The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Novel Romance Repository, 2023-10-27 03:51:03

The Fault in Our Stars by John Green

The Fault in Our Stars by John Green

sedangkan dia terus bicara dan tidak membalas dengan kata itu. Rasanya seakan aku sudah tiada. Kau tahu, bukan? ‘Selalu’ adalah sebuah janji! Bagaimana kau bisa mengingkari janji itu begitu saja?” “Terkadang orang tidak memahami janji yang mereka ucapkan ketika mereka sedang mengucapkannya,” kataku. Isaac memandangku. “Benar, tentu saja. Tapi, tetap saja kau memegang janji itu. Itu-lah yang disebut cinta. Cinta adalah tetap memegang janji. Tidakkah kau memercayai cinta sejati?” Aku tidak menjawab. Aku tidak punya jawaban. Tapi kupikir, seandainya cinta sejati memang ada, itu definisi yang sangat bagus. “Wah, aku memercayai cinta sejati,” kata Isaac. “Dan aku mencintai Monica. Dan dia berjanji. Dia menjanjikan selalu.” Dia berdiri dan melangkah ke arahku. Aku bangkit berdiri, mengira dia ingin dipeluk atau apa, tapi kemudian dia berbalik begitu saja, seakan tidak bisa mengingat mengapa dia tadi berdiri. Lalu, aku dan Augustus samasama melihat kemarahan yang terpampang di wajahnya. “Isaac,” kata Gus. “Apa?” “Kau tampak sedikit .... Maafkan makna gandanya, Sobatku, tapi ada sesuatu yang sedikit mengkhawatirkan di matamu.” Mendadak Isaac mulai menendangi kursinya, membuatnya jungkir balik ke arah ranjang Gus. “Ini dia,” ujar Augustus. Isaac mengejar kursi itu dan kembali menendanginya. “Ya,” kata Augustus. “Rasakan. Tendangi saja kursi itu!” Kembali Isaac menendang hingga kursi itu melambung dari ranjang Gus, lalu dia meraih salah satu bantal dan mulai menghantamkannya ke dinding di antara ranjang dan rak piala di atasnya. Augustus memandangku dengan rokok masih berada di bibir, lalu tersenyum miring. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan buku itu.” “Ya, aku tahu.” “Dia tidak pernah mengatakan apa yang terjadi pada tokohtokoh lainnya?” “Tidak.” Kuceritakan kepadanya. Isaac masih memukuli dinding dengan bantal. “Dia pindah ke Amsterdam, membuatku berpikir bahwa dia mungkin sedang menulis sekuel yang menampilkan Lelaki Tulip Belanda itu, tapi dia belum menerbitkan sesuatu pun. Dia tidak pernah diwawancarai. Tampaknya dia tidak pernah online. Aku sudah menulisinya segepok surat, bertanya apa yang terjadi pada semua orang itu, tapi dia tidak pernah membalas. Jadi … ya.” Aku berhenti bicara karena Augustus tidak tampak mendengarkan. Dia malah


menyipitkan mata memandang Isaac. “Tunggu,” gumamnya kepadaku. Dia berjalan menghampiri Isaac dan mencengkeram bahunya. “Sobat, bantal tidak bisa pecah. Cobalah sesuatu yang bisa pecah.” Isaac meraih piala basket dari rak di atas ranjang, lalu mengangkatnya di atas kepala seakan menunggu izin. “Ya,” kata Augustus. “Ya!” Piala itu hancur menumbuk lantai, lengan pemain basket plastiknya putus, dengan masih mencengkeram bola. Isaac menginjakinjak piala itu. “Ya!” kata Augustus. “Rasakan!” Lalu, dia kembali kepadaku, “Aku sedang mencari cara untuk memberi tahu ayahku bahwa aku sebenarnya agak membenci basket, dan kurasa aku sudah menemukan caranya.” Pialapiala itu berjatuhan satu demi satu. Isaac menginjakinjak semuanya sambil berteriak, sementara aku dan Augustus berdiri beberapa puluh sentimeter jauhnya, menyaksikan kegilaan itu. Tubuh remuk para pemain basket plastik yang malang itu mengotori lantai berkarpet: di sini ada bola yang digenggam oleh tangan putus; di sana dua kaki tak bertorso di tengah lompatan. Isaac terus menyerang, melompat menginjakinjak semua piala itu dengan dua kaki, berteriak, kehabisan napas, berkeringat, sampai akhirnya dia roboh ke atas puingpuing tajam piala itu. Augustus melangkah ke arahnya dan menunduk memandanginya. “Merasa lebih baik?” tanyanya. “Tidak,” gumam Isaac dengan dada naik turun. “Seperti itulah kepedihan,” ujar Augustus, lalu dia kembali melirikku. “Kepedihan menuntut untuk dirasakan.”[]


Bab Lima Aku tidak bicara lagi dengan Augustus sampai kira-kira seminggu. Aku sudah meneleponnya di Malam Piala Hancur itu sehingga, berdasarkan tradisi, giliran dialah yang menelepon. Tapi, dia tidak melakukannya. Kini, rasanya seakan aku memegang ponsel di tangan berkeringatku sepanjang hari, menatap benda itu ketika mengenakan Gaun Kuning Istimewaku, dengan sabar menanti peneleponku yang jantan itu untuk memenuhi kejantanannya. Aku menjalani hidup: menemui Kaitlyn dan pacarnya (manis, tapi sejujurnya tidak seperti Augustus) untuk minum kopi pada suatu sore; menelan dosis Phalanxifor harian yang direkomendasikan; menghadiri kelas pagi tiga kali minggu itu di MCC; dan setiap malam aku duduk makan malam bersama Mom dan Dad. Minggu malam, kami menyantap piza dengan paprika hijau dan brokoli. Kami sedang duduk di meja melingkar kecil kami di dapur ketika ponselku mulai menyanyi, tapi aku tidak boleh mengeceknya karena kami punya peraturan ketat tidakadaponselsaatmakanmalam. Jadi aku makan sedikit, sementara Mom dan Dad membicarakan gempa bumi yang baru saja terjadi di Papua Nugini. Mereka bertemu dalam Korps Perdamaian di Papua Nugini, sehingga setiap kali terjadi sesuatu di sana,


walaupun sesuatu yang mengerikan, rasanya seakan mendadak mereka bukan lagi dua makhluk besar yang menetap di suatu tempat, melainkan anakanak muda idealis yang percaya diri dan perkasa seperti pada waktu itu. Kegairahan mereka sedemikian rupa, sehingga mereka bahkan tidak melirikku ketika aku makan lebih cepat daripada yang pernah kulakukan, memindahkan makanan di piring ke dalam mulut dengan kecepatan dan kebuasan yang membuatku agak kehabisan napas, dan tentu saja ini membuatku khawatir paruparuku sekali lagi berenang dalam genangan cairan yang semakin banyak. Kusingkirkan pikiran itu sebisa mungkin. Aku dijadwalkan untuk pemindaian PET beberapa minggu lagi. Seandainya ada sesuatu yang keliru, aku akan segera tahu. Tidak ada gunanya merasa khawatir di antara waktu sekarang dan nanti. Tapi, aku masih khawatir. Aku suka menjadi seseorang. Aku ingin terus begitu. Khawatir adalah efek samping lain dari sekarat. Akhirnya aku selesai dan berkata, “Boleh pergi?” Dan mereka bahkan nyaris tidak menghentikan percakapan mengenai kekuatan dan kelemahan infrastruktur Papua Nugini. Aku meraih ponsel dari tasku di meja dapur dan memeriksa telepontelepon yang baru masuk. Augustus Waters. Aku keluar lewat pintu belakang, memasuki senja. Aku bisa melihat perangkat ayunan itu, dan berpikir untuk berjalan ke sana dan berayunayun sambil bicara dengan Augustus. Tapi, benda itu tampak begitu jauh, mengingat kegiatan makan telah membuatku lelah. Akhirnya, aku berbaring di rumput di pinggir beranda, mendongak memandang Orion, satusatunya konstelasi yang bisa kukenali, dan menelepon Augustus. “Hazel Grace,” katanya. “Hai,” kataku. “Apa kabar?” “Baik,” katanya. “Aku ingin meneleponmu hampir setiap menit, tapi aku menunggu sampai bisa membentuk pikiran yang koheren berkenaan dengan Kemalangan Luar Biasa.” (Dia mengucapkan “berkenaan dengan”. Sungguh. Cowok itu.”) “Dan?” tanyaku. “Kurasa, itu adalah ‘seakan’. Ketika membacanya, aku terusmenerus merasa seakan, seakan.” “Seakan?” tanyaku menggodanya. “Seakan itu adalah hadiah?” katanya dengan nada bertanya. “Seakan kau memberiku sesuatu yang penting.”


“Oh,” kataku pelan. “Norak sekali,” katanya. “Maaf.” “Tidak,” kataku. “Tidak. Jangan minta maaf.” “Tapi, ceritanya tidak berakhir.” “Ya,” kataku. “Penyiksaan. Aku mengerti sepenuhnya, seakan, aku mengerti bahwa dia mati atau apa.” “Benar, kuanggap begitu,” kataku. “Dan oke, itu cukup adil, tapi ada kontrak tak tertulis antara penulis dan pembaca, dan kurasa tidak mengakhiri bukumu bisa dibilang melanggar kontrak itu.” “Aku tidak tahu,” kataku. Aku merasa ingin membela Peter Van Houten. “Itu bisa dibilang sebagian dari apa yang kusukai mengenai buku itu. Buku itu menggambarkan kematian dengan jujur. Kau mati di tengah kehidupanmu, di tengah kalimat. Tapi sungguh—astaga, aku sungguh ingin tahu apa yang terjadi pada semua orang lainnya. Itulah yang kutanyakan kepadanya dalam suratsuratku. Tapi dia, ya, dia tidak pernah menjawab.” “Benar. Kau bilang dia penyendiri?” “Betul.” “Mustahil ditemukan?” “Betul.” “benar-benar tidak terjangkau,” ujar Augustus. “Sayangnya begitu,” kataku. “‘Mr. Waters yang Baik,’” jawabnya. “‘Aku menulis surat untuk berterima kasih atas korespondensi elektronik Anda, yang kuterima lewat Ms. Vliegenthart tanggal enam April ini dari Amerika Serikat, yang sejauh geografi bisa dikatakan ada di dalam kontemporenitas kita yang terdigitalisasi secara luar biasa.’” “Augustus, apa-apaan ini?” “Van Houten punya asisten,” kata Augustus. “Lidewij Vliegenthart. Aku menemukan dia. Aku mengiriminya e-mail. Dia memberikan e-mail itu kepada Van Houten. Dan, lelaki itu membalas lewat akun e-mail Vliegenthart.” “Oke, oke. Teruslah membaca.” “‘Jawabanku ditulis dengan tinta dan kertas dalam tradisi mulia nenek moyang kita, lalu diterjemahkan oleh Ms. Vliegenthart ke dalam serangkaian 1 dan 0 agar berjalan melewati jaringan menjemukan yang akhirakhir ini telah


menjerat spesies kita, jadi aku minta maaf atas kesalahan atau kelalaian yang mungkin terjadi. “‘Mengingat pesta pora hiburan yang bisa dinikmati oleh para pemuda dan pemudi generasi Anda, aku berterima kasih kepada siapa saja di mana saja yang bisa menyisihkan jamjam yang diperlukan untuk membaca buku kecilku. Tapi, terutama aku berutang kepada Anda, Pak, baik untuk katakata manis Anda mengenai Kemalangan Luar Biasa, maupun karena Anda telah menyediakan waktu untuk mengatakan kepadaku bahwa buku itu—di sini aku mengutip langsung perkataan Anda—sangat berarti bagi Anda. “‘Tapi, komentar ini membuatku bertanyatanya: Apa yang Anda maksud dengan berarti? Mengingat kesiasiaan akhir dari perjuangan kita, berhargakah guncangan arti sesaat yang diberikan oleh seni kepada kita? Ataukah nilai satusatunya hanyalah melewatkan waktu senyaman mungkin? Apa yang harus ditandingi oleh sebuah cerita, Augustus? Dering alarm? Seruan untuk bertindak? Tetesan morfin? Tentu saja, sama seperti semua interogasi alam semesta lainnya, rangkaian pertanyaan ini secara tak terhindarkan membuat kita bertanya apa artinya menjadi manusia dan apakah—meminjam frase anak berusia enam belas tahun yang dibebani kekhawatiran dan pasti kau caci maki—ada alasan untuk semua itu. “‘Aku khawatir tidak ada, Sobatku, dan kau hanya akan menerima sedikit dukungan dari pertemuan selanjutnya dengan tulisanku. Tapi, untuk menjawab pertanyaanmu: Tidak, aku belum menulis sesuatu yang lain, juga tidak akan melakukannya. Kurasa terus membagikan pikiran dengan pembaca tidak akan bermanfaat bagiku atau bagi mereka. Terima kasih sekali lagi atas e-mail Anda yang murah hati. “‘Salam hangat, Peter Van Houten, lewat Lidewij Vliegenthart.’” “Wow,” kataku. “Ini karanganmu?” “Hazel Grace, bisakah aku, dengan kekerdilan kapasitas intelektualku, mengarang surat dari Peter Van Houten yang menampilkan frase seperti kontemporenitas yang terdigitalisasi secara luar biasa?” “Kau tidak bisa,” kataku setuju. “Bisakah aku, bisakah aku mendapat alamat e-mail-nya?” “Tentu saja,” jawab Augustus, seakan itu bukan hadiah terbaik.


