The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini membahas dinamika hubungan antara politik dengan media massa dengan berbagai variabelnya

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Dedi Sahputra, 2023-02-21 00:15:21

Politik dan Media Massa dalam Dinamikanya dengan Pendapat Umum, Komunikasi Massa, Komunikasi Politik dan Civil Society

Buku ini membahas dinamika hubungan antara politik dengan media massa dengan berbagai variabelnya

Keywords: Politik dan Media Massa

145 secara bebas membicarakan mengenai sistem pemerintahan negeri ini. Banyak yang pro terhadap kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun banyak pula yang tidak setuju terhadap cara kepemimpinannya. Dalam kondisi seperti ini, bangsa Indonesia berada dalam keadaan yang tidak lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Setiap orang seolah punya hak dan punya bukti yang kuat untuk saling menyalahkan orang lain. Rakyat mengeluh kemudian menyalahkan pemimpin, para pejabatnya, sebaliknya pemimpin juga ikut mengeluh dan menyalahkan rakyatnya, menyalahkan media massa. Saling salah menyalahkan ini terus bergulir bagai bola salju yang semakin membesar dari waktu ke waktu. Seolah-oleh setiap kesalahan itu berasal dari luar dirinya, sebaliknya dirinya seolah adalah orang yang bebas dari kesalahan. Sungguh orang-orang sekarang memang hanya bisa menyalahkan tanpa pernah ingin mencoba ikut andil dalam membangun negeri ini. Padahal, kita sudah merdeka, negeri ini secara de jure telah merasakannya kemerdekaannya. Tetapi secara de facto, masih banyak orang yang tidak merdeka dalam bersikap dan bertindak. Orang sering terkukung dalam prasangkanya sehingga mengesankan dia belum merdeka dalam bersikap terhdap dirinya sendiri dan terhadap berbagai stimulus di luar dirinya. Banyak orang yang hati dan pikiran kita masih dijajah oleh prasangka-prasangka yang timbul dari dirinya sendiri. Jika kita mencoba berpikir kembali, masalah yang muncul dalam bangsa ini bukan sepenuhnya salah seseorang, atau cuma salah pemimpin yang itu, tetapi Indonesia bisa berada dalam kondisi yang buruk adalah karena adanya kesalahan kolektif anak-anak bangsanya. Mereka suka berpola pikir dan cara hidup rakyatnya yang selalu cuek dan tak bisa menerima yang membuat bangsa ini sulit untuk maju serta mengedepankan prasangka buruk. Sudah saatnya kita mengedepankan prasangka baik, membudayakannya dan menjadikannya energi positif bagi perkembangan kemajuan bangsa. Mari sama-sama menyingkirkan prasangka buruk dalam diri kolektif kita dengan memulai dari diri sendiri. Mari bersama bergandengan tangan berjuang untuk maju.


146 Indonesia adalah negara yang kaya, ini saatnya kita satukan tekad untuk menang dan terus berjuang demi negeri ini. Di dalam dunia politik, adalah sebuah “kewajaran” saling memperebutkan kekuasaan oleh para aktor politik. Karena memang di dalam iklim demokrasi seperti sekarang ini, memperebutkan kekuasaan adalah sebuah keniscayaan. Demokrasi seolah mengharuskan jabatan yang sedikit diperebutkan oleh orang yang banyak, sehingga (idealnya) diharapkan muncul orang-orang “terpilih” menduduki satu jabatan. Pada praktiknya, politik tidak sepi oleh intrik dan praktik kotor demi sebuah tujuan yang bermuara pada kekuasaan tertentu. Menjelek-jelekkan, atau menjatuhkan orang lain dengan harapan muncul menjadi pihak yang “baik” yang menggantikan, sering menjadi tema cerita dunia perpolitikkan nasional. Semua itu bisa terjadi karena politik tidak disertai dengan etika serta nilai-nilai dan norma sebagai pandangan hidup manusia. Apalagi di negeri seperti Indonesia, semestinya banyak sekali nilai-nilai yang memagari praktik politik untuk tidak keluar dari jalur yang semestinya. Namun pada kenyataannya nilai-nilai tersebut sering tidak dipedulikan. Padahal politik dengan mengedepankan etika dan nilai-nilai moral adalah politik yang menggambarkan tingkat peradaban suatu bangsa. Semakin berada masyarakat suatu bangsa, maka semakin bermartabat cara-cara yang dilakukan untuk merebut kekuasaan. Sebaliknya semakin tidak bermartabat masyarakat suatu bangsa, maka semakin melanggar etika dan nilai norma praktik-praktik politik dalam rangka mengejar kekuasaan. Di Sumatera Utara, politik dengan mengabaikan etika ditunjukkan kemarin dalam aksi unjukrasa para wanita cantik di kantor Gubernur Sumut belum lama ini. Para wanita tersebut menggelar poster-poster yang bernada “mengejek” karena minta dikawini oleh gubernur. Bahkan ada yang tanpa malu-malu memampangkan spanduk minta dijadikan simpanan. Dari gambar-gambar yang beredar di dunia maya, tidak tampak wajah serius para wanita yang sedang berunjukrasa tersebut, mereka malah


147 tampak santai ngobrol satu sama lain. Padahal apa mereka suarakan adalah masalah serius karena menyagkut harkat dan martabat wanita. Dari aksi unjukrasa ini, aroma motif politik pun segera tercium oleh beberapa kalangan. Dari bisik-bisik yang terdengar, ada gerakan yang sengaja ingin menjatuhkan gubernur dengan cara menjatuhkan karakternya terlebih dahulu. Saya tidak tahu kebenaran bisik-bisik tersebut, dan saya tidak ingin masuk ke dalam materi politik tersebut, namun jika benar maka inilah yang disebut dengan politik tanpa etika. Politik yang karena tujuannya telah menjadi ambisi, ia menabrak berbagai rambu etika dan nilainilai norma di masyarakat. Menurut Darji Darmodiharjo dan Shidarta (2004) etika adalah sifat kritis yang bertugas; 1. Untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Diselidiki apakah dasar suatu norma itu apakah dasar itu membenarkan ketaatan yang dituntut oleh norma itu terhadap norma yang dapat berlaku. 2. Etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya, artinya norma yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis dengan sendirinya akan kehilangan haknya. 3. Etika memersoalkan pula hak setiap lembaga seperti orangtua, sekolah, negara, dan agama untuk memberikan perintah atau larangan yang harus ditaati. 4. Etika memberikan bekal kepada manusia untuk mengambil sikap yang rasional terhadap semua norma. 5. Etika menjadi alat pemikiran yang rasional dan bertanggungjawab bagi seorang ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau diombang-ambingkan oleh norma-norma yang ada. Maka jika seorang aktor politik tidak memahami etika dan norma di dalam masyarakat, tentu ia akan menjadi orang yang paling pertama melanggarnya. Karena ambisi politik sangat berpotensi memberikan “hak” kepada pelakunya untuk melakukan


148 berbagai cara dengan mencapai tujuannya. Maka sesungguhnya setiap tindakan yang akan dilakukan mesti dipertimbangkan berbagai hal menyankut etika dan nilai-nilai norma yang berlaku di dalam masyarakat. Karena hanya dengan demikian, kita dapat menjadi bagian penyumbang pembangunan peradaban. Sebaliknya jika hal-hal tersebut diabaikan atau dilanggar maka kita akan menjadi bagian bagi runtuhnya peradaban, atau dengan kata lain kita akan menjadi penyumbang kembalinya bangsa ini ke peradaban bar-bar (kebodohan). Seperti dikatakan di atas, memiliki tujuan politik di iklim demokrasi rasanya tidak dapat dibendung dengan cara apapun. Tinggal lagi bagaimana agar cara yang dilakukan sesuai dengan etika dan nilai-nilai norma yang berlaku. Menggunakan para wanita muda untuk minta dikawini atau dijadikan simpanan adalah perbuatan yang tak beretika karena merendahkan martabat perempuan. Etika Dan Kewajaran Politik Pertarungan kepentingan pihak-pihak terkait dalam bangunan pemerintahan Indonesia terus berlanjut. Setelah melalui Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) yang memunculkan Jokowi-JK sebagai pasangan terpilih, pertarungan kepentingan berlanjut di arena parlemen dalam pemilihan pimpinan DPR-RI. Sebenarnya pertarungan kepentingan seperti ini wajar saja, karena politik itu sendiri adalah pertarungan kepentingan-kepentingan. Seberapa kuat pun jika ada yang membantahnya, tetap saja tak mengubah substansi politik tersebut. Tulisan ini sekedar mendeskripsikan perjalanan bangsa ini sejak dimulainya perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) lalu. Deskripsi seperti ini menjadi perlu bahkan penting, di tengah berbgai stigma, terminologi, bahkan pertengkaran yang ramai terjadi disebabkan kabur dalam melihat deskripsi proses suksesi kepemimpinan SBY-Boediono. PascaPemilu Legislatif 2014, terjadi polarisasi politik yang kemudian mengerucut pada dua kubu yang masing-masing mengusung nama pasangan calon untuk menjadi


149 presiden dan wakilnya. Jika kekuatan partai politik kemudian terbelah menjadi dua kubu yakni Koalisi Merah Putih (KM), dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), maka itu adalah realitas politik yang memang telah dan sedang terjadi. Ini berarti ada proses realisasi dari perbedaan kepentingan yang mengutub dan berwujud pada dua kubu besar. Kalau kemudian KMP berkepentingan menjadi Prabowo-Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, maka ini juga wajar dalam politik, seperti halnya KIH juga berkepentingan untuk menjadikan Jokowi-JK sebagai pimpinan nasional. Jika hasil Pilpres memenangkan Jokowi-JK, maka inilah realitas politik yang terjadi. Selanjutnya KMP yang merasa hasil Pilpres tidak tepat, lantas mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), maka ini juga wajar. Karena MK memang sengaja dibentuk untuk mengakomodir perkara berkaitan sengketa dalam Pemilu. Artinya, ini adalah jalur konstitusi di negeri ini, oleh karenanya dia harus dianggap wajar. Hal yang wajar juga ketika KMP punya aspirasi politik untuk mengembalikan Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) ke DPRD, dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Sama wajarnya dengan KIH yang ingin Pemilukada tetap secara langsung dengan berbagai alasan dan pertimbangan pula. Aspirasi inilah yang kemudian “diuji” dalam sidang paripurna DPR RI yang menghasilkan keputusan Pemilukada dikembalikan ke DPRD. Dalam perjalanan selanjutnya, yakni proses pemilihan pimpinan DPR RI, KMP juga punya kepentingan untuk mendudukkan wakil-wakilnya, seperti halnya KIH juga punya kepentingan yang sama persis. Kalau ternyata kemudian wakil-wakil KMP-lah yang duduk di kursi pimpinan DPR RI, maka inilah yang disebut dengan realitas politik, yang harus diterima seperti harus diterimanya Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden. Lantas apa yang tidak wajar? Kalau polarisasi politik pasca Pemilu Legislatif 2014 tidak memunculkan kubu-kubuan, atau semua partai sepakat untuk menyalonkan satu pasangan calon, maka ini tidak saja tidak wajar, tetapi juga utopis. Mustahil sebegitu banyak orang yang terdiri dari para elit partai politik dengan berbagai latar belakang


150 berbeda, dan kepentingan yang berbeda pola, bisa sepakat untuk tindakan yang sama. Maka ini akan menjadi ketidakwajaran politik, dan orang pantas curiga terhadap kondisi seperti ini. Jika setelah Jokowi-JK terpilih dan jalur konstitusi berupa gugatan ke MK telah ditempuh, tetapi KMP masih juga tidak mengakui keduanya sebagai pemimpin nasional, atau masih meributkan soal kecurangan, maka tidak wajar namanya. Tidak wajar juga namanya kalau setelah sidang paripurna DPR RI memutuskan Pemilukada kembali ke DPRD lantas kubu KIH mengatasnamakan rakyat dengan mengatakan kedaulatan rakyat telah dirampas KMP. Ini tidak wajar karena ketidakpuasan para elit politik disebabkan kepentingannya tidak terakomodir lantas membawa-bawa nama rakyat. Sama tidak wajarnya ketika pimpinan DPR RI ternyata diduduki KMP, lantas kubu KIH menyebutnya dengan istilah balas dendam politik, manuver, dan stigma jelek lainnya—ini wujud sikap ketidaknegarawanan. Maka ini adalah ketidakwajaran politik yang pantas dipertanyakan, sama tak wajarnya ketika KMP menduduki kursi parlemen. Kepentingan adalah hal yang harus ada dalam politik, karena tanpa adanya kepentingan maka politik bukanlah politik. Namun ada ukuran kewajaran yang harus menjadi panduan bersama dalam untuk mewujudkan politik berkeadaban yang efektivitas dan efisiensi proses pembangunan. Tanpa adanya ukuran kewajaran, maka negeri ini akan segera terjebak dalam ketidakwajaran politik, dan itu berarti jalan ditempat atau malah mundur ke belakang. Pancasila Dan Opini Publik Di era demokrasi, memilih pemimpin sama artinya dengan eranya opini publik. Artinya sosok pemimpin akan sangat dipengaruhi oleh opini publik yang terbentuk di tengah-tengah masyarakat. Opini publik seperti semacam kata kunci untuk membuka pintu-pintu kekuasaan. Legitimasi para pemimpin bergantung pada seberapa aspiratifnya mereka terhadap opini publik yang berkembang. Maka para pemimpin maupun calon pemimpin itu kemudian mau tak mau harus dekat dengan proses


