The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Novel Romance Repository, 2023-10-27 03:51:03

The Fault in Our Stars by John Green

The Fault in Our Stars by John Green

konyolmu?” “KAU SUDAH BERJANJI!” teriakku, dan aku mendengar raungan tidak berdaya Isaac menggema dari malam piala hancur itu. Van Houten tidak menjawab. Aku masih berdiri di hadapannya, menunggunya mengucapkan sesuatu kepadaku, ketika kurasakan tangan Augustus di lenganku. Dia menarikku pergi menuju pintu, dan aku mengikutinya, sementara Van Houten mengoceh kepada Lidewij mengenai tidak tahu berterima kasihnya remaja kontemporer dan kematian masyarakat bersopan santun. Lidewij, yang agak histeris, berteriak menjawabnya dalam rentetan cepat bahasa Belanda. “Kau harus memaafkan mantan asistenku,” ujar Van Houten. “Bahasa Belanda itu lebih mirip penyakit tenggorokan daripada bahasa.” Augustus menarikku keluar ruangan, melewati pintu, memasuki pagi musim semi dan confetti yang berjatuhan dari pepohonan elm. Bagiku tidak ada sesuatu pun yang disebut pelarian cepat, tapi kami berhasil menuruni tangga, dengan Augustus memegangi keretaku, lalu kami mulai berjalan kembali menuju Filosoof di sepanjang trotoar tidak rata dari batu bata persegi empat yang ditata saling menjalin itu. Untuk pertama kalinya semenjak perangkat ayunan itu, aku mulai menangis. “Hei,” ujar Augustus seraya menyentuh pinggangku. “Hei. Tidak apa-apa.” Aku mengangguk dan mengusap wajah dengan punggung tangan. “Dia menyebalkan.” Kembali aku mengangguk. “Aku akan menulis sebuah epilog untukmu,” ujar Gus. Itu membuatku menangis semakin keras. “Sungguh,” katanya. “Sungguh. Epilog yang lebih baik daripada sampah apa pun yang bisa ditulis oleh pemabuk itu. Otaknya seperti keju Swiss. Dia bahkan tidak ingat menulis buku itu. Aku bisa menulis cerita yang sepuluh kali lebih baik daripada yang bisa ditulisnya. Akan ada darah dan keberanian dan pengorbanan.


Gabungan antara Kemalangan Luar Biasa dan Ganjaran Fajar. Kau akan menyukainya.” Aku terus mengangguk, memalsukan senyuman, lalu dia memelukku, sepasang lengan kuatnya merengkuhku ke dada berototnya, dan aku sedikit membasahi kaus polonya, tapi kemudian cukup tenang untuk bicara. “Aku menghabiskan Keinginanmu untuk bajingan itu,” kataku di dadanya. “Hazel Grace. Tidak. Kuakui bahwa kau memang menghabiskan satusatunya Permintaanku, tapi kau tidak menghabiskannya untuk lelaki itu. Kau menghabiskannya untuk kita berdua.” Di belakang kami, aku mendengar prok prok sepatu tumit tinggi berlarilari. Aku berbalik. Itu Lidewij yang sangat terkejut, dengan eyeliner mengaliri pipi, mengejar kami di sepanjang trotoar. “Mungkin kita harus pergi ke Rumah Anne Frank,” katanya. “Aku tidak akan pergi ke manamana bersama monster itu,” ujar Augustus. “Dia tidak diundang,” kata Lidewij. Augustus terus memegangiku, melindungi, tangannya berada di sisi wajahku. “Kurasa—” katanya memulai, tapi aku menyelanya. “Kita harus pergi.” Aku masih menginginkan jawabanjawaban dari Van Houten. Tapi, bukan itu saja yang kuinginkan. Aku hanya punya dua hari lagi di Amsterdam bersama Augustus Waters. Aku tidak akan membiarkan seorang lelaki tua menyedihkan merusaknya. Lidewij menyetir Fiat kelabu berisik dengan mesin yang kedengarannya seperti anak perempuan empat tahun yang kegirangan. Ketika kami melintas di sepanjang jalanjalan Amsterdam, berulang kali dan secara berlebihan dia meminta maaf. “Maaf sekali. Tidak ada alasan. Dia sakit parah,” katanya. “Kupikir berjumpa dengan kalian akan membantunya, seandainya dia bisa melihat bahwa karyanya telah membentuk kehidupan yang nyata, tapi .... Maaf sekali. Ini sangat, sangat memalukan.” Aku dan Augustus diam saja. Aku berada


di kursi belakang, persis di belakang Augustus. Kuselipkan tanganku di antara sisi mobil dan kursinya untuk mencari tangannya, tapi tidak kutemukan. Lidewij melanjutkan, “Aku meneruskan pekerjaan ini karena aku percaya dia genius dan karena bayarannya sangat bagus, tapi dia telah berubah menjadi monster.” “Kurasa dia menjadi sangat kaya garagara buku itu,” kataku setelah beberapa saat. “Oh, tidak tidak, dia dari keluarga Van Houten,” katanya. “Pada abad ketujuh belas, nenek moyangnya menemukan cara mencampur kakao dengan air. Beberapa anggota keluarga Van Houten pindah ke Amerika Serikat dulu sekali, dan Peter salah satunya, tapi dia pindah ke Belanda setelah novelnya itu. Dia mempermalukan keluarga besarnya.” Mesin meraung, Lidewij mengganti persneling, dan kami melesat melintasi jembatan kanal. “Ini karena keadaan,” katanya. “Keadaan telah menjadikannya begitu kejam. Dia bukan orang jahat. Tapi hari ini, kurasa—ketika dia mengucapkan halhal mengerikan itu, aku tidak bisa memercayainya. Maaf sekali. Maaf maaf sekali.” Kami harus parkir satu blok jauhnya dari Rumah Anne Frank. Lalu, sementara Lidewij berdiri dalam antrean untuk membelikan kami tiket, aku duduk dengan punggung menyandar pada sebatang pohon kecil, memandangi semua rumahkapal yang tertambat di kanal Prinsengracht. Augustus berdiri di sampingku, dengan santai menggulirkan kereta oksigenku membentuk lingkaranlingkaran, dan hanya mengamati rodaroda yang berputar itu. Aku ingin dia duduk di sebelahku, tapi aku tahu dia akan mengalami kesulitan untuk duduk, dan bahkan lebih sulit lagi untuk kembali berdiri. “Oke?” tanyanya seraya menunduk memandangku. Aku mengangkat bahu dan menjulurkan tangan untuk meraih betisnya. Itu betis palsunya. Tapi, aku memeganginya. Dia menunduk memandangku.


“Aku ingin …,” kataku. “Aku tahu,” katanya. “Aku tahu. Tampaknya dunia bukan pabrik pewujudkeinginan.” Itu membuatku sedikit tersenyum. Lidewij kembali dengan membawa tiket, tapi bibir tipisnya mengerut khawatir. “Tidak ada lift,” katanya. “Maaf maaf sekali.” “Tidak apa-apa,” kataku. “Tidak, ada banyak tangga,” katanya. “Tangga curam.” “Tidak apa-apa,” ulangku. Augustus hendak mengucapkan sesuatu, tapi aku menyela. “Tidak apa-apa. Aku bisa melakukannya.” Kami memulai di dalam sebuah ruangan, dengan video mengenai orang Yahudi di Belanda dan penyerbuan Nazi dan keluarga Frank. Lalu, kami menaiki tangga, memasuki rumah kanal yang dulu menjadi tempat bisnis Otto Frank. Tangganya terasa lama bagiku dan Augustus, tapi aku merasa kuat. Dengan segera aku menatap lemari buku terkenal yang telah menyembunyikan Anne Frank, keluarganya, serta empat orang lainnya. Lemari buku itu setengah terbuka, dan di baliknya terdapat serangkaian tangga yang bahkan lebih curam, hanya cukup lebar untuk satu orang. Ada banyak pengunjung di sekitar kami, dan aku tidak ingin menghambat barisan, tapi Lidewij berkata, “Kumohon semua orang bersabar,” dan aku memulai perjalanan ke atas, Lidewij membawa kereta di belakangku, Gus berada di belakangnya. Ada empat belas anak tangga. Aku terusmenerus memikirkan orangorang di belakangku—sebagian besarnya adalah orang dewasa yang bicara berbagai macam bahasa—dan aku merasa malu atau semacamnya, merasa seperti hantu yang menghibur sekaligus menghantui. Tapi akhirnya aku berhasil, lalu aku berada di sebuah ruangan kosong yang mengerikan, bersandar pada dinding, otakku mengatakan pada paruparuku: tidak apa-apa tidak apa-apa tenang tidak apa-apa, dan paruparuku mengatakan pada otakku astaga, kita sekarat di sini. Aku bahkan tidak melihat Augustus datang, tapi dia mendekat dan mengusap kening dengan punggung tangan, seakan berteriak whew, dan berkata, “Kau juara.” Setelah beberapa menit bersandar pada dinding, aku berjalan ke ruang sebelah, tempat Anne berbagi ruangan dengan dokter gigi Fritz Pfeffer. Ruangan itu mungil, sama sekali tidak berperabot. Kau tidak akan pernah tahu seseorang pernah tinggal di sana, tapi gambargambar dari majalah dan koran yang ditempelkan Anne di dinding masih ada. Ada tangga lain menuju ruangan tempat keluarga van Pels tinggal. Tangga ini


lebih curam daripada yang terakhir tadi dan terdiri dari delapan belas anak tangga, pada dasarnya tangga yang luar biasa. Aku tiba di bawahnya dan mendongak, dan kurasa aku tidak bisa melakukannya, tapi aku juga tahu kalau satusatunya jalan untuk terus adalah ke atas. “Ayo balik,” kata Gus di belakangku. “Aku baik-baik saja,” jawabku pelan. Ini tolol, tapi aku terusmenerus berpikir bahwa aku berutang kepadanya—kepada Anne Frank, maksudku—karena dia mati dan aku tidak, karena dia tetap diam, menjaga agar semua tirai tertutup, melakukan segalanya dengan benar, tapi masih tetap mati, sehingga aku harus menaiki anakanak tangga itu dan melihat keseluruhan dunia tempatnya tinggal selama bertahun-tahun sebelum Gestapo datang. Aku mulai naik, merangkak menaiki anakanak tangga itu seperti anak kecil, pertamatama dengan lambat agar aku bisa bernapas, lalu lebih cepat karena aku tahu aku tidak bisa bernapas dan ingin tiba di puncak sebelum segalanya berantakan. Kegelapan mengganggu bidang penglihatanku ketika aku menarik tubuh ke atas, menaiki delapan belas anak tangga yang sangat curam. Akhirnya aku tiba di puncak tangga, dalam keadaan hampir buta dan mual, otototot lengan dan kakiku berteriak meminta oksigen. Aku duduk merosot di dinding, terbatukbatuk basah dengan hebatnya. Ada kotak kaca kosong yang disekrupkan pada dinding di atasku, dan aku menatap langitlangit melewatinya, berupaya untuk tidak pingsan. Lidewij berjongkok di sampingku, mengatakan, “Kau sudah berada di puncaknya,” dan aku mengangguk. Aku hanya sedikit menyadari adanya semua orang dewasa di sekelilingku yang menunduk memandangiku dengan khawatir; Lidewij bicara pelan dalam satu bahasa, lalu bahasa lain, lalu bahasa lain kepada berbagai pengunjung; Augustus berdiri menjulang di depanku, tangannya berada di puncak kepalaku, mengeluselus rambutku di sepanjang belahannya. Setelah waktu yang lama, Lidewij dan Augustus menarikku berdiri, dan aku melihat apa yang dilindungi oleh kotak kaca itu: goresangoresan pensil di atas kertas pelapis dinding yang mengukur pertumbuhan semua anak di ruang tambahan itu selama mereka tinggal di sana, inci demi inci sampai mereka semua tidak tumbuh lagi. Dari sana, kami meninggalkan area tempat tinggal keluarga Frank, tapi masih berada di dalam museum: Sebuah lorong sempit panjang yang memperlihatkan masingmasing foto dari kedelapan penghuni ruang tambahan itu dan menjelaskan bagaimana, di mana, dan kapan mereka meninggal.


