45 Pendahuluan Secara teoritis, pada umumnya analisis civil society (masyarakat civil/gerakan sosial) berdasarkan pada premis pendekatan berbasis domain (domains-based approach). 47 Berdasarkan asumsi dasar seperti ini maka civil society berdiri sebagai sebuah dunia yang terpisah dari negara, ekonomi, dan ruang privat seperti berbagai asosiasi yang aktif pada satu sisi atau pada sisi lain mendukung demokrasi dan/atau mendorong proses demokratisasi atau setidaknya mengejar kepentingan bersama atau kebaikan bersama. 48 . Sudut pandang ini menegaskan bahwa civil society sebagai suatu gerakan sosial yang lahir dari rakyat sebagai respons terhadap kekuasaan adalah suatu hal yang niscaya dalam kehidupan berdemokrasi atau dengan kata lain adalah suatu yang harus ada dan hidup serta berkembang untuk menjadi penyeimbang kekuasaan atas negara secara non struktural. Dalam bahasa yang berbeda Hiariej dan Törnquist menyebut istilah politik kewargaan, yang di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20, bersamaan dengan lahirnya gerakan-gerakan kemerdekaan moderen. 49 AS Hikam bahkan lebih cenderung menyebut istilah civil society yang terkait dengan istilah dalam Islam, yang disebutnya 47 Wischermann, Jörg 2010. “Civil society action and governance in Vietnam; Selected findings from an empirical survey”, Journal of Current Southeast Asia Affairs, 29(2), 3-40, Retrieved November 11, h.5-9. 48 Wischerman, Jörg 2011. “Governance and Civil society Action in Vietnam: Changing the Rules From Within—Potentials and Limits”, Journal Asian Politics & Policy—Volume 3, Number 3—Pages 383- 411. Policy Studies Organization. Published by Wiley Periodicals, Inc. h.388. 49 Hiariej, Eric dan Stokke, Kristian, Politik Kewargaan Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2018), h.62.
46 sebagai “masyarakat kewargaan” atau “masyarakat madani”50 Civil society dalam arti masyarakat madani adalah masyarakat dengan sistem sosial yang beradab didasarkan kepada prinsip ketuhanan dan moral, yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dan kestabilan masyarakat. Memiliki kesadaran pluralitas yang tinggi, menghargai ilmu pengetahuan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 51 Di antara makna yang ditawarkan tersebut, terlihat benang merah antara makna civil society sebagai istilah dengan civil society sebagai sebuah gagasan. Namun untuk memperlakukannya secara lebih dinamis, civil society mesti dilihat sebagai sebuah gerakan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat sebagai saluran aspirasi politik untuk mengimbangi peran kekuasaan. Dalam konteks gerakan sosial berbasiskan Islam, maka umat Islam bergerak karena kesadaran, tidak karena keuntungan-keuntungan material, seperti kekuasaan politik, kepentingan kelas, atau kepentingan golongan.52 Untuk menjelaskan pernyataannya ini Kutowijoyo memaparkan identitas politik umat Islam meliputi pertama, epistimologi relasional, yakni semua berasal dari Tuhan (innalillahi) dan akan kembali kepada Tuhan (wa inna ilaihi raji’ûn). Kedua, ummatan wasathan atau umat yang berada di tengah-tengah, yang dapat dicapai dengan berdiri persis di tengah atau dengan menggabungkan yang terbaik dari dua gejala yang bertentangan. Tetapi caranya terletak di tengah-tengah bukan hanya dinyatakan dalam bentuk negatif: seperti misalnya pernyataan “bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme”, seperti yang digambarkan Dawam Raharjo bahwa Islam itu mendayung di antara dua karang. Ketiga, pemihakan umat Islam pada dhu’afȃ (orang kecil) yang merupakan istilah dalam Al-Qur’an yang menggambarkan kesenjangan natural atau kemiskinan, juga pemihakan kepada 50 Hikam, Muhammad AS (Edisi e-book), Demokrasi dan civil society (Jakarta. Pustaka LP3ES, 2015), h.1. 51 Harahap, Syahrin, Islam & Modernitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakkan Kesalehan Modern. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h.210. 52 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h.1.
47 mustadh’afin. Namun pemihakan kepada dhu’afȃ dan mustadh’afin itu tidak boleh disertai perilaku sebaliknya: Islam melarang semua bentuk ketidakadilan, termasuk kepada orang kaya (aghniya, the have). Keempat, Islam sebagai kriteria perubahan, dengan kepala memandang ke depan, tetapi dengan hati ke belakang. Ukuran kemajuan bukan keadaan luar karena kesadaran adalah esensinya. Konsep perubahan dan kemajuan ini bertentangan dengan kaum Marxis dan the idea of progress Turgot dan Condorcet dari Barat pada zaman pencerahan. 53 Pilkada Gubernur Sumatera Utara Dalam konteks Sumatera Utara pemilihan kepala daerah (Pilkada) gubernur dan wakil gubernur 2018 adalah momentum yang menjadi pemicu lahirnya civil society. Dalam Pilkada ini terjadi pembelahan idiologis antara kepentingan dan aspirasi umat Islam di satu sisi, serta kepentingan dan aspirasi umat non muslim di sisi lainnya. Gerakangerakan civil society terpola pada gerakan umat Islam yang dengan sangat kentara menonjolkan simbol-simbol Islam. Gerakan-gerakan yang menguat menjelang Pilkada Sumatera Utara tersebut dalam artikel ini yaitu “Gerakan Shubuh Berjamaah”, “Kongres Umat Islam”, “Gerakan Ceramah Politik Di Masjid”. Pilkada gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara diikuti dua pasang calon yakni Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah atau Ijeck (Eramas). Edy Rahmayadi merupakan jenderal bintang tiga Tentara Nasional Indonesia (TNI) mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), sedangkan Ijeck adalah pengusaha muda yang sukses yang merupakan anak tokoh berpengaruh di Sumatera Utara yaitu H.Hanif Shah. Pasangan ini pada awalnya didukung koalisi partai politik Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN), serta Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Belakangan beberapa partai bergabung mendukung Eramas yakni Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat dan dua partai politik yang baru akan 53 Ibid., h.15.
48 mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yakni Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Pasangan Eramas yang merupakan pasangan beragama Muslim-Muslim ini dipersepsikan secara luas merepsentasikan kepentingan dan aspirasi umat Islam. Sedangkan pasangan kedua yakni Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Djarot Saiful Hidayat adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang pernah menjadi calon wakil gubernur dalam Pilkada Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2017 berdampingan dengan Basuka Tjahaya Purnama (Ahok). Djarot Saiful Hidayat juga pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta (15 Juni 2017 sampai 15 Oktober 2017) setelah ditinggalkan Joko Widodo yang menjadi Presiden Republik Indonesia tahun 2014, dan ditinggalkan Ahok (yang sempat menggantikan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta) karena menjadi terpidana kasus penistaan agama. Selain itu Djarot Saiful Hidayat adalah sosok yang tidak berasal dari Sumatera Utara dalam arti tidak lahir dan tumbuh besar di Sumatera Utara. Sedangkan Sihar Sitorus adalah pengusaha sukses bidang perkebunan, anak “raja tanah” DL Sitorus. Dalam Pilkada Serentak 2018 yang dilaksanakan di 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang ada di berbagai wilayah di Indonesia Sihar Sitorus adalah calon paling kaya di antara calon lainnya yang mengumumkan Laporan Harta Keuangan Penyelenggaran Negara (LHKPN) sebesar Rp350 miliar. Pasangan ini adalah kombinasi pasangan Muslim (Djarot Saiful Hidayat) dan non muslim (Sihar Sitorus) kemudian dipersepsikan merepresentasikan kepentingan dan aspirasi umat non muslim di Sumatera Utara. Dalam bingkai yang mengutubkan dua kubu secara berhadap-hadapan inilah Pilkada Gubernur Sumatera Utara tahun 2018 berlangsung. Dinamika politik yang terjadi kemudian segaris dengan dinamika komunikasi politik yang berlangsung melalui media massa maupun melalui media baru seperti media sosial, dengan berbagai jenisnya. Komunikasi Politik
49 Dalam hubungan negara dengan civil society tidak bisa dipisahkan dari proses komunikasi yang berlangsung. Pada hakikatnya komunikasi meliputi unsur-unsur komunikator sebagai penyampai pesan, komunikan sebagai penerima pesan, pesan itu sendiri sebagai suatu yang disampaikan baik berupa lambang dan gambar serta suara, channel sebagai alat penyampai pesan, serta feedback atau umpan balik yang diharapkan muncul sebagai efek dari pesan yang disampaikan tersebut (Sahputra, 2016). Komunikasi dalam pengertian klasik sebagaimana yang diutarakan Harold D.Laswell dalam formulanya yaitu Who (komunikator) says what (pesan) in what channel (saluran) to whom (komunikan) with what effect (efek). Meskipun model Lasswell ini lebih cocok untuk komunikasi massa, namun menjadi landasan banyak definisi komunikasi politik yang linear, yang unsur-unsurnya terdiri dari komunikator politik, pesan politik, saluran atau media politik, sasaran atau target politik, dan pengaruh atau efek komunikasi politik. 54 Gambar Formula Laswell Dengan kata lain komunikasi politik adalah komunikasi yang melibatkan pesanpesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. 55 Dalam ungkapan yang lebih terbuka, komunikasi politik menyangkut hal-hal sebagai berikut: 1. Disampaikan oleh komunikator politik, 2. Pesannya berbobot politik yang menyangkut kekuasaan dan negara, 3. Terintegrasi dalam sistem politik. 54 Mulyana, Deddy, Komunikasi Politik Politik Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h.5. 55 Wahid, Umaimah, Komunikasi Politik, Teori, Konsep, Dan Aplikasi Pada Era Media Baru (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2018), h.12. Who Komunikator What Channel Saluran What Effect Efek Says What Pesan to whom Komunikan
50 Dalam konteks pembangunan (politik pembangunan), adalah beberapa hal terkait dengan pertanyaan tentang: siapa (who), apa (what), bagaimana (how) dan mendapatkan apa (get what)? Atau singkatnya adalah; siapa, apa, bagaimana dan mendapatkan apa. 56. Dari definisi singkat ini setidaknya ada lima arti penting politik pembangunan: • Mengetahui aktor-aktor yang memainkan perang penting dalam pembangunan yang dijalankan. Pendekatan aktor dalam politik pembangunan secara spesifik bisa individu ataupun lembaga. • Mengetahui sistem yang menjalankan politik pembangunan itu. • Idiologi yang dikembangkan atau dijadikan dasar dalam pembangunan itu. • Mengetahui adanya intervensi dari luar terhadap pembangunan itu. • Mengetahui bagaimana proses yang terjadi dalam pembangunan itu. • Mengetahu strategi politik pembangunan yang dijalankan oleh aktor-aktor pembangunan.57 Pada komunikasi politik, yang terjadi secara terbuka terdiri dari proses ideation, encoding, penyampaian pesan, decoding, dan feedback, merupakan input dari proses pembentukkan norma. 58 Proses tersebut secara sederhana meliputi adanya input, proses, dan output yang dapat dilihat dalam gambar berikut: Gambar Proses Komunikasi Politik 56 Warjio, Politik Pembangunan, Paradoks, Teori, aktor, dan Ideologi (Jakarta: Kencana, 2016), h.111. 57 Ibid., h.115. 58 Rosiana, Eka Putri. 2015, “Komunikasi Politik (Model Komunikasi Politik Antar Fraksi dalam Pembentukkan Norma UU Pilkada Secara Demokratis)”. Jurisprudence, Vol. 5 No, 1 Maret h.54. Input Proses Komunikasi Politik - Ideation - Encoding - Penyampaian Pesan - Decoding - Feedback Proses Proses Komunikasi Formal - Pembahasan dan Penetapan - Penginformasian Output Kesepakatan Bersama
51 Dalam hubungan komunikasi politik dengan penggunaan media sosial, sudah menjadi trend dalam dekade belakangan ini. Pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu, penggunaan media sosial sangat terasa memengaruhi dinamika politik yang terjadi. Di Belanda, media sosial telah mengambilalih fungsi poster dan selebaran. Bahkan muncul pernyataan, apabila politik ingin berhasil, setidaknya harus memiliki akun twitter, facebook, flickr, photostream atau youtube. Tak terkecuali di Amerika Serikat, seperti pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2008 antara Barack Obama dengan John McCain yang selain berkampanye secara langsung, mereka juga berkampanye melalui blog, situs, e-mail, video internet, youtube, atau facebook. (Tabroni, 2014). Indonesia dalam besaran pengguna internet di Asia, termasuk dalam jajaran 4 besar. China berada di posisi tertinggi dengan jumlah 731 juta pengguna internet, disusul India dengan 462,70 juta, Indonesia 132 juta pengguna, Jepang 115,10 juta pengguna, dan Bangladesh dengan 67 juta pengguna internet (Heryanto, 2018). hal ini memandai tumbuhnya generasi ketiga dalam komunikasi politik yang memungkinkan siapapun menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Pola resiprokal dan keterhubungan yang sifatnya personal, tetapi kerap artifisial, menjadi tantangan tersendiri bagi kandidat yang memosisikan dirinya di tengah informasi yang serba acak dan instan. Jika merujuk pada dinamikanya maka tiga generasi komunikasi politik yaitu;59 1. Generasi pertama, retorika politik. Hampir seluruh pesan komunikasi politik diarahkan oleh kemampuan seni berbicara (art of speech). 59 Heryanto, Gun Gun, Media Komunikasi Politik, Relasi Kuasa Media di Panggung Politik. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h.24.
