The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajar, 2024-05-27 22:26:23

Jurnal RTH

Jurnal RTH

144 Jurnal Produksi Tanaman Vol. 12 No. 3, Maret 2024: 144 – 149 ISSN: 2527-8452 http://dx.doi.org/10.21776/ub.protan.2024.012.03.01 Analisis Tingkat Kenyamanan Ruang Terbuka Hijau Di Hutan Kota Gelora Bung Karno Analysis Of The Comfort Level Of Green Open Spaces In Gelora Bung Karno Urban Forest Jenni Adenia Rumamby*), Sisca Fajriani, dan Ariffin Departmen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur Email : [email protected] ABSTRAK Kota DKI Jakarta merupakan salah satu kota yang terkenal akan kepadatan penduduk. Populasi penduduk padat mengakibatkan kebutuhan dari infrastruktur kian meningkat. Infrastruktur yang meningkat berdampak pada kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota. Tujuan pembangunan ruang terbuka hijau untuk infrastruktur hijau di wilayah perkotaan, sehingga akan meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan agar menjadi lebih nyaman dan berkelanjutan. Salah satu RTH yang berada di area perkotaan yaitu hutan kota. Tujuan penelitian untuk mempelajari dan menganalisis tingkat kenyamanan RTH di hutan kota GBK Jakarta. Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu kuesioner dan beberapa alat yang digunakan dalam penelitian yaitu alat tulis, kamera digital, Thermohygrometer HTC-2, lux meter UNI-T UT383. Penelitian dilaksanakan di Hutan Kota Gelora Bung Karno Jakarta. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2023. Penelitian ini dilakukan di dalam area hutan kota dan di luar area hutan kota dengan parameter yang diamati yaitu suhu udara, kelembapan udara, intensitas radiasi matahari, dan vegetasi. Data hasil pengamatan akan di analisis menggunakan metode Thermal Humidity Index (THI) untuk mengetahui tingkat kenyamanan di hutan kota dan dilakukan uji T untuk mengetahui hasil dari perbandingan parameter di dalam hutan kota dengan di luar hutan kota. Hasil penelitian menunjukkan hutan kota Gelora Bung Karno belum nyaman. Pada area dalam hutan kota memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan area luar hutan kota, namun area dalam hutan kota masih belum mencapai tingkat kenyamanan yang nyaman untuk standar manusia. Kata Kunci: Hutan Kota, Perkotaan, RTH Publik, Ruang Terbuka Hijau ABSTRACT The city of DKI Jakarta is one of the cities which is famous for its population density. The dense population causes the need for infrastructure to increase. Improved infrastructure has an impact on the lack of Green Open Space (RTH) in the city. The aim of developing green open spaces is for green infrastructure in urban area, so that it will improve the quality of the urban living environment to make it more comfortable and sustainable. The aim of this research is to analyze the comfort level of green open space in the urban forest of GBK Jakarta. The materials used in the study were questionnaires and for tools were stationery, camera, Thermohygrometer HTC-2, lux meter UNI-T UT383. The research was conducted in Gelora Bung Karno City Forest, Jakarta. The research was conducted in March 2023. This research was conducted inside and outside the urban forest area with the parameters observed namely air temperature, air humidity, solar radiation intensity, and vegetation. Observational data will be analyzed using the Thermal Humidity


145 Rumamby, dkk,Analisis Tingkat Kenyamanan... Index (THI) method to determine the comfort level in urban forests and a T-test is carried out to determine the results of parameter comparisons inside and outside urban forests. The results showed that Gelora Bung Karno's urban forest was not yet comfortable. The area inside the urban forest gives better results compared to the area outside the urban forest, but the area within the urban forest still does not reach a comfortable level of comfort for human standards. Keywords: Green Open Space, Public Green Open Space, Urban, Urban Forest. PENDAHULUAN Kota DKI Jakarta merupakan salah satu kota yang terkenal akan kepadatan penduduk. Data BPS (2022) terkait jumlah penduduk di Provinsi DKI Jakarta, khususnya di Kota Jakarta Pusat sebanyak 2.367.115 orang terhitung dari tahun 2019- 2021. Populasi penduduk yang padat mengakibatkan kebutuhan akan infrastruktur kian meningkat. Infrastruktur yang meningkat berdampak pada kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota. Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 60 Tahun 2020 mengatur luas RTH sebesar minimal 30% dari keseluruhan kawasan. Heru (2022) menyampaikan bahwa saat ini ketersediaan RTH di Kota Jakarta baru mencapai 9%, sehingga Pemprov DKI berharap perluasan RTH dapat dilakukan ke kawasan Jabodetabek. Ruang terbuka hijau merupakan tempat tumbuh tanaman, baik yang dibudidayakan maupun secara alami. Ruang terbuka hijau dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu publik dan pribadi. Jenis RTH publik yaitu taman kota, hutan kota, dan jalur hijau jalan. Ruang terbuka hijau privat contohnya yaitu kebun, halaman rumah, halaman gedung atau pekantoran yang ditanami tanaman. Salah satu RTH yang berada di area perkotaan yaitu hutan kota. Hutan kota merupakan ruang terbuka hijau yang terdapat pepohonan dan tanaman lain yang tumbuh di sekitar permukiman. Hutan kota umumnya terletak di kawasan perkotaan, sehingga mudah diakses oleh penduduk sekitar kota (Epi dan Ismayadi, 2013). Salah satu tujuan dibuat hutan kota yaitu untuk memberikan kenyamanan penduduk yang datang ke hutan kota. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kenyamanan yaitu kondisi dari iklim mikro dari hutan kota. Menurut Dewi & Agustina (2018) tujuan pembangunan RTH publik untuk infrastruktur hijau di wilayah perkotaan, sehingga akan meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan agar menjadi lebih nyaman dan berkelanjutan. Keberadaan hutan kota pada kawasan perkotaan penting sebagai fungsi tercipta kenyamanan dan pengendali iklim mikro di wilayah perkotaan. Penelitian yang akan dilakukan di hutan kota Gelora Bung Karno (GBK) dengan bentuk RTH publik yaitu hutan kota di Jakarta dilakukan untuk mengetahui kategori RTH nyaman atau tidak nyaman, diamati dari aspek zona kenyamanan antara lain yaitu iklim mikro dan vegetasi serta melakukan pengamatan di luar hutan kota sebagai data pembanding. Penggunaan kuesioner dalam penelitian diperlukan untuk mengetahui beberapa poin faktor pengaruh kenyamanan dari aspek kondisi lingkungan mikro yang terbentuk, antara lain suhu, kelembapan, intensitas radiasi matahari dan vegetasi. Metode yang digunakan untuk mengetahui tingkat dari kenyamanan RTH yaitu dengan menggunakan metode Thermal Humidity Index (THI). BAHAN DAN METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di hutan kota Gelora Bung Karno Jakarta. penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2023. Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain: alat tulis, kamera digital, Thermohygrometer HTC-2, lux meter UNI-T UT383, Sedangkan bahan yang digunakan yaitu kuesioner. Metode yang digunakan pada penelitian adalah metode Thermal Humidity index (THI) untuk mengetahui tingkat kenyamanan suatu daerah. Parameter


146 Jurnal Produksi Tanaman, Volume 12, Nomor 03, Maret 2024, hlm. 144 – 149 pengamatan yang diukur yaitu suhu udara, kelembapan udara, intensitas radiasi matahari, dan vegetasi. Data hasil pengamatan kemudian akan dianalisis menggunakan uji T untuk mengetahui berbanding nyata atau tidak berbanding nyata dan perbandingan tingkat kenyamanan di dalam hutan kota dan diluar hutan kota. HASIL DAN PEMBAHASAN Ruang Terbuka Hijau mempunyai tujuan yaitu memberikan kenyamanan untuk para pengunjung, sehingga tingkat kenyamanan pada suatu RTH perlu diperhatikan agar sudah sesuai dengan fungsi dan tujuan keberadaan RTH. Tingkat kenyamanan berupa suhu, kelembapan, intensitas radiasi matahari, dan vegetasi di kawasan RTH. Suhu untuk daerah tropis seperti Indonesia umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan negara sub-tropis. Suhu termasuk dalam salah satu faktor yang memberikan pengaruh kenyamanan untuk suatu kawasan. Hasil penelitian pada pengamatan suhu dan kelembapan di RTH hutan kota GBK Jakarta menunjukkan adanya perbedaan suhu dan kelembapan di tiap titik pengamatan. Menurut Susianti et al. (2020) suhu dan kelembapan di luar RTH akan berbeda dengan di dalam RTH, pada area luar RTH suhu akan lebih tinggi dan kelembapan akan lebih rendah dibandingkan dengan area dalam RTH. Pembahasan tersebut sudah sesuai dengan hasil data yang didapatkan. Suhu di dalam RTH lebih rendah dibandingkan dengan suhu luar RTH dan hasil data kelembapan di dalam RTH lebih tinggi dibandingkan dengan kelembapan luar RTH. Tabel 1. Data Rata-Rata Suhu Udara di Hutan Kota GBK. Lokasi Zona Suhu (oC) Min Maks Rata-rata suhu harian Dalam RTH 1 24,25 34,20 29,22 2 23,81 33,52 28,66 3 24,06 34,42** 29,24 4 23,44* 32,85 28,14 Luar RTH 1 25,20 37,03 31,11 Keterangan : *) merupakan suhu rata-rata terendah dan **) merupakan suhu rata-rata tertinggi Rata-rata suhu di dalam RTH lebih rendah sekitar 2,970C daripada suhu diluar RTH. Rata-rata kelembapan di dalam RTH lebih tinggi sekitar 17,48% daripada kelembapan diluar RTH hutan kota GBK Jakarta. Data suhu yang dihasilkan akan berbanding terbalik dengan kelembapan, jika suhu rendah maka kelembapan akan tinggi dan sebaliknya jika suhu tinggi maka kelembapan akan rendah. Data rata-rata suhu yang dihasilkan berkisar 28-290C dan data rata-rata kelembapan yang dihasilkan berkisar 73-75%, Sedangkan menurut Hamidy et al. (2021) suhu yang menjadi zona kenyamanan manusia adalah saat suhu udara 21o – 27oC dan kelembapan berkisar antara 20-70%. Maka dapat diketahui bahwa suhu dan kelembapan di dalam RTH hutan kota GBK Jakarta tidak nyaman. Hasil perhitungan uji T menghasilkan nilai berbeda nyata, sehingga keberadaan hutan kota GBK mempengaruhi iklim mikro di kawasan RTH. Namun jika dibandingkan dengan iklim mikro yang layak untuk masyarakat, hutan kota GBK belum dapat memenuhi tingkat kenyamanannya. Faktor data suhu yang dihasilkan di dalam RTH lebih rendah dapat disebabkan oleh vegetasi yang berada di area hutan kota GBK. Vegetasi dapat menerima energi radiasi cahaya oleh matahari, sehingga menyebabkan suhu yang dihasilkan rendah. Menurut Prasetya (2012), vegetasi dapat


147 Rumamby, dkk,Analisis Tingkat Kenyamanan... menyerap karbondioksida yang berada di udara baik dari aktivitas masyarakat maupun kendaraan, sehingga vegetasi dapat mempertahankan suhu agar tetap rendah dan kelembapan akan meningkat. Vegetasi khususnya pepohonan berperan sebagai peneduh yang mempengaruhi suhu dan kelembapan pada RTH hutan kota GBK Jakarta. Nilai THI yang dihasilkan yaitu sebesar 27,36% termasuk dalam kategori tidak nyaman. Nilai THI dihitung dengan menggunakan data suhu dan kelembapan. Selain suhu dan kelembapan, faktor perkembangan urbanisasi dapat meningkatkan nilai THI. Peningkatan nilai THI dapat disebabkan oleh perkembangan urbanisasi yang tinggi pada wilayah perkotaan menjadi perkantoran atau layanan komersial (Fatkhuroyan, 2017). Hutan kota GBK Jakarta berada di wilayah yang cukup strategis, sehingga di wilayah hutan kota GBK dikelilingi perkantoran, pusat perbelanjaan, dan pemerintahan. Tabel 2. Nilai THI (Thermal Humidity Index) Nilai THI (Thermal Humidity Index) Keterangan Standart THI 27,36 Tidak Nyaman Nyaman (20-24) Sedang (24-26) Tidak Nyaman (>26) Keterangan: Nilai THI menggunakan data rata-rata suhu dan kelembapan interval 2 minggu. Intensitas radiasi matahari dapat berpengaruh pada tingkat kenyamanan. Data rata-rata yang didapatkan untuk intensitas radiasi matahari di dalam RTH hutan kota GBK Jakarta yaitu sebesar 642,87 w/m2 , Sedangkan untuk data ratarata intensitas radiasi matahari diluar RTH hutan kota GBK Jakarta yaitu sebesar 780,63w/m2 . Menurut Sridjono et al.(2011) hasil intensitas radiasi matahari yang berbeda dapat disebabkan oleh perbedaan jenis vegetasi dan jumlah vegetasi yang berada di kawasan tersebut. Unsur iklim seperti suhu dan kelembapan akan terpengaruh oleh intensitas cahaya matahari. Suhu udara yang tinggi dan kelembapan yang rendah dapat disebabkan oleh intensitas radiasi matahari yang tinggi. Suhu udara yang meningkat atau menurun akan menyebabkan kenyamanan yang dirasakan semakin menurun dikarenakan terlalu dingin atau panas (Hidayat, 2010). Persepsi masyarakat merupakan parameter yang penting untuk mengetahui tingkat kenyamanan pengguna RTH hutan kota GBK Jakarta sudah merasa nyaman atau ada yang perlu dibenahi. Pengunjung menganggap suhu yang dirasakan saat berada di RTH kurang nyaman dan cahaya matahari terlalu mengganggu aktivitas seperti piknik ataupun olahraga di area RTH. Dominan pengunjung RTH hutan kota GBK Jakarta melalui kuesioner yang telah disebarkan memberi saran agar area RTH hutan kota GBK Jakarta di perbanyak jumlah vegetasinya. Vegetasi yang diutamakan yaitu pepohonan yang dapat berfungsi sebagai peneduh. Menurut Setyowati (2008), keberadaan pohon dapat menurunkan intensitas cahaya matahari dan menaikan kelembapan udara. Hasil penelitian menunjukan ketidaknyamanan yang dirasakan untuk pengunjung disebabkan oleh 2 faktor yaitu tingginya intensitas radiasi matahari dan jumlah vegetasi yang sedikit. Intensitas radiasi matahari yang tinggi dapat disebabkan karena negara Indonesia berada di daerah khatulistiwa. Menurut Tjasyono (2004), suhu udara yang tinggi bersifat merata pada seluruh permukaan bumi terutama pada daerah khatulistiwa dan sekitarnya. Ruang Terbuka Hijau hutan kota GBK Jakarta terletak di perkotaan yang menyebabkan aktivitas sekitar yang terjadi di dalam kota lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah non kota seperti aktivitas industri, emisi dari kendaraan dan aktivitas padat lainnya.


148 Jurnal Produksi Tanaman, Volume 12, Nomor 03, Maret 2024, hlm. 144 – 149 Faktor selanjutnya yaitu vegetasi yang terdapat di RTH. Jumlah total vegetasi yang berada di dalam RTH hutan kota masih sangat sedikit dari jumlah maupun variasi, sehingga persepsi masyarakat mengenai memberi saran untuk memperbanyak jumlah dan jenis vegetasi di area RTH sangat diperlukan agar area dalam RTH hutan kota GBK Jakarta terasa lebih nyaman untuk para pengunjung. Menurut hasil penelitian Daniel P P Mbarep et al.(2021) RTH Kalijodo mempunyai vegetasi sebesar 48%, sedangkan vegetasi yang ideal untuk RTH yaitu 80-90%. RTH Kalijodo dikategorikan tidak nyaman dan tidak berfungsi sesuai dengan tujuan RTH. Oleh karena itu, RTH Kalijodo perlu dilakukan penambahan vegetasi. KESIMPULAN Tingkat kenyamanan pada ruang terbuka hijau hutan kota GBK Jakarta termasuk kategori tidak nyaman. Faktor yang menyebabkan RTH tidak nyaman yaitu terukur suhu rata-rata harian sebesar 28,82oC, kelembapan rata-rata harian sebesar 74,26%, dan nilai THI (Thermal Humidity Index) terkategori rendah sebesar 27,36. Nilai THI yang rendah disebabkan oleh jumlah dan kerapatan vegetasi yang rendah. Hasil kuesioner persepsi masyarakat menunjukan bahwa parameter tingkat kenyamanan dikategorikan tidak nyaman dengan nilai rata-rata 53,30%. DAFTAR PUSTAKA Alifia, N., dan Y. Purnomo. 2016. Identifikasi Letak dan Jenis Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Permukiman Perkotaan. Langkau Betang: Jurnal Arsitektur. 3(2). 25-35. Annisa, N., A. Kurnain, E. R. Indrayatie dan S. B. Peran. 2015. Iklim Mikro dan Indeks Ketidaknyamanan Taman Kota di Kelurahan Komet Kota Banjarbaru. EnviroScienteae. 11(3) : 143-151. Dewi, Y. C., dan I. F. Agustina. 2018. Implementasi Kebijakan Penataan Ruang Terbuka Hijau Publik di Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Kebijakan Dan Manajemen Publik. 6(2) : 129-135. Imansari, N., dan P. Khadiyanta. 2015. Penyediaan Hutan Kota dan Taman Kota Sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik Menurut Preferensi Masyarakat di Kawasan Pusat Kota Tangerang. Jurnal Ruang. 1(3) : 101- 110. Mbarep, D. P. P., H. S. Hasibuan dan S. S. Moersidik. 2021. The Green Open Space Functions As A Water Catchment Area and A Source Of Thermal Comfort. The 1st Journal of Environmental Science and Sustainable Development Symposium.9. Setyono, B., dan E. Prianto. 2016. Kenyamanan Termal Taman Srigunting. Kajian Sensasi Kenyamanan Termal dan Konsumsi Energi. 17(2) : 3-4. Safe'i, R., C. Andayaningsih dan H. Kaskoyo. 2019. Penilaian Kesehatan Hutan Pada Berbagai Tipe Hutan di Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 7(1) : 95-109. Setyowati, D. L. 2008. Iklim mikro dan kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 15(3) : 125-140. Wahyudi, A., A. Yamani dan S. Rudy. 2021. Analisis Dominasi dan Keterhidupan Minimum Vegetasi Penyusun Hutan Mangrove Di Desa Kuala Tambangan Kecamatan Takisung Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Jurnal Sylva Scienteae. 4 (6). Yuliriyanto, R. M., T. S. Hadi dan H. Widyasamratri. 2021. Identifikasi Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Kota Kudus. Sinektika: Jurnal Arsitektur. 18(1): 53-57.