151 pencitraan. Sebagian besar opini publik yang mencuat adalah produk ‘iklanisasi’ media massa baik cetak maupun elektronik. Konon media pers saat ini pun punya telah bermetamorfosir menjadi satu kekuatan besar dan turut diperhitungkan dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Kekuasaan dalam membentuk dan mempengaruhi opini-opini rakyat membuat pers kini berdampingan dengan kekuasaan lain yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal seperti ini kemudian memunculkan suatu kondisi lain di mana pemimpin harus dekat dengan pencitraan meskipun programprogram pembangunan tak berlangsung secara signifikan. Dalam bahasa yang lebih langsung disebutkan, meskipun pembangunan keropos di dalam namun harus tampak indah di luar. Dalam demokrasi seperti ini para pemimpin juga akan cenderung—kalau ingin senantiasa dalam posisi aman—untuk mengambil kebijakan yang searah dengan opini publik yang berkembang meskipun belum tentu benar. Karena tidak jarang sebuah keputusan didasari tekanan publik serta keinginan sang pemimpin untuk menyenangkan hati rakyat maka kemungkinan besar akan mengabaikan nilai-nilai strategis dari keputusan tersebut. Akibatnya, program-program dan keputusan-keputusan penting seringkali hanya didasari oleh common sense, bukan bersandarkan pada kajian rigit yang terprogram. Walhasil, pembangunan cenderung disusun untuk jangka pendek semata untuk menimbulkan efek sensasi kepada rakyat. Faktanya, inilah yang terjadi sehingga menjadi sulit berharap bahwa kita tengah membangun landasan yang kuat untuk pembangunan kita di masa mendatang. Padahal, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya kelak oleh Sang Mahapemimpin. Peristiwa yang baru-baru terjadi, menyangkut rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menunjukkan bahwa keputusan yang diambil oleh para pemimpin dan wakil rakyat, hanya semata untuk memberikan efek sensasi itu. Padahal sebelumnya, mereka begitu bersemangat menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti sekarang ini, maka jalan terbaik adalah dengan menaikkan harga BBM. Nyatanya toh


152 BBM bisa tak dinaikkan. Maka dalam benak publik akan semakin mengakar keyakinan bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah masih bisa diubah melalui tekanan. Sebenarnya negeri ini telah menyiratkan prasyarat umum bagi seorang calon pemimpin. Prasyarat itu termaktub dalam Pancasila yang merupakan dasar negara ini. Hanya saja peristiwa politik di ujung era orde baru yang memunculkan orde reformasi telah memarjinalkan Pancasila dalam ruang publik. Orang akan cenderung untuk merasa risih ketika mendengar kata Pancasila ketika disebut. Kalau kita memunculkan pertanyaan: Apakah ada kesalahan dalam butir-butir sila maupun penjelasan dalam Pancasila itu? Jawabannya akan serentak mengatakan tidak. Karena memang bukan objeknya yang salah tetapi perlakuan terhadap Pancasila itulah yang keliru. Apabila kita coba telisik tentang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka akan banyak hal yang bisa kita dapatkan lagi untuk menata pranata sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Pancasila juga memuat bagaimana seharusnya karakter seorang pemimpin bangsa ini untuk menjadi pemimpin yang baik dan benar. Dalam sila pertama Pancasila dilambangkan dengan bintang. Ini menyiratkan bahwa seorang pemimpin haruslah punya cita-cita tinggi. Dalam bahasa politik yang sering digunakan, pemimpin harus memiliki visi yang jauh ke depan. Visi ini harus diaplikasikannya ketika kekuasaan ada dalam genggamannya. Visi tersebut harus menjadi sumber kinerjanya sekaligus menjadi haluan dalam masa kepemimpinannya. Jadi, visi itu bukan sekedar syarat di atas kertas yang dilupakan ketika terpilih. Lebih jauh, visi ini harus menyandarkan kepada yang Mahatinggi yang merupakan landasan transendental Yang Mahakuat. Maka seorang pemimpin haruslah orang yang bertakwa kepada Tuhan, secara sebenar-benar takwa. Selanjutnya dalam sila kedua Pancasila menyiratkan secara tegas bahwa untuk menjadi pemimpin harus menonjol sifat-sifat dasar kemanusiaan dalam dirinya, itulah adil. Pemimpin seperti ini adalah orang yang sadar eksistensi dirinya dan eksistensi orang lain sebagai sama-sama ciptaan Yang Mahamencipta. Sehingga dia tidak akan punya celah


153 merasa diri lebih baik dari orang lain ataupun merasa rendah. Kesadaran seperti ini akan memunculkan wujud manusia yang merupakan makhluk beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban manusia dan kemanusiaannya. Syarat ketiga dalam Pancasila menekankan syarat seorang pemimpin yang harus memiliki pola pikir pemersatu, bukan sebaliknya pemecahbelah. Atau dengan kata lain, seorang pemimpin harus bersikap dan berpikir integratif, bukan separatif. Dalam setiap masalah yang dihadapinya, kecenderungan langkah dan tindakannya adalah menyatukan, bukan malah mencerai-beraikan. Dia juga haruslah orang yang mampu mensinergikan antara satu komponen dengan komponen lainnya, karena dengan demikian tujuan persatuan itu akan terwujud. Selanjutnya dalam syarat yang terkandung dalam sila keempat Pancasila, yakni seorang pemimpin harus meyakini dalam dirinya bahwa kekuasaan tertinggi itu adalah kebersamaan, musyawarah untuk mufakat. Dia harus konsisten untuk melaksanakan kemufakatan tersebut meskipun di tengah jalan ada opini publik yang menghadang. Dengan bahasa lain, dijelaskan bahwa seorang pemimpin harus menempuh cara-cara demokratis untuk mencapai kesepakatan dan kemudian secara teguh dan utuh melaksanakannya. Ia juga harus mempunyai sifat egaliter bukan pilih kasih pada faksi atau kelompoknya sendiri. Seorang pemimpin sudah pasti berasal dari suatu kelompok, tapi dia menyadari bahwa dia bukanlah pemimpin bagi kelompoknya saja. Kemudian dalam sila kelima mensyaratkan seorang pemimpin untuk melindungi segenap kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. Melindungi kesejahteraan, melindungi ketertibannya, dan melindungi mereka dalam melaksanakan hak-hak dan kewajibannya. Atau sesuai kalimat dalam sila kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi semua. Keadilan ini berarti juga memberikan penghargaan bagi orang yang berprestasi dan memberikan jasa kepada negerinya, sebaliknya memberikan hukuman setimpal bagi orang-orang yang merugikan kepentingan orang banyak.


154 Jika kita membuka mata dengan kondisi yang terjadi sekarang ini, maka akan banyak kita jumpai pemimpin yang belum memiliki kesesuaian dengan karakter pemimpin Pancasila. Pada umumnya kekuasaan dimaknai sebagai tujuan akhir sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapainya. Dalam kondisi yang jelas sekali seperti ini maka akan sangat berpotensi untuk terjadi ketidakseinkronan prospek pembangunan. Menggantungkan Harapan Pada Pemilu? Setiap kali Pemilu datang, setiap kali harapan-harapan didengungkan. Orangorang mulai bicara perubahan, perbaikan, dan pada saat yang sama menyudutkan bahkan mengolok-olok kesalahan, ketidakmajuan, dan kemunduran masa lalu. Ini seperti menjadi format lima tahunan setiap kali Pemilu. Tapi toh nyatanya, banyak sekali persoalan yang tak beranjak maju ketika Pemilu usai. Orang juga kemudian gampang melupakan segala janji dan harapan yang pernah didengar. Hingga pada akhirnya negeri ini seperti terbelit dalam lingkaran dan terkungkung sendiri di dalam ragam persoalan— sementara negara lain terus melaju semakin jauh. Namun Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshidiqie merasa optimistis Pemilu 2014 akan lebih baik ketimbang 2009. Pada 2009, katanya, KPU di berbagai daerah dibentuk telat, sedangkan pada 2014 sudah dibentuk, meski pun ada beberapa yang belum. Selain itu, anggota KPU yang dipecat DKPP juga akan sudah banyak yang diisi kembali. Susunan KPU Pusat dan Bawaslu juga sudah siap menyelenggarakan Pemilu yang lebih baik lagi. Dia mengharapkan apa yang dilakukan DKPP dengan memecat anggota KPU di berbagai daerah yang bermasalah akan menimbulkan efek jera. Jimly juga bicara tentang integritas elektoral sistem untuk pelaksanaan Pemilu lebih baik. Tentu saja kita harus sepakat dengan apa yang dikatakan Jimly itu. Meski demikian, berbagai kondisi objektif juga mesti diperhatikan untuk benar-benar kita bisa menggantungkan harapan pada pelaksanaan Pemilu.


155 Seringkali berbagai masalah yang kita hadapi bukan berasal dari mana-mana, tetapi datang dari persoalan kita sendiri. Kita seolah tak pernah siap dan tak pernah matang dalam memersiapkan sesuatu. Dalam setiap menjelang Pemilu seperti ini misalnya, persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) akan datang menyinggahi. Padahal ini adalah pesoalan klasik yang sangat penting yang selalu terjadi. DPT yang kacau sangat rawan kecurangan dan akan mengurangi hak konstitusi rakyat, rawan diselewengkan dan memunculkan anggota legislatif siluman. Ada perbedaan basis data pemilih antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Kalau KPU menggunakan basis DPT 2009 sementara Kemendagri berbasis e-KTP. Kalau basisnya saja sudah berbeda maka hasilnya sudah pasti akan berbeda. Dalam kondisi seperti inilah pihak-pihak yang berkepentingan akan “bermain’ dalam angkaangka. Ini tak urung menimbulkan kekisruhan Pemilu. Dalam Pemilu 2009 misalnya. Tercatat lebih dari dari tujuh juta pemilih fiktif dalam DPT. Banyak data salah dalam DPT, seperti adanya pemilih ganda, masuknya warga yang belum punya hak pilih serta warga yang sudah meninggal dunia. Dalam kondisi DPT seperti ini penanganannya jauh lebih rumit lagi. Lihatlah betapa pihak-pihak itu hanya bisa saling menuding, bertindak menjadi bagian dari masalah ketimbang menjadi solusi. Nyatanya dari tahun ke tahun persoalan ini terus kambuh. Maka dengan kondisi dasar DPT yang meragukan seperti itu, tentu akan sangat sulit mencapai kondisi ideal seperti yang sering didengungkan. Satu lagi persoalan yang semakin menggejala adalah politik transaksional. Jenis politik ini dipercaya merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, namun nyatanya dianut secara massif baik oleh para politisi maupun oleh pemilih sendiri. Partai politik yang berkehendak menempatkan kader mereka di eksekutif, dan legislatif nyatanya menempuh berbagai cara untuk mendapatkan dukungan. Pasalnya, sistem elektoral di Indonesia membutuhkan biaya tinggi apalagi bagi mereka yang tidak cukup populer. Persoalan ini disiasati dengan begitu saja melalui politik transaksional--para calon senang bisa terpilih, dan khalayak pemilih pun senang karena suaranya “dihargai”.


156 Dalam kondisi seperti ini, kemudian menjadi lazim jika kader partai yang menduduki jabatan strategis menyetor upeti kepada Parpol. Semua senang, kader senang, Paprol senang, apalagi ini adalah perilaku jamak dilakukan hampir tanpa kecuali. Sampai akhirnya kita semua tiba pada kondisi yang memiriskan. Bangsa ini mendadak berada di ambang kehancuran dengan berbagai kebobrokan sistem yang ada. Tetapi ketika kondisi ini terjadi, persoalannya jadi tidak gampang untuk memerbaikinya. Apalagi kemudian ada kenyataan lain bahwa sistem politik kita yang transaksional ini cenderung oligarki. Sehingga ada penumpukkan kekuatan pada simpul-simpul tertentu. Kondisi seperti ini sebenarnya ideal saja sepanjang keseimbangan bisa terjadi. Tetapi ketika penumpukkan kekuasaan itu tak seirama dengan pemerataan pembangunan, maka ia akan dengan segera menimbulkan gejolak secara sporadis—dan lagi-lagi politik transaksional adalah obat yang dipakai untuk penyembut instan-nya. Apa yang terjadi kemudian adalah semacam ketergantungan jangka pendek dengan mengabaikan kepentingan jangka panjang. Dengan demikian secara pelan namun pastin negeri ini terus mendekati keterpurukannya. Pola pikir instan kemudian juga menjalari masyarakat pemilih. Fenomena Jokowi adalah contoh menarik yang menggambarkan kondisi ini. Sosok Jokowi yang berbicara dengan bahasa rakyat ternyata adalah sebuah pendekatan yang ternyata ampuh. Apalagi kemudian dia ataupun media massa mencitrakannya dekat dengan rakyat, hingga Jokowi yang cuma Wali Kota Solo itu bisa menembus menjadi Gubernur DKI Jakarta. Baru saja duduk sebagai gubernur, sekarang Jokowi malah digadang-gadang menjadi presiden RI, hingga akhirnya benar-benar menjadi presiden. Jika merunut pada hak politik dan hak dukungan politik sebenarnya hal tersebut sah-sah saja—ia normatif sifatnya. Tapi pandangan kritis dalam hal ini perlu dikedepankan untuk memberi gambaran yang lebih jernih tentang kondisi yang sebenarnya. Bahwa secara praktis modal Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta adalah gaya bicaranya yang menggunakan bahasa rakyat plus