52 2. Generasi kedua, ditandai dengan dominannya peran media massa yang belakangan kerap disebut sebagai media mainstream. 3. Generasi ketiga, ditandai dengan perkembangan new media. Hal ini seiring dengan menguatnya sosial media, seperti situs jejaring sosial (social network site) dan weblog interaktif. Studi Gerakan Sosial Baru Menjelang akhir tahun 60-an, atau lebih jelasnya mengawali tahun 70-an ke atas, muncul suatu upaya baru dari para teoritisi studi gerakan sosial baik di Eropa maupun di Amerika, untuk memformulasikan kembali perspektif gerakan sosial baru (new social movement). 60 Titik tekan dari analisis gerakan sosial baru ini ada pada rasionalitas anggota kelompok dalam menghadapi tekanan secara struktural. Kondisi ini membawa gerakan yang terjadi tidak terlepas dari isu-isu yang lebih lebar dan luas ketimbang hal-hal yang bersifat kedaerahan yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan terbatas. Hal ini berbeda dengan perspektif studi gerakan sosial klasik yang lebih menekankan pada irasionalitas perilaku kolektif (collective behavior) yang dicirikan dengan perilaku kelompok kerumunan (crowd) yang menghasilkan tindakan kerusuhan (revolts), huru hara (mobs), keributan dan kerisauan (riots) sampai kepada tindakan pemberontakan (rebels) (Singh, 2010). Para teoritisi model klasik ini seperti E.D.Martin, The Behavior of Crowd (1929), William McDougall, The Group Mind (1920), atau Gabriel Tarde, The Laws of imitation (1903) membangun konsep tentang civil society klasik yang cenderung liar dan ganas. Dalam Gerakan Sosial Baru, terdapat tiga paradigma besar.61 Pertama, paradigma ketegangan struktural (structural strain paradigm), yang menempatkan ketegangan struktural pada tingkat yang lebih dari hanya sekedar ketegangan di tingkat individu. 60 Rusmanto, Joni, Gerakan Sosial, Sejarah Perkembangan Teori Antara Kekuatan dan Kelemahannya (Sidoarjo: Zifatama Publishing, 2013), h.21. 61 Lihat Rusmanto, Joni, Gerakan Sosial, Sejarah Perkembangan Teori Antara Kekuatan dan Kelemahannya (Sidoarjo: Zifatama Publishing, 2013), h.25-54.
53 Dalam kondisi ini juga menggambarkan ketegangan di antara aktor-aktor sosial yang berkonflik. Munculnya resistensi dan perlawanan dipicu oleh perampasan (deprivation), yaitu ketika orang merasa suatu yang dihargai baginya telah dirampas. Perasaan terampas inilah yang disebut dengan relative deprivation yaitu suatu persepsi tentang kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabilitities) yang diperlukan. Relative deprivation ini yang akan menyulut ketidakpuasan dalam masyarakat yang berwujud kemarahan, atau kejengkelan tergantung pada rasa tingkat keterampasan tersebut. Kedua, paradigma mobilisasi sumber daya (resource mobilization paradigm) yang memusatkan perhatian gerakan pada proses sistem mobilisasi secara terorganisir secara lebih rasional dan canggih, baik dari segi karakteristik, model dan bentuk gerakan. Elemen kunci gerakan ini adalah organisasi yang merupakan unit-unit dari gerakan sosial, dan bukan individu. Organisasi-organisasi ini mencoba menjangkau konstituen dan menghimpun para pengikut sebanyak mungkin. Agar sistem mobilisasi ini dapat dijalankan dengan optimal maka diperlukan seorang pemimpin dalam pergerakan organisasi yang disebut kaum profesional (movement professionals). Ketiga, paradigma berorientasi identitas yang lebih menekankan basis perspektif pada peranan identitas yang melandasi semangat individu dalam suatu gerakan. Jika paradigma mobilisasi sumber daya meletakkan sentralitas pemikirannya pada rasionalisme dan materialisme, maka paradigma berorientasi identitas memusatkan perhatian pada fenomena gerakan yang cenderung bersifat non materialistik, yaitu pada perilaku yang ekspansif. Dalam asumsi paradigma ini, gerakan tidak senantiasa ekspresi kalkulasi strategis terhadap musuh-musuh, ia menggerakkan sesuatu yang lain. Para anggotanya dilihat sebagai mahluk subyektif, dengan kata lain ia mempertanyakan masalah integritas dan solidaritas. Dalam pendekatan gerakan sosial juga diandaikan adanya penelitian menyeluruh terhadap mekanisme kognitif dan norma-norma yang sesuai dengan gagasan dan cita-cita bersama, atau apa yang disebut sebagai
54 pembingkaian aksi kolektif (collective action frames). Dengan demikian gagasan dan konstruksi keyakinan yang melandasi gerakan sosial dinilai tak kalah penting dengan faktor mobilisasi sumber daya organisasi dan terbukanya proses kesempatan politik. 62 Hal tersebut bermakna bahwa tumbuh dan berkembangnya civil society juga merupakan bagian dari pendidikan politik di tengah-tengah masyarakat yang salah satu output-nya adalah munculnya kader-kader politik dari masyarakat yang berproses dalam dinamika civil society yang terjadi. Selain itu tumbuhnya civil society juga merupakan indikator demokrasi yang sedang berlangsung di suatu negara. Civil society sebagai sebuah saluran aspirasi adalah output dari dinamika demokrasi yang terjadi, yang seringkali menjadi suatu alternatif bagi khalayak secara luas dalam menyalurkan aspirasi politiknya yang ideal. Dalam iklim kekuasaan yang represif dan membatasi kebebasan, maka aspirasi politik dalam civil society akan semakin ideal, manakala dalam iklim yang kekuasaan yang mengakomodir aspirasi, maka civil society akan menjadi sekedar bersifat formal (civil society struktural). Gambar Pendekatan Integrasi Gerakan Sosial Baru 62 Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS, Suara dan Syariah (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), h. 16. CIVIL SOCIETY GERAKAN SOSIAL BARU Rasionalitas Menghadapi Tekanan Struktural media medi a Medi a is u is u is u UMAT ISLAM
55 Civil Society Di Sumatera Utara Di Indonesia diskursus tentang civil society tidak muncul sampai di awal tahun 1990. Perkembangannya semakin intensif memasuki pertengahan dekade ketika rezim militer menunjukkan signal kemungkinan mengurangi dominasinya atas negara. 63Dalam sejarahnya, negara bangsa Indonesia di masa Orde Baru mewarisi konstitusi sebagai penguatan di bidang politik, manakala Orde Baru sebagai antitesa Orde Lama mengedepankan “ekonomi sebagai panglima” dengan titik fokus pada penguatan lembaga negara. Orde Baru memberangus kebebasan politik atas nama stabilitas. Sedangkan di Orde Reformasi kemudian terjadi penguatan civil society. Pada era ini kita mengenal satu aktor di ranah politik, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tampil sebagai instrumen advokasi antara negara dan masyarakat sipil. 64 Dapat dilihat bahwa ciri utama civil society adalah adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas), termasuk partai politik yang aktif dan independen mengimbangi peran negara. 65 Namun dalam perkembangan Orde Reformasi di rezim pemerintahan Joko 63 Fuad, Muhammad, “Civil society in Indonesia: The Potential and Limits of Muhammadiyah”. Sojourn Vol.17 No.2 (2002), h.135. 64 Lihat Matta, Anis, Gelombang Ketiga Indonesia, Peta Jalan Menuju Masa Depan (Jakarta: The Future Institute, 2014), h.48-49. 65 Harahap, Syahrin, Islam & Modernitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakkan Kesalehan Modern (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h.210. Paradigma Mobilisasi Sumber Daya Paradigma Ketegangan Struktur Paradigma Berorientasi Identitas AKSI KOLEKTIF
56 Widodo-Jusuf Kalla sejak tahun 2014, terjadi perubahan pola pergerakan masyarakat civil yang cenderung bersikap wait and see, berdiam diri atau malah cenderung partisan. LSM seolah-olah kehilangan daya kritisnya dan lebih cenderung menjadi pendukung kekuasaan. Kondisi ini kemudian menumbuhkembangkan civil soviety fungsional yang bergerak berdasarkan kesepahaman pikiran, kesamaan kepentingan dan kebutuhan bersama. Memang dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, tak terkecuali di Sumatera Utara, civil society tumbuh dan berkembang dalam dua kelompok yang berbeda secara mendasar, yaitu pertama, civil society struktural (stuctural civil society). Bentuk pertama ini memiliki afiliasi dengan negara, bahkan dalam beberapa contoh, Ormas sebagai wujud masyarakat civil seperti ini dibiayai oleh negara. Pola pembiayaan dalam politik anggaran pemerintah daerah biasanya menggunakan alokasi anggaran di biro umum baik pemerintahan provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota. Biasanya Ormas seperti ini terlembaga secara permanen, dan melaksanakan kegiatan secara terjadwal. Pada beberapa kelompok Ormas seperti ini, kegiatan yang dilaksanakan sangat bergantung pada kepentingan kekuasaan. Di Sumatera Utara ada ribuan Ormas struktural yang terlembaga yang tercatat di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Sumatera Utara. Namun sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tentang Pedoman Pemberian Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, maka anggaran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mata anggota Bantuan Sosial (Bansos) di Biro Umum menjadi nihil. Dan bersamaan dengan itu jumlah Ormas yang tercatat secara resmi di Kesbangpol Provinsi Sumatera Utara menurun drastis hingga pada tahun 2018 jumlah yang tercatat hanya sebanyak 144 Ormas. Penihilan dana Bansos Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara ini terkait penyalahgunaan penggunan dana Bansos yang menyeret mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho ke dalam masalah hukum pada tahun 2014. Namun pada praktiknya penyaluran dana hibah dari Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dilakukan melalui pos anggaran yang berbeda.
