The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Novel Romance Repository, 2023-10-27 03:51:03

The Fault in Our Stars by John Green

The Fault in Our Stars by John Green

benar-benar berdiri, lalu berjalan dua langkah menghampiri Mom dan berkata, “Selalu senang berjumpa dengan Anda.” Mom merentangkan lengan untuk memeluknya, sedangkan Augustus mencondongkan tubuh dan mencium Mom di pipi. Kembali Augustus menoleh memandangku. “Benar, kan?” tanyanya. Aku pergi tidur tepat setelah makan malam, BiPAP menenggelamkan dunia di balik kamarku. Aku tidak pernah melihat perangkat ayunan itu lagi. Aku tidur untuk waktu yang lama, sepuluh jam, mungkin karena pemulihan yang lambat atau mungkin karena tidur bisa memerangi kanker, atau mungkin karena aku remaja tanpa waktu tertentu untuk bangun tidur. Aku belum cukup kuat untuk kembali menghadiri kelaskelas di MCC. Ketika akhirnya merasa ingin bangun, aku melepas moncong BiPAP dari hidungku, memasang ujungujung selang oksigen, menyalakannya, lalu aku meraih laptop dari bawah ranjang tempatku menyimpannya semalam. Aku mendapat e-mail dari Lidewij Vliegenthart. Hazel yang Baik, Aku menerima kabar lewat para Peri bahwa kau akan mengunjungi kami bersama Augustus Waters dan ibumu tanggal 4 Mei. Hanya seminggu lagi! Aku dan Peter merasa senang dan tidak sabar untuk berkenalan denganmu. Hotelmu, Filosoof, hanya satu jalanan jauhnya dari rumah Peter. Mungkin kami harus memberimu waktu sehari untuk jet lag. Jadi, seandainya memungkinkan, kami akan menerimamu di rumah Peter pada 5 Mei pagi, mungkin sekitar pukul sepuluh, untuk menikmati secangkir kopi, dan agar Peter menjawab pertanyaanpertanyaanmu mengenai bukunya. Lalu, mungkin setelah itu kita bisa mengunjungi museum atau Rumah Anne Frank? Salam hangat, Lidewij Vliegenthart Asisten Eksekutif Mr. Peter Van Houten, penulis Kemalangan Luar Biasa


“Mom,” kataku. Mom tidak menjawab. “MOM!” teriakku. Tidak ada apa-apa. Sekali lagi, lebih keras, “MOM!” Mom berlari masuk dengan tubuh basah kuyup berbalut handuk merah jambu usang, dan sedikit panik. “Ada apa?” “Tidak apa-apa. Maaf, aku tidak tahu Mom ada di kamar mandi,” jawabku. “Mandi,” kata Mom. “Aku hanya ....” Dia memejamkan mata. “Hanya mencoba untuk mandi selama lima detik. Maaf. Ada apa?” “Bisakah Mom menelepon para Peri itu dan mengabarkan kepada mereka kalau perjalanannya batal? Aku baru saja menerima e-mail dari asisten Peter Van Houten. Dia mengira kita akan datang.” Mom mengerutkan bibir dan menyipitkan mata memandangku. “Apa?” tanyaku. “Seharusnya aku tidak memberitahumu sampai Dad pulang.” “Apa?” tanyaku lagi. “Perjalanannya jadi,” kata Mom pada akhirnya. “Dr. Maria menelepon kami semalam dan meyakinkan kami bahwa kau perlu bersenangse—” “MOM, AKU SANGAT MENCINTAIMU!” teriakku. Mom menghampiri ranjang dan membiarkanku memeluknya. Aku mengsms Augustus karena tahu dia masih berada di sekolah. Kau masih bebas tanggal tiga Mei? :-) Dia langsung membalas smsku. Segalanya akan terwujud, Waters. Jika bisa tetap hidup seminggu lagi, aku akan mengetahui rahasia tidak tertulis ibu Anna dan Lelaki Tulip Belandanya. Aku menunduk memandangi


dadaku di balik baju. “Jaga dirimu,” bisikku pada paru-paruku.[]


Bab Sembilan Sehari sebelum kami berangkat ke Amsterdam, aku kembali ke pertemuan Kelompok Pendukung untuk pertama kalinya semenjak berjumpa dengan Augustus. Para pesertanya sedikit berubah di bawah sana, di Jantung Harfiah Yesus. Aku tiba lebih awal, ada cukup waktu bagi penyintas kanker usus buntu yang selamanya kuat itu, Lida, untuk menceritakan kabar terbaru dari semua orang, ketika aku menyantap kue keping cokelat dari toserba sambil bersandar pada meja hidangan pencuci mulut. Michael, penderita leukemia berusia dua belas tahun itu, sudah meninggal. Dia berjuang keras, ujar Lida kepadaku, seakan ada cara lain untuk berjuang. Semua orang lainnya masih ada. Ken dinyatakan NEC setelah radiasi. Lucas mengalami kekambuhan, dan Lida mengatakannya dengan senyum sedih dan sedikit mengangkat bahu, seakan menceritakan seorang pecandu alkohol yang mengalami kekambuhan. Seorang gadis manis dan montok berjalan menuju meja dan menyapa Lida, lalu memperkenalkan diri kepadaku sebagai Susan. Aku tidak tahu apa yang keliru dengannya, tapi dia punya bekas luka memanjang dari sisi hidungnya sampai ke bibir dan melintasi pipi. Dia mengoleskan make-up di atas bekas luka


itu, dan ini malah mempertegasnya. Aku merasa sedikit kehabisan napas karena terus berdiri, jadi aku berkata, “Aku akan duduk,” lalu lift terbuka, mengungkapkan Isaac dan ibunya. Isaac mengenakan kacamata hitam dan menggelayuti lengan ibunya dengan satu tangan, sedangkan tangan yang satunya membawa tongkat. “Aku Hazel dari Kelompok Pendukung, bukan Monica,” kataku ketika dia sudah cukup dekat. Dia tersenyum dan berkata, “Hei, Hazel. Apa kabar?” “Baik. Aku menjadi sangat seksi semenjak kau buta.” “Pasti,” katanya. Ibunya menuntunnya ke sebuah kursi, mencium puncak kepalanya, lalu berjalan kembali ke lift. Isaac merabaraba, lalu duduk. Aku duduk di kursi di sebelahnya. “Jadi, apa kabar?” “Oke. Senang bisa pulang, kurasa. Kata Gus kau baru dari ICU?” “Ya,” jawabku. “Menyebalkan,” katanya. “Kini aku jauh lebih baik,” kataku. “Besok aku berangkat ke Amsterdam bersama Gus.” “Aku tahu. Aku sangat mengetahui kabar terbaru mengenai kehidupanmu, karena Gus tidak pernah. Bicara. Mengenai. Hal. Lain.” Aku tersenyum. Patrick berdeham, lalu berkata, “Semuanya bisa duduk?” Dia melihatku memandangnya. “Hazel!” katanya. “Senang sekali melihatmu!” Semua orang duduk, dan Patrick mulai menceritakan kembali peristiwa hilangnya buah pelirnya, dan aku masuk ke dalam rutinitas Kelompok Pendukung: berkomunikasi melalui desahan dengan Isaac, mengasihani semua orang di dalam ruangan dan juga semua orang di luarnya, mengabaikan percakapan untuk memusatkan perhatian pada kesulitan bernapas dan rasa nyeriku. Dunia terus berjalan, sebagaimana biasa, tanpa partisipasi sepenuhnya dariku, dan aku baru tersadar dari lamunan ketika seseorang menyebut namaku. Itu Lida si Perkasa. Lida yang sudah sembuh. Lida yang kuat, sehat, berambut pirang, dan berenang dalam tim renang SMUnya. Lida, yang hanya kehilangan usus buntu, mengucapkan namaku, berkata, “Hazel menjadi semacam inspirasi untukku; sungguh. Dia terus bertarung dalam pertempuran, bangun setiap pagi dan pergi berperang tanpa mengeluh. Dia begitu kuat. Dia jauh lebih kuat daripadaku. Kuharap aku bisa memiliki kekuatannya.” “Hazel?” tanya Patrick. “Bagaimana perasaanmu mendengar itu?” Aku mengangkat bahu dan memandang Lida. “Aku bersedia menyerahkan kekuatanku kepadamu, seandainya bisa mendapat kesembuhanmu.” Aku merasa


bersalah begitu aku mengucapkannya. “Kurasa bukan itu yang dimaksudkan oleh Lida,” ujar Patrick. “Kurasa dia ....” Tapi aku sudah berhenti mendengarkan. Setelah doa untuk mereka yang masih hidup dan litani yang tak kunjung berakhir untuk mereka yang sudah mati (dengan Michael disebut paling akhir), kami bergandengan tangan dan berkata, “Menjalani kehidupan terbaik kami hari ini!” Lida langsung bergegas menghampiriku dengan penuh penyesalan dan penjelasan, dan aku berkata, “Tidak, tidak, benar-benar tidak apa-apa.” Aku melambaikan tangan mengabaikannya, dan berkata kepada Isaac, “Mau menemaniku ke lantai atas?” Isaac memegangi lenganku, dan aku berjalan bersamanya menuju lift, bersyukur punya alasan untuk menghindari tangga. Aku nyaris tiba di lift ketika melihat ibu Isaac berdiri di pojok Jantung Harfiah Yesus. “Aku di sini,” katanya kepada Isaac, dan Isaac melepas lenganku untuk memegangi lengan ibunya, lalu bertanya, “Kau mau mampir?” “Pasti,” kataku. Aku mengasihaninya. Walaupun aku membenci simpati yang dirasakan orang terhadapku, mau tak mau aku bersimpati terhadap Isaac. Isaac tinggal di sebuah rumah satu lantai kecil di Meridian Hills, di sebelah sekolah swasta yang gaya. Kami bersantai di ruang duduk, sementara ibunya pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Lalu, Isaac bertanya apakah aku mau main. “Pasti,” jawabku. Jadi, Isaac meminta remote control. Aku memberikannya. Dia menyalakan TV, lalu menyalakan komputer yang melekat pada TV. Layar TV tetap hitam, tapi setelah beberapa detik terdengar suara yang berat dari sana. “Penipuan,” ujar suara itu. “Satu atau dua pemain?” “Dua,” jawab Isaac. “Berhenti.” Dia menoleh kepadaku. “Aku menjalankan


permainan ini dengan Gus sepanjang waktu, tapi rasanya menjengkelkan karena dia pemain yang benar-benar suka bunuh diri. Dia bisa dibilang terlalu agresif menyelamatkan penduduk dan sebagainya.” “Ya,” kataku, mengingat malam piala hancur itu. “Mulai,” ujar Isaac. “Pemain pertama, identifikasi dirimu.” “Ini suara yang sangat, sangat seksi dari pemain pertama,” ujar Isaac. “Pemain kedua, identifikasi dirimu.” “Kurasa aku akan menjadi pemain kedua,” kataku. Sersan Staf Max Mayhem dan Serdadu Jasper Jacks terbangun di dalam sebuah ruangan gelap kosong berukuran sekitar dua puluh meter persegi. Isaac menunjuk ke arah TV, seakan aku harus bicara ke sana atau semacamnya. “Em,” kataku. “Ada tombol lampu?” Tidak. “Ada pintu?” Serdadu Jacks menemukan pintu. Terkunci. Isaac bergabung. “Ada kunci di atas kerangka pintu.” Ya, benar. “Mayhem membuka pintu.” Kegelapan masih menyeluruh. “Keluarkan pisau,” ujar Isaac. “Keluarkan pisau,” imbuhku. Seorang anak kecil—kurasa adik laki-laki Isaac— melesat keluar dari dapur. Usianya mungkin sepuluh tahun, ceking dan kebanyakanenergi, dan dia setengah melompat melintasi ruang duduk, lalu berteriak menirukan suara Isaac dengan sangat baik, “BUNUH DIRI.” Sersan Mayhem meletakkan pisaunya di leher. Kau yakin kau— “Tidak,” ujar Isaac. “Berhenti. Graham, jangan memaksaku untuk menendang pantatmu.” Graham tertawa geli dan melesat pergi ke lorong. Sebagai Jacks dan Mayhem, aku dan Isaac berjalan merabaraba di dalam gua, sampai kami menabrak seorang lelaki—yang kami tusuk setelah kami paksa untuk menginformasikan bahwa kami berada di sebuah guapenjara Ukraina, lebih dari satu setengah kilometer di bawah tanah. Ketika kami melanjutkan perjalanan, efekefek suara—sungai bawahtanah yang bergolak, suarasuara yang bicara dalam bahasa Ukraina dan Inggris beraksen—menuntun kami melewati gua, tapi tidak ada sesuatu pun yang bisa dilihat dalam permainan ini. Setelah


bermain selama satu jam, kami mulai mendengar teriakan seorang tawanan yang putus asa, memohon, “Tuhan, tolong aku. Tuhan, tolong aku.” “Berhenti,” kata Isaac. “Di tempat inilah Gus selalu bersikeras mencari tahanan itu, walaupun tindakan itu mencegahmu untuk memenangkan permainan, padahal satusatunya cara untuk benar-benar membebaskan tahanan itu adalah dengan memenangkan permainan.” “Ya, dia terlalu serius menanggapi permainan video,” kataku. “Kecintaannya terhadap metafora sedikit terlalu berlebihan.” “Kau suka dia?” tanya Isaac. “Tentu saja aku menyukainya. Dia hebat.” “Tapi, kau tidak ingin berpacaran dengannya?” Aku mengangkat bahu. “Masalahnya rumit.” “Aku tahu apa maksud pernyataanmu ini. Kau tidak ingin memberinya sesuatu yang tidak bisa diatasinya. Kau tidak ingin dia meMonicakanmu,” katanya. “Begitulah,”kataku.Tapi,bukan itu.Kenyataannya adalah, aku tidak ingin mengIsaackannya. “Agar adil terhadap Monica,” kataku, “apa yang kau lakukan terhadapnya juga tidak begitu menyenangkan.” “Apa yang ku-lakukan terhadapnya?” tanyanya dengan nada membela diri. “Kau tahulah, menjadi buta dan sebagainya.” “Tapi, itu bukan kesalahanku,” ujar Isaac. “Aku tidak bilang itu kesalahan-mu. Kubilang itu tidak menyenangkan.”[]


