi komunikasi massa yang sistematis disampaikan oleh sebuah organisasi untuk membentuk persepsi dan memanipulasi kognisi dari audiens yang spesifik. Tujuan utamanya adalah untuk mengarahkan perilaku khalayak untuk mencapai tanggapan yang menjadi tujuan politik organisasi propaganda [tersebut]. 17 Nimmo, Dan, Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan, dan Media. Cetakan keenam, Penerjemah Tjun Surjaman, [Bandung: Remaja Rosdakarya, 2OO5], h.124. 18 Severin, Warner J; Tankard Jr, James W, Teori Komunikasi Sejarha, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi Ke-5, Dialihbahasakan oleh Sugeng Hariyanto, Cetakan ke-2, [Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2OO7], h.128. 19 Lihat Shoelhi, Muhammad, Propaganda Dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2O12), h.33. 20 Ellul, Jacques, Propaganda: The Formation of Men’s Attitudes. [New York: Vintage Books, 1973], h.11.


26 Dalam definisi ini pula, Anders G. Romarheim mengklarifikasi bahwa dalam propaganda, tidak ada ajakan untuk berdialog.21 Karena propaganda itu sifatnya tidak menoleransi diskusi. Propaganda tidak termasuk kontradiksi dan diskusi.22 Penegasan lainnya adalah bahwa propaganda tidaklah sama dengan retorika. Karena retorika lebih seperti tempat yang mengamati setiap kasus dan menyediakan persuasi yang potensial serta ideal yang merupakan hasil dari suatu proses komunikasi interaktif.23 Kemudian dalam bahasa Inggris bermakna to propagate, generate, atau to produce yang juga bermakna menghasilkan/memperbanyak sesuatu. Sedangkan berdasarkan Enclyclopedia International, maka kata propaganda masuk ke dalam salah satu jenis komunikasi yang tujuannya adalah untuk mempengaruhi pandangan, respons, dengan tidak mempedulikan nilai benar atau tidak benarnya suatu pesan yang disampaikan. Hingga dari definisi ini propaganda bermakna membuat atau menghasilkan sesuatu untuk tujuan mengembangkan dan memperbanyak sesuatu tersebut. Dengan kata lain, orang yang melancarkan propaganda akan bertujuan untuk menyebarluaskan sesuatu kepada publik secara luas untuk tujuan memperbanyaknya. Sementara menurut Menteri Propaganda Nazi Jerman, Joseph Goebbels, propaganda merupakan seni persuasi untuk membujuk dan menegaskan kepada pihak lain bahwa apa saja yang dikatakan adalah benar. Esensi propaganda adalah upaya memenangkan dukungan vital, tulus, dan luas dari masyarakat atas sebuah gagasan sehingga pada akhirnay target propaganda menyerap darinya.24 Bagi Goebbels propaganda tidak ada hubungannya dengan kebenaran.25 Menurut David Welch dalam bukunya The Third Reich Politics and Propaganda, setelah Nazi menguat pada tahun 1933, 21 Romarheim, Anders G., “Definitions of strategic political communication,” Norwegian Institute of International Affairs, No. 689 – 2OO4, h.5. 22 Ibid., Ellul, h. 11. 23 Jowett, Garth S. & Victoria O’Donnell, Propaganda and Persuasion, 3rd ed, [London: SAGE, 1999], h.28. 24 Ibid., Shoelhi, h.35. 25 Lihat Welch, David, Propaganda and the German Cinema 1933-1945, (London: I.B.Tauris Publishers, 2001), h.33.