57 Dalam variannya masyarakat masyarakat civil yang terlembaga ini dalam bentuk Ormas ada yang mengelola anggarannya yang bersumber dari lembaga-lembaga di luar Indonesia. Biasanya aktivitas yang mereka kerjakan lakukan adalah berdasarkan kepentingan lembaga donor yang membiayai kegiatan mereka. Masyarakat civil bentuk pertama ini memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah maupun lembaga donor sehingga cenderung untuk bersikap hati-hati bahkan pasif terhadap dinamika politik yang terjadi di sekitarnya. Dalam menyikapi dinamika sosial politik yang terjadi, masyarakat civil yang terlembaga dalam bentuk organisasi masyarakat (Ormas) memiliki keengganan untuk mengambil posisi berhadap-hadapan dengan kekuasaan. Dalam Pilkada, secara kelembagaan, umumnya mereka juga tidak bersikap terbuka dan lebih cenderung bersikap eksklusif dan normatif. Untuk mengambil contoh seperti organisasi kemasyarakat Islam mainstream di Sumatera Utara seperti Muhammadiyah, Al Washliyah dan Nadlatul Ulama (NU). Organisasi kemasyarakatan Islam ini secara kelembagaan tidak menyatakan sikap secara terbuka untuk mendukung salah satu pasangan calon dalam Pilkada Sumatera Utara. Namun sikap yang diambil adalah secara individual, masing-masing elit atau anggota mengambil sikap untuk mendukung salah satu pasangan calon. Kedua, civil society fungsional (functional civil society). Biasanya masyarakat sivil bentuk kedua ini lahir dari suatu momentum hingga masyarakat mengorganisir dirinya sendiri untuk kepentingan bersama atau kebaikan bersama. Sebelum munculnya suatu momentum, kekuatan masyarakat civil ini tidak menampakkan dirinya, dan baru lahir ketika momentum itu ada. Para anggota kelompok masyarakat civil fungsional ini berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda dan mereka disatukan oleh kepentingan bersama untuk bergerak bersama mencapai tujuan bersama pula. Gerakan ini dicirikan dengan beberapa hal mendasar; 1. Dipengaruhi oleh isu nasional terkait kepemimpinan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang bergaya keras dan kasar yang memantik perlawanan dari
58 berbagai pihak. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan perasaan teralienasi bagi warga Jakarta karena perubahan nilai-nilai, norma dan budaya yang dilakukan Ahok sebagai opinion leader di ruang publik. Kasus Ahok menjadi berkembang secara nasional karena telah menyentuh wilayah sensitif yakni penistaan agama Islam. Padahal Indonesia adalah negara dengan umat Islam terbesar di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia (Sahputra, 2016). Beberapa persamaan antara Pilkada Gubernur DKI Jakarta dan Pilkada Gubernur Sumatera Utara seperti partai pengusung yang sama, dan pasangan calon Muslim-Non muslim menimbulkan “rasa keterancaman” bagi umat Muslim di Sumatera Utara. 2. Diinspirasi oleh semangat gerakan 411 dan 212 yang menggerakkan aksi solidaritas umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia untuk datang ke Jakarta berunjukrasa atas kasus penistaan agama. 3. Keanggotaan bersifat lintas organisasi, yang diikat oleh aspirasi dan kepentingan bersama terhadap situasi sosial politik yang tengah berlangsung. 4. Pola pergerakannya dengan penggalangan dana dari masing-masing anggota pergerakan yang secara sukarela menyumbangkan dana. 5. Pola pergerakannya dengan mengikuti prosedur peraturan perundangundangan, dan mengedepankan pikiran rasional melalui dialog-dialog yang berkembang. 6. Pola komunikasi dengan interaksi melalui media sosial secara massif, sebagai bentuk komunikasi di antara anggota kelompok. Ciri gerakan civil society yang berbasiskan umat Islam seperti ini pada dasarnya telah membantah stigma yang dilekatkan para sarjana Barat yang mendefenisikan gerakan-gerakan sosial Islam pada umumnya adalah bersifat kekerasan yang sering disebut “Islamisme politik”. Barat menganggap Islamisme sebagai gerakan reaktif yang
59 dibawa oleh masyarakat tradisional, intelektual, dan masyarakat miskin kota yang melawan modernisasi ala Barat. Gerakan yang disebut utopianisme regresif tanpa ideide progresif dan positif(Muhtadi, 2012). Dalam aksinya, gerakan ini membawa simbolsimbol Ormas Islam dan menjelang hari pencoblosan dalam Pilkada Sumatera Utara tanggal 27 Juni 2018 gerakan-gerakan ini muncul secara massif. Sehingga publik dengan gampang mengidentifikasinya memiliki hubungan dengan pasangan Eramas. Gerakangerakan civil society tersebut yaitu: 1. Kongres Umat Islam Kongres Umat Islam ini diselenggarakan Asrama Haji Medan berlangsung selama tiga hari sejak tanggal 30 Maret 2018 sampai 1 April 2018 mengumpulkan umat Islam dari berbagai penjuru di Sumatera Utara. Mereka datang dari latar belakang organisasi kemasyarakatan Islam yang berbeda-beda. Di antara perwakilan organisasi kemasyarakatan Islam yang hadir di panggung pembukaan kongres untuk mendukung kegiatan ini adalah Al Washliyah, Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama (NU), Al Ittihadiyah, Persatuan Islam (Persis), Matlaul Anwar, Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Hidayatullah, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Kaumi, Ikatan Da’i Indonesia (Ikadi), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Badan Koordinasi Remaja Masjid Indonesia (BKPRIM), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis ulama Indonesia (GNPF MUI), Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Kahmi), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Jaringan Pemuda dan Remaja Masjid (JPRMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Jam’iyah Batak Muslim (JBM), Perkumpulan Pengusaha Muslim Indonesia (PPMI), Persaudaraan Muslim Indonesia (Permusi), himpunan Ormas Muslimah Sumatera Utara. Acara yang digagas mengangkat isu nasional tentang tekanan kekuasaan dalam kepemimpinan lokal di Sumatera Utara. Pasangan Djarot-Sihar dianggap sebagai
60 representasi kepentingan kekuasaan, selain didukung oleh partai penguasa (ruling party) dan koalisinya (PDI Perjuangan dan PPP). Kegiatan yang digagas secara lokal dari Sumatera Utara dalam momentum Pilkada Sumatera Utara ini menghadirkan sejumlah tokoh lokal dan nasional yaitu Prof Dr Amien Rais (Tokoh Nasional), Prof Dr Yusril Ihza Mahendra (Tokoh Nasional), Bachtiar Chamsyah (Tokoh Nasional), Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein (Tokoh Nasional), Drs Arso (Wakil Ketua MUI Sumatera Utara), dan Dr Ir Masri Sitanggang (Aktivis Gerakan Islam yang merupakan Ketua Panitia). Masri Sitanggang dalam orasinya di depan ribuan umat Islam yang menghadiri pembukaan kongres pada tanggal 30 Maret 2018 mengakui bahwa dia tidak menduga bahwa respons acara tersebut sangat luar biasa, bahkan lebih besar dari yang diperkirakannya semula. Padahal di awal-awal menggalang aksi ini ia mengaku kesulitan dana dan sumber daya. Namun belakangan dukungan datang dari berbagai pihak, baik dukungan dana maupun dukungan moral untuk kesuksesan kegiatan tersebut. Menurutnya Kongres Umat Islam ini rencananya akan digelar setiap tahun. Tidak saja dilaksanakan dalam skala provinsi, namun juga di tingkat kabupaten/kota juga akan digelar Tercatat ratusan peserta kongres yang berasal dari 37 organisasi kemasyarakat Islam Sumatera Utara. Kongres Umat Islam di Medan tersebut menghasilkan Piagam Umat Islam Sumatera Utara. Ratusan peserta tersebut bertahan selama tiga hari mengikuti rangkaian sidang-sidang dengan pembicara para tokoh nasional dan tokoh lokal yang hadir. Adapun Piagam Umat Islam hasil kongres ini, meliputi: bidang ukhuwah, penguatan peran politik umat Islam, penguatan sosial ekonomi umat Islam dan penguatan peran wanita Islam. 1. Bidang ukhuwah, berisikan antara lain, di dalamnya tertuang, akan membentuk badan sekretariat bersama Ormas-ormas Islam se Sumut sebagai badan pekerja untuk menyosialisasikan hasil kongres di Asrama Haji pada 30 Maret-1 April 2018 serta mempersiapkan Kongres Umat Islam selanjutnya, Ormas Islam se Sumut akan
61 melaksanakan pertemuan dan tetap membangun komitmen memelihara persaudaraan sesama umat Islam untuk membela dan memperjuangan umat Islam termasuk kesejahteraan/kepentingan umat Islam bangsa dan NKRI. 2. Penguatan peran politik umat Islam berisikan antara lain, di dalamnya mengingatkan umat Islam harus merebut secara konstitusional kekuatan suprastruktur politik dalam setiap lembaga kenegaraan baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif. Dalam jangka pendek Kongres Umat Islam Sumut menyerukan kepada umat Islam untuk memilih pemimpin (Gubsu-Wagubsu-Bupati/Wakil,Wali Kota/Wakil) wajib berdasarkan kriteria Alquran dan Sunnah yakni pasangan Muslim-muslim. Demikian juga untuk jangka menengah, saat pemilihan DPRD Kabupaten/Kota maupun provinsi serta DPD-DPRRI, harus direalisasikan sebagai agenda umat Islam. Menyerukan kepada umat Islam, agar berperan aktif pada pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 dengan memenangkan partaipartai Islam dan partai yang berpihak kepada kepentingan umat Islam dan menolak partai pendukung penista agama dan UU Keormasan. Umat Islam juga diajurkan tetap istiqomah berpegang teguh pada fatwa MUI yang mengharamkan Golput dalam setiap pemilihan, baik pemilihan umum, legislatif, presiden/wakilmya, gubernur/wakilnya, bupati/wakilnya, wali kota/wakilnya. Mendorong pemerintah untuk meneguhkan pengamalan Pancasila sesuai alenia keempat pembukaan UUD 1945. 3. Penguatan sosial ekonomi umat Islam, berisikan antara lain, dalam hal ini, mendorong seluruh Ormas Islam dan pengusaha Muslim untuk membuat badan usaha syariah (minimarket, home industry dan sebagainya). Menyerukan kepada umat Islam agar bermuamalat sesama umat Islam. Mendorong pengusaha Muslim untuk menjadi produsen. Membentuk tim pemasaran bersama di kalangan umat Islam. Membentuk koperasi dari swadaya oleh Ormas-ormas se Sumatera Utara. Mengembangkan ekonomi umat berbasis masjid. Agar umat Islam mengonsumsi produk yang telah memiliki status sertifikat halal.
62 4. Penguatan peran wanita Islam berisikan antara lain. Pimpinan Ormas Islam perempuan seSumatera Utara, mengajak para ayah dan ibu (keluarga) untuk meningkatkan perannya dalam mendidik dan mendampingi anggota keluarga agar terhindar dari bahaya Narkoba, pornografi, LGBT dan pergaulan bebas. Pemimpin Ormas Islam Perempuan seSumatera Utara meminta agar Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Sumatera Utara dan DPRD Kabupaten/Kota melahirkan Peraturan Daerah (Perda) Ketahanan Keluarga yang sangat bermanfaat untuk menjaga kekokohan keluarga di Sumatera Utara. Pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam Perempuan sepakat menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dan meminta Komisi VIII DPRRI untuk tidak mensahkan RUU ini karena sangat tidak sesuai dengan ajaran Islam dan falsafah negara. Pimpinan Ormas Islam Perempuan bersepakat konsisten menjalin silaturahmi antar organisasi Muslimah melalui Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita (BMOIW) Indonesia melalui pertemuan berkala yang bisa meningkatkan wawasan dan kepemimpinan para muslimah di Sumatera Utara. 2. Gerakan Subuh Berjamaah. Gerakan Subuh Berjamaah adalah gerakan untuk shalat Subuh berjamaah di masjid. Gerakan ini merupakan seruan kepada umat Islam untuk meramaikan masjid pada waktu Shubuh untuk menunaikan Shalat Subuh berjamaah. Gerakan ini sudah mulai terdengar sejak beberapa tahun lalu yang digagas oleh para aktivis dakwah Islam. Sebuah akun di media sosial twitter Omar Khalid @pejuangsubuh27 telah muncul sejak Juni 2010 dan kini memiliki 3.742 follower dan 341 following. Selanjutnya secara khusus muncul akun @PejuangSubuh yang telah muncul sejak Agustus 2012 yang digagas oleh tiga orang yakni Arisakti Prihatwono Hadi E.Halim, dan Imam Rivani yang berjuang meramaikan shalat Subuh berjamaah sebgai salah satu pilar kebangkitan Islam. Mereka bercita-cita jamaah shalat Subuh bagaikan shalat Jumat. Sampai dengan 21 September 2018 akun tersebut telah memiliki 223.8K follower dan 341 following. Sejak itu di media
63 sosial yang sama muncul beberapa akun yang senada yang menunjukkan gerakan ini menyebar ke berbagai kota di Indonesia: 1. Pejuang Subuh Pku @PejuangSubuhPku (sejak November 2012, memiliki 1,652 followers dan 1,934 following) 2. Pejuang Subuh Medan @PejuangSbhMedan (sejak tahun 2013 memiliki 1,414 followers dan 84 following) 3. @PejuangSubuhBdg (sejak tahun 2013 4,445 memiliki followers dan 167 following) 4. #YangMudaYangBAPER (Pejuang Subuh Tangerang) @PejuangSubuhTNG (sejak tahun 2013 memiliki 1,843 followers dan 135 following) 5. PejuangSubuhSumbar @Pejuangsubuhbkt (sejak tahun 2013 memiliki 5,091 followers dan 333 following) 6. #PS Surabaya @PejuangSubuhBGR (sejak tahun 2013 memiliki 1,235 followers dan 94 following) 7. Pejuang Subuh Depok @PejuangSubuhDPK (sejak tahun 2014 memiliki 1,000 followers dan 80 following) 8. Pejuang Subuh Banjarmasin @PejuangSubuhBJM (sejak tahun 2013 memiliki 782 followers dan 83 following) 9. PejuangSubuh BOGOR @PejuangSubuhBGR (sejak tahun 2013 memiliki 764 followers dan 67 following) Pada tahun 2016 gerakan ini mulai gerakan ini semakin menguat dengan bergulirnya kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yaitu Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang memicu gerakan massif umat Islam ke Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 yang dikenal dengan Gerakan 411 dan Gerakan 212 yang dihadiri jutaan umat Muslim daerah berbagai
