“Bagus sekali. Juga, jika tidak terlalu merepotkan, harap siapkan eulogi.” “Em,” kataku. “Aku mencintaimu,” katanya. “Aku juga,” jawabku. Lalu, sambungan telepon terputus. “Em,” kataku. “Aku harus pergi ke pertemuan Kelompok Pendukung pukul delapan malam ini. Pertemuan darurat.” Mom membisukan TV. “Semuanya baik-baik saja?” Sedetik aku memandangnya dengan alis terangkat. “Kurasa itu pertanyaan yang berlebihan.” “Tapi, mengapa ada—” “Karena Gus memerlukanku, entah kenapa. Tidak apa-apa. Aku bisa menyetir.” Aku berkutat dengan BiPAP agar Mom mau membantuku melepaskannya, tapi Mom diam saja. “Hazel,” katanya, “aku dan Dad merasa seakan kami jarang melihatmu lagi.” “Terutama aku yang bekerja sepanjang minggu,” ujar Dad. “Dia memerlukanku,” kataku, akhirnya kulepas sendiri BiPAP-nya. “Kami juga memerlukanmu, Nak,” ujar Dad. Dia memegangi pergelangan tanganku, seakan aku anak berusia dua tahun yang hendak melesat ke jalan, lalu mencengkeramnya. “Wah, cobalah menderita penyakit mematikan, Dad, maka aku akan lebih sering berada di rumah.” “Hazel,” kata Mom. “Momlah yang tidak menginginkanku untuk terus menjadi orang rumahan,” kataku kepadanya. Dad masih mencengkeram lenganku. “Dan, kini Mom menginginkan Gus untuk mati saja sehingga aku akan kembali berada di sini, terikat pada tempat ini, membiarkan Mom mengurusiku seperti dulu. Tapi, aku tidak perlu itu, Mom. Aku tidak memerlukan Mom seperti dulu. Mom-lah yang perlu bersenang-senang.” “Hazel!” ujar Dad seraya meremas semakin kencang. “Minta maaflah kepada ibumu.” Aku menarik lengan, tapi Dad tidak mau melepaskanku, dan aku tidak bisa mengambil kanula dengan satu tangan. Ini menjengkelkan. Yang kuinginkan hanyalah Pemogokan Remaja kuno, yaitu aku meninggalkan ruangan dengan marah dan membanting pintu kamar, lalu memutar The Hectic Glow dan menulis eulogi. Tapi aku tidak bisa, karena aku tidak bisa bernapas. “Kanula,” rengekku. “Aku memerlukannya.”
Dad langsung melepaskan lenganku dan cepatcepat menghubungkanku dengan oksigen. Aku bisa melihat perasaan bersalah di matanya, tapi dia masih marah. “Hazel, minta maaflah kepada ibumu.” “Baiklah, maaf, tapi biarkan aku melakukan ini.” Mereka diam saja. Mom hanya duduk di sana dengan kedua lengan terlipat, bahkan tidak memandangku. Setelah beberapa saat, aku bangkit berdiri dan pergi ke kamar untuk menulis mengenai Augustus. Beberapa kali Mom dan Dad berupaya mengetuk pintu kamarku atau apa pun itu, tapi aku hanya mengatakan kalau sedang melakukan sesuatu yang penting. Perlu waktu lama sekali untuk memutuskan apa yang ingin kukatakan, dan bahkan setelah itu pun aku tidak begitu senang dengan tulisanku. Sebelum menyelesaikannya secara teknis, kulihat sudah pukul tujuh lewat empat puluh. Itu berarti aku akan terlambat walaupun tidak berganti pakaian, jadi akhirnya aku mengenakan celana piama katun biru muda, sandal jepit, dan kaus Butler Gus. Aku berjalan keluar kamar dan berupaya untuk berjalan terus melewati mereka, tapi Dad berkata, “Kau tidak bisa meninggalkan rumah tanpa izin.” “Astaga, Dad. Gus ingin aku menulis eulogi untuknya, oke? Aku akan ada di rumah. Setiap. Malam. Dimulai kapan saja dari sekarang, oke?” Perkataan itu akhirnya membungkam mereka. Perlu sepanjang perjalanan untuk menenangkan diri sehubungan masalah dengan orangtuaku. Aku tiba di bagian belakang gereja dan parkir di jalanan mobil semi-melingkar di belakang mobil Augustus. Pintu belakang gereja diganjal batu berukuran sekepalan tangan agar tetap terbuka. Ketika berada di dalam, aku berpikir untuk menggunakan tangga, tapi lalu memutuskan untuk menunggu lift kuno yang berderit itu. Ketika pintu lift terbuka, aku berada di ruangan Kelompok Pendukung, kursi-
kursi diatur membentuk lingkaran yang sama. Tapi, kini aku hanya melihat Gus di kursi roda, dan dia tampak mengerikan kurusnya. Dia menghadapku dari tengah lingkaran. Dia sudah menunggu terbukanya pintu lift itu. “Hazel Grace,” katanya, “kau tampak menggairahkan.” “Aku tahu.” Aku mendengar suara kaki beringsut di pojok gelap ruangan. Isaac berdiri di balik sebuah meja mimbar kecil dari kayu, memegangi meja itu. “Kau mau duduk?” tanyaku kepadanya. “Tidak. Aku hendak mengucapkan eulogiku. Kau terlambat.” “Kau … aku … apa?” Gus mengisyaratkanku untuk duduk. Aku menarik kursi ke tengah lingkaran bersamanya, dan dia memutar kursinya untuk menghadap Isaac. “Aku ingin menghadiri pemakamanku,” kata Gus. “Omongomong, kau mau bicara di pemakamanku?” “Em, tentu saja, ya,” kataku seraya membiarkan kepalaku jatuh ke bahunya. Aku menjulurkan tangan ke punggungnya dan memeluk Gus sekaligus kursi rodanya. Dia meringis. Aku melepaskannya. “Hebat,” katanya. “Aku berharap bisa menghadirinya sebagai hantu, tapi kupikir, untuk sekadar memastikan—wah, aku tidak ingin memintamu secara mendadak, tapi siang ini kupikir aku bisa mengatur prapemakaman, dan kurasa, karena semangatku sedang tinggi, tidak ada lagi waktu seperti sekarang.” “Bagaimana kau bisa ke sini?” tanyaku kepadanya. “Percayakah kau kalau mereka membiarkan pintu terbuka sepanjang malam?” tanya Gus. “Em, tidak,” jawabku. “Sudah kuduga.” Gus tersenyum. “Bagaimanapun, aku tahu ini sedikit menyanjung diri sendiri.” “Hei, kau mencuri eulogiku,” ujar Isaac. “Kalimat pertamaku adalah mengenai betapa kau bajingan yang suka menyanjung diri sendiri.” Aku tertawa. “Oke, oke,” ujar Gus. “Silakan.” Isaac berdeham. “Augustus Waters adalah bajingan yang suka menyanjung diri sendiri. Tapi, kami memaafkannya. Kami memaafkannya bukan karena hatinya baik secara metaforis sekaligus payah secara harfiah, atau karena dia lebih mengetahui cara memegang rokok daripada semua non-perokok dalam sejarah, atau karena dia punya waktu selama delapan belas tahun padahal
seharusnya lebih.” “Tujuh belas,” ujar Gus membetulkan. “Kuanggap kau masih punya sedikit waktu, dasar bajingan penyela. “Sungguh,” lanjut Isaac, “Augustus Waters begitu banyak bicara sehingga dia akan menyelamu di upacara pemakamannya sendiri. Dan, dia sangat sok: Demi Yesus Kristus, anak itu tidak pernah buang air kecil tanpa merenungkan betapa berlimpahnya gaung metaforis produksi limbah manusia. Dan dia sangat membanggakan ketampanannya: aku yakin aku belum pernah menjumpai orang yang lebih menarik secara fisik dan lebih menyadari daya tarik fisiknya sendiri daripada dia. “Tapi sungguh: Ketika para ilmuwan dari masa depan muncul di rumahku dengan membawa mata robot dan memintaku untuk mengenakannya, akan kuusir semua ilmuwan itu karena aku tidak ingin melihat dunia tanpa Augustus.” Saat itu aku mulai menangis. “Lalu, setelah menjelaskan maksudku secara retorik, aku akan mengenakan mata robotku, karena, maksudku, dengan mata robot kau mungkin bisa melihat menembus kaus cewek-cewek dan sebagainya. Augustus, Sobatku, semoga beruntung.” Augustus mengangguk sejenak dengan bibir mengerut, lalu mengacungkan jempol kepada Isaac. Setelah memulihkan ketenangan, dia mengimbuhkan, “Aku akan memangkas kalimat mengenai melihat menembus kaus cewekcewek.” Isaac masih memegangi meja mimbar. Dia mulai menangis. Dia menekankan kening di meja mimbar dan aku menyaksikan bahunya bergetar, lalu akhirnya dia berkata, “Sialan, Augustus, kau menyunting eulogimu sendiri.” “Jangan menyumpah di Jantung Harfiah Yesus,” ujar Gus. “Sialan,” ulang Isaac. Dia mengangkat kepala dan menelan ludah. “Hazel, kau bisa membantuku?” Aku lupa kalau dia tidak bisa berjalan kembali sendiri ke lingkaran itu. Aku bangkit berdiri, meletakkan tangan di lengan Isaac, dan menuntunnya kembali perlahan-lahan ke kursi di samping Gus, tempat yang tadi kududuki. Lalu, aku berjalan ke podium dan membuka lipatan kertas yang berisikan eulogiku. “Namaku Hazel. Augustus Waters adalah cinta tragis terbesarku dalam hidup. Kisah cinta kami epik, dan aku tidak akan bisa mengucapkan lebih dari satu kalimat mengenainya tanpa tenggelam dalam genangan air mata. Gus tahu. Gus tahu. Aku tidak akan menceritakan kisah cinta kami karena—sama seperti semua
kisah cinta yang nyata—kisah itu akan mati bersama kami, dan itu memang sudah seharusnya. Tadinya kuharap dia akan mengucapkan eulogi untukku, karena tidak ada orang lain yang lebih kuinginkan ....” Aku mulai menangis. “Oke, aku tidak akan menangis. Aku—oke. Oke.” Aku menghela napas beberapa kali dan kembali pada tulisanku. “Aku tidak bisa membicarakan kisah cinta kami, jadi aku akan bicara mengenai matematika. Aku bukan ahli matematika, tapi aku tahu ini: Ada bilangan-bilangan tak terhingga antara 0 dan 1. Ada 0,1 dan 0,12 dan 0,112 serta sekumpulan bilangan tak terhingga lainnya. Tentu aja ada serangkaian bilangan tak terhingga yang lebih besar antara 0 dan 2, atau antara 0 dan sejuta. Beberapa ketakterhinggaan lebih besar daripada ketakterhinggaan lainnya. Seorang penulis yang dulu kami sukai mengajarkan hal itu kepada kami. Ada hari, ada banyak hari, ketika aku membenci ukuran rangkaian bilangan tak terhinggaku. Aku menginginkan lebih banyak bilangan daripada yang kemungkinan besar akan kuperoleh. Dan betapa aku menginginkan lebih banyak bilangan untuk Augustus Waters daripada yang diperolehnya. Tapi Gus, Cintaku, tidak bisa kukatakan kepadamu betapa bersyukurnya aku atas ketakterhinggaan kecil kami. Aku tidak akan mau menukarnya dengan seluruh dunia. Kau telah memberiku ‘selamanya’ di dalam hari-hari yang terbatas, dan aku berterima kasih.”[]
