150 tangan dan menjabat tanganku erat. ”Senang makan bareng kamu, Mel,” katanya. Kemudian Alex pergi begitu saja membawa komikku, sebelum aku sempat mengucapkan sepatah kata pun.
151 AKU terpaku tak percaya. Alex pergi meninggalkanku begitu saja, bahkan tanpa kata-kata perpisahan! Memangnya selama ini dia nganggap aku apa sih? Aku kan bukan mainan yang langsung bisa ditinggalkan begitu saja setelah dia bosan. Pikiran buruk tibatiba datang menghantuiku. Bagaimana kalau dia meninggalkanku karena dia tahu aku berbohong soal shushi? Atau yang lebih parah, bagaimana kalau Alex menganggapku cewek yang membosankan? Aku duduk merosot di kursi, berusaha menahan air mata yang siap tumpah di wajahku yang panas. Aku terpaku selama lima menit, menatap kursi yang tadinya diduduki Alex. Denting piano saat ini terdengar begitu menyayat hati dan perasaanku. Aku bingung dan shock. Beberapa saat yang lalu Alex begitu baik terhadapku. Dia tertawa melihat tingkahku 15
152 yang kikuk. Dia bahkan suka membaca komik seperti aku. Dan… DUAR! Bagaikan balon pecah, lima menit kemudian dia meninggalkanku begitu saja. ”Ini dessert spesial hari ini.” Pelayan datang dan menghampiriku. Dia membawakanku puding kuning berhias stroberi yang beberapa saat lalu pasti akan kuanggap sangat menggiurkan. Lalu, setelah menatap wajahku, pelayan tadi menatapku iba. ”Anda baik-baik saja?” Otakku kosong melompong, seperti rumah yang tidak diisi perabotan. Tapi aku berusaha mengangguk pelan dan mengerjap-ngerjapkan mata yang penuh air mata. ”Kayaknya Pak Alex terburu-buru ya,” kata pelayan itu sambil termenung. Aku tak tahu harus mengatakan apa, jadi aku hanya terdiam dan mengangguk. ”Panggil saya saja jika Anda membutuhkan sesuatu,” kata pelayan itu lalu meninggalkanku. Aku terdiam, sambil menekuri meja. Semangkuk puding cantik ada di hadapanku. Aku ingin mencicipinya. Tapi sebelum makanan itu menyentuh mulutku, bibirku merasakan air mataku yang asin. Aku mulai terisak. Akhirnya, aku memanggil Andre dari kejauhan. ”Tolong siapkan bill,” kataku tercekat. Bagaimanapun, aku masih punya harga diri untuk tidak kabur begitu saja setelah makan di sini. Tidak seperti Alex.
153 Andre menggeleng. ”Sudah dibereskan Alex sejak dia reservasi di sini.” Aku terdiam, dan mencoba melihat jam tanganku. Jam sembilan lewat. ”Kalau begitu, saya permisi. Terima kasih.” ”Terima kasih juga atas kunjungan Anda,” kata Andre sopan saat aku meninggalkan Café Bien. * * * Aneh memang. Saat aku datang ke kafe ini, aku melangkah penuh semangat. Dan sekarang, beberapa jam kemudian, aku berjalan dengan lunglai. Semangat dan gairahku menguap begitu saja. Aku bahkan tak sempat mengucapkan kata-kata perpisahan atau apa pun pada Alex. Dan aku juga tak tahu bagaimana kesannya mengenai kencan kami ini. Aku menghela napas. Mungkin ini yang dinamakan kencan kilat. Tanpa komitmen, tanpa arti apaapa. Cocok banget buat menghilangkan kebosanan. Dalam hati aku menyesal. Seharusnya aku lebih tanggap. Alex hanya menganggapku sebagai selingan di kala dia bosan. Dia sama sekali tak berniat mengenalku lebih dekat. Padahal aku sudah mengangankan menjadi bintang video klip lagu barunya. Aku memang tolol. Kenapa sih aku mau dibodohi seperti ini dan ditinggalkan begitu saja? Tiba-tiba aku tersentak. Kurasakan nyeri di hatiku. Baru kusadari, aku yang baru mengenal Alex saja merasa sangat
154 terluka ditinggalkan begini. Apalagi Thomas, yang sudah setahun jadi pacarku dan akhirnya kami putus. Aku memang jahat. Aku tolol! Apalagi aku nggak bawa mobil karena aku pikir Alex bakal mengantarku pulang, seperti tawarannya waktu itu. Aku berjalan terhuyung keluar, berusaha mencari taksi. Tapi tak ada taksi yang kosong dan menanti di lobi. Bagus! Lengkap sudah penderitaanku. Aku merengut kesal. Sudah tidak dihargai, tidak diantar pulang, taksi pun aku tidak dapat. Aku menggigil kedinginan, dan melirik jam tanganku. Entah sudah berapa lama aku berdiri di sini. Tapi tak ada taksi yang muncul. Aku berusaha membuang jauh-jauh pikiran mengenai kemalanganku yang bertubi-tubi, dan mulai berharap aku bisa pulang segera. Dengan selamat. Tepat di saat aku sedang berharap semoga saja ada orang yang kukenal lewat di depanku, sebuah taksi melintas di depanku. * * * Malam itu aku pulang dengan merana. Seumur hidup, belum pernah aku mengalami kejadian buruk dua kali berturut-turut. Sampai di rumah, aku langsung merebahkan diri ke ranjang dan menangis sejadi-jadinya. Saat aku
155 merasakan hidup ini begitu membahagiakan—bisa dekat dengan Alex yang selama ini hanya ada dalam anganku—aku malah diputusin Thomas, cowok dengan hobi aneh yang sebenarnya baik hati. Sayangnya, dia selalu membuatku bosan. Duh! Cowok yang membuatku bosan saja mutusin aku. Aku juga ditinggal pergi begitu saja oleh cowok yang kuidolakan saat sedang makan malam. Aku bahkan belum sempat meminta foto bareng dengannya. Padahal aku sangat berharap fotoku bareng Alex bisa kupamerkan di sekolah. Dan, kejadian kecil tapi lumayan ngeselin juga, Alex membawa komikku begitu saja! Seharusnya dia sopan sedikit dong. Setidaknya dia kan bisa mengucapkan terima kasih atau melambaikan tangan kepadaku. Aku menghela napas panjang. Kejadian demi kejadian yang baru saja kualami pasti tidak nyata. Kehidupan nyata milikku bukanlah makan malam mewah bersama idolaku sambil berharap aku akan dipilih menjadi bintang video klip terbarunya. Kehidupanku yang sesungguhnya adalah pulang ke rumah, mendapati kedua orangtuaku memarahiku karena pulang malam sendirian. Kehidupan nyata milikku adalah banyaknya nilai jelek bertebaran di kertas ulanganku. Dan aku sama sekali tak punya gambaran bagaimana membuatnya bagus. Ah. Sudahlah. Lupakan. Lupakan tentang Alexander Julio. Cowok idola
156 masa kini yang sombongnya selangit. Dia jelas nggak pantas jadi idola.