27 Menteri Propaganda, Joseph Goebbels, menekankan pentingnya mengoordinasikan propaganda dengan kegiatan lain. Dalam kekuasaan yang diktator, propaganda harus mengendalikan massa besar dan menciptakan keseragaman pendapat dan tindakan. Namun demikian, Nazi juga memahami bahwa propaganda adalah nilai yang kecil atau bukan suatu kebijakan yang populer dan mudah diterima. Setidaknya hal ini menjelaskan mengapa Goebbels memberi kesan dan terus memberikan “perintah” pada semua staf di kementeriannya bahwa propaganda adalah kebutuhan penting untuk terus-menerus mengukur suasana hati publik. Oleh karena itu Goebbels secara teratur menerima laporan luar biasa rinci dari Polisi Rahasia tentang suasana hati orang-orang dan akan selalu mencatat dalam buku hariannya. Hitler sebagai pemimpin tertinggi [fuhrer] juga akrab dengan laporan seperti ini, dan dia menghindari kenaikan harga pangan karena takut akan merusak popularitas rezim Nazi karena menyangkut sensitivitas politik bagi terbentuknya opini publik. 26 Selanjutnya Jowett dan O’Donnell mendifinisikan propaganda adalah suatu bentuk komunikasi yang berupaya mencapai respons lebih lanjut sesuai dengan keinginan propagandis.27 Dalam pengertian ini, persuasi yang dilakukan adalah upaya interaktif untuk memenuhi kebutuhan baik orang yang melakukan persuasi maupun orang yang dipersuasi. Sebuah model propaganda yang menggambarkan bagaimana elemen-elemen komunikasi informatif dan persuasif dapat dimasukkan ke dalam komunikasi propagandistik sehingga membedakan propaganda sebagai kelas khusus dari komunikasi. Referensi didbuat untuk teori retorika terakhir yang mengindikasikan bahwa propaganda telah memiliki beberapa teori sistematis sebelum abad ke 2O. Opini publik dan perilaku yang berubah, bisa jadi merupakan efek dari propaganda. Karenanya propaganda telah menjadi kajian sejarah, jurnalisme, ilmu politik, sosiologi, dan psikologi, sebagaimana perspektif interdisiplin. 26 Lihat Welch, David, The Third Reich Politic And Propaganda, second edition, (London and New York: 2002), h.58. 27 Jowett, Garth S. & Victoria O’Donnell, Propaganda and Persuasion, 5rd ed, (California: SAGE, 2012), h.1.


28 Dari pandangan komunikasi konvensional ini, dalam perkembangan kontemporer, lahirlah disiplin ilmu komunikasi Islam. menurut perspektif komunikasi Islam, keuntungan paling besar penyampaian informasi berada pada pihak komunikan [sasaran komunikasi] bukan pada pihak komunikator. Penyampaian informasi pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kemaslahatan individu atau masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi. Di samping itu kebebasan berkomunikasi harus dibarengi dengan rasa tanggung jawab serta dibatasi oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara.28 Jika komunikasi konvensional yang dikembangkan di Barat menganut faham free of information atau kebebasan menyampaikan informasi maka komunikasi Islam menganut faham free and balance flow of information yang membatasi kebebasan komunikasi untuk lebih bertanggungjawab. Dari paparan ini dapat dilihat di dalam komunikasi Islam, propaganda tidak dikenal, karena disiplin ilmu komunikasi Islam yang bersumber dari Al-Qur’an tidak memuat petunjuk tentang propaganda. Al-Qur’an juga berbicara tentang prinsip-prinsip komunikasi yakni perkataan yang baik atau qaulan ma’rufa (Q.S.al-Baqarah/2: 235 & 263; An-Nisaa/4: 5 & 8; Al-Ahzab/33: 32); perkataan lemah lembut atau qaulan layyina (Q.S.Thaha/20: 44); perkataan yang benar atau qaulan sadida (Q.S.An-Nisaa/4: 9; AlAhzab/33: 70); perkataan yang berbekas pada jiwa atau qaulan baligha (Q.S.An-Nisaa/4: 63); perkataan yang mulia qaulan karîmâ (Q.S.Al-Israa’/17: 23); perkataan yang pantas atau qaulan maysura (Q.S.Al-Israa’/17: 28).29 Jenis-jenis Propaganda Pada prakteknya, propaganda meliputi hal-hal yang strategis dalam kehidupan bermasyarakat. Propaganda berlangsung secara lintas suku bangsa, lintas negara dan dan 28 Kholil, Syukur, Komunikasi Islami, (Bandung: Ciptapustaka Media, 2OO7), h.14. 29 Sahputra, Dedi, Komunikasi Politik Partai Politik Islam, (Yogyakarta: Orbit, 2O16), h.12.


29 disatukan oleh kepentingan yang sama. Dalam politik propaganda melekat di dalamnya kapasitas yang melampaiu hal-hal yang sepele seperti tentang hidup dan mati.30 Namun dalam praktiknya, para sarjana membagi propaganda ke dalam beberapa bentuk, yang dibedakan dari sumber dan akurasi informasi yang disebarluaskan. Seperti halnya Jowett dan O’Donnell yang membagi propaganda menjadi propaganda putih, propaganda abuabu, dan propaganda hitam.31 Gambar Jenis Propaganda Pertama, propaganda putih adalah adalah propaganda yang berasal dari sumber yang teridentifikasi sebagai sumber resmi dan atau sumber yang dikenali dengan baik. Sedangkan pesan yang disampaikan adalah informasi yang cenderung benar dan terkonfirmasi. Propaganda putih ini biasanya digunakan tujuan meningkatkan krediblitas sumber dimaksud agar mendapat kepercayaan publik. Ia memunculkan apa yang disebut dengan biased reasioning [bias penalaran]. Tujuan kepercayaan publik adalah 30 Taithe, Bertrand & Tim Thornton (eds), Propaganda: Political Rhetoric and Identity, 1300– 2000. Stroud, Gloucestershire, (United Kingdom: Sutton Publ., 1999), h.15. 31 Jowett, Garth S. & Victoria O’Donnell, Propaganda and Persuasion, 3rd ed, (London: SAGE, 1999), h.12. PROPAGANDA Propagand a Abu-abu Propagand a Hitam Propagand a Putih Sumber: terkonfirmasi Pesan: Cenderung benar Sumber: Belum terkonfirmasi Pesan: Manipulatif Sumber: Tidak jelas Pesan: Manipulatif


