MOSHI-MOSHI 001/I/15 MC
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 001/I/15 MC
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2008 MOSHI-MOSHI Jossie Karaniya 001/I/15 MC
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab percetakan MOSHI-MOSHI Jossie Karaniya GM 312 08.007 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat 33–37, Jakarta 10270 Desain & Ilustrasi cover oleh EMTE Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Jakarta, Februari 2008 Cetakan kedua: Juni 2008 216 hlm; 20 cm ISBN-10: 979 - 22 - 3547 - 7 ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 3547 - 0 001/I/15 MC
Ucapan terima kasih Novelku ini bisa terwujud karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Kuucapkan terima kasih kepada The Triple Gems atas semua hal baik yang sudah aku dapatkan. Kepada Mama, Papa, dan Popo, aku berutang budi atas kasih sayang yang sudah kalian berikan. Ajaib juga rasanya berhasil menulis novel tanpa compy pribadi. Untuk itu aku berterima kasih kepada Budi, Laukeku tercinta yang meminjamiku compy. Congrats yah dengan Anny. Irwin, adikku tersayang, danke untuk dukungan jarak jauhnya. Tim editor GPU yang hebat dan Michelle yang sabar, aku benar-benar berterima kasih. Tanpa kalian, Moshi-Moshi tentunya nggak bakalan seperti ini. Sebagian besar nama tokoh di Moshi-Moshi adalah nama kenalan yang kupinjam. Kepada mereka, aku berterima kasih. Aku nggak sadar novel ini membuat kepribadianku ”terbaca” oleh orang yang sudah mengenalku sejak lama. Yanti Bobo memang hebat! Kemampuannya membaca kepribadianku sama hebatnya dengan kemampuan membaca analisis teknikal dan fundamental saham serta valas. Last but not least, aku berterima kasih kepada Setia, Sebastian, dan Steven yang sudah mengisi hidupku dengan cinta dan kebahagiaan. I love you guys. 001/I/15 MC
001/I/15 MC
7 TENANG… Jangan panik dan jangan gelagapan. Be cool. Tarik napas dalam-dalam dan berhitung. Satu… dua… ti… Ah, gampang banget. Aku pasti bakalan kelihatan cool. Tiga… empat… Nah, siapa bilang kalem itu susah? Lima… enam… tu… Ya ampuuun! Mana bisa aku tarik napas dalam-dalam dan bersikap seolah nggak ada apa-apa padahal ada kejadian heboh yang sedang terjadi di depan mataku? Napasku sesak. Jantungku berdebar cepat. Saat ini aku sedang berada di barisan panjang yang penuh dengan makhluk sebangsa dan sejenis denganku. Maksudku, semua yang mengantre cewek, sama sepertiku. Tapi, di luar kenyataan mengenai ”makhluk se1 001/I/15 MC
8 bangsa dan sejenis”, semua yang ada di sini juga memiliki obsesi yang sama denganku. Kami semua menunggu Alexander Julio. Dia idolaku. Eits, dikoreksi! Dia idola semua cewek yang ada di sini. Memikirkan hal ini, aku jadi senyum-senyum sendiri. Alexander Julio memang pantas jadi idola. Tubuhnya tinggi, wajahnya keren, suaranya oke, senyumnya pun manis banget. Tapi… tunggu, tunggu. Kayaknya ada yang kelupaan deh. Oh ya, ada satu yang paling penting: dia masih jomblo. Yihaaa! Ih… memangnya siapa yang mau mengidolakan bapak-bapak beranak empat? Aku melirik pakaianku sepintas. T-shirt putih bertuliskan AJ—inisial Alexander Julio—dan celana jins ketat serta tas ransel dengan inisial AJ juga. Keren, kan? Aku memang sudah menyiapkan semuanya untuk datang ke sini. Siapa tahu nanti panitia sepakat memilih fans yang pakaiannya paling heboh. Atau… astaga! Pikiran ini baru saja melintas di kepalaku. Semoga saja Alex memilih fans berdasarkan aksesori yang dipakai, dan fans terpilih akan mendapat hadiah! Oh Tuhan. Mudah-mudahan aku yang terpilih. Soalnya, mana ada fans lain yang memakai pakaian sekeren aku? Dengan gerakan secuek mungkin, supaya tidak kentara, aku menoleh ke belakang dan terkesiap melihat panjangnya barisan di belakangku. Juga di de001/I/15 MC
9 panku. Ratusan fans Alexander Julio tampak antusias berdiri berjejer dalam barisan panjang. Ampyuuun deh. Melihat panjangnya barisan fans yang mengantre untuk minta tanda tangan Alex— panggilan kesayangan kami untuk Alexander Julio— aku mengernyit. Kalau begini banyak fans yang mengantre, mana mungkin aku dapat kesempatan ngobrol bareng Alex? Sial! Padahal aku pengin banget bisa menjadi pusat perhatian, sehingga Alex bisa tahu bahwa akulah fansnya yang paling fanatik. Atau mungkin saja aku akan dipilih sebagai fans dengan dandanan paling heboh. Wuih…! Aku jadi langsung semangat mengantre lagi. Siapa tahu, hari ini aku mengantre dengan susah payah, dan besok aku dipanggil ke markas Alex Fans Club karena aku berhasil mendapat perhatian cowok itu…. Aku melirik jam tanganku. Dengan antrean yang belum bergerak satu senti pun, giliranku mungkin baru lima jam lagi. Makeup-ku pasti sudah luntur saat itu. Apalagi saat ini panasnya minta ampun. Ah, payah deh! Aku membuka tas ranselku dan mengambil bedak compact. Cepat-cepat aku menepuk-nepukkan spons ke wajahku yang keringatan. Berdiri beberapa jam di sini membuat wajahku berminyak dan makeup-ku luntur. Beruntung banget aku selalu bawa bedak compact di dalam tas. Saat menyimpan kembali bedak itu di dalam tas, 001/I/15 MC
10 tanganku menyentuh CD Alex. Itu satu-satunya benda berharga milikku. Ehm. Maksudku, salah satu benda berharga milikku. Soalnya, sebetulnya aku sudah punya CD persis seperti ini yang kuputar setiap hari di rumah sampai seluruh penghuni rumah mencak-mencak bosan. Tapi, mereka mana mengerti lagu bagus sih? Aku terpaksa membeli CD Alex lagi, soalnya toko kaset Disc Sound—penyelenggara acara ”Jumpa Fans bersama Alex”—mengharuskan setiap pengunjung yang ingin mendapat tanda tangan Alex membawa struk belanja CD Alex di Disc Sound. Jadi, terpaksa deh aku beli CD Alex lagi untuk dapetin tanda tangannya. Tapi bagiku, itu nggak masalah kok. Membeli dua CD yang sama, apalagi CD yang berkualitas dari Alex, merupakan investasi masa depan. Maksudku begini lho. Seandainya salah satu CD itu lecet dan nggak lagi bisa diputar, gimana? Gawat, kan? Nah, kalau aku masih punya CD cadangan, tentu aku nggak bakalan pusing karena masih bisa mendengarkan CD itu. Apalagi kalau CD bertanda tangan Alex nantinya bisa dijual dalam pelelangan internasional. Wah… bisa aja kan, harganya jadi berjuta-juta di pelelangan Christie’s karena kelangkaannya. Wow! Kayaknya aku sudah nggak sabar lagi nih. Jadi, sama sekali nggak ada salahnya kan, beli CD yang sama? Apalagi kalau CD ini bisa membawaku bertemu Alex. Jujur saja, untuk bertatap muka de001/I/15 MC
