100 SUDAHLAH, tak apa-apa. Thomas pasti bisa mengerti. Aku menenangkan diri, berusaha melupakan Thomas, dan langsung berangkat menuju Café Bien. Setibanya di Café Bien, aku sempat berputar-putar dulu selama setengah jam karena area parkir penuh. Akhirnya aku mendapat tempat di pojok. Setelah merapikan rambutku dan meneliti kembali riasanku, aku siap menuju kafe. Suasana mewah langsung terasa saat aku melangkah masuk. ”Selamat malam,” sapa seorang pramusaji di depan pintu. ”Berapa orang?” ”Dua,” jawabku sambil tersenyum manis. Kukeluarkan voucher pemberian Peter. Pramusaji itu menatap heran. ”Tunggu sebentar,” katanya sebelum meninggalkanku. 9
101 Aku melihat pramusaji itu berjalan ke dalam, kemudian berbicara dengan laki-laki berjas. Sesaat kemudian laki-laki berjas itu mendekat ke arahku. ”Selamat malam,” sapanya ramah. ”Malam,” kataku sambil menunjukkan voucher kepadanya. Laki-laki berjas itu melirik sekilas, lalu mengangguk. ”Silakan ikut saya,” katanya sambil berjalan ke tengah ruangan. Aku mengikutinya. Suara musik lembut mengalun di seantero Café Bien. Bahkan terdengar gemercik air yang sangat pelan. Romantis banget suasananya. Laki-laki berjas di depanku berhenti. Dia menunjukkan meja dengan tangan kanannya. ”Silakan,” katanya sambil menarik bangku untukku. Astaga. Asyik banget dianggap kayak tamu terhormat. ”Tampaknya pasangan Anda belum datang. Apakah Anda mau langsung pesan menu atau menunggu?” tanya laki-laki itu. ”Saya menunggu saja. Terima kasih,” kataku sopan. Laki-laki itu kemudian menyodorkan buku menu bersampul kulit yang mewah. ”Silakan melihat buku menu dulu,” katanya. Aku menerima buku itu dan mengangguk. ”Jika Anda butuh sesuatu, silakan panggil saya. Nama saya Andre,” katanya, menunjukkan name tag yang disematkan di atas saku kiri jasnya.
102 ”Oke,” jawabku singkat. Sambil menunggu, aku mengamati suasana kafe itu. Dengan nuansa pink dan putih serta suara musik mengalun lembut, atmosfer romantis terasa di segala penjuru. Taplak mejanya berwarna marun dan serbetnya dilipat membentuk angsa. Dan tampaknya semua tamu yang datang malam ini merupakan pasangan kekasih. Tiba-tiba aku teringat Thomas, dan sedikit perasaan bersalah melandaku. Tapi suara hatiku memberontak. Makan malam bareng Alex adalah kesempatan sekali seumur hidup! Dan, sejujurnya aku bosan makan bareng Thomas, soalnya dia selalu mengajakku ke Palm Garden Square. Palm Garden Square kan nggak romantis. Malah kalau dibandingkan Café Bien, Palm Garden Square terkesan norak banget. Soalnya pelayannya nggak pakai jas dan buku menunya cuma kertas fotokopian. Aku melirik sepintas ke arah jam tanganku. Jam delapan lewat sebelas. Alex terlambat. Tapi aku maklum. Dia kan orang sibuk. Suara denting piano membawa pikiranku melayang. Suara piano memang selalu membuatku tenang. ”Permisi.” Aku tersadar dari lamunanku. Di hadapanku, Andre sedang berdiri menatapku. ”Ya?” ”Apa Anda mau pesan minuman lebih dulu?”
103 Aku buru-buru menggeleng. ”Trims. Saya mau menunggu saja,” kataku sopan. ”Baiklah kalau begitu,” kata Andre kemudian meninggalkanku. Tiba-tiba, seorang laki-laki datang mendekat. Lakilaki itu mengenakan jaket jins, kacamata hitam, dan topi lebar yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Melihat laki-laki ini, aku jadi kesal. Seharusnya Café Bien punya peraturan dress code. Malu-maluin banget lihat orang yang pakaiannya nggak pantas datang ke tempat ini. Aku melirik ke sekelilingku. Ada meja kosong di sebelah mejaku. Dalam hati aku berharap semoga laki-laki urakan ini nggak duduk di situ, melainkan di meja kosong di ujung ruangan. Atau di mana saja deh, yang penting jangan duduk dekat-dekat aku. Tapi mungkin aku sedang apes, laki-laki urakan itu malah berjalan ke mejaku. Dia pasti akan mengambil tempat di meja belakangku. Duh… mimpi apa sih aku semalam? Kok sial banget. Aku menghela napas dan membuang muka, nggak mau melihat laki-laki itu dari dekat. Tapi laki-laki itu malah menarik bangku di mejaku. ”Sori aku terlambat,” katanya singkat. Lalu, di balik wajahnya yang hampir tertutup, aku melihat senyumnya. Ya ampun! Senyum itu… Aku menelan ludah dan merasakan wajahku memerah. ”Alex?” tanyaku tak yakin.
104 ”Halo, apa kabar?” katanya sambil duduk. ”Kamu sudah pesan menu?” Alex ada di hadapanku. Ya Tuhan. Aku bisa merasakan air mataku hampir menetes. Tidak. Aku tidak boleh menangis. Aku hanya bisa menggeleng. ”Omong-omong,” kata Alex sambil melambaikan tangan ke pramusaji, ”siapa namamu?” Aku menelan ludah karena gugup. Lalu, tanpa kusadari, aku nyerocos panjang-lebar. ”Namaku Meliana. Teman-teman biasa panggil aku Mel. Aku masih SMA lho. SMA Permata, kelas dua. Aku tinggal di Kebon Jeruk. Sejak kamu tampil di My Idol, aku selalu dukung kamu. Sampai sekarang aku ngidolain kamu. Aku juga pernah ketemu kamu waktu jumpa penggemar di…” Aku menutup mulut, takut Alex mati bosan karena kebanyakan informasi dariku. ”Maaf… aku gugup,” kataku. Tiba-tiba, terdengar bunyi kriuk kriuk dari perutku. ”Maaf,” kataku malu. Alex tertawa lepas melihatku. Setelah berhenti, cowok itu mengusap matanya. ”Kamu lapar, ya?” tanyanya sambil menatapku. Aku cuma bisa tersenyum malu. Tapi Alex tampak benar-benar rileks. Bahkan setelah makanan kami datang, cowok itu makan dengan lahap dan santai. Sedangkan aku makan dengan kikuk dan berusaha nggak mengeluarkan bunyi saat mengunyah.
105 ”Kamu makan lama sekali, ya?” tanya Alex melihat piringku yang masih penuh. Aku tersenyum memandang piring Alex yang sudah kosong. ”Kamu yang makannya terlalu cepat,” kataku. ”Kamu langsung telan, kali ya, nggak pakai dikunyah?” jawabku asal. Alex tertawa lagi. ”Kamu tuh lucu ya, Mel.” Lalu, sambil menunjuk sudut mulutku, dia berkata, ”Mel, bibirmu berlepotan sambal tuh.” Aku menunduk malu dan buru-buru mengelap bibirku. Nggak ada noda apa-apa di serbet. Mungkin Alex hanya menggodaku. ”Bohong, ya?” tanyaku. ”Sebelah satunya lagi,” kata Alex masih tertawa melihatku. Aku langsung mengelap sudut mulutku sebelah kiri dan malu karena Alex ternyata benar. ”Mau tambah?” tanyaku berusaha mengalihkan perhatiannya. Alex mengangguk. ”Aku belum makan apa-apa sejak pagi. Mungkin aku perlu tam… lho?” Alex menggerakkan tangannya tepat di saat aku menuang kentang goreng ke piringnya. ”Mel, kenapa kentang gorengnya ditaruh di piringku?” ”Maaf,” kataku cepat sambil berusaha mengambil kembali kentang goreng yang sudah mendarat ke piringnya dengan gugup. ”Aku… kupikir kamu mau nambah.” Alex tertawa lagi. ”Aku memang mau nambah,” katanya sambil menatapku geli. ”Tapi aku nggak
106 mau makan kentang goreng. Nggak bagus buat suaraku.” Tepat saat itu pramusaji datang, maka Alex memesan makanan lagi. Ya ampun. Apa sih yang baru saja kulakukan? Aku bodoh banget ya. Nggak tanya-tanya dulu Alex mau tambah apa. Tanpa sadar aku menggerutu, ”Dasar bo—” ”Kau suka lagu apa?” ”…doh.” ”Apa? Doh?” Alex mengernyit menatapku. ”Kayaknya nggak ada deh lagu yang judulnya Doh. Tapi aku tahu lagu Jerman berjudul Du.” ”Mm… lupakan saja,” jawabku cepat-cepat. ”Apa katamu tadi? Aku suka lagu apa? Tentu saja semua lagu yang kamu nyanyiin.” ”Yang paling kamu suka?” tanya Alex santai. Aku berpikir sejenak. ”Aku paling suka lagu Hero.” ”Hero?” Alex mengernyit. ”Hero-nya Mariah Carey atau Hero-nya Enrique Iglesias?” Ya ampun. Bodoh banget sih aku ini. ”Maksudku, aku suka lagu kamu yang judulnya Selamanya Cintaku,” tambahku cepat-cepat. Alex kembali tertawa. ”Aku percaya,” angguknya. ”Omong-omong, kamu mau dessert?” Aku mengangguk. Dan ingatanku langsung menyala bagaikan alarm yang berbunyi. ”Alex, sebetulnya aku punya sesuatu buat kamu,” kataku. ”Apa?”