30 tujuan jangka pendek yang merupakan tujuan antara, karena tujuan sebenarnya adalah menggunakan kepercayaan publik tersebut ke tahap selanjutnya ketika memengaruhi dan memanipulasi pesan berikutnya, yang sangat mungkin jauh lebih penting dari persan-pesan yang disampaikan di awal. Artinya adalah bahwa propaganda putih ini diawali dengan penyebaran pesan atau informasi secara baik dan benar, sebagaimana mestinya. Namun langkah selanjutnya yang merupakan langkah terencana yang membedakannya dengan informasi yang bukan propaganda. Beberapa propaganda putih mungkin terkesan tumpang tindih dengan apa yang biasanya didefinisikan dalam pendidikan yaitu proses dimana pikiran dan karakter seseorang dikembangkan melalui pengajaran.32 Namun yang membedakan antara pendidikan dengan propaganda adalah: 'Pendidikan mengajarkan kita bagaimana untuk berpikir dalam rangka untuk memungkinkan kita membuat pikiran sendiri, manakala propaganda mendikte apa yang harus kita pikirkan.33 Kedua, popaganda abu-abu adalah propaganda yang berada di tengah-tengah antara propaganda putih dan propaganda hitam. Ini karena sumber pesan ataupun kebenaran pesan yang disampaikan bisa diketahui atau tidak diketahui. Sebuah pesan dikategorikan abu-abu jika, meskipun diketahui bersifat manipulatif atau menipu, sepanjang sumber pesan dapat diidentifikasi dengan benar. Sebaliknya, suatu pesan yang mungkin saja benar serta akurat, namun ia tetap dalam kategori abu-abu jika sumber pesan tidak diketahui. Artinya faktor kejelasan sumber pesan sangat penting untuk mengategorikan suatu pesan sebagai propaganda putih atau propagana abu-abu. Ketiga, propaganda hitam. Adalah jenis pesan siluman yang tidak jelas sumbernya, atau berasal dari sumber yang palsu. Isinya berupa kebohongan dan rekayasa dan tidak memiliki kepentingan terhadap kebenaran. Propaganda jenis ini 32 Longmans, Dictionary of English Language and Culture, (Harlow: Longman Group, 1992), h.407. 33 Cull, Nicolas J.; David Culbert & David Welch (eds), Propaganda and Mass Persuasion: A Historical Encyclopedia, 1500 to the Present, (Oxford: ABC Clio, 2OO3), h.xix.


31 secara aktif berusaha memanipulasi dan membohongi publik. Dalam propaganda hitam, segala cara dilakukan untuk membujuk publik berpihak pada kepentingan tertentu. Dalam konteks kekiniaan, hoax adalah bagian dari propaganda hitam. Pesan jenis hoax sengaja disampaikan ke publik tanpa klarifikasi dari sumber yang jelas, dan memiliki konten yang cenderung mengada-ada untk tujuan menghasut. Selanjutnya para sarjana menggarisbawahi sepasang kata yang penting dalam propaganda, yaitu informasi dan disinformasi. Informasi jelas tidak mungkin dibedakan secara jelas dengan propaganda, karena propaganda adalah informasi itu sendiri, namun disinformasi adalah lebih dekat dengan propaganda. Karena bias informasi yang kuat akan menjadi uraian yang sesuai dengan propaganda, manakala disinformasi yang disengaja adalah propaganda yang paling mudah. Artinya adalah bahwa propaganda adalah informasi yang dimaknai secara bias, atau menimbulkan efek disinformasi bagi para penerima pesannya. Di samping jenis propaganda hitam, abu-abu, dan putih di atas, Muhammad Shoelhi dalam bukunya Propaganda Dalam Komunikasi Internasional mengutip Robert Cole34 dalam bukunya Propaganda in the Twentieth Century War and Politics membagi propaganda berdasarkan sumbernya, metodenya, sistemnya, jenis kegiatannya, bentuk komunikasi yang dipilihnya, dan wilayahnya.35 Propaganda Berdasarkan Sumbernya: 1. Concealed Propaganda (propaganda tertutup). Karena sifatnya yang tertutup, maka sumber informasi propaganda tidak diketahui. Informasi yang dikembangkan secara diam-diam, tanpa menyebut sumbernya, dan berkembang dari mulut ke mulut. 34 Cole, Robert, Propaganda in the TwentiethCentury War and Politics, (New York: McGraw Hill Book Company, 1996), h.18-22. 35 Ibid., Shoelhi, h.42-45.