“Satusatunya anggota dari seluruh keluarga ini yang selamat dari perang,” jelas Lidewij kepada kami, mengacu pada ayah Anne, Otto. Suaranya pelan seakan kami sedang berada di dalam gereja. “Tapi, sesungguhnya dia tidak selamat dari perang,” ujar Augustus. “Dia selamat dari genosida.” “Benar,” kata Lidewij. “Aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup tanpa keluarga. Aku tidak tahu.” Ketika membaca mengenai ketujuh orang yang meninggal itu, aku membayangkan Otto Frank tidak lagi menjadi ayah, ditinggali sebuah buku harian alihalih istri dan dua anak perempuan. Di ujung lorong, sebuah buku besar, lebih besar daripada kamus, mencatat nama 103.000 orang yang meninggal di Belanda dalam Holocaust. (Hanya 5.000 dari semua orang Yahudi Belanda yang dideportasi, begitu kata sebuah tulisan di dinding, yang berhasil selamat. 5.000 Otto Frank.) Buku itu terbuka pada halaman bertuliskan nama Anne Frank, tapi yang menggugahku adalah kenyataan bahwa, persis di bawah namanya, ada empat Aron Frank. Empat. Empat Aron Frank tanpa museum, tanpa penanda historis, tanpa ada seorang pun yang berduka untuk mereka. Diamdiam aku memutuskan untuk mengingat dan berdoa bagi keempat Aron Frank itu selama aku masih hidup. (Mungkin beberapa orang perlu memercayai Tuhan yang benar dan mahakuasa untuk berdoa, tapi aku tidak.) Ketikakamitibadiujungruangan,Gusberhentidan berkata, “Kau baik-baik saja?” Aku mengangguk. Dia menunjuk foto Anne. “Kau tahu, bagian terburuknya adalah dia nyaris selamat. Dia meninggal beberapa minggu sebelum pembebasan.” Lidewij menjauh beberapa langkah untuk menonton video, dan aku meraih tangan Augustus ketika kami berjalan memasuki ruangan berikutnya. Itu ruangan berbentuk huruf A, berisikan beberapa surat yang ditulis oleh Otto Frank kepada orangorang, ketika berbulanbulan dia mencari kedua putrinya. Di dinding di tengah ruangan, sebuah video mengenai Otto Frank sedang diputar. Dia bicara dalam bahasa Inggris. “Adakah Nazi tersisa yang bisa kuburu dan kuseret ke pengadilan?” tanya Augustus ketika kami mencondongkan tubuh ke lemari kaca, membaca suratsurat Otto dan jawabanjawaban memilukan bahwa tidak, tak seorang pun pernah melihat anakanak itu setelah pembebasan. “Kurasa mereka semua sudah mati. Tapi, rasanya bukan Nazi saja yang memonopoli kejahatan.”


“Benar,” katanya. “Itulah yang harus kita lakukan, Hazel Grace. Kita harus bergabung dan menjadi duo penegak keadilan cacat yang berkelana ke seluruh dunia, memberantas kejahatan, membela yang lemah, melindungi yang berada dalam bahaya.” Walaupun ini mimpinya dan bukan mimpiku, aku menurutinya saja. Lagi pula dia telah menuruti mimpiku. “Keberanian kita akan menjadi senjata rahasia kita,” kataku. “Kisahkisah kepahlawanan kita akan terus bertahan selama masih ada suara manusia,” katanya. “Dan bahkan setelah itu pun, ketika robotrobot mengingat betapa absurdnya pengorbanan dan cinta kasih manusia, mereka akan mengingat kita.” “Mereka akan menertawakan ketololan kita yang berani,” katanya. “Tapi, sesuatu di dalam hati robot besi mereka akan menginginkan kehidupan dan kematian seperti kita: ketika menunaikan tugas sebagai pahlawan.” “Augustus Waters,” kataku seraya mendongak memandangnya. Aku berpikir bahwa kau tidak bisa mencium seseorang di Rumah Anne Frank, lalu aku berpikir bahwa, bagaimanapun, Anne Frank mencium seseorang di Rumah Anne Frank, dan mungkin tidak ada yang lebih disukainya daripada melihat rumahnya menjadi tempat bagi mereka yang masih muda dan rusak untuk tenggelam dalam cinta. “Harus saya katakan,” ujar Otto Frank di dalam video, dalam bahasa Inggris beraksennya, “saya sangat terkejut dengan pemikiranpemikiran mendalam Anne.” Lalu, kami berciuman. Tanganku melepas kereta oksigen dan meraih leher Augustus, dan dia menarik pinggangku ke atas hingga aku berdiri berjinjit. Ruangan di sekeliling kami menguap, dan untuk waktu sekejap yang ganjil aku benar-benar menyukai tubuhku; benda yang dirusak oleh kanker dan sudah bertahun-tahun kuseretseret ini mendadak tampak patut diperjuangkan, patut mendapat selangselang dada dan selangselang PICC serta pengkhianatan jasmaniah terusmenerus berupa tumortumor. “Ini Anne yang sangat berbeda dengan yang saya kenal sebagai putri saya. Dia tidak pernah benar-benar memperlihatkan perasaan hatinya seperti ini,” lanjut Otto Frank. Ciuman itu bertahan ketika Otto Frank terus bicara dari belakangku. “Dan kesimpulan saya adalah,” katanya, “karena saya begitu dekat dengan Anne, sebagian besar orangtua tidak benar-benar mengenal anak mereka.”


Kusadari bahwa mataku terpejam, dan aku membukanya. Augustus sedang menatapku, mata birunya tidak pernah sedekat itu denganku. Dan di belakangnya, tiga barisan manusia telah membentuk semacam lingkaran mengerumuni kami. Mereka marah, pikirku. Mereka merasa ngeri. Para remaja ini, dengan hormon mereka, bermesraan di bawah video yang menyiarkan suara hancur seorang mantan ayah. Aku menjauhkan diri dari Augustus, dan dia mencium keningku ketika aku menunduk menatap sepatu kets Chuck Taylorku. Lalu, mereka mulai bertepuk tangan. Semua orang ini, semua orang dewasa ini, mulai bertepuk tangan, dan seseorang berteriak “Bravo!” dengan aksen Eropa. Augustus, yang tersenyum, membungkukkan badan. Seraya tertawa, aku sedikit membungkuk hormat, dan ini kembali disambut dengan tepukan tangan. Kami menuruni tangga, membiarkan semua orang dewasa itu turun terlebih dahulu. Dan, persis sebelum tiba di kafe (syukurlah di sana ada lift yang membawa kami kembali ke lantai bawah dan toko cendera mata), kami melihat halamanhalaman buku harian Anne Frank, dan juga buku kutipannya yang tidak dipublikasikan. Buku kutipan itu kebetulan terbuka pada halaman kutipankutipan Shakespeare. Karena, siapakah yang begitu teguh sehingga tidak bisa dirayu? begitu tulisnya. Lidewij mengantarkan kami kembali ke Filosoof. Di luar hotel gerimis turun, aku dan Augustus berdiri di trotoar bata, perlahanlahan menjadi basah. Augustus: “Mungkin kau perlu istirahat.” Aku: “Aku baik-baik saja.” Augustus: “Oke.” (Diam.) “Apa yang sedang kau pikirkan?” Aku: “Kau.” Augustus: “Ada apa denganku?” Aku: “‘Aku tidak tahu mana yang lebih kusukai, /Keindahan tinggi rendahnya


nada/Atau keindahan sindirannya, /Burung murai hitam yang bersiul /Atau persis setelahnya.’” Augustus: “Astaga, kau seksi.” Aku: “Kita bisa pergi ke kamarmu.” Augustus: “Aku pernah mendengar gagasan yang lebih buruk.” Kami berimpitan di dalam lift mungil itu. Seluruh permukaannya, termasuk lantai, berlapis cermin. Kami harus menarik pintu agar menutup, lalu benda tua itu berderit perlahan menuju lantai dua. Aku lelah dan berkeringat, dan khawatir kalau secara umum penampilan dan aromaku menjijikkan, tapi tetap saja aku mencium Augustus di dalam lift. Lalu, dia menjauhkan diri, menunjuk cermin, dan berkata, “Lihat, Hazel yang tak terhingga banyaknya.” “Beberapa ketakterhinggaan lebih besar daripada ketakterhinggaan lainnya,” kataku tidak jelas, menirukan Van Houten. “Betapa konyolnya,” ujar Augustus. Perlu waktu selama itu, dan lebih lama lagi, untuk tiba di lantai dua saja. Akhirnya lift terhuyunghuyung berhenti, dan Augustus mendorong pintu becermin itu hingga terbuka. Ketika sudah setengah terbuka, dia meringis kesakitan dan sekejap kehilangan pegangannya pada pintu. “Kau baik-baik saja?” tanyaku. Setelah sedetik, dia berkata, “Ya, ya, pintunya berat, kurasa.” Dia kembali mendorong, dan pintu terbuka. Tentu saja dia menyilakanku keluar terlebih dahulu, tapi kemudian aku tidak tahu ke arah mana aku harus berjalan di lorong, jadi aku hanya berdiri saja di sana, di luar lift, dan dia juga berdiri di sana, wajahnya masih mengernyit kesakitan, dan aku kembali bertanya, “Oke?” “Hanya lelah, Hazel Grace. Semuanya baik-baik saja.” Kami berdiri saja di sana, di lorong, dan dia tidak menuntun jalan ke kamarnya atau apa, dan aku tidak tahu di mana kamarnya berada. Dan, ketika kebuntuan itu berlanjut, aku merasa yakin dia sedang berupaya mencari cara