11 ngan Alex, apalagi sampai mendapat tanda tangannya, apa pun akan kulakukan. Termasuk membolos. Habis mau bagaimana lagi? Aku pulang sekolah setelah tengah hari. Sedangkan semua orang yang berada di barisan ini sudah mulai mengantre sejak pagi, sejak mal ini dibuka. Saat ini barisan sama sekali belum bergerak. Belum ada kehebohan fans. Pasti Alex belum datang. Tapi aku maklum kalau dia belum datang. Sebagai pemenang ajang ”My Idol”, Alex memang supersibuk. Kabarnya, acara hari ini baru bisa terlaksana setelah panitia penyelenggara mem-booking Alex tiga bulan sebelumnya! Aku melirik jam tanganku sepintas. Pukul 14.30. Sekolahku pasti sudah bubar, dan Silvia pasti akan marah kepadaku karena aku membolos. Silvia itu sahabat karibku sejak kecil. Kami kenal sejak TK. Kami juga sering bertengkar berebut mainan. Tapi itu kan dulu. Sekarang Silvia sahabatku yang paliiing baik. Dia pintar dan rajin belajar. Sebenarnya sih, menurutku dia terlalu rajin belajar sampai kadang-kadang aku bosan bergaul dengannya. Tapi ada enaknya juga kalau bersahabat dengan anak pintar dan rajin. Setidaknya nilaiku jadi lebih baik karena selalu didorong Silvia untuk belajar dan belajar. Memikirkan Silvia, aku jadi merasa agak bersalah nih. Soalnya aku bolos sekolah tanpa memberitahu dia. Silvia pasti kesepian di sekolah. Kalau begitu, lebih baik aku meneleponnya sekarang. 001/I/15 MC
12 Aku mengeluarkan HP dari tas ranselku, dan langsung menekan nomor HP Silvia. ”Sil…?” tanyaku setelah tersambung. ”Eh, Mel…!” suara Silvia terdengar tidak jelas di antara keramaian di sekelilingku. ”Elo bolos, ya?” ”Psst…! Cuma hari ini kok.” ”Mau jadi apa lo kalau bolos sekolah, Mel?!” Suara Silvia terdengar satu oktaf lebih tinggi. Aku terkesiap mendengar ucapan Silvia. Walaupun Silvia satu-satunya sahabatku, aku selalu merasa dalam beberapa hal dia sama sekali nggak mengerti aku. ”Sil, beneran nih. Cuma kali ini aja kok.” Aku berusaha menghilangkan perasaan bersalah yang menjalari seluruh tubuhku. ”Sori ya, gue nggak ngasih tau elo.” ”Mel… elo pasti ke acara konyol itu, ya?” Aku tak memedulikan pertanyaan Silvia. ”Mel… bener kan, Mel? Ya ampun, Mel… Elo kok…” Tiba-tiba teriakan histeris terdengar dari arah depan. Teriakan yang memanggil-manggil nama Alex. Apa Alex sudah datang? Jantungku langsung berdebar kencang. ”Sil, udah dulu ya!” Aku menutup HP-ku dan mencoba berjinjit untuk melihat apa yang terjadi di depan. Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa kecuali deretan kepala para fans yang mengantre di depanku. 001/I/15 MC
13 Drrt… drrt! HP-ku kembali bergetar. Aku menatap ke layar HP. Lagi-lagi nomor HP Silvia. Duh…! Ngapain sih dia menghubungiku lagi di saat penting seperti ini? Aku kan harus mempersiapkan diri bertemu Alex. ”Sil?” tanyaku setelah menjawab telepon. ”Ada apa lagi?” ”Mel, lo serius mau ngantre sepanjang itu?” tanya Silvia. Aku mengernyit sejenak, nggak mengerti. ”Dari mana lo tau antreannya panjang?” ”Ada tuh di TV,” kata Silvia cepat. ”Ya ampun, Mel. Barisannya panjang banget!” Hah? Acara ini diliput stasiun TV? Waduh, seharusnya aku dandan lebih heboh lagi nih. ”Nah, ada gunanya juga kan gue ngebolos?” tanyaku. ”Lo ini kok mau-maunya sih ngantre?” tanya Silvia cepat-cepat. ”Emang enak, dapet di barisan belakang?” Sialan. Bagaimana Silvia bisa tahu? ”Emangnya gue keliatan di TV ya, Sil?” tanyaku sombong-sombong-norak. Asyik juga kan masuk TV? Apalagi di acara jumpa fans Alexander Julio. Cepatcepat aku berusaha merapikan rambut. Jangan sampai dong, muncul di TV dengan rambut kusut. ”Elo? Nggak kelihatan tuh.” ”Terus, gimana elo tau gue ada di barisan bela001/I/15 MC
14 kang?” tanyaku sedikit kecewa karena nggak diekspos di TV. ”Oh, itu sih gampang.” Silvia terdengar cekikikan. ”Soalnya, semua yang ada di barisan pertama lagi disorot kamera.” ”Hah?!” Aku sampai terlonjak saking hebohnya. ”Eh, Sil, dandanan mereka gimana?” tanyaku panik. Jangan sampai aku kehilangan kesempatan dapetin tanda tangan Alex gara-gara dandananku kurang heboh. ”Mereka oke-oke, Mel. Semuanya pakai baju bertulisan ’Alex’.” Suara Silvia terhenti sebentar. ”Mel, lo harus lihat tuh! Cewek di barisan pertama itu dandan habis-habisan!” ”Dandan kayak apa?” tanyaku sebal dan agak kecewa. Bagaimana mungkin ada orang lain yang berdandan lebih heboh dariku dan masuk TV? ”Cewek itu pakai aksesori bertema Alex,” lanjut Silvia. ”Anting di telinga kirinya berbentuk huruf A yang sangat besar, dan anting di telinga kanannya berbentuk huruf J.” ”Astaga!” kataku tak percaya. ”Oh, trus ada lagi nih. Kata cewek itu, dia udah datang sejak pagi, terus…” ”Terus apa?” tanyaku penasaran. Suara Silvia terdengar hilang-timbul di antara keramaian fans yang tiba-tiba histeris. ”Mel, gue yakin lo bakalan ngiri deh kalo gue 001/I/15 MC
15 ceritain adegan yang lagi muncul di TV…” Silvia berhenti bicara. ”Apaan, Sil?!” tanyaku tambah penasaran. ”Alex udah datang. Dan dia langsung meluk cewek tadi, Mel!” Oh, nggak mungkin! Nggak mungkin! ”Lo serius, Sil?” Tiba-tiba terdengar teriakan histeris para fans yang mengantre di depanku. ”Oh my God…! Mel…! Cewek di barisan kedua malah mendapat kecupan di pipi, setelah dipeluk erat sama Alex…” Oke. Ini udah kelewatan. ”Sil, udah dulu ya,” kataku memutus pembicaraan. Bagaimanapun, aku ingin berkonsentrasi dan meretouch wajahku yang minyaknya sudah bisa dijadikan minyak goreng. Aku kembali menepuk-nepukkan spons bedak ke wajahku, dan siap mengeluarkan CD Alex yang baru kubeli. Kubayangkan senyum lebar idolaku itu merekah menyambutku. Aku membalas senyumnya, dan seluruh tubuhku tiba-tiba dialiri semangat. Melihat CD Alex, aku jadi teringat video klip cowok itu yang ber-setting pantai. Keren banget deh! ”Hai!” seru suara di belakangku. Aku tersentak kaget dan tersadar dari lamunan. Aku menoleh dan tersenyum pada cewek di belakangku. Cewek itu tersenyum balik kepadaku, lalu berkata, 001/I/15 MC
16 ”CD-nya asyik ya? Menenangkan, gitu!” Ia melirik CD Alex yang ada di tanganku. ”Oh, iya.” Aku mengangguk setuju. ”Eh… gue seneng banget ketemu orang yang senasib dengan gue. Hehehe…” Cewek itu mengulurkan tangan. ”Gue Jenifer.” Aku membalas uluran tangannya. ”Meliana.” ”Lo juga fans berat Alex?” tanya Jenifer, menggerakkan dagunya ke arah Alex. ”Iya. Gue kagum sama dia sejak dia masih jadi finalis My Idol lho,” kataku. ”Waktu itu lo juga banyak ngirim SMS untuk dukung Alex?” tanya Jenifer lagi. Aku mengangguk cepat. ”Malah di minggu kelima, gue menghabiskan seluruh tabungan gue buat beli pulsa dan mengirim SMS.” ”Minggu kelima?” ”Iya,” aku menambahkan. ”Saat itu posisi Alex di urutan terbawah, kan? Inget nggak?” Jenifer mengangguk. ”Iya, gue inget. Gue sebel banget sama para juri yang berat sebelah.” Aku mengangguk. ”Sama.” ”Tapi waktu Alex jadi pemenang, gue malah sedih banget lho,” kata Jenifer lagi. ”Lho, kok begitu?” tanyaku heran. Jenifer mengangguk cepat. ”Soalnya sejak malam itu gue nggak bisa nonton dia setiap hari di acara Diary Idol. Gue nangis karena gue pasti merindukan masa-masa penjurian. Semalaman gue nangis sampai mata gue sembap.” 001/I/15 MC