Bab Dua Puluh Satu Augustus Waters meninggal delapan hari setelah pra-pemakamannya, di Memorial, di ICU, ketika kankernya, yang merupakan bagian dari dirinya, akhirnya menghentikan jantungnya, yang juga merupakan bagian dari dirinya. Dia meninggal dengan ditemani ayah, ibu, dan kedua kakak perempuannya. Ibunya meneleponku pukul tiga lewat tiga puluh pagi. Tentu saja aku tahu Gus sudah tiada. Aku bicara dengan ayahnya sebelum pergi tidur, dan dia berkata, “Mungkin malam ini.” Tapi tetap saja, ketika aku meraih telepon dari nakas dan melihat Ibu Gus di ID penelepon, segala sesuatu di dalam diriku runtuh. Ibunya hanya menangis di ujung lain telepon, dan dia mengucapkan penyesalannya, dan aku juga mengucapkan penyesalanku, dan dia mengatakan bahwa Gus tidak sadarkan diri beberapa jam sebelum meninggal. Lalu orangtuaku masuk, tampak penuh harap, dan aku hanya mengangguk, dan mereka saling berpelukan, pasti merasakan kengerian yang sama yang pada saatnya nanti akan menghampiri mereka secara langsung. Aku menelepon Isaac.Dia menyumpahi kehidupan dan Tuhan sendiri, dan mengatakan di mana pialapiala keparat yang bisa dihancurkan itu ketika sedang diperlukan, lalu kusadari tidak ada lagi orang yang harus ditelepon, dan inilah
yang paling menyedihkan. Satu-satunya orang yang ingin kuajak bicara mengenai kematian Augustus Waters adalah Augustus Waters. Orangtuaku tetap berada di kamarku untuk waktu yang sangat lama, hingga pagi dan akhirnya Dad berkata, “Kau ingin sendirian?” Aku mengangguk dan Mom berkata, “Kami akan berada tepat di luar pintu.” Aku berpikir, itu tidak kuragukan lagi. Rasanya tak tertahankan. Seluruhnya. Setiap detik lebih buruk daripada detik yang baru berlalu. Aku terus-menerus berpikir hendak menelepon Gus, bertanyatanya apa yang akan terjadi, apakah seseorang akan menjawab telepon itu. Selama minggu-minggu terakhir itu, kami terpaksa mengurangi kebersamaan kami dengan saling mengenang, dan itu bukannya tidak berarti. Kini kenikmatan mengenang itu telah direnggut dariku, karena tidak ada lagi orang yang bisa diajak saling mengenang. Rasanya seakan kehilangan temanmengenang berarti kehilangan kenangan itu sendiri, seakan segala hal yang telah kami lakukan menjadi kurang nyata dan kurang penting dibandingkan dengan berjam-jam sebelumnya. Ketika kau masuk ke UGD, salah satu hal yang mereka minta untuk kau lakukan adalah menilai rasa sakitmu dengan skala satu sampai sepuluh, dan dari sana mereka akan memutuskan obat mana yang harus digunakan dan seberapa cepat
penggunaannya. Aku sudah menerima pertanyaan ini ratusan kali selama bertahun-tahun, dan aku ingat dulu sekali, ketika aku tidak bisa bernapas dan rasanya seakan dadaku terbakar, dengan lidah-lidah api menjilati bagian dalam tulang-tulang rusukku, mencari jalan untuk membakar tubuhku, sehingga orangtuaku membawaku ke UGD. Seorang suster menanyaiku mengenai rasa sakitnya, dan aku bahkan tidak bisa bicara, sehingga mengacungkan sembilan jari. Belakangan, setelah mereka memberiku sesuatu, suster itu masuk dan sedikit mengelus-elus tanganku ketika mengukur tekanan darahku, dan dia berkata, “Kau tahu bagaimana aku bisa tahu bahwa kau se-orang petarung? Kau menyebut angka sepuluh sebagai sembilan.” Tapi, itu tidak begitu benar. Aku menyebut skala rasa sakitnya sembilan karena aku menyimpan angka sepuluhku. Dan inilah dia, angka sepuluh yang besar dan mengerikan itu, menghantamku berulang kali ketika aku berbaring diam dan sendirian di ranjang, menatap langit-langit, gelombang-gelombangnya melemparkanku membentur batu-batu, lalu menarikku kembali ke lautan sehingga mereka bisa melemparkanku lagi ke permukaan tebing yang bergerigi, meninggalkanku mengapung telentang di atas air, tapi tidak tenggelam. Akhirnya, aku benar-benar menelepon Gus. Ponselnya berdering lima kali, lalu masuk ke pesan suara. “Kau menghubungi pesan suara Augustus Waters,” katanya dengan suara nyaring yang telah membuatku jatuh cinta. “Tinggalkan pesan.” Lalu, terdengar bunyi bip. Udara hening di saluran telepon itu begitu mengerikan. Aku hanya ingin kembali bersamanya ke ruang ketiga rahasia di luar bumi itu, ruang yang kami kunjungi ketika bicara di telepon. Aku menunggu, tapi perasaan itu tidak pernah datang: Udara mati di saluran telepon itu tidak memberikan penghiburan, dan akhirnya aku menutup telepon. Aku mengambil laptop dari bawah ranjang, menyalakannya, dan masuk ke halaman dinding Gus. Di sana ucapan turut berdukacita sudah membanjir masuk. Yang terbaru mengatakan: Aku mencintaimu, Sobat. Sampai jumpa di sisi lain. … Ditulis oleh seseorang yang belum pernah kudengar namanya. Sesungguhnya hampir semua tulisan di dinding Gus, yang muncul hampir secepat kemampuanku membaca, ditulis oleh orang-orang yang belum pernah kujumpai dan yang tidak pernah dibicarakan oleh Gus, orang-orang yang
memuji berbagai kebajikan Gus, kini setelah dia meninggal, walaupun sesungguhnya aku tahu bahwa mereka sudah berbulan-bulan tidak menengok Gus dan tidak berupaya menengoknya. Aku bertanya-tanya apakah dindingku akan tampak seperti ini jika aku mati, atau apakah aku sudah terputus dari sekolah dan kehidupan cukup lama sehingga bisa menghindari kenangankenangan yang meluas ini. Aku terus membaca. Aku sudah merindukanmu, Sobat. Aku mencintaimu, Augustus Waters. Tuhan memberkati dan menjagamu. Kau akan hidup untuk selamanya di dalam hati kami, Cowok Hebat. (Ini sangat menyakitkanku, karena menyiratkan kekekalan mereka yang ditinggalkan: Kau akan hidup untuk selamanya di dalam ingatan kami, karena aku akan hidup untuk selamanya! AKULAH TUHANMU SEKARANG, COWOK MATI! KAU MILIKKU! Mengira kau tidak akan mati adalah efek samping yang lain lagi dari sekarat.) Kau selalu teman yang hebat, maaf aku tidak lebih sering menengokmu setelah kau meninggalkan sekolah, Sobat. Aku yakin kau sudah bermain basket di surga. Aku membayangkan analisis Augustus Waters atas komentar itu: Seandainya aku bermain basket di surga, apakah itu menyiratkan adanya lokasi fisik surga yang berisikan bola-bola basket fisik? Siapa yang membuat bola-bola basket itu? Adakah jiwa-jiwa kurang beruntung di surga yang bekerja di pabrik bola basket surgawi sehingga aku bisa bermain basket? Atau, apakah Tuhan yang mahakuasa menciptakan bola-bola basket dari kehampaan ruang? Apakah surga ini berada dalam sejenis alam semesta yang tidak bisa diamati, tempat hukum fisika tidak berlaku dan, jika demikian, mengapa pula aku bermain basket, ketika aku bisa terbang atau membaca atau memandangi orang-orang cantik atau sesuatu yang lain yang benar-benar kunikmati? Rasanya caramu membayangkan diriku yang mati ini berkata lebih banyak mengenai dirimu daripada mengenai siapa aku dulunya atau apa pun diriku sekarang.
Orangtua Gus menelepon sekitar tengah hari untuk mengabarkan bahwa upacara pemakaman akan dilangsungkan lima hari lagi, pada hari Sabtu. Aku membayangkan sebuah gereja penuh orang yang mengira Gus menyukai basket, dan aku ingin muntah, tapi aku tahu aku harus pergi, karena aku akan bicara dan lain sebagainya. Setelah menutup telepon, aku kembali membaca dinding Gus: Baru saja mendengar bahwa Gus Waters meninggal setelah pertempuran panjang melawan kanker. Beristirahatlah dalam damai, Sobat. Aku tahu orang-orang ini benar-benar berduka, dan aku tidak benar-benar marah kepada mereka. Aku marah pada alam semesta. Walaupun begitu, ini membuatku marah: Kau mempunyai semua teman ini, persis ketika kau sudah tidak memerlukan mereka lagi. Kutulis respons atas komentar itu: Kita hidup di alam semesta yang membaktikan diri pada penciptaan dan penghapusan kesadaran. Augustus Waters tidak meninggal setelah pertempuran panjang melawan kanker. Dia meninggal setelah pertempuran panjang mempertahankan kesadaran, menjadi korban—seperti juga kalian semua nantinya —dari kebutuhan alam semesta untuk menciptakan dan membatalkan segala yang mungkin. Aku mengirim komentar itu dan menunggu seseorang untuk menjawab, berulang kali mengecek. Tidak ada apa-apa. Komentarku hilang dalam serbuan komentarkomentar baru. Semua orang akan sangat merindukan Gus. Semua orang mendoakan keluarga Gus. Aku ingat surat Van Houten: Menulis tidak membangkitkan, tetapi menguburkan.
Setelah beberapa saat, aku keluar ke ruang duduk untuk menonton TV bersama orangtuaku. Aku tidak bisa mengatakan acara apa itu, tapi setelah beberapa saat Mom berkata, “Hazel, apa yang bisa kami lakukan untukmu?” Dan aku hanya menggeleng, mulai menangis lagi. “Apa yang bisa kami lakukan?” ulang Mom. Aku mengangkat bahu. Tapi Mom terus bertanya, seakan ada sesuatu yang bisa dilakukannya, sampai akhirnya aku hanya merangkak di sofa menuju pangkuannya, lalu Dad datang dan memegangi kedua kakiku erat-erat, dan aku merangkulkan lenganku di perut Mom, dan mereka memegangiku selama berjam-jam saat air pasang bergulunggulung naik.[]
Bab Dua Puluh Dua Ketika kami baru tiba di sana, aku duduk di bagian belakang ruang kunjungan, sebuah ruangan kecil berdinding batu telanjang di samping ruang suci di Jantung Harfiah Yesus. Ada sekitar delapan puluh kursi yang diatur di dalam ruangan, dua pertiganya penuh, tapi yang terasa adalah kekosongan sepertiganya. Selama beberapa saat aku hanya mengamati orang-orang berjalan ke peti mati yang diletakkan di atas semacam kereta berlapis taplak ungu. Semua orang yang belum pernah kulihat sebelumnya ini akan berlutut di samping Gus atau berdiri menjulang di hadapannya dan memandanginya selama beberapa saat, mungkin menangis, mungkin mengucapkan sesuatu, lalu mereka semua akan menyentuh peti mati itu alih-alih menyentuh Gus, karena tak seorang pun mau menyentuh orang mati. Ibu dan ayah Gus berdiri di samping peti mati, memeluk semua orang yang lewat. Tapi ketika melihatku, mereka tersenyum dan beringsut. Aku bangkit berdiri dan memeluk ayah Gus terlebih dahulu, lalu ibunya— yang memelukku erat-erat seperti Gus dulu, meremas sepasang tulang belikatku. Mereka berdua tampak begitu tua—dengan rongga mata cekung dan kulit mengendur dari wajah lelah mereka. Mereka juga telah mencapai akhir dari perlombaan lari gawang.
