50 ”Coba balikin lagi ke siaran bola tadi. Kali aja iklannya udah selesai,” kata Peter sambil merebut remote dari tanganku. Senyum Alex langsung sirna. Dan di layar TV kini muncul iklan jamu laki-laki. ”Tuh, masih iklan, kan?” Aku langsung mengambil remote dan kembali menekan channel TV8. Wajah Alex langsung terlihat di televisi. Dia sedang menganggukkan kepala dengan antusias. ”Yup,” kata Alex. ”Saya suka gadis yang pintar masak. Asyik sekali bisa makan masakan rumah. Soalnya saya jarang makan masakan rumah.” Kakakku tertawa mendengar jawaban Alex. ”Denger nggak tuh? Dia nyari cewek yang pinter masak? Kalo elo, masak air aja mateng sebelah. Hahaha!” ledeknya. Aku berusaha tidak mengacuhkan ledekan Peter. ”Saya selalu membayangkan punya pacar romantis yang menghadiahi saya kue buatannya,” kata Alex sekali lagi. ”Menurut saya, itu jauh lebih romantis daripada kado berbentuk barang.” Si pewawancara bertanya, ”Kamu sudah punya pacar, Alex?” Oh Tuhan. Itu pertanyaan yang paling berarti bagiku. Alex tersenyum lebar dan… tayangan di TV langsung berubah menjadi para pemain sepak bola yang sedang berlarian mengejar bola. Huh!
51 Dengan sebal, aku merebut remote TV dari tangan Peter, tapi dia jauh lebih gesit. ”Sori,” katanya. ”Bolanya udah mulai lagi.” Aku meremas kedua tanganku. Dalam hati aku berharap muncul iklan lagi. Tapi munculnya pasti masih lama. Padahal jawaban atas pertanyaan besar yang diajukan ke Alex harus kuketahui. Aku langsung merebut remote di saat Peter berteriak kegirangan karena tim jagoannya berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. Wajah pewawancara sedang disorot kamera. Ia tersenyum lebar. Cantik sekali gadis itu. ”Jadi, kita sudah tahu jawabannya,” katanya. Hah?! Apa jawabannya? Tayangan di TV langsung berubah lagi menjadi sekumpulan pemain bola yang berpelukan membentuk lingkaran. Lalu, seorang pemain kembali menendang bola dalam gerakan lambat. Sepertinya itu tayangan ulang. ”Ganti lagi dong, Pet…,” pintaku memohon. Peter mengangkat bahu. ”Heh, Mel, elo lihat nggak tayangan ulang tadi? Tendangannya bagus banget ya,” katanya tanpa menoleh ke arahku. Huh! Aku mulai marah nih. Saat itu muncul iklan lagi, dan aku segera mengganti channel ke TV8. Wajah Alex kembali muncul di layar televisi. ”Oh ya,” katanya. ”Memang ada rencana seperti itu dalam waktu dekat.”
52 Apa? Rencana apa? ”Ah… asyik dong…,” kata si pewawancara antusias. Hah?! Rencana apa sih? Pasti info yang baru saja kulewatkan sangat penting. Tapi apa dong? ”Apanya yang asyik sih?” tanya Peter. Aku tidak menjawab pertanyaan Peter. Mataku masih terfokus pada Alex. ”Kamu tidak takut akan dijauhi fans?” tanya pewawancara itu. Alex mengangkat bahu. ”Memang sempat terpikir seperti itu sih…” Kakakku langsung mengganti channel, bahkan saat Alex belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Duh…! Rencana apa sih yang membuat Alex bakal dijauhi fans? Tayangan di TV langsung menampilkan dua lakilaki berkumis tebal dan memakai jaket, yang sibuk mengomentari acara. ”Anda tahu, Bung Jacky, saya pikir tendangan tadi dilakukan dengan taktik matang,” kata pria berkumis tebal seperti Pak Raden. Pria yang ada di sebelahnya mengangguk. ”Saya setuju, Bung Tono. Bahkan saya pikir, tendangan tadi sudah dilakukan dengan rencana yang matang sejak bola dioper lima menit sebelumnya…” Pikiranku beralih ke jawaban Alex yang menggantung tadi. Apa yang membuat Alex takut dijauhi fans? Apa dia akan memakai kawat gigi? Aku sih nggak bakalan menjauhinya jika dia memakai kawat
53 gigi. Tom Cruise juga sempat memakai kawat gigi. Dan ketampanannya sama sekali tidak berkurang. Kalau begitu, apa dong yang membuatnya takut? Apa Alex akan ke luar negeri untuk sekolah akting? Atau mendapat tawaran main film produksi Hollywood? Pikiran itu langsung menghampiriku. Sebagai fans fanatik, tentu saja aku akan mendukung karier Alex. Bahkan jika dia harus syuting jauh di luar negeri. Tapi menurutku, sebaiknya Alex syuting di Korea aja. Bersama Bae Yong Jun atau Won Bin. Khayalanku makin melayang jauh, makin gila. Dengan latar belakang musim gugur, bunga-bunga yang berjatuhan tertiup angin, kulihat Alex beradu akting dengan Won Bin. Waaah…. Film itu pasti bakalan hebat. Aku pasti akan membeli DVD-nya, dan menontonnya berulang-ulang sampai keping DVD itu rusak karena terlalu sering diputar. Tapi, kalau jadi lebih terkenal begitu, mana mungkin fans Alex akan meninggalkannya? Malah akan bertambah banyak, kan? Aku sibuk memikirkan apa yang akan dilakukan Alex sampai dia terpikir akan ditinggalkan fansnya. Tadi, waktu ditanya apakah Alex sudah punya pacar, aku tak sempat mendengar jawabannya. Eits, tunggu. Apa kekhawatiran Alex ditinggal fans ada kaitannya dengan pertanyaan apakah Alex sudah punya pacar?
54 Aku menutup mulut dengan ngeri. Astaga. Kalau begitu, apakah Alex menjawab dia memang sudah punya pacar, dan dia takut fans akan meninggalkannya? Tapi… jika dia memang sudah punya pacar, kenapa harus khawatir? Tiba-tiba, pikiran terburuk langsung menghampiriku. Apakah Alex sedang merencanakan pernikahan? Tidak. Tidak… Tidak boleh terjadi! Andai saja aku tahu jawaban Alex tadi. Aku menatap Peter dengan kesal. Kakakku itu tampaknya tak lagi berminat menonton para komentator sepak bola. ”Mel…,” kata kakakku sambil menguap. ”Siaran sepak bolanya udah habis nih. Sekarang giliran elo deh. Tonton tuh acara konyol lo itu! Hehehe.” Tapi bukannya masuk kamar, Peter masih selonjor di sofa. Aku mengambil remote TV sebelum kakakku berubah pikiran, kemudian langsung memencet tombol channel TV8. Wajah Alex terlihat lagi di TV. ”…Oh, saya masih seperti yang dulu kok,” katanya ringan. ”Nggak ada yang berubah. Makanan kesukaan saya pun nggak berubah.” Pewawancara itu langsung menanggapi, ”Bener nih?”