Aku menghabiskan waktu dua jam berikutnya dengan menulis e-mail untuk Peter Van Houten. Rasanya seakan semakin buruk setiap kali aku menulisulang e-mail itu, tapi aku tidak bisa menahan diri. Mr. Peter Van Houten yang Baik (d.a. Lidewij Vliegenthart), Nama saya Hazel Grace Lancaster. Teman saya Augustus Waters, yang membaca Kemalangan Luar Biasa berdasarkan rekomendasi saya, baru saja menerima email dari Anda di alamat ini. Saya harap Anda tidak keberatan karena Augustus membagikan e-mail itu kepada saya. Mr. Van Houten, saya memahami dari e-mail Anda kepada Augustus bahwa Anda tidak berencana menerbitkan buku lagi. Saya bisa dibilang kecewa, tapi sekaligus lega. Dengan begini, saya tidak harus merasa khawatir apakah buku Anda yang berikutnya bisa menandingi kesempurnaan menakjubkan buku pertama Anda. Sebagai penyintas kanker Stadium IV selama tiga tahun, saya bisa mengatakan bahwa Anda benar seluruhnya dalam Kemalangan Luar Biasa. Atau setidaknya, Anda menceritakan saya dengan benar. Buku Anda punya cara untuk memberi tahu saya mengenai apa yang saya rasakan, bahkan sebelum saya merasakannya, dan saya telah membaca ulang buku itu lusinan kali. Tapi, saya ingin tahu apakah Anda keberatan menjawab beberapa pertanyaan yang saya miliki mengenai apa yang terjadi setelah akhir novel. Saya mengerti bahwa buku itu berakhir karena Anna meninggal atau penyakitnya menjadi terlalu parah sehingga dia tidak bisa melanjutkan tulisannya, tapi saya benar-benar ingin tahu apa yang terjadi pada ibu Anna—apakah dia menikah dengan Lelaki Tulip Belanda itu, apakah dia punya anak lagi, dan apakah dia tinggal di 917 W. Temple, dsb. Juga, apakah Lelaki Tulip Belanda itu penipu atau apakah dia benar-benar mencintai mereka? Apa yang terjadi pada teman-teman Anna—terutama Claire dan Jake? Apakah mereka tetap bersama-sama? Dan yang terakhir—saya sadar bahwa ini adalah jenis pertanyaan mendalam dan penuh pertimbangan yang selalu Anda harapkan dari pembaca—apa yang terjadi pada Sisyphus, si Hamster? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menghantui saya selama bertahun-tahun—dan saya tidak tahu berapa lama sisa waktu saya untuk memperoleh jawabannya.


Saya tahu semuanya ini bukanlah pertanyaan sastra penting, padahal buku Anda sarat dengan pertanyaan sastra penting, tapi saya ingin sekali tahu. Dan tentu saja, seandainya Anda memutuskan untuk menulis sesuatu yang lain, walaupun Anda tidak ingin menerbitkannya, dengan senang hati saya akan membacanya. Sejujurnya saya bersedia membaca daftar belanjaan Anda. Dengan penuh kekaguman, Hazel Grace Lancaster (umur 16) Setelah e-mail itu kukirim, aku kembali menelepon Augustus, dan kami terjaga sampai larut malam, membahas Kemalangan Luar Biasa. Aku membacakan puisi Emily Dickinson yang digunakan Van Houten untuk judul bukunya, dan menurut Augustus, aku punya suara yang bagus untuk membaca dan tidak berhenti terlalu lama di saat pergantian bait. Lalu, dia mengatakan bahwa buku Ganjaran Fajar keenam, Persetujuan Darah, dimulai dengan kutipan sebuah puisi. Perlu waktu semenit baginya untuk mencari buku itu, tapi akhirnya dia membacakan kutipan tersebut. “‘Seandainya hidupmu hancur. Ciuman indah terakhir / Kau dapat bertahun-tahun lalu.’” “Lumayan,” kataku. “Sedikit ambisius. Aku yakin Max Mayhem akan menyebutnya sebagai ‘bualan pengecut’.” “‘Ya, dengan gigi digertakkan, itu pasti. Astaga, Mayhem sering sekali menggertakkan gigi dalam bukubuku ini. Jelas dia akan menderita peradangan sendi rahang, seandainya bisa bertahan hidup dalam semua pertempuran ini.” Sedetik kemudian, Gus bertanya, “Kapan ciuman indah terakhir yang kau dapat?” Aku merenungkannya. Ciumanku—semuanya pradiagnosis—tidak nyaman dan berliur dan, pada tingkat tertentu, selalu terasa seperti anakanak yang berpurapura menjadi orang dewasa. Tapi, tentu saja itu sudah cukup lama. “Bertahun-tahun lalu,” jawabku pada akhirnya. “Kau?” “Aku merasakan beberapa ciuman indah bersama mantan pacarku, Caroline Mathers.” “Bertahun-tahun lalu?” “Ciuman terakhir kurang dari setahun yang lalu.” “Apa yang terjadi?” “Selama ciuman itu?” “Bukan, padamu dan Caroline.” “Oh,” katanya. Lalu, sedetik kemudian, “Caroline tidak lagi mengalami penderitaan sebagai manusia.” “Oh,” kataku.


“Ya,” katanya. “Maaf,” kataku. Tentu saja aku mengenal banyak orang mati, tapi aku tidak pernah berkencan dengan salah satunya. Aku bahkan tidak bisa membayangkannya, sungguh. “Bukan salahmu, Hazel Grace. Kita semua hanya efek samping, bukan?” “‘Tertitip di kapalbarang kesadaran,’” kataku mengutip KLB. “Oke,” katanya. “Aku harus tidur. Hampir jam satu.” “Oke,” kataku. “Oke,” katanya. Aku terkikik dan berkata, “Oke.” Lalu, sambungan teleponnya hening, tapi tidak terputus. Aku merasa seakan Augustus berada di sini, di dalam kamar bersamaku, tapi dengan cara yang lebih baik, seakan aku tidak sedang berada di kamarku dan dia tidak sedang berada di kamarnya, tapi kami malah bersamasama di dalam semacam ruang ketiga yang tak terlihat dan rapuh, yang hanya bisa dikunjungi lewat telepon. “Oke,” katanya setelah lama sekali. “Mungkin oke akan menjadi kata selalu untuk kita.” “Oke,” kataku. Akhirnya, Augustus yang menutup telepon. Peter Van Houten menjawab e-mail Augustus empat jam setelah e-mail itu dikirim, tapi dua hari kemudian Van Houten masih belum membalas e-mail-ku. Augustus meyakinkanku bahwa itu karena e-mailku lebih baik dan memerlukan jawaban yang lebih penuh pertimbangan. Van Houten sedang sibuk menulis jawaban atas pertanyaanpertanyaanku, dan prosa yang cerdas itu perlu waktu. Tapi, aku masih khawatir. Pada hari Rabu, di saat kelas Puisi Amerika untuk Pemula 101, aku menerima sms dari Augustus:


Pembedahan Isaac sudah selesai. Berjalan dengan baik. Secara resmi dia NEC. NEC berarti “no evidence of cancer (tidak ada bukti kanker)”. Sms kedua muncul beberapa detik kemudian. Maksudku, dia buta. Jadi, itu sayang sekali. Siang itu Mom bersedia meminjamiku mobil sehingga aku bisa menyetir ke Memorial untuk menengok Isaac. Aku menemukan jalanku ke kamar Isaac di lantai lima, mengetuk walaupun pintu terbuka, dan sebuah suara perempuan berkata, “Silakan masuk.” Itu suster yang sedang melakukan sesuatu pada perban di mata Isaac. “Hei, Isaac,” kataku. Dan, dia berkata, “Mon?” “Oh, bukan. Maaf. Bukan, ini, em, Hazel. Em, Hazel dari Kelompok Pendukung? Hazel dari Malampialahancur?” “Oh,” katanya. “Ya, orang terus mengatakan indraindraku yang lain akan menjadi lebih baik untuk menggantikannya, tapi itu JELAS BELUM TERJADI. Hai, Hazel dari Kelompok Pendukung. Kemarilah sehingga aku bisa meneliti wajahmu dengan kedua tanganku dan melihat jiwamu lebih dalam daripada yang bisa dilakukan oleh orang berpenglihatan.” “Dia bergurau,” ujar suster itu. “Ya,” kataku. “Itu kusadari.” Aku berjalan beberapa langkah ke ranjang. Aku menarik kursi, duduk, lalu meraih tangan Isaac. “Hei,” kataku. “Hei,” jawabnya. Lalu, tidak ada apa-apa lagi selama beberapa saat. “Bagaimana kabarmu?” tanyaku. “Oke,” jawabnya. “Aku tidak tahu.” “Kau tidak tahu apa?” tanyaku. Aku memandangi tangannya, karena tidak ingin memandang wajah dengan mata ditutup perban itu. Isaac menggigiti kukunya, dan aku bisa melihat sedikit darah di pojok beberapa kutikulanya. “Dia bahkan belum menengokku,” katanya. “Maksudku, kami bersamasama selama empat belas bulan. Empat belas bulan itu waktu yang lama. Astaga, ini menyakitkan.” Isaac melepas tanganku untuk meraih pompa obat penghilang nyeri, yang harus ditekan agar mengalirkan narkotika. Suster itu, setelah menyelesaikan pergantian perban, melangkah mundur. “Baru sehari, Isaac,” katanya sedikit meremehkan. “Kau harus memberi dirimu


waktu untuk penyembuhan. Dan empat belas bulan tidaklah selama itu, tidak lama dalam skema segala sesuatunya. Kau baru saja mulai, Sobat. Akan kau lihat nanti.” Suster itu pergi. “Dia sudah pergi?” Aku mengangguk, lalu kusadari bahwa Isaac tidak bisa melihatku mengangguk. “Ya,” jawabku. “Akan kulihat? Benarkah? Apakah dia sungguhsungguh berkata begitu?” “Kualitas Suster yang Baik: Pergi,” kataku. “1. Tidak bermain kata dengan kecacatanmu,” ujar Isaac. “2. Mendapat darah sekali tusuk,” kataku. “Sungguh, itu penting sekali. Maksudku, ini lenganku atau papan sasaran? 3. Tidak ada nada merendahkan.” “Apa kabar, Sayang?” tanyaku bermanismanis. “Kini aku akan menusukmu dengan jarum. Mungkin cedikit cakit.” “Anak kecil kecayanganku cakit?” timpal Isaac. Lalu, sedetik kemudian, “Sebenarnya sebagian besar dari mereka baik. Aku hanya ingin minggat dari tempat ini.” “Maksudmu dari rumah sakit ini?” “Antara lain,” katanya. Dia merapatkan bibir. Aku bisa melihat kepedihannya. “Sejujurnya aku jauh lebih banyak memikirkan Monica daripada memikirkan mataku. Gilakah itu? Itu gila.” “Sedikit gila,” kataku setuju. “Tapi, tahukah kau? Aku memercayai cinta sejati. Aku tidak percaya semua orang harus mempertahankan mata mereka atau tidak menderita sakit atau apa, tapi semua orang harus punya cinta sejati, dan cinta itu harus bertahan, setidaknya selama kau masih hidup.” “Ya,” kataku. “Terkadang aku hanya berharap semuanya itu tidak terjadi. Semua kanker itu.” Bicara Isaac melambat. Obatnya bekerja. “Aku ikut menyesal,” kataku. “Tadi Gus kemari. Dia berada di sini ketika aku terbangun. Membolos sekolah. Dia ....” Isaac sedikit memalingkan kepala. “Sudah lebih baik,” katanya pelan. “Rasa sakitnya?” tanyaku. Dia mengangguk pelan. “Bagus,” kataku. Lalu, karena aku memang menyebalkan: “Kau bilang sesuatu mengenai Gus?” Tapi, Isaac sudah pulas.