Bab Sepuluh Kami hanya bisa membawa satu koper. Aku tidak bisa membawa koper, sedangkan Mom bersikeras tidak sanggup membawa dua koper, jadi kami harus berebut tempat di dalam koper hitam yang didapat orangtuaku sebagai hadiah perkawinan sejuta tahun lalu, koper yang seharusnya menghabiskan hidup di tempattempat eksotis, tapi sebagian besarnya malah digunakan untuk bolakbalik ke Dayton. Di sana Morris Property Inc. punya kantor satelit yang sering dikunjungi oleh ayahku. Aku berdebat dengan Mom bahwa aku harus mendapat tempat sedikit melebihi setengah koper, karena tanpaku dan kankerku kami tidak akan pernah berangkat ke Amsterdam. Mom membantah bahwa, karena tubuhnya dua kali lebih besar daripada tubuhku, dia memerlukan lebih banyak kain fisik untuk mempertahankan kesopanan, sehingga berhak mendapat setidaknya dua pertiga ruangan koper. Akhirnya, kami berdua kalah. Jadi, begitulah. Pesawat kami tidak akan berangkat sampai tengah hari, tapi Mom membangunkanku pukul lima tiga puluh, menyalakan lampu, dan berteriak, “AMSTERDAM!” Dia berlari ke sanakemari sepanjang pagi, untuk memastikan


kami membawa adaptor listrik internasional dan mengecek empat kali apakah jumlah tangki oksigen yang kami bawa mencukupi sampai tiba di sana dan semuanya terisi penuh, dsb., sementara aku hanya berguling turun dari ranjang, mengenakan Pakaian Perjalanan ke Amsterdamku (celana jins, tank-top merah jambu, dan kardigan hitam kalaukalau pesawatnya dingin). Barangbarang dimasukkan ke mobil pukul enam lewat lima belas, lalu Mom bersikeras agar kami sarapan bersama Dad, walaupun secara moral aku tidak setuju untuk makan sebelum fajar, karena aku bukanlah petani Rusia abad kesembilan belas yang harus memperkuat tubuh untuk bekerja di ladang seharian. Bagaimanapun, aku berupaya menelan sebagian telurnya, sementara Mom dan Dad menikmati Egg McMuffin versirumahan yang mereka sukai. “Mengapa hidangan sarapan disebut hidangan sarapan?” tanyaku kepada mereka. “Contohnya, mengapa kita tidak menyantap kari untuk sarapan?” “Hazel, makanlah.” “Tapi mengapa?” tanyaku. “Maksudku, sungguh: Bagaimana telur orakarik bisa secara eksklusif dikaitkan dengan sarapan? Kau bisa mengisi rotilapismu dengan daging asap tanpa membuat seseorang ketakutan. Tapi, begitu rotilapismu berisi telur, buum, itu rotilapis untuk sarapan.” Dad menjawab dengan mulut penuh. “Ketika kau pulang, kita akan menyantap sarapan untuk makan malam. Setuju?” “Aku tidak ingin menyantap ‘sarapan untuk makan malam’,” jawabku seraya menyilangkan pisau dan garpu di atas piringku yang nyaris masih penuh. “Aku ingin menyantap telur orakarik untuk makan malam, tanpa interpretasi konyol bahwa hidangan yang menyertakan telur orakarik adalah hidangan sarapan, walaupun disantap saat makan malam.” “Kau harus memilih pertempuranmu di dunia ini, Hazel,” ujar Mom. “Tapi, seandainya ini kasus yang ingin kau menangkan, kami akan berdiri di belakangmu.” “Agak jauh di belakangmu,” imbuh Dad, dan Mom tertawa. Bagaimanapun, aku tahu ini konyol, tapi aku sedikit mengasihani telur orakarik. Setelah mereka selesai sarapan, Dad mencuci piring dan menemani kami ke mobil. Tentu saja dia mulai menangis, dan dia mencium pipiku dengan wajah basah belum dicukur. Dia menekankan hidungnya pada tulang pipiku dan berbisik, “Aku mencintaimu. Aku sangat bangga terhadapmu.” (Karena apa? pikirku.)


“Terima kasih, Dad.” “Sampai jumpa beberapa hari lagi, oke, Manis? Aku sangat mencintaimu.” “Aku juga mencintaimu, Dad.” Aku tersenyum. “Dan ini hanya tiga hari.” Ketika mobil kami mundur meninggalkan jalananmobil, aku terus melambaikan tangan kepada Dad. Dia membalas lambaian tanganku dan menangis. Terpikir olehku bahwa Dad mungkin berpikir dia bisa saja tidak akan pernah berjumpa kembali denganku, dan mungkin inilah yang ada dalam pikirannya setiap pagi di semua hari kerjanya ketika dia pergi bekerja, dan ini mungkin menyebalkan. Aku dan Mom berangkat ke rumah Augustus. Ketika kami tiba di sana, Mom menginginkanku agar tetap berada di mobil untuk beristirahat, tapi aku tetap saja berjalan ke pintu bersamanya. Ketika kami mendekati rumah itu, aku bisa mendengar seseorang menangis di dalamnya. Mulanya aku tidak mengira itu Gus, karena kedengarannya sama sekali tidak mirip dengan suara rendahnya ketika bicara, tapi kemudian aku mendengar suara yang jelas adalah versi lain dari perkataannya: “KARENA INI HIDUPKU, MOM. HIDUPKU ADALAH MILIKKU.” Dan Mom cepatcepat merangkulkan lengannya di bahuku dan memutarku kembali ke mobil, berjalan cepat, dan aku berkata, “Mom, ada apa?” Dan Mom berkata, “Kita tidak boleh menguping, Hazel.” Kami kembali ke mobil dan aku mengsms Augustus bahwa kami berada di luar, kapan pun dia siap. Kami menatap rumah itu selama beberapa saat. Hal ganjil mengenai rumah adalah, walaupun sebagian besar kehidupan kita berada di dalamnya, dari luar selalu tampak seakan tidak ada sesuatu pun yang terjadi di dalamnya. Aku ingin tahu apakah itu memang semacam tujuan dari arsitektur. “Wah,” ujar Mom setelah beberapa saat, “kita kepagian, kurasa.” “Rasanya aku tidak perlu bangun jam lima tiga puluh,” kataku. Mom menjulurkan tangan ke dasbor yang berada di antara kami, meraih cangkir kopi, dan meneguk isinya. Ponselku bergetar. Sms dari Augustus. TIDAK BISA memutuskan harus pakai apa. Kau lebih suka aku memakai kaus polo atau kemeja? Aku menjawab: Kemeja.


Tiga puluh detik kemudian, pintu depan terbuka, dan Augustus yang sedang tersenyum muncul, menyeret tas beroda di belakangnya. Dia mengenakan kemeja birulangit rapi yang dimasukkan ke dalam celana jinsnya. Sebatang Camel Light menggantung dari bibirnya. Mom keluar untuk menyapanya. Augustus mengeluarkan rokoknya sejenak dan bicara dengan suara penuh percaya diri yang sudah terbiasa kudengar. “Selalu senang berjumpa dengan Anda, Ma’am.” Aku mengamati mereka lewat kaca spion, sampai Mom membuka bagasi. Beberapa saat kemudian, Augustus membuka pintu di belakangku dan terlibat dalam urusan rumit memasuki bagian belakang mobil dengan satu kaki. “Kau mau duduk di depan?” tanyaku. “Jelas tidak,” jawabnya. “Dan halo, Hazel Grace.” “Hai,” kataku. “Oke?” tanyaku. “Oke,” katanya. “Oke,” kataku. Mommasukdanmenutuppintumobil.“Perhentian berikutnya, Amsterdam,” katanya mengumumkan. Dan ini tidak sepenuhnya benar. Perhentian berikutnya adalah tempat parkir bandara, lalu sebuah bus membawa kami ke terminal, lalu mobil listrik terbuka membawa kami ke jalur pemeriksaan keamanan. Petugas pengaman bandara di depan barisan berteriak bahwa sebaiknya tastas kami tidak berisi peledak atau senjata atau cairan apa pun melebihi 80 ml, dan kukatakan kepada Augustus, “Pengamatan: Berdiri dalam barisan adalah sebentuk penindasan,” dan dia berkata, “Memang.” Daripada digeledah, aku memilih untuk berjalan melewati detektor logam tanpa kereta atau tangkiku, atau bahkan tanpa ujungujung selang plastik di hidung. Berjalan melewati mesin sinarX menandai pertama kalinya aku


melangkah tanpa oksigen setelah beberapa bulan, dan rasanya sangat menakjubkan berjalan tanpa terbebani seperti itu, melangkah melewati Rubicon, dan kebisuan mesin itu menegaskan bahwa aku, seberapa pun singkatnya, adalah makhluk takberlogam. Aku merasakan kekuasaan jasmaniah tertinggi yang tidak begitu bisa kujelaskan, kecuali dengan mengatakan bahwa semasa masih kecil aku punya ransel sangat berat yang kupanggul ke manamana dengan semua bukuku di dalamnya dan, jika aku berjalanjalan dengan memanggul ransel itu untuk waktu yang cukup lama, aku merasa seakan melayang ketika melepaskannya. Setelah kira-kira sepuluh detik, paruparuku terasa seakan terlipatlipat seperti bunga di waktu senja. Aku duduk di atas bangku kelabu persis di samping mesin itu dan berupaya menghela napas, terbatukbatuk hebat, dan merasa sangat menderita sampai kanulaku balik ke tempatnya. Setelah itu pun rasanya tetap menyakitkan. Rasa nyeri itu selalu ada di sana, menarikku ke dalam diriku sendiri, menuntut untuk dirasakan. Aku selalu merasa terbangun dari nyeri, ketika sesuatu yang berada di dunia di luar diriku mendadak menuntut komentar atau perhatianku. Mom sedang memandangiku dengan khawatir. Dia baru saja mengatakan sesuatu. Apa katanya tadi? Lalu, aku ingat. Dia bertanya ada apa. “Tidak ada apa-apa,” kataku. “Amsterdam!” ujar Mom setengah berteriak. Aku tersenyum. “Amsterdam,” jawabku. Mom menjulurkan tangan ke arahku dan menarikku berdiri. Satu jam sebelum jadwal naik pesawat, kami sudah tiba di gerbang. “Mrs. Lancaster, Anda orang yang sangat tepat waktu,” ujar Augustus ketika duduk di sebelahku di area gerbang yang sebagian besarnya kosong. “Wah, sebagian karena aku secara teknis tidak terlalu sibuk,” jawab Mom.


“Mom cukup sibuk,” kataku kepadanya, walaupun terpikir olehku bahwa sebagian besar urusan Mom adalah aku. Juga ada urusan menjadi istri dari ayahku—Dad agak tidak paham soal perbankan, memanggil tukang ledeng, memasak, dan melakukan segala hal lainnya selain bekerja untuk Morris Property, Inc.—tapi sebagian besar urusan Mom adalah aku. Alasan utama hidupnya dan alasan utamaku untuk hidup sangatlah berkaitan erat. Ketika kursikursi di sekitar gerbang mulai terisi, Augustus berkata, “Aku mau beli hamburger sebelum kita berangkat. Mau dibelikan sesuatu?” “Tidak,” kataku, “tapi aku akan sangat menghormati penolakanmu terhadap kesepakatan masyarakat mengenai sarapan.” Dia memiringkan kepala memandangku dengan bingung. “Hazel telah mengembangkan kasus pengisolasian telur orakarik,” jelas Mom. “Sangat memalukan karena kita semua menjalani kehidupan begitu saja, menerima secara membuta bahwa pada dasarnya telur orakarik berhubungan dengan pagi.” “Aku ingin membahas ini lebih jauh,” kata Augustus. “Tapi, aku kelaparan. Aku akan kembali.” Ketika Augustus belum muncul setelah dua puluh menit, aku bertanya kepada Mom apakah menurutnya ada sesuatu yang keliru, dan dia hanya mendongak cukup lama dari majalah payahnya untuk berkata, “Mungkin dia pergi ke kamar kecil atau semacamnya.” Seorang petugas gerbang datang dan mengganti tangki oksigenku dengan tangki yang disediakan oleh maskapai penerbangan. Aku merasa malu karena perempuan ini berlutut di depanku dengan disaksikan oleh semua orang, sehingga aku mengsms Augustus. Dia tidak menjawab. Mom tampak tidak khawatir, tapi aku membayangkan segala jenis takdir perusakperjalanan ke Amsterdam (penangkapan, cedera,


gangguan kejiwaan) dan, ketika menitmenit berlalu, aku merasa seakan ada sesuatu yang tidak berhubungan dengan kanker, tapi keliru di dalam dadaku. Dan, persis ketika perempuan di belakang meja tiket mengumumkan bahwa mereka akan mulai memasukkan terlebih dahulu orangorang yang mungkin perlu sedikit waktu ekstra, lalu semua orang di area gerbang menoleh tepat ke arahku, aku melihat Augustus berjalan terpincangpincang cepat ke arah kami dengan kantong McDonald’s di satu tangan dan ransel tersampir di bahu. “Kau dari mana?” tanyaku. “Antreannya superpanjang, maaf,” jawabnya seraya menawarkan tangannya untuk membantuku berdiri. Aku menyambutnya, dan kami berjalan bersisian menuju gerbang untuk memasuki pesawat. Aku bisa merasakan semua orang mengamati kami, bertanyatanya apa yang keliru dengan kami, apakah itu mematikan, betapa heroik ibuku, dan segala hal lainnya. Terkadang itulah hal terburuk dari menderita kanker: Bukti fisik penyakit itu memisahkanmu dari semua orang lainnya. Tanpa kenal kompromi, kami adalah orang lain, dan itu tidak pernah tampak lebih jelas lagi daripada ketika kami bertiga berjalan memasuki pesawat kosong, lalu pramugari mengangguk bersimpati dan menunjukkan kursi kami yang berada agak jauh di belakang. Aku duduk di tengah deretan kursi untuk tiga orang, dengan Augustus di kursi dekat jendela dan Mom di kursi dekat lorong. Aku merasa sedikit terimpit oleh Mom, jadi tentu saja aku beringsut mendekati Augustus. Kami berada persis di belakang sayap pesawat. Augustus membuka kantongnya dan membuka bungkus hamburgernya. “Tapi, masalah telur adalah,” katanya, “sarapanisasi memberikan kesakralan tertentu pada telur orakarik, bukan? Kau bisa mendapat daging asap atau keju Cheddar di mana pun dan kapan pun, mulai dari taco sampai rotilapis sarapan sampai keju panggang, tapi telur orakarik—sangatlah penting.” “Konyol,” kataku. Kini orangorang mulai berbaris memasuki pesawat. Aku tidak ingin memandang mereka, jadi aku memalingkan wajah, dan memalingkan wajah berarti memandang Augustus. “Aku hanya mengatakan bahwa telur orakarik mungkin telah diisolasi, tapi juga sangat istimewa. Telur orakarik punya tempat dan waktu, sama seperti gereja.” “Kau teramat sangat keliru,” kataku. “Kau memercayai pendapat dari jahitan tusuksilang di bantal hias orangtuamu. Kau mendebat bahwa hal yang rapuh dan langka disebut indah hanya karena kerapuhan dan kelangkaannya. Tapi, itu