32 2. Revealed Propaganda (propaganda terbuka). Sesuai dengan namanya, maka sumber informasi propaganda ini jelas dan terbuka siapa yang mengeluarkannya. Siapapun yang menerima informasi propaganda ini bisa langsung menilai dari kredibilitas sumbernya. 3. Delayed Revealed Propaganda (propaganda tertunda). Propaganda jenis ini sumber inforamasinya mada awalnya tertutup dan tidak dikenali karena dirahasiakan, namun perlahan terbuka secara jelas. Propaganda Berdasarkan Metodenya: 1. Coercive Propaganda (propaganda memaksa) Propaganda ini dilancarkan dengan metode melakukan ancaman atau dengan menggunakan bahasa kekerasan. Jenis propaganda ini mirip dengan propaganda by the deed, yang membedakannya, dalam coercive propaganda masih menggunakan lambang-lambang komunikasi yang menimbulkan ketegangan jiwa (takut, seram, jijik). Target propaganda ini adalah melakukan sesutu sebagai akibat rasa takut, rasa terancam, rasa ngeri. Perasaan ini timbul karena adanya sanksi tertentu melalui pesan yang diterima. Contohnya rasa takut kehilangan pekerjaanatau nafkah, takut telantar, takut dikucilkan, sengsara, dan perasaan buruk lainnya. 2. Persuasive Propaganda (propaganda membujuk). Propaganda ini menggunakan metode persuasif dengan cara membujuk untuk menyampaikan pesan-pesan sehingga menimbulkan rasa tertarik, dengan demikian target propaganda senang dan sukarela melakukan sesuatu. Propaganda Berdasarkan Sistemnya:


33 1. Symbolic Interaction Propaganda (propaganda ineraksi simbolik). Propaganda ini menggunakan lambang-lambang komunikasi yang penuh arti, yaitu bahasa lisan ataupun tulisan, serta gambar-gambar dan isyarat-isyarat yang telah lebih dahulu dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat merangsang target propaganda untuk meneriam pesan untuk kemudian memberikan respons seperti yang diharapkan seorang propagandis. 2. Propaganda By The Deed (propaganda dengan perbuatan nyata). propaganda jenis ini menggunakan perbuatan nyata untuk memaksa target menerima pesan dan melakukan tindakan sebagaimana yang dikehendaki seorang propagandis. Propaganda Berdasarkan Jenis Kegiatannya: 1. Propaganda Dagang. Propaganda jenis ini meliputi iklan, peragaan (display), pertunjukkan (show), presentasi, pawai, pameran (expo). 2. Propaganda Politik. Propaganda jenis ini meliputi penyebaran doktrin, penyebaran keyakinan politik tertentu. 3. Propaganda Perang. Propaganda jenis ini seperti war mongering atau propaganda yang menghembuskan semangat perang; defamatory atau propaganda yang merusak nama baik kepala negara/pemerintahan; subversive atau propaganda yang bertujuan merusak atau merongrong kekuatan dan kewibawaan suatu negara dari dalam agar negara tersebut hancur; dan psychological warfare (psy-war/sykewar) atau perang urat syaraf, yaitu propaganda yang menampilkan gertakan dan pengerahan kekuatan sebagai bentuk ancaman agresi untuk menakut-nakuti pihak lawan. 4. Propaganda Budaya. Propaganda jenis ini biasanya dilancarkan dalam bentuk kegiatan pameran seni budaya, pertunjukkan film, pementasan seni/tari, pertukaran misi-misi kebudayaan, pagelaran temuan atau inovasi ilmu pengetahuan.