55 Alex menggangguk. ”Iya dong. Sama sekali nggak akan berubah.” ”Tapi banyak kabar yang beredar,” kata pewawancara itu, menatap Alex dalam-dalam, ”katanya kamu sombong. Bener, nggak?” Alex sombong? Masa sih? Alex menggeleng cepat. ”Ah, itu kan cuma gosip.” ”Jadi, kamu pasti akan menyapa fans di tengah keramaian?” tanya pewawancara itu penuh rasa ingin tahu. ”Tentu dong.” ”Bahkan jika kamu lagi nggak ingin diganggu?” Alex menghela napas panjang. ”Yah,” katanya, ”memang, terkadang saya ingin kembali ke masa-masa dulu, saat saya masih belum menjadi artis.” ”Katanya jadwal kamu sekarang padat sekali, ya?” kata pewawancara itu sekali lagi. ”Tapi, apa kamu masih sempat meluangkan waktu bersantai?” Alex menggeleng cepat. ”Sama sekali nggak,” katanya cepat. ”Kamu kelelahan dong?” Alex menganggukkan kepalanya. ”Perasaan seperti itu memang ada sih. Tapi saya rasa, itulah risiko menjadi public figure.” Yah… idolaku kecapekan, aku ikut sedih. Memang wajar sih jika Alex kelelahan. Aku paham sekali. Kesibukan Alex memang luar biasa. Sejak dia jadi juara ajang My Idol, tampaknya semua pengusaha ber-
56 saing menjadikan Alex sebagai model iklan produk mereka. Itu sebabnya aku punya banyak poster Alex dalam iklan berbagai produk. Ada produk lensa kontak, jam tangan, pakaian pria, laptop, kacamata hitam, dan rumah. Saat ini aku berharap ada pengusaha pakaian renang yang mau mengontrak Alex sebagai model iklan. Sayang belum kesampaian. ”Jadi, apakah acara surprise gift ini mengganggu jadwal kamu?” tanya pewawancara membuyarkan lamunanku. Alex menggeleng. ”Ya nggaklah. Saya melakukannya dengan senang hati,” katanya sambil tersenyum lebar. Wajah pewawancara itu langsung di-close-up. Musik yang melatarbelakangi acara itu langsung berubah dramatis. ”Pemirsa di rumah. Inilah saat yang paling ditunggu-tunggu. Kuis Alex.” Kuis Alex? Apa sih hadiahnya? Paling cuma uang yang nggak seberapa jumlahnya. Belum lagi mesti dipotong pajak. ”Acara ini terselenggara berkat kerja sama…” kemudian terdengar suara orang lain menggantikan suara dan wajah pewawancara. Iklan sponsor langsung diputar menggantikan wajah si pewawancara. Oh. Ada sponsornya? Wah, kalau begitu, mungkin hadiahnya akan lebih menggiurkan dibanding uang. Gambar di TV menayangkan iklan resto mewah Café Bien. Wow! Lumayan juga kalau Café Bien yang jadi
57 sponsornya. Mungkin hadiahnya berupa voucher makan malam gratis. Sebaiknya aku mengikuti kuis ini. Hadiahnya bisa kugunakan untuk mentraktir Thomas makan malam romantis. Mumpung air mancur Palm Garden Square sedang direnovasi. ”Wah! Seru nih kuisnya,” kataku penuh semangat. ”Ikutan, ah.” Kini wajah si pembawa acara muncul di TV. ”Pemirsa di rumah sudah siap?” Peter melirik ke arahku. ”Mel, lo serius nih, mau ikutan kuis ini?” Aku mengangkat bahu tak peduli. Saat ini pikiranku terpusat ke pertanyaan kuis. ”Oke,” kata gadis itu. ”Silakan telepon ke nomor 5-5-7-7 sekian-sekian. Penelepon yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar akan mendapat hadiah. Keren deh pokoknya.” Aku mengambil telepon wireless yang terletak di meja dekat televisi, dan langsung menekan nomor. Tut-tut-tut-tut. Terdengar nada sibuk. Ah, sial. Di TV langsung terdengar suara bapak-bapak. ”Halo?” ”Dengan bapak siapa ini?” tanya si pembawa acara. ”Kirawan dari Bandung.” ”Halo, Pak Kirawan,” kata Alex sambil melambaikan tangan. Pembawa acara melanjutkan, ”Sudah siap menjawab pertanyaan saya?”
58 ”Siap.” Wajah pembawa acara kembali disorot. ”Pertanyaannya. Apa nama lengkap Alex? A. Alexander William Julio. B. Alexander Yoong Julio. C. Alexander Martinus Julio.” ”Hmm… apa ya?” tanya Pak Kirawan setelah jeda beberapa saat. ”Yang saya tahu Alexander Julio saja.” ”…tiga. Dua. Satu. Maaf sekali, waktu yang diberikan habis, Pak Kirawan,” kata gadis itu setelah hubungan telepon terputus. ”Pemirsa di rumah, saya ingatkan kembali,” katanya. ”Pemenang kuis ini akan mendapatkan voucher makan malam gratis…” Tuh, betul, kan? Hadiahnya voucher makan. ”…untuk dua orang,” kata si pembawa acara sekali lagi. ”Bersama Alex.” Oh my God! Aku langsung menekan nomor telepon TV8 lagi. Pokoknya aku harus memenangkan kuis ini, tekadku. Kulihat Peter bangkit sambil menguap. ”Gue ke kamar ya, Mel. Jangan lupa matiin TV-nya kalo udah selesai.” Aku mengangguk. Dan konsentrasiku buyar. Aku berhenti sebentar, lalu menekan tombol kembali. Saat aku belum selesai menekan nomor telepon TV8, suara di TV kembali berbunyi. ”Halo?” terdengar suara laki-laki. Ah… sial. Aku kalah cepat. Seharusnya aku tadi
59 tidak berhenti menekan tombol telepon. Tapi… mana ada laki-laki yang tahu informasi tentang Alex sampai detail? hiburku, dan semangat mulai menjalari tubuhku. Aku mencoba menelepon lagi. Siapa tahu aku berhasil tersambung tepat saat laki-laki tadi gagal menjawab. Tut-tut-tut-tut… ”Dengan siapa ini?” tanya Alex menyapa si penelepon. ”krskrskrsk… Dari Jakarta… krskrskrk…” Sepertinya line teleponnya nggak jernih. Selanjutnya suara seorang remaja cowok terdengar di TV. Suaranya bahkan terdengar tak asing bagiku. ”Peter. Dari Jakarta…,” kata cowok itu sekali lagi. Astaga. Namanya kok sama dengan nama kakakku? Hm… aku jadi curiga nih. Aku segera berlari ke kamar Peter, dan mendapati kamarnya gelap dan terkunci. Ya sudahlah. Mungkin dia sudah tidur. Lebih baik aku kembali mencoba menelepon TV8. Aku kembali ke ruang TV dan mendapati si penelepon menjawab dengan suara antusias, ”Saya rasa jawabannya B. Ya, B,” katanya sekali lagi. ”Makanan kesukaan Alex adalah sushi.” Sial. Jawabannya benar. Aku yakin banget. Alex mengangguk dan tersenyum lebar. Si pembawa acara langsung bertepuk tangan. ”Selamat ya. Jawaban Anda benar.”
60 Aargh…! Sial banget! Tapi setelah kupikir-pikir, buat apa aku marah-marah. Mendingan tidur aja deh. Daripada bete. Aku sedang bersiap mengambil remote dan mematikan TV, ketika si pembawa acara kembali bertanya, ”Hebat sekali. Peter, apakah Anda salah satu fans fanatik Alex?” Cowok di telepon tertawa. ”Nggak. Sama sekali nggak,” katanya. Ini benar-benar nggak adil. Kok dia bisa menang sih? Padahal dia bukan fans fanatik! ”…setiap kali makan bareng keluarga, kami seringnya ke restoran Jepang,” kata si penelepon sekali lagi. ”Adik saya tuh yang selalu maksa makan di resto Jepang. Dia penggemar berat sushi, katanya sih biar kayak Alex.” ”Oh.” Alex tersenyum. ”Selamat ya kalau begitu.” Si pembawa acara mengangguk. ”Selamat untuk Peter yang telah berhasil memenangkan voucher makan berdua Alex… Eh, Peter, jangan ditutup dulu telep—” TV kumatikan. Aku bangkit dari kursi dengan perasaan kesal. Sudah hampir pukul satu. Sebaiknya aku bersiap tidur. Tapi… mana bisa aku tidur? Aku belum selesai menyalin buku catatan sejarah punya Silvia. Gawat! Tapi, saat buku catatan Silvia sudah siap di depan mata, mataku sudah tak mau lagi diajak kompromi….