untuk tidak berhubungan denganku, dan seharusnya aku tidak pernah menyarankan gagasan ini sedari awal, ini tidak sopan dan karenanya membuat jijik Augustus Waters, yang berdiri saja di sana seraya memandangku tanpa berkedip, berupaya mencari cara untuk melepaskan diri dari situasi ini dengan sopan. Lalu, setelah waktu yang sangat lama, dia berkata, “Letaknya di atas lututku, sedikit meruncing, lalu yang ada hanyalah kulit. Ada bekas luka yang jelek, tapi hanya kelihatan seperti—” “Apa?” tanyaku. “Kakiku,” katanya. “Supaya kau siap, kalaukalau, maksudku, kalaukalau kau melihatnya atau apa—” “Oh, sudahlah,” kataku, dan aku mengambil dua langkah yang diperlukan untuk menggapainya, lalu menciumnya sementara dia mencari kunci kamar. Seluruh urusan itu benar-benar berlawanan dengan apa yang kubayangkan: pelan, sabar, tenang, dan tidak terlalu menyakitkan atau terlalu nikmat. Tidak ada kepala ranjang yang patah. Tidak ada teriakan. Sejujurnya itu mungkin waktu terlama yang kami habiskan bersamasama tanpa bicara. Hanya satu hal yang sesuai: Setelah itu, ketika aku meletakkan wajah di dada Augustus, mendengarkan jantungnya berdentamdentam, dia berkata, “Hazel Grace, secara harfiah aku tidak bisa mempertahankan mataku agar terbuka.” “Salah penggunaan keharfiahan,” kataku. “Tidak,” katanya. “Sangat. Lelah.” Wajahnya berpaling dariku, telingaku menekan dadanya, mendengarkan paruparunya membunyikan irama tidur. Setelah beberapa saat, aku bangkit berdiri, berpakaian, menemukan peralatan menulis Hotel Filosoof, dan menulisinya surat cinta: Augustus tersayang,


kekasihmu, Hazel Grace


Bab Tiga Belas Keesokan paginya, hari terakhir kami di Amsterdam, aku, Mom, dan Augustus berjalan setengah blok dari hotel ke Vondelpark. Di sana kami menemukan kafe di dalam bayang-bayang museum film nasional Belanda. Ditemani latte—yang menurut penjelasan pramusajinya disebut “kopi yang keliru” oleh orang Belanda karena mengandung lebih banyak susu daripada kopi—kami duduk di dalam bayang-bayang berenda sebatang pohon chestnut besar dan menceritakan kepada Mom pertemuan kami dengan Peter Van Houten yang agung itu. Kami membuat cerita itu kedengaran lucu. Aku percaya kau punya pilihan di dunia ini mengenai cara menceritakan kisah sedih, dan kami memilih cara yang lucu: Augustus, seraya duduk merosot di kursi kafenya, berpura-pura menjadi Van Houten yang membisu dan bicara tidak jelas, yang bahkan tidak bisa mendorong tubuhnya untuk bangkit dari kursi; aku berdiri untuk memerankan diriku yang penuh kemarahan dan kejantanan, berteriak, “Bangun, dasar lelaki tua gemuk jelek!” “Kau menyebutnya jelek?” tanya Augustus. “Ikuti sajalah,” kataku kepadanya. “Aku tidak jelek. Kau yang jelek, gadis dengan hi-dung berselang.” “Kau pengecut!” Aku menggeram dan Augustus tertawa. Aku duduk. Kami


menceritakan kepada Mom mengenai Rumah Anne Frank, tanpa menyebut soal ciuman itu. “Kalian kembali ke rumah Van Houten setelah itu?” tanya Mom. Augustus bahkan tidak memberiku waktu untuk tersipu-sipu. “Tidak, kami hanya menghabiskan waktu di sebuah kafe. Hazel menghiburku dengan semacam lelucon diagram Venn.” Dia melirikku. Astaga, dia seksi. “Kedengarannya menyenangkan,” kata Mom. “Dengar, aku akan pergi berjalan-jalan. Aku memberi kalian berdua waktu untuk bicara,” katanya kepada Gus dengan nada sedikit tajam. “Lalu, mungkin setelah itu kita bisa mengikuti tur di atas kapal kanal.” “Em, oke?” kataku. Mom meninggalkan uang kertas lima euro di bawah tatakan cangkirnya, lalu mencium puncak kepalaku seraya berbisik, “Aku sangat sangat sangat mencintaimu.” Dan itu jauh lebih banyak daripada biasanya. Gus menunjuk bayang-bayang dahan-dahan yang bersilangan dan berpisah di atas beton. “Indah, hah?” “Ya,” kataku. “Metafora yang sangat bagus,” gumamnya. “Benarkah?” tanyaku. “Gambaran negatif hal-hal yang disatukan oleh angin, lalu dipisahkan oleh angin,” katanya. Di depan kami, ratusan orang lewat, lari dan bersepeda dan bersepatu roda. Amsterdam adalah kota yang dirancang untuk pergerakan dan aktivitas, kota yang lebih suka tidak bepergian dengan mobil, sehingga secara tak terhindarkan aku merasa dikecualikan dari dalamnya. Tapi astaga, kota itu memang indah, sungai mengukir jalan mengelilingi pohon besar, burung bangau berdiri diam di tepian air, mencari sarapan di antara jutaan kelopak elm yang terapung di sana. Tapi, Augustus tidak memperhatikan. Dia terlalu sibuk mengamati bayangbayang yang bergerak. Akhirnya dia berkata, “Aku bisa memandangi ini se panjang hari, tapi kita harus pergi ke hotel.” “Kita punya waktu?” tanyaku. Dia tersenyum sedih. “Seandainya saja punya,” katanya. “Ada apa?” Dia mengangguk ke arah hotel.


Kami berjalan dalam keheningan, Augustus setengah langkah di depanku. Aku terlalu takut untuk bertanya apakah aku punya alasan untuk merasa takut. Jadi, ada sesuatu yang disebut Hierarki Kebutuhan Maslow. Pada dasarnya lelaki bernama Abraham Maslow ini menjadi terkenal gara-gara teorinya bahwa kebutuhan tertentu harus dipenuhi sebelum kau bahkan punya jenis-jenis kebutuhan lain. Kira-kira gambarannya seperti ini: HIERARKI KEBUTUHAN MASLOW Setelah kebutuhan terhadap makanan dan air terpenuhi, kau berpindah pada serangkaian kebutuhan berikutnya, yaitu keamanan, lalu berikutnya dan berikutnya. Tapi yang terpenting adalah, menurut Maslow, sebelum kebutuhan fisiologismu terpenuhi, kau bahkan tidak bisa mengkhawatirkan soal keamanan atau kebutuhan sosial, apalagi “aktualisasi diri”, yaitu ketika kau mulai


menciptakan seni, memikirkan moralitas dan fisika kuantum, dan sebagainya. Menurut Maslow, aku tertahan di tingkat kedua piramida, tidak bisa merasakan keamanan dalam kesehatanku, dan karenanya tidak bisa menjangkau cinta dan penghormatan dan seni dan apa pun lainnya. Dan, ini tentu saja benarbenar omong kosong: Dorongan untuk menciptakan seni atau merenungkan filosofi tidak hilang ketika kau sakit. Dorongan-dorongan itu hanya diubah bentuknya oleh penyakit. Piramida Maslow seakan mengimplikasikan bahwa aku kurang manusia dibandingkan dengan orang lain, dan sebagian besar orang tampaknya setuju dengannya. Tapi, Augustus tidak. Aku selalu menganggap dia bisa mencintaiku karena dia sendiri pernah sakit. Baru kini terpikir olehku bahwa dia mungkin masih sakit. Kami tiba di kamarku, Kierkegaard. Aku duduk di ranjang, berharap dia akan bergabung bersamaku, tapi dia duduk meringkuk di atas kursi bermotif paisley berdebu itu. Kursi itu. Berapa usianya? Lima puluh tahun? Aku merasakan bola di pangkal tenggorokanku mengeras ketika menyaksikan Augustus menarik sebatang rokok dari bungkusnya dan menyelipkannya di bibir. Dia bersandar dan mendesah. “Persis sebelum kau masuk ICU, aku mulai merasakan nyeri di pinggulku.” “Tidak,” kataku. Kepanikan melanda, menguasaiku. Dia mengangguk. “Jadi, aku melakukan pemindaian PET.” Dia terdiam. Dia mencabut rokok dari bibir dan menggertakkan gigi. Sebagian besar hidupku telah kuhabiskan dengan berupaya tidak menangis di hadapan orang yang mencintaiku, sehingga aku tahu apa yang sedang dilakukan oleh Augustus. Kau menggertakkan gigi. Kau mendongak. Kau mengatakan kepada diri sendiri bahwa, jika mereka melihatmu menangis, itu akan melukai mereka, dan kau hanya akan menjadi Kesedihan dalam hidup mereka, padahal kau tidak boleh menjadi kesedihan saja. Jadi, kau tidak akan menangis, dan kau


mengucapkan semuanya ini kepada diri sendiri seraya mendongak memandang langit-langit, lalu kau menelan ludah walaupun tenggorokanmu tidak mau menutup, kau memandang orang yang mencintaimu dan tersenyum. Augustus mengulaskan senyum miringnya, lalu berkata, “Aku menyala seperti pohon Natal, Hazel Grace. Lapisan dadaku, pinggul kiriku, hatiku, di mana-mana.” Di mana-mana. Sejenak kata itu menggelayut di udara. Kami berdua tahu apa artinya. Aku bangkit berdiri, menyeret tubuh dan keretaku melintasi karpet yang usianya lebih tua daripada usia yang bisa dicapai oleh Augustus. Aku berlutut di dasar kursinya, meletakkan kepala di pangkuannya, dan memeluk pinggangnya. Dia membelai rambutku. “Aku ikut menyesal,” kataku. “Maaf aku tidak menceritakannya kepadamu,” katanya dengan suara tenang. “Ibumu pasti tahu. Dari caranya memandangku. Ibuku pasti memberitahunya atau semacamnya. Seharusnya kuceritakan kepadamu. Ini tolol. Egois.” Tentu saja aku tahu mengapa Augustus tidak berkata apa-apa: alasan yang sama mengapa aku tidak ingin dia melihatku di ICU. Aku tidak bisa marah kepadanya, bahkan sejenak pun, dan kini setelah aku mencintai sebuah granat, barulah kupahami betapa tololnya upaya untuk menyelamatkan orang lain dari ledakanku sendiri yang akan segera terjadi: Aku tidak bisa membatalkan cintaku kepada Augustus Waters. Aku tidak ingin berbuat begitu. “Ini tidak adil,” kataku. “Ini benar-benar tidak adil.” “Dunia,” katanya, “bukanlah pabrik pewujudkeinginan.” Lalu, sejenak dia tidak kuasa menahan diri, sedu sedannya meraung tak berdaya bagaikan gemuruh petir yang tidak diiringi oleh cahaya, kebuasan mengerikan yang oleh para amatir dalam bidang penderitaan mungkin disalahartikan sebagai kelemahan. Lalu, dia merengkuhku ke dalam pelukan dan, dengan wajah hanya berjarak beberapa inci dariku, memutuskan, “Aku akan memeranginya. Aku akan memeranginya untukmu. Jangan mengkhawatirkanku, Hazel Grace. Aku baik-baik saja. Aku akan mencari cara untuk terus bertahan dan menjengkelkanmu untuk waktu yang lama.” Aku menangis. Tapi, saat itu pun dia begitu kuat, memelukku erat-erat sehingga aku bisa melihat otot-otot liat lengannya membelit tubuhku ketika dia berkata, “Maaf. Kau akan baik-baik saja. Ini akan baik-baik saja. Aku berjanji.” Lalu, dia mengulaskan senyum miringnya. Dia mencium keningku, lalu kurasakan dada perkasanya sedikit mengempis. “Kurasa aku ternyata punya hamartia.”