“Dia sangat mencintaimu,” ujar ibu Gus. “Sungguh. Itu bukan—cinta monyet atau apa,” imbuhnya, seakan aku tidak tahu itu. “Dia juga sangat mencintai kalian,” ujarku pelan. Sulit untuk dijelaskan, tapi bicara dengan mereka rasanya seakan menusuk dan ditusuk. “Turut berdukacita,” kataku. Lalu, orangtuanya bicara dengan orangtuaku—percakapan itu hanya berupa anggukan dan bibir terkatup. Aku mendongak memandang peti mati itu dan melihat tidak adanya seseorang di dekat sana, sehingga kuputuskan untuk berjalan ke sana. Aku menarik selang oksigen dari lubang hidung dan melepas selang itu lewat atas kepala, lalu menyerahkannya kepada Dad. Aku ingin hanya ada aku dan Gus. Aku meraih tas-genggam kecilku dan berjalan ke lorong yang tercipta di antara barisan-barisan kursi. Perjalanan itu terasa panjang, tapi aku terus meminta paru-paruku untuk diam, mengatakan bahwa mereka kuat dan bisa melakukan hal ini. Aku bisa melihat Gus ketika aku semakin dekat: Rambutnya dibelah rapi di sisi kiri kepalanya dengan cara yang pasti akan dianggapnya teramat sangat mengerikan. Dan, wajahnya dirias. Tapi, dia masih Gus. Gusku yang kerempeng dan rupawan. Tadinya aku ingin mengenakan gaun hitam mini yang kubeli untuk pesta ulang tahun kelima belasku dulu, gaun kematianku, tapi gaun itu sudah tidak muat lagi, jadi aku mengenakan gaun hitam sederhana selutut. Augustus mengenakan setelan jas berkerah tipis yang dikenakannya ke Oranjee. Ketika berlutut, kusadari bahwa mereka telah memejamkan mata Gus—tentu saja mereka melakukan hal itu—dan aku tidak akan pernah lagi melihat mata birunya. “Aku mencintaimu sampai kini,” bisikku, lalu aku meletakkan sebelah tanganku di tengah dadanya dan berkata, “Tidak apa-apa, Gus. Tidak apa-apa. Sungguh. Tidak apa-apa. Kau dengar aku?” Aku sama sekali tidak yakin dia bisa mendengarku. Aku mencondongkan tubuh ke depan dan mencium pipinya. “Oke,” kataku. “Oke.” Mendadak aku menyadari kehadiran semua orang yang menyaksikan kami, menyadari bahwa terakhir kalinya ada begitu banyak orang yang menyaksikan kami berciuman adalah di Rumah Anne Frank. Tapi, sebenarnya tidak ada lagi “kami” yang bisa disaksikan. Yang ada hanyalah aku. Akumembukatas-genggam,merogohkedalamnya, dan mengeluarkan sebungkus rokok Camel Lights. Dengan gerakan cepat yang kuharap tidak akan diperhatikan oleh siapa pun di belakangku, kuselipkan bungkus rokok itu ke dalam ruang di antara sisi tubuh Gus dan lapisan perak mengilat peti mati itu.
“Kau bisa menyalakannya,” bisikku kepadanya. “Aku tidak akan keberatan.” Sementara aku bicara dengan Gus, Mom dan Dad sudah berpindah ke barisan kursi kedua bersama tangkiku, sehingga aku tidak perlu menempuh perjalanan kembali yang panjang. Dad memberiku tisu ketika aku duduk. Aku membuang ingus, memasang selang mengelilingi telinga, dan meletakkan kembali ujungujung selang di lubang hidungku. Kupikir kami akan masuk ke ruang suci yang sebenarnya untuk menyelenggarakan upacara pemakaman yang sesungguhnya, tapi semuanya itu terjadi di ruang samping kecil itu—Tangan Harfiah Yesus kurasa, bagian dari salib tempat sebelah tangan Yesus dipakukan. Seorang pendeta berjalan ke depan dan berdiri di balik peti, seakan peti itu meja mimbar atau semacamnya, dan bicara sedikit mengenai betapa Augustus bertempur dengan berani dan betapa keberaniannya menghadapi penyakit menjadi inspirasi bagi kami semua, dan aku sudah mulai jengkel terhadap pendeta itu ketika dia berkata, “Di surga, akhirnya Augustus akan sembuh dan utuh.” Ini menyiratkan bahwa Augustus kurang utuh jika dibandingkan dengan orang lain, gara-gara ketidakadaan sebelah kakinya, dan aku sedikit tidak bisa menahan desah kejijikanku. Dad memegangi kakiku persis di atas lutut dan memandangku dengan tidak setuju, tapi dari barisan di belakangku, seseorang bergumam nyaris tidak terdengar di dekat telingaku, “Omong kosong macam apa itu, eh, Nak?” Aku berputar. Peter Van Houten mengenakan setelan jas linen putih yang dijahit khusus dengan mempertimbangkan kebulatan tubuhnya, kemeja biru muda, dan dasi hijau. Dia tampak seakan berpakaian untuk masa pendudukan kolonial Panama, alih-alih upacara pemakaman. Pendeta itu berkata, “Mari kita berdoa.” Tapi, ketika semua orang lainnya menundukkan kepala, aku hanya bisa menatap Peter Van Houten dengan ternganga. Sejenak kemudian, dia berbisik, “Kita harus
pura-pura berdoa,” lalu menundukkan kepala. Aku berupaya melupakannya dan hanya berdoa untuk Augustus. Aku berupaya mendengarkan pendeta itu dan tidak menoleh ke belakang. Pendeta itu memanggil Isaac—yang jauh lebih serius daripada ketika berada di pra-pemakaman. “Augustus Waters adalah Walikota dari Kota Rahasia Kankervania, dan dia tidak tergantikan,” kata Isaac memulai. “Orang lain pasti bisa menceritakan kisahkisah lucu mengenai Gus kepada kalian, karena dia cowok yang lucu, tapi biarlah kuceritakan kisah yang serius. Suatu hari setelah mataku diambil, Gus muncul di rumah sakit. Aku buta, patah hati, dan tidak ingin melakukan sesuatu pun, tapi Gus masuk ke kamarku dan berteriak, ‘Aku punya berita hebat!’ Dan aku berkata, ‘Saat ini aku tidak begitu ingin mendengar berita hebat,’ dan Gus berkata, ‘Ini berita hebat yang pasti ingin kau dengar,’ dan aku bertanya kepadanya, ‘Baiklah, berita apa itu?’ dan dia berkata, ‘Kau akan menjalani kehidupan yang panjang dan menyenangkan, penuh momen indah dan mengerikan yang belum bisa kau bayangkan!’” Isaac tidak bisa melanjutkan, atau mungkin hanya itu yang ditulisnya. Setelah seorang teman SMU menceritakan beberapa kisah mengenai talenta basket Gus yang besar dan banyak keunggulannya sebagai teman satu tim, pendeta itu berkata, “Kini kita akan mendengar beberapa patah kata dari teman istimewa Augustus, Hazel.” Teman istimewa? Beberapa orang kudengar tertawa tertahan, jadi kupikir aman bagiku untuk memulai dengan berkata kepada pendeta itu, “Aku pacarnya.” Ini menimbulkan tawa. Lalu, aku mulai membaca eulogi yang sudah kusiapkan. “Ada kutipan hebat di rumah Gus, aku dan Gus sama-sama menganggapnya sangat menghibur: Tanpa penderitaan, kita tidak bisa mengenal kebahagiaan.” Aku melanjutkan dengan mengucapkan Penguatan-Penguatan omong kosong ketika orangtua Gus, yang bergandengan tangan, saling berpelukan dan
mengangguk mendengar setiap kata yang kuucapkan. Aku telah memutuskan bahwa upacara pemakaman adalah untuk mereka yang masih hidup. Setelah kakak perempuan Gus, Julie, bicara, upacara berakhir dengan doa mengenai persatuan Gus dengan Tuhan, dan aku teringat pada apa yang dikatakan Gus di Oranjee, bahwa dia tidak memercayai rumah gedung dan harpa, tapi memercayai Sesuatu dengan huruf S besar. Jadi ketika kami berdoa, aku berupaya membayangkannya berada di Suatu-tempat dengan huruf S besar. Tapi, bahkan saat itu pun aku tidak bisa terlalu meyakinkan diriku sendiri bahwa aku dan dia akan bersatu kembali. Aku sudah mengenal terlalu banyak orang mati. Aku tahu bahwa kini waktu akan berlalu dengan cara yang berbeda bagiku dan baginya—bahwa aku, sama seperti semua orang lainnya di dalam ruangan itu, akan terus mengumpulkan cinta dan kehilangan, sementara Gus tidak. Dan bagiku, inilah tragedi terakhir yang benar-benar tak tertanggungkan: Sama seperti semua orang mati yang tak terhitung jumlahnya, Gus telah diturunkan statusnya sekali dan untuk selamanya dari dihantui menjadi menghantui. Lalu, salah seorang kakak ipar Gus meletakkan boom box dan memainkan lagu yang telah dipilih oleh Gus—lagu tenang dan sedih dari The Hectic Glow yang berjudul The New Partner. Sejujurnya aku hanya ingin pulang. Aku nyaris tidak mengenal semua orang ini, dan kurasakan tatapan mata kecil Peter Van Houten menusuk tulang belikatku yang terbuka. Tapi, setelah lagu itu berakhir, semua orang datang kepadaku dan mengatakan aku telah bicara begitu indah, dan itu upacara yang indah. Semuanya itu kebohongan: Itu upacara pemakaman. Itu menyerupai semua upacara pemakaman lainnya. Para pengusung peti Gus—sepupu-sepupu, ayahnya, seorang paman, temanteman yang belum pernah kulihat—datang dan mengangkut Gus, dan mereka semua mulai berjalan menuju mobil jenazah. Ketika aku, Mom, dan Dad sudah berada di dalam mobil, aku berkata, “Aku
tidak mau pergi. Aku lelah.” “Hazel,” kata Mom. “Mom, tidak akan ada tempat untuk duduk dan akan berlangsung lama sekali dan aku lelah.” “Hazel, kita harus pergi demi Mr. dan Mrs. Waters,” ujar Mom. “Tapi ....” kataku. Entah kenapa aku merasa begitu kecil di kursi belakang. Aku memang ingin menjadi kecil. Aku ingin menjadi seperti anak berusia enam tahun atau semacamnya. “Baiklah,” kataku. Aku hanya menatap ke luar jendela selama beberapa saat. Aku benar-benar tidak ingin pergi. Aku tidak ingin melihat mereka menurunkan Gus ke dalam tanah, di tempat yang telah dipilihnya bersama ayahnya; aku tidak ingin melihat orangtuanya jatuh berlutut di atas rumput yang dibasahi embun dan mengerang sedih; aku tidak ingin melihat perut alkoholik Peter Van Houten meregang di balik jaket linennya; aku tidak ingin menangis di hadapan segerombolan orang; aku tidak ingin melemparkan segenggam tanah ke atas makam Gus; dan aku tidak ingin orangtuaku berdiri di sana di bawah langit biru cerah dengan kemiringan tertentu cahaya siang, memikirkan hari mereka, anak mereka, petak tanahku, peti matiku, dan tanahku. Tapi,akumelakukansemuanyaini.Akumelakukan semuanya ini dan, yang lebih buruk lagi, karena Mom dan Dad merasa kami harus melakukannya. Setelah semuanya itu berakhir, Van Houten berjalan menghampiriku, meletakkan sebelah tangan gemuknya di bahuku, dan berkata, “Bisa menumpang? Aku meninggalkan mobil sewaanku di kaki bukit.” Aku mengangkat bahu, dan dia membuka pintu belakang persis ketika Dad membuka pintu depan mobil. Di dalam mobil, Van Houten mencondongkan tubuh di antara dua kursi depan dan berkata, “Peter Van Houten: Novelis Emeritus dan Tukang Bikin