61 KEESOKAN paginya, aku bangun dengan mata masih mengantuk. Kurang tidur membuat tubuhku lemas dan lingkaran hitam muncul di sekeliling mataku. Aku sudah mencoba mengompresnya dengan kantong teh celup, tapi hasilnya belum maksimal. Jadi, aku berangkat ke sekolah dengan mata bengkak dan bayangan hitam di sekeliling mataku. ”Hai, Mel,” sapa Silvia setelah aku tiba di kelas. Silvia tersenyum senang melihat mataku. ”Wah… lo semalam begadang ya? Mata lo sampai bengkak begitu. Lo belajar sampai subuh, Mel?” katanya riang. ”Coba gue tes. Candi Prambanan terletak di provinsi apa, Mel…?” Aku merengut bete. Kadang-kadang kupikir, aku bersahabat dengan profesor. Tidak. Silvia tidak boleh tahu aku belum selesai 5
62 menyalin dan menghafal semua isi catatan sejarahnya karena aku menonton tayangan Alex semalam. ”Mmm…,” jawabku sambil pura-pura berpikir. ”Candi Prambanan ya? Ng…” Senyum riang di wajah Silvia langsung membeku. ”Elo belum belajar ya, Mel?” ”Apaan?” tanyaku sambil menguap. ”Kan kemarin gue udah bilang. Baca catatan gue.” ”Udah kok,” kataku berbohong. ”Tapi baru sebagian.” ”Yang sebagian itu apa?” tanya Silvia ingin tahu. Aku mengangkat bahu. ”Ya belum semuanya sih.” ”Jadi yang udah lo salin bagian mana, Mel?” cecar Silvia. Aku mengernyit. Apa sih yang sudah kusalin kemarin? Mungkin aku masih bisa mengingatnya sedikit. ”Borobudur dibangun di masa dinasti apa, Mel?” cecar Silvia. Tunggu. Yang ini aku ingat. ”Syahbandar,” jawabku yakin. Aku tersenyum penuh kemenangan menatap Silvia. Silvia terdiam. Aku menghela napas lega. Yes! Akhirnya aku berhasil menjawab pertanyaannya. ”Mel…,” kata Silvia melunak. ”Gue lupa ngasih tahu elo kalau kemarin ada Alex di TV8. Tengah malam.” ”Oh ya?” kataku pura-pura nggak tahu.
63 ”Elo pasti sedih nggak nonton acara itu.” Silvia menatapku lekat-lekat. ”Iya sih… tapi nggak apa-apa lah…” ”Mel, ada lingkaran hitam di sekeliling mata lo.” ”Iya nih. Padahal udah gue kompres lho.” ”Di acara Alex semalam, Mel, hadiahnya heboh banget.” ”Itu sih gue tau. Makan malam bareng Alex, kan?” kataku sambil mendengus kesal. ”Gue sebal banget tuh nggak berhasil nelepon TV8…” Aku langsung terlonjak kaget melihat tatapan Silvia yang berubah. ”Jadi… lo nonton kan, Mel?! Sampai selesai? Dan lo jadi nggak belajar, kan?” Astaga. Gue kemakan jebakannya Silvia, gerutuku dalam hati. ”Siapa bi—” ”Ngaku aja deh! Gue yakin lo belum nyalin catetan gue.” ”Tapi gue tahu kok dinasti yang membangun Borobudur…” ”Jangan ngaco,” kata Silvia memotongku. ”Syahbandar? Lo bahkan nggak baca tulisan gue dengan bener.” ”Maksud lo, bacanya harus Sahbandar, gitu?” tanyaku tidak yakin. ”Tanpa huruf y?” ”Mel…” Silvia menghela napas panjang. ”Lo tau nggak? Gue sama sekali nggak pernah nulis kata ’Syahbandar’ di buku catetan gue.”
64 ”Tapi…” ”Yang betul Syailendra.” Silvia mengambil buku catatan yang sudah kukembalikan. ”Lihat nih,” katanya sambil menunjukkan catatan tentang Candi Borobudur. Aku mengernyit membaca tulisan tangan Silvia. Setelah kubaca lebih jelas lagi, tulisannya memang ”Syailendra”, bukan ”Syahbandar”. Wah, mataku sudah error nih. Aku melirik Silvia yang sedang menunggu jawabanku. ”Mm… Sil, bukan salah gue dong, kalau gue nggak bisa baca tulisan lo,” kataku membela diri. ”Maksud lo?” ”Ini sih… emang tulisan lo yang susah dibaca…” ”Sembarangan!” ulang Silvia kesal. ”Kenapa sih lo masih aja berkelit?” Silvia mendesis. ”Lo tuh terlalu ngidolain Alex, tau nggak?” ”Lho, emangnya kenapa?” suaraku mulai meninggi. ”Lo jadi lupa sama tanggung jawab.” Silvia menatapku tajam. ”Lo jadi lupa segalanya. Otak lo isinya cuma Alex, Alex, dan Alex!” Silvia mulai tak bisa mengontrol emosi. Aku pun nggak terima dia berkata begitu. ”Gue? Lupa tanggung jawab? Kok lo bisa sih, Sil, nuduh gue kayak begitu?” ”Lho, ada buktinya kok. Siapa yang ngebolos?”
65 tanya Silvia berapi-api. ”Siapa yang nggak berani maju ngerjain soal karena nggak tau rumus?” ”Terus apa urusan lo?” tanyaku dengan suara bergetar. Sebetulnya ucapan Silvia ada benarnya. Tapi apa hak dia memarahiku atas semua perbuatanku? Silvia melengos. Aku mengambil tas ranselku dari tempat duduk, dan pindah ke belakang. Kebetulan hari ini Johan tidak masuk. Aku bisa duduk di kursinya. * * * Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin sahabatku tega membentak-bentak aku? Bagaimana mungkin Silvia berani mengaturku agar tidak ikut jumpa fans bersama Alex? Ah… aku mulai tidak mengerti sahabatku sendiri… Siang itu aku pulang sekolah dengan lesu. Hari ini ulangan matematika mendadak, dan aku tidak bisa mengerjakannya. Tapi tentu saja aku tidak mengakuinya di depan Silvia. Nanti dia semakin senang saja, menertawakan kebodohanku. Aku tidak peduli kalau nilaiku jelek nanti. Tapi, mudah-mudahan sih tidak jeblok. Begitu masuk kamar, aku mendapati Alex sedang tersenyum ke arahku. Memang, poster Alex kutempel di sekeliling kamar dan tak pernah membuatku bo-
66 san. Senyumnya yang manis seakan menyambutku, menyapaku langsung, dan menghapus seluruh kegalauanku. ”Halo,” kataku sambil melambai dan menyapa ke sekeliling ruangan. Tentu saja tidak ada jawaban. Tapi, memandang Alex yang bergaya dalam berbagai pose membuatku lebih santai. Beban berat yang mengimpit dadaku karena sikap Silvia dan ulangan dadakan tadi seakan terangkat. Udah deh, Mel, soal Silvia, lupain aja, bisik hatiku. Lebih baik lo ngerjain sesuatu yang lebih berguna. Lebih baik aku… Mmm, sebaiknya aku ngapain ya? Selama ini aku selalu pergi ke rumah Silvia setelah pulang sekolah. Atau pergi jalan-jalan bersama Silvia. Aku mendesah kesal sambil bertopang dagu di meja belajarku. Kupandangi foto di atas meja. Fotoku bersama Silvia saat berlibur di Bali. Melihat foto itu, aku jadi tambah kesal. Kubalik saja foto itu agar tak usah kulihat untuk sementara. Tapi saat membalik foto itu, mataku sempat melihat tahun yang tertera di bagian bawah foto. Tahun 2000. Milenium baru. Rasanya sudah berabad-abad yang lalu aku ikut berlibur bersama Silvia dan keluarganya ke Bali. Memang, sudah lama banget aku berteman dengan Silvia. Tapi selama ini belum pernah aku marahan dengan-
67 nya, bahkan ketika Silvia tidak sengaja memecahkan vas bunga ibuku yang harganya mahal dan dibeli di Eropa. Juga ketika aku menumpahkan saus tomat yang nodanya membekas di gaun malam Silvia yang kupinjam untuk makan malam bersama Thomas. Nah, untuk kejadian ”berat” itu saja kami tak pernah bertengkar. Terus, kok Silvia bisa ya, memarahiku karena masalah sepele? Aku mengusap setitik air mata yang menetes di pipiku. Lupain deh tentang Silvia, tekadku dalam hati. Lebih baik fotoku bersama Silvia kumasukkan ke laci saja, dan kuganti dengan foto… Alex! Tak sengaja aku melirik ke sudut meja, dan melihat kalender meja bergambar Winnie the Pooh yang sangat imut. Sejenak aku terkesiap melihat coretan spidol merah berbentuk hati yang kutorehkan di akhir bulan ini. Minggu, 30 September 2007. Hari jadiku dengan Thomas. Ya ampun, nggak kerasa ya! Sebentar lagi aku dan Thomas sudah setahun pacaran. * * * Kubolak-balik majalah remaja edisi ulang tahun. Aku ingat, ada artikel tentang kado apa yang pas untuk diberikan kepada cowok kita. Seperti sepotong dasi merek terkenal yang harganya ratusan ribu. Atau tas kulit yang harganya hampir sejuta. Atau jam tangan
68 yang lucu dan imut dengan harga tidak imut, setengah juta rupiah! Tapi mengingat keuanganku yang cekak karena membeli pulsa gila-gilaan untuk mendukung Alex waktu malam final, sebaiknya aku berhemat dan tidak membeli kado mahal tersebut. Aku ingat pepatah: ”Raihlah hati seorang pria lewat masakan.” Aha! Jadi, kupikir lebih baik aku membeli bahan-bahan kue dan memanggangnya sendiri di rumah. Nah, itu baru kado romantis yang sesuai dengan kondisi kocekku! Maka tanpa babibu lagi, aku cepat-cepat ke dapur, membuka lemari. Aku ingat, aku pernah membantu ibuku membuat kue kering. Bahan-bahannya sederhana: cuma tepung, telur, margarin, baking powder, dan gula pasir. Aku juga butuh cokelat untuk hiasan. Nah, beres! Semuanya ada di lemari penyimpanan makanan. Aku hanya perlu menakar bahan-bahan dengan gelas pengukur, menimbangnya dengan timbangan kue, campur semua bahan, aduk-aduk, diamkan beberapa menit, dicetak, dan… tarra! Jadi deh. Eits, ada yang ketinggalan. Kuenya kan harus dipanggang. Manggangnya berapa lama ya? Dan dalam suhu berapa derajat? Ah, aku lupa, lagi. Sebodo amat deh. Pokoknya jadi. Segera saja aku membuat kue ”ala Meliana”. Kucampur semua bahan, dan kukocok dengan mixer.