17 Aku mengangguk-angguk. Sebetulnya aku juga menangis semalaman saat itu. Soalnya, selain My Idol, apa lagi sih tayangan menarik di TV? Menurutku sih nggak ada. Soalnya begitu pemenangnya didapat, acara kompetisi otomatis berhenti. ”Untung banget ya, saat ini Alex tetap bisa kita lihat di mana-mana,” ujarku. Jenifer tersenyum lebar. ”Iya. Dan dia jadi idola nomor satu di Indonesia.” Aku tertawa. ”Kayaknya kita cocok nih,” kataku akhirnya. ”Lo mau nggak, kita tuker-tukeran info tentang Alex?” ”Setuju banget!” sahut Jenifer. Aku dan Jenifer akhirnya saling memberitahukan nomor HP kami tepat di saat histeria fans Alex makin menjadi-jadi. ”Sebentar lagi giliran kita nih,” tambah Jenifer. Aku terkesiap. Benar kata Jenifer. Saat ini barisan depanku sudah memendek. Dan akhirnya… aku bisa melihat wajah Alexander jika aku berjinjit sedikit. Saat ini aku sudah bisa menghitung berapa banyak cewek yang ada di depanku. Tinggal lima orang lagi. Aku hanya perlu menghitung dan… tring! Alex ada di depan mata. Mungkin lebih baik kalau aku berhenti berhitung, dan mulai melatih kata-kata yang pas diucapkan di hadapan Alex. Aku mungkin akan mengatakan, ”Hai, Alex!” 001/I/15 MC
18 Kurang pas nih. Apa sih kalimat pembuka yang pas untuk ngobrol bareng pujaan? Mungkin boleh juga kalau aku bilang, ”Hai, aku pengagum beratmu lho.” Tapi… masa cuma ngomong begitu sih? Rasanya nggak cocok deh. Kalau begitu, aku akan mengatakan, ”Boleh nggak aku minta kecupan?” Ya ampun! Pantes nggak sih ngomong kayak gitu? No way! Jadi, kalimat seperti apa dong yang harus kuucapkan di hadapan Alex? Nggak mungkin kan, kalau aku ngomong, ”Hei, Alex, aku suka senyum kamu…” Ih… itu kan garing banget! Aku melihat cewek yang ada di depanku terdiam lama di hadapan Alex. Padahal dia udah kelar dapat tanda tangan Alex. Lho lho lho! Mau sampai kapan dia berdiri mematung di situ? ”Hei! Cepetan dong!” kataku tak sabar, tepat saat cewek itu menepi dan Alex menatapku. 001/I/15 MC
19 AKU menutup mulut, tak tahu harus ngomong apa. Apakah Alex mendengar apa yang barusan kuucapkan? Kayaknya iya deh. Kecuali kalau dia punya masalah pendengaran. Tapi, aku… aku harus ngomong apa ya? Alex memandangku dengan tatapan bingung. Apa dia pikir aku baru saja memakinya? Aku tak sanggup berkata, hanya bisa menatap idolaku yang berdiri tepat di depanku. Alex memang keren! Cowok itu memakai kemeja biru tua dan celana jins. Kacamata hitamnya terlipat di saku. Pasti akan lebih keren lagi jika dia memakai kacamata itu. Oh, oke, sekarang kembali ke alam nyata. Kini aku sudah berhadapan dengan Alex. Salah tingkah dan nggak tahu harus mengucapkan apa. ”Halo,” sapa Alex riang. 2 001/I/15 MC
20 Aku tahu betul, saat ini wajahku mematung dengan senyum kaku. Aduh… aku harus bagaimana nih? ”Ehm,” kata Alex masih sambil tersenyum. ”Kamu mau CD-mu kutandatangani?” Oh, iya! Aku lupa bahwa aku menggenggam erat CD Alex. Sambil gelagapan, aku membuka kemasan CD dan menyodorkannya ke tangan Alex, kemudian langsung berkata, ”Alex… hm… aku suka senyum kamu.” Alex tersenyum. ”Thanks,” ujar cowok itu sambil menorehkan tanda tangannya di CD. Aku menelan ludah. Barusan aku ngomong apa ya? Alex sama sekali nggak merespons apa-apa. Cuma mengucapkan terima kasih. Tepat pada saat itu, Alex mengulurkan CD-ku yang sudah ditandatanganinya. ”Ini,” katanya. Cepet, Mel! otakku berkata. Cepet mikir dong, kamu mau ngomong apa? Kalau nggak, kesempatan ini akan hilang begitu saja! Pikir… Pikir… ”Ini CD-mu,” kata Alex sekali lagi sambil mengulurkan CD yang sudah ditandatanganinya. Pikir… Pikir… ”Ehm,” kataku nggak yakin, ”kamu mau nggak, menuliskan sesuatu di CD ini?” ”Nulis apa?” tanya Alex sambil tersenyum. Oh, aku nggak percaya akhirnya berhasil memperpanjang kesempatan ini. 001/I/15 MC
21 Dari belakang, aku bisa mendengar gerutuan para cewek yang nggak sabar menunggu giliran. Mereka kenapa sih? Nyantai aja dong! ”Kamu mau nggak, nulis ’Untuk Mel’, gitu,” tanyaku grogi. ”Mel…?” tanya Alex. ”Itu nama kamu?” Aku mengangguk. Asyik banget Alex bisa tahu namaku. ”Meliana. Meliana Ikasia.” Alex mengambil kembali CD yang tadi diulurkannya, dan kembali menulis. ”Oke. Selesai, sesuai permintaan kamu.” Aku mengangguk. ”Thanks ya,” kataku sambil tersenyum. Aku menatap tulisan tangan Alex di cover dalam, di balik fotonya yang berlatar belakang pemandangan pantai. Setelah Alex mengangguk, aku tibatiba menyadari sesuatu. Apakah ini berarti giliranku usai? Oh, tidak! Bagaimana mungkin kesempatan yang begini langka harus berakhir hanya dalam dua menit? * * * Akhirnya aku keluar dari barisan dengan kesal. Cewek-cewek itu kok nggak bisa sabar sih? Mereka pasti iri karena aku bisa ngobrol banyak dengan Alex. Keterlaluan! gerutuku dalam hati. Untung Jenifer tak ikut memarahiku. Sebaliknya, 001/I/15 MC
22 dia malah tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku setelah aku terpaksa minggir dari barisan. Tapi, satu hal yang paling kusesali hari ini adalah: aku nggak terpilih sebagai fans yang berpenampilan paling heboh. Ah, udah dandan habis-habisan, ternyata sia-sia. Lain kali aku akan berdandan lebih heboh lagi, memakai segala macam aksesori yang kupunya. Tapi, apakah masih ada kesempatan lain bertemu dengan Alex? Aku berdiri di samping barisan fans yang mengantre, dan kulihat Jenifer sudah selesai mendapat tanda tangan Alex. ”Hai,” kataku mendekatinya. ”Udah dapat?” Jenifer tersenyum lebar, dan memperlihatkan CD yang sudah ditandatangani Alex. ”Seru banget tadi ya.” ”Elo dapat apa aja?” tanyaku sambil memperlihatkan CD-ku yang bertuliskan For Mel with Love dan tanda tangan Alex. Jenifer memandangku iri, tapi kemudian ia tersenyum dan membuka tas pink yang tersampir di bahunya. ”Gue emang nggak sempat minta tanda tangan. Tapi gue sempat foto bareng Alex, pakai HP gue,” katanya sambil memamerkan fotonya bersama Alex. Ya ampun! Kok aku bisa lupa ya? Seharusnya aku juga bisa foto bareng, kan? Aku mengetuk-ngetuk dahiku penuh penyesalan. Padahal kemarin aku sudah merencanakan foto ba001/I/15 MC
