The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini membahas dinamika hubungan antara politik dengan media massa dengan berbagai variabelnya

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Dedi Sahputra, 2023-02-21 00:15:21

Politik dan Media Massa dalam Dinamikanya dengan Pendapat Umum, Komunikasi Massa, Komunikasi Politik dan Civil Society

Buku ini membahas dinamika hubungan antara politik dengan media massa dengan berbagai variabelnya

Keywords: Politik dan Media Massa

95 dikawini ataupun minta jadi simpanan pejabat. Pasca berita tersebut, respons langsung berdatangan dari para tokoh dan aktivitas perempuan yang bernada mengecam aksi itu. Tetapi kemudian terlihat ada bias yang muncul dari efek yang diinginkan dan yang ditimbulkan oleh aksi unjukrasa tersebut. Melihat cara, desain lapangan, dan isu serta momentum yang dipilih, kiranya tidak berlebihan dikatakan bahwa aksi unjukrasa tersebut telah direncanakan bahkan dirancang terlebih dahulu. Dari tema menolak poligami, mereka yang merencanakan aksi tersebut tentulah berkeinginan memunculkan simpati khalayak, terutama kaum perempuan. Sedangkan dari pilihan momentum hari Kartini, dan gadis-gadis muda, tentu untuk memunculkan rasa tertarik siapapun yang melihat aksi unjukrasa tersebut. Namun pada kenyataannya, respons yang muncul malah bertolakbelakang dengan kesan yang ingin dimunculkan dari aksi unjukrasa tersebut. Para aktivis perempuan malah mengecamnya karena menilai para perempuan tersebut telah merendahkan sendiri martabat kaum perempuan. Sarma Hutajulu anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDIP misalnya, dia mengimbau para politisi dan aktor di belakang layar tidak mengeksploitasi perempuan untuk ambisi dan kepentingan politik. “Siapa pun yang menyuruh mereka dan berada di belakang aksi itu, serta apapun kepentingannya, kita minta cara-cara yang digunakan dengan melecehkan martabat perempuan ini supaya dihentikan," katanya seperti dikutip media. Sama halnya dengan Nelly Armayanti Ketua Kaukus Perempuan Sumut dan Dosen Universitas Negeri (Unimed) menilai oknum di belakang aksi unjukrasa tersebut dinilai tak mampu membedakan persoalan pribadi pemimpin dengan urusan publik untuk melakukan kritik. Dan kepada kaum perempuan, khususnya yang ikut dalam aksi tersebut, dia mengingatkan lebih realistis dan cerdas dalam memandang persoalan. “Jangan mau dieksploitasi untuk kepentingan politik dan itu sangat melecehkan kaum perempuan itu sendiri,” ucap Nelly.


96 Secara implisit, kedua aktivis perempuan ini seolah menyatakan ada aktor di belakang layar yang mengelola aksi unjukrasa tersebut. Artinya, sebetulnya ada motif politik di belakang motif atau isu perempuan yang coba ditampilkan “di depan panggung”. Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa terjadi perbedaan efek pesan tersebut—antara yang ditampilkan dengan yang diterima khalayak? Perbedaan ini disebabkan adanya dua wilayah yang saling berbeda satu sama lain yang ingin disamaratakan oleh aksi unjukrasa tersebut, yaitu isu poligami dan isu politik dalam hal ini adalah persoalan hukum dan tata pemerintahan. Para pengunjukrasa menganggap seolah-olah masalah ini telah “tuntas” dalam benak publik. Padahal sebetulnya ia adalah persoalan yang sama sekali beda. Itu sebabnya aksi unjukrasa kaum perempuan muda di hari Kartini tersebut justru menjadi blunder bagi siapapun yang menginginkan efek media massa yang menguntungkan pihaknya dari aksi tersebut. Dia tidak menyentuh satu dari tiga efek komunikasi massa atas pesan-pesan yang disampaikan oleh media massa. Efek komunikasi massa dibedakan menjadi tiga yaitu efek kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuyk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Menurut Mc. Luhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory/teori perpanjangan alat indera). Dengan media massa orang mendapatkan informasi tentang segala sesuatu. Efek afektif ini mengenali bahwa manusia bertambah pengetahuan dan informasi yang dimilikinya dari informasi yang disiarkan oleh media massa. Efek afektif kemudian memiliki kadarnya lebih tinggi dengan tujuan bukan sekedar memberitahu kepada khalayak, tetapi lebih dari itu, menimbulkan perasaan tertentu. artinya kkalayak terlibat secara emosi atas berita atau informasi yang disediakan oleh media massa. Dengan kata lain, pesan media massa bisa sampai melibatkan emosi khalayak untuk menyukai, ataupun membenci


97 sesuatu. Selanjutnya dalam efek behavioral/konatif adalah akibat dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Informasi dari media massa akan menggerakkan indovidu dan khalayak untuk melakukan sesuatu hal. Dengan kata lain, seperti yang disitir oleh Bandura, bahwa efek konatif ini merupakan proses motoris dari empat tahapan proses belajar sosial yakni: proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional. Dalam setiap peristiwa unjukrasa pesan politik akan selalu menonjol daripada pesan moral, sosial, ataupun ideologi dan sebagainya. Pola seperti ini telah menjadi jamak yang sering “terbaca” publik karena tingkat keseringannya. Oleh karenanya dalam aksi-aksi unjukrasa ke depan, para pihak yang terlibat di dalamnya dituntut untuk kreatif untuk tidak lagi menyajikan aksi unjukrasa secara konvensional. Hal ini sangat terkait dengan proses pendewasaan dalam iklim demokrasi. Pelajaran Dari Berita Hoax Belakangan ini hoax menjadi salah satu kata yang paling sering disebut, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Tidak mengherankan karena sumber penyebutan istilah ini berasal dari kalangan Istana Negara di Jakarta. Pihak istana merasa risau dengan ramainya hoax di media sosial yang dianggap sudah meresahkan. Apa sebenarnya hoax? Satu sumber menyebutkan bahwa hoax adalah kata dari bahasa asing yang berarti tipuan, menipu. Jika menyangkut berita maka ia adalah berita bohong, berita palsu atau kabar burung. Berdasarkan definisi ini maka dapat dikatakan bahwa hoax adalah kata yang berarti ketidakbenaran suatu informasi. Sumber lain menyebutkan bahwa kata hoax berasal dari kata hocus pocus yang aslinya adalah bahasa Latin hoc est corpus. Artinya, “ini adalah tubuh”. Kata ini biasa digunakan penyihir untuk mengklaim bahwa sesuatu adalah benar, padahal belum tentu benar. Dari dua sumber tersebut, maka hoax kemudian didefinisikan sebagai suatu kata/berita yang digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali


98 pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu. Padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Jika mengamati media sosial, ada beberapa tujuan orang mengirim berita hoax. Antara lain untuk sekadar iseng, sebagai lelucon. Tidak jarang pula pembuat hoax mengirim berita bohong kepada orang dekatnya tanpa niat untuk menyebarkan ke masyarakat luas. Namun sebagian penerima tidak menyadarinya sehingga hoax ini tersebar luas. Dan orang-orang yang menyebarkan berita jenis hoax seringkali tidak menyadari benar tidaknya informasi yang disebarkannya (share). Tapi dalam perkembangannya ada juga tipe penyebar hoax yang dilakukan secara sistematis dan tersetruktur. Melihat dari asal kata, dan maknanya, maka hoax boleh dikatakan sebagai sesuatu yang negatif dalam lalulintas informasi. Bahwa hoax sebagai kabar bohong tentu saja tak boleh dipercaya apalagi ditelan bulat-bulat, atau menjadi dasar suatu tindakan atau keputusan seseorang dan kelompok. Karena jika informasinya saja sudah salah maka tindakan yang dilakukan dengan mendasarkan diri pada berita hoax sudah tentu akan salah juga. Suatu informasi apabila disampaikan tanpa klarifikasi maka ia akan tersaji secara sepihak yang cenderung subjektif. Karenanya dalam kode etik jurnalistik mewajibkan konfirmasi dalam setiap informasi yang akan dialirkan. Jika melanggar hal tersebut, maka sama halnya dengan melanggar kode etik, dan itu berarti tanpa trust. Kekhawatiran kalangan Istana Negara akan ramainya berita hoax disebut sebagai masalah yang menjadi perhatian serius karena bisa menyebabkan persoalan serius pula. Kabar Kementrian Kominfo memblokir dan membatasi situs-situs berita yang disinyalir menyebarkan berita hoax. Kompas.com merilis kesebelas situs tersebut, yakni voaislam.com; nahimunkar.com; kiblat.net; bisyarah.com; dakwahtangerang.com; islampos.com; suaranews.com; izzamedia.com; gensyiah.com; muqawamah.com; abuzubair.net. Dari nama-nama situs yang diblokir secara kasat mata menunjukkan sebagai situs-situs bernuansa Islam. jika kita mengasumsikan bahwa situs-situs yang


99 bermerek Islam ini juga berkonten Islami, maka setidaknya ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, bahwa hanya situs Islam saja yang mengeluarkan berita-berita hoax sedang situs lain tidak mengeluarkan hoax. Kedua, tidak hanya situs Islam yang menyebarkan berita hoax, ada juga situs lain tetapi pemerintah lebih punya kepentingan terhadap situs yang bermerek Islam. Kata hoax dalam hal ini secara khusus ditujukan kepada media digital dan media sosial, bukan kepada media massa konvensional semisal televisi, koran, radio. Berita hoax dilekatkan pada berita yang disebarkan oleh media digital (situs atau websites) kemudian berkembang dan menjalar di media sosial. Bagaimana dengan media konvensional. Apakah tidak berlaku hoax dalam penyebaran informasinya? Sepanjang media konvensional terikat pada kode etik jurnalistik sebagaimana yang disinggung di atas, maka selama ini pula media massa memiliki tameng untuk berlindung dari kesalahan. Karenanya domain hoax memang ada pada media sosial khususnya—dimana penyebaran informasi secara digital itu berlangsung. Bersama situs berita, media sosial kemudian menjadi perpanjangan tangan bagi terbentuknya suatu informasi yang menjadi viral di dunia maya. Namun pertanyaannya adalah mengapa soal hoax ini kemudian menjadi fenomena bahkan menjadi perhatian besar Istana Negara? Secara sederhana hal ini disebabkan karena semakin ramainya orang melirik ke media sosial. Perubahan pola membaca khalayak telah menjadikan media sosial sebagai alternatif yang seksi, khususnya bagi kaum muda. Dunia seolah terpampang di ujung jari. Tapi itu bukan berarti juga bahwa media massa konvensional sudah ditinggalkan. Karena sifat informasi itu yang konfirmatif, maka media massa konvensional, khususnya media massa mainstream masih memiliki kekuatan yang besar untuk mengubah persepsi khalayak. Persoalan akan muncul apabila media massa konvensional mainstream ini sudah kehilangan kepercayaan dari khalayaknya sendiri.


100 Dalam tinjauan komunikasi, kehilangan kepercayaan ini seringkali disebabkan karena media massa meninggalkan etika jurnalistiknya. Etika yang dimaksud di sini juga menyangkut hal yang lebih tinggi sebagaimana elemen jurnalistik yang pernah disampaikan Bill Kovack. Ada sembilan elemen dimaksud, dua di antaranya adalah, jurnalisme itu mengejar kebenaran (truth), dan komitmen wartawan kepada masyarakat dan kepentingan publik. Kedua elemen ini sangat peka dalam benak khalayak— walaupun seringkali orang mengabaikannya dan menganggap berita yang tak bertujuan pada truth dan tidak berpihak pada kepentingan publik, tidak memiliki pengaruh signifikan. Nyatanya apa yang terjadi sekarang ini adalah ketidakpercayaan itu terjadi dalam diri publik terhadap media mainstream. Penyebabnya tidak lain karena benak publik telah merasa media mainstream sudah tidak lagi menggali kebenaran dan tidak berpihak pada kepentingan mereka. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tidak terbatas.86 Media sosial tentu saja tidak diikat oleh etika sebagaimana media mainstream. Pasalnya siapa saja bisa jadi wartawan, sekaligus redaktur, dan pemimpin redaksi bagi informasi yang disebarkannya. Karenanya berita hoax adalah suatu keniscayaan, dan jika jujur, sebenarnya hal ini sudah berlangsung lama, bukan baru belakangan ini saja. Itu sebabnya mengapa persoalan berita hoax ini adalah pelajaran yang berharga bagi media mainstream di negeri ini. Kesan Dari Pemerintahan Dalam setiap pemerintahan, akan ada selalu kesan yang muncul. Kesan tersebut adalah keseluruhan perilaku, sikap, pernyataan, kebijakan, dan kecenderungan yang dilakukan suatu pemerintahan selama masa jabatan berlangsung. Kesan ini adalah 86 Tabroni, Roni, Komunikasi Politik Pada Era Multimedia (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, Cetakan II 2014), h.160.