107 ”Mm… sushi buatanku sendiri. Cobain deh. Kalau kamu suka, nanti aku buatkan lagi. Berapa pun banyaknya.” Alex tertawa lebar. Lalu dia menatapku. ”Kamu bukan pengusaha katering, kan?” Aku menggeleng. ”Atau anak pengusaha katering?” Aku menggeleng lagi. ”Aku juga bukan anak pengusaha restoran,” kataku menanggapi gurauannya. Alex tersenyum lebar. ”Kalau kamu serius buatin aku makanan, aku nagih janji kamu pada pertemuan kita berikutnya lho.” Aku ternganga mendengar ucapannya. Pertemuan kita berikutnya. Apakah itu berarti… ”Nah, kamu bisa, kan?” tanya Alex. ”Tentu saja,” jawabku dengan hati berbunga-bunga.
108 MALAM semakin larut. Aku berbaring di tempat tidurku, tapi mataku belum mau terpejam. Di kepalaku masih terlintas kenangan makan malam tadi. Dan… Alex mengajakku ketemuan lagi! Kami janjian makan malam bareng lagi di Café Bien tanggal 30 Oktober. Aku langsung bangkit dan duduk di depan meja belajarku. Kugambar dua buah tanda hati di kalender dengan spidol merah, dan kutulis ”kencan lagi bareng Alex”. Sambil menatap kalender, aku berusaha menghitung hari sampai tanggal 30 Oktober. Duh, masih lama ya. Sumpah deh, saat itu aku pasti bikin sushi spesial untuknya. Sebanyak-banyaknya. Sushi-sushi itu akan kubungkus dalam dua kotak yang berbeda, buat jaga-jaga kalau aku tak sengaja menjatuhkannya ke lantai. Perasaanku melayang. Aku senyum-senyum sendiri 10
Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat 1 2 3 4 7 14 21 28 8 15 22 29 9 16 23 30 10 17 24 31 11 18 25 12 19 26 13 20 27 5 6 Notes: 30 Oktober. Kencan lagi bareng Alex. Hahahahahahahahaahaha Jangan lupa: 1. Buat sushi minimal 2 kotak (buat jaga-jaga) 2. Nggak usah bawa mobil (biar diantar pulang. Hehe.) 3. Bawa kamera. Minta foto bareng. 4. Minta nomor HP Alex (jangan lupa!) Kan asyik kalau bisa nelepon Alex kapan saja. Biar bisa janjian kencan lagi. Duh, udah nggak sabar lagi nih... October 2007
110 sambil mengingat kejadian tadi. Setiap kalimat yang kami ucapkan, setiap gerakan yang dilakukan Alex. Semuanya bagai mimpi indah. Sumpah, kalau saat ini aku sedang bermimpi, aku nggak mau bangun lagi. Aku senang sekali. Saking senangnya, aku sampai lupa menanyakan nomor handphone-nya. Coba kalau dapat, aku bisa nelepon Alex kapan pun. Atau ngirim SMS kalau dia ultah. Aku senang banget kencan dengan Alex berakhir sempurna. Sayang, tadi aku nggak pulang diantar dia. Padahal tadi dia sempat nawarin lho. Sebenarnya bisa saja sih, aku bilang nggak bawa mobil dan menerima tawaran Alex. Setelah sampai rumah kan aku bisa balik lagi ke Café Bien naik taksi. Tapi, saat memikirkan hal itu, aku jadi gugup, dan saat aku membuka tas untuk mengambil tisu, kunci mobilku jatuh. Ketahuan deh. Oke. Kencan berikut, aku nggak bakalan bawa mobil. * * * Keesokan paginya, aku datang ke sekolah tepat saat bel pelajaran berbunyi. Silvia yang duduk di sebelahku langsung bertanya tanpa basa-basi, ”Mel, lo punya pacar baru, ya?” ”Nggak kok,” kataku pelan tepat saat Pak Yanto masuk kelas. Pak Yanto guru kimia yang killer banget.
111 ”Gue denger lo kencan sama cowok lain di hari satu tahun jadian lo sama Thomas.” Aku terbata-bata. Thomas pasti sudah cerita ke Silvia, padahal aku belum sempat membereskan masalahku dengan Thomas. ”Bukan begitu ceritanya, Sil.” ”Elo kencan sama siapa sih, Mel?” tanya Silvia. ”Thomas nggak mau bilang. Menyakitkan, katanya.” Aku terdiam. Aku memang merahasiakan hal ini dari Silvia karena takut dia bakal mengadu ke Thomas. Soalnya mereka kan sepupuan. Mungkin dia ada di kubu Thomas dan diam-diam memata-mataiku. ”Lo pasti nggak bakal percaya deh, Sil.” ”Siapa sih?” tanya Silvia penasaran. ”Anak sekolah kita ya?” lanjut Silvia menggebu-gebu. Aku masih terdiam. ”Mm… jangan sekarang deh, Sil. Ntar aja gue ceritain. Pak Yanto ngeliatin kita terus tuh.” ”Biarin aja,” Silvia memelankan suaranya. ”Eh, Mel, gue tau lo selingkuh sama siapa. Si Edward, kan?” tanya Silvia dengan tatapan penuh kemenangan. Aku tersentak kaget. Sama sekali nggak menyangka tebakan Silvia yang benar-benar ngawur. ”Edward?” ”Iya. Gue tau Edward naksir elo,” cerocos Silvia. ”Gue udah beberapa kali mergokin dia lagi ngeliatin elo kalo kita lewat lapangan basket. Pasti dia, kan?” tanya Silvia, memastikan tebakannya.
112 ”Sil…” Silvia langsung menepuk jidatnya. ”Oh…nggak heran deh lo berpaling dari Thomas. Kalo saingan Thomas si Edward, ya terang aja dia kalah.” Tiba-tiba suasana kelas jadi berisik, tapi aku hanya mendengar kata-kata ”jangan” atau ”minggu depan aja”. ”Ada apa sih?” Silvia menanyai Ami, yang duduk di depan kami. ”Ulangan mendadak,” jawab Ami. Astaga! Masa harus ulangan mendadak di saat seperti ini? * * * Ternyata julukan killer buat Pak Yanto memang cocok banget. Ulangan kimia mendadak tadi susahnya minta ampun. Sepertinya aku bakal dapat nilai merah. Kalo Silvia sih jangan ditanya. Semua pelajaran dia anggap enteng. Setelah ulangan selesai, Sivia masih penasaran siapa cowok yang kencan denganku. ”Jadi benar Edward, kan?” tanyanya. Sejujurnya, aku senang membuat Silvia penasaran. GR dikit boleh dong, kan Edward keren. Di sekolah yang naksir Edward banyak banget. ”Tapi kok gue nggak pernah liat Edward ngobrol sama elo?” kata Silvia sekali lagi. ”Memangnya kapan sih dia ngajak lo kencan?”