kebohongan dan kau tahu itu.” “Kau orang yang sulit untuk dihibur,” ujar Augustus. “Penghiburanyangmudahbukanlahpenghiburan,” kataku. “Kau pernah menjadi bunga yang rapuh dan langka. Kau ingat.” Sejenak dia diam saja. “Kau tahu cara membungkamku, Hazel Grace.” “Itu keistimewaan dan tanggung jawabku,” jawabku. Sebelum aku mengalihkan pandangan darinya, dia berkata, “Dengar, maaf aku menghindari area gerbang. Antrean McDonalds’s tidak sepanjang itu; aku hanya … aku hanya tidak ingin duduk di sana, dengan semua orang memandangi kita atau semacamnya.” “Terutama memandangku,” kataku. Kau bisa melirik Gus dan tidak pernah tahu kalau dia pernah sakit, tapi aku membawa penyakitku bersamaku di luar tubuh, dan itulah sebagian alasan aku menjadi orang rumahan. “Augustus Waters, orang yang terkenal dengan karismanya, merasa malu duduk di sebelah cewek yang membawa tangki oksigen.” “Bukan malu,” katanya. “Terkadang mereka menjengkelkanku saja. Dan, hari ini aku tidak ingin merasa jengkel.” Semenit kemudian, dia merogoh saku dan membuka bungkus rokoknya. kira-kira sembilan detik kemudian, seorang pramugari berambut pirang bergegas menghampiri deretan kursi kami dan berkata, “Pak, Anda tidak boleh merokok di pesawat ini. Atau pesawat mana pun.” “Aku tidak merokok,” jelas Augustus, dengan rokok menarinari di bibir ketika dia bicara. “Tapi—” “Ini metafora,” jelasku. “Dia meletakkan benda pembunuh itu di bibir, tapi tidak memberinya kekuatan untuk membunuh.” Hanya sejenak pramugari itu kebingungan. “Wah, metafora itu dilarang pada penerbangan hari ini,” katanya. Gus mengangguk dan mengembalikan rokok ke dalam bungkusnya.


Akhirnya, pesawat meluncur di landasanpacu dan pilot berkata, Awak pesawat, siap untuk berangkat, lalu dua mesin jet raksasa meraung hidup dan pesawat mulai bergerak semakin cepat. “Seperti inilah rasanya mengendarai mobil bersamamu,” kataku, dan Augustus tersenyum tapi terus mengatupkan rahang, dan aku berkata, “Oke?” Pesawat kami bertambah cepat, dan mendadak tangan Gus mencengkeram pegangan kursi, matanya membelalak, dan aku meletakkan tanganku di atas tangannya dan berkata, “Oke?” Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatapku dengan mata membelalak, dan aku bertanya, “Kau takut terbang?” “Akan kuceritakan semenit lagi,” katanya. Hidung pesawat naik dan kami melayang. Gus menatap ke luar jendela, mengamati planet bumi menciut di bawah kami, lalu aku merasakan tangannya mengendur di bawah tanganku. Dia melirikku, lalu kembali memandang jendela. “Kita terbang,” katanya mengumumkan. “Kau belum pernah terbang?” Dia menggeleng. “LIHAT!” Dia setengah berteriak, menunjuk jendela. “Ya,” kataku. “Ya, aku melihatnya. Tampaknya seakan kita berada dalam pesawat.” “BELUM PERNAH ADA YANG TERLIHAT SEPERTI ITU DI SEPANJANG SEJARAH MANUSIA,” katanya. Keantusiasannya mengagumkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mencondongkan tubuh dan mencium pipinya. “Asal tahu saja, aku berada persis di sini,” ujar Mom. “Duduk di sebelahmu. Ibumu. Yang memegangi tanganmu ketika kau melangkah untuk pertama kalinya.” “Itu ciuman persahabatan,” kataku mengingatkan Mom, seraya menoleh dan mencium pipinya. “Tidak terasa begitu bersahabat,” gumam Gus cukup keras untuk kudengar.


Ketika Gus yang terkejut, senang, dan polos itu muncul dari Augustus yang Bersikap Hebat dan Cenderung Metaforis, secara harfiah aku tidak tahan. Itu penerbangan cepat ke Detroit. Di sana kami disambut mobil listrik kecil ketika menuruni pesawat, dan dibawa ke gerbang untuk perjalanan ke Amsterdam. Pesawatnya punya TV di belakang setiap kursi dan, setelah kami berada di atas awan, aku dan Augustus mengatur waktu sehingga kami mulai menonton film komedi romantis yang sama pada saat yang bersamaan di masingmasing layar TV kami. Tapi, walaupun kami benar-benar sinkron ketika menekan tombol play, film Augustus dimulai beberapa detik sebelum filmku, sehingga di setiap momen lucu dia tertawa persis ketika aku mulai mendengar apa pun leluconnya. Mom punya rencana besar, yaitu kami akan tidur selama beberapa jam terakhir penerbangan, sehingga ketika pesawat mendarat pukul delapan pagi, kami akan tiba di kota dalam keadaan siap untuk menyesap tulang sumsum kehidupan atau apa pun itu. Jadi, setelah film berakhir, aku, Mom, dan Augustus minum pil tidur. Mom tertidur dalam hitungan detik, tapi aku dan Augustus tetap terjaga untuk melihat ke luar jendela selama beberapa saat. Itu hari yang cerah. Walaupun tidak bisa melihat matahari terbenam, kami bisa melihat respons langit. “Astaga, indah sekali,” kataku, lebih kepada diri sendiri. “Matahari terbit terlalu cemerlang di matanya yang hilang,” kata Augustus, mengutip kalimat dari Kemalangan Luar Biasa. “Tapi, mataharinya tidak sedang terbit,” kataku. “Terbit di suatu tempat,” jawabnya, lalu sejenak kemudian dia berkata, “Pengamatan: Akan menakjubkan untuk terbang dengan pesawat supercepat yang bisa mengejar matahari terbit di seluruh dunia selama beberapa saat.”


“Aku juga akan hidup lebih lama,” kataku. Augustus memandangku dengan kepala dimiringkan. “Kau tahulah, karena relativitas atau semacamnya,” jelasku lagi. Dia masih tampak kebingungan. “Kita menua lebih lambat ketika bergerak lebih cepat, jika dibandingkan dengan ketika berdiri diam. Jadi, pada saat ini waktu berlalu lebih lambat bagi kita daripada bagi orangorang di bumi.” “Cewek kuliahan,” katanya. “Mereka pintar sekali.” Aku memutar bola mata. Augustus menyodokkan lutut (asli)nya ke lututku dan aku balas menyodok lututnya dengan lututku. “Kau mengantuk?” tanyaku. “Sama sekali tidak,” jawabnya. “Ya,” kataku. “Aku juga.” Obat tidur dan narkotika tidak berpengaruh bagiku, tidak seperti pengaruh obatobatan itu terhadap orang normal. “Mau nonton film lain?” tanyanya. “Ada filmnya Portman dari Era Hazel.” “Aku ingin menonton sesuatu yang belum pernah kau tonton.” Akhirnya kami menonton 300, film perang mengenai 300 orang Sparta yang melindungi Sparta dari pasukan penyerang berjumlah kira-kira sejuta orang Persia. Film Augustus kembali dimulai sebelum filmku, dan setelah beberapa menit mendengarnya berteriak, “Sialan!” atau “Mati!” setiap kali seseorang terbunuh dengan semacam cara yang keji, aku mencondongkan tubuh melewati pegangan kursi dan meletakkan kepala di bahunya, sehingga aku bisa melihat layarnya dan kami bisa benar-benar menonton film itu bersamasama. Film 300 menampilkan sejumlah besar pemuda berotot yang tak berbaju dan dengan tubuh diminyaki, sehingga tidak terlalu sulit untuk dinikmati oleh mata, tapi sebagian besar film terdiri dari ayunan pedang tanpa menimbulkan efek yang nyata. Mayat orang Persia dan orang Sparta menumpuk, dan aku tidak begitu bisa memahami mengapa orang Persianya begitu jahat atau orang Spartanya begitu hebat. “Kontemporanitas,” jika mengutip KLB, “mengkhususkan diri pada sejenis pertempuran tanpa seorang pun kehilangan sesuatu yang bernilai, kecuali mungkin nyawanya.” Dan, seperti itulah pertempuran orangorang perkasa ini. Menjelang akhir film, nyaris semua orang mati, dan ada momen gila ketika orang Sparta mulai menumpuk mayat untuk membentuk dinding mayat. Orang mati menjadi penghalangjalan besar yang berdiri tegak di antara orang Persia dan jalan menuju Sparta. Menurutku pertumpahan darah itu sedikit tidak beralasan, jadi aku berpaling sejenak, bertanya kepada Augustus, “Menurutmu ada berapa banyak orang yang mati?” Dia mengabaikanku dengan lambaian tangannya. “Shh. Shh. Ini mulai asyik.”


Ketika orang Persia menyerang, mereka harus memanjat dinding mayat itu, dan orang Sparta berhasil menempati tanah tinggi di atas gunung mayat. Ketika mayatmayat menumpuk, dinding martir itu menjadi semakin tinggi, karenanya lebih sulit untuk dipanjat, dan semua orang mengayunkan pedang/menembakkan anak panah, dan sungaisungai darah mengalir dari Gunung Mayat, dsb. Aku mengangkat kepala dari bahu Augustus sejenak untuk beristirahat dari pertumpahan darah itu, dan mengamatinya menonton film. Dia tidak bisa menahan seringai konyolnya. Aku menonton layar TVku sendiri dengan mata terpicing ketika gunung itu semakin tinggi oleh mayat orang Persia dan Sparta. Ketika orang Persia akhirnya mengalahkan orang Sparta, kembali aku menoleh memandang Augustus. Walaupun orangorang baiknya baru saja kalah, dia tampak begitu riang. Kembali aku meletakkan kepala di dadanya, tapi dengan terus memejamkan mata sampai pertempuran itu berakhir. Ketika muncul tulisan di akhir film, Augustus melepas headphone dan berkata, “Maaf, aku terhanyut dalam kemuliaan pengorbanan. Apa katamu tadi?” “Menurutmu ada berapa banyak orang yang mati?” “Maksudmu ada berapa banyak orang fiktif yang mati dalam film fiktif itu? Tidak cukup banyak,” jawabnya bergurau. “Bukan, maksudku selama ini. Menurutmu ada berapa banyak orang yang sudah mati?” “Aku kebetulan mengetahui jawaban atas pertanyaan itu,” katanya. “Ada tujuh miliar orang hidup, dan sekitar sembilan puluh delapan miliar orang mati.” “Oh,” kataku. Kupikir, mungkin karena pertumbuhan penduduk tidak pernah secepat ini, ada lebih banyak orang yang hidup daripada gabungan semua orang mati. “Ada sekitar empat belas orang mati untuk setiap orang hidup,” katanya. Tulisantulisan terus bergulir. Perlu waktu lama untuk mengidentifikasi semua mayat itu. Kepalaku masih berada di bahu Augustus. “Aku melakukan semacam riset mengenai hal itu beberapa tahun yang lalu,” lanjut Augustus. “Aku ingin tahu apakah semua orang bisa diingat. Misalnya, jika kita menjadi sistematis, dan menetapkan sejumlah mayat tertentu untuk setiap orang hidup, akan adakah cukup banyak orang hidup untuk mengingat semua orang mati itu?” “Dan adakah?” “Pasti, setiap orang bisa menyebut nama empat belas orang mati. Tapi, kita berduka secara tidak sistematis, jadi ada banyak orang yang pada akhirnya mengingat Shakespeare, dan tak seorang pun pada akhirnya mengingat orang