157 KEESOKAN paginya, badanku terasa kaku dan pegal. Kepalaku pusing. Dunia serasa berputar saat aku membuka mata. Aku masih ngantuk berat. Rasanya pengin bolos sekolah saja. Tapi aku tahu sebentar lagi ulangan umum. Nilai ulanganku akhir-akhir ini juga merosot tajam. Silvia pasti bakal menjerit histeris jika tahu ada angka merah di raporku. Jadi, akhirnya aku bangkit dengan enggan, turun dari tempat tidurku, dan bersiap sekolah dengan mata lebih bengkak daripada kemarin. Untunglah, teman-teman sekelasku begitu sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka tidak memerhatikan mataku yang bengkak. Tapi setelah aku duduk cukup lama di kursi, aku baru menyadari bahwa mereka sibuk membaca. Silvia bahkan sedang ngobrol seru dengan Katty, si bintang kelas. 16
158 Lalu aku mendengar gumaman tak jelas di sekitarku. ”Ulangan…” ”Banyak amat…” Otakku langsung bekerja. Ulangan? Perasaan nggak ada ulangan minggu ini. ”Mel,” sapa Silvia saat sudah kembali ke kursinya. ”Udah tau, belum?” ”Apa?” tanyaku nggak ngerti. ”Hari ini ada ulangan matematika mendadak.” Aku mengernyit heran. ”Ulangan? Perasaan, gue apes banget ya. Setiap ada ulangan mendadak kok gue nggak tau?” tanyaku. ”Konsentrasi lo nggak ke pelajaran sih. Ke Alexander melulu. Sekarang cepetan deh belajar. Bahannya dari bab dua.” Ya ampun! Ini nggak nyata, kan? ”Tau dari mana hari ini bakal ulangan mendadak?” tanyaku setelah akal sehatku mulai ”menyala”. ”Barusan ada yang liat Pak Yono motokopi soal,” kata Silvia sabar. ”Yang bener!” seruku terlonjak kaget. ”Bukan buat hari ini, kali…” ”Tapi buat jaga-jaga, sekarang cepetan deh lo belajar.” Silvia sudah tidak menatapku lagi, melainkan sibuk membaca catatannya. Ini bercanda, kan? Aku kan nggak mungkin ingat semua rumus ribet itu dalam waktu sepuluh menit? Tapi omongan Silvia terbukti. Pak Yono muncul
159 satu menit setelah bel masuk berbunyi, dan memberitahukan bahwa ada ulangan. Walaupun penolakanpenolakan dikumandangkan seperti koor yang kompak, termasuk dariku, keputusan Pak Yono tidak bisa diganggu gugat. Jadi, aku pasrah saja ketika hasil ulanganku dibagikan saat jam terakhir. Nilaiku 51! Kalau dipikir-pikir, sebenarnya nilai 51 nggak jelek lho, kan aku cuma belajar sepuluh menit. Coba kalau aku belajar dua puluh menit, aku bisa dapat seratus dua, kan? Hebat, kan? Silvia aja cuma dapat nilai seratus. Ah, ngaco kamu, Mel! kataku dalam hati. * * * Sejak ditinggal begitu saja oleh Alex di Café Bien, mulai sekarang aku selalu ganti channel TV jika kebetulan wajah Alex muncul. Lebih baik aku nonton siaran ulang sepak bola daripada melihat dia. Cowok sombong! Hubunganku dengan Alex nggak bakal berlanjut. Titik. Demikian pula statusnya sebagai bintang idolaku. Tamat. Finish. The End. Sebagai gantinya, aku konsentrasi belajar. Setelah sekian lama Silvia mencuci otakku, aku baru sadar. Kok bisa ya selama ini aku cuma memikirkan baju, sale, Alex, dan pacar (maksudku mantan)? Padahal ujian ada di depan mata.
160 Beruntung aku punya Silvia. Dengan senang hati, telah seminggu ini dia mengajariku pelajaran apa pun tanpa kuminta, dan meminjamkan catatannya yang sangat detail. Memang sih, harus kuakui aku tetap nggak bisa membaca tulisan Silvia. Tapi sejak ditinggalkan begitu saja oleh Alex, aku bertekad harus belajar, belajar, dan belajar. Soalnya nggak bakalan ada yang mengatrol nilai raporku jika nilainya kebakaran. Aku kan bukan anak kepala sekolah. Atau anak kepala yayasan kayak Alicia. ”Mel, jangan bengong,” kata Silvia membuyarkan lamunanku. ”Kita sama sekali belum belajar trigonometri…” Aku mengangguk dan kembali belajar. ”Apa semua catetan gue udah lo salin?” Aku mengangguk lagi. ”Coba gue lihat.” Aku menunjukkan catatanku padanya. Satu hal yang membuatku nggak habis pikir adalah, bersahabat dan belajar bareng Silvia membuatku seperti sedang les. Atau sedang belajar di kelas. Kadang-kadang malah aku merasa Silvia bukan temanku, tapi juga guru. ”Mel, catetan lo gue balikin nih,” kata Silvia sambil menunjukkan catatanku yang dicoret-coret dengan spidol merah. ”Apaan nih?” tanyaku tak mengerti. ”Lo salah tulis,” kata Silvia, ”tapi udah gue betulin kok.”
161 Tuh, kan. Apa kubilang? Silvia punya bakat jadi guru. ”Oh ya, kok lo nggak cerita tentang kencan lo sama Alex?” tanya Silvia, membuyarkan lamunanku sekali lagi. ”Gue heran lho, udah seminggu lo ketemuan sama Alex, tapi kok lo adem-ayem aja?” Aku menggeleng. ”Nggak ada yang perlu diceritain.” ”Masa?” ”Dia cowok yang nyebelin. Ninggalin gue sendirian saat…” ”Ah, jangan bercanda, Mel…” Aku mencebik. ”Nggak, gue serius. Dia ninggalin gue sendirian setelah pesen dessert.” ”Apa dia nggak makan dessert-nya juga?” Aku menggeleng. ”Alex kan pantang macemmacem makanan. Mungkin dessert juga salah satu pantangannya.” ”Mungkin dia mau jaga suaranya.” ”Bagi gue dia nyebelin. Ninggalin gue gitu aja.” ”Kenapa lo nggak telepon dia dan tanya alasannya?” ”Gue nggak punya nomor teleponnya.” ”Mungkin dia lagi buru-buru,” kata Silvia membela Alex. ”Nggak kok,” kataku mengingat-ingat. ”Dia nyantai banget sebelumnya.” Aku menatap Silvia tak percaya. ”Eh, gue kira lo nggak peduli sama Alex.” Silvia tampak salah tingkah. ”Bukan gitu. Sebenarnya menurut gue, dia cakep juga sih…”
162 ”Hm, dasar! Kalo suka ngomong aja. Lo mau gue kasih CD dia yang ada tanda tangannya nggak?” ”Mel, lo lagi kesambet, kali ya?” ”Nggak, Sil. Gue mau konsen belajar. Bentar lagi kan ujian .” Silvia mengangguk. ”Lo bener banget. Ayo belajar lagi!” * * * Jakarta, Ricek Gosip mengonfirmasi bahwa dia baru saja kencan. Menurut sumber yang bisa dipercaya, sebenarnya Alex melakukan kencan di kafe itu. Sayang, tim Ricek Gosip tidak berhasil menemukan teman kencannya. Alex, yang mengenakan topi dan kacamata hitam memang sengaja menyamar dan ingin menyembunyikan teman kencannya. Dia belum mau mengungkapkan siapa teman kencannya itu. ”No comment,” ujarnya singkat. Namun akhirnya, setelah beberapa kali dibujuk, Alex sempat mengakui bahwa dia memang habis kencan. Tapi tetap saja Alex tidak mau mengatakan apa-apa mengenai teman kencannya. Dia juga tidak mau menjawab apakah teman kencannya berasal dari kalangan artis atau bukan. Setelah Alex berlalu pulang, tim Ricek Gosip berusaha mengorek keterangan dari manajer kafe tempat Alex kencan. ”Ini merupakan privasi tamu kami,” kata Andre Husien Wiranata, sang manajer kafe. Alexander Julio mulai dikenal luas setelah menjadi juara I My Idol, dan single-nya yang berjudul Selamanya Cintaku mendapat penghargaan multiplatinum dengan angka penjualan fantastis, mendekati sejuta keping. Ditemui di pelataran parkir kafe terkenal, Alexander Julio (20) melayani wawancara kami. ”Saat ini saya sedang mencoba dunia perfilman,” ujarnya. Alex menceritakan panjang-lebar mengenai rencana karier dan keikutsertaannya main film. ”Film ini bertema kehidupan di kota besar, tentang remaja yang ingin sekali dianggap gaul,” katanya antusias. Saat ditanya wartawan apa yang sedang dilakukan Alex di kafe itu, Alex menjawab singkat bahwa dia baru saja makan malam. Di kafe yang terkenal romantis itu Alex menolak
163 ULANGAN datang bertubi-tubi bagai serangan badai. Walaupun bukan ujian akhir, tetap saja terasa dahsyat. Terlebih jika kedua orangtua dan sahabatku terus ngoceh agar aku rajin belajar. Menurutku, terpaan ulangan kali ini nggak terlalu bikin aku pusing. Yang bikin aku ”gerah” adalah beredar gosip bahwa Alicia Jurike baru saja kencan dengan Alex. Tentu saja aku nggak percaya gosip murahan seperti itu. Alex kan nggak kenal Alicia? Tapi seantero sekolah langsung menginterogasi Alicia, ingin mendengarkan ceritanya. ”Gue kan kenal deket sama Alex,” kata Alicia berdiri di pinggir lapangan, dikerubungi sejumlah cewek yang ingin tahu. Aku kebetulan lewat bareng Silvia. Bete banget deh, ngelihat Alicia saat ini. Kayak lampu neon dirubungi laron. Norak banget sih dia. Tapi tampaknya 17
164 para cewek itu nggak ada yang satu pikiran denganku. Semua begitu histeris, sampai aku berani bertaruh, Alicia pasti merasa udah jadi artis juga. ”Yah… gitu deh,” kata Alicia dengan kalimat sok dilambat-lambatin. ”Kalian tahu kan, bokap gue? Nah, beberapa hari lalu Bokap ngajak gue makan malam. Dan ternyata…” Aku berusaha menjauh dan nggak mau mendengar bualan Alicia. ”Ternyata apa…?” ulang sebagian anak tolol yang mau saja percaya Alicia yang jelas-jelas bohong. ”Ternyata, gue dapat kejutan. Makan malam bareng Alex di Café Bien!” kata Alicia penuh kemenangan. ”Gue kaget banget. Alex udah duduk di meja, nungguin gue.” Apa?! Café Bien?! Aku jadi makin penasaran. ”Terus?” tanya salah satu cewek. ”Yah,” kata Alicia mengangkat bahu. ”Selanjutnya, gue dan Alex langsung akrab.” ”Asyik banget!” celetuk salah satu dari ”laron-laron” itu. ”Ah, itu sih belum apa-apa,” kata Alicia sok. ”Sebagai hadiah buat sekolah, gue ngundang Alex datang ke pensi lho. Dia juga mau ngisi pensi sekolah kita.” ”HOREEE!” ”ASYIKKK!” ”SIAPA DULU DONG! ALICIA!”