149 Rumamby, dkk,Analisis Tingkat Kenyamanan... Yuningsih, L., D. Lensari dan N. Milantara. 2018. Perhitungan Simpanan Karbon Atas Permukaan di Hutan Lindung KPHP Meranti untuk Mendukung Program Redd+. Jurnal Silva Tropika. 2(3) : 77-83.


Jurnal Ilmiah Respati e-ISSN : 2622-9471 Vol. 12, No. 1 Juni 2021 p-ISSN : 1411-7126 http://ejournal.urindo.ac.id/index.php/pertanian Article History : Sumbitted 11 Juni 2021, Accepted 30 Juni2021, Published 30 Juni2021 66 Partisipasi Pengelola Gang Hijau dalam Mendukung Program Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Suryani1 , Pudji Muljono2 , Djoko Susanto2 , dan Sri Harijati3 1 Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Respati Indonesia 2Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB 3Departemen Agribisnis Fakultas MIPA Universitas Terbuka Email:[email protected] Abstrak Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sangat dibutuhkan masyarakat Jakarta. Menurunnya kualitas dan kuantitas RTH di wilayah perkotaan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, peningkatan pencemaran udara, dan penurunan produktivitas masyarakat akibat terbatasnya ruang yang tersedia untuk interaksi sosial. Partisipasi masyarakat dalam penyediaan RTH sangat penting. Salah satu wujud RTH di Jakarta adalah adannya gang hijau. Penelitian bertujuan untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan gang hijau untuk mendukung program RTH. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan di Provinsi DKI Jakarta, dengan waktu pengambilan data pada bulan Desember 2019 sampai dengan Februari 2020. Kecamatan dan Kelurahan dalam penelitian ini dipilih secara sengaja dengan kriteria wilayah tersebut melakukan usahatani pada gang hijau. Populasi penelitian sejumlah 2.236 responden, jumlah sampel ditentukan secara proporsional didapatkan 340 responden. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner, observasi, dan wawancara, serta studi dokumen. Analisis data menggunakan uji statistik deskriptif dan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 24 dan analisis statistik inferensial menggunakan program Partial Least Square (PLS) 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi pengelola gang hijau di Jakarta dalam tahap perencanaan pada kategori rendah, kemudian pada tahap pelaksanaan, memanfaatkan hasil dan evaluasi berada pada kategori sedang. Kata Kunci: partisipasi pengelola, gang hijau, ruang terbuka hijau PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan kota akan mengakibatkan berkurangnya tingkat daya dukung lahan, sehingga menurunkan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat [1. Pembangunan wilayah perkotaan yang tidak melalui perencanaan, peningkatan sosial ekonomi perkotaan diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk, meluasnya penggunaan lahan untuk pemukiman dan ekonomi dari perkotaan hingga ke pinggiran kota, mengakibatkan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan lahan produktif pertanian di kota-kota besar Indonesia [2]. Kota-kota besar di Indonesia seperti Bandung, Yogyakarta dan Jakarta kuantitas dan kualitas RTH mengalami penurunan signifikan serta belum memenuhi proporsi RTH [3]. Amanat Undang-undang No. 26/2007 tentang Tata ruang proporsi minimal RTH sebesar 30 persen yang terdiri dari 20 persen RTH publik dan 10 persen RTH privat. Menurunnya RTH di wilayah perkotaan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, peningkatan pencemaran udara, dan penurunan produktivitas masyarakat akibat terbatasnya ruang yang tersedia untuk interaksi sosial [4]. Daerah Khusus Ibukota Jakarta menjadi salah satu kota di Indonesia yang belum mencapai standar minimal proporsi RTH, sampai tahun 2019 ketersediaan RTH baru mencapai 14,9 persen dan terjadi penurunan luasan RTH sebesar 0,53 persen pada kurun waktu 2011 sampai dengan 2018 [5]. Keberadaan RTH sangat dibutuhkan masyarakat Jakarta untuk berolahraga, berinteraksi, meminimalkan terjadinya banjir, mengurangi polusi udara dan sumber bahan sayuran sehat


dan segar. Salah satu wujud ketersediaan RTH di Jakarta adalah gang hijau. Gang hijau adalah sebuah gang atau jalur jalan kecil yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman hortikultura yang diatur sedemikian rupa membentuk satu kesatuan manfaat dan estetika dalam suatu area pemukiman dan lahan sempit perkotaan [6]. Minimnya RTH di Jakarta mengganggu aspek ekonomi dan aspek sosial di masyarakat [7]. Ketersediaan RTH di Jakarta belum memenuhi standar yang di tetapkan oleh Undang-undang No. 26/2007 diduga terkait partisipasi masyarakat sebagai pengelola gang hijau yang masih rendah dalam memanfaatkan lahan pada gang-gang dipemukiman untuk ketersediaan RTH di Jakarta [8]. Partisipasi masyarakat dalam dalam pengelolaan gang hijau merupakan kunci bagi keberhasilan program RTH. Partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional individu dalam situasi kelompok yang mendorong untuk berkontribusi dalam usaha mencapai tujuan kelompok dan saling berbagi tanggung jawab pada setiap anggotanya [9]. Supaya masyarakat termotivasi untuk berpatisipasi perlu diperhatikan beberapa persyaratan antara lain; (1) masyarakat akan termotivasi berpartisipasi apabila kegiatan yang ditawarkan dianggap penting oleh mereka, (2) kegiatan yang ditawarkan dirasakan oleh masyarakat akan memberikan perbedaan yang nyata bagi kehidupannya, (3) partisipasi dari masyarakat harus dihargai dan diberi penghargaan yang tinggi, (4) adannya peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, dan (5) struktur dan proses kegiatan bukan merupakan sesuatu yang asing bagi masyarakat [10]. Empat tahapan partisipasi, yaitu : ( 1) partisipasi dalam perencanaan pembangunan yang termasuk di dalamnya pembuatan keputusan, ikut menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi, tanggapan atau penolakan terhadap program yang ditawarkan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan yang meliputi menggerakan sumber daya dana, kegiatan administrasi, koordinasi dan penjabaran program, (3) partisipasi dalam memanfaatkan hasil yang mencakup partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, dan (4) partisipasi dalam evaluasi partisipasi dalam melakukan penilaian terhadap pembangunan. Apabila partisipasi tidak melibatkan semua tahapan tersebut, maka dikatakan bahwa partisipasi hanya bersifat parsial, oleh karena itu partisipasi yang sesungguhnya harus terdiri keempat tahapan tersebut. Partisipasi evaluasi bertujuan untuk mengetahui ketercapaian program yang sudah direncanakan sebelumnya. Tahap evaluasi penting karena dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukkan demi perbaikan pelaksanaan program dan kegiatan selanjutnya [11]. Beberapa kendala terkait ketersediaan RTH dapat diatasi dengan upaya peningkatan partisipasi pengelola gang hijau. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah menemukan tingkat partisipasi pengelola gang hijau. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan di Provinsi DKI Jakarta, dengan waktu pengambilan data pada bulan Desember 2019 sampai dengan Februari 2020. Kecamatan dan Kelurahan dalam penelitian ini dipilih secara sengaja dengan kriteria wilayah tersebut melakukan usahatani pada gang hijau. Populasi penelitian sejumlah 2.236 responden, jumlah sampel ditentukan secara proporsional didapatkan 340 responden. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi. Sedangkan data sekunder dari hasil-hasil penelitian terdahulu, kajian pustaka yang relevan serta data yang dimiliki lembaga dan instansi terkait antara lain: Dinas Ketahanan Pangan, Kehutanan dan Pertanian (KPKP), Programa BPP dan penyuluh yang bertugas di wilayah lokasi penelitian. Analisis data menggunakan uji statistik deskriptif dan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 24 dan analisis statistik inferensial menggunakan program Partial Least Square (PLS) 3. Pengujian hipotesis satu arah dilakukan pada tingkat signifikansi dari nilai koefisien path yang ditunjukkan oleh nilai t-statistik harus di atas 1,96 untuk alpha 5 persen. HASIL DAN PEMBAHASAN Partisipasi merupakan bentuk keterlibatan langsung pengelola gang hijau


68 dalam kegiatan pengelolaan gang hijau untuk mendukung program RTH. Partisipasi yang diamati dalam penelitian ini mencakup partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam menikmati hasil dan partisipasi dalam evaluasi. Deskripsi lengkap mengenai partisipasi pengelola gang hijau dalam mendukung program RTH di Jakarta disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Tingkat Partisipasi Pengelola Gang Hijau Tingkat Partisipasi Kategori Jumlah Orang Persen Partisipasi dalam Perencanaan Sangat rendah (Skor 5-8) 45 13,2 Rendah (Skor 9-12) 129 37,9 Sedang (Skor 13-16) 69 20,3 Tinggi (Skor 17-20) 1 0,3 Partisipasi dalam Pelaksanaan Sangat rendah (Skor 7-12) 1 0,3 Rendah (Skor 13-17) 40 11,8 Sedang (Skor 18-22) 217 63,8 Tinggi (Skor 23-28) 82 24,1 Partisipasi dalam Memanfaatkan Hasil Sangat rendah (Skor 5-8) 3 0,9 Rendah (Skor 9-12) 26 7,6 Sedang (Skor 13-16) 159 46,8 Tinggi (Skor 17-20) 152 44,7 Partisipasi dalam Evaluasi Sangat Rendah Skor 3-6) 7 2,1 Rendah (Skor 7-8) 77 22,6 Sedang (Skor 8-9) 140 41,2 Tinggi (Skor 10-12) 116 34,1 Keterangan: n = 340 Partisipasi Pengelola Gang Hijau dalam Perencanaan Perencanaan kegiatan pengelolaan RTH merupakan salah satu proses dalam pembangunan [5]. Partisipasi dalam perencanaan mencakup dalamnya pembuatan keputusan, ikut menyumbangkan gagasan atau pemikiran, kehadiran dalam rapat, diskusi, tanggapan atau penolakan terhadap program yang ditawarkan. Tingkat perencanaan pengelola gang hijau berada pada kategori rendah yaitu 37,9 persen. Hasil penelitian menunjukkan pengelola gang hijau kurang terlibat dalam penyusunan program, intensitas kehadiran dalam rapat rendah, sehingga setiap program yang di sosialisasikan kurang mereka pahami. Kemudian pengelola gang hijau yang hadir kurang aktif dalam memberikan gagasan untuk pengembangan gang hijau. Pada tahap perencanaan, setiap anggota KWT selalu hadir ketika ada rapat dengan penyuluh. Namun, kontribusi anggota dalam bertanya, memberikan pendapat dan mengambil keputusan pada rapat tersebut masih kurang [12]. Adannya kecenderungan yang selalu aktif bertanya dan menyampaikan ide adalah pengurus KWT. Tidak terpenuhinya ketersediaan RTH di Jakarta sesuai ketentuan undang-undang karena kesadaran masyarakat tentang fungsi dan manfaat RTH masih kurang. Berdasarkan wawancara mendalam, diperoleh informasi bahwa pengelola gang hijau yang aktif merupakan masyarakat yang memang mempunyai hobby menanam, sedangkan yang lainnya hanya ikut-ikutan namun tidak konsisten [13]. Kesadaran masyarakat kelurahan Duren Jaya akan pentingnya menjaga RTH masih sangat kurang, akibat masih minimnya kepedulian masyarakat terhadap RTH dan ketidaktahuan mereka akan fungsi dan manfaat RTH. Hal ini dibuktikan masih banyak terdapat sampah disekitar area RTH di pemukiman, walaupun sudah diberi peringatan oleh Pemda, namun masyarakat masih banyak yang membuang sampah sembarangan [14].


Rendahnya partisipasi petani karena hutan rakyat belum dianggap sebagai kegiatan yang penting oleh petani karena tidak merubah hidup keluarganya tidak ada dukungan dari para pihak [15]. Partisipasi dalam Pelaksanaan Partisipasi dalam pelaksanaan merupakan aktivitas pengelola gang hijau dalam mengelola gang hijau untuk RTH yang mencakup pengadaan benih tanaman tanaman, pembuatan bibit, penanaman, penyiraman, pemupukan, pengendalian hama penyakit, panen dan pengolahan pasca panen. Tingkat partisipasi dalam pelaksanaan pengelola gang hijau berada pada kategori sedang atau 63,8 persen. Maknanya, pengelola gang hijau sudah yang terlibat saat pembuatan bibit, penanaman menggunakan hidroponik, mengikuti saat panen dan pengolahan pasca panen.Pengelola gang hijau juga beranggapan bahwa kegiatan budidaya tanaman bukan merupakan sesuatu yang asing bagi mereka. Namun dalam pelaksanaanya tidak semua terlibat dalam penyiraman tanaman, pemupukan dan pengendalian OPT. Sehingga kegiatan tersebut dilakukan oleh pengurus kelompok atau tokoh masyarakat inisiator gang hijau saja yang rutin melakukan penyiraman tanaman pagi dan sore. Berdasarkan wawancara mendalam,diperoleh informasi, bahwa mereka tidak terlibat dalam kegiatan tersebut dengan alasan sibuk urusan pribadi, sehingga tidak sempat membantu menyiram tanaman. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada pengelola gang hijau yang kesadaran dan tanggung jawabnya rendah. Pada tahap pelaksanaan, seluruh anggota KWT memang melakukan kegiatan pertanian perkotaan, namun tidak semua anggota terlibat dalam kegiatan memberikan nutrisi pada tanaman. Mereka berpendapat seharusnya orang yang melakukan pemberian nutrisi adalah yang paling paham ukuran nutrisi untuk tanaman hidroponik [12]. Dengan melibatkan masyarakat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Pemerintah Daerah DKI perlu melakukan sosialisasi pengembangan RTH yang dapat dilakukan di Jakarta melalui instansi pemerintah daerah yang secara resmi ditunjuk dan erat kaitannya dengan penghijauan kota, mulai dari tingkat kota, camat, lurah, hingga RW/RT lingkungan tempat tinggal [14]. Partisipasi dalam Memanfaatkan Hasil Partisipasi pengelola gang hijau dalam memanfaatkan hasil adalah keterlibatan pengelola gang hijau dalam memanfaatkan gang hijau baik untuk tujuan komersial maupun untuk kebutuhan sendiri. Partisipasi dalam memanfaatkan hasil mencakup untuk variasi menu masakan keluarga, menjual hasil tanaman hias, tanaman sayuran dan tanaman obat keluarga. Tingkat partisipasi dalam pemanfataan hasil pengelola gang hijau berada pada kategori sedang yaitu 46,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah merasakan manfaat adannya gamg hijau dalam mendukung RTH. Pada umumnya pengelola gang hijau merasa mempunyai tanggung jawab untuk ikut menjaga lingkungan. Pemanfaatan hasil tanaman sayuran, tanaman obat keluarga dan tanaman hias sudah dirasakan oleh pengelola gang hijau, sehingga bisa menghemat pengeluaran keluarga dan dapat dialihkan untuk membeli kebutuhan hidup yang lain. Kenyataan ini menunjukan bahwa pengelola gang hijau teryakini akan manfaat tanaman sehat yang di tanam sendiri dilahan. Berdasarkan wawancara mendalam, diperoleh informasi bahwa masyarakat yang memang senang bertani dan merasakan manfaat dari kegiatan pertanian di gang hijau. Sementara itu, masyarakat yang kontra menganggap pot-pot yang disusun secara vertikal dan diletakkan di gang yang sempit mengganggu aksesibilitas menuju rumah mereka. Oleh karena itu, perlu dilakukan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya melakukan penanaman pada gang hijau, karena banyak manfaat yang diperoleh masyarakat, selain ekonomi dan estetika lingkungan, juga mendapatkan kenyamanan dalam menghirup udara segar. Jenis tanaman yang ditanam di setiap lokasi gang hijau ada yang sama dan ada juga yang berbeda. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merekomendasikan masyarakat menananm tanaman hortikulturta sesuai keunggulan wilayah masing-masing. Pada tahap menikmati hasil, petani merasakan adanya tanaman hidroponik berupa lingkungan yang sehat dan indah. Kemudian, petani memperoleh keuntungan ekonomi dari adanya penjualan hasil panen hidroponik [12]. Penemuan tersebut diperkuat dengan penemuan bahwa walaupun kontribusinya kecil, namun pertanian di Jakarta masih bertahan dari kepunahan, karena


