The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Novel Romance Repository, 2023-10-27 03:51:03

The Fault in Our Stars by John Green

The Fault in Our Stars by John Green

Ketika air pasang datang menerpa, Lelaki Tulip Belanda itu memandang lautan: “Pemersatu, pengganjar, peracun, pemendam, penyingkap. Lihatlah, pasang dan surut, membawa segalanya bersamanya.” “Apa itu?” tanya Anna. “Air,” jawab Lelaki Belanda itu. “Dan juga waktu.” —PETER VAN HOUTEN, Kemalangan Luar Biasa


Qanita membukakan jendela-jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakrawala baru, menemukan makna dari pengalaman hidup dan kisah-kisah yang kaya inspirasi.


THE FAULT IN OUR STARS Diterjemahkan dari The Fault in Our Stars Karya John Green Copyright © 2012 by John Green This edition published by arrangement with Dutton Books, a division of Penguin Young Readers Group, a member of Penguin Group (USA) LLC, a Penguin Random House Company Hak terjemahan ke dalam bahasa Indonesia ada pada Penerbit Qanita Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno Penyunting: Prisca Primasari Proofreader: Yunni Yuliana M. Layouter sampul: Dodi Rosadi Digitalisasi: Nanash Edisi kesatu Desember 2012 Edisi kedua (Movie Tie-in) April 2014 Edisi ketiga April 2018 Diterbitkan oleh Penerbit Qanita PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI Jln. Cinambo No. 135 (Cisaranten Wetan), Ujungberung, Bandung 40294 Telp. (022) 7834310 – Faks. (022) 7834311 e-mail: [email protected] http://www.mizan.com facebook: Penerbit Qanita twitter: @penerbitqanita instagram: @penerbitqanita ISBN 978-602-402-113-9 E-book ini didistribusikan oleh Mizan Digital Publishing Jln. Jagakarsa Raya No. 40, Jakarta Selatan 12620 Telp. +6221-78864547 (Hunting); Faks. +62-21-788-64272 website: www.mizan.com e-mail: [email protected] twitter: @mizandotcom


facebook: mizan digital publishing


Isi Buku Catatan Penulis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21


22 23 24 25 Tentang Penulis


Untuk Esther Earl


Catatan Penulis Catatan penulis ini lebih merupakan peringatan penulis mengenai apa yang dicetak dengan huruf kecil selang beberapa halaman yang lalu: Buku ini karya fiksi. Aku pengarangnya. Baik novel maupun pembacanya tidak akan memetik manfaat dari upaya menebak apakah ada faktafakta yang tersembunyi di dalam sebuah cerita. Upaya semacam itu menentang gagasan bahwa cerita khayalan juga bisa bermakna, dan ini semacam asumsi mendasar spesies kita. Aku menghargai kerja sama kalian dalam hal ini.[]


Bab Satu Di pengujung musim dingin usia ketujuh belasku, Mom menyimpulkan aku depresi. Mungkin karena aku jarang keluar rumah, menghabiskan cukup banyak waktu di tempat tidur, bolakbalik membaca buku yang sama, jarang makan, dan menghabiskan cukup banyak waktu luangku yang berlimpah itu untuk memikirkan kematian. Setiap kali kau membaca buklet, situs web, atau apa saja mengenai kanker, depresi selalu disebutkan di antara efekefek samping kanker. Tapi, sesungguhnya depresi bukan efek samping kanker. Depresi adalah efek samping sekarat. (Kanker juga efek samping sekarat. Juga hampir semua hal lainnya, sungguh.) Tapi, Mom yakin aku perlu diobati, jadi dia membawaku menemui Dokter Jim Langgananku, yang mengiyakan bahwa aku jelas berkubang dalam depresi yang melumpuhkan dan benar-benar klinis. Karenanya, obatobatanku harus disesuaikan. Aku juga harus menghadiri pertemuan mingguan Kelompok Pendukung. Kelompok Pendukung ini menampilkan para peserta yang bergantiganti dalam berbagai keadaan tidak sehat garagara tumor. Mengapa para pesertanya bergantiganti? Efek samping sekarat.


Tentu saja, Kelompok Pendukung ini sungguhsungguh membuat depresi. Kelompok itu bertemu setiap Rabu, di ruang bawah tanah sebuah Gereja Episcopal. Ruangan itu berdinding batu dan berbentuk seperti salib. Kami semua duduk membentuk lingkaran tepat di tengah salib itu, di tempat pertemuan dua papan yang membentuk salib, di tempat jantung Yesus berada. Ini kuketahui karena Patrick, Pemimpin Kelompok Pendukung dan satusatunya orang yang berusia di atas delapan belas di dalam ruangan itu, bicara mengenai jantung Yesus dalam setiap pertemuan. Dia mengatakan betapa kami, sebagai para penyintas kanker muda, duduk persis di dalam jantung suci Kristus, apa pun itu. Jadi, inilah yang berlangsung di dalam jantung Tuhan: Kami berenam atau bertujuh atau bersepuluh berjalan/didorong masuk di atas kursi roda, memakan berbagai kue yang payah dan minum limun, duduk membentuk Lingkaran Kepercayaan, dan untuk kesekian kalinya mendengarkan Patrick menceritakan kembali kisah hidupnya yang menyedihkan dan membuat depresi—betapa dia menderita kanker di buah pelirnya dan mereka mengira dia hendak mati, tapi ternyata dia tidak mati. Dan kini di sinilah dia berada, orang dewasa sepenuhnya, di ruang bawah tanah sebuah gereja di kota ternyaman nomor 137 di Amerika, bercerai, kecanduan permainan video, hampir tidak punya teman, mengais sedikit penghasilan dengan mengeksploitasi kehebatan kanker di masa lalunya, perlahanlahan berupaya meraih gelar master yang tidak akan meningkatkan prospek kariernya, menunggu kedatangan pedang Damocles seperti kita semua untuk memberinya kelegaan yang luput darinya bertahun-tahun lalu itu, ketika kanker merenggut kedua buah pelirnya tapi meninggalkan apa yang hanya disebut kehidupan oleh orang paling bermurah hati. DAN MUNGKIN KALIAN JUGA BISA SEBERUNTUNG ITU! Lalu, kami memperkenalkan diri: Nama. Usia. Diagnosis. Dan, bagaimana kabar kami hari itu. Aku Hazel, kataku ketika giliranku tiba. Usiaku enam belas. Mulanya kanker tiroid, tapi dengan koloni pendompleng yang mengesankan dan sudah lama bermukim di paruparuku. Dan, aku baik-baik saja. Setelah kami semua mendapat giliran, Patrick selalu bertanya apakah ada yang ingin berbagi. Lalu, dimulailah lingkaran dukungan yang menjengkelkan itu: semua orang bicara mengenai perjuangan, pertempuran, kemenangan, penciutan, dan pemindaian. Untuk lebih adilnya, Patrick juga membiarkan kami bicara mengenai sekarat. Tapi, sebagian besar dari mereka tidak sekarat. Sebagian besarnya akan hidup sampai mencapai kedewasaan, sama seperti


Patrick. (Artinya ada banyak persaingan dalam hal ini. Semua orang bukan hanya ingin mengalahkan kanker itu sendiri, melainkan juga mengalahkan orangorang lain di dalam ruangan itu. Kusadari bahwa ini tidak masuk akal, tapi ketika mereka mengatakan kau punya, katakanlah, 20 persen peluang untuk hidup selama lima tahun, matematikamu mulai bekerja dan kau menghitung kalau itu satu banding lima … jadi kau melihat ke sekeliling dan berpikir, sama seperti yang akan dilakukan oleh orang waras mana pun: aku harus hidup lebih lama daripada empat bajinganbajingan ini.) Satusatunya penyelamat dari Kelompok Pendukung itu adalah anak bernama Isaac, cowok kerempeng berwajah muram dengan rambut pirang lurus yang menyapu sebelah matanya. Dan, mata itulah yang menjadi masalah. Dia menderita kanker mata yang luar biasa langka. Sebelah matanya sudah diambil semasa dia masih kecil. Kini dia mengenakan semacam kacamata tebal yang membuat matanya (baik yang asli maupun yang dari kaca) tampak besar secara tidak alami, seakan seluruh kepalanya bisa dibilang hanya terdiri dari mata palsu dan mata asli yang menatapmu ini. Dari apa yang bisa kusimpulkan pada saatsaat langka ketika Isaac berbagi dengan Kelompok Pendukung, kekambuhan telah membuat matanya yang tersisa berada dalam bahaya besar. Aku dan Isaac hampir selalu berkomunikasi lewat desahan napas saja. Setiap kali seseorang membahas makanan antikanker atau mengisap sirip ikan hiu tumbuk atau apa pun, Isaac akan melirikku dan mendesah sangat pelan. Aku akan menggelenggelengkan kepala dengan sangat tidak kentara dan menghela napas sebagai jawaban. Jadi, Kelompok Pendukung itu gagal memikatku, dan setelah beberapa minggu aku mulai matimatian menghindarinya. Sesungguhnya, pada Rabu perkenalanku


dengan Augustus Waters, aku berupaya sebisa mungkin untuk lolos dari pertemuan Kelompok Pendukung. Aku duduk di sofa bersama Mom, menonton episode ketiga America’s Next Top Model musim sebelumnya, yang disiarkan secara maraton selama dua belas jam. Aku memang sudah pernah melihatnya, tapi tetap saja. Aku: “Aku tidak mau menghadiri pertemuan Kelompok Pendukung.” Mom: “Salah satu gejala depresi adalah ketidaktertarikan untuk beraktivitas.” Aku: “Biarkan aku nonton America’s Next Top Model saja. Itu kan aktivitas.” Mom: “Televisi adalah pasivitas.” Aku: “Ugh, Mom, ayolah.” Mom: “Hazel, kau remaja. Kau bukan anak kecil lagi. Kau perlu berteman, keluar rumah, dan bersenang-senang.” Aku: “Jika Mom ingin aku menjadi remaja, jangan kirim aku ke Kelompok Pendukung. Belikan KTP palsu supaya aku bisa pergi ke klub, minum vodka, dan memakai ganja.” Mom: “Pertamatama, ganja bukan dipakai.” Aku: “Nah, hal macam itulah yang akan kuketahui kalau Mom memberiku KTP palsu.” Mom: Kau harus pergi ke pertemuan Kelompok Pendukung.” Aku: “UGGGGGGGGGGGGG.” Mom: “Hazel, kau berhak punya kehidupan.” Perkataan ini membungkamku, walaupun aku tidak mengerti bagaimana menghadiri pertemuan Kelompok Pendukung bisa memenuhi definisi kehidupan. Tapi, aku setuju untuk pergi—setelah memohon pada Mom untuk merekam 1,5 episode ANTM yang akan kulewatkan. Aku menghadiri pertemuan Kelompok Pendukung dengan alasan yang sama seperti aku dulu membiarkan para suster—yang hanya mengenyam delapan belas bulan pendidikan master—meracuniku dengan zat kimia bernama eksotis. Aku ingin menyenangkan orangtuaku. Hanya ada satu hal di dunia ini yang lebih menyebalkan daripada mati garagara kanker di usia enam belas, yaitu punya anak yang mati garagara kanker.