157 dukungan kuat dari media. Selebihnya, sosok ini tidak menonjol, seperti halnya kepala daerah pada umumnya. Untuk jadi presiden tidak cukup bisa berbicara dengan bahasa rakyat, karena segudang kerumitan mesti dipahami dan dikuasai. Pemahaman ini harus dimiliki setiap orang yang memiliki hak demokrasi. Tanpa itu maka bangsa ini hanya akan terjebak di dalam lubang keterpurukan yang sama dari Pemilu ke Pemilu. Namun jika pola pikir instan telah merasuk dalam benak khalayak, maka tujuannya akan selalu jangka pendek seperti halnya politik transaksional yang diuraikan di atas. Dengan kondisi penuh persoalan di sana-sini menyangkut dasar pelaksanaan Pemilu, rasanya sulit untuk bisa benar-benar menggantungkan harapan pada Pemilu. Tapi tentu saja ini bukan ajakan untuk skeptis, tetapi ajakan untuk sama-sama berperan menjadi solusi dari setiap persoalan yang muncul. Pancasila Dan Toleransi Momen Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober mengingatkan kita kembali bahwa betapa negeri ini pernah mengalami percobaan penggerusan nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa bernegara. Idiologi bangsa dicoba hendak diubah, dari masyarakat yang mengedepankan religiusitas kepada kehidupan yang menjauhi nilainilai ajaran agama. Karena umat beragama di negeri ini sudah sepantasnya bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas keberadaan kita saat ini, di mana keberagamaan menjadi sesuatu yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai karya luhur para pendiri bangsa ini telah menjadi dasar uama sebuah negara yang demokratis sesuai dengan kebutuhan rakyatnya—meski belakangan ini kita merasakan seolah Pancasila menjadi sesuatu yang dipinggirkan dalam kehidupan kita. Berbagai kelompok orang menjadikan agama, misalnya hanya sebagai tameng bagi kepentingankepentingannya semata. Di sisi lain kelompok-kelompok etnis, golongan dan kelompok kepentingan masing-masing bergerak ke arahnya sendiri-sendiri untuk semata-mata


158 mengedepankan kepentingannya sendiri pula. Ini semua membuat perjalanan bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri maju dan berdikari jadi tersendat-sendat. Fenomena seperti itu terlihat dari berbagai tindakan untuk melepaskan diri dari ikatan negeri ini, dan berbagai tindakan yang merugikan kehidupan bersama seperti tawuran pelajar, kepentingan politik dan lain sebagainya. Ini semua mungkin terjadi karena tidak terpupuknya pemahaman tentang toleransi dalam kehidupan kebersamaan. Toleransi seolah sedang dilupakan—seiring dengan masuknya faham-faham asing seperti liberalisme, sekulerisme, pluralisme, ataupun multikulturalisme dan lain sejenisnya—yang seolah-olah menjadi solusi tapi secara nyata menyimpan konsekuensi. Kurangnya kesadaran dan pemahaman membuat berbagai kesepakatan nasional tidak terwujud secara maksimal, bahkan tidak sedikit yang kemudian hanya menjadi jargon semata. Semua demi kepentingan sendiri-sendiri dengan membawa nama atau mengatasnamakan kepentingan bersama, berbangsa dan bernegara. Padahal, toleransi adalah ajaran luhur nenek moyang bangsa ini yang di dalamnya memuat saling pengertian bagi kepentingan masing-masing perbedaan. Ada keberadaan yang diakui, ada proporsi yang dihormati, dan ada penghargaan bagi yang lain. Ini semua menjadi suatu kesatuan yang utuh yang mesti dikenali, dimengerti dan difahami serta diimplementasikan di dalam kehidupan kebersamaan berbangsa dan bernegara. Toleransi pada dasarnya mengedepan pengertian terhadap adanya perbedaan tanpa harus menyamakan antara yang satu dengan yang lain. Toleransi mengajarkan menghargai perbedaan dan memberi hak-hak kepada yang lain sesuai dengan kepantasannya. Oleh karenanya jika toleransi berjalan dengan baik, maka akan tercipta keseimbangan di tengah-tengah masyarakat karena semuanya terpenuhi haknya secara cukup dan tepat tanpa kekurangan ataupun berlebihan. Keseimbangan inilah yang menjadi pangkal bagi terciptanya sinergi yang memiliki akselerasi tinggi. Seperti halnya analogi seorang atlet yang kuat berlari cepat, itu tidak lain karena ia memiliki keseimbangan proporsi dalam tubuhnya—baik keseimbangan kandungan vitamin dan


159 zat-zat yang dibutuhkan dalam tubuh maupun keseimbangan dalam bentuk tubuh yang proporsional, tidak terlalu kecil, tidak juga terlalu besar. Karenanya, untuk mencapai keseimbangan dan akselerasi yang tinggi, maka seluruh energi bangsa ini sudah seharusnya digunakan untuk mencapai keseimbangan tersebut. Dengan begitu, kesadaran untuk mengedepankan toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah suatu keniscayaan yang mesti disadari dan diperjuangkan bersama. Ini semuanya mestinya menjadi renungan kita bersama agar menjadi bahan kajian mendalam agar nasib bangsa ini tidak berakhir tragis dan bisa bangkit dari keterpurukan. Karena kalau kondisi kita tak kunjung stabil maka kita akan terus menerus dihinakan dalam kehidupan dunia yang mengglobal. Sebagai bangsa kita tentu merasakan bahwa harkat dan martabat kemandirian kita sering sekali terganggung oleh berbagai kepentingan global. Soal terorisme misalnya, kita seperti tidak punya sikap sendiri karena seluruh sikap yang diambil oleh para penentu kebijakan, tidak lain adalah terjemahan dari sikap bangsa lain. Kita tak ubahnya seperti “pesuruh” yang diberi upah untuk melakukan sesuatu. Alangkah menyedihkannya. Soal penentuan kebijakan ekonomi lain lagi. Kita seperti tidak lagi mampu untuk menghidupi diri sendiri tanpa bergantung dari orang lain. Untuk kebutuhan mendasar yang menjadi produk asli bangsa kita seperti tempe saja kita tak lagi sanggup memenuhinya sendiri tanpa harus mengimpor dari luar negeri. Pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan semakin terasa sebagai sebuah permainan angka-angka belaka, karena orang-orang tak pernah benar-benar merasakan dampak dari pertumbuhan itu. Ada lagi yang tak kalah menyedihkan, yaitu dalam hal kebijakan transportasi massal. Dari hari ke hari, jalanan di negeri ini semakin dipenuhi oleh tumpukan kendaraan yang semakin menyesakkan. Pemerintah seperti tidak bisa melakukan apaapa selain melihat saja kemacatan yang semakin membuat anak bangsa ini terpuruk dalam kepanikan abadi—sambil menarik keuntungan pendapatan dari kondisi ini. Kebijakan transportasi massal seperti kereta api seperti tak mau disentuh karena akan


160 merugikan para produsen kendaraan bermotor baik sepedamotor maupun mobil. Lihatlah, bahkan bus-bus angkutan umum yang mampu mengangkut puluhan orang sekaligus, perlahan telah hilang dari peredaran—ini karena merugikan bagi penjualan kendaraan pribadi. Padahal, di mana pun di dunia ini, untuk menjawab pertanyaan tentang upaya mencegah kemacatan adalah dengan peremajaan, dan mengeksplorasi pemanfaatan angkutan massa seperti kereta api. Tapi justru itu pula yang dihapus dari perhatian bangsa ini. Betapa malangnya. Pemerintah hanya mampu mengatakan bahwa subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) telah memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan subsidi tersebut berpotensi untuk membuat timpang APBN. Tapi nyatanya, kebijakan pemerintah malah terus mendukung jutaan kendaraan pribadi baru keluar dari showroom dan memadati jalanan sembari “meminum” sebanyakbanyaknya BBM dari perut bumi. Ini semua bisa terjadi karena adanya pengingkaran dari nilai-nilai Pancasila—tidak terjadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Toleransi sebagai turunan dari terjemahan Pancasila itu telah diabaikan hingga kebijakan bangsa tidak lagi merujuk pada azas proporsi dan keseimbangan. Maka akibatnya terjadilah ketimpangan di mana-mana, ketimpangan yang pada akhirnya akan meruntuhkan. Di momen Hari Kesaktian Pancasila kali ini sudah selayaknya seluruh anak bangsa untuk berpikir ulang tentang nilai-nilai pemersatu bangsa ini. Nilai-nilai toleransi yang mensyaratkan keseimbangan dan proporsional mesti diterjemahkan secara lebih konkrit dalam berbagai bidang. Di bidang ekonomi, nilai ini mesti dijalankan, karena tidak akan terjadi keseimbangan apabila penguasaan ekonomi hanya berada di kalangan minoritas saja. Di bidang agama, sudah sepantasnya yang lebih kecil mendapatkan porsi sesuai kapasitasnya dan yang lebih besar mendapatkan hak sesuai porsinya juga. Dalam bidang politik, sudah selayaknya setiap kebijakan menganut azas keseimbangan dan proporsional ini. Semuanya dilakukan dalam bingkai saling mengakui keberadaan yang


161 lain, dan saling menghargai satu sama lain. Hanya dengan begini bangsa ini bisa mulai bangkit dan berbenah diri. Mencari Motif Kisruh Parpol Persoalan partai politik (Parpol) yang kisruh dan pecah, sepertinya sudah menjadi berita yang biasa di negeri ini. Banyak Parpol yang dideklarasikan dengan penuh semangat, hanya untuk berpecahbelah pada akhirnya. Pihak yang kalah dan tidak merasa puas kemudian mendirikan partai baru, yang pada akhirnya juga akan terpecah, dan “beranak” lagi dengan munculnya partai baru lagi. Ditinjau dari asal konflik, biasanya dibedakan menjadi tiga bagian, yakni dari faktor internal Parpol, faktor eksternal Parpol, dan gabungan faktor internal dan eksternal Parpol. Biasanya faktor pertama dipicu oleh faktor internal Parpol yang karena memiliki dampak pada lingkungan eksternalnya, maka pihak-pihak di luar Parpol pun kemudian ikut memengaruhi. Dari faktor internal maupun eksternal ini, masing-masing memiliki motif-nya sendiri, sehingga membuatnya tergerak melakukan sesuatu yang pada gilirannya menimbulkan kisruh partai. Menurut M. Ngalim Purwanto (1990), motif adalah suatu dorongan yang timbul dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut mau bertindak melakukan sesuatu. Sedangkan Rochman Natawijaya (1980), menyebutkan bahwa motif adalah setiap kondisi atau keadaan seseorang atau suatu organisme yang menyebabkan atau kesiapannya untuk memulai atau melanjutkan suatu serangkaian tingkah lakuatau perbuatan. Selanjutnya Sudibyo Setyobroto (1989), menegaskan bahwa motif adalah sumber penggerak dan pendorong tingkah laku individu untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai tujuan tertentu. Maka dari beberapa defenisi tersebut, jelaslah bahwa motif memiliki peran sangat penting dalam setiap tindakan atau perbuatan manusia yang dapat diartikan sebagai latar belakang dari tingkah laku manusia itu sendiri. Motif adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk melakukan perbuatan sehingga tercapai suatu


162 kebutuhan yang diinginkan. Husdarta (2011) membagi beberapa landasan motivasi di antaranya: Landasan Hedonisme, yang beranjak dari pandangan bahwa pada hakikatnya manusia akan memilih aktivitas yang menyebabkan merasa gembira dan senang; Landasan Naluri yang menghubungkan perilaku manusia dengan berbagai naluri. Misalnya naluri untuk mempertahankan diri, mengembangkan diri, dll; Landasan Kebudayaan, yang menghubungkan tingkah laku beradasarkan kebudayaan di mana seseorang berada; dan Landasan Kebutuhan, bahwa tingkah laku pada hakikatnya bertujuan memenuhi kebutuhan. Seperti ramai diketahui, sebelum konflik di tubuh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), muncul persiteruan antara Koalisi Merah Putih (KMP), dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kalau KMP adalah koalisi partai oposisi di parlemen, maka KIH adalah partai pendukung pemerintah. Pemerintah berada pada posisi genting karena koalisi oposisi merupakan jumlah mayoritas karena lebih separuh jumlah kursi parlemen. Pemerintah merasa terancam dan “tidak aman” dengan peta kekuatan seperti ini sampai tibalah waktunya musyawarah nasional Partai Golkar, dan muktamar PPP dengan agenda utama pergantian kepengurusan. Secara internal “sekonyong-konyong” muncul dua kubu di kedua partai ini. Dan apa yang dilakukan pemerintah kemudian dengan “telanjang” mendukung kubu yang bakal membawa kedua partai tersebut menyeberang dari KMP ke KIH. Jika Agung Laksono akan membawa Golkar ke KIH, maka Romy juga akan bergabung ke KIH. Disebut mendukung, bahkan intervensi, karena tindakan yang dilakukan pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) Yasona Laoly serba terburuburu dan sulit untuk tidak dikatakan berpihak dengan melakukan intervensi. Dalam hitungan jam setelah dilantik, Laoly langsung mensahkan PPP kubu Romy meskipun harus kalah di Pengadilan Tatan Usaha Negara (PTUN). Di partai Golkar, Laoly mensahkan Golkar kubu Agung dengan alasan berlandaskan keputusan Mahkamah


163 Partai Golkar. Padahal, Prof Muladi sebagai hakim ketua Mahkamah Partai Golkar sendiri menyatakan bahwa mahkamah partai belum mengeluarkan keputusan apa-apa. Sejak masa pemeritahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah muncul wacana pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara serentak. Alasannya, selain untuk efisiensi, juga menghemat anggaran. Usulan ini disambut Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jokowi, yakni Tjahjo Kumolo. Tjahjo mengatakan, pemerintah siap menggelar Pemilukada langsung serentak Desember 2015. Kesiapan tersebut salah satunya termasuk anggaran untuk daerah-daerah yang akan menyelenggarakan Pemilukada. Kemendagri saat ini tengah menyiapkan payung hukum yang memperbolehkan daerah menggunakan APBD perubahan. Daerah yang dimajukan jadwal Pemilukadanya yang belum siap anggarannya, dengan payung hukum itu, dia bisa menggunakan perubahan APBD atau bisa pos-pos lain yang bisa dipertanggungjawabkan kemudian. Artinya tidak ada halangan anggaran untuk pelaksanaan Pemilukada serentak di tahun ini. Menurut Tjahjo akan ada 273 daerah yang akan menyelenggarakan Pemilukada di tahun 2015. Selain anggaran juga, payung hukum terkait pelaksanaan Pemilukada serentak yakni UU Pemilukada juga telah rampung dan disetujui. "Secara prinsip pemerintah dan KPU didukung kepolisian, partai politik dan masyarakat telah siap mengadakan Pemilukada serentak 2015,” kata Tjahjo. Jika Pemilukada serentak benarbenar dilaksanakan pada tahun ini, maka bisa dibayangkan betapa sibuk negeri ini dalam urusan politik. Bukan cuma sibuk, karena bagi Parpol, ini juga masa “panen” yang akan menghasilkan pundi-pundi yang sangat banyak. Kepentingan kekuasaan Parpol adalah persoala krusial lainnya. Oleh karenanya faktor Pemilukada serentak ini sangat dipengaruhi tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan uang. Jika merujuk dua sebab di atas, maka kisruh yang terjadi di Parpol sekaran ini didominasi kepentingan para elit politik yang getarannya sampai menyentuh masyarakat. Oleh karenanya sudah saatnya para elit partai menggunakan kedewasaannya dan motif


