195 ramai ditanggapi banyak pihak. Meski terlalu prematur dan memaksakan, pelemparan isu tersebut tentunya bukan berdiri sendiri. Tudingan pun kemudian muncul, sebagai bentuk pengalihan isu kasus Century yang mengaitkan kekuasaan pada saat itu. Bola panas yang mencuat di tahun ini juga menyangkut resistensi dari Parpol menengah di koalisi yang akan mati-matian menolak sejumlah agenda Demokrat dalam perubahan Undang-Undang Pemilu yang sedang dibahas. Bagi Parpol besar, upaya penyederhanaan sistem kepartaian sudah disepakati dan, setelah sukses memasukkan elemen tersebut dalam Undang-Undang Partai Politik, pertarungan berikutnya ada pada undang-undang politik terpenting yang menjadi the rules of the game untuk kompetisi kekuasaan. Dalam UU Pemilu, tampaknya upaya menaikkan barrier to entry akan terjadi guna menyulitkan hadirnya kontestan baru. Demikian pula parliamentary threshold maupun daerah pemilihan, kemungkinan besar akan mengalami peningkatan yang tentunya berpotensi mengancam eksistensi elektoral partai-partai menengah dan kecil. Di samping itu, tahun 2011 juga diisi pertarungan dalam Pilkada di berbagai daerah. Setidaknya ada lebih dari 200 Pilkada yang digelar dan kemenangan dalam Pilkada akan menjadi modal politik yang sangat kuat untuk memenangi Pemilu 2014. Kekalahan Golkar pada 2009, selain karena telatnya pencalonan presiden, disebabkan banyaknya kadernya di pemerintahan daerah yang masuk penjara. Meski menang terbanyak dalam Pilkada sejak 2005, ternyata pada saat-saat dibutuhkan untuk kepentingan elektoral para gubernur, walikota, dan bupati, Golkar tidak bisa berbuat banyak karena mereka banyak yang terlilit perkara korupsi, sedang diperiksa, atau sudah dipenjara. Tahun 2011 juga akan diwarnai meningkatnya polarisasi politik karena, ketika pemerintah harus mulai bekerja dan memutuskan banyak kebijakan strategis, di situlah potensi ketidaksetujuan akan mudah terterjemahkan menjadi unjuk kekuatan massa di jalanan atau setidaknya membuat gaduh opini publik. Isu pembatasan BBM bersubsidi, pengurangan berbagai subsidi, pembangunan berbagai proyek infrastruktur, dan lain sebagainya akan membuat Parpol tertentu terkondisikan sebagai pembela pemerintah
196 atau rakyat, atau sebagai yang diuntungkan versus yang dirugikan. Di sinilah politik akan semakin gaduh riuh karena perebutan kue kekuasaan, bukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Semua kegaduhan dalam pentas politik nasional selama 2011 ini diprediksikan berasal dan bermuara dari Gedung DPR RI. Jika suara DPR berjarak jauh dengan suara publik, tidak menutup kemungkinan kepercayaan publik kian menurun. Dinamika politik nasional sepanjang 2011 mendatang diprediksikan didominasi dari gedung parlemen. Sejumlah isu penting yang memantik reaksi publik dan menimbulkan polemik akan memanaskan suhu politik nasional. Mulai dari isu elit hingga isu populis. Yang paling menyita perhatian diprediksi di UU Pemilu legislatif DPR, DPRD, dan DPD terkait aturan parliemanteraty threshold (batas ambang keterwakilan). Perdebatan ini sejatinya telah dimulai sejak 2010. Namun, selisih pendapat soal PT akan mencapai puncaknya saat pembahasan besaran PT. Jika melihat posisi partai politik di parlemen telah dapat terpetakan. Seperti Partai Demokrat 4 persen, Partai Golkar 7 persen dan PDIP 5 persen. Sedangkan partai politik menengah ke bawah, di kisaran 2,5-3 persen. Polarisasi inilah yang akan menjadikan kegaduhan partai politik di parlemen. Hal ini pula menyeret di internal partai koalisi yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi. Di isu ini pula menjadi ujian terberat Setgab Koalisi. Kalangan partai politik tengah dipastikan menolak usulan rekan koalisi lainnya seperti Partai Demokrat dan Partai Golkar. Isu panas lainnya yang akan muncul di DPR terkait dengan pembahasan RUUK DIY yang harus selesai Oktober 2011 atau seiring berakhirnya perpanjangan masa jabatan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY. Isu ini akan berdimensi dua, isu elit sekaligus isu populis, khususnya bagi masyarakat Yogyakarta. Dalam pembahasan RUUK DIY terkait klausul posisi Sultan HB dan Paku Alam dalam gubernur menjadi isu yang panas. Isu ini pun sempat memanas di akhir 2010 di saat Presiden SBY mempertentangkan antara sistem demokrasi dengan monarkhi yang dilekatkan pada
197 sistem kesultanan Yogyakarta. Perdebatan di parlemen dipastikan akan tertransformasikan ke ruang publik, khususnya masyarakat Yogyakarta. Aksi demo dipastikan akan mewarnai di tengah-tengah pembahasan RUUK DIY. Ada lagi rencana Initial Public Offering (IPO) oleh pemerintah terhadap tujuh BUMN bisa saja memantik gerakan politik seperti hak interpelasi maupun hak angket dari parlemen. Langkah ini juga bagian dari kelanjutan dari upaya DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) DPR IPO PT Kratakau Steel. Selain itu, krisis pangan yang potensial terjadi pada 2011 juga bisa saja menjadi 'mainan' parlemen untuk melakukan gerakan politik dari DPR. Kegaduhan politik dari DPR hanya akan berdampak positif jika dikelola dengan baik dan menghasilkan out put yang positif bagi kepentingan publik. Tapi kenyataannya, kegaduhan politik saat ini tidak relevan karena tidak berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat yaitu kesejahteraan. Peristiwa politik kali ini hanya cenderung saling sandera dan saling ingin menjatuhkan, seperti tentang hiruk-pikuk kasus Nazaruddin, mafia Panja Pemilu, Panja mafia anggaran. Semua itu hanya berujung pada saling serang dan tidak menyentuh pada substansi persoalaannya. Kita menyayangkan dengan situasi politik yang saling sandera itu. jika kegadauhan politik ini terus terjadi maka mayoritas masyarakat Indonesia akan acuh dengan politik. Hal itu, bisa membahayakan keberlangsungan demokrasi. Politik ini harus elegan dan harus dijaga agar demokrasi ini berjalan dengan baik dan bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kita berharap para tokoh politik menghentikan kegaduhan situasi politik dan segera kembali berpikir dalam mencari solusi tentang menyejahterakan rakyat. Karena ini adalah jalan satu-satunya bagi pulihnya kepercayaan publik terhadap wakil-wakilnya di legislatif maupun di pemerintahan. Catatan Menjelang Pemilu Sebagaimana tahun baru 2014, memasuki tahun baru 2019, bangsa Indonesia diingatkan akan pekerjaan besar tentang Pemilu. Disebut besar bukan sekedar karena
198 melibatkan perhatian hampir tanpa kecuali semua orang yang hidup di negeri ini, tetapi juga merupakan efeknya terhadap kehidupan kolektif rakyat Indonesia. Kesalahan terbesar yang terjadi dari Pemilu ke Pemilu adalah anggapan tentang pekerjaan besar semata tanpa menyentuh wilayah kualitas Pemilu yang sebenarnya. Pada akhirnya, ketika mendapati bahwa Pemilu ternyata tidak membawa dampak berarti dalam kehidupannya, banyak orang yang kemudian memilih untuk tidak memilih. Ini garis besar untuk menjawab fenomena Golput yang semakin hari semakin membesar belakangan ini. Tidak bisa dibantah bahwa di tahun 2014 ini persaingan seru orang-orang yang ingin merebut kekuasaan dan tarikan