69 Setelah adonan teraduk rata, aku mencetaknya di atas loyang datar. Setelah mengatur suhu oven, kue kumasukkan ke dalamnya. Cukup dua puluh menit, dengan suhu dua ratus derajat. Tring! Beres deh. Tinggal tunggu matang, dan kado untuk Thomas tersayang telah tersedia.
70 SAAT menunggu kueku matang, kudengar ada orang menyalakan TV. Pasti Peter. Soalnya Mbak Wati, pembantu setiaku, sedang ke pasar dan Mama-Papa juga tak mungkin pulang hari ini. Mereka baru balik dari Semarang besok pagi. Aku bergegas ke ruang tengah. Ternyata betul, Peter sudah pulang kuliah. Setelah melempar tasnya ke sofa, dia mengambil remote dan menyalakan TV. ”Eh, baru pulang bukannya cuci kaki cuci tangan, malah langsung nonton,” tegurku. ”Ah, biarin aja. Gue habis pinjem DVD baru nih. Penasaran pengin liat Spider-man 3.” Aku jadi ikut tertarik. Aku sudah menonton dua film Spider-man sebelumnya, dan penasaran ingin menonton kelanjutannya. Dan sekarang, di sinilah aku, di depan televisi, menonton dengan mata terbelalak saking tegangnya. 6
71 Seluruh indraku tertuju pada Tobey McGuire. Tak kudengar timer oven berbunyi. Tak kucium bau gosong dari arah dapur. Hingga akhirnya…. ”Mel…! Bau apa nih!” seru Peter sambil mencolek pundakku. ”Hah? Bau apaan?” aku tergeragap. ”Bau gosong nih!” Peter memberitahu. ”Ya ampun! Kueku!” ujarku panik sambil berlari ke dapur. * * * ”Yah… hangus deh…,” ujarku nelangsa saat melihat kueku yang sehitam dakocan. ”Lagian elo, nggak bisa bikin kue kok sok-sokan bikin. Beli aja kenapa?” ledek Peter. Aku cuma menghela napas panjang. Begini nih nggak enaknya punya kakak yang usianya nggak beda jauh. Kerjaannya ngeledek melulu. ”Masalahnya, ini kue spesial. Aku sengaja bikin ini buat kukasih ke Thomas. Tanggal 30 September nanti kan ultah jadian kami.” Peter memiringkan kepalanya, seakan berpikir. ”Hm… tanggal 30 September ya?” Aku mengangguk. ”Memangnya kenapa?” tanyaku. ”Begini. Gue baru aja mau ngasih kejutan ke elo. Elo pasti suka.” ”Kejutan apa, Pet?” tanyaku antusias.
72 ”Gue mau ngasih elo voucher makan gratis di resto terkenal.” ”Wah… gue mau tuh, Pet.” Kalau begitu, untuk merayakan ultah jadian aku dan Thomas, kami bisa merayakannya berdua, pikirku. Dan aku tidak usah mengeluarkan uang. Asyiiik! Di otakku sudah terbayang makan malam romantis bersama Thomas. ”Sebagai ganti kue yang hangus, voucher-nya bisa gue pakai bersama Thomas…” ”Eits, nggak bisa!” tukas Peter. ”Voucher ini cuma untuk satu orang. Kalau elo mau, ya cuma elo yang boleh makan di sana. Dan hanya bisa dipakai pada tanggal 30 September!” ”Yah… sayang banget ya,” ujarku pelan. ”Di tanggal itu gue juga harus ketemu Thomas kan, Pet...” Peter mengangkat bahu. ”Kalau begitu, gue kasih ke orang lain aja ya.” ”Terserah deh,” kataku cuek. Aku tahu banget, Peter orangnya jail. Dia pasti sengaja ngomong begitu buat menggodaku. ”Kasih aja ke orang lain. Gue nggak peduli.” ”Bener nih, nggak mau…? Makan sushi lho…,” kata Peter sambil mengedip-ngedipkan mata. ”Genit ih!” kataku sebel. ”Voucher makan malamnya di Café Bien lho…,” goda Peter lagi. ”Hah? Café Bien! Keren banget!” seruku. Aku berpikir sejenak, dan melanjutkan, ”Kalau begitu, voucher-
73 nya buat gue aja deh. Biar Thomas gue yang bayarin.” ”Nggak bisa begitu,” kata Peter. ”Lho, kenapa?” ”Elo harus datang sendirian.” Sudah pasti aku nggak bisa. Jadi aku pasrah. ”Ya udah!” kataku kesal. ”Gue nggak bisa.” ”Oke, deal ya?” kata Peter, kembali menonton TV. ”Kalau begitu, voucher ini buat Mila aja.” ”Mila? Temen kuliah lo yang centil itu?” ”Iya. Dia kan hobinya sama kayak elo. Ngidolain si Alex itu…” Aku tidak terlalu dekat dengan Mila. Dia sahabat Peter. Umurnya cuma dua tahun lebih tua dariku tapi cewek itu sok dewasa, mentang-mentang sudah kuliah. Makanya aku selalu kabur kalau Mila main ke rumahku. ”Kasih aja ke Mila. Gue nggak ngiri kok,” aku berusaha menguatkan hati. Aku baru tahu ternyata Mila juga ngefans sama Alex. Tapi sebodo amat! ”Jadi elo rela nih?” tanya Peter lagi. ”Voucher makan malam di Café Bien lho.” Aku mengangguk cepat. ”Rela… rela. Udah ah, gue mau bikin PR nih.” ”Eh, tunggu, Mel! Gue mau negesin sekali lagi nih. Elo rela… gue ngasih voucher makan malam di Café Bien biar Mila bisa makan berdua… bareng Alex?”
74 ”—bareng Alex?” tanyaku gelagapan. Mataku membelalak lebar, mulutku ternganga. Peter tidak mengalihkan pandangan dari TV. Tapi aku bisa melihat sudut bibirnya terangkat. ”Heh, santai aja, lagi,” katanya cuek, lalu dia menoleh menatapku. ”Waduh, Mel, jangan shock begitu dong…” ”Bener nih? Makan bareng Alex?” tanyaku sekali lagi. Aku tetap penasaran. ”Lho, emangnya elo nggak tau?” ”Tau apa?” Kakakku nyengir lebar. ”Gue kan menang kuis, dan dapat hadiah voucher makan malam bareng Alex?” Aku mengernyit. Memangnya kapan Peter memberitahuku bahwa dia menang kuis? Kayaknya nggak pernah deh. ”Acara di TV8 beberapa hari lalu, yang tengah malam itu,” kata Peter. ”Oh… Jadi itu elo?” ”Emangnya elo nggak ngenalin suara gue, ya?” tanya Peter dengan tatapan kecewa. ”Ngenalin sih. Tapi waktu gue ngelongok ke kamar lo, gue pikir elo udah tidur.” ”Tadinya gue emang mau langsung tidur. Tapi gue pikir nggak ada salahnya kalau gue nelepon TV8 dari HP dan iseng-iseng menjawab.” Aku masih tidak percaya. ”Tapi kalau elo nggak mau voucher ini, ya udah, gue kasih ke…”
75 Aku langsung menghambur ke depan Peter dan memeluknya erat. ”Mau, Pet, mau!” rengekku. ”Bilang apa dulu, Mel?” ”Peter emang cowok paling baik sedunia, paling ganteng, paling segala-galanya deh!” rayuku. Peter mengangguk-angguk senang dan mengeluarkan selembar voucher dari dompetnya. ”Trims ya, Pet!” Aku langsung merebutnya dan berlari ke kamar. * * * Aku memandang voucher itu dengan tatapan penuh sayang. Mulai sekarang, voucher ini akan kuperlakukan sebagai benda keramat. Siapa tahu setelah kami makan malam, Alex mengajakku kencan. Atau mungkin juga dia mengajakku main di film barunya. Siapa tahu?