164 yang benar dalam menggunakan berbagai perangkat dalam tata kelola pemerintahan yang ada, karena hal tersebut menjadi contoh bagi masyarakat. Memosisikan Politik Kesejahteraan Rakyat Hari ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa keberpihakan kepada kesejahteraan rakyat belum menyentuh kepentingan substansial rakyat itu sendiri. Masih ada saja rakyat kecil yang teraniaya secara hukum, masih selalu terdengar persoalan utang-piutang bank merugikan tukang beca dan lain sebagainya atau rakyat miskin yang tak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Maka tidak berlebihan jika ada yang menyebutkan bahwa politik untuk kesejahteraan rakyat masih sebatas jargon untuk kepentingan politik itu sendiri. Sejak lama politik yang dibicarakan hanya politik membangun kekuasaan yang dalam persepsinya Gus Dur disebut sebagai politik anak TK. Politik diposisikan sebagai komoditi yang diminati, mendominasi secara keseluruhan seolah persoalan politik adalah persoalan yang paling penting di negeri ini. Begitu menariknya politik kita, dia dikemas dalam berbagai wajah dikonsumsi secara masif oleh media sehingga serta merta menjadi primadi primadona. Perhatian masyarakat pun tersedot untuk masalah-masalah politik. Bahkan ada penilaian negatif, politik sudah menjadi salah satu mata pencaharian dan sumber nafkah (livelihood). Maka politik sebagai persoalan distribusi kekuasaan yang salah satu agendanya menciptakan kesejahteraan rakyat kemudian dilupakan. Pada bagian lain, politik untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana fitrahnya, malah terabaikan. Dalam catatan akhir tahun Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan, anggaran negara tahun 2011 masih mengabaikan kesejahteraan rakyat. Ini disebabkan adanya anggaran terkonsentrasi untuk kepentigan para elit politik dan birokrat. Firta menemukan penyimpangan perjalanan dinas terjadi di 4 Kementerian Lembaga dengan total penyimpangan hampir Rp83 milliar. Contohnya di sektor kesehatan, pemerintah tidak memenuhi lima persen


165 anggaran kesehatan yang ada. Anggaran pemerintah pada tahun 2011 ini hanya mencapai 1,94 persen dengan total anggaran sebesar Rp27,6 triliun. Dalam implementasinya, penanganan gizi buruk jadi sangat tidak maksimal, yang dalam catatan Fitra hanya mengalokasikan anggaran 51 ribu per kasus gizi buruk. Ini tentu jumlah yang sangat sedikit sekali. Persoalan kesejahteraan rakyat yang riil tak kunjung difasilitasi pemerintah ini memang bukan masalah baru. Karena dalam sejarah ekonomi negeri ini selama dijajah 3,5 abad menggambarkan eksploitasi sistem kapitalisme liberal atas ekonomi rakyat. Semuanya mengarah pada akibat pemiskinan dan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat yang sangat pincang. Struktur sosial ekonomi yang tak berkeadilan sosial ini, melalui tekad luhur proklamasi kemerdekaan, hendak diubah menjadi masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan warisan sistem ekonomi dualistik dan sistem sosial-budaya pluralistik, bangsa Indonesia membangun melalui “eksperimen” sistem sosialis dan sistem kapitalis dalam suasana sistem ekonomi global yang bernaluri pemangsa (predator). Eksperimen pertama berupa sistem ekonomi sosialis (1959-66) gagal karena tidak sesuai dengan moral Pancasila dan pluralitas bangsa, sedangkan eksperimen kedua yang “demokratis” berdasar sistem kapitalisme pasar bebas (1966 – 1998) kebablasan karena paham internasional liberalisme cum neoliberalisme makin agresif menguasai ekonomi Indonesia dalam semangat globalisasi yang garang. Etika pembangunan yang mengalami kemerosotan terlebih di bidang hukum berkaitan erat dengan pemaksaan dipatuhinya aturan main global yang masih asing dan sulit dipenuhi perusahaan-perusahaan nasional. Aturan main globalisasi dengan paham Neoliberal yang garang terutama berasal dari ajaran “Konsensus Washington” telah menyudutkan peranan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan


166 jalan pintas para pelaku bisnis untuk memenangkan persaingan secara tidak bermoral yang merasuk pada birokrasi yang berciri semi-feodal. Etika Ekonomi Rakyat yang jujur, demokratis, dan terbuka, yang menekankan pada tindakan bersama (collective action) dan kerjasama (cooperation), merupakan kunci penyehatan dan pemulihan ekonomi nasional dari kondisi krisis yang berkepanjangan. Inilah moral pembangunan nasional yang percaya pada kekuatan dan ketahanan ekonomi bangsa sendiri. Kesemuanya masalah itu mengarahkan negeri ini pada kondisi bahwa para elit tidak memahami substansi politik untuk kesejahteraan rakyat banyak. Politik dipahami hanya sebagai ajang meraih tangga kekuasaan dan jabatan belaka. Pendapat yang muncul di kalangan masyarakat pun negatif. Politik itu kotor, politik itu penuh kekerasan, politik itu ajang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak lain disebabkan oleh oknumoknum pelaku politik yang menyalahgunakan dunia politik demi kepentingan sendiri maupun golongan tertentu. Penyempitan makna itu terjadi juga dalam lingkup etika politik. Paul Ricoeur mendefinisikan etika politik sebagai hidup baik bersama dan demi orang lain untuk semakin memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusiinstitusi yang adil. Pendekatan pragmatisme yang menjadi ideologi teknokrasi cenderung mengabaikan proses partisipasi dan prosedur parlementer yang menjadi tulang punggung demokrasi. Dalam konteks politik, pemberdayaan (politik) semestinya menjadi isu dan gerakan utama dari berbagai pihak. Hal ini karena politik pada dasarnya adalah pengelolaan ragam kepentingan untuk penentuan nasib bersama dalam ruang atau skema sistem politik yang secara operasional terwujud melalui kebijakan publik. Relasi yang timpang hanya akan menjadikan ruang politik sebagai arena dominasi elite (penguasa) yang memaksakan kepentingannya atas massa (rakyat). Pada titik ini, dengan jelas ditunjukkan bahwa pemberdayaan (politik) masyarakat masih menjadi aspek yang terabaikan dalam wacana dan aksi politik kebijakan. Penguasa yang dominan (hegemonik) hanya akan menghasilkan tatanan pemerintahan yang buruk dan


167 rendahnya kualitas kebijakan. Hal ini karena secara sistimatis, rakyat ditaklukkan melalui persuasi manipulatif yang menempatkan rakyat dalam posisi pinggiran dan tidak berdaya. Persis dalam posisi ini, maka ruang akuntabilitas menjadi formalistis, transparansi menjadi buram dan kebijakan yang adil menjadi langka. Namun, dalam ruang hegemonik ini, penguasa justru mendapat legitimasi atas perilaku dominatifnya tersebut dari rakyat. Pemberdayaan sebagai upaya membongkar relasi yang timpang antara elit dengan rakyat harus diakui masih belum dilakukan secara sistimatis. Dalam kasus Pilkada misalnya, elit politik masih dengan mudah memanipulasi kesadaran masyarakat tentang kekeluargaan, etnik dan agama secara sempit hingga cara yang lebih kasar melalui politik uang. Dalam kondisi seperti ini maka akan muncul tuntutan-tuntutan seperti tuntutan akan pemahaman bersama terhadap defenisi politik sebagai hidup baik bersama dan untuk orang lain. Politik mesti dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara demi kesejahteraan dan kebaikan bersama. Politikus adalah sosok jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan kekuasaannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaankeutamaan moral. Eric Weil mengatakan, politik merupakan suatu gerak yang berangkat dari moral dan melampauinya dalam suatu teori tentang negara Tentu saja politik bukan seperti yang dipahami politikus, tetapi bagi orang yang mencoba mencari makna di dalam politik. Maka politik beranjak dari moral. Cara pandang moral ini harus mengakar dalam cara pandang politikus yang diorganisir oleh negara agar bisa diterjemahkan dalam realitas politik. Dengan demikian, semua gerak yang berangkat dari moral harus membawa kepada pernyataan kondisi: Negara adalah organisasi suatu komunitas yang menyejarah, dengan diorganisir dalam bentuk negara, komunitas itu mampu mengambil keputusan-keputusannya. Moral sebagai titik tolak politik menjadi penting karena politik


168 akan mengetuk nurani. Orang-orang yang mampu memasuki dimensi moral dalam kehidupannya akan menyesuaikan dengan etika politik dalam praktik-praktik politik. Meluruskan Stigma “Politik Aliran” Pada Pilpres 2014 dua pasangan calon presiden (Capres) mengerucut pada pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa, dengan Jokowi dengan Jusuf Kalla (JK). Rasanya belum pernah setegas ini pemilahan dua kelompok yang secara praktis berseberangan secara ideologis. Oleh karenanya ada benarnya juga ketika ada yang menyebut bahwa pemilihan presiden (Pilpres) kali ini adalah bagian dari “perang ideologi” di antara dua kubu, Islam di sisi Prabowo, dan sekuler di sisi Jokowi. Karena di sisi partai-partai pendukung Prabowo-Hatta merupakan posisi umat Islam dengan bergabungnya secara saklek Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sedangkan Prabowo sendiri sebagai pimpinan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sudah sejak lama dikenal dekat dengan gerakan Islam di Indonesia. Dengan bergabungnya Partai Golkar yang meski merupakan partai berideologi nasional, tetapi partai ini memiliki akar keislaman yang kuat. Sebagai penguasa Orde Baru, Golkar di bawah kendali Pak Harto waktu itu—di ujung masa kepemimpinannya dekat dengan gerakan keIslaman—ditandai dengan dibentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ini adalah langkah besar sekaligus bibit keIslaman yang menyemai di tubuh partai Golkar. Pada kubu yang lain ada Jokowi dan JK yang dipimpin oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebagai partai yang berlabelkan demokrasi, sejak dulu PDI-P ini memang punya khas tersendiri, yakni keputusan yang terpusat di ketua umumnya yakni Megawati. Berbagai pihak mengkritik demokrasi ala PDI-P ini, yang dianggap justru menyalahi demokrasi itu sendiri. Partai yang pertama kali bergabung dengan PDI-P adalah Nasional Demokrat (NasDem) dengan Surya Paloh sebagai lokomotifnya. Sama halnya dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) besutan Wiranto,


169 tidak sulit memahami akar koalisi mereka; karena sama-sama berideologi sekuler. Sebaliknya akan sulit untuk partai seperti ini berkoalisi dengan partai Islam karena dari dasarnya yang berbeda. Akan halnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang banyak dipersepsikan sebagai partai Islam karena kedekatannya dengan Nahdlatul Ulama (NU), sebenarnya tidak terlalu mendekati kenyataan. Karena sejak masa Gus Dur yang pertama kali mengusung partai ini, dan menjadi penyangga utama masa itu—Gus Dur sendiri memiliki pemahaman liberal dalam melihat agama. Maka bisa dipahami, dalam kondisi seperti ini PKB akan lebih dekat dengan partai sekuler ketimbang dengan partai Islam. Alasan yang dikemukakan Muhaimin Iskandar karena sudah punya pengalaman buruk selama koalisi dengan partai Islam seolah cuma jadi pembenar bagi hasratnya sedari awal untuk bergabung dengan partai sekuler. Keraguan akan kebenaran pernyataan Muhaimin Iskandar ini tentu akan dimaklumi banyak orang ketika ternyata Mahfud MD dan Rhoma Irama telah menjadi korban janji Muhaimin yang palsu. Memahami Istilah “Politik Aliran” Partai politik Islam atau gerakan Islam ini oleh pihak Barat selalu di-stigma dengan istilah politik aliran. Stigma ini sendiri sengaja ditempelkan untuk maksud negatif bahwa politik aliran adalah politik yang tidak sehat dan tidak seharusnya ada di iklim demokrasi. Celakanya para sarjana kita sering menelan mentah-mentah pernyataan ini tanpa daya kritis. Sarjana yang seperti ini pada umumnya memiliki pendidikan Barat, yang mengecap doktrin-doktrin Barat selama mereka menimba ilmu. Padahal kita akan selalu menemukan benang merah antara para penyambung ideologi Barat ini dengan pernyataan Philip Coombs, seorang mantan Undersecretary Amerika semasa Presiden John F.Kennedy. Dia menekankan bahwa pendidikan adalah salah satu aspek penting dari politik luar negeri Amerika Serikat di samping ekonomi, diplomasi, dan militer. Dengan berakhirnya perang dingin membuat kepentingan pendidikan tinggi semakin strategis. “Persenjataan modern lebih bergantung pada ilmu pengetahuan ilmiah