Setelah beberapa saat, aku menarik Augustus ke ranjang dan kami berbaring bersama-sama di sana. Dia mengatakan mereka sudah memulai kemo paliatif, tapi dia meninggalkannya untuk pergi ke Amsterdam, walaupun orangtuanya marah besar. Mereka berupaya menghentikan Augustus sampai pagi itu, ketika aku mendengarnya berteriak bahwa tubuhnya adalah miliknya. “Seharusnya perjalanan kita bisa dijadwal-ulang,” kataku. “Tidak, tidak bisa,” jawabnya. “Lagi pula pengobatan itu tidak berhasil. Kau tahu, bukan?” Aku mengangguk. “Itu hanya omong kosong. Seluruhnya,” kataku. “Mereka akan mengupayakan sesuatu yang lain ketika aku pulang. Mereka selalu punya gagasan baru.” “Ya,” kataku. Aku sendiri adalah kelinci percobaan. “Aku agak menipumu, membuatmu percaya kalau kau sedang jatuh cinta dengan orang yang sehat,” katanya. Aku mengangkat bahu. “Aku pun akan melakukan hal yang sama terhadapmu.” “Tidak, kau tidak akan berbuat begitu. Tapi, kami semua tidak bisa menjadi sehebat dirimu.” Dia menciumku, lalu meringis. “Sakitkah?” tanyaku. “Tidak. Hanya.” Dia menatap langit-langit untuk waktu yang lama sebelum berkata, “Aku menyukai dunia ini. Aku suka minum sampanye. Aku suka tidak merokok. Aku menyukai suara orang Belanda ketika bicara bahasa Belanda. Dan kini … aku bahkan tidak punya pertempuran. Aku tidak bisa berperang.” “Kau harus memerangi kanker,” kataku. “Itulah pertempuranmu. Dan, kau akan terus berjuang,” kataku. Aku benci jika orang berupaya menyemangatiku untuk siap bertempur, tapi tetap saja aku melakukan hal itu kepada Augustus. “Kau akan … kau akan … menjalani kehidupan terbaikmu hari ini. Inilah


peperanganmu sekarang.” Aku membenci diriku sendiri atas pendapat murahan ini, tapi apa lagi yang kupunyai? “Peperangan yang hebat,” katanya mengabaikanku. “Apa yang kuperangi? Kankerku. Dan, apakah kankerku itu? Kankerku adalah aku. Tumor-tumor itu adalah bagian dari diriku. Mereka adalah bagian dari diriku, sama seperti otak dan jantungku adalah bagian dari diriku. Ini perang saudara, Hazel Grace, dengan pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya.” “Gus,” kataku. Aku tidak bisa mengucapkan sesuatu yang lain. Dia terlalu pintar untuk jenis-jenis penghiburan yang bisa kutawarkan. “Oke,” katanya. Tapi itu tidak oke. Sejenak kemudian, dia berkata, “Jika kau pergi ke Rijksmuseum, sesuatu yang ingin sekali kulakukan—tapi jelas kita berdua tidak bisa berjalan menyusuri sebuah museum. Tapi bagaimanapun, aku melihat-lihat koleksi museum itu online sebelum kita pergi. Seandainya kau ke sana, dan kuharap suatu hari nanti kau akan ke sana, kau akan melihat banyak lukisan orang mati. Kau akan melihat Yesus disalib, dan kau akan melihat seorang lelaki ditusuk lehernya, dan kau akan melihat orang-orang yang mati di lautan dan dalam pertempuran, dan sederet martir. Tapi Tidak. Ada. Satu pun. Anak. Penderita. Kanker. Tidak ada seorang pun yang mati akibat wabah atau cacar air atau demam kuning atau apa pun, karena tidak ada kejayaan dalam penyakit. Tidak ada makna di dalamnya. Tidak ada kehormatan di dalam kematian yang diakibatkannya.” Abraham Maslow, kuperkenalkan kepadamu Augustus Waters, yang keingintahuan eksistensialnya mengerdilkan keingintahuan sesamanya yang cukup makan, cukup cinta, dan sehat. Sementara orang-orang terus menjalani kehidupan tanpa pengamatan saksama dan dengan konsumsi berlebihan, Augustus Waters mengamati koleksi Rijksmuseum dari jauh. “Apa?” tanya Augustus setelah beberapa saat. “Tidak ada apa-apa,” kataku. “Aku hanya ....” Aku tidak bisa menyelesaikan kalimat itu, tidak tahu bagaimana caranya. “Aku hanya sangat, sangat menyukaimu.” Dia tersenyum dengan setengah bibirnya, hidungnya hanya berjarak beberapa inci dari hidungku. “Perasaan itu timbal balik. Kurasa kau tidak bisa melupakan kanker itu dan memperlakukanku seakan aku tidak sekarat.” “Menurutkukautidaksekarat,”kataku.“Menurutku kau hanya mendapat sentuhan kanker.” Dia tersenyum. Lelucon pahit. “Aku berada di roller coaster yang hanya


melesat ke atas,” katanya. “Dan merupakan keistimewaan dan tanggung jawabku untuk ikut berkendara di sepanjang jalan ke atas bersamamu,” kataku. “Akan benar-benar konyolkah jika kita berupaya untuk bercinta?” “Tidak ada kata berupaya,” kataku. “Kita lakukan sajalah.”[]


Bab Empat Belas Dalam perjalanan pulang, enam ribu meter di atas awan-awan yang melayang tiga ribu meter di atas permukaan tanah, Gus berkata, “Dulu kupikir akan menyenangkan tinggal di atas awan.” “Ya,” kataku. “Rasanya akan seperti berjalan di atas balon karet yang bisa digembungkan, tapi untuk selamanya.” “Tapi kemudian, di sains SMP, Mr. Martinez bertanya siapa di antara kami yang pernah berkhayal tinggal di awan, dan semua orang mengangkat tangan. Lalu, Mr. Martinez mengatakan bahwa tinggi di awan, angin bertiup dua ratus lima puluh kilometer perjam, dan suhunya tiga puluh derajat di bawah nol, tidak ada oksigen dan kami semua akan mati dalam hitungan detik.” “Kedengarannya lelaki yang menyenangkan.” “Dia mengkhususkan diri dalam pembunuhan mimpi, Hazel Grace, sungguh. Kalian pikir gunung berapi menakjubkan? Katakan itu pada sepuluh ribu mayat yang berteriak di Pompeii. Diam-diam kalian masih memercayai adanya elemen sihir di dunia ini? Itu semua hanyalah molekul-molekul tak berjiwa yang saling berbenturan secara acak. Kalian khawatir mengenai siapa yang akan mengurus


kalian seandainya orangtua kalian meninggal? Sudah seharusnya, karena mereka akan menjadi makanan cacing jika sudah genap waktunya.” “Ketidaktahuan adalah kebahagiaan,” kataku. Seorang pramugari berjalan menyusuri lorong dengan kereta minuman, setengah berbisik, “Minuman? Minuman? Minuman? Minuman?” Gus mencondongkan tubuh melewatiku, mengangkat tangan. “Bisakah kami mendapat sampanye?” “Kalian sudah dua puluh satu tahun?” tanyanya bimbang. Secara mencolok aku membetulkan ujungujung selang di dalam hidungku. Pramugari itu tersenyum, lalu melirik ibuku yang sedang tidur. “Dia tidak akan keberatan?” tanyanya mengenai Mom. “Tidak,” jawabku. Jadi, dia menuang sampanye ke dalam dua cangkir plastik. Keistimewaan Kanker. Aku dan Gus bersulang. “Untukmu,” katanya. “Untukmu,” kataku, seraya menyentuhkan cangkirku pada cangkirnya. Kami meneguk sampanye. Itu bintang-bintang yang lebih suram daripada yang kami dapat di Oranjee, tapi masih cukup enak untuk diminum. “Kau tahu,” kata Gus kepadaku, “segala ucapan Van Houten benar.” “Mungkin, tapi dia tidak perlu menjadi bajingan seperti itu untuk mengucapkannya. Aku tidak percaya dia membayangkan sebuah masa depan untuk Sisyphus si Hamster, tapi tidak untuk ibu Anna.” Augustus mengangkat bahu. Mendadak dia tampak melantur. “Oke?” tanyaku. Dia menggeleng pelan. “Sakit,” katanya. “Dada?” Dia mengangguk. Kedua tangannya mengepal. Belakangan dia menjelaskan rasa sakitnya adalah seperti ada seorang lelaki gemuk berkaki satu yang mengenakan sepatu bertumit tinggi runcing yang berdiri di tengah-tengah dadanya. Kutegakkan kembali nampanku, kukunci posisinya, lalu aku membungkuk untuk mengeluarkan pil-pil dari ranselnya. Dia menelan sebutir dengan sampanye. “Oke?” ulangku. Gus duduk di sana, mengepalkan tangan, menunggu obatnya bekerja, obat yang lebih menjauhkan Gus dari rasa sakit itu (dan dariku) daripada membunuh rasa sakit itu. “Rasanya seakan itu sesuatu yang pribadi,” ujar Gus pelan. “Seakan dia


marah kepada kita untuk alasan tertentu. Van Houten, maksudku.” Dia menghabiskan sampanyenya dalam serentetan tegukan cepat, dan segera terlelap. Dad sudah menunggu kami di tempat pengambilan bagasi, berdiri di antara semua sopir limosin bersetelan jas yang memegang papan tanda bertuliskan nama belakang penumpang mereka: JOHNSON, BARRINGTON, CARMICHAEL. Dad punya papan tandanya sendiri. KELUARGAKU YANG HEBAT, begitu tulisannya, lalu di bawahnya tertulis (DAN GUS). Aku memeluk Dad, dan dia mulai menangis (tentu saja). Dalam perjalanan pulang, aku dan Gus menceritakan kisah-kisah Amsterdam kepada Dad. Tapi, ketika aku sudah tiba di rumah dan tersambung dengan Philip, menonton televisi Amerika yang menyenangkan bersama Dad dan menyantap piza Amerika dengan serbet di atas pangkuan, barulah aku bercerita mengenai Gus. “Gus mengalami kekambuhan,” kataku. “Aku tahu,” kata Dad. Dia beringsut menghampiriku, lalu mengimbuhkan, “Ibunya memberi tahu kami sebelum perjalanan itu. Maaf karena dia merahasiakannya darimu. Maaf … maaf, Hazel.” Aku diam saja untuk waktu yang lama. Acara TV yang kami tonton adalah mengenai orang-orang yang berupaya memilih rumah yang hendak mereka beli. “Jadi, aku membaca Kemalangan Luar Biasa ketika kalian pergi,” kata Dad. Aku menoleh memandangnya. “Oh, hebat. Bagaimana menurut Dad?” “Bagus. Agak tidak bisa kupahami. Ingat, dulu aku belajar biokimia, bukan orang sastra. Aku berharap sekali cerita itu berakhir.” “Ya,” kataku. “Keluhan yang umum.” “Juga, sedikit putus asa,” katanya. “Sedikit gampang menyerah.” “Jika yang Dad maksudkan dengan gampang menyerah adalah jujur, maka aku setuju.” “Menurutku gampang menyerah bukanlah jujur,” jawab Dad. “Aku menolak