34 5. Propaganda Agama. Propaganda jenis ini meliputi penyebaran keyakinan atau ajaran agama. Kerap juga dilakukan dalam bentuk ceramah dan pamentasan drama tentang agama. Propaganda Berdasarkan Bentuk Komunikasi Massa: 1. Propaganda Vertikal. Propaganda jenis ini adalah propaganda yang dilancarkan dengan menggunakan berbagai macam sarana media massa. Propaganda ini lazim juga disebut propaganda fasilitatif yang menimbulkan dampak hierarkis dari opinion leader sehingga masyarakat awam. Propaganda jenis ini paling banyak digunakan baik di bidang sosial, politik, maupun ekonomi. 2. Propaganda Agitatif. Adalah propaganda yang dilancarkan dengan menggunakan berbagai alat komunikasi massa untuk mengacaukan kepentingan umum, kemudian memaksa massa mengikuti kepentingan tersebut dengan menampilkan ancaman membangkitkan ketakutan, dan kebencian, sehingga target propaganda memberikan pengorbanan yang sebesar-besarnya untuk mencapai sutu tujuan atau mewujudkan cita-cita. Propaganda Berdasarkan Bentuk Komunikasi Interpersonal: 1. Propaganda Horizontal. Adalah propaganda yang ditempuh melalui komunikasi interpersonal atau komunikasi organisasi. Targetnya adalah individu-individu tertentu selanjutnya menjadikan massa sebagai keseluruhan targetnya. 2. Propaganda Integratif. Adalah propaganda yang dilakukan melalui komunikasi interpersonal dengan target orang-orang tertentu dalam rangka penanaman doktrin, kemudian target yang sudah kuat mengikuti doktrin melancarkan propaganda pada target terntu lainnya, begitu seterusnya. Propaganda integratif ini disebut juga propaganda jaringan sel yang saling kait mengait. Propaganda Berdasarkan Wilayahnya: 1. Propaganda Regional.


35 2. Propaganda Nasional. 3. Propaganda Internasional. Instrumen Propaganda Di samping jenis-jenis propaganda yang disebut di atas, propaganda biasa dijalankan dengan menggunakan tiga instrumen. Ketiga instrumen tersebut yakni dengan memberikan labeling atau stigma/cap pada sebuah objek yang dituju, kemudian melakukan penyampaian informasi secara berulang-ulang [repetisi] atas objek yang sama, dan menggunakan media komunikasi massa sebagai alat utamanya. Gambar Instrumen Propaganda Labelling; Merupakan pelabelan atau penempelan label/stigma tertentu kepada seseorang atau kepada suatu kelompok/organisasi, baik yang positif maupun yang negatif. Contoh label negatif seperti pelabelan terhadap kelompok tertentu sebagai teroris, radikal, intoleran, dan sebagainya. Sedangkan contoh label yang bertujuan positif seperti label tokoh pluralis kepada Gus Dur, tokoh anti korupsi kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok. Konstruksi sosial dari perilaku devians [dianggap menyimpang] memegang peranan penting dalam proses labeling [penjulukan] yang terjadi di masyarakat. Proses ini tidak hanya melibatkan penjulukan pada perilaku Media Komunikasi Massa Repetisi Labeling


36 kriminal devians dimana perilakunya tidak sesuai dengan norma sosial, namun juga merelefleksikan stereotip dan stigmatisasi dari perilaku menyimpang. Satu peran yang pasti, yang dilakukan media massa dalam mengonstruksi teori penjulukan ini adalah dengan mendramatisasi penayangan ataupun informasi dengan menciptakan karakter perilaku menyimpang yang harus ditakuti ataupun justru dikasihani.36 Dalam labelling theory [teori penjulukan], label dimaksud diterapkan dalam dunia orang-orang yang menyimpang [devians].37 Dalam perkembangan selanjutnya labeling juga menggunakan stigma positif bagi individu atau lembaga tertentu. Pihak yang melancarkan propaganda biasanya menempeli pihak yang menjadi sasaran propaganda dengan cap-cap tersebut. Cara ini dilakukan tidak lain adalah untuk menjatuhkan ataupun menaikkan popularitas individu atau kelompok tertentu. Stigma yang ditempeli tersebut biasanya memiliki makna tertentu yang telah ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan. Misalnya seperti stigma tentang kelompok intoleran, diartikan sebagai kelompok yang tidak mau menerima perbedaan atau menolak perbedaan, dan merasa benar sendiri. Dengan demikian, ketika stigma ini ditempelkan kepada kelompok tertentu, benak publik kemudian terasosiasi kepada hal-hal yang negatif. Sedangkan contoh stigma positif seperti tokoh pluralis kepada Gus Dur, diartikan sebagai orang yang menerima bahkan mengakomodir dan memperjuangkan persamaan dan toleransi dalam hal agama dan budaya. Oleh karenanya saat stigma tersebut ditempelkan kepada Gus Dur maka benak publik akan terasosiasi kepada hal-hal yang positif tentang Gus Dur. Repetisi; adalah pengulangan pesan. Pihak yang melancarkan propaganda perlu mengulang-ulang stigma yang diberikan kepada objek propaganda agar semakin sering didengar atau disaksikan publik. Semakin sering publik mendengarkan stigma yang ditempeli kepada orang atau kelompok tertentu maka semakin terbentuk persepsi publik sesuai yang diinginkan si penyampai pesan propaganda. Dalam konflik, 36 Ahmadi, Dadi; Nur’aini H, Aliyah, “Teori Penjulukan“, Jurnal Mediator, Vol.32. No.2, Desember 2OO5, h.302. 37 Ibid., h.297.