170 dibandingkan dengan hitungan tradisional jumlah tentara dan banyaknya perlengkapan militer,” katanya. Begitulah, para sarjana Barat ini kemudian telah sedemikian rupa menjadi “senjata” strategis di negaranya masing-masing yang secara sadar ataupun tidak sadar telah bekerja untuk kepentingan negara yang mendidiknya. Pemikiran Clifford Geertz ditelan bulat-bulat bahwa, katanya, secara praktis sosio-religiusitas umat Islam di Indonesia disebut sebagai “politik aliran”. Mereka juga menebarkan paham bahwa tidak ada bedanya antara Parpol Islam dengan Parpol sekuler dalam tataran praktis. Hal yang selalu absen dalam pembahasan adalah bahwa politik aliran adalah kelaziman di berbagai belahan dunia ini. Khususnya dalam pemilihan pemimpin, orang akan cenderung memandang latar belakang agama, etnis, suku bangsa seorang calon presiden. Nyatanya toh orang-orang yang menjadi pemimpin di berbagai negara selalu saja berasal dari komunitas yang minoritas atau memiliki banyak kesamaan dengan rakyat pemilihnya. Jika di suatu negara mayoritas beragama Kristen, atau Hindu, maka pemimpinnya juga berasal dari masyarakat yang beragama sama. Demikian pula tentunya jika dalam masyarakat mayoritas beragama Islam maka adalah kelaziman dipimpin oleh orang dari kalangan umat Islam. Sama halnya dalam kondisi masyarakat yang mayoritas dihuni oleh orang Melayu, China, Afrika, Eropa dan lain sebagainya. Kecenderungan pada agama dan etnis adalah persoalan nyata yang tidak boleh melihatnya dengan cara menutup mata. Bahkan Amerika Serikat sebagai kampiumnya demokrasi sekalipun hampir saja menjungkalkan Barack Obama karena dia diisukan beragama Islam karena ada anggota keluarganya beragama Islam. Betapa menganut agama Islam di Amerika sudah menjadi “dosa besar” hingga tak layak untuk jadi presiden. Di iklim demokrasi, sikap seperti ini tentunya sah-sah saja. Hanya saja kemudian ketidaktahuan khalayak sering menjadikan hal seperti ini sebagai “senjata” untuk menjatuhkan lawan-lawan politik mereka. Politik aliran kemudian menjadi stigma negatif untuk menjelek-jelekkan eksistensi suatu partai politik. Bahwa sebenarnya politik aliran adalah suatu kemestian karena ia adalah lingkungan yang melahirkan dan menjiwai


171 suatu gerakan politik. Jika di Indonesia ada Parpol Islam, maka di Jerman misalnya ada partai sosialis, atau partai komunis di China. Partai komunis mustahil hidup di Indonesia karena saat ini tidak ada lingkungan yang menjadi rahim kelahirannya, sama halnya tidak mungkin partai Islam muncul di China. Jadi, kalau politik aliran adalah keniscayaan. Koalisi Partai Lama-Baru Tahapan dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) memasuki masa yang krusial—setelah tahap pendaftaran pasangan calon dari jalur independen terlewati tanpa satupun pasangan yang dinilai memenuhi syarat, kini masuk tahap pendaftaran oleh partai politi (Parpol). Di tahap ini para Parpol sudah harus mencalonkan jagoannya untuk berlaga di Maret 2013.Di tahap ini suhu politik di Sumatera Utara akan semakin menghangat, karena tarik menarik kepentingan di internal maupun eksternal Parpol akan sangat mempengaruhi. Bahkan berbagai stakeholders masyarakat akan ikut terlibat— baik secara langsung maupun tidak langsung—dalam berbagai dinamika yang terjadi. Faktor lama dan baru ini lebih kurang memiliki perbedaan spesifik dari partai baru yang pada gilirannya akan membentuk pola akselerasi politik yang berbeda pula. Ini terkait dengan fungsi dari Parpol itu sendiri yang meliputi representasi, rekrutmen, perumusan tujuan, artikulasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi dan mobilisasi politik, serta tujuan pengorganisasian pemerintah. Parpol lama yang dimaksud dalam tulisan ini adalah partai yang terbentuk dari fusi beberapa partai yang ikut mewarnai perkembangan bangsa ini selama pemerintahan Orde Baru. Mereka adalah Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP/PDI). Sedangkan partai baru dikelompokkan pada partai yang muncul pasca Orde Baru, atau di luar ketiga partai tersebut di atas. Dari beberapa partai baru yang ada, ada yang memiliki sejarah di masa Orde Lama, atau memiliki kesamaan nama. Namun dari perjalanan empiriknya, ada keterputusan sejarah karena eksistensinya di panggung politik nasional telah terkelompokkan ke dalam tiga partai di atas.


172 Dari dinamika yang terjadi menjelang Pilgubsu 2013, Parpol-Parpol ini terpetakan kekuatannya ketika akan menyalonkan jagonya. Ada yang telah mencapai titik aman karena, selain telah memiliki jagoan—hanya menunggu momentum, ada juga yang masih mencari kawan koalisi untuk memenuhi syarat pencalonan. Partai Demokrat sebagai partai yang sejak awal sudah memiliki syarat itu, tentunya memiliki keleluasaan untuk menentukan pasangan jagoannya. Dengan jumlah 27 kursi, partai pemenang Pemilihan umum (Pemilu) ini telah melampaui syarat pengajuan pasangan calon sebanyak 15 kursi. Kalau nyatanya sampai tulisan ini dibuat, partai ini belum juga mendaftarkan jagoannya, ini lebih merupakan pertimbangan politis. Seperti disebutkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yang juga Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa partai ini akan mendaftarkan pasangannya belakangan. Sedangkan Partai Golkar yang memiliki 13 kursi dan telah memiliki calon gubernur yakni Dr H.Chairuman Harahap, SH, MH masih harus berkoalisi untuk melengkapi jumlah 15 persen. Partai penguasa Orde Baru ini masih memerlukan, minimal 2 kursi lagi. Sama halnya dengan PDI-P yang memiliki 12 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 11 kursi, PPP dengan 7 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 7 kursi, Partai Damai Sejahtera (PDS) dengan 5 kursi, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) masing-masing dengan 4 kursi, dan Partai Gerindra dengan 3 kursi, di samping partai-partai kecil lainnya. Di samping Golkar, di antara partai tersebut yang telah memiliki jagoan adalah PKS dengan Gatot Pujo Nugroho yang tidak lain incumbent. Namun bedanya PKS disebut-sebut telah menjalin koalisi dengan Hanura sehingga telah memenuhi syarat pencalonan. PKS kini hanya menunggu momentum untuk mendaftarkan pasangannya. Namun Golkar belum belum mengumumkan pasangan koalisinya. Dengan tidak menutup kemungkinan partai lain, ada beberapa partai yang berpeluang berkoalisi dengan Golkar seperti PPP, PAN, ataupun PPRN. Tiga partai ini dari segi jumlah kursi sangat ideal berpasangan dengan Golkar, dengan asumsi mengajikan masing-masing


173 calon wakil gubernurnya. Tapi dari segi pengalaman dan asupan empirik, maka PPP yang paling berpeluang. Perkawinan keduanya menjadi lebih besar berpeluang karena sama-sama telah malang melintang di dunia perpolitik nasional sehingga keduanya bisa lebih memahami karakter masing-masing. Di sinilah kategorisasi antara partai lama dan partai baru ini berperan. Dengan pengalaman yang dimiliki kedua partai dan kematangan yang telah berproses, keduanya tentu memiliki dasar peran yang sama-sama kuat. Selain itu jejaring keduanya juga luas, baik di Sumatera Utara maupun dalam skala nasional. Akan halnya dengan PDI-P, peluang berkoalisi juga mungkin terjadi dengan PDS dan PPRN. Kesamaan idiologis dan kuonstituen sangat mungkin membawa partaipartai ini untuk bersatuperahu mencalonkan pasangan calon gubernur. Jika bukan karena sesuatu yang luar biasa terjadi di dalam internal kedua partai, maka koalisi ketiganya akan terjadi menjelang waktu pendaftaran nanti. Kalau koalisi antara partai lama Golkar dan PPP sangat mungkin terjadi, maka koalisi antara PDI-P dengan dua rekannya sesama partai lama ini rasanya sulit untuk terjadi. Selain memiliki basis konstituen yang berbeda dengan PPP, juga karena sama-sama partai level kedua bersama Golkar. Artinya keduanya sama-sama berpeluang untuk menyalonkan calon gubernurnya. PAN adalah partai yang sejak beberapa waktu lalu telah mengusulkan nama tunggal untuk calon wakil gubernur. Namun mekanisme partai ini sepertinya menyerahkan keputusan kepada pimpinan pusat—yang sampai saat ini belum mengeluarkan pernyataan secara resmi. Namun mengingat kedekatan Hatta Radjasa selaku Ketua Umum PAN dengan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Demokrat, maka kemungkinan partai ini akan merapat ke partai penguasa tidak bisa diabaikan sama sekali. Atau paling tidak, berlabuh ke Demokrat adalah pilihan alternatif ketika koalisi dengan partai lain—yang memiliki pertimbangan strategis—tidak tercapai. Sedangkan untuk Gerindra kabarnya memilih untuk bersama-sama partai-partai kecil lainnya untuk bersama-sama menyalonkan pasangan mereka. Bukan suatu yang mudah untuk


174 menyatukan partai-partai kecil ini, karena memang logikanya, semakin banyak partai yang akan “dikawinkan” maka akan semakin tinggi tingkat kesulitannya. Di samping itu, menyatukan partai-partai kecil ini juga sangat rentan terjadi keretakkan, karena tentunya akan sangat banyak pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan dukungan partaipartai tersebut. Dinamika penyalonan pasangan oleh Parpol akan berakhir dalam beberapa hari ke depan. Kita akan segera melihat kenyataan itu bersama-sama. Namun faktor partai baru dan partai lama sepertinya tidak bisa diabaikan begitu saja sebagai faktor strategis untuk membangun penguatan baik di tingkat elit maupun di akar rumput. Kita sudah lihat bersama. BBM Dan Kemandirian Bangsa Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan hal yang jamak dalam perjalanan negara Indonesia modern. Semisal per 1 April 2012, pemerintah menaikkan harga BBM jenis premium dan solar. Angka kenaikan antara Rp500 - 1.500 per liter. Langkah ini sepertinya sudah fina tinggal implemetasinya saja. Saat ini tengah digodok empat jenis kompensasi atas kenaikan harga BBM yaitu Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), penambahan subsidi siswa miskin, penambahan jumlah penyaluran beras miskin dan subsidi pengelola angkutan masyarakat/desa. Rencana kebijakan ini ditengarai berbagai suara kritik tajam berbagai kalangan. Bahkan para mahasiswa mengultimatum apabila kenaikkan ini benar-benar dilakukan maka ribuan mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia (BEM SI) akan menggelar demonstrasi besar-besaran. Informasi yang disampaikan pemerintah bahwa pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan kenaikan harga BBM ini sudah seharusnya dilakukan menyusul harga minyak mentah didunia teruk meroket tinggi. Harga minyak mentah mencatat rekor tertinggi dalam 43 bulan terakhir setelah muncul laporan sebuah pipa saluran meledak di Arab Saudi, produsen minyak terbesar dunia. Sejumlah isu juga


175 menyebabkan harga minyak semakin meningkat, termasuk ketegangan atas rencana nuklir Iran dan kekacauan di Timur Tengah. Alasan lain dari pemerintah menaikkan harga BBM adalah demi menyelamatkan fiskal. Argumennya, tidak mungkin APBN diminta menutupi subsidi minyak yang bernilai mencapai Rp200 triliun yang justru dinikmati masyarakat kaya yang memiliki mobil mewah. Jika dibaca keseluruhan anggaran fiskal pemerintah maka akan didapai data sekira 40 persen belanja APBN habis untuk belanja pegawai dan barang. Pertumbuhan untuk kedua pos pengeluaran itu rata-rata menembus 22,5 persen setiap tahunnya (padahal pertumbuhan total belanja negara hanya di kisaran 14 persen). Jadi sebagian besar anggaran habis untuk biaya birokrasi, bukan pembangunan/pelayanan masyarakat. Di samping itu masalah kebocoran APBN tak juga kunjung reda atau mengalami perbaikan. Kasus-kasus korupsi yang terungkap kelihatannya justru semakin marak dengan berbagai modus operandi. Ini menunjukkan betapa APBN hanya digunakan untuk mengumpulkan kekayaan para penyelenggara negara. Pemerintah juga telah melakukan antisipasi dampak kenaikan ini terhadap masyarakat miskin. Caranya seperti dikemukakan di atas yaitu memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin. Kita punya pengalaman kenaikan harga minyak pada 2005 lalu di mana dana kompensasi diberikan melalui skema Bantuan Langsung Tunai (BLT). Skema ini ternyata tidak mampu menurunkan jumlah penduduk miskin, malah meningkatkan jumlah orang miskin sekira 3,5 juta jiwa. Hal itu terjadi karena pemerintah terlalu percaya dengan statistik bahwa kenaikan harga minyak sekian ribu rupiah hanya akan meningkatkan inflasi sekian persen. Faktanya, inflasi yang terjadi bisa dua sampai tiga kali lipat dari yang dikalkulasi. Fakta lain yang tidak bisa disembunyikan adalah ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam/SDA, termasuk minyak. Khusus minyak dan gas, sekira 70 persen eksplorasi ladang minyak dan gas dilakukan korporasi asing dalam bingkai praktik kontrak yang tidak adil. Pola yang sama terjadi pada SDA lainnya seperti batu bara, emas, perak,