Mom menghentikan mobil di jalanan melingkar di belakang gereja pukul empat lewat lima puluh enam. Sejenak aku berpurapura sibuk dengan tangki oksigenku untuk mengulur waktu. “Mau dibawakan?” “Tidak, tidak apa-apa,” jawabku. Tangki silinder hijau itu beratnya hanya beberapa kilogram, dan aku punya kereta baja kecil untuk menyeretnya di belakangku. Tangki itu mengantarkan dua liter oksigen untukku setiap menitnya melalui sebuah kanula, yaitu selang transparan yang bercabang persis di bawah leherku, melingkari bagian belakang masingmasing telingaku, lalu bersatu di lubang hidungku. Perkakas itu diperlukan karena paruparuku payah sebagai paruparu. “Aku mencintaimu,” kata Mom ketika aku keluar. “Aku juga, Mom. Sampai nanti jam enam.” “Bertemanlah!” ujar Mom lewat jendela yang kacanya diturunkan ketika aku berjalan pergi. Aku tidak ingin memakai lift, karena memakai lift adalah sejenis aktivitas Hari Terakhir di pertemuan Kelompok Pendukung, jadi aku menggunakan tangga. Aku meraih kue kering dan menuang limun ke dalam cangkir kertas, lalu berbalik. Seorang cowok sedang menatapku. Aku yakin sekali pernah melihat dia. Tubuhnya jangkung dan kurus berotot, membuat kursi plastik anak SD yang sedang didudukinya tampak kerdil. Rambutnya cokelat kemerahan, lurus dan pendek. Kelihatannya dia sebaya denganku, mungkin setahun lebih tua, dan dia duduk dengan tulang ekor di pinggir kursi, posturnya jelek sekali, sebelah tangannya terbenam setengahnya di dalam saku celana jins warna gelap. Aku mengalihkan pandangan, mendadak menyadari berbagai kekuranganku. Aku mengenakan celana jins tua yang dulunya ketat, tapi kini kendur di


tempattempat ganjil, dan T-shirt kuning yang mengiklankan band yang bahkan sudah tidak kusukai lagi. Rambutku dipotong model bob, tapi aku bahkan tidak mau repotrepot menyisirnya. Selanjutnya pipiku gembil dan gemuk garagara efek samping pengobatan. Penampilanku seperti orang yang berproporsi tubuh normal, tapi dengan kepala sebesar balon. Ini bahkan belum termasuk bengkaknya pergelangan kakiku. Tapi—aku melirik cowok itu, dan matanya masih terpaku padaku. Terpikir olehku mengapa ini disebut kontak mata. Aku berjalan ke dalam lingkaran, lalu duduk di sebelah Isaac, berjarak dua kursi dari cowok itu. Kembali aku melirik. Dia masih mengamatiku. Dengar, biar kukatakan saja: Dia seksi. Cowok tidak seksi yang terusmenerus menatapmu akan membuatmu canggung atau, yang lebih buruk lagi, membuatmu merasa terancam. Tapi, cowok seksi … wah. Aku mengeluarkan ponsel dan memencetnya agar menunjukkan waktu: empat lewat lima puluh sembilan. Lingkaran itu dipenuhi anak kurang beruntung yang berusia antara dua belas sampai delapan belas tahun. Lalu, Patrick memulai dengan doa memohon ketenangan: Tuhan, beri aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa kuubah, dan kebijakan untuk mengetahui perbedaannya. Cowok itu masih menatapku. Aku merasa sedikit tersipusipu. Akhirnya, kuputuskan bahwa strategi yang pas adalah membalas tatapannya. Lagi pula Urusan TatapMenatap bukan monopoli cowok. Jadi, aku memandangnya ketika untuk kesekian ribu kalinya Patrick menceritakan buah pelirnya yang hilang dsb., dan lomba menatap segera berlangsung. Setelah beberapa saat, cowok itu tersenyum, lalu akhirnya mata birunya mengalihkan pandangan. Ketika dia kembali memandangku, kunaikkan alis untuk mengatakan, aku menang. Dia mengangkat bahu. Patrick terus mengoceh, dan akhirnya tibalah saatnya untuk memperkenalkan diri. “Isaac, mungkin kau ingin menjadi yang pertama hari ini. Aku tahu kau sedang menghadapi saat yang sulit.” “Ya,” ujar Isaac. “Aku Isaac. Usiaku tujuh belas. Tampaknya aku harus dioperasi beberapa minggu lagi, dan setelah itu aku akan buta. Bukannya mengeluh atau apa, karena aku tahu ada banyak di antara kita yang lebih buruk lagi, tapi ya, maksudku, menjadi buta memang agak menyebalkan. Tapi, pacarku membantu. Juga teman seperti Augustus.” Dia mengangguk ke arah cowok itu, yang kini punya nama. “Jadi, ya,” lanjut Isaac. Dia memandangi kedua


tangannya yang saling terjalin seperti puncak tenda. “Apa boleh buat.” “Kami berada di sini untukmu, Isaac,” ujar Patrick. “Biarlah Isaac mendengarnya, SobatSobat.” Lalu, kami semua, dengan suara monoton, berkata, “Kami berada di sini untukmu, Isaac.” Michael berikutnya. Usianya dua belas. Dia menderita leukemia. Dia selalu menderita leukemia. Dia baik-baik saja. (Atau begitulah yang dikatakannya. Dia tadi memakai lift.) Lida berusia enam belas tahun, dan cukup cantik untuk menjadi sasaran mata cowok seksi itu. Dia anggota tetap—sudah lama sembuh dari kanker usus buntu, yang sebelumnya tidak pernah dia ketahui keberadaannya—seperti yang diucapkannya setiap kali aku menghadiri pertemuan Kelompok Pendukung— dia merasa kuat, dan bagiku ini terasa seperti menyombongkan diri, ketika ujungujung selang penyalur oksigen menggelitiki lubang hidungku. Ada lima orang lainnya sebelum tiba giliran cowok itu. Dia tersenyum kecil ketika gilirannya tiba. Suaranya rendah, memikat, dan luar biasa seksi. “Namaku Augustus Waters,” katanya. “Usiaku tujuh belas. Aku mendapat sedikit sentuhan osteosarkoma satu setengah tahun yang lalu, tapi aku hanya berada di sini atas permintaan Isaac.” “Dan bagaimana kabarmu?” tanya Patrick. “Oh, luar biasa.” Augustus Waters tersenyum dengan salah satu ujung bibirnya. “Serasa berada di atas roller coaster yang hanya melesat ke atas, Sobatku.” Ketika tiba giliranku, aku berkata, “Namaku Hazel. Usiaku enam belas. Tiroid dengan metastasis * di paruparu. Aku baik-baik saja.” * Metastasis: penyebaran kanker ke bagian lain tubuh. Jam berlalu dengan cepat: Perjuangan diceritakan kembali, pertarungan dimenangkan di antara perangperang yang pasti tidak akan dimenangkan; harapan digelayuti; keluarga dipuja dan dicerca; semua setuju bahwa temanteman tidak bisa memahami; air mata ditumpahkan; penghiburan ditawarkan. Aku dan Augustus Waters tidak bicara lagi sampai Patrick berkata, “Augustus, mungkin kau ingin berbagi ketakutan dengan kelompok.” “Ketakutanku?” “Ya.” “Aku takut dilupakan untuk selamanya,” katanya tanpa jeda sedikit pun.


“Ketakutanku itu sama seperti orang buta yang takut terhadap kegelapan.” “Terlalu dini,” ujar Isaac seraya tersenyum. “Apakah itu tidak berperasaan?” tanya Augustus. “Aku bisa benar-benar buta terhadap perasaan orang lain.” Isaac tertawa, tapi Patrick mengangkat telunjuk untuk memperingatkan, dan berkata, “Augustus, ayolah. Mari kita kembali kepada dirimu dan pergulatanmu. Kau bilang kau takut dilupakan untuk selamanya?” “Benar,” jawab Augustus. Patrick tampak kebingungan. “Adakah, uh, adakah yang ingin membahasnya?” Sudah tiga tahun aku tidak menghadiri sekolah biasa. Orangtuaku adalah dua sahabat terbaikku. Sahabat terbaikku yang ketiga adalah penulis yang tidak mengetahui keberadaanku. Aku agak pemalu—bukan tipe yang suka mengangkat tangan. Tapi, sekali ini saja, kuputuskan untuk bicara. Aku setengah mengangkat tangan dan Patrick, yang jelas tampak gembira, langsung berkata, “Hazel!” Aku yakin dia mengira aku sedang membuka diri. Menjadi Bagian dari Kelompok. Aku memandang Augustus Waters, yang balas memandangku. Kau nyaris bisa melihat menembus matanya yang begitu biru. “Akan tiba saatnya,” kataku, “ketika kita semua mati. Kita semua. Akan tiba saatnya ketika tidak ada lagi umat manusia yang tersisa untuk mengingat bahwa manusia pernah ada atau spesies kita pernah melakukan sesuatu. Tidak akan ada siapa pun yang tersisa untuk mengingat Aristoteles atau Cleopatra, apalagi mengingatmu. Semua yang kita lakukan, dirikan, tuliskan, pikirkan, dan temukan akan terlupakan, dan semuanya ini”—aku menunjuk sekeliling—“tidak akan ada artinya. Mungkin saat itu akan segera tiba, mungkin juga masih jutaan tahun lagi, tapi seandainya pun kita bertahan hidup dari kebinasaan matahari, kita tidak akan bertahan hidup untuk selamanya. Ada masa sebelum organisme mengalami kesadaran, dan akan ada masa setelahnya. Jika kau khawatir dilupakan untuk selamanya oleh manusia, aku mendorongmu untuk mengabaikannya saja. Tuhan tahu, itulah yang dilakukan semua orang lainnya.” Aku mempelajari ini dari sahabat terbaik ketigaku yang tadi kusebutkan, Peter Van Houten, penulis penyendiri yang menulis Kemalangan Luar Biasa, buku yang bagiku sama berharganya dengan Alkitab. Peter Van Houten adalah satusatunya orang yang kukenal yang seakan (a) memahami bagaimana rasanya sekarat, dan (b) belum mati.


Setelah aku selesai bicara, muncul keheningan cukup panjang. Aku mengamati senyuman yang mengembang lebar di wajah Augustus—bukan sedikit senyum miring yang berupaya tampak seksi ketika menatapku itu, tapi senyum aslinya, yang terlalu lebar untuk wajahnya. “Astaga,” ujar Augustus pelan. “Kau hebat.” Tak satu pun dari kami bicara di sepanjang pertemuan Kelompok Pendukung. Akhirnya, kami semua harus bergandengan tangan, dan Patrick memimpin kami dalam doa. “Tuhan Yesus Kristus, kami berkumpul di sini di dalam jantung Mu, secara harfiah di dalam jantung-Mu, sebagai para penyintas kanker. Kau, dan hanya Kau, yang mengenal kami sebagaimana kami mengenal diri kami sendiri. Bimbing kami menuju kehidupan dan Cahaya, melewati masamasa pencobaan kami. Kami berdoa untuk mata Isaac, untuk darah Michael dan Jamie, untuk tulang Augustus, untuk paruparu Hazel, untuk tenggorokan James. Kami berdoa agar Kau bisa menyembuhkan kami dan kami bisa merasakan cintaMu, dan kedamaianMu, yang melampaui segala pemahaman. Dan di dalam hati, kami mengingat mereka yang kami kenal dan kami cintai, yang telah berpulang kepadaMu: Maria, Kade, Joseph, Haley, Abigail, Angelina, Taylor, Gabriel ....” Itu daftar yang panjang. Dunia berisi banyak orang mati. Sementara Patrick terus bicara, membaca dari sehelai kertas karena daftarnya terlalu panjang untuk dihafalkan, aku terus memejamkan mata, berupaya memikirkan doa, tapi malah membayangkan hari ketika namaku ada di daftar itu, di urutan paling akhir ketika semua orang sudah berhenti mendengarkan. Ketika Patrick selesai, kami mengucapkan mantra konyol ini bersamasama— MENJALANI KEHIDUPAN TERBAIK KITA HARI INI—lalu pertemuan selesai. Augustus Waters bangkit berdiri dan berjalan menghampiriku. Gaya berjalannya miring, sama seperti senyumnya. Dia menjulang di depanku, tapi menjaga jarak agar aku tidak perlu memanjangkan leher untuk memandang matanya. “Siapa namamu?” tanyanya. “Hazel.” “Bukan, nama lengkapmu.” “Em, Hazel Grace Lancaster.” Dia hendak mengucapkan sesuatu yang lain ketika Isaac berjalan mendekat. “Tunggu,” ujar Augustus seraya mengangkat telunjuk, lalu dia berpaling kepada Isaac. “Sesungguhnya itu tadi lebih buruk daripada yang kau ceritakan.” “Sudah kubilang itu menjemukan.” “Mengapa kau repotrepot datang?”