untuk menerimanya.” “Jadi, ada alasan untuk terjadinya segala sesuatu, dan kita semua akan tinggal di awan-awan, memetik harpa, dan tinggal di mansion?” Dad tersenyum. Dia merangkulkan lengan besarnya dan menarikku ke arahnya, lalu mencium sisi kepalaku. “Aku tidak tahu apa yang kupercayai, Hazel. Kupikir menjadi orang dewasa berarti mengetahui apa yang kau percayai, tapi pengalamanku tidaklah seperti itu.” “Ya,” kataku. “Oke.” Dad kembali minta maaf soal Gus, lalu kami kembali menonton acara TV, dan orang-orang itu memilih sebuah rumah. Dad masih merangkulkan lengannya padaku, dan aku mulai sedikit mengantuk, tapi tidak ingin pergi tidur, lalu Dad berkata, “Kau tahu apa yang kupercayai? Aku ingat mengambil kelas matematika pada saat kuliah, kelas matematika yang benar-benar hebat, pengajarnya seorang perempuan tua bertubuh mungil. Dia bicara mengenai transformasi Fourier dengan cepat, lalu berhenti di tengah kalimat dan berkata, ‘Terkadang tampaknya alam semesta ingin diperhatikan.’ “Itulah yang kupercayai. Aku percaya alam semesta ingin diperhatikan. Menurutku, walaupun ini sulit untuk dipercayai, alam semesta condong ke arah kesadaran, dan menghargai kecerdasan karena alam semesta merasa senang ketika keanggunannya diamati. Dan siapakah aku, yang hidup di tengah sejarah, sehingga bisa mengatakan kepada alam semesta bahwa dia—atau pengamatanku mengenai dia—bersifat sementara?” “Dad pintar sekali,” ujarku setelah beberapa saat. “Kau pintar sekali memuji,” jawab Dad. Keesokan siangnya, aku menyetir ke rumah Gus dan menyantap roti-lapis mentega-kacang-dan-jeli bersama orangtuanya dan menceritakan kisah-kisah mengenai Amsterdam, sementara Gus tidur di sofa ruang duduk, tempat kami


dulu menonton V for Vendetta. Aku bisa melihatnya dari dapur: Dia berbaring telentang, dengan kepala berpaling dariku, selang PICC sudah terpasang. Mereka menyerang kanker itu dengan ramuan baru: dua obat kemo dan reseptor protein yang mereka harap bisa mematikan onkogen di dalam kanker Gus. Dia beruntung bisa diterima dalam percobaan itu, kata mereka kepadaku. Beruntung. Aku mengenal salah satu obatnya. Mendengar namanya disebutkan saja membuatku ingin muntah. Setelah beberapa saat, Isaac datang diantar ibunya. “Isaac, hai, ini Hazel dari Kelompok Pendukung, bukan mantan pacarmu yang jahat itu.” Ibunya menuntunnya ke arahku, dan aku bangkit dari kursi ruang makan, memeluknya. Tubuhnya perlu waktu sejenak untuk menemukanku, lalu dia membalas pelukanku, erat-erat. “Bagaimana Amsterdam?” tanyanya. “Hebat,” kataku. “Waters,” panggilnya. “Di mana kau, Bro?” “Dia tidur,” kataku, dan suaraku menyangkut di tenggorokan. Isaac menggeleng-gelengkan kepala, semua orang diam. “Menyebalkan,” ujarnya sedetik kemudian. Ibunya menuntunnya ke sebuah kursi, yang lalu ditariknya. Isaac duduk. “Aku masih bisa mendominasi pantat butamu dalam permainan KontraPemberontakan,” ujar Augustus tanpa menoleh ke arah kami. Obat sedikit memperlambat bicaranya, tapi hanya sampai pada kecepatan orang biasa. “Aku yakin sekali semua pantat itu buta,” jawab Isaac seraya menjulurkan kedua tangannya ke udara dengan kebingungan, mencari ibunya. Perempuan itu meraihnya, menariknya berdiri, lalu mereka berjalan ke sofa. Di sana Gus dan Isaac berpelukan dengan canggung. “Bagaimana kabarmu?” tanya Isaac. “Semuanya terasa seperti koin logam. Selain itu, aku berada di atas roller coaster yang hanya melesat ke atas, Nak,” jawab Gus. Isaac tertawa. “Bagaimana dengan matamu?” “Oh, luar biasa,” jawab Isaac. “Maksudku, satusatunya masalah adalah karena mata itu tidak berada di kepalaku.” “Ya, hebat,” ujar Gus. “Aku tidak bermaksud menandingimu atau apa, tapi tubuhku terbuat dari kanker.” “Begitulah yang kudengar,” kata Isaac, berupaya untuk tidak terpancing. Dia meraba-raba mencari tangan Gus, tapi hanya menemukan pahanya. “Aku sudah ada yang punya,” ujar Gus.


Ibu Isaac menyeret dua kursi ruang makan, lalu aku dan Isaac duduk di sebelah Gus. Aku meraih tangan Gus, menciptakan lingkaran-lingkaran di dalam area antara jempol dan telunjuknya. Orang-orang dewasa berjalan menuju ruang bawah tanah untuk saling menyatakan simpati atau apa, meninggalkan kami bertiga sendirian di ruang duduk. Setelah beberapa saat, Augustus menoleh ke arah kami, bangun perlahanlahan. “Bagaimana kabar Monica?” tanyanya. “Tidak pernah mendengar kabar darinya,” ujar Isaac. “Tidak ada kartu; tidak ada email. Aku mendapat mesin yang membacakan semua emailku. Menakjubkan. Aku bisa mengubah gender suara itu atau aksennya atau apa saja.” “Jadi, aku bisa mengirimimu cerita porno, lalu seorang lelaki Jerman tua bisa membacakannya untukmu?” “Tepat sekali,” jawab Isaac. “Walaupun Mom masih harus membantuku menggunakannya, jadi mung-kin tunda dulu porno Jerman itu selama satu atau dua minggu.” “Monica tidak meng-sms untuk menanyakan kabarmu?” tanyaku. Bagiku ini semacam ketidakadilan yang tak bisa kupahami. “Bungkam seribu bahasa,” jawab Isaac. “Konyol,” kataku. “Aku sudah berhenti memikirkannya. Aku tidak punya waktu untuk punya pacar. Aku punya semacam pekerjaan purna-waktu: Mempelajari Cara Menjadi Orang Buta.” Gus kembali memalingkan wajah dari kami, menatap beranda di pekarangan belakang di balik jendela. Matanya terpejam. Isaac menanyakan kabarku, dan kukatakan aku baik-baik saja. Dia mengatakan ada cewek baru di Kelompok Pendukung yang suaranya sangat


seksi, dia ingin aku pergi ke sana dan memberitahunya apakah cewek itu benarbenar seksi. Lalu, mendadak Augustus berkata, “Kau tidak boleh tidak menghubungi mantan pacarmu, setelah sepasang mata mantan pacarmu itu dicopot dari kepalanya.” “Hanya satu—” ujar Isaac memulai. “Hazel Grace, kau punya uang empat dolar?” tanya Gus. “Em,” kataku. “Ya?” “Bagus sekali. Tolong ambilkan kakiku di bawah meja kopi,” katanya. Gus menegakkan tubuh dan beringsut ke pinggir sofa. Aku menyerahkan kaki palsu itu; dia memasangnya dengan gerak lambat. Aku membantu Gus berdiri, lalu menawarkan lenganku kepada Isaac, menuntunnya melewati perabot yang mendadak tampak mengganggu, dan kusadari untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun bahwa akulah orang tersehat di dalam ruangan itu. Aku menyetir. Augustus duduk di sebelahku. Isaac duduk di kursi belakang. Kami berhenti di toko keperluan sehari-hari. Dan di sana, sesuai instruksi Augustus, aku membeli selusin telur sementara dia dan Isaac menunggu di dalam mobil. Lalu, Isaac memandu kami menuju rumah Monica berdasarkan ingatannya. Itu rumah dua-lantai yang luar biasa bersihnya di dekat JCC. Mobil Pontiac Firebird 1990 hijau terang milik Monica ada di halaman dengan rodaroda gemuknya. “Ketemu?” tanya Isaac ketika dia merasa aku menghentikan mobil. “Oh, ya,” jawab Augustus. “Kau tahu seperti apa rumah itu kelihatannya, Isaac? Kelihatannya seperti semua harapan yang dengan tololnya kita harapkan.” “Jadi, dia ada di rumah?” Gus menoleh perlahan-lahan untuk memandang Isaac. “Siapa peduli di mana dia berada? Ini bukan soal dia. Ini soal diri-mu.” Gus mencengkeram kardus telur itu di atas pangkuan, lalu membuka pintu mobil dan mengeluarkan kaki ke jalanan. Dia membukakan pintu untuk Isaac, dan aku menyaksikan lewat kaca spion ketika Gus membantu Isaac keluar dari mobil, bahu mereka saling menyandar, lalu menjauh, seperti tangan yang sedang berdoa tapi dengan kedua telapak tangan tidak begitu menyatu. Aku menurunkan kaca jendela dan mengamati mereka dari mobil, karena vandalisme membuatku gugup. Mereka maju beberapa langkah ke arah mobil itu, lalu Gus membuka kardus telur dan menyerahkan sebutir telur kepada Isaac. Isaac melemparkannya, luput sejauh kira-kira dua belas meter dari mobil itu.


“Sedikit ke kiri,” ujar Gus. “Lemparanku sedikit terlalu ke kiri atau aku harus mengarahkannya sedikit ke kiri?” “Arahkan ke kiri.” Isaac memutar bahu. “Lebih kiri lagi,” ujar Gus. Kembali Isaac memutar bahu. “Ya. Bagus sekali. Dan lemparkan keras-keras.” Kembali Gus menyerahkan sebutir telur, dan Isaac melemparkannya. Telur itu melayang ke arah mobil dan menumbuk atap melandai rumah itu. “Pas!” ujar Gus. “Benarkah?” tanya Isaac senang. “Tidak, kau melemparkannya kira-kira dua belas meter di atas mobil. Lempar keras-keras, tapi jaga agar tetap rendah. Dan sedikit ke kanan dari lemparanmu yang terakhir.” Isaac menjulurkan tangan dan menemukan sendiri sebutir telur dari kardus yang dibawa Gus. Dia melemparkannya, mengenai lampu belakang. “Ya!” kata Gus. “Ya! LAMPU BELAKANG!” Isaac meraih sebutir telur lagi, luput jauh ke kanan, lalu satu lagi, luput sedikit, lalu satu lagi, mengenai kaca belakang. Lalu, dia berhasil tiga kali berturut-turut mengenai bagasi. “Hazel Grace,” teriak Gus kepadaku. “Potret ini, sehingga Isaac bisa melihatnya ketika mereka menemukan mata robot.” Aku mengangkat tubuh sehingga duduk di jendela yang kacanya terbuka, sikuku berada di atap mobil, dan aku memotret dengan ponselku: Augustus, dengan sebatang rokok yang tidak dinyalakan di bibir dan senyum miring yang nikmat, memegangi kardus telur merah dadu yang nyaris kosong di atas kepala. Tangannya yang satu lagi merangkul bahu Isaac—yang kacamata mataharinya tidak tepat mengarah ke kamera. Di belakang mereka, putih telur menetes dari kaca mobil dan bemper Firebird hijau itu. Dan di belakang mobil itu, sebuah pintu terbuka. “Apa,” tanya seorang perempuan berusia setengah baya, sejenak setelah aku memotret, “gerangan—” lalu dia berhenti bicara. “Ma’am,” ujar Augustus seraya mengangguk ke arahnya, “mobil putri Anda baru saja dilempari telur dengan selayaknya oleh seorang lelaki buta. Harap tutup pintunya dan kembalilah ke dalam, atau kami akan terpaksa menelepon polisi.” Setelah bimbang sejenak, ibu Monica menutup pintu dan menghilang. Isaac melemparkan tiga butir telur terakhir berturut-turut dengan cepat, lalu Gus menuntunnya kembali ke mobil. “Kau mengerti, Isaac? Jika kau merampas— kini kita sudah mencapai pinggir jalan—perasaan legitimasi dari mereka begitu saja, jika kau memutarbalikkannya sehingga mereka merasa seakan melakukan kejahatan dengan hanya menyaksikan—beberapa langkah lagi—mobil mereka


dilempari telur, mereka akan merasa kebingungan dan ketakutan dan khawatir, dan mereka hanya akan kembali pada—kau akan menemukan pegangan pintu persis di depanmu—kehidupan mereka yang cukup menyedihkan itu.” Gus bergegas memutar ke bagian depan mobil dan menjatuhkan tubuh di kursi depan. Pintu-pintu mobil menutup, dan aku meraung pergi, menyetir selama beberapa ratus meter sebelum menyadari bahwa mobilku mengarah ke jalan buntu. Aku memutar dan kembali berpacu melintasi rumah Monica. Aku tidak pernah memotret Gus lagi.[]