165 Para cewek kecentilan itu bersorak-sorak kegirangan. Anak-anak lain yang mendengar jadi tertarik dan ikut merubungi Alicia. ”Apa?! Alex mau nyanyi di pensi kita?” ”Yup,” jawab Alicia mantap. ”Thanks banget ya, Al. Ini semua berkat jasa lo…” Hah? Siapa lagi tuh yang jadi penjilat?! aku dongkol sekali. ”Ah, never mind…,” kata Alicia GR. ”Oh ya, gue juga mau ngundang wartawan , biar sekolah kita top.” ”Hebat!” ”Gilee!” ”Keren banget, Al!” Para penjilat itu kembali beraksi. ”Bokap gue seneng banget sama rencana gue ini. Katanya kalo sekolah kita tambah top, mobil gue bakalan diganti sama Mercedes.” Tuh, kan? Alicia makin ngaco deh. Makin gede bohongnya. Alicia mengibaskan rambutnya. ”Makanya, kalian mesti baik-baik sama gue kalau mau dapetin tanda tangan Alex.” Aku mendengar gumam kekaguman teman-teman sekolahku. Perasaan kesal, marah, iri, mulai merayapi hatiku. ”Alex juga ngasih tahu rahasianya ke gue lho,” kata Alicia sekali lagi. ”Top secret nih, soalnya nggak ada infotainment yang tahu.” Aku bisa merasakan cewek-cewek itu menahan na-
166 pas. Entah bagaimana, suasana langsung sunyi senyap. ”Alex suka…,” kata Alicia setengah berbisik, ”baca komik Detektif Conan.” Apa? Apa? Apa?! Aku juga udah tau rahasia itu, kataku dalam hati. ”Masa sih?” kata salah satu dari cewek-cewek itu. ”Betul kok. Makanya, gue bilang ke Alex kalo gue juga suka baca komik. Yah, biar dia seneng gitu lah, ada yang hobinya sama.” Cuih! Yang benar aja. Alicia nggak mungkin mau baca komik. Dia kan setipe sama Mila, teman kuliahnya Peter. Menurut mereka, komik tuh kekanakkanakan dan malu-maluin bacanya. Sedetik kemudian, bel masuk berbunyi. Pestanya bubar…! Aku melirik jam tangan dan melengos kecewa. Seharusnya tadi aku tidak menguping omongan Alicia yang tak bisa dipercaya. * * * Gara-gara terpengaruh Alicia, aku nggak bisa konsentrasi waktu ulangan tadi. Sebel banget! Cepat-cepat kubereskan tempat pensilku dan kumasukkan ke tas. Silvia sampai heran melihatku ingin cepat-cepat pulang. Otakku sibuk berpikir. Aku harus melakukan sesuatu. Akhirnya aku membulatkan tekad.
167 ”Alicia, tunggu!” kataku terengah-engah mengejar Alicia. Tidak kupedulikan Silvia yang terbengongbengong menatapku. Alicia yang sudah berjalan jauh di depanku—diiringi dayang-dayangnya—menoleh padaku. ”Alicia…,” kataku setelah berhadapan dengannya. ”Gue… gue mau tanya…,” kataku ngos-ngosan. Alicia menyela bicaraku, ”Gue bukan tukang ngibul kayak elo, Mel!” Weits! Enak aja dia bilang begitu. Tapi kutahan kesabaranku. ”Seperti yang tadi gue bilang, Alex banyak curhat sama gue. Dia juga ngasih gue CD dan fotonya—” ”Bukan itu,” kataku memotong ucapan Alicia. ”Apa dia bilang tentang…,” kataku dengan suara pelan, ”…gue?” Alicia membelalakkan matanya. ”Ih, kege-eran! Emang Alex kenal sama elo? Fansnya dia kan banyak. Mentang-mentang elo udah dapet tanda tangannya, terus otomatis lo inget dia, gitu?” Aduh. Omongan Alicia bener juga, aku menggerutu dalam hati. Ngapain juga aku nanya ke Alicia ya? Aku sih sebenarnya pengin tau, apakah Alicia makan malam di kafe yang sama denganku dan di malam yang sama pula? Kemudian, salah satu dayang Alicia bilang, ”Eh, si Mel kan punya CD yang ditandatangani Alex.” ”Ih,” kata Alicia jijik. ”Mel, emangnya lo kira Alex bakalan nginget elo? Kalian kan cuma ketemuan
168 waktu elo antre minta secuil tanda tangannya, kan? Alex malah cerita, dia kecapekan ngeladenin penggemar-penggemar gila. Ya kayak elo gitu deh.” Aku membelalakkan mata tak percaya. ”Hah?!” Alicia lalu melengos dan membalikkan badannya, diikuti para dayangnya. * * * Sepeninggal Alicia, aku terbengong-bengong. Aku kesal bukan main. Tapi aku beruntung, punya sahabat Silvia. Dia menyusulku dan menenangkanku. ”Udah, Mel. Cewek aneh kayak gitu aja lo ladenin. Mendingan lo main ke rumah gue yuk. Kita belajar bareng, buat ulangan besok.” Kali ini aku menurut 100% pada Silvia. Aku ingin konsentrasi ke pelajaran. Harus. Lupain deh tuh Alex. Tapi saat aku sedang serius belajar di kamar Silvia, aku dikejutkan oleh bunyi klakson mobil yang pernah sangat kukenal. Mobil Thomas! Aku menelan ludah dan berharap perkiraanku salah. Mudah-mudahan itu mobil tetangga Silvia yang juga punya hobi modifikasi mobil, dan membuat bunyi klakson mobilnya lebih berat, persis klakson mobil Thomas. Tapi tak sampai dua menit kemudian, pintu kamar Silvia terbuka sedikit. Dan… ternyata benar, wajah Thomas muncul di ambang pintu!