23 reng Alex, dan foto itu akan kujadikan wallpaper di HP-ku. Aku menghela napas panjang dan menatap HP-ku penuh penyesalan. Layar HP-ku tiba-tiba menyala, kemudian HP-ku bergetar seolah-olah bisa merasakan penyesalanku. ”Halo,” kataku lesu. ”Mel…,” kata suara berat cowok yang sangat kukenal. ”Kamu baik-baik aja?” ”Iya, Tom,” kataku senang mendengar suara Thomas, cowokku, cowok paling manis sedunia. ”Memangnya kenapa?” ”Mau kujemput?” Tuh, dia perhatian banget, kan? Makanya, aku sayang sekali sama dia. Kami jadian hampir setahun yang lalu, dan dia selalu memperlakukanku dengan manis. Kecuali kalau aku menyinggung topik Alexander Julio, yang membuatnya sedikit cemburu. Tapi cemburu dalam berpacaran wajar, kan? Kalau aku sih tidak terlalu cemburu saat Thomas bercerita tentang hobinya nonton balap mobil. ”Mel,” kata Thomas sekali lagi, ”mau kujemput nggak?” ”Mau dong….!” jawabku sambil tersenyum. Selain sangat manis, Thomas selalu bersedia menjemputku kalau aku sedang hang out dengan Silvia. Pokoknya, Thomas pacar paling top deh. Bukannya aku melebih-lebihkan lho, tapi Thomas memang begitu. Tapi kalau ngomongin cowok idola, Alexander Julio tetap nomor satu dong. 001/I/15 MC
24 * * * Thomas datang tak lama kemudian. Dia menyodorkan telapak tangannya saat melihatku. ”Mana?” tanyanya. Aku mengernyit nggak ngerti. ”Apa?” ”Mana CD yang bikin kamu bolos?” tanyanya sekali lagi. ”Ya ampun,” kataku berlagak menepuk dahi. ”Lama-lama kamu nggak ada bedanya sama Silvia.” Namun tetap saja aku memperlihatkan CD yang ditandatangani Alex. ”Jadi cuma untuk ini kamu rela ngantre berjamjam?” tanya Thomas sambil berlagak hendak menjatuhkan CD Alex. Aku langsung merebut CD itu. ”Eh, hati-hati dong!” kataku sambil mengusap-usap CD itu dengan lembut. ”Aku nggak mau sidik jari Alex terhapus tangan kamu yang kotor…” Thomas tertawa. ”Gimana tuh kabarnya Silvia?” Lalu sambil celingukan dia kembali bertanya, ”Dia nggak ikutan bolos, Mel?” Aku mencibir. ”Mana mungkin Silvia mau ngorbanin sekolah buat hal-hal kayak begini?” ”Nah, itulah bedanya Silvia sama kamu.” Aku membelalak menatap Thomas. ”Heh, kok tega-teganya sih kamu, banding-bandingin aku sama orang lain?” ucapku galak. ”Terus, kenapa kamu mau pacaran sama aku?” 001/I/15 MC
25 Thomas nyengir lebar, lalu sambil mengangkat bahu dia melanjutkan, ”Wah… kalau dulu aku tahu sifat kamu kayak begini, mungkin aku nggak jadi nembak kamu deh, Mel.” Sejenak aku melotot, pura-pura marah, tapi kemudian aku tertawa terbahak-bahak. Aku nggak sakit hati kok. Aku tahu Thomas cuma bercanda. Kami sudah tahu ”kartu” masing-masing. Aku dan Thomas jadian karena dikenalkan Silvia. Sahabatku itu sepupu Thomas. Waktu itu kami bertemu di rumah Silvia, tepatnya saat keluarga Silvia baru saja pindah ke rumah baru. Ketika itu aku nggak punya feeling sedikit pun terhadap Thomas. Sejujurnya, aku malah menganggap cowok itu aneh. Biarpun dia tak pakai kacamata dan tampangnya lumayan keren, sepanjang obrolan kami Thomas hanya membicarakan mobil balap, mobil yang dimodifikasi, dan segala hal tentang mobil. Saat aku hendak menghindarinya dan pura-pura ingin mengambil minum, Thomas malah mengikutiku sambil bercerita bahwa dia baru saja ditilang polisi karena nggak sadar melewati lampu merah saat menonton TV di mobil! Saat itu aku langsung batal menghindarinya, karena membayangkan asyiknya naik mobil yang dilengkapi TV dan DVD player. Aku bukan cewek matre lho. Aku cuma takjub membayangkan pasti asyik naik mobil seperti itu. Bayangin aja, di tengah kemacetan berjam-jam, siapa pun yang naik mobil itu pasti nggak bakalan bosan karena bisa menonton TV. Apalagi kalau mobil itu dilengkapi kulkas. 001/I/15 MC
26 Selanjutnya, Thomas nyerocos panjang-lebar mengenai mobil yang dimodifikasi segala macam dan lomba balap mobil Formula One. Nah, lama-lama aku bosan juga. Jadi, aku pergi menjauh dengan alasan ingin mengambil minuman di dapur, dan nggak kembali lagi menemui cowok itu. Namun sialnya, Silvia melihatku ngeloyor ke kamarnya, dan dia menarikku kembali ke sofa serta duduk manis di samping Thomas. Huh! Aku bosan banget ngobrol sama cowok itu. Pertemuan itu berlangsung selama satu jam, tapi menurutku sangaaat lama. Esok harinya, Silvia memberikan nomor HP-ku kepada Thomas, tanpa seizinku. Aku tentu saja mencak-mencak mengetahui Silvia berbuat sembarangan seperti itu, dan siap-siap mengarang alasan jika Thomas meneleponku. Tapi saat Thomas mulai sering menelepon dan mengunjungiku, aku mulai melihat sisi baik dalam diri cowok itu. Memang sih, awalnya dia membosankan karena bisanya cuma ngobrolin mobil. Tapi lama-kelamaan aku merasa nyambung kalau ngobrol dengan dia. Kata Thomas, dia naksir aku sejak kami bertemu di rumah Silvia, dan aku hampir tersedak jus saat mendengarnya. Mana mungkin dia naksir aku yang selalu harus menahan diri untuk menguap ketika dia mulai membicarakan hobinya? Namun, Thomas sepertinya senang dengan kesopananku yang mampu menahan kantuk saat men001/I/15 MC
27 dengar ocehannya itu. Katanya, mantan pacarnya nggak pernah suka kalau dia membicarakan balap mobil. Terakhir, cewek itu malah minta putus pada saat Thomas ingin mengajaknya nonton Grand Prix F1 di Sepang-Malaysia. Ya ampun. Sepang! Kalau aku jadi cewek itu, aku pasti langsung bilang ”ya!”. Memang sih, aku nggak ngerti olahraga yang penuh risiko itu, tapi kan setidaknya aku bisa jalan-jalan ke Malaysia. Yah, singkatnya nih, Thomas dan aku jadian beberapa bulan kemudian. Jadi, rasanya aku perlu berterima kasih pada Silvia yang sudah berbaik hati menjodohkan aku dengan Thomas. ”Jadi, kamu mau makan di mana?” tanya Thomas membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. ”Ke Tempat Kita aja,” kataku sambil tersenyum. ”Masa pakai tanya-tanya lagi?” Thomas mengangguk. ”Oke.” * * * ”Tempat Kita”. Itu nama tempat makan penuh sejarah. Bukan sejarah Konferensi Asia Afrika lho. Juga bukan tempat diadakannya konferensi tingkat tinggi nasional. ”Tempat Kita” adalah nama julukan yang kami berikan untuk restoran Palm Garden Square, tempat Thomas dan aku jadian. Waktu kami jadian dulu, Thomas membawa buket 001/I/15 MC
28 mawar besar, dan ”menembak”-ku di tengah air mancur di taman Palm Garden Square. Saat itu aku tersenyum haru dan menjawab ”ya”. Duh… romantisnya. Sejak itu kami sepakat untuk menyebut restoran itu dengan nama Tempat Kita. Bahkan, saking senangnya kami dengan suasana romantis restoran itu, kami sering menghabiskan waktu di sana hanya untuk mengobrol dan mengenang hari jadian kami dulu. Asyik, kan? Aku turun dari mobil Thomas dengan kaki gemetar. Kepalaku agak pusing. Sudah beberapa kali aku mengingatkan Thomas untuk nggak ngebut kalau aku naik mobilnya. Tapi cowok itu malah nyengir dan mengatakan dia sedang latihan F1. Sambil menggamit lengan Thomas karena aku masih pusing, kami masuk restoran. Saking akrabnya dengan suasana tempat itu, aku merasa restoran itu seakan sudah menunggu kedatanganku. Pusingku jadi berkurang. Restoran Palm Garden Square bergaya minimalis, dengan air mancur di tengah ruangan yang tampak elegan. Aku menatap sekeliling restoran itu sambil tersenyum. Aku selalu suka berada di tempat ini. Sangat menenangkan. Menyejukkan… Tunggu. Sepertinya ada yang kurang. Aku mengernyit sejenak. Kok aku tidak mendengar bunyi air mancur ya? Padahal, begitu masuk restoran 001/I/15 MC