Aku turun ke toko hadiah kecil yang tak berjendela, dan bertanya kepada sukarelawan lanjut usia yang duduk di balik meja kasir, jenis bunga apa yang aromanya paling tajam. “Semuanya beraroma sama. Disemprot Super Scent.” “Benarkah?” “Ya, mereka menyemprot semua bunga dengan itu.” Aku membuka kotak pendingin di sebelah kirinya dan mencium selusin mawar, lalu membungkuk untuk mencium beberapa anyelir. Aroma yang sama dan sangat tajam. Anyelirnya lebih murah, jadi aku meraih selusin yang berwarna kuning. Harganya empat belas dolar. Aku kembali memasuki kamar; ibu Isaac ada di sana, memegangi tangan anaknya. Dia masih muda dan sangat cantik. “Kau temannya?” tanyanya, dan kurasa ini salah satu pertanyaan yang secara tidak disengaja bersifat luas dan tidak bisa dijawab. “Em, ya,” jawabku. “Saya dari Kelompok Pendukung. Bungabunga ini untuknya.” Dia menerima dan meletakkan bungabunga itu di pangkuannya. “Kau kenal Monica?” tanyanya. Aku menggeleng. “Wah, dia sedang tidur,” katanya. “Ya. Saya sudah bicara sedikit dengannya, ketika mereka sedang mengurus perban atau apa.” “Aku benci meninggalkan Isaac di saat seperti itu, tapi aku harus menjemput Graham di sekolah,” jelasnya. “Dia baik-baik saja,” kataku kepadanya. Dia mengangguk. “Sebaiknya aku membiarkannya tidur.” Kembali dia mengangguk. Aku pergi. Keesokan paginya, aku bangun lebih awal dan memeriksa e-mail terlebih


dahulu. [email protected] akhirnya menjawab. Ms. Lancaster yang Baik, Saya rasa keyakinan Anda salah tempat—tapi keyakinan memang biasanya begitu. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Anda, setidaknya bukan secara tertulis, karena menuliskan jawaban-jawaban semacam itu sama saja dengan menyusun sekuel untuk Kemalangan Luar Biasa, yang mungkin saja kau terbitkan atau kau sebarkan di jaringan yang telah menggantikan otak generasi Anda itu. Ada telepon, tapi kau mungkin merekam percakapan itu. Bukannya aku tidak memercayai Anda, sungguh, tapi aku memang tidak memercayai Anda. Sayang sekali, Hazel yang baik, aku tidak akan pernah bisa menjawab pertanyaanpertanyaan semacam itu, kecuali secara langsung, padahal Anda berada di sana, sedangkan aku berada di sini. Bagaimanapun, harus kuakui bahwa aku senang menerima korespondensi Anda yang tak terduga itu lewat Ms. Vliegenthart: Menakjubkan sekali mengetahui bahwa aku telah membuat sesuatu yang berguna bagi Anda—walaupun buku itu tampak begitu jauh dariku, sehingga aku merasa yang menulisnya adalah seseorang yang benar-benar berbeda. (Penulis novel itu begitu kurus, begitu rapuh, dan bisa dibilang optimis!) Tapi, seandainya Anda berada di Amsterdam, silakan berkunjung. Biasanya aku ada di rumah. Aku bahkan akan mengizinkanmu mengintip daftar belanjaanku. Salam hangat, Peter Van Houten d.a. Lidewij Vliegenthart “APA?” teriakku keraskeras. “KEHIDUPAN MACAM APA INI?” Mom berlari masuk. “Ada apa?” “Tidak ada apa-apa,” jawabku meyakinkannya. Mom, yang masih gugup, berlutut memeriksa Philip, untuk memastikan alat itu mengondensasi oksigen dengan baik. Aku membayangkan duduk di kafe bermandikan matahari bersama Peter Van Houten, lalu dia mencondongkan tubuh melewati meja dengan bertumpu pada sikunya, bicara dengan suara pelan sehingga orang lain tidak akan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi pada tokohtokoh yang sudah bertahun-tahun kupikirkan itu. Dia mengatakan tidak bisa menceritakannya kepadaku, kecuali secara langsung, lalu dia mengundangku ke Amsterdam. Kujelaskan ini kepada Mom, lalu aku berkata, “Aku harus ke sana.” “Hazel, aku mencintaimu, dan kau tahu aku akan melakukan apa saja untukmu, tapi kita tidak—kita tidak punya uang untuk perjalanan internasional,


dan biaya membawa peralatan ke sana—Sayang, itu tidak—” “Ya,” kataku menyela. Kusadari kalau aku konyol, bahkan untuk memikirkannya saja. “Jangan khawatir.” Tapi, Mom tampak khawatir. “benar-benar penting untukmu, ya?” tanyanya seraya duduk sambil memegang betisku. “Akan sangat menakjubkan,” kataku, “untuk menjadi satusatunya orang yang tahu apa yang terjadi, selain penulisnya sendiri.” “Itu akan menakjubkan,” kata Mom. “Aku akan bicara dengan ayahmu.” “Tidak, jangan,” kataku. “Sungguh, jangan menghamburkan uang untuk itu. Akan kupikirkan caranya.” Terpikir olehku bahwa orangtuaku tidak memiliki uang garagara aku. Aku telah menguras tabungan keluarga untuk pembayarantetap Phalanxifor, dan Mom tidak bisa bekerja karena dia telah menjalani profesi purnawaktu MembayangBayangiku. Aku tidak ingin mereka berutang lebih banyak lagi. Kukatakan kepada Mom bahwa aku ingin menelepon Augustus, karena aku ingin mengusir Mom dari kamar. Aku tidak bisa mengatasi wajah sedih akutidakbisamewujudkanmimpiputriku. Dengan gaya Augustus Waters, kubacakan surat itu sebagai pengganti sapaan halo. “Wow,” kata Augustus. “Aku tahu,” kataku. “Bagaimana caraku pergi ke Amsterdam?” “Kau punya Keinginan?” tanyanya, mengacu pada organisasi bernama Yayasan Peri, yang kerjanya mewujudkan satu keinginan anak sakit. “Tidak,” kataku. “Aku sudah mewujudkan Keinginanku praKeajaiban.” “Apa yang kau lakukan?” Aku mendesah keras. “Waktu itu usiaku tiga belas,” jelasku. “Bukan Disney,” katanya. Aku diam saja. “Kau tidak pergi ke Disney World.” Aku diam saja. “Hazel GRACE!” teriaknya. “Kau tidak mewujudkan satu Keinginan terakhirmu dengan pergi ke Disney World bersama orangtuamu.” “Juga Epcot Center,” gumamku. “Astaga,” ujar Augustus. “Aku tidak percaya aku naksir cewek yang punya keinginan seklise itu.” “Waktu itu usiaku tiga belas,” ulangku, walaupun tentu saja yang kupikirkan


hanyalah naksir naksir naksir naksir naksir. Aku tersanjung, tapi langsung mengganti pokok pembicaraan. “Bukankah kau seharusnya sekolah atau semacamnya?” “Aku membolos agar bisa menemani Isaac, tapi dia sedang tidur, jadi aku berada di atrium, menggarap geometri.” “Bagaimana kabarnya?” tanyaku. “Aku tidak tahu apakah dia hanya belum siap untuk menghadapi keseriusan kecacatannya atau apakah dia benar-benar lebih memedulikan hubungannya yang sudah berakhir dengan Monica, tapi dia tidak mau bicara soal lain.” “Ya,” kataku. “Berapa lama dia akan berada di rumah sakit?” “Beberapa hari. Lalu, dia akan menjalani rehabilitasi atau semacamnya selama beberapa waktu, tapi kurasa dia bisa tidur di rumah.” “Menyebalkan,” kataku. “Aku melihat ibunya. Aku harus pergi.” “Oke,” kataku. “Oke,” jawabnya. Aku bisa mendengar senyum miringnya. Hari Sabtu, aku dan orangtuaku pergi ke pasar petani di Broad Ripple. Itu hari yang cerah, suatu kelangkaan untuk Indiana di bulan April, dan semua orang di pasar petani mengenakan lengan pendek walaupun suhu udara tidak membenarkan tindakan itu. Kami penduduk Indiana memiliki keoptimisan berlebihan terhadap musim panas. Aku dan Mom duduk bersebelahan di sebuah bangku di seberang seorang pembuat sabunkambing, lelaki berpakaian overall yang harus menjelaskan kepada setiap orang lewat bahwa: ya, kambingkambing itu miliknya, dan tidak, sabunkambing tidak berbau seperti kambing. Ponselku berdering. “Siapa?” tanya Mom, bahkan sebelum aku sempat mengeceknya. “Aku tidak tahu,” jawabku. Tapi, itu Gus.


“Kau sedang di rumah?” tanyanya. “Em, tidak,” jawabku. “Itu pertanyaan yang menjebak. Aku tahu jawabannya karena saat ini aku berada di rumahmu.” “Oh. Em. Wah, kurasa kami hendak pulang.” “Bagus. Sampai jumpa sebentar lagi.” Augustus Waters sedang duduk di atas anak tangga depan rumahku ketika kami memasuki halaman. Dia memegang buket bunga tulip oranye yang baru mulai mekar, dan mengenakan seragam jersey tim basket Indiana Pacers di balik mantelnya, pilihan pakaian yang tampaknya benar-benar tidak sesuai, walaupun memang tampak bagus di tubuhnya. Dia bangkit berdiri, menyerahkan bungabunga tulip itu, lalu bertanya, “Mau pergi piknik?” Aku mengangguk seraya menerima buket itu. Dad berjalan menyusulku dan menjabat tangan Gus. “Itu jerseynya Rik Smits?” tanyanya. “Benar sekali.” “Astaga, aku suka dia,” ujar Dad. Mereka langsung terlibat dalam percakapan basket yang tidak bisa (dan tidak ingin) kuikuti, jadi aku membawa bungabunga tulipku ke dalam. “Mau dimasukkan ke dalam jambangan?” tanya Mom ketika aku berjalan masuk. Senyum lebar terpampang di wajahnya. “Tidak, tidak usah,” jawabku. Jika kami memasukkan buket itu ke dalam jambangan di ruang duduk, itu akan menjadi bunga milik semua orang. Aku menginginkannya sebagai bunga milikku. Aku masuk kamar, tapi tidak berganti pakaian. Aku menyisir rambut, menggosok gigi, mengenakan lip gloss, dan mengoleskan sesedikit mungkin parfum. Aku terus memandang bungabunga itu. Warnanya sangat oranye,


hampir terlalu oranye untuk bisa disebut cantik. Aku tidak punya jambangan atau semacamnya, jadi kukeluarkan sikat gigiku dari wadahnya dan kuisi wadah itu dengan air hingga setengahnya, lalu kutinggalkan bungabunga itu di sana, di dalam kamar mandi. Ketika kembali memasuki kamar, aku bisa mendengar orangorang bicara, jadi aku duduk di pinggir ranjang selama beberapa saat dan mendengarkan lewat pintu kamarku yang berongga. Dad: “Jadi, kau berjumpa dengan Hazel di pertemuan Kelompok Pendukung.” Augustus: “Ya, Pak. Ini rumah yang indah. Saya menyukai bendabenda seni Anda.” Mom: “Terima kasih, Augustus.” Dad: “Kalau begitu, kau juga penyintas?” Augustus: “Ya. Saya tidak mengamputasi sobatku ini hanya untuk bersenangsenang, walaupun ini strategi penurunan bobot yang sangat bagus. Kaki itu berat!” Dad: “Dan bagaimana kesehatanmu sekarang?” Augustus: “NEC selama empat belas bulan.” Mom: “Itu hebat. pilihan-pilihan pengobatan belakangan ini—benar-benar menakjubkan.” Augustus: “Saya tahu. Saya beruntung.” Dad: “Kau harus mengerti bahwa Hazel masih sakit, Augustus, dan akan tetap begitu di sepanjang hidupnya. Dia pasti ingin menandingimu, tapi paruparunya —” Pada saat itulah aku muncul, membungkam Dad. “Jadi, kalian mau ke mana?” tanya Mom. Augustus berdiri dan mencondongkan tubuh ke arah Mom, membisikkan jawabannya, lalu mengangkat telunjuk ke bibir. “Shh,” katanya kepada Mom. “Ini rahasia.” Mom tersenyum. “Ponselmu kau bawa?” tanyanya kepadaku. Aku mengangkat benda itu sebagai bukti, memiringkan kereta oksigenku hingga bertumpu pada rodaroda depannya, dan mulai berjalan. Augustus bergegas mendekat, menawarkan lengannya yang kusambut. Jemari tanganku melingkari bisepsnya. Sayangnya dia bersikeras menyetir, agar kejutan itu bisa tetap menjadi kejutan. Ketika kami terguncangguncang ke arah tujuan kami, aku berkata, “Kau benar-benar memukau ibuku.”