70 bertransformasi dengan cara memperluas fungsi pertanian dari hanya fungsi tunggal sebagai penyedia pangan, khususnya pokok, menjadi multifungsi, seperti fungsi lingkungan, fungsi kultural dan fungsi penjaga klaim properti [16]. Partisipasi dalam Evaluasi Partisipasi dalam evaluasi adalah keterlibatan pengelola gang hijau dalam kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan mencakup pemantauan program yang sudah dilaksanakan, memberikan penilaian terhadap hasil kegiatan dan memberi masukan pengembangan gang hijau untuk RTH kedepanya dalam hal pengadaan benih, bibit, penanaman, dan pengendalian hama penyakit dan panen. Tingkat partisipasi pengelola gang hijau dalam mengevaluasi program RTH berada pada kategori sedang yaitu 41,2 persen. Artinya bahwa pengelola gang hijau sudah memberikan penilaian terhadap program yang sudah selesai dilaksanakan dan memberikan ide pengembangan program yang akan datang pada saat rapat evaluasi program RTH. Namun demikian, pengelola gang hijau tidak memberikan kritik terhadap penentuan jenis tanaman dan hasil produksi yang di hasilkan. Berdasarkan wawancara mendalam, diperoleh informasi bahwa pengelola gang hijau menurut saja keputusan dari pengurus, mereka berpendapat penyuluh dan pengurus lebih berpengalaman dari dirinya. Kemudian untuk pengelola gang hijau mandiri menentukan sendiri tidak ketergantungan pihak lain. Pada tahap evaluasi program, petani hadir dalam rapat evaluasi yang diadakan dengan penyuluh, namun dalam hal memberikan penilaian, saran, dan kritik dinilai masih kurang. Alasan anggota KWT tidak pernah memberikan kritik, karena mereka menganggap bahwa dirinya pun masih belajar tentang hidroponik dan belum mampu mengkritik tentang tanaman yang ada di KWT. Mereka beranggapan yang memberikan penilaian dan saran adalah orang-orang yang dianggap mengerti betul tentang perkembangan tanaman hidroponik [12]. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tingkat partisipasi pengelola gang hijau di Jakarta pada tahap perencanaan pada kategori rendah. Kemudian partisipasi pada tahap pelaksanaan, tahap memanfaatkan hasi dan tahap evaluasi pada kategori sedang. Saran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Ketahanan Pangan, Kehutanan dan Pertanian perlu meningkatkan intensifikasi kegiatan penyuluhan untuk memberi motivasi dan sosialisasi kepada pengelola gang hijau untuk hadir dan aktif dalam rapat yang diselenggarakan oleh penyuluh. Dengan demikian, masyarakat akan termotivasi berpartisipasi dan menyadari bahwa kegiatan yang ditawarkan adalah penting untuk mereka dalam ketersediaan bahan makanan sehat , menghirup udara yang segar, meminimalkan terjadinya banjir di pemukiman. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Ketahanan Pangan, Kehutanan dan Pertanian perlu melibatkan masyarakat sebagai pengelola gang hijau dalam pembangunan RTH mulai dari perencanaan hingga evaluasi, sehingga ada rasa memiliki dan turut bertanggung jawab atas apa yang sudah dibangun. DAFTAR PUSTAKA Dominelli L 2012. Green Social Work: from Environmental Crises to Environmental Justice. Polity. Surya, B, Syafri, S,Hadijah, H., Baharuddin, B. Fitriyah, A.T, Sakti, H.H.2020. Management of Slum-Based Urban Farming and Economic Empowerment of the Community of Makassar City, South Sulawesi, Indonesia. Sustainability, 12(18): 73-24. Budiman A, Sulistyantara B, Zain AMF. 2014. Deteksi Perubahan Ruang Terbuka Hijau Pada 5 Kota Besar Di Pulau Jawa (Studi Kasus: DKI Jakarta, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogjakarta, dan Kota Surabaya. Jurnal Lanskap Indonesia. 6(1):1- 15. Permen PU No.05/ 2008. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. 2008. Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan. Setiowati R. 2019. Pola Interaksi Para Pihak dalam Perumusan Masterplan Ruang Terbuka Hijau Di Provinsi DKI Jakarta.[Tesis]. Jakarta : Program Studi


Lingkungan. Universitas Indonesia.[diunduh 2020 September 30].Tersedia pada :https://www.academia.edu/38822888/. Meidiantie D. 2019. Pengembangan Pertanian Perkotaan Di Jakarta. Agriculture World Summit (Tokyo). [Internet]. [diunduh 2020 Juli 25]. Tersedia pada www.city.nerima.tokyo.jp › uaws.files. Sampeliling S, Sitorus S, Nurisyah S, Pramudya B. 2012. Kebijakan Pengembangan Pertanian Kota Berkelanjutan: Studi Kasus Di DKI Jakarta (Sustainable Urban Agriculture Development Policy: A Case Study In Jakarta). Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. (10) 3 : 257-267. UU RI N0.26/2007.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Davis K. 1967, Human Relations at Work: The Dynamic of Organization Behaviour. New York: McGraw-Hill Book Company. Ife J. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives - Vision,Anallysis and Practice: Australia: Longman Australia Pty. Ltd. Kalesaran F, Rantung VV, Pioh NR. 2015. Partisipasi dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan Kelurahan Taas Kota Manado. e-journal Acta Diurna. 4(5): 1-13. Amaliyah N, Sarwoprasodjo S. 2018. Iklim Komunikasi Dan Partisipasi Dalam Program Pertanian Perkotaan.Jurnal Komunikasi Pembangunan.16 (1):1-14. Cio M, Hamidah U, Triono A.2014. Pelaksanaan Pengaturan Penataan Ruang Terbuka Hijau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta. UNILA.Jurnal Ilmiah. 1(3):1-15. Cahya DL, Widyawati LF, Ayodhia FK. 2016. Evaluasi ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Bekasi. Jurnal Planesa. 7(1):1-10. Hudiyani I. 2013. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Benteng Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan 9(2): 132-145. Anggrahita H, Guswandi G. 2018. Keragaman Fungsi dan Bentuk Spasial Pertanian Kota (Studi Kasus: Pertanian Kota Di Jakarta). Jurnal wilayah dan lingkungan. 6 (3): 148- 163.


Journal of Entrepreneurship, Management, and Industry (JEMI) Vol. 4, No. 1, (2021), pp. 18-24 ISSN: 2620-777X 18 Copyright ⓒ 2021 ANALISIS KETERSEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU DAN DAMPAKNYA BAGI WARGA KOTA DKI JAKARTA Insan Harapan Harahap Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie [email protected] DOI : 10.36782/jemi.v4i1.2134 Abstract - This research is entitled analysis of the availability of green open space (RTH) and its impact on the citizens of DKI Jakarta with the aim of seeing the efforts of the DKI Jakarta Regional Government in providing RTH at least 30% from outside its area, which is the mandate of Law Number 26 of 2007 concerning Spatial Planning and DKI Jakarta Regional Regulation Number 1 of 2012 concerning Spatial Planning in 2030. This research is descriptive with a qualitative approach. The data used in this study are secondary data in the form of data and information on green open space in the city of DKI Jakarta, information from the official website, and the results of previous research related to green open space and its impact. The results showed that the Government of DKI Jakarta was only able to provide 14.9% RTH, while the time to realize 30% RTH in DKI Jakarta only had 10 years left. As a result, the city of DKI Jakarta has become an uncomfortable city and the citizens of DKI Jakarta are prone to disease due to air pollution and flooding. Keywords: Green Open Space, RTH, City, Jakarta Abstrak - Penelitian ini berjudul analisis ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) dan dampaknya bagi warga Kota DKI Jakarta dengan tujuan untuk melihat upaya Pemda DKI Jakarta dalam menyediakan RTH minimal 30% dari luar wilayahnya, yang merupakan amanat dari Undang undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencata Tata Ruang Tahun 2030. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data dan informasi RTH di kota DKI Jakarta, informasi dari website resmi, dan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan RTH dan dampaknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemerintah DKI Jakarta baru mampu menyediakan RTH 14,9%, sedangkan waktu untuk merealisasikan RTH 30% di DKI Jakarta hanya tersisa waktu10 tahun. Akibatnya, kota DKI Jakarta menjadi kota yang kurang nyaman dan warga DKI Jakarta rawan terkena penyakit akibat polusi udara maupun akibat banjir. Kata Kunci: Ruang Terbuka Hijau, RTH, Kota, Jakarta PENDAHULUAN Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan salah satu upaya dalam pembangunan lingkungan yang ditujukan untuk menjaga keseimbangan lingkungkan hidup suatu daerah terutama pada daerah perkotaan yang padat penduduk. Daerah perkotaan seperti DKI Jakarta memiliki berbagai masalah yang berkaitan dengan masalah tata ruang yang kompleks. RTH pada wilayah perkotaan berfungsi sebagai penjaga keseimbangan antara bangunan perkotaan yang padat dengan alam yang mana agar tetap menjaga kebersihan udara perkotaan serta resapan air. RTH yang berfungsi sebagai pengendali iklim yaitu produksi oksigen, meredakan kebisingan, serta untuk menahan silau matahari atau pantulan sinar yang ditimbulkan agar secara visual dapat terjaga. Selain dalam menjaga keseimbangan lingkungan, RTH juga berfungsi sebagai ruang komunikasi publik dan secara estetika dapat menjaga kenyamanan, memperindah lingkungan perkotaan, serta dapat meningkatkan produktivitas masyarakat maupun kreativitas. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008, bahwa RTH adalah area atau jalur memanjang maupun mengelompok yang mana difungsikan sebagai sarana yang bersifat terbuka, tempat tumbuhnya tanaman, baik tanaman yang secara alami maupun yang ditanam secara sengaja (Permen PU, 2008). Ruang terbuka hijau adalah suatu lahan terbuka tanpa adanya bangunan yang memiliki bentuk atau ukuran, serta batas geografis dengan status penguasaan apapun yang di dalamnya terdapat tumbuhan hijau, pepohonan, rerumputan yang melengkapi penunjang fungsi terkait dari ruang terbuka hijau (Purnomohadi, 1995). Ruang terbuka Hijau yang meliputi taman kota, merupakan bentuk dari suatu aksi dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup pada daerah perkotaan. Taman


Journal of Entrepreneurship, Management, and Industry (JEMI) Vol. 4, No. 1, (2021), pp. 18-24 19 ISSN: 2620-777X Copyright ⓒ 2021 kota berfungsi sebagai suatu elemen dari ekologi kota. Taman kota merupakan salah satu jenis dari ruang terbuka hijau publik yang dapat dimanfaatkan sebagaimana fungsinya sebagai ruang terbuka hijau (Paulina, 2017). Taman kota merupakan sarana umum yang ditata dan dibentuk untuk dimanfaatkan oleh warga kota untuk tempat sosial, rekreasi, serta dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan. Taman Merdeka sebagai ruang terbuka publik memiliki fungsi ekonomi, fungsi sarana rekreasi keluarga, sebagai tempat interaksi, fungsi pendidikan, fungsi transit atau tempat peralihan, serta fungsi kesehatan (Etiningsih, 2016). Selain itu, taman kota juga dapat berfungsi sebagai tempat peralihan untuk meningkatkan mobilitas pada perkotaan seperti Jakarta, serta tempat untuk untuk menunggu bus dan lainnya (Jatmiko, 2016). RTH juga sekaligus bermanfaat sebagai sarana bermain, olahraga, sosial, serta edukasi (Waskito, Santosa, & Astuti, 2015). Oleh sebab itu, masyarakat kota menginginkan agar RTH publik yang dapat difungsikan sebagai tempat teduh dan sebagai paru-paru kota. Masyarakat juga ingin agar taman kota dapat dijadikan tempat sarana rekreasi, namun fungsi RTH publik sebagai tempat rekreasi masih belum dapat direalisasikan oleh pemerintah (Imansari & Khadiyanta, 2015). DKI Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki masalah tata ruang yang kompleks (Waskito et al., 2015). DKI Jakarta yang merupakan Ibukota Negara Indonesia memiliki tanggung jawab serta tantangan yang besar dalam mengelola tata ruangnya. Kondisi DKI Jakarta dinilai memiliki tingkat perkembangan yang sangat tinggi dikarenakan DKI Jakarta merupakan pusat kota yang memiliki berbagai aktivitas strategis nasional. Adanya perkembangan dan pembangunan kota DKI Jakarta saat ini menimbulkan permasalahan pada kebijakan tata ruang. Keterbatasan lahan dan ruang, tidak seimbang dengan laju pertumbuhan pembangunan dan laju pertumbuhan penduduknya tiap tahun yang bertambah signifikan. Pada umumnya kota selalu mengalami aglomerasi penduduk dan berbagai kegiatan, seperti ekonomi, politik, dan budaya yang cukup pesat. Disadari bahwa keterbatasan yang jauh antara kebutuhan tanah untuk pemukiman di satu pihak dan luasan tanah yang tersedia terbatas di lain pihak. Keterbatasan tersebut diperparah lagi oleh makin bertambahnya jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga di kawasan perkotaan (Makarau, 2011). Akibatnya, lahan hijau atau RTH justru beralih fungsi sebagai tempat pemukiman maupun pembangunan fisik lainnya, baik secara legal atau ilegal. Masalah lain yang ditimbulkan oleh konversi lahan hijau bukan hanya dalam masalah tata ruang, tetapi juga menyangkut masalah sosial, ekonomi, sampai masalah lingkungan serta ekologi. Melihat masalahmasalah yang ditimbulkan, maka penyediaan RTH merupakan salah satu faktor penyeimbang ekologi kota. DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara harus memiliki kualitas lingkungan hidup yang memadai (Waskito et al., 2015). Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah terkait dengan ketersediaan ruang terbuka hijau dan dampaknya bagi warga DKI Jakarta. Sebagai ibukota negara dengan penduduk dan aktivitas yang padat membuat ruang terbuka hijau sangat diperlukan demi menjaga keseimbangan lingkungan kota DKI Jakarta. Target DKI Jakarta memiliki ruang terbuka hijau dengan luas 30% yang mencakup 20% ruang terbuka publik dan 10% ruang terbuka privat, masih jauh dari yang diharapkan. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dimana awalnya penulis menguraikan latarbelakang fungsi taman kota dan tata ruang di kota DKI Jakarta. Selanjutnya, penulis membahas dan menganalis tentang impelemtasi ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) di kota DKI Jakarta, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencata Tata Ruang Tahun 2030. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data dan informasi RTH di kota DKI Jakarta, informasi dari website resmi, dan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan RTH dan dampaknya. PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. Pembahasan Penataan ruang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang


Journal of Entrepreneurship, Management, and Industry (JEMI) Vol. 4, No. 1, (2021), pp. 18-24 ISSN: 2620-777X 20 Copyright ⓒ 2021 Penataan Ruang, yang mana keberadaan dari suatu yang yang terbatas, serta pemahaman dari masyarakat harus ditingkatkan guna meningkatkan efektifitas penyelenggaraan tata ruang yang transparan, dan partisipatif demi mencapai ruang yang nyaman, aman, serta produktif. Meningat secara geografis, pada Negara Indonesia yang berada dalam kawasan yang cukup rawan akan bencana, hal ini perlu diperhatikan bahwa perlu adanya penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana yang mana dapat meningkatkan keselamatan serta kenyamanan kelangsungan hidup. Dalam melakuan pembinaan penataan ruang, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dari penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, serta masyarakat. Pelaksaan penataan ruang merupakan upaya dalam mencapai tujuan penataan ruang melalaui pelaksanaan perencanaan tata ruang, yang dapat dimanfaatkan dan dikendalikan. Kemudian, pengawasan dari penataan ruang merupakan upaya demi tujuan mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang yang sesuai sebagaimana ketentuan peraturan perundang undangan. Tugas dan wewenang dari penataan ruang yaitu negara yang menyelenggarakan penataan ruang demi keberlangsungan hidup dan kemakmuram masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya, negara atau pemerintah dapat memberikan wewenang kepada penyelenggara penataan ruang seperti pemerintah daerah, hal ini dilakukan guna menghormati hak yang dimiki orang sesuai ketentuan perundang undangan. Pemerintah memiliki kewenangan dalam hal pengaturan, pengawasan, serta pembinaan kepada penataan ruang wilayah nasional, provinsi, serta kabupaten atau kota (Indonesia, 2007). Peraturan mengenai RTH juga diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa RTH saat ini mengalami penurunan yang signifikan yang akhirnya menimbulkan penurunan dari kualitas lingkungan hidup di perkotaan sehingga mengakibatkan meningkatnya pencemaran udara serta menurunnya produktivitas warga kota akibat dari terbatasnya ruang yang ada dalam melakukan interaksi sosial (Permen PU, 2008). Kawasan perkotaan merupakan suatu wilayah yang memiliki berbagai kegiatan pusat didalammnya, wilayah perkotaan merupakan kawasan yang menjadi tempat pemukiman perkotaan, pusat distribusi pelayanan jasa dari pemerintah, serta pelayanan sosial dan ekonomi. Dalam pasal 3 menyebutkan bahwa penyediaan ruang terbuka hijau di kawasan kota memiliki tujuan dalam menjaga ketersediaan lahan yang merupakan kawasan resapan air, dan menciptakan keseimbangan lingkungan alam dan lingkungan binaan yang mana memiliki manfaat demi menjamin kelangsungan kepentingan masyarakat. Masyarakat dalam hal ini memiliki peran dalam penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang mana merupakan suatu upaya yang melibatkan masyarakat, swasta, lembaga, dan perseorangan yang baik dalam tahap perencanaan, pengendalian, serta pemanfaatan. Upaya yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk menjamin hak masyarakat serta swasta, dan memberikan akses dalam mencegah adanya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang yang sudah disiapkan dengan melewati pengawasan dan pengendalian dari pemanfaatan ruang oleh masyarakat maupun swasta demi mengelola ruang terbuka hijau (Permen PU, 2008). DKI Jakarta memiliki fungsi sebagai Ibukota negara yang dalam pengelolaannya harus secara bijak, berguna, dan berhasil dalam menata ruang wilayahnya sehingga memiliki kualitas ruang wilayah dan dapat menjaga keberlangungan wilayah untuk saat ini serta masa yang akan datang. Seperti halnya kota kota besar di dunia, DKI Jakarta memiliki tantangan secara global, terutama masalah pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk itu, diperlukan adanya aksi nyata dalam menanggulangi perubahan dan tantangan yang dihadapi, serta beradaptasi dengan melakukan penataan ruang secara efektif. Pemerintah dalam kebijakaannya perlu melakukan arahan dalam pengembangan wilayah untuk mencapai tujuan tata ruang DKI Jakarta. Diperlukan strategi dalam melakukan penataan ruang, dengan langkah langkah penataan dan pengelolaan ruang wilayah ruang yang perlu dilakukan demi mencapai visi dan misi pembangunan Ibukota DKI Jakarta. Dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencata Tata Ruang Tahun 2030 menjelaskan megenai strategi yang dilaksanakan untuk mencapai kebijakan 30% ruang terbuka hijau pada DKI Jakarta yakni, melakukan peningkatan kuantitas serta kualitas RTH yang tersebar pada seluruh wilayah kota maupun kecamatan dan mempertahankan ketersediaan ruang terbuka hijau yang ada. Selanjutnya, melakukan


Journal of Entrepreneurship, Management, and Industry (JEMI) Vol. 4, No. 1, (2021), pp. 18-24 21 ISSN: 2620-777X Copyright ⓒ 2021 konversi lahan parkir yang tanpa penghijauan menjadi taman parkir, menjaga dan memfungsikan kembali kawsaan yang memiliki potensi dalam mewujudkan RTH, serta melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha dalam menyediakan peningkatan kualitas serta memelihara ruang terbuka hijau baik yang bersifat privat maupun publik (Perda DKI Jakarta, 2012). Pada pasal 29 menjelaskan bahwa RTH dari suatu kota memiliki dua jenis, yang terdiri dari Ruang Terbuka Hijau Publik dan Ruang Terbuka Hijau Privat. Suatu wilayah kota disyaratkan memiliki RTH minimal 30% dari luas wilayahnya (Indonesia, 2007). Keberadaan RTH dapat mendukung keberlangsungan ekologi suatu kota, yang berpengaruh kepada kenyamanan udara, yang artinya RTH memiliki fungsi dalam perbaikan suhu kota. Selanjutnya dalam pasal 6 ayat 5b Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencata Tata Ruang Tahun 2030, menjelaskan bahwa pengembangan RTH ditujukan sampai 30% dari luas daratan DKI Jakarta, yang mana terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat (Perda DKI Jakarta, 2012). Sedangkan menurut World Resources Institute (WRI) Indonesia, luas RTH di DKI Jakarta masih belum mencukupi. Saat ini, baru tersedia sekitar 14,9% yang merupakan RTH. Walaupun telah terjadi peningkatan dari tahun 2019, namun luas RTH masih jauh dari target 30%. DKI Jakarta memerlukan 30% luas RTH yang berfungsi sebagai penyerapan polusi udara serta penyerapan air (Subagio, 2019). Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Suzi Marsitawati menjelaskan bahwa pada saat ini pembangunan RTH di DKI Jakarta hanya mencapai 9,9 persen, yang artinya masih sangat jauh dari 30% yang merupakan harapan RTH di tahun 2030. Suzi Marsitawati mengharapkan adanya keterlibatan dari semua pihak, termasuk swasta dalam mewujudkan program pemprov DKI Jakarta tersebut (Suryasumirat, 2019). RTH di DKI Jakarta pada saat ini masih jauh dikatakan cukup dalam memenuhi targetnya dalam segi pemanfaatan maupun fungsinya. RTH yang merupakan ruang publik belum bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, mengingat DKI Jakarta belum mampu mencapai target 30% RTH dari total luas tanah di wilayah DKI Jakarta. RTH di DKI Jakarta bukan hanya untuk memperindah daerah perkotaan, namun juga dapat dimanfaatkan oleh warga agar dapat membantu kelangsungan hidup warga DKI Jakarta. Menurut Direktur Jenderal Cipta Karya, Danis Hidayat Sumadilaga bahwa minimnya luas RTH di kotakota besar bisa disebabkan oleh tiga hal. Pertama, minimnya lahan yang dimiliki pemerintah setempat untuk dikembangkan menjadi RTH. Kedua, pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk menambah ruang terbuka. Dan ketiga, pembelian lahan untuk diubah menjadi ruang terbuka tidak mudah, entah karena alasan harga atau lokasi yang tidak strategis. Karena itu, banyak Pemerintah Kota (Pemkot) yang hingga kini kesulitan menaikkan porsi RTH di wilayah kekuasaannya (Wahdaniyat, 2019). RTH tidak akan berfungsi jika tidak ada upaya dalam memperbaiki kualitas dan kuantitas RTH di kota DKI Jakarta. Kurangnya RTH di DKI Jakarta juga disebabkan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat tinggi. Jumlah penduduk di Ibukota yang kian bertambah membuat taman kota sebagai RTH tidak berfungsi dengan baik. RTH yang sudah ada justru dijadikan lahan pemukiman secara ilegal. Tidak sedikit juga terjadinya pengalihan fungsi taman kota, yang mengakibatkan minimal 30% RTH di kota DKI Jakarta tidak kunjung terpenuhi. Akibatnya, kasus banjir yang menjadi masalah tahunan di DKI Jakarta muncul sebagai akibat kurangnya resapan air, yang seharusnya menjadi salah satu fungsi dari RTH (Prakoso, 2019). Masalah kurangnya 30% lahan RTH di DKI Jakarta, juga memiliki andil menyumbang masalah kesehatan akibat RTH tidak mampu berfungsi sebagai paru-paru kota yang baik. Ibukota Jakarta sebagai kota yang menjadi pusat aktifitas padat penduduk, memiliki sejumlah masalah seperti polusi udara, kekurangan air bersih, banjir yang diakibatkan kuragnya penyedia udara alami serta resapan air yang seharusnya menjadi fungsi dari RTH. Banyaknya gedung-gedung di DKI Jakarta menjadi salah satu faktor yang menyulitkan untuk mengimplementasikan pembuatan RTH seluas 30%. Kota Jakarta dengan tingkat penduduk yang padat dan ditambah banyaknya pedagang kaki lima di pinggir jalan, serta kebanjiran yang terjadi setiap tahun, menyebabkan kota DKI Jakarta menjadi kota yang kurang nyaman, terlebih lagi dengan tingkat polusi udara yang tinggi menyebabkan warga DKI Jakarta rawan terkena penyakit akibat polusi udara maupun banjir, seperti penyakit kulit maupun sesak nafas dan batuk


Journal of Entrepreneurship, Management, and Industry (JEMI) Vol. 4, No. 1, (2021), pp. 18-24 ISSN: 2620-777X 22 Copyright ⓒ 2021 yang berkepanjangan. Atas dasar tersebut, dibutuhkan segera penciptaan RTH yang berupa taman-taman, penanaman bunga serta pepohonan yang dimana dapat digunakan warga kota sebagai tempat rekreasi keluarga, tempat resapan air dan penyaringan polusi udara yang seharusnya dapat mengatasi masalah yang timbul akibat kurangnya RTH di Jakarta (Syahadat & Putra, 2017). B. Analisis Membicarakan tentang 30% luas RTH di DKI Jakarta saat ini memang belum mencapai harapan. Kepentingan RTH di Ibukota Jakarta terkesan sangat sedikit dari apa yang harusnya dikerjakan oleh pemerintah. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 menyebutkan bahwa DKI Jakarta memiliki tujuan untuk dapat mencapai paling tidak 30% RTH dari luas daratan pada kota DKI Jakarta, yang terdiri dari ruang terbuka hijau publik adalah 20% dan 10% ruang terbuka hijau privat, namun sampai saat ini belum memenuhi harapan. Pentingnya RTH di Jakarta tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan masyarakat kota DKI Jakarta yang merupakan daerah padat dengan aktivitas yang tinggi. Menurut data World Resources Institute (WRI) Indonesia, luas RTH di DKI Jakarta baru tersedia sekitar 14,9%. Sedangkan menurut Kepala Dinas Kehutanan DKI Jakarta, Suzi Marsitawati menjelaskan bahwa pada saat ini pembangunan RTH hanya mencapai 9,9 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa target RTH 30% pada tahun 2030 masih sangat jauh dari harapan. Perlu ada keterlibatan keterlibatan dari semua pihak, termasuk swasta dalam mewujudkan program pemprov DKI Jakarta tersebut (Suryasumirat, 2019). Sesuai dengan regulasi yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan RTH memerlukan keterlibatan masyarakat dan swasta dalam meningkatkan pembangunan RTH, namun nyatanya hal ini belum terealisasikan, mengingat hanya ada 14,9% RTH di DKI Jakarta, sedangkan waktu untuk merealisasikan RTH 30% di DKI Jakarta hanya tersisa waktu10 tahun. Target ini makin jauh dari harapan ketika anggaran pengadaan RTH tahun 2020 dipotong dari Rp 1,08 triliun menjadi Rp 700 miliar (Reporter Tempo, 2019). RTH di Kota DKI Jakarta terus menurun sejak adanya bangunan-bangunan dan pusat perbelanjaan yang terus meningkat. Dalam waktu dua dekade, munculnya pemukiman liar pada beberapa wilayah juga terus meningkat, padahal lahan tersebut tidak difungsikan untuk menjadi lahan hunian. Pada tahun 1985, RTH pada Kota Jakarta mencapai angka 25,85%, namun setelah 25 tahun kemudian, angka tersebut terus menerus turun sampai angka 9% (Novellno, 2019). Hal ini dapat dijadikan sebagai kritik terhadap pemerintah DKI Jakarta, bahwa dengan kurangnya RTH di DKI Jakarta, membuktikan rencana mewujudkan RTH 30% pada tahun 2030 masih jauh dari harapan, kecuali adanya program berskala besar dan keterlibatan dari semua pihak. Sebagaimana dengan regulasi pada UndangUndang dan Peraturan Menteri, bahwa Pemerintah Daerah seharusnya memiliki wewenang dalam melakukan penyelenggaraan, sampai pengawasan terhadap tata ruang kotanya. Menurut arsitek lansekap Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengatakan bahwa bencana banjir yang terjadi setiap tahun di DKI Jakarta merupakan kesalahan dari masalah tata Kota. Kurangnya daerah resapan air menjadi salah satu faktor utama yang menjadi masalah dalam bencana banjir di DKI Jakarta (Citra & Ahdiat, 2020). Sebagaimana yang tersurat dalam Permen Pekerjaan Umum Nomo: 05/PRT/M/2008, menjelaskan fungsi dari RTH antara lain adalah sebagai wilayah resapan air, namun hal ini sepertinya belum dapat perhatian pemerintah, mengingat banjir yang ada pada tiap tahun seharusnya menjadi cerminan bahwa kota DKI Jakarta ini masih memiliki kekurangan dalam pembangunan RTH. Pembangunan taman kota, hutan kota, serta jalur hijau perlu dilakukan demi memenuhi ruang terbuka hijau pada kota DKI Jakarta yang hanya memiliki kurang lebihnya 9% RTH yang idealnya adalah 30% (Citra & Ahdiat, 2020). RTH pada kota padat penduduk yang memiliki tingkat aktifitas tinggi seperti Kota DKI Jakarta memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar dalam membantu keberlangsungan hidup masyarakat kota. Direkttur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensim Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin mengatakan bahwa DKI Jakarta kini memiliki polusi udara yang semakin meningkat. Polusi udara yang terjadi pada Ibukota Jakarta menimbulkan berbagai macam penyakit, salah satu contohnya adalah penyakit asma. KPBB bekerjasama dengan tim pengecekan yang berada di rumah sakit, dan melakukan metodologi dan ditemukan beberapa pasien yang terkena penyakit asma akibat polusi udara. Bahkan, beberapa dari pasien juga terkena


Journal of Entrepreneurship, Management, and Industry (JEMI) Vol. 4, No. 1, (2021), pp. 18-24 23 ISSN: 2620-777X Copyright ⓒ 2021 penyakit lainnya seperti iritasi mata, alergi, gangguan fungsi ginjal, dan lainnya. Dalam suatu kawasan perkotaan, sebagaimana telah diatur dalam UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 bahwa suatu Kota seharusnya memiliki 30% total RTH yang tersebar pada di seluruh kota, yang dapat difungsikan sebagai penyerap polusi udara yang akhirnya dapat membantu mengurangi polusi yang terjadi pada Kota DKI Jakarta (Hidayat, 2019). KESIMPULAN Kota DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang merupakan pusat dari aktifitas utama nasional dengan berbagai kegiatan yang ada membutuhkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yminimal 30% luas wilayahnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menjaga kelangsungan hidup yang nyaman. RTH merupakan lahan yang berfungsi sebagai tempat bersoalisasi warga, paru-paru kota, pengendali iklim, penyaring polusi udara, serta menjadi tempat resapan air. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan setiap kota untuk memiliki minimal 30% RTH, yang kemudian diratifikasi dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 yang merencanakan kota DKI Jakarta akan memiliki RTH 30% pada tahun 2030. Namun dalam implementasinya RTH di DKI Jakarta baru tersedia sekitar 14,9%, sedangkan waktu untuk merealisasikan RTH 30% di DKI Jakarta hanya tersisa waktu10 tahun. Kurangnya RTH di kota DKI Jakarta menyebabkan kota DKI Jakarta menjadi kota yang kurang nyaman, akibat tingkat polusi udara yang tinggi menyebabkan warga DKI Jakarta rawan terkena penyakit akibat polusi udara maupun akibat banjir, seperti penyakit kulit maupun sesak nafas dan batuk yang berkepanjangan. DAFTAR REFERENSI Citra, L., & Ahdiat, A. (2020). Banjir Awal 2020, Arsitek Ingatkan Jakarta Minim Daerah Resapan Air. Kbr.Id. Retrieved from https://kbr.id/nasional/01- 2020/banjir_awal_2020__arsitek_ingatkan_jakarta_ minim_daerah_resapan_air/101797.html Etiningsih, E. (2016). Fungsi Taman Kota sebagai Ruang Publik (FISIP Universitas Lampung). Retrieved from https://studylibid.com/doc/911107/fungsi-tamankota-sebagai-ruang-publik--studi-di Hidayat, M. R. (2019). Polusi Udara di Jakarta Semakin Parah, Tambah Ruang Terbuka Hijau Saja Tidak Cukup. Tribunnews.Com.Com. Retrieved from https://jakarta.tribunnews.com/2019/06/28/polusiudara-di-jakarta-semakin-parah-tambah-ruangterbuka-hijau-saja-tidak-cukup Imansari, N., & Khadiyanta, P. (2015). Penyediaan Hutan Kota dan Taman Kota sebagai Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) Publik Menurut Preferensi Masyarakat di Kawasan Pusat Kota Tangerang. 1(3), 101–110. Indonesia. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. , Pub. L. No. 26 (2007). Jatmiko, B. W. (2016). Kajian Fungsi Sosial terhadap Taman Kota sebagai Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Jurnal Geo Educasia, 1(3). Makarau, V. H. (2011). Penduduk, Perumahan Pemukiman Perkotaan dan Pendekatan Kebijakan. Jurnal Sabua, 3(1), 53–57. Novellno, A. (2019). Target Masih Jauh, DKI Ingin Swasta Sumbang 10 Persen RTH. Cnnindonesia.Com. Retrieved from https://www.cnnindonesia.com/nasional/201910171 95256-20-440515/target-masih-jauh-dki-inginswasta-sumbang-10-persen-rth Paulina, P. D. (2017). Kajian Kesesuaian Fungsi Taman Kota sebagai Ruang Terbuka Hijau (Studi Multisitus pada Tiga Taman Kota di Kediri). Jurnal Swara Bhumi, 5(6), 1–8. Perda DKI Jakarta. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. , Pub. L. No. 1 (2012). Permen PU. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. , Pub. L. No. 05 (2008). Prakoso, P. (2019). Analisis Implementasi 30% Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta. Majalah Ilmiah Globe, 21(1), 17–26.