pengaruh massa partai politik semakin memanas, bahkan mencapai klimaksnya. Sesuatu yang lazim dalam benak khalayak adalah bahwa persaingan politik, segala cara akan dikerahkan demi suatu yang disebut “menang”. Media pun menemukan fungsinya yang urgen sebagai sarana komunikasi sosial arena pertarungan Parpol, demi meraih suara rakyat terbanyak untuk memenangkan Pemilu 2014 nanti. Propaganda politik pun dilancarkan baik melalui internet, koran, majalah, televisi, radio, pentas seni. Berbagai aksi juga dijalankan seperti blusukan ke daerah kumuh, menyumbang korban bencana, atau pertemua di tempat-tempat yang menjadi konsentrasi-konsentrasi khalayak. Semuanya dilakukan demi popularitas dan pencitraan perjuangan merebut kekuasaan. Suhu politik nasional pun semakin memanas dengan pemberitaan isu seputar Pemilu 2014 di berbagai media. Ruang publik diisi dengan beragam informasi dari yang penting sampai yang tidak penting sama sekali. Pada saat yang sama potensi konflik juga muncul di masyarakat. Di masa-masa seperti ini, khalayak menjadi seperti lalang kering yang siap terbakar. Aksi-aksi massa maupun gesekan-gesekan sporadis berpeluang terjadi di berbagai wilayah, dan di berbagai tahapan Pemilu yang dijalankan. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Putut Eko Bayuseno di Mapolda Metro Jaya, mengatakan berbagai kerawanan di masyarakat dipicu oleh masalah sosial-politik, masih akan terjadi sepanjang 2014. Terutama yang berkaitan dengan Pemilu legislatif dan
199 Pemilu presiden, diprediksi akan terjadi beberapa permasalahan yang perlu diantisipasi aparat Polda Metro Jaya untuk pengamanannya. Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto mengatakan, pihaknya sudah melakukan persiapan untuk mengawal Pemilu 2014 ini. Kita sudah mengadakan pertemuan dengan pihak Gakumdu (Penegak Hukum Terpadu) yakni Polda sendiri, Bawaslu dan jaksa terkait pengamanan pemilu ini, serta koordinasi dalam penanganan masalah pelanggaran pemilu. Pihaknya sudah menyiapkan pengamanan dari setiap tahapan-tahapan pemilu nantinya. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan karena telah terjadi hal yang bertolakbelakang satu sama lain. Di satu sisi jumlah Golput atau kelompok orang yang peduli pada Pemilu semakin besar, tetapi pada sisi lain potensi konflik seolah tak pernah sepi. Baik itu pada Pemilu legislatif, ataupun Pemilukada. Kenyataannya, dari pengalaman Pemilu sebelumnya yang pernah berlangsung, ada juga kelompok khalayak yang justru larut dalam persaingan politik para elit Parpol selama masa kampanye Pemilu. Sebab, posisi rakyat dalam Demokrasi hanya ikut memberikan pilihan suara bagi para wakil rakyat yang paling ideal, untuk merepresentasikan konsep cita-cita luhur berbangsa dan bernegara yang pro-rakyat. Karenanya pertanyaan di atas kembali mengemuka: Apakah Pemilu yang dilaksanakan hanya sekedar dimaknai sebagai pekerjaan besar bangsa, atau lebih menekankan substansi sebenarnya yang harus diraih. Pemilu yang dilaksanakan adalah sebagai suatu keharusan demokrasi, karena salah satu indikator utama demokrasi adalah terlaksananya Pemilu bagi para legislatif dan eksekutif dalam suatu negeri. Tanpa adanya Pemilu maka sebuah negara akan ramairamai dituding sebagai negara yang otoriter bahkan represif kepada rakyatnya. Namun demokrasi yang dianut juga bukan tanpa substansi—yang akan membedakannya ketika sampai pada output demokrasi itu. Demokrasi tanpa penghayatan tidak lebih dari “racun” yang membuat mabuk kepayang orang-orang yang ada di dalam suatu negeri. Money politics akan dianggap wajar, tindakan anarkis dipahami sebagai ekses yang