yang dikisahkan oleh Shakespeare dalam Soneta Kelima Puluh Lima.” “Ya,” kataku. Sedetik muncul keheningan, lalu dia bertanya, “Kau mau membaca atau apa?” Kukatakan ya. Aku membaca puisi panjang berjudul Howl karya Allen Ginsberg untuk kelas puisiku, dan Gus membacaulang Kemalangan Luar Biasa. Setelah beberapa saat dia bertanya, “Baguskah?” “Puisinya?” tanyaku. “Ya.” “Ya, hebat. Cowokcowok di dalam puisi ini mengonsumsi lebih banyak narkoba daripadaku. Bagaimana KLB?” “Masih sempurna,” jawabnya. “Bacakan untukku.” “Ini bukan sejenis puisi untuk dibacakan keraskeras ketika kau sedang duduk di sebelah ibumu yang terlelap. Puisi ini berisikan, misalnya, kekerasan dan narkoba di dalamnya,” kataku. “Kau baru saja menyebut dua pengisi waktu luang favoritku,” katanya. “Oke, kalau begitu bacakan sesuatu yang lain.” “Em,” kataku. “Aku tidak punya sesuatu yang lain?” “Sayang sekali. Aku sedang berminat pada puisi. Kau punya sesuatu yang sudah kau hafalkan?” “‘Kalau begitu, marilah kita pergi, kau dan aku,’” kataku memulai dengan gugup, “‘Ketika malam menyebar di langit / Seperti pasien yang dianestesi di atas meja.’” “Jangan cepatcepat,” katanya. Aku merasa malu, seperti yang kurasakan ketika pertama kali menceritakan Kemalangan Luar Biasa kepadanya. “Em, oke. Oke. ‘Marilah kita pergi, melewati jalanjalan tertentu yang agak sepi, /Peristirahatan penuh gumaman /Malammalam gelisah di hotelhotel murah semalam/Dan restoranrestoran bertabur serbuk gergaji dan cangkang tiram: /Jalanjalan yang memanjang seperti debat menjemukan/Dengan maksud jahat /Untuk membawamu pada pertanyaan penting … /Oh, jangan bertanya, Apakah itu? /Marilah kita pergi berkunjung.’” “Aku jatuh cinta kepadamu,” kata Augustus pelan. “Augustus,” kataku. “Sungguh,” katanya. Dia menatapku, dan aku bisa melihat kedua ujung matanya berkerut. “Aku jatuh cinta kepadamu, dan aku tidak mau mengingkari diriku sendiri dari kenikmatan sederhana berkata jujur. Aku jatuh cinta kepadamu, dan aku tahu bahwa cinta hanyalah teriakan ke dalam kekosongan,


dan pelupaan abadi tak terhindarkan, dan kita semua sudah ditakdirkan, dan akan ada hari ketika semua upaya kita kembali menjadi debu, dan aku tahu matahari akan menelan satusatunya bumi yang kita miliki, dan aku jatuh cinta kepadamu.” “Augustus,” ulangku, tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya seakan segalanya muncul dari dalam diriku, seakan aku sedang tenggelam dalam kegembiraan yang secara ganjil menyakitkan ini, tapi aku tidak bisa menjawab apa-apa. Aku hanya memandang Augustus dan membiarkannya memandangiku sampai dia mengangguk dengan bibir mengerut, lalu mengalihkan pandangan, meletakkan sisi kepalanya di jendela.[]


Bab Sebelas Kurasa Augustus tertidur. Aku tertidur, pada akhirnya, dan terbangun ketika roda pendarat dikeluarkan. Mulutku rasanya mengerikan, dan aku berupaya untuk terus menutupnya karena khawatir bisa meracuni pesawat. AkumemandangAugustusyangsedangmenatapke luar jendela, dan ketika kami menukik ke bawah awanawan yang menggelayut rendah, aku menegakkan punggung untuk melihat Belanda. Tanahnya seakan tenggelam ke dalam lautan, petakpetak persegi empat hijau kecil yang seluruh sisinya dikelilingi kanal. Kami mendarat, sesungguhnya paralel dengan sebuah kanal, seakan ada dua landasanpacu: satu untuk kami dan satunya lagi untuk burung air. Setelah mengambil tastas kami dan melewati bagian pemeriksaan, kami semua memasuki taksi yang dikemudikan seorang lelaki botak bertubuh gemuk padat yang bicara dalam bahasa Inggris sempurna— rasanya lebih baik daripada bahasa Inggrisku. “Hotel Filosoof?” kataku. Dan dia bertanya, “Kalian orang Amerika?” “Ya,” jawab Mom. “Kami dari Indiana.” “Indiana,” katanya. “Mereka mencuri tanah itu dari orang Indian dan mempertahankan namanya, bukan?”


“Semacam itulah,” jawab Mom. Taksi memasuki lalu lintas, dan kami menuju jalan raya dengan banyak papan tanda biru yang menampilkan konsonan ganda: Oosthuizen, Haarlem. Selain jalan raya, tanah kosong datar membentang sampai berkilometerkilometer, sesekali disela oleh markas perusahaan besar. Singkatnya, Belanda menyerupai Indianapolis, tapi dengan mobilmobil yang lebih kecil. “Ini Amsterdam?” tanyaku kepada sopir taksi. “Ya dan tidak,” jawabnya. “Amsterdam menyerupai lingkaranlingkaran pada batang pohon: Akan semakin tua ketika kalian semakin mendekati bagian tengahnya.” Dan itu mendadak terjadi: Kami keluar dari jalan raya, lalu tampak deretan rumah seperti dalam imajinasiku, condong ke arah kanalkanal secara membahayakan. Sepeda ada di manamana, juga kedai kopi yang mengiklankan RUANG MEROKOK BESAR. Taksi melintasi sebuah kanal, dan dari puncak jembatan aku bisa melihat lusinan rumahkapal berlabuh di sepanjang perairan. Ini sama sekali tidak menyerupai Amerika. Ini tampak seperti lukisan tua, tapi nyata—segalanya begitu damai di dalam cahaya pagi—dan aku membayangkan betapa aneh dan menakjubkannya tinggal di tempat yang hampir segala sesuatunya dibangun oleh orang yang sudah mati. “Apakah rumahrumah ini sudah tua sekali?” tanya Mom. “Banyak di antara rumahrumah kanal itu yang berasal dari Masa Keemasan, abad ketujuh belas,” jawabnya. “Kota kami punya sejarah yang kaya, walaupun banyak turis hanya ingin melihat Daerah Lampu Merahnya.” Dia terdiam. “Beberapa turis menganggap Amsterdam sebagai kota dosa, tapi sesungguhnya ini kota kebebasan, dan sebagian besar orang menemukan dosa di dalam kebebasan.” Semua kamar di Hotel Filosoof dinamakan menurut para filosoofer: aku dan Mom tinggal di lantai bawah, di kamar Kierkegaard; Augustus satu lantai di atas kami, di kamar Heidegger. Kamar kami kecil: ranjang untuk dua orang yang


menempel di dinding bersama mesin BiPAP, konsentrator oksigen, dan selusin tangki oksigen isiulang di kaki ranjang. Selain peralatan itu, ada kursi tua berdebu berlapis kain motif paisley dengan alas duduk meleyot, meja, dan rak buku di ranjang yang berisi kumpulan karya Søren Kierkegaard. Di meja kami menemukan keranjang anyaman penuh hadiah dari para Peri: sepatu kayu, Tshirt oranye Belanda, cokelat, dan berbagai penganan lainnya. Hotel Filosoof berada persis di sebelah Vondelpark, taman paling terkenal di Amsterdam. Mom ingin langsung berjalanjalan, tapi aku superlelah, jadi dia menyetel BiPAP dan meletakkan moncongnya di hidungku. Aku benci bicara ketika mesin itu menyala, tapi aku berkata, “Pergilah ke taman, aku akan menelepon Mom kalau sudah bangun.” “Oke,” kata Mom. “Selamat tidur, Sayang.” Tapi, ketika aku terbangun beberapa jam kemudian, Mom duduk di kursi kecil kuno di pojok, membaca buku panduan. “Selamat pagi,” sapaku. “Sesungguhnya sore,” jawab Mom seraya bangkit dari kursi dengan mendesah. Mom menghampiri ranjang, meletakkan tangki di kereta, lalu menghubungkannya dengan selang ketika aku melepas moncong BiPAP dan meletakkan ujungujung selang ke dalam hidung. Mom mengaturnya untuk 2,5 liter per menit— enam jam sebelum aku perlu mengganti tangki—lalu aku bangun. “Bagaimana rasanya?” tanya Mom. “Baik,” jawabku. “Hebat. Bagaimana Vondelpark?” “Tidak jadi,” jawab Mom. “Tapi, aku membacanya di buku panduan.” “Mom,” kataku, “Mom tidak perlu tetap berada di sini.” Dia mengangkat bahu. “Aku tahu. Aku ingin di sini. Aku senang melihatmu tidur.” “Mengerikan.” Mom tertawa, tapi aku masih merasa tidak enak. “Aku hanya


ingin Mom bersenang-senang atau apa. Mom tahu, bukan?” “Oke. Aku akan bersenang-senang malam ini, oke? Aku akan melakukan tindakan ibu gila ketika kau dan Augustus pergi makan malam.” “Tanpa Mom?” tanyaku. “Ya, tanpaku. Sesungguhnya kau sudah mendapat tempat di restoran bernama Oranjee,” jawabnya. “Asisten Mr. Van Houten yang mengaturnya. Letaknya di lingkungan yang disebut Jordaan. Sangat gaya, menurut buku panduan. Ada stasiun trem persis di pojoknya. Augustus punya petunjuknya. Kalian bisa bersantap di luar ruangan, menyaksikan kapalkapal lewat. Akan menyenangkan. Sangat romantis.” “Mom.” “Itu menurutku,” katanya. “Kau harus berganti pakaian. Gaun musim panas, mungkin?” Orang mungkin takjub dengan kegilaan situasi itu: Seorang ibu mengirim putrinya yang berusia enam belas tahun bersama seorang cowok berusia tujuh belas tahun ke dalam kota asing yang dikenal karena kebebasannya. Tapi, ini juga efek samping sekarat. Aku tidak bisa lari atau berdansa atau menyantap hidangan kaya nitrogen, tapi di dalam kota kebebasan aku berada di antara warganya yang paling bebas. Aku memang mengenakan gaun musim panas itu—gaun Forever 21 biru berbungabunga sepanjang lutut—dengan stoking dan sepatu Mary Jane karena aku suka menjadi jauh lebih pendek daripada Augustus. Aku memasuki kamar mandi yang menggelikan mungilnya dan sejenak berjuang mengatasi rambut baru bangun tidurku, sampai segalanya tampak menyerupai Natalie Portman pertengahan tahun 2000. Tepat pukul enam sore (tengah hari di Indiana sana), terdengar ketukan. “Halo?” kataku dari balik pintu. Tidak ada lubang intip di Hotel Filosoof. “Oke,” jawab Augustus. Aku bisa mendengar rokok di bibirnya. Aku menunduk memandangi diriku sendiri. Gaun musim panas itu menampilkan yang terbanyak dari tulang rusuk dan tulang bahuku yang pernah dilihat oleh Augustus. Gaun itu tidak cabul atau apa, tapi inilah pameran kulit terbesar yang pernah kulakukan. (Dalam hal ini Mom punya semboyan yang kusetujui: “Keluarga Lancaster tidak mempertontonkan perut.”) Aku membuka pintu. Augustus mengenakan setelan jas hitam berkerah sempit dengan jahitan sempurna, kemeja biru muda, dan dasi kupukupu hitam tipis. Sebatang rokok menggantung dari ujung bibirnya yang tidak tersenyum.


“Hazel Grace,” katanya, “kau tampak luar biasa.” “Aku,” kataku. Aku terus mengira kelanjutan kalimatku akan muncul dari udara yang melewati pita suaraku, tapi tidak terjadi sesuatu pun. Lalu, akhirnya aku berkata, “Aku merasa pakaianku kurang layak.” “Ah, gaun kuno ini?” katanya seraya tersenyum memandangku. “Augustus,” ujar Mom di belakangku, “kau tampak luar biasa tampan.” “Terima kasih, Ma’am,” kata Augustus. Dia menawarkan lengannya kepadaku. Aku menyambutnya seraya melirik Mom. “Sampai nanti jam sebelas,” kata Mom. Ketika menunggu trem nomor satu di jalanan lebar dengan lalu lintas yang sibuk, aku berkata kepada Augustus, “Ini setelan jas yang kau pakai untuk menghadiri pemakaman, bukan?” “Sesungguhnya bukan,” katanya. “Setelan jas itu sama sekali tidak sebagus ini.” Trem birudanputih tiba, dan Augustus menyerahkan kartu kami kepada sopirnya, yang menjelaskan bahwa kami perlu melambaikan kartukartu itu pada sebuah alat sensor melingkar. Ketika kami berjalan di dalam trem sesak itu, seorang lelaki tua berdiri untuk memberikan kursinya kepada kami berdua, dan aku berupaya memintanya untuk duduk, tapi dia menunjuk ke arah kursi dengan ngotot. Kami mengendarai trem sejauh tiga perhentian, aku mencondongkan tubuh melewati Gus sehingga kami bisa melihat keluar jendela bersamasama. Augustus menunjuk pepohonan dan bertanya, “Kau lihat itu?” Aku melihatnya. Tampak pohon elm di manamana di sepanjang kanalkanal, dan benihbenih pohon itu melayang tertiup angin. Tapi, itu sama sekali tidak menyerupai benih. Benihbenih itu sangat menyerupai kelopak mawar mini yang kehilangan warna. Kelopakkelopak pucat ini berkumpul di dalam angin seperti sekumpulan burung—ribuan jumlahnya, seperti badai salju musim semi.


Lelaki tua yang tadi menyerahkan kursinya kepada kami melihat kami mengamati pemandangan itu dan berkata, dalam bahasa Inggris, “Salju musim semi Amsterdam. Iepen (pohon elm) menyebar confetti untuk menyambut musim semi.” Kami berganti trem dan, setelah empat perhentian lagi, kami tiba di jalanan yang dibelah oleh sebuah kanal indah, pantulan jembatan kuno dan rumahrumah kanal yang cantik tampak beriakriak di permukaan air. Oranjee hanya terletak beberapa langkah dari trem. Restoran itu berada di satu sisi jalanan; kursikursi di luar ruangannya berada di sisi lain jalanan, di atas sebuah tonjolan beton persis di pinggir kanal. Mata pramusaji restoran berkilatkilat ketika aku dan Augustus berjalan menghampirinya. “Mr. dan Mrs. Waters?” “Kurasa begitu,” jawabku. “Meja kalian,” katanya seraya menunjuk ke seberang jalan, ke meja sempit yang hanya terletak beberapa inci dari kanal. “Sampanyenya hadiah dari kami.” Aku dan Gus saling berpandangan seraya tersenyum. Setelah menyeberangi jalan, Gus menarik kursi untukku dan membantuku mendorongnya kembali. Dan memang ada dua gelas sampanye di meja kami yang bertaplak putih. Sedikit rasa dingin di dalam udara diseimbangkan secara menakjubkan oleh sinar matahari; di salah satu sisi kami, para pesepeda mengayuh lewat—kaum lelaki dan perempuan berpakaian rapi dalam perjalanan pulang kerja, cewekcewek luar biasa cantik berambut pirang yang membonceng di belakang sepeda teman, anakanak kecil tanpa helm yang terguncangguncang di kursi plastik di belakang sepeda orangtua mereka. Dan di sisi lain kami, perairan kanal dipenuhi jutaan benih confetti. Kapalkapal kecil tertambat di bantaran bata, setengah dipenuhi air hujan, beberapa di antaranya nyaris tenggelam. Sedikit lebih jauh di kanal, aku bisa melihat rumahrumah kapal mengapung di atas ponton, dan di tengah kanal, sebuah kapal terbuka berdasardatar yang dilengkapi kursikursi taman dan stereo portabel sedang mengapung santai ke arah kami. Augustus meraih gelas sampanye dan mengangkatnya. Aku juga meraih gelasku, walaupun aku belum pernah mengonsumsi minuman beralkohol kecuali meneguk dari bir ayahku. “Oke,” katanya. “Oke,” kataku, lalu kami saling beradu gelas. Aku meneguk sampanye. Gelembunggelembung mungil itu meleleh dalam mulutku dan mengalir ke utara, memasuki otakku. Manis. Segar. Nikmat. “Ini enak sekali,” kataku. “Aku belum pernah minum sampanye.”