Journal of Entrepreneurship, Management, and Industry (JEMI) Vol. 4, No. 1, (2021), pp. 18-24 ISSN: 2620-777X 24 Copyright ⓒ 2021 Purnomohadi, S. (1995). Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Pengendalian Kualitas Udara di DKI Jakarta. Institut Pertanian Bogor. Reporter Tempo. (2019, November 4). DKI Pangkas Anggaran Pengadaan Lahan Ruang Terbuka Hijau. Korantempo.Co. Retrieved from https://koran.tempo.co/read/metro/447256/dkipangkas-anggaran-pengadaan-lahan-ruang-terbukahijau Subagio, J. Jakarta Masih Kekurangan Ruang Terbuka Hijau, Ini Penjelasan Ahli. , (2019). Suryasumirat, R. A. (2019). Pemprov DKI Jakarta Gandeng Swasta Garap Proyek RTH. Liputan6.Com. Retrieved from https://www.liputan6.com/news/read/4088844/pemp rov-dki-jakarta-gandeng-swasta-garap-proyek-rth Syahadat, R. M., & Putra, P. T. (2017). Ruang Terbuka Hijau dan Permasalahan Kesehatan Perkotaan - Studi Kasus di Provinsi DKI Jakarta. E-Jurnal Arsitektur Lansekap, 3(2), 179–188. https://doi.org/10.24843/JAL.2017.v03.i02.p07 Wahdaniyat, H. (2019). Ruang Terbuka Hijau yang Masih Terpinggirkan di Indonesia. Retrieved from ciptakarya.pu.go.id website: http://ciptakarya.pu.go.id/pbl/index.php/detail_berita /565/ruang-terbuka-hijau-yang-masih-terpinggirkandi-indonesia Waskito, P. S., Santosa, E., & Astuti, P. (2015). ImplementasiPolitik Kebijakan Ruang Terbuka Hijau DKI Jakarta Berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2030. Journal of Politic and Government Studies, 4(2), 1–11.


Widyakala Journal Volume 10, Issue 2, September 2023 p-ISSN 2337-7313 DOI: https://doi.org/10.36262/widyakala.v10i2.778 e-ISSN 2597-8624 https://ojs.upj.ac.id/index.php/journal_widya/ Copyright YEAR WIDYAKALA All rights reserved 80 Implementasi Prinsip Desain Universal Pada Ruang Terbuka Aktif (Studi Kasus : Tebet Eco Park) Sekar Arum Prasetyorini1 , Khalid Abdul Mannan2 , Melania Lidwina Pandiangan3 1Program Studi Arsitektur, Universitas Pembangunan Jaya Tangerang Selatan, Banten 15413, Indonesia [email protected] * 2Program Studi Arsitektur, Universitas Pembangunan Jaya [email protected] 2Program Studi Arsitektur, Universitas Pembangunan Jaya [email protected] Received 20 June 2023, Revised 25 September 2023, Accepted 30 September 2023 Abstract — This research was conducted to identify and analyze the availability of facilities at Tebet Eco Park, especially for persons with disabilities. Tebet Eco Park has been inaugurated by the Government of DKI Jakarta as one of the active open spaces on an area scale with an area of 7.3 hectares. The open space should be easily accessible by all people without exception. In this study, a qualitative descriptive analysis method was used, followed by a prescriptive analysis by comparing the existing condition of Tebet Eco Park with the 7 Universal Design Principles in PUPR Regulation No.14/PRT/2017 and Universal Design Handbook, 2011. From the findings of this study, of the seven principles universal design, the principle of “Simple and intuitive” has the highest percentage, reaching 94%. Then “Low physical effort” is in the lowest percentile with a percentage of 27%. Keywords: Active Open Space, Tebet Eco Park Persons with Disabilities, Universal Design. Abstrak — Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis ketersediaan fasilitas pada Tebet Eco Park terutama bagi penyandang disabilitas. Tebet Eco Park telah diresmikan oleh Pemerintah DKI Jakarta sebagai salah satu ruang terbuka aktif yang berskala kawasan dengan luas area 7,3 hektar. Ruang terbuka tersebut sudah seharusnya dapat dengan mudah diakses oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yang dilanjutkan dengan analisis preskriptif dengan membandingkan keadaan eksisting Tebet Eco Park dengan 7 Prinsip Desain Universal dalam Peraturan PUPR No.14/PRT/2017 dan Universal Design Handbook, 2011. Dari temuan studi tersebut, dari tujuh prinsip desain universal, prinsip “Sederhana dan intuitif” memiliki persentase paling tinggi yaitu mencapai 94%. Kemudian, “Upaya fisik yang rendah” berada pada persentil terendah dengan persentase 27%. Kata Kunci: Ruang Terbuka Aktif, Tebet Eco Park, Penyandang Disabilitas, Desain Universal. PENDAHULUAN Tebet Eco Park merupakan sebuah ruang terbuka aktif yang berskala kawasan dan terletak di Jakarta Selatan dengan memiliki luas lahan sebesar 7,3 hektare. Setelah dilakukan peresmian dan revitalisasi oleh pemerintah, Tebet Eco Park menjadi daya tarik masyarakat untuk menghabiskan waktu mereka di akhir pekan. Banyaknya fasilitas di area terbuka yang tidak dimiliki oleh taman lain menjadi salah satu alasan masyarakat ingin mengunjungi Tebet Eco Park. Namun demikian, hal ini juga membuat pengunjung di sana sangat padat, mencapai lebih dari 60.000 pengunjung setiap hari (Tampi & Mustika, 2022). Maka dari itu, pengelola dan perencana harus memperhatikan fasilitas yang sudah ada untuk menjamin kenyamanan para pengunjung dari segala latar belakang dan keadaan. Gambar 1 Peta Zonasi Kecamatan Tebet Sumber : Peraturan Daerah Provinsi Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi, 2014


Prasetyorini, A. Sekar. Mannan, A. Khalid. Pandiangan, L. Melania. Implementasi Prinsip Desain Universal Pada…,2023, 10(2): 80-86 81 Gambar 2 Tebet Eco Park & Parkir Penunjang Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2023 Adanya visi ruang terbuka di kawasan perkotaan, menurut “Panduan Praktis Implementasi Strategi Perkotaan Baru” oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2017), yang menyatakan harus aman, mudah dijangkau, dan ramah terhadap penyandang disabilitas. Perancang proyek revitalisasi ini sangat menekankan pada restorasi ekologis tapak dengan melestarikan alam, mengurangi risiko banjir dengan melakukan naturalisasi kembali sungai-sungai yang ada, serta menciptakan kawasan yang ramah bagi penyandang disabilitas, khususnya dengan menyediakan fasilitas berupa kemudahan akses bagi pengguna atau pengunjung dengan menawarkan berbagai macam program rekreasi. Pengelola dan perancang menyertakan konektivitas atau aksesibilitas selain faktor lokasi sehingga ruang terbuka aktif mudah diakses oleh individu dari berbagai usia, latar belakang, dan keadaan pengguna (penyandang disabilitas). Ruang terbuka aktif adalah jenis ruang terbuka yang di dalamnya terdapat berbagai kegiatan yang diciptakan, seperti olahraga, rekreasi, dan kegiatan lainnya, berbeda dengan ruang terbuka pasif, yaitu tempat terbuka tanpa ciptaan atau tujuan manusia (Hakim, 2003). Efektivitas ruang terbuka aktif dapat ditentukan oleh berapa banyak orang yang menggunakannya dan seberapa puas mereka sebagai hasilnya. Pengelola taman dianggap berhasil jika pengunjung puas, yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah dan frekuensi kunjungan, karena ruang terbuka yang aktif perlu dapat membangkitkan aktivitas didalamnya (Sartika, 2002). Tebet Eco Park dapat menampung puluhan ribu pengunjung setiap harinya. Namun, selain pengunjung dengan kondisi fisik yang normal terdapat pula pengunjung dengan keterbatasan seperti penyandang disabilitas. Gambar 3 Kondisi Eksisting Tebet Eco Park sebagai Ruang Terbuka Aktif Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2023 Perancang harus menghasilkan ruang yang dapat diterima dan sederhana untuk digunakan semua orang, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Penggunaan prinsip Desain Universal merupakan salah satu konsep atau aturan yang perlu mendapat perhatian lebih saat merancang. Salah satu cara untuk menggunakan prinsip Desain Universal adalah dengan menerapkannya pada bangunan dan sekitarnya. Prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai dasar untuk membangun fasilitas yang dapat diterima dan mudah digunakan oleh semua orang. Area atau lingkungan publik harus dapat diakses secara universal atau publik dan digunakan oleh semua orang agar sesuai dengan Desain Universal, tanpa memandang usia, kondisi, kemampuan, atau kekurangan (Meshur & Cakmak, 2018). Dengan studi kasus Tebet Eco Park, penelitian ini bertujuan untuk mendemonstrasikan konsep perancang ruang terbuka aktif yang ramah bagi penyandang disabilitas serta kelayakan dan kemudahan aksesibilitas bagi pengunjung Tebet Eco Park oleh semua individu, termasuk penyandang disabilitas. METODE PENELITIAN Lokasi Studi Gambar 4 Lokasi penelitian pada area dalam Tebet Eco Park. Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2023 Tebet Eco Park, sebuah ruang terbuka aktif dengan area yang cukup luas, menawarkan berbagai fasilitas penunjang yang terbagi menjadi 8 zona: Infinity Link Bridge, Community Garden, Children Playground, Community Lawn, Forest Buffer, Plaza, Thematic Garden, dan Wetland Boardwalk. Selain berfungsi sebagai taman, ruang terbuka ini juga berfungsi untuk tujuan sosial, ekologi, pendidikan, dan rekreasi. Analisis Data Pada penelitian ini, analisis data dilakukan dengan mengidentifikasi 2 indikator. Indikator tersebut adalah Keadaan Fisik Lingkungan dan Implementasi Prinsip Desain Universal terhadap Tebet Eco Park. Identifikasi fisik lingkungan tersebut dilakukan dengan berdasarkan Teori Desain Responsif (Responsive Design Theory). Teori tersebut berkaitan dengan desain yang merespons kebutuhan dan preferensi pengguna (NGUYEN, HAN, & MOERE, 2022). Identifikasi Fisik Lingkungan pada penelitian ini melibatkan keadaan desain eksisting terhadap kebutuhan pengguna sebagai bentuk respons terhadap penyandang disabilitas. Kemudian, langkah berikutnya adalah mengobservasi Implementasi Prinsip Desain Universal terhadap Tebet Eco Park. Observasi implementasi tersebut dengan berdasarkan


Prasetyorini, A. Sekar. Mannan, A. Khalid. Pandiangan, L. Melania. Implementasi Prinsip Desain Universal Pada…,2023, 10(2): 80-86 82 Teori Aksesibilitas (Accessibility Theory). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitias, aksesibilitas adalah sesuatu yang berkaitan dengan desain sebuah bangunan atau lingkungan yang mudah diakses oleh semua orang dan dapat menunjang penyandang disabilitas untuk beraktivitas seumur hidupnya sebagai masyarakat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitias, 2016). Hasil dari indikator Implementasi Prinsip Desain Universal yaitu dalam bentuk persentase. Persentase tersebut didapat dari perbandingan antara kesesuaian kondisi eksisting dengan prinsip-prinsip Desain Universal. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pendekatan deskriptif kualitatif melibatkan penelaahan, penguraian, dan pengikhtisaran kondisi dan keadaan dari data berupa masalah yang berkaitan dengan lapangan (Wirartha, 2006). Kemudian menurut (Mohajan, 2018), penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian dengan mempelajari peristiwa yang dirasakan pada seseorang secara alamiah dan kemudian dapat memahami pengalaman atau peristiwa tersebut sehingga masalah tersebut dapat terpecahkan. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada saat sebelum terjun ke lapangan, selama di lapangan, dan setelah kerja di lapangan (Yuliani, 2018). Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menggambarkan dan menjelaskan secara menyeluruh suatu masalah di sebuah tapak yang akan diselidiki. Selanjutnya, metode analisis preskriptif digunakan untuk membandingkan data primer dan data sekunder. Data primer dari penelitian ini adalah keadaan eksisting atau data yang didapat pada tapak berupa hasil observasi dan dokumentasi, sedangkan data sekunder yaitu literasi terkait 7 Prinsip Desain Universal dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2017. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Identifikasi Fisik Lingkungan 1. Rambu dan marka Rambu dan marka untuk penyandang disabilitas pada area dalam Tebet Eco Park hanya tersedia sebagai penujuk toilet khusus penyandang disabilitas. Kemudian, rambu dan marka yang ada pada area dalam tidak menggunakan huruf braille. Gambar 5 Akses toilet khusus penyandang disabilitas Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2023 Sumber : Dokumentasi & Olahan Pribadi, 2023 2. Street Furniture Tebet Eco Park menyediakan street furniture berupa bangku taman yang terbuat dari kayu. Lebar dari bangku tersebut yaitu 50 cm dengan panjang 200 cm. Pada area dalam Tebet Eco Park, interval jarak dari bangku taman ke bangku berikutnya yaitu lebih dari 3 meter yang mana tidak sesuai dengan peraturan. Gambar 6 Bangku taman pada Tebet Eco Park Sumber : Dokumentasi & Olahan Pribadi, 2023 3. Jalan (Pathways & ram) Pada Tebet Eco Park, tidak adanya jalur pemandu untuk penyandang disabilitas tunanetra. Hal tersebut dapat menyulitkan bagi para penyandang disabilitas. Kemudian, adanya jembatan yang menyatukan bagian utara dengan selatan (Infinity Link Bridge) yang memiliki kemiringan 1:16 sehingga sangat aman bagi pengunjung. Material yang digunakan pada jalan tersebut adalah aspal dengan permukaan yang kasar sehingga tidak licin dan membahayakan. Sedangkan material yang digunakan untuk - jembatan yaitu concrete wood dan galvanised steel granting. Gambar 7 Material pathways dan jembatan Tebet Eco Park Sumber : Dokumentasi & Olahan Pribadi, 2023 Analisis Implementasi Prinsip Desain Universal 1. Penggunaan yang setara Tabel 1 Persentase prinsip Desain Universal “Penggunaan yang setara (Equitable use)” Tebet Eco Park. Penyandang Disabilitas Eksisting Hasil Analisis Jalur (pathways & ram) Tunadaksa Lebar jalan 3 meter Jalan mudah dilewati 2 pengguna kursi roda Kemiringan ram pada akses masuk 1:14 Kemiringan ram lebih landai sehingga lebih nyaman digunakan. Tunanetra Tidak adanya jalur pemandu Sulit diakses olah penyandang tunanetra secara mandiri. Tunarungu & Tunawicara Tidak tersedia fasilitas bahasa isyarat Menyulitkan bagi penyandang disabilitas dalam menggunakan fasilitas. Rambu dan marka