101 kesimpulan yang ditangkap oleh publik, menyangkut hal-hal yang menonjol dilakukan suatu pemerintahan. Masa Orde Baru misalnya, kesan yang banyak dipahami orang adalah pemerintahan yang otoriter. Ada beberapa indikasi yang mengarahkan kepada kesimpulan tersebut, seperti pembatasan gerakan berita di media massa, kuatnya pengaruh militer terhadap sipil dan sebagainya. Atau ketika menyimpulkan kesan terhadap pemerintahan Amerika Serikat misalnya. Ada yang menyebutnya sebagai negara super power, punggawa demokrasi, dan ada juga yang mengatakan sebagai negara biang teroris—yang merupakan kesimpulan dari kecenderungan negara tersebut. Akan halnya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ketika usianya belum genap berusia dua bulan, sudah banyak pernyataan dan kebijakan yang dilakukan dan dilansir melalui media massa. Kebijakan-kebijakan tersebut sepertinya memunculkan kecenderungan yang sama, baik dari pernyataan presiden dan wakilnya, maupun para menteri dalam Kabinet Kerja. Satu hari setelah dilantik menjadi Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) misalnya, Yasona Laoly langsung mengeluarkan kebijakan mengesahkan Muktamar versi Romahurmuziy. Padahal saat itu PPP versi Ketua Umum Suryadharma Ali yang merupakan ketua umum yang sah hasil muktamar sebelumnya juga akan menggelar muktamar serupa. Maka jelas saja keputusan Menkumham di tengah dualisme kepengurusan PPP tersebut langsung menuai kontroversi. Selanjutnya ada pernyataan dari Puan Maharani Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang menginginkan agar e-KTP dihentikan. Selain bukan merupakan tugas dan wilayah kerjanya, pernyataan ini dipertanyakan landasannya karena merupakan program strategis di bidang kependudukan. Maka pernyataan ini juga mengundang kontroversial terutama dari pihak-pihak yang terkait. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Cahyo Kumolo yang membidangi soal e-KTP itu sendiri tak kalah kontroversial. Dia melepaskan wacana akan menghapuskan kolom agama di KTP karena alasan diskriminasi. Maka reaksi muncul dari berbagai kalangan terutama dari umat Islam yang merupakan stakeholders utama negara ini.


102 Akan halnya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, keberadaannya saja sudah menuai kontroversi karena statusnya sebagai lulusan SMP, dan penampilannya yang bertatoo dan tak segan merokok di depan umum. Apalagi kebijakan menenggelamkan kapal nelayan yang mencuri ikan di perairan Indonesia, dituding bagian dari pencitraan karena perlakuan tersebut hanya untuk sebuah kapal kecil. Di bidang perencanaan pembangunan lain lagi. Pemerintah melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional yang juga Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Andrinof Chaniago menghentikan megaproyek Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah dimulai sejak era Presiden SBY dengan Menko Perekonomian Hatta Radjasa berupa pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). Tentu saja ini juga merupakan kontroversi lain yang dijalankan pemerintahan. Sedangkan Jokowi-JK selaku pimpinan tertinggi dalam Kabinet Kerja tak kurang kontroversinya. Karena mereka mengeluarkan kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok lainnya melonjak naik yang menyasar rakyat kecil. Apalagi kebijakan menaikkan harga BBM tersebut dilakukan pada saat harga minyak dunia sedang turun harga. Belum lagi menyoal kisruh di DPR RI yang melibatkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden. KIH membentuk pimpinan DPR tandingan karena tidak mendapatkan kursi pimpinan dewan melalui mekanisme MD3. Apa yang diuraikan di atas merupakan sebagian dari kontroversi yang bisa dilihat oleh semua orang dari media massa yang secara bebas bisa dikonsumsi. Karena masih ada beberapa pernyataan, sikap, dan kebijakan lainnya dalam pemerintahan Kabinet Kerja yang kontroversial atau menuai kontroversi. Bahwa kontroversi sedemikian terbuka terjadi diakibatkan oleh kebijakan dan pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah sendiri. Meski harus diakui bahwa ada kontroversi yang terjadi karena berasal dari perbedaan kepentingan masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya.


103 Karena dalam jangka waktu kurang dari dua bulan pemerintahan ini, kesan yang muncul adalah kontroversi. Pada beberapa bagian, kontroversi yang terjadi justru berkembang luas di masyarakat. Saat itu belum publik bisa menduga-duga tentang apa yang ingin dicapai melalui kontroversi yang terjadi. Pengesahan UU Pemilukada Hasil voting sidang paripurna DPR RI 26 September 2014 memutuskan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) secara tidak langsung atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Berbagai reaksi pun timbul, baik yang pro maupun yang kontra terhadap keputusan ini. Seperti halnya hasil Pemilihan Umum Presiden (Pilpres), maka hasil paripurna ini juga mesti dihormati oleh seluruh stakeholders bangsa ini. Kalaupun ada yang dianggap tidak sesuai aspirasi, maka ada jalur konstitusional yang disediakan. Dengan demikian maka sistem demokratisasi di negeri ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Jika ditilik dari sudut pandang komunikasi, maka dalam suatu peristiwa akan selalu menimbulkan kesan tertentu. Apa yang terjadi dalam sidang paripurna pengesahan UU Pemilukada tersebut seolah menjadi perpanjangan “konflik” dalam Pilpres 2014. Polarisasi dua kubu antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan koalisi pimpinan PDIP, juga terjadi dalam debat tentang UU Pemilukada ini. Meski harus diakui, sejauh ini “konflik” yang terjadi masih dalam batas-batas kewajaran di antara kedua kubu. Masing-masing dengan argumentasi dan tentu saja dengan kepentingannya masing-masing. Jika argumentasi bersifat terbuka, maka kepentingan-kepentingan bersifat tertutup dan tersamar. Bagi pihak yang pro terhadap Pemilukada langsung maka upaya memindahkan pemilihan di gedung dewan adalah pengamputasian demokrasi. Mereka menganggap dengan cara tersebut telah membunuh kedaulatan rakyat. Lebih jauh kemudian mereka yang menolak Pemilukada langsung adalah pihak-pihak yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Sedangkan bagi pihak yang tidak mendukung Pemilukada langsung


104 berargumentasi bahwa selama ini yang terjadi dalam pemilihan langsung adalah praktikpraktik yang jauh dari kondisi yang sehat. Sekitar 300-an kepala daerah produk Pemilukada langsung telah tersangkut kasus hukum. Logikanya mereka harus membayar “hutang” pencalonan yang berbiaya mahal itu dengan mengorupsi uang negara. Ada banyak dan panjang argumentasi yang disampaikan, namun setidaknya dua alasan di atas bisa dijadikan bahasan. Bahwa perbedaan sudut pandang dari kedua argumentasi tampak jelas dari cara melihat suatua peristiwa yang sama. Mereka yang pro Pemilukada langsung cenderung memandang masalah ini dari sudut pandang filosofis dan cenderung melupakan fakta-fakta teknis. Mereka berpandangan karena kedaulatan harus di tangan rakyat, maka serahkan pemilihan melalui rakyat, tanpa menjadi persoalan faktual yang terjadi sebagai pertimbangan. Sebaliknya mereka yang menginginkan Pemilukada melalui DPRD memandang hal-hal terkait masalah faktual yang terjadi hingga terkesan melupakan esensi demokrasi. Bahwa selama ini yang terjadi adalah kasus-kasus konflik Pemilukada, penggelembungan suara, money politics, jual-beli suara. Semua peristiwa ini melibatkan rakyat dalam “dosa” demokrasi Pemilukada langsung. Kedua argumentasi ini sebetulnya sama-sama memiliki kelebihan dan sama memiliki kelemahan. Kelebihan masing-masing seperti apa yang diutarakan di atas, namun kelemahan di keduanya yakni sama-sama berpeluang terjadinya praktik-praktik kotor demokrasi. Baik Pemilukada langsung maupun melalui DPRD, permainan uang untuk menjadi kepala daerah tetap terjadi—seperti yang berlangsung selama ini. Bedanya, jika pada Pemilukada langsung limbah demokrasi terjadi secara sporadis dan melibatkan seluruh rakyat, maka Pemilukada melalui DPRD membatasinya hanya di lingkup para elit dan anggota dewan saja. Pada hakikatnya Pemilukada melalui DPRD sebetulnya adalah pemilihan yang juga berada dalam tatanan demokratis karena para anggota dewan itu adalah orang-orang yang dipilih rakyat. Sebagai perwakilan rakyat,


105 mereka menjalankan perintah konstitusi untuk memilih para pemimpin legislatif di level kabupaten/kota, dan provisi. Ketika KMP mengajukan usulan perubahan Rancangan UU Pemilukada dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, serta merta kubu Jokowi bersama PDIP menyatakan menolaknya. Sejak itu debat terbuka kemudian berlangsung memanas di sosisl media—melibatkan masyarakat secara luas. Faktor KMP serta PDIP, dan Jokowi yang mengeluarkan pendapat kiranya sulit disanggah sebagai pemicu debat massal melalui media publik. Kondisi seperti ini mengesankan resistensi atau penolakkan atas kepemimpinan Jokowi-JK dari mulai level rakyat sampai ke parlemen. Ini mungkin rekam catatan dari Pilpres kemarin yang memenangkan Jokowi secara tipis dari rivalnya Prabowo-Hatta—pada sisi lain di parlemen, KMP justru mengungguli suara koalisi pendukung Jokowi-JK. Sepanjang sejarah republik Indonesia, ini adalah penolakkan terbesar pertama kali bagi pemimpin nasional di awal masa kepemimpinannya. Kalau Soeharto dulu dijatuhkan gerakan rakyat karena akumulasi resistensi yang berlangsung sekian lama. Artinya perlu waktu berpuluh tahun bagi munculnya penolakkan yang didasari penilaian rakyat terhadap kinerja pemimpin nasional. Sedangkan BJ.Habibie mendapat penolakkan hanya dari kalangan parlemen kala itu—dalam hal ini PDIP. Penolakkan tidak mengakar sampai ke rakyat karena sistem pemilihan waktu itu masih melalui DPR RI. Sementara Gus Dur yang juga dilengserkan oleh DPR disebabkan karena penilaian terhadap kinerjanya. Meski di awal pemerintahannya mendapat dukungan, namun penolakkan besar akhirnya terjadi dengan keterlibatan rakyat dan parlemen menggerus Gus Dur dari kursi presiden. Ini terjadi setelah masa pemerintahannya berlalu beberapa waktu. Artinya Gus Dur tak perlu waktu lama untuk menimbulkan gerakan penolakkan rakyat dan parlemen terhadapnya. Jika tesis ini mengandung kebenaran, maka seharusnya Jokowi-JK harus lebih menyadari tingkat dukungan dan penolakkan rakyat yang terbelah terhadap dirinya. Apa yang perlu dilakukan adalah kerja-kerja nyata yang


106 manfaatnya juga nyata. Bukan sekedar melanjutkan rezim pencitraan atau hanya mengatasnamakan rakyat semata. Komunikasi Pemasaran Pemerintah Di antara bidang kajian komunikasi yang berkaitan dengan bidang ekonomi adalah komunikasi pemasaran dan komunikasi bisnis. Dua bidang kajian komunikasi ini pada umumnya menekuni tentang lalulintas pesan yang berkaitan dengan pemasaran dan bisnis yang dilakukan. Efek yang diharapkan dari komunikasi jenis ini biasanya adalah meningkatnya penjualan dan keuntungan bisnis sebuah lembaga. Pada hakikatnya kebijakan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan adalah kegiatan komunikasi dengan daya beli dan kemakmuran rakyat sebagai efeknya. Komunikasi pemasaran, oleh Terence A. Shimp (2003) sebagai aspek penting dalam keseluruhan misi pemasaran yang menjadi penentu suksesnya pemasaran. Jika komunikasi dimaknai sebagai proses pemikiran yang disampaikan kepada khalayak, maka pemasaran adalah sekumpulan kegiatan dimana suatu organisasi melakukan transfer nilai-nilai kepada stakeholdersnya. Komunikasi pemasaran adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh pembeli dan penjual. Atau dengan kata lain merupakan kegiatan penawaran dan permintaan. Dengan komunikasi yang dilancarkan, maka menjadi input bagi keputusan-keputusan dalam pemasaran, seperti membantu dalam pengambilan keputusan membeli atau tidak membeli. Satu hal yang urgen adalah mengarahkan pertukaran agar lebih memuaskan karena dilakukan dengan kesadarankesadaran akibat terpenuhinya kebutuhan informasi akan sebuah produk yang dipasarkan. Jika dianalogikan pemerintah adalah pihak “penjual” maka komunikasi pemasaran yang dilakukannya tidak memperhatikan antara penawaran dan permintaan. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan, jika penawaran meningkat, maka harga turun, sebaliknya jika permintaan meningkat, harga akan naik. Komunikasi pemasaran