200 dimaklumi, dan kekuasaan cuma satu-satunya tujuan para peserta yang ada di dalamnya. Namun itu pula yang kiranya terjadi di dalam negeri ini. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikator yang terjadi; 1. Pertama; uang, barang, janji, atau perkoncoan adalah alat utama dalam “membeli” partisipasi politik masyarakat pemilih. Konsekuensinya adalah setiap calon legislatif maupun eksekutif harus punya modal besar dalam berdemokrasi. 2. Kedua, kecurangan adalah bagian yang inheren dalam Pemilu. Kenyataan ini selalu mengiring dalam setiap pelaksanaan Pemilu, atau setidaknya menjadi isu sentral setiap kali Pemilu maupun Pemilukada digelar. 3. Ketiga, melumernya substansi demokrasi dengan tekanan massa pendukung yang pada umumnya adalah orang-orang yang dibayar atau setidaknya dimobilisasi secara sengaja. 4. Keempat, belum cakap dalam perbedaan pendapat. Persoalan perbedaan pendapat belum disikapi berdasarkan kepentingan bangsa dan negara, tetapi lebih cenderung dipahami sebagai kepentingan kelompok dan golongannya saja. Akibatnya setiap terjadi perbedaan perndapat maka kecenderungannya adalah memunculkan bibit-bibit permusuhan, baik secara eksplisit maupun inplisit. 5. Kelima, wakil rakyat cenderung yang cenderung tidak efektif dalam menjalankan tugasnya membawa suara rakyat dalam kerangka hidup kebangsaan. Legislatif yang memiliki hak mekanisme kontrol terhadap pemerintah lebih didasarkan pada kepentingan partainya atau kelompok dan golongannya ketimbang menggunakannya dalam kerangka kebangsaan yang lebih luas. 6. Keenam, pihak yang ingin menjadi wakil rakyat didominasi oleh job seeker atau untuk tujuan prestise mantan pejabat yang memasuki masa
201 purnabakti. Akibatnya kualitas legislatif menjadi sebangun dengan inputnya. Mantan presiden Gus Dur pernah dengan sarkastik mengatakan bahwa anggota DPR itu sama dengan anak taman kanak-kanak. Pada dasarnya Pemilu adalah substansi keterlibatan langsung masyarakat dan kualitas keterlibatan tersebut. Tetapi yang selama ini luput dari bangsa ini adalah kualitas keterlibatan khalayak. Kalau Pemilu kali ini kualitas itu masih juga diabaikan, maka Pemilu nanti akan sama saja dengan yang sebelumnya, tanpa memberikan kontribusi yang besar bagi perjalanan hidup bangsa ini. Benarkah Indonesia Negara Gagal? Wacana negara gagal (failed states) muncul dari berbagai kalangan menyusul kondisi Indonesia yang dirasakan semakin tidak sesuai harapan. Berbagai indikator negara gagal dikemukakan untuk memperkuat argumentasi tersebut. Benarkah Indonesia adalah negara gagal? Lantas bagaimana sikap terbaik kita untuk menjadi negara sukses? Secara definisi, failed states rasanya belum disepakati para ahli, namun dari beberapa literatur, karakter negara gagal disebutkan sebagai negara yang pemerintah pusatnya tidak mampu mengontrol atau menguasai seluruh wilayahnya, pemerintah pusat yang sangat lemah atau tidak efektif, tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang memadai, korupsi dan kriminalitas yang meluas; pergerakan pengungsi secara besar besaran, dan penurunan ekonomi yang tajam. Noam Chomsky menyebut setidaknya dua karakter utama negara gagal; 1. Pertama, negara tidak punya kemauan dan kemampuan melindungi warga negaranya dari kekerasan dan bahkan kehancuran. 2. Kedua, tidak mampu mempertahankan hak warga negaranya baik di tanah air maupun di luar negeri. Juga tidak mampu menegakkan dan mempertahankan fungsi institusi institusi demokrasi.