64 daerah di Indonesia berkumpul di Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Pada tahun 2017 di tempat yang sama, tepatnya pada acara Reuni Aksi 212 pada tanggal 2 Desember 2017 yang juga dihadiri jutaan umat Islam telah dideklarasikan Gerakan Subuh Berjamaah yang diberinama Gerakan Indonesia Shalat Subuh (GISS) yang bertujuan untuk memenuhi masjid-masjid dan mushala-mushala pada waktu Shalat Subuh diisi jamaah yang sama banyaknya seperti Shalat Jumat. Teks deklarasi GISS yang dibacakan Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath tersebut berbunyi: Kami seluruh jamaah, kaum Muslimin dan Muslimat yang hadir pada pagi hari ini di Monas, Jakarta Sabtu 13 Rabiul Awal 1439 Hijriah, 2 Desember 2017 menyatakan kami bertekad dan bercita-cita untuk: 1. Senantiasa istiqomah datang ke masjid, di waktu Subuh untuk Shalat Shubuh Berjamaah. 2. Senantiasa mengajak anggota keluarga tetangga dan kawan-kawan untuk datang ke masjid di waktu Subuh untuk Shalat Subuh berjamaah. 3. Senantiasa mengajak anggota keluarga dan kawan-kawan untuk mendukung gerakan Indonesia Shalat Subuh di seluruh wilayah kesatuan RI demi terwujudnya jumlah jamaah Shalat Subuh seperti jamaah Shalat Jumat. Gerakan Shalat Subuh Berjamaah di masjid ini diiringi dengan kegiatan ceramah agama oleh seorang ustadz yang sengaja diundang untuk berbicara. Materi dakwah sangat beragam dan kontekstual meliputi persoalan ibadah, ekonomi, politik dan sebagainya. Beberapa kepala daerah kemudian secara resmi mencanangkan Program Gerakan Shalat Subuh Berjamaah seperti di kota Bandung. Gerakan Shalat Subuh Berajamaah ini diselenggarakan di Masjid Raya Provinsi Jawab Barat di Jalan Dalem Kaum sejak tanggal 22 Januri 2017. Gerakan Subuh Berjamaah juga marak di kota Bukit Tinggi-Agam, Sumatera Barat. Melalui saluran media sosial facebook bernama Subuh Berjamaah Bukittinggi-Agam, kegiatan shalat Subuh berjamaah disebarluaskan. Di Sumatera Utara Gerakan Subuh Berjamaah tak kurang ramainya. Di beberapa masjid
65 kegiatan tersebut semakin rutin dan dari hari ke hari jamaah terus bertambah. Salah satu masjid di kota Medan, Sumatera Utara yang menjadi pusat Gerakan Subuh Berjamaah adalah di Masjid Al-Jihad Jalan Abdullah Lubis Medan. Sekitar seribuan jamaah menghadiri shalat Subuh berjamaah di masjid ini, khususnya di momen menghadirkan pembicara yang ternama. Gerakan ini selain diisi dengan shalat Subuh berjamaah, dan tausyiah agama, juga mengumpulkan infak dari jamaah yang hadir. Di Masjid Al Jihad Medan yang jumlah mencapai puluhan juta rupiah. Menjelang hari pencoblosan pada Pilkada Sumatera Utara, tema-tema tausyiah lebih banyak menyangkut tentang memilih pemimpin dalam Islam. Meski tidak menyebut nama dan nomor pasangan calon gubernur/wakil gubernur, namun tema dakwah pada umumnya mengarahkan jamaah umat Islam untuk memilih salah satu pasangan calon, yakni nomor Edy Rahmayadi dan Musa Rajechshah. Gerakan ini juga berlangsung secara massif di bawah bayang-bayang kekuasaan yang cernderung memberikan pembatasan dari aspirasi khalayak yang terjadi. 3. Gerakan Ceramah Di Masjid Gerakan ceramah di masjid oleh para ustadz adalah suatu konsekuensi dakwah yang tidak sekedar telah menjadi tradisi namun tuntutan keimanan dalam agama Islam. Sebagaimana tuntutanan dalam Al-Qur’an berikut ini: Sesungguhnya manusia itu benarbenar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Al-Qur’an Surah Al ‘Ashr: 2-3). Demikian juga bunyi hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy berikut ini: Sampaikan dariku walau hanya satu ayat (Hadist Riwayat Bukhari). Dan masjid sebagai tempah ibadah umat Muslim adalah tempat yang dikhususkan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah Islamiyah. Dalam praktiknya, materi dakwah para ustadz sangat bervariasi, mencakup persoalan ibadah, dan muamalah, yang sangat kontekstual dengan kondisi kekinian seperti masalah idiologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan seterusnya yang dikaitkan
66 dengan nash-nash dalam Al-Qur’an dan al-Hadist. Menjelang hari pencoblosan dalam Pilkada Sumatera Utara tanggal 27 Juni 2018, di ceramah para ustadz masjidmasjid didominasi oleh materi politik dalam hal memilih pemimpin dalam Islam. Ayatayat yang dibahas dalam konteks kekinian yakni Pilkada Gubernur Sumatera Utara menyangkut ayat-ayat tentang memilih pemimpin dalam Islam, lebih khusus lagi terkait larangan memimpin pemimpin kafir dalam Islam yakni Surah Ali Imran ayat 28, 118, 149, dan 150; Surah An Nisa’ ayat 138, 139, 141, 144; Surah Al Maidah ayat 51, 57, 80, 81; Surah At Taubah ayat 16, 23. Surah al Qasas ayat 86; Surah Al Mujadalah ayat 14, 15; Surah Al Mumtahanah ayat 1 dan 13. Para ustadz yang berceramah di masjid-masjid yang menyampaikan materi tentang memilih pemimpin dalam ajaran Islam tersebut pada umumnya digerakkan oleh kewajiban dakwahnya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada jamaah. Banyak di antara mereka yang tidak terikat oleh tim kampanye manapun. Massifnya kegiatan ceramah agama di masjid menjelang Pilkada Gubernur Sumatera Utara, Menteri Agama Republik Indonesia Lukman Hakim Saifuddin mengeluarkan pernyataan melarang para ustadz dan ulama berceramah politik praktis di tempat ibadah. Peringatan tersebut katanya karena tempat ibadah rentan dijadikan ruang politik yang strategis selama masa kampanye Pemilihan Umum (ccnindonesia.com, 18 April 2018). Larangan ini menjadi perbincangan hangat baik di masjid-masjid maupun di media sosial. Pernyataan Menteri Agama tersebut dinilai sebagai suatu bentuk intervensi dan diskrimiatif negara kepada proses Pilkada Gubernur Sumatera Utara. Karena larangan hanya ditujukan kepada umat ceramah oleh umat Islam di dalam masjid dengan tanpa menyinggung umat agama yang lain. Apalagi pembatasan materi politik dalam ceramah agama di masjid dinilai bertentangan dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW yang menjadikan masjid sebagai tempat membicarakan segala sesuatu tentang umat, termasuk persoalan politik. Akibatnya gerakan ceramah agama di masjid-masjid dengan materi memilih pemimpin Muslim terus bergulir dan membesar.
67 Pada tanggal 26 Juni 2018 di media sosial beredar nama-nama dan jadwal para ustadz yang berceramah dalam rangka halal bi halal di perkebunan milik Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) III yang merupakan bagian dari tim kampanye pasangan Djoss. Dalam selebaran tersebut para ustadz tersebut akan berceramah di 33 kebun atau pabrik kelapa sawit milik PTPN III pada 20-23 Juni 2018 yang tersebar di beberapa daerah di Sumatera Utara. Daerah perkebunan tersebut berada dalam wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Kota Tebingtinggi, Kabupaten Serdangbedagai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Deliserdang, dan Kabupaten Simalungun. Mereka dikoordinir oleh tim Djoss untuk pemenangan Pilkada Gubernur Sumatera Utara. Berikut jadwal ceramah para ustadz untuk pasangan Djoss yang beredar di media sosial: JADWAL KEGIATAN HALAL BI HALAL KEBUN PTPN 3 No LOKASI KEGIATAN HARI/TANGGAL USTADZ PENCERAMAH 1 KEBUN / PKS SEI DAUN RABU / 22 JUNI 2018 H. HERMANTO, MM 2 KEBUN / PKS SEI MERANTI RABU / 22 JUNI 2018 DR. HM. THAMRIN MUNTHE, M.HUM 3 KEBUN / PKS TORGANDA RABU / 22 JUNI 2018 H. MARASUTAN RITONGA, MA 4 KEBUN BUKIT TUJUH RABU / 22 JUNI 2018 DRS. H. SAMPURNA SILALAHI 5 KEBUN SEI DADAP RABU / 22 JUNI 2018 DRS. H. SYAMSUL BAHRI 6 KEBUN / PKS SEI SILAU RABU / 22 JUNI 2018 DRS. H. SAMIN PANE (UST.SAMPAN) 7 KEBUN HAMBALUTU RABU / 22 JUNI 2018 H. RUDI SUNTARI, S.AG 8 KEBUN HUTA PADANG RABU / 22 JUNI 2018 DRS. H. SARWO EDY, MA 9 KEBUN BANDAR SELAMAT RABU / 22 JUNI 2018 H. MIFTAHUL KHAIR, S.HI, MA 10 KEBUN PULAU MANDI RABU / 22 JUNI 2018 H. FADHLAN RIDO HRP, MH 1 KEBUN / PKS SEI BARUHUR KAMIS/21 JUNI 2018 DRS. H. ILYAS HALIM, M.PD 2 KEBUN / PKS AEK TOROP KAMIS/21 JUNI 2018 DRS. H. NASIB SILMI 3 KEBUN / PKS AEK RASO KAMIS/21 JUNI 2018 DRS. H. LUKMAN HAKIM, MA 4 KEBUN SEI KEBARA KAMIS/21 JUNI 2018 DRS. H. SANGKOT SARAGIH, MH 1 A.NABARA U/S PKS JUM’AT/22 JUNI 2018 DRS. H. ILYAS HALIM, M.PD 2 KEBUN / PKS SISUMUT JUM’AT/22 JUNI 2018 H. HERMANTO MM 3 KEBUN R.PRAPAT JUM’AT/22 JUNI 2018 DRS. H. SAMPURNA SILALAHI 4 KEBUN MERBAU SELATAN JUM’AT/22 JUNI 2018 DRS. H. SANGKOT SARAGIH, MH 5 KEBUN MAMBANG MUDA JUM’AT/22 JUNI 2018 DR. HM. THAMRIN MUNTHE,M.HUM 6 KEBUN LABUHAN HAJI JUM’AT/22 JUNI 2018 DRS. H. SAMIN PANE (UST.SAMPAN) 1 KEBUN PAMELA SABTU/23 JUNI 2018 DR. HM. THAMRIN MUNTHE,M.HUM 2 KEBUN MONAKO SABTU/23 JUNI 2018 DRS. H. SAMPURNA SILALAHI
68 3 KEBUN GUNUNG PARA SABTU/23 JUNI 2018 DRS. H. SAMIN PANE (UST.SAMPAN) 4 KEBUN BANGUN SABTU/23 JUNI 2018 H. MARASUTAN RITONGA, MA 5 KEBUN BANDAR BETSI SABTU/23 JUNI 2018 DRS. H. SYAMSUL BAHRI 6 KEBUN DUSUN HULU SABTU/23 JUNI 2018 H. MIFTAHUL KHAIR, S.HI, MA 7 KEBUN SILAU DUNIA SABTU/23 JUNI 2018 DRS. H. SARWO EDI, MA 8 KEBUN SEI PUTIH SABTU/23 JUNI 2018 H. HERMANTO MM 9 KEBUN SARANG GITING SABTU/23 JUNI 2018 H. RUDI SUNTARI, S.AG 10 KEBUN TANAH RAJA SABTU/23 JUNI 2018 DRS. H. SANGKOT SARAGIH, MH 11 KEBUN RAMBUTAN SABTU/23 JUNI 2018 DRS. H. NASIB SILMI 12 KEBUN BATANG TORU SABTU/23 JUNI 2018 DRS. H. LUKMAN HAKIM, MA 13 KEBUN HAPESONG SABTU/23 JUNI 2018 H. FADHLAN RIDO HRP, MA Informasi dari beredarnya jadwal ceramah para ustadz di media sosial yang diidentifikasi sebagai pendukung Djoss tersebut kemudian terkonfirmasi kebenarannya, di antaranya melalui tindakan yang diambil Ormas Islam seperti Muhammadiyah yang memberi sanksi kepada salah satu penceramah yang terdapat dalam daftar tersebut. Tiga nama di antara ustadz pendukung Djoss tersebut yakni Sarwo Edy, Hermanto, dan Lukman Hakim dikenali sebagai anggota Perserikatan Muhammadiyah atau ustadz yang sering berceramah di pengajian-pengajian Muhammadiyah. Sarwo Edy yang menduduki jabatan di Pengurus Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara tidak lama kemudian dinonaktifkan dari kepengurusan. Hermanto yang merupakan jajaran pengurus di Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah kota Medan meski tidak mendapat sanksi yang sama namun mendapat penolakkan dan reaksi yang keras dari jamaah pengajian. Akan halnya Lukman Hakim ternyata bukan merupakan anggota Persyarikatan Muhammadiyah maka tidak mendapatkan sanksi secara organisatoris. Namun Lukman Hakim seperti para ustadz yang terdapat dalam selebaran tersebut mendapat “hukuman” dari umat Islam di Sumatera Utara. Beberapa masjid mencoret nama mereka yang telah terdaftar sebagai penceramah di masjid. Tindakan tersebut sebagai kebijakan atas dasar aspirasi dari jamaah masjid-masjid yang tidak ingin para ustadz yang mendukung non muslim (kafir) sebagai pemimpin di Sumatera Utara. Perbincangan menghangat di lini masa media sosial, termasuk di grup-grup Whatsapp. Salah satunya adalah grup Whatsapp “Al Mukarromah 21/2017” yang merupakan grup jamaah haji
69 kelompok terbang 21 tahun 2017 dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang dibimbing oleh Sangkot Saragih. Pada umumnya jamaah dalam grup Whatsapp ini tidak menyetujui tindakan ustadz pembimbing haji mereka, bahkan tidak sedikit yang mengkritik tajam tindakan yang dilakukan oleh Sangkot Saragih. Aktivitas ceramah di masjid untuk memilih pemimpin Muslim-Muslim juga dipincu oleh munculnya Surat Edaran (SE) dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Nomor B-1601/K.Bawaslu-Prov.SU/PM.00.01/05/2018 perihal Penyampaian Kesepakatan Hasil Rapat Koordinasi. Dalam salah satu poin di dalam SE tersebut yaitu di nomor 4 huruf a, b dan c, berbunyi laranganterhadap pasangan calon, tim kampanye, partai politik dan relawan untuk melakukan kegiatan keagamaannya seperti ucapan selamat berpuasa hingga berinfak dan bersedekah selama bulan suci Ramadan. Surat yang beredar di media sosial dan media massa tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan umat Islam. Apalagi larangan dalam SE Bawaslu tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-undang di atasnya yakni Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 Ayat 1 dan 2 yang berbunyi; Pasal (1) Begara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menrut agamanya dan kepercayaannya itu. SE tersebut kemudian mendapatkan konfirmasi dari Bawaslu selaku pihak yang mengeluarkan aturan tentang berkampanye menyangkut hal-hal yang dilarang dalam masa kampanye. SE tersebut direvisi oleh Bawaslu dengan dikeluarkannya Surat Nomor B-1805/K.Bawaslu-Prov.SU/PM.00.01/05/2018 tentang Penyampaian Kesepakatan Hasil Rapat Koordinasi. Di antara poin-poin yang direvisi pada nomor 4 huruf a; pasangan calon maupun tim kampanye dilarang menyampaikan ucapan selamat menyambut Ramadan, menjalankan ibadah puasa, selama sahur, berbuka puasa, selama nuzulul quran, selamat hari raya Idul Fitri dalam bentuk iklan di televisi, radio, media cetak dan elektronik. Pada poin huruf b, para pasangan calon juga dilarang membagi-