Prasetyorini, A. Sekar. Mannan, A. Khalid. Pandiangan, L. Melania. Implementasi Prinsip Desain Universal Pada…,2023, 10(2): 80-86 83 Tunadaksa Adanya rambu toilet khusus penyandang disabilitas Memudahkan bagi pengguna kursi roda. Rambu atau papan informasi diletakan sesuai dengan sudut pandang tidak berupa tiang tinggi Informasi tersampaikan dengan jelas dengan adanya rambu. Tunanetra Penggunaan warna pada rambu tidak memperhatikan penyandang disabilitas Informasi dari rambu dapat sulit tersampaikan untuk penyandang tunanetra. Tidak menggunakan huruf braille Penyandang tunanetra kesulitan mengetahui rambu atau informasi mengenai Tebet Eco Park. Tunarungu & Tunanetra Terdapat papan informasi berupa running text pada akses utama masuk Tebet Eco Park Informasi juga tersampaikan dengan jelas untuk penyandang tunarungu & tunawicara. Terdapat pengeras suara di setiap zona Street Furniture Tunadaksa Tidak terdapat ruang untuk kursi roda pada bangku taman Pengguna kursi roda beristirahat di area pathways. Tunanetra Tersedianya bangku taman Bangku taman dapat mudah digunakan. Tunarungu Tunawicara Persentase Tebet Eco Park 70% Sumber : Olahan Pribadi, 2023 Menurut gagasan ini, semua pengguna harus dapat menggunakan fasilitas yang ada, terlepas dari kemampuan atau latar belakang mereka. Berdasarkan tabel di atas, Tebet Eco Park telah mencapai 70% kesesuaian dengan prinsip desain universal pertama, yaitu penggunaan yang setara. 2. Fleksibilitas penggunaan Tabel 2 Persentase prinsip Desain Universal “Fleksibilitas penggunaan (Flexibility in use) Tebet Eco Park Penyandang Disabilitas Eksisting Hasil Analisis Jalur (pathways & ram) Tunadaksa Lebar jalan 2 jalur yaitu 3 meter. Pengguna kursi roda dengan mudah mengakses karena semua jalan pada area dalam memiliki lebar yang dapat dilalui oleh 2 pengguna kursi roda sekaligus. Kemiringan ram pada akses masuk 1 : 14 dan pada jembatan 1 : 16 Dengan adanya ram, penggun kursi roda bisa menikmati beberapa zona/fasilitas. Tunanetra Tidak adanya jalur pemandu Penyandang tunanetra kesulitan mengakses jalan dengan berbagai pilihan. Tunarungu & Tunawicara Lebar jalan 3 meter Mudah mengakses semua pilihan jalan. Rambu dan marka Tunadaksa Adanya rambu toilet khusus penyandang disabilitas Toilet khusus menjadi pilihan untuk pengguna kursi roda. Tunanetra Penggunaan warna yang tidak kontras pada rambu. Penyandang tunanetra kesulitan dalam membaca informasi terkait aksesibilitas pada Tebet Eco Park. Tunarungu & Tunanetra Terdapat pengeras suara di setiap zona Tebet Eco Park Dapat mempermudah jika terjadi keadaan darurat. Terdapat papan informasi berupa running text pada akses utama masuk Tebet Eco Park Dapat mengetahui informasi kapasitas pengunjung, mempengaruhi pilihan untuk mengunjungi Tebet Eco Park. Street Furniture Tunadaksa Tidak terdapat bangku taman untuk ruang gerak pengguna kursi roda Tidak adanya pilihan bagi pengguna kursi roda untuk beristirahat selain berada di area jalan, hal tersebut dapat mengganggu pengunjung lainnya. Tunanetra Memiliki lebih dari 1 tipe bangku taman Bangku taman yang beraneka ragam, sehingga pengunjung dapat memilih untuk beristirahat di tempat ternyaman.. Tunarungu Tunawicara Persentase Tebet Eco Park 80% Sumber : Olahan Pribadi, 2023 Keadaan dan kemampuan setiap orang diakomodasi pada prinsip ini, yang bertujuan memberikan pengguna berbagai pilihan dalam menggunakannya. Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa Tebet Eco Park telah memenuhi 80% prinsip desain universal yang kedua yaitu Fleksibilitas Penggunaan. 3. Sederhana dan intuitif Tabel 3 Persentase prinsip Desain Universal “Sederhana dan intuitif (Simple and intuitive use)” pada Tebet Eco Park. Penyandang Disabilitas Eksisting Hasil Analisis Jalur (pathways & ram) Tunadaksa Tedapat sign Tebet Eco Park pada akses masuk Akses masuk dan keluar dapat dengan mudah dikenali Pola jalur berbentuk kurva yang menyebar ke setiap zona Pola jalur pathways yang terarah sehingga mudah dipahami untuk menuju ke setiap zona. Tunanetra Tidak adanya jalur pemandu Dapat menyulitkan bagi penyandang tunanetra karena tidak adanya tanda untuk terus berjalan dan berhenti. Tunarungu & Tunawicara Tedapat sign Tebet Eco Park pada akses masuk Akses masuk dan keluar dapat dengan mudah dikenali Pola jalur berbentuk kurva yang menyebar ke setiap zona Pola jalur pathways yang menyebar ke setiap zona dapat dengan mudah diakses. Rambu dan marka Tunadaksa Adanya rambu toilet khusus penyandang disabilitas Rambu dengan desain sederhana (tidak berlebihan) sehingga dapat dengan mudah dipahami. Tunanetra Terdapat pengeras suara di setiap zona Adanya pengeras suara di setiap zona untuk menyalurkan informasi. Tunarungu & Tunanetra Terdapat papan informasi terkait letak zona di tiap zona Tebet Eco Park Rambu dengan desain sederhana (tidak berlebihan) sehingga dapat dengan mudah dipahami. Street Furniture Tunadaksa Terdapat tanaman sebagai pengarah dan pembatas jalan Bentuk yang sederhana memudahkan untuk menuju ke setiap zona. Tunanetra Tunarungu


Prasetyorini, A. Sekar. Mannan, A. Khalid. Pandiangan, L. Melania. Implementasi Prinsip Desain Universal Pada…,2023, 10(2): 80-86 84 Tunawicara Persentase Tebet Eco Park 94% Sumber : Olahan Pribadi, 2023 Dengan adanya prinsip ini, fasilitas diharuskan dirancang untuk dapat mudah dipahami dalam penggunaannya. Jika dilihat dari tabel di atas, area dalam Tebet Eco Park sudah memenuhi 94% penerapan dari prinsip desain universal pada Sederhana dan Intuitif. 4. Informasi mudah dipahami Tabel 4 Persentase prinsip Desain Universal “Informasi mudah dipahami (Percetible information) pada Tebet Eco Park. Penyandang Disabilitas Eksisting Hasil Analisis Jalur (pathways & ram) Tunadaksa Perbedaan material contohnya pada pathways dan jembatan menandakan sebagai sudah berada di zona yang berbeda Perbedaan material yang dapat dilalui oleh pengguna kursi roda dan tidak bersifat membahayakan atau licin. Tunanetra Tidak ada jalur pemandu Menyulitkan penyandang tunanetra dalam hal aksesibilitas terutama untuk mengetahui letak toilet, pusat informasi, dan lain sebagainya. Tunarungu & Tunawicara Perbedaan material contohnya pada pathways dan jembatan menandakan sebagai sudah berada di zona yang berbeda Dengan adanya perbedaan material, dapat dengan mudah dipahami area yang dapat dilalui dan yang tidak dapat dilalui. Rambu dan marka Tunadaksa Terdapat rambu dan marka di setiap zona Peletakkan rambu dan marka yang menyeluruh dan mudah dijangkau oleh pengguna kursi roda (peletakkan yang tidak tinggi). Adanya rambu toilet khusus penyandang disabilitas Dengan adanya rambu tersebut dapat memudahkan penyandang disabilitas mengenali toilet khusus penyandang disabilitas. Adanya rambu pengarah ke tiap zona Rambu sebagai pengarah menuju zona dan setiap fasilitas seperti toilet. Tunanetra Tidak terdapat huruf braille Informasi tidak tersampaikan untuk penyandang tunanetra. Penggunaan warna pada rambu tidak memperhatikan penyandang disabilitas yaitu cenderung warna gelap (orange tua dan hijau tua) Menyulitkan penyandang tunanetra mengenali tulisan pada papan informasi atau ramburambu pada setiap zona. Tunarungu & Tunanetra Adanya pengeras suara di tiap zona Pengeras suara dapat memudahkan penyandang disabilitas dengan merasakan getaran suara, bila terjadi keadaan darurat. Terdapat rambu dan marka di setiap zona Peletakkan rambu dan marka yang menyeluruh dan mudah dijangkau (peletakkan yang tidak tinggi). Street Furniture Tunadaksa Tidak terdapat ram dan handrail yaitu pada zona Wetland Broadwalk Terdapat zona yang tidak dapat diakses oleh pengguna kursi roda serta kruk karena tidak terdapat ram dan handrail yaitu pada zona Wetland Broadwalk Tunanetra Perbedaan tekstur indoor dengan keramik yang cenderung halus dan outdoor menggunakan aspal yang bersifat kasar Secara tidak langsung adanya perbedaan tekstur dapat memberikan informasi pada penyandang tunanetra, yaitu sebagai pembeda antara indoor dan outdoor. Tunarungu & Tunawicara Tanaman berada di sisi jalan sehingga dapat dijadikan sebagai pengarah dan pembatas jalan Tanaman yang berada di sisi jalan dapat menuntun pengguna menuju setiap zona. Persentase Tebet Eco Park 76% Sumber : Olahan Pribadi, 2023 Dengan adanya prinsip ini, sudah seharusnya fasilitas yang ada dilengkapi dengan informasi yang mana bertujuan untuk memudahkan pengguna. Dari hasil analisis pada tabel di atas, Tebet Eco Park telah memenuhi sebanyak 76% penerapan dari desain universal pada prinsip Informasi Mudah Dipahami. 5. Toleransi terhadap kesalahan Tabel 5 Persentase prinsip Desain Universal “Toleransi terhadap kesalahan (Tolerance for error) pada Tebet Eco Park. Penyandang Disabilitas Eksisting Hasil Analisis Jalur (pathways & ram) Tunadaksa Area terbuka sehingga adanya pencahayaan alami yang maksimal Pencahayaan yang cukup pada area bangunan untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Lebar ram pada akses masuk > 0,95 meter yaitu 6 meter Lebar ram memudahkan pengunjung untuk mengakses pintu masuk tanpa harus berhimpitan. Kemiringan ram pada akses masuk 1 : 14 dan pada jembatan 1 : 16 Kemiringan yang cukup landau memudahkan akses pengguna kursi roda. Terdapat hand-rail pada jembatan dengan tinggi 110 cm Adanya hand-rail dapat mencegah terjadinya kecelakaan. Permukaan pada jalan tidak licin karena menggunakan material aspal sehingga bersifat kasar Penggunaan material yang tidak licin dapat mencegah terjadinya kecelakaan terutama saat hujan turun. Pathways bersifat sirkulasi menerus tidak ada yang terputus Pathways yang bersifat menerus dapat dilalui kursi roda. Tunanetra Area terbuka sehingga adanya pencahayaan alami yang maksimal Pencahayaan yang cukup pada area bangunan untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Tidak terdapat jalur pemandu Dapat membahayakan bagi penyandang disabilitas tunanetra karena tidak dapat mengetahui area yang dapat dilalui dan tidak.


Prasetyorini, A. Sekar. Mannan, A. Khalid. Pandiangan, L. Melania. Implementasi Prinsip Desain Universal Pada…,2023, 10(2): 80-86 85 Tidak terdapat huruf braille pada hand-rail Pada papan informasi tidak menggunakan huruf braille sehingga penyandang tuanetra tidak dapat mengetahui peraturan yang harus diperhatikan. Permukaan pada jalan tidak licin karena menggunakan material aspal sehingga bersifat kasar Penggunaan material yang tidak licin dapat mencegah terjadinya kecelakaan terutama saat hujan turun. Tunarungu & Tunawicara Permukaan pada jalan tidak licin karena menggunakan material aspal sehingga bersifat kasar Penggunaan material yang tidak licin dapat mencegah terjadinya kecelakaan terutama saat hujan turun. Terdapat pembatas jalan berupa tanaman dan rambu Tanaman berada di sisi pathways sebagai pembatas antara jalan dengan sungai. Tidak tersedia fasilitas bahasa isyarat Menghambat penyandang disabilitas tunarungu dalam hal berkomunikasi. Rambu dan marka Tunadaksa, Tunanetra, Tunarungu, & Tunawicara Penggunaan material yang tidak licin dapat mencegah terjadinya kecelakaan terutama saat hujan turun. Rambu dan marka sebagai peringatan Peletakkan rambu dan marka tanpa penghalang Tanaman berada di sisi pathways sebagai pembatas antara jalan dengan sungai. Street Furniture Tunadaksa Street furniture berada di sisi pathways sehingga tidak menghalangi jalan Peletakkan street furniture yang tepat, tidak menghalangi jalan sehingga memudahkan pengguna kursi roda Tunanetra Tunarungu & Tunawicara Persentase Tebet Eco Park 86% Sumber : Olahan Pribadi, 2023 Dengan adanya prinsip ini, rancangan Tebet Eco Park diharuskan agar meminimalisir terjadinya bahaya akibat kecelakaan yang tidak disengaja. Jika dilihat pada tabel analisis di atas, Tebet Eco Park telah memenuhi prinsip ini hingga mencapai 86%. 6. Upaya fisik yang rendah Tabel 6 Persentase prinsip Desain Universal “Upaya fisik yang rendah (Low physical effort) pada Tebet Eco Park. Penyandang Disabilitas Eksisting Hasil Analisis Jalur (pathways & ram) Tunadaksa Adanya ram pada akses masuk Tersedianya ram dapat memudahkan penyandang tunadaksa dalam aksesibilitas sehingga tidak menimbulkan kelelahan. Tunanetra Tidak terdapat jalur pemandu Tidak adanya jalur pemandu dapat menyulitkan penyandang tuannetra. Terdapat hand-rail untuk mengakses zona namun jaraknya yang jauh Tersedianya handrail hanya berada di beberapa zona saja sehingga menimbulkan kelelahan pada penyandang tunanetra. Tunarungu & Tunawicara Terdapat hand-rail untuk mengakses zona namun jaraknya yang jauh Tersedianya handrail hanya berada di beberapa zona saja sehingga dapat menimbulkan kelelahan. Tidak tersedia fasilitas bahasa isyarat Tidak adanya fasilitas bahasa isyarat sehingga terhalangnya komunikasi bagi penyandang disabilitas. Rambu dan marka Tunadaksa Peletakkan rambu dan marka yang tidak tinggi Peletakkan rambu dan marka dengan sudut pandang penyandang disabilitas, pengguna kursi roda 30 derajat Tunanetra Tidak ada huruf braille Tidak ada ketersediaan huruf braille pada rambu dan marka menyulitkan bagi penyandang tunanetra. Tunarungu & Tunawicara Rambu dan marka tersebar di setiap zona Rambu marka yang tersebar pada area dalam Street Furniture Tunadaksa Bangku taman ada di setiap jarak 300 meter Bangku taman yang memiliki interval jarak >200 meter sehingga menimbulkan kelelahan bagi penyandang tunadaksa terutama pengguna kruk. Tunanetra Tunarungu & Tunawicara Persentase Tebet Eco Park 27% Sumber : Olahan Pribadi, 2023 Dengan adanya prinsip ini yaitu bertujuan untuk mengedepankan kenyamanan pengguna dalam keadaan apapun. Jika dilihat pada tabel analisis di atas, Tebet Eco Park telah memenuhi prinsip ini hingga mencapai 27%. 7. Memperhatikan dan mempertimbangkan ukuran ruang dalam pendekatan dan penggunaan Penyandang Disabilitas Eksisting Hasil Analisis Jalur (pathways & ram) Tunadaksa Lebar jalan yaitu > 165 cm yang mana berdimensi 3 meter Ukuran ruang gerak pengguna kursi roda minimal 165 cm dan dapat mudah dilalui pengguna kursi roda. Dapat dengan mudah dilalui oleh pengguna kruk karena memiliki ruang gerak yang luas. Tunanetra Ukuran ruang gerak pengguna tongkat minimal 95 cm, sehingga penyandang tunanetra memiliki ruang gerak yang luas. Tunarungu & Tunawicara Penyandang tunarungu & tunawicara memiliki ruang gerak yang luas. Rambu dan marka Tunadaksa Peletakkan rambu yang tidak tinggi karena menyentuh dasar permukaan Peletakkan rambu yang tepat bagi penyandang dengan kursi roda yaitu 30 derajat.