113 Oalah…. Tebakan Silvia makin ngaco deh. ”Lo yakin Edward suka ngeliatin gue di lapangan basket?” tanyaku iseng. Wah, makin seru nih. Seneng banget bisa ngerjain Silvia. ”Iya,” jawab Silvia. Aku tersenyum GR. ”Kok lo nggak bilang-bilang gue sih kalo lo lagi deket sama Edward?” Aku cengengesan, menatap Silvia. Udah deh, aku mau jujur aja. ”Bukan Edward, Sil. Tapi Alex.” ”Alex siapa?” Silvia menatapku heran. ”Emang ada yang namanya Alex di sekolah kita?” Aku tersenyum nakal dan mengedipkan sebelah mata. ”Ya Alex Julio, laaaah…” Setelah hening sejenak, mata Silvia langsung membuka lebar. ”Maksud lo, Alexander Julio idola lo itu?” Aku mengangguk. ”Hah?” tanya Silvia bengong. ”Yang bener!” Sesaat kemudian, aku menceritakan kencanku dengan Alex. Semuanya. Kecuali bagian saat Alex mengajakku kencan lagi. Soalnya Silvia kan sepupu Thomas. ”Curang,” kata Silvia beberapa saat kemudian. ”Lo main rahasia-rahasiaan sama gue.” ”Sori. Seharusnya gue bilang ke elo, tapi…” ”Elo takut gue ngadu ke Thomas, gitu?” Silvia menyela ucapanku. Aku langsung mengangguk. ”Soalnya gue bukan-
114 nya selingkuh, Sil. Gue cuma memanfaatkan kesempatan. Makan malam bareng Alex kan nggak datang dua kali.” ”Gue ngerti,” kata Silvia penuh pengertian. ”Kapan lagi lo bisa ketemu sama bintang idola?” ”Persis.” ”Terus, hubungan lo sama Thomas gimana?” tanya Silvia kemudian. ”Dia datang ke rumah gue kemarin dan curhat. Katanya lo selingkuh. Tampangnya sedih banget.” Aku mengerang. Dalam hati kuakui aku salah. Seharusnya aku menghubunginya setelah aku makan malam bareng Alex. ”Gue… pasti telepon Thomas nanti,” kataku dengan suara tersekat. ”Gue bakalan jelasin semuanya. Semoga dia udah nggak marah lagi sama gue.” Silvia mengangguk. ”Dia pasti ngerti. Ini kan cuma hubungan antara fans sama bintang idola.” ”Thanks, Sil. Lo bisa ngerti perasaan gue.” Namun dalam hati aku berpikir keras. Apakah hanya hubungan fans-idola yang kuharapkan dari Alex? Aku menggosokkan tangan ke wajah dan merasa tolol. Memangnya aku mau dianggap apa sih sama Alex? Dia kan bintang pujaan. Dan dia nyaris nggak kenal aku. ”Jadi,” kata Silvia membuyarkan lamunanku, ”apa lo udah punya foto bareng Alex sekarang?” Aku mengerang dan langsung kecewa. ”Gue lupa bawa kamera kemarin, Sil.”
115 Silvia menatapku iba. ”Kasihan deh lo. Padahal itu kan kesempatan langka.” ”Iya, gue nyesel banget.” Lalu, tiba-tiba aku teringat Silvia tadi menuduhku jalan bareng Edward. ”Sil, kok elo bisa bilang Edward naksir gue sih?” ”Yah, gue cuma nebak aja.” Wajah Silvia kini berubah serius. ”Terus lo nanti bakalan beresin hubungan lo sama Thomas, kan?” tanya Silvia. Nah, ini nih jeleknya pacaran sama sepupu sahabat sendiri. Kalo kita lagi punya masalah sama pacar, sang sepupu pasti jadi pengin tahu. ”Mm…,” kata Silvia canggung, ”lo mau gue yang cerita ke Thomas? Yah, secara elo lagi perang dingin begini.” Aku menggeleng. ”Nggak usah, Sil. Biar gue aja yang terus terang ke Thomas.” Silvia mengangguk. ”Yah, menurut gue, elo emang harus jujur sih, kalo hubungan lo sama Thomas mau awet.” ”Lo bener, Sil.” ”Terus kita gimana?” tanya Silvia. ”Maksud lo?” ”Di antara kita juga nggak boleh ada rahasiarahasiaan lagi ya,” kata Silvia. Aku mengangguk. ”Janji.” Tapi, kayaknya bukan ide bagus kalo aku ngasih tahu Silvia bahwa aku masih akan kencan sama Alex 30 Oktober nanti….
116 MALAMNYA, aku baru saja hendak menelepon Thomas ketika HP-ku berdering. Panjang umurnya. Ternyata memang dari Thomas. ”Halo, Mel,” kata Thomas setelah aku mengangkat HP-ku. ”Halo, Tom,” jawabku pelan. Selama lima detik hening. Aku dan Thomas samasama nggak tahu mesti mulai dari mana. ”Tom, kayaknya kita mesti bicara,” kataku lambatlambat. ”Aku ngerti kok, Mel,” katanya kemudian. Sepertinya dia sudah dengar semuanya dari Silvia. Aku menelan ludah. ”Tom, sori ya, udah ngecewain kamu.” Thomas buru-buru memotong, ”Nggak, Mel. Salah aku yang cemburuan. Maafin aku ya?” 11
117 Aku terdiam sejenak. Memangnya Thomas salah apa ya? ”Maafin aku ya, Mel?” tanya Thomas sekali lagi. ”Kamu kan nggak salah apa-apa, Tom. Aku yang salah, nggak jujur sama kamu. Akulah yang seharusnya minta maaf.” ”Nggak. Sekarang aku ngerti,” kata Thomas, ”wajar aja kalo kamu pengin ketemu Alex. Kamu kan fans beratnya. Sekarang… kamu mau kan, maafin aku?” tanya Thomas. Aku tersenyum walaupun tahu Thomas tidak bisa melihat senyumku. ”Ih, udah dibilangin dari tadi, nggak denger ya. Kamu kan nggak salah apa-apa, Tom.” Thomas tertawa. ”Jadi kita rujuk nih?” ”Yup,” jawabku. * * * Akhirnya aku dan Thomas baikan lagi. Kami memang nggak tahan marahan lama-lama. Tapi setelah kejadian itu, kayaknya sikap Thomas padaku agak berbeda. Kadang-kadang, kalau aku dan Thomas sedang makan bareng di Palm Garden Square, aku mendapati Thomas melamun sambil menatapku. Entah apa yang ada dalam pikiran cowok itu. Padahal kejadian itu kan sudah lewat, dan Thomas berulang kali mengatakan bahwa kejadian tersebut hanya salah paham. Jadi seharusnya aku tak perlu memikirkan kejadian itu lagi dong.