76 AKU menghitung kancing kemejaku mulai dari kerah ke bawah, sambil berkata, ”Pergi sama Thomas... pergi sama Alex… pergi sama Thomas… pergi sama Alex… pergi sama Thomas… pergi sama A… lex…” Aku menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. Berat juga ya. Kenapa sih, makan malam romantis bareng Alex jatuh di hari yang sama dengan perayaan satu tahun jadianku bersama Thomas? Bukannya aku serakah. Makan malam bersama idola kan jarang banget terjadi. Kalau makan bareng Thomas sih udah biasa. Tapi ini kan hari istimewaku bersama Thomas. Ah, jadi bingung nih. Aku harus memilih salah satu. Thomas… Alex... Thomas… Alex… Tuh kan, Alex lagi yang terpilih! Seminggu lagi, di Café Bien. Aku jadi nggak sabar menunggu saat itu tiba. Kutatap kalender meja. 7
77 Tanggal 30 September kulingkari dengan coretan berbentuk dua hati. Thomas dan Alex, tulisku dengan spidol merah. Hm… keketuk-ketuk daguku dengan spidol. Mataku menerawang jauh. Seharusnya Thomas ”nembak” aku tanggal 1 Oktober ya. Atau seminggu lebih awal. Jadi nggak barengan begini. Ah, sudahlah. Ngapain buang-buang waktu cuma untuk mikirin dengan siapa aku pergi tanggal 30 September nanti. Lebih baik aku mikir yang lebih positif. Beli hadiah, misalnya. Pokoknya, dengan siapa pun aku berkencan, aku tetap harus memberikan hadiah, kan? Oke. Satu masalah sudah kuatasi. Sekarang tinggal menentukan hadiah apa yang akan kuberikan. Kupikir hadiahnya yang biasa saja, tidak terlalu mahal, yang penting oke. Dan perlu kutambahkan: jangan bikin kue yang pakai dipanggang-panggang segala. Repot! Aku berjalan mondar-mandir di kamarku yang penuh perabotan dan buku. Bingung memutuskan hadiah apa yang akan kuberikan untuk Thomas, dan apa yang akan kuberikan untuk Alex. Bujetku tidak banyak, mengingat uang bulananku sudah terkuras untuk membeli pulsa saat memilih Alex di malam final My Idol. Pikiranku beralih ke wawancara Alex di TV8. Masih terngiang-ngiang di kepalaku, Alex berkata bahwa ia menyukai gadis yang jago masak dan jago
78 bikin kue. Tapi… boro-boro masak, bikin kue aja aku hangus, pikirku sedih. Aha! Tiba-tiba aku dapat ide cemerlang. Alex kan suka sushi! Mungkin aku bisa membuat sushi, dan menghadiahkannya untuk Alex. Tapi, kalau mau cari gampangnya, bisa untuk Thomas sekalian. Ya, betul! Nah. Apa kubilang. Menyelesaikan masalah itu harus dengan pikiran jernih. Sekarang beres, kan? * * * Membuat sushi sama sekali tidak susah kok. Tidak perlu memanggang, tidak perlu menakar, menimbang, atau mengadoni. Tapi karena aku akan membuat sushi isi telur dadar dan ketimun, maka pertama-tama aku harus membuat telur dadar dan mengirisnya, mengupas ketimun dan mengirisnya berbentuk batang, serta menyiapkan nasi. Nah, mumpung sekarang hari Minggu, aku berniat latihan membuat sushi. Kukumpulkan semua bahan, tapi… ternyata ada beberapa bahan yang harus dibeli di supermarket dulu. Terdengar langkah kaki di belakangku. Mamaku yang sudah pulang dari Semarang muncul di dapur. ”Ngapain, Mel? Tumben pagi-pagi begini sudah sibuk di dapur.” ”Eh, Mama. Kebetulan. Minta uang dong, Ma. Buat beli bahan-bahan bikin sushi…”
79 ”Hm… betul kan feeling Mama. Kamu ke dapur pasti ada maunya. Buat beli apa sih, Mel?” ”Buat beli nori1 , cuka jepang, kecap asin Kikkoma, sama wasabi2 . Suruh Mbak Wati aja, Ma, yang beli. Aku mau bikin sushi nih. Nanti Mama cobain deh buatanku.” Setelah menerima uang dari Mama dan mencatat pesananku, Mbak Wati langsung ke supermarket dan sudah balik setengah jam kemudian. Nah, semua bahan sudah tersedia di meja. Tinggal operasi pembuatan sushi dilaksanakan. Ayo, Mel, kamu bisa! Setelah mencampur nasi dengan cuka jepang, aku meratakannya dan mengisinya dengan irisan telur dadar. Kugulung rapi dengan alat penggulung sushi, lalu kubungkus dengan nori. Satu gulungan selesai, lalu dilanjutkan dengan gulungan lain. Tidak sampai lima belas menit, sushi isi telurku selesai. Yang isi ketimun juga sudah beres. Aku tinggal memotong-motongnya dan menyusunnya di lunch box. Pegel juga ya. Sekarang tinggal menyiapkan sausnya. Kutuang kecap asin Kikkoma ke dalam mangkuk, dan kucampur dengan wasabi. Takarannya berapa ya? Ah, kukira-kira aja deh. 1 rumput laut kering 2 pasta pedas
80 Dan akhirnya… tarra! Sushi buatanku selesai sudah. Kini tinggal mencari siapa yang mau jadi korban untuk mencicipinya. Mama dan Papa? Mereka bilang mereka tidak suka makan sushi pagi-pagi. Peter? Cowok itu belum bangun. Mbak Wati? Dia enek kalau makan nori. Hm… gimana kalau Silvia? Dia selalu senang jika aku bereksperimen dalam segala hal. Tempo hari saja aku pernah coba-coba mendandaninya. Walaupun hasilnya amburadul, Silvia suka-suka aja kok. Tapi, dia kan masih kesal sama aku? Sudah dua minggu ini sikapnya jutek terhadapku. Kalau nggak kutanya, dia nggak mau nyapa duluan. Aku menghela napas panjang. Kurasa sudah saatnya aku mengakhiri pertikaianku dengan Silvia. * * * Setengah jam kemudian, aku sudah berdiri di depan pintu rumah Silvia dan bersiap-siap memencet bel. Di tangan kiriku sudah ada lunch box berisi sushi, lengkap dengan sausnya. Tenang. Nyantai aja, aku berusaha menguatkan diri. Kutekan bel pintu rumah Silvia di balik pagar. Tak berapa lama kemudian… ”Ada apa, Mel? Tumben hari Minggu ke sini.” Silvia keluar dari balik pintu pagar. Wajahku yang tegang jadi mencair karena Silvia tersenyum ramah.