“Aku tidak tahu. Sedikit membantu?” Augustus mencondongkan tubuh sehingga mengira aku tidak bisa mendengarnya. “Dia anggota tetap?” Aku tidak bisa mendengar komentar Isaac, tapi Augustus menjawab, “Aku setuju.” Dia mencengkeram bahu Isaac, lalu menjauh setengah langkah darinya. “Ceritakan tentang klinik itu kepada Hazel.” Isaac menyandarkan sebelah tangannya pada meja kudapan dan memusatkan mata besarnya padaku. “Oke, jadi aku pergi ke klinik pagi ini, dan mengatakan kepada dokter bedahku bahwa aku lebih suka tuli daripada buta. Dan dia berkata, ‘Cara kerjanya tidak seperti itu,’ dan aku berkata, ‘Ya, kusadari bahwa cara kerjanya tidak seperti itu; aku hanya berkata lebih suka tuli daripada buta, seandainya bisa memilih, walaupun kusadari tidak bisa,’ dan dia berkata, ‘Wah, berita baiknya adalah, kau tidak akan tuli,’ dan aku berkata, ‘Terima kasih atas penjelasanmu bahwa kanker mata tidak akan membuatku tuli. Aku merasa sangat beruntung karena orang yang mahacerdas seperti dirimu bersedia mengoperasiku.’” “Kedengarannya dia seorang pemenang,” kataku. “Aku akan berupaya menderita semacam kanker mata supaya bisa berkenalan dengannya.” “Semoga beruntung. Baiklah, aku harus pergi. Monica sudah menunggu. Aku harus banyak memandangnya selagi bisa.” “Main KontraPemberontakan besok?” tanya Augustus. “Pasti.” Isaac berbalik dan berlari menaiki tangga, dua anak tangga sekaligus setiap kalinya. Augustus Waters berpaling kepadaku. “Secara harfiah,” katanya. “Secara harfiah?” tanyaku. “Secara harfiah kita berada di dalam jantung Yesus,” katanya. “Kupikir kita berada di ruang bawah tanah gereja, tapi secara harfiah kita berada di dalam jantung Yesus.” “Yesus harus diberi tahu,” kataku. “Maksudku, ini pasti membahayakan, menyimpan anakanak penderita kanker di dalam jantungNya.” “Aku sendiri hendak memberitahuNya,” kata Augustus, “tapi sayangnya secara harfiah aku terperangkap di dalam jantungNya, sehingga Dia tidak akan bisa mendengarku.” Aku tertawa. Dia menggelenggelengkan kepala, hanya memandangku. “Kenapa?” “Tidak apa-apa,” jawabnya. “Mengapa kau memandangku seperti itu?”


Augustus tersenyum kecil. “Karena kau cantik. Aku suka memandangi makhluk cantik, dan beberapa saat yang lalu kuputuskan untuk tidak mengingkari kenikmatan sederhana dari keberadaanku.” Muncul keheningan singkat yang canggung. Augustus melanjutkan: “Maksudku, terutama mengingat bahwa, seperti yang tadi kau jelaskan secara begitu menyenangkan, semuanya ini akan berakhir ketika kita dilupakan dan lain sebagainya.” Aku setengah mendengus atau mendesah atau mengembuskan napas, seakan sedikit terbatuk, lalu berkata, “Aku tidak cant—” “Kau seperti Natalie Portman tahun 2000an. Seperti Natalie Portman dalam V for Vendetta.” “Belum pernah menontonnya,” kataku. “Benarkah?” tanyanya. “Gadis cantik berambut cepak yang membenci otoritas, dan tidak bisa mencegah dirinya untuk jatuh cinta kepada cowok yang diketahuinya mendatangkan masalah. Sejauh yang bisa kukatakan, itulah autobiografimu.” Setiap suku katanya menggoda. Sejujurnya dia sedikit membuatku bergairah. Aku bahkan tidak tahu kalau cowok bisa menggairahkanku—setidaknya bukan dalam kehidupan nyata. Seorang gadis kecil berjalan melewati kami. “Apa kabar, Alisa?” tanya Augustus. Gadis itu tersenyum dan bergumam, “Hai, Augustus.” “Orang Memorial,” jelas Augustus. Memorial adalah rumah sakit riset besar. “Kau ke mana?” “Rumah Sakit Anak,” jawabku dengan suara lebih kecil daripada yang kuharapkan. Dia mengangguk. Percakapan itu tampaknya berakhir. “Wah,” kataku seraya mengangguk samar ke arah anakanak tangga yang membawa kami keluar dari Jantung Harfiah Yesus. Aku memiringkan kereta agar bertumpu pada rodarodanya, dan mulai berjalan. Dia berjalan terpincangpincang di sampingku. “Jadi, sampai jumpa di lain waktu, mungkin?” tanyaku. “Kau harus nonton,” katanya. “Maksudku V for Vendetta.” “Oke,” kataku. “Akan kucari filmnya.” “Bukan. Nonton bersamaku. Di rumahku,” katanya. “Sekarang.” Aku berhenti berjalan. “Aku nyaris tidak mengenalmu, Augustus Waters. Bisa saja kau pembunuh berkampak.” Dia mengangguk. “Benar sekali, Hazel Grace.” Dia berjalan mendahuluiku, bahunya memenuhi kaus polo rajutan hijaunya, punggungnya tegak lurus, langkahnya sedikit miring ke kanan ketika dia berjalan dengan mantap dan


percaya diri dengan menggunakan apa yang kuyakini sebagai kaki palsu. Terkadang osteosarkoma merenggut sebuah tungkai untuk menilaimu. Lalu, jika menyukaimu, dia akan merenggut yang lainnya. Aku mengikuti Augustus menaiki tangga, dan semakin ketinggalan ketika aku naik perlahanlahan, karena tangga bukanlah keahlian paruparuku. Lalu, kami berada di luar jantung Yesus dan di tempat parkir, udara musim semi agak terlalu dingin, cahaya sore luar biasa menyakitkan. Mom belum ada di sana, dan ini tidak biasa, karena Mom hampir selalu sudah menungguku. Aku melihat sekeliling dan melihat seorang gadis jangkung berambut cokelat tua dengan tubuh berlekuk sedang menjepit Isaac di dinding batu gereja, menciumnya. Mereka berada cukup dekat denganku dan aku bisa mendengar Isaac berkata, “Selalu,” dan gadis itu menjawab, “Selalu.” Augustus, yang mendadak berdiri di sebelahku, setengah berbisik, “Mereka suka sekali menarik perhatian orang.” “Ada apa dengan kata ‘selalu’?” “Selalu adalah kata kesukaan mereka. Mereka akan selalu saling mencintai dan sebagainya. Secara konservatif, kuperkirakan mereka telah saling mengirim SMS dengan kata selalu sebanyak empat juta kali sepanjang tahun lalu.” Dua mobil lagi datang, membawa pergi Michael dan Alisa. Kini hanya ada aku dan Augustus. Kami mengamati Isaac dan Monica. Lalu Augustus Waters merogoh saku dan malah mengeluarkan sebungkus rokok. Dia membukanya, lalu meletakkan sebatang rokok di antara bibirnya. “Kau serius?” tanyaku. “Menurutmu itu hebat? Astaga, kau baru saja merusak segalanya.” “Segala apanya?” tanyanya seraya berpaling kepadaku. Rokok itu menggantung, tidak dinyalakan, di sudut bibirnya yang tidak tersenyum. “Segalanya, ketika seorang cowok yang tidak jelek dan tidak tolol dan kelihatannya oke menatapku, menunjukkan penggunaan keliru kata ‘harfiah’, membandingkanku dengan aktris, dan memintaku untuk menonton film di rumahnya. Tapi, tentu saja selalu ada hamartia, dan hamartiamu adalah: astaga, walaupun kau PERNAH MENDERITA KANKER, kau memberikan uangmu pada sebuah perusahaan untuk meraih peluang mendapatkan LEBIH BANYAK KANKER LAGI. Astaga. Biar kuyakinkan dirimu bagaimana rasanya tidak bisa bernapas itu. MENYEBALKAN. Sangat mengecewakan. Sangat.” “Hamartia?” tanyanya dengan rokok masih berada di bibir. Tindakan itu membuat rahangnya menegang. Sayangnya tulang rahangnya luar biasa.


“Cacat fatal,” jelasku seraya mengalihkan pandangan darinya. Aku melangkah ke pinggir jalan, meninggalkan Augustus Waters di belakangku. Lalu, aku mendengar sebuah mobil mendekat di jalanan. Itu Mom. Dia sedang menungguku untuk berteman atau apa pun itu. Aku merasakan munculnya campuran ganjil kekecewaan dan kemarahan di dalam diriku. Aku bahkan tidak tahu perasaan apakah itu, sungguh, tapi perasaan itu sangat mendalam, dan aku ingin menonjok Augustus Waters sekaligus mengganti paruparuku dengan paruparu yang tidak payah. Aku berdiri dengan sepatu kets Chuck Taylorku berada persis di pinggir jalan, tangki oksigenku terikat erat di dalam kereta di sampingku dan, persis ketika Mom menghentikan mobil, aku merasakan adanya tangan yang meraih tanganku. Kusentakkan tanganku, tapi aku kembali memandang Augustus. “Rokok tidak akan membunuhmu, kecuali jika dinyalakan,” katanya ketika Mom tiba di pinggir jalan. “Dan aku tidak pernah menyalakannya. Lihat, ini metafora: Kau meletakkan pembunuh itu persis di antara gigimu, tapi tidak memberinya kekuatan untuk melakukan pembunuhan.” “Metafora,” kataku bimbang. Mom berlamalama. “Metafora,” katanya. “Kau memilih perilakumu berdasarkan gaung metaforisnya …” kataku. “Oh, ya.” Dia tersenyum. Senyum aslinya yang lebar dan konyol. “Aku sangat memercayai metafora, Hazel Grace.” Aku berbalik ke mobil. Mengetuk jendelanya. Kacanya membuka. “Aku mau nonton bersama Augustus Waters,” kataku. “Tolong rekamkan beberapa episode siaran maraton ANTM selanjutnya untukku.”[]


Bab Dua Cara Augustus Waters menyetir mobil sangatlah mengerikan. Tak peduli berhenti atau mulai berjalan, semuanya dimulai dengan GUNCANGAN hebat. Aku melayang dan tertarik sabuk pengaman Toyota SUVnya setiap kali dia mengerem, dan leherku tersentak ke belakang setiap kali dia menginjak gas. Mungkin aku gugup—mengingat aku duduk di mobil cowok asing dalam perjalanan ke rumahnya, dan sangat menyadari bahwa paruparu payahku akan mempersulit upaya untuk menangkis segala tindakan yang tidak diundang—tapi cara menyetir Augustus teramat sangat buruk sehingga aku tidak bisa memikirkan hal lain. Kami sudah berjalan sejauh kira-kira satu setengah kilometer dalam keheningan yang melonjaklonjak, ketika dia berkata, “Tiga kali aku tidak lulus tes mengemudi.” “Itu sudah jelas.” Augustus tertawa, mengangguk. “Wah, kaki palsuku tidak bisa merasakan tekanan, dan aku tidak pernah bisa menyetir dengan kaki kiri. Kata dokterku, sebagian besar orang yang sebelah kakinya diamputasi tidak mengalami masalah dalam menyetir, tapi … ya. Itu bukan aku. Bagaimanapun, aku ikut tes


mengemudi untuk keempat kalinya, dan hasilnya kira-kira seperti ini.” Satu kilometer di depan kami, lampu lalu lintas berubah merah. Augustus menginjak rem, melemparkanku ke dalam pelukan segitiga sabuk pengaman. “Maaf. Aku bersumpah sedang berupaya untuk menyetir dengan lembut. Sungguh, jadi, bagaimanapun, di akhir tes aku benar-benar berpikir akan kembali mengalami kegagalan, tapi instrukturnya berkata, ‘Cara menyetirmu tidak menyenangkan, tapi secara teknis tidak membahayakan.’” “Kurasa aku tidak setuju,” kataku. “Kurasa itu Keistimewaan Kanker.” Keistimewaan Kanker adalah halhal kecil yang didapat oleh anakanak penderita kanker dan tidak didapat oleh anakanak biasa: bola basket yang ditandatangani pahlawan olahraga, bebas menyerahkan PR secara terlambat, SIM yang tidak patut diterima, dll. “Ya,” katanya. Lampu lalu lintas berubah hijau. Aku menguatkan diri, Augustus menginjak gas. “Kau tahu, ada kendalitangan untuk orang yang tidak bisa menggunakan kaki,” jelasku. “Ya,” katanya. “Mungkin suatu hari nanti.” Dia mendesah dengan cara yang membuatku bertanyatanya apakah dia meyakini keberadaan suatu hari nanti. Aku tahu osteosarkoma sangat bisa disembuhkan, tapi tetap saja. Ada sejumlah cara untuk menentukan perkiraan harapan hidup seseorang tanpa benar-benar menanyakannya. Aku menggunakan cara klasik: “Jadi, kau sekolah?” Umumnya orangtuamu akan menarikmu dari sekolah pada suatu saat, jika menurut mereka kau akan mati. “Ya,” jawabnya. “Aku sekolah di North Central. Tapi, ketinggalan satu tahun: aku kelas sepuluh. Kau?” Aku mempertimbangkan untuk berbohong. Bagaimanapun, tak seorang pun menyukai mayat. Tapi, akhirnya aku berkata jujur. “Tidak, orangtuaku menarikku dari sekolah tiga tahun yang lalu.” “Tiga tahun?” tanyanya takjub. Kuceritakan garis besar keajaibanku kepada Augustus: aku didiagnosis kanker tiroid Stadium IV ketika berusia tiga belas tahun. (Tidak kukatakan kalau diagnosis itu muncul tiga bulan setelah menstruasi pertamaku. Seakan: Selamat! Kau seorang perempuan. Sekarang matilah.) Kami diberi tahu kalau penyakit itu tidak bisa disembuhkan. Aku menjalani sesuatu yang disebut pembedahanleher radikal, yang sama menyenangkan seperti kedengarannya. Lalu radiasi. Lalu, mereka mencoba