29 ini, bunyi air itulah yang membuatku merasa berada di tengah air terjun Niagara. Aku memandang Thomas sekilas. Rupanya dia juga sedang menatapku. ”Kayaknya air mancurnya mati deh,” katanya sambil mengangkat bahu. Hah? Air mancurnya mati? Selama kunjunganku yang sudah puluhan kali ke sini, air mancurnya belum pernah mati tuh. Aku langsung melambaikan tangan kepada Doni, pelayan yang biasa melayani kami. ”Halo. Seperti biasa, ya?” tanya Doni setelah datang mendekat. Aku nggak heran Doni bertanya begitu. Setiap kali datang ke sini, aku selalu memesan menu yang sama. Beef lasagna. Soalnya, lelehan keju yang ada di atas beef lasagna buatan restoran ini begitu lezat. Demikian pula Thomas, yang selalu memesan steak rib-eye. Tapi bagiku, ini bukan saatnya memikirkan lelehan keju yang ada di atas beef lasagna. Kalau nggak ada bunyi air mancur, apa enaknya makan lelehan keju? ”Don,” kataku sopan. ”Air mancurnya kenapa? Kok mati?” ”Wah, kamu perhatian juga ya,” kata Doni memuji. Aku tersenyum mendengar pujian Doni. Thomas berdeham. Dia cemburu kali, ya? 001/I/15 MC
30 ”Kenapa air mancurnya nggak nyala, Don?” tanya Thomas. Ih, kok dia sih yang ngambil alih? Seakan mendengar kata hatiku, Doni mengatakan, ”Wah, kalian berdua ternyata sama-sama perhatian ya.” ”Udah ah. Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Air mancurnya kenapa?” tanyaku cepat. ”Kalian lagi hemat listrik, ya?” Lalu, pikiran buruk terlintas di otakku. Apakah restoran ini bangkrut? Soalnya, akhir-akhir ini restoran ini memang agak-agak sepi. Tapi mudah-mudahan nggak bangkrut ah. Nanti aku dan Thomas nggak punya tempat bersejarah lagi deh. Doni menyeringai. ”Nggak usah khawatir. Air mancurnya lagi direnovasi.” ”Renovasi?” tanyaku bingung. ”Buat apa air mancurnya direnovasi? Kayaknya nggak rusak deh.” ”Kami mau bikin live music,” kata Doni selanjutnya, ”jadi air mancurnya disesuaikan agar nggak menimbulkan suara berisik saat ada live music.” Thomas garuk-garuk kepala. ”Memangnya untuk apa ada live music di sini?” tanyanya. Aku mengangguk setuju. ”Betul, Don. Menurut aku nih, bunyi air mancur itu sudah seperti live music. Mana ada suara yang bisa mengalahkan kelembutan suara air mancur?” ”Betul,” sahut Thomas. Doni tersenyum iba. ”Duh… maaf banget ya. Aku
31 nggak tahu kalau air mancur itu begitu berarti buat kalian.” ”Jadi,” kataku akhirnya, ”air mancur ini selamanya bakalan mati?” Doni langsung menggeleng cepat. ”Ya nggak laaah. Air mancur ini cuma suaranya kok yang dikecilin. Jadi daya tekannya yang diatur.” Aku langsung menghela napas lega. ”Oh… syukur deh,” kataku. ”Apa jadinya resto ini kalau nggak ada air mancur? Ya, nggak?”
32 KEESOKAN paginya, di kantin sekolah, aku dan Silvia duduk berhadapan di meja panjang warna biru. Bel masuk belum berbunyi. Suasana kantin hari ini agak sepi karena banyak murid yang sedang mengerjakan PR di kelas. Selain aku dan Silvia, ada beberapa murid yang sedang mengobrol dan memesan sarapan. Makanan pesananku belum datang. Demikian pula pesanan Silvia. Sambil menunggu, aku memerhatikan cuaca cerah di luar kantin. Pagi-pagi tapi sudah panas. Untung di kantin ini ada kipas angin besar. Jadi kami sama sekali nggak kegerahan. Tapi saat aku melirik ke arah Silvia, senyumku langsung membeku. Cewek itu sedang menatapku dengan sorot mata setajam elang siap memangsa. Kadang kupikir aku takut membalas tatapan Silvia. Matanya yang bulat dan tajam kadang tampak ”me3
33 nyeramkan”. Apalagi jika dia melotot seperti ini. Silvia tampak semakin menakutkan. ”Jangan natap gue kayak gitu dong, Sil,” kataku. ”Gue kan jadi nggak enak.” Aku memang merasa sangat bersalah karena kemarin bolos tanpa memberitahu Silvia. Perasaan bersalah ini bahkan lebih terasa dibandingkan terhadap guru atau orangtuaku. Tatapan tajam Silvia membuatku merasa disidang. Sambil menatapku tajam, Silvia mulai menginterogasiku. ”Jadi kemarin elo betul-betul bolos, Mel? Lo nggak izin atau bikin surat susulan, gitu?” Aku mengangguk lemah bagai terdakwa yang divonis bersalah di pengadilan. ”Sekarang lo bawa nggak, CD yang udah ditandatangani Alex?” tanyanya. Aku mengangguk lagi. Kali ini lebih bersemangat daripada sebelumnya. Lalu, dengan gerakan pelan aku mengambil CD dari dalam tas sekolahku, dan menyodorkannya ke Silvia. ”Gue heran, apa sih yang lo lihat dari Alex?” tanya Silvia, sambil menatap foto Alex di cover CD. ”Kalo menurut gue sih dia biasa-biasa aja tuh.” ”Biasa-biasa aja?” tanyaku tak percaya. ”Sil, dia tuh ganteng. Senyumnya manis. Matanya bagus. Hidungnya mancung. Semua yang ada di wajahnya tuh tampak sempurna. Udah gitu, badannya tinggi, keren, suaranya juga oke. Apa lagi sih yang kurang?” Silvia mengangkat bahu. ”Terserah elo deh.” Lalu,
34 sambil menatap tanda tangan Alex, Silvia komentar lagi, ”Menurut gue tanda tangannya agak aneh,” katanya sambil meliukkan telunjuknya yang lentik mengikuti garis tanda tangan Alex. Hm, jujur aja nih ya, aku tuh kadang agak iri sama jari-jari Silvia yang lentik. Soalnya menurutku, jari-jari Silvia begitu sempurna. Coba kalau guru les pianoku melihat jari tangannya, wah, pasti beliau akan memuji Silvia habis-habisan, dan mengernyit melihat jari tanganku yang pendek, buntal, dengan kuku yang pendek pula. ”Ah, kalo menurut gue sih, tanda tangannya sempurna,” kataku membela Alex. ”Lo lihat nggak goresan di sini? Tajam banget, kan? Terus liukan di sini?” tanyaku sambil menunjuk tanda tangan Alex. ”Itu tandanya dia bisa membedakan kapan harus bersikap tegas dan kapan harus bersikap lembut.” Dahi Silvia mengerut heran. ”Sejak kapan elo jadi ahli membaca tanda tangan?” ”Sejak gue harus membela Alex di depan lo,” jawabku singkat. Akhirnya Silvia mengangguk menatap tanda tangan Alex. Dan sewaktu aku sedang seru-serunya menceritakan pengalamanku mengantre untuk mendapat tanda tangan Alex, aku merasa ada seseorang di belakangku. Seketika aku menoleh, dan melihat Alicia Jurike sedang mencibir. Alicia adalah anak ketua yayasan sekolahku. Di anak kelas sebelah, kelas 2B.