70 bagikan jadwal imsakiyah, bukusaku tuntunan ibadah Ramadan yang bergambar pasangan calon, nomor urut dan atau visi mis di tempat ibadah. Di huruf c, dilarang menyampaikan kuliah atau ceramah yang berisikan ajakan memilih atau kampanye bagi pasangan calon di tempat ibadah. Di huruf d, pasangan calin maupun tim kampanye dilarang membagi-bagikan infak, sadaqoh, tunjangan hari raya, bingkisan lebaran yang bertujuan kampanye. Di poin hruf e, tertera untuk menghindari terjadinya potensi politik uang atau kampanye penunaian zakat, infak dan sadaqoh dapat disalurkan melalui lembaga resmi atau badan amil zakat. Ketua Bawaslu Sumatera Utara Syafridah Rachmawati Rasahan (Tempo.co 21 Mei 2018) beralasan bahwa surat yang beredar di media sosial tersebut adalah SE yang masih dalam bentuk yang belum revisi dan belum pernah diedarkan oleh Bawaslu karena masih dalam tahap perbaikan karena banyak redaksi yang masih belum sempurna. Namun informasi yang telah beredar luas di masyarakat tersebut telah menimbulkan adanya kesan adanya campur tangan kekuasaan untuk membatasi pasangan calon yang tidak didukung oleh partai penguasa (the ruling party) yakni PDI Perjuangan. Kesan tersebut semakin mengental dengan kekhawatiran umat Muslim dipimpin oleh pemimpin dari kalangan non muslim. Kesimpulan 1. Civil society atau gerakan masyarakat sipil di Sumatera Utara adalah suatu gejala yang kompleks, yang salah satu faktor pentingnya adalah terjadinya pembelahan idiologis antara pasangan calon Muslim-Muslim dan Muslim-non muslim dalam Pilkada Gubernur Sumatera Utara 2018. Pengalaman atas kepemimpinan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta yang melakukan penistaan terhadap agama Islam menjadi memori kolektif yang menggerakkan aksi-aksi kolektif umat Islam. Umat Islam di satu sisi tidak saja mendukung dan
71 memihak pasangan Muslim-Muslim tetapi juga bergerak secara sadar untuk mengampanyekan pasangan Muslim-Muslim. 2. Media sosial sebagai media baru adalah media informasi yang menjadi sarana saling bertukar informasi yang dianggap paling cepat dan massif. Gerakan sosial baru yang menandai munculnya komunikasi politik generasi ketiga dalam Pilkada Gubernur Sumatera Utara 2018 telah menumbuhkan kesadaran bersama bagi umat Islam Sumatera Utara dalam memilih pemimpinnya sesuai dengan tuntunan dalam ajaran agama Islam. Gerakan ini dipicu oleh ketegangan struktural pada tingkat yang lebih dari hanya sekedar di tingkat individu namun terjadi di antara aktor-aktor sosial yang berkonflik. Munculnya resistensi karena terjadi kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabilitities) menyulut ketidakpuasan dalam masyarakat umat Islam. 3. Sebagaimana gejala yang terjadi di Indonesia pada umumnya, pada dasarnya civil society fungsional memiliki daya juang dan karenanya memiliki daya dobrak yang besar karena para anggotanya mengalami secara bersama faktor-faktor pencetusnya sehingga memiliki kesamaan kepentingan dan kesamaan tujuan. Tampak jelas upaya membuat aksi kolektif untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam melalui civil society fungsional menjadi suatu gerakan yang permanen. Namun hajatan ini menghadapi tantangan pada bentuk civil society itu sendiri yang akan berubah menjadi civil society struktural. Dengan kata lain, civil society sebagai sebuah gerakan akan menunjukkan efektivitasnya untuk tujuan-tujuan jangka pendek.
72 Bab V Mahathir Mohamad & Media Massa
73 Pendahuluan Diskursus tentang politik Malaysia menjadi menarik dengan munculnya kembali Mahathir Mohamad menjadi Perdana Menteri Malaysia pada Pemilihan Raya Umum (PRU) ke-14 Malaysia 2018. Bukan cuma sekedar karena usia Mahathir Mohamad yang sudah menginjak 92 tahun, tetapi lebih dari itu menyangkut isu-isu sentral yang berkembang di media massa sebelum PRU ke-14 dilaksanakan. Dalam persepektif media dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia, setidaknya, di antara isu-isu tersebut yaitu pertama, kebebasan pers, kedua, isu korupsi mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dalam kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB), dan dominasi dan ketiga, “invasi” modal negara China ke Malaysia. Ketiga isu ini menarik untuk dibahas di Indonesia karena dengan yang juga terjadi di negeri ini. Tidak saja menarik, bahkan isu-isu tersebut menjadi penting sebagai bahan komparasi bagi Indonesia—untuk menyaksikan bagaimana Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri mengatasi masalah-masalah dalam negerinya tersebut. Karena jika Mahathir sukses mengatasi masalah negaranya, maka dapat menjadi model yang strategis bagi Indonesia. Isu politik Malaysia dengan Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri menjadi lebih menarik lagi bagi masyarakat Sumatera Utara, khususnya kota Medan karena sebelum PRU ke-14 2018, Mahathir Mohamad telah dua kali menyambangi kota ini untuk berbicara tentang politik pemerintahan dan ekonomi. Adalah harian Waspada yang telah dua kali mengundang dan menghadirkan Mahathir Mohamad dalam acara seminar di hotel JW Marriott Medan. Kehadiran Mahathir yang pertama pada 10 Januari 2015 dalam seminar yang diselenggarakan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Harian Waspada ke 68 yang mengambil tema “Seminar Menyongsong MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) 2015”. Pada acara ini Mahathir Mohamad bertindak sebagai keynote speaker yang membawakan materi berjudul “Kerjasama Umat Islam Menyongsong MEA”. Di samping Mahathir Mohamad ada pembicara kedua yang hadir yaitu Anis
74 Rasyid Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI). Anis Baswedan yang saat ini menjadi sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta periode 2017-2022 membawakan materi “Revolusi Mental Bidang Pendidikan Menyongsong MEA”.66 Sedangkan kehadiran Mahathir Mohamad yang kedua di Medan juga atas undangan Harian Waspada berlangsung pada Senin tanggal 18 Juli 2016 di Hotel JW Marriott Medan. Dalam Seminar Internasional ini Mahathir Mohamad membawakan materi berjudul “Good Governance and Clean Government (Pemerintahan yang Benar dan Bersih) Perspektif Islam”. Selain Mahathir Mohammad sebagai pembicara ada juga Prof Dr Ismail Lutfi Japakiya, Rektor Universitas Fatoni Thailand yang membawakan materi berjudul “Peran Negara Menciptakan Kerukunan AntarAgama”. Dan pembicara ketiga yaitu Dr Yusnar Yusuf, MS, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Al Jamiyatul Washliyah dengan materi berjudul “Sinergitas Pemerintah dan Umat Beragama Dalam Menghempang Paham Komunisme”. Baik di seminar yang pertama maupun yang kedua, Mahathir Mohamad berbicara di depan para kepala daerah di Sumatera Utara, para akademisi, dan juga para birokrat di Sumatera Utara.67 Selain ke Medan Mahathir juga mengunjungi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam rangka menerima gelar Honoris Causa Bidang Perdamaian dan Islam dari UMY, pada 17 Maret 2016. Kunjungan diikuti dengan kunjungan kedua ke UMY pada 5 Desember 2016 untuk menyampaikan kuliah umum dalam Mahathir Global Peace School (MPGS). Sewaktu safari kunjungannya ke Medan maupun ke Yogyakarta, Mahathir dalam statusnya sebagai mantan Perdana Menteri Malaysia 1981 - 2003 yang telah berumur 90 tahun. Tidak ada yang mengira bahwa Beliau bakal merebut kekuasaan lagi melalui jalur PRU-14 Malaysia. Dan ketika dua tahun kemudian Mahathir Mohamad benar-benar menjadi Perdana Menteri lagi, maka orang-orang mulai bertanya-tanya adakah hubungan antara safari politik Mahathir 66 Harian Waspada Medan, edisi 11 Januari 2015. 67 Harian Waspada Medan, edisi 19 Juli 2016
75 ke Medan dengan tujuan politiknya menjadi Perdana Menteri? Secara sederhana sebenarnya hal ini dapat dijawab jika mengenal sosok para pemimpin di Harian Waspada. Hj.Rayati Syafrin selaku Pemimpin Umum dan H.Teruna Jasa Said selaku Wakil Pemimpin Redaksi adalah orang-orang yang menjadi pengagum bagi Mahathir Mohamad sejak lama. Politik & Media Terminologi yang sering muncul takkala membicangkan tentang masalah politik yang berkaitan dengan media massa adalah hubungan tiga serangkai antara media massa (mass media), budaya massa (mass culture) dan masyarakat massa (mass society). Disebut demikian karena hubungan media massa dengan masalah politik sangat dipengaruhi mass society dan mass culture. Dalam tataran kajian media (media studies) dikenal dengan teori Triple M: mass society, mass media, dan mass culture.68 Steven M. Beuchler mendefinsikan mass society sebagai sebuah teori yang kompleks, memiliki ragam perspektif sebagai terapan atas gerakan sosial.69 Namun secara lebih sederhana society merujuk pada suatu sistem hubungan interaksi antara individu atau kelompok dan budaya ke dalam bentuk nilai-nilai, norma, ide-ide dan simbol-simbol lainnya dalam membentuk perilaku individu. Sedangkan mass society merujuk pada jenis masyarakat dalam hubungannya dengan individu-individu yang diasumsikan karakter massa.70 Manakala mass culture merepresentasikan hubungan kultural antara mass society dan mass media. 71 Di masyarakat Timur seperti Indonesia dan Malaysia, dalam tatanan budaya masyarakatnya tergolong pada high context culture (konteks budaya tinggi) sebagaimana 68 Beberapa teoritisi komunikasi massa yang membahas hubungan ketiganya seperti W.Kornhauser, The Politics of Mass Society (London: Routledge & Kegan Paul, 1960) dan juga Daniel Bell, “ The Theory of Mass Society,” Commentary (22 Juli 1956), dan The End of Idiology (New York: Collier Books, 1961). 69 Lihat Steven M.Buechler, “Mass Society Theory”, Wiley Online Library (Januari 2013). 70 Hamid Mowlana, “Mass Media and Cuture: Toward an Iegrated Theory” Journal of the Religious Education Association (Juli 2006) h.150. 71 Ibid.
76 kategorisasi yang disampaikan Edward T.Hall. Menurutnya dalam high context culture makna terbaik yang disampaikan berdasarkan konteks implisit, termasuk gestur, kebiasaan sosial, diam, nuansa, atau warna suara. Sebaliknya dalam masyarakat low context culture, apa yang dikatakan adalah sangat penting.72 Dengan kata lain komunikasi masyarakat yang high-context adalah lebih cenderung berkomunikasi ke dalam dirinya ketimbang berkomunikasi ke luar dirinya. Apa yang diucapkan sebenarnya lebih sedikit dari apa yang tidak diucapkan melalui verbalnya. Sedangkan dalam masyarakat low-context berlaku kebalikannya, yakni apa yang dikatakan adalah adalah apa yang dirasakan. Sedangkan dalam sejarah pemerintahan Malaysia dalam hubungannya dengan media massa tidak selalu terdengar harmonis. Media massa digunakan sebagai alat kekuasaan. Ketika media massa mengambil sikap tidak pro pada status quo maka pemerintah akan mem-bredel. Sejak 1957, peluang untuk melanggengkan kekuasaan kemudian dianggap wajar dengan cara membredel media massa. Karena itu merupakan suatu yang berbeda sekaligus menggembirakan bagi pers ketika Perdana Menteri Malaysia terpilih, Mahathir Mohamad, berjanji untuk menjamin kebebasan pers.73 Mahathir mengatakan bahwa undang-undang "berita palsu" yang diberlakukan pada masa Mantan Perdana Menteri Najib Razak akan direvisi yang bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada media dan publik Malaysia. Namun meski memberi sinyal kebebasan kepada pers, namun Mahathir juga menyatakan akan memberi batasan dari kebebasan yang harus ditaati oleh media. Batasan dimaksud adalah reportase yang dinilai bertujuan untuk menciptakan kekacauan. Sesungguhnya media massa harus punya mekanismenya sendiri berkaitan dengan reportase atau berita yang dianggap mengacaukan atau berpotensi mengacaukan situasi. Mekanisme dalam media massa ini bersifat khusus lex specialist yang oleh karenanya harus dibedakan dengan pelanggaran pidana ataupun perdata. 72 Nam, K. A. High-context and low-context communication, In J. M Bennett ed., The SAGE Encyclopedia of Intercultural Competence (Thousand Oaks, CA: Sage Publication, Inc. 2015), h.378. 73 Berdasarkan berita yang dilansir RTM dan Bernama pada 14 Mei 2018.