Kecewa Semiprofesional.” Orangtuaku memperkenalkan diri. Van Houten menjabat tangan mereka. Aku cukup terkejut karena Peter Van Houten terbang melintasi setengah dunia untuk menghadiri sebuah pemakaman. “Bagaimana kau bisa—” kataku memulai, tapi dia menyelaku. “Aku menggunakan Internet mengerikan kalian untuk mengikuti pengumuman-pengumuman obituarium Indianapolis.” Dia merogoh setelan jas linennya dan mengeluarkan botol yang seperlimanya berisi wiski. “Dan kau membeli tiket begitu saja dan—” Dia kembali menyela seraya membuka tutup botolnya. “Harganya lima belas ribu untuk tiket first class, tapi modalku cukup untuk menuruti keinginankeinginan semacam itu. Dan, minumannya gratis di pesawat. Jika kau ambisius, bisa nyaris impas.” Van Houten meneguk wiski, lalu mencondongkan tubuh ke depan untuk menawarkannya kepada Dad, yang berkata, “Em, tidak, terima kasih.” Lalu, Van Houten mengangsurkan botol itu ke arahku. Aku meraihnya. “Hazel,” ujar Mom, tapi aku membuka tutup botol itu dan meneguk. Minuman itu membuat perutku terasa seperti paru-paruku. Kuserahkan botol itu kembali kepada Van Houten, yang meneguk panjang lalu berkata, “Jadi. Omnis cellula e cellula.” “Hah?” “Aku dan cowokmu, Waters, sedikit berkorespondensi, dan dalam—” “Tunggu, kini kau membaca surat dari penggemarmu?” “Tidak, dia mengirimkannya ke rumahku, bukan lewat penerbitku. Dan, aku nyaris tidak bisa menyebutnya penggemar. Dia membenciku. Tapi, tetap saja dia ngotot bahwa aku bisa menebus perilaku burukku jika menghadiri upacara pemakamannya dan menceritakan kepadamu apa yang terjadi kepada ibu Anna. Jadi, di sinilah aku berada, dan inilah jawabanmu: Omnis cellula e cellula.” “Apa?” ulangku. “Omnis cellula e cellula,” ulangnya. “Semua sel berasal dari sel. Semua sel dilahirkan dari sel terdahulu, yang dilahirkan dari sel terdahulu. Kehidupan berasal dari kehidupan. Kehidupan menciptakan kehidupan menciptakan kehidupan menciptakan kehidupan menciptakan kehidupan.” Kami mencapai dasar bukit. “Oke, ya,” kataku. Aku sedang tidak menginginkan ini. Peter Van Houten tidak akan membajak upacara pemakaman Gus. Aku tidak akan membiarkannya. “Terima kasih,” kataku. “Wah, kurasa kita
sudah berada di dasar bukit.” “Kau tidak menginginkan penjelasan?” tanyanya. “Tidak,” jawabku. “Aku baik-baik saja. Kurasa kau pecandu alkohol menyedihkan yang mengucapkan hal-hal yang gaya untuk menarik perhatian, sama seperti anak berusia sebelas tahun yang terlalu cepat dewasa, dan aku sangat mengasihanimu. Tapi ya, tidak, kau bukan lagi lelaki yang menulis Kemalangan Luar Biasa, jadi kau tidak bisa menciptakan sekuelnya, walaupun kau ingin berbuat begitu. Tapi, terima kasih. Semoga hidupmu menyenangkan.” “Tapi—” “Terima kasih untuk minumannya,” kataku. “Kini keluarlah dari mobil.” Van Houten tampak marah. Dad telah menghentikan mobil dan kami hanya diam saja di sana, di bawah makam Gus, selama semenit, hingga Van Houten membuka pintu dan, akhirnya diam, pergi. Ketikamobilkamimulaiberjalan,akumenyaksikan lewat jendela belakang ketika Van Houten minum dan mengangkat botol ke arahku, seakan bersulang untukku. Matanya tampak begitu sedih. Sejujurnya aku agak mengasihaninya. Akhirnya, kami tiba di rumah sekitar pukul enam, dan aku kelelahan. Aku hanya ingin tidur, tapi Mom menyuruhku makan sedikit pasta berkeju, walaupun setidaknya dia membiarkanku menyantapnya di atas ranjang. Aku tidur dengan BiPAP selama beberapa jam. Bangun tidur rasanya mengerikan, karena sesaat aku kebingungan dan merasa seakan segalanya baik-baik saja, lalu hal itu kembali menghancurkanku. Mom melepas BiPAP-ku, aku menghubungkan diriku sendiri dengan tangki portabel, lalu berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Seraya mengamati diriku sendiri di cermin ketika menggosok gigi, aku terusmenerus memikirkan adanya dua jenis orang dewasa: Ada sejenis Peter Van
Houten—makhluk menyedihkan yang menjelajahi bumi untuk mencari sesuatu yang bisa dilukai. Lalu, ada yang seperti orangtuaku, yang berjalan berkeliling seperti zombie, melakukan segala yang harus mereka lakukan agar bisa tetap berjalan berkeliling. Menurutku kedua masa depan ini sama-sama tidak menyenangkan. Bagiku, tampaknya aku sudah melihat segala yang murni dan emas di dunia, dan aku mulai curiga bahwa, seandainya pun kematian tidak menghalangi, jenis cinta yang kualami bersama Augustus Waters tidak akan pernah bertahan. Maka fajar turun menjadi hari, tulis sang penyair. Tiada emas yang abadi. Seseorang mengetuk pintu kamar mandi. “Ada orangnya,” kataku. “Hazel,” kata Dad. “Bisa masuk?” Aku tidak menjawab, tapi setelah beberapa saat aku membuka pintu. Aku duduk di tutup kloset yang diturunkan. Mengapa bernapas saja begitu sulit? Dad berlutut di sebelahku. Dia meraih kepalaku dan meletakkannya di atas tulang belikatnya, dan dia berkata, “Aku menyesal Gus meninggal.” Aku merasa agak sesak napas gara-gara Tshirt Dad, tapi terasa nyaman dipeluk sebegitu eratnya, ditekankan ke dalam aroma nyaman ayahku. Rasanya seakan dia marah atau apa, dan aku suka itu, karena aku juga marah. “Benar-benar omong kosong,” katanya. “Segalanya. Peluang hidup delapan puluh persen dan dia termasuk yang dua puluh persen? Omong kosong. Dia anak yang begitu cerdas. Ini omong kosong. Aku benci omong kosong itu. Tapi, bisa mencintainya memang merupakan keistimewaan, hah?” Aku mengangguk di kaus Dad. “Itu memberimu gagasan mengenai bagaimana perasaanku terhadapmu,” katanya. Ayahku tercinta. Dia selalu tahu persis apa yang harus diucapkan.[]
Bab Dua Puluh Tiga Beberapa hari kemudian, aku bangun sekitar tengah hari dan menyetir mobil ke rumah Isaac. Dia sendiri yang membukakan pintu. “Ibuku mengajak Graham ke bioskop,” katanya. “Kita harus pergi melakukan sesuatu,” kataku. “Bisakah sesuatu itu berupa permainan video cowok buta sambil duduk di sofa?” “Ya, itu memang jenis sesuatu yang kupikirkan.” Jadi, kami duduk di sana selama beberapa jam, bicara pada layar bersama-sama, menjelajahi gua berupa labirin yang tak terlihat tanpa sedikit pun berkas cahaya. Sejauh ini, bagian yang paling menghibur dari permainan ini adalah berupaya agar komputer melakukan percakapan lucu dengan kami: Aku: “Sentuh dinding gua.” Komputer: “Kau menyentuh dinding gua. Lembap.” Isaac: “Jilati dinding gua.” Komputer: “Aku tidak mengerti. Ulangi?” Aku: “Umpat dinding gua lembapnya.” Komputer: “Kau berupaya melompat. Kepalamu tertumbuk.” Isaac: “Bukan lompat. UMPAT.” Komputer: “Aku tidak mengerti.” Isaac: “Sobat, sudah berminggu-minggu aku sendirian dalam kegelapan di gua ini dan aku perlu semacam pelepasan. UMPAT DINDING GUANYA.” Komputer: “Kau berupaya melom—” Aku: “Sorongkan pinggul ke dinding gua.” Komputer: “Aku tidak—” Isaac: “Bercinta dengan
gua.” Komputer: “Aku tidak—” Aku: “BAIKLAH. Ikuti percabangan ke kiri.” Komputer: “Kau mengikuti percabangan ke kiri. Lorongnya sempit.” Aku: “Merangkak.” Komputer: “Kau merangkak sejauh seratus meter. Lorongnya sempit.” Aku: “Merayap seperti ular.” Komputer: “Kau merayap seperti ular sejauh tiga puluh meter. Tetesan air membasahi tubuhmu. Kau mencapai gundukan kerikil yang menghalangi jalan.” Aku: “Bisakah aku mengumpat guanya sekarang?” Komputer: “Kau tidak bisa melompat tanpa berdiri.” Isaac: “Aku tidak suka hidup di dunia tanpa Augustus Waters.” Komputer: “Aku tidak mengerti—” Isaac: “Aku juga. Berhenti.” Isaac menjatuhkan remote control ke atas sofa di antara kami dan bertanya, “Tahukah kau apakah itu menyakitkan atau apa?” “Kurasa Gus benar-benar berjuang untuk bernapas,” kataku. “Pada akhirnya dia tidak sadarkan diri, tapi kedengarannya seperti, ya, itu tidak hebat atau apa. Mati itu menyebalkan.” “Ya,” ujar Isaac. Lalu, setelah waktu yang lama, “Rasanya seakan begitu mustahil.” “Terjadi sepanjang waktu,” kataku. “Kelihatannya kau marah,” katanya. “Ya,” kataku. Kami hanya duduk di sana tak berkata-kata untuk waktu yang lama. Dalam keheningan itu, ingatanku melayang saat pertama kali aku bergabung di Jantung Harfiah Yesus, ketika Gus berkata betapa dia takut dilupakan untuk selamanya. Saat itu aku berkata pada Gus, bahwa ketakutannya itu juga dialami oleh kami semua. Itu adalah ketakutan manusia yang universal dan tak terhindarkan. Namun, masalahnya bukanlah penderitaan yang kita alami,
atau dilupakan orang, inti dari semua ini adalah betapa tak berartinya semua ini. Penderitaan yang kami alami ini benar-benar tak manusiawi dan sia-sia. Aku teringat betapa Ayah mengatakan bahwa alam semesta ingin diperhatikan. Namun, yang kita inginkan justru diperhatikan oleh alam semesta. Kita ingin dunia peduli dengan apa yang terjadi pada kita—bukan kepedulian terhadap manusia pada umumnya, tetapi kepedulian secara pribadi. Kepedulian terhadap masing-masing diri kita. “Kau tahu, Gus benar-benar mencintaimu,” kata Isaac. “Aku tahu.” “Dia tidak mau berhenti bicara soal itu.” “Aku tahu,” kataku. “Itu menjengkelkan.” “Bagiku tidak begitu menjengkelkan,” kataku. “Pernahkah dia menyerahkan apa yang ditulisnya?” “Apa?” “Sekuel atau apa pun itu dari buku yang kau sukai.” Aku menoleh kepada Isaac. “Apa?” “Katanya dia sedang mengerjakan sesuatu untukmu, tapi dia bukan penulis hebat.” “Kapan dia bilang begitu?” “Aku tidak tahu. Kira-kira setelah dia pulang dari Amsterdam.” “Kapan?” desakku. Apakah Gus tidak punya kesempatan untuk menyelesaikannya? Apakah dia sudah menyelesaikannya dan meninggalkannya di komputernya atau apa? “Em,” Isaac mendesah. “Em, aku tidak tahu. Kami pernah membicarakannya di sini. Dia berada di sini, dan—uh, kami bermain-main dengan mesin emailku dan aku baru saja menerima email dari nenekku. Aku bisa mengecek di mesin itu jika kau—” “Ya, ya, di mana mesinnya?”