35 Semua orang di sekolah tahu Alicia sebenarnya nggak pantas naik kelas. Tapi, karena pengaruh ayahnya, nggak heran Alicia bisa naik kelas, bahkan masuk peringkat sepuluh besar. Padahal semua nilai ulangannya kebakaran. Aku tahu banget hal itu. Semua juga tahu. Tapi tak ada yang bisa membuktikannya. Walaupun begitu, tetap saja hal ini tidak membuat Alicia malu atau rendah diri. Sebaliknya, cewek itu malah semakin sombong dan selalu bertingkah menyebalkan bersama anggota gengnya yang lain. Tumben, baru kali ini kulihat Alicia sendirian. Biasanya dia selalu diiringi dayang-dayangnya, begitulah istilahku untuk anggota gengnya yang bodoh dan hanya bisa jadi pengikut. Sebenarnya aku nggak punya masalah dengan Alicia. Tapi aku nggak suka tingkah cewek itu. Dia selalu menganggap dirinya hebat. Selain itu, dia juga sok karena pergi ke sekolah naik BMW dan menganggap semua hal bisa diukur dengan materi. Alicia dan gengnya merasa mereka bisa memiliki apa saja, termasuk cowok idola sekolah. ”Ngapain lo? Nguping?” tanya Silvia menatap Alicia. Alicia menatap balik Silvia dengan tatapan ingin tahu. ”Nggak… Gue cuma pengin tau. Apaan tuh, yang ada di tangan lo?” Silvia mengangkat bahu. ”Oh… ini CD Alexander Julio yang udah ditandatanganin.” Alicia terkejut sesaat, lalu mengulurkan tangan-
36 nya. ”Gimana caranya lo berdua bisa dapet ini?” katanya sambil merebut CD yang ada di tangan Silvia. ”Hei, apa-apan nih?” tanya Silvia kesal. Dia nggak menyangka Alicia akan merebut CD itu. ”CD ini buat gue aja ya,” kata Alicia seenaknya. Aku memandang Alicia heran. Nih anak, otaknya ada yang nggak beres, kali ya? Seenaknya aja ngakungakuin punya orang. Tepat saat itu, dayang-dayang Alicia muncul dan bergerombol di sekitar Alicia. Oh ya, aku selalu punya sebutan untuk formasi geng Alicia. Seperti kali ini, anggota geng Alicia berkerumun membentuk lingkaran, kunamakan formasi bergerombol. Kadang-kadang mereka membentuk formasi menyerang, dengan Alicia berada paling depan sebagai tameng. Mereka memang pengecut dan bisanya cuma main keroyokan. Tapi aku heran, di sekolah kami, nggak ada yang berani menentang mereka. Alicia mencibir dan tersenyum penuh kemenangan. ”Coba liat. Gue dapet apa,” katanya. Alicia menunjukkan CD milikku dan bertingkah seolah-olah CD itu miliknya. ”Kalian lihat inisial ini… AJ… Persis nama gue, kan? Alicia Jurike.” ”Heh, lo jangan bertingkah deh. Mentang-mentang inisial nama lo sama dengan inisial Alex,” kata Silvia tajam. Deg! Aku baru sadar. Betul juga ucapan Silvia. Ini-
37 sial Alex sama dengan inisial Alicia. Ah, payah payah payah! Gimana sih nih? Orang yang paling aku benci kok bisa punya inisial yang sama dengan orang yang paling aku puja-puja? ”Al,” kata salah seorang anggota geng Alicia, ”tuh CD punya lo?” Alicia mengangguk senang. ”Hebat banget lo!” kata cewek itu sekali lagi. ”Stop stop stop!” Silvia menatap Alicia galak. ”Alicia, lo jangan konyol dan jangan bohong ya!” ”Konyol?” tanya Alicia. ”Bohong?” ”Lo tau kan, itu CD Mel,” desis Silvia. ”Ayo, kembaliin ke dia. Dan jangan ngaku-ngaku kalo CD itu punya lo. Ngerti?!” Silvia mulai unjuk gigi. ”Apa sih yang nggak bisa gue punya?” tanya Alicia sombong. ”Setiap hari aja gue bawa BMW ke sekolah.” Lalu Alicia menatapku tajam. ”Ini CD lo, Mel? Jangan mimpi deh. Mobil aja lo nggak punya!” Ya ampun. Kenapa dia bawa-bawa urusan mobil segala? Oke. Aku memang ke sekolah naik angkot, kecuali kalau dijemput Thomas. Tapi apa hubungannya sama masalah ini? Para dayang Alicia mengangguk-angguk setuju bagaikan kerbau dicucuk hidungnya. ”Al benar,” kata Sarah, tangan kanan Alicia, penuh semangat. ”Mana mungkin Mel bisa dapat tanda tangan Alexander Julio? Apalagi Alicia pernah foto bareng Alex.”
38 Apa? Alicia pernah foto bareng Alex? Aku hampir tersedak mendengar ucapan Sarah. Alicia menatapku sinis. ”Elo belum tau ya? Cucian deh lo!” ledeknya sambil mengeluarkan dompetnya. ”Liat nih, foto gue bareng Alex. Elo nggak punya, kan?” kata Alicia sambil memamerkan foto dirinya di tengah-tengah para finalis My Idol, termasuk Alex di ujung kiri foto. ”Kalau begitu, masalahnya selesai. CD ini emang punya gue yang hampir aja diambil Meliana Ikasia. Yuk, girls, kita pergi!” ”Heh, jangan sembarangan lo!” seru Silvia saat Alicia sudah mulai berjalan meninggalkan kami. ”CD itu punya Mel, tau!” ”Siapa bilang?” tanya Sarah galak. ”Gue!” kataku gugup. Alicia tertawa, diikuti para dayangnya. ”Mimpi kali ye….!” seru mereka berbarengan. ”Hei… gue serius nih!” kataku sekali lagi, tapi aku tak bisa menutupi kegugupanku. ”Mana buktinya kalo CD ini punya lo?” tanya Alicia mencemooh. ”Lo punya nggak, foto lo bareng Alex? Nggak punya, kan?” Silvia menatapku cemas. Aku menatap balik Silvia. Sial. Seharusnya aku menuliskan namaku di cover depan CD itu. Mungkin menempelkan stiker namaku. Atau mungkin seharusnya aku menempelkan foto photo box-ku di samping foto Alex yang sedang mengenakan celana pendek di pinggir pantai, di cover depan CD itu.