81 ”Mm… gue habis coba-coba bikin sushi. Lo mau jadi pencicipnya?” ”Oh… kirain ada apa. Masuk yuk.” Aku mengikuti Silvia dan masuk ke rumahnya. Sudah lama aku tidak ke sini. Biasanya hampir setiap pulang sekolah aku main ke rumah Silvia. Kami duduk di ruang tengah, lalu aku membuka lunch box-ku. ”Sil, maafin sikap gue akhir-akhir ini ya.” Aku mencoba tersenyum. ”Daripada diem-dieman terus, mendingan kita ngobrol sambil makan sushi.” ”Sama, Mel. Gue juga minta maaf,” kata Silvia. ”Seharusnya gue nggak marahin elo.” Kami bersalaman dan berpelukan. Lega rasanya, berbaikan lagi dengan sahabat. ”Ya udah. Jadi boleh dong sekarang gue cobain sushi-nya?” Silvia melepaskan pelukannya lalu menatap sushi-ku dengan antusias. ”Ini bener buatan lo sendiri, Mel?” tanya Silvia tak percaya. Aku mengangguk mantap. ”Elo kan nggak bisa masak?” tanya Silvia sekali lagi. ”Hoho. Elo jangan meragukan kemampuan gue dong, Sil. Coba dulu deh.” ”Gue cobain ya. Kalo dilihat dari tampilan luarnya, kayaknya sushi lo enak banget, Mel.” Silvia menatap sushi-sushi di lunch box-ku. ”Iya dong. Gue gitu loh!”
82 Silvia lalu mencomot sushi isi telur, dan melahapnya. ”Hmm…,” katanya sambil mengunyah. ”Gimana, Sil, sushi buatan gue?” ”Lumayan. Pinter juga lo, Mel.” Yes! Sushi buatanku berhasil. Aku hanya perlu membuatnya dua kali lagi, untuk Thomas dan Alex tanggal 30 September nanti. ”Pakai saus wasabi-nya dong, Sil. Kalo kering doang sih nggak seru.” Silvia mengambil sushi isi ketimun, lalu mencelupkannya ke wasabi. ”Hmm…,” ucap Silvia sambil mengunyah. Saat menelan, wajah Silvia tiba-tiba memerah. ”MEL…!” Silvia berteriak panik. ”Ada apa, Sil? Kenapa?” Aku jadi ikut panik. ”Air, Mel! Air! PEDES!!!” Aku cepat-cepat ke dapur, mengambil gelas dan mengisinya dengan air sampai penuh dari dispenser, lalu cepat-cepat menyodorkannya pada Silvia yang megap-megap. Silvia langsung mengambil gelas yang kusodorkan dan menenggak isinya sampai habis. ”Mau minum lagi, Sil?” ”Nggak usah. Cukup, Mel. Cukup juga sushi-nya. Lo gila, Mel. Sausnya pedes banget!” Silvia mengusap matanya yang berair karena kepedesan. ”Sori, Sil… Mungkin gue masukin wasabi-nya terlalu banyak,” ucapku sambil melirik ke Silvia. ”Mel, lo sih tega. Sakit maag gue baru aja kambuh
83 seminggu yang lalu,” kata Silvia. ”Gue dilarang makan makanan yang pedes-pedes.” ”Sori lagi, Sil,” kataku. ”Gue nggak tahu.” Silvia mengipasi mulutnya dengan tangan. Wajahnya memerah. Matanya berair. ”Tapi nggak apa-apa kok. Sekarang pedesnya udah mereda. Sushi lo sebenarnya enak kok, Mel. Tapi sausnya gila!” ”Trims, Sil. Nih, semuanya buat elo deh. Sushi-nya, maksud gue. Kalo wasabi-nya…” ”Elo yang ngabisin ya, Mel,” kata Silvia sok galak. Tapi kemudian ia tersenyum. Aku mengembuskan napas lega. Untung Silvia tidak kenapa-napa. Hubungan kami kembali membaik. Misi pembuatan sushi-ku juga oke. Thomas, Alex, tunggu sushi buatanku berikutnya!
84 SEMINGGU telah berlalu. Akhirnya… hari ini Minggu tanggal 30 September! Yup, aku sudah mengambil keputusan. Siang ini aku akan merayakan satu tahun jadianku bersama Thomas, dan tetap bisa makan malam romantis bareng Alex nanti malam. Makanya, sekarang aku sedang menyiapkan sushi untuk Thomas. Nah, berdasarkan selera konsumen (maksudku Silvia), aku mendapati bahwa tidak semua orang suka pedas. Jadi kali ini aku membuat saus wasabi-nya dengan takaran yang pas. Bisa gawat kan, kalau Thomas atau Alex kepedesan seperti Silvia? Omong-omong soal kencan, kemarin Silvia meneleponku dan memberikan usul. Daripada aku bingung mengatur waktu, gimana kalau salah satu harus mengalah. Maksudnya begini, aku harus me8
85 milih, merayakan hari jadianku dengan Thomas dan melupakan Alex, atau makan malam bareng Alex tapi nggak usah kencan sama Thomas. Wah… mana bisa? Apalagi aku kan nggak mungkin melewatkan kesempatan yang datang sekali seumur hidup. Makan malam bareng Alex, gitu lho! Jadi, aku merayu Thomas agar dia mau merayakan first anniversary kami dengan makan siang saja. Alasannya, hari Senin aku ada ulangan matematika yang susahnya minta ampun, jadi aku harus belajar serius. Dan Thomas, cowokku yang baik hati itu, sama sekali tidak keberatan. Dia langsung menyetujui usulku, dan bersedia menjemputku siang ini. Nah, inilah salah satu kehebatan rencanaku. Dengan makan siang bersama Thomas, aku masih punya waktu mempersiapkan diri secantik mungkin untuk makan malam romantis bersama Alex. Tak terasa, sudah jam dua belas. Sebentar lagi Thomas pasti datang menjemputku. Setelah sejak pagi membuat sushi, aku merasa badanku lengket. Tapi… ah, cukup cuci muka aja deh. Cepat-cepat aku membersihkan wajah, lalu memakai bedak dan lipgloss. Pakaianku cukup blus sederhana warna biru muda dan celana jins. Begitu terdengar suara mobil diparkir di halaman rumahku, aku cepat-cepat menyambar tasku, tak lupa lunch box sushi yang sudah kupersiapkan untuk Thomas. ”Ma! Pa! Aku berangkat ya!” pamitku pada orangtuaku, lalu bergegas keluar.
86 ”Hati-hati, Mel!” sahut mamaku. Thomas memang selalu on time. Saat kuhampiri mobilnya, cowok itu sudah berdiri di samping pintu penumpang dan membukakan pintu untukku. ”Trims, Tom,” kataku sambil masuk ke mobil. Thomas memutari mobil lalu masuk ke kursi pengemudi. Dan betapa kagetnya aku saat Thomas menyodorkan setangkai mawar merah segar. ”Aku juga mau ngucapin terima kasih, Mel. Kamu sudah bersedia jadi teman spesialku satu tahun ini,” kata Thomas sambil mencium pipiku. Aku bingung hendak berkata apa. Aku yakin, Thomas kekasih yang baik hati. Karena itulah aku semakin merasa berdosa, mengingat nanti malam aku akan makan malam dengan cowok lain. Tapi… sebodo amat lah. Thomas menyalakan mesin mobil dan mobil melaju pelan. Dalam perjalanan, benakku melayang ke mana-mana. Bukannya memikirkan Thomas, aku malah merencanakan baju apa yang akan kupakai untuk nanti malam. Aku sudah menjadwalkan makan bareng Thomas cukup dua jam saja, supaya sisanya bisa kugunakan untuk bersiap-siap. Tapi Thomas tidak perlu tahu hal ini. Dia juga tidak perlu tahu rencanaku nanti malam. Setelah setahun membina hubungan, aku sampai pada kesimpulan bahwa kadang-kadang pacar kita tidak perlu mengetahui semua hal yang kita lakukan.
87 Bukannya aku coba-coba ”bermain api”, tapi kita kan juga butuh privasi. Dan menurutku, semua itu sahsah saja kok. Asal rahasia tetap terjaga, ya hubungan kita akan aman-aman saja. Buktinya, hubunganku dengan Thomas malah semakin akrab. ”Hari ini kamu cantik banget deh, Mel.” Ucapan Thomas membuyarkan lamunanku. Aku tersentak kaget. Aku menatap Thomas yang sedang menatapku balik dengan tatapan sayang. ”Oh, makasih,” kataku pelan. ”Omong-omong, makasih juga bunganya.” Thomas tersenyum menatapku. ”Aku akan menambah jumlahnya. Satu untuk setiap tahun,” katanya. ”Duh, Tom…,” kataku terkejut. ”Kamu care sekali sih sama aku?” ”Iya dong. Kamu suka warnanya?” tanya Thomas, dagunya menunjuk mawar merah di tanganku. Aku mengangguk. ”Suka banget,” kataku pelan. Kamu bohong, Mel! kata suara hatiku. Sebenarnya aku lebih suka mawar merah jambu, atau putih. Mawar merah menurutku… terlalu mencolok. Aku menatap Thomas sekali lagi, dan tersenyum. Lupakan tentang mawar merah. Lupakan warnanya yang terlalu merah. Saat ini Thomas sudah menyiapkan diri sebaik mungkin untukku. Lihat saja mobilnya, hari ini dicuci bersih. Debu yang biasanya menempel di kaca akibat mobil sering dibawa ngebut oleh Thomas sudah menghilang.