202 Failed states adalah fase sebelum menuju tahapan selanjutnya yakni tahap colappe states (negara runtuh). Lebih jauh Robert Rotberg menyebutkan empat tahapan negara yaitu: Strong states (negara kuat), adalah negara yang dapat mengontrol teritorial dan penduduk mereka. Negara kategori ini pada umumnya mereka memiliki pendapat per kapita yang tinggi; Weak states (negara lemah), yakni negara yang pada umumnya memiliki perbedaan etnis, religi, bahasa, yang menjadi hambatan menjadi kuat. Konflik biasanya terjadi secara terbuka, dan korupsi menjadi hal yang umum. Hukum tidak ditegakkan dan privitisasi intitusi kesehatan dan pendidikan menjadi bukti nyata kegagalan Negara tersebut. Kemudian failed states (negara gagal), yaitu negara yang sangat sukar mencapai target memenuhi kebutuhan penduduk. Di dalam negara seperti ini keamanan sulit dicapai oleh penduduknya. Sedangkan ekonomi tak berjalan dengan baik, dan kualitas kesehatan masyarakatnya buruk, dan korupsi marak, diperparah inflas; Collapsed states (negara runtuh), yakni negara gagal tanpa ada pemerintahan. Chomsky (2006), menyebut cirinya. 1. Negara tidak mampu melindungi penduduknya dari kekerasan. 2. Cenderung mengabaikan hukum. 3. Menderita berdemokrasi yang defisit. Bagaimana dengan Indonesia? Dari sektor hukum, belum bisa memberikan kepastian kepada warga negaranya, baik kepastian akan menerima keadilan maupun kepastian keamanan. Keputusan hukum lebih banyak didasari kepentingan politik dan kepentingan orang-orang kuat. Di hadapan hukum yang seperti ini, orang lemah akan sulit sekali mendapatkan keadilan. Kriminalitas semakin merajalela. Begal motor beraksi hampir di setiap sudut Nusantara secara sporadis. Aksi kekejaman para begal motor seolah tidak dapat dihempang, sehingga waarga akan merasa terancam ketika keluar tengah malam. Belum lagi aksi-aksi penipuan baik secara tersembunyi maupun secara terang-terangan melalui perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggungjawab. Dari sektor kemiskinan semakin merajalela, dan ketidakmampuan pemerintah mengentaskannya malah mengemasnya dalam bentuk-bentuk pencitraan yang indah di
203 luar, keropos di dalam. Kemiskinan di-packing dalam bentuk kepedulian pemerintah dengan memberi bantuan baik untuk kesehatan maupun kesejahteraan sosial. Alih-alih mengurangi jumlah kemiskinan, pemerintah semakin memerparah dengan mental kemiskinan warganya. Kasus busung lapar menunjukkan data menyedihkan, dengan jumlah Balita kekurangan gizi, sekitar 27,3 persen (Susenas 2003). Ini berarti dari 18 juta Balita pada tahun 2003, sebanyak 4,9 juta di antaranya mengalami masalah gizi buruk. Tahun 2005, sesuai proyeksi/perkiraan penduduk Indonesia oleh BPS, anak usia1-4 tahun adalah 20,87 juta. Jika angka 27,3 persen digunakan, diperkirakan sebanyak 5,7 juta anak Balita mengalami masalah gizi buruk. Balita yang mengalami busung lapar atau kekurangan gizi sangat parah adalah sebanyak 8 persen, yaitu 1,67 juta Balita. Sektor politik banyak diisi oleh para oportunir dan petualang ketimbang pada negarawan, sehingga kepentingan individu dan kelompok yang justru semakin mengemuka. Sebaliknya kepentingan bangsa dan negara semakin tertinggal di belakang. Para anggota dewan, aparat , dan pemerintah berasal dari orang-orang yang memburu jabatan dengan mengendarai politik. Jabatan hanya untuk memperkaya diri sendiri, dan memperjuangkan kepentingan kelompok dan golongannya saja. Bencana datang silih berganti, seolah-olah Allah SWT sedang memperingatkan orang-orang yang hidup di dalamnya untuk ingat dan sadar. Namun karena tak kunjung sadar, maka bencana demi bencana terus datang. Ironisnya, bencana juga tidak membuat orang belajar sehingga penanganannya selalu tidak maksimal. Kita tentunya berharap Indonesia tidak menjadi negara gagal apalagi negara runtuh, karena itu sama halnya dengan kehancuran tatanan kebangsaan kita yang telah berlangsung hampir seratus tahun ini. Oleh karenanya kita berharap, para pengemban tugas negara dan bangsa menyadari hal ini, dan tidak menjadi orang-orang yang hanya berburu kekuasaan. Jangan biarkan negeri ini runtuh hanya karena ketidakmampuan dan hasrat politik.