Bab Lima Belas Beberapa hari kemudian, di rumah Gus, orangtuaku dan orangtuanya dan aku dan Gus duduk berimpitan mengelilingi meja ruang makan, menyantap paprikaisi di atas taplak yang, menurut ayah Gus, terakhir kali digunakan pada abad yang lalu. Dad: Emily, risotto ini ....” Mom: “Sangat lezat.” Ibu Gus: “Oh, terima kasih. Dengan senang hati akan kuberikan resepnya.” Gus, seraya menelan: “Tahukah kalian? Cita rasa utama yang kudapat bukanlah Oranjee.” Aku: “Pengamatan yang bagus, Gus. Makanan ini, walaupun lezat, tidak bercita rasa seperti Oranjee.” Mom: “Hazel.” Gus: “Cita rasanya seperti .…” Aku: “Makanan.” Gus: “Ya, tepat sekali. Cita rasanya seperti makanan yang disiapkan dengan sangat baik. Tapi tidak bercita rasa, bagaimana ya caraku mengatakannya secara halus …?”


Aku: “Makanan ini tidak bercita rasa, seakan Tuhan sendiri tidak memasak surga menjadi serangkaian lima hidangan yang kemudian disajikan kepadamu, diiringi beberapa buih plasma berkilau hasil fermentasi, sementara kelopakkelopak bunga asli dan harfiah mengapung di sekeliling meja makan malam sisikanalmu.” Gus: “Ungkapan yang indah.” Ayah Gus: “Anak-anak kita aneh.” Dad: “Ungkapan yang indah.” Seminggu setelah makan malam itu, Gus berakhir di UGD karena nyeri dada, dan mereka menginapkannya semalaman, sehingga aku menyetir ke Memorial keesokan paginya dan menengoknya di lantai empat. Aku belum pernah ke Memorial semenjak menengok Isaac. Rumah sakit itu tidak punya dindingdinding yang dicat warna primer terang memuakkan atau lukisan-lukisan berbingkai yang menggambarkan anjing menyetir mobil, seperti yang bisa ditemukan di Rumah Sakit Anak-Anak. Tapi, kesterilan mutlak tempat itu membuatku merindukan omong kosong anak-bahagia di Rumah Sakit AnakAnak. Memorial begitu fungsional. Itu fasilitas penyimpanan. Itu prakrematorium. Ketika pintu lift terbuka di lantai empat, aku melihat ibu Gus mondar-mandir di ruang tunggu, bicara di ponsel. Cepat-cepat dia mengakhiri pembicaraan, lalu memelukku dan menawarkan diri untuk membawakan keretaku. “Aku baik-baik saja,” kataku. “Bagaimana Gus?” “Dia mengalami malam yang berat,” jawabnya. “Jantungnya bekerja terlalu keras. Dia perlu mengurangi kegiatan. Kursi roda mulai dari sekarang dan untuk seterusnya. Mereka memberinya semacam obat baru yang seharusnya lebih baik untuk mengatasi rasa nyerinya. Kedua kakak perempuannya baru saja datang.” “Oke,” kataku. “Bisakah aku menengoknya?”


Ibu Gus merangkulku dan meremas bahuku. Terasa ganjil. “Kau tahu kami mencintaimu, Hazel, tapi saat ini kami hanya menginginkan keluarga kami saja. Gus setuju. Oke?” “Oke,” kataku. “Akan kusampaikan kepadanya kalau kau datang.” “Oke,” kataku. “Kurasa aku hanya ingin membaca di sini saja selama beberapa saat.” Perempuan itu berjalan menyusuri lorong, kembali ke tempat Gus berada. Aku mengerti, tapi masih merindukan Gus, masih berpikir bahwa aku mungkin kehilangan kesempatan terakhir untuk melihatnya, untuk mengucapkan selamat tinggal atau apa. Ruang tunggu hanya terdiri dari karpet cokelat dan kursi-kursi kain gemuk warna cokelat. Aku duduk di kursi untuk dua orang selama beberapa saat, kereta oksigenku berada di samping kakiku. Aku mengenakan sepatu kets Chuck Taylor dan kaus Ceci n’est pas une pipe, sama persis seperti pakaian yang kukenakan dua minggu sebelumnya pada Sore Diagram Venn itu, tapi Gus tidak akan melihatnya. Aku mulai melihat-lihat foto di ponselku, kilas balik selama beberapa bulan terakhir itu, dimulai dari saat Gus dan Isaac berada di luar rumah Monica dan diakhiri dengan foto pertama Gus yang kujepret dalam perjalanan ke Funky Bones. Rasanya seakan sudah lama sekali, seakan kami punya “selamanya” yang singkat, tapi masih tak terbatas. Beberapa ketakterhinggaan lebih besar daripada ketakterhinggaan lainnya.


Dua minggu kemudian, aku mendorong kursi roda Gus melintasi taman seni menuju Funky Bones. Sebotol penuh sampanye yang sangat mahal dan tangki oksigenku berada di atas pangkuannya. Sampanye itu sumbangan salah seorang dokter Gus—Gus adalah sejenis orang yang bisa menginspirasi para dokter untuk memberikan botol sampanye terbaik mereka kepada anak-anak. Kami duduk, Gus di kursinya dan aku di atas rumput basah, sedekat mungkin dengan Funky Bones yang bisa kami capai dengan Gus berada di kursinya. Aku menunjuk anak-anak kecil yang saling mendorong untuk melompat dari tulang rusuk ke bahu, dan Gus menjawab dengan suara yang cukup keras untuk kudengar di dalam keriuhan itu, “Waktu itu aku membayangkan diriku sebagai anak itu. Kali ini aku membayangkan diriku sebagai kerangka itu.” Kami minum dari cangkir-cangkir kertas Winniethe-Pooh.[]


Bab Enam Belas Hari yang tipikal bersama Gus stadium-akhir. Aku pergi ke rumahnya sekitar tengah hari, setelah dia menyantap dan memuntahkan sarapan. Dia menemuiku di pintu, di atas kursi rodanya, tidak lagi sebagai cowok tampan berotot yang menatapku di pertemuan Kelompok Pendukung, tapi masih setengah tersenyum, masih mengisap rokoknya yang tidak dinyalakan, mata birunya cemerlang dan hidup. Kami menyantap makan siang bersama orangtuanya di meja ruang makan. Roti-lapis mentega-kacang-danjeli dan asparagus sisa semalam. Gus tidak makan. Aku menanyakan kabarnya. “Hebat,” katanya. “Dan kau?” “Baik. Apa yang kau kerjakan semalam?” “Aku banyak tidur. Aku ingin menulis sebuah sekuel untukmu, Hazel Grace, tapi aku teramat sangat lelah sepanjang waktu.” “Kau bisa menceritakannya saja kepadaku,” kataku. “Wah, aku masih mempertahankan analisis pra-Van Houtenku mengenai Lelaki Tulip Belanda itu. Dia bukan penipu, tapi tidak sekaya yang dikesankannya.”


“Dan bagaimana dengan ibu Anna?” “Aku belum menetapkan pendapatku soal itu. Sabar, Belalang.” Augustus tersenyum. Orangtuanya diam, mengamatinya, tidak pernah mengalihkan pandangan, seakan mereka hanya ingin menikmati Acara Gus Waters selama pertunjukan itu masih berlangsung. “Terkadang aku bermimpi menulis memoar. Hanya memoar yang akan terus menyimpanku di dalam hati dan ingatan masyarakat pengagumku.” “Mengapa kau perlu masyarakat pengagum, padahal kau punya aku?” tanyaku. “Hazel Grace, jika kau begitu memikat dan menarik secara fisik seperti diriku, cukup mudah untuk memenangkan hati orang yang kau temui. Tapi, membuat orang-orang asing itu mencintaimu … nah, itu adalah tantangan.” Aku memutar bola mata. Setelah makan siang, kami keluar ke pekarangan belakang. Gus masih cukup sehat untuk mendorong kursi rodanya sendiri, menggerakkan roda-roda mini itu agar roda-roda depannya bisa melewati gundukan di ambang pintu. Dia masih atletis, mengingat kesemuanya itu, diberkahi keseimbangan dan refleks cepat yang bahkan tidak bisa disembunyikan sepenuhnya oleh sejumlah besar narkotika. Orangtua Gus tetap berada di dalam. Tapi, ketika aku menoleh ke ruang makan, kulihat mereka selalu mengamati kami. Sejenakkamidudukdiluarsanadalam keheningan, lalu Gus berkata, “Terkadang aku berharap kita punya perangkat ayunan itu.” “Yang di pekarangan belakangku?” “Ya. Nostalgiaku begitu ekstrem sehingga aku bisa merindukan ayunan yang sesungguhnya tidak pernah disentuh oleh pantatku.” “Nostalgia adalah efek samping kanker,” kataku.