37 propaganda bisa merupakan suatu kondisi yang menimbulkan kesan keterancaman, hingga perlu mendapat pertolongan. Contoh propaganda jenis ini adalah gagasan tentang “perang periodik” yang dilancarkan oleh Israel. Gagasan ini mengatakan bahwa karena secara finansial Israel sangat tergantung dari bantuan internasional, khususnya dari Amerika Serikat dan Inggris, maka bantuan-bantuan itu selalu perlu dirasionalisasi dari waktu ke waktu kepada publik dunia.38 Setelah berdirinya Israel tahun 1948, negara ini secara sistematis menyebarluaskan persoalan dalam negerinya kepada dunia, sebagai suatu ancaman terhadap eksistensi dan kelangsungan hidup mereka. Tujuannya agar dunia muncul simpati dunia dan bergerak menolong mereka. Untuk mendukung strategi maka dirancanglah perang periodik dengan negara-negara Arab, Mesir, Syria, dan Lebanon. Dalam setiap lima sampai sepuluh tahun sekali dikobarkan perang antara Israel dengan negara-negara di jazirah Arab. Perang 1948 disusul Perang 1956, lalu perang 1967, kemudian Perang 1973, selanjutnya Perang 1982. Perang periodik ini untuk menjaga ingatan publik bahwa Israel sedang dalam ancaman hingga perlu diselamatkan. Menggunakan media komunikasi publik; Media komunikasi massa adalah instrumen yang digunakan untuk melakukan repetisi terhadap stigma yang telah dirancang di awal. Media komunikasi massa yang dimaksud seperti media elektronik yaitu televisi dan radio, media cetak seperti koran, majalah dan lainnya, serta media digital seperti media online dan media sosial. Pada prinsipnya media komunikasi massa digunakan oleh pelaku propaganda adalah karena dapat menjangkau publik yang banyak dan jauh sekaligus. Contoh penggunaan propaganda positif di media televisi kegiatan tokoh tententu mengunjungi petani, pedagang, masjid, santri, disertai lagu mars partai politiknya yang ditayangkan secara berulang-ulang. Tujuannya untuk “memaksa” publik menyetujui, setidaknya tidak menentang apa yang dilakukan tokoh tersebut. Sebaliknya 38 Matta, Anis, Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih Kemenangan, (Jakarta: Pustaka Saksi: 2OO2), h.44-45.


38 tayangan televisi tentang tokoh partai politik tertentu yang tersangkut kasus korupsi yang ditayangkan dan dibahas berulang-ulang, bahkan diwarnai dengan keterlibatan wanita cantik akan menjadi informasi yang menjatuhkan kredibilitas bahkan membunuh karakter tokoh juga partai politik tertentu. Wacana Dalam Propaganda Dalam dekade belakangan ini dinamika penggunaan propaganda dalam politik di masyarakat semakin sering dilakukan. Dinamika tersebut termasuk manipulasi informasi politik, yang seringkali dilakukan oleh para politikus dan partai politik. Hal tersebut dimaksudkan untuk “menjual” politik yang beroperasi di zona abu-abu, yaitu tempat di antara retorika dan propaganda yang secara luas telah diterima sebagai cara untuk membangun citra. Kadang kala citra yang dibangun dilakukan dengan berbagai cara, tanpa melihat substansi dari personal yang menjadi subjek citra dimaksud. Padahal membangun citra atau pencitraan personal sebenarnya bukanlah persoalan yang negatif, tetapi sesungguhnya hal yang positif. Dalam kaitan ini seringkali informasi yang disampaikan media massa [berita, opini, iklan dll] merupakan propaganda.39 Hal ini sejalan dalam pandangan communication as discourse, yaitu komunikasi yang dilakukan untuk menciptakan “kenyataan kedua” dalam bentuk wacana [discourse] yang berbeda dengan “kenyataan pertama”. Hal ini disebut dengan proses konstruksi realitas. Dalam kenyataannya, wujud wacana dapat dilihat dalam beragam hasil karya pembuat wacana, yaitu:40 a. Talk (wacana dalam wujud pembicaraan), antara lain dalam wujud rekaman wawancara, komunike, pidato, yel-yel, diskusi, lobi, dan berbagai bentuk media audio lainnya. 39 Shoelhi, Muhammad, Propaganda Dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), h.107. 40 Ibid, h.109.