“Ya, dan ayahmu penggemar Smits. Itu membantu. Menurutmu mereka menyukaiku?” “Pasti. Tapi, peduli amat. Mereka hanya orangtua.” “Mereka orangtuamu,” kata Augustus seraya melirikku. “Lagi pula, aku suka disukai. Gilakah itu?” “Wah, kau tidak perlu bergegas membukakanku pintu atau menghujaniku dengan pujian agar aku menyukaimu.” Dia menginjak rem, dan aku melayang ke depan cukup keras sehingga napasku terasa ganjil dan sesak. Aku memikirkan pemindaian PET. Jangan khawatir. Khawatir itu tidak berguna. Tetap saja aku khawatir. Kami ngebut, meraung meninggalkan tanda berhenti, lalu berbelok ke kiri ke Grandview yang salah nama itu (kurasa memang ada view [pemandangan] lapangan golf, tapi tidak ada yang grand [hebat]). Satusatunya yang bisa kupikirkan di dalam arah ini adalah kuburan. Augustus menjulurkan tangan ke dasbor tengah, membuka sebungkus penuh rokok, lalu mengambil sebatang. “Pernahkah kau membuangnya?” tanyaku. “Salah satu dari banyak keuntungan tidak merokok adalah, sebungkus rokok bisa bertahan untuk selamanya,” jawabnya. “Ini sudah kumiliki selama hampir satu tahun. Beberapa batang rokoknya patah di dekat filter, tapi kurasa bungkus rokok ini bisa bertahan sampai ulang tahun kedelapan belasku.” Dia meletakkan filter rokoknya di sela jemari tangan, lalu menyelipkannya ke bibir. “Jadi, oke,” katanya. “Oke. Sebutkan beberapa hal yang tidak pernah kau jumpai di Indianapolis.” “Em. Orang dewasa kurus,” kataku. Dia tertawa. “Bagus. Teruskan.” “Mmm, pantai. Restoran milik keluarga. Topografi.” “Semuanya contoh hebat dari halhal yang tidak kita miliki. Juga, kebudayaan.” “Ya, kita sedikit kurang berbudaya,” kataku, akhirnya aku menyadari ke mana dia membawaku. “Kita akan ke museum?” “Bisa dibilang begitu.” “Oh, kita pergi ke taman itu atau apa?” Gus tampak sedikit kecewa. “Ya, kita pergi ke taman itu atau apa,” katanya. “Kau tahu, bukan?” “Em, tahu apa?” “Tidak apa-apa.”


Ada taman di belakang museum, dan di sana sekelompok seniman menciptakan patungpatung besar. Aku pernah mendengarnya, tapi tidak pernah mengunjunginya. Kami melesat melewati museum, dan memarkir mobil persis di sebelah lapangan basket yang dipenuhi lengkungan baja biru dan merah untuk menggambarkan jalur lambungan sebuah bola. Kami berjalan menuruni sesuatu yang disebut bukit di Indianapolis, menuju lapangan tempat anakanak memanjati patung kerangka raksasa. Masingmasing dari tulang patung itu kira-kira setinggi pinggang, dan tulang pahanya lebih panjang daripada tubuhku. Patung itu mirip gambar kerangka buatan anakanak yang menonjol dari tanah. Bahuku terasa nyeri. Aku khawatir kanker telah menyebar dari paruparuku. Aku membayangkan tumor itu bermetastasis ke dalam tulangtulangku sendiri, melubanglubangi kerangkaku, bagaikan belut licin yang bermaksud jahat. “Funky Bones,” ujar Augustus. “Diciptakan oleh Joep Van Lieshout.” “Kedengarannya orang Belanda.” “Dia memang orang Belanda,” kata Gus. “Begitu juga Rik Smits. Begitu juga bunga tulip.” Gus berhenti di tengah lapangan. Kerangka itu kini berada persis di depan kami. Dia melepas ransel dari sebelah bahu, lalu dari bahunya yang sebelah lagi. Dia membuka ransel itu, mengeluarkan sehelai selimut oranye, sebotol jus jeruk, dan beberapa rotilapis yang terbungkus plastik dengan pinggiran dipotong. “Ada apa dengan semua warna oranye ini?” tanyaku, masih tidak ingin membiarkan diriku membayangkan bahwa semuanya ini akan menuntun ke Amsterdam. “Warna nasional Belanda, tentu saja. Kau ingat William Oranye dan lainlain?” “Dia tidak ada di dalam tes kelulusan SMU.” Aku tersenyum, berupaya


membendung kegembiraanku. “Rotilapis?” tanyanya. “Biar kutebak,” kataku. “Keju Belanda. Dan tomat. Tomatnya dari Meksiko. Maaf.” “Kau selalu begitu mengecewakan, Augustus. Tidak bisakah kau setidaknya mencari tomat oranye?” Dia tertawa, dan kami menyantap rotilapis dalam keheningan, menyaksikan anakanak bermain di atas patung. Tentu saja aku tidak bisa bertanya secara langsung, jadi aku duduk saja di sana, dikelilingi oleh Kebelandaan, merasa canggung dan penuh harap. Di kejauhan, bermandikan cahaya matahari tak bercela yang begitu langka dan berharga di kota kelahiran kami, segerombolan anakanak menjadikan kerangka itu taman bermain, melompat bolakbalik di antara tulangtulang palsu itu. “Dua hal yang kusukai dari patung ini,” ujar Augustus. Dia memegang rokok yang tidak dinyalakan itu di antara jemari tangannya, menjentikkannya seakan membuang abu. Dia meletakkan rokok itu kembali ke bibir. “Pertama, tulangtulang itu letaknya cukup berjauhan sehingga, seandainya kau anak kecil, kau tidak bisa menahan dorongan untuk melompat dari tulang ke tulang, seakan kau memang harus melompat dari tulang rusuk ke tengkorak kepala. Dan kedua, ini berarti bahwa patung itu pada dasarnya memaksa anakanak untuk bermain-main dengan tulang. Simbolsimbolnya tidak terbatas, Hazel Grace.” “Kau sangat menyukai simbol,” kataku, berharap bisa mengarahkan kembali percakapan pada banyaknya simbol Belanda di piknik kami. “Benar. Nah, soal itu. Kau mungkin bertanyatanya mengapa kau menyantap rotilapis keju yang tidak enak dan minum jus jeruk, dan mengapa aku mengenakan seragam jersey pemain basket Belanda, padahal aku benci olahraga itu.” “Itu memang terpikirkan olehku,” kataku. “Hazel Grace, seperti begitu banyak anak kecil sebelum dirimu—dan ini kukatakan dengan penuh cinta kasih—kau mewujudkan Keinginanmu dengan terburuburu, tanpa terlalu memedulikan konsekuensinya. Malaikat Maut menatap wajahmu, dan ketakutan hendak mati dengan Keinginan yang belum terwujud, yang masih berada di dalam sakumu, membuatmu bergegas menuju Keinginan pertama yang terpikirkan olehmu. Dan kau, seperti banyak anak lainnya, memilih kegembiraan dingin dan palsu dari taman bermain bertema.”


“Sesungguhnya aku senang sekali dalam perjalanan itu. Aku bertemu Goofy dan Minn—” “Aku sedang bermonolog! Aku menulis dan menghafalkannya dan, jika kau menggangguku, aku akan benar-benar mengacaukannya,” sela Augustus. “Santap saja rotilapismu dan dengarkan.” (Rotilapisnya kering sehingga tidak bisa dimakan, tapi aku tersenyum dan menggigitnya juga.) “Oke, sampai di mana aku?” Katanya kemudian. “Kegembiraan palsu.” Augustus mengembalikan rokok itu ke dalam bungkusnya. “Benar, kegembiraan dingin dan palsu dari taman bermain bertema. Tapi, biarlah kukatakan bahwa para pahlawan sejati di Pabrik Pewujud Keinginan itu adalah kaum lelaki dan perempuan muda yang menunggu, sama seperti Vladimir dan Estragon menunggu Godot, dan sama seperti gadis Kristen baik-baik menunggu pernikahan. Dengan gigih dan tanpa mengeluh, para pahlawan muda ini menunggu datangnya satu Keinginan sejati. Memang, Keinginan sejati itu mungkin tidak akan pernah tiba, tapi setidaknya, mereka bisa beristirahat dengan tenang di alam baka, karena tahu bahwa mereka telah memainkan peranan kecil dalam mempertahankan Keinginan sebagai suatu gagasan. “Tapi sekali lagi, mungkin Keinginan sejati itu akan tiba. Mungkin kau akan menyadari bahwa satu Keinginan sejatimu adalah mengunjungi Peter Van Houten yang genius itu di pengasingan Amsterdamnya, dan kau akan merasa sangat senang karena masih menyimpan Keinginanmu.” Augustus berhenti bicara cukup lama sehingga kupikir monolognya sudah selesai. “Tapi, aku tidak menyimpan Keinginanku,” kataku. “Ah,” katanya. Lalu, setelah keheningan yang terasa seperti sudah direncanakan, dia mengimbuhkan, “Tapi, aku menyimpan Keinginanku.” “Benarkah?” Aku terkejut karena Augustus memenuhi syarat untuk mewujudkan Keinginannya, mengingat dia masih sekolah dan sudah hampir setahun sembuh. Kau harus sakit parah agar para Peri itu memberimu satu Keinginan. “Aku mendapatkannya sebagai pengganti kakiku,” jelasnya. Cahaya menimpa wajahnya; dia harus menyipitkan mata untuk memandangku, dan ini membuat hidungnya mengernyit lucu. “Nah, aku tidak akan menyerahkan Keinginanku kepadamu atau apa. Tapi, aku juga tertarik untuk menemui Peter Van Houten, dan tidak masuk di akal jika aku menemuinya tanpa gadis yang memperkenalkanku pada bukunya.”


“Itu sudah jelas,” kataku. “Jadi, aku bicara dengan PeriPeri itu, dan mereka setuju sepenuhnya. Kata mereka, Amsterdam cantik di awal Mei. Mereka mengusulkanku untuk berangkat tanggal tiga Mei dan kembali tanggal tujuh Mei.” “Augustus, benarkah?” Dia menjulurkan tangan, menyentuh pipiku, dan sejenak aku mengira dia hendak menciumku. Tubuhku menegang, dan kurasa dia melihatnya, karena dia menarik tangan. “Augustus,” kataku. “Sungguh. Kau tidak perlu melakukan ini.” “Jelas perlu,” katanya. “Aku sudah menemukan Keinginanku.” “Astaga, kau hebat,” kataku. “Aku yakin kau berkata begitu kepada semua cowok yang membiayai perjalanan internasionalmu,” jawabnya.[]


Bab Enam Mom sedang melipat cucian sambil menonton acara TV The View ketika aku tiba di rumah. Kuceritakan kepadanya kalau bunga tulip, seniman Belanda, dan segalanya itu adalah karena Augustus hendak mewujudkan Keinginannya dengan membawaku ke Amsterdam. “Itu berlebihan,” ujar Mom seraya menggelenggelengkan kepala. “Kita tidak bisa menerima itu dari orang yang bisa dibilang asing.” “Dia bukan orang asing. Dia sahabat terbaik keduaku.” “Setelah Kaitlyn?” “Setelah Mom,” kataku. Itu benar, tapi terutama kukatakan karena aku ingin


pergi ke Amsterdam. “Akan kutanyakan pada Dr. Maria,” ujar Mom setelah beberapa saat. Kata Dr. Maria, aku tidak bisa pergi ke Amsterdam tanpa satu orang dewasa yang sangat mengenal penyakitku, dan ini kurang lebih berarti Mom atau Dr. Maria sendiri. (Dad memahami kankerku sama seperti caraku memahaminya: dengan cara yang tidak jelas dan tidak menyeluruh, sama seperti orang memahami sirkuit listrik dan air pasang. Tapi, Mom tahu lebih banyak mengenai berbagai karsinoma tiroid remaja jika dibandingkan dengan sebagian besar ahli onkologi.) “Kalau begitu Mom ikut,” kataku. “PeriPeri itu akan membayarnya. PeriPeri itu kaya.” “Tapi ayahmu,” kata Mom. “Dia akan merindukan kita. Itu tidak adil untuknya, sedangkan dia tidak bisa meninggalkan pekerjaan.” “Mom bercanda? Mom tidak berpikir Dad akan menikmati waktu beberapa hari itu untuk menonton acara TV yang tidak berhubungan dengan calon model dan memesan piza setiap malam, menggunakan lap kertas sebagai piring sehingga dia tidak perlu mencuci piring?” Mom tertawa. Akhirnya, dia mulai kegirangan, mencatat tugastugasnya di ponsel: Dia harus menelepon orangtua Gus, bicara dengan para Peri mengenai keperluan medisku dan apakah mereka sudah memesan hotel dan bukupanduan apa yang terbaik, kami harus melakukan riset jika hanya punya waktu tiga hari di sana, dan seterusnya. Aku sedikit pusing, jadi kutelan beberapa butir Advil dan kuputuskan untuk tidur siang. Tapi, akhirnya aku hanya berbaring di ranjang dan mengingat kembali seluruh piknik bersama Augustus itu. Aku tidak bisa berhenti memikirkan momen singkat ketika dia menyentuhku dan tubuhku menegang. Entah kenapa, keakraban lembut itu terasa keliru. Kupikir mungkin memang begitulah segala