Seorang pramusaji muda bertubuh kekar dengan rambut pirang bergelombang muncul. Dia mungkin bahkan lebih tinggi daripada Augustus. “Tahukah kalian,” tanyanya dengan aksen yang memikat, “apa kata Dom Pérignon setelah menemukan sampanye?” “Tidak,” kataku. “Dia memanggil sesama biarawan lainnya, ‘Datanglah cepat: aku sedang mencicipi bintang-bintang.’ Selamat datang di Amsterdam. Kalian mau melihat menu, atau memesan pilihan koki?” Aku memandang Augustus dan dia memandangku. “Pilihan koki kedengarannya menyenangkan, tapi Hazel vegetarian.” Aku hanya pernah menyebut soal ini satu kali kepada Augustus, di hari pertama kami bertemu. “Itu tak masalah,” ujar pramusaji itu. “Hebat. Dan bisakah kami mendapat ini lebih banyak lagi?” tanya Gus seraya menunjuk sampanye. “Tentu saja,” jawab pramusaji itu. “Kami telah membotolkan semua bintang malam ini, SobatSobat Mudaku. Ah, confettinya!” katanya seraya mengusap lembut sehelai benih dari bahu telanjangku. “Tidak seburuk ini selama bertahuntahun. Ada di manamana. Sangat menjengkelkan.” Pramusaji itu menghilang. Kami mengamati confetti berjatuhan dari langit, melayang di tanah dalam angin sepoisepoi, lalu berjatuhan ke dalam kanal. “Agak sulit dipercaya seseorang bisa menganggap itu menjengkelkan,” ujar Augustus setelah beberapa saat. “Tapi, orang selalu terbiasa dengan keindahan.” “Aku belum terbiasa dengan keindahanmu,” jawabnya seraya tersenyum. Aku tersipusipu. “Terima kasih karena datang ke Amsterdam,” katanya. “Terima kasih karena membiarkanku membajak keinginanmu,” kataku. “Terima kasih karena mengenakan gaun yang wah itu,” katanya. Aku menggeleng, berupaya untuk tidak tersenyum kepadanya. Aku tidak ingin menjadi granat. Tapi sekali lagi, dia menyadari perbuatannya, bukan? Ini pilihannya juga. “Hei, bagaimana akhir puisi itu?” tanyanya. “Hah?” “Puisi yang kau bacakan untukku di pesawat.” “Oh, ‘Prufrock’? Akhirnya, ‘Kita telah bersantai di bilikbilik lautan / Di samping gadisgadis laut berkalung rumput laut merah dan cokelat / Hingga suarasuara manusia membangunkan kita, lalu kita tenggelam.’”


Augustus mengeluarkan sebatang rokok dan mengetukkan filternya ke meja. “Suarasuara tolol manusia selalu merusak segalanya.” Pramusaji itu tiba dengan dua gelas sampanye lagi, serta apa yang disebutnya “asparagus putih Belgia dengan infusi lavender”. “Aku juga belum pernah minum sampanye,” ujar Gus setelah pramusaji itu pergi. “Kalaukalau kau bertanyatanya atau apa. Aku juga belum pernah menyantap asparagus putih.” Aku sedang mengunyah gigitan pertamaku. “Menakjubkan,” janjiku. Dia menggigit, menelan. “Astaga. Jika asparagus rasanya selalu seperti ini, aku akan menjadi vegetarian juga.” Beberapa orang di dalam kapal kayu mengilat di kanal di bawah sana mendekati kami. Salah seorang dari mereka, seorang perempuan berambut pirang bergelombang, mungkin usianya tiga puluh, minum bir, lalu mengangkat gelasnya ke arah kami dan meneriakkan sesuatu. “Kami tidak bisa bahasa Belanda,” teriak Gus menjawab. Salah seorang lainnya meneriakkan terjemahannya, “Pasangan cantik itu cantik.” Makanannya begitu lezat sehingga, seiring berlalunya setiap hidangan, percakapan kami beranjak lebih jauh ke dalam perayaan terfragmentasi mengenai kelezatannya. “Aku ingin risotto wortelnaga ini berubah menjadi orang, sehingga aku bisa membawanya ke Las Vegas dan menikahinya.” “Sorbet kacang polong manis, secara tak terduga sangat menakjubkan.” Seandainya saja aku bisa lebih lapar lagi. Setelah gnocchi bawang putih hijau dengan dedaunan moster merah, pramusaji itu berkata, “Selanjutnya hidangan pencuci mulut. Lebih banyak bintang lagi terlebih dahulu?” Aku menggeleng. Dua gelas sudah cukup untukku. Sama seperti reaksiku terhadap obat depresi dan penghilang rasa sakit, aku juga tidak takluk pada sampanye; aku merasa hangat tapi tidak mabuk. Tapi,


aku tidak ingin mabuk. Malammalam seperti ini tidak sering terjadi, dan aku ingin mengingatnya. “Mmmm,” kataku setelah pramusaji itu pergi, dan Augustus tersenyum miring ketika menunduk menatap kanal, sementara aku menatap ke atasnya. Ada banyak yang bisa dilihat, jadi keheningannya tidak terasa begitu canggung, tapi aku ingin segalanya sempurna. Kurasa ini memang sempurna, tapi terasa seakan seseorang berupaya mengatur Amsterdam dalam imajinasiku, dan ini membuatku sulit melupakan bahwa makan malam ini, seperti perjalanan itu sendiri, adalah Keistimewaan Kanker. Aku hanya ingin kami bicara dan bergurau dengan nyaman, seakan sedang berada di sofa bersamasama di rumah. Tapi, ada semacam ketegangan yang mendasari segala sesuatunya. “Ini bukan setelan jas untuk menghadiri pemakaman,” ujar Augustus setelah beberapa saat. “Ketika aku pertama kali tahu bahwa aku sakit—maksudku, mereka mengatakan aku punya peluang kesembuhan sebesar delapan puluh lima persen. Aku tahu itu peluang yang besar, tapi aku terusmenerus berpikir bahwa itu permainan roulette Rusia. Maksudku, aku harus menjalani neraka selama enam bulan atau setahun dan kehilangan sebelah kakiku, lalu pada akhirnya semuanya itu mungkin masih tidak akan berhasil. Kau mengerti, bukan?” “Aku mengerti,” jawabku, walaupun aku tidak begitu mengerti. Aku belum pernah mengalami sesuatu yang lain kecuali tidak tersembuhkan; semua pengobatanku hanya berupaya memperpanjang hidup, bukan menyembuhkan kankerku. Phalanxifor telah memasukkan sedikit ambiguitas ke dalam kisah kankerku, tapi aku berbeda dengan Augustus: Bab terakhirku ditulis berdasarkan diagnosis. Gus, seperti sebagian besar penyintas kanker, hidup dengan ketidakpastian. “Baiklah,” katanya. “Jadi, aku ingin sekali menyiapkan diri. Kami membeli sepetak tanah di Crown Hill, dan suatu hari aku berjalanjalan dengan ayahku, lalu memilih tempat. Aku merencanakan seluruh upacara pemakamanku dan segala sesuatunya. Lalu, persis sebelum pembedahan, aku bertanya kepada orangtuaku apakah aku bisa membeli setelan jas, semacam setelan jas yang sangat bagus, kalaukalau aku meninggal. Bagaimanapun, aku tidak pernah punya kesempatan untuk mengenakannya. Hingga malam ini.” “Jadi, ini setelan jas kematianmu.” “Benar. Tidakkah kau punya pakaian kematian?” “Ya,” jawabku. “Gaun yangkubeli untukpesta ulang tahun kelima belasku. Tapi, aku tidak mengenakannya untuk berkencan.”


Mata Augustus berkilatkilat. “Kita berkencan?” tanyanya. Aku menunduk, merasa malu. “Jangan memaksa.” Kami berdua benar-benar kenyang, tapi hidangan pencuci mulut—cremeaux yang begitu segar, dikelilingi buah delima—terlalu sayang untuk setidaknya dicicipi, jadi sejenak kami berlamalama menikmati hidangan pencuci mulut, berupaya untuk kembali lapar. Matahari seperti bayi yang bersikeras menolak untuk tidur: Saat itu sudah lewat pukul delapan tiga puluh, tapi hari masih terang. Mendadak Augustus bertanya, “Kau percaya pada kehidupan setelah kematian?” “Kurasa ‘selamanya’ adalah konsep yang keliru,” jawabku. Dia menyeringai. “Kau adalah konsep yang keliru.” “Aku tahu. Itulah sebabnya aku dicabut dari jajaran orangorang yang terselamatkan.” “Itu tidak lucu,” katanya seraya memandang jalanan. Dua gadis lewat dengan bersepeda, yang satunya duduk menyamping di atas roda belakang. “Ayolah,” kataku. “Itu lelucon.” “Pikiran bahwa kau dicabut dari jajaran orang yang terselamatkan menurutku tidak lucu,” katanya. “Tapi sungguh: kehidupan setelah kematian?” “Tidak,” kataku, lalu kurevisi. “Wah, mungkin aku tidak akan sampai mengatakan tidak. Kau?” “Ya,” katanya dengan suara penuh kepercayaan diri. “Ya, pasti. Tidak seperti surga tempat kau menunggang unicorn, memetik harpa, dan hidup dalam gedung yang terbuat dari awan. Tapi ya. Aku percaya terhadap Sesuatu dengan huruf S besar. Selalu.” “Benarkah?” tanyaku. Aku terkejut. Sejujurnya aku selalu menghubungkan keyakinan terhadap surga dengan semacam kekurangcerdasan. Tapi, Gus tidak


bodoh. “Ya,” katanya pelan. “Aku memercayai kalimat dari Kemalangan Luar Biasa. ‘Matahari terbit terlalu cemerlang di matanya yang hilang’. Kurasa matahari terbit itu Tuhan. Cahayanya terlalu cemerlang dan matanya hilang, tapi tidak hilang. Aku tidak percaya kita akan kembali untuk menghantui atau menghibur mereka yang hidup atau apa, tapi kurasa kita akan menjadi sesuatu.” “Tapi, kau takut dilupakan untuk selamanya.” “Pasti, aku takut terhadap pelupaan abadi duniawi. Tapi maksudku, aku tidak ingin kedengaran seperti orangtuaku, tapi aku percaya manusia punya jiwa, dan aku percaya terhadap pelestarian jiwa. Ketakutan terhadap pelupaan abadi adalah sesuatu yang lain, ketakutan bahwa aku tidak akan bisa memberikan sesuatu pun sebagai pengganti hidupku. Jika kau tidak menjalani kehidupan untuk melayani kebaikan yang lebih besar, setidaknya kau harus mati untuk melayani kebaikan yang lebih besar. Kau mengerti? Dan, aku takut aku tidak akan bisa memperoleh kehidupan atau kematian yang bermakna.” Aku hanya menggelenggelengkan kepala. “Apa?” tanyanya. “Obsesimu terhadap mati demi sesuatu atau meninggalkan semacam tanda kepahlawanan yang besar atau apa. Ini aneh.” “Semua orang ingin menjalani kehidupan yang luar biasa.” “Tidak semua orang,” kataku tanpa mampu menutupi kejengkelanku. “Kau marah?” “Hanya,” kataku, lalu aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku. “Hanya,” ulangku. Di antara kami, lilin berpendarpendar. “Kau jahat sekali mengatakan bahwa satusatunya kehidupan yang bermakna adalah jika kita hidup untuk sesuatu atau mati untuk sesuatu. Itu hal yang sangat jahat untuk dikatakan kepadaku.” Entah kenapa, aku merasa seperti anak kecil, dan aku menyantap hidangan pencuci mulut agar tampaknya seakan itu bukan masalah besar bagiku. “Maaf,” katanya. “Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya sedang memikirkan diriku sendiri.” “Ya, memang,” kataku. Aku terlalu kenyang untuk menghabiskan hidanganku. Sesungguhnya aku khawatir hendak muntah, karena aku sering muntah setelah makan. (Bukan bulimia, hanya kanker.) Kudorong piring hidangan pencuci mulutku ke arah Gus, tapi dia menggeleng. “Maaf,” ulangnya seraya menjulurkan tangan melewati meja untuk meraih


tanganku. Aku membiarkan dia memegangi tanganku. “Kau tahu, aku bisa lebih buruk lagi.” “Seperti apa?” tanyaku menggodanya. “Maksudku, aku punya karya kaligrafi di atas toiletku yang berbunyi, ‘Basuh Dirimu Setiap Hari dalam Kenyamanan KataKata Tuhan’, Hazel. Aku bisa jauh lebih buruk lagi.” “Kedengarannya tidak bersih,” kataku. “Aku bisa lebih buruk lagi.” “Kau bisa lebih buruk lagi.” Aku tersenyum. Dia benar-benar menyukaiku. Mungkin aku narsistik atau semacamnya, tapi ketika menyadari hal itu di sana, pada saat itu di Oranjee, aku bahkan semakin menyukai Gus. Ketika pramusaji kami muncul untuk menyingkirkan hidangan pencuci mulut, dia berkata, “Hidangan kalian sudah dibayar oleh Mr. Peter Van Houten.” Augustus tersenyum. “Peter Van Houten ini lumayan juga.” Kami berjalan di sepanjang kanal ketika hari berubah gelap. Satu blok dari Oranjee, kami berhenti di sebuah bangku taman yang dikelilingi sepeda tua berkarat yang digembok pada rak sepeda dan digembok satu sama lain. Kami duduk bersisian pinggul, menghadap kanal, dan Augustus merangkulkan lengannya padaku. Aku bisa melihat lingkaran cahaya yang berasal dari Distrik Lampu Merah. Walaupun itu Distrik Lampu Merah, kilau yang muncul dari atas sana berupa semacam cahaya mengerikan berwarna hijau. Aku membayangkan ribuan turis mabuk dan teler berjalan terhuyunghuyung di sekitar jalanjalan sempit. “Aku tidak percaya dia akan menceritakannya kepada kita besok,” kataku. “Peter Van Houten akan menceritakan kepada kita akhir tak tertulis yang terkenal dari buku terbaik yang pernah ada.” “Ditambah dia membayar makan malam kita,” ujar Augustus.