39 Alicia mengangkat bahu. ”Kalau begitu masalahnya udah jelas. CD ini punya gue.” ”Eh, enak aja lo!” bentak Silvia. ”Lagu-lagunya Alex aja lo nggak hafal, pake ngaku-ngaku jadi fans berat.” Alicia memerhatikan cover belakang CD. Dia melihat sederetan judul lagu lalu membacanya. ”Lagu pertama, ’Selamanya Cintaku’. Lagu kedua…” ”Ah, lo kan cuma baca,” desis Silvia marah. ”Ayo, balikin cepet. Itu punya Mel. Kemarin dia ketemu Alex langsung dan berhasil ngedapetin tanda tangannya.” Mendengar ucapan Silvia, aku langsung teringat pengalaman mengantre kemarin. ”CD itu punya gue,” kataku mantap. ”Lihat aja halaman dalemnya. Ada tulisan Alex buat gue.” Alicia menertawakanku. ”Maksud lo, tanda tangan Alex? Di semua album lagu, penyanyinya juga suka tanda tangan.” Aku menggeleng. ”Alex menuliskan kalimat khusus buat gue,” kataku sambil merebut CD itu dan membuka kotaknya. ”Lihat nih,” kataku sambil menunjukkan halaman kedua. Teman-teman Alicia membuka mulut dan mengeluarkan suara ”ooh” samar. Sebagian dari mereka langsung menatap Alicia tidak percaya. ”Itu benar, Al. Di situ tertulis jelas buat Mel,” kata salah seorang dari mereka.
40 ”Atau, Al…,” kata yang lainnya, ”nama panggilan lo Mel juga, kali?” tanyanya bego. Alicia mengernyit sejenak. ”Sialan!” Alicia mengernyit marah dan menaruh CD-ku di meja kantin. Lalu dia pergi begitu saja diikuti para dayangnya, meninggalkan aku dan Silvia terbengong-bengong. ”Dasar!” umpat Silvia setelah Alicia menjauh. ”Konyol banget tuh anak!” Aku mengangguk setuju. Hampir saja milikku yang paling berharga direbut Alicia begitu saja. ”Untung banget lo minta Alex nulis nama lo.” ”Iya sih,” kataku menyetujui pendapat Silvia. ”Untung kemarin gue setengah maksa berlama-lama ngobrol sama Alex.” Silvia melongo. Menatapku tidak percaya. ”Maksud lo?” Aku segera menceritakan semuanya kepada Silvia. Tanpa melewatkan satu detail pun. Silvia tertawa setelah mendengar keseluruhan ceritaku. ”Jadi,” katanya setelah lelah tertawa, ”lo ngantre segitu lamanya cuma buat nemuin Alex selama dua menit?” ”Jangan ngetawain gue dong, Sil…” ”Dua menit?” ulang Silvia sekali lagi. ”Pake bolos segala, lagi!” Silvia menggelengkan kepala. ”Ya ampuuun, Mel. Gue bingung banget deh sama elo.” ”Tapi sepadan, kan? Coba liat tulisan ’For Mel with Love’ yang ditulis Alex buat gue.”
41 Silvia mengangkat bahu. ”Terserah elo deh. Gue sih cuma ngasih saran. Kalo elo sampai ngebolos lagi cuma buat hal sepele kayak gini… sayang, Mel. Apalagi kalo pas ada ulangan.” Aku terpaku mendengar ucapan Silvia, lalu berkata, ”Kesempatan untuk bertemu dan minta tanda tangan artis idola kita tuh langka, Sil! Sekali seumur hidup! Kalo ulangan kan gue masih bisa ikut ulangan susulan?” Silvia tak menanggapi ucapanku. Dia hanya mengangkat bahu. * * * Sepanjang sisa hari itu, aku tak henti-hentinya membanggakan CD Alex ke seluruh teman sekelasku. Semua orang menatapku iri. ”Ih…., keren banget,” seru Mia, yang duduk di belakangku. ”Hebat betul,” kata teman-teman sekelasku sambil menatap penuh kekaguman melihat tanda tangan Alex. Tuh, kan? Apa kubilang. Memang Silvia aja yang aneh. Dia tetap nggak ngerti kenapa aku sampai bolos sekolah demi bertemu Alex. Teman-temanku sudah kembali ke kursi masingmasing. Tapi aku masih memandangi CD Alex kesayanganku. Kutatap tanda tangan Alex, dan kukenang kembali pertemuan kemarin.
42 Aku masih beruntung lho, bisa tetap hidup setelah mengantre selama itu. Malah pernah ada fans yang meninggal karena sesak napas atau tergencet hanya karena mengantre tanda tangan idolanya. Tapi, tentu saja, kejadian itu sama sekali nggak menimpa para fans Alexander Julio. Semua fans Alexander Julio ramah dan penuh kesabaran kok. Kecuali Alicia Jurike, kayaknya. ”Selamat pagi, Pak…!” tiba-tiba kudengar suara teman-temanku. Waduh! Pak Yono, guru matematikaku, sudah duduk di meja guru. Saking asyiknya melamun, aku sampai nggak ngeh Pak Yono masuk kelas. ”Coba kerjakan latihan satu halaman empat puluh lima. Gunakan rumus yang sudah saya ajarkan kemarin,” ujar Pak Yono tanpa basa-basi. Ucapan Pak Yono bagaikan halilintar di telingaku. Aku diam dan menunduk. Saat ini, pilihan terbaik bagiku memang cuma diam. Soalnya, Pak Yono bangkit dari duduknya dan berjalan mengitari kelas, mencari ”korban” untuk maju ke depan kelas dan mengerjakan soal di papan tulis. ”Coba, kamu maju,” kata Pak Yono di dekatku. Aku melirik ke sekitarku, mencari-cari siapa gerangan yang bernasib sial. Jantungku deg-degan. Aku sama sekali nggak ingat Pak Yono mengajarkan rumus apa. Tapi saat aku melirik ke sekitarku, aku malah me-
43 lihat teman-temanku sedang menatap balik ke arahku sambil tersenyum lega. Wah... wah... wah… Siapa sih yang diminta Pak Yono maju ke depan? Mengapa semuanya menatapku sambil tersenyum-senyum? A—apa itu berarti Pak Yono memintaku maju ke depan kelas? Hah? Serius nih? Tapi, Pak Yono yang sekarang sudah berdiri di sebelah meja guru malah menatapku dan mengangguk. ”Nggak susah kok,” katanya memandangku. ”Yang penting, penerapan rumus.” Ya ampun! Jadi Pak Yono menunjukku? Waduh! Aku bahkan nggak tahu rumus macam apa yang dimaksud Pak Yono. Aku melirik ke arah Silvia yang duduk di sebelahku. ”Ssst…, Sil, rumus apa sih?” tanyaku bingung. Silvia tidak menjawab. Dia tidak memandangku, tapi malah sibuk menulis dengan mimik serius. ”Sil, rumus apa? Ada di halaman berapa?” bisikku panik. Tergesa-gesa aku membuka buku pelajaran matematika, berharap menemukan rumus itu tertulis besar-besar entah di halaman berapa. Ah, sial! Kok aku bisa nggak tahu ya? Silvia tetap tak mau menatapku dan memberitahukan rumus itu ada di halaman berapa. ”Ayo, Meliana,” kata Pak Yono. ”Coba dikerjakan dulu. Tidak apa-apa kalau salah.” Hah! Tidak apa-apa kalau salah? Aku aja nggak tahu harus menulis apa! Tapi kalau rumus aja aku
44 nggak tahu, bisa gawat nih. Nanti Pak Yono bisa tahu deh kalau kemarin aku nggak masuk. Membolos, lagi. Aku menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursi, berharap keajaiban menghampiriku. Misalnya bel sekolah tiba-tiba berdering karena rusak atau ada yang iseng memencet. Tapi itu nggak mungkin, kan? Setelah menunggu keajaiban yang tidak kunjung datang, aku memberanikan diri berja… ”Ssst…!” bisik Silvia. Dia menyodorkan secarik kertas kecil. Silvia memang malaikat! Tanpa membaca kertas itu, aku sudah tahu itu jawaban soal. Dengan gerakan tidak kentara, aku langsung mengambil kertas yang disodorkan oleh Silvia dan maju ke papan tulis dengan menegakkan wajah. Dengan spidol di tangan kanan dan kertas sontekan di tangan kiri, aku membuka kertas itu dengan tangan bergetar. Aku langsung menyalinnya cepatcepat selagi Pak Yono sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Untunglah. Bagaimana jadinya kalau nggak ada Silvia? Pokoknya, saat ini aku melupakan omelan Silvia tentang bolosku kemarin. Aku sayang banget pada sahabatku itu. Apalagi di saat-saat genting seperti tadi. Pak Yono menoleh, dan mengangguk puas melihat jawabanku.