sesuatu yang telah direncanakan sebelumnya: Augustus menakjubkan, tapi dia berlebihan dalam segala hal di piknik itu, hingga ke rotilapis yang bergaung secara metaforis, tapi rasanya mengerikan, dan monolog hafalan yang mencegah terjadinya percakapan. Semuanya terasa Romantis, tapi tidak romantis. Tapi sesungguhnya, aku tidak pernah menginginkan Augustus untuk menciumku, tidak dengan cara seperti yang seharusnya kuinginkan. Maksudku, dia menakjubkan. Aku terpikat dengannya. Aku memikirkan dia dengan hati berbunga-bunga, jika meminjam frase khas anak SMP. Tapi sentuhan nyata itu, sentuhan yang terwujud itu … semuanya keliru. Lalu, aku dilanda kekhawatiran harus tidur dengannya untuk bisa pergi ke Amsterdam, dan ini bukanlah jenis pikiran yang kuinginkan karena (a) Seharusnya aku bahkan tidak mempertanyakan apakah aku ingin menciumnya, dan (b) Mencium seseorang agar bisa mendapat perjalanan gratis sangatlah mendekati pelacuran seutuhnya, dan harus kuakui bahwa, walaupun aku tidak menganggap diriku sebagai orang yang sangat baik, aku tidak pernah berpikir kalau tindakan seksual nyata pertamaku akan bersifat pelacuran. Tapi sekali lagi, Augustus tidak berupaya menciumku; dia hanya menyentuh wajahku, dan itu bahkan tidak seksual. Itu bukan gerakan yang dirancang untuk membangkitkan gairah, tapi jelas gerakan terencana, karena Augustus Waters tidak bisa berimprovisasi. Jadi, apa yang hendak dia ungkapkan? Dan, mengapa aku tidak ingin menerimanya? Lalu, kusadari bahwa aku sedang mengKaitlynkan peristiwa itu, jadi kuputuskan untuk mengsms Kaitlyn dan meminta nasihat. Dia langsung menelepon. “Aku punya masalah cowok,” kataku. “ASYIK,” jawab Kaitlyn. Kuceritakan semuanya, lengkap dengan sentuhan wajah canggung itu, dengan hanya merahasiakan Amsterdam dan nama Augustus. “Kau yakin dia seksi?” tanyanya ketika aku sudah selesai. “Yakin sekali,” jawabku. “Atletis?” “Ya, dulu dia main basket untuk North Central.” “Wow. Bagaimana kau bisa bertemu dengannya?” “Kelompok Pendukung yang menjijikkan itu.” “Hah,” ujar Kaitlyn. “Sekadar penasaran, berapa tinggi cowok ini?” “kira-kira 1,4,” jawabku sambil tersenyum. Pemain basket selalu terkenal di Indiana, dan walaupun Kaitlyn tidak bersekolah di North Central, hubungan


sosialnya tidak terbatas. “Augustus Waters,” katanya. “Em, mungkin?” “Astaga. Aku pernah melihatnya di pestapesta. Aku bersedia melakukan apa saja terhadap cowok itu. Maksudku bukan sekarang, setelah aku tahu kau tertarik kepadanya. Tapi, oh, ya Tuhan, aku bersedia menunggangi kuda poni berkaki satu itu sampai ke kandangnya.” “Kaitlyn,” kataku. “Maaf. Menurutmu posisimu harus di atas?” “Kaitlyn,” kataku. “Kita bicara apa? Ya, kau dan Augustus Waters. Mungkin … kau lesbian?” “Kurasa tidak. Maksudku, jelas aku menyukainya.” “Jelekkah tangannya? Terkadang makhluk rupawan punya tangan yang jelek.” “Tidak, tangannya menakjubkan.” “Hmm,” katanya. “Hmm,” kataku. Sedetik kemudian, Kaitlyn berkata, “Ingat Derek? Dia mencampakkanku minggu lalu, karena menurutnya ada sesuatu yang secara mendasar tidak cocok mengenai kami jauh di dalam sana, dan kami hanya akan lebih terluka jika meneruskan saja hubungan itu. Dia menyebut tindakannya sebagai pencampakan untuk pencegahan. Jadi, mungkin kau merasa ada sesuatu yang tidak cocok secara mendasar, dan kau mencegah terjadinya tindakan pencegahan itu.” “Hmm,” kataku. “Aku hanya mengutarakan pikiranku.” “Aku ikut menyesal soal Derek.” “Oh, aku sudah melupakannya, Sayang. Aku hanya perlu sebungkus biskuit Girl Scout Thin Mints dan empat puluh menit untuk melupakan cowok itu.” Aku tertawa. “Wah, terima kasih, Kaitlyn.” “Kalaukalau kau benar-benar jadian dengannya, aku mengharapkan semua detail menggairahkannya.” “Tentu saja,” kataku. Kaitlyn menciptakan bunyi ciuman di telepon dan berkata, “Bye,” lalu menutup telepon.


Ketika mendengarkan Kaitlyn, aku tidak punya firasat hendak melukai Augustus. Tapi sekarang, setelah mendengarkannya, aku malah merasakan firasat itu. Aku mengeluarkan laptop dan mencari tahu tentang Caroline Mathers di Internet. Kesamaan fisik kami menakjubkan: wajah bulat yang sama garagara steroid, hidung yang sama, bentuk tubuh keseluruhan yang kira-kira sama. Tapi matanya cokelat tua (mataku hijau) dan warna kulitnya jauh lebih gelap—Italia atau semacamnya. Ribuan orang—secara harfiah ribuan—meninggalkan pesan dukacita untuknya. Tak terhitung banyaknya orang yang kehilangan dia, begitu banyak sehingga perlu waktu satu jam untuk mengklik melewati tulisantulisan dinding itu, mulai dari Aku menyesal kau sudah tiada sampai Aku berdoa untukmu. Dia meninggal setahun yang lalu garagara kanker otak. Aku bisa mengklik beberapa fotonya. Augustus berada di dalam sekumpulan foto yang lebih lama: mengacungkan jempol pada bekas luka bergerigi yang melintasi kepala botak Caroline; bergandengan tangan di taman bermain Rumah Sakit Memorial dengan punggung menghadap kamera; berciuman, sementara Caroline memegangi kamera, sehingga hanya hidung dan mata terpejam mereka yang terlihat. Fotofoto terbaru menampilkan Caroline, semasa dia masih sehat, diunggah pascakematiannya oleh temantemannya: gadis cantik, berpinggul lebar dengan tubuh berlekuk, dengan rambut hitam pekat lurus panjang yang jatuh ke wajahnya. Diriku yang sehat hanya memiliki sedikit sekali kemiripan dengan dirinya yang sehat. Tapi, diri kami yang menderita kanker bisa dikatakan bersaudara. Tak heran Augustus menatapku ketika pertama kalinya dia melihatku. Aku terus kembali pada sebuah tulisan dinding yang ditulis dua bulan lalu, sembilan bulan setelah Caroline meninggal, oleh salah seorang temannya. Kami


semua sangat merindukanmu. Ini tidak akan pernah berakhir. Rasanya seakan kami semua terluka dalam pertempuranmu, Caroline. Aku merindukanmu. Aku mencintaimu. Setelah beberapa saat, Mom dan Dad mengatakan sudah waktunya makan malam. Aku mematikan komputer dan bangkit berdiri, tapi tidak bisa menyingkirkan tulisan dinding itu dari pikiranku dan, entah kenapa, itu membuatku gugup dan tidak lapar. Aku terus memikirkan bahuku yang nyeri, dan aku juga masih pusing, tapi mungkin itu hanya karena aku sedang memikirkan seorang gadis yang meninggal garagara kanker otak. Aku terusmenerus mengatakan kepada diri sendiri untuk kembali ke masa kini, untuk berada di sini, di meja melingkar (bisa dikatakan diameternya kebesaran untuk tiga orang, dan jelas terlalu besar untuk dua orang) dengan brokoli berair dan burger kacang hitam yang nyaris tidak bisa dilembapkan dengan semua saus tomat di dunia. Kukatakan kepada diri sendiri, bahwa membayangkan metastasis di dalam otak atau bahuku tidak akan memengaruhi kenyataan tak terlihat yang sedang berlangsung dalam diriku itu. Karenanya, semua pikiran semacam itu akan menyianyiakan serangkaian momen yang secara definitif sudah pasti. Aku bahkan berupaya mengatakan kepada diri sendiri untuk menjalani kehidupan terbaikku hari ini. Untuk waktu yang sangat lama, aku tidak bisa mengerti mengapa sesuatu yang ditulis oleh orang asing di Internet untuk orang asing lain (yang sudah meninggal) bisa sangat menggangguku, dan membuatku khawatir ada sesuatu di dalam otakku—yang benar-benar terasa nyeri, walaupun aku tahu berdasarkan pengalaman bertahun-tahun bahwa rasa nyeri adalah instrumen diagnostik yang tumpul dan tidak spesifik. Karena hari itu tidak terjadi gempa bumi di Papua Nugini, orangtuaku terlalu memusatkan perhatian kepadaku, sehingga aku tidak bisa menyembunyikan banjir bandang kekhawatiranku ini. “Semuanya baik-baik saja?” tanya Mom ketika aku makan. “Ahhah,” kataku. Aku menggigit burgernya. Menelan. Berupaya mengucapkan sesuatu yang akan dikatakan oleh orang normal yang otaknya tidak sedang tenggelam dalam kepanikan. “Ada brokoli di dalam burgernya?” “Sedikit,” jawab Dad. “Senang sekali kau akan pergi ke Amsterdam.” “Ya,” kataku. Aku berupaya untuk tidak memikirkan kata terluka, dan tindakan ini tentu saja merupakan salah satu cara untuk memikirkan kata itu. “Hazel,” ujar Mom. “Di mana kau berada saat ini?”


“Kurasa aku hanya sedang berpikir,” jawabku. “Mabuk kepayang,” ujar Dad sambil tersenyum. “Aku tidak mabuk, dan aku tidak sedang jatuh cinta dengan Augustus Waters atau siapa pun,” jawabku dengan teramat sangat defensif. Terluka. Seakan Caroline Mathers adalah sebuah bom dan, ketika dia meledak, semua orang di sekitarnya ditinggalkan dengan pecahan bom tertanam di tubuh mereka. Dad bertanya apakah aku sedang mengerjakan sesuatu untuk sekolah. “Aku ada PR Aljabar tingkat tinggi,” jawabku. “Begitu tingginya sehingga mustahil bisa kujelaskan kepada orang awam.” “Dan bagaimana kabar temanmu, Isaac?” “Buta,” jawabku. “Hari ini kau persis seperti remaja,” ujar Mom. Dia kelihatan jengkel. “Bukankah ini yang Mom inginkan? Agar aku seperti remaja?” “Wah, tidak selalu berarti remaja semacam ini, tapi tentu saja aku dan ayahmu senang melihatmu menjadi seorang perempuan muda, berteman, pergi berkencan.” “Aku tidak pergi berkencan,” kataku. “Aku tidak ingin pergi berkencan dengan siapa pun. Itu gagasan mengerikan dan sangat menyianyiakan waktu dan —” “Sayang,” ujar Mom. “Ada apa?” “Aku seperti. Seperti. Seperti granat, Mom. Aku granat dan suatu ketika aku akan meledak, sehingga aku ingin meminimalkan jumlah korban, oke?” Dad sedikit memiringkan kepala ke samping, seperti anak anjing yang dimarahi. “Aku granat,” ulangku. “Aku hanya ingin menghindari orang, membaca buku, berpikir, dan berada bersama kalian, karena tidak ada yang bisa kulakukan untuk melukai kalian; kalian sudah terlalu kebal, jadi biarkan saja aku melakukan semua itu, oke? Aku tidak depresi. Aku tidak perlu lebih sering pergi ke luar. Dan, aku tidak bisa menjadi remaja biasa karena aku granat.” “Hazel,” ujar Dad, lalu dia terisak. Dia banyak menangis. Dad. “Aku akan pergi ke kamar dan membaca sejenak, oke? Aku baik-baik saja. Aku sungguh baik-baik saja; aku hanya ingin pergi membaca sejenak.” Aku mulai berupaya membaca novel yang menjadi tugasku, tapi kami tinggal di sebuah rumah yang secara tragis berdinding tipis, sehingga aku bisa mendengar sebagian besar percakapan berbisik yang muncul setelah itu. Dad berkata, “Itu menyedihkanku,” dan Mom berkata, “Itulah tepatnya yang tidak


perlu didengarnya,” dan Dad berkata, “Maaf, tapi—” dan Mom berkata, “Tidakkah kau bersyukur?” Dan Dad berkata, “Astaga, tentu saja aku bersyukur.” Aku berupaya masuk ke dalam cerita, tapi tidak bisa berhenti mendengarkan mereka. Jadi, aku menyalakan komputer untuk mendengarkan musik dan, dengan band favorit Augustus, The Hectic Glow, sebagai latar belakang, aku kembali ke halamanhalaman penghormatan untuk Caroline Mathers, membaca betapa heroik perjuangannya, dan betapa dia dirindukan, dan betapa dia berada di tempat yang lebih baik, dan betapa dia akan hidup untuk selamanya dalam ingatan mereka, dan betapa semua orang yang mengenalnya—semua orang—berduka karena kepergiannya. Mungkin seharusnya aku membenci Caroline Mathers atau semacamnya, karena dia pernah bersama Augustus, tapi aku tidak membencinya. Aku tidak bisa melihatnya dengan sangat jelas di antara semua penghormatan itu, tapi tampaknya tidak banyak hal yang harus dibenci darinya—dia tampaknya orang sakit yang sangat profesional, sama sepertiku, dan ini membuatku khawatir bahwa, ketika aku mati, tidak ada sesuatu pun yang bisa mereka katakan mengenai diriku, kecuali bahwa aku berjuang dengan heroik, seakan satusatunya hal yang pernah kulakukan adalah Menderita Kanker. Bagaimanapun, pada akhirnya aku mulai membaca catatancatatan kecil Caroline Mathers, yang sebagian besarnya sesungguhnya ditulis oleh orangtuanya, karena kurasa kanker otaknya adalah jenis yang membuatmu menjadi bukan dirimu, lalu membuatmu menjadi orang yang tidak hidup. Jadi, semua tulisan itu bunyinya seperti ini: Caroline terus memiliki masalah perilaku. Dia banyak berjuang untuk mengatasi rasa marah dan frustrasinya karena tidak bisa bicara (tentu saja kami juga merasa frustrasi dengan semuanya ini, tapi kami punya cara-cara mengatasi kemarahan yang lebih bisa diterima secara sosial). Gus mulai menjuluki Caroline MESIN PENGHANCUR, dan ini diikuti oleh para dokter. Ini sama sekali tidak mudah bagi kami semua, tapi kami harus terus mempertahankan rasa humor selagi bisa. Berharap pulang hari Kamis. Akan kami beri kabar .... Tidak perlu dikatakan lagi, Caroline tidak pulang pada hari Kamis.