“Tidak, nostalgia adalah efek samping sekarat,” jawabnya. Di atas kami, angin bertiup dan bayangbayang yang bercabang-cabang mengatur kembali diri mereka sendiri di atas kulit kami. Gus meremas tanganku. “Ini kehidupan yang menyenangkan, Hazel Grace.” Kami masuk ketika Gus perlu obat, yang dimasukkan ke dalam tubuhnya bersama nutrisi cair lewat selang-G, sepotong plastik yang menghilang ke dalam perutnya. Dia terdiam selama beberapa saat, kelelahan. Ibunya menginginkannya untuk tidur, tapi dia terus menggeleng ketika mendengar saran itu, sehingga kami membiarkannya saja duduk setengah-tertidur di kursi selama beberapa saat. Kedua orangtua Gus menonton video lama Gus dan kedua kakak perempuannya—saat itu mereka mungkin seusiaku dan Gus kira-kira lima tahun. Mereka bermain basket di jalanan mobil di rumah yang berbeda. Walaupun kecil, Gus bisa menggiring bola seakan dia dilahirkan untuk melakukan hal itu, berlari berputar-putar mengelilingi kedua kakak perempuannya yang tertawa. Itu bahkan untuk pertama kalinya aku melihat Gus bermain basket. “Dia hebat,” kataku. “Seharusnya kau melihatnya di SMA,” ujar ayahnya. “Sudah menjadi anggota tim utama di kelas satu.” Gus bergumam, “Bisa ke lantai bawah?” Ayah dan ibunya mendorong kursi roda itu ke lantai bawah dengan Gus masih duduk di sana. Kursi itu memantul-mantul gila dengan cara yang membahayakan, lalu mereka meninggalkan kami berduaan saja. Gus naik ke ranjang dan kami berbaring bersama-sama di sana, di balik selimut, aku menyamping dan Gus telentang, kepalaku berada di bahu kurusnya, panas tubuhnya memancar lewat kaus polonya dan memasuki kulitku, kakiku membelit kaki aslinya, sebelah tanganku di pipinya. Ketika aku membuat wajahnya begitu dekat sehingga hidung kami


bersentuhan dan aku hanya bisa melihat matanya, aku tidak bisa mengatakan kalau dia sakit. Kami berciuman selama beberapa saat, lalu berbaring bersamasama, mendengarkan album The Hectic Glow yang berjudul sama dengan nama band itu, dan akhirnya kami tertidur dalam keadaan seperti itu, belitan kuantum antara selang-selang dan tubuh-tubuh. Kemudian kami terbangun dan mengatur serangkaian bantal sehingga kami bisa duduk dengan nyaman di pinggir ranjang dan bermain Kontra-Pemberontakan 2: Ganjaran Fajar. Tentu saja permainanku payah, tapi kepayahanku berguna bagi Gus: Membuatnya lebih mudah untuk mati dengan indahnya, melompat di hadapan peluru penembak jitu dan mengorbankan diri untukku, atau membunuh penjaga yang hendak menembakku. Betapa senang dia menyelamatkanku. Dia berteriak, “Hari ini kau tidak akan membunuh pacarku, wahai Teroris Internasional Berkebangsaan Membingungkan!” Terpikir olehku untuk berpura-pura tersedak atau semacamnya, sehingga Gus bisa memberiku pertolongan pertama. Mungkin setelah itu dia bisa menyingkirkan ketakutan bahwa hidup telah dijalani dan diakhirinya tanpa melakukan kebaikan yang lebih besar. Tapi kemudian, aku membayangkan bahwa secara fisik dia tidak akan bisa memberiku pertolongan pertama, dan aku akan harus mengungkapkan bahwa semuanya itu hanya pura-pura, lalu kami berdua akan merasa samasama terhina. Sulit sekali mempertahankan martabat ketika matahari terbit terlalu cemerlang di matamu yang hi-lang, dan itulah yang kupikirkan ketika kami sedang memburu orang-orang jahat di antara puing-puing kota yang tidak ada itu. Akhirnya, ayah Gus turun dan membawa Gus kembali ke atas. Dan, di ambang pintu masuk, di bawah Penyemangat yang mengatakan bahwa Teman adalah untuk Selamanya, aku berlutut dan memberi Gus ciuman selamat malam. Aku pulang dan menyantap makan malam bersama orangtuaku, membiarkan


Gus menyantap (dan memuntahkan) makan malamnya sendiri. Setelah menonton TV, aku pergi tidur. Aku terbangun. Sekitar tengah hari, aku pergi ke rumah Gus lagi.[]


Bab Tujuh Belas Suatu pagi, sebulan setelah pulang dari Amsterdam, aku menyetir ke rumah Gus. Orangtuanya mengatakan dia masih tidur di lantai bawah, jadi aku mengetuk pintu ruang bawah tanah keras-keras sebelum masuk, lalu bertanya, “Gus?” Aku mendapatinya sedang menggumam dalam bahasa ciptaannya sendiri. Dia mengompol di ranjang. Mengerikan. Sesungguhnya aku bahkan tidak sanggup melihatnya. Aku hanya berteriak memanggil orangtuanya. Mereka turun, sedangkan aku pergi ke lantai atas sementara mereka membersihkan Gus. Ketika aku turun lagi, Gus sedang tersadar perlahan-lahan dari narkotika untuk menyambut hari yang sangat menyakitkan. Aku mengatur bantalbantalnya sehingga kami bisa memainkan Kontra-Pemberontakan di atas kasur tanpa seprai, tapi dia begitu lelah dan melantur sehingga permainannya nyaris sama payahnya seperti permainanku, dan kami tidak bisa bermain selama lima menit tanpa terbunuh. Juga tidak ada kematian heroik yang gaya, tetapi hanya kematiankematian ceroboh. Aku bisa dibilang tidak mengucapkan sesuatu pun kepadanya. Kurasa aku ingin dia melupakan keberadaanku tadi di sana, dan aku berharap dia tidak ingat


kalau aku menemukan cowok yang kucintai sedang menceracau di dalam genangan lebar air kencingnya sendiri. Aku terus berharap dia akan memandangku dan berkata, “Oh, Hazel Grace. Bagaimana kau bisa ada di sini?” Tapi, sayangnya dia ingat. “Dengan berlalunya setiap menit, aku semakin menghargai kata malu,” katanya pada akhirnya. “Aku pernah mengompol, Gus, percayalah. Bukan masalah besar.” “Dulu,” katanya, lalu dia menghela napas tajam, “kau biasa memanggilku Augustus.” “Kau tahu,” katanya setelah beberapa saat, “ini kekanak-kanakan, tapi aku selalu membayangkan bahwa obituariumku akan terpampang di semua surat kabar, bahwa aku punya kisah yang patut diceritakan. Diamdiam aku selalu curiga kalau aku istimewa.” “Kau memang istimewa,” kataku. “Tapi, kau tahu maksudku,” katanya. Aku memang tahu apa yang dimaksudkannya. Aku hanya tidak setuju. “Aku tidak peduli apakah koran New York Times menulis obituarium untukku. Aku hanya ingin kau yang menulis obituarium untukku,” kataku. “Kau bilang kau tidak istimewa karena dunia tidak mengenalmu, tapi itu berarti penghinaan untukku. Aku mengenalmu.” “Kurasa aku tidak akan sempat menulis obituariummu,” katanya alih-alih meminta maaf. Aku begitu frustrasi dengannya. “Aku hanya ingin diriku cukup untukmu, tapi itu mustahil. Ini tidak akan pernah cukup untukmu. Tapi, hanya ini yang kau peroleh. Kau memilikiku, dan keluargamu, dan dunia ini. Inilah kehidupanmu. Maaf jika itu payah. Tapi, kau tidak akan menjadi orang pertama di Mars, dan kau tidak akan menjadi bintang NBA, dan kau tidak akan memburu Nazi. Maksudku, lihatlah dirimu, Gus.” Dia tidak menjawab. “Aku tidak bermaksud


—” kataku memulai. “Oh, memang itu maksudmu,” selanya. Aku mulai meminta maaf, dan dia berkata, “Tidak, aku minta maaf. Kau benar. Ayo, kita main saja.” Jadi, kami hanya bermain.[]


Bab Delapan Belas Aku dibangunkan oleh ponselku yang menyanyikan lagunya The Hectic Glow. Band favorit Gus. Artinya dia meneleponku—atau seseorang menelepon dari ponselnya. Aku melirik jam weker: pukul dua lewat tiga puluh lima pagi. Dia sudah tiada, pikirku ketika segala sesuatu di dalam tubuhku runtuh menjadi satu singularitas. Aku nyaris tidak mampu menyuarakan “Halo?” Aku menunggu suara hancur orangtuanya. “Hazel Grace,” ujar Augustus lemah. “Oh, syukurlah kau yang menelepon. Hai. Hai, aku mencintaimu.” “Hazel Grace, aku berada di pompa bensin. Ada sesuatu yang keliru. Kau harus menolongku.” “Apa? Kau di mana?” “Jalur cepat di Eighty-sixth and Ditch. Aku melakukan sesuatu yang keliru dengan selang-G-nya dan aku tidak bisa membetulkannya dan—” “Aku akan menelepon nomor darurat 911,” kataku. “Tidak tidak tidak tidak tidak, mereka akan membawaku ke rumah sakit. Hazel, dengarkan aku. Jangan menelepon 911 atau orangtuaku, aku tidak akan


pernah memaafkanmu, harap datang saja, harap datang saja dan betulkan selangG keparatku. Aku hanya, astaga, ini yang paling tolol. Aku tidak ingin orangtuaku tahu kalau aku pergi. Kumohon. Aku membawa obat; aku hanya tidak bisa memasukkannya. Kumohon.” Dia menangis. Aku belum pernah mendengarnya tersedusedu seperti itu, kecuali dari luar rumahnya sebelum kami berangkat ke Amsterdam. “Oke,” kataku. “Aku berangkat sekarang.” Kulepas BiPAP dan kuhubungkan diriku sendiri dengan tangki oksigen, kuletakkan tangki itu di atas kereta, lalu aku mengenakan sepatu karet untuk dipasangkan dengan celana piama katun merah jambuku dan Tshirt basket Butler yang asalnya milik Gus. Aku meraih kunci dari laci dapur tempat Mom menyimpannya, dan menulis pesan kalau-kalau mereka terbangun ketika aku sedang pergi. Pergi menengok Gus. Penting. Maaf. Love, H Ketika menyetir sejauh beberapa kilometer ke pompa bensin, aku cukup sadar untuk bertanya-tanya mengapa Gus meninggalkan rumah di tengah malam. Mungkin dia mengalami halusinasi atau khayalan mati syahid telah menguasainya. Aku ngebut di Ditch Road, melanggar lampu-lampu lalu lintas kuning yang berpendar-pendar, menyetir terlalu cepat, sebagian untuk mencapai Gus dan sebagian berharap polisi akan menghentikanku dan memberiku alasan untuk memberi tahu seseorang bahwa pacarku yang sekarat sedang terperangkap di luar pompa bensin dengan selang-G yang gagal berfungsi. Tapi, tidak ada polisi yang muncul dan membuat keputusan itu untukku. Hanya ada dua mobil di tempat parkir. Aku berhenti di sebelah mobil Augustus.