77 Pernyataan Mahathir Mohamad yang akan memberikan kebebasan bagi pers Malaysia ini langsung mendapatkan “ujian” ketika tiga hari setelah penyataan Mahathir Mohamad tersebut, Polis Diraja Malaysia (PDRM) menangkap seorang pria di Langkawi dengan tuduhan menghina Perdana Menteri Mahathir Mohamad di laman facebook-nya.74 Namun Mahathir Mohamad langsung merespons hal ini melalui akun media sosialnya di twitter ia melampirkan berita malaysiakini.com tersebut sambil menulis cuitannya: Saya tidak setuju tindakan diambil kepada mereka yang mengkritik saya. Saya sudah maklumkan kepada pihak polis berkenaan ini. Undang-undang ini akan dikaji apabila parlimen bersidang kelak.75 Secara harfiah, pernyataan Mahathir Mohamad adalah untuk menghindari propaganda media dalam menjalankan pemerintahannya. Propaganda yang bagi Menteri Propaganda Nazi Jerman, Joseph Goebbels tidak ada hubungannya dengan kebenaran.76 Menurut David Welch dalam bukunya The Third Reich Politics and Propaganda, setelah Nazi menguat pada tahun 1933, Menteri Propaganda, Joseph Goebbels, menekankan pentingnya mengoordinasikan propaganda dengan kegiatan lain. Dalam kekuasaan yang diktator, propaganda harus mengendalikan massa besar dan menciptakan keseragaman pendapat dan tindakan. Namun demikian, Nazi juga memahami bahwa propaganda adalah nilai yang kecil atau bukan suatu kebijakan yang populer dan mudah diterima. Setidaknya hal ini menjelaskan mengapa Goebbels memberi kesan dan terus memberikan “perintah” pada semua staf di kementeriannya bahwa propaganda adalah kebutuhan penting untuk terus-menerus mengukur suasana hati publik. Oleh karena itu Goebbels secara teratur menerima laporan luar biasa rinci dari Polisi Rahasia tentang suasana hati orang-orang dan akan selalu mencatat dalam buku hariannya. Hitler sebagai pemimpin tertinggi [fuhrer] juga akrab dengan laporan 74 Situs berita malaysiakini.com menurunkan berita berjudul Police detain man who insulted Dr M pada tanggal 17 Mei 2018. 75 Cuitan Mahathir Mohamad di akun Dr Mahathir Mohamad di twitter tertanggal 18 Mei 2018. 76 Lihat Welch, David, Propaganda and the German Cinema 1933-1945, (London: I.B.Tauris Publishers, 2001), h.33.
78 seperti ini, dan dia menghindari kenaikan harga pangan karena takut akan merusak popularitas rezim Nazi karena menyangkut sensitivitas politik bagi terbentuknya opini publik.77 Dalam Islam, propaganda tidak dikenal karena Al-Qur’an tidak memuat petunjuk tentang propaganda sebagaimana. Al-Qur’an juga berbicara tentang prinsipprinsip komunikasi yakni perkataan yang baik atau qaulan ma’rufa (Q.S.al-Baqarah/2: 235 & 263; An-Nisaa/4: 5 & 8; Al-Ahzab/33: 32); perkataan lemah lembut atau qaulan layyina (Q.S.Thaha/20: 44); perkataan yang benar atau qaulan sadida (Q.S.An-Nisaa/4: 9; Al-Ahzab/33: 70); perkataan yang berbekas pada jiwa atau qaulan baligha (Q.S.AnNisaa/4: 63); perkataan yang mulia qaulan karîmâ (Q.S.Al-Israa’/17: 23); perkataan yang pantas atau qaulan maysura (Q.S.Al-Israa’/17: 28).78 Dalam perspektif pers, tentu saja apa yang dilakukan Mahathir ini adalah langkah maju. Betapapun mass society dan mass culture dalam masyarakat Malaysia memungkinkan terjadinya relasi lebih baik dengan mass media, tetapi perilaku high-context culture akan selalu menimbulkan kesenjangan antara apa yang diucapkan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam hubungan politik Malaysia dengan media seperti itu, pada saat yang sama, pers di Indonesia mengalami suatu fase baru yakni “perselingkuhan” dengan kekuasaan. Media massa mainstream di Indonesia baik media elektronik, media cetak, dan media digital saat ini adalah media yang menjadi corong pemerintahan dengan bargaining melalui pemilik modal. Kapitalisasi media yang berlangsung sejak beberapa dekade belakangan ini membuat kepemilikan media massa menjadi sebuah korporasi yang memiliki afiliasi kepada politik praktis. Pernyataan ini didukung argumentasi bahwa dari sekian banyak media massa yang dikuasai melalui konvergensi media atau grup media, hanya ada beberapa orang yang menjadi pemiliknya. Pada umumnya pemilik grup media tersebut adalah pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan partai politik dan kegiatan politik praktis. Untuk sekedar menyebut contoh di 77 Lihat Welch, David, The Third Reich Politic And Propaganda, second edition, (London and New York: 2OO2), h.58. 78 Sahputra, Dedi, Komunikasi Politik Partai Politik Islam, (Yogyakarta: Orbit, 2O16), h.12.
79 Media Grup ada Surya Paloh yang merupakan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Harry Tanoe Sudibyo pemilik MNC Group merupakan Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Kasus Korupsi Melalui telekonferensi Wall Street Journal di Tokyo seperti dikutip Channel News Asia pada Selasa 15 Mei 2018, Mahathir Mohamad mengeluarkan pernyataan penting dalam kepemimpinannya. Bahwa ia hanya akan berkuasa di kursi Perdana Menteri Malaysia selama satu atau dua tahun saja. Sisa masa jabatannya akan diserahkan kepada Anwar Ibrahim setelah bebas pada hari akan menggantikannya setelah pemerintahan solid. Selama masa pemerintahannya yang singkat tersebut, ia akan fokus menginvestigasi mantan Perdana Menteri Najib Razak. Di satu sisi, pernyataan ini menegaskan warna pemerintahan politik Malaysia—khususnya pada corak kepemimpinan Mahathir Mohamad—yang sangat concern pada penegakkan hukum.79 Bahwa hukum sebagai panglima membawahi politik dan segala kepentingan, adalah suatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Namun pada sisi lain pernyataan ini juga merupakan preseden yang menunjukkan warna khas politik Malaysia yang lebih kental dari biasanya. Warna politik dimaksud adalah preseden menyingkirkan pihak-pihak yang memiliki pandangan politik yang berbeda, meski berasal dari kubu kekuasaan sendiri. Hal ini sudah terjadi sejak lahirnya negara Malaysia yang merdeka pada 31 Agustus 1957 di bawah kepemimpinan Tunku Abdurrahman. Dalam catatan sejarah Tunku Abrurahman pernah memecah Mahathir Mohamad dari UMNO karena dianggap terlalu kritis kepada pemerintah. Padahal Mahathir saat itu adalah orang dalam UMNO. Mahathir Mohamad juga tercatat pernah memberhentikan Musa Hitam sebagai 79 Secara administatif Indonesia juga adalah negara hukum (rechtstaats) bukannya negara kekuasaan (machtsstaat), namun dalam praktiknya dalam kasus-kasus tertentu kepentingan politik dan kekuasaan seringkali dapat memengaruhi keputusan hukum. Padahal latar belakang munculnya negara hukum merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau. Lihat CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.3.
80 wakilnya. Sedangkan ketika Anwar Ibrahim menjabat Wakil Perdana Menteri bagi Mahathir Mohamad, pernah dipecat bahkan dipenjarakan pada tahun 1999 untuk kasus sodomi. Kini ketika Mahathir kembali ke tampuk kekuasaan, warna khas kepemimpinannya itu langsung muncul dengan berlangsungnya proses hukum terhadap mantan Perdana Menteri Najib Razak untuk kasus korupsi. Di Indonesia, sesungguhnya ketidaksefahaman antara seorang pimpinan dan wakilnya juga terjadi secara massif. Untuk sekedar menyebut contoh di Sumatera Utara, kepemimpinan Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin dan Wakilnya Gatot Pudjonugroho periode 2008-2013 harus berhenti di tengah jalan karena Syamsul Arifin ditangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 22 Oktober 2010. Gatot Pudjonugroho kemudian menggantikan Syamsul Arifin sebagai Gubernur Sumatera Utara. Penggantian ini ditengarai ungkapan dan stigma negatif terhadap Gatot Pudjonugroho sebagai “pengkhianat” oleh kelompok Syamsul Arifin. Selanjutnya para periode 2013-2018, Gatot Pudjonugroho berpasangan dengan Erry Nuradi menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur. Namun sebagaimana pendahulunya, Gatot Pudjonugroho juga ditangkap KPK dalam kasus korupsi pada 3 Agustus 2015. Sebelum penangkapan terhadap Gatot Pudjonugroho, muncul isu renggangnya hubungan dengan Erry Nuradi. Bahkan Erry Nuradi telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan pimpinan media massa untuk menyampaikan berbagai hal tentang keburukan pemerintahan Gatot Pudjonugroho. Ketidakharmonisan pimpinan pemerintahan juga terjadi di Kota Medan antara Walikota Medan Abdillah dengan Ramli 2005-2010 yang berakhir dengan ditangkapnya Abdillah oleh KPK untuk kasus korupsi, dan disusul dengan penangkapan terhadap Ramli juga dalam kasus korupsi. Penangkapan keduanya diselingi drama persiteruan di antara keduanya. Selanjutnya Walikota Medan dijabat oleh Rahudman Harahap didampingi Dzulmi Eldin sebagai wakilnya untuk periode 2010- 2015 yang juga berakhir dengan ditangkapnya Rahudman Harahap di tengah masa pemerintahannya.
81 Secara nasional, para pemimpin negara Indonesia juga tidak luput dari sejarah tidak sepahamnya antara presiden dan wakil presiden dalam mengurus negara. Sejarah mencatat Mohamad Hatta secara resmi meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 1 Desember 1956. Berpisahnya Soekarno dan Mohamad Hatta yang sempat dijuluki sebagai dwi tunggal ini karena perbedaan pandangan tentang demokrasi dan bentuk negara. Selama masa pemerintahan Soeharto 32 tahun lamanya, secara relatif tidak terjadi pertentangan antara presiden dengan wakilnya karena dominasi presiden memang sangat kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Soaharto yang dikenal dengan sistem demokrasi terpimpinnya telah menekankan pentingnya stabilitas dalam pembangunan, dan telah berhasil meredam berbagai potensi gejolak di dalam negeri. Baru setelah pemerintahan berganti ke tangan Habibie pascamundurnya Soeharto karena gerakan mahasiswa pada 21 Mei 1998. Habibie menjadi presiden dalam waktu yang sangat singkat 1 tahun 5 bulan karena desakan parlemen yang kuat, dan digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada 20 Oktober 1999 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999. Selanjutnya Abddurrahman Wahid juga dihentikan di tengah jalan sebelum habis masa jabatannya, tepatnya tanggal 23 Juli 2001 melalui Sidang Istimewa MPR. Abdurrahman Wahid digantikan wakilnya yakni Megawati Soekarnoputri untuk sisa masa jabatan sampai tahun 2004. Namun Megawati Soekarnoputri harus pula menerima kenyataan pahit karena sebagai petahana, dia tidak terpilih menjadi presiden karena dikalahkan oleh Soesilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu 2004. Soesilo Bambang Yudhoyono yang berkuasa selama 10 tahun akhirnya digantikan oleh Jokowi. Dari uraian di atas, maka sesungguhnya sejarah politik tanah air, sebagaimana Malaysia, juga tidak terlepas diwarnai pertentangan antarelit politik. Suatu hal yang menjadikan politik Malaysia menjadi khas sejak lahirnya negara ini sampai sekarang adalah sosok Mahathir Mohamad. Corak politik Malaysia adalah Mahathir Mohamad itu sendiri. Selama perjalanan bangsa ini Mahathir telah mewarnainya dengan cara
82 melontarkan kritik kepada kekuasaan ketika tidak sedang berkuasa, dan ketika berkuasa tak segan mengambil tindakan hukum kepada lawan politik yang dinilai telah melanggar hukum. Hal itu juga yang terjadi sebelum Mahathir terpilih kembali menjadi Perdana Menteri di tahun 2018, yang kerap melakukan kritik terhadap Perdana Menteri Najib Razak dan ketika Mahathir menjadi perdana menteri, ia menindak tegas Najib dengan menjebloskannya ke penjara. Dominasi China CNN Indonesia menurunkan berita pada tanggal 10 Mei 2018 bahwa Perdana Menteri Malaysia yang baru dilantik, Mahathir Mohammad menyatakan kemungkinan akan merundingkan kembali beberapa kesepakatan dengan China. Hal itu disampaikan Mahathir beberapa jam setelah partai koalisinya merebut kemenangan menakjubkan atas pemerintahan Najib Razak, Kamis (10/5/2018). 80 Mahathir mengatakan pemerintahannya kemungkinan akan mengubah beberapa kebijakan yang diterapkan koalisi Barisan Nasional, termasuk menyangkut pajak barang dan jasa yang dianggap tidak populer. Mahathir Mohamad menyatakan dirinya mendukung prakarsa China terkait Belt and Road Initiative (BRI). Namun Mahathir Mohamad mengatakan Malaysia punya hak untuk merundingkan kembali syarat-syarat dalam sejumlah perjanjian dengan Beijing jika diperlukan. "Kita tidak punya masalah dengan itu (BRI), kecuali tentunya bahwa kita tidak ingin melihat terlalu banyak kapal perang di wilayah ini karena (sebuah) kapal perang akan menarik perhatian kapal-kapal perang lainnya," ujar Mahathir seperti dikutip Reuters. Sebuah video yang beredar di media sosial, Mahathir Mohamad menunjukkan kegusarannya terhadap investasi China di Malaysia China Kuantan Industrial Park. Di sana Mahathir menemukan tidak ada sama sekali tulisan dalam bahasa kebangsaan Malaysia karena yang ada adalah tulisan kanji China Kawasan industri tersebut sangat luas, dengan pagar sepanjang 9 kilometer. Di dalamnya terhadap banyak industri milik 80 Berita CNN Indonesia menurunkan berita tanggal 10 Mei 2018.