Jadi, tentu saja aku menegang ketika Augustus menyentuhku. Bersamanya berarti melukainya—secara tak terhindarkan. Dan, itulah yang kurasakan ketika dia menjulurkan tangannya kepadaku: aku merasa seakan melakukan tindak kekerasan terhadapnya, karena sesungguhnya memang begitu. Kuputuskan untuk mengsms Augustus. Aku ingin menghindari seluruh percakapan mengenai hal itu. Hai, jadi, oke, aku tidak tahu apakah kau akan mengerti, tapi aku tidak bisa menciummu atau apa. Bukan berarti kau ingin menciumku, tapi aku tidak bisa. Ketika aku mencoba memandangmu seperti itu, yang kulihat hanyalah apa yang akan kau alami gara-gara aku. Mungkin ini tidak masuk akal bagimu. Bagaimanapun, maaf. Dia menjawab beberapa menit kemudian. Oke. Aku menjawab. Oke. Dia menjawab: Astaga, jangan menggodaku! Aku hanya berkata: Oke.


Teleponku berdering beberapa saat kemudian. Aku bergurau, Hazel Grace. Aku mengerti. (Tapi, kita berdua tahu bahwa oke adalah kata yang sangat menggoda. Oke PENUH dengan sensualitas.) Aku tergoda untuk kembali menjawab Oke, tapi kubayangkan Augustus di pemakamanku, dan ini membantuku menulis sms secara layak. Maaf. Aku berupaya tidur dengan masih mengenakan headphone, tapi setelah beberapa saat, Mom dan Dad masuk. Mom meraih Bluie dari rak dan memeluknya di perut, sedangkan Dad duduk di kursi, dan berkata tanpa menangis, “Kau bukan granat. Bagi kami bukan. Memikirkan kau sekarat membuat kami sedih, Hazel, tapi kau bukan granat. Kau menakjubkan. Kau tidak mungkin tahu, Sayang, karena kau tidak pernah punya bayi yang menjadi pembaca muda cerdas, yang punya minatsampingan pada acaraacara televisi mengerikan, tapi kegembiraan yang kau bawa untuk kami jauh lebih besar daripada kesedihan yang kami rasakan karena penyakitmu.” “Oke,” kataku. “Sungguh,” ujar Dad. “Aku tidak akan membohongimu soal ini. Seandainya kau lebih merepotkan daripada bermanfaat, kami akan melemparkanmu begitu saja ke jalanan.” “Kami bukan orang yang sentimental,” imbuh Mom tanpa ekspresi. “Kami akan meninggalkanmu di panti asuhan, dengan catatan yang disematkan di piamamu.” Aku tertawa. “Kau tidak perlu menghadiri pertemuan Kelompok Pendukung,” imbuh Mom. “Kau tidak perlu berbuat apa-apa. Kecuali pergi ke sekolah.” Dia menyerahkan beruang itu kepadaku. “Kurasa Bluie bisa tidur di rak malam ini,” kataku. “Biarlah kuingatkan kalian bahwa usiaku lebih dari tiga puluh tiga setengah tahun.” “Jaga dia malam ini,” kata Mom. “Mom,” kataku. “Dia kesepian,” kata Mom. “Astaga, Mom,” kataku. Tapi, aku menerima Bluie konyol itu dan


memeluknya ketika aku tertidur. Sesungguhnya sebelah lenganku masih memeluk Bluie, ketika aku terbangun setelah pukul empat pagi, disertai rasa nyeri hebat yang menyebar dari bagian tengah kepalaku yang tak terjangkau.[]


Bab Tujuh Aku berteriak untuk membangunkan orangtuaku, dan mereka bergegas masuk, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk meredakan supernova yang meledak di dalam otakku itu. Serangkaian kembang api tanpa akhir yang membuatku berpikir bahwa akhirnya aku akan pergi untuk selamanya. Dan, kukatakan kepada diriku sendiri—sama seperti sebelumnya—bahwa tubuh akan berhenti bekerja ketika rasa nyerinya terlalu hebat, bahwa kesadaran hanya bersifat sementara, bahwa semuanya ini akan berakhir. Tapi, sama seperti biasanya, aku tidak menyelinap pergi. Aku ditinggalkan di pantai dengan gelombanggelombang yang menerpa tubuhku, tak mampu tenggelam. Dad menyetir, bicara di ponsel dengan rumah sakit, sementara aku berbaring di kursi belakang dengan kepala di atas pangkuan Mom. Tidak ada yang bisa kulakukan: Berteriak akan membuat sakit kepalaku semakin parah. Sesungguhnya semua rangsangan akan membuatnya semakin parah. Satusatunya solusi adalah berupaya mengembalikan dunia, membuatnya kembali hitam, senyap, dan tidak berpenghuni, kembali pada saat sebelum Ledakan Besar, pada permulaan ketika hanya ada Kata, dan aku hidup sendirian di dalam ruang kosong yang belum tercipta itu bersama Kata.


Orangorang bicara mengenai keberanian pasien kanker, dan aku tidak mengingkari keberanian itu. Aku telah disodok dan ditusuk dan diracun selama bertahun-tahun, tapi aku masih bertahan. Tapi jangan keliru, pada saat itu aku bersedia mati dengan sangat, sangat gembira. Aku terbangun di ICU. Aku bisa tahu bahwa aku berada di ICU karena aku tidak punya kamar sendiri, dan karena ada begitu banyak bunyi bip, dan karena aku sendirian. Mereka tidak mengizinkan keluarga untuk tinggal setiap hari di ICU Rumah Sakit Anak, karena itu akan menimbulkan risiko infeksi. Terdengar raungan dari lorong sana. Anak seseorang meninggal. Aku sendirian. Kutekan tombol panggil merah. Suster masuk beberapa detik kemudian. “Hai,” sapaku. “Halo, Hazel. Aku Alison, sustermu,” katanya. “Hai, Alison, Susterku,” kataku. Lalu, aku kembali merasa sangat kelelahan. Tapi, aku terjaga sebentar ketika orangtuaku masuk, menangis, dan menciumi wajahku berulang kali. Aku menjulurkan tangan ke arah mereka, berupaya meremas, tapi seluruh tubuhku terasa sakit ketika aku meremas. Mom dan Dad mengatakan aku tidak menderita kanker otak. Sakit kepalaku disebabkan oleh oksigenasi yang buruk, akibat paruparuku berenang dalam cairan sebanyak satu setengah liter (!!!!) yang sudah berhasil disedot dari dadaku, dan itulah sebabnya bagian samping tubuhku mungkin terasa sedikit tidak nyaman. Di sana, hei lihatlah, ada selang yang memanjang dari dadaku ke dalam kantong plastik yang setengah penuh oleh cairan yang mirip sekali dengan minuman ale kuning kecokelatan favorit Dad. Mom mengatakan aku akan pulang, sungguh, aku hanya perlu mengeringkan paruparuku sesekali, lalu kembali menggunakan BiPAP, mesin malam yang memaksa udara masuk dan keluar dari paruparu payahku. Tapi, aku telah menjalani pemindaian PET di seluruh tubuhku pada malam pertamaku di rumah


sakit, kata mereka, dan beritanya bagus: tidak ada pertumbuhan tumor. Tidak ada tumortumor baru. Rasa nyeri di bahuku adalah akibat kekurangan oksigen. Itu rasa nyeri karena jantungbekerjaterlalukeras. “Tadi pagi Dr. Maria berkata bahwa dia tetap optimis,” ujar Dad. Aku suka Dr. Maria, dan dia tidak suka berbohong, jadi ini menyenangkan untuk didengar. “Ini hanya masalah kecil, Hazel,” ujar Mom. “Kita sanggup menghadapinya.” Aku mengangguk, lalu Alison Susterku mengusir mereka dengan sopan. Dia bertanya apakah aku ingin es serut, dan aku mengangguk. Lalu, dia duduk di ranjang bersamaku dan menyuapiku es serut. “Jadi, kau tidur selama beberapa hari,” ujar Alison. “Hmm, kau ketinggalan apa ya .... Seorang selebriti memakai narkoba. Para politisi berselisih paham. Selebriti yang lain memakai bikini yang mengungkapkan ketidaksempurnaan tubuh. Sebuah tim memenangkan pertandingan olahraga, tapi tim yang lain kalah.” Aku tersenyum. “Kau tidak bisa menghilang dari semua orang seperti ini, Hazel. Kau akan ketinggalan banyak.” “Lagi?” tanyaku seraya mengangguk ke arah cangkir Styrofoam putih di tangannya. “Seharusnya tidak boleh,” katanya, “tapi aku pemberontak.” Dia memberiku sesendok plastik penuh es serut. Aku menggumamkan ucapan terima kasih. Terpujilah Tuhan atas sustersuster yang baik. “Lelah?” tanyanya. Aku mengangguk. “Tidurlah sejenak,” katanya. “Aku akan mencoba menangani segala sesuatunya dan memberimu waktu beberapa jam, sebelum seseorang masuk untuk memeriksa datadata rekaman penting dan sejenisnya.” Kembali aku mengucapkan Terima Kasih. Kau banyak mengucapkan terima kasih di rumah sakit. Aku berupaya menyamankan diri di ranjang. “Kau tidak mau bertanya mengenai pacarmu?” tanyanya. “Tidak punya,” jawabku. “Wah, ada anak yang nyaris tidak pernah meninggalkan ruang tunggu semenjak kau berada di sini,” katanya. “Dia belum melihatku seperti ini, bukan?” “Tidak. Hanya keluarga.” Aku mengangguk dan membenamkan diri ke dalam tidur yang berair.


Perlu waktu enam hari bagiku untuk pulang, enam hari menatap ubin langitlangit akustik, menonton televisi, tidur, kesakitan, dan berharap waktu berlalu. Aku tidak melihat Augustus atau siapa pun selain orangtuaku. Rambutku mirip sarang burung; langkahku terseret seperti pasien sakit pikun. Tapi, aku merasa sedikit lebih baik setiap hari. Setiap kali bangun tidur, aku semakin menyerupai diriku. Tidur dapat memerangi kanker, kata Dr. Jim Langgananku untuk keseribu kalinya, ketika dia menjulang di depanku pada suatu pagi dengan dikelilingi sekumpulan mahasiswa kedokteran. “Kalau begitu, aku mesin yang memerangi kanker,” kataku kepadanya. “Memang, Hazel. Teruslah beristirahat, dan semoga kami bisa segera memulangkanmu.” Pada hari Selasa, mereka mengatakan aku akan pulang hari Rabu. Pada hari Rabu, dua mahasiswa kedokteran dengan pengawasan minimal melepaskan selang di dadaku. Rasanya seperti kebalikannya ditusuk, dan secara umum tindakan itu tidak berjalan dengan begitu baik, sehingga mereka memutuskan agar aku tetap tinggal sampai Kamis. Aku mulai berpikir diriku sedang menjadi subjek semacam eksperimen eksistensialis mengenai kegembiraan yang ditunda secara permanen, ketika Dr. Maria muncul hari Jumat pagi, sejenak memeriksa sekelilingku, lalu mengatakan aku boleh pulang.