169 ”Sil,” kata Thomas dari luar, ”gue boleh masuk nggak?” Tanpa menunggu jawaban Silvia, Thomas melangkah masuk ke kamar. Separuh tubuhnya masih ada di balik pintu saat dia menatapku, dan berhenti melangkah. Dia langsung membeku. Sorot matanya tampak aneh. Oh. Tidak, Thomas! Jangan memandangku dengan tatapan aneh begitu. ”Kamu di sini, Mel?” Mendadak aku jadi kikuk. ”Aku lagi belajar bareng Silvia.” Silvia mengangguk. ”Betul. Daripada Mel nyontek terus. Nanti malah nggak pinter-pinter.” ”Apa kabar, Tom?” tanyaku basa-basi. ”Baik.” Thomas mengangguk. ”Sil, gue mau ngomong. Lo ada waktu sebentar nggak?” ”Ada apa sih?” tanya Silvia ogah-ogahan. Aku tahu betul, Silvia sebel banget kalau waktu belajarnya terganggu. ”Bisa keluar bentar nggak?” tanya Thomas sambil menunjuk ke luar pintu. ”Ada yang mau gue omongin.” Silvia menggeleng. ”Sori. Gue lagi belajar. Satu jam lagi ya.” Aku mendengarnya tak percaya. Sejam lagi? Ya ampun. Bisa meledak kepalaku! ”Biar gue yang keluar, Sil,” kataku sambil mulai berjalan ke luar kamar. Tubuhku hampir saja ber-
170 sentuhan dengan Thomas, yang entah mengapa masih tetap merapatkan separuh tubuhnya di balik pintu. ”Eh, Mel,” teriak Silvia tiba-tiba, ”kita kan belum selesai!” ”Sori, bisa minggir dikit, Tom?” tanyaku sambil berjalan melangkah ke pintu. Lalu, sambil membalikkan badan, aku menatap Silvia. ”Sori. Gue break sebentar.” Aku bisa mendengar Silvia ngedumel, tapi aku melangkah keluar. Bisa-bisa Thomas menganggap aku masih care sama dia, lagi. Saat aku keluar dari kamar Silvia, aku melihat ada cewek di samping Thomas. Dan tangan kiri Thomas ternyata sedang menggenggam tangan cewek berambut ikal itu. ”Halo,” sapa cewek itu. ”Halo juga,” kataku singkat. ”Eh,” kata Thomas, tampak salah tingkah. ”Sori, aku nggak nyangka ada kamu di sini. Aku cuma mau ngenalin Sisi ke Silvia.” Sial. Kenapa sih dia mesti ngomong kayak ember begitu? ”Oh, EGP,” kataku. ”Bisa permisi bentar? Aku mau keluar.” Langkahku terhenti ketika tiba-tiba Silvia muncul dari dalam. ”Tom, lo ada urusan apa sih…?” ”Eh, Sil, ini..,” Thomas tampak salah tingkah. ”Gue mau ngenalin Sisi ke elo.” Thomas memandang ce-
171 wek di sampingnya, lalu melanjutkan, ”Si, kenalin nih, sepupu aku. Dan ini…,” Thomas menatapku, ”Meliana. Teman aku.” Sisi mengangguk dan menatapku tajam. Melihat tatapan Sisi, aku seperti disiram air panas. Apa sih yang sudah diceritakan Thomas padanya? Kok Sisi menatapku kayak gitu? ”Nah, kalau udah beres,” kata Silvia memecahkan kesunyian, ”gimana kalo lo balik sejam lagi? Gue sama Mel lagi nggak mau diganggu nih. Kami lagi seru belajar.” Aku mendengarnya tak percaya. Lama amat, satu jam lagi! Tapi saat menatap wajah Silvia, aku mengerti. Itu hanya taktik Silvia agar aku nggak terluka melihat Thomas sudah menggandeng cewek lain. ”Gue cuma sebentar kok, Sil,” kata Thomas. ”Soalnya kami mau ke pameran mobil. Iya kan, Si?” lanjut Thomas sambil menatap Sisi. Sisi menganggukkan kepalanya. ”Yup,” katanya datar. Dalam hati aku ketawa ngakak. Sorot mata Sisi sama sekali nggak menunjukkan dia senang diajak ke pameran mobil. Sebagai mantan pacar Thomas, aku juga pernah merasakan keterpaksaan itu. Biar saja Thomas dapat gandengan baru. Aku mau lihat, berapa lama ceweknya itu bertahan. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, sebenarnya Thomas cowok baik kok. Kasihan banget dia, dapat pacar yang suka berpura-pura suka dengan hobinya.
172 ”Kalo gitu, aku cabut dulu ya,” kata Thomas, membuyarkan pikiranku. Sisi melambaikan tangan tanpa berkata apa-apa, dan langsung menggelayut manja ke lengan Thomas. Saat mereka sudah berjalan beberapa langkah, aku menatap Silvia yang menatapku balik. ”Sebentar, Sil,” kataku, dan setengah berlari mengejar Thomas. ”Tom, bisa ngobrol bentar, nggak?” Di luar dugaanku, Sisi malah menatapku galak. ”Lo udah tamat,” katanya ketus. ”Mau apa lagi lo deket-deket Thomas?” Aku menatapnya tak percaya. ”Tom, bisa ngomong sebentar, please?” tanyaku sekali lagi, dan mengabaikan tatapan galak Sisi. ”Ada apa sih, Mel?” tanya Thomas salah tingkah. ”Si, bisa tunggu di sini sebentar?” ”Bagus! Kalian mau mesra-mesraan di sini, ya? Di hadapan gue?” Aku terperanjat, sama sekali nggak percaya mendengar ucapan Sisi. Tapi aku harus memberitahu Thomas. Harus. Aku nggak mau Thomas diperlakukan seperti itu oleh pacarnya, sebagaimana aku perlakukan dia dulu. Berlagak menikmati hobinya dan berlagak senang diajak ngobrol apa pun tentang modifikasi mobil. ”Terserah kalo elo nggak bisa percaya sama cowok lo sendiri,” kataku tanpa basa-basi. Lalu, sambil menatap Thomas, aku berkata, ”Aku minta maaf atas sikapku selama ini, Tom.” Aku berani bertaruh. Tanpa
173 menatap Sisi, aku bisa melihat mata cewek itu melebar. ”Aku sudah bohongin kamu selama ini…” ”Beraninya lo minta maaf setelah selingkuh dan minta dia balik lagi setelah tau dia punya pacar,” kata Sisi galak. ”Dasar pecundang.” Mendengar ucapan Sisi, kesabaranku jadi menipis. ”Heh, dengerin ya! Gue nggak mau balik ke Thomas. Gue cuma mau minta maaf karena dulu gue jahat sama dia!” Thomas terdiam. ”Kamu nggak salah kok, Mel.” Sisi semakin melotot. ”Heh, jangan berani-beraninya minta dia balik lagi ke elo ya! Sekarang dia pacar gue, bukan pacar lo…” Aku tak peduli pada Sisi. Yang kutuju adalah Tom. ”Tom, aku kasih tau ya. Kalo punya pacar, jangan paksain hobi kamu ke dia. Soalnya belom tentu cewek kamu suka sama hobi kamu. Terus, aku juga mau bilang, jangan ngajak dia ke tempat yang sama terus-menerus soalnya dia bisa bosan. Maafin aku, dulu aku pura-pura suka sama hobi kamu. Padahal aku bosan banget.” Lalu, sambil melihat Thomas yang terkejut, aku melanjutkan, ”Semoga hubungan kamu sama Sisi awet ya.” ”Astaga,” kata Sisi lalu membekap mulutnya. ”Tom, percaya deh sama aku.” Aku mengulanginya sekali lagi. ”Jangan paksa Sisi untuk menyukai hobi kamu, karena dia nggak akan bisa.” ”Jadi, selama ini kamu… nggak suka?” tanya Thomas.
174 ”Ya,” jawabku dan Sisi hampir berbarengan. ”Oke,” kataku sambil bersiap meninggalkan mereka. ”Aku pamit sekarang. Tapi, sebelumnya aku juga mau ralat. Aku nggak pernah selingkuh.” ”Mel, tunggu!” kata Thomas dari kejauhan. Aku nggak mau dengar apa-apa lagi. Aku juga nggak mau bikin orang lain salah paham.