204 DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Dadi; Nur’aini H, Aliyah, “Teori Penjulukan“, Jurnal Mediator, Vol.32. No.2, Desember 2005 Bell, Daniel, The End of Idiology (New York: Collier Books, 1961) _________,“The Theory of Mass Society,” Commentary (22 Juli 1956) Buechler, Steven M., “Mass Society Theory”, Wiley Online Library (Januari 2013) Budijanto, Didik dan Wijiartini, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Seks di Luar Nikah para ABK di Komunitas Pelabuhan (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Depkes RI, 2001) Cole, Robert, Propaganda in the TwentiethCentury War and Politics, (New York: McGraw Hill Book Company, 1996) CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) Cull, Nicolas J.; David Culbert & David Welch (eds), Propaganda and Mass Persuasion: A Historical Encyclopedia, 1500 to the Present, (Oxford: ABC Clio, 2OO3)
205 Djuarsa, Sendjaja S., Teori Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994), hal. 199-200 Elton, Lydia, “Pengaruh Pemberitaan Surat Kabar Terhadap Persepsi Masyarakat Pengguna Jasa Transportasi Udara Di Surabaya (Kasus Studi Kecelakaan Pesawat Adam Air)”, Jurnal Ilmiah SCRIPTURA ISSN 1978-385X Vol. 1 No.2, Surabaya Juli 2007 Effendy, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992) Ellul, Jacques, Propaganda: The Formation of Men’s Attitudes. (New York: Vintage Books, 1973) Fisher, B. Aubrey. Teori-teori Komunikasi (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1990) Fuad, Muhammad, “Civil society in Indonesia: The Potential and Limits of Muhammadiyah”. Sojourn Vol.17 No.2 (2002) Gazali, Effendi, “Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8 Nomor 1, Juli 2004 (53-74) Harahap, Syahrin, Islam & Modernitas: Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakkan Kesalehan Modern. (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015) Heryanto, Gun Gun, Media Komunikasi Politik, Relasi Kuasa Media di Panggung Politik. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018) Hiariej, Eric dan Stokke, Kristian, Politik Kewargaan Di Indonesia (Jakarta, Pustaka Obor Indonesia, 2018) Hikam, Muhammad AS (Edisi e-book), Demokrasi dan civil society (Jakarta. Pustaka LP3ES, 2015) Jowett, Garth S. & Victoria O’Donnell, Propaganda and Persuasion, 3rd ed, (London: SAGE, 1999) ______________________________, Propaganda and Persuasion, 5rd ed, (California: SAGE, 2012)
206 Kholil, Syukur, “Komunikasi Dalam Perspektif Islam”, dalam Hasan Asari & Amroeni Drajat (Ed), Antologi Kajian Islam (Bandung : Citapustakan Media, 2004) hal. 252 ___________, Komunikasi Islami, (Bandung: Ciptapustaka Media, 2007) Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018) Lubis, M. Ridwan, “Signifikansi Media Massa Dalam Mendorong Keberagaman Sebagai Faktor Harmonisasi Dunia (Medan, 10 Januari 2004) Longmans, Dictionary of English Language and Culture, (Harlow: Longman Group, 1992) Matta, Anis, Gelombang Ketiga Indonesia, Peta Jalan Menuju Masa Depan (Jakarta: The Future Institute, 2014) _________, Menikmati Demokrasi, Strategi Dakwah Meraih Kemenangan (Jakarta: Penerbit Pustaka Saksi, 2002) Mowlana, Hamid, “Mass Media and Cuture: Toward an Iegrated Theory” Journal of the Religious Education Association (Juli 2006) Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS, Suara dan Syariah (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012) Mulyana, Deddy, Komunikasi Politik Politik Komunikasi, Membedah Visi dan Gaya