“Aku terus membayangkan bahwa dia akan menggeledah kita untuk mencari alat perekam, sebelum dia bercerita kepada kita. Lalu, dia akan duduk di antara kita di sofa di ruang duduknya, dan berbisik apakah ibu Anna menikah dengan Lelaki Tulip Belanda itu.” “Jangan lupa Sisyphus si Hamster,” imbuh Augustus. “Benar, dan juga, tentu saja, takdir apa yang menanti Sisyphus si Hamster.” Aku mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat ke dalam kanal. Ada begitu banyak kelopak elm pucat di dalam kanalkanal, sehingga tampak menggelikan. “Sekuel yang hanya akan ada untuk kita,” kataku. “Jadi, apa tebakanmu?” tanyanya. “Aku benar-benar tidak tahu. Aku sudah bolakbalik memikirkannya sebanyak kira-kira seribu kali mengenai semuanya itu. Setiap kali membaca ulang, aku memikirkan sesuatu yang berbeda. Kau mengerti?” Dia mengangguk. “Kau punya teori?” “Ya. Menurutku Lelaki Tulip Belanda itu bukan penipu, tapi dia juga tidak kaya, walaupun dia ingin agar mereka menganggapnya begitu. Dan kurasa, setelah Anna meninggal, ibu Anna pergi ke Belanda bersama si Lelaki dan mengira mereka akan hidup di sana untuk selamanya, tapi itu tidak berhasil, karena ibu Anna ingin berada di dekat putrinya dulu berada.” Baru kusadaribahwa diabegitubanyakmemikirkan buku itu, bahwa Kemalangan Luar Biasa bagi Gus bermakna secara independen, tidak bergantung pada makna diriku baginya. Air menerpa lembut dindingdinding kanal batu di bawah kami; sekelompok teman bersepeda melintas secara bergerombol, saling berteriak dalam bahasa Belanda dengan suara tenggorokan cepat beruntun; kapalkapal mungil, yang tidak jauh lebih panjang daripada tubuhku, mengapung setengah tenggelam di dalam kanal; tercium aroma air yang terlalu tenang untuk waktu yang terlalu lama; lengan Augustus merengkuhku; kaki aslinya menempel pada kaki asliku mulai dari pinggul ke bawah. Aku sedikit bersandar pada tubuhnya. Dia mengernyit. “Maaf, kau baik-baik saja?” Dia mengembuskan kata ya, jelas kesakitan. “Maaf,” kataku. “Bahuku kurus kering.” “Tidak apa-apa,” katanya. “Sesungguhnya menyenangkan.” Kami duduk di sana untuk waktu yang lama. Pada akhirnya tangannya melepaskan bahuku dan bersandar pada punggung bangku taman. Hampir sepanjang waktu kami hanya menatap ke dalam kanal. Aku banyak berpikir


mengenai cara mereka menciptakan keberadaan tempat ini, yang seharusnya berada di dalam air, dan betapa bagi Dr. Maria aku adalah semacam Amsterdam, anomali setengah tenggelam, dan itu membuatku berpikir mengenai kematian. “Boleh bertanya mengenai Caroline Mathers?” “Padahal kau bilang tidak ada kehidupan setelah kematian,” jawab Augustus tanpa memandangku. “Tapi ya, tentu saja. Apa yang ingin kau ketahui?” Aku ingin tahu apakah Gus akan baik-baik saja jika aku mati. Aku tidak ingin menjadi granat, tidak ingin menjadi kekuatan jahat dalam kehidupan orangorang yang kucintai. “Hanya apa yang terjadi.” Dia mendesah, mengembuskan napas begitu panjang sehingga, bagi paruparu payahku, rasanya seakan dia sedang menyombongkan diri. Dia menyelipkan sebatang rokok baru ke bibir. “Kau tahu betapa tidak ada tempat yang lebih jarang digunakan untuk bermain daripada taman bermain rumah sakit?” Aku mengangguk. “Nah, aku berada di Memorial selama beberapa minggu ketika mereka mengambil kakiku dan lainlain. Aku berada di lantai lima dan bisa melihat taman bermain itu, yang tentu saja selalu begitu sepi. Aku terhanyut dalam gaung metaforis taman bermain kosong di pekarangan rumah sakit. Tapi, kemudian cewek ini mulai muncul sendirian di taman bermain setiap hari, berayunayun sendirian di ayunan, seperti yang kau lihat dalam film atau semacamnya. Jadi, aku meminta salah seorang susterku yang baik untuk mencari tahu mengenai cewek itu, dan suster itu membawanya ke atas untuk berkunjung, dan itulah Caroline, dan aku menggunakan karismaku yang luar biasa untuk memenangkan hatinya.” Dia terdiam, jadi kuputuskan untuk mengucapkan sesuatu. “Kau tidak begitu karismatik,” kataku. Dia mendengus tidak percaya. “Yang terutama, kau hanya seksi,” jelasku. Dia tertawa mengabaikan perkataanku. “Masalahnya, sehubungan dengan orang mati,” katanya, lalu dia menghentikan dirinya sendiri. “Masalahnya adalah, kau kedengaran seperti bajingan jika tidak meromantisasi mereka. Tapi kenyataannya … rumit, kurasa. Seakan kau sudah terbiasa dengan korban kanker yang tabah dan gigih, yang memerangi kankernya dengan gagah berani, dengan kekuatan melebihi kekuatan manusia, dan tidak pernah mengeluh atau berhenti tersenyum walaupun sudah mendekati akhir, dll., dll.” “Memang,” kataku. “Mereka adalah orangorang yang baik dan murah hati, yang setiap napasnya menjadi Inspirasi bagi Kita Semua. Mereka begitu kuat! Kita sangat mengagumi mereka!”


“Benar, tapi sungguh, maksudku, selain kita tentu saja, anakanak penderita kanker berdasarkan statistik tidak cenderung lebih hebat atau penuh kasih atau tabah atau apa pun itu. Caroline selalu pemarah dan sedih, tapi aku suka itu. Aku menyukai semua perasaan itu, seakan dia telah memilihku sebagai satusatunya orang di dunia ini yang tidak dibencinya, sehingga kami menghabiskan seluruh waktu kami bersamasama untuk merasa marah terhadap semua orang. Kau mengerti? Marah terhadap para suster dan anakanak lain dan keluarga kami dan apa pun lainnya. Tapi, aku tidak tahu apakah itu dia atau tumornya. Maksudku, salah satu susternya pernah memberitahuku bahwa jenis tumor yang diderita Caroline dikenal di antara kalangan medis sebagai Tumor Bajingan, karena penyakit itu mengubahmu menjadi monster. Jadi, inilah cewek yang kehilangan seperlima otaknya, dan baru saja mengalami kekambuhan berupa Tumor Bajingan. Jadi kau tahulah, dia bukan teladan dari heroisme anakanak penderita kanker yang tabah. Dia … maksudku, sejujurnya, dia bajingan. Tapi, kau tidak bisa bilang begitu, karena dia menderita tumor ini, dan dia juga, maksudku, dia sudah mati. Dan, dia punya banyak alasan untuk bersikap tidak menyenangkan. Kau mengerti?” Aku mengerti. “Kau tahu bagian dari Kemalangan Luar Biasa ketika Anna berjalan melintasi lapangan sepak bola untuk mengikuti kelas Olahraga atau apa, dan dia jatuh terjerembap ke rumput, dan saat itulah dia tahu kalau kankernya telah kembali dan bercokol di sistem sarafnya. Dia tidak bisa bangun dan wajahnya hanya berjarak sekitar satu inci dari rumput lapangan sepak bola, dan dia hanya diam terpaku di sana, memandangi rumput dari dekat, memperhatikan bagaimana cahaya menimpa rumput itu. Dan … aku tidak ingat kalimatnya, tapi kurang lebih Anna mendapat pencerahan ala penyair Whitman, bahwa definisi kemanusiaan adalah peluang untuk mengagumi keagungan penciptaan atau apa pun itu. Kau tahu bagian yang itu?” “Aku tahu bagian yang itu,” jawabku. “Jadi setelah itu, ketika sedang menumpahkan isi perut garagara kemo, entah kenapa aku memutuskan untuk merasa benar-benar penuh harap. Bukan secara spesifik mengenai kemampuan bertahan hidup, melainkan aku merasa seperti Anna di dalam buku itu, merasa gembira dan bersyukur karena bisa mengagumi semua itu. “Tapi, sementara itu Caroline memburuk setiap hari. Dia pulang setelah beberapa saat, dan ada momenmomen ketika aku mengira kami bisa memiliki


semacam hubungan yang normal, tapi sesungguhnya kami tidak bisa, karena dia tidak punya filter antara pikiran dan perkataannya—yang muram, tidak menyenangkan, dan sering kali menyakitkan. Tapi maksudku, kau tidak bisa mencampakkan cewek penderita kanker otak. Dan orangtuanya menyukaiku, dan Caroline punya adik laki-laki yang benar-benar asyik. Maksudku, bagaimana kau bisa mencampakkannya? Dia sekarat. “Perlu waktu yang sangat lama. Perlu waktu hampir setahun, dan setahun bagiku untuk berhubungan dengan cewek yang bisa tertawa begitu saja secara mendadak, lalu menunjuk kaki palsuku dan menyebutku Buntung.” “Tidak,” kataku. “Ya. Maksudku, itu tumornya. Penyakit itu menggerogoti otaknya. Kau mengerti? Atau itu bukan tumornya. Aku tidak punya cara untuk tahu, karena keduanya tak terpisahkan, dia dan tumornya. Tapi, ketika penyakitnya semakin parah, maksudku dia hanya mengulangi ceritacerita yang sama, dan menertawakan komentarkomentarnya sendiri, walaupun dia sudah mengucapkan hal yang sama itu seratus kali pada hari itu. Dia mengucapkan lelucon yang sama berulang kali selama bermingguminggu: ‘Gus punya sepasang kaki yang hebat. Maksudku sebelah kaki.’ Lalu, dia akan tertawa begitu saja seperti orang gila.” “Oh, Gus,” kataku. “Itu ….” Aku tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak memandangku, dan rasanya lancang jika aku memandangnya. Aku merasakannya beringsut maju. Dia mencabut rokok dari bibirnya dan memandangi benda itu, menggulirkannya di antara jempol dan telunjuk, lalu menyimpannya kembali. “Wah,” katanya, “untuk adilnya, sebelah kakiku memang hebat.” “Aku ikut menyesal,” kataku. “Aku benar-benar ikut menyesal.” “Tidak apa-apa, Hazel Grace. Tapi untuk jelasnya, ketika kupikir aku melihat hantu Caroline Mathers di pertemuan Kelompok Pendukung, aku merasa tidak begitu senang. Aku menatap, tapi tidak mendambakan, jika kau tahu apa maksudku.” Dia mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya dan kembali menyelipkan sebatang rokok di bibir. “Aku ikut menyesal,” ulangku. “Aku juga,” katanya. “Aku tidak ingin berbuat begitu terhadapmu,” kataku. “Oh, aku tidak akan keberatan, Hazel Grace. Akan merupakan keistimewaan jika kau mematahkan hatiku.”[]


Bab Dua Belas Aku terbangun pukul empat pagi di Belanda, siap untuk hari itu. Semua upaya untuk kembali tidur gagal, sehingga aku berbaring di sana dengan BiPAP memompa masuk udara dan mendesaknya keluar, menikmati suara naga itu, tapi berharap bisa memilih napasku sendiri. Aku membaca ulang Kemalangan Luar Biasa sampai Mom bangun dan berguling ke arahku sekitar pukul enam. Mom meletakkan kepalanya di bahuku, dan ini terasa tidak nyaman dan agak bergaya Augustus. Pegawai hotel mengantarkan sarapan ke kamar dan, yang sangat menyenangkanku, menampilkan irisan daging olahan di antara banyak penyangkalan komposisi sarapan gaya Amerika lainnya. Gaun yang kurencanakan untuk kupakai ketika menemui Peter Van Houten telah kukenakan untuk makan malam di Oranjee, sehingga setelah mandi dan merapikan rambut, aku menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit untuk berdebat dengan Mom mengenai berbagai keuntungan dan kerugian mengenakan pakaianpakaian yang ada, sebelum memutuskan untuk berpakaian semirip mungkin dengan Anna dalam KLB: sepatu kets Chuck Taylor, celana jins warna gelap seperti yang selalu dikenakannya, dan T-shirt biru muda.