107 pemerintah seakan tak mempertimbangkan permintaan, karena penawaran yang dilakukan berbeda dengan jenis permintaan khalayak (baca aspirasi). Akibat tingginya penawaran yang tak sesuai permintaan, menyebabkan harga-harga barang pemerintah menjadi murah, bahkan tak berharga. Ini bermakna tidak terjaganya dan tidak terpeliharanya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Perlahan-lahan ketidakpercayaan tumbuh dan semakin menguat. Sebaliknya permintaan publik (aspirasi) tidak menemukan pelabuhannya sehingga “harganya” semakin mahal di pasaran. Maka khalayak kemudian mulai mencari pasar lain untuk memenuhi kebutuhannya. Analogi hal ini seperti fenomena media mainstream yang tak lagi mendapat kepercayaan publik seperti dahulu. Karena kepercayaan publik kini beralih ke media sosial. Sementara komunikasi bisnis adalah pertukaran gagasan, pendapat, informasi, instruksi yang memiliki tujuan tertentu yang disajikan secara personal atau impersonal melalui simbol tertentu. Komunikasi jenis ini dilakukan sebelum, selama dan setelah pertukaran terjadi. Para sarjana merumuskan ada beberapa tujuan yang hendak dicapai komunikasi bisnis ini, seperti memberi informasi pada hal-hal yang berkaitan dengan bisnis. Selain itu juga untuk mempersuasi pihak lain agar pihak lain (komunikan) memahami dengan baik dan benar apa yang disampaikan. Dengan demikian akan tercipta saling pemahaman di antara kedua pihak. Dan komunikasi bisnis juga bertujuan bekerjasama bisnis antara seseorang dengan orang lain dalam hal bisnis. Jika memahami bahwa pemerintah sedang “berbisnis” dengan rakyatnya agar terjadi pertukaran (kebijakan pemerintah dan kewajiban rakyat) yang baik, maka komunikasi bisnis pemerintah sungguh jelek. Pertukaran gagasan, informasi, dan pendapat yang mestinya ada dalam komunikasi bisnis berubah menjadi komunikasi yang bersifat instruksi, dan perintah. Sifat persuasi dalam komunikasi bisnis pemerintah cenderung tidak terjadi. Pemerintah seolah melakukan pemilahan dengan sangat terang-terangan akan kelompok masyarakat [konsumen] dengan melakukan pemihakan kepada satu pihak dan


108 cenderung menekan pada pihak yang lain. Parahnya lagi, dasar perilaku seperti ini seakan-akan berasal dari dendam dan kebencian yang tak terurai secara nalar. Dalam praktiknya, baik komunikasi pemasaran maupun komunikasi bisnis terikat dengan efektivitas pesan yang dirancang. Di antara pesan yang efektif itu yakni, pertama, lengkap (completeness) yaitu dengan cara menyampaikan semua materi yang diperlukan agar penerima pesan dapat memberikan tanggapan yang sesuai dengan harapan pengirim pesan. Pesan yang tidak lengkap akan menimbulkan tanda tanya dari penerima pesan, dan apabila pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban maka ia akan menimbulkan spekulasi. Penerima pesan akan mengira-ngira sendiri jawabannya secara subjektif, sesuai dengan latar belakang dan kepentingannya. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan persepsi liar dan bahkan tak terkendali, yang pada akhirnya merugikan karena kontra produktif bagi tujuan komunikasi yang diharapkan. Pada kenyataannya hal tersebutlah yang sedang terjadi dalam masa pemerintahan sekarang ini di Indonesia. Pesan yang disampaikan di ruang publik cenderung bersifat sepihak, dan cenderung tidak transparan, sehingga menimbulkan kontroversi bahkan spekulasi yang semakin akut di tengah masyarakat. Kedua, pertimbangan (consideration). Pesan yang efektif hendaknya menerapkan empati dengan mempertimbangkan dan mengutamakan penerima pesan. Namun belakangan ini pemerintah seolah tanpa pertimbangan ketika mengeluarkan sebuah kebijakan. Salah satu contoh adalah ketika PPP dan Golkar yang telah memenangkan gugatan sampai tingkat tertinggi di pengadilan, tetapi pengesahan pemerintah berlarut. Atau ketika Mendagri mengaktifkan lagi Gubernur DKI Jakarta yang berstatus sebagai terdakwa. Ketiga, konkrit (concreteness); Keempat, jelas (clarity); Kelima, sopan (courtessy); dan keenam, teliti (correctness). Keempat prasyarat komunikasi efektif ini juga cenderung tidak terpenuhi dalam komunikasi pemerintah kepada rakyatnya. Akibatnya berbagai persoalan muncul ke permukaan.


109 Komunikasi terjadi dalam suatu matriks sosial, yaitu tempat di mana komunikasi bermula, berkembang, dan berlangsung terus menerus dalam situasi sosial. Artinya, hubungan antara komunikator dan khalayak menjadi bagian integral dari sistem sosial.87 Kesepahaman kedua pihak (komunikator sebagai penyampai pesan dan komunikasi sebagai penerima pesan) adalah tujuan utama komunikasi. Dengan kesepahaman bersama ini maka tujuan bersama akan lebih mudah untuk dicapai secara bersama-sama pula. Namun sepertinya komunikasi efektif tersebut tidak berlangsung bahkan cenderung dijauhkan sehingga muncul berbagai ekses belakangan ini. Hingga kebijakan komunikasi pemerintah perlu kembali memperhatikan komunikasi efektif ini. Unsur Komunikasi Dalam Pemilu Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 memasuki masa krusial dengan kampanye sebagai titik sentralnya. Serentak di beberapa daerah Indonesia, tak terkecuali di kota Medan para pimpinan Partai Politik (Parpol) menandai dimulainya massa kampanye dengan deklarasi damai dan konvoi bersama. Dari tahapan Pemilu yang terjadi, masa kampanye adalah salah satu yang paling krusial. Apalagi metode tradisional dengan pengerahan massa masih dianggap paling efektif untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan suara di masing-masing daerah. Oleh karenanya setiap pihak dituntut untuk bersikap dewasa dan menghindari berbagai benturan yang tak perlu terjadi. Konteks komunikasi politik kiranya menarik untuk menjadi pisau pembahasan di tahapan Pemilu ini. Karena memang komunikasi tidak bisa lepas dari kehidupan setiap manusia di dunia, sebab tidak ada seorang manusia pun yang bisa hidup tanpa berkomunikasi dengan mahluk lainnya. Para pakar membagi komunikasi pada tiga level konseptual komunikasi yakni, pertama, level observasi. Dengan level ini maka komunikasi adalah proses yang menghubungkan satu sama lain bagian-bagian terpisah 87 Wahid, Umaimah, Komunikasi Politik; Teori, Konsep, Dan Aplikasi Pada Era Media Baru (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, Cetakan II Maret 2018), h.19.


110 dunia kehidupan. Jadi hidup ini disusun dari bagian-bagian kecil yang saling berhubungan antara satu sama lain. Kedua, level kesengajaan. Bahwa komunikasi sebagai situasi yang memungkinkan suatu sumber menstranmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Bahwa kebutuhan alamiah dalam diri setiap mahluk untuk berkomunikasi telah menumbuhkan kesadaran-kesadaran dalam banyak hal. Ketiga, level penilaian. Dalam setiap proses komunikasi yang berlangsung maka akan selalu terjadi pertukaran gagasan dan pikiran-pikiran. Ini menyiratkan suatu dinamika yang berlangsung selama proses komunikasi itu terjadi. Bahwa komunikasi yang terjadi tidak akan lepas dari penciptaan makna-makna baru yang lebih sesuai. Maka ketika berbicara tentang komunikasi politik, setidaknya melingkupi ketiga makna di atas, bahwa hubungan antara satu elemen dengan elemen lainnya yang menandai terciptanya suatu rangkaian politik yang saling menyambung; tumbuhnya kesadaran-kesadaran baru dalam politik; dan munculnya gagasan-gagasan baru dan makna-makna yang lebih sesuai dengan konteks masa saat komunikasi itu berlangsung. Komunikasi politik yang gagal adalah komunikasi yang tidak memunculkan ketiga level di atas, atau salah satunya saja. Komunikasi politik yang oleh Denis McQuail (1992) disebut sebagai seluruh proses penyampaian informasi, termasuk fakta, pendapat, keyakinan dan seterusnya, pertukaran dan pencarian tentang itu semua yang dilakukan oleh para partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih bersifat melembaga. Sifat yang melembaga inilah yang menjadi salah satu ciri khas komunikasi politik—bahwa sebuah komunikasi politik yang berhasil akan berdampak secara kelembagaan. Maka ketika kampanye digelar untuk mengajak orang memilih atau menjadi pendukung suatu partai politik, secara langsung atau tidak langsung akan memiliki konsekuensi logis bagi partai politik sebagai lembaga. Kita memahami bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui channel tertentu untuk menimbulkan efek


111 tertentu. Maka kelima unsur komunikasi (komunikator, pesan, komunikan, channel, dan efek) diperhatikan dengan baik dan seksama. Komunikator; Merupakan pihak yang menyampaikan pesan. Komunikator yang baik adalah orang yang mengenali komunikannya secara baik pula, dan merancang pesan yang akan disampaikannya sesuai dengan karakter komunikannya. Dengan begitu efek yang diharapkan akan didapatkan. Sebaliknya jika seorang komunikator tidak menyesuaikan pesan yang disampaikannya dengan karakteristik komunikannya, maka ia akan menjauh dari kesan yang diinginkannya. Pesan; Komunikasi politik dilakukan, sebenarnya agar pesan yang akan dihantarkan bisa disampaikan dengan baik kepada tujuan yang tepat. Dan dalam perhelatan sebesar Pemilu yang besifat inklusif, maka pesan tersebut harus mengandung kepentingan publik atau masyarakat yang luas, meskipun tetap harus memiliki ciri kekhususannya. Komunikator; Komunikator politk mestilah orang atau kelompok yang memang dipersiapkan sebagai pihak menyampai pesan. Artinya segala keterbukaan orang lain dalam menerima pesan yang disampaikannya harus benar-benar sudah dipersiapkan dalam diri orang atau kelompok tersebut. Tidak ada yang bersifat instan. Komunikan; Adalah sasaran yang akan menerima pesan-pesan komunikasi politik. Karakter komunikan dan segala situasi kondisi juga konteks yang melingkupinya baiknya dipahami untuk suksesnya proses komunikasi politik yang berlangsung. Pada umumnya, komunikasi politik yang terjadi di dalam Pemilu tidak luput dari beberapa aspek seperti nilai-nilai ekonomi, filsafat, pendidikan, ideologi, sejarah, budaya dan lainnya. Semua nilai-ini akan berbeda di setiap daerahnya sehingga suatu komunikasi politik harus memikirkan semua aspek tersebut agar pesan yang akan di sampaikan bisa diterima dengan baik. Channel; Pilihan channel yang menjadi saluran penyampai pesan adalah sesuatu yang penting. Karena kesalahan dalam memilih channel bisa juga berarti kesalahan


112 dalam proses komunikasi politik. Saluran dalam komunikasi cukup banyak jenisnya seperti sekolah, media massa, institusi tertentu dan lain sebagainya. Efek; Efek yang diharapkan adalah tujuan dari komunikasi politik. Efek yang sampai pada konatif atau menggerakkan komunikan biasanya menjadi tujuan akhir dari setiap kampanye politik yang dilancarkan. Maka untuk bisa sampai ke tahap ini, setiap komunikasi politik harus memerhatikan rangkaian kelima unsur komunikasi yang ada. Satu hal yang penting dalam proses komunikasi politik adalah perencanaan yang bersifat inheren dalam proses itu sendiri. Kelemahan yang sering terjadi dalam proses komunikasi politik adalah pada perencanaannya. Ini sebabnya efek yang ditimbulkan seringkali yang bersifat tak terduga. Pemberantasan Korupsi Perspektif Komunikasi Ada yang menarik dalam persidangan terdakwa suap di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini, Senin, 24 Februari 2014. Dalam sidang itu, pengadilan menghadirkan Ketua Komisi Energi DPR Sutan Bhatoegana yang disebut-sebut menerima tunjangan hari raya (THR) dari Rudi Rubiandini. Bhatoegana membantah bahwa ia pernah meminta Anggota Komisi Energi Tri Yulianto untuk bertemu Rudi, ataupun pernah meminta uang THR kepada Rudi. Mendengar itu, Rudi mengingatkan Bhatoegana soal sindiran politikus Demokrat tersebut perihal kebiasaan pemberian THR dari BP Migas. "Apa saudara ingat pernah menyindir terdakwa atau saya untuk mengingatkan terdakwa atau saya biasanya ada bantuan THR dari BP Migas untuk anggota Komisi VII DPR (Komisi Energi) saat di hotel Crown yaitu pada saat buka puasa bersama dengan Komisi VII pada Juli 2013?," kata Rudi. Bhatoegana menampik. Menurut dia, waktu bertemu di Hotel Crown ia hanya mengingatkan Rudi untuk berkomunikasi dengan baik dengan politikus yang berasal dari partai selain Demokrat. Tapi Rudi tak puas dengan jawaban itu dan kembali mengulang pertanyaannya. "Pak hakim saya ulangi lagi pertanyaannya,