Jadi, Mom membuka tasnya yang kebesaran itu dan menunjukkan bahwa dia selalu membawa Pakaian untuk Pulang. Seorang suster masuk dan mencabut infusku. Aku merasa tidak terikat, walaupun masih harus membawa tangki oksigen bersamaku. Aku masuk ke kamar mandi, mandi untuk pertama kalinya dalam seminggu, berpakaian dan, ketika aku keluar, aku begitu lelah sehingga harus berbaring dan mengatur napas. Mom bertanya, “Kau mau menemui Augustus?” “Kurasa begitu,” kataku setelah semenit. Aku berdiri dan beringsut ke salah satu kursi plastik yang disandarkan pada dinding, lalu memasukkan tangki ke bawah kursi. Kegiatan ini melelahkanku. Dad kembali bersama Augustus beberapa menit kemudian. Rambut Augustus berantakan, menutupi kening. Dia mengulaskan Senyum Konyol Augustus Waters aslinya ketika melihatku, dan mau tidak mau aku membalas senyumnya. Dia duduk di kursi recliner biru berlapis kulit imitasi di sebelah kursiku, lalu mencondongkan tubuh ke arahku, tampak tidak mampu menahan senyum. Mom dan Dad meninggalkan kami sendirian, dan ini terasa canggung. Aku berupaya keras membalas tatapan mata Augustus, walaupun mata itu begitu indah sehingga sulit untuk dipandang. “Aku merindukanmu,” ujar Augustus. Suaraku lebih kecil daripada yang kuinginkan. “Terima kasih karena tidak berupaya menengokku ketika penampilanku berantakan.” “Sejujurnya, penampilanmu masih sangat buruk.” Aku tertawa. “Aku juga merindukanmu. Aku hanya tidak ingin kau melihat … semuanya ini. Aku hanya ingin, seakan .... Tidak apa-apa. Kau tidak selalu bisa mendapat apa yang kau inginkan.” “Benarkah?” tanyanya. “Aku selalu berpikir dunia adalah pabrik pewujudkeinginan.” “Ternyata bukan begitu kasusnya,” kataku. Augustus begitu rupawan. Dia meraih tanganku, tapi aku menggeleng. “Tidak,” kataku pelan. “Jika kita hendak berteman, seharusnya tidak seperti itu.” “Oke,” katanya. “Wah, aku punya berita baik dan berita buruk mengenai perwujudankeinginan.” “Oke?” kataku. “Berita buruknya adalah, jelas kita tidak bisa berangkat ke Amsterdam sampai kau sembuh. Tapi, PeriPeri itu akan menggunakan sihir terkenal mereka ketika kau sudah cukup sehat.” “Itu berita baiknya?”


“Bukan, berita baiknya adalah, sementara kau masih tidur, Peter Van Houten membagikan sedikit lagi otak cemerlangnya kepada kita.” Kembali dia meraih tanganku, tapi kali ini untuk menyelipkan kertas surat terlipat rapi dengan kepalasurat bertuliskan Peter Van Houten, Novelis Emeritus. Aku tidak membacanya sampai tiba di rumah, berada di ranjang besar dan kosongku sendiri tanpa gangguan medis. Perlu waktu sangat lama untuk memahami tulisan miring cakar ayam Van Houten. Mr. Waters yang Baik, Aku menerima surat elektronik Anda tertanggal 14 April dan sangat terkesan dengan kerumitan tragedimu yang bergaya Shakespeare. Semua orang di dalam cerita itu punya hamartia yang begitu mantap: hamartia gadis itu adalah keparahan penyakitnya; hamartia-mu adalah kesehatanmu yang luar biasa. Seandainya gadis itu lebih sehat atau kau lebih sakit, maka bintang-bintang tidak akan membawa takdir, walaupun secara alami bintang-bintang memang membawa takdir, dan Shakespeare sangatlah keliru ketika menyuruh Cassius berkata, “Kesalahannya, Brutus tersayang, bukanlah pada bintangbintang/Melainkan pada diri kita sendiri.” Itu cukup mudah untuk dikatakan jika kau bangsawan Romawi (atau Shakespeare!), tapi kesalahan selalu bisa ditemukan di antara bintang-bintang. Sementara kita sedang membahas kekurangan Will tua, tulisanmu mengenai Hazel muda mengingatkanku pada soneta Kelima Puluh Lima Bard, yang tentu saja dimulai dengan, “Tiada pualam, atau monumen bersepuh emas para pangeran/Akan bertahan lebih lama daripada sajak kuat ini; /Tapi, kau akan bersinar lebih cemerlang dalam puisi ini/Daripada dalam batu kotor, tercoreng waktu yang bak pelacur.” (Di luar topik, tapi: Betapa waktu memang seperti pelacur, menyetubuhi semua orang.) Ini puisi yang indah, tapi menipu: Kita memang mengingat sajak kuat Shakespeare, tapi apa yang kita ingat mengenai orang yang dihormati dalam sajak itu? Tidak ada. Kita yakin sekali dia seorang lelaki; segala hal lainnya hanya berupa tebakan. Shakespeare hanya bercerita sedikit sekali mengenai lelaki yang dimakamkannya di dalam sarkofagus


linguistiknya itu. (Perhatikan juga bahwa, ketika membahas kesusastraan, kita melakukannya dalam kerangka waktu masa kini. Ketika membahas mereka yang sudah tiada, kita tidak terlalu berbaik hati seperti itu.) Kau tidak mengabadikan mereka yang hilang dengan menulis mengenai mereka. Bahasa menguburkan, tapi tidak membangkitkan kembali. (Pengakuan lengkap: Aku bukan orang pertama yang melakukan pengamatan ini. Bandingkan puisi MacLeish “Tiada Pualam, atau Monumen Bersepuh Emas,” yang berisikan baris heroik “Akan kukatakan bahwa kau akan mati dan tak seorang pun akan mengingatmu.”) Aku menyimpang, tapi inilah masalahnya: Orang mati hanya terlihat oleh mata ingatan yang mengerikan dan tak berkelopak. Orang hidup, syukurlah, mempertahankan kemampuan untuk mengejutkan dan mengecewakan. Hazelmu hidup, Waters, dan kau tidak boleh memaksakan kehendakmu pada keputusan orang lain, terutama keputusan yang diperoleh dengan penuh pertimbangan. Dia ingin menghindarkanmu dari kepedihan, dan kau harus membiarkannya. Mungkin logika Hazel muda tidak meyakinkan bagimu, tapi aku telah menjalani lembah air mata ini lebih lama daripadamu, dan jika dilihat dari tempat dudukku sekarang ini, bukan Hazel yang bersalah. Salam hangat, Peter Van Houten Surat ini benar-benar ditulis olehnya. Kujilat telunjukku, kubasahi kertasnya, dan tintanya sedikit menyebar, jadi aku tahu kalau ini benar-benar nyata. “Mom,” kataku. Aku tidak mengucapkannya keras-keras, tapi itu memang tidak perlu. Mom selalu menunggu. Dia melongokkan kepala di pintu. “Kau baik-baik saja, Sayang?” “Bisakah kita menelepon Dr. Maria dan bertanya apakah perjalanan internasional akan membunuhku?”[]


Bab Delapan Kami menyelenggarakan Rapat Tim Kanker besar beberapa hari kemudian. Terkadang sekelompok dokter, pekerja sosial, ahli terapi fisik, dan siapa pun lainnya berkumpul di sekeliling meja besar di ruang rapat dan membahas situasiku. (Bukan situasi Augustus Waters atau situasi Amsterdam, melainkan situasi kanker.) Dr. Maria memimpin rapat. Dia memelukku ketika aku tiba di sana. Dia senang memeluk. Aku merasa sedikit lebih baik. Tidur dengan BiPAP sepanjang malam membuat paruparuku terasa nyaris normal walaupun, sekali lagi, aku tidak begitu ingat kenormalan paruparu. Semua orang tiba di sana dan secara mencolok mematikan penyeranta mereka dan lainlain, sehingga rapat itu melulu mengenai diriku. Lalu, Dr. Maria berkata, “Jadi, berita baiknya adalah: Phalanxifor terus mengendalikan pertumbuhan tumormu, tapi jelas kita melihat masalah serius berupa akumulasi cairan. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara kita mengatasinya?” Lalu, Dr. Maria hanya memandangku, seakan menunggu jawaban. “Em,” kataku, “rasanya aku bukan orang yang paling berkualifikasi di ruangan ini


untuk menjawab pertanyaan itu?” Dia tersenyum. “Benar, aku menunggu Dr. Simons. Dr. Simons?” Dia adalah sejenis dokter kanker lain. “Wah, kita tahu dari pasienpasien lainnya bahwa sebagian besar tumor pada akhirnya mengembangkan cara untuk bertumbuh, walaupun diberi Phalanxifor. Tapi, seandainya memang itu kasusnya, pertumbuhan tumor itu akan terlihat pada hasil pemindaian. Tapi, kita tidak melihatnya hingga sekarang. Jadi, itu belum terjadi.” Belum, pikirku. Dr. Simons mengetuk meja dengan telunjuknya. “Kita semua berpikir bahwa ada kemungkinan Phalanxifor memperburuk edemanya, tapi kita akan menghadapi masalah yang jauh lebih serius jika menghentikan penggunaannya.” Dr. Maria mengimbuhkan, “Kita tidak begitu memahami efek jangka panjang Phalanxifor. Hanya sedikit sekali orang yang mendapat obat itu selama dirimu.” “Jadi, kita tidak akan berbuat apa-apa?” “Kita akan meneruskannya saja,” ujar Dr. Maria, “tapi, kita perlu berbuat lebih banyak untuk menjaga agar edema itu tidak berkembang.” Entah kenapa, aku merasa kurang sehat, seakan aku hendak muntah. Secara umum aku membenci Rapat Tim Kanker, tapi terutama aku membenci rapat yang satu ini. “Kankermu tidak akan hilang, Hazel. Tapi, kita telah melihat orangorang dengan tingkat penetrasi tumor sepertimu bertahan hidup untuk waktu yang lama.” (Aku tidak bertanya apa yang dimaksud dengan waktu yang lama. Aku pernah melakukan kesalahan itu.) “Aku tahu, rasanya tidak seperti itu, mengingat kau baru saja keluar dari ICU, tapi cairan ini bisa diatasi, setidaknya untuk sementara waktu.” “Tidak bisakah aku menjalani transplantasi paruparu saja atau semacamnya?” tanyaku. Bibir Dr. Maria mengerut. “Sayangnya kau tidak akan dianggap sebagai kandidat kuat untuk transplantasi,” jawabnya. Aku mengerti: Tidak ada gunanya menyianyiakan paruparu yang baik untuk kasus tanpa harapan. Aku mengangguk, berupaya untuk tidak menunjukkan bahwa komentar itu melukaiku. Dad mulai sedikit menangis. Aku tidak memandangnya, tapi tak seorang pun berkatakata untuk waktu yang lama, jadi tangis tertahan Dad adalah satusatunya suara di dalam ruangan. Aku benci melukai perasaan Dad. Hampir sepanjang waktu aku bisa melupakan hal itu, tapi kenyataan tak terelakkannya adalah: Mereka mungkin


senang memilikiku, tapi akulah awal dan akhir dari penderitaan orangtuaku. Persis sebelum Keajaiban, ketika aku berada di ICU dan tampaknya seakan aku hendak mati, dan Mom mengatakan kepadaku bahwa aku boleh pergi, dan aku sedang berupaya untuk pergi tapi paruparuku terus mencari udara, Mom membisikkan sesuatu di dada Dad yang kuharap tidak kudengar, dan kuharap Mom tidak pernah tahu kalau aku mendengarnya. Dia berkata, “Aku tidak akan menjadi Mom lagi.” Perkataan itu sangat menyedihkanku. Aku tidak bisa berhenti memikirkan hal itu di sepanjang Rapat Tim Kanker. Aku tidak bisa menyingkirkannya dari kepala, bagaimana suara Mom terdengar ketika mengucapkan perkataan itu, seakan dia tidak akan pernah lagi merasa baik-baik saja, dan mungkin itu memang benar. Bagaimanapun, pada akhirnya kami memutuskan untuk meneruskan saja segala sesuatunya, tapi dengan lebih sering melakukan penyedotan cairan. Akhirnya, aku bertanya apakah aku bisa pergi ke Amsterdam, dan secara harfiah Dr. Simons benar-benar tertawa, tapi kemudian Dr. Maria berkata, “Kenapa tidak?” dan dengan bimbang Simons berkata, “Kenapa tidak?” Lalu, Dr. Maria berkata, “Ya, aku tidak melihat kenapa tidak. Lagi pula di dalam pesawat ada oksigen.” Dr. Simons berkata, “Apakah mereka akan meloloskan BiPAP begitu saja dalam pemeriksaan di gerbang bandara?” Dan, Maria berkata, “Ya, atau mereka akan


menyiapkan BiPAP untuknya.” “Meletakkan seorang pasien—apalagi salah satu penyintas Phalanxifor yang paling menjanjikan—dalam penerbangan delapan jam tanpa dokterdokter yang sangat mengenal kasusnya? Itu resep yang bisa mengundang bencana.” Dr. Maria mengangkat bahu. “Itu akan meningkatkan beberapa risiko,” katanya mengakui, tapi kemudian dia berpaling kepadaku dan berkata, “Tapi, ini hidupmu.” Tapi, sesungguhnya tidak. Dalam perjalanan pulang, orangtuaku setuju: Aku tidak akan pergi ke Amsterdam kecuali, dan hingga, ada persetujuan medis bahwa perjalanan itu aman. Augustus meneleponku setelah makan malam. Aku sudah berada di ranjang— waktu setelah makan malam menjadi waktu tidurku untuk sementara ini— bersandar pada banyak sekali bantal dan juga Bluie, dengan laptop di atas pangkuan. Aku menerima teleponnya, mengatakan, “Berita buruk,” dan dia berkata, “Sialan, apa?” “Aku tidak bisa pergi ke Amsterdam. Salah satu dokterku menganggap itu ide buruk.” Augustus terdiam sejenak. “Astaga,” katanya. “Seharusnya perjalanan itu