semacam kemoterapi untuk semua tumor di paru-paruku. Tumor-tumornya mengecil, lalu tumbuh. Saat itu usiaku empat belas. Paruparuku mulai terisi air. Penampilanku seperti mayat—kedua tangan dan kakiku membengkak; kulitku pecah; bibirku selalu membiru. Mereka punya obat yang membuatmu tidak merasa begitu ketakutan menghadapi kenyataan bahwa kau tidak bisa bernapas, dan aku mendapat banyak aliran obat itu lewat jalur PICC, ditambah lebih dari selusin obat lainnya. Walaupun begitu, ada ketidaknyamanan tertentu seakan aku sedang tenggelam, terutama ketika pengobatan itu berlangsung selama beberapa bulan. Akhirnya, aku berakhir di ICU garagara pneumonia. Mom berlutut di samping ranjangku, berkata, “Kau siap, Sayang?” dan kukatakan bahwa aku sudah siap. Dad terusmenerus berkata dia mencintaiku dengan suara yang tidak begitu parau lagi karena memang sudah parau, dan aku terusmenerus mengatakan aku juga mencintainya. Lalu, semua orang bergandengan tangan, aku tidak bisa bernapas, dan paruparuku bertindak nekat, tersengalsengal, menarikku dari ranjang untuk mencari posisi yang memungkinkannya mendapat udara, dan aku merasa malu dengan kenekatan paruparuku, merasa jijik karena paruparu itu tidak mau menyerah saja, dan aku ingat Mom mengatakan tidak apa-apa, aku tidak apa-apa, aku akan baik-baik saja, dan Dad berupaya begitu keras untuk tidak menangis sehingga, ketika dia menangis, seperti yang selalu terjadi, rasanya seperti gempa bumi. Dan, aku ingat tidak ingin terbangun. Semua orang mengira aku sudah tamat, tapi Dokter Kankerku, Maria, berhasil mengeluarkan sebagian cairan dari paruparuku dan, tidak lama berselang, antibiotika yang mereka berikan untuk mengobati pneumonia itu mulai bekerja. Aku terbangun dan segera menjalani salah satu pengobatan eksperimental yang dikenal Tidak Berhasil di Republik Kankervania. Obatnya bernama Phalanxifor, molekul yang dirancang untuk melekatkan diri pada selsel kanker dan memperlambat pertumbuhan mereka. Obat itu tidak berhasil pada sekitar 70 persen orang. Tapi, obat itu berhasil pada diriku. Tumortumornya menciut. Dan tumortumor itu tetap menciut. Hore, Phalanxifor! Selama delapan belas bulan terakhir ini, metastasisku nyaris tidak berkembang, meninggalkanku dengan paruparu yang payah, tapi tampaknya bisa terus berjuang dengan bantuan pasokan oksigen dan Phalanxifor harian. Jelas Keajaiban Kankerku hanya memberikan sedikit tambahan waktu. (Aku belum tahu seberapa sedikit.) Tapi, ketika kuceritakan kepada Augustus Waters, aku melukiskan gambaran secerah mungkin, menambahnambahi keajaiban dari keajaiban itu.


“Jadi, kini kau kembali ke sekolah,” katanya. “Sesungguhnya aku tidak bisa,” jelasku, “karena aku sudah mendapat ijazah SMU. Jadi, aku mengambil kelaskelas di MCC.” Itu nama community college di tempat kami. “Mahasiswi,” ujar Augustus seraya mengangguk. “Itu menjelaskan aura kecanggihannya.” Dia menyeringai kepadaku. Aku mendorong lengan atasnya secara bergurau. Aku bisa merasakan ototnya yang berada persis di bawah kulit, semuanya kencang dan menakjubkan. Kami berbelok dengan rodaroda berdecit, memasuki area real estat dengan temboktembok plesteran setinggi dua setengah meter. Rumah Augustus adalah yang pertama di sebelah kiri. Rumah duatingkat gaya kolonial. Kami berhenti dengan sentakan di depan rumahnya. Aku mengikuti Augustus ke dalam. Sebuah plakat kayu di jalan masuk diukiri katakata dengan huruf sambung yang berbunyi Rumah adalah Tempat Hati Berada, dan ternyata seluruh rumah dihiasi komentarkomentar seperti itu. Sahabat Baik Sulit Ditemukan dan Mustahil Dilupakan, itulah tulisan di atas gantungan mantel. Cinta Sejati Lahir dari Masa-Masa yang Berat, itulah janji sebuah bantal sulaman tusuksilang di ruang tamu mereka yang berperabot antik. Augustus melihatku membaca. “Orangtuaku menyebut semuanya ini Penyemangat,” jelasnya. “Ada di manamana.” Ayah dan ibunya memanggilnya Gus. Mereka sedang membuat enchilada di dapur (sepotong kaca buram di dekat tempat cuci piring dihiasi hurufhuruf ceria berbunyi: Keluarga Adalah untuk Selamanya). Ibunya sedang meletakkan ayam ke dalam tortilla, yang kemudian digulung oleh ayahnya dan diletakkan di dalam wajan kaca. Mereka seakan tidak begitu terkejut dengan kedatanganku, dan itu masuk di akal: Fakta bahwa Augustus membuatku merasa istimewa tidak selalu menunjukkan bahwa aku memang istimewa. Mungkin dia membawa pulang


gadis yang berbeda setiap malam untuk diajaknya nonton dan dirayunya. “Ini Hazel Grace,” kata Augustus memperkenalkanku. “Hazel saja,” kataku. “Apa kabar, Hazel?” tanya ayah Gus. Dia bertubuh tinggi—nyaris setinggi Gus—dan kurus, dalam pengertian orangtua yang sudah berumur biasanya tidak sekurus itu. “baik-baik saja,” jawabku. “Bagaimana Kelompok Pendukungnya Isaac?” “Luar biasa,” jawab Gus. “Kau benar-benar merusak suasana,” ujar ibunya. “Hazel, kau menikmati pertemuan itu?” Aku terdiam sejenak, berupaya memikirkan apakah jawabanku harus diatur untuk menyenangkan Augustus atau orangtuanya. “Sebagian besar anggotanya menyenangkan,” kataku pada akhirnya. “Itulah persisnya yang kami jumpai pada keluargakeluarga di Memorial ketika kami sedang sibuk dengan pengobatan Gus di sana,” ujar ayahnya. “Semua orang begitu baik. Juga kuat. Di harihari terkelam, Tuhan meletakkan orangorang terbaik dalam hidupmu.” “Cepat, beri aku bantal hias dan benang, karena perkataan itu harus menjadi Penyemangat,” ujar Augustus, dan ayahnya tampak sedikit jengkel, tapi kemudian Gus membelitkan lengan panjangnya di leher ayahnya dan berkata, “Aku hanya bergurau, Dad. Aku menyukai semua Penyemangat itu. Sungguh. Aku hanya tidak bisa mengakuinya, karena aku seorang remaja.” Ayahnya memutar bola mata. “Kuharap kau akan bergabung dengan kami untuk makan malam?” tanya ibunya. Dia bertubuh kecil, berambut cokelat tua, dan sedikit pemalu. “Kurasa begitu,” jawabku. “Aku harus berada di rumah pukul sepuluh. Aku juga, em, tidak menyantap daging?” “Tak masalah. Akan kami vegetariankan beberapa di antaranya,” katanya. “Hewan terlalu menggemaskan?” tanya Gus. “Aku ingin meminimalkan jumlah kematian yang menjadi tanggung jawabku,” jawabku. Gus membuka mulut untuk menjawab, tapi kemudian menahan diri. Ibunya mengisi keheningan itu. “Wah, kurasa itu menakjubkan.” Mereka mengajakku bicara sebentar, mengatakan bahwa enchilada itu adalah Enchilada Keluarga Waters yang Terkenal dan Tidak Boleh Dilewatkan, dan


bahwa jam malam Gus juga pukul sepuluh, dan bahwa mereka pada dasarnya tidak memercayai siapa pun yang menerapkan jam malam selain pukul sepuluh kepada anakanaknya, dan apakah aku bersekolah—“dia mahasiswi,” sela Augustus—dan betapa cuacanya sungguh sangat luar biasa untuk bulan Maret, dan betapa di musim semi segalanya tampak baru. Mereka bahkan tidak bertanya satu kali pun mengenai oksigen atau diagnosisku, dan ini sesuatu yang ganjil sekaligus menakjubkan. Lalu, Augustus berkata, “Aku dan Hazel hendak menonton V for Vendetta, supaya dia bisa melihat kembarannya di dalam film, Natalie Portman pertengahan tahun dua ribuan.” “TV ruang duduk boleh dipakai menonton,” ujar ayahnya senang. “Kurasa sebenarnya kami hendak menonton di ruang bawah tanah.” Ayahnya tertawa. “Upaya yang bagus. Ruang duduk.” “Tapi, aku ingin menunjukkan ruang bawah tanah kepada Hazel Grace,” ujar Augustus. “Hazel saja,” kataku. “Jadi, tunjukkan ruang bawah tanahnya kepada Hazel Saja,” kata ayahnya. “Lalu, naiklah untuk menonton filmmu di ruang duduk.” Augustus menggembungkan pipi, menyeimbangkan tubuh di atas sebelah kakinya, lalu memutar pinggul dan menendangkan kaki palsunya. “Baiklah,” gumamnya. Aku mengikutinya menuruni tangga berkarpet menuju kamar ruang bawah tanah yang besar. Rak setinggi mata mengitari ruangan, dipenuhi memorabilia basket: lusinan piala berhias patung plastik emas orang yang sedang melompat memukul bola, menggiring bola, dan memasukkan bola ke dalam keranjang yang tidak terlihat. Juga ada banyak bola dan sepatu kets bertanda tangan. “Dulu aku suka main basket,” jelas Augustus. “Pasti kau pemain hebat.” “Lumayan, tapi semua sepatu dan bola itu adalah Keistimewaan Kanker.” Dia berjalan menuju TV, tempat setumpuk besar DVD dan permainan video diatur sedikit menyerupai piramida. Dia membungkuk dan mengambil V for Vendetta. “Aku seperti prototipe anak kulit putih Indiana,” katanya. “Aku ingin sekali menghidupkan kembali seni tembakan jarak menengah. Tapi, suatu hari aku melakukan tembakantembakan bebas—hanya berdiri di garis tembakan bebas dalam gedung olahraga North Central, melemparkan serangkaian bola. Mendadak aku tidak bisa mengerti mengapa aku terusmenerus melemparkan benda bulat melewati benda berbentuk melingkar. Itu seakan hal paling tolol