113 apakah saudara ingat pernah menyindir terdakwa untuk mengingatkan biasanya ada bantuan THR?" Sutan Bhatoegana kembali membantahnya. "Tidak," katanya. Dari fakta persidangan di atas, ada banyak kemungkinan kejadian yang sebenarnya, termasuk soal apakah uang dimaksud sampai ke tangan Bhatoegana atau tidak. Namun jika-lah benar Bhatoegana tidak pernah meminta THR, dan jika benar pula Rudi pernah merasa disindir oleh Bhatoegana soal THR, maka akan muncul bias komunikasi di antara keduanya. Apa yang terjadi jika benar bahwa Bhatoegana tidak bermaksud meminta THR, sementara Rudi memang merasa sedang dimintai THR melalui sindiran? Kedua orang ini memiliki latar belakang berbeda dengan stereotipe yang berbeda pula. Jika Bhatoegana berasal dari Sumatera yang terbiasa berbicara langsung dan terbuka, maka Rudi lahir dan besar di Jawa yang lebih terbiasa dengan penyampaian maksud melalui simbol-simbol. Jika keduanya bertindak berdasarkan stereotipe-nya tersebut, maka secara nyata terjadi pemaknaan yang berbeda dari pesan komunikasi yang disampaikan di antara keduanya. Ada ketidaksinkronan antara pesan yang disampaikan komunikator dengan kesan yang diterima komunikan. Pada gilirannya kondisi ini akan menimbulkan pemaknaan yang saling berbenturan satu sama lain. Atau dalam skema tujuan pesan disampaikan, tidak mencapai efek yang diinginkan. Pola ketidaksinkronan komunikasi antara Bhatoegana-Rudi di atas sejatinya juga terjadi dalam pola penanganan pemberantasan korupsi oleh pemerintah. Di satu sisi pemerintah dengan rajin mengumumkan hajat perang terhadap korupsi, tetapi di sisi lain lingkaran korupsi itu merasuk ke dalam tubuh pemerintah, bahkan legislatif dan yudikatif. Jika merujuk kasus Rudi Rubiandini, Akil Mochtar, kasus Hambalang, Century, dan lainnya, maka dengan sangat jelas jaringan korupsi itu yang menggurita ke berbagai sendi. Seperti halnya pola jaringan komunikasi yang dibangun Everett M.Rogers yang menghubungkan di antara individu yang memiliki hajat yang sama. Atau dalam perspektif cognitive dissonance (disonansi kognitif) yang terjadi bilamana muncul ketidakseimbangan antara apa yang diinginkan dengan cara, dan capaian yang terjadi.


114 Griffin (2012) merumuskan cognitive dissonance is the distressing mental state caused by inconsistency between a person’s two beliefs or a belief and an action. Teori ini dikisahkan dengan ilustrasi seekor rusa yang ingin memetik buah ranum dari sebatang pohon. Namun karena merasa tidak dapat mencapainya ia menyerah dan membuat persepsi untuk dirinya sendiri dengan menganggap bahwa buah itu tidak enak dan berulat hingga dia tidak menyukainya. Persepsi yang belum tentu kebenarannya, namun ditimbulkanya untuk menghibur dirinya sendiri agar tidak terlalu kecewa dengan hasil yang didapatnya. Jadi, ada bias antara keinginan, cara dan hasil/capaian. Penanganan kasus korupsi juga memiliki pola yang sama. Ketika bangsa ini telah berikrar untuk melakukan pemberantasan korupsi, maka ketika sebagian upaya itu telah dilakukan, ia bertemu dengan kesulitan-kesulitan—yang pada akhirnya mengubah pola pemberantasan yang dilakukan. Selanjutnya akan muncul pembenaran-pembenaran yang dilakukan untuk menghibur diri sendiri, atas kekecewaan ketidakmampuan kita dalam memberantas korupsi. Dalam stadium lanjut, pembenaran-pembenaran yang dilakukan ini akan membawa bangsa ini pada suatu titik di mana menjadi kabur antara pemberantasan korupsi dengan supremasi hukum dengan kepentingan politik yang ada di sekitaranya. Dengan kata lain kita akan sampai pada titik tidak lagi bisa membedakan mana benar dan mana salah. Kemungkinan munculnya berbagai pola penanganan kasus korupsi dengan bias antara komitmen dengan cara yang dilakukan akan terus terjadi. Kita memerlukan semacam efek kejut untuk menetralisir pola seperti ini bersemayam di alam bawah sadar bangsa ini. Bahwa kesenjangan antara keinginan dengan cara akan menghasilkan capaian yang sudah tentu tidak sesuai keinginan. Efek kejut yang dimaksud adalah pengungkapan secara nyata kasus-kasus besar (bukan yang agak besar) meski ia meliputi nama-nama besar. Karena hanya dengan demikian upaya pemberantasan korupsi tidak terjebak dalam pembenaran atas ketidaksinkronan dan bisa mengalir sesuai arah yang sebenarnya.


115 Perppu Dan Komunikasi Istana Pasca penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013, para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) langsung merespons. Terhadap Perppu tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, atau yang sering disebut Perpu Penyelamatan MK ini, pihak MK justru ingin meminta penjelasan dari presiden. Bahkan Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva kepada wartawan mengatakan kalau Perppu ini berpotensi untuk dilakukan judicial review—meski dengan nada politis Hamdan mengatakan pihaknya tidak memiliki rencana melakukan judicial review Perppu tersebut. Perkembangan selanjutnya, mungkin saja MK akan menerima Perppu tersebut setelah bertemu presiden dan semuanya berjalan sebagaimana lazimnya. Tetapi bisa juga saat itu terjadi “penolakkan” terhadap Perppu ini dan MK justru mengoreksinya melalui jalur Judicial Review oleh hakim-hakim MK sendiri. Bagian dari tulisan ini tidak membahas tentang substansi Perppu. Biarlah para ahli hukum tata negara yang mengulasnya lebih jauh. Tulisan ini hanya melihat dari sudut pandang komunikasi politik yang dilakukan pihak istana dalam persoalan yang menimpa MK. Masalah ini akan coba dielaborasikan dengan statement-statement Presiden SBY dalam masalah sebelumnya dan dampak yang mungkin disebabkannya. Dari dua skenario yang disinggung di atas tentunya pilihan pertama adalah pilihan yang paling tidak berisiko dari sudut pandang komunikasi politik istana. Namun berbeda halnya jika yang terjadi adalah skenario kedua, yakni Perppu yang dikeluarkan Presiden justru dikoreksi. Apa yang terjadi kemudian dapat disimpulkan ketidaksinkronan lembaga negara dalam mengelola negara ini atau ketidakpatuhan lembaga negara terhadap istana. Ini tentunya masalah serius karena akan berdampak banyak hal. Presiden dengan para staf-nya tentu saja sudah memikirkan berbagai dampak yang terjadi dan keabsahan Perppu yang dikeluarkan tersebut. Karena memang keputusan


116 mengeluarkan Perppu sepenuhnya menjadi kewenangan Presiden sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 22. Komunikasi Politik Istana Mantan pejabat komunikasi kepresidenan AS, Marguerite Sullivan mengatakan semua tindakan dan pernyataan presiden kepada publik dapat dikategorikan sebagai komunikasi politik. Dalam konteks pemerintahan Presiden SBY ini, masalah jadi lebih serius karena komunikasi politik istana menyangkut Perppu ini telah dimulai dengan komunikasi politik lainnya dengan sangat buruk. Sebut saja tentang statement Presiden SBY di depan publik yang mengomentari jalannya persidangan di Pengadilan Tipikor, Kamis 10 Oktober 2013. Waktu itu Presiden SBY yang baru saja tiba di tanah air dari Brunei Darussalam dengan nada tinggi menuding mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq telah berbohong terkait keberadaan Bunda Putri. Pada saat itu SBY berjanji akan membongkar kebenaran yang sesungguhnya dan memaparkan kepada publik tentang keberadaan Bunda Putri. Pernyataan SBY tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh juru bicara Julian A.Pasha pada keesokkan harinya dengan mengatakan akan mengumumkan soal Bunda Putri dalam 1-2 hari. Namun pada tanggal 12 Oktober 2013, Julian kembali berbicara di depan wartawan justru mengatakan pembatalan pengumuman soal Bunda Putri. Komunikasi politik istana seperti ini tentunya semakin menguatkan dugaan publik tentang peran Bunda Putri atau malah “keterlibatan” SBY sendiri dalam soal makelar politik di istana. Lebih dari itu masalah ini akan menumpukkan kekecewaan publik terhadap presiden. Seperti diketahui, dalam pernyataan-pernyataannya, Presiden SBY memang sering terlibat langsung mengomentari persoalan-persoalan non kenegaraan. Dari mulai persoalan penculikan anak, sampai persoalan pribadinya sendiri. Sebaliknya persoalan urgen negara dalam kasus yang banyak mendapat sorotan seperti kasus Hambalang, ataupun Centrury justru tidak keluar langsung dari pernyataan


117 presiden. Hal-hal seperti ini yang tampaknya sering luput dalam komunikasi politik istana. Akibatnya terjadi kesenjangan anggapan publik di masa sebelum dan sesudah kampanye. Sebelum masa kampanya SBY cukup banyak mendapat pujian dan karenanya menjadi tumpuan harapan publik. Namun belakangan SBY lebih sering menuai kekecewaan publik atas apa yang telah dilakukannya, terutama ketika ia menghadapi berbagai konflik dan kritik. Perubahan persepsi masyarakat itu terjadi semakin ke ujung masa pemerintahannya, sepertinya semakin memburuk. Menurut Roderick Hart, seorang presiden sesungguhnya memerintah melalui komunikasi, dan komunikasi presiden itu merupakan the sound of leadership. Sedangkan komunikasi politik dapat dipahami sebagai segala aktivitas dalam proses transaksi makna berupa simbol-simbol, beserta segala akibatnya dalam kehidupan manusia yang sarat perbedaan kebutuhan dan kepentingan, dengan tujuan untuk saling mempengaruhi, mengatur, mengontrol dan menguasai. SBY sendiri sebenarnya memiliki prior ethos yang baik sebagai seorang komunikator. Prior ethos sendiri adalah faktor yang mempengaruhi persepsi khalayak terhadap sSBY sebagai komunikator. Pengetahuan publik menyimpulkan kalau SBY dianggap mumpuni sebelum menjabat pemimpin negara dan pemerintahan. Namun, setelah terpilih sebagai presiden, prior ethos seperti berguguran seiring berjalannya waktu. Hal tersebut bisa terjadi antara lain karena perilaku komunikasi yang tidak tepat dan tidak efektif. Misalnya komunikasi tanpa empati terhadap masalah rakyat; soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL); tidak tanggap pada situasi darurat seperti masalah lumpur Lapindo; kurang tepat mengambil prioritas seperti mengomentari hal-hal yang bukan merupakan urusan kenegaraan seperti soal kehadiran klub Manchester United, juga termasuk komentar soal sidang di pengadilan Tipikor seperti di singgung di atas. Sesungguhnya setiap gerak komunikasi Presiden memiliki dampak yang luas, apalagi disampaikan dengan disertai dengan emosi yang tinggi. Hal-hal seperti ini adalah catatan buruk yang membuat wibawa istana semakin tergerus pelan-pelan. Respons


118 terhadap keputusan mengeluarkan Perppu MK adalah salah satu indikator saja bahwa wibawa istana yang merosot itu akan berdampak penolakkan secara terbuka terhadap putusan-putusannya. Pesan Komunikasi Kebijakan Pemerintah Tepat 20 Januari 2015 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) genap tiga bulan menjabat sebagai presiden. Dalam rentang waktu yang tergolong singkat tersebut Jokowi telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang terkait secara langsung ataupun tidak langsung kepada masyarakat luas. Jika mendeskripsikan pesan yang muncul dari kebijakan Jokowi selama masa tiga bulan itu dilihat dari sudut pandang komunikasi— kebijakan tersebut adalah menyangkut harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dan penetapan calon Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri). Kurang dari sebulan setelah dilantik, tepatnya pada tanggal 17 November 2014, Jokowi mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM. Kebijakan yang mulai berlaku pada 18 November 2014 ini banyak mengundang kontroversi. Bukan saja karena kenaikan harga BBM banyak ditolak berbagai kalangan, tapi kebijakan ini juga dianggap tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ditambah lagi, pada saat kenaikan harga BBM tersebut, harga minyak dunia justru sedang turun atau berada di bawah asumsi harga minyak di APBN. Karena APBN mengasumsikan harga 105 Dollar AS per barel, sedangkan harga minyak turun di kisaran 75 dolar AS per barel. Namun meski mendapat banyak celaan dan penolakkan, Jokowi tetap kukuh dengan keputusannya menaikkan harga BBM. Sampai di sini, pesan komunikasi yang sedang disampaikan Jokowi sebenarnya cukup kuat, bahwa dia adalah seorang pemimpin kuat yang dapat melakukan sesuatu yang dianggapnya baik dan benar. Walaupun pihak lain menilainya berbeda, tetapi keyakinan Jokowi sebagai seorang pemimpin yang sudah semestinya memiliki pandangan dan pertimbangan yang lebih jauh dan luas harus mendapatkan apresiasi. Memang ada konsekuensi dari kebijakannya