Aku membuka pintu mobilnya. Lampu di bagian dalamnya menyala. Augustus duduk di kursi pengemudi, dikotori oleh muntahannya sendiri, kedua tangannya menekan perut tempat selang-G-nya dimasukkan. “Hai,” gumamnya. “Astaga, Augustus, kau harus dibawa ke rumah sakit.” “Tolong lihat sajalah.” Baunya membuatku ingin muntah, tapi aku membungkuk untuk meneliti bagian atas pusarnya, tempat mereka memasang selang itu lewat pembedahan. Kulit perutnya hangat dan merah terang. “Gus, kurasa ada yang terinfeksi. Aku tidak bisa membetulkannya. Mengapa kau di sini? Mengapa kau tidak di rumah?” Dia muntah, bahkan tanpa punya energi untuk memalingkan mulut dari pangkuannya. “Oh, Sayang,” kataku. “Aku ingin membeli sebungkus rokok,” gumamnya. “Bungkus rokokku hilang. Atau mereka mengambilnya dariku. Aku tidak tahu. Mereka bilang akan membelikanku sebungkus rokok lagi, tapi aku ingin … melakukannya sendiri. Melakukan hal kecil sendirian.” Dia menatap lurus ke depan. Diam-diam aku mengeluarkan ponsel dan melirik ke bawah untuk menekan 911. “Maaf,” kataku. Sembilansatusatu, ada yang bisa dibantu? “Hai, aku berada di Jalur cepat di Eighty-sixth and Ditch, dan aku perlu ambulans. Cinta terbesar dalam hidupku mengalami kegagalan fungsi selang-G.” Augustus mendongak memandangku. Mengerikan. Aku nyaris tidak sanggup memandangnya. Augustus Waters dengan senyum miring dan rokok yang tidak dinyalakan itu sudah hilang, digantikan oleh makhluk putus asa dan malu yang duduk di bawahku ini. “Ini dia. Aku bahkan tidak bisa merokok lagi.” “Gus, aku mencintaimu.” “Di mana peluangku untuk menjadi Peter Van Houten-nya seseorang?” Dia memukul pelan kemudi, dan klakson meraung ketika dia menangis. Dia


menyandarkan kepala ke belakang, mendongak. “Aku membenci diriku sendiri aku membenci diriku sendiri aku benci ini aku benci ini aku menjijikkan diriku sendiri aku benci ini aku benci ini aku benci ini biarkan aku mati saja.” Menurut ketentuan genre ceritanya, Augustus Waters mempertahankan rasa humornya hingga akhir, sejenak pun tidak goyah dalam keberaniannya, dan semangatnya membubung seperti elang yang tak tertaklukkan, sampai dunia itu sendiri tidak bisa menampung jiwa periangnya. Tapi, inilah kenyataannya, bocah laki-laki menyedihkan yang mati-matian tidak ingin dikasihani, berteriak dan menangis, diracuni oleh selang-G terinfeksi yang menjaganya agar tetap hidup, tapi tidak cukup hidup. Aku mengusap dagu Gus dan meraih wajahnya dengan kedua tanganku, lalu berlutut di dekatnya sehingga bisa melihat matanya yang masih hidup. “Maaf. Aku berharap ini seperti di dalam film, dengan orang-orang Persia dan Sparta itu.” “Aku juga,” katanya. “Tapi, kenyataannya tidak,” kataku. “Aku tahu,” katanya. “Tidak ada orang-orang jahat.” “Ya.” “Bahkan kanker pun sesungguhnya bukan orang jahat. Kanker hanya ingin hidup.” “Ya.” “Kau baik-baik saja,” kataku. Aku bisa mendengar raungan sirene. “Oke,” katanya. Dia kehilangan kesadaran. “Gus, kau harus berjanji tidak pernah berupaya seperti ini lagi. Aku akan membelikanmu rokok, oke?” Dia memandangku. Matanya berenang-renang di dalam rongga matanya. “Kau harus berjanji.” Dia mengangguk lemah, lalu matanya terpejam, kepalanya berputar di lehernya. “Gus,” kataku. “Tetaplah bersamaku.” “Bacakan sesuatu,”katanya ketika ambulans keparat itu meraung persis melewati kami. Jadi, sementara menunggu mereka memutar dan menemukan kami, aku mendeklamasikan satu-satunya puisi yang bisa kuingat, “Gerobak-Dorong Merah” karya William Carlos Williams. begitu banyak yang bergantung pada gerobak-dorong merah berlapis air hujan


di samping ayam-ayam putih. Williams adalah seorang dokter. Bagiku tampaknya ini puisi seorang dokter. Puisinya sudah selesai, tapi ambulans itu belum juga berhenti, jadi aku meneruskannya. Dan begitu banyak yang bergantung, kataku kepada Augustus, pada langit biru yang dibuka oleh dahan-dahan pepohonan di atas. Begitu banyak yang bergantung pada selang-G transparan yang menyembul dari perut bocah laki-laki berbibir biru. Begitu banyak yang bergantung pada pengamat alam semesta ini. Dengan setengah sadar, Gus melirikku dan bergumam, “Dan kau bilang kau tidak menulis puisi.”[]


Bab Sembilan Belas Dia pulang dari rumah sakit beberapa hari kemudian, akhirnya semua ambisinya direnggut darinya untuk selama-lamanya. Perlu lebih banyak obat untuk menghindarkannya dari rasa sakit. Dia pindah ke lantai atas secara permanen, ke ranjang rumah sakit di dekat jendela ruang duduk. Ini adalah hari-hari piama dan wajah berjanggut, hari-hari gumaman dan permintaan, dan Gus terus-menerus berterima kasih kepada semua orang atas apa yang mereka lakukan untuknya. Suatu siang, dia menunjuk lemah ke arah keranjang cucian di pojok ruangan dan bertanya, “Apa itu?” “Keranjang cucian?” “Bukan, di sebelahnya.” “Aku tidak melihat sesuatu pun di sebelahnya.” “Itu adalah keping terakhir martabatku. Kecil sekali.”


Keesokan harinya aku masuk sendiri. Mereka tidak suka lagi jika aku membunyikan bel pintu, karena itu bisa membangunkan Gus. Kedua kakak perempuan Gus ada di sana bersama suami bankir mereka dan tiga anak kecil— semuanya laki-laki—yang berlarian menghampiriku dan berkata serempak siapa kau siapa kau siapa kau siapa kau, berlari berputar-putar di jalan masuk seperti kapasitas paru-paru dengan sumber daya yang bisa diperbarui. Aku sudah bertemu dengan kedua kakak perempuan Gus, tapi belum pernah bertemu dengan anak-anak atau suami mereka. “Aku Hazel,” kataku. “Gus punya pacar,” kata salah seorang anak. “Aku tahu Gus punya pacar,” kataku. “Pacarnya punya tetek,” kata anak yang lain. “Benarkah?” “Mengapa kau punya itu?” tanya anak pertama seraya menunjuk kereta oksigenku. “Ini membantuku bernapas,” jawabku. “Gus sudah bangun?” “Tidak, dia sedang tidur.” “Dia sekarat,” kata anak yang lain. “Dia sekarat,” kata anak yang ketiga menegaskan, mendadak serius. Sejenak muncul keheningan, dan aku bertanya-tanya apa yang harus kukatakan, tapi kemudian salah seorang anak menendang anak yang lain, dan mereka kembali berlomba lari, saling menindih satu sama lain hingga mencapai dapur. Aku berjalan menemui orangtua Gus di ruang duduk dan berjumpa dengan kedua kakak ipar Gus, Chris dan Dave. Sesungguhnya aku belum mengenal kedua kakak tiri Gus, tapi tetap saja mereka memelukku. Julie duduk di pinggir ranjang, bicara dengan Gus yang sedang tidur, suaranya sama persis dengan suara yang digunakan orang untuk memberi tahu seorang bayi bahwa dia menggemaskan. Dia mengatakan, “Oh,


Gussy Gussy, Gussy Gussy kecil kami.” Gussy kami? Mereka sudah membeli Gus? “Apa kabar, Augustus,” kataku, berupaya memberi contoh perilaku yang benar. “Gussy kami yang rupawan,” ujar Martha seraya mencondongkan tubuh ke arah Gus. Aku mulai bertanya-tanya apakah Gus benar-benar tidur atau hanya menekan keras-keras pompa obat penahan nyerinya untuk menghindari Serangan dari Kakak-Kakak Perempuan yang Bermaksud-Baik itu. Dia terbangun setelah beberapa saat, dan hal pertama yang diucapkannya adalah, “Hazel.” Dan harus kuakui bahwa ini cukup membuatku senang, seakan aku juga bagian dari keluarganya. “Keluar,” katanya pelan. “Bolehkah?” Kami pergi ke sana, ibunya mendorong kursi rodanya, sedangkan aku, kedua kakak tiri dan kakak ipar, serta ayah dan ketiga keponakannya mengikuti. Saat itu mendung, lembap, dan gerah ketika musim panas tiba. Gus mengenakan Tshirt biru laut lengan panjang dan celana olahraga tebal. Entah kenapa dia kedinginan sepanjang waktu. Dia ingin air, jadi ayahnya masuk dan mengambilkannya. Martha berupaya mengajak Gus bicara, berlutut di sebelahnya dan berkata, “Matamu selalu indah.” Gus mengangguk lemah. Salah seorang suami kakaknya meletakkan sebelah lengan di bahu Gus dan berkata, “Bagaimana rasanya udara segar?” Gus mengangkat bahu. “Kau mau obat?” tanya ibunya, yang ikut berlutut membentuk lingkaran di sekeliling Gus. Aku melangkah mundur, mengamati ketika para keponakan Gus menginjak-injak petak bunga dalam perjalanan menuju sepetak kecil rumput di pekarangan belakang. Mereka langsung menjalankan permainan yang melibatkan banting-membanting ke tanah. “Anak-anak!” teriak Julie pelan.


“Aku hanya bisa berharap,” ujar Julie seraya berpaling kembali kepada Gus, “mereka tumbuh menjadi pemuda-pemuda serius dan cerdas sepertimu.” Aku menahan dorongan untuk muntah keras-keras. “Gus tidak sepintar itu,” kataku kepada Julie. “Dia benar. Tapi, karena sebagian besar orang yang teramat sangat tampan biasanya tolol, jadinya aku melampaui pengharapan,” kata Gus. “Benar, yang terutama adalah keseksiannya,” kataku. “Bisa sedikit membutakan,” katanya. “Sesungguhnya itu memang membutakan teman kami, Isaac,” kataku. “Itutragedimengerikan.Tapi,bisakahakumenahan kerupawananku sendiri yang mematikan?” “Kau tidak bisa.” “Ini bebanku, wajah rupawan ini.” “Belum lagi tubuhmu.” “Sungguh, jangan membuatku mulai dengan tubuh seksiku. Kau tidak ingin melihatku telanjang, Dave. Melihatku telanjang benar-benar membuat Hazel kehabisan napas,” ujar Gus seraya mengangguk ke arah tangki oksigen. “Oke, cukup,” ujar ayah Gus, lalu mendadak dia merangkul dan mencium sisi kepalaku sambil berbisik, “Setiap hari aku bersyukur kepada Tuhan atas kehadiranmu, Nak.” Bagaimanapun, itu hari baik terakhir yang kujalani bersama Gus sampai Hari Baik Terakhir tiba.[]


Bab Dua Puluh Salah satu ketentuan yang tidak begitu omong kosong dari genre anak-anak penderita kanker adalah ketentuan mengenai Hari Baik Terakhir. Saat itu, penderita kanker mendapati dirinya mengalami beberapa jam yang tak terduga, ketika tampaknya kemunduran tak terelakkan itu mendadak berhenti, ketika sejenak rasa nyerinya menjadi tertanggungkan. Masalahnya tentu saja tidak ada cara untuk tahu apakah hari baik terakhirmu adalah Hari Baik Terakhirmu. Pada saat itu, ini hanyalah hari baik lain. Aku libur dari menengok Augustus karena aku sendiri merasa sedikit kurang sehat: tidak ada sesuatu yang spesifik, hanya lelah. Itu hari bermalas-malasan, dan ketika Augustus menelepon persis setelah pukul lima sore, aku sudah tersambung dengan BiPAP, yang kami pindahkan ke ruang duduk sehingga aku bisa menonton TV bersama Mom dan Dad. “Hai, Augustus,” kataku. Dia menjawabdengan suara yangtelah membuatku jatuh cinta kepadanya. “Selamat malam, Hazel Grace. Bisakah kau mencari jalan ke Jantung Harfiah Yesus sekitar pukul delapan malam?” “Em, ya?”


Click to View FlipBook Version