83 China dengan pekerjanya hampir semuanya dari China. Pembangunan kawasan industri tersebut juga sangat cepat sekali dan diperlakukan istimewa hingga orang Malaysia tidak boleh masuk. “Ini lah sebahagian dari negara kita yang sudah kita serahkan kepada orang lain. Ini keadaan di bawah kepemimpinan Datuk Seri Najib yang kononya membawa banyak investasi asing ke Malaysia tapi tidak sedikitpun menguntungkan Malaysia,” kata Mahathir Mohamad. Laporan Nomura sebelumnya menyebutkan, Malaysia merupakan salah satu pihak yang paling diuntungkan dari komitmen penanaman modal China di Asia, lantaran mendapat proyek-proyek infrastruktur senilai 34,2 miliar dolar AS (sekitar Rp481,3 triliun) terkait BRI. Hal ini yang membuat para pengkritik menuduh Najab "menjual" Malaysia ke China. Mahathir Mohamad sendiri dikenal dengan kebijakan affirmative action-nya. Dalam lawatannya ke Medan Mahathir juga menekankan kembali pentingnya affirmative action bagi kekuasaan, tidak saja untuk mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin, tetapi juga untuk menghalangi tumbuhnya faham komunisme sebagaimana yang terjadi di negara-negara Eropa. “Kita lihat dalam masyarakat ada yang kaya ada yang miskin yang berlarutan yang akhirnya akan ada permusuhan walaupun satu etnik dan kaum. Di Eropa saat perbedaan antara yang miskin dan kaya begitu kentara, maka munculnya faham komunis dan sosialis untuk merebut kekayaan dari orang kaya. Di Malaysia, perbedaan antara orang miskin dan kaya ditambah perbedaan bangsa Melayu-miskin, China-kaya. Keadaan ini tidak sehat, maka kerajaan mengambil kebijakan agar orang miskin dapat mengejar orang yang sudah kaya. Bantuan diberikan terutama berupa dalam pendidikan. Orang miskin diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sampai ke tingkat tertinggi. Hingga dalam masa 30 tahun kesenjangan antara kaya dan miskin dapat berubah”.81 81 Mohamad, Mahathir dalam Seminar tanggal 18 Juli 2016 di Hotel JW Marriott Medan yang diselenggarakan oleh Harian Waspada Medan.
84 Kondisi Malaysia seperti ini juga lebih kurang sama dengan Indonesia yang sedang mengalami masalah dengan “serbuan” para tenaga kerja asal China ke beberapa daerah di Indonesia. Penguasaan tanah dan harta kekayaan Indonesia saat ini hanya terkonsentrasi di sejumlah kecil orang Indonesia saja. Sebanyak 0,2 persen orang Indonesia menguasai 74 persen tanah di Indonesia melalui konglomerasi pertambangan, perkebunan sawit dan lain-lain. Apalagi yang 0,2 persen itu adalah non pribumi (China).82 Jenderal Gatot Nurmantyo ketika menjabat sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahkan mensinyalir adanya upaya perebutan kedaulatan Indonesia. Karenanya political will pemerintahan Mahathir Mohamad seperti affirmative action adalah sebuah contoh sangat berharga bagi Indonesia. Penutup Dari uraian yang dipaparkan di atas terlihat ada kesamaan antara permasalahan politik yang terjadi di Malaysia dengan Indonesia. Kehadiran Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri yang merupakan politik Malaysia itu sendiri menjadi penting dan strategis terkait langkah-langkah kebijakan yang akan diambilnya dalam dinamika politik Malaysia. Dalam hubungannya politik kekuasaan dengan media massa, pernyataan Mahathir Mohamad dinanti realisasinya. Karena kemerdekaan pers adalah sebuah keniscayaan yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah negara demokrasi. Dalam kasus korupsi, Mahathir Mohamad menegaskan kembali bahwa Malaysia adalah negara hukum, meskipun untuk itu ia menimbulkan preseden. Bahwa mantan kepala pemerintahan tidak memiliki priviledge apapun dalam hal ini dan akan terseret ke penjara jika melanggar hukum. Dan dalam hal dominasi investasi China di 82 Yusril Ihza Mahendra dalam program acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang disiarkan tanggal 12 januari 2016 oleh TVOne. Dalam acara yang sama Karni Ilyas wartawan senior yang bertindak sebagai host menambahkan bahwa 50 persen kekayaan Indonesia hari ini miliki 1 persen orang Indonesia, 70 persen kekayaan milik 10 persen orang Indonesia dan sisanya 30 persen dibagi untuk 90 persen orang Indonesia.
85 Malaysia, affirmative action jilid 2 Mahathir Mohamad adalah tindakan yang dinantikan oleh pribumi di Indonesia. Bab VI Media Massa; Komunikasi & Pesan Citra & Tanggung Jawab Media Berbagai analisis telah menggambarkan kondisi bangsa Indonesia mengalami berbagai kemerosotan di berbagai bidang. Kondisi ini ditambah hingar-bingar politik menambah stagnasi pembangunan kebangsaan. Belum lagi masalah lama dibenahi,
86 malah muncul masalah baru yang tak kalah rumit dan menyita perhatian, dan energi bangsa. Bangsa ini kini berada pada titik espektasi yang rendah pasca pemilihan umum (Pemilu) yang belum lama berlalu. Padahal di Pemilu tersebut espektasi sangat tinggi, khususnya bagi pemimpin bangsa yang didengung-dengungkan sebagai harapan baru yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Ada peran media massa yang sangat signifikan yang membawa sampai pada kondisi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dalam konteks komunikasi politik, media massa menyebarluaskan pesan berupa iklan dan kampanye yang membesar-besarkan seorang calon pemimpin. Khalayak memahami bahwa seorang calon adalah harapan baru berdasarkan “rekayasa pesan” media massa. Dengan kalimat yang sering diungkapkan, bahwa seorang calon pemimpin melakukan pencitraan melalui media massa agar sosoknya dikenal dan sukai khalayak. Akibatnya kondisi “kesenjangan” antara harapan dan kenyataan seorang pemimpin sering dialami baik dalam skala lokal (kabupaten/kota, provinsi), maupun dalam skala nasional. Karenanya kemudian menjadi penting akuntabilitas publik dan akuntabilitas profesional media massa. Meskipun pada satu sisi media massa berperan sebagai penyebar pesan-pesan pencitraan, namun di sisi lain media massa juga punya tanggung jawab untuk melakukan analisis dan memberikan pengertian kepada khalayak tentang pencitraan itu sendiri. Pencitraan yang dimaksud di sini tentunya adalah ketidaksesuaian antara harapan yang didengungkan dengan kenyataan yang terjadi atas seorang calon pemimpin. Peran media massa seperti ini penting karena jika hal tersebut tidak dilakukan maka media massa juga akan mengalami bias dalam penyajian pesan-pesannya, yang pada gilirannya akan kehilangan keselarasan hubungan dengan khalayaknya. Hal ini jika terus berlanjut maka akan membunuh sensitivitas media massa. Denis McQuail menyebut ketidakselarasan hubungan antara media massa dengan khalayaknya dengan
87 akuntabilitas beban, karena terlalu lama “bermain-main di lingkungan akuntabilitas pasar. Pada sisi lain media massa dianggap baru efektif dalam membentuk pendapat mengenai isu-isu baru bila individu dan kelompoknya belum memunyai pendapat mengenai isu-isu tersebut.83 Oleh karenanya McQuail juga menegaskan bahwa tanggung jawab media merupakan perkawinan dari konsep tentang prinsip kebebasan dan pilihan individual, prinsip kebebasan media, dan prinsip kewajiban media terhadap masyarakat. Maka kemudian tanggung jawab media dibatasi pada, pertama, menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakat. Kedua, kewajiban media terutama dipenuhi dengan menetapkan standar tinggi atau profesional tentang keinformasian, kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan keseimbangan. Ketiga, media seyogyanya dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum. Keempat, menghindari segala yang mungkin menimbulkan kejahatan, kerusakan, atau ketidaktertiban umum. Kelima, hendaknya mencerminkan kebhinekaan dengan memberikan kesempatan yang sama. Keenam, publik memiliki hak mengharapkan standar prestasi yang tinggi, dan ketujuh, media profesional seyogyanya bertanggungjawab terhadap masyarakat juga kepada majikan dan kepada pasar. Sebagaimana disampaikan Effendi Ghazali,84 menyangkut politik komunikasi seperti yang disampaikan oleh Chaffee (2001) bahwa Laswell mungkin akan membuat frasa baru: “Who gets to say what to whom?”. Maknanya adalah bahwa sebagai berikut: ke arah, kapankah dan di mana media mulai menggunakan aksesnya. Ini memungkinkan media massa untuk memainkan peran yang sesungguhnya untuk mencitrakan seorang calon pemimpin, sekaligus menjelaskan kepada khalayak tentang kebenaran yang sesungguhnya dari tiap-tiap calon pemimpin. 83 Deddy Mulyana, Komunikasi Politik Politik Komunikasi, Membedah Visi dan Gaya Komunikasi Praktisi Politik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h.65. 84 Gazali, Effendi, “Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8 Nomor 1, Juli 2004 (53-74), h.62.