118 Aku sih senang-senang saja. Setidaknya satu masalah berakhir, dan aku tak sabar menanti kencan bareng Alex besok. Tapi untuk menghindari salah paham yang mungkin terjadi, kayaknya lebih baik aku merahasiakan hal ini dari semua orang, kecuali kakakku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Silvia sampai tahu tentang rencanaku kencan bareng Alex lagi. Bisa-bisa aku dikuliti hidup-hidup. Apalagi kalau Thomas sampai tahu. Waduh, gawat deh. Makanya, selama bersama Thomas, aku nggak bilang apa-apa tentang kencan kedua bareng Alex. Duh, nggak sabar deh menunggu besok. Kira-kira Alex mau obrolin apa ya sama aku? Aku berusaha membayangkan apa rasanya kalau bisa jadi sahabat Alex. Aku bisa ikut diwawancara di koran, masuk infotainment. Dan karena kedekatanku dengan Alex, bisa jadi aku terpilih jadi jubir Alex atau ketua fans club Alex di Indonesia. Asyik banget, kan? ”Ehm, Mel?” Pertanyaan Thomas membuyarkan lamunanku. ”Kamu mau menu seperti biasa?” Aku menatap Thomas, dan kembali ke alam nyata. Saat ini aku berada di Palm Garden Square. Tempat Kita, milikku dan Thomas. ”Eh, iya. Yang biasa aja,” jawabku tanpa pikir panjang. Kalau dipikir-pikir, Palm Garden Square sekarang sangat membosankan dan jelek. Setelah air mancur direnovasi, tempat ini rasanya nggak cocok lagi di-
119 juluki Tempat Kita. Suara air mancur yang tadinya tenang dan menyejukkan sekarang nyaris tak terdengar, kecuali kalau di ruangan ini sama sekali tidak ada tamu. Sebagai gantinya, suara musik dari band antah-berantah terdengar kencang dan bikin pusing. Belum lagi, lagu yang dinyanyikan sudah ketinggalan zaman, tipikal lagu oom-oom. Sebenarnya lagunya lumayan enak sih. Sayang aku sendiri nggak terlalu suka jenis musiknya. Misalnya, lagu Peterpan Ada Apa Denganmu dinyanyikan dengan versi keroncong. Bukannya aku antikeroncong. Hanya saja lagu asyik itu jadi nggak cool jika dimainkan dengan versi keroncong atau versi lambat, bukannya dengan beat yang mengentak-entak seperti yang dinyanyikan Ariel. Samar-samar aku mulai mendengar band antah-berantah itu siap menyanyikan lagu lain. Intronya mulai mengalun. ”Hei, itu kan lagu kesukaan kamu, Mel,” kata Thomas. ”Hah?” tanyaku tak mengerti. Lalu, samar-samar intro lagu mulai mengalun lebih panjang, dan aku terkesiap ngeri. Yang sedang dinyanyikan band antah-berantah itu adalah lagu keramat yang nggak boleh dinyanyikan dengan sembarangan, lagu Selamanya Cintaku, lagunya Alex. Tapi di sini lagu itu dinyanyikan nggak beraturan dengan gaya aneh yang membuatku mual melihatnya.
120 Aku menutup mulut, nggak tahu mesti bagaimana. Thomas tersenyum melihatku. ”Kamu suka? Aku lho yang me-request lagu itu.” ”Hah?! Buat apa?” tanyaku nggak mengerti. Thomas tersenyum lebar. ”Ya sebagai bukti bahwa aku sekarang dukung kamu seribu persen.” Aku tersenyum kaku. ”Jadi, bilang aja apa saja keinginanmu tentang Alex,” kata Thomas sekali lagi. ”Nemenin kamu minta tanda tangan Alex juga aku mau. Ngantar kamu ke tempat fans club Alex juga boleh. Pokoknya apa aja. Aku pengin jadi pacar yang nyuport kamu.” ”Tom, kamu kesambet angin apa sih?” tanyaku bingung. ”Angin puting beliung. Hehe.” Thomas tersenyum tapi kemudian tampangnya kembali serius. ”Terus, aku bakal nyetel lagu Alex setiap kali pergi sama kamu.” Sambil menunjuk ke arah panggung, Thomas melanjutkan, ”Aku mau request lagu ini setiap kita di sini.” ”A-apa?!” tanyaku bengong. Samar-samar aku mendengar suara penyanyi itu di lirik terakhir lagu Alex. Syukurlah sebentar lagi lagu ini berhenti. ”Kamu nggak percaya?” Thomas menatapku tersinggung. ”Hei, Don, lagu ini diulang lagi dong!” kata Thomas sambil melambaikan tangan ke Doni. Ya ampuuun.! Tidak! Tidaaaaak! Kadang-kadang aku merasa nggak kenal Thomas
121 sama sekali. Dengan entengnya Thomas melecehkan lagu idolaku. Dia bahkan minta lagu itu diulang. Ini sudah keterlaluan. Tapi aku nggak bisa bilang langsung, takut Thomas tersinggung. Soalnya Thomas sudah berusaha menyenangkanku walau caranya menurutku salah. Bahkan ketika pengunjung lain di Palm Garden Square meminta lagu Selamanya Cintaku dihentikan karena sudah dinyanyikan dua kali berturutturut, Thomas malah maju ke panggung dan berkata di depan mikrofon bahwa lagu itu adalah lagu spesial untukku, sebagai tanda cintanya padaku. Dan, coba tebak? Akhirnya semua pengunjung bertepuk tangan meriah dan memuji Thomas. Sementara aku? Aku kehilangan nafsu makan karena lagu aneh itu dinyanyikan sampai lima kali. * * * ”Tumben kamu makannya sedikit,” kata Thomas saat mengantarku sampai rumah. ”Sakit, ya?” Aku menggeleng lemah, bingung mesti jawab apa. Basa-basi aku menawarkannya masuk, tapi Thomas malah beneran mau mampir. ”Peter ada?” tanya Thomas setelah masuk ke rumah. ”Nggak tau,” jawabku singkat. Aku berjalan ke arah TV dan memberikan remote pada Thomas. ”Kalau mau nonton, setel aja TV-nya. Aku mau ke toilet dulu.”
122 ”Oke,” jawab Thomas. Dari dalam toilet, aku mendengar suara TV dinyalakan dan sepertinya siaran sitkom sedang diputar. Syukurlah Thomas nggak kutinggal bengong saja sendirian di rumah, soalnya perutku mulas. Mungkin kebanyakan dengar lagu aneh tadi. Di dalam toilet, aku membaca-baca majalah sampai sakit perutku hilang. Setelah menyelesaikan ”panggilan alam”-ku, aku cepat-cepat keluar. Kasihan juga Thomas kalau kelamaan sendirian. Namun saat aku ke ruang TV, kulihat TV tetap menyala tapi Thomas nggak ada. Aku mengernyit heran, berusaha mencari Thomas. Aku menuju kamar Peter. Biasanya Thomas sering ke kamar kakakku untuk meminjam DVD atau main komputer. Tapi saat aku membuka pintu kamar Peter, ternyata kamar itu kosong. Thomas ke mana ya? Ah, mungkin ke toilet di lantai dua. Tapi, setelah aku naik ke lantai dua, aku mendapati toilet itu kosong. Tiba-tiba terlintas di benakku, Thomas pasti pulang karena kesal kelamaan kutinggal. Sambil setengah berlari, segera saja kuhampiri jendela yang menghadap ke depan rumah. Mobil Thomas masih ada. Sambil melangkah menuruni tangga, aku menggaruk-garuk kepala kebingungan. Di mana sih Thomas? Sejenak kemudian, Thomas keluar dari kamarku. Aku melongo. Thomas pernah masuk kamarku
123 untuk bantu-bantu aku bikin PR, saat kami baru jadian. Tapi, karena papaku bilang sebaiknya aku dan Thomas nggak berduaan dalam kamar, jadi sejak itu Thomas nggak pernah masuk kamarku lagi. ”Tadi kupikir kamu pulang lho, Tom,” kataku lega. Tapi Thomas diam saja. Wajahnya terlihat lain. ”Kamu kenapa, Tom?” tanyaku. Thomas menatapku tajam. Sorot matanya tampak aneh, seakan menahan sakit yang amat sangat. ”Kamu sakit ya, Tom?” tanyaku sedih. ”Mau kuambilin obat?” Hening sejenak, sampai aku merasa janggal dengan keheningan ini. ”Mel, kamu nggak jujur, ya?” kata Thomas memecahkan keheningan. Aku memandangnya heran. ”Tom, kamu ngomong apa sih?” Mata Thomas menyipit. ”Aku kecewa sama kamu.” Aku menatap Thomas tak mengerti. ”Tom, jangan ngaco deh. Ada apa sih?” ”Lagi-lagi Alex.” Aku mengernyit tak mengerti. Berusaha berpikir keras. Apa hubungannya Alex dengan semua ini? Thomas baru saja ke kamarku dan… Astaga! Aku segera bergegas ke kamarku. Thomas membuntutiku. Kamarku memang sudah berubah total sejak Thomas terakhir kali masuk. Dia pasti se-
124 bal melihat seisi dinding kamar dipenuhi poster Alex. ”Memangnya kenapa kalau aku pasang poster Alex?” tanyaku tak mengerti. ”Katanya kamu ngedukung aku ngefans Alex.” ”Bukan itu masalahnya, Mel.” ”Jadi apa?” Thomas menelan ludah. ”Aku bisa merasakannya.” Dia memalingkan wajahnya sejenak. ”Kupikir masih belum telat memperbaiki hubungan kita. Tapi sekarang aku tahu. Kamu bukan sekadar mengidolakan Alex, Mel. Kamu cinta dia. Jadi nggak ada gunanya kita ngelanjutin kebohongan ini.” Tenggorokanku tersekat. ”Jangan ngawur, Tom.” ”Kamu masih nggak ngaku, Mel?” tanya Thomas. ”Kamu masih akan kencan sama Alex lagi, kan?” Kaget dengan pertanyaan Thomas, aku hanya mampu menelan ludah. Glek! Suaraku pasti bisa terdengar oleh Thomas yang berdiri marah di depanku. ”Aku…” ”Kenapa? Kamu nggak bisa ngasih alasan apa-apa, kan?” Thomas memandangku dengan tatapan sengit. ”Bukan begitu, Tom. Dengerin dulu…” ”Kamu masih mau nyangkal?” Thomas memotong penjelasanku. ”Aku sudah tahu semuanya, Mel. Kubaca dari tulisanmu di kalender.” Aku menganga tak percaya. Jadi selama ini
125 Thomas tidak memercayaiku, dan berusaha mencari kesempatan mencari bukti di kamarku! ”Oke! Terus sekarang kamu mau apa?” tanyaku dengan dagu terangkat. ”Kamu menang. Aku udah ketangkap basah.” Thomas diam saja dan menatapku sedih. Aku berusaha tetap menatapnya. Biar bagaimanapun, aku punya privasi, kan? Aku nggak suka jika ada orang mengintai kamarku. ”Kita… putus aja, Mel.” Suara Thomas yang nyaris berupa bisikan langsung menghantam tubuhku. Aku merasa lemas. Dengan memegangi kedua lenganku yang gemetar, aku menatap Thomas tak percaya. ”Putus…?” tanyaku dengan suara gemetar. Thomas menghela napas dan memelukku. ”Bye…,” bisiknya pelan. Mulutku terkunci. Dalam pelukan Thomas, aku menangis tak bersuara.