yang bisa kulakukan. “Aku mulai memikirkan anak kecil yang memasukkan pasak berbentuk silinder ke dalam lubang melingkar, dan betapa mereka melakukannya berulangulang selama berbulanbulan ketika memikirkan caranya, dan betapa basket hanyalah versi yang sedikit lebih aerobik dari pasak itu. Bagaimanapun, untuk waktu yang sangat lama, aku terus melakukan tembakantembakan bebas. Aku memasukkan delapan puluh bola berturutturut, rekor terbaikku sepanjang masa. Tapi, ketika terus melakukannya, aku merasa semakin menyerupai anak berusia dua tahun. Lalu, entah kenapa aku mulai memikirkan pelari gawang. Kau baik-baik saja?” Aku sudah duduk di pojok ranjang Augustus yang berantakan. Aku tidak berupaya mengundang atau apa; aku hanya sedikit lelah karena harus banyak berdiri. Aku tadi berdiri di ruang duduk, lalu ada tangga, lalu berdiri lagi, dan bagiku ini cukup banyak berdiri, dan aku tidak mau pingsan atau apa. Aku sedikit menyerupai Perempuan era Victoria yang gampang pingsan. “Aku baikbaik saja,” jawabku. “Hanya mendengarkan. Pelari gawang?” “Ya, pelari gawang. Aku tidak tahu mengapa. Aku mulai membayangkan mereka berlari dalam perlombaan, melompati bendabenda sangat acak yang sudah diatur di jalur mereka. Dan, aku bertanyatanya apakah pelari gawang pernah berpikir, kau tahulah, Akan lebih cepat jika kita singkirkan saja semua rintangan itu.” “Ini sebelum diagnosismu?” tanyaku. “Benar. Wah, juga ada diagnosis itu.” Dia tersenyum dengan setengah bibirnya. “Hari aku melakukan tembakantembakan bebas yang secara eksistensial bermakna itu, kebetulan bertepatan dengan hari terakhirku berkaki dua. Ada akhir pekan di antara saat mereka menjadwalkan amputasi itu dan saat mereka melakukannya. Ini membuatku bisa memahami sekilas mengenai apa yang sedang dialami oleh Isaac.” Aku mengangguk. Aku menyukai Augustus Waters. Aku sangat, sangat, sangat menyukainya. Aku suka betapa ceritanya diakhiri dengan orang lain. Aku menyukai suaranya. Aku suka karena dia melakukan tembakantembakan bebas yang secara eksistensial bermakna. Aku suka karena dia profesortetap dalam Fakultas Senyum Agak Miring, sekaligus dalam Fakultas Memiliki Suara yang Membuat Kulitku Lebih Terasa Seperti Kulit. Dan, aku suka karena dia punya dua nama. Aku selalu menyukai orang dengan dua nama, karena kau bisa memutuskan harus memanggil apa: Gus atau Augustus? Aku sendiri selalu


Hazel saja, Hazel valensi tunggal. “Kau punya saudara?” tanyaku. “Hah?” jawabnya, tampak sedikit kebingungan. “Kau menyebut sesuatu mengenai menyaksikan anakanak bermain.” “Oh, ya, tidak. Aku punya keponakankeponakan, dari dua saudara tiri perempuanku. Tapi, usia mereka terpaut jauh dariku. Mereka kira-kira—DAD, BERAPA USIA JULIE DAN MARTHA?” “Dua puluh delapan!” “Usia mereka kira-kira dua puluh delapan. Mereka tinggal di Chicago. Mereka samasama menikah dengan pengacara yang sangat hebat. Atau bankir. Aku tidak ingat. Kau punya saudara?” Aku menggeleng. “Jadi, apa ceritamu?” tanyanya, seraya duduk di sampingku dengan jarak aman. “Sudah kuceritakan. Aku didiagnosis ketika—” “Bukan, bukan cerita kankermu. Ceritamu. Minat, hobi, kegemaran, obsesi aneh, dll., dll.” “Em,” kataku. “Jangan katakan kau termasuk orang yang berubah menjadi penyakitnya. Aku mengenal begitu banyak orang yang seperti itu. Sangat menyedihkan. Seakan kanker adalah masalah yang terus berkembang. Masalah yang menguasai seseorang. Tapi, kau pasti belum membiarkan kesuksesan prematur kanker?” Terpikir olehku bahwa aku mungkin begitu. Aku berjuang mencari cara untuk menandingi Augustus Waters, untuk merengkuh keantusiasannya. Dan, dalam keheningan selanjutnya, terpikir olehku bahwa diriku tidak begitu menarik. “Aku sangat biasa-biasa saja.” “Ini langsung kutolak. Pikirkan sesuatu yang kau sukai. Hal pertama yang terpikirkan olehmu.” “Em. Membaca?” “Apa yang kau baca?” “Segalanya. Mulai dari roman menjijikkan, fiksi ambisius, sampai puisi. Apa saja.” “Kau juga menulis puisi?” “Tidak. Aku bukan penulis.” “Nah!” Augustus nyaris berteriak. “Hazel Grace, kau satusatunya remaja di Amerika yang lebih suka membaca puisi daripada menulisnya. Ini bercerita banyak. Kau membaca banyak buku yang luar biasa hebat, bukan?”


“Kurasa begitu.” “Apa buku favoritmu?” “Em,” kataku. Buku favoritku jelas Kemalangan Luar Biasa, tapi aku tidak suka membicarakannya dengan orang lain. Terkadang kau membaca sebuah buku yang anehnya membuatmu sangat bersemangat untuk menyebarkannya, dan kau merasa yakin dunia yang hancur tidak akan pernah bisa disatukan kembali kecuali—dan hingga—semua manusia hidup membaca buku itu. Lalu, ada buku seperti Kemalangan Luar Biasa, yang tidak bisa kau bicarakan dengan orang lain, buku yang begitu istimewa dan langka dan menjadi milikmu sepenuhnya, sehingga mengiklankan kecintaanmu akan terasa seperti pengkhianatan. Bukannya buku itu teramat sangat bagus atau apa; tapi penulisnya, Peter Van Houten, seakan memahamiku dengan cara yang ganjil dan mustahil. Kemalangan Luar Biasa adalah bukuku, sama seperti tubuhku adalah tubuhku dan pikiranku adalah pikiranku. Walaupun begitu, Augustus kuberi tahu. “Mungkin buku favoritku adalah Kemalangan Luar Biasa,” kataku. “Ada zombienya?” tanyanya. “Tidak,” jawabku. “Pasukan penggempur?” Aku menggeleng. “Bukan buku semacam itu.” Augustus tersenyum. “Akan kubaca buku mengerikan berjudul menjemukan yang tidak ada pasukan penggempurnya ini,” janjinya, dan aku langsung merasa seakan aku seharusnya tidak memberitahunya. Augustus berbalik menghadap setumpuk buku di bawah nakas. Dia meraih sebuah buku dan pena. Seraya menulisi halaman judulnya, dia berkata, “Yang kuminta sebagai gantinya adalah agar kau membaca novelisasi cemerlang dan tak terlupakan dari permainan video favoritku.” Dia menunjukkan buku itu, yang berjudul Ganjaran Fajar. Aku tertawa dan menerimanya. Tangan kami agak saling membelit, lalu dia memegangi tanganku. “Dingin,” katanya seraya menekankan telunjuk pada pergelangan tangan pucatku. “Lebih karena kekurangan oksigen,” kataku. “Aku suka jika kau bicara medis kepadaku,” katanya. Dia berdiri dan menarikku berdiri bersamanya, dan tidak melepas tanganku sampai kami tiba di


tangga. Kami menonton film itu dengan jarak beberapa inci di antara kami. Aku melakukan hal yang benar-benar seperti anak SMP, yaitu meletakkan tangan kira-kira di pertengahan jarak itu, untuk memberitahunya bahwa dia boleh memegangi tanganku. Tapi, dia tidak berupaya melakukannya. Setelah satu jam, orangtua Augustus masuk dan menyajikan enchilada, yang kami santap di sofa dan rasanya sangat lezat. Filmnya mengenai lelaki heroik bertopeng yang mati secara heroik untuk Natalie Portman, yang sangat luar biasa dan sangat seksi dan sama sekali tidak menyerupai wajahku yang bengkak akibat steroid. Ketika muncul tulisan di akhir film, Augustus berkata, “Bagus sekali, hah?” “Bagus sekali,” kataku setuju, walaupun sesungguhnya tidak. Itu sejenis film cowok. Aku tidak tahu mengapa cowok mengharapkan cewek untuk menyukai film cowok. Kami tidak mengharapkan mereka untuk menyukai film cewek. “Aku harus pulang. Ada kelas pagi,” kataku. Sejenak aku duduk di sofa ketika Augustus mencari kunci mobil. Ibunya duduk di sampingku dan berkata, “Aku suka yang ini. Kau?” Kurasa aku sedang memandang Penyemangat di atas TV, lukisan malaikat yang berjudul: Tanpa Penderitaan, Bagaimana Kita Bisa Mengenal Kebahagiaan? (Ini perdebatan lama dalam bidang Pemikiran Mengenai Penderitaan, dan kekonyolan serta ketidakcanggihannya bisa ditelusuri selama berabadabad. Tapi, cukuplah jika kukatakan bahwa keberadaan brokoli sama sekali tidak memengaruhi rasa cokelat.) “Ya,” jawabku. “Pemikiran yang indah.” Aku menyetir mobil Augustus ke rumahku, dengan Augustus duduk di kursi depan di sampingku. Dia memutar beberapa lagu yang disukainya, dari band bernama The Hectic Glow, dan lagulagunya bagus. Tapi, karena belum kukenal, dia lebih bisa menikmati lagulagu itu daripada aku. Aku terus melirik kaki atau


tempat kaki Augustus dulu berada, berupaya membayangkan seperti apa kaki palsu itu. Aku tidak ingin peduli, tapi sedikit peduli. Mungkin dia juga memedulikan oksigenku. Penyakit selalu menjijikkan. Sudah lama aku tahu itu, dan kurasa Augustus juga tahu. Ketika aku menghentikan mobil di luar rumahku, Augustus mematikan radio. Udara melengas. Dia mungkin sedang mempertimbangkan untuk menciumku, dan aku jelas sedang mempertimbangkan untuk menciumnya. Aku bertanyatanya apakah aku ingin menciumnya. Aku pernah mencium cowok, tapi itu sudah lama. PraKeajaiban. Aku memarkir mobil dan memandang Augustus. Dia sungguh rupawan. Aku tahu cowok seharusnya tidak disebut rupawan, tapi dia memang begitu. “Hazel Grace,” katanya, namaku terasa baru dan lebih baik dalam suaranya. “Senang sekali berkenalan denganmu.” “Samasama, Mr. Waters,” kataku. Aku merasa malu memandangnya. Aku tidak bisa menandingi kedalaman matanya yang sebiru air. “Boleh menemuimu lagi?” tanyanya. Ada kegugupan yang memikat dalam suaranya. Aku tersenyum. “Tentu saja.” “Besok?” tanyanya. “Sabar, Belalang,” kataku menasihati. “Kau tidak ingin kelihatan terlalu bersemangat.” “Benar, itulah sebabnya kubilang besok,” katanya. “Aku ingin menemuimu lagi malam ini. Tapi, aku bersedia menunggu semalaman dan hampir sepanjang esok.” Aku memutar bola mata. “Aku serius,” katanya. “Kau bahkan tidak mengenalku,” kataku. Aku meraih buku dari dasbor tengah. “Bagaimana jika aku meneleponmu ketika sudah selesai membaca ini?” “Tapi, kau bahkan tidak punya nomor teleponku,” katanya. “Aku sangat curiga kau menuliskannya di dalam buku ini.” Augustus tersenyum konyol. “Dan, kau bilang kita tidak saling mengenal.”[]


Bab Tiga Malam itu aku terjaga hingga larut malam, membaca Ganjaran Fajar. (Peringatan: Ganjaran fajar adalah darah.) Itu bukan Kemalangan Luar Biasa, tapi tokoh protagonisnya, Sersan Staf Max Mayhem, sedikit menyenangkan walaupun, menurut perhitunganku, dia membunuh setidaknya 118 individu dalam 284 halaman. Jadi, aku bangun terlambat keesokan paginya, Kamis. Kebijakan Mom adalah tidak pernah membangunkanku, karena salah satu persyaratan kerja bagi Orang Sakit Profesional adalah banyak tidur, jadi mulanya aku agak bingung ketika tersentak bangun dengan tangan Mom di bahuku. “Sudah hampir pukul sepuluh,” katanya. “Tidur memerangi kanker,” kataku. “Aku terjaga sampai larut malam, membaca.” “Pasti bukunya hebat,” kata Mom seraya berlutut di samping ranjang dan melepaskanku dari konsentrator oksigen berbentuk persegi empat besar, yang kusebut Philip karena memang agak mirip seseorang bernama Philip. Mom menghubungkanku dengan tangki portabel, lalu mengingatkanku kalau aku ada kelas. “Itu pemberian cowok kemarin?” tanyanya mendadak.