175 AKHIRNYA, hari ini rentetan ulangan berakhir. Yes! Saat bel pulang berbunyi, aku langsung jingkrakjingkrak senang. Mulai hari ini aku bebas! Hore! Rasanya lega banget, sudah nggak ada beban lagi. Ulangan umum sudah selesai, sebentar lagi libur, dan aku nggak punya perasaan apa pun lagi terhadap Thomas yang sudah mutusin aku. Jadi, untuk merayakan hari kebebasanku, aku mengajak Silvia ke kios majalah dan komik dekat sekolah. Saat ini aku tahu betul Silvia tidak bisa memarahiku lagi karena… ulangan umumnya sudah selesai. Haha! Seakan menambah kegembiraanku hari ini, komik One Piece edisi terbaru, nomor 45, baru saja terbit. Aku langsung membeli komik tersebut. ”Lo udah baca komik ini sampai nomor segini?” 18
176 tanya Silvia nggak percaya saat melihat komik yang baru saja kubeli. ”Yo’i.” ”Lo beli semua nomor sebelumnya? Nggak ada yang lo lewatin?” Aku mengangguk mantap. ”Tau nggak, Mel, gue sebenernya kepingin semangat belajar lo seimbang dengan semangat lo baca komik.” ”Hoi! Ulangan umumnya udah selesai, Sil! Sekarang tugas lo nyeramahin gue break dulu.” ”Ah, elo sih banyak alesan.” ”Udah ah, Sil, gue mau liat-liat komik lain. Mending lo baca-baca majalah atau tabloid apa deh,” kataku sambil menunjuk majalah dan tabloid yang digantung di depan kios. Tapi, tepat pada saat itu, aku langsung membeku. Pandanganku jatuh ke tabloid gosip dengan cover Alex duduk bersama cewek yang membelakangi kamera. ”Kenapa sih?” tanya Silvia bingung saat melihatku. Lalu pandangannya mengikuti pandangan mataku. ”Alex menemukan cinta….” Silvia membaca judul besar di cover tabloid itu. ”Ya ampun, Mel…” Aku langsung mengambil tabloid itu dan membacanya.
177 Aku langsung sedih setelah selesai membacanya. Baru saja aku merasa lega karena telah selesai ulangan umum, tapi kebahagiaanku menguap begitu saja setelah membaca berita ini. Tapi sebagian hatiku masih penasaran. Aku harus mencari tahu kebenaran gosip ini lebih lanjut. Jadi begitu sampai di rumah, aku segera menyalakan TV. Sebentar lagi jam empat. Ada infotainment di saluran teve favoritku. Tapi saat TV menyala, oalah… film India! Shah Rukh Khan dan Rani Mukherjee tampak sedang menari-nari di padang rumput. Buat kaum hawa, siapsiap kecewa. Alexander Julio (20), atau yang biasa dikenal dengan nama Alex, kepergok wartawan sedang makan malam berduaan dengan seorang gadis. Mulanya Alex berulang kali menolak berkomentar, tapi siapa pun yang melihat mereka berdua pasti setuju bahwa Alex sudah jadian dengan gadis misterius tersebut. Bahkan gadis itu dengan ramah menceritakan semuanya saat Alex mencoba mengelak. ”Kami memang dalam tahap penjajakan,” kata Al, nama gadis itu. ”Saya harap teman-teman media nggak terlalu banyak mencecar Alex dengan pertanyaan seperti ini. Ini sensitif.” Semua orang yang selama ini bekerja bareng Alex mengaku tidak terkejut mendengar hasil investigasi tim Ricek Gosip yang ingin mengetahui kebenaran berita ini dari pihak Alex. ”Saya tahu dia memang sedang dekat dengan seseorang,” kata salah seorang staf rumah produksi tempat Alex syuting video klip terbarunya. Memang harus diakui, Alex sangat pintar menutupi jejak. Namun akhirnya tim Ricek Gosip berhasil mendapatkan info dari sebuah sumber bahwa Alex akan kencan di sebuah kafe pada tanggal 15 Desember kemarin…. Jakarta, Ricek Gosip
178 Kuganti channel ke stasiun TV lain. Hah? Ada Shah Rukh Khan lagi? Kali ini ia sedang menari bersama Kajol. Tapi biarlah. Kutunggu saja. India India deh. Mataku menatap layar TV, tapi pikiranku ke manamana. Hatiku terus berkata, Jangan muna deh, Mel. Sebenarnya lo nggak sekadar ngidolain dia. Lo pengin lebih dekat dengan dia. Elo pengin jadi temannya. Pengin jadi… Ah, sudahlah. Aku jelas-jelas nggak punya peluang untuk itu. Probabilitasnya nol persen. Nihil. Akhirnya, tayangan infotainment muncul di layar kaca. Sang presenter, cewek bertubuh kurus dengan rambut lurus, menyapa dengan suara cempreng. ”Pemirsa, selamat sore. Anda bertemu lagi dengan saya, di acara Ricek Gosip. Dan selama setengah jam ke depan saya akan menayangkan berita-berita terbaru tentang para selebriti kita…” ”Udah deh, cepetan. Jangan banyak basa-basi,” kataku tak sabar. ”Nah,” lanjut presenter itu, ”kita buka gosip hari ini dengan berita dari artis muda kita, Alexander Julio.” Aku menahan napas. Tayangan TV langsung berubah. Gambar presenter kurus itu berganti dengan tayangan sebuah resto, dan terdengar suara narator. ”Akhirnya, setelah lama menutup mulut, Alexander Julio kepergok sedang makan malam dengan seorang gadis di bilangan Kemang, kemarin malam.” Aku maju beberapa langkah mendekati pesawat
179 TV. Sosok yang kukenali sebagai Alex, mengenakan topi dan jaket yang biasa digunakannya untuk menyamar, sedang makan bersama cewek. Karena membelakangi kamera, wajah cewek itu tak terlihat jelas. Cewek itu memakai tank top. Tapi jelas banget cewek itu bukan Alicia. Rambut cewek itu pirang kecokelatan dan diikat. Sedangkan rambut Alicia hitam lepek dan selalu digerai. Haha. Setidaknya, aku merasa lebih baik sekarang setelah tahu Alicia cuma ngibul. Kemudian kamera mendekat, dan Alex langsung menutupi mukanya dengan telapak tangan. ”Tolong, hargai privasi saya,” katanya tegas. Tapi wartawan infotainment memang tidak pantang menyerah. Mereka terus bergerak, dan kamera kini terfokus pada wajah si gadis. Dan aku terperanjat kaget… cewek itu memang Alicia! Alicia sedang tersenyum lebar ke arah kamera. Dengan gaya memalukan, dia nyerocos panjang-lebar. ”Kami lagi penjajakan nih,” katanya. ”Doain ya.” Ih, jijai deh. Alicia minta semua orang yang nonton acara ini mendoakan dia? Lebih baik aku berdoa untuk korban gempa aja daripada ngedoain dia. ”Kenal di mana?” tanya Alicia mengulangi pertanyan yang diajukan reporter padanya. ”Alex, kasih tahu dong ke media gimana kita kenalan,” jawabnya manja sambil terkekeh genit. ”Yah, sebenarnya sih kami baru kenalan, tapi Alex maksa ingin ketemu terus. Susah deh kalo udah jodoh. Iya nggak, Lex?”
180 Ya ampun! Alicia centil banget deh! Menyebalkan, menjijikkan, semua dicampur jadi satu. Saat kamera dialihkan ke Alex, aku bisa melihat wajah cowok itu tampak kusut. ”Ini privasi saya,” katanya pendek. ”No comment,” katanya saat ditanya sekali lagi. ”Saya harap teman-teman media bisa mengerti. Alex butuh privasi,” kata Alicia, tapi kamera tetap menyorot ke Alex. Terdengar suara reporter. ”Gimana perasaan penggemar Anda kalau mereka tahu Anda sudah punya pacar?” Bukannya Alex yang menjawab, Alicia yang kembali nyerocos, ”Saya tahu banget gimana gilanya fans Alex, makanya Alex stres. Di sekolah saya juga ada lho yang suka maksa saya ngasih info apa aja tentang Alex.” Alicia lagi ngomong apa sih? Bukannya dia sendiri yang suka pamer kedekatannya sama Alex? ”Saya sama sekali nggak bermaksud mojokin fans Alex lho. Mereka baik kok. Tapi tolong, hargai idola kalian.” Alicia menutup pembicaraan, yang mengakhiri tayangan spesial tentang kencan Alex. Aku terdiam. Jadi ucapan Alicia kemarin benar. Pantas saja tingkahnya begitu nyebelin dan overacting. * * *
181 Aku berusaha melupakan Alex, tapi melihat tayangan tadi aku jadi muak. Kenapa nasib sialku komplet banget ya? Udah jomblo, nggak ada gebetan, nilai ulanganku aja masih bikin aku deg-degan. Sebetulnya aku masih bisa menahan kegelisahan dalam diriku. Tapi saat tahu Alicia jadi pacar Alex, pikiranku sama sekali nggak mau kompromi. Silvia benar. Seharusnya aku melupakan Alex. Tapi… masa sih, Alicia bakal jadian sama Alex? Kalau memang benar, Alicia pasti bakalan pamer Alex di sekolah. Meminta Alex menjemputnya atau apa kek. Atau… ya ampun. Mendadak aku teringat. Alicia memang mau pamerin Alex di sekolah. Pensi itu! Aku berani bertaruh, pensi sekolah kali ini bakal dijadikan konser tunggal Alex. Itu pasti. Amit-amit deh jika aku melihat langsung adegan Alicia yang pura-pura manja di dekat Alex. Iih…! Maka kuputuskan, aku nggak akan datang ke pensi!