126 JADI beginilah nasibku setelah setahun pacaran dengan Thomas. Putus! Aku menghapus air mataku. Bahkan setelah lebih dari satu jam Thomas pergi, aku masih menangis. Selama ini aku selalu bermimpi bahwa cowok pertamaku bakalan jadi pasanganku selamanya. Ternyata mimpiku tak menjadi kenyataan. Namun, yang menyebabkan aku menangis bukanlah mimpiku yang kandas, melainkan penyesalan di hatiku. Thomas takkan pernah mengetahui bagaimana penyesalanku karena telah membuat ia salah paham dan menyakitinya. Aku memang menikmati kencan bareng Alex, tapi itu tak lebih dari sekadar bertemu idola. Dasar tolol! Aku memarahi diriku sendiri. Thomas sebenarnya pacar yang baik, tapi aku tak pernah 12
127 bilang kepadanya. Waktu Valentine, Thomas membawakanku cokelat. Dan aku memarahinya, karena menurutku cokelat akan membuat berat badanku naik. Waktu Thomas mengajakku nonton film untuk pertama kalinya, aku cemberut sepanjang hari. Aku kesal karena dia mengajakku nonton film action yang menurutku terlalu berdarah-darah. Thomas sih akhirnya mengalah, dan kami memilih nonton film drama. Waktu Thomas tak bisa menjemputku dari les piano karena ingin pergi bersama temannya, aku menghabiskan sepanjang hari dengan memarahinya karena dia nggak menomorsatukan pacar. Waktu Thomas datang ke rumah saat aku sibuk belajar ulangan umum, aku malah mengomentarinya panjang-lebar, mengatakan bahwa dia malah mengganggu konsentrasiku. Selama ini aku terus memarahinya mengenai hobinya yang aneh, memaksanya melakukan apa pun yang kuminta, dan berharap Thomas akan mengerti apa pun kesalahan yang kulakukan. Aku merasakan tikaman rasa bersalah yang amat dalam, dan berusaha menatap cermin, mengatakan betapa jahatnya diriku kepada Thomas. Tapi bayanganku di cermin membuatku merasa semakin bersalah. Selama ini aku telah bersikap jahat kepada Thomas. Aku cewek jahat yang matanya sembap karena kebanyakan menangis.
128 Aku menatap kalender di mejaku. Kencan bareng Alex, besok. Rencana kencan bareng Alex membuatku dipenuhi perasaan bersalah. Semua ini karena keegoisanku. Selama ini aku terus meminta Thomas mengerti diriku, mengerti kecintaanku pada Alex. Aku juga ingin Thomas mengerti bahwa sesekali boleh dong aku kencan bareng cowok lain. Kan sekadar kencan bareng idola, bukan pacaran. Aku menghela napas panjang, dan tiba-tiba aku menyadari. Hubunganku dengan Thomas memang sudah tidak lagi harmonis. Tak ada lagi komunikasi terbuka di antara kami. Aku hanya memaksanya melakukan apa pun yang kuanggap benar. Dan aku mengharapkannya untuk mengerti. * * * Beberapa jam kemudian, saat aku hendak tidur, telepon rumahku berdering. ”Silvia telepon, Mel!” Peter berteriak dari luar kamarku. Aku buru-buru keluar kamar, mengambil telepon paralel wireless di ruang duduk lantai atas, dan langsung kembali ke kamarku. ”Halo, Sil,” jawabku. ”Udah buat PR, Mel?” tanya Silvia riang. Astaga! PR! Aku menepuk jidatku. Aku lupa ada PR. Kemudian aku berusaha menyimak suara Silvia. Suara Silvia terdengar biasa saja. Sepertinya dia belum tahu aku putus dengan Thomas.
129 ”Belum, Sil.” ”Untung gue ingetin, Mel. Kalau nggak, elo nggak boleh ikut ulangan lho.” Aku mengerang. Aku benar-benar lupa bahwa besok ada ulangan akuntansi. Dan, syarat utama untuk bisa ikut ulangan adalah membuat PR. ”Mel? Lo kok diam aja sih?” ”Gue lupa, Sil.” ”Masih keburu kok bikin PR sekarang.” Aku menarik napas panjang-panjang, tak tahu harus bilang apa. Saat ini sudah jam sebelas lewat. Rasanya aku tak sanggup mengerjakannya dalam waktu singkat. ”Hei,” kata Silvia kemudian. ”Walaupun putus sama pacar, bukan berarti dunia lo runtuh. Jangan terlalu sedih, Mel.” Aku ternganga mendengar ucapan Silvia. ”Lo tau gue putus?!” tanyaku. ”He-eh,” jawab Silvia singkat. ”Dan lo maksa gue buat PR walaupun lo tau gue baru aja putus?” Ketenangan dalam suara Silvia mengherankanku. ”Makanya gue telepon elo, mau ngingetin elo bikin PR.” ”Sil, elo tega bener deh. Bukannya menghibur gue, elo malah nyuruh gue bikin PR?” ”Mel,” kata Silvia pelan, ”ini kan buat kebaikan lo sendiri. Putus sama pacar wajar kok. Tapi kalo lo
130 rusak kebahagiaan elo karena terlalu sedih, itu nggak wajar.” Tak tahan mendengar suara Silvia, aku menangis. ”Tapi… Thomas mutusin gue begitu aja tanpa gue sempat ngejelasin masalahnya.” ”Sori gue nggak bisa ke rumah elo buat hibur elo sekarang, Mel,” kata Silvia pelan. ”Bukan salah lo.” Aku menghapus air mataku. ”Tapi, Thomas…” ”Thomas juga sama sedihnya kayak elo.” ”Terus kenapa dia putusin gue?” tanyaku mengerang. ”Mel,” kata Silvia pelan-pelan. ”Punya pacar berarti kita harus jujur dan saling terbuka. Bukan rahasiarahasiaan.” ”Sil, mana mungkin sih gue ngasih tau Thomas kalo Alex ngajak makan malam lagi? Thomas kan marah waktu tau gue dapat voucher makan malam bareng Alex.” ”Yang juga lo rahasiain dari Thomas, kan?” ”Bukan itu maksud gue.” Aku membela diri. ”Aku hanya nggak mau Thomas kecewa dan marah.” ”Dia berhak marah. Lo kencan sama cowok lain di belakangnya. Sejujurnya, gue juga marah sama elo karena ngerahasiain hal ini dari gue. Memangnya lo takut gue bakal ngadu ke Thomas?” tanya Silvia penuh selidik. Aku diam saja. Tak berani menjawab karena takut