Kaus itu bergambarsablon karyaseni Surealis René Magritte yang terkenal; dia menggambar pipa dan menulis dengan huruf sambung di bawahnya: Ceci n’est pas une pipe. (Ini bukan pipa.) “Aku tidak memahami kaus itu,” ujar Mom. “Peter Van Houten akan memahaminya, percayalah. Ada sekitar tujuh ribu referensi terhadap Magritte dalam Kemalangan Luar Biasa.” “Tapi, itu memang pipa.” “Tidak, bukan,” kataku. “Itu gambar pipa. Mengerti? Semua adalah representasi bahwa sebuah benda pada dasarnya abstrak. Ini cerdik sekali.” “Bagaimana kau bisa begitu dewasa, sehingga memahami halhal yang membingungkan ibu kunomu ini?” tanya Mom. “Seakan baru kemarin aku menjelaskan kepada Hazel yang berusia tujuh tahun mengapa langit itu biru. Saat itu kau menganggapku genius.” “Mengapa langit itu biru?” tanyaku. “Karena,” jawab Mom. Aku tertawa. Ketika semakin mendekati pukul sepuluh, aku menjadi semakin gugup: gugup bertemu dengan Augustus; gugup berkenalan dengan Peter Van Houten; gugup kalaukalau pakaianku bukan pakaian yang baik; gugup kalaukalau kami tidak bisa menemukan rumah yang benar karena semua rumah di Amsterdam tampak sangat serupa; gugup kalaukalau kami akan tersesat dan tidak pernah bisa kembali ke Filosoof; gugup gugup gugup. Mom terusmenerus berupaya mengajakku bicara, tapi aku tidak begitu bisa mendengarkan. Aku baru saja hendak meminta Mom pergi ke lantai atas untuk memastikan Augustus sudah bangun, ketika Augustus mengetuk pintu. Aku membuka pintu. Dia memandangi baju kausku dan tersenyum. “Lucu,” katanya. “Jangan menyebut payudaraku lucu,” jawabku. “Aku di sini,” ujar Mom di belakang kami. Tapi, aku telah membuat Augustus tersipusipu dan salah tingkah, sehingga akhirnya aku sanggup mendongak memandangnya. “Mom yakin tidak mau ikut?” tanyaku kepada Mom. “Hari ini aku hendak pergi ke Rijksmuseum dan Vondelpark,” jawabnya. “Lagi pula aku tidak memahami bukunya. Jangan tersinggung. Ucapkan terima kasih kepadanya dan Lidewij dari kita, oke?” “Oke,” jawabku. Aku memeluk Mom, dan dia mencium kepalaku persis di atas telinga.


Rumah deret putih Peter Van Houten berada persis di dekat hotel, di Vondelstraat, menghadap taman. Nomor 158. Augustus menggandeng sebelah lenganku dan meraih kereta oksigen dengan tangan yang satunya, lalu kami berjalan tiga langkah menuju pintu depan hitambiru mengilat itu. Jantungku berdentam-dentam. Di balik pintu tertutup itu, terdapat jawaban-jawaban yang sudah kumimpikan semenjak aku pertama kalinya membaca halaman terakhir yang tidak selesai itu. Dari dalam rumah, aku bisa mendengar dentam irama bass, cukup keras untuk menderakkan bingkai jendela. Aku bertanyatanya apakah Peter Van Houten punya anak yang suka musik rap. Aku meraih pengetuk pintu berbentuk kepala singa dan mengetuk bimbang. Irama itu berlanjut. “Mungkin dia tidak bisa mendengar di antara suara musik itu?” tanya Augustus. Dia meraih kepala singa dan mengetuk jauh lebih keras. Musiknya menghilang, digantikan langkah kaki menyeret. Gerendel digeser. Satu lagi. Pintu berderit terbuka. Seorang lelaki berperut buncit dengan rambut tipis, pipi menggelambir, dan janggut berusia seminggu menyipitkan mata dalam cahaya matahari. Dia mengenakan piama biru muda seperti laki-laki di film kuno. Wajah dan perutnya begitu bulat, dan lengannya begitu kurus, sehingga dia menyerupai bola adonan dengan empat stik ditancapkan ke dalamnya. “Mr. Van Houten?” tanya Augustus dengan suara sedikit meninggi. Pintu terbanting menutup. Dari baliknya, aku mendengar suara melengking tergagap yang berteriak, “LIIIDUHVIGH!” (Sebelumnya aku melafalkan nama asisten Van Houten itu sebagai liduhwidj.) Kami bisa mendengar semuanya lewat pintu itu. “Mereka sudah datang, Peter?” tanya seorang perempuan. “Ada—Lidewij, ada dua penampakan remaja di luar pintu.” “Penampakan?” tanya perempuan itu dengan irama Belanda yang


menyenangkan. Van Houten menjawab dengan tergesagesa. “Penampakan makhluk nonduniawi supranatural dari jin hantu khayalan, Lidewij. Bagaimana mungkin seseorang yang meraih gelar doktor dalam kesusastraan Amerika bisa memperlihatkan kemampuan bahasa Inggris yang begitu menjijikkan?” “Peter, mereka bukan makhluk nonduniawi. Mereka Augustus dan Hazel, dua penggemar muda yang sudah berkorespondensi denganmu.” “Mereka—apa? Mereka—kupikir mereka berada di Amerika!” “Ya, tapi kau mengundang mereka kemari, kau pasti ingat.” “Kau tahu mengapa aku meninggalkan Amerika, Lidewij? Supaya aku tidak pernah lagi menjumpai orang Amerika.” “Tapi, kau orang Amerika.” “Tampaknya secara tak terpulihkan memang begitu. Sedangkan mengenai orangorang Amerika ini, kau harus langsung menyuruh mereka pergi. Telah terjadi kesalahan yang mengerikan, Van Houten yang terhormat memberikan penawaran retorik, bukan penawaran yang sesungguhnya, dan penawaran semacam itu harus dibaca secara simbolis.” Kupikir aku hendak muntah. Aku memandang Augustus yang sedang menatap tajam pintu, dan kulihat bahunya merosot. “Aku tidak mau melakukannya, Peter,” jawab Lidewij. “Kau harus menemui mereka. Kau harus. Kau perlu menemui mereka. Kau perlu melihat betapa karyamu bermakna.” “Lidewij, apakah kau sengaja menipuku untuk mengatur semua ini?” Muncul keheningan panjang, lalu akhirnya pintu kembali terbuka. Lelaki itu menolehkan kepala bolakbalik seperti metronom dari Augustus ke arahku, dengan masih memicingkan mata. “Siapa di antara kalian yang bernama Augustus Waters?” tanyanya. Augustus mengangkat sebelah tangannya dengan bimbang. Van Houten mengangguk dan berkata, “Kau berhasil mendapatkan cewek itu?” Untuk pertama dan terakhir kalinya aku melihat Augustus Waters benar-benar tidak sanggup berkatakata. “Aku,” katanya memulai, “em, aku, Hazel, em. Wah.” “Tampaknya bocah laki-laki ini mengalami semacam keterlambatan perkembangan,” ujar Peter Van Houten kepada Lidewij. “Peter,” omel perempuan itu. “Wah,” ujar Peter Van Houten seraya menjulurkan tangan kepadaku.


“Bagaimanapun, senang berjumpa dengan makhluk yang secara ontologis mustahil.” Aku menerima tangan bengkaknya, lalu dia menjabat tangan Augustus. Aku bertanyatanya apa arti ontologis. Bagaimanapun, aku menyukai kata itu. Aku dan Augustus samasama menjadi anggota Klub Makhluk Mustahil: kami dan platypus berparuh bebek. Tentu saja, semula aku berharap Peter Van Houten waras, tapi dunia bukanlah pabrik pewujudkeinginan. Yang penting pintu itu terbuka dan aku melintasi ambangnya untuk mengetahui apa yang terjadi setelah akhir Kemalangan Luar Biasa. Itu sudah cukup. Kami mengikuti lelaki itu dan Lidewij ke dalam, melewati meja ruang makan besar dari kayu ek dengan hanya dua kursi, memasuki ruang duduk yang mengerikan sterilnya. Ruangan itu mirip museum, tapi tidak ada karya seni pada dindingdinding putih kosongnya. Selain satu sofa dan satu kursi berlengan—duaduanya dibuat dari campuran baja dan kulit hitam —ruangan itu tampak kosong. Lalu, aku memperhatikan adanya dua kantong sampah hitam besar, penuh dan terikat, di belakang sofa. “Sampah?” gumamku kepada Augustus dengan suara cukup pelan, sehingga kupikir tidak ada yang bisa mendengarnya. “Surat penggemar,” jawab Van Houten seraya duduk di kursi berlengan. “Selama delapan belas tahun. Aku tidak bisa membukanya. Mengerikan. Surat kalian adalah yang pertama kujawab, dan lihatlah apa akibatnya bagiku. Sejujurnya aku menganggap realitas para pembaca sangatlah tidak menyenangkan.” Ini menjelaskan mengapa dia tidak pernah membalas suratsuratku: Dia tidak pernah membaca semua surat itu. Aku bertanyatanya mengapa dia menyimpan semuanya itu, apalagi di dalam ruang duduk formal yang kosong. Van Houten menaikkan kakinya ke atas dingklik penyanggah kaki dan menyilangkan sandal kamarnya. Dia menunjuk ke arah sofa. Aku dan Augustus duduk bersebelahan, tapi tidak terlalu bersebelahan. “Kalian mau sarapan?” tanya Lidewij. Aku hendak mengatakan bahwa kami sudah makan, ketika Peter menyela. “Masih sangat kepagian untuk sarapan, Lidewij.” “Wah, mereka dari Amerika, Peter, jadi sudah lewat tengah hari di dalam tubuh mereka.” “Kalau begitu sudah terlambat untuk sarapan,” katanya. “Bagaimanapun, tak peduli sudah lewat tengah hari di dalam tubuh kalian atau tidak, kita harus menikmati koktail. Kau minum Scotch?” tanyanya kepadaku.


“Aku—em, tidak, terima kasih,” jawabku. “Augustus Waters?” tanya Van Houten seraya mengangguk ke arah Gus. “Uh, tidak, terima kasih.” “Kalau begitu aku saja, Lidewij. Scotch campur air.” Peter mengalihkan perhatiannya kepada Gus, bertanya, “Kau tahu cara kami membuat Scotch campur air di rumah ini?” “Tidak, Pak,” jawab Gus. “Kami menuang Scotch ke dalam gelas, lalu membayangkan air, lalu kami mencampur Scotch itu dengan gagasan abstrak mengenai air.” Lidewij berkata, “Mungkin sedikit sarapan dulu, Peter.” Peter memandang kami dan purapura berbisik, “Menurutnya aku bermasalah dengan alkohol.” “Dan menurutku matahari sudah terbit,” jawab Lidewij. Bagaimanapun, Lidewij melangkah ke bar di ruang duduk, meraih sebotol Scotch, dan menuang setengah gelas. Dia memberikan gelas itu kepada Peter, yang meneguk isinya, lalu duduk tegak di kursinya. “Minuman sebaik ini berhak mendapat postur terbaik seseorang,” katanya. Aku langsung menyadari posturku sendiri, dan sedikit menegakkan tubuh di sofa. Kuatur kembali kanulaku. Dad selalu mengatakan kau bisa menilai orang dari cara mereka memperlakukan para pramusaji dan asisten. Berdasarkan penilaian ini, Peter Van Houten mungkin bajingan paling bajingan di seluruh dunia. “Jadi, kau menyukai bukuku,” katanya kepada Augustus setelah kembali meneguk minumannya. “Ya,” kataku mewakili Augustus. “Dan ya, kami—wah, Augustus, dia menjadikan pertemuan denganmu sebagai Keinginannya, sehingga kami bisa datang kemari, sehingga kau bisa menceritakan kepada kami apa yang terjadi setelah akhir Kemalangan Luar Biasa.” Van Houten diam saja, hanya meneguk panjang minumannya. Sedetik kemudian, Augustus berkata, “Bukumu adalah sesuatu yang menyatukan kami.” “Tapi, kalian belum bersatu,” katanya tanpa memandangku. “Sesuatu yang hampir menyatukan kami,” kataku. Kini dia berpaling kepadaku. “Kau sengaja berpakaian seperti dia?” “Anna?” tanyaku. Dia hanya terus menatapku. “Begitulah,” jawabku.


Dia meneguk panjang, lalu mengernyit. “Aku tidak punya masalah dengan alkohol,” katanya dengan suara lantang yang tidak perlu. “Aku punya hubungan gaya Churchill dengan alkohol: aku bisa mengarang lelucon, memerintah Inggris, dan melakukan apa saja yang ingin kulakukan. Kecuali tidak mengonsumsi minuman beralkohol.” Dia melirik Lidewij dan mengangguk ke arah gelasnya. Lidewij mengambil gelas itu, lalu berjalan kembali ke bar. “Hanya gagasan mengenai air, Lidewij,” perintah Van Houten. “Ya, aku mengerti,” ujar perempuan itu dengan aksen yang nyaris Amerika. Minuman kedua tiba. Tulang punggung Van Houten kembali tegak untuk menghormatinya. Dia melepas sandal kamar. Kakinya benar-benar jelek. Bagiku dia agak merusak seluruh masalah kegeniusan penulis. Tapi, dia punya jawabanjawaban itu. “Wah, em,” kataku, “pertamatama kami ingin mengucapkan terima kasih atas makan malam semalam dan—” “Kita membelikan mereka makan malam semalam?” tanya Van Houten kepada Lidewij. “Ya, di Oranjee.” “Ah, ya. Wah, percayalah jika kukatakan bahwa kalian tidak perlu berterima kasih kepadaku, tetapi kepada Lidewij, yang berbakat luar biasa dalam hal membelanjakan uangku.” “Dengan senang hati,” ujar Lidewij. “Wah, bagaimanapun, terima kasih,” ujar Augustus. Aku bisa mendengar kejengkelan dalam suaranya. “Jadi, di sinilah aku berada,” kata Van Houten setelah beberapa saat. “Apa pertanyaan kalian?” “Em,” ujar Augustus. “Dia tampak begitu cerdas di atas kertas,” ujar Van Houten kepada Lidewij mengenai Augustus. “Mungkin kanker telah menemukan tempat berpijak di dalam otaknya.” “Peter,” kata Lidewij dengan sangat terkejut. Aku juga terkejut, tapi ada sesuatu yang menyenangkan mengenai seorang lelaki yang begitu menjijikkan sehingga tidak mau memperlakukan kami dengan hormat. “Sesungguhnya kami punya beberapa pertanyaan,” kataku. “Aku telah memaparkan semua pertanyaan itu di dalam e-mailku. Aku tidak tahu apakah kau ingat.”