“Itu? Maksud Mom herpes?” “Kau keterlaluan,” ujar Mom. “Buku itu, Hazel. Maksudku buku itu.” “Ya, buku itu pemberiannya.” “Aku tahu kau menyukai cowok itu,” kata Mom dengan alis terangkat, seakan pengamatan ini memerlukan semacam insting keibuan yang unik. Aku mengangkat bahu. “Sudah kubilang, Kelompok Pendukung akan bermanfaat,” kata Mom. “Apakah Mom menunggu di luar saja di sepanjang pertemuan?” “Ya. Aku membawa beberapa dokumen. Tapi, sudah saatnya menyongsong hari, Anak Muda.” “Mom. Tidur. Memerangi. Kanker.” “Aku tahu, Sayang, tapi ada kelas yang harus dihadiri. Hari ini juga ....” Kegembiraan di dalam suara Mom jelas terdengar. “Kamis?” “Kau benar-benar lupa?” “Mungkin?” “Ini Kamis, dua puluh sembilan Maret!” Mom bisa dibilang berteriak, dengan senyum gila terpampang di wajahnya. “Senang sekali mengetahui tanggal itu!” teriakku membalas. “HAZEL! INI ULANG TAHUN SETENGAH TAHUNANMU YANG KETIGA PULUH TIGA!” “Ohhhhhh,” kataku. Mom benar-benar hebat dalam memaksimalkan perayaan. INI HARI POHON! AYO, MEMELUK POHON DAN MAKAN KUE! COLUMBUS MENDATANGKAN CACAR AIR BAGI PENDUDUK ASLI; KITA AKAN MENGINGAT PERISTIWA ITU DENGAN PIKNIK!, dll. “Wah, Selamat Ulang Tahun Setengah Tahunan yang ketiga puluh tiga untukku,” kataku. “Apa yang ingin kau lakukan pada hari yang sangat istimewa untukmu ini?” “Pulang dari kelas dan memecahkan rekor dunia untuk terusterusan menonton episode Top Chef ?” Mom menjulurkan tangan ke rak di atas ranjangku dan meraih Bluie, boneka beruang biru yang kumiliki semenjak usiaku kira-kira setahun—ketika menamai teman berdasarkan warna kulit masih bisa diterima dalam masyarakat. “Kau tidak mau nonton bersama Kaitlyn atau Matt atau seseorang?” Mereka temanku. Boleh juga. “Oke,” jawabku. “Kaitlyn akan kusms, apakah dia mau pergi ke


mal atau lainnya sepulang sekolah.” Mom tersenyum, memeluk beruang itu di perutnya. “Pergi ke mal masih mengasyikkan?” tanyanya. “Aku cukup bangga karena tidak tahu apa yang mengasyikkan,” jawabku. Aku mengsms Kaitlyn, mandi, berpakaian, lalu Mom mengantarku ke sekolah. Kelasku adalah Kesusastraan Amerika, kuliah mengenai Frederick Douglass di dalam auditorium yang nyaris kosong, dan sulit sekali bagiku untuk tetap terjaga. Empat puluh menit berselang dalam kelas sepanjang sembilan puluh menit, Kaitlyn membalas smsku. Asyik. Selamat ulang tahun setengah tahunan. Castleton jam tiga lewat tiga puluh dua? Kaitlyn punya semacam kehidupan sosial yang sibuk, sehingga harus dijadwalkan sampai ke menitnya. Aku membalas: OK. Kutunggu di food court. Mom mengantarku langsung dari sekolah ke toko buku yang menempel dengan mal itu. Di sana aku membeli Fajar Tengah-Malam dan Rekuiem untuk Mayhem, dua sekuel pertama dari Ganjaran Fajar, lalu aku berjalan ke food court besar itu dan membeli Diet Coke. Saat itu pukul tiga lewat dua puluh satu. Sambil membaca, aku mengamati anakanak bermain di tamanbermain dalamruangan yang berbentuk kapal bajak laut. Ada terowongan yang terusmenerus dilewati oleh dua orang anak dengan merangkak, dan mereka seakan tidak pernah lelah. Itu mengingatkanku pada Augustus Waters dan tembakantembakan bebas yang secara eksistensial bermakna. Mom juga berada di food court, sendirian, duduk di sebuah pojok dan mengira aku tidak bisa melihatnya, menyantap rotilapis steakkeju dan membaca


beberapa dokumen. Mungkin dokumen medis. Itu pekerjaan yang tidak ada habisnya. Tepat pukul tiga lewat tiga puluh dua, aku melihat Kaitlyn melenggang penuh percaya diri melewati The Wok House. Begitu aku mengangkat tangan, dia langsung melihatku, memamerkan giginya yang putih bersih dan baru saja diluruskan, lalu berjalan mendekat. Kaitlyn mengenakan mantel selutut warna arang yang jatuhnya sempurna dan kacamata matahari yang mendominasi wajahnya. Dia menaikkan kacamatanya ke atas kepala ketika membungkuk untuk memelukku. “Sayang,” katanya, sedikit beraksen Inggris. “Apa kabar?” Orangorang tidak menganggap aksennya aneh atau menjengkelkan. Kaitlyn hanyalah seorang sosialita Inggris berusia dua puluh lima tahun dan teramat sangat canggih, yang kebetulan terperangkap di dalam tubuh seorang gadis berusia enam belas tahun di Indianapolis. Semua orang bisa menerima hal itu. “Aku baik-baik saja. Kau?” “Aku bahkan tidak tahu lagi. Itu Diet Coke?” Aku mengangguk dan menyerahkan minumanku. Kaitlyn minum lewat sedotan. “Aku benar-benar berharap kau ada di sekolah belakangan ini. Beberapa cowok sudah berubah menjadi sangat menggiurkan.” “Oh, ya? Contohnya siapa?” tanyaku. Dia mulai menyebut lima cowok teman SD dan SMP kami, tapi aku tidak bisa membayangkan salah satunya. “Aku mengencani Derek Wellington untuk sementara ini,” katanya, “tapi kurasa tidak akan lama. Dia begitu ke kanak-kanak-an. Tapi, cukuplah tentang aku. Apa yang baru di Jagad Hazel?” “Tidak ada, sungguh,” jawabku. “Kesehatan bagus?” “Sama saja, kurasa.” “Phalanxifor!” teriaknya seraya tersenyum. “Jadi, kau bisa hidup untuk selamanya, bukan?” “Mungkin tidak untuk selamanya,” kataku. “Tapi, bisa dibilang begitu,” katanya. “Apa lagi yang baru?” Aku berpikir untuk menceritakan bahwa aku juga sedang mengencani seorang cowok, atau setidaknya nonton film bersama seorang cowok, hanya karena aku tahu itu akan mengejutkan dan menakjubkan Kaitlyn, bahwa seseorang yang sekacau dan secanggung dan sekerdil aku bisa mendapatkan kasih sayang dari seorang cowok, walaupun sejenak. Tapi, sesungguhnya tidak banyak yang bisa


kusombongkan, jadi aku hanya mengangkat bahu. “Astaga, apa itu?” tanya Kaitlyn seraya menunjuk bukuku. “Oh, fiksi ilmiah. Aku mulai agak suka. Ini serial.” “Aku khawatir. Ayo belanja.” Kami pergi ke toko sepatu. Ketika kami berbelanja, Kaitlyn terus memilihkan sepatu datar berujung terbuka untukku dan berkata, “Ini akan tampak manis di kakimu.” Dan, ini mengingatkanku bahwa Kaitlyn tidak pernah mengenakan sepatu berujung terbuka, gara-gara dia membenci kakinya, karena dia merasa telunjuk kakinya kepanjangan, seakan telunjuk kaki adalah jendela untuk melihat jiwa atau semacamnya. Jadi, ketika aku menunjuk sandal yang sesuai dengan warna kulitnya, dia berkata, “Ya, tapi ....” kelanjutannya adalah: tapi sandal itu akan memamerkan telunjuk kakiku yang menjijikkan, dan aku berkata, “Kaitlyn, kau satusatunya orang yang kuketahui menderita dismorfia khusustelunjukkaki,” dan dia berkata, “Apa itu?” “Kau tahulah, seperti kau becermin dan melihat sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya.” “Oh. Oh,” katanya. “Kau suka yang ini?” Kaitlyn mengangkat sepasang sepatu Mary Jane yang manis, tapi tidak luar biasa, dan aku mengangguk. Dia mencari ukurannya dan mencobanya, berjalan mondarmandir di lorong, mengamati kakinya di cermin bersudut miring setinggi lutut. Lalu, dia meraih sepasang sepatu bertali dan berhak supertinggi dan berkata, “Bisakah berjalan dengan sepatu ini? Maksudku, lebih baik aku mati saja—” lalu dia langsung terdiam, memandangku seakan berkata maaf, seakan menyebut kematian di depan orang sekarat adalah kejahatan. “Kau harus mencobanya,” lanjut Kaitlyn, berupaya menjembatani kecanggungan itu. “Aku lebih suka mati,” kataku meyakinkannya. Akhirnya, aku hanya mengambil sandal jepit sehingga punya sesuatu untuk


dibeli, lalu duduk di salah satu bangku di seberang setumpuk sepatu dan mengamati Kaitlyn berjalan di sepanjang loronglorong, berbelanja dengan semacam keseriusan dan konsentrasi yang biasa dimiliki pemain catur profesional. Aku ingin mengeluarkan Fajar Tengah-Malam dan membacanya sejenak, tapi aku tahu itu tidak sopan, jadi aku hanya mengamati Kaitlyn. Terkadang dia berputar kembali ke tempatku, membawa semacam sepatu berujung tertutup, dan berkata, “Ini?” Dan, aku akan berupaya mengucapkan komentar cerdas mengenai sepatu itu. Akhirnya dia membeli tiga pasang sepatu dan aku membeli sandal jepitku. Ketika kami meninggalkan toko, dia berkata, “Ke Anthropologie?” “Sesungguhnya aku harus pulang,” kataku. “Aku agak lelah.” “Pasti, tentu saja,” katanya. “Aku harus lebih sering bertemu denganmu, Sayang.” Dia meletakkan tangannya di bahuku, mencium kedua pipiku, lalu berjalan pergi, pinggul kecilnya bergoyang-goyang. Tapi, aku tidak pulang. Tadi kuminta Mom menjemputku pukul enam dan, walaupun kurasa dia berada di dalam mal atau di tempat parkir, aku masih menginginkan waktu dua jam untukku sendiri. Aku menyukai Mom, tapi kedekatannya yang terusmenerus terkadang membuatku merasa gugup dengan ganjilnya. Dan, aku juga menyukai Kaitlyn. Sungguh. Tapi, setelah tiga tahun terpisah dari pergaulan sekolah purnawaktu yang selayaknya, aku merasakan adanya semacam jarak yang tak terjembatani di antara kami. Kurasa temanteman sekolahku ingin membantuku mengatasi kanker, tapi pada akhirnya mereka tahu bahwa mereka tidak bisa. Salah satu contohnya, tidak ada kata mengatasi. Jadi, aku berpamitan dengan alasan nyeri dan lelah, seperti yang sering kali kulakukan selama bertahun-tahun ketika bertemu dengan Kaitlyn atau temantemanku yang lain. Sesungguhnya itu selalu menyakitkan. Selalu menyakitkan tidak bisa bernapas seperti orang normal, terusmenerus mengingatkan paruparumu untuk menjadi paruparu, memaksakan diri untuk menerima rasa nyeri karena kekurangan oksigen; rasanya dicakar dan dikeruk luardalam menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Jadi, aku tidak benar-benar berbohong. Aku hanya memilih di antara kebenarankebenaran yang ada. Aku menemukan sebuah bangku yang dikelilingi toko Cendera Mata Irlandia, Emporium Pulpen, dan outlet topi bisbol—pojok mal yang bahkan tidak pernah dikunjungi oleh Kaitlyn untuk berbelanja—dan mulai membaca Fajar TengahMalam.