Gus menyebutnya sebulan yang lalu. Sebulan. Jelas bukan bulan yang baik, tapi tetap saja—satu bulan. Setidaknya itu waktu yang cukup baginya untuk menulis sesuatu. Masih ada sesuatu dari Gus, atau setidaknya karyanya, yang melayanglayang di luar sana. Aku memerlukannya. “Aku mau pergi ke rumahnya,” kataku kepada Isaac. Aku bergegas menuju minivan dan memasukkan kereta oksigen, lalu masuk ke mobil. Aku menyalakan mesin mobil. Irama hip-hop membahana dari stereo, dan ketika aku menjulurkan tangan untuk mengganti stasiun radionya, seseorang mulai menyanyi rap. Dalam bahasa Swedia. Aku berputar dan berteriak ketika melihat Peter Van Houten duduk di kursi belakang. “Aku minta maaf karena mengejutkanmu,” ujar Peter Van Houten di antara nyanyian rap. Dia masih mengenakan setelan jas pemakaman itu, hampir seminggu kemudian. Aromanya seakan tubuhnya mengeluarkan keringat berupa alkohol. “Silakan menyimpan CD-nya,” katanya. “Itu Snook, salah satu kelompok hip-hop Swedia—” “Ah ah ah ah KELUAR DARI MOBILKU.” Aku mematikan stereo. “Sejauh sepengetahuanku, ini mobil ibumu,” katanya. “Juga, mobilnya tidak terkunci.” “Astaga! Keluarlah dari mobil atau aku akan menelepon 911. Apa sih masalahmu?” “Seandainya saja hanya ada satu masalah,” renungnya. “Aku berada di sini hanya untuk meminta maaf. Kau benar waktu itu, ketika menyatakan bahwa aku lelaki kecil yang menyedihkan, bergantung pada alkohol. Aku punya seorang kenalan yang hanya mau menghabiskan waktu bersamaku karena aku membayarnya untuk melakukan itu—yang lebih buruk lagi, dia sudah berhenti bekerja, meninggalkanku, manusia langka yang tidak bisa memperoleh teman walaupun lewat penyuapan. Semuanya itu benar, Hazel. Semuanya itu dan
banyak lagi.” “Oke,” kataku. Pidatonya akan lebih mengharukan seandainya bicaranya tidak seperti orang mabuk. “Kau mengingatkanku kepada Anna.” “Aku mengingatkan banyak orang pada banyak orang,” jawabku. “Aku benar-benar harus pergi.” “Jadi, berangkatlah,” katanya. “Keluarlah.” “Tidak. Kau mengingatkanku kepada Anna,” ulangnya. Sedetik kemudian aku memasukkan persneling dan memundurkan mobil. Aku tidak bisa menyuruhnya pergi, dan aku tidak perlu melakukannya. Aku akan menyetir ke rumah Gus, dan orangtua Gus akan menyuruhnya pergi. “Kau pasti mengenal,” ujar Van Houten, “Antonietta Meo.” “Ya, tidak,” kataku. Aku menyalakan stereo, dan hip-hop Swedia membahana, tapi Van Houten berteriak mengatasinya. “Dia akan segera menjadi orang suci non-martir termuda yang dibeatifikasi oleh Gereja Katolik. Dia menderita kanker yang sama seperti kankernya Mr. Waters, osteosarkoma. Mereka mengamputasi kaki kanannya. Rasa sakitnya tak tertahankan. Ketika Antonietta Meo terbaring sekarat di usia matang enam tahun akibat kanker menyakitkannya ini, dia mengatakan kepada ayahnya, ‘Rasa sakit itu seperti kain: Semakin kuat, semakin berharga.’ Benarkah itu, Hazel?” Aku tidak memandangnya secara langsung, tapi memandang pantulannya di kaca spion. “Tidak,” teriakku mengatasi suara musik. “Itu omong kosong.” “Tapi, tidakkah kau berharap itu benar?” teriak Van Houten menjawab. Aku menghentikan musiknya. “Maaf aku telah merusak perjalananmu. Kau terlalu muda. Kau—” Dia menangis. Seakan dia punya hak untuk menangisi Gus. Van Houten hanyalah satu dari sebegitu banyak pelayat yang tidak mengenal Gus, hanya ratapan terlambat lain di dinding Gus. “Kautidakmerusakperjalanankami,dasarbajingan sok penting. Perjalanan kami menakjubkan.” “Aku sudah berupaya,” katanya. “Aku bersumpah, aku sudah berupaya.” Saat itulah kusadari bahwa Peter Van Houten pernah mengalami kematian dalam keluarganya. Aku merenungkan kejujuran yang ditulisnya mengenai anak-anak penderita kanker; fakta bahwa dia tidak bisa bicara denganku di Amsterdam, kecuali bertanya apakah aku sengaja berpakaian seperti Anna; keberengsekannya
ketika berada di dekatku dan Augustus; pertanyaan menyakitkannya mengenai hubungan antara keekstreman rasa sakit dan nilainya. Dia duduk di belakang sana, minum, seorang lelaki tua yang telah bertahun-tahun mabuk. Aku teringat pada statistik yang kuharap tidak kuketahui: Setengah perkawinan berakhir setahun setelah kematian seorang anak. Kembali aku memandang Van Houten. Aku sedang menyetir menyusuri College. Aku berhenti di belakang deretan mobil yang diparkir dan bertanya, “Kau punya seorang anak yang mati?” “Putriku,” jawab Van Houten. “Usianya delapan tahun. Menderita dengan indahnya. Tidak akan pernah dibeatifikasi.” “Dia menderita leukemia?” tanyaku. Van Houten mengangguk. “Seperti Anna,” kataku. “Sangat menyerupai dia, ya.” “Kau menikah?” “Tidak. Wah, tidak pada saat kematiannya. Sudah lama aku tidak tertahankan bagi orang lain, sebelum kami kehilangan dia. Kedukaan tidak mengubahmu, Hazel. Kedukaan mengungkapkan dirimu.” “Kau tinggal bersamanya?” “Tidak, mulanya tidak, walaupun pada akhirnya kami membawanya ke New York, tempat tinggalku pada waktu itu, untuk serangkaian siksaan eksperimental yang meningkatkan penderitaan hari-harinya tanpa meningkatkan jumlah harinya.” Sedetik kemudian aku berkata, “Jadi, dengan buku itu kau seakan memberinya kehidupan kedua, sehingga dia bisa menjadi remaja.” “Kurasa itu penilaian yang adil,” katanya, lalu cepat-cepat dia mengimbuhkan, “kurasa kau mengenal eksperimen-pikiran Masalah Troli Philippa Foot?” “Lalu aku muncul di rumahmu, dan aku berpakaian sebagaimana yang kau harapkan dari putrimu seandainya dia hidup sampai di usia remaja, dan kau sangat terkejut.” “Ada troli yang bergulir tak terkendali menyusuri sebuah jalur,” katanya. “Aku tidak peduli terhadap eksperimen pikiranmu yang tolol itu,” kataku. “Sesungguhnya itu eksperimen-pikirannya Philip-pa Foot.” “Wah, aku juga tidak peduli terhadap eksperimennya,” kataku. “Dia tidak mengerti mengapa itu terjadi,” katanya. “Aku harus memberitahunya bahwa dia akan mati. Pekerja sosialnya mengatakan aku harus memberitahunya. Aku harus memberitahunya bahwa dia akan mati, jadi
kukatakan kepadanya, dia akan pergi ke surga. Dia bertanya apakah aku akan ada di sana, dan kukatakan tidak, belum. Tapi akhirnya akan ada di sana, katanya, dan aku berjanji, ya, tentu saja, tidak lama lagi. Dan kukatakan bahwa, untuk sementara waktu, kami punya keluarga hebat di atas sana yang akan mengurusnya. Dan, dia bertanya kapan aku akan ada di sana, dan kukatakan tidak lama lagi. Itu dua puluh dua tahun yang lalu.” “Aku ikut menyesal.” “Aku juga.” Setelah beberapa saat, aku bertanya, “Apa yang terjadi pada ibunya?” Dia tersenyum. “Kau masih mencari sekuelmu, dasar tikus kecil.” Aku membalas senyumnya. “Kau harus pulang,” kataku. “Menghilangkan mabukmu. Menulis novel lain. Melakukan hal yang menjadi keahlianmu. Tidak banyak orang yang cukup beruntung bisa menjadi ahli dalam sesuatu.” Dia menatapku lewat kaca spion untuk waktu yang lama. “Oke,” katanya. “Ya, kau benar. Kau benar.” Tapi, bahkan ketika sedang berkata begitu, dia mengeluarkan botol wiskinya yang nyaris kosong. Dia minum, menutup kembali botolnya, lalu membuka pintu. “Selamat tinggal, Hazel.” “Selamat tinggal, Van Houten.” Lelaki itu duduk di pinggir jalan di belakang mobilku. Ketika aku mengamati sosoknya menciut di kaca spion, dia mengeluarkan botolnya dan sekejap tampaknya seakan hendak meninggalkan botol itu di pinggir jalan. Lalu, dia meneguk isinya. Itu siang yang panas di Indianapolis, udaranya lembap dan diam seakan kami berada di dalam awan. Itu jenis udara terburuk bagiku, dan kukatakan kepada diri sendiri bahwa itu hanyalah udara, ketika perjalanan dari halaman ke pintu depan rumah Gus terasa sangat panjang. Aku membunyikan bel pintu, dan ibu Gus yang menyambutku.
“Oh, Hazel,” katanya, dan dia memelukku, menangis. Dia menyuruhku menyantap lasagna terung— kurasa banyak orang membawakan mereka makanan atau apa—bersamanya dan ayah Gus. “Apa kabar?” “Aku merindukannya.” “Ya.” Aku tidak begitu tahu harus berkata apa. Aku hanya ingin menuruni tangga dan mencari apa pun yang telah ditulis Gus untukku. Lagi pula keheningan di dalam ruangan itu benar-benar menggangguku. Aku ingin mereka bicara satu sama lain, saling menghibur atau bergandengan tangan atau apa. Tapi, mereka hanya duduk di sana, menyantap sejumlah kecil lasagna, dan bahkan tidak saling memandang. “Surga perlu malaikat,” ujar ayah Gus setelah beberapa saat. “Aku tahu,” kataku. Lalu, kedua kakak perempuan Gus dan segerombolan anak-anak mereka muncul dan bergabung di dapur. Aku bangkit berdiri dan memeluk kedua kakak perempuan Gus, lalu menyaksikan anakanak berlarian di dapur, penuh keriuhan dan gerakan yang teramat sangat diperlukan, molekulmolekul riang itu saling berbenturan satu sama lain dan berteriak, “Kau kena tidak kau kena tidak aku tadi kena tapi aku menepukmu kau tidak menepukku aku lolos wah kini aku menepukmu tolol permainan selesai DANIEL JANGAN MEMANGGIL ADIKMU TOLOL Mom jika aku tidak boleh menggunakan kata itu mengapa kau mengatakannya tadi tolol tolol,” lalu, secara serempak, tolol tolol tolol tolol. Dan di meja, orangtua Gus kini saling bergandengan tangan, dan ini membuatku merasa lebih baik. “Isaac memberitahuku bahwa Gus menulis sesuatu, sesuatu untukku,” kataku. Anak-anak masih menyanyikan lagu tolol mereka. “Kita bisa mengecek komputernya,” ujar ibu Gus. “Dia tidak begitu sering menggunakannya selama beberapa minggu terakhir itu,” kataku. “Itu benar. Aku bahkan tidak yakin apakah kami membawanya ke atas. Masih adakah komputernya di ruang bawah tanah, Mark?” “Aku tidak tahu.” “Wah,” kataku, “bisakah aku ....” Aku mengangguk ke arah pintu ruang bawah tanah. “Kami belum siap,” ujar ayah Gus. “Tapi tentu saja, ya, Hazel. Tentu saja boleh.”