119 tersebut, seperti celaan rakyat dan para stakeholders pembangunan—karena harga Sembako ikut melambung tinggi—itu adalah bagian dari resiko seorang pemimpin nasional. Maka tugas selanjutnya adalah membuktikan keyakinan tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat. Tapi jalan ceritanya tidak seperti itu, karena pemerintahan Jokowi dalam selang waktu yang tidak lama kemudian malah menurunkan kembali harga BBM hingga dua kali. Jika dibanding harga sebelum kenaikan (terjadi perbedaan di beberapa wilayah), harga BBM, seperti premium tercatat naik “hanya” Rp100. Namun kebijakan ini tidak serta merta menurukan harga Sembako yang sudah duluan naik. Kebijakan Jokowi kedua menyangkut penetapan BG sebagai calon Kapolri tunggal. Meski masa jabatan Kapolri sebelumnya yakni Jenderal Pol.Sutarman belum habis, Jokowi (karena alasan tertentu) hendak menggantinya dengan BG. Tapi malang, sehari setelah ditetapkan sebagai calon tunggal Kapolri, BG malah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski DPR kemudian menyatakan BG lolos fit and proper test namun Jokowi kemudian menunda pelantikkan BG sebagai Kapolri dan mengangkat Badrodin Haiti sebagai Plt.Kapolri. Sikap tegas Jokowi mencalonkan BG meski pernah diwarning sebagai perwira tinggi Polri yang punya rekening “gendut” adalah hal yang pantas diapresiasi. Karena, sekali lagi, sebagai seorang pemimpin nasional, sudah selayaknya Jokowi memiliki pertimbangan lebih matang dan lebih baik ketimbang pihak lain. Pastinya ada sesuatu yang diketahui Jokowi dan tidak diketahui pihak lain dari keputusan yang diambilnya itu. Namun lagi-lagi, apresiasi tersebut terpaksa harus ditarik kembali karena Jokowi pula menarik kembali keputusannya. Dia menunda pelantikkan BG sebagai Kapolri. Padahal sebelumnya dia begitu yakin dengan mencalontunggalkannya sebagai Kapolri tanpa berkonsultasi dengan KPK ataupun PPATK. Tapi kini justru keputusan KPK yang menetapkan status tersangka kepada BG pula yang membuat langkah Jokowi surut.


120 Kegamangan Dalam Komunikasi Untuk menjelaskan karakteristik pertemuan antarbudaya dalam level tinggi, William B Gudykunts membentangkan Anxiety Uncertainty Management Theory. Bahwa ada kecenderungan ragu-ragu dan diliputi kegelisahan, khususnya dalam konteks “budaya tinggi”. Oleh karenanya komunikasi dan pesan yang disampaikan harus dipastikan dan diefektifkan di dalam diri komunikator. Mengefektifkan komunikasi memungkinkan kemampuan mengelola kegelisahan dan mereduksi ketidakpastian dalam diri kita sendiri dan pihak yang terlibat dalam komunikasi. Sedangkan Stella Ting Toomey dengan Face Negotiation Theory-nya mengasumsikan bahwa anggota budaya kolektif yang memiliki budaya high contex (budaya tinggi) memunyai perhatian dalam menghadapi termasuk mengelola konflik dengan orang lain dengan jalan menghindari, menuruti atau kompromi. Karenanya asumsi selanjutnya dari teori ini adalah bahwa dalam mencermati kemandirian dan otonomi dari individual dengan low-context culture (budaya rendah) cenderung menenej konflik dengan pemecahan masalah. Sepertinya Presiden Jokowi sangat sadar untuk meneruskan komitmen pemberantasan korupsi seperti yang sebelumnya telah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono (SBY). Hal ini menjadi perhatian utama Jokowi ketika menyusun para menteri kabinet dengan mengonsultasikannya kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Beberapa nama kemudian mendapat catatan dari lembaga-lembaga tersebut yang membuat Jokowi harus “mengocok ulang” nama para calon menterinya. Hal inilah yang menjadi penyebab pengumuman kabinet jadi molor dari jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya—karena Jokowi ingin memastikan para menteri yang akan membantu kerjanya sebagai kepala negara adalah orang yang bersih dari jejak kasus korupsi. Setidaknya inilah pesan yang ingin disampaikan dalam proses penyusunan kabinet pemerintahan Jokowi-JK. Tentu saja hal ini juga menjadi perhatian besar pada umumnya rakyat Indonesia. Karena masalah korupsi sejak lama telah menjadi persoalan


121 krusial yang memengaruhi sistem pemerintahan dan laju pembangunan sehingga tidak berlangsung secara efektif. Karenanya semua elemen masyarakat Indonesia sudah sepantasnya mendukung apa yang dilakukan Jokowi untuk memastikan “kebersihan” para menteri yang akan membantu kerjanya di pemerintahan. Dengan para personil yang bersih dari korupsi tentunya akan bisa lebih efektif untuk melakukan banyak hal bermanfaat bagi bangsa ini. Namun dari perspektif komunikasi, pola yang diterapkan Jokowi ini sangat kental nuansa politisnya ketimbang nilai-nilai idealnya. Ada beberapa hal yang menjadi indikasi kesimpulan tersebut. 1. Pertama, “konsultasi” presiden terpilih dengan KPK dan PPATK dalam menyusun kabinetnya tidak disyaratkan oleh Undang-undang. Sehingga dengan demikian Jokowi sebenarnya bisa saja langsung menetapkan para menterinya karena hal tersebut memang merupakan hak prerogatif presiden terpilih. Hal seperti ini bisa dilakukan oleh Jokowi kalau memang berniat menyusun kabinetnya secara senyap dan minim dari hiruk pikuk kepentingan yang tarik menarik. Orang-orang yang diyakini bersih, bisa langsung ditetapkan sebagai menteri tanpa ada pihak yang bisa mengganggugugatnya secara konstitusional. 2. Kedua, “konsultasi” yang sifatnya terbuka dan tersiarkan secara massif melalui media massa tersebut tentunya karena ada tujuan lain selain memastikan kebersihan rekam jejak para menteri. Tujuan tersebut tidak lain adalah efek komunikasi massa yang dilancarkannya berupa kesan baik yang sering disebut dengan pencitraan. Jokowi sebenarnya bisa saja memanggil secara diam-diam Ketua KPK dan PPATK untuk tujuan “konsultasi” nama-nama calon menterinya. Jika diberi tanda merah oleh kedua lembaga tersebut, Jokowi bisa saja langsung menggantinya dengan nama lain. Namun yang terjadi adalah pemberitaan yang massif atas


122 langkah Jokowi memastikan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Maka tak pelak kemudian, proses penetapan menteri kabinet ini lantas menjadi bola liar, atau isu segar yang disantap berbagai kalangan dengan beragam penafsirannya. 3. Ketiga, sebagai tokoh yang didukung oleh partai politik untuk menduduki jabatan presiden, tentunya Jokowi mendapat “permintaan”, kalau tak mau disebut tekanan atas nama-nama yang akan jadi menteri. Tarik menarik kepentingan ini menjadi dilema bagi Jokowi ketika harus menyetujui ataupun menolaknya. Jika menerima orang yang memiliki rekam jejak kurang bagus, akan berkonsekuensi pada citra pemerintahannya kelak—di samping dia secara pribadi kemungkinan juga tidak menginginkan nama yang diajukan partai politik. Sedangkan untuk secara terus terang menolak, juga ada kosekuensinya tersendiri, yakni bisa menjadi penghambat komunikasi politiknya dengan partai koalisi pendukung. Dengan berdasarkan pada rekomendasi dari KPK dan PPATK, Jokowi bisa menolak nama-nama yang dicalonkan partai politik yang tidak kuasa ditolaknya secara langsung. Karena ketika kedua lembaga ini memberi catatan negatif terhadap namanama yang diajukan, maka dengan sendirinya Jokowi punya alasan kuat untuk menolak atas nama komitmen pemberantasan korupsi dan komitmen membangun kabinet yang bersih sepeti kesan yang selama ini disampaikan ke publik. Secara substansial, yang menjadi titik sentral isu mengenai penetapan menteri kabinet Jokowi-JK ini adalah komitmen pemberantasan korupsi. Komitmen tersebut dimulai dengan menetapkan menteri-menteri yang jauh dari permasalahan hukum, atau tersangkut korupsi. Sedangkan masalah ikutan dari substansi ini adalah tari kenarik kepentingan dan soal citra positif pemerintahan di mata masyarakat. Seluruh rakyat tentunya mendukung komitmen pemberantasan korupsi tersebut. Namun yang kita


123 khawatirkan adalah hilangnya substansi komitmen pemberantasan korupsi itu sendiri karena tertutupi oleh kepentingan praktis dan kepentingan pencitraan yang semakin melibat pemerintahan baru ini. Debat Pilpres; Tinjauan Komunikasi Debat calon presiden dan calon wakil presiden (Capres/Cawapres) yang telah berlangsung pada Pilpres 2014 telah menjadi trending topics di berbagai media sosial, tak terkecuali di diskusi jalanan. Berbagai strategi kampanye yang dijalankan seolah bermuara pada penampilan debat kedua pasangan kandidat yang disiarkan secara langsung stasiun televisi. Meski belum diketahui adanya penelitian tentang ini, namun dari beberapa diskusi, orang-orang yang tadinya memilih sikap untuk tidak memilih, ada yang memutuskan untuk berpihak pada salah satu pasangan kandidat. Di bagian lain ada juga yang tadinya berpihak di satu pasangan kadidat, malah berganti memihak ke pasangan kandidat lainnya. Ini menunjukkan betapa debat kandidat Capres/Cawapres ini memiliki pengaruh yang kuat untuk mengubah perilaku khalayak. Maka menjadi menarik kemudian untuk menelisik lebih dalam materi debat ataupun faktor non materi yang disampaikan dalam debat oleh masing-masing pasangan kandidat. Tulisan ini berupaya memberikan gambaran dari sudut pandang komunikasi tentang gambaran debat yang telah ditayangkan televisi. Devito (1997) membentangkan efektivitas komunikasi interpersonal dipengaruhi lima hal yakni keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). Jika kelima hal ini dimiliki oleh seorang komunikator maka pesan yang disampaikannya akan bersifat efektif sampai kepada komunikan. Sedangkan Kelman (1975) mengatakan bahwa komunikasi berlangsungnya komunikasi efektif jika komunikan mengalami internalisasi, (internalization), identifikasi-diri (self identification) dan ketundukan (compliance). Ketiga hal


124 ini harus menjadi pertimbangan dalam melancarkan komunikasi agar pesan yang diterima menimbulkan efek yang diinginkan. Seberapa penting efek komunikasi yang ditimbulkan adalah sangat bergantung dari konteks yang tengah berlangsung. Dalam kaitan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) sekarang ini, kita bisa menilai seberapa jauh efek itu terjadi. Masing-masing kubu mengharapkan terjadinya efek konatif yakni perubahan sikap dan perilaku hingga menggerakkan khalayak untuk berpihak dan memilih salah satu pasangan kandidat yang tengah bertarung menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Efek komunikasi yang diharapkan ini, secara langsung juga terhubung dengan aspek verbal dan non verbal yang disampaikan para komunikator—yang dalam hal ini adalah para kandidat. Seorang guru besar Emeritus UCLA Albert Mehrabian menekankan pentingnya hubungan antara pesan verbal dan non-verbal. Dia menemukan hubungan yang saling mengikat antara faktor verbal dan non verbal dalam komunikasi. Bahwa efektivitas komunikasi tidak hanya ditentukan oleh apa yang disampaikan, tetapi ditentukan juga dari cara menyampaikannya. Albert merumuskan apa yang disampaikan (what we say) adalah faktor yang berpengaruh 7 persen, di banding dengan bagaimana cara menyampaikannya (how we say it) yang mencapai 38 persen. Sedangkan faktor bahasa tubuh (body language) ketika menyampaikan pesan menempati posisi 55 persen. Dengan kata lain, dia ingin menyampaikan bahwa pesan komunikasi yang dibuat dengan baik namun disampaikan dengan cara tidak baik akan berdampak buruk bagi si penyampai pesan atau tidak akan mencapai efek yang diinginkan. Pesan yang disampaikan yang tidak didukung faktor non verbal ini malah bisa menjadi kontraprodkutif dengan apa yang menjadi tujuan penyampaian pesan. Lantas bagaimana perilaku berkomunikasi itu berlangsung? Dalam hubungan ini perilaku seseorang terhadap orang lain dapat dikelompokkan menjadi perilaku submisif, perilaku agresif dan perilaku asertif (Depdiknas, 2008). Komunikasi agresif cenderung terbuka, namun kurang presisi; memaksakan kehendak; menyerang dan menyalahkan