39 b. Tekst (wacana dalam bentuk tulisan/grafis), antara lain dalam wujud berita, esai, feature, artikel, opini, cerpen, novel, buku, dan produk media cetak lainnya. c. Act (wacana dalam bentuk tindakan), antara lain dalam wujud defile, parade, demonstrasi, lakon drama, tarian, film, video, VCD/DVD serta aneka wacana perilaku lainnya dan aneka bentuk produk visual lainnya. d. Artifact (wacana dalam bentuk wujud jejak), antara lain dalam wujud puing, bangunan, lanskap, monumen,lukisan, busana, asesoris, dan produk media visual lainnya. Model Propaganda Dalam propaganda, ada beberapa hal yang menjadi bagian pentingnya. Di antaranya yaitu tujuan dari propaganda dan proses propaganda itu sendiri. Jika tujuan propaganda ditetapkan sejak awal rancang model propaganda, maka proses adalah suatu yang berlangsung kemudian. Dalam proses propaganda akan sangat dimungkinkan berlaku berbagai hal yang penting, bahkan dapat mengubah tujuan dari propaganda tersebut. Tetapi pada umumnya upaya-upaya yang dilakukan dalam propaganda adalah menyasar pada opini publik dengan media massa sebagai sarana utamanya. Dalam banyak contoh, media massa adalah faktor penting untuk pembentukkan opini publik, dan oleh karenanya media massa menjadi target untuk dikuasai. Para perancang pesan melalui media massa cenderung untuk merekomendasikan penguasaan media massa yang dengannya rancang bangun isu yang akan disebarluaskan menjadi lebih mudah. Perdebatan tentang perlunya penguasaan media massa atau penguasaan isu bagi konsumsi media massa telah dipaparkan para pembuka buku ini. Keduanya sebenarnya memiliki posisi yang strategis dan masing-masing memiliki celah untuk didiskusikan lebih lanjut. Jowett dan O’Donnell menawarkan suatu model propaganda yang dibedakan antara tujuan dan prosesnya. Model ini juga mendekatkan antara persuasi dan


40 propaganda. Dari beberapa literatur tentang propaganda lebih cenderung kepada persuasi massal yang dekat dengan makna bahwa propaganda adalah persuasi dari satu ke banyak, dan terhubung dengan proses sosial secara umum, di mana persuasi ditujukan sebagai sebuah proses psikologis individu. Gambar Model Tujuan Propaganda Jowett/O’Donnell41 A B A C B A—sender non-mediated mediated B—receiver C—gatekeeper S—share ideas R-s—Response-shaping E—explain R-r—Response-reinforcing I—instruct R-c—Response-changing Gambar di atas menunjukkan suatu upaya yang dilakukan untuk membedakan antara tujuan dan prosesnya dan juga menunjukkan pemisahan berdasarkan tujuan dan proses tersebut. Model ini juga mengungkapkan persamaan antara persuasi dan propaganda dengan perbedaan pada penggunaan teknik berdasarkan tujuan. Tujuan dapat dilihat sebagai tindakan sepihak seorang propagandis 41 Jowett, Garth S. & Victoria O’Donnell, Propaganda and Persuasion, 5rd ed, (California: SAGE, 2012), h.29. COMMUNICATION INFORMATION S-E-I PROPAGANDA C-M-M INFORMATION PERSUASION PERSUASION R-s—R-s—R-c A To B ABOUT X C—control information flow M—manage public opinion M—manupulate behavior PURPOSE To promote the objectives of A, not necessarily in the best interest of B PURPOSE To promote mutual fulfillment of needs for A and B PURPOSE To promote mutual understanding for A and B


41 [A] yang disampaikan tanpa mempedulikan kepentingan orang lain orang lain [B]. Sedangkan secara prosesnya, propaganda dilakukan dengan menyebarkan informasi secara persuasi dengan cara mengontrol arus informasi, memenej opini publik, dan memanipulasi pola-pola perilaku. Propaganda ini menujukkan peran strategis persuasi dalam propaganda. Jika informasi dimaksudkan untuk menciptakan saling pengertian di antara kedua belah pihak dan dilakukan dengan cara membagi ide, menjelaskan, dan menginstruksikan, maka berbeda dengan persuasi. Karena persuasi dijalankan dengan tujuan menciptakan pemenuhan kebutuhan di antara kedua belah pihak yang dilakukan dengan cara mempertajam, memperkuat, dan mengubah respons. Dari definisi yang disampaikan pada ahli, persuasi ditekankan pada suatu kegiatan psikologis, yang membedakannya dengan koersi. Meski antara persuasi dan koersi memiliki tujuan yang sama, yakni untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku, tetapi persuasi dilakukan dengan halus, luwes, dan mengandung sifat-sifat manusiawi. Sedangkan koersi mengandung sifat-sifat memaksa.42 Persuasi sebagai bagian dari perangkat komunikasi seringkali didefinisikan sebagai proses komunikatif untuk memengaruhi pihak lain. Sebuah pesan persuasi memiliki sudut pandang atau hasrat perilaku bagi penerimanya untuk mengadopsinya secara sukarela.43 Propaganda Membangun Citra Membangun citra di dekade belakangan ini, khususnya dalam bidang politik, telah pula menjadi suatu disiplin ilmu yang terus berkembang. Ide dasarnya adalah dari kebutuhan untuk mengembangkan atau menyebarluaskan suatu prestasi di bidang politik dan kekuasaan untuk diketahui dan diterima publik secara luas. Selanjutnya dengan penerimaan tersebut, maka akan menciptakan dukungan publik kepada sosok personal. Namun belakangan pencitraan disalahartikan dengan melompati proses yang 42 Shoelhi, Muhammad, Propaganda Dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), h.77. 43 Ibid. Jowett, Garth, 2012, h.32.