Aku menuruni tangga, melewati ranjang Gus yang berantakan, melewati kursikursi untuk main game di depan TV. Komputernya masih menyala. Aku mengetuk mouse untuk menyalakannya, lalu mencari arsip-arsip terakhir yang dieditnya. Tidak ada di sepanjang bulan terakhir. Yang terbaru adalah lembar respons untuk The Bluest Eye karya Toni Morrison. Mungkin ditulis tangan. Aku berjalan ke rak buku, mencari jurnal atau buku catatan. Tidak ada. Aku membolak-balik buku Kemalangan Luar Biasa milik Gus. Dia tidak meninggalkan sedikit pun tanda di dalamnya. Lalu, aku berjalan ke nakas. Mayhem yang Tak Terhingga, sekuel kesembilan Ganjaran Fajar, tergeletak di atas meja di sebelah lampu baca, dengan ujung halaman 138 terlipat. Gus belum selesai membaca buku itu. “Peringatan: Mayhem bertahan hidup,” kataku keras-keras kepada Gus, kalau-kalau dia bisa mendengarku. Lalu, aku merangkak ke atas ranjangnya yang berantakan, membalut diriku sendiri dengan selimutnya seperti kepompong, mengelilingi diriku sendiri dengan aromanya. Aku melepas kanula sehingga bisa mencium lebih baik, menghirup dan mengembuskan Gus, aromanya memudar ketika aku berbaring di sana, dadaku serasa terbakar sampai aku tidak bisa membedakan aroma itu di antara rasa sakitnya. Aku duduk di ranjang setelah beberapa saat, memasang kembali kanulaku, lalu bernapas selama beberapa saat sebelum menaiki tangga. Aku hanya menggeleng untuk menjawab pandangan berharap orangtuanya. Anak-anak berlarian melewatiku. Salah seorang kakak perempuan Gus—aku tidak bisa membedakan mereka—berkata, “Mom, kau mau mereka dibawa ke taman atau apa?” “Tidak, tidak, tidak apa-apa.” “Adakah tempat Gus meletakkan buku catatan? Misalnya di samping ranjang rumah sakitnya atau apa?” Ranjang itu sudah tidak ada, diambil kembali oleh
rumah sakit. “Hazel,” ujar ayah Gus, “kau berada di sana setiap hari bersama kami. Kau— dia jarang sendirian, Sayang. Dia tidak akan punya waktu untuk menulis sesuatu pun. Aku tahu kau ingin … aku juga menginginkannya. Tapi, pesan yang ditinggalkannya untuk kita kini datang dari atas, Hazel.” Dia menunjuk ke arah langit-langit, seakan Gus sedang melayang persis di atas rumah. Mungkin itu memang benar. Aku tidak tahu. Tapi, aku tidak merasakan kehadirannya. “Ya,” kataku. Aku berjanji untuk mengunjungi mereka lagi dalam beberapa hari mendatang. Aku tidak pernah mencium aroma Gus lagi.[]
Bab Dua Puluh Empat Tiga hari kemudian, pada hari kesebelas Setelah Kematian Gus, ayah Gus meneleponku di pagi hari. Aku masih tersambung dengan BiPAP, jadi teleponnya tidak kuangkat, tapi aku mendengarkan begitu pesannya masuk ke teleponku. “Hazel, hai, ini ayah Gus. Aku menemukan, eh, buku catatan Moleskine hitam di rak majalah di dekat ranjang rumah sakitnya, kurasa letaknya cukup dekat sehingga dia bisa menjangkaunya. Sayangnya tidak ada tulisan di dalamnya. Semua halamannya kosong. Tapi, beberapa—kurasa tiga atau empat—halaman pertamanya dirobek dari buku itu. Kami menggeledah rumah, tapi tidak bisa menemukan halaman-halaman yang hilang itu. Jadi, aku tidak tahu apa artinya itu. Tapi, mungkin halaman-halaman itulah yang disebut oleh Isaac? Bagaimanapun, kuharap kau baik-baik saja. Kau selalu ada di dalam doa kami setiap hari, Hazel. Oke, bye.” Tiga atau empat halaman yang dirobek dari buku catatan Moleskine tidak lagi berada di rumah Augustus Waters. Di mana dia akan meninggalkan pesan itu untukku? Direkatkan pada Funky Bones? Tidak, dia tidak cukup sehat untuk pergi ke sana. Jantung Harfiah Yesus. Mungkin dia meninggalkan pesan itu di sana untukku
pada Hari Baik Terakhirnya. Jadi, aku pergi dua puluh menit lebih awal untuk menghadiri pertemuan Kelompok Pendukung keesokan harinya. Aku menyetir ke rumah Isaac, menjemputnya, lalu kami bermobil ke Jantung Harfiah Yesus dengan kaca-kaca jendela minivan diturunkan, mendengarkan album bocoran baru The Hectic Glow yang tidak akan pernah didengar oleh Gus. Kami menggunakan lift. Aku menuntun Isaac ke sebuah kursi di Lingkaran Kepercayaan, lalu perlahan-lahan berjalan mengitari Jantung Harfiah. Aku memeriksa di mana-mana: di bawah kursi-kursi, di sekitar meja mimbar tempatku berdiri di belakangnya ketika menyampaikan eulogiku, di bawah meja penganan, pada papan buletin yang dipenuhi gambar anak-anak sekolah Minggu mengenai cinta Tuhan. Tidak ada. Itu satu-satunya tempat yang kami kunjungi bersama selama beberapa hari terakhir itu, selain rumah Gus, dan pesan itu entah tidak ada di sini atau aku melewatkan sesuatu. Mungkin dia meninggalkannya untukku di rumah sakit, tapi seandainya begitu, jelas pesan itu telah dibuang setelah kematiannya. Aku benar-benar kehabisan napas ketika duduk di kursi di sebelah Isaac, dan aku menghabiskan seluruh kesaksian Patrick mengenai buah pelirnya yang hilang untuk mengatakan kepada paru-paruku bahwa mereka baik-baik saja, bahwa mereka bisa bernapas, bahwa ada cukup banyak oksigen. Mereka baru saja dikeringkan seminggu sebelum Gus meninggal—aku menyaksikan air kanker kuning kecokelatan itu menetes keluar dari tubuhku lewat selang—tapi paru-paruku sudah terasa penuh lagi. Perhatianku begitu terpusat untuk mengatakan kepada diri sendiri agar bernapas, sehingga pertama-tama aku tidak memperhatikan kalau Patrick menyebut namaku. Aku langsung tersadar. “Ya?” tanyaku. “Bagaimana kabarmu?” “Aku baik-baik saja, Patrick. Aku sedikit kehabisan napas.” “Kau mau berbagi kenangan mengenai Augustus dengan kelompok?” “Aku berharap aku mati saja, Patrick. Pernahkah kau berharap agar dirimu mati saja?” “Ya,” jawab Patrick tanpa jeda seperti biasanya. “Ya, tentu saja. Jadi, mengapa kau tidak mati?” Aku merenungkannya. Jawaban standar lamaku adalah karena aku ingin hidup demi orangtuaku, karena mereka akan hancur dan kehilangan anak dengan kepergianku, dan itu masih agak benar, tapi tidak seluruhnya benar. “Aku tidak
tahu.” “Kau berharap akan sembuh?” “Tidak,” kataku. “Tidak, bukan itu. Aku benar-benar tidak tahu. Isaac?” tanyaku. Aku lelah bicara. Isaac mulai bicara mengenai cinta sejati. Aku tidak bisa menceritakan kepada mereka apa yang sedang kupikirkan, karena pikiran itu terasa norak bagiku. Aku sedang memikirkan alam semesta yang ingin diperhatikan, dan betapa aku harus memperhatikannya sebisa mungkin. Aku merasa berutang kepada alam semesta, dan hanya perhatianku yang bisa membayarkan utang itu. Dan, aku juga berutang kepada semua orang yang tidak lagi menjadi seseorang dan semua orang yang belum sempat menjadi seseorang. Pada dasarnya, aku memikirkan apa yang dikatakan oleh ayahku kepadaku. Aku tetap diam selama pertemuan Kelompok Pendukung itu, dan Patrick mengucapkan doa khusus untukku, dan nama Gus dimasukkan ke dalam daftar panjang orang mati—empat belas untuk masing-masing dari kami—dan kami berjanji untuk menjalani kehidupan terbaik kami setiap hari, lalu aku membawa Isaac ke mobil. Ketika aku tiba di rumah, Mom dan Dad sedang berada di meja ruang makan dengan laptop mereka masingmasing. Begitu aku berjalan masuk, Mom menutup laptopnya. “Ada apa di komputer?” “Hanya beberapa resep antioksidan. Siap untuk BiPAP dan America’s Next top Model?” tanya Mom. “Aku hanya ingin berbaring sejenak.” “Kau baik-baik saja?” “Ya, hanya lelah.” “Wah, kau harus makan sebelum—” “Mom, aku benar-benar tidak lapar.” Aku melangkah ke pintu, tapi Mom
memotongku. “Hazel, kau harus makan. Hanya sedikit—” “Tidak. Aku mau tidur.” “Tidak,” kata Mom. “Tidak boleh.” Aku melirik Dad yang mengangkat bahu. “Ini hidupku,” kataku. “Kau tidak akan melaparkan diri sampai mati hanya gara-gara Augustus Waters mati. Kau harus makan malam.” Entah kenapa aku benar-benar jengkel. “Aku tidak bisa makan, Mom. Tidak bisa. Oke?” Aku berupaya menerobos melewati Mom, tapi dia meraih bahuku dan berkata, “Hazel, kau akan makan malam. Kau perlu tetap sehat.” “TIDAK!” teriakku. “Aku tidak akan makan ma-lam, dan aku tidak bisa tetap sehat, karena aku tidak sehat. Aku sekarat, Mom. Aku akan mati dan meninggalkanmu di sini sendirian, dan kau tidak akan punya aku untuk digerecoki dan kau tidak akan menjadi ibu lagi, dan aku ikut menyesal, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, oke?!” Aku menyesal begitu mengucapkannya. “Kau mendengarku.” “Apa?” “Kau mendengarku mengatakan hal itu kepada ayahmu?” Mata Mom basah. “Benarkah?” Aku mengangguk. “Astaga, Hazel. Maaf. Aku keliru, Sayang. Itu tidak benar. Aku mengatakannya saat berputus asa. Itu bukan sesuatu yang kupercayai.” Mom duduk, dan aku duduk bersamanya. Aku berpikir bahwa seharusnya aku memuntahkan saja sebagian pasta demi Mom, daripada merasa jengkel. “Kalau begitu, apa yang Mom percayai?” tanyaku. “Selama salah satu dari kita masih hidup, aku akan menjadi ibumu,” katanya. “Bahkan seandainya pun kau meninggal, aku—” “Ketika aku meninggal,” kataku. Mommengangguk.“Bahkanketikakaumeninggal, aku akan masih menjadi ibumu, Hazel. Aku tidak akan berhenti menjadi ibumu. Pernahkah kau berhenti mencintai Gus?” Aku menggeleng. “Wah, kalau begitu, bagaimana aku bisa berhenti mencintaimu?” “Oke,” kataku. Kini Dad menangis. “Aku ingin kalian memiliki kehidupan,” kataku. “Aku khawatir kalian tidak akan punya kehidupan, aku khawatir kalian akan duduk-duduk saja di sini
sepanjang hari tanpa aku yang harus diurus, menatap dinding-dinding dan juga ingin mati.” Semenitkemudian, Mom berkata,“Akumengambil beberapa kelas. Online, lewat situs Indiana University. Untuk mendapat gelar master dalam kerja sosial. Sesungguhnya aku tidak sedang melihat resep-resep antioksidan; aku sedang menulis makalah.” “Sungguh?” “Aku tidak ingin kau berpikir aku sedang membayangkan dunia tanpamu. Tapi, seandainya mendapat gelar MSW* , aku bisa memberikan penyuluhan kepada keluarga-keluarga yang sedang mengalami krisis atau kelompokkelompok yang menangani penyakit di dalam keluarga-keluarga atau—” “Tunggu, Mom akan menjadi seperti Patrick?” “Wah, tidak tepat begitu. Ada banyak jenis pekerjaan sosial.” Dad berkata, “Kami khawatir kau akan merasa terabaikan. Penting bagimu untuk tahu bahwa kami akan selalu ada di sini untukmu, Hazel. Mom tidak akan pergi ke mana-mana.” “Tidak, ini hebat. Ini fantastis!” Aku benar-benar tersenyum. “Mom akan menjadi seperti Patrick. Mom akan menjadi Patrick yang hebat! Mom akan jauh lebih baik daripada Patrick.” “Terima kasih, Hazel. Itu berarti segalanya bagiku.” * MSW: gelar Magister Pekerja Sosial. Aku mengangguk. Aku menangis. Aku tidak bisa menguasai kegembiraanku, aku benar-benar menangis bahagia untuk pertama kalinya semenjak lama sekali, membayangkan Mom sebagai Patrick. Itu membuatku teringat kepada ibu Anna. Dia akan menjadi pekerja sosial yang baik juga. Setelah beberapa saat, kami menyalakan TV dan menonton ANTM. Tapi, aku menekan tombol pause setiap lima detik karena aku punya banyak pertanyaan untuk Mom. “Jadi, berapa lama lagi Mom akan selesai?” “Jika aku pergi ke Bloomington selama seminggu pada musim panas ini, aku akan selesai Desember nanti.” “Sudah berapa lama tepatnya kalian merahasiakan ini dariku?” “Setahun.” “Mom.” “Aku tidak ingin melukaimu, Hazel.”