Buku itu menyajikan rasio kalimatdanmayat sebesar hampir 1:1, dan aku terus membaca tanpa pernah mendongak. Aku menyukai Sersan Staf Max Mayhem walaupun dia tidak punya banyak kepribadian teknis, tapi yang paling kusukai adalah petualangannya selalu berlangsung. Selalu ada orang jahat lagi yang harus dibunuh, dan orang baik lagi yang harus diselamatkan. Perang yang baru bahkan sudah dimulai sebelum perang lama dimenangkan. Aku belum pernah membaca serial betulan seperti itu semenjak masih kecil, dan rasanya menyenangkan hidup kembali dalam fiksi yang tak kunjung berakhir. Dua puluh halaman sebelum akhir Fajar Tengah-Malam, segalanya mulai tampak agak suram bagi Mayhem. Dia tertembak tujuh belas kali ketika berupaya menyelamatkan seorang sandera (cewek pirang Amerika) dari Musuh. Tapi, sebagai pembaca, aku tidak berputus asa. Upaya perang akan berlanjut tanpanya. Akan ada—dan pasti ada—sekuel yang menampilkan rekanrekannya: Spesialis Manny Loco dan Serdadu Jasper Jacks dan yang lainnya. Aku hampir mencapai bagian akhir ketika seorang gadis cilik dengan rambut dikepangkepang dan dijepit muncul di depanku dan berkata, “Apa itu di hidungmu?” Dan aku berkata, “Em, ini namanya kanula. Selangselang ini memberiku oksigen dan membantuku bernapas.” Ibunya datang dan berkata, “Jackie,” dengan tidak setuju, tapi aku berkata, “Tidak, tidak, tidak apa-apa,” karena memang benar-benar tidak apa-apa. Lalu, Jackie bertanya, “Itu juga bisa membantuku bernapas?” “Aku tidak tahu. Ayo, dicoba.” Aku melepas kanula dan membiarkan Jackie menempelkannya di hidung dan bernapas. “Geli,” katanya. “Ya, aku tahu.” “Rasanya napasku lebih baik,” katanya. “Ya?” “Ya.” “Wah,”kataku,“Akuinginsekalimemberikankanula itu kepadamu, tapi aku sungguh memerlukannya.” Aku sudah merasa kehilangan. Aku berkonsentrasi pada napasku ketika Jackie menyerahkan selangselang itu kembali kepadaku. Aku mengusapnya cepat dengan T-shirt, mengaitkan selangselang itu di balik masingmasing telinga, lalu meletakkan kedua ujungnya di tempat semula. “Terima kasih aku boleh mencoba,” katanya. “Samasama.” “Jackie,” kata ibunya lagi, dan kali ini aku membiarkannya pergi.


Aku kembali pada bukuku. Sersan Staf Max Mayhem menyesal karena hanya punya satu nyawa untuk diberikan pada negaranya, tapi aku terus memikirkan anak kecil itu, dan betapa aku menyukainya. Kurasa hal lain mengenai Kaitlyn adalah, aku tidak pernah lagi bisa merasa wajar ketika bicara dengannya. Segala upaya untuk berpurapura melakukan interaksi sosial normal sangatlah membuat depresi, karena jelas sekali semua orang yang kuajak bicara di sepanjang hidupku akan merasa canggung dan malu berada di dekatku, kecuali mungkin anakanak seperti Jackie yang masih polos. Bagaimanapun, aku benar-benar suka menyendiri. Aku suka menyendiri bersama Sersan Staf Max Mayhem yang malang, yang—oh, ayolah, dia tidak akan bertahan hidup dengan tujuh belas peluru itu, bukan? (Peringatan: Dia bertahan hidup.)[]


Bab Empat Aku tidur lebih awal malam itu, berganti celana boxer cowok dan T-shirt sebelum menyelinap ke balik selimut di ranjangku yang berukuran queen dengan kepala ranjang dari bantal, salah satu tempat favoritku di seluruh dunia. Lalu, aku mulai membaca Kemalangan Luar Biasa untuk kesejuta kalinya. KLB menceritakan seorang gadis bernama Anna (penutur cerita itu) dan ibunya yang bermata satu, tukang kebun profesional yang terobsesi dengan tulip. Mereka memiliki kehidupan kelas menengah ke bawah yang normal di sebuah kota kecil di California tengah, sampai Anna menderita kanker darah langka. Tapi, ini bukan buku tentang kanker, karena buku tentang kanker itu payah. Biasanya, dalam buku tentang kanker, penderita kankernya mendirikan badan amal yang mengumpulkan uang untuk memerangi kanker, bukan? Dan, komitmen terhadap badan amal ini mengingatkan penderita kanker itu pada kebaikan mendasar umat manusia dan membuatnya merasa dicintai dan dibesarkan hatinya, karena dia akan meninggalkan warisan berupa penyembuhan kanker. Tapi, di KLB, Anna berpikir bahwa menjadi penderita kanker yang mendirikan badan amal kanker terasa sedikit narsistik, jadi dia mendirikan badan amal bernama Yayasan Anna untuk Penderita Kanker yang Ingin


Menyembuhkan Kolera. Anna juga jujur mengenai semua itu dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang lain. Di sepanjang buku, dia menyebut dirinya sendiri sebagai efek samping, dan ini memang benar sepenuhnya. Anakanak penderita kanker pada dasarnya adalah efek samping dari mutasi keji yang memungkinkan keberagaman kehidupan di bumi. Jadi, ketika cerita berlanjut, penyakit Anna semakin parah, pengobatan dan penyakitnya berlomba untuk membunuhnya, dan ibunya jatuh cinta kepada pedagang tulip Belanda yang oleh Anna disebut Lelaki Tulip Belanda. Lelaki Tulip Belanda ini punya banyak uang dan gagasan yang sangat eksentrik mengenai cara mengobati kanker, tapi menurut Anna lelaki ini mungkin penipu dan mungkin bahkan bukan orang Belanda. Lalu, persis ketika lelaki yang kemungkinan orang Belanda itu dan ibunya hendak menikah, dan Anna hendak memulai serangkaian pengobatan gila baru yang melibatkan rumputgandum dan arsenikum dosis rendah, buku itu berakhir persis di tengah kalimat. Aku tahu ini keputusan yang sangat sastra dan sebagainya, dan mungkin inilah sebagian alasan mengapa aku sangat mencintai buku itu. Tapi, sebaiknya sebuah cerita diakhiri. Dan, jika tidak bisa diakhiri, cerita itu sebaiknya berlanjut untuk selamanya seperti petualanganpetualangan peleton Sersan Staf Max Mayhem. Aku mengerti bahwa cerita ini berakhir karena Anna mati atau terlalu sakit untuk menulis, dan kalimat menggantung ini seharusnya merefleksikan betapa kehidupan benar-benar berakhir atau semacamnya, tapi ada tokohtokoh selain Anna di dalam cerita itu, dan rasanya tidak adil jika aku tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada mereka. Aku telah menulis selusin surat kepada Peter Van Houten, lewat penerbitnya, untuk meminta beberapa jawaban mengenai apa yang terjadi setelah akhir cerita: apakah Lelaki Tulip Belanda itu penipu, apakah ibu Anna akhirnya menikah dengannya, apa yang terjadi pada hamster tolol Anna (yang dibenci ibu Anna), apakah temanteman Anna lulus SMU—dan sebagainya. Tapi, dia tidak pernah membalas suratsuratku. KLB adalah satusatunya buku yang ditulis oleh Peter Van Houten. Yang diketahui orang mengenai lelaki itu hanyalah dia pindah dari Amerika Serikat ke Belanda setelah bukunya terbit, dan menjadi agak penyendiri. Aku membayangkan dia sedang mengerjakan sekuel bukunya di Belanda—mungkin ibu Anna dan Lelaki Tulip Belanda itu akhirnya pindah ke sana dan berupaya memulai kehidupan baru. Tapi, sudah sepuluh tahun semenjak Kemalangan


Luar Biasa diterbitkan, dan Van Houten belum pernah menerbitkan tulisan blog sekali pun. Aku tidak bisa menunggu untuk selamanya. Ketika membaca ulang malam itu, aku terusmenerus terganggu, membayangkan Augustus Waters membaca katakata yang sama. Aku ingin tahu apakah dia menyukai buku itu, atau menganggapnya terlalu ambisius. Lalu, aku ingat janjiku untuk meneleponnya setelah membaca Ganjaran Fajar, jadi aku mencari nomor teleponnya di halaman judul buku dan mengiriminya sms. Ulasan Ganjaran Fajar: Terlalu banyak mayat. Kurang kata sifat. Bagaimana KLB? Dia membalas semenit kemudian: Seingatku kau janji MENELEPON kalau sudah selesai membaca bukunya, bukan meng-sms. Jadi, aku menelepon. “Hazel Grace,” katanya ketika menerima teleponku. “Jadi, sudah kau baca?” “Wah, aku belum selesai. Tebalnya enam ratus lima puluh satu halaman dan aku baru punya waktu selama dua puluh empat jam.” “Sudah seberapa jauh?” “Halaman empat ratus lima puluh tiga.” “Dan?” “Aku akan menahan penilaianku sampai aku selesai. Tapi, bisa kukatakan aku merasa sedikit malu memberimu Ganjaran Fajar.” “Jangan. Aku sudah sampai Rekuiem untuk Mayhem.” “Penambahan yang cemerlang untuk serialnya. Jadi, oke, apakah lelaki tulip ini penjahat? Aku mendapat sinyal yang buruk darinya.” “Tidak akan kubocorkan,” kataku. “Jika dia bukan lelaki sejati, akan kucongkel matanya.” “Jadi, kau tertarik?” “Aku menahan penilaianku! Kapan aku bisa menemuimu?” “Jelas tidak bisa sampai kau menyelesaikan Kemalangan Luar Biasa.” Aku suka menjadi penggoda. “Kalau begitu, sebaiknya aku menutup telepon dan mulai membaca.” “Memang,” kataku. Dan, hubungan teleponnya terputus begitu saja. Aku baru belajar menggoda, tapi aku menyukainya.


Keesokan paginya aku menghadiri Puisi Amerika Abad Kedua Puluh di MCC. Seorang perempuan tua memberi ceramah dan berhasil bicara selama sembilan puluh menit mengenai Sylvia Plath, tanpa sekali pun mengutip satu kata dari Sylvia Plath. Ketika aku keluar dari kelas, Mom sudah menunggu di pinggir jalan di depan gedung. “Mom menunggu saja di sini dari tadi?” tanyaku ketika dia bergegas memutar untuk membantuku mengangkut kereta dan tangkiku ke dalam mobil. “Tidak, aku mengambil cucian di binatu dan pergi ke kantor pos.” “Lalu?” “Aku punya buku yang bisa dibaca,” jawab Mom “Dan aku-lah yang perlu bersenang-senang.” Aku tersenyum. Mom mencoba membalas senyumku, tapi ada sesuatu yang kurang meyakinkan di dalamnya. Setelah beberapa saat, aku berkata, “Mau nonton?” “Pasti. Ada yang ingin kau tonton?” “Ayo, kita pergi saja dan menonton film apa pun yang hendak diputar.” Mom menutupkan pintu mobilku dan berjalan memutar ke sisi pengemudi. Kami bermobil ke Teater Castleton dan menonton film 3D mengenai tikustikus yang bisa bicara. Lumayan lucu, sungguh.