45 ”Makanya, belajar, Mel,” kata Silvia setelah aku kembali ke bangku. ”Coba kalau tadi ulangan mendadak, gimana tuh?” Aku mengangguk cepat. ”Iya iya…,” kataku. ”Gue tau. Kalau tadi ulangan mendadak, gue bakal tamat, kan?” Mata Silvia melebar. ”Kalau begitu, lo harus ngejar ketinggalan lo.” Hah? Dia ingin aku apa? Silvia membuka tas sekolahnya. ”Nih,” ujarnya sambil menyodorkan setumpuk catatan. ”Gue pinjemin. Catet dan pelajari ya.” Aku mengangguk. ”Besok lo harus udah nguasain,” kata Silvia galak. ”Kalau nggak, awas!” Aku mengangguk lagi. Tapi tetap aku nggak bisa menahan senyumku. Masa dia minta aku nguasain semua materi itu besok? Emangnya dia pikir aku ini saudaraan sama Einstein? Sahabatku ini sok galak deh!
46 MALAMNYA, aku menyalin catatan Silvia dengan susah payah. Ini memang perjuangan berat, karena tulisan Silvia sulit dibaca. Apalagi catatan yang harus kusalin berlembar-lembar. Kok bisa ya, ada cewek yang begitu manis tapi tulisannya kayak ceker ayam gini? Pakai huruf sambung, lagi. Beda banget dengan tulisanku yang rapi dan menggunakan huruf cetak. Aku memegang catatan Silvia dan mendekatkannya ke mataku. Silvia nulis apa sih? Dinasti apa yang membangun Borobudur? Syah…bandar? Halah! Catatan sejarah Silvia tidak bisa kubaca dengan jelas. Mataku jadi sakit, kepalaku pusing. Lebih baik aku istirahat dulu. Aku sedang menutup catatan Silvia ketika ponselku berbunyi. Hah? Malam-malam begini ada telepon? Aku melirik sepintas ke arah jam dinding kamarku. 4
47 Sudah jam dua belas. Siapa yang meneleponku tengah malam begini? Kutatap layar HP. JENIFER. Aku mengerjapkan mata heran. Jenifer mana ya? Memangnya aku punya teman yang namanya Jenifer? Kok aku nggak ingat. HP-ku terus berbunyi. Aku masih bingung, akan menjawabnya atau tidak. Si Jenifer kok iseng amat sih? Nelepon kok tengah malam begini. Tapi HP-ku terus berdering menyebalkan, dan dalam hitungan kesepuluh mungkin suaranya akan membangunkan orangtuaku. Dengan agak malas, aku akhirnya memutuskan mengangkat HP-ku. ”Halo,” kataku sambil mengucek mata. ”Mel,” kata sebuah suara yang tidak kukenal. ”Ini gue, Jenifer.” ”Iya, gue tau nama lo Jenifer. Tapi gue lupa nih, elo tuh yang mana ya?” ”Masa lupa sih? Kita kan ketemuan waktu jumpa fans Alexander Julio…” ”Ya ampun!” Aku langsung ingat. ”Iya, Jen. Ada apa?” ”Coba nonton TV8 deh,” Jenifer menjawab kebisuanku. ”Ada Alex di Midnite Live.” ”Masa sih?” tanyaku. Kantuk yang menyelimuti tubuhku seolah-olah sirna. ”Ini udah lewat jam dua belas lho.” ”Itu sebabnya acaranya disebut Midnite Live.”
48 ”Oke oke,” kataku sambil bersiap-siap ke luar kamar. ”Thanks ya.” Begitu Jenifer menutup telepon, aku berjalan ke ruang TV. Kulangkahkan kaki dengan semangat ’45. Jarang lho, Alex muncul di acara tengah malam. Setahuku malah nggak pernah. Aku mendapati lampu di ruang TV masih menyala, dan ini membuatku heran. Siapa yang masih menonton tengah malam begini? Ternyata kakakku sedang menonton TV dengan mata tak berkedip. Kutatap layar televisi yang sedang menayangkan siaran tunda pertandingan sepak bola luar negeri. Arghhh…, aku mengerang pelan. Bagaimana mungkin aku bisa menonton Alex di TV8 jika kakakku nonton pertandingan sepak bola dengan begitu serunya? ”Peter…,” kataku sambil menghampiri kakakku. ”Lagi nonton, ya?” Peter mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari TV. Aku bahkan bisa melihat bayangan orang berlarian di bola matanya. Yah... kalau begini, aku pasrah deh. Bakalan susah nih minta dia ganti channel. ”Boleh nggak, gue ganti ke TV8?” Kakakku menggeleng, tanpa mengalihkan pandangan dari televisi. Sial. Gimana nih? Aku sudah kehilangan lima belas
49 menit wawancara dengan Alex. Siapa yang tahu info apa saja yang sudah kulewatkan? ”Sekali ini aja deh, Pet,” kataku sambil duduk di sampingnya. ”Ssst…!” kata Peter. ”Jangan berisik.” Tepat pada saat itu iklan ditayangkan. ”Ah, lagi seru-serunya,” kata Peter geram. ”Mereka kok bisa seenaknya sih nayangin iklan waktu hampir gol?” Aku mengangkat bahu tak peduli, dan langsung mengambil remote. ”Eh… eh… eh! Ngapain lo?” tanya Peter, merebut kembali remote TV. ”Sebentaaar aja. Lagi iklan, kan?” aku beralasan, sambil merebut remote dan langsung menekan tombol channel TV8. Di layar TV, senyum lebar Alex langsung menyapaku. ”Saya suka gadis yang apa adanya,” kata Alex. ”Saya nggak suka gadis yang sifatnya dibuat-buat. Apalagi yang dandannya berlebihan.” Aku menganggukkan kepala. Setuju dengan pendapat Alex. Mana ada cowok yang mau pacarnya dandan terlalu menor seperti topeng? ”Ini acara apaan sih? Apa bagusnya, lagi! Balikin ke bola lagi dong, Mel!” perintah Peter. ”Bisa nggak sih, nggak ada hal berbau Alex di rumah ini sehari aja? Apa-apa Alex. Sebentar-sebentar Alex. Bosen, tau!” ”Hush,” kataku sambil menepiskan tangan ke arahnya. ”Jangan ganggu konsentrasi gue dong.”