131 melukai hati Silvia. Aku tak mau kehilangan pacar dan sahabat sekaligus dalam waktu semalam. ”Lo marah, Sil?” ”Ya.” ”Apa lo juga nggak mau lagi sobatan sama gue?” ”Gue nggak bakal musuhin elo, Mel. Sahabat kan ikatannya lebih kuat daripada pacar yang bisa putus.” ”Lo baik banget, Sil. Maafin gue ya.” ”Oke. Permintaan maaf diterima. Tapi gue mau ingetin elo. Kalo lo masih ngerahasiain sesuatu dari gue lagi, gue nggak bakalan ingetin elo bikin PR lagi lho.” Aku tertawa pelan. ”Aduh, gue pasti sengsara, Sil.” Silvia tertawa. Sejenak, rasanya kesedihanku mulai berkurang. Tapi tiba-tiba aku teringat. ”Sil, gimana Thomas?” Dari seberang telepon, aku bisa mendengar Silvia menghela napas pelan. Sejenak Silvia diam saja. ”Sama kayak elo. Tapi dia lebih sakit hati.” ”Menurut lo sebaiknya gue jelasin ke dia sekarang?” ”Jangan deh, Mel.” ”Kenapa?” ”Mendingan lo renungin lagi semuanya. Apa hubungan lo sama Thomas cukup kuat buat dilanjutin atau memang udah semestinya begini.” Aku terdiam mendengar jawaban Silvia. ”Boleh
132 nggak lo bilangin ke Thomas kalo gue… mau minta maaf… soalnya gue udah jahat sama dia?” ”Nggak. Gue nggak mau. Lebih baik kalian berpikir lebih dalam, bukan nurutin emosi sesaat.” Aku mengangguk. Walau tak sepenuhnya mengerti, kupikir nasihat Silvia ada benarnya. ”Jadi, kalau sedih lo udah kelar, silakan bikin PR ya, Mel.” Aku mengerang pelan. Kenapa sih Silvia bisa ingat itu terus? ”Gue nggak bakalan sanggup nyelesaiin PR itu dalam sekejap, Sil…” ”Gue tahu. Makanya besok elo boleh ngintip PR gue dikit,” jawab Silvia ogah-ogahan. Aku tertawa. Silvia tak pernah mengizinkan orang lain nyontek PR-nya. Apalagi nyontek ulangannya. Dia bakal ngamuk. ”Lo serius, Sil?” ”Tapi dikit aja ya. Lo mesti bikin sendiri dulu.” ”Gue nggak ngerti soalnya, Sil.” ”Lo nggak bakalan ngerti kalo lo belom coba buat, Mel.” ”Bukan. Maksud gue, gue nggak ngerti sama elo. Lo kan nggak suka orang lain nyontek PR lo?” ”Ini keadaan darurat.” Suara Silvia terdengar enggan, tapi aku tahu dia serius. Mendengar jawabannya, aku tertawa sekali lagi. ”Trims ya.” ”Tapi lo mesti coba bikin dulu ya. Minimal dua soal. Terus elo juga mesti belajar. Gue nggak mau
133 duduk sebelahan sama orang yang nyontek melulu.” ”Baik, Bu.” Aku senyum-senyum memikirkan bagaimana wajah Silvia sekarang. Dia pasti sedang berkacak pinggang dan membelalakkan matanya yang lebar.
134 KEESOKAN harinya di sekolah, saat istirahat kedua, Silvia meledekku habis-habisan. ”Mata lo masih bengkak tuh, Mel. Jelek banget kayak habis ditonjokin. Lagian juga, kalo elo kebanyakan nangis, buntutnya pasti elo nggak belajar.” ”Yah… Sil, yang penting gue nggak nyontek ulangan lo, kan? Kalo nyontek PR sih maklumin aja deh….” Ulangan akuntansi baru saja berlalu dan susahnya minta ampun. Untung kemarin malam Silvia sudah mengingatkan aku untuk belajar. ”Jadi,” tanya Silvia sambil lalu, ”kapan sih lo ketemu Alex lagi?” Mendengar pertanyaan Silvia, aku baru sadar malam ini aku akan kencan bareng Alex lagi. Gara-gara putus dengan Thomas, aku lupa bersiap-siap hari ini. Aku bahkan belum buat sushi untuk Alex. 13
135 ”Kapan, Mel?” tanya Silvia sekali lagi. ”Malam ini.” ”Apa? Malam ini lo bakal ketemu Alex dengan mata bengkak seperti ini?” Silvia menatapku tak percaya. ”Mata lo dikompres dong, Mel.” Terkejut mendengar Silvia, aku mencari-cari bedak compact-ku di dalam tas. Setelah ketemu, cepat-cepat aku membukanya dan kutatap wajahku di cermin di tempat bedak itu. ”Gawat,” kataku. ”Gue nggak mau penampilan gue berantakan malam ini.” ”Kalau begitu, stop nangis dong.” Silvia menatapku dalam-dalam. ”Omong-omong,” kata Silvia sambil lalu, ”kenapa sih Alex ngajak lo ketemuan lagi? Ini kencan atau ketemuan doang sih?” Aku mengangkat bahu. ”Nggak tau,” kataku pelan. ”Mungkin aja dia… entahlah.” ”Sama gue nggak usah ditutup-tutupin deh, Mel. Gue akan simpen rahasia lo.” Maka, aku menceritakan semuanya kepada Silvia. Semuanya, tentang perasaanku, ketakutanku, dan pemikiranku. Juga tentang perasaanku selama ini dan semua yang kusembunyikan dari Thomas. Bagaimana aku bosan dengan hobinya dan rutinitas kami. ”Hmm…,” kata Silvia, ”sebenarnya kalo lo ngomong jujur ke Thomas, masalah ini nggak akan terjadi, Mel.” Aku mengangguk. ”Yah, gue bisa ngerti sih kalo Thomas kecewa
136 sama elo. Dia kan nggak tau maksud elo. Apalagi dia udah susah payah memperbaiki hubungan kalian.” Aku mengangguk lagi. Setelah Silvia mengatakannya, sepertinya aku jadi iba pada Thomas. ”Lo bener, Sil. Dia udah ngajak gue ke tempat kenangan kami.” ”Tuh, kan?” sahut Silvia. ”Terus, katanya dia request lagu buat elo, ya?” ”Iya sih… Tapi...” ”Lo nggak seratus persen salah kok, Mel,” kata Silvia sambil melirik nakal. ”Menurut gue, emang garing banget sih kalo dengerin lagu yang sama terus-terusan. Apalagi kalau versinya aneh terus gaya penyanyinya tengil.” Aku membelalakkan mata tak percaya mendengar kata-kata Silvia. ”Kok lo tau, Sil?” Silvia tergelak. ”Mel, gue kan pernah ke resto itu. Norak banget tempatnya,” katanya melirikku. ”Menurut gue sih, kalo tiap minggu kalian ke situ, berarti kalian udah kekurangan tempat hang out.” ”Tapi walaupun udah mulai bosen, gue berusaha nerima kok kalo Thomas ngajak gue ke situ.” ”Tuh, betul kan dugaan gue. Kalian nggak saling terbuka. Nggak ada komunikasi sama sekali. Nggak jujur.” ”Kok lo bisa mikir gitu?” ”Mel,” kata Silvia kemudian. ”Semua orang juga bisa bosan. Apalagi kalau kalian cuma pergi ke tempat yang sama, saling maksain hobi kalian.”