88 Cowok itu juga sudah bercukur rapi, serta mengenakan kaus keren dan wangi. Aku sendiri… badanku masih lengket dan rambutku lepek karena sejak pagi berkutat di dapur. Tapi Thomas sama sekali tidak peduli dengan penampilanku yang seadanya. Dia malah bilang aku cantik. Jadi aku juga tidak perlu pusing. ”Kita mau ke mana nih?” tanyaku. ”Ra-ha-si-a,” jawab Thomas sambil tersenyum jail. ”Hehehe. Main rahasia-rahasiaan nih. Apa aku perlu tutup mata?” Thomas menggeleng. ”Nggak usah.” Tapi dia lalu berpikir sejenak. ”Boleh juga kalau kamu mau.” Kalau kita sudah sering mengunjungi suatu tempat, lama-lama kita akan hafal tempat itu. Seperti aku. Walaupun memejamkan mata, aku bisa merasakan ke arah mana mobil Thomas menuju. Dan aku menduga kami menuju Tempat Kita, alias Palm Garden Square. Sebenarnya aku bosan juga. Tapi untuk menghormati Thomas, tentu saja aku harus pura-pura senang. Setelah mobil Thomas berhenti, aku membuka mata. Tepat seperti yang sudah kuduga. ”Palm Garden Square?” tanyaku dengan suara yang kubuat sesemangat mungkin. ”Ya, betul. Dan ini hadiah untukmu,” ujar Thomas, lalu mendaratkan bibirnya di pipiku.
89 * * * Saat memasuki Palm Garden Square, aku terperangah. Air mancur di restoran itu sudah selesai direnovasi. Sekarang tampilannya lebih cantik, dan bunyinya tidak sekeras dulu. Kini air jatuh dengan suara gemercik pelan. Di sekeliling air mancur terdapat patung-patung penari. ”Cantik, ya?” tanya Thomas saat melihatku terpana melihat air mancur itu. ”Kemarin seharian aku mikir, enaknya ngajak kamu ke mana. Lalu aku teringat tempat kita ini.” Thomas butuh waktu seharian? Hm… aku cuma butuh lima detik untuk tahu ke mana Thomas akan mengajakku. Ya ampun! Aku ngeri sendiri saat mendengar kata hatiku. Apakah ini yang namanya bosan? Masa baru satu tahun pacaran sudah bosan? Oke, Meliana. Diam. Hentikan ocehanmu, aku memerintahkan diriku sendiri. Langsung kupasang wajah seceria mungkin. ”Thanks, Tom,” kataku. ”Ini belum semua lho, Mel,” katanya penuh rahasia. Thomas lalu menghampiri Doni, waiter yang biasa melayani kami. ”Don, mejanya udah disiapin?” Doni tersenyum melihat Thomas dan aku. ”Seperti biasa, kan?” tanyanya. ”Iya dong,” kataku cepat. ”Meja dekat air mancur.” ”Oh, sudah. Menunya juga seperti biasa?” tanya Doni.
90 Astaga. Lama-lama percakapan ini rasanya membosankan. Semuanya serbabiasa. Tidak ada yang istimewa. Ini kan first anniversary kami. Tapi sebaliknya, aku malah mengangguk. ”Aku menu biasa, Don,” kataku. ”Oke. Aku juga,” ujar Thomas. ”Oke,” kata Doni tanpa mencatat menu. Aku tersenyum menengadah ke Thomas saat Doni sudah berlalu dari meja kami. ”Sekarang di sekolah lagi musim ulangan ya, Mel?” tanya Thomas sambil membelai punggung tanganku. ”Yah… gitu deh,” kataku sambil mengangkat bahu. ”Eh, Tom, ngomong-ngomong, aku juga punya sesuatu buat kamu.” ”Buat aku?” ”Ya,” anggukku cepat. ”Aku menyiapkannya khusus buat kamu…” Nggak deh, sebetulnya sih buat Alex, tapi sekalian aku bikin juga buat Thomas, bisik hatiku. Eits, tapi aku nggak seratus persen bohong lho. Setidaknya sushi yang ada di dalam tasku sekarang memang kusiapkan khusus untuk Thomas. Jadi, secara prinsip aku tidak berbohong, kan? ”Apa sih isinya?” tanya Thomas penasaran. ”Coba tebak.” ”Mm… itu ya, speaker tambahan buat mobilku?” tanya Thomas. Ya ampun. Bahkan di saat seperti ini pun Thomas masih tidak melupakan hobi konyolnya itu.
91 Aku hanya menggeleng. Bingung dengan pikiran Thomas. ”Bukan,” jawabku. ”Oh, ini, kamu mau ngasih aku miniatur mobil F1?” Aku menggeleng lagi. ”Ya udah, aku nyerah. Kasih tahu dong.” Aku langsung mengambil tasku dan mengeluarkan lunch box warna pink. ”Nih,” kataku sambil menyerahkannya ke Thomas. ”Apa ini?” ”Sushi,” kataku sambil mulai membuka lunch box. Dan yang terpampang di depan mataku adalah… sushi-sushi yang berantakan! Mungkin karena terguncang-guncang di dalam tas. Sial! Aku menggigit bibirku. Bukan ini tampilan sushi yang ingin kuperlihatkan pada Thomas. Apalagi di saat seperti ini. Aku menatap Thomas untuk meminta maaf, tapi saat menatap ekspresi wajahnya, aku terperanjat. Tatapan Thomas agak… aneh. Antara bingung, kaget, dan tak suka. Seharusnya aku tidak memberikan sushi ini. Thomas masih memandangku dengan tatapan aneh setelah melongokkan kepalanya ke lunch box-ku. ”Sushi ini buatanku sendiri lho, Tom.” Senyum kecil mengembang di bibir Thomas. ”Wah, hebat kamu, Mel. Cobain ya.” Thomas mencomot satu dan melahapnya. ”Enak kok,” katanya dengan mulut penuh.
92 ”Serius nih?” ”Iya. Tampilan luarnya sih nggak begitu bagus,” kata Thomas mengambil potongan sushi yang kedua, ”tapi enak.” Aku membekap mulut tak percaya. ”Oh, Tom, kamu baik sekali.” Thomas tersenyum menatapku. ”Kamu juga. Mau repot-repot bikin sushi hanya demi aku.” Ups! Aku bikin sushi tidak hanya buat kamu, Tom. Tapi tentu saja ini rahasia yang akan terus kusimpan. * * * Kencanku dengan Thomas berakhir sempurna. Thomas berulang kali memuji sushi buatanku, bahkan melahapnya sampai habis. ”Thanks sushi-nya ya,” kata Thomas saat mobil berhenti di depan rumahku. Aku mengangguk singkat, lalu turun dari mobil. Kulambaikan tangan, biar Tom cepat-cepat pergi. Bukannya ngusir sih. Tapi waktuku mepet, dan aku harus mempersiapkan diri untuk acara malam nanti, kan? ”Kamu betul-betul perhatian, Mel,” kata Thomas, mematikan mesin mobilnya dan turun dari mobil. Lho? Kok dia malah matiin mesin? Memangnya dia mau ngapain lagi sih? ”Aku suka banget lho hadiahmu. Sushi-nya enak,” kata Thomas sekali lagi.