125 untuk menjatuhkan lawan bicara; diliputi ketegangan, cemas. Sedangkan komunikasi submisif memiliki kecenderungan menerima pandangan, lawan bicara, cenderung memenangkan perasaan orang lain dari perasaannya sendiri. Sementara perilaku komunikasi asertif adalah perilaku yang singkat, jelas, terbuka, jujur. Tidak saja mempertimbangkan dan memerhatikan, serta menghargai orang lain, tetapi juga menghargai perasaan diri sendiri. Tegas adalah ciri utama orang yang berperilaku komunikasi asertif ini. Dari uraian di atas bisa dinilai siapa yang memiliki kecenderungan perilaku komunikasi. Kecenderungan tersebut akan menimbulkan efek sampai mengubah perilaku khalayak atas pandangan, pendapat dan pilihannya. Dalam debat yang telah berlangsung, jika menghitung faktor “serangan” yang dilancarkan, maka pasangan Jokowi-Jusuf Kalla lebih banyak dibanding pasangan Prabowo-Hatta. Sebaliknya malah pasangan nomor 1 cenderung memberi penghargaan kepada lawan bicaranya atas apa yang telah disampaikan. Tentu saja beragam pandangan dan pendapat yang disampaikan oleh masing-masing pihak baik yang mendukung atapun yang kontra terhadap kedua pasangan kandidat. Namun ilmu komunikasi telah sejak lama merumuskan bahwa pihak yang cenderung menyerang dan menjatuhkan lawan bicaranya adalah pihak yang tidak memiliki kesesuaian antara faktor verbal—tentu saja bernada positif bagi pembangunan bangsa—dengan faktor non verbal berupa perilaku agresif menyerang yang cenderung negatif. Sebaliknya pihak yang cenderung memberi penghargaan terhadap lawan bicara dan bersikap secara jelas adalah perilaku komunikasi asertif. Ini adalah perilaku yang memiliki korelasi dengan kesesuaian antara faktor verbal dan non verbal dalam berkomunikasi. Komunikasi Politik Umat Islam Sebagai negara dengan penduduk umat Muslim terbesar di dunia, tentu saja kekuatan politik Islam di Indonesia tidak bisa dinafikan. Negeri ini bahkan berpotensi menjadi poros kekuatan politik Islami dunia. Namun kondisi itu hanya bisa terjadi


126 apabila terjadinya kesatuan dan persatuan umat Islam seperti dalam pesta demokrasi Pemilu yang akan datang. Tapi sepertinya, sejarah telah mengabarkan bahwa persatuan umat Islam bukanlah hal yang mudah. Ada terlalu banyak faktor internal dan eksternal yang menjadi penyebab sulitnya persatuan itu terwujud. Karena jika persatuan dan kesatuan itu terjadi maka akan ada konsekuensi logis bagi Indonesia dan bagi negerinegeri lain yang keberadaannya tidak bisa diabaikan dengan kehadiran Indonesia sebagai salah satu bangsa di dunia. Secara singkat, persoalan internal yang menjadi tembok penghalang terwujudnya persatuan dan kesatuan umat Islam adalah ragam perbedaan yang ada di tubuh umat Islam itu sendiri. Dari mulai ragam organisasi, mahzab, pemahaman, sampai ragam pemahaman politik. Pada satu sisi, keragaman tersebut terbentuk atas dasar dinamika yang alamiah saja. Tetapi tidak sedikit yang ditumbuhkan berdasarkan pengaruh pihakpihak tertentu yang melakukan intervensi atas pertumbuhan politik umat Islam. Jadi faktor yang sebetulnya internal ini juga sama sekali tak terlepas dari persoalan eksternal. Sedangkan secara eksternal, sulit persatuan dan kesatuan umat Islam baik dalam satu wadah maupun dalam satu ide yang aplikatif adalah pengaruh konstalasi perkembangan dunia. Kenyataannya, dalam kehidupan seperti sekarang ini, perkembangan suatu negara akan memengaruhi negara lain. Oleh karenanya pergulatan kepentingan di antara negara-negara adalah sebuah keniscayaan. Apa yang terjadi di Indonesia, misalnya, tidak terlepas dari kepentingan Amerika sebagai negara besar. Dan sebaliknya apa yang terjadi di Amerika akan berdampak pada kondisi Indonesia. Sehingga dalam kehidupan global maka segala sesuatunya berjalan sesuatu mekanisme yang seringkali merupakan bagian dari desain tertentu. Faktor lain adalah adanya “pertarungan” antara kalangan umat Islam dengan kelompok sekulerliberal. Secara kasat mata, perlawanan kelompok sekuler-liberal ini dapat dilihat dari kasus Mesir sekarang ini. Setelah sekian lama rezim sekuler-liberal yang dipimpin Hosni Mubarak akhirnya runtuh sehingga Mesir sampai pada masa demokrasi yang lebih nyata.


127 Dalam pemilihan umum yang diselenggarakan, kenyataannya kalangan umat Islam yang diwakili Ikhwanul Muslimin menjadi pemenang dan segera Muhammad Moursi menjadi presiden yang mewakili umat Islam. Tapi belum genap setahun pemerintahannya, kelompok sekuler-liberal kemudian melakukan manuver politik menggulingkan Moursi—yang disambut militer sisa rezim Hosni Mubarak. Militer yang didukung kelompok sekuler-liberal ini kemudian mengkudeta secara ilegal kekuasaan Moursi dan menahan pemimpin terpilih tersebut tanpa kesalahan. Hingga kini aksi unjukrasa menentang kudeta tersebut dijawab dengan pembantaian hingga ribuan orang meninggal dunia, dan masalah ini masih terus berlangsung saat ini. Peristiwa tersebut secara nyata memberi pelajaran bahwa ada ancaman dari kaum sekuler-liberal atas persatuan dan kemenangan umat Islam. Kelompok ini memiliki kecenderungan untuk menggunakan segala cara agar mencapai tujuannya meskipun hal tersebut menentang prinsip-prinsip demokrasi. Karenanya jika ada pendapat yang menyebutkan untuk mewaspadai kaum sekuler-liberal Indonesia, rasanya hal itu tidak berlebihan. Karena sepanjang kepentingan-kepentingan terakomodir, maka mereka akan cenderung “diam”. Tetapi ketika merasa kepentingannya mulai terusik maka tidak menutup kemungkinan memunculkan kecenderungan untuk menggunakan segala cara. Kondisi seperti itu sangat mungkin dilakukan karena kelompok sekuler-liberal ini didukung oleh kekuatan Barat yang memang selama ini telah menjadi induk semangnya. Meski mengalami penurunan suara di berbagai survei tidak membuat sejumlah ulama pesimistis. Partai berbasis Islam diyakini tetap masih menjadi pilihan umat Islam pada Pemilu 2014 mendatang. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, bila mencapai kemenangan tersebut bukanlah perkara mudah. Partai-partai Islam diharapkan terus membangun komunikasi politik dan memperbaiki citra politik di depan umat. Kian intensif memberi pencerahan kepada umat bahwa politik merupakan bagian dari syariah yang diatur agama juga patut dilakukan. “Islam itu adalah agama dan negara. Jadi tidak


128 perlu diberikan dikotomi antara keduanya. Umat Islam wajib menegakkan keduanya. Pemahaman ini harus disosialisasikan di masjid dan pengajian agar umat tidak alergi terhadap politik,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Kholil Ridwan, dalam keterangannya, Rabu (17/7/2013). Sementara itu, Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Alkhathath menuturkan, kemenangan baru dapat dicapai dengan sikap percaya diri partai Islam terhadap ideologi dan asasnya sendiri. Dia menyayangkan sikap sejumlah Partai Islam yang menurutnya tergiur menarik diri ke 'tengah' hanya demi kepentingan pasar politik di Indonesia. “Saya pernah bilang kalau partai Islam menarik diri ke tengah menjadi moderat maka tidak ada lagi gunanya, bubarkan saja. Partai Islam itu ya ada di kanan. Jangan terbujuk oleh hasil analisis atau survei yang menyebut kemenangan hanya bisa diperoleh dengan cara menarik ideologi ke 'tengah', seperti partai terbuka. Partai Islam harus bangga dengan identitas politiknya,” papar Alkhathath. Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto mengingatkan agar partai Islam mampu membuat diferensiasi dengan partai nasionalis. Dia menyarankan agar partai Islam mampu memberi tawaran tokoh yang bisa merepresentasikan kepentingan publik, khususnya umat Islam. “Diferensiasi perilaku politik di kalangan partai Islam itu sangat penting. Partai Islam dituntut untuk tidak berperilaku elitis dan koruptif. Karena inilah yang menjadi sumbatan komunikasi politik. Perilaku transaksional pun harus dijauhi oleh partai Islam. Dalam sejumlah survei faktanya suara keterpilihan partai Islam diprediksi akan menurun pada 2014, apalagi paska bergulirnya kasus korupsi yang melibatkan elit partai Islam,” terang Gun Gun. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mencatat, pemilih partai Islam telah berkurang secara signifikan. Terhitung sejak 1955 hingga di masa reformasi, pilihan politik terhadap partai Islam mengalami penurunan. Bahkan, kekuatan politik Islam pada Pemilukada selama tahun 2007 menunjukkan kemangan partai Islam tidak lebih dari tujuh persen. "Para pemimpin dan tokoh Islam


129 seharusnya memainkan peran penting dalam melakukan sosialisasi gagasan dan ideologi terhadap masyarakat agar partisipasi politik umat bisa terus meningkat,” ujar peneliti JPPR, Masykurudin Hafidz. Pemilu Dan Public Sphere Tidak lama bangsa Indonesia akan kembali memasuki babak penting dalam sejarah perjalanannya yakni perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan diikuti dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019. Dari tinjauan komunikasi pembangunan, pelaksanaan pemilihan ini tidak lebih hanya berupa wacana pergantian kepemimpinan legislatif dan eksekutif semata jika tanpa adanya tolak ukur kemajuan pembangunan yang sudah semestinya direncanakan. Komunikasi pembangunan dipandang sebagai kajian yang mencakup studi, analisa, promosi, dan evaluasi teknologi komunikasi untuk seluruh sektor pembangunan. Pembangunan dalam hal ini adalah upaya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan yang dalam studi McClelland diasumsikan bahwa motivasi pencapaian adalah terpenting, namun hanya salah satu unsur dari suatu matriks kepribadian yang berpengaruh bagi perkembangan perekonomian. Salah satu capaian terbesar dalam komunikasi adalah ruang publik (public sphere) yang efektif berproses membentuk pemaknaan bersama dalam tata aturan kehidupan. Ruang publik yang berlangsung secara natural akan menciptakan kebutuhan bersama yang pada akhirnya melahirkan output berupa kebijakan-kebijakan publik yang efektif pula. Ruang publik sangat berkaitan dengan komunikasi, yang mana pesan-pesan merupakan content ruang publik itu sendiri. Di masa modern sekarang ini sebanyak lebih 75 persen hidup manusia digunakan untuk saling berkomunikasi. Baik komunikasi tatap muka, maupun komunikasi bermedia. Oleh karenanya tak pelak komunikasi menjadi sesuatu yang penting dalam hidup. Namun kondisi yang terjadi, di ruang publik justru sering digunakan secara tidak sehat sehingga membentuk opini publik tidak sehat pula.