137 Mendengar kata-kata Silvia, aku merasa bersalah. ”Sil, tau nggak, gue tuh udah jahat banget sama Thomas. Gue selalu marahin dia, maksa dia jemput gue, dan diam-diam gue sebel dengerin hobinya yang gue nggak suka.” ”Lo sama sekali nggak jahat kok, Mel. Udah, sekarang sebaiknya lo siap-siap kencan sama Alex.” Aku tersenyum mendengar Silvia. Silvia memang sahabat yang baik banget. * * * Setelah sampai di rumah, ganti baju, dan makan siang, aku teringat bahwa aku belum membuat sushi untuk Alex. Padahal sore nanti aku harus ke Café Bien. Aduh. Aku mesti gimana nih? Aku kan sudah janji ke Alex kalau aku akan membuatkannya sushi. Tiba-tiba aku teringat. Tak jauh dari Café Bien ada restoran Jepang yang sepertinya menjual sushi. Lalu sebuah ide melintas di kepalaku. Aha! Sebelum ke Café Bien, aku bisa mampir beli sushi dulu di resto Jepang itu, dan mengatakan ke Alex bahwa itu sushi buatanku sendiri. Siip! Dalam hati aku sadar aku sudah tidak jujur, tapi lebih baik menghalalkan segala cara deh demi bertemu Alex. * * *
138 Setelah keluar dari restoran Jepang Moshi Sushi, aku menyempatkan diri mojok di sudut taman. Gawat kan, kalau Alex sampai tahu sushi-nya kubeli di restoran? Bukannya aku parno. Tapi kalau aku mindahin sushi di Café Bien, bisa kelihatan orang lain dong, khususnya Alex. Siapa tahu dia datang lebih awal dan melihatku memindahkan sushi. Saat membuka bungkusan sushi, aku terpesona. Sushi buatan Moshi Sushi begitu… sempurna. Saking sempurnanya, aku berani bertaruh Alex pasti curiga sushi ini bukan buatanku. Aku menggencet sebagian sushi-sushi cantik itu sampai agak gepeng, kemudian menaruhnya di dalam lunch box milikku. Nah, kalau agak gepeng sedikit, sushi-sushi ini baru… asli buatanku! Hehehe. Yup! Selesai sudah. Kumasukkan lunch box ke dalam tas, dan segera kulangkahkan kaki ke Café Bien. Tapi sebelumnya aku nggak mau penampilanku terlihat kucel. Sebelum menunggu Alex, aku berbelok dulu masuk toilet. Di depan cermin, kuoleskan sekali lagi lipgloss di bibirku. Kusisir rambutku yang tadi agak acak-acakan karena tertiup angin. Tapi tiba-tiba… BRAK! Pintu toilet membanting terbuka. Refleks aku menoleh ke arah pintu. Dua cewek berusia dua puluhan masuk dengan kasar. ”Sial!” kata cewek yang merokok. ”Kita kehilangan jejaknya.” ”Dia pasti masih di sekitar sini,” kata cewek satunya lagi, yang memakai kacamata hitam.
139 Kedua cewek itu berdiri di sebelahku, sama-sama menghadap cermin besar di depan kami. Cewek yang memegang rokok mengomel tentang sesuatu yang hilang. Diam-diam aku melirik sepintas ke kedua cewek itu, dan terperanjat melihat mereka membawa kamera digital dan kamera video. Astaga! Seru banget. Mungkin ada suami yang selingkuh, dan salah satu dari mereka pasti istri yang dikhianati. Dan dia mengajak temannya untuk menangkap basah suaminya yang selingkuh di hotel yang bersebelahan dengan mal ini. ”Lo ingat tadi dia pakai baju apa?” tanya cewek berkacamata hitam. Cewek yang merokok menyalakan kamera digital di tangannya. ”Kemeja lengan panjang hitam, celana panjang hitam,” katanya sambil melihat kamera. ”Tapi gue rasa dia udah ganti baju.” Cewek yang berkacamata hitam mengangguk. ”Lo benar. Kita harus waspada.” Wah…! Semakin lama semakin asyik nih. Cewek yang berkacamata hitam kemudian menelepon dari HP-nya. ”Bos,” katanya sambil menyisir rambutnya yang panjang dan dicat pirang, ”kami kehilangan jejaknya.” Sunyi sejenak. Aku buru-buru berlagak mengambil bedak dan berdandan, takut dianggap menguping. Tapi beneran lho, menguping itu asyik sekali.
140 Cewek yang berkacamata hitam itu diam saja selama menelepon, sampai akhirnya dia menutup telepon dengan mengatakan, ”Oke, Bos. Saya usahakan.” Wow! Jadi mereka ini mata-mata. Siapa ya bos mereka? Lewat cermin di depanku, aku bisa melihat jelas apa yang sedang mereka lakukan. Mereka tampak sibuk menyusun strategi. ”Hei,” kata cewek berkacamata hitam. ”Liatin apa?” Sunyi sejenak. Duh tuh cewek galak banget. Ngomong sama cewek yang lagi ngerokok, yang terangterangan temennya sendiri, pakai ngebentak begitu. Sekarang cewek yang merokok menatapku serius. Tapi aku masih terpaku memerhatikan mereka. Dan betapa terperanjatnya aku ketika cewek berkacamata hitam itu membuka kacamatanya. Matanya menatap ke arahku. ”Ini bukan tontonan ya!” katanya galak menatapku. Aku terlonjak seketika dan pura-pura merapikan rambutku. Setelah itu si cewek berkacamata hitam berkata lagi pada si cewek yang memegang rokok, ”Kalau dia nggak ketemu juga, kita mesti pakai rencana B!” Mereka kemudian bergegas ke luar toilet. Setelah kedua cewek misterius itu pergi, aku menghitung sampai dua puluh, baru keluar dari toilet.
141 Bukannya apa-apa. Aku hanya takut dianggap menguntit mereka. Tapi sebenarnya sih aku masih penasaran. Apa ya, rencana B mereka?
142 SETELAH dapat tempat duduk di Café Bien, aku melongokkan kepala ke sekitarku. Alex belum datang. Tapi aku maklum kalau dia telat lama, seperti dulu. Jadi, sambil menunggu kedatangan Alex, aku mengeluarkan ”senjata”-ku yang sudah kusiapkan dari rumah: komik Detektif Conan terbaru! Baru saja aku membuka halaman pertama, ada seseorang yang menyapaku. ”Halo.” Aku tersentak kaget dari buku bacaanku. Kutengadahkan kepala. Ternyata Andre, manajer Café Bien yang dulu menyambutku sewaktu makan malam bareng Alex. ”Menu Anda sudah dipesan oleh Pak Alex,” katanya ramah. ”Apa Anda mau menunggu, atau makanan sudah bisa dikeluarkan sekarang?” 14
143 ”Saya menunggu saja, trims.” Aku tersenyum menatap Andre. Inilah enaknya makan di kafe ternama. Servis memuaskan, dengan pelayan yang sopan. ”Oh ya, tapi saya bisa pesan minuman sekarang?” Andre mengangguk. ”Pak Alex juga sudah pesan minuman untuk Anda. Apa Anda masih mau pesan yang lain?” Hah? Minumannya pun sudah dipesan? Aku menggeleng. ”Saya ikut Alex saja. Thanks.” Setelah Andre pergi menjauh, aku duduk termangu dengan komik masih di tangan. Sekejap kemudian, Andre datang bersama seorang pelayan lain yang membawa sebuah baki berisi minuman berwarna pink. ”Silakan,” katanya. Aku mengangguk dan mulai meminum koktail pink itu saat Andre dan pelayan tadi mulai menjauh. Alex tampaknya masih lama. Jadi, sambil menunggu, aku mau makan sushi sambil baca komik. Nyam nyam… Sushi-nya enak banget! Aku menelan ludah tak percaya. Sepertinya aku takkan mampu membuat sushi seenak ini. Tapi, sushi-sushi ini masih terlihat sempurna. Jadi aku menggencetnya sekali lagi biar terlihat lebih meyakinkan bahwa ini sushi buatanku. ”Sudah lama?” tanya seseorang di belakangku. Refleks aku langsung menoleh ke belakang dan menengadah. Seorang cowok mengenakan topi dan kacamata berdiri di hadapanku.