42 seharusnya terjadi, sehingga menghilangkan satu bagian penting dari proses pencitraan itu yakni membangun prestasi yang memberi manfaat bagi publik secara luas. Jika diurut-urutkan, maka pencitraan dimaksud dilakukan dengan pertama sekali memunculkan prestasi, selanjutnya penyebaran informasi kepada publik, sebelum tercipta suatu bangunan citra yang kokoh di dalam benak masyarakat secara umum. Lebih jelasnya, proses membangun citra dilakukan dalam gambar berikut ini: Gambar Membangun Citra Dalam tahapan membangun prestasi memiliki tiga langkah yang dilakukan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Perencanaan; Dari gambaran ini terlihat bahwa suatu citra mesti diawali dengan suatu perencanaan untuk membangun suatu prestasi. Kajian perencanaan ini adalah kajian tentang analisis kebutuhan serta kecenderungan publik. Kedua hal ini menjadi unsur penting bagi perencanaan dalam konteks membangun citra positif. Karena jenis prestasi yang tidak menjadi kebutuhan publik tidak jarang mengalami pengabaian atau dianggap sebagai suatu yang eksklusif yang bukan menjadi domain publik. Pelaksanaan; pelaksanaan adalah eksekusi dari perencanaan yang berbasiskan data kebutuhan dan kecenderungan dimaksud. Dalam pelaksanaan yang dilakukan juga tidak menyimpang dari berbagai kedua unsur penting tersebut. Hal ini perlu Membangun Prestasi •Perencanaan •Pelaksanaan •Evaluasi Proses Pencitraan •Diseminasi Informasi •Media Massa Tercipta Citra Positif •Penerimaan Publik •Dukungan Publik


43 digarisbawahi karena agenda membangun citra selalu berhadapan dengan agenda lain seperti kepentingan individu yang merupakan pelaksanaan agenda tersebut. Evaluasi; oleh karenanya proses evaluasi kemudian menjadi penting. Baik evaluasi yang dilakukan tahap demi tahap, maupun evaluasi yang dilakukan di akhir proses. Evaluasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa agenda menciptakan citra yang diawali dengan membangun prestasi telah dilakukan dengan benar. Propaganda Terorisme Perang melawan terorisme telah menjadi isu utama politik internasional yang menimbulkan konsekuensi terhadap bidang politik internasional lainnya. Pasca peristiwa 9/11, propaganda menjadi fitur utama dalam perang melawan terorisme.44 Ketika seorang aktor memutuskan untuk meluncurkan strategi kampanye propaganda adalah diperlukan. Strategi ini kemudian dipahami untuk mencapai suatu tujuan. Strategi propaganda akan menggunakan bahasa tertentu atau karakter argumentasi, dan cenderung memiliki beberapa perangkat propaganda yang disebut struktur argumentasi, atau gaya, yang melampaui batas retorika.45 Media massa adalah alat utama yang digunakan dalam melancarkan strategi propaganda terkait terorisme. Di media massa pula muncul kontroversi tentang siapa yang layak disebut sebagai teroris. Klaim sekutu Amerika Serikat cenderung menyebut terorisme dilakukan oleh pihak-pihak yang mengganggu kepentingan Amerika Serikat. Di lain sisi, kelompok yang dituduh melakukan pembelaan diri dan balik menuduh Amerika Serikat beserta sekutunyalah yang lebih banyak menjalankan “aksi” terorisme.46 Kedua pihak yang saling tuduh samasama menggunakan media massa sebagai alat penyampai pesan dan bertujuan untuk merebut opini publik yang berpihak kepada tindakan-tindakan yang mereka lakukan. 44 Ibid., Cull, Nicolas, h.xx. 45 Romarheim, Anders G., “Definitions of strategic political communication,” Norwegian Institute of International Affairs, No. 689 – 2004, h.14. 46 Nunung Prajarto, “Terorisme dan Media Massa: Debat Keterlibatan Media”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Volume 8, Nomor 1, Juli 2004 (37-52), h.38.


44 Bab IV Civil Society & Media Baru


Click to View FlipBook Version