“Tidak.” “Ingatannya payah,” ujar Lidewij. “Seandainya saja ingatanku mau berkompromi,” jawab Van Houten. “Jadi, pertanyaan kami,” ulangku. “Dia menggunakan kata ‘kami’ seperti anggota kerajaan,” ujar Peter tanpa ditujukan kepada siapa pun. Kembali dia meneguk minumannya. Aku tidak tahu seperti apa rasanya Scotch, tapi seandainya rasanya seperti sampanye, aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa minum sebanyak itu, secepat itu, sepagi itu. “Kau mengenal paradoks kurakura Zeno?” tanyanya kepadaku. “Kami punya pertanyaan mengenai apa yang terjadi pada tokohtokoh itu setelah akhir buku, terutama ibu Anna—” “Secara keliru, kau menganggap aku perlu mendengar pertanyaanmu untuk bisa menjawabnya. Kau mengenal filsuf Zeno?” Aku menggeleng pelan. “Wah. Zeno adalah filsuf praSocrates yang dikatakan menemukan empat puluh paradoks dalam pandangan dunia yang dikemukakan oleh Parmenides—pasti kau mengenal Parmenides,” katanya. Dan, aku mengangguk mengiyakan, walaupun tidak mengenalnya. “Syukurlah,” katanya. “Secara profesional, Zeno ahli dalam mengungkapkan ketidakakuratan dan penyederhanaan berlebihan dari Parmenides, dan ini tidak sulit, karena Parmenides teramat sangat keliru di mana saja dan selalu. Parmenides berharga, sama persis seperti betapa berharganya punya kenalan yang selalu memilih kuda yang keliru setiap kali kau mengajaknya ke tempat pacuan kuda. Tapi, paradoks Zeno yang terpenting— tunggu, beri tahu aku seberapa banyak kau mengenal hiphop Swedia.” Aku tidak tahu apakah Peter Van Houten bergurau. Sejenak kemudian, Augustus menjawab mewakiliku. “Terbatas,” katanya. “Oke, tapi kalian pasti mengenal album kreatif Afasi och Filthy, Fläcken.” “Tidak,” kataku mewakili kami berdua. “Lidewij, cepat putar ‘Bomfalleralla’.” Lidewij berjalan menuju pemutar MP3, memutar rodanya sedikit, lalu menekan sebuah tombol. Lagu rap membahana dari segala arah. Kedengarannya seperti lagu rap yang biasa-biasa saja, tapi katakatanya dalam bahasa Swedia. Setelah lagu itu berakhir, Peter Van Houten memandang kami penuh harap, mata sipitnya membelalak selebar mungkin. “Ya?” tanyanya. “Ya?” Aku mengatakan, “Maaf, Pak, tapi kami tidak bisa bahasa Swedia.” “Wah, tentu saja tidak bisa. Aku juga. Siapa sih yang bicara bahasa Swedia? Yang terpenting bukanlah segala omong kosong yang diucapkan oleh suarasuara


itu, tapi apa yang dirasakan oleh suarasuara itu. Pasti kau tahu kalau hanya ada dua emosi, yaitu cinta dan ketakutan. Afasi och Filthy menjelajahi kedua emosi itu dengan sejenis kemudahan yang tidak ditemukan orang dalam musik hiphop di luar Swedia. Boleh kuputar lagi untuk kalian?” “Kau bergurau?” tanya Gus. “Maaf?” “Apakah ini semacam pertunjukan?” Gus mendongak memandang Lidewij dan bertanya, “Benarkah?” “Kurasa tidak,” jawab Lidewij. “Dia tidak selalu— ini sangat tidak biasa—” “Oh, diamlah, Lidewij. Rudolf Otto mengatakan, jika kau belum menjumpai yang ilahiah, jika kau belum mengalami perjumpaan nonrasional dengan tremendum mysterium (misteri yang luar biasa), maka karyanya bukanlah untukmu. Dan kukatakan kepada kalian, SobatSobat Mudaku, jika kalian tidak bisa mendengar respons gagah berani Afasi och Filthy terhadap ketakutan, maka karyaku bukanlah untuk kalian.” Aku tidak bisa mengatakannya dengan lebih jelas lagi: Itu lagu rap yang benar-benar normal, tapi dalam bahasa Swedia. “Em,” kataku. “Jadi, mengenai Kemalangan Luar Biasa. Ibu Anna, ketika buku itu berakhir, hendak—” Van Houten menyelaku, mengetukkan gelasnya sambil bicara, sampai Lidewij mengisinya kembali. “Jadi, Zeno paling dikenal karena paradoks kurakuranya. Marilah kita membayangkan bahwa kau berlomba dengan seekor kurakura. Kurakura itu memulai perlombaan terlebih dahulu sejauh sepuluh meter. Saat kau berlari sejauh sepuluh meter, kurakura itu mungkin telah bergerak sejauh satu meter. Lalu, pada saat kau menempuh jarak satu meter, kurakura itu sudah bergerak sedikit lebih jauh, dan begitulah untuk selamanya. Kau lebih cepat daripada kurakura itu, tapi tidak pernah bisa mengejarnya; kau hanya bisa mengurangi selisih jaraknya. “Tentu saja kau hanya berlari melewati kurakura itu tanpa merenungkan mekanika yang terlibat. Tapi, jawaban atas pertanyaan mengenai bagaimana kau bisa melakukan hal ini, ternyata luar biasa rumit, dan tak seorang pun bisa benarbenar memecahkannya, sampai Cantor menunjukkan kepada kita bahwa beberapa ketakterhinggaan ternyata lebih besar daripada ketakterhinggaan lainnya.” “Em,” kataku. “Kuanggap itu menjawab pertanyaanmu,” katanya penuh percaya diri, lalu dia meneguk panjang minumannya.


“Tidak,” kataku. “Kami ingin tahu, setelah akhir Kemalangan Luar Biasa—” “Aku mengingkari segalanya dalam novel menjijikkan itu,” ujar Van Houten menyelaku. “Tidak,” kataku. “Maaf?” “Tidak, itu tidak bisa diterima,” kataku. “Aku mengerti bahwa cerita itu berakhir di tengah narasi karena Anna mati atau menjadi terlalu sakit untuk melanjutkan, tapi kau mengatakan akan menceritakan apa yang terjadi pada semua orang, dan itulah sebabnya kami berada di sini, dan kami, aku, perlu mendengar ceritamu.” Van Houten mendesah. Setelah minum lagi, dia berkata. “Baiklah. Cerita siapa yang kau cari?” “Ibu Anna, Lelaki Tulip Belanda, Sisyphus si Hamster, maksudku, hanya— apa yang terjadi pada semua orang.” Van Houten memejamkan mata dan menggembungkan pipi ketika mengembuskan napas, lalu mendongak memandang balokbalok kayu yang tampak bersilangsilangan di langitlangit. “Hamster itu,” katanya setelah beberapa saat. “Hamster itu diadopsi oleh Christine”—yang adalah salah seorang teman Anna sebelum dia sakit. Itu masuk akal. Christine dan Anna bermain dengan Sisyphus dalam beberapa babak. “Dia diadopsi oleh Christine dan hidup selama beberapa tahun setelah akhir novel, lalu mati dengan damai dalam tidur hamsternya.” Kini kami mendapat kemajuan. “Hebat,” kataku. “Hebat. Oke, lalu Lelaki Tulip Belanda itu. Apakah dia penipu? Apakah dia dan ibu Anna menikah?” Van Houten masih menatap semua balok langitlangit itu. Dia minum. Gelasnya sudah hampir kosong lagi. “Lidewij, aku tidak bisa melakukan ini. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa.” Dia memandang lurus ke arahku. “Tidak terjadi sesuatu pun pada Lelaki Tulip Belanda itu. Dia bukan penipu; dia Tuhan. Dia adalah representasi metaforis Tuhan yang jelas dan tidak ambigu. Bertanya mengenai apa yang terjadi padanya merupakan ekuivalen cerdas dari bertanya apa yang terjadi pada mata melayang Dr. T.J. Eckleburg dalam Gatsby. Apakah dia dan ibu Anna menikah? Kita bicara novel, Anakku Sayang, bukan semacam peristiwa bersejarah.” “Benar, tapi pasti kau telah memikirkan apa yang terjadi pada mereka, maksudku sebagai tokohtokoh, maksudku terlepas dari makna metaforis mereka atau apa.”


“Mereka fiksi,” katanya seraya kembali mengetukkan gelas. “Tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada mereka.” “Kau bilang kau akan menceritakannya kepadaku,” kataku bersikeras. Kuingatkan diriku sendiri untuk bersikap tegas. Aku harus mempertahankan perhatian Van Houten yang kacau pada pertanyaanpertanyaanku. “Mungkin, tapi aku mendapat kesan yang keliru bahwa kalian tidak sanggup melakukan perjalanan lintas Atlantik. Aku berupaya … memberimu semacam penghiburan, kurasa, yang seharusnya tidak kuupayakan. Tapi sejujurnya, gagasan kekanakkanakan bahwa penulis sebuah novel punya semacam pemahaman khusus mengenai tokohtokoh dalam novel … itu konyol. Novel itu tersusun dari coretancoretan di atas sehelai kertas, Sayang. Tokohtokoh yang ada di dalamnya tidak punya kehidupan di luar coretancoretan itu. Apa yang terjadi pada mereka? Mereka semua tidak ada lagi begitu novelnya berakhir.” “Tidak,” kataku. Aku bangkit berdiri. “Tidak, aku memahami itu, tapi mustahil untuk tidak membayangkan sebuah masa depan untuk mereka. Kau orang yang paling berkualifikasi untuk membayangkan masa depan itu. Terjadi sesuatu pada ibu Anna. Entah dia menikah atau tidak. Entah dia pindah ke Belanda bersama Lelaki Tulip Belanda itu atau tidak. Entah dia punya anak lagi atau tidak. Aku harus tahu apa yang terjadi padanya.” Van Houten mengerutkan bibir. “Aku menyesal karena tidak bisa memanjakan keinginanmu yang kekanakkanakan itu, tapi aku menolak untuk mengasihanimu dengan cara yang sangat biasa kau terima.” “Aku tidak menginginkan belas kasihanmu,” kataku. “Seperti semua anak berpenyakit lainnya,” jawabnya datar, “kau mengatakan tidak menginginkan belas kasihan, tapi keberadaanmu sendiri bergantung pada belas kasihan itu.” “Peter,” ujar Lidewij, tapi lelaki itu melanjutkan seraya bersandar di sana, katakatanya semakin tajam di mulut mabuknya. “Secara tak terhindarkan, anak berpenyakit berhenti berkembang: Kau ditakdirkan untuk menjalani hariharimu sebagai anak yang sama persis seperti dirimu dulu ketika pertama kali didiagnosis, anak yang memercayai adanya kehidupan setelah sebuah novel berakhir. Dan kami, sebagai orang dewasa, merasa iba, sehingga membayar biaya pengobatanmu, mesinmesin oksigenmu. Kami memberimu makanan dan air, walaupun kemungkinan besar kau tidak akan hidup cukup lama—” “PETER!” teriak Lidewij. “Kau adalah efek samping,” lanjut Van Houten, “dari proses evolusi yang


hanya sedikit memedulikan kehidupan individual. Kau adalah eksperimen mutasi yang gagal.” “AKU KELUAR!” teriak Lidewij. Ada air mata di matanya. Tapi, aku tidak marah. Lelaki itu sedang mencari cara paling menyakitkan untuk mengungkapkan kebenaran, tapi tentu saja aku sudah mengetahui kebenaran itu. Sudah bertahun-tahun aku menatap langitlangit, mulai dari kamarku sampai ICU, sehingga sudah lama sekali aku menemukan caracara paling menyakitkan untuk membayangkan penyakitku sendiri. Aku melangkah menghampirinya. “Dengar, Bajingan,” kataku, “mustahil kau bisa mengucapkan sesuatu pun yang belum kuketahui mengenai penyakit. Aku perlu satu, dan hanya satu hal, darimu sebelum aku meninggalkan kehidupanmu untuk selamanya: APA YANG TERJADI PADA IBU ANNA?” Dia sedikit mengangkat dagu bergelambirnya ke arahku dan mengangkat bahu. “Aku tidak bisa lagi menceritakan apa yang terjadi padanya, sama seperti aku tidak bisa menceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Narrator Proust atau saudara perempuan Holden Caulfield atau Huckleberry Finn setelah dia kabur dari wilayahwilayah itu.” “OMONG KOSONG! Itu omong kosong. Katakan saja! Ciptakan sesuatu!” “Tidak, dan aku akan berterima kasih jika kau tidak menyumpah di rumahku. Ini tidak pantas dilakukan oleh seorang perempuan.” Sebenarnya aku masih belum marah, tapi perhatianku sangat terpusat untuk mendapatkan sesuatu yang sudah dijanjikan kepadaku. Sesuatu di dalam diriku meluap. Kujulurkan tangan ke bawah dan kutampar tangan bengkak yang memegangi gelas Scotch itu. Scotch yang tersisa di dalamnya menyiram wajah lebar Van Houten, dan gelasnya memantul dari hidung lelaki itu, berputarputar seperti penari balet di udara, lalu hancur berkepingkeping di atas lantai kayukeras kuno. “Lidewij,” ujar Van Houten tenang, “Tolong, aku mau martini. Dan hanya sedikit bisikan vermouth.” “Aku sudah keluar,” jawab Lidewij sejenak kemudian. “Jangan konyol.” Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bersikap manis tidak berhasil. Bersikap kasar tidak berhasil. Aku perlu jawaban. Aku sudah datang sejauh ini, membajak Keinginan Augustus. Aku harus tahu. “Pernahkah kau diam untuk bertanyatanya?” tanya Van Houten, katakatanya kini tidak jelas, “mengapa kau begitu peduli terhadap pertanyaanpertanyaan


Click to View FlipBook Version