Menakjubkan. “Jadi, ketika Mom menungguku di luar MCC atau Kelompok Pendukung atau apa saja, Mom selalu—” “Ya, bekerja atau membaca.” “Ini hebat sekali. Jika aku mati, aku ingin Mom tahu kalau aku akan menghela napas dari surga setiap kali Mom meminta seseorang untuk berbagi perasaan.” Dad tertawa. “Aku akan mendukungmu seratus persen, Nak,” katanya meyakinkanku. Akhirnya, kami menonton ANTM. Dad berupaya mati-matian untuk tidak mati kebosanan, dan dia terusmenerus salah mengenali gadis-gadis itu, bertanya, “Kita suka dia?” “Tidak, tidak. Kita benci Anastasia. Kita suka Antonia, gadis pirang yang satunya,” jelas Mom. “Mereka semua jangkung dan mengerikan,” kata Dad. “Maaf jika aku tidak bisa membedakan mereka.” Dad menjulurkan tangan melewatiku untuk meraih tangan Mom. “Apakah kalian akan tetap bersama-sama jika aku mati?” tanyaku. “Hazel, apa? Sayang.” Mom meraih remote control dan kembali menekan tombol pause. “Ada apa?” “Menurut kalian begitu?” “Ya, tentu saja. Tentu saja,” jawab Dad. “Aku dan Mom saling mencintai, dan seandainya kami kehilangan dirimu, kami akan mengatasinya bersamasama.” “Sumpah demi Tuhan,” kataku. “Aku bersumpah demi Tuhan,” kata Dad. Kembali aku memandang Mom. “Sumpah demi Tuhan,” katanya setuju. “Mengapa pula kau mengkhawatirkan hal ini?” “Aku hanya tidak ingin merusak hidup kalian atau apa.” Mom mencondongkan tubuh ke depan, menekankan wajahnya ke dalam gumpalan rambut kusutku, dan mencium puncak kepalaku. Aku berkata kepada Dad, “Aku tidak ingin Dad menjadi pecandu alkohol pengangguran yang menyedihkan atau apa.” Mom tersenyum. “Ayahmu bukan Peter Van Houten, Hazel. Dibandingkan dengan semua orang lainnya, kaulah yang paling tahu bahwa hidup dengan rasa sakit bukannya mustahil.” “Ya, oke,” kataku. Mom memelukku dan aku membiarkannya, walaupun aku
tidak begitu ingin dipeluk. “Oke, kalian bisa meneruskan ANTM-nya,” kataku. Anastasia dikeluarkan, dia mengamuk. Hebat. Aku menyantap sedikit makan malam—pasta berbentuk pita dengan saus pesto—dan berhasil tidak memuntahkannya.[]
Bab Dua Puluh Lima Aku bangun keesokan paginya dalam kepanikan, karena bermimpi berada sendirian dan tanpa perahu di dalam sebuah danau besar. Aku terduduk, tertarik selang BiPAP, dan merasakan lengan Mom di tubuhku. “Hai, kau baik-baik saja?” Jantungku berpacu, tapi aku mengangguk. Mom berkata, “Kaitlyn meneleponmu.” Aku menunjuk Bi-PAP. Mom membantuku melepaskannya dan menghubungkanku dengan Philip, lalu menerima ponselku dari Mom dan berkata, “Hai, Kaitlyn.” “Aku hanya ingin mengecek,” katanya. “Menanyakan kabarmu.” “Ya, terima kasih,” kataku. “Aku baik-baik saja.” “Kau baru saja mengalami kesialan terburuk, Sayang. Ini keterlaluan.” “Kurasa begitu,” kataku. Aku tidak banyak lagi memikirkan keberuntunganku dengan satu atau lain cara. Sejujurnya aku tidak begitu ingin bicara dengan Kaitlyn mengenai apa saja, tapi dia terus memperpanjang percakapan. “Jadi, bagaimana rasanya?” tanyanya. “Ditinggal mati pacar? Em, menyebalkan.” “Bukan,” ujar Kaitlyn. “Jatuh cinta.”
“Oh,” kataku. “Oh. Rasanya … rasanya menyenangkan menghabiskan waktu bersama seseorang yang begitu menarik. Kami sangat berbeda, dan kami tidak menyetujui banyak hal, tapi dia selalu begitu menarik. Kau mengerti?” “Wah, tidak. Cowok-cowok yang kukenal sangatlah tidak menarik.” “Dia tidak sempurna atau apa. Dia bukan Pangeran Tampan dalam kisah dongeng atau apa. Terkadang dia berupaya menjadi seperti itu, tapi aku paling menyukainya ketika bagian yang itu tidak ada.” “Kau punya semacam scrapbook berisikan foto-foto dan surat-surat yang ditulisnya?” “Aku punya beberapa foto, tapi dia tidak pernah benar-benar menulisiku surat. Kecuali, wah ada beberapa halaman yang hilang dari buku catatannya, yang mungkin ditulisnya untukku, tapi kurasa dia membuang halaman-halaman itu atau halaman-halaman itu hilang atau apa.” “Mungkin dia mengirimkannya lewat pos kepadamu,” kata Kaitlyn. “Tidak, seandainya begitu, pasti sudah kuterima.” “Kalau begitu, mungkin halaman-halaman itu tidak ditulisnya untukmu,” katanya. “Mungkin … maksudku, aku tidak ingin membuatmu tertekan atau apa, tapi mungkin dia menulis halaman-halaman itu untuk orang lain dan mengirimkan lewat pos—” “VAN HOUTEN!” teriakku. “Kau baik-baik saja? Kau tadi batuk?” “Kaitlyn, aku mencintaimu. Kau genius. Aku harus pergi.” Aku menutup telepon, berguling, meraih laptop, menyalakannya, dan mengirim email ke lidewij.vliegenthart. Lidewij, Aku yakin Augustus Waters mengirimi Peter Van Houten beberapa halaman dari sebuah buku catatan, tidak lama sebelum dia (Augustus) meninggal. Sangat penting bagiku agar seseorang membaca halamanhalaman itu. Aku ingin membaca halamanhalaman itu, tentu saja, tapi mungkin pesan Augustus tidak ditujukan untukku. Bagaimanapun, halamanhalaman itu harus dibaca. Harus dibaca. Bisakah kau menolongku? Temanmu, Hazel Grace Lancaster Lidewij membalas sore itu.
Hazel yang Baik, Aku tidak tahu Augustus sudah meninggal. Aku sangat sedih mendengar berita ini. Dia pemuda yang sangat berkarisma. Aku sangat sangat menyesal, dan sangat sedih. Aku belum bicara dengan Peter semenjak mengundurkan diri pada hari perjumpaan kita itu. Sudah larut malam sekali di sini, tapi aku akan mampir ke rumahnya pagipagi sekali untuk mencari surat itu dan memaksa Peter untuk membacanya. Biasanya pagi adalah saat terbaiknya. Temanmu, Lidewij Vliegenthart p.s. Aku akan mengajak pacarku, kalaukalau kami harus menahan Peter secara fisik. Aku bertanya-tanya mengapa Gus menulis surat untuk Van Houten di hari-hari terakhir itu, alih-alih menulisiku surat, dan mengatakan kepada Van Houten bahwa kesalahannya akan tertebus jika memberi sekuel untukku. Mungkin halaman-halaman buku catatan itu hanya mengulangi permintaannya kepada Van Houten. Itu masuk akal. Gus mengungkit kefatalan penyakitnya untuk mewujudkan mimpiku: Sekuel itu hal kecil untuk dibela sampai mati, tapi itu hal terbesar yang ditinggalkan olehnya. Malam itu aku terus-menerus memeriksa email, tidur selama beberapa jam, lalu mulai memeriksa email lagi sekitar pukul lima pagi. Tapi, tidak ada yang muncul. Aku berupaya menonton TV untuk mengalihkan perhatian, tapi pikiranku terus-menerus terhanyut kembali ke Amsterdam, membayangkan Lidewij Vliegenthart dan pacarnya bersepeda mengitari kota dalam misi gila mencari korespondensi terakhir seorang anak yang sudah mati. Betapa menyenangkan melambung-lambung di belakang sepeda Lidewij Vliegenthart menyusuri jalanan-jalanan bata, rambut merah keritingnya tertiup angin mengenai wajahku, bau kanal dan asap rokok, semua orang duduk di luar kafe, minum bir dan mengucapkan r dan g mereka dengan cara yang tidak akan pernah kupelajari.
Aku merindukan masa depan. Bahkan sebelum kekambuhan Gus pun, jelas aku sudah tahu bahwa aku tidak akan pernah menjadi tua bersama Augustus Waters. Tapi, ketika memikirkan Lidewij dan pacarnya, aku merasa dirampok. Aku mungkin tidak akan pernah lagi melihat lautan dari ketinggian sembilan ribu meter di atas sana, begitu jauh sehingga kau tidak bisa melihat gelombang atau kapal apa pun, sehingga lautan berupa monolit besar tanpa akhir. Aku bisa membayangkannya. Aku bisa mengingatnya. Tapi, aku tidak bisa melihatnya kembali, dan terpikir olehku bahwa ambisi rakus manusia tidak akan pernah terpuaskan dengan mimpi-mimpi yang terwujud, karena selalu ada pemikiran bahwa semuanya itu bisa dilakukan kembali dan dengan lebih baik. Itu mungkin benar, seandainya pun kau hidup sampai usia sembilan puluh— walaupun aku iri pada orang-orang yang bisa mengetahui dengan pasti. Tapi sekali lagi, aku sudah hidup dua kali lebih lama daripada putri Van Houten. Lelaki itu pasti bersedia menyerahkan segalanya agar memiliki anak yang mati di usia enam belas. Mendadak Mom berdiri di antara aku dan TV dengan kedua tangan terlipat di belakang punggung. “Hazel,” katanya. Suaranya begitu serius sehingga kupikir ada sesuatu yang keliru. “Ya?” “Kau tahu ini hari apa?” “Bukan ulang tahunku, bukan?” Mom tertawa. “Belum. Ini empat belas Juli, Hazel.” “Ulang tahun Mom?” “Bukan ....” “Ulang tahun Harry Houdini?” “Bukan ....” “Aku benar-benar lelah menebak.” “INI HARI BASTILLE!” Mom menarik kedua lengannya dari belakang punggung, memperlihatkan dua bendera Prancis plastik kecil yang dilambailambaikannya dengan antusias. “Itu kedengarannya seperti sesuatu yang palsu. Seperti Hari Kesadaran Kolera.” “Yakinlah, Hazel, tidak ada yang palsu mengenai Hari Bastille. Tahukah kau, dua ratus dua puluh tiga tahun yang lalu orang Prancis menyerbu penjara Bastille untuk mempersiapkan diri memperjuangkan kebebasan mereka?” “Wow,” kataku. “Kita harus merayakan hari penting ini.”