93 Aduh. Sedetik lagi pasti deh Thomas mengucapkan pujiannya yang itu-itu melulu. Lama-lama jadi bosan nih. Tapi ternyata Thomas nggak memujiku lagi. Dia mendekat ke arahku, dan sedetik kemudian dia sudah mencium pipiku. Aku tersenyum lemah. ”Jangan kebut-kebutan ya.” ”Buatin lagi sushi-nya ya,” kata Thomas sambil masuk ke mobil. ”Oke,” aku mengangguk. ”Hati-hati di jalan.” Thomas melambaikan tangannya sekilas. Sesaat kemudian mesin mobilnya menyala. Aku terbatuk sejenak karena mengisap asap knalpotnya. Hanya dalam waktu sekejap, mobil Thomas menghilang di belokan kompleks rumahku. Sip! Sekarang bersiap-siap kencan bareng Alex jam setengah tujuh nanti. Aku melirik jam tanganku sekilas. Baru jam empat. Masih ada waktu untuk mempersiapkan sushi buat Alex dan mandi. * * * Jam dinding sudah berdentang enam kali. Aku menghela napas panjang dan beristirahat. Setelah sibuk menyusun sushi buat Alex di lunch box, aku cepatcepat mandi dan berdandan. Kini, kutatap bayanganku di cermin. Sempurna. Baby doll pink membuatku tampak feminin. Selain
94 itu, wajahku juga tampak, ehm, manis. Aku tersenyum sendiri. ”Oke. Puuuerrrfect. Go, go, Alex!” kataku masih sambil mematut-matut sendiri. ”Heh, Mel. Masih sore nih,” kata Peter tiba-tiba masuk ke kamarku. ”Mau apa sih ke sini?!” tanyaku ketus. ”Hush,” kakakku mengibaskan tangannya. ”Inget ya, lo tuh bisa makan bareng Alex atas jasa siapa? Hah?” ”Oke deh, Peter,” kataku manis, ”elo ada perlu apa ke sini?” ”Udah siap?” tanya Peter. ”Liat aja sendiri.” Aku mengambil sisir dan menyisiri rambutku lagi. ”Dandanan udah beres. Sushi, udah beres.” ”Sushi lagi? Buat siapa?” tanya Peter. ”Ya buat Alex, lah…,” jawabku. ”Hiii….!” ledek Peter sambil pura-pura merinding. ”Mau makan malam bareng cowok kok bawa-bawa sushi.” ”Terserah gue dong,” kataku tak peduli, dan mengambil anting-anting mutiara besar. ”Mau nganterin gue, Pet?” tanyaku iseng. Barangkali aja Peter bersedia mengantarku. Kan enak, aku bisa duduk manis dan nyantai di mobil. ”Nggak! Gue mau pergi sama gebetan baru gue.” ”Huh, dasar!” kataku, sambil mengusirnya dari kamar.
95 * * * Aku keluar kamar setelah yakin penampilanku sudah sangat oke. Lunch box berisi sushi untuk Alex juga sudah siap. Ting tong! Terdengar bel pintu berbunyi. ”Peter! Cewek lo dateng tuh!” ”Nggak mungkin,” jawab kakakku dari kamarnya. ”Gue udah bilang mau jemput kok.” Ting tong! Ting tong! Duh! Bel pintu berbunyi lagi. Aku bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu. Semoga saja cuma si Inem, pembantu Tante Susan tetangga sebelah, yang mau nganterin sesuatu buat Mama. Cepat-cepat aku ke pintu pagar dan membukanya. Aku terkesiap kaget. Thomas berdiri di depan pintu sambil membawa boneka Winnie the Pooh yang sangat besar. ”Mel?” tanya Thomas. ”Tom? Kamu datang lagi?” tanyaku bego. Pikiranku buntu dan segala macam kata-kata mendadak hilang dari kepalaku. ”Memangnya nggak boleh?” Thomas menyodorkan boneka Winnie the Pooh ke tanganku. ”Untuk kamu nih.” ”Oh, manis banget.” Aku langsung mengambil boneka yang disodorkan Thomas. ”Aku sengaja datang tepat jam segini,” kata Thomas, ”karena persis seperti sekarang, satu tahun la-
96 lu, aku nembak kamu. Happy first anniversary ya, Mel.” ”Eh,” kataku kikuk sambil memeluk Pooh. ”Selamat buat kamu juga, Tom.” ”Kamu nggak ngajak aku masuk?” tanya Thomas bingung. ”Eh iya. Masuk, Tom.” Kubuka pintu pagar. ”Kamu kok udah rapi, Mel. Mau ke mana? Atau… apa ini kejutan buat aku?” ”Eh, Tom… sebenarnya… ng… aku mau pergi sekarang.” ”Yuk, kuanterin,” kata Thomas ramah. ”Nggak, aku… nggak perlu dianter kok.” Thomas menatapku bingung. ”Kamu nggak mau kuanterin?” tanya Thomas sekali lagi. ”Nggak, sama sekali nggak,” jawabku gugup. ”Oh,” kata Thomas tiba-tiba. ”Aku ngerti deh. Kamu kan, yang mau nyetir? Kali ini aku tinggal duduk anteng, kan?” Selama sedetik aku bisa melihat senyum lega di wajah Thomas. ”Nih,” katanya sambil menyodorkan kunci mobilnya. ”Bukan begitu, Tom.” Aku mendesah resah. ”Aku mau pergi sendiri…” Thomas mengernyit bingung. ”Kamu mau pergi tanpa aku malam ini?” Aku menelan ludah dan mengangguk tanpa menatap matanya langsung. Oh Tuhan. Apa yang harus kulakukan?
97 ”Kamu dandan kayak gitu bukan untuk pergi bareng aku?” Thomas menatapku dari kepala sampai kaki. Tatapannya berhenti di tanganku. ”Dan lunch box itu apa isinya? Sushi juga?” Bruukk! Saking gugupnya aku, lunch box meluncur dari tanganku. Tutupnya terbuka, dan sushi-sushi berhamburan. Aku melongo menatap sushi-sushi buatanku. Cepat-cepat aku memungutinya dan memasukkannya kembali ke lunch box-ku. Sial! Sushi-ku kotor semua! Thomas kembali bertanya, ”Mel, kamu mau pergi sama Peter, ya?” Yes! Itu bisa menjadi alasan yang paling bagus. Aku cepat-cepat berdiri, menganggukkan kepala, dan menjawab, ”Be—” Tepat di saat itu, Peter muncul dengan berpakaian rapi. ”Eh, Tom? Elo yang datang?” Cepat-cepat aku berkata, ”Betul, Tom. Aku pergi sama Peter,” kataku sambil pura-pura tersenyum. Diam-diam aku mendekati Peter dan siap mencubitnya agar jangan sembarangan ngomong. Tapi Peter langsung tertawa terbahak-bahak. ”Tom, Mel mau makan malam bareng Alex tuh,” kata Peter. ”Dia kan menang kuis.” ”Alex?” tanya Thomas mengernyit. Peter memandang Thomas dan aku bergantian. ”Lho, emangnya lo nggak tau? Di Café Bien lho.” Sambil tersenyum bangga, kakakku berdecak. ”Se-
98 benarnya sih gue yang menangin kuisnya. Tapi demi adik tersayang…” ”Mel, bener nih, kamu mau makan malam bareng Alex?” tanya Thomas tak percaya. ”Alex idolamu itu?” Dan, kayak keadaan masih belum parah juga, Peter melanjutkan, ”Nggak cuma itu, Tom. Mel udah latihan bikin sushi, makanan kesukaan Alex selama seminggu ini. Lo udah nyobain belum, sushi-nya si Mel?” Tapi saat melihat tumpukan sushi yang berantakan di lunch box-ku, Peter terperanjat. ”Lho? Kok sushi-nya amburadul gitu, Mel?” tanya kakakku sambil menatapku dan Thomas bergantian. ”Eh, tapi nggak usah kuatir, Tom. Sushi Mel masih banyak tuh di meja makan.” Oh Tuhan. Oh Tuhan. Oh Tuhan! Aku menunduk, tak berani menatap Thomas. Dalam hati aku bersumpah akan melabrak Peter yang tengil itu nanti. ”Gue duluan ya, Tom.” Peter melambaikan tangan pada Thomas. ”Mel, sukses ya makan malamnya!” Hening lama setelah kakakku pergi. Aku sudah kehilangan banyak waktu, tapi saat ini aku sama sekali nggak berani melirik jam tanganku. Apalagi di hadapan Thomas yang kayaknya sudah mendidih. Aku memeluk Pooh, dan berharap bisa tenggelam di baliknya. ”Mel…,” kata Thomas dengan suara pelan, ”aku nggak bisa terima kebohonganmu ini.”
99 ”Tom, aku…” ”Tolol banget ya aku, gampang banget percaya sama kamu,” kata-kata Thomas pelan, tapi telak menusuk hatiku. Tanpa berkata apa-apa lagi, Thomas pergi begitu saja meninggalkanku.