182 TERNYATA semua siswa wajib datang ke pensi. Memang sih, kalau kami nggak datang nggak akan diskors, tapi kalau Kepala Sekolah menulis surat yang dikirim ke orangtua seluruh siswa, itu tandanya wajib hadir. Terutama di surat itu ada tulisan ”Partisipasi SELURUH siswa sangat diharapkan demi nama baik sekolah”. Huh. Ini sih namanya pemaksaan. Kepala Sekolah kan cuma butuh orang banyak biar pensi terkesan meriah kalau diliput majalah remaja nanti. Aku nggak bohong kok. Buktinya, Pak Kepsek menulis undangan untuk para wartawan Ricek Gosip, dan beberapa majalah remaja. Jadi, setelah mengisi liburan sambil menanti hasil ulangan umum, akhirnya hari ini sekolahku mengadakan pensi. 19
183 Sebenarnya aku malas banget datang ke pensi. Tapi dengar-dengar nih, kata Silvia, semua murid bakal diabsen saat pensi berlangsung. ”Gawat, Mel, kalau kita nggak dateng,” kata Silvia, entah dapat sumber dari mana. Makanya hari ini, suka nggak suka, aku harus datang ke pensi. Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku sih senang saja ketemu idola di sekolah. Nah, kalau nanti Alicia pamer kedekatannya sama Alex, baru deh tuh aku merem. Atau sekalian saja kabur ke kantin beli minuman. Saat aku melangkahkan kaki ke gerbang sekolah, wartawan berbagai media sudah menunggu di pelataran parkir. Lalu, saat aku masuk halaman sekolah, keheranan menyergapku. Halaman sekolahku sudah persis panggung konser. Di depan gerbang, anggota OSIS berjejer membawa buku absen. Ternyata Silvia benar. Pak Kepsek semangat betul dengan pensi ini. Setelah diabsen, handphone-ku bergetar. Ada SMS dari Silvia. Gw di kelas Aku langsung melangkah ke kelasku yang nyaris kosong. Hanya ada Silvia yang sedang membaca novel tebal. ”Halo, Sil,” kataku. ”Kok kelas sepi banget?” Silvia tersenyum melihatku dan langsung menutup novelnya. ”Yang lain kayaknya udah ngumpul di de-
184 ket panggung. Lo nggak mau ke panggung juga?” tanya Silvia. Aku mengangkat bahu. ”Males ah.” Itu betul. Aku yang dulu pasti bakal lari secepatnya dan ngantre di barisan paling depan untuk melihat Alex. Tapi itu kan dulu. Sekarang, setelah tahu Alex dan Alicia pacaran, kayaknya aku muak kalau mendengar nama Alex disebut. ”Lo baca apa, Sil?” Silvia menunjukkan novel yang dibacanya. Gone with The Wind. ”Tebel banget,” kataku ngeri. ”Iya dong, ini kan karya klasik. Ini baru bacaan buat liburan. Liburan kemaren gue belom kelar bacanya. Oh ya, liburan lo gimana?” ”Sengsara,” kataku. ”Sengsara kenapa, Mel?” ”Selama liburan, gue cuma dengerin CD Alex sambil mikir, kok bisa ya Alex pacaran sama Alicia yang nyebelin gitu.” Silvia mengangguk. ”Gue juga nggak ngerti. Mungkin itu yang namanya cinta?” ”Eh, liburan lo gimana, Sil?” Mendadak, aku melihat wajah Silvia merona. ”Liburan gue…? Ah, lo pasti nggak bakalan percaya cerita gue deh, Mel.” Aku berusaha tersenyum. Liburan asyik versi Silvia adalah pergi ke toko buku, beli novel tebal atau beli buku panduan belajar. Terus, Silvia bakal membaca buku-buku yang dibelinya itu selama liburan.
185 ”Emang liburan lo kenapa, Sil?” tanyaku sopan. ”Jangan ngetawain gue ya,” kata Silvia malu-malu. Dua detik kemudian, seseorang masuk ke kelas dan berjalan ke arah kami. Edward! Yup, Edward si kapten basket dan cowok idola di sekolah. Aku jadi salah tingkah. Waktu itu kan Silvia pernah bilang bahwa dia sering mergokin Edward suka merhatiin aku. Hatiku langsung kebat-kebit nggak keruan. Biarpun aku nggak punya feeling apa-apa terhadap Edward, melihat dia datang mendekat di saat kelas nyaris kosong begini rasanya aneh juga. Dalam hati aku bertanya-tanya, sudah berapa lama Edward naksir aku. Jadi, dengan tololnya aku bengong saja melihat cowok itu. ”Halo,” sapa Edward. Spontan aku langsung menyapa balik, ”Halo.” ”Udah lama datengnya?” tanya Edward ramah. ”Be—,” kalimatku terputus seketika karena Silvia mendului aku. ”Lumayan lama,” kata Silvia. Mendadak aku bengong. Kok Silvia yang jawab sih? Tapi di luar dugaanku, Edward sudah berbicara lagi, ”Sori ya, aku mesti ngabsenin anak-anak basket dulu, jadi agak lama.” Belum sempat kujawab, Silvia menjawab, ”Nggak apa-apa.” Lho? Kok Silvia terus yang jawab?