130 Ruang publik penuh interest dan intervensi sehingga tidak lagi natural yang pada gilirannya memunculkan pendapat umum yang tidak natural pula. Jurgen Habermas telah pula menyampaikan pandangannya tentang konsekuensi dari demokrasi di zaman modern, di mana publik cenderung dimanipulasi oleh media untuk membantu pembentukan opini (Curran 1996). Dia mengatakan bahwa model public sphere harus berada pada zona yang netral dimana ruang itu digunakan untuk mengakses informasi yang relevan. Dalam public sphere, perbincangan yang terjadi juga harus bebas dari dominasi dan semua partisipan dalam debat publik harus berada pada basis yang sama. Sedangkan tugas media adalah untuk memberikan fasilitas bagi proses yang berlangsung dengan menyediakan arena publik serta merekonstruksi individu sebagai bagian dari publik yang membentuk opini publik. Ini menjadi penting karena proses pembentukan opini publik sangat terkait erat pada bagaimana memainkan peran di ruang publik. Baik melalui konsep public sphere Habermas maupun konsep manufacturing consent dari Noam Chomsky dan Edward Herman menilik pada propaganda di era media industri yang terjadi sekarang ini. Apa yang dialami bangsa ini adalah penurunan derajat ruang publik sehingga apa yang menjadi konsumsi publik hanyalah produk intervensi dan interest kelompokkelompok kepentingan. Indikatornya adalah informasi yang tidak proporsional menyangkut seseorang atau sekelompok orang. Pihak yang merupakan sasaran intervensi dan interest yang akan dijatuhkan akan menjadi korban fitnah melalui sebaran informasi yang berulang-ulang. Sebaliknya pihak yang ingin didongkratk popularitasnya akan disiarkan secara berulang-ulang dengan frekuensi yang tinggi meski dengan nilai berita yang rendah. Akibatnya akan terbentuk opini publik di tengah-tengah masyarakat secara menyimpang. Ada bias antara pemahaman publik tentang sesuatu dengan kondisi sebenarnya dari pihak tertentu. Masalah ini akan berdampak pada banyak hal yang penting, bahkan bagi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di iklim demokrasi sekarang ini, maka opini publik adalah kekuatan utama pembentuk arah dan


131 kebijakan negara. Maka bisa dibayangkan apabila opini publik yang terbentuk sudah menyimpang sedari lahirnya. Dari sinilah kemudian muncul arti pentingnya berjihad di ruang publik. Penguasaan sumber-sumber informasi yang berpihak pada naturalitas ruang publik menjadi hal yang strategis. Jika jihad dimaknai dengan semangat yang tinggi untuk suatu tujuan tanpa terkutub pada diri seseorang atau kelompok orang—atau dengan kata lain sebagai lahan pengabdian kepada Tuhan Yang Mahakuasa, maka semangat ini perlu dihidupkan di ruang publik. Harus ada orang-orang yang dengan kesadarannya membangun suatu kekuatan informasi dan berjaringan dengan motivasi sebagai penyimbang dominasi intervensi kepentingan kelompok dan individu. Intervensi di ruang publik perlu dilakukan untuk melawan intervensi kelompok-kelompok kepentingan—tentunya dengan cara yang lebih baik dan berwibawa. Dengan begitu ruang publik bisa diisi dengan informasi yang lebih bermanfaat dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Ini adalah persoalan krusial. Karena sejak era keterbukaan media, ruang publik telah menjadi referensi bagi khalayak untuk mengambil keputusan. Rasanya ruang publik tidak akan dapat terselamatkan tanpa mengeksplorasi semangat jihad. Kita bisa membayangkan apabila para stakeholders ruang publik adalah pihak-pihak yang mencari kerdiho-an Allah SWT. Dengan cara bekerja membentuk proses di ruang publik dia berharap rahmat, karunia dan ridho Tuhannya. Maka akan terbentuk suatu tatanan dunia baru yang lebih natural dan berorientasi pada kepentingan bersama. Pesan Komunikasi MCA Sejak ditangkapnya orang-orang yang menamakan dirinya Family of MCA, perdebatan dalam skala nasional semakin memanas. Suhu politik yang memang belum reda sejak Pilpres lalu, terasa terus terjaga dan lestari tingkat suhu panasnya. Pihak kepolisian menyatakan, kelompok Family of MCA ini sering melempar isu yang provokatif di media sosial seperti isu kebangkitan PKI, penculikan ulama, dan


132 penyerangan terhadap nama baik presiden, pemerintah, serta tokoh-tokoh tertentu. Para tersangka disebut sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi Ras dan Etnis (SARA). Polisi pun menjerat mereka dengan pasal 45A ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau pasal Jo pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau pasal 33 UU ITE. Setelah peristiwa ini sempat muncul berita bahwa pemimpin dari kelompok ini merupakan anggota Jasmev (Jokowi Advanced Social Media Volunteers/Jokowi Ahok Social Media Volunteers)—sebuah organisasi yang mengorganisir dunia maya untuk kepentingan kampanye Jokowi dan Ahok. Namun belakangan berita tersebut dibantah oleh media yang menyiarkannya sendiri. Hingar bingar informasi ini kemudian menimbulkan reaksi dari umat Islam, khususnya yang disalurkan melalui media sosial. Karena selama ini yang disebut MCA (bukan Family of MCA) atau Muslim Cyber Army adalah setiap Muslim yang tergerak hatinya membela Islam dan para ulama yang disudutkan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab. Mereka adalah orang-orang yang tidak rela agama yang selama ini diyakininya sebagai jalan kebenaran, dan para ulama panutan, sedemikian rupa telah disudutkan bahkan dinistakan. Jon Riah Ukur alias Jonru Ginting seorang pegiat media sosial yang diadili karena dianggap melanggar hukum, pada 29 Mei 2017 sempat memberi testimoni soal MCA. MCA, katanya, bukan organisasi, bukan lembaga, bukan komunitas, bukan yayasan, bukan perusahaan, bukan partai politik, bukan Ormas. Setiap umat Islam yang tergerak hatinya dan melakukan action untuk berdakwah membela kebenaran di media sosial, maka dia adalah MCA. Artinya MCA yang dimaksud adalah sebuah istilah yang menunjukkan perjuangan umat Islam membela agama dan ulama di dunia maya. Tidak ada struktur


133 juga jaringan formal yang terbentuk, karena mereka hanya disatukan oleh perasaan yang sama tentang agama dan ulamanya. Maka ketika terdengar kabar tertangkapnya sekelompok orang yang disebut membawa-bawa nama MCA, maka seketika hal ini menimbulkan kontroversi. Arus pesan kemudian mengerucut tentang adanya pihakpihak yang berupaya untuk mencatut nama MCA dengan tujuan memberikan label yang negatif kepada MCA. Pesan ini ramai tersebar secara sporadis dan massif karena melibatkan manusia dalam jumlah yang banyak dan tak terlihat—karena pesan yang didistribusikan melalui dunia maya. Menjadi pertanyaan kemudian adalah, darimana datangnya kesan khalayak bahwa tertangkapnya MCA adalah upaya untuk menjelekkan nama MCA? Dalam setiap peristiwa yang terjadi, maka sesungguhnya ia adalah serangkaian pesan yang bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Pesan yang menimbulkan kesan tersebut didistribusikan melalui saluran-saluran komunikasi, baik media massa, media sosial, maupun disampaikan dari mulut ke mulut. Pesan ini tidak selalu sama antara bentuk teks atau verbalnya dengan kesan yang sampai kepada komunikan atau orang yang menerima pesan tersebut. Hal ini bisa terjadi karena khalayak yang menjadi penerima pesan, setidaknya telah lebih dahulu memiliki frame berpikir tentang pihakpihak yang menyampaikan pesan, ataupun bentuk pesannya. Frame berpikir tersebut terbentuk baik dari pengalaman empiris maupun dari informasi yang didapat sebelumnya. Begitu juga dengan pesan informasi tentang MCA ini. Kesan yang muncul adalah persiteruan antara dua pihak. Pihak pertama, adalah pihak yang ingin mendiskreditkan, umat Islam melalui pelabelan negatif terhadap istilah MCA. Sehingga siapa saja yang sebelumnya bangga dengan istilah MCA yang disandangnya, perlahan berubah khawatir, bahkan membencinya. Kesan ini bisa terjadi karena MCA yang tidak memiliki bentuk organisasi dengan keanggotaan yang tak terikat dan tersebar, akan menjadi pihak yang merasa difitnah.


134 Pihak kedua, adalah umat Islam itu sendiri yang selama ini merasa telah melakukan hal yang benar untuk membela agama dan ulamanya. Maka pihak kedua ini kemudian secara alamiah akan melakukan respons terhadap kondisi ini. Dan akibatnya, maraklah media sosial dengan berbagai informasi yang lalu lalang tentang MCA. Dari gambaran di atas, maka akan terlihat bahwa gegar informasi tentang MCA adalah kelanjutan dari riuhnya perdebatan di media sosial sejak Pilpres kemarin. Disebut kelanjutan karena ia memiliki kesamaan dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Di satu sisi ada umat Islam yang merasa menjadi korban fitnah, dan di lain sisi adalah pihakpihak yang didukung oleh kekuasaan. Tentu saja kita mengharapkan masalah ini segera terungkap secara jernih sehingga transparan dan dapat dilihat oleh semua pihak secara jernih pula. Kejernihan dalam melihat objek adalah syarat utama untuk terbentuknya pesan dan kesan yang objektif dan dengan tingkat bias yang minimal. Informasi hoax yang menjadi concern pemerintah saat ini akan dapat diminimalisir sedemikian rupa ketika transparansi informasi dapat dilakukan. Sebagai warga negara, kita tentu berharap kehidupan yang lebih aman, nyaman dan tentram. Tidak ada saling serang di antara anak bangsa. Dan dalam perspektif komunikasi, hal tersebut dapat dicapai melalui penyebaran informasi yang transparan dan objektif. Dalam studinya yang berjudul The Achieving Society (1961) itu McClelland merekomendasikan tiga cara mengembangkan jalan menuju kemodrenan dan mengintensifkan motif pencapaian. 1. Pertama, menciptakan opini publik yang paham (informed public opinion) yang ditandai suatu masyarakat yang di dalamnya ada pers bebas. Seperti diketahui bahwa saat ini bangsa ini telah memiliki pers yang bebas. Karena semua sumber informasi hampir tidak ada yang tak terjangkau. Media massa juga memiliki kebebasan yang hampir tak terbatas dalam menyajikan berbagai laporannya. Hanya saja ketergantungan media massa


135 pada pemodalan membuatnya tak bisa lepas dari kepentingan pemilik modal itu sendiri. Kondisi ini membuat modal besar dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan masih belum bebas dari hambatan yang menghadang. 2. Kedua, suatu langkah yang penting menuju komodrenan adalah emansipasi wanita, yaitu mereka yang membesarkan generasi berikutnya. Interaksi yang semestinya terjadi adalah wanita dengan media massa sehingga memiliki modal yang banyak untuk menjadi agen bagi pendidikan generasi yang akan datang. Namun ada bias yang terjadi dengan persoalan wanita ini. Gerakan yang muncul malah feminism yang cenderung berafiliasi pada tuntutan kesamaan porsi antara pria dan wanita (fifty-fifty). Dalam menutut apa yang menurut mereka hak, kaum feminis semakin membuat jurang semakin jauh antara pria dan wanita dengan membuat perkumpulan perempuan. Belum lagi soal independensi mereka yang dipertanyakan karena berdiri dan bergerak dengan asupan dana asing sehingga memunculkan penilaian adanya ‘gerakan pesanan’. 3. Ketiga, pentingnya pengaruh pendidikan luar negeri untuk memperkuat motivasi pencapaian. Hal ketiga yang disampaikan McClelland ini difahami dalam hal perbandingan pencapaian antara suatu negara dengan negara lain. Bahwa transformasi dalam bidang teknologi sebagai salah satu contoh, mesti dicapai oleh negeri-negeri lain melalui proses pembelajaran ke luar negeri. Selanjutnya Hedebro dalam Nasution (1972) mencatat 12 peran yang dapat dilakukan komunikasi dalam pembangunan: 1. Menciptakan iklim bagi perubahan dengan membujuk nilai-nilai, sikap, mental, dan bentuk perilaku yang menunjang modernisasi;


136 2. Mengajarkan ketrampilan baru seperti baca tulis, pertanian dan lainnya; 3. Bertindak ganda sebagai pengganda sumber-sumber pengetahuan; 4. Mengantarkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri, sehingga mengurangi biaya psikis dan ekonomis untuk menciptakan kepribadian yang mobile; 5. Meningkatkan aspirasi yang merupakan perangsang untuk bertindak nyata; 6. Membantu masyarakat menemukan norma-norma baru dan keharmonisasi dari masa transisi; 7. Membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan bermasyarakat; 8. Mengubah struktur kekuasaan pada masyarakat yang bercirikan tradisional, dengan membawakan pengetahuan kepada massa. Mereka yang beroleh informasi, akan menjadi orang yang berarti, dan para pemimpin tradisional akan tertantang oleh kenyataan bahwa ada orang-orang lain yang juga mempunyai kelebihan dalam hal memiliki informasi; 9. Menciptakan rasa kebangsaan sebagai sesuatu yang mengatasi kesetiaankesetiaan lokal; 10. Membantu mayoritas populasi menyadari pentingnya arti mereka sebagai warga negara, sehingga dapat membantu meningkatkan aktivitas politik; 11. Memudahkan perencanaan dan implementasi program-program pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan penduduk; 12. Membuat pembangunan ekonomi, sosial, dan politik menjadi suatu proses yang berlangsung sendiri (self-perpetuating). Perencanaan pembangunan merupakan cara mencapai tujuan sebaik-baiknya (maximum output) dengan sumber daya yang ada. Aktivitas berlangsung mesti lebih efisien dan efektif dengan memperhatikan keterbatasan faktor internal ataupun eksternal. Pelibatan masyarakat sebagai bagian dari pelaku perencana pembangunan