176 tembaga. Ada juga pandangan yang menyatakan kalau sudah sewajarnya BBM naik, mengingat harga minyak yang sudah lebih dari $120 per barrel. Jika tidak dinaikan, berapa besar dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyubsidi BMM yang nyata-nyatanya BBM tersebut justru lebih banyak dipakai oleh kalangan menengah ke atas (yang punya motor dan mobil), yang seharusnya jika dia bisa membeli kendaraan tersebut berarti dia harus menerima resiko untuk membeli BBM. Mungkin seharusnya ada peraturan yang membuat BBM bersubsidi hanya boleh dibeli oleh angkutan umum, truk, bus, alat pengangkut barang lainnya, sedangkan kendaraan pribadi tidak diijinkan. Lagi pula dengan dinaikan BMM ada untungnya, orang akan mulai berhemat dalam menggunakan BBM, sehingga laju pencemaran gas buang kendaraan bermotor akan berkurang. Jika dilihat-lihat dengan murahnya harga BBM orang sangat boros, untuk perjalanan di bawah 10 km saja orang lebih memilih naik motor atau mobil. Pelajar dan mahasiswa banyak yang menggunakan motor atau mobil sebagai kendaraan, padahal jarak dari rumah ke kampusnya cukup dekat. Sebagai alternatif mulailah untuk jalan kaki, bersepeda, atau naik angkutan umum untuk bepergian. Para pengamat menilai Indonesia sudah masuk ke dalam proses liberalisasi sektor energi. Ichsanuddin Noorsy misalnya mengatakan, 95 persen sektor minyak dan gas bumi (Migas) Indonesia dikuasai korporasi asing. Ia menyajikan data Chevron menjadi salah satu penguasa terbesar Migas di Indonesia yang mengambil porsi 44 persen. Selanjutnya ada Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen), Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5 persen), China National Petroleum Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masingnya satu persen. Sedangkan Pertamina yang notabene asli Indonesia hanya mendapatkan porsi 16 persen. Sedangkan pengamat ekonomi dari Econit Advisory Group Hendri Saparini menilai ada kesalahan dalam paradigma pengelolaan energi di Indonesia. Menurutnya energi di Indonesia cuma dijadikan komoditas komersial semata, bukan komoditas strategis. Ini artinya semua orang boleh


177 menguasainya sumber-sumber Migas di Indonesia. Undang-Undang Penanaman Modal dan anak peraturannya, sektor Migas dapat dikuasai asing 95 persen. Sedangkan sektor tambang 90 persen. Padahal, jika porsi energi yang begitu besar dititipkan ke perusahaan BUMN yang jelas-jelas milik negara maka BUMN dipastikan mampu mengambil perannya menjadi pilar utama sektor perekonomian. Bukannya memberikan hak pengelolaan sumber daya Migas kepada asing dan menjadikan kita sebagai penonton. Ini sepertipemberian hak pengelolaan Migas di Blok Cepu kepada ExxonMobil (perusahaan asal Amerika Serikat) sementara Pertamina yang menjadi anak tiri di negerinya sendiri. Lain lagi pendapat pengamat energi Kurtubi. Dia menilai ada kesalahan dalam UU Migas yang dalam prakteknya jelas-jelas telah merugikan negeri ini. Dia menilai kehancuran kedaulatan energi bersumber dari Undang-Undang Migas yang merugikan negara secara finansial. "Pengelolaan migas di Tanah Air adalah yang terburuk di Asia dan Oceania," kata Kurtubi kepada wartawan. Hasil survei teknologi global menunjukkan dari 143 negara di Asia, pengelolaan Migas di Indonesia ada di posisi 113 di Asia. Di Oceania, pengelolaan Migas Indonesia bahkan lebih buruk di bawah Timor Leste. Para pengamat ekonomi dan energi meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mengganti UU Migas yang masih berlaku saat ini (Republika). Argumen yang menyebut pendirian Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk menjaga stabilitas harga--sebenarnya hanyalah ketakutan negara maju (non OPEC) yang tak ingin direpotkan atau diganggu stabilitas produksinya--oleh “negara lemah” tapi kaya minyak. Kenyataannya, OPEC, hanya dijadikan corong negara maju (konsumen) mengatur produsen. Indonesia dikenal sebagai negara OPEC, yang konon kaya minyak ternyata, kali ini, tetap harus ikut-ikutan sengsara menyambut kenaikan harga minyak. Maka masalah sebenarna dalam wacana kenaikan harga BBM ini adalah kemandirian kita sebagai bangsa. Hingga kita dapat menguasai sumber Migas kita untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat Indonesia,


178 dan itu tidak akan terwujud jika sebagian besar sumber Migas kita diserahkan kepada asing untuk dikelola. Kegaduhan Politik Menjelang Pemilu Saat menjelang Pemilihan umum (Pemilu) 2014, kegaduhan politik semakin terasa hangat di kalangan elit politik nasional. Perang pernyataan semakin sering menghiasi media massa, dengan tensi yang semakin tinggi dan frekuensi yang semakin sering pula. Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) juga telah memprediksi banyaknya terjadi kegaduhan politik tersebut. Ketegangan akan terjadi antara partai politik (Parpol) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ada juga konflik antar penyelenggara Bawaslu dan KPU. Sejumlah kegaduhan yang menimbulkan ketegangan ini membuat tahapan Pemilu akan terganggu. Karena itu, KPU mesti lebih serius dan melibatkan lebih banyak partisipasi masyarakat dalam menyiapkan semua tahapan Pemilu. KPU juga harus lebih tranparan dalam pemutakhiran data pemilih agar tak terjadi pro kontra seperti pada Pemilu 2009 lalu. Namun belum lagi sampai pada kegaduhan politik di antara lembaga penyelenggara Pemilu, kegaduhan itu telah terjadi di antara para politisi dan lembaga tinggi negara. Isunya tak kalah menarik karena melibatkan para petinggi negara yang saling tuding tentang persoalan yang sebentulnya tidak terlalu penting bagi negara. Adalah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dalam retorikanya sering mengajak seluruh pihak harus tetap fokus pada agenda pembangunan dengan prioritas pengurangan kemiskinan. Tidak hanya itu, menjelang Pemilu tahun 2014 mendatang, SBY juga mengajak agar kegaduhan politik harus dihindari. Pernyataan tersebut, antara lain, disampaikan Presiden SBY saat menghadiri Perayaan Tahun Baru Imlek 2564 Tahun 2013 Tingkat Nasional, 19 Februari, di Jakarta Convention Center. Presiden SBY meminta kepada seluruh pihak agar saat memasuki Tahun Ular Air yang


179 melambangkan kebahagiaan, kesejahteraan, dan keberuntungan, agar semua dapat melakukan introspeksi, refleksi, evaluasi, sekaligus transformasi diri menuju masa depan lebih baik. Presiden SBY juga menghimbau agar masyarakat senantiasa membantu beban penderitaan saudara lain yang terkena bencana dan kesulitan hidup. Pada kenyataannya belakangan ini kegaduhan politik itu semakin sering terjadi. Hal yang belakangan terjadi di antaranya menyangkut nama Bunda Putri, dan persoalan kinerja pers dalam pembangunan. Tak pelak, isu ini membuat gaduh suasana yang melibatkan para elit yang saling berdebat bahkan menuding satu sama lain. Namun yang ironis, kegaduhan tersebut ditimpali oleh Presiden SBY sendiri. Soal Bunda Putri misalnya, adalah fakta persidangan yang melibatkan mantan Presiden PKS LHI yang menjadi terdakwa kasus suap impor daging Sapi. Di dalam sidangnya, LHI menjawab pertanyaan hakim, menjelaskan tentang keberadaan Bunda Putri yang disebut-sebut mengetahui isu-isu seperti reshuffle dan sebagainya. Jalannya sidang itu akan segera dilupakan publik, sebelum SBY meresponsnya dengan sangat bersemangat. Melalui liputan TV nasional SBY memanaskan fakta persidangan tersebut dengan menyebut LHI telah berbohong. Kontan saja, respons yang berlebihan ini menjadi bola liar yang menimbulkan kegaduhan yang panjang. Seluruh Nusantara kemudian seolaholah membicarakan tentang Bunda Putri. Tidak ada lagi terdengar persoalan pengurangan kemiskinan yang disebut-sebut sebagai prioritas pembangunan itu. Yang ada adalah debat panjang yang saling tuding para elit, yang terkesan mubazir dan tak bermakna. Belum lagi isu tentang Bunda Putri benar-benar surut, muncul lagi kegaduhan baru soal Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) dan pers. Lagi-lagi pemicunya adalah Presiden SBY. Dalam SMS-nya yang akhirnya diketahui publik, SBY juga menunjukkan amarahnya terhadap Anas Urbaningrum dan Ormas PPI yang dibentuk Anas. SBY yang Ketua Umum Partai Demokrat itu menuduh Anas dan PPI hendak menghancurkan dirinya dan Partai Demokrat. Dalam SMS yang beredar ke masyarakat,


180 SBY berjanji akan melakukan upaya menangkal fitnah-fitnah yang menyerangnya dan Partai Demokrat. Berikutnya, SBY menyerang pers sebagai aktor demokrasi yang tidak memberikan keadilan bagi dirinya. SBY merasa dirinya menjadi korban pemberitaan media. Pernyataan ini diulangi kembali pada pertemuan kader Partai Demokrat di Sentul Bogor. SBY bahkan menambahkan adanya sikap partai yang tidak elok. Banyak kader partai lain yang terkena kasus korupsi, tapi menurut SBY hanya kasus korupsi kader Partai Demokrat saja yang di blow-up media. Maka seperti pada isu Bunda Putri, media massa pun seolah langsung menyambut isu yang dengan sengaja dilempar oleh SBY tersebut. Lagi-lagi debat kusir terjadi di berbagai media, khususnya di media TV yang menampilkan dialog langsung yang tidak jarang dihiasi dengan emosi para elit politik yang diundang berbicara. Walhasil, informasi tentang prioritas pembangunan yang katanya untuk mengurangi kemiskinan itu seperti tak tersentuh oleh khalayak. Publik seolah terbuai oleh gawe-nya para elit politik yang sarat kepentingan dan miskin makna tersebut. Di mana-mana orang bicara Bunda Putri, dan soal pers kebablasan. Ini tentu sangat tidak produktif bagi kinerja pemerintahan SBY menjelang akhir masa jabatannya. Seandainya sebelum berakhir isu tentang pers yang disebut SBY menzalimi dirinya itu—sudah ada isu lainnya yang juga dihembuskan oleh SBY, maka tentu patut diduga kalau SBY memang dengan sengaja membuat kegaduhan politik—untuk tujuantujuan tertentu. Karena sebagai seorang kepala pemerintahan dan kepala negara semestinya SBY memiliki sifat kenegarawanan yang berpikir dan bertindak untuk kepentingan bangsanya, bukan untuk pribadi dan kelompoknya saja. Bukan pula menyampaikan berbagai keluhannya kepada rakyatnya, tetapi sebaliknya justru harus menerima keluhan rakyatnya untuk dicarikan jalan keluarnya. Menjelang Pemilu tentunya kita sangat mengharapkan kedewasaan politik para elit bangsa yang akan menjadi teladan rakyat. Menghindari kegaduhan politik, dan bersikap secara santun adalah sebuah tuntutan yang harus dipenuhi orang-orang yang menjadi elit. Hanya dengan begitu bangsa ini memiliki harapan untuk berubah, maju, dan berkembang.


181 Tujuan pelaksanaan Pemilu Legislatif adalah memilih keterwakilan rakyat di parlemen. Berbagai potensi aspirasi, dan kepentingan yang banyak maupun potensi konflik akan terkonsentrasi di gedung parlemen. Maka sistem demokrasi keterwakilan ini, di antaranya untuk menetralisir berbagai riak-riak dalam kehidupan bermasyarakat. Karena beban kepentingan bangsa “ditumpahkan” kepada perwakilan di parlemen, maka sudah semestinya parlemen diisi orang-orang yang dapat meredam berbagai potensi gejolak tersebut. Dan hal seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedewasaan, kematangan, dan kenegarawanan. Pertanyaannya kemudian adalah, mungkinkan Pemilu menghasilkan keterwakilan orang-orang yang berkualitas seperti prasyarat yang diajukan di atas? Jawabnya mungkin saja sepanjang Pemilu berlangsung sukses dan berkualitas. Sukses dan berkualitas dimaksud adalah Pemilu yang berjalan melekat pada dirinya berbagai indikator sukses dan kualias itu sendiri. Kualitas Pemilu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) No.8 Tahun 2012, harus dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rumusan ini masih bersifat paradigmatik yang belum menyentuh pada persoalan teknis. Mungkin karena ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengatakan, semangat Pemilu itu dapat terwujud apabila seluruh komponen bangsa saling bangsa saling bahu-membahu mendukung pelaksanaan Pemilu sesuai aturan perundang-undangan dan penghormatan hak-hak politik setiap warga Negara. Upaya memperbaiki kualitas pelaksanaan Pemilu, katanya, merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta upaya mewujudkan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Lebih jauh, setidaknya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan indikator suksesnya pelaksanaan Pemilu berkualitas. Pertama, adalah persoalan integritas penyelenggara Pemilu dan peserta Pemilu. Tidak saja penyelenggara Pemilu yang dituntut memiliki integritas, namun juga peserta Pemilu dituntut untuk berlaku searah dengan tujuan Pemilu yang digariskan oleh undang-undang di atas. Sukses Pemilu tidak akan tercapai jika hanya penyelenggara Pemilu saja yang berintegrita