186 Dengan bingung aku menatap Silvia. Lalu menatap Edward. Seketika aku langsung mengerti. Edward menyapa Silvia. Bukan aku. Wow! Aku benar-benar nggak percaya. Aku nggak nyangka ternyata Edward dan Silvia… Ya ampun! Kok Silvia bisa dekat dengan Edward ya? Tapi saat melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Silvia dan Edward, aku langsung mengerti. Jadi selama ini, gosip bahwa Edward diam-diam suka merhatiin aku pasti salah. Ya, Silvia udah salah nebak. Sebenernya Edward naksir Silvia. Tapi biarlah. Aku bahagia banget kalo Silvia jadian sama Edward. Sumpah. Silvia kelihatannya hepi banget. Edward juga. Tapi nanti aku tetap mau ngomel ke Silvia, karena dia nggak ngasih tahu aku. Kulihat Edward dan Silvia ngobrol seru. Ah, daripada aku jadi nyamuk pengganggu pasangan yang lagi kasmaran, aku berjalan ke luar kelas, menuju panggung yang akan dijadikan tempat konser Alex. * * * Begitu melihat panggung pensi di halaman sekolahku, aku langsung terpana. Panggungnya superkeren, dengan tumpukan balon dan kumpulan burung di dalam sangkar. Ini pasti pensi paling mewah yang pernah diadakan sekolahku. Di sekelilingku banyak cewek memakai baju pink
187 dan sepertinya mereka membawa bunga. Bahkan ada juga yang bawa buket bunga. Mendadak aku merasa malu karena penampilanku nggak heboh. Harusnya aku bawa bunga seperti mereka. Tapi biar saja deh. ”Mel,” panggil sebuah suara di belakangku. Aku terkejut dan menoleh ke belakang. ”Sil?” ”Lo lagi ngapain sih?” tanya Silvia sambil melihatku dengan tatapan aneh. Aku menceritakan semuanya ke Silvia. ”Nggak usah bawa bunga juga nggak apa-apa, lagi. Yang penting kan kita udah ngeliat Alex. Kita kasih tepuk tangan yang meriah kalo dia nyanyi. Alex juga udah seneng kalo fansnya semangat.” Aku mengangguk setuju. ”Oh ya,” kataku kemudian. ”Kok lo sendirian? Edward mana?” ”Abis lo tiba-tiba pergi sih.” ”Gue kan nggak mau ganggu kalian… Eh, ceritain soal Edward dong, Sil.” Mimik Silvia tiba-tiba berubah. Dia menatap sekeliling dengan cemas. ”Oh, Edward. Liburan kemarin dia datang ke rumah gue. Terus, ng… gue bukannya mau rahasia-rahasiaan sama elo, Mel. Gue juga udah mau cerita, tapi…” ”Yee, mentang-mentang ditaksir cowok, terus lupa sama gue.” ”Ssst,” bisik Silvia. ”Jangan bilang siapa-siapa. Gue bisa diracun sama semua penggemar Edward. Bener
188 kok, sebenernya gue udah mau bilang ke elo. Tapi gue nggak enak sama elo kalo ngomong di telepon.” ”Ya udah, nggak papa kok. Selamat ya, Sil. Gue seneng liat lo hepi.” ”Sejujurnya gue nggak tau apa yang dia liat dari gue, Mel. Gue kan maniak belajar.” Aku tertawa mendengar Silvia. Kami berjalan menuju bangku semen di depan kelas. Dari situ kami bisa tetap melihat panggung. ”Eh, gimana tuh kelanjutan cerita Alici—” tanya Silvia. ”Nggak tau,” aku menjawab cuek. ”Gue nggak mau tau lagi tentang Alicia. Gue cuma mau nikmatin penampilan Alex aja sekarang.” Aku meregangkan kedua tanganku sejenak. ”Eh, mendingan lo lanjutin cerita lo tentang elo sama Ed…” Sambil melihat mimik Silvia, aku mengecilkan suaraku. ”Jangan kenceng-kenceng, Mel.” ”Sil, dulu lo bilang Edward suka ngeliatin gue, ternyata lo salah ya.” ”Iya, gue salah waktu itu.” ”Gila! Berarti dia udah suka sama elo dari dulu ya, Sil.” ”Iya, dulu gue kira dia naksir elo, Mel. Soalnya dia ngeliatin kita terus.” ”Elo sih nggak pede,” aku menyalahkan Silvia. ”Kalo gue nih ya, kalo gue mergokin Edward ngeliatin gue, gue pasti langsung nyapa dia.”
189 Silvia mengembuskan napas panjang. ”Eh, elo suka sama dia juga kan, Sil?” Silvia tersipu malu. ”Yah, dia kan hebat banget. Udah jadi ketua basket, pinter, lagi.” Aku tertawa. ”Wah, kalo begitu dia emang jodohnya elo, Sil.” Silvia tersipu. ”Gawat nih,” kataku lagi. ”Kalian berdua samasama pinter, sama-sama hobi belajar. Kalo temenan sama kalian, gue bisa-bisa diajak belajar terus nih.” ”Ah, jangan berlebihanlah, Mel,” Silvia buru-buru menukas. ”Tapi ide lo boleh juga ya.” Obrolan kami terhenti karena tiba-tiba terdengar suara riuh dan tepuk tangan. ”Pensinya udah mulai, ya?” tanyaku. Silvia mengangkat bahu dan mengajakku melihat ke sumber suara. * * * Sampai di dekat panggung, aku melihat kerumunan wartawan membawa kamera sudah bersiap-siap. Hebat banget, pensi kali ini bisa begitu ramai. ”Sil, emang Kepsek ngundang berapa artis sih?” ”Nggak tau,” jawab Silvia. Dari samping panggung, aku melihat seorang cewek memakai kostum burung merak. Aku menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas dari kejauhan.
190 ”Sil, tuh cewek siapa sih?” ”Itu kan Alicia…” ”Hah? Norak banget ya dia. Mau ngapain sih dia?” ”Perhatian semuanya,” kata Pak Kepsek telah berdiri di atas panggung. ”Dengan ini saya resmikan pentas seni dibuka.” ”Lo masih mau liat acara ini, Mel?” tanya Silvia. ”Yah, walaupun Alex udah ngecewain gue, gue tetep penasaran pengin liat dia.” Silvia tampak bingung sejenak. ”Soalnya, Mel, denger-denger Alicia bakalan nyanyi...” Aku tertawa. ”Hahaha! Ya biar aja, Sil. Seru kan, ngeliatin dia diketawain semua orang. Suara sember begitu mau sok nyanyi.” Tapi, di luar dugaanku, Silvia sama sekali tidak tertawa. ”Mel, gue tau dari Edward yang jadi panitia. Alicia bakalan duet sama Alex.” ”Duet?” ”Kayaknya itu bakalan jadi inti acara ini,” kata Silvia pelan. ”Mel, jangan sedih gitu dong.” ”Gue nggak sedih kok,” kataku membela diri. ”Lo yakin, Mel? Mendingan kita nonton acara ini dari jauh aja yuk. Nggak usah di depan panggung deh. Kita liat dari lantai dua aja.” ”Gue mau deket panggung, Sil.” ”Tapi, kalo lo nontonnya jarak jauh, lo bisa kabur kalo lo udah nggak sanggup liat mereka, Mel.”
191 Aku mengangguk, terharu mendengar betapa Silvia sangat menjaga perasaanku. ”Lo betul, Sil. Lagian, baris depan udah penuh banget.” * * * Nonton dari lantai dua ternyata enak juga. Setidaknya pandanganku nggak terhalang kepala temantemanku. Pertunjukan di panggung muncul silih berganti. Tarian break dance dan atraksi cheerleaders disuguhkan duluan. Saat penonton sudah mulai bosan dengan pertunjukan sulap yang tidak terlihat jelas dari kejauhan, akhirnya pembawa acara menjanjikan tontonan spektakuler. ”Sekarang kita sambut idola kita… Alexander Julio!” ucapan MC langsung langsung disambut dengan meriah. Dry ice berembus dari depan panggung, membuat sebagian penonton ber-”ooh” ria. Lalu, samar-samar terlihat sesosok cewek memakai kostum kuning kehijauan, bekerlap-kerlip dan bergerak cepat di panggung, bersamaan dengan dilepaskannya balon dan burung ke udara. Ah, nggak mungkin! ”Mel, lo liat apa itu?” tanya Silvia di sebelahku. ”Itu Alicia?!” tanyaku nggak yakin. Di panggung, Alicia memakai kostum merak, me-
192 nari cepat dengan beat mengentak-entak. Tariannya aneh banget. Nggak nyambung dengan penari latarnya. Sejenak aku memerhatikan penari latar Alicia yang juga mengenakan baju aneh. Ya ampun! Itu dayang-dayang Alicia! Sebenarnya tarian mereka oke juga. Sayang, suara Alicia datar dan sumbang. Tiba-tiba Alicia mengulurkan tangannya ke depan panggung. ”Friends, sambutlah dengan meriah... Alexander Julio…!” Tanpa disangka-sangka, Alexander Julio maju dari samping panggung. Semua penonton langsung heboh dan berteriak histeris. ”ALEEXX...!!!” Kilatan blitz kamera dari berbagai arah menyambut kemunculan Alex. Para wartawan tampaknya juga ikut heboh. Sambil bernyanyi, Alex melangkah pelan ke tengah panggung. Saat itu aku melihat Alex mengedarkan pandangan ke seluruh penonton yang ada di lapangan, juga ke penonton yang di lantai dua gedung sekolah kami. Ketika tatapan kami sekilas bertemu, aku tak bisa berkata apa-apa.