Ketika keluar dari bioskop, aku menerima empat sms dari Augustus. Katakan dua puluh halaman terakhir bukunya hilang atau semacamnya. Hazel Grace, katakan aku belum tiba di akhir buku. ASTAGA MEREKA MENIKAH ATAU TIDAK ASTAGA APA INI Kurasa Anna mati, jadi ceritanya berakhir begitu saja? KEJAM. Telepon aku begitu kau bisa. Kuharap semuanya baik-baik saja. Jadi, setibanya di rumah, aku keluar ke pekarangan belakang dan duduk di kursi taman berkisikisi dan berkarat, lalu meneleponnya. Saat itu mendung, hari yang tipikal di Indiana: jenis cuaca yang membuatmu merasa terkungkung. Pekarangan belakang kami yang kecil itu didominasi oleh perangkat ayunan masa kecilku, yang tampak penuh air dan menyedihkan. Augustus mengangkat teleponnya pada dering ketiga. “Hazel Grace,” katanya. “Jadi, selamat menikmati siksaan manis ketika membaca Kemalangan Luar Biasa—” Aku berhenti ketika mendengar sedu sedan hebat di ujung telepon. “Kau baik-baik saja?” tanyaku. “Aku baik-baik saja,” jawab Augustus. “Tapi, aku sedang bersama Isaac, yang tampaknya sedang meluapkan perasaan.” Kembali terdengar raungan. Seperti teriakan kematian hewan yang terluka. Gus mengalihkan perhatiannya kepada Isaac. “Sobat. Sobat. Apakah Hazel dari Kelompok Pendukung akan membuat ini lebih baik atau lebih buruk? Isaac. Berkonsentrasilah. Kepada. Ku.” Setelah semenit, Gus berkata kepadaku, “Bisakah kau menemui kami di rumahku kira-kira dua puluh menit lagi?” “Pasti,” kataku, lalu aku menutup telepon.


Seandainya aku bisa menyetir lurus saja, hanya perlu kira-kira lima menit untuk pergi dari rumahku ke rumah Augustus. Tapi, aku tidak bisa menyetir lurus karena ada Holliday Park di antara kami. Walaupun secara geografis tidak nyaman, aku benar-benar menyukai Holliday Park. Semasa kecil, aku suka mengarungi White River bersama Dad, dan selalu ada momen luar biasa ketika Dad melemparku ke udara, melemparku begitu saja, dan aku akan menjulurkan kedua lenganku ketika terbang melayang, dan Dad akan menjulurkan kedua lengannya, lalu kami berdua akan melihat bahwa lengan kami tidak akan bersentuhan dan tak seorang pun akan menangkapku, dan ini agak menakutkan kami berdua dengan cara yang sangat menyenangkan, lalu tubuhku akan menumbuk air dengan sepasang kaki menggapaigapai, lalu muncul ke permukaan air untuk bernapas tanpa mengalami cedera, dan arus akan membawaku kembali kepada Dad, dan aku berkata, sekali lagi, Daddy, sekali lagi. Aku berhenti di jalanan mobil persis di samping sedan Toyota hitam tua yang kurasa milik Isaac. Seraya menyeret tangki di belakangku, aku berjalan ke pintu. Aku mengetuk. Ayah Gus yang membukakan. “Hazel saja,” katanya. “Senang melihatmu.” “Kata Augustus aku bisa mampir?” “Ya, dia dan Isaac ada di ruang bawah tanah.” Saat itulah terdengar raungan dari bawah. “Itu pasti Isaac,” ujar ayah Gus, lalu dia menggeleng pelan. “Cindy harus menyetir pergi. Suaranya …,” katanya tanpa melanjutkan. “Tapi, kurasa kau diperlukan di ruang bawah. Mau dibawakan, uh, tangkinya?” tanyanya. “Tidak, tidak perlu. Terima kasih, Mr. Waters.” “Mark,” katanya. Aku agaktakut pergi ke bawah sana. Mendengarkan orang melolong dalam penderitaan bukanlah salah satu hiburan favoritku. Tapi, aku turun. “Hazel Grace,” ujar Augustus ketika mendengar suara langkah kakiku. “Isaac, Hazel dari Kelompok Pendukung sedang menuruni tangga. Hazel, sekadar mengingatkan: Isaac sedang mengalami serangan psikotik.” Augustus dan Isaac duduk di lantai, di kursi untuk main game yang berbentuk huruf L malas, menatap televisi raksasa. Layar televisi itu dibelah antara sudut pandang Isaac di sebelah kiri dan sudut pandang Augustus di sebelah kanan. Mereka menjadi serdadu, bertempur di dalam kota modern yang hancur oleh bom. Aku mengenali tempat itu dari Ganjaran Fajar. Ketika mendekat, aku tidak melihat keganjilan apa pun: hanya dua cowok yang duduk di dalam cahaya


temaram televisi besar, berpurapura membunuhi orang. Ketika sudah sejajar dengan mereka, barulah aku melihat wajah Isaac. Air mata terusmenerus membanjiri pipi kemerahannya, wajahnya tegang oleh kepedihan. Dia menatap layar, bahkan tidak melirikku, dan meraung sambil terus menekan alat pengontrolnya. “Apa kabar, Hazel?” tanya Augustus. “Aku baik-baik saja,” jawabku. “Isaac?” Tidak ada jawaban. Sedikit pun tidak ada tandatanda dia menyadari keberadaanku. Hanya ada air mata yang mengaliri wajahnya hingga ke T-Shirt hitamnya. Sekejap Augustus mengalihkan pandangan dari layar televisi. “Kau tampak cantik,” katanya. Aku mengenakan gaun persisdibawahlutut yang sudah lama sekali kumiliki. “Cewek mengira mereka hanya boleh pakai gaun di acara resmi, tapi aku menyukai perempuan yang berkata, kau tahulah, aku hendak menemui cowok yang sedang mengalami gangguan mental, cowok yang hubungannya dengan indra penglihatan itu sendiri sedang rentan, dan peduli setan, aku akan memakai gaun untuknya.” “Tapi,” kataku, “Isaac bahkan tidak mau melirikku. Terlalu mencintai Monica, kurasa.” Dan perkataan ini menimbulkan sedu sedan yang luar biasa. “Topik yang agak peka,” jelas Augustus. “Isaac, aku tidak tahu denganmu, tapi kurasa kita sedang dikepung.” Lalu, dia berkata kepadaku, “Isaac dan Monica sudah putus, tapi Isaac tidak ingin membahasnya. Dia hanya ingin menangis dan memainkan KontraPemberontakan 2: Ganjaran Fajar.” “Baiklah,” kataku. “Isaac, aku semakin mengkhawatirkan posisi kita. Jika kau setuju, pergilah ke stasiun pembangkit listrik itu, dan aku akan melindungimu.” Isaac berlari ke sebuah gedung yang tampak tidak mencolok, sementara Augustus menembakkan senapan mesin secara gilagilaan dalam serangkaian tembakan cepat, seraya berlari di belakangnya. “Bagaimanapun,” kata Augustus kepadaku, “tidak ada salahnya mengajaknya bicara. Mungkin kau punya katakata bijak nasihat perempuan.” “Sesungguhnya menurutku responsnya mungkin sudah tepat,” kataku ketika serangkaian tembakan senapan dari Isaac membunuh musuh yang menjulurkan kepala dari balik terpal terbakar sebuah truk pikap. Augustus mengangguk pada layar. “Kepedihan menuntut untuk dirasakan,” katanya, dan ini kalimat dari Kemalangan Luar Biasa. “Kau yakin tidak ada orang di belakang kita?” tanyanya kepada Isaac. Beberapa saat kemudian, pelurupeluru pencarijejak mulai mendesing di atas kepala mereka. “Oh, sialan,


Isaac,” kata Augustus. “Aku tidak bermaksud mengkritikmu di saat terlemahmu, tapi kau membiarkan kita dikepung, dan kini tidak ada sesuatu pun di antara para teroris dan sekolah itu.” Tokoh yang dimainkan Isaac berlari menyongsong tembakan, berkelakkelok menyusuri gang sempit. “Kau bisa pergi ke jembatan dan memutar kembali,” kataku. Itu taktik yang kuketahui berkat Ganjaran Fajar. Augustus mendesah. “Sayangnya jembatan sudah berada di bawah kendali pemberontak, garagara pengaturan strategi yang patut dipertanyakan dari rekanku yang sedang berduka.” “Aku?” tanya Isaac dengan suara mendesah. “Aku?! Kau yang menyarankan kita untuk berlindung di stasiun pembangkit listrik sialan itu.” Sejenak Gus berpaling dari layar dan mengulaskan senyum miringnya kepada Isaac. “Aku tahu kau bisa bicara, Sobat,” katanya. “Sekarang marilah kita pergi menyelamatkan beberapa murid sekolah fiktif.” Bersamasama mereka berlari menyusuri gang, menembak dan bersembunyi pada saatsaat yang tepat, hingga mencapai gedung sekolah saturuang berlantaisatu itu. Mereka berjongkok di balik dinding di seberang jalan dan menembaki musuh satu per satu. “Mengapa mereka ingin memasuki sekolah itu?” tanyaku. “Mereka menginginkan anakanak itu sebagai sandera,” jawab Augustus. Bahunya meringkuk di atas alat pengontrol, tangannya menekan tomboltombol, lengan bawahnya menegang, uraturatnya tampak jelas. Isaac membungkuk ke arah layar, alat pengontrol menarinari di kedua tangannya yang berjemari kurus. “Rasakan rasakan rasakan,” ujar Augustus. Gelombang teroris berlanjut, dan mereka menghabisi semuanya, tembakantembakan mereka menakjubkan tepatnya, dan memang harus begitu atau tembakan mereka akan mengenai sekolah. “Granat! Granat!” teriak Augustus ketika ada sesuatu yang melayang melintasi layar, melambung di ambang pintu sekolah, lalu bergulir ke pintu. Isaac menjatuhkan alat pengontrolnya dengan kecewa. “Jika bajinganbajingan itu tidak bisa mengambil sandera, mereka akan membunuh mereka begitu saja dan menyatakan kita yang melakukannya.” “Lindungi aku!” ujar Augustus seraya melompat keluar dari balik dinding dan berpacu menuju sekolah. Isaac meraih alat pengontrolnya dan mulai menembak ketika peluru menghujani Augustus, yang tertembak satu kali, lalu dua kali, tapi masih berlari, berteriak, “KALIAN TIDAK BISA MEMBUNUH MAX


MAYHEM!” Dan, lewat penekanan terakhir berbagai tombol, dia menerjang granat itu, yang meledak di bawah tubuhnya. Tubuhnya yang terkoyakkoyak meledak seperti air mancur panas dan layar berubah merah. Sebuah suara parau berkata, “MISI GAGAL,” tapi Augustus seakan berpikir yang sebaliknya ketika dia tersenyum memandangi sisasisa tubuhnya di layar. Dia merogoh saku, mengeluarkan sebatang rokok, lalu menyelipkannya di antara gigi. “Anakanak selamat,” katanya. “Untuk sementara waktu,” kataku. “Semua penyelamatan bersifat sementara,” balas Augustus. “Aku memberi mereka waktu semenit. Mungkin menit itu memberi mereka waktu satu jam, dan jam itu memberi mereka waktu satu tahun. Tak seorang pun akan memberi mereka waktu untuk selamanya, Hazel Grace, tapi hidupku memberi mereka waktu satu menit. Dan itu tidak siasia.” “Whoa, oke,” kataku. “Kita cuma membahas piksel.” Dia mengangkat bahu, seakan percaya kalau permainan itu bisa benar-benar nyata. Isaac kembali meraung. Augustus menyentakkan kepala, kembali memandangnya. “Mau mencoba lagi misinya, Kopral?” Isaac menggeleng. Dia mencondongkan tubuh melewati Augustus untuk memandangku, dan berkata dengan pita suara menegang, “Monica tidak mau melakukannya setelah operasi.” “Dia tidak ingin mencampakkan seorang cowok buta,” kataku. Isaac mengangguk, air matanya lebih menyerupai metronom yang berdetak pelan— teratur, tidak berkesudahan. “Katanya dia tidak sanggup menghadapinya,” ujarnya kepadaku. “Aku yang hendak kehilangan penglihatan, tapi dia yang tidak bisa menghadapinya.” Aku memikirkan kata menghadapi, serta semua hal yang tidak bisa dihadapi, tapi sudah dihadapi. “Aku ikut menyesal,” kataku. Isaac mengusap wajah basahnya dengan lengan baju. Di balik kacamatanya, mata Isaac tampak begitu besar sehingga segala hal lain di wajahnya seakan menghilang, dan hanya mata yang melayanglayang lepas itulah yang menatapku —yang satu asli, yang satunya lagi dari kaca. “Ini tidak bisa diterima,” katanya kepadaku. “Ini benar-benar tidak bisa diterima.” “Wah, untuk adilnya,” kataku, “maksudku, Monica mungkin tidak bisa menghadapinya. Kau juga tidak bisa, tapi dia tidak harus menghadapinya. Sedangkan kau harus.” “Aku terus mengucapkan ‘selalu’ kepadanya hari ini, ‘selalu selalu selalu’,


Click to View FlipBook Version