Komunikasi Praktisi Politik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014) Munawwar, Said Agil Husin; Mustaqim, Abdul, Asbabul Wurud, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 179 Nam, K. A. High-context and low-context communication, In J. M Bennett ed., The SAGE Encyclopedia of Intercultural Competence (Thousand Oaks, CA: Sage Publication, Inc. 2015) Nashrillah, “Jurnal Penelitian Medan Agama”, No.1/thn.2002. Nimmo, Dan, Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan, dan Media. Cetakan keenam, Penerjemah Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) Nunung Prajarto, “Terorisme dan Media Massa: Debat Keterlibatan Media”, Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, Volume 8, Nomor 1, Juli 2004 (37-52)
207 Nursal, Adman, Political marketing: Strategi Memenangkan Pemilu (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004) Rivers, William L., et. Al., Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi Kedua, terj. Haris Munandar dan Dudy Priatna, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 270. Romarheim, Anders G., “Definitions of strategic political communication,” Norwegian Institute of International Affairs, No. 689 – 2004 Rosiana, Eka Putri, “Komunikasi Politik (Model Komunikasi Politik Antar Fraksi dalam Pembentukkan Norma UU Pilkada Secara Demokratis)”. Jurisprudence, Vol. 5 No, 1 Maret 2015 Rusmanto, Joni, Gerakan Sosial, Sejarah Perkembangan Teori Antara Kekuatan dan Kelemahannya (Sidoarjo: Zifatama Publishing, 2013) Sahputra, Dedi, Komunikasi Politik Partai Politik Islam, (Yogyakarta: Orbit, 2016) ___________, “Lembaga Studi Analisis Sosial (LSAS)”, Rangkuman Hasil Penelitian Volume 1 tahun 2006 Sastropoetro, R.A. Santoso, Propaganda Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa, (Bandung: Alumni, 1983) Severin, Warner J; Tankard Jr, James W, Teori Komunikasi Sejarha, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi Ke-5, Dialihbahasakan oleh Sugeng Hariyanto, Cetakan ke-2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) Shoelhi, Muhammad, Propaganda Dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012) Singh, Rajendra, Gerakan Sosial Baru (GSB) Terjemahan, (Yogyakarta: Resist Book, 2010) Tabroni, Roni, Komunikasi Politik Pada Era Multimedia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014) Taithe, Bertrand & Tim Thornton (eds), Propaganda: Political Rhetoric and Identity, 1300– 2000. Stroud, Gloucestershire, (United Kingdom: Sutton Publ., 1999)
208 Valerisha, Anggia, “Dampak Praktik Konglomerasi Media Terhadap Pencapaian Konsolidasi Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, Vol 12, No.1 2016 Welch, David, Propaganda and the German Cinema 1933-1945, (London: I.B.Tauris Publishers, 2001) __________, The Third Reich Politic And Propaganda, second edition, (London and New York: 2002) ___________, The Third Reich Politic And Propaganda, second edition, (London and New York: 2002) Wahid, Umaimah, Komunikasi Politik, Teori, Konsep, Dan Aplikasi Pada Era Media Baru. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2018) Warjio, Politik Pembangunan, Paradoks, Teori, aktor, dan Ideologi (Jakarta: Kencana, 2016) Welch, David, Propaganda and the German Cinema 1933-1945, (London: I.B.Tauris Publishers, 2001) ___________, The Third Reich Politic And Propaganda, second edition, (London and New York: 2002) Wischermann, Jörg, “Civil society action and governance in Vietnam; Selected findings from an empirical survey”, Journal of Current Southeast Asia Affairs, 29(2), 3-40, Retrieved November 11, 2010 __________, “Governance and Civil society Action in Vietnam: Changing the Rules From Within—Potentials and Limits”, Journal Asian Politics & Policy—Volume 3, Number 3—Pages 383-411. Policy Studies Organization. Published by Wiley Periodicals, Inc. 2011 W.Kornhauser, The Politics of Mass Society (London: Routledge & Kegan Paul, 1960) SUMBER LAIN Bernama CNN Indonesia Harian Waspada Medan kpu.go.id malaysiakini.com Radio TV Malaysia (RTM)
209 Tempo.co twitter TVOne TENTANG PENULIS Dedi Sahputra lahir di Medan pada 18 Juni 1972, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan” (STIK-P) Medan ini juga mengajar di Program Magister Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (MIP USU), dan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, Aceh. Dia juga seorang wartawan di Harian Waspada Medan sebagai Redaktur Pelaksana Non Berita. Ia telah menjadi wartawan jenjang Utama sejak tahun 2013, dan penguji nasional tingkat Utama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Anak pertama pasangan Almarhum Muhammad Idris dan Jumilah ini menikah dengan Henny Indriati dengan dikaruniai tiga anak yakni Nabil Al-Hafidz Sahputra, Zahira Nufus Sahputra, dan Samudera As-Sajjad Sahputra. Dia juga menulis kolom di Harian Waspada diberi nama Foliopini yang terbit setiap hari Senin dan Kamis—membahas berbagai persoalan dari
210 sudut yang unik. Setiap kali terbit kolom ini selalu dengan panjang tulisan opini yang sama yakni satu folio—yang menjadi dasar pemberian nama Foliopini (opini satu folio). Sebagai dosen yang di antaranya mengajar mata kuliah public opinion, massa communication, dan komunikasi politik dia telah mencukupkan jenjang pendidikan formalnya di bidang ilmu komunikasi. Gelar sarjananya di bidang Ilmu Komunikasi (S1) ditamatkannya di STIK-P Medan tahun 2000, gelar masternya (S2) dalam bidang ilmu Komunikasi Islam didapatnya dari di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut (sekarang Universitas Islam Negeri/UIN) Sumut tahun 2008, dan jenjang pendidikan Doktoral (S3) dalam bidang Ilmu Komunikasi Islam diraihnya dari UIN Sumut. Sebagai wartawan dia juga punya pendidikan non formal dan berbagai pengalaman di antaranya studi ekskursi yang diselenggarakan Nihon Shinbun KyokaiConfederation of ASEAN Journalists (NSK-CAJ) di Tokyo, Jepang (2001), Internationale Journalisten Programme di Berlin, Jerman (2006), International Visitor Leadership Program/IVLP di Washingtong DC, Amerika Serikat (2007), International News Writing Thomson Reuters Foundation di London, Inggris (2008). Dia juga menjadi Ketua Panitia yang dua kali mendatangkan Mahathir Mohamad ke kota Medan untuk berbicara dalam forum seminar yang diselenggarakan oleh Harian Waspada Medan. Saat itu Mahathir yang telah berusia 90-an tahun masih berstatus mantan Perdana Menteri Malaysia. Ketika Mahathir Mohamad kemudian kembali menjadi Perdana Menteri Malaysia, maka orang kemudian mulai mengurai kembali peristiwa kedatangan Mahathir ke Medan. Di samping menulis buku-buku ilmiah, ia juga menulis buku-buku populer ilmiah. Buku “Politik & Komunikasi Massa, Relasinya Dengan Pendapat Umum, Komunikasi Massa, Komunikasi Politik Dan Civil Society” di tangan Anda ini adalah bukunya yang keempat yang ditulisnya setelah buku “Mendatangi Kesulitan” (2015), “Komunikasi Politik Partai Politik Islam” (2016), dan “Puasa Di Rumah Kami” (2017).