144 ”A-Alex?” tanyaku dengan mulut penuh sushi. Alex tersenyum melihatku. ”Makanannya sudah diantar, ya?” tanya Alex. ”Kayaknya kamu sudah mulai duluan tanpa aku deh.” Astaga! Jangan sampai deh aku dicap cewek rakus. Cepat-cepat aku menggeleng. ”Makanannya belum datang kok,” kataku sekali lagi dengan mulut penuh. Cepat-cepat aku menelan sisa sushi yang ada di mulutku tanpa kukunyah lagi. Uhuk uhuk uhuk! Aku terbatuk keras, merasakan ganjalan di tenggorokanku. ”Kamu tersedak, ya?” Alex menatapku iba. ”Jangan nelan makanan tanpa dikunyah dong.” Aku masih terbatuk, dan secara refleks aku mengambil koktail yang sudah kuminum. Tanpa kuduga, Alex juga hendak mengambilkan minuman untukku. Tanpa disengaja, tangan kami bersentuhan. Ya Tuhan! Aku tak sanggup lagi berkata apa-apa. Selama sedetik, aku merasa sengatan kehangatan menjalari seluruh tubuhku. ”Ups, sori,” kata Alex dan menarik tangannya. Aku merasakan wajahku merona, tapi ganjalan di tenggorokanku tak kunjung turun. Uhuk uhuk! ”Nggak apa-apa,” kataku dengan susah payah dan langsung meneguk seluruh sisa minumanku. ”Mau tambah minumnya?” Aku menggeleng. ”Sudah nggak apa-apa kok.”
145 ”Kamu lucu banget sih? Makanan kok langsung ditelan begitu saja.” Aku buru-buru menggeleng. ”Bukan itu maksudku,” kataku cepat-cepat. ”Aku tadi nyobain sushi yang kubawa untuk kamu…” ”Serius nih?” tanya Alex dengan mata berbinar. Aku mengangguk. ”Aku kan sudah janji.” Alex melirik sejenak ke lunch box pink milikku yang separuh terbuka. ”Itu isinya sushi, ya?” tanya Alex. Pandanganku mengikuti pandangan Alex, ke arah sushi-sushi gepeng yang tampak amburadul. Sial! Seharusnya aku tidak terlalu kuat menggencetnya. ”Kucoba ya,” kata Alex sambil mencomot satu. Aku menutup mata, tak yakin harus melakukan apa. Tapi aku sempat mengintip saat Alex memasukkan sushi ke mulutnya. ”Sori, bentuknya jelek,” kataku malu. Alex tak peduli dan mengunyah sushi itu. ”Hm…,” katanya dengan mulut penuh. ”Rasanya enak,” katanya. Dia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengunyah. Aku menatapnya. Alex masih terus mengangguk sambil mengunyah. ”Tau nggak, kamu punya bakat bikin sushi lho,” kata Alex. ”Oh ya?” tanyaku antusias. ”Ya.” Alex mencomot sushi berikutnya. ”Sushi kamu
146 rasanya mirip banget sama sushi restoran Moshi Sushi di seberang lho.” Glek! Wajahku merona mendengar ucapannya. Apa dia tahu? Atau dia memang pengamat sushi sih? Dengan pedenya, aku berlagak tak tahu. ”Masa?” ”Aku yakin banget. Soalnya resto Jepang itu tempat langgananku makan sushi. Kamu tahu resto itu?” Aku cepat-cepat menggeleng. ”Ah, kamu ada-ada saja. Mana mungkin sushi di restoran ngetop bentuknya gepeng-gepeng begini?” ”Memang sih, mungkin karena pengaruh pembungkusnya?” tanya Alex. ”Kalau di Moshi Sushi, kemasannya khusus, jadi sushi-nya nggak bakalan hancur.” Dalam hati aku bersyukur sudah membuang kotak pembungkus dari Moshi Sushi. ”Kalau aku sih biasanya pakai kotak ini ke sekolah,” kataku sambil menunjuk lunch box milikku. Alex menatap tak percaya ke lunch box-ku yang kini isinya tinggal separuh. ”Kamu bawa kotak ini ke sekolah?” Aku mengangguk. ”Buat tempat bekal?” Aku mengangguk lagi. ”Aku punya tempat favorit makan bekal lho. Di sekolahku ada pohon besar yang letaknya agak mojok. Aku sering makan di bawah pohon itu.” ”Ya ampun…,” kata Alex heran. ”Kupikir hanya
147 cewek-cewek di komik aja yang bawa bekal ke sekolah.” ”Dari mana kamu tahu kalau cewek di komik bawa bekal?” tanyaku penasaran. Alex tersenyum. ”Aku kan juga manusia,” katanya. ”Baca komik tuh hobiku di saat senggang.” Aku terpaku tak percaya. ”Komik apa? Aku kok sama sekali belum pernah dengar info ini?” ”Ya iyalah,” jawab Alex seenaknya. ”Ngapain sih terlalu gembar-gembor? Tapi, khusus buat kamu aja nih aku kasih tahu. Aku suka baca komik yang seru.” ”Baca Detektif Conan?” tanyaku semangat. Alex langsung mengangguk. ”Itu bacaan wajib buat aku.” ”Eh, menurutku nih, yang membuatnya seru adalah gerombolan orang berbaju hitam misterius,” timpalku. ”Ya! Setuju banget! Aku nggak sabar nih nunggu edisi terbarunya.” ”Maksud kamu yang ini?” tanyaku sambil menunjukkan komik di tanganku. ”Hari ini baru keluar lho.” Alex ber-ooh ria. ”Tapi sayang nih. Hari ini aku belum bisa nyamar ke toko buku.” ”Kalau begitu, ini buat kamu aja. Sudah kuberi nama sih, tapi nggak apa-apa, kan?” kataku menawarkan komik itu kepada Alex. ”Serius nih?” tanya Alex kegirangan. ”Memang kamu udah baca?”
148 Aku menggeleng. ”Belum sih, tapi aku bisa beli lagi kapan aja tanpa perlu menyamar, kan? Hehehe.” Alex langsung mengambil komikku dan mulai membukanya dengan antusias. ”Thanks berat ya!” ”Omong-omong, kenapa sih kamu mesti menyamar cuma buat beli komik di toko buku?” tanyaku tak mengerti. ”Memangnya kamu malu dilihat fans lagi baca komik?” ”Bukan begitu…,” jawab Alex sabar. ”Aku nggak mau terlalu diliput media cuma buat hal sekecil ini. Aku kan juga butuh privasi.” Aku menatap Alex. ”Atau… kamu malu ya, kalau ketahuan hobimu baca komik, bukan bacaan berat?” ”Bu… bukan gitu…,” Ales berusaha menjawab. ”Kalau menurut aku sih, fans kamu tetep ngefans sama kamu, walaupun kamu sukanya cuma baca komik.” Alex tersenyum melihatku. ”Mm… iya sih.” ”Apa masih ada rahasia yang kamu simpan dari media massa, Alex?” tanyaku ingin tahu. Kulihat wajah Alex tampak tegang. Lalu, sambil tersenyum lebar, aku melanjutkan, ”Tenang aja. Rahasia kamu aman kok di tanganku.” ”Oke deh. Aku percaya sama kamu,” kata Alex tepat saat makanan disajikan. Percakapan kami pun terhenti saat dengan sigapnya pelayan menata meja dan piring untuk kami berdua.
149 * * * ”Tau nggak,” kata Alex setelah selesai melahap semua makanannya, ”dessert di sini enak banget lho. Mau nyoba?” ”Boleh.” Tepat saat itu, HP Alex berdering. Nada deringnya adalah lagu Selamanya Cintaku. Mungkin aku perlu men-download lagu itu juga untuk kujadikan ring tone HP-ku. ”Dari Nev, manajerku,” kata Alex saat melirik ke HP-nya yang terus-menerus berdering. ”Permisi sebentar…” Cowok itu berdiri dan mengangkat HPnya, lalu berjalan menjauh. Eh, aku baru sadar nih, aku belum tahu nomor HP Alex. Kalau aku minta sekarang, dia bersedia nggak ya? Kalau sudah punya nomornya, nanti kan aku bisa SMS-an sama dia. Aku juga bisa memamerkannya ke teman-teman di sekolah. Wah… asyik deh. Aku tersenyum menatap Alex yang sudah mengakhiri pembicaraan di HP-nya. Dia berjalan tergesagesa ke meja kami dan melambai ke pelayan yang sedang berjalan tak jauh darinya. ”Tolong siapkan dessert untuk nona ini.” Alex lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sejumlah uang ke pelayan itu. ”Ini tipnya.” ”Kamu nggak mau dessert juga?” tanyaku. Alex menatapku sekilas. ”Sori banget, Mel. Aku harus buru-buru pergi.” Alex langsung mengulurkan