193 ALEX menyanyikan lagu Copacabana dari Barry Manilow dengan keren dan asyik. Jujur aja, aku sering banget dengar orang-orang nyanyiin lagu itu, tapi nggak ada yang sekeren Alex. Paling cuma Barry Manilow yang bisa nyaingin Alex. Alex menyanyikan lagu tersebut dengan suara yang dalam, energik, dan riang. Persis seperti penyanyi aslinya. ”Her name was Lola. She was a showgirl…” Suara Alex menggema sempurna, dan aku terhanyut di dalam lagu itu. Aduuh. Kalau saat ini nggak ada siapa pun, aku pasti udah jingkrak-jingkrak sambil meneriakkan nama Alex, seperti yang sekarang dilakukan temantemanku. Dari kejauhan, aku melihat Alex menyanyi sambil menyalami penonton yang duduk di dekat pang20
194 gung, kemudian ia kembali ke tengah panggung dengan tumpukan bunga di tangan. Aku tersenyum puas melihat penampilan Alex ini. Walaupun dia tak lagi mengenalku, aku tetap mengidolakannya. Sekali idola tetap jadi bintang idola! Media massa yang datang tampaknya juga tak mau ketinggalan berita tentang Alex dan pensi sekolahku. Kulihat dua orang cewek memakai kaus polo putih, dengan inisial RG di dada kiri. Rasanya aku pernah melihat mereka. Dan aku tahu, RG pasti singkatan dari Ricek Gosip. Mendadak, ingatanku muncul kembali. Aku mengguncang bahu Silvia. ”Sil, lo liat dua cewek itu? Yang pake kaus putih.” Silvia mengikuti pandanganku. ”Yang pake baju tulisan RG itu?” ”Iya.” ”Emangnya kenapa?” ”Gue pernah ketemu mereka di toilet Café Bien. Waktu gue kencan sama Alex yang kedua kalinya.” ”Oh ya?” tanya Silvia. ”Waktu itu mereka lagi ngejar-ngejar siapa gitu, kayaknya penting banget. Tadinya gue kirain mereka detektif. Ternyata reporter.” ”Emang waktu itu mereka ngejar-ngejar siapa?” ”Nggak tau.” ”Lo yakin mereka bukannya ngejar Alex?” Aku mengangkat bahu. ”Nggak tau deh. Waktu itu mereka nggak bilang apa-apa sih.”
195 ”Yah, namanya juga reporter gosip. Pasti ngejarnya artis, kan?” ”Eh, kalo dipikir-pikir, mungkin lo bener, Sil.” ”Udahlah, nggak usah musingin reporter. Lo nikmatin aja penampilan Alex sekarang.” Aku mengangguk, setuju dengan pendapat Silvia. Di tengah panggung, Alex tersenyum lebar dan mengangkat sebelah tangannya. Ia menyapa penonton dengan ramah, ”Halo semuanya! Apa kabar?” ”BAIIIIKKKK…!” jawab penonton dengan suara lantang. ”Kalian suka lagu tadi?” tanya Alex sekali lagi. ”Iyaaaa…!” jawab penonton kompak. Termasuk aku. Hehehe. Lalu, diiringi tepukan tangan, penonton menjerit histeris, ”Lagi! Lagi!” ”Oke, oke,” kata Alex. ”Sekarang saya mau menyanyikan lagu favorit seseorang di si…” ”Duh, Lex, jangan bilang di depan fans gitu dong. Aku kan malu,” kata Alicia tiba-tiba. Para penonton langsung heboh. Media massa langsung menyorot Alicia. Alex hanya tersenyum manis. Alicia mendekatkan wajahnya ke wajah Alex, lalu berkata, ”Thanks banget ya, kamu udah…” Kata-kata Alicia terputus dengan dimainkannya intro lagu. Aku tahu lagu ini. Aku tahu banget lagu ini. Hero, yang biasa dinyanyikan Enrique Iglesias. Aku baru tahu Alicia suka banget sama lagu ini.
196 Alex mulai menyanyi. ”Would you dance, if I asked you to dance…” Gila! Lagu ini selalu membuatku fly. Nikmat banget dengernya. Penonton pun terbuai dengan lagu Alex. Suer, rasanya aku bakalan terbang! Tak berapa lama kemudian, penonton mulai histeris. Alex berjalan turun dari panggung menuju barisan penonton sambil menyanyi! ”ALEX…! ALEX…!” seru penonton histeris. Aku ikut-ikut berteriak histeris saat Alex melangkah pelan sambil menyanyi. Tapi, yang membuat jantungku berdegup lebih cepat adalah saat Alex berjalan tepat di bawah balkon lantai dua tempat aku berdiri. Alex berhenti, lalu mendongak dan menatapku. ”Halo, Mel…,” sapa Alex sambil melambaikan tangannya ke arahku. ”Kamu mau turun ke sini nyanyi bareng aku?” Oh Tuhan, kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku lagi. Aku mengangguk mantap. Dan Alex kembali berkata, ”Kalo gitu, cepat turun ke sini. Aku tunggu di panggung!” Tanpa babibu lagi, aku langsung berlari meninggalkan Silvia, menuruni tangga, dan secepatnya berjalan naik ke panggung. Di pinggir panggung, Alex siap menyambutku. Dia mengulurkan tangannya ke arahku. Kunaiki sekitar lima anak tangga menuju panggung dengan kaki
197 gemetar. Tak bisa kupercaya, ternyata Alex tidak melupakanku! Saat menerima uluran tangan Alex, seluruh tubuhku rasanya bagaikan kesetrum. Alex menggenggam tanganku erat. Dia menarikku ke tengah panggung. Dengan tangan kiri tetap memegang mikrofon, tangan kanan Alex… memeluk pinggangku erat! Penonton berteriak histeris. Aku tahu, mereka pasti iri. Tapi sebodo amat. Ini momen paling bahagia buatku. Debar jantungku yang kencang kayaknya bisa kedengaran melalui mikrofon yang sedang dipegang Alex. Aku bisa melihat tatapan kesal Alicia ke arahku. Tapi aku nggak peduli. Aku sama sekali nggak peduli. Saat ini yang kupikirkan hanyalah Alex, idolaku, memelukku erat. Aku melihat ratusan fans Alex yang berdiri antusias di bawah panggung. Kegugupan langsung melanda diriku. Duh, seperti inikah pemandangan yang dilihat oleh seorang penyanyi dari atas panggung? Aku mendongakkan wajahku yang semula hanya mampu menunduk, dan mataku bertatapan dengan mata Alex. Beberapa saat kemudian aku baru sadar mukaku terasa panas, dan sesuatu meleleh di pipiku. Air mata… Astaga! Aku menangis. Kedua mataku basah oleh air mata. Aku mengusap pipiku perlahan. Kulihat Alex masih terus menyanyikan lagu Hero, sambil te-
198 rus memandangku. Kali ini aku mengerti bagaimana perasaan gadis-gadis yang diajak naik ke panggung saat konser idolanya. Senang, gugup, takut, cemas, dan segala macam perasaan yang pernah dikenal manusia bercampur menjadi satu. Mataku mengerjap-ngerjap merasakan silaunya kilatan cahaya foto. ”Halo semua…! Sambutlah… Mel!” kata Alex di depan mikrofon setelah lagu Hero selesai. Dia langsung menunduk dan berbisik di telingaku, ”Mel, aku mau ngasih kamu sesuatu.” Alex melepaskan genggaman tangannya dan mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah handphone! Penonton langsung berteriak histeris. Teriakan mereka bertambah histeris saat Alex memberikan HP itu kepadaku, dan mendekat ke arahku untuk mencium pipiku. Di depan umum! Ya Tuhan! Aku malu banget! Mukaku pasti sudah berwarna merah sekarang. Tapi sebelum aku sempat mengucapkan apa pun, Alex berbisik lagi di dekat telingaku, ”Tunggu telepon aku ya.” Aku mengangguk mengerti sambil tersenyum malu. Belum pernah seumur hidup aku dicium di depan umum. Apalagi oleh idolaku sendiri.
199 TENTU saja aku langsung turun setelah itu. Alex terus menyanyi dan penonton tetap terbuai oleh penampilannya. Aku kembali ke kelasku. Setelah atraksi di panggung tadi, aku tidak lagi mau nonton penampilan Alex. Walaupun bahagia, aku malu lho. Lebih baik aku di sini, di kelasku yang kosong, dan berusaha merekam kejadian tadi dalam ingatanku. ”Betul tebakan gue, lo pasti di sini, Mel,” terdengar suara Silvia. Dia melangkahkan kaki ke dalam kelas. ”Barusan itu gile beneeer, Mel!” Aku menatap Silvia yang masuk tergesa-gesa bersama Edward. ”Betul, Mel. Gue nggak percaya. Gue terharu banget ngeliat elo tadi.” ”Iya, gue juga,” sahut Edward. ”Untung lo nggak pingsan di panggung, Mel.” 21