137 merupakan pemanfaatan sumber daya yang efisien dan efektif serta memberikan efek pemberdayaan masyarakat. Teori Mikkelsen dalam perencanaan pembangunan menyebutkan pendekatan partisipatif harus dimulai dengan orang-orang yang paling mengetahui sistem kehidupan mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Korten yang mengungkapkan teori people centered development yang menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan. Teori ini menempatkan partisipasi masyarakat sebagai stakeholders pembangunan memiliki peran strategis dan menentukan jalannya efektivitas dan efisiensi pembangunan. Oleh karenanya kemampuan pemerintah untuk meramu kebijakan dengan partisipasi rakyat di sana dengan penerimaan dan aplikasinya adalah indikator yang menentukan keberhasilan pembangunan. Dan adalah perencanaan komunikasi dalam hal ini memiliki peran yang krusial dalam hal merancang bentuk-bentuk pembangunan yang akan berlangsung. Karenanya dalam demokrasi, media massa memang memiliki peran penting dalam instrument public sphere, yakni “segenap tempat dan forum di mana segala isu memiliki makna penting bagi komunitas politik didiskusikan dan diperdebatkan, dan di mana informasi yang esensial bagi partisipasi warga dalam kehidupan kemasyarakatan disajikan (Herman dalam Armando, 2002). Sesungguhnya pelaksanaan Pemilu, tak terkecuali Pemilu 2014 mendatang mengandung nilai-nilai perencanaan pembangunan yang mesti terintegrasi dan komprehensif. Di sinilah komunikasi pembangunan mengambil perannya dalam mengintegrasikan berbagai sumber daya yang ada dan berbagai kepentingan yang melingkupinya—yang sering kali jika tidak dilakukan dengan baik akan menimbulkan bias-bias pembangunan. Bangsa ini adalah bangsa yang sedang membutuhkan komunikasi efektif di antara segala elemen bangsa yang ada. Ini adalah salah satu prasarat utama bagi jalannya sebuah bangsa menuju arah yang sama dengan sinergitas yang tinggi dan terukur.


138 Pesan Pembangunan Perspektif Komunikasi Dalam perspektif pembangunan, sebuah konsep yang dirancang merupakan orientasi kolosal yang memiliki waktu yang panjang dan berkesinambungan—selain melibatkan seluruh warganegara di dalam sebuah negara bahkan warganegara bangsa lain. Ada sumberdaya yang dikelola, dan ada sumberdaya yang mengelola secara terus menerus. Karenanya pembangunan harus diatur sedemikian rupa sehingga saling berhubungan secara positif satu sama lain. Dimulai dari perencanaan, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan, dan diakhiri dengan pengendalian dan evaluasi—ini merupakan paket pembangunan yang mesti bersambung dengan paket lainnya—begitu seterusnya tanpa terputus. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa ada negara yang miskin dalam, atau negara berkembang, padahal mereka juga melakukan proses pembangunan itu? Kunarjo (2000), mengikuti Ragnar Nurske mengatakan kemiskinan di negara berkembang ibarat lingkaran setan, karena berbagai penjelasan kemiskinan tidak banyak menjelaskan “kenapa mereka menjadi miskin”. Dalam lingkaran setan kemiskinan, pokok pangkal kemiskinan adalah pendapatan yang rendah. Pendapatan yang rendah bukan hanya memengaruhi tingkat tabungan yang rendah, tetapi juga mempengaruhi tingkat pendidikan, kesehatan yang rendah sehingga produktivitas sumber daya yang ada juga menjadi rendah. Semuanya ini akan mempengaruhi pendapatan masyarakat yang rendah pula. Apa yang diutarakan Kunarjo adalah perspektif umum yang sering digunakan untuk melihat permasalahan pembangunan atau ketertinggalan pembangunan di sebuah negara. Akan menarik jika melihat pembangunan ini dalam perspektif komunikasi. Dalam tataran ilmu komunikasi, ada pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Pesan ini ada yang disampaikan secara tatap muka lansung maupun melalui media aau channel tertentu. Pesan yang disampaikan tersebutlah yang kemudian menimbulkan feedback atau efek tertentu yang bisa jadi merupakan suatu kondisi yang diinginkan muncul oleh sang komunikator. Dalam perjalanan sejarah, juga akan selalu


139 ada pesan yang muncul yang mestinya ditangkap oleh anak bangsa—ke arah mana bangsa ini sedang berjalan. Pesan-pesan tersebut muncul dari kondisi yang sedang dialami sebuah bangsa, lingkungan yang memengaruhinya, dan berbagai faktor yang menjadikan jati diri suatu bangsa. Pesan-pesan itulah yang kemudian mesti diterjemahkan secara presisi dalam konsep-konsep pembangunan. Karenanya keselarasan antara pesan-pesan sejarah dengan konsep-konsep dan aplikasi pembangunan akan menentukan sejauhmana kualitas suatu bangsa. Ketidaksesuaian antara pesan dengan konsep dan aplikasi tersebut akan menjadi sebab bagi kemunduran sejarah suatu bangsa di dunia ini. Meniliki pemikiran tersebut, sepantasnya kita menjawab apakah konsep pembangunan dan aplikasinya di Indonesia telah sesuai dengan pesan-pesan sejarah? Ada beberapa indikator yang bisa menjadi tinjauannya, baik dari segi idiologi, politik, sosial, budaya, hukum dan sebagainya. Dan jika menggunakan nalar deduktif maka akan sampai pada simpulan bahwa negeri ini sebenarnya sedang gagal. Oleh karenanya secara sekilas bisa dikatakan ada bias antara pesan sejarah dengan konsep dan aplikasi pembangunan. Melvin L. DeFleur menyampaikan teori Kategori Sosial yang mengasumsikan bahwa terdapat kategori-kategori sosial di dalam masyarakat yang perilakunya sama ketika diterpa pesan dari media. Pembagian kategori sosial tersebut dilihat dari kesamaan atas profesi, kesukaan tertentu, gaya hidup dan lainnya. Dengan ciri-ciri yang sama tersebut, maka anggota suatu masyarakat akan memiliki kesamaan pula dalam memilih pesan-pesan komunikasi. Selanjutnya mereka juga akan cenderung memiliki kesamaan respons dan reaksi atas pesan yang sama. Misalnya kalau ada orang-orang yang sama-sama berprofesi sebagai eksekutif muda di berbagai perusahaan berbeda, mereka memiliki kegemaran terhadap sepakbola, dan sering pula bermain sepakbola ataupun futsal. Maka ada kecenderungan yang sama bagi kelompok masyarakat dalam


140 kategori ini untuk mengonsumsi pesan yang sama dari media massa. Contohnya pesan tentang berita-berita liga sepakbola Eropa. Atau misalnya kelompok mahasiswa yang mengambil jurusan ilmu politik secara sengaja di kampusnya. Kemudian mereka sering terlibat di dalam berbagai kegiatan perpolitikkan baik skala lolal maupun nasional. Maka kemudian pesan-pesan yang paling menarik bagi kelompok kategori ini adalah pesan-pesan yang bersifat politik. Dalam aplikasi seterusnya, teori ini digunakan untuk mendesain pesan untuk kelompokkelompok atau kategorisasi tertentu yang dituju dari pesan yang disampaikan. Semakin sesuai pesan yang disampaikan dengan karakteristik kelompok kategori yang disasar, maka semakin efektif pesan itu menimbulkan efek yang diinginkann oleh si perancang pesan. Teori Kategorisasi Sosial ini membantu kita memahami bahwa interaksi yang kuat antara pesan dan kebutuhan akan menimbulkan efek yang diinginkan. Jika pada kategorisasi sosial pesan itu direkayasa sesuai kebutuhan, maka pada pesan sejarah ia telah terbentuk lebih dulu dan konsep sosial-lah yang harus menyesuaikannya. Apa yang menjadi konsep pembangunan saat ini harusnya tetap menilik pada sejarah dan kondisi kekinian serta kemungkinan-kemungkinan masa depan. Karena kombinasi semua itu adalah pesan sejarah yang harus disesuaikan dengan konsepsi pembangunan dan aplikasinya. Kegagalan dalam menangkap pesan sejarah itu merupakan langkah awal kegagalan dalam pembangunan.


141 Bab VII Media Massa & Politik


142 Wabah Social Prejudice Salah satu faktor penghambat dalam pembangunan negeri ini adalah membudayanya prasangka buruk. Antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, antara satu partai dengan partai lainnya, antara satu individu dengan individu lainnya sudah semakin terbiasa untuk berprasangka buruk. Entah sejak kapan budaya prasangka buruk ini mulai mewabah, tetapi yang jelas, virusnya sudah berkembang ke mana-mana. Dari tingkat pemerintahan, para pejabat sampai di kalangan masyarakat. Sepertinya orang gampang sekalia curiga dan sepertinya tidak ada lagi sikap saling mempercayai di antara sesama. Dalam kehidupan sosial, prasangka ini dikenal dengan nama social prejudice atau prasangka sosial. Prasangka sosial ataupun prasangka kelompok adalah gejala psikologi sosial yang merupakan prasangka yang diperlihatkan anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain. Feldman (1985) menyebut prasangka sosial ini adalah sikap negatif terhadap kelompok sosial tertentu yang hanya didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok itu. Dalam rujukan teori Kategorisasi Sosial, prasangka buruk ini dijelaskan sebagai sesuatu yang membedakan diri kita dan kelompok kita dengan orang atau kelompok lain. Teori ini memandang dunia sebagai suatu kompleksitas tiada batas. Maka dengan melakukan kategorisasi orang membuatnya menjadi sederhana dan bisa kita mengerti. Melalui kategorisasi kita membedakan diri kita dengan orang lain, keluarga kita dengan keluarga lain, kelompok kita dengan kelompok lain, etnik kita dengan etnik lain.


143 Pembedaan kategori ini bisa berdasarkan persamaan atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan, perbedaan partai yang relatif sama dan sebagainya akan dikategorikan dalam kelompok yang sama. Sedangkan perbedaan yang sama akan dikategorikan dalam kelompok yang berbeda. Kategorisasi memiliki dua efek fundamental yakni melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok dan meningkatkan kesamaan kelompok sendiri. Perbedaan antar kelompok yang ada cenderung dibesar-besarkan dan itu yang sering di ekspos sementara kesamaan yang ada cenderung untuk diabaikan. Kecenderungannya adalah, apabila sesuatu itu datang dari pihak yang berbeda maka akan dianggap salah. Teori lain yang menjelaskan soal prasangka ini adalah teori Identitas Sosial. Identitas sosial merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikan pula akhirnya prasangka diperkuat. Dalam Islam diajarkan, prasangka buruk (su'uzhon) memiliki berbagai dampak yang menyebabkan kerugian bagi diri orang yang memendam prasangka tersebut. • Pertama, orang yang berprasangka buruk akan diganjar dosa. Karena kecenderungan orang yang berburuk sangka di samping kita tanpa dasar yang jelas sudah menganggap orang lain tidak baik, berusaha menyelidiki


144 atau mencari-cari kejelekan orang lain. Juga akan membuat kita melakukan dan mengungkapkan segala sesuatu yang buruk tentang orang lain yang kita berburuk sangka kepadanya. Allah swt. berfirman, Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa (QS. Al-Hujurat/49: 12). • Kedua, menimbulkan perkataan dusta. Karena orang yang memendam prasangka buruk akan cenderung berkata dusta terhadap orang yang diburuksangkakan-nya. Hal ini disabdakan oleh Rasulullah SAW, "Jauhilah prasangka itu, sebab prasangka itu pembicaraan yang paling dusta." (HR. Muttafaqun alaihi) • Ketiga, mengakibatkan efek jelek. Orang yang berburuk sangka akan memicunya untuk memunculkan efek jelek lainnya seperti misalnya ghibah, kebencian, hasad, menjauhi hubungan dengan orang lain, dan lain-lain. Dalam hadist-nya Rasulullah SAW bersabda, Hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke Surga. Selama seseorang benar dan selalu memilih kebenaran, dia tercatat di sisi Allah seorang yang benar (jujur). Hati-hatilah terhadap dusta, sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada Neraka. Selama seseorang dusta dan selalu memilih dusta, dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta (HR.Bukhari) Kasus Nazaruddin pernah menghebohkan negeri ini karena terpidana kasus korupsi ini telah menyebutkan banyak pejabat yang terlibat dalam kasus suap yang melibatkan dirinya. Energi bangsa ini telah banyak terkuras ke sana. Masalah ini telah pula menimbulkan berbagai prasangka buruk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang telah lebih dulu menghakimi orang lain sebelum ada bukti nyata yang terbuka. Kasus ini kemudian merembet ke mana-mana. Banyak pula pendapat yang


Click to View FlipBook Version