182 tanpa mengikutsertakan peserta Pemilu. Sebaliknya sukses itu juga tidak akan tercapai jika hanya peserta Pemilu saja yang berintegritas tanpa penyelenggara yang berintegritas. Kedua, tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu. Tentu saja semakin tinggi partisipasi politik pemilih dala Pemilu maka semakin tinggi pula kualitas Pemilu yang terjadi. Karena masyarakat pemilih adalah pemberi legitimasi atau mandat kepada para wakilnya untuk menjalankan fungsi legislasi, budgeting dan pengawasan dalam pemerintahan yang berlangsung lima tahun ke depan. Oleh karenanya semakin besar partisipasi rakyat memilih semakin legitimate pula Pemilu yang dihasilkan. Namun kita bisa melihat gambaran keterlibatan masyarakat memlih dalam Pemilu dari catatan sejarah. Beberapa hasil pelaksanaan Pemilu Legislatif sebelumnya mencatat tren berkurangnya partisipasi politik masyarakat. Pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik masyarakat mencapai 92,74 persen, Pemilu 2004 dengan 84,07 persen, dan Pemilu 2009 tingkat partisipasi masyarakat menurun menjadi sebesar 71 persen. Fenomena penurunan partisipasi politik ini seolah ditegaskan oleh hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2013 yang hanya berkisar antara 50-70 persen. Jika tren penurunan ini berlanjut maka kondisi partisipasi politik masyarakat bisa lebih besar dari angka di Pemilu 2009. Ketiga, kesadaran politik masyarakat menjadi pemilih yang cerdas. Ada banyak faktor masyarakat memberikan suaranya atau memilih dalam Pemilu. Ada alasan yang rasional, tetapi ada juga alasan yang emosional. Alasan rasional ditengarai karena pemilih cerdas ada pula karena indikasi politik uang. Karena ada pemilih yang rasional dalam memilih, yakni kepada siapa saja yang mau memberikan uang atau barang kepadanya (money politics). Namun pemilih yang terpengaruh politik uang-lah yang merupakan pemilih rasional yang cerdas. Sedangkan golongan ketiga, yakni pemilih yang mendasari pilihannya pada emosionalnya, maka sulit diharapkan menjadi pemilih cerdas. Keempat, iklim daerah yang kondusif akan dapat menjamin masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya secara demokratis. Masyarakat memang harus terjamin


183 bebas dari segala intimidasi, ancaman, dan situasi yang kurang menguntungkan ketika memilih dalam Pemilu. Untuk itu pemerintah harus memberikan jaminan situasi yang aman dan kondusif saat Pemilu berlangsung. Namun selama tahun 2013, Kemendagri mencatat ada 106 Pemilukada yang terdiri dari 14 Provinsi, 69 kabupaten, dan 23 kota. Berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan Pilkada, tidak sedikit yang berdampak pada terjadinya konflik sebagai wujud ketidakpuasan terhadap hasil Pemilukada maupun pelaksanaan tahapan Pemilukada yang dinilai tidak konsisten serta ketidakakuratan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Apalagi ketika merujuk pada kondisi sosial politik nasional saat ini yang dihadapkan pada persoalan peningkatan eskalasi konflik sosial dan politik. Kondisi ini berpotensi berdampak menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat di sejumlah daerah. Menurut catatan Pusat Komunikasi dan Informasi (Puskomin) Kemendagri, tahun 2010 terjadi 93 peristiwa konflik. Pada tahun 2011 terjadi peristiwa konflik, tahun 2012 terjadi 128 peristiwa konflik, dan tahun 2013 hingga awal September tercatat peristiwa konflik. Persoalan ancaman aksi terorisme, juga menjadi persoalan yang perlu dicermati bersama. Pada tahun 2012 tercatat sebanyak 65 kali ancaman terror, 30 kali diantaranya adalah ledakan bom, serta telah terjadi penangkapan terhadap 55 orang. Kelima, peserta, penyelengara, pemantau dan pengawas Pemilu. Apakah saling berkoordinasi atau malah terjadi tumpang tindih? Hubungan lembaga-lembaga stakeholders Pemilu ini sangat penting dalam mendorong suksesnya pelaksanaan Pemilu. Ketika lembaga-lembaga ini sampai pada koordinasi maksimalnya, maka akan menghasilkan Pemilu yang dipercaya, serta berkualitas. Indokator kelima ini sejalan dengan apa yang diutarakan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode sebelumnya yakni Husni Manik, yang menambahkan empat indikator yang menentukan kesuksesan Pemilu 2014. Sukses tersebut, katanya, terkait penyelenggaraan teknis kepemiluan, penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil, partisipasi masyarakat yang


184 meningkat, dan kualitas Pemilu yang lebih baik. Dia menambahkan, untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan kerjasama dengan semua komponen bangsa, baik para penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, pemerintah, maupun masyarakat. Jika mengacu kelima indikator sukses Pemilu di atas, memang terbuka peluang menghasilkan Pemilu berkualitas yang pada gilirannya menghasilkan anggota parlemen yang berkualitas negarawan. Tapi harus diakui bahwa untuk mencapainya sulit untuk dilakukan. Dari beberapa karakteristik indikator kesuksesan Pemilu tersebut, banyak di antaranya yang belum kita capai, bahkan masih jauh dari harapan. Dan dalam kondisi sekarang ini, rasanya Pemilu berkualitas masih sekedar harapan. Hasil Pemilu & Pemilih Cerdas Rakyat Indonesia telah menjatuhkan pilihannya pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu. Pilihan rakyat Indonesia tersebut memiliki peran besar dalam pelaksanaan Pemilu tersebut. Berhasil tidaknya, sukses tidaknya Pemilu banyak ditentukan oleh pilihan rakyat tersebut—di samping faktor-faktor lain tentunya. Makna Pemilu itu sendiri di antaranya tercantum di dalam Undang-undang No.3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dalam bagian menimbang butir b dan c. Butir b; Bahwa Pemilihan Umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; Butir c, bahwa Pemilihan Umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan secara administratif sukses Pemilu ditentukan tiga hal: o Pertama, sukses perencanaan dan penyusunan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan.


185 o Kedua, sukses penyelenggaraan dengan bobot kualitas pengelolaan oleh penyelenggara Pemilu, dukungan pemerintah dan partisipasi masyarakat untuk memberikan hak pilihnya di TPS. o Ketiga, sukses hasil sesuai standar kualitas dan kuantitas yang telah ditetapkan pada perundang-undangan, terutama menyangkut manajemen Pemilu (pelaksanaan, penghitungan dan pengawasan pemilu yang benar dan efektif). Untuk sampai pada pemahaman Pemilu tersebut di atas sekaligus mencapai sukses Pemilu, secara umum ada langkah-langkah dalam pelaksanaan manajemen Pemilu, yakni kerangka hukum Pemilu; kode etik dan hubungan kerja KPU dengan KPU daerah; persyaratan pencalonan anggota legislatif; proses pencalonan; berhubungan dengan stakeholder; manajemen kampanye; tata cara pemungutan suara; prosedur penghitungan suara; dan evaluasi. Hal yang paling urgen dalam pelaksanaan Pemilu, khususnya dalam menentukan pilihan adalah diperlukannya kecerdasan pemilih. Kecerdasan tersebut juga nantinya yang akan menentukan seberapa berkualitas para wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Pemilu yang menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas yang bekerja untuk kemaslahatan bangsa dan negaranya adalah muara dari keberhasilan Pemilu. Pemilih cerdas adalah pemilih yang secara proaktif mencari tahu informasi mengenai para calon legislatif (Caleg), rekam jejak, integritas, kompetensi, kapasitas dan kapabilitas mereka. Jika seorang pemilih menggunakan hak pilihnya dengan perangkat pengetahuan yang baik tentang seorang Caleg, maka inilah sebaik-baik pilihan. Dan cara seperti inilah yang diharapkan akan memberikan perubahan ke arah yang lebih cerah dalam perpolitikkan dan pembangunan bangsa. Jadi perubahan dan kesejahteraan bangsa bukan tergantung semboyan para Caleg ataupun calon presiden, tetapi adalah pada kemampuan pemilih untuk mengenali para


186 calon wakilnya dengan sebaik-baiknya. Ini tentu berkebalikan dengan pemilih pasif dalam seperti mereka yang ikut-ikutan tanpa mempedulikan kemampuan dan kapasitas Caleg. Pemilih seperti ini tidak memiliki sensitivitas kita terhadap informasi yang diterimanya tentang seorang Caleg tertentu. Karenanya sukses Pemilu juga ditentukan oleh tingkat kecerdasan pemilih dalam menentukan pilihannya. Karena itu, kualitas hasil Pemilu yang memunculkan anggota legislatif sebagai output-nya--tidak hanya ditentukan oleh partisipasi aktif kita sebagai pemilih dalam memberikan hak suara kita dengan mendatangi TPS--tetapi juga tergantung dari sejauhmana kejelian kita menentukan pilihan dan memberikan suara kepada Caleg yang benar-benar tepat untuk dijadikan wakil rakyat. Dalam tataran ilmu politik, dikenal teori demokrasi klasik yang menyebutkan bahwa Pemilu adalah sebuah transmission of belt—yang dengannya kekuasaan yang berasal dari rakyat kemudian bergeser menjadi kekuasaan negara—pada titik selanjutnya berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat. Jadi seperti kata para ahli bahwa Pemilu merupakan sebuah cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Ini berarti yang memilih adalah rakyat dan yang dipilih adalah para wakilnya untuk menyuarakan aspirasi rakyat itu sendiri. Pernyataan ini secara jelas menunjukkan bahwa peran kecerdasan pemilih sangat berarti bahkan menentukan kualitas wakil rakyat bahkan kualitas perjalanan secara bangsa. Karenanya apabila di periode pemerintahan yang lalu—masa Gus Dur misalnya, menyebutkan anggota dewan sebagai anak Taman Kanak-kanak (TK). Atau di masa periode pemerintahan belakangan ini di mana banyak tindak pidana dilakukan para anggota dewan hasil Pemilu, maka hal ini tidak bisa lepas dari kecerdasaran rakyat dalam memilih. Karena mereka yang duduk di parlemen itu adalah mereka yang dipilih oleh rakyat pemilih. Artinya tanggung jawab masyarakat pemilih tidak bisa dihilangkan begitu saja karena menghantarkan mereka ke kursi parlemen. Karena begitu strategisnya


187 kepedulian pemilih, dan begitu pentingnya menjadi cerdas sebagai pemilih. Semoga kita adalah orang-orang yang memilih dengan cerdas pada Pemilu kemarin. Hak Dan Kekerasan Komunal Pascareformasi, di negeri ini muncul suatu kebiasaan baru yang menjadai fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang-orang mulai terbiasa menyampaikan pendapat dan aspirasi secara beramai-ramai atau dengan aksi-aksi massa ke jalanan. Unjukrasa tiba-tiba menjadi “pengetahuan” dan kesadaran baru bagi masyarakat negeri ini. Dalam setiap konflik sosial atau dalam silang pendapat, maka unjukrasa adalah sarana yang paling diminati untuk dilakukan. Penyampaian aspirasi dan pendapat pada dasarnya adalah hak setiap orang. Termasuk jika hal tersebut dilakukan secara massal dengan demonstrasi turun ke jalanan. Persoalannya adalah ketika aksi-aksi yang melibatkan massa tersebut kemudian berekses pada kekerasan komunal di tengahtengah masyarakat. Ketika kekerasan menjadi jalan pilihan, maka hukum seolah tak lagi bisa ditegakkan sebagaimana mestinya. Fenomena seperti inilah yang sedang terjadi di negeri ini. Fenomena masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya. Lantas apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak itu? Ketika kita bicara tentang hak, maka pengertiannya adalah bahwa hal ini adalah sesuatu yang dibawa sejak manusia lahir. Karena manusia secara hakiki telah mempunyai hak, di samping memiliki kewajiban sebagai bentuk keseimbangan dari hak yang melekat tersebut. Selanjutnya setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, tergantung pada misalnya, jabatan atau kedudukan dalam masyarakat. Di dalam masyarakat Romawi Kuno, kata hak (ius-iurus) hanya menunjukkan hukum dalam arti objektif. Artinya hak dilihat sebagai keseluruhan undang-undang, aturan-aturan dan lembaga-lembaga yang mengatur kehidupan masyarakat demi kepentingan umum (hukum dalam arti law, bukan right). Pada perkembangan selanjutnya yakni di akhir abad pertengahan ius dalam arti subjektif, bukan benda yang dimiliki seseorang, yaitu


188 kesanggupan seseorang untuk sesuka hati menguasai sesuatu atau melakukan sesuatu (right, bukan law). Akhirnya hak pada saat itu merupakan sesuatu yang bersifat subjektif merupakan pantulan dari hukum dalam arti objektif. Hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat. Kewajiban itu sendiri dibagi atas dua macam, yaitu kewajiban sempurna yang selalu berkaitan dengan hak orang lain dan kewajiban tidak sempurna yang tidak terkait dengan hak orang lain. Kewajiban sempurna mempunyai dasar keadilan, sedangkan kewajiban tidak sempurna berdasarkan moral. Menurut T.L.Beauchamp, ada hak yang bersifat legal maupun moral hak ini disebut hak-hak konvensional. Hak legal itu sendiri timbul berdasarkan adanya hukum yang mengatur kehidupan dalam masyarakat, sedangkan hak moral adalah hak yang muncul dari nilainilai yang dianut dalam masyarakat. Hak itu juga termasuk hak individual atau lebih tepatnya adalah hak individu terhadap negara. Dalam hal ini negara harus menjamin individu untuk mewujudkan hak-hak yang ia miliki. Misalnya saja yang paling mendasar yakni hak untuk memeluk agama. Maka negara harus memastikan individu dalam negara untuk haknya tersebut terjamin. Setelah hak individu, ada hak sosial yang mana cakupannya lebih jauh lagi yakni bukan hanya menjadi menyangkut kepentingan negara semata tetapi juga termasuk anggota masyarakat. Sebut saja hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak ata pelayanan kesehatan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah hakhak tersebut adalah sesuatu yang bersifat absolut? Menurut ahli etika, kebanyakan hak adalah hak prima facie yang artinya hak itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan merupakan hak yang sangat penting. Karena meski setiap manusia berhak untuk hidup, tetapi kondisi ini tidak berlaku dalam segala keadaan. Sebab hakim di pengadilan juga memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap terpidana kasus berat, dan seorang algojo berhak untuk mengeksekusinya. Sama halnya dengan kebebasan yang merupakan hak yang penting bagi manusia. Meski demikian hak ini juga