“Kebetulan aku baru saja menjadwalkan piknik bersama ayahmu di Holliday Park.” Mom tidak pernah berhenti berupaya. Aku bangkit berdiri dari sofa. Bersamasama kami menyiapkan beberapa roti-lapis dan menemukan sebuah keranjang piknik berdebu di lemari perlengkapan di lorong. Itu sejenis hari yang indah, akhirnya musim panas yang sesungguhnya tiba di Indianapolis, hangat dan lembap—jenis hari yang mengingatkanmu setelah musim dingin panjang bahwa, walaupun dunia tidak dibangun untuk manusia, kita dibangun untuk dunia. Dad sudah menunggu kami, mengenakan setelan jas cokelat muda, berdiri di tempat parkir untuk orang berkebutuhan khusus, mengetik dengan komputer genggamnya. Dia melambaikan tangan ketika kami parkir, lalu memelukku. “Hari yang indah,” katanya. “Seandainya kita tinggal di California, semua hari akan seperti ini.” “Ya, tapi kau tidak akan bisa menikmatinya,” ujar Mom. Dia keliru, tapi aku tidak membetulkannya. Akhirnya kami meletakkan selimut di samping The Ruins, reruntuhan Romawi berbentuk persegi empat aneh yang muncul di tengah sebuah ladang di Indianapolis. Tapi, itu bukan reruntuhan asli. Itu semacam penciptaan-kembali reruntuhan dan dibangun delapan puluh tahun yang lalu, tapi Reruntuhan palsu itu telah sangat terabaikan sehingga secara tidak disengaja menjadi seperti reruntuhan asli. Van Houten pasti akan menyukai The Ruins. Gus juga. Jadi, kami duduk di dalam bayang-bayang The Ruins dan menyantap sedikit makan siang. “Kau perlu tabir surya?” tanya Mom. “Tidak usah,” jawabku. Kau bisa mendengar angin di antara dedaunan, dan angin itu membawa teriakan anak-anak di taman bermain di kejauhan, anak-anak kecil yang sedang mencari cara untuk hidup, cara untuk menjelajahi dunia yang tidak dibangun
untuk mereka, dengan menjelajahi taman bermain yang dibangun untuk mereka. Dad melihatku mengamati anak-anak itu dan berkata, “Kau rindu berlarian seperti itu?” “Kadang-kadang, kurasa.” Tapi, bukan itu yang sedang kupikirkan. Aku hanya berupaya mengamati segalanya: cahaya di atas reruntuhan The Ruins, seorang anak kecil yang nyaris belum bisa berjalan menemukan ranting di pojok taman bermain, ibuku yang tidak kenal lelah sedang men-zigzag-kan moster melintasi roti-lapis kalkunnya, ayahku menepuknepuk komputer genggam di sakunya dan menahan dorongan untuk memeriksanya, seorang lelaki melemparkan Frisbee yang selalu dikejar dan ditangkap oleh anjingnya lalu dikembalikan kepadanya. Siapakah aku, yang mengatakan bahwa semuanya ini mungkin tidak kekal? Siapakah Peter Van Houten, yang bisa memastikan dugaan bahwa jerih payah kita hanyalah untuk sementara? Semua yang kuketahui mengenai surga dan semua yang kuketahui mengenai kematian ada di dalam taman ini: alam semesta anggun yang terus-menerus bergerak, dipenuhi reruntuhan runtuh dan anak-anak yang berteriak. Dad melambai-lambaikan tangan di depan wajahku. “Sadarlah, Hazel. Kau di sana?” “Sori, ya, apa?” “Mom menyarankan agar kita pergi menengok Gus?” “Oh. Ya,” jawabku. Jadi, setelah makan siang, kami bermobil ke Crown Hill Cemetery, tempat peristirahatan terakhir dan abadi tiga wakil presiden, satu presiden, dan Augustus Waters. Mobil kami mendaki bukit, lalu parkir. Mobilmobil meraung di belakang kami di Thiry-eighth Street. Mudah untuk menemukan makam Gus: Itu makam terbaru. Tanahnya masih menggunduk di atas peti matinya. Belum ada
batu nisannya. Aku tidak merasa seakan Gus berada di sana atau apa, tapi aku masih mengambil salah satu bendera Prancis kecil konyol Mom dan menancapkannya di tanah di kaki makamnya. Mungkin orang lewat akan mengira Gus anggota Legiun Asing Prancis atau semacam serdadu bayaran pemberani. Akhirnya Lidewij membalas emailku persis setelah pukul enam sore, ketika aku sedang berada di sofa, menonton TV sekaligus video-video di laptopku. Aku langsung melihat adanya empat lampiran dalam email itu dan ingin membuka semua lampiran itu terlebih dahulu, tapi aku menahan godaan tersebut dan membaca email-nya. Hazel yang Baik, Peter sangat mabuk ketika kami tiba di rumahnya pagi ini, tapi ini malah memudahkan pekerjaan kami. Bas (pacarku) mengalihkan perhatiannya, sementara aku menggeledah kantong sampah tempat Peter menyimpan suratsurat dari penggemar. Tapi kemudian, kusadari bahwa Augustus mengetahui alamat Peter. Ada setumpuk besar surat di meja ruang makan, dan di sana aku menemukan surat itu dengan sangat cepat. Aku membukanya dan melihat bahwa surat itu dialamatkan kepada Peter, jadi aku memintanya untuk membacanya. Dia menolak. Saat itu aku menjadi sangat marah, Hazel, tapi aku tidak meneriakinya. Aku malah mengatakan bahwa dia berutang kepada putrinya untuk membaca surat dari seorang anak laki-laki yang sudah mati ini. Kuberikan surat itu kepadanya dan dia membaca seluruhnya, lalu berkata—aku mengutipnya secara langsung —“Kirimkan surat ini kepada anak perempuan itu dan katakan bahwa tidak ada yang perlu kutambahkan.” Aku belum membaca surat itu, walaupun mataku memang melihat beberapa frase ketika memindai halamanhalamannya. Aku melampirkan semuanya di sini, lalu akan mengirimkannya kepadamu di rumahmu; alamatmu masih sama? Semoga Tuhan memberkati dan menjagamu, Hazel. Temanmu, Lidewij Vliegenthart
Aku membuka keempat lampiran itu. Tulisan tangan Gus acak-acakan, miring melintasi halaman, ukuran huruf-hurufnya bervariasi, warna penanya berubahubah. Dia menulis selama berhari-hari dalam berbagai derajat kesadaran. Van Houten, Aku orang baik, tapi penulis yang payah. Kau payah, tapi penulis yang baik. Kita bisa menjadi tim yang bagus. Aku tidak ingin meminta bantuan apa pun darimu, tapi jika kau punya waktu—dan dari apa yang kulihat, kau punya banyak waktu—aku ingin tahu apakah kau bisa menulis eulogi untuk Hazel. Aku punya catatancatatan dan segalanya, tapi bisakah kau membuatnya menjadi satu kesatuan yang logis atau semacamnya? Atau bisakah kau memberitahuku saja apa yang harus kukatakan dengan cara berbeda? Inilah yang kuketahui mengenai Hazel: Hampir semua orang terobsesi untuk meninggalkan tanda di dunia. Meninggalkan warisan. Hidup lebih lama daripada kematian. Kita semua ingin diingat. Aku juga. Itulah yang paling menggangguku, menjadi korban lain yang tidak diingat dalam perang kuno dan hina melawan penyakit. Aku ingin meninggalkan tanda. Tapi, Van Houten: Tandatanda yang ditinggalkan oleh manusia sering sekali berupa bekas luka. Kau membangun malmini mengerikan atau memulai kudeta atau berupaya menjadi bintang rock, dan kau berpikir, “Kini mereka akan mengingatku,” tapi (a) mereka tidak mengingatmu, dan (b) yang kau tinggalkan adalah lebih banyak bekas luka. Kudetamu menjadi kediktatoran. Malminimu menjadi lesi. (Oke, mungkin aku bukan penulis yang terlalu payah. Tapi, aku tidak bisa menyatukan gagasan-gagasanku, Van Houten. Pikiranku adalah bintang-bintang yang tidak bisa kujadikan konstelasi.) Kita menyerupai sekumpulan anjing yang mengencingi hidran air. Kita meracuni air tanah dengan kencing beracun kita, menandai segala sesuatunya sebagai MILIKKU dalam upaya konyol untuk bertahan hidup dari kematian. Aku tidak bisa berhenti mengencingi hidran air. Aku tahu itu konyol dan tak berguna—benarbenar tidak berguna dalam keadaanku saat ini—tapi aku hewan, sama seperti siapa pun lainnya. Hazel berbeda. Dia berjalan dengan ringan, Sobat Lamaku. Dia berjalan dengan ringan di dunia. Hazel mengetahui kebenarannya: Mungkin kita juga melukai alam semesta ketika membantunya, dan kemungkinan kita tidak melakukan keduanya. Orang akan mengatakan betapa sedihnya karena Hazel meninggalkan lebih sedikit bekas luka, karena lebih sedikit orang yang mengingatnya, karena dia
dicintai secara mendalam, tapi tidak secara luas. Tapi, itu tidak menyedihkan, Van Houten. Itu kemenangan. Itu heroik. Bukankah itu kepahlawanan sejati? Seperti kata dokter: Pertamatama, jangan menyakiti. Lagi pula pahlawan sejati bukanlah orang yang melakukan segala sesuatunya; pahlawan sejati adalah orang yang MENGAMATI segala sesuatunya, orang yang memperhatikan. Orang yang menemukan vaksin cacar air sesungguhnya tidak menemukan apa-apa. Dia hanya memperhatikan bahwa orang yang menderita cacar sapi tidak tertular cacar air. Setelah pemindaian PETku menyala terang, aku menyelinap ke dalam ICU dan melihat Hazel ketika dia sedang tidak sadarkan diri. Aku hanya berjalan di belakang seorang suster dengan mengenakan tanda pengenal, dan berhasil duduk di sebelahnya selama kira-kira sepuluh menit sebelum ketahuan. Aku benar-benar berpikir Hazel akan mati sebelum aku bisa memberitahunya bahwa aku juga akan mati. Itu brutal: pidato mekanis berisik tanpa henti dari perawatan intensif. Air kanker berwarna gelap menetes keluar dari dada Hazel. Matanya terpejam. Diintubasi. Tapi, tangannya masih tangannya, masih hangat, dengan kukukuku berwarna biru gelap nyaris hitam. Aku hanya memegangi tangan Hazel dan berupaya membayangkan dunia tanpa kami. Dan, selama kira-kira sedetik aku menjadi orang yang cukup baik, berharap dia mati sehingga tidak akan pernah tahu kalau aku juga akan mati. Tapi kemudian, aku menginginkan lebih banyak waktu, sehingga kami bisa jatuh cinta. Kurasa aku mendapatkan keinginanku itu. Aku telah meninggalkan bekas lukaku. Seorang suster laki-laki masuk dan mengatakan bahwa aku harus pergi, bahwa pengunjung tidak diizinkan, dan aku bertanya apakah Hazel baik-baik saja, dan lelaki itu berkata, “Dia masih mendapat air.” Berkah padang pasir, kutukan laut. Apa lagi? Hazel begitu cantik. Kau tidak akan lelah memandangnya. Kau tidak pernah khawatir apakah dia lebih pintar daripadamu: Kau tahu dia lebih pintar daripadamu. Dia lucu tanpa pernah bermaksud jahat. Aku mencintainya. Aku sangat beruntung mencintainya, Van Houten. Kau tidak bisa memilih apakah kau akan terluka di dunia ini, Sobat Lama, tapi kau bisa ikut menentukan siapa yang melukaimu. Aku menyukai pilihan-pilihanku. Kuharap Hazel menyukai pilihanpilihannya. Aku menyukai pilihan-pilihanku, Augustus. Sungguh.[]
Ucapan Terima Kasih Penulis ingin menyatakan: Bahwa penyakit dan pengobatannya diceritakan secara fiktif di dalam novel ini. Misalnya tidak ada obat semacam Phalanxifor. Aku mengarangnya karena menginginkan keberadaannya. Semua orang yang mencari sejarah nyata kanker harus membaca The Emperor of All Maladies karya Siddhartha Mukherjee. Aku juga berutang pada The Biology of Cancer karya Robert A. Weinberg, dan kepada Josh Sundquist, Marshall Urist, dan Jonneke Hollanders, yang telah berbagi waktu dan keahlian denganku mengenai masalahmasalah medis, walaupun dengan riang kuabaikan sesukaku. Terima kasih kepada Esther Earl, yang hidupnya merupakan berkah bagiku dan bagi banyak orang. Aku juga berterima kasih kepada keluarga Earl—Lori, Wayne, Abby, Angie, Grant, dan Abe—atas kemurahan hati dan persahabatan mereka. Terinspirasi oleh Esther, keluarga Earl telah mendirikan yayasan nirlaba, This Star Won’t Go Out, untuk mengenangnya. Kau bisa mengetahui lebih banyak dari twsgo.org. Terima kasih kepada The Dutch Literature Foundation, yang memberiku waktu dua bulan di Amsterdam untuk menulis. Terima kasih khususnya kepada Fleur van Koppen, Jean Christophe Boele van Hensbroek, Janetta de With, Carlijn van Ravenstein, Margje Scheepsma, dan the Dutch nerdfighter community. Terima kasih kepada editor dan penerbitku, Julie StraussGabel, yang telah dibebani cerita ini dengan berbagai penyimpangan dan perubahannya selama bertahun-tahun, juga kepada tim yang luar biasa di Penguin. Terima kasih khususnya kepada Rosanne Lauer, Deborah Kaplan, Liza Kaplan, Steve Meltzer, Nova Ren Suma, dan Irene Vandervoort.
Terima kasih kepada Ilene Cooper, mentor dan peri pelindungku. Terima kasih kepada agenku, Jodi Reamer, yang penyuluhan bijaknya telah menyelamatkanku dari bencana yang tak terhitung banyaknya. Terima kasih kepada para Nerdfighter, untuk kehebatan mereka. Terima kasih kepada Catitude, yang tidak menginginkan apa-apa lagi selain membuat dunia lebih tidak menyebalkan. Terima kasih kepada saudara laki-lakiku, Hank, yang adalah sahabat terbaik dan mitra terdekatku. Terima kasih kepada istriku, Sarah, yang bukan hanya cinta terbesar dalam hidupku, melainkan juga pembaca pertamaku yang paling tepercaya. Terima kasih juga kepada bayi, Henry, yang dilahirkan oleh istriku. Selanjutnya terima kasih kepada orangtuaku sendiri, Mike dan Sydney Green, juga mertuaku, Connie dan Marshall Urist. Terima kasih kepada temanku Chris dan Marina Waters, yang membantu penulisan cerita ini di saatsaat penting, begitu juga Joellen Hosler, Shannon James, Vi Hart, Karen Kavett yang telah menggambarkan diagram Venn dengan cemerlang, Valerie Barr, Rosianna Halse Rojas, dan John Darnielle.[]
Tentang Penulis JOHN GREEN adalah penulis terlaris New York Times dan pemenang penghargaan, dengan banyak penghargaan antara lain Printz Medal, Printz Honor, dan Edgar Award. Dia telah dua kali menjadi finalis LA Times Book Prize. Bersama saudara laki-lakinya, Hank, John adalah setengah dari Vlogbrothers (youtube.com/vlogbrothers), salah satu proyek video online terpopuler di dunia. Kau bisa bergabung dengan 1,1 juta pengikut John di Twitter (@realjohngreen), atau mengunjunginya online di johngreenbooks.com. John tinggal bersama istri dan putranya di Indianapolis, Indiana.[]