kubayar sendiri saja. Seharusnya aku langsung saja membawamu dari Funky Bones ke Amsterdam.” “Tapi, aku akan mendapat serangan deoksigenasi yang kemungkinan fatal di Amsterdam, dan mayatku akan dikirim ke rumah dalam ruang bagasi pesawat terbang,” kataku. “Wah, ya,” katanya. “Tapi sebelum itu, tindakan romantis hebatku pasti akan membuat kita menjadi lebih intim.” Aku tertawa keraskeras, cukup keras sehingga bisa merasakan bekas tempat selang dadaku berada. “Kau tertawa karena itu memang benar,” katanya. Kembali aku tertawa. “Itu benar, bukan?” “Mungkin tidak,” kataku, dan sejenak kemudian aku mengimbuhkan, “walaupun kau tidak akan pernah tahu.” Dia mengerang sedih. “Aku akan mati sebagai perjaka,” katanya. “Kau masih perjaka?” tanyaku terkejut. “Hazel Grace,” katanya, “kau punya pena dan secarik kertas?” Kubilang ya. “Oke, gambarlah sebuah lingkaran.” Aku melakukannya. “Kini gambarlah lingkaran yang lebih kecil di dalam lingkaran itu.” Aku melakukannya. “Lingkaran yang lebih besar adalah para perjaka. Lingkaran yang lebih kecil adalah cowok berusia tujuh belas tahun dengan satu kaki.” Kembali aku tertawa, dan mengatakan bahwa menjalani sebagian besar pergaulan sosial di rumah sakit anakanak juga tidak mendorong tindakan seksual. Lalu kami membahas komentar Peter Van Houten yang menakjubkan cerdasnya mengenai kecurangan waktu. Dan, walaupun aku sedang berada di ranjang dan dia berada di ruang bawah tanah, rasanya seakan kami kembali berada di dalam ruang ketiga yang belum tercipta itu, dan aku senang sekali mengunjungi tempat itu bersamanya. Lalu, aku mengakhiri telepon dan Mom dan Dad masuk ke kamarku. Walaupun ranjangku benar-benar tidak cukup besar untuk kami bertiga, mereka berbaring mengapitku di ranjang, dan kami semua menonton ANTM di TV kecil di kamarku. Cewek yang tidak kusukai, Selena, dikeluarkan, dan entah kenapa ini membuatku sangat senang. Lalu, Mom menghubungkanku dengan BiPAP dan menyelimutiku, dan Dad mencium keningku, ciuman dengan dagu kasar yang belum dicukur, lalu aku memejamkan mata. Pada dasarnya BiPAPmengambil alih napasku, dan ini sangat menjengkelkan,


tapi yang hebat dari mesin itu adalah semua suara yang diciptakannya: menderu setiap kali aku menghela napas dan mendesing ketika aku mengembuskan napas. Aku terus berpikir ada seekor naga yang bernapas bersamaku, seakan aku punya peliharaan naga yang meringkuk di sampingku dan cukup peduli terhadapku, sehingga mengatur napasnya agar selaras dengan napasku. Aku memikirkan hal itu ketika jatuh terlelap. Aku bangun terlambat keesokan paginya. Aku menonton TV di ranjang, memeriksa e-mail dan, setelah beberapa saat, mulai mengarang e-mail untuk Peter Van Houten, mengatakan bahwa aku tidak bisa datang ke Amsterdam, tapi aku bersumpah demi nyawa ibuku bahwa aku tidak akan pernah menyebarkan informasi apa pun mengenai tokohtokoh itu kepada siapa pun, bahwa aku bahkan tidak ingin menyebarkannya, karena aku orang yang teramat sangat egois, dan bisakah dia menceritakannya saja kepadaku apakah Lelaki Tulip Belanda itu jujur dan apakah ibu Anna menikah dengannya, juga mengenai Sisyphus si Hamster. Tapi, e-mail itu tidak kukirim, karena isinya terlalu menyedihkan, bahkan bagiku. Sekitar pukul tiga, ketika kuperkirakan Augustus sudah pulang dari sekolah, aku pergi ke pekarangan belakang dan meneleponnya. Ketika telepon berdering, aku duduk di rumput yang sudah kepanjangan dan dipenuhi alangalang. Perangkat ayunan itu masih ada di sana, alangalang tumbuh dari cekungan kecil yang tercipta ketika aku menendangnendang agar bisa berayun lebih tinggi semasa aku masih kecil. Aku ingat Dad membawa pulang perangkat ayunan itu dari Toys “R” Us dan memasangnya di pekarangan belakang bersama seorang tetangga. Dia bersikeras menggunakannya terlebih dahulu untuk mengujinya, dan ayunan itu nyaris patah. Langit mendung, dengan awan rendah penuh hujan yang belum turun. Aku


menutup telepon ketika mendengar pesan suara Augustus, lalu meletakkan ponsel di tanah di sampingku. Aku terus memandangi perangkat ayunan itu, berpikir bahwa aku bersedia menyerahkan semua hari sakitku yang tersisa untuk mendapatkan beberapa hari sehat. Aku berupaya mengatakan kepada diri sendiri bahwa keadaanku bisa saja lebih buruk, bahwa dunia bukanlah pabrik pewujudkeinginan, bahwa aku hidup dengan kanker dan bukan sekarat garagara kanker, bahwa aku tidak boleh membiarkan kanker membunuhku sebelum kanker itu benar-benar membunuhku, lalu aku mulai bergumam tolol tolol tolol tolol tolol tolol berulang kali, sampai suara itu melepaskan diri dari artinya. Aku masih berkata begitu ketika Augustus membalas teleponku. “Hai,” kataku. “Hazel Grace,” katanya. “Hai,” ulangku. “Kau menangis, Hazel Grace?” “Sedikit?” “Mengapa?” tanyanya. “Karena aku hanya—aku ingin pergi ke Amsterdam, dan aku ingin Van Houten menceritakan kepadaku apa yang terjadi setelah buku itu berakhir, dan aku tidak menginginkan kehidupan tertentuku ini, dan langitnya juga membuatku depresi, dan ada perangkat ayunan tua di luar sana yang dipasang Dad semasa aku masih kecil.” “Aku harus segera melihat perangkat ayunan tua penguras air mata ini,” katanya. “Aku akan tiba dua puluh menit lagi.” Aku tetap berada di pekarangan belakang karena Mom selalu begitu khawatir dan terus menggerecokiku ketika aku menangis, karena aku memang jarang menangis, dan aku tahu dia ingin bicara dan membahas apakah aku harus mempertimbangkan untuk menyesuaikan pengobatanku. Memikirkan seluruh


percakapan itu membuatku ingin muntah. Bukannya aku punya ingatan yang sangat jelas dan benar-benar mengharukan mengenai seorang ayah sehat yang mendorong seorang anak sehat, lalu anak itu berkata lebih tinggi lebih tinggi lebih tinggi, atau bukannya aku punya semacam momen lain yang secara metaforis bergaung. Perangkat ayunan itu hanya diam di sana, terabaikan, kedua ayunan kecilnya menggantung diam dan sedih dari lempeng kayu keabuan, garisluar kursinya seperti senyum hasil gambaran anak kecil. Di belakangku, kudengar pintu kacageser membuka. Aku berbalik. Itu Augustus, mengenakan celana panjang khaki dan kemeja kotakkotak lengan pendek. Aku mengusap wajah dengan lengan baju dan tersenyum. “Hai,” sapaku. Perlu waktu sedetik baginya untuk duduk di tanah di sebelahku, dan dia meringis ketika pantatnya mendarat cukup keras. “Hai,” katanya pada akhirnya. Aku memandangnya. Dia memandang lurus ke belakangku, ke pekarangan. “Aku memahami maksudmu,” katanya ketika merangkulkan lengan di bahuku. “Itu perangkat ayunan yang sangat menyedihkan.” Aku menyusupkan kepala ke bahunya. “Terima kasih telah menawarkan diri untuk datang.” “Sadarlah bahwa berupaya menjaga jarak dariku tidak akan mengurangi kasih sayangku terhadapmu,” katanya. “Kurasa begitu,” kataku. “Semua upaya untuk menyelamatkanku darimu akan gagal,” katanya. “Mengapa? Mengapa kau bahkan menyukaiku? Belum cukupkah kau melibatkan diri dalam semua ini?” tanyaku, mengingat Caroline Mathers. Gus tidak menjawab. Dia hanya merangkulku, jemarinya terasa kuat di lengan kiriku. “Kita harus melakukan sesuatu terhadap perangkat ayunan sialan ini,” katanya. “Menurutku inilah sembilan puluh persen dari masalahnya.”


Setelah aku memulihkan ketenangan, kami masuk dan duduk di sofa, persis bersebelahan, dengan laptop setengah berada di atas lutut (palsu) Gus dan setengah berada di atas lututku. “Panas,” kataku, mengomentari dasar laptop itu. “Benarkah?” Augustus tersenyum. Dia membuka situs gratis bernama Free No Catch dan bersamasama kami menulis iklan. “Judul?” tanyanya. “Perangkat Ayunan Perlu Rumah,” kataku. “Perangkat Ayunan yang Sangat Kesepian Memerlukan Rumah Penuh Cinta,” katanya. “Perangkat Ayunan yang Kesepian dan Agak Pedofilia Mencari Pantat AnakAnak,” kataku. Dia tertawa. “Itulah sebabnya.” “Apa?” “Itulah sebabnya aku menyukaimu. Sadarkah kau, betapa langka menjumpai seorang cewek seksi yang menciptakan versi kata sifat dari pedofilia? Kau begitu sibuk menjadi dirimu sendiri, sehingga sama sekali tidak tahu betapa kau benar-benar tidak ada duanya.” Aku menghela napas panjang lewat hidung. Tidak pernah ada cukup udara di dunia ini, tapi kekurangannya sangat terasa pada saat itu. Kami menulis iklan bersamasama, dengan saling mengedit sambil mengerjakannya. Akhirnya, kami menyetujui ini: PERANGKAT AYUNAN yANG SANGAT KESEPIAN MEMERLU KAN RUMAH PENUH CINTA Seperangkat ayunan, yang sudah usang tapi secara struktural kuat, mencari rumah baru. Ciptakan kenangan bersama anak(-anak) Anda, sehingga suatu hari nanti dia atau mereka akan memandang pekarangan belakang dan merasakan kepedihan sentimental sekuat yang saya rasakan siang ini. Semuanya rapuh dan cepat berlalu, wahai pembaca, tapi dengan perangkat ayunan ini anak(-anak)


Anda akan mengenal naik turunnya kehidupan manusia dengan lembut dan aman, dan mungkin juga mendapat pelajaran yang terpenting dari segalanya: Tak peduli betapa hebat kau menendang, tak peduli betapa tinggi yang kau capai, kau tidak bisa memutar satu lingkaran penuh. Saat ini perangkat ayunan itu berada di dekat 83rd dan Spring Mill. Setelah itu kami menyalakan TV sebentar, tapi tidak bisa menemukan sesuatu untuk ditonton, jadi aku meraih Kemalangan Luar Biasa dari nakas dan membawanya ke ruang duduk, dan Augustus membacakannya untukku,sementara Momyangsedang menyiapkan makan siang ikut mendengarkan. “‘Mata palsu Ibu berputar ke dalam,’” kata Augustus memulai. Ketika dia membaca, aku jatuh cinta dengan cara yang sama seperti orang tertidur: perlahanlahan, lalu mendadak. Ketika mengecek e-mail satu jam kemudian, kuketahui bahwa kami mendapat banyak pelamar perangkat ayunan yang harus dipilih. Pada akhirnya, kami memilih seorang lelaki bernama Daniel Alvarez, yang menyertakan foto ketiga anaknya bermain permainan video, dengan judul Aku hanya ingin mereka pergi keluar. Aku membalas e-mail-nya dan mempersilakannya untuk mengambil perangkat ayunan itu kapan saja. Augustus bertanya apakah aku ingin pergi bersamanya ke pertemuan Kelompok Pendukung, tapi aku benar-benar lelah karena hari yang sibuk sebagai Penderita Kanker, jadi aku menolak. Kami duduk di sofa bersamasama, dan dia hendak bangkit berdiri, tapi kemudian menjatuhkan tubuh kembali ke sofa dan mendadak mencium pipiku. “Augustus!” kataku. “Ciuman persahabatan,” katanya. Kembali dia bangkit berdiri, dan kali ini


Click to View FlipBook Version