88 Karena nyatanya pencitraan tidak berhenti dilakukan oleh calon pemimpin. Karena ketika telah terbentuk pemerintahan terpilih, pencitraan masih terus berlangsung malah semakin langgeng. Tujuannya tidak lain untuk meningkatkan persepsi dukungan publik terhadap apa yang dilakukan. Di Indonesia, secara nasional kesadaran pada pencitraan pemerintah ini tampaknya mulai dilakukan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kini berada pada puncaknya di masa Presiden Jokowi. Dalam perspektif Effendi Ghazali media perlu melakukan pembongkaran pencitraan tersebut. Salah satu bentuk yang ditampilkan oleh media massa elektronik adalah seperti acara-acara parodi semisal program Republik BBM (Indosiar, 2005), Republik Mimpi atau Newdotcom (Metro TV, 2006). Atau seperti Negeri Impian, Democracy, dan lainnya. Dalam acara-acara seperti inilah, terang Effendi yang menjadi host di salah satu program acara tersebut, berbagai janji kampanye atau ucapan pemerintah yang sebelumnya ditampilkan, kemudian dianalisis serta dibongkar pencitraannya. Jenis acara ini ternyata bisa mengkompromikan akuntabilitas pasar dan akuntabilitas profesional. Atau dengan kata lain bahwa acara seperti ini akan menetralisir hubungan media massa dengan khalaknya yang “dikeruhkan” oleh upaya pencitraan. Ketika pertama kali muncul acara tersebut, sambutan khalayak sangat baik, dan merupakan acara yang sering ditunggu-tunggu penayangannya. Sayangnya ketika era kepemimpinan SBY berakhir, acara-acara parodi tersebut seolah ikut-ikutan padam. Kalau tidak salah hitung, di masa pemerintahan Jokowi-JK, tidak satupun acara parodi di televisi yang membongkar pencitraan yang dilakukan pemerintahan. Bentuk bentuk tanggung jawab media untuk menjelaskan soal pencitraan calon pemimpin maupun pemerintah perlu dilakukan media massa, baik elektronik, radio, maupun cetak. Tujuannya tidak lain untuk menetralisir kekeruhan hubungan dengan khalayaknya dan sebagai bentuk akuntabilitas khalayak. Karena tanpa hal ini maka
89 kesenjangan antara harapan dengan kenyataan akan ramai terjadi, dan ini berarti media massa telah menzalimi khalayaknya sendiri. Selama kepemimpinan Jokowi Widodo-Jusuf Kalla sekian bulan sejak dilantik, terjadi beberapa “keriuhan” nasional. Keriuhan ini menjadi bahasan sampai ke tingkat publik. Di berbagai media massa maupun media sosial, terlihat jelas bahwa banyak sekali energi pemerintahan maupun publik Indonesia tersedot ke wacana tersebut. Jika ditilik lebih jauh, keriuhan tersebut sering dipicu oleh komunikasi politik para pemangku kekuasaan, dari mulai para presiden, para menteri, serta para wakil rakyat. Sebut saja misalnya pernyataan kontroversial Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) tentang “rakyat tak jelas” pada unjukrasa dalam konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian RI (Polri). Atau ketika Presiden Jokowi menyatakan di depan publik melalui media massa bahwa dia tenangtenang saja karena melemahnya Rupiah hingga Dollar mencapai Rp13 ribu lebih. Alasannya karena gubernur Bank Indonesia juga tenang-tenang saja. Apalagi kemudian ketika nilai tukar Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah terus meningkat dan menembus angka psikologis Rp15 ribu. Sama dengan Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro waktu itu yang dikabarkan mengeluarkan pernyataan bahwa semakin Rupiah melemah akan semakin berkah. Pernyataan menteri ini disampaikannya dalam Konferensi Pers Perkembangan Ekonomi Terkini di Gedung Frans Seda Kementerian Keuangan, Jakarta. Ketika pernyataan yang disampaikan presiden dan para menteri ini hanya sebagian dari pernyataan serupa yang mengundang kontroveri di tengah-tengah masyarakat. Di era media sosial sekarang ini, pernyataan-pernyataan seperti ini akan lebih cepat menyebar dan menjadi gunjingan publik. Apalagi internet saat ini menjadi
90 saluran politik, di mana orang-orang menggunakannya untuk membaca dan mengekspresikan opini-opini politik mereka.85 Dalam komunikasi interpersonal, salah satu bentuknya adalah bentuk percakapan (conversation). Ini adalah salah satu bentuk ketrampilan dalam mengelola rasa dan frasa yang disampaikan dalam bentuk pesan kepada objek penerima pesan (komunikan). Bagi seorang pemimpin, khususnya, ketrampilan ini sudah harus dimiliki karena ia tidak saja penting tetapi juga strategis dalam menunjang efektivitas kepemimpinannya. Dengan ketrampilan seperti ini, pesan-pesan pembangunan melalui ragam kebijakan akan lebih mudah diterima oleh khayalak. Selain itu efek yang diinginkan dari komunikasi yang dilancarkan tersebut juga berpotensi berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Sehingga berbagai hajat pembangunan bisa didukung publik, atau setidaknya berlangsung tanpa resistensi yang berarti. Sebaliknya, tanpa ketrampilan tersebut dari seorang pemimpin, maka cenderung akan menimbulkan resistensi di tengah masyarakat, dengan kekisruhan dan wacana yang liar yang menjadi salah satu indikatornya. Akibatnya konsep-konsep pembangunan akan terdistorsi oleh berbagai keriuhan yang terjadi, karena banyak energi yang tersedot dalam perdebatan. Conversational Intelligence dapat dikembangkan pada tingkatan organisasi, tim, dan individu. Pada tingkatan organisasi. Karena coversational intelelligence merupakan kemampuan suatu organisasi untuk berkomunikasi dengan cara-cara yang dapat menciptakan suatu konsep realitas bersama. Pada tingkatan individu coversational intelelligence adalah kemampuan yang ada pada semua manusia untuk berhubungan, bekerjasama, dan bernavigasi dengan orang lain. Coversational intelelligence merupakan usaha bersama yang bersifat kolaborasi. Semakin sering digunakan bersama-sama maka coversational intelelligence akan semakin meningkat. 85 Heryanto, Gun Gun, Media Komunikasi Politik, Relasi Kuasa Media di Panggung Politik. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h.33.
91 Dalam coversational intelelligence, seorang pemimpin tidak dapat mengabaikan perspektif orang lain. Karena jika hal tersebut yang terjadi, maka seorang pemimpin akan kehilangan kesempatan berhubungan yang secara dinamis dengan para stakeholders pembangunan di sekitarnya. Artinya seorang pemimpin harus pula memerhatikan reaksi publik atas komunikasi yang telah dilancarkannya, bagaimana penerimaan ataupun penolakkan publik. Seorang pemimpin tidak dapat hanya berkata-kata sesuai dengan perspektif dirinya sendiri dan kelompoknya saja. Karena setiap ucapan seorang pemimpin sebenarnya akan dikalkulasi oleh publik tingkat kebenaran dan akurasinya. Lebih dari itu, seorang pemimpin harus mempertanggungjawabkan setiap yang telah diucapkannya kepada publik. Misalnya, ketika ia berjanji, maka janji tersebut harus dipenuhi secara akurat. Karena hal seperti itu menggambarkan sistematika berpikir dan sistematika jalannya roda pemerintahan. Selayaknya seorang pemimpin menguasai ketrampilan coversational intelelligence dalam komunikasi politik yang dilancarkannya. Kalaupun seorang yang sudah menjadi pemimpin namun belum mengenal tentang coversational intelelligence, maka tidak ada jalan lain, bahwa ia harus menyadarinya terlebih dahulu—untuk kemudian memelajari dan menguasainya. Hal ini mutlak harus dilakukan, karena kalau tidak, maka organisasi seperti sebuah pemeritahan negara ini hanya akan diisi oleh riuh rendah perdebatan yang secara substansial tidak mendukung pembangunan yang menjadi tanggungjawabnya. Perang Citra Eksekutif-Legislatif Citra adalah kesan secara keseluruhan tentang diri seseorang atau sesuatu yang ditangkap orang lain melalui berbagai aktivitas yang dilakukan. Aktivitas yang dilakukan termasuk apa yang dikatakan, bagaimana mengatakan, apa yang dilakukan, bagaimana melakukan dan seterusnya. Kesan yang terakumulasi secara kolektif itulah yang memunculkan citra. Jika kesan ini dikaitkan dengan keberadaan parlemen kita, maka secara umum orang akan menjawabnya belum baik. Bahkan almarhum Gus Dur pernah
92 mengatakan bahwa DPR itu seperti Taman Kanak-kana (TK). Anggapan miring tentang anggota parlemen kita memang bukan tanpa alasan, karena sejak beberapa tahun berlalu, banyak kasus korupsi yang melibatkan parlemen di berbagai tingkatannya—dari mulai tingkat pusat, sampai ke tingkat provinsi, dan kabupaten/kota. Walau tidak bisa digeneralisir, namun anggota parlemen juga dikenal sebagai orang-orang yang berperilaku pragmatis dengan jargon ideologis. Seringkali dalam retorikanya mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi pada prakteknya hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya saja. Setidaknya hal tersebut yang menjadi citra parlemen sebelumnya, yang tentu saja harus dibedakan dari parlemen yang baru sekarang ini—karena mereka belum lama dilantik, yang secara relatif belum melakukan apa-apa. Namun jika mau jujur, citra negatif itu tidak hanya dimiliki oleh parlemen yang lalu, tetapi juga oleh eksekutif sejak lama. Jabatan eksekutif seperti halnya di legislatif adalah jabatan yang dikejar oleh orang yang pada umumnya mendudukinya. Pada banyak kasus, pihak eksekutif belum bisa menjawab espektasi khalayak yang tinggi terhadap adanya perubahan yang kehidupan lebih baik. Pembahasan tentang parlemen (legislatif) dan eksekutif sekarang ini menjadi relevan ketika keduanya dipetakan menjadi dua kekuatan dalam negara yang seakanakan sedang berhadap-hadapan satu sama lain. Di satu sisi, Jokowi-JK dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH)-nya sejak menjadi pasangan terpilih tak lama lagi menguasai eksekutif, maka di sisi lain Koalisi Merah Putih (KMP) telah menjadi dominan di parlemen. Namun kayaknya pihak yang sebentar lagi berada di sisi eksekutif yang lebih memahami pentingnya pembentukkan citra pada diri khalayak. Setidaknya hal tersebut bisa dilihat dari wacana yang berkembang ketika Jokowi-JK kemudian disebut pemimpin pilihan rakyat. Sebaliknya ketika KMP yang menguasai parlemen sebutan yang muncul adalah politik balas dendam. Atau ketika KIH bertarung dengan KMP di parlemen menyangkut Rancangan undang-undang (RUU) Pemilihan Umum Kepala
93 Daerah (Pemilukada), maka jargon yang muncul ketika KIH kalah adalah bahwa kedaulatan rakyat telah dirampas oleh KMP. Dalam demokrasi rakyat memberikan merupakan penentu di level akhir pada persoalan pokok yang menyangkut kehidupan orang banyak, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintahan negara. Oleh karenanya seperti dikatakan Amir Machmud (1984), negara demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kekuasaan rakyat atau jika ditinjau dari organisasi ia berarti sebagai suatu pengorganisasian negara yang dilakuakan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam negara demokrasi posisi rakyat sangat penting, dan karena ia penting, maka ia menjadi pusat dari segala aktivitas penyelenggaraan negara. Artinya rakyat harus menjadi rujukan ketika berbagai kebijakan yang mengikat dirancang dan diberlakukan. Maka kemudian jargon-jargon atas nama rakyat akan sering membasahi bibir para politisi. Tak terkecuali di Amerika Serikat sebagai negara yang menjadi pentolan demokrasi, seringkali terdengar alasan “demi melindungi rakyat Amerika” untuk melegalkan suatu tindakan yang paling ekstrem sekalipun. Tapi baik legislatif maupun eksekutif adalah sama-sama lembaga yang penting, yang dihadirkan berdasarkan sistem pemilihan, berdasarkan persamaan di depan hukum, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan sebagainya. Setiap sistem demokrasi menurut Lyman Tower Sarjen adalah ide bahwa warganegara seharusnya terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan keputusan politik, baik secara langsung maupun wakil plihan mereka di lembaga perwakilan (1981). Karenanya, baik eksekutif maupun legislatif sangat berkepentingan untuk mendapatkan citra positif dari khalayak yang merupakan rakyat suatu bangsa. Karena dengan demikian, mereka akan langgeng dalam kehidupan politiknya dan meneruskan dinasti pemerintahannya. Tanpa citra positif dari khalayak maka itu sama halnya dengan melangkah kepada kehilangan jati dirinya sendiri. Mereka akan segera menghilang dari peta politik nasional
94 karena tidak lagi dipilih oleh rakyat. Maka jelaslah bahwa dari sudut pandang kepentingan eksekutif dan legislatif, ada keterkaitan yang kuat antara citra di satu sisi, dengan khalayak di sisi lain. Karena ia penting dan strategis, maka pertarungan politik yang terjadi sekarang ini adalah pertarungan citra para lembaga-lembaga negara. Ini adalah suatu keniscayaan demokrasi yang sering terlambat disadari oleh khalayak, khususnya di kalangan bawah. Ketika para elit sudah sangat gencar mendisain citranya, pada saat yang sama khalayak masih terkungkung dalam nuansa konvensional dalam memberikan amanah demokrasinya. Dalam kondisi seperti ini maka akan sangat sulit untuk menghasilkan legislatif maupun eksekutif yang tepat sesuai zamannya. Karena jeratan kegiatan membingkai pesan-pesan menjadi citra yang baik sudah menjadi pekerjaan yang menyita pikiran seorang elit hingga sering tak lagi menyisakan pikirannya untuk kepentingan rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam konteks Indonesia, kondisi berhadap-hadapannya antara legislatif dan eksekutif belum sepenuhnya disadari oleh khalayak. Bahwa meskipun mereka seolah bersiteru, namun sesungguhnya pertarungan yang sebenarnya adalah pertarungan antara rakyat dengan kedua lembaga negara tersebut. Jika hendak jujur menilai, sebenarnya tidak ada jaminan kalau pemerintahan Jokowi-JK akan lebih baik dari sebelumnya, sama halnya dengan tak ada jaminan parlemen akan lebih baik dari sebelumnya. Tetapi kepentingan kedua lembaga ini sangat jelas yakni melanggengkan kekuasaannya hingga mereka sangat merasa perlu terhadap citranya sendiri—demi membentuk pola penilaian di tengah-tengah masyarakat. Efek Komunikasi Massa Peristiwa Unjukrasa Ketika Gatot Pudjonugroho masih menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara, surat kabar di Medan maupun berita-berita dari sosial media mengabarkan tentang aksi unjukrasa gadis-gadis belia berparas cantik di depan kantor Gubernur Sumut. Mereka melakukan aksi unjukrasa dengan memampangkan poster-poster sarkastik seperti minta