189 dapat dikalahkan oleh hak lain. Orang yang berbuat kejahatan bisa dipaksa untuk dikerangkeng di penjara. Seperti halnya orang yang mengalami gangguan jiwa dan membahayakan masyarakat sekitarnya dipaksa untuk dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Kebebasan yang dimiliki orang atau sekelompok orang adalah merupakannya hak, namun hak tersebut dapat kalah oleh hak masyarakat yang merasa terancam. Hak tidak selalu bersifat absolut karena sesuatu hak akan kalah oleh alasan atau keadaan tertentu lain yang dapat menggugurkan posisi hak tersebut. Maka hak para pengunjukrasa yang kemudian mengganggu ketentraman dan ketertiban umum yang menimbulkan keresahan masyarakat bisa dikalahkan oleh hak masyarakat yang memiliki hak untuk rasa aman dan tentram. Apalagi femonena yang terjadi sekarang adalah merambatnya kekerasan komunal di mana sebagai akar dari aksi mengekspresikan hakhaknya. Bahkan kekerasan komunal oleh kelompok geng kereta itu sendiri berawal dari pemberontakan mereka menuntuk sesuatu yang dianggap sebagai hak-haknya. Kelompok geng kereta ini merasa berhak untuk unjuk eksistensi dirinya, sebelum kemudian pengaruh emosi massa ditambah konsumsi obat-obatan membuat mereka menjadi pelaku tindak kekerasan komunal. Maka sekarang sudah saatnya semua merenungkan tentang relasi kita dengan yang lain termasuk juga hubungan sosial yang didasari semangat saling membicarakan persoalan bersama. Tentang hak masing-masing pihak tidak boleh memaksakan kehendak untuk menggunakannya “kekuatannya”. Sebab ketika ada di antara satu dan lainnya akan memanfaatkannya, maka dipastikan akan terjadi kerusuhan atau kekerasan komunal. Apa yang mesti dibangun bersama adalah imej kebersamaan bukan sebaliknya imej kekerasan sosial yang hanya akan menjadi preseden buruk yang menjadi ikutan generasi di belakang hari. Bahkan sekarang saja sudah terlihat bahwa kerap terjadi kekerasan komunal di tingkat akar rumput. Kondisi ini sebagai efek ikutan dari berbagai gesekan politik para elit yang saling berebut pengaruh. Maka apa yang harus menjadi pikiran kita sekarang adalah bagimana kita menyikapi hal ini secara serius dan


190 menyelidiki secara tuntas akar permasalahanya. Untuk selanjutnya merumuskan apa yang bisa kita lakukan untuk menanggulangi masalah ini. Pada intinya kekerasan komunal perlu kita cegah untuk melahirkan sebuah komunitas bangsa yang lebih beradab, stabil dan mampu untuk membangun kohesi sebagai bangsa yang bersatu dan maju bersama. Sudah selayaknya kita untuk tidak terjebak pada idealisme asing yang memboceng solusi pemecahan masalah. Idealisme asing yang menyamar sebagai wujud solusi itu bahkan semakin gencar dikampanyekan secara masif dan sistematis. Sebut saja persoalan agama misalnya. Idealisme asing dengan serta merta memberi stigma yang sangat miring, yaitu kekerasan atas nama agama. Padahal kekerasan itu, atas nama apapun tak dibenarkan terjadi. Maka sudah pasti, pelabelan agama di belakang kata kekerasan itu sudah pasti dengan maksud tidak baik. Benar saja, idelisme asing itu kemudian menawarkan konsep pluralisme agama sebagai tawaran solusi penelesaian masalah. Meski konsepnya terdengar manis, tetapi pada hakikatnya konsep ini adalah konsep yang ingin menghancurkan identitas agama itu sendiri. Karena secara umum, pandangan utama idealisme asing ini adalah menyamaratakan semua agama, tidak ada yang lebih benar dari yang lain. Padahal setiap umat beragama meyakini ajaran agamanyalah yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Untuk itulah dia meyakininya. Maka konsep pluralisme itu sejatinya adalah idealisme untuk membelokkan atau menghancurkan keyakinan umat beragamanya terhadap agamanya sendiri. Maka kewaspadaan kita sebagai masyarakat sebangsa dan setanah air harus semakin diperketat dan berlapis. Selain kita harus mewaspadai perjuangan hak-hak yang berimbas pada kekerasan komunal, juga pada idealisme asing yang membonceng solusi bagi penyelesaian masalah ini. Provokasi Dan Isu Radikalisme Aksi unjukrasa memprotes film Innocence of Muslims akhirnya menjalar ke Indonesia. Di beberapa daerah khususnya di Jakarta dan Medan, aksi tersebut pecah


191 dengan tujuan Kedutaan/Konsulat Jenderal Amerika Serikat di setiap daerah. Sebelumnya, di Libya aksi seperti ini telah memakan korban Duta Besar Amerika Serikat yang diserang roket. Aksi demonstrasi besar-besaran juga terjadi di Yaman, Mesir, Pakistan dan berbagai negara yang banyak dihuni umat Islam pada umumnya. Amerika Serikat menjadi sasaran kemarahan karena seorang warganya yang merupakan bangsa Yahudi melalui perannya sebagai sutradara telah dengan sengaja menghina manusia yang paling dicintai dan dijunjung tinggi kemuliaannya oleh umat Islam yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Film ini adalah kesekian kalinya dari aksi-aksi provokasi yang dilakukan orang-orang anti Islam. Di Jakarta, aksi bentrok tak terhindarkan antara aparat keamanan dengan para pemrotes yang dihalang-halangi mendekati kantor Kedutaan Amerika Serikat tersebut. Saling lempar batu dan tembak gas air mata pun tak terhindarkan lagi. Menarik menyimak apa yang dikatakan seorang petinggi Polri yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta pada pasca bentrokkan berlangsung. Dia mengimbau umat Muslim agar tetap tenang dan tidak terprovokasi dengan film tersebut. Himbauannya ini kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bahwa kemuliaan Muhammad SAW tidak akan turun hanya karena film tersebut. Pernyataan dan himbauan seperti ini sebenarnya sering diutarakan banyak kalangan. Bahkan sering menjadi pesan global kepada umat Muslim. Bahwa perilaku protes apalagi kekerasan jangan didasarkan hanya karena menjaga “nama baik” Muhammad SAW dan ajaran Islam. Menarik pula menyimak apa yang kemudian dikatakan oleh Munarman dari Front Pembela Islam (FPI) merespons himbauan dan pernyataan tersebut. Dia mengawali responsnya dengan mengatakan sekelompok orang yang disebut dengan elit (Munarman mengatakan malu menyebut kelompok ini). Pasalnya kelompok ini, yang pada umumnya adalah orang-orang yang terdidik dengan baik dan seringkali memiliki jaringan struktur sampai ke bawah. Selain itu juga memiliki rantai komando yang jelas dalam struktur yang rapih tersebut. “Bahkan setiap pagi apel, dan sering ikut upacara


192 bendera,” katanya. Namun kenyataannya, apa yang terjadi, kata Munarman, banyak para elit sampai ke struktur yang bawah juga melakukan kesalahan-kesalahan.Mereka melakukan tindakan tidak terpuji, penyelewenangan dan sebagainya. “Apa yang mau saya katakan adalah, kalau suatu organisasi yang terstruktur saja bisa melakukan kesalahan-kesalahan, apalagi dengan organisasi yang tidak memiliki struktur yang massif dan sedang melakukan aksi unjukrasa turun ke jalan,” katanya. Menurut Munarman, bentrokkan yang terjadi dalam aksi protes ke Kedutaan Amerika Serikat kemarin itu adalah situasi yang kondisional. Bentrokkan yang terjadi bukanlah suatu hal yang direncanakan sejak awal, namun merupakan sebuah akibat yang timbul dari sebab provokasi yang dilakukan melalui film yang jelas-jelas provokatif tersebut. Sering sekali setiap muncul berbagai tindak kekerasan seperti halnya aksi protes film provokatif ini, maka selanjutnya akan muncul atau semakin santer istilah-istilah seperti radikalisme, garis keras, fundamentalis dan lain sebagainya. Simak sebuah kutipan dalam suatu tulisan berikut ini: Di Indonesia,aksi kekerasan (teror) yang terjadi selama ini kebanyakan dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan/mendompleng agama tertentu. Agama dijadikan tameng oleh mereka untuk melakukan aksinya. Selain itu mereka juga memelintir sejumlah pengertian dari kitab suci. Teks agama dijadikan dalih oleh mereka untuk melakukan tindak kekerasan atas nama jihad. Beberapa pelaku yang sudah ditangkap oleh aparat keamanan, ternyata dari kelompok Islam garis keras (Islam radikal). Dengan menulis seperti itu, kita bisa langsung menyadari bahwa si penulis sedang berpikir linier ketika coba mengonstruksi persoalan kekerasan di Indonesia dalam benaknya. Bahwa terjadi tindak kekerasan, kemudian pelakunya adalah beragama Islam, mereka mengaku melakukan tindakan tersebut karena dasar agama dan seterusnya dan seterusnya. Maka dengan serta merta mereka adalah kelompok Islam Radikal. Begitulah memang alurnya kalau berpikir linear. Tapi bahwa ada banyak variabel yang melatari suatu peristiwaseperti kekerasan ini, maka jika hanya berpikir liniear hanya akan membonsai realitas. Jenis pikiran linear seperti ini hanya akan membawa orang tersebut


193 ke dalam perangkap pemikiran yang memang telah didesain sedemikian rupa. Orang yang terjebak dalam alur pikiran liniear dalam contoh kasus kekerasan ini selanjutnya akan semakin dalam membahas tentang apa itu radikalisme, terorisme. Kemudian semakin jauh ia akan berpikir tentang cara mencegah munculnya terorisme bahkan meredamnya sebelum kemunculannya. Secara sadar dan tidak sadar kemudian dia terbelit pemikirannya sendiri untuk menyalahkan umat Islam bahkan ajaran Islam yang ada dalam kitab suci. Semakin jauh, semakin dalam ia akan terjebak dalam pemikiran yang keliru. Sebenarnya kalau kita mau jujur, bahwa pola-pola yang selalu terjadi adalah, selalu saja suatu peristiwa didahului oleh adanya provokasi baik ia bersifat instan ataupun secara sistematis berkala dirancang sedemikian rupa. Pada saat tertentu, provokasi ini akan “menghasilkan” aksi-aksi kekerasan yang seringkali menimbulkan kerusakan bahkan korban jiwa. Selanjutnya, atas tindakan kekerasan yang sebenarnya merupakan dampak ini, akan dengan segera dilabeli dengan stigma “radikal”, atau “teroris”. Namun untuk selanjutnya orang akan segera melupakan provokasi yang menjadi biang dari semua permasalahan yang terjadi. Provokasi itu sendiri, dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti: perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan: sebaiknya mereka menyadari bahwa. Sedangkan makna provokasi adalah: terpancing atau terpengaruh untuk melakukan perbuatan negatif, misalnya perusakan. Maka jelaslah, bahwa provokasi adalah pangkal dari segala kerusakan itu. Dan kalau hendak menangkal terjadinya kerusakan sudah seharusnya orang menangkal bagaimana provokasi itu direduksi. Karena kalau hanya berfokus pada akibat yang disebabkan dari pangkal kerusakan itu, maka itu sama halnya bermain-main dalam labirin yang tidak berujung. Begitulah cara kerjanya, pemojokkan yang terjadi kepada umat Islam selama ini. Cara kerja ini sering tidak disadari, karena memang ia mengalir sedemikian rupa, apalagi ada suatu sistem yang massif yang terus mengontrol


194 efektivitasnya. Umat Islam sering baru sadar belakangan ketika merasa telah terjadi suatu hal yang salah dan sangat meresahkan. Di era belakangan ini, sepertinya kesadaran akan ancaman provokasi yang sistemik itu sudah mulai tumbuh. Jargon-jargon yang sering dilemparkan pihak berwenang menjawab berbagai fenomena yang muncul seperti halnya terorisme, telah dirasa tidak cukup lagi, atau malah dirasa memiliki kesalahan mendasar. Dalam hal contoh kasus kekerasan yang timbul akibat provokasi film orang Yahudi tersebut, semestinya semuanya fokus agar tindakan provokatif seperti ini tidak lagi terjadi di masa mendatang. Sama halnya dengan tindakan provokasi yang sering dimainkan kapitalisme dalam upayanya menjaga sumber-sumber “makanan” dan ketersediaan tenaga kerja murah di dunia ketiga. Sudah selayaknya pula umat Islam, siapapun dia, dari mulai presiden, aparat, sampai tukang beca menyadari upaya-upaya sistematis tersebut. Dengan demikian, jurus-jurus kapitalisme untuk terus menguasai kita tidak akan mempan lagi. . Momentum Dinamika Politik 2011 Sebagaimana menjelang Pemilu 2019, di sepanjang tahun 2011 ini sepertinya pentas politik nasional tidak pernah sepi kegaduhan. Berbagai pihak dengan suaranya sendiri sehingga menimbulkan suatu kondisi hingar bingar yang tak jarang menimbulkan kejenuhan masyarakat. Para elit politik nasional terus disibukkan masalah politik yang pada umumnya tidak produktif bagi perjuangan kepentingan rakyat. Kesan yang terlihat adalah adanya saling serang-menyerang satu sama lain dan minus gagasan-gagasan besar tentang bangsa. Mungkin ada lupa bahwa tujuan politik untuk mensejahterakan rakyat sehingga pada elit ini tidak lagi menanggapi gagasan besar sekalipun—menimbulkan kegaduhan kondisi bangsa. Kegaduhan ini mulai tampak muncul sejak politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, melemparkan isu calon presiden 2014 yang mengusulkan kemungkinan SBY masih tetap menjabat untuk periode ketiga. Bola panas ini kemudian


Click to View FlipBook Version