Prasetyorini, A. Sekar. Mannan, A. Khalid. Pandiangan, L. Melania. Implementasi Prinsip Desain Universal Pada…,2023, 10(2): 80-86 86 Tunanetra Tidak terdapat jalur pemandu Menyulitkan penyandang tunanetra dalam bergerak. Tunarungu & Tunawicara Ukuran rambu cukup dapat dilihat dari jarak jauh namun cukup sulit untuk dibaca karena tulisannya yang kecil Ukuran rambu dapat dengan mudah dibaca dari jarak jauh Street Furniture Tunadaksa Tidak terdapat bangku taman untuk kursi roda Bangku taman untuk kursi roda dengan minimal ruang 1,20 meter, sehingga tidak adanya ruang untuk pengguna kursi roda. Tunanetra, Tunarungu, & Tunawicara Tersedia bangku taman dengan dimensi lebar 0,50 meter Tersedianya bangku taman dengan minimal lebar 0,50 meter Persentase Tebet Eco Park 85% Sumber : Olahan Pribadi, 2023 Pada prinsip ini mengedepankan ukuran atau dimensi pada rancangan dengan pendekatan postur hingga gerakan pengguna. Jika dilihat pada tabel analisis di atas, Tebet Eco Park telah memenuhi prinsip ini hingga mencapai 85%. Tabel 7 Tabel persentase penerapan prinsip Desain Universal pada Tebet Eco Park. No. Prinsip Desain Universal Persentase 1 Penggunaan yang setara (Equitable use) 70% 2 Fleksibilitas penggunaan (Flexibility in use) 80% 3 Sederhana dan intuitif (Simple and intuitive) 94% 4 Informasi mudah dipahami (Perceptible information) 76% 5 Toleransi terhadap kesalahan (Tolerance for error) 86% 6 Upaya fisik yang rendah (Low physical effort) 27% 7 Memperhatikan dan mempertimbangkan ukuran ruang dalam pendekatan dan penggunaan (Size and space for approach and use) 85% Total persentase keseluruhan 75% Sumber : Olahan Pribadi, 2023 Dari hasil analisis yang telah dilakukan, Tebet Eco Park belum sepenuhnya menerapkan prinsip Desain Universal pada aksesibilitasnya. Namun, dari hasil dapat dilihat sudah cukup baik karena memiliki nilai persentase >50%. Dari persentase, prinsip “Sederhana dan intuitif (Simple and intuitive)” memiliki persentase paling tinggi yaitu mencapai 94%. Sedangkan, prinsip “Upaya fisik yang rendah (Low physical effort)” memiliki nilai persentase paling rendah yaitu 27%. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari analisis pada penelitian ini, dapat disimpulkan Tebet Eco Park sebagai ruang terbuka aktif sudah cukup menerapkan prinsip Desain Universal. Namun, terdapat salah satu prinsip yang belum terpenuhi oleh Tebet Eco Park. Fasilitas atau area yang terdapat pada Tebet Eco Park area dalam maupun luar belum dapat diakses secara mandiri oleh penyandang disabilitas terutama pada penyandang tunanetra karena tidak adanya jalur pemandu. Dari ke7 Prinsip Desain Universal, prinsip yang paling banyak diterapkan adalah Sederhana dan intuitif (Simple and intuitive)” memiliki persentase paling tinggi yaitu mencapai 94%. Kemudian, prinsip yang belum terpenehui dengan persentase terkecil adalah 27% yaitu pada prinsip “Upaya fisik yang rendah (Low physical effort)”. Tebet Eco Park tidak memenuhi dan belum menerapkan kriteria dalam jalur pemandu dan rambu/marka jalan. Akan lebih ramah bagi penyandang disabilitas apabila perancang bersama pemerintah lebih memperhatikan kendala para penyandang disabilitas dalam hal aksesibilitas ke ruang terbuka aktif tersebut. DAFTAR PUSTAKA Hakim, R. (2003). Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap. Jakarta: Bumi Aksara. Meshur, H. F., & Cakmak, B. Y. (2018). Universal Design in Urban Public Spaces: The Case of Zafer Pedestrian Zone / Konya - Turkey. ICONARP International Journal of Architecture and Planning, 15-40. Mohajan, H. (2018). Qualitative Research Methodology in Social Sciences and Related Subjects. Journal of Economic Development, Environment and People, 23-48. Nguyen, B. V., Han, J., & Moere, A. V. (2022). Towards Responsive Architecture that Mediates Place: Recommendations on How and When an Autonomously Moving Robotic Wall Should Adapt a Spatial Layout. Rakyat, K. P. (2017). Panduan Praktis Implementasi Agenda Baru Perkotaan. Jakarta. Sartika, M. (2002). Analisis Efektivitas Taman Kota Melalui Pendekatan Kondisi Tapak dan Perilaku Pengunjung. Jurnal Rivino. Story, M. F., Mueller, J. L., & Mace, R. L. (2011). The Universal Design File: Designing for People of All Ages and Abilities. North Carolina: The Center for Universal Design. Tampi, D. M., & Mustika, L. (2022). Analisis Kontribusi Ruang Terbuka Publik Pada Pembangunan Kota Sehat (Studi Kasus: Taman Tebet Eco-Park). Jurnal Trave, 10- 18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitias. (2016). Wirartha, I. M. (2006). Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Yuliani, W. (2018). Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif Dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling. QUANTA, 83-91.


14 OPEN ACCESS Indonesian Journal of Spatial Planning P-ISSN: and E-ISSN: 2723-0619 Vol 1 No 1 tahun 2020 http://journals.usm.ac.id/index.php/ijsp Albertus Kevin Adrian a aUniversitas Surya; F8 & F9 Grand Serpong Mall Jalan MH. Thamrin Panunggangan Utara Pinang Tangerang Banten 15143l; [email protected] Info Artikel: • Artikel Masuk: 02/03/2020 • Artikel diterima: 06/03/2020 • Tersedia Online: 30/03/2020 1. PENDAHULUAN Ruang Terbuka Hijau memiliki peran yang vital salah satunya adalah memberikan kenyamanan bagi warga kota. Ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (Bappeda Kota Yogyakarta, 2009). Pengaplikasian taman kota adalah perwujudan dari ruang terbuka hijau. Taman kota merupakan salah satu elemen penyusun ruang kota yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai ruang terbuka, taman kota dipahami sebagai ruang yang berisi unsur-unsur alam dan pemandangan yang ditimbulkan oleh keragaman vegetasi, aktivitas, dan unsur-unsur buatan yang disediakan sebagai fasilitas sosial dan rekreasi, serta sebagai sumber pernapasan kota (Olmsted, 1997: 5). Salah satu jenis taman kota yang diterapkan di Provinsi DKI Jakarta adalah RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak). RPTRA adalah taman yang didesain dengan konsep modern yang akan memiliki berbagai macam jenis pepohonan dan dilengkapi dengan sarana pendukung berupa sarana bermain, sarana olah raga, pendopo untuk belajar, dll (Jakarta Smart City, 2016). RPTRA merupakan contoh ruang terbuka hijau di lingkungan perkotaan yang paling memungkinkan untuk diaplikasikan dikarenakan lahan kota yang KENYAMANAN TERMAL RUANG TERBUKA HIJAU RPTRA DI JAKARTA ABSTRAK Ruang terbuka hijau perkotaan memiliki fungsi yang vital. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kenyamanan thermal Ruang Terbuka Hijau RPTRA di Jakarta. Ruang Publik Terpadu Ramah Anak di Kembangan Utara Jakarta Barat dan Sungai Bambu Jakarta Utara diambil sebagai sample dalam penelitian ini. Penelitian dilakukan dengan cara pengukuran keadaan termal RTH serta penyebaran kuisioner kepada pengunjung. Hasilnya adalah keduanya belum bisa mencapai kenyamanan termal menurut standar kenyamanan termal dari SNI dan PMV (Predicted Mean Vote). Perlu ada stategi design pada kedua RTH tersebut untuk meningkatkan kenyamanan thermal bagi pengguna. Kata Kunci: Kenyamanan Thermal; Ruang Terbuka Hijau, RPTRA Jakarta ABSTRACT Urban green open space has a vital function. This study discusses the thermal comfort of the RPTRA Green Open Space in Jakarta. Child Friendly Integrated Public Spaces in Kembangan, West Jakarta and Sungai Bambu, Nort Jakarta were taken as samples in this study. The study was conducted by measuring the thermal comfort of green open space and the distribution of questionnaires to visitors. No one can achieve thermal comfort in accordance with the thermal comfort standards of SNI and PMV (Predicted Mean Vote). There needs to be a strategic design in both green open spaces to increase thermal comfort for the user Keyword: Thermal Comfort; Green Open Space; RPTRA Jakarta


Adrian Indonesian Journal of Spatial Planning, Vol 1, No 1 tahun, 2020 Doi : 10.26623/ijsp.v1i1.2281 15 terbatas. Namun, kondisi termal dari RPTRA ini belum dianalisis terkait dengan kenyamanan penggunanya. Dilakukan studi analisis di dua lokasi RPTRA yang ada di wilayah DKI Jakarta mengenai bagaimana penerapan taman kota dalam menghadirkan kenyamanan termal bagi penggunanya. Dua lokasi yang terpilih adalah RPTRA Kembangan, Jakarta Barat dan RPTRA Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara dikarenakan faktor adanya massa bangunan, luas, serta fasilitas yang hampir sama. 2. DATA DAN METODE (Arial, 11pt, Bold) 2.1. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi aktual dari RPTRA yang telah ditentukan menjadi lokasi penelitian. Data yang diharapkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian, pengukuran langsung terhadap suhu di beberapa kawasan, kuesioner, maupun wawancara kepada pengguna RPTRA. Data primer ini terdiri dari: 1. Suhu udara 2. Kelembaban udara 3. Kecepatan angin Suhu udara dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan alat environment meter Krisbow KW06-291 sedangkan kecepatan angin dan arah angin diukur dengan menggunakan thermo-anemometer Krisbow KW06-562. Alat ini dipergunakan secara manual untuk mengukur suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Pengukuran dilakukan pada titik-titik yang telah ditentukan dan dilakukan secara bergantian dari titik satu ke titik lainnya. Oleh karena lokasi antara titik pengukuran berdekatan, selang waktu antar pengukuran dapat diminimalkan. Kegiatan pengukuran ini dilakukan mulai dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Pengukuran manual ini dilakukan dengan memegang alat pada ketinggian ± 1,00 meter dari permukaan tanah kemudian didiamkan hingga suhu udara dan kelembaban udara yang tertera pada alat tidak naik / turun lagi atau pada saat sudah ada kestabilan suhu udara. Dalam hal kecepatan angin, hasil pengukuran yang dicatat adalah rata-rata hasil pengukuran selama beberapa detik. Hasil yang kemudian didapat adalah suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin untuk untuk masingmasing jamnya. Alat yang digunakan: 1. Environment Meter Krisbow KW06-291 2. Thermo Anemometer Krisbow KW06- 562 3. Laser Distance Meter 2.2. Titik Sampel Pengukuran Gambar 1. Titik Sampel di RPTRA Kembangan Utara, Jakarta Barat (Hasil Analisa, 2017) Titik sampel pengukuran diambil pada beberapa titik yang sering dipergunakan oleh pengunjung RPTRA. Titik sampel pada RPTRA Kembangan Utara, Jakarta Barat berada pada: 1. Kebun belakang, 2. Taman bermain belakang, 3. Lapangan futsal, 4. Teras samping ampiteater, 5. Ampiteater, 6. Taman bermain depan


Adrian Indonesian Journal of Spatial Planning, Vol 1, No 1 tahun, 2020 Doi : 10.26623/ijsp.v1i1.2281 16 Gambar 2. Titik Sampel di RPTRA Sungai Bambu, Jakarta Utara (Hasil Analisa, 2017) Titik sampel pada RPTRA Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara berada pada: 1. Taman Bermain Belakang, 2. Kebun Belakang, 3. Ruang Serbaguna, 4. Ampiteater, 5.Taman Bermain Depan 6. Lapangan Futsal 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu Udara Berikut merupakan grafik suhu udara di RPTRA Kembangan Kembangan, Jakarta Barat pada enam titik yang berbeda yang dilakukan pada pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Gambar 3 Grafik Suhu Udara Hasil Pengukuran (Hasil Analisa, 2017) Berdasarkan grafik di atas, dapat terlihat bahwa dari keenam titik pengukuran yang dilakukan selama waktu yang ditentukan, tidak ada suhu udara yang masuk ke dalam suhu nyaman menurut SNI maupun penelitian lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa RPTRA Kembangan belum dapat mencapai kenyamanan termal berdasarkan standar dan penelitian. Kelembaban Udara Berikut merupakan grafik kelembaban udara di RPTRA Kembangan Utara, Jakarta Barat pada tujuh titik yang berbeda yang dilakukan pada pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Gambar 4 Grafik Kelembaban Udara Hasil Pengukuran Grafik Kelembaban Udara Hasil Pengukuran di RPTRA Kembangan, Jakarta Barat pada Enam Titik Berbeda Berdasarkan grafik di atas, dapat terlihat bahwa hampir keseluruhan titik pada tiap jam memperoleh nilai yang sesuai dengan standar kenyamanan termal. Kondisi kelembaban yang tidak sesuai dengan kriteria kenyamanan termal terjadi pada pukul 12.00 dan pukul 13.00 di beberapa titik. Kondisi ini dikarenakan panas yang cukup terik dan kondisi yang kering. Kecepatan Angin Grafik kecepatan angin di RPTRA Kembangan Utara, Jakarta Barat pada enam titik yang berbeda yang dilakukan pada pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB.


Adrian Indonesian Journal of Spatial Planning, Vol 1, No 1 tahun, 2020 Doi : 10.26623/ijsp.v1i1.2281 17 Gambar 5 Grafik Kecepatan Angin Hasil Pengukuran pada Enam Titik Berbeda di RPTRA Kembangan Utara, Jakarta Barat (Hasil Analisa, 2017) Berdasarkan grafik di atas, kecepatan angin pada keenam titik masih pada kondisi nyaman. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya titik yang melebihi standar kenyamanan termal. Namun, seperti yang dapat terlihat bahwa kecepatan angin memiliki dinamika dari waktu ke waktu sehingga sulit untuk mendapatkan kondisi stabil. 4. SIMPULAN Dari ketiga indikator kenyamanan termal meliputi dapat disimpulkan bahwa suhu udara, kecepatan usaha, dan kelembaban udara memenuhi standard kenyamanan termal baik dilihat berdasarkan standard SNI maupun standard PMV (Predicted Mean Vote) pada waktu pengukuran dari pukul 09.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB baik di Ruang Terbuka Hijau RPTRA Kembangan Utara Kecamatan Jakarta Barat dan Sungai Bambu Kecamatan Jakarta Utara. Diperlukan stategi peningkatan kualitas kenyamanan termal pada RTH RPTRA di Jakarta agar lebih ramah anak. 5. REFERENSI ASHRAE. (2013). Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy. Retrieved 5 2, 2017, from ASHRAE: ashrae.org Auliciems, A., & Szokolay, S. (2007). Thermal Comfort. Queensland: International University of Queensland. Bank, W. (2007). Berinvestasi untuk Indonesia yang Lebih Berkelanjutan. Jakarta: The World Bank Group. Barakat, A., Ayad, H., & El-Sayed, Z. (2017). Urban Design in Favor of Human Thermal Comfort for Hot Arid Climate Using Advanced Simulation Methods. Alexandria Engineering Journal, 1-11. Bianpoen, dkk. (1989). Fungsi Taman dalam Kota. In Fungsi Taman dalam Kota (p. 7). Jakarta: PUSLIT Teknologi dan Permukiman UNTAR. Carmona, M. (2003). Public Spaces - Open Spaces: The Dimensions of Urban Design. London: Architectural Press London. Carmona, M. (2008). Public Space: The Management Dimension. New York: Routledge. City, J. S. (2016). Kondisi RPTRA Bisa Dipantau Melalui Jakarta Smart City Portal. Retrieved 11 4, 2016, from Jakarta Smart City: http://smartcity.jakarta.go.id/blog/37/kondi si-rptra-bisa-dipantau-melalui- jakartasmart-city-portal Elnabawi, M. H., Hamza, N., & Dudek, S. (n.d.). USE AND EVALUATION OF THE ENVIMET MODEL FOR TWO DIFFERENT URBAN FORMS IN CAIRO, EGYPT: MEASUREMENTS AND MODEL Simulations. Herman. (2000). Pengaruh Naungan Terhadap Kenyamanan Termal Pemakai Jalur Pedestrian dan Selasar (Studi Kasus : Jalur Pedestrian dan Selasar Kampus Fakultas Teknik Universitas Indonesia). Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Huttner, S., Bruse, M., & Dostal, P. (2010). Numerical Modeling of the Urban Climate - A Preview on Envi Met 4.0. Retrieved 11 2, 2016, from http://www.envi-met.net/ Kartawira, Y. (1989). Kriteria Kualitas Udara dan Bising. Jakarta: PUSLIT Teknologi dan Permukiman UNTAR. Kemendagri. (2007). Peraturan Mendagri No. 1 Tahun 2007.


Adrian Indonesian Journal of Spatial Planning, Vol 1, No 1 tahun, 2020 Doi : 10.26623/ijsp.v1i1.2281 18 Lippsmeier, G. (1997). Bangunan Tropis. Jakarta: Erlangga. Nugroho, M. (2011). A Preliminary Study of Thermal Environment in Malaysia's Terraced House. Journal and Economic Engineering, 25-28. Olgay, V. (1963). Design with Climate: Bioclimatic Approach to Architectural Regionalism. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. Olmsted, F. L. (1997). The Papers of Frederick Law Olmsted: Writings on Public Parks, Parkways, and Park Systems. Maryland: Johns Hopkins University Press. Ragheb, A. A., El-Darwish, I. I., & Ahmed, S. (2016). Microclimate and Human Comfort Considerations in Planning a Historic Urban Quarter. International Journal of Sustainable Built Environment, 156-167. Taha, H., Sailor, D., & Akbari, H. (1992). HighAlbedo Materials for Reducing Building Cooling Energy Use. California: Lawrence Berkeley Laboratory Report. Yogyakarta, B. K. (2009). Rencana Aksi Ruang Terbuka Hijau. Yogyakarta.


Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 894 Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan https://jurnal.stiq-amuntai.ac.id/index.php/al-qalam P-ISSN: 1907-4174; E-ISSN: 2621-0681 DOI : 10.35931/aq.v17i2.1966 ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU DI JAKARTA Parissa Filifin Universitas Negeri Jakarta [email protected] I Made Astra Universitas Negeri Jakarta [email protected] Budiaman Universitas Negeri Jakarta [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan ruang terbuka hijau yang diperlukan oleh Kota Jakarta. Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif dan data-data sekunder. Metode perhitungan ruang terbuka hijau dilakukan melalui regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hasil dari penelitian ini kemudian menemukan bahwa ketersediaan ruang terbuka hijau (Green Open Space) yang terdapat di Jakarta 2748,81 Ha menurut Dinas Pertamanan DKI Jakarta. Sementara itu, luas Jakarta adalah 66394,18 Ha sehingga didapati ruang terbuka hijau hanya 4,1 % masih jauh dari harapan terpenuhnya kebutuhan ruang terbuka hijau yang dibutuhkan di Jakarta sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan. Sedangkan dengan parameter kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta Tahun 2020 bahwa penduduk Jakarta mencapai 10.467.630 jiwa yang seharusnya memiliki luas ruang terbuka hijau (Green Open Space) sebesar 19.918 Ha. Namun pada kenyataan yang terjadi pada saat ini di Kota DKI Jakarta keberadaan ruang terbuka hijau hanya 2748,81 Ha saja. Kata Kunci: Ruang Terbuka Hijau, Kota Jakarta, Kepadatan Penduduk. Abstract This study aims to analyze the need for green open space required by the City of Jakarta. This research will be carried out using qualitative methods and secondary data. The green open space calculation method is carried out through regulations set by the government. The results of this study then found that the availability.1 of green open space (Green Open Space) in Jakarta is 2748.81 Ha according to the Jakarta Parks Service. Meanwhile, the area of Jakarta is 66,394.18 Ha, so it is found that only 4.1% of green open space is still far from fulfilling the expectation of fulfilling the need for green open space needed in Jakarta in accordance with established regulations. Meanwhile, the parameters for the need for green open space are based on the number of residents. Based on data from the Jakarta Central Statistics Agency for 2020, Jakarta's population reaches 10,467,630 people, which should have a green open space area of 19,918 hectares. But in fact what is happening at this time in the City of Jakarta is that there are only 2748.81 Ha of green open space. Keywords: Green Open Space, City of Jakarta, Population Density. 1 Mardiansjah, Fadjar Hari, dan Paramita Rahayu. "Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota-Kota di Indonesia: Suatu Perbandingan Antar-Wilayah Makro Indonesia." Jurnal Pengembangan Kota 7.1 (2019): 91-110.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 895 PENDAHULUAN Kota Jakarta pada saat ini menjadi salah satu kota di Indonesia dengan jumlah penduduk tebesar di Asia Tenggara. Hal ini menyebabkan beberapa dampak seperti mengalami proses degradasi lingkungan seperti bencana banjir, sampah, polusi udara yang tidak baik. Mengenai Persoalan kependudukan yang saat ini sedang terjadi di Kota Jakarta pada dasarnya dikarenakan jumlah dan pertumbuhan penduduk yang besar jika dibandingkan dengan daya tampung wilayah kota dan pelayanan yang bisa diberikan oleh kota. 2 Besarnya jumlah penduduk Kota Jakarta disebabkan oleh tingginya arus urbanisasi yang berasal dari daerah luar Jakarta. Hingga saat ini jumlah penduduk Jakarta mencapai 10.467.630 jiwa dengan kepadatan penduduk 15.804 jiwa/km² tentunya telah terjadi penambahan jumlah penduduk pada siang hari diakibatkan pendatang dari daerah penglaju seperti Tangerang, Bekasi, Bogor dan Depok. 3 Jakarta menjadi bagian dari Provinsi di Indonesia yang juga mengalami pembangunan wilayah terus menerus. Terus meningkatnya pembangunan dan pengembangan di wilayah Jakarta berdampak dengan tingginya dinamika yang terjadi terhadap penggunaan lahan. Jakarta memiliki jumlah penduduk 10,7 juta dan mengalami pertumbuhan rata rata pada 3 tahun terakhir 1.02 % pertahun. 4 Jika hal ini terus terjadi maka dalam proyeksi hingga tahun 2030 bisa mencapai 11.6 juta jiwa. Tingginya angkanya urbanisasi di Jakarta hingga saat ini kepadatan penduduk mencapai 15.804 jiwa/km2. 5 Dengan kondisi jumlah penduduk di Kota Jakarta menyebabkan kebutuhan lahan yang meningkat termasuk kebutuhan ruang terbuka hijau yang menjadi salah faktor kenyamanan makhluk hidup. Ruang Terbuka Hijau merupakan bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) yang terdapat di wilayah perkotaan dan diisi dengan jenis tumbuhan dan vegetasi (endemik maupun introduksi) dalam guna mendukung manfaat ekologi, sosial-budaya dan arsitektural yang mampu memberikan manfaat bagi masyarakat. 6 2 Hadijah, Zara, dan Mohammad Isnaini Sadali. "Pengaruh Urbanisasi terhadap Penurunan Kemiskinan di Indonesia." Jurnal Wilayah dan Lingkungan 8.3 (2020): 290-306. 3 Susiati, Ana. "Analysis of Migration Phenomenon and Urban Bias in Indonesia." Formosa Journal of Sustainable Research 1.7 (2022): 1029-1040. 4 Taslim, Rhoshandhayani Koesiyanto, Marga Mandala, dan Indarto Indarto. "Pengaruh Luas Penggunaan Lahan terhadap Laju Erosi: Studi pada Beberapa DAS di Wilayah Tapal Kuda Jawa Timur (the Effect of Land Use on Erosion Rate: A Study at Several Watersheds in Tapal Kuda Region, East Java)." Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 3.2: 141-158. 5 Yana, Syaifuddin, Ardhana Yulisma, dan T. M. Zulfikar. "Manfaat Sosial Ekonomi Energi Terbarukan: Kasus Negara-negara ASEAN." Jurnal Serambi Engineering 7.1 (2022). 6 Hesty, Rein Susinda, dkk. "Perbandingan Berbagai Teknik Estimasi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandar Lampung." Jurnal Tanah dan Iklim 43.1 (2019): 59-70.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 896 Ruang terbuka hijau memiliki peranan yang penting bagi masyarakat perkotaan, yang diantaranya adalah sebagi paru-paru perkotaan. 7 Tabel 1. Persentase Luas Taman Menurut Jenis dan Kota/Kab. Administrasi, 2021 Kota Area RTH (Ha) Luas (Ha) Kep. Seribu 4,50 Kep. Seribu Jakarta Selatan 629,11 Jakarta Selatan Jakarta Timur 597,99 Jakarta Timur Jakarta Pusat 542,29 Jakarta Pusat Jakarta Barat 518,74 Jakarta Barat Jakarta Utara 456,18 Jakarta Utara Total 2748,81 Total Menurut data tabel diatas Jakarta memiliki ruang terbuka hijau (Grean Open Space) yang sempit. Maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah dalam penelitian yang menurut data pertumbuhan jumlah penduduk di Jakarta dalam kurun waktu dari tahun 2011 – 2020 apakah berpengaruh terhadap terjadinya perubahan keberadaan ruang terbuka hijau (Green Open Space) di Jakarta. Jakarta merupakan kota yang memiliki pusat-pusat kegiatan seperti Industri, permukiman dan ruang publik yang dapat di nikmati oleh masyarakat umum. Namun Jakarta sendiri memiliki luas lahan terbuka hijau terendah dibandingkan dengan kota-kota besar lain yang ada di Indonesia. Fenomena ini tentunya menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan di Kota Jakarta. 8 Sehingga issue mengenai terbatasnya ruang terbuka hijau di Jakarta menjadi fenomena yang melatar belakangi penelitian ini sehingga melatarbelakangi penelitian mengenai ketersediaan ruang terbuka hijau (Green Open Space) di Jakarta berdasarkan peraturan pemerintah dan jumlah penduduk di Kota Jakarta serta dalam proyeksi pertumbuhan penduduk 20 tahun kedepan. Urbanisasi banyak menghasilkan perubahan yang drastis di Dunia dalan keberlanjutan lingkungan di wilayah kota dan bagi wilayah di sekitarnya. Dalam rentang waktu wilayah 2010 – 2050 menurut data PBB bahwa telah terjadi peningkatan urbanisasi mulai dari 51,50% - 67,2% dengan kondisi tersebut mampu menghabiskan 75% sumber daya alam yang ada di bumi. 7 Ayu, Ardianti Permata. "Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Citra Kota Studi Kasus: Taman Suropati, Jakarta." Jurnal Ilmiah Desain & Konstruksi 18.1 (2019): 53-66. 8 Sobarna, Cece. "Bandung Menuju Kota untuk Semua: Harapan dan Kenyataan yang Selaras dengan SDGs." Metahumaniora 10.3 (2020): 295-309.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 897 Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memperkirakan luas ruang terbuka hijau (Green Open Space) yang dibutuhkan di Jakarta berdasarkan 3 pengukuran yang akan digunakan yaitu luas wilayah, jumlah penduduk dan proyeksi kebutuhan pada tahun 2040 seiring dengan peningkatan jumlah pendudu dalam rentang 20 tahun. KAJIAN LITERATUR Ruang Terbuka Hijau Ruang terbuka hijau adalah ide yang menyoroti pertimbangan penggabungan antara lingkungan dan manusia dalam perencanaan kota. Melalui penggunaan konsep desain yang humanis dan penciptaan lingkungan kota satelit, pendekatan ini mendorong pertumbuhan semua kawasan perkotaan. Jelas bahwa konsep kota taman berpengaruh dalam desain perkotaan Indonesia selama era VOC karena banyaknya ruang hijau publik seperti taman dan alun-alun. Akibatnya, ide ini akan membentuk landasan rencana masa depan untuk taman kota dan alunalun. 9 Komponen kunci dari pertumbuhan berkelanjutan adalah akses ke ruang terbuka hijau. Karena definisinya dapat diartikan dalam beberapa hal, maka ruang terbuka hijau merupakan istilah dalam ilmu transdisipliner. Ruang terbuka hijau perkotaan didefinisikan oleh Bilgili dan Gokyer sebagai kombinasi penggunaan lahan dan permukaan lahan yang ditutupi oleh unsur tumbuhan alami yang ditanam oleh manusia. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, keberadaan rerumputan, pohon-pohon besar, dan jenis vegetasi hijau lainnya dalam suatu wilayah merupakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. 10 Haq mengklaim bahwa ruang terbuka hijau bermanfaat dalam tiga hal: lingkungan, sosial, dan ekonomi. Manfaat bagi lingkungan termasuk stabilitas iklim (ekologis), pengurangan polusi, dan pelestarian spesies. Selain manfaat fisik dan sosial yang jelas, Barton juga berpendapat bahwa penciptaan ruang terbuka hijau berdampak positif bagi kesehatan mental masyarakat. 11 Kemudian Silas berpendapat bawah keberadan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan Indonesia memberikan berbagai manfaat berupa: a) Alat untuk mencerminkan identitas (citra) daerah. b) Sarana rekreasi aktif dan pasif, serta interaksi sosial. c) Meningkatkan nilai ekonomi kota urban. d) Digunakan sebagai kegiatan sosial untuk anak-anak, remaja, dewasa, dan manula. 9 Sinatra, Fran, dkk. "Prinsip Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota sebagai Infrastruktur Hijau di Kota Bandar Lampung." Jurnal Planologi 19.1 (2022): 19-36. 10 Mayona, Enni Lindia. "Konsep Ecological City dalam Kerangka Konsep Ekologi Kota dan Kota Berkelanjutan." Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) 2021. 2021. 11 Prakoso, Panji, dan Herdis Herdiansyah. "Analisis Implementasi 30% Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta." Majalah Ilmiah Globe 21.1 (2019): 17-26.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 898 e) Digunakan sebagai ruang evakuasi untuk keadaan darurat. f) Meningkatkan cadangan oksigen perkotaan. 12 Perencanaan untuk ruang terbuka publik hijau dan non-hijau pada sebidang tanah tertentu adalah cara lain untuk mencirikan apa yang dikenal sebagai "perencanaan tata ruang terbuka hijau." Ruang terbuka hijau, memiliki fungsi dan peran yang unik pada setiap petak lahan dalam rencana tata ruang setiap kota, dirancang sebagai tatanan tanaman dan vegetasi untuk mendukung fungsi ekologi, sosial budaya, dan arsitektur, sehingga memberikan manfaat yang maksimal untuk kesejahteraan ekonomi dan sosial. 13 a) Fungsi ekologis: ruang terbuka hijau penting bagi lingkungan karena membantu mengatur iklim lokal, menyaring udara yang kita hirup, dan memurnikan air minum kita. b) Fungsi sosial budaya: ruang terbuka hijau dinilai memiliki potensi sebagai tempat berkumpul, taman bermain, bahkan sebagai simbol identitas daerah. c) Fungsi arsitektur/estetika: taman dan ruang hijau lainnya memberikan tujuan arsitektur dan estetika yang penting dengan meningkatkan keinginan lingkungan sekitarnya. d) Fungsi ekonomi: berfungsi sebagai pengembangan wisata hijau perkotaan, ruang terbuka hijau seharusnya dapat menarik orang ke suatu wilayah, sehingga meningkatkan aktivitas ekonomi. 14 Ada empat cara utama di mana ruang terbuka perkotaan membantu penduduk setempat: melalui rekreasi, keuntungan ekologis, peningkatan estetika, dan peningkatan kesehatan. Manfaat psikologis yang diperoleh pengunjung ruang hijau perkotaan meningkat dengan keanekaragaman hayatinya, menunjukkan bahwa 'hijau' saja tidak cukup; kualitas hijau itu penting juga. 15 a) Rekreasi Ruang terbuka perkotaan sering dihargai untuk kesempatan rekreasi yang disediakannya. Rekreasi luar ruangan aktif (seperti olahraga terorganisir dan latihan individu) adalah salah satu jenis rekreasi luar ruangan perkotaan; rekreasi luar ruangan pasif (yang mungkin hanya perlu berada di tempat luar) adalah hal lain. Menurut penelitian, kemungkinan orang berolahraga 12 Han, Shuyan, dkk. "Behaviour in Public Open Spaces: A Systematic Review of Studies with Quantitative Research Methods." Building and Environment (2022): 109444. 13 Andriyansyah, M. Fahrudin Andri, dan Hisbul Luthfi Ashsyarofi. "Kebijakan Ruang Terbuka Hijau Publik Pemerintah Kota Malang di Wilayah Kecamatan Kedungkadang." Jurnal Hukum dan Kenotariatan 6.3 (2022): 1389-1405. 14 Firianti, Wahidatul Rizqi. "Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Sungai Winongo di Kricak Kota Yogyakarta." Jurnal Noken: Ilmu-Ilmu Sosial 5.1 (2019): 67-80. 15 Mao, Qizheng, dkk. "Evaluating Cultural Ecosystem Services of Urban Residential Green Spaces from the Perspective of Residents' Satisfaction with Green Space." Frontiers in public health 8 (2020): 226.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 899 meningkat ketika ruang publik menarik secara visual dan nyaman untuk dijangkau. 16 Waktu yang dihabiskan di ruang terbuka perkotaan untuk rekreasi memberikan penangguhan dari lingkungan perkotaan dan istirahat dari stimulasi yang berlebihan. Studi yang dilakukan pada orang dewasa paruh baya dan lebih tua yang aktif secara fisik menunjukkan ada manfaat yang lebih besar ketika aktivitas fisik digabungkan dengan lingkungan ruang hijau. Kegiatan seperti itu menyebabkan penurunan tingkat stres, menurunkan risiko depresi serta meningkatkan frekuensi partisipasi dalam olahraga. Jalan santai berkelompok di lingkungan hijau (nature walk) meningkatkan sikap positif seseorang dan menurunkan tingkat stres serta risiko depresi. 17 b) Ekologis Selain manfaat estetika yang jelas, melindungi satwa liar di perkotaan juga bermanfaat bagi manusia dengan cara yang lebih praktis. Sebuah buletin urusan sipil Toronto berjudul Ruang Terbuka Perkotaan: Kemewahan atau Kebutuhan membuat klaim bahwa "kesadaran populer akan keseimbangan alam, proses alami, dan tempat manusia di dalam dan pengaruhnya terhadap alam – yaitu, "kesadaran ekologis”–adalah penting. 18 Karena manusia semakin banyak hidup di lingkungan buatan manusia, dia berisiko melukai dirinya sendiri dengan membangun dan bertindak tanpa mengetahui proses alam". Selain berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi manusia dan alam, taman kota juga berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi satwa liar yang mungkin tergusur oleh penyebaran pemukiman manusia. 19 Dengan memiliki kesempatan untuk berada di dalam ruang hijau perkotaan, orang mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi terhadap alam di sekitar mereka. Seperti yang disebutkan Bill McKibben dalam bukunya The End of Nature, orang hanya akan benar-benar memahami alam jika mereka tenggelam di dalamnya. Dia mengikuti jejak Henry David Thoreau ketika dia mengasingkan diri di Pegunungan Adirondack untuk menjauh dari masyarakat dan cita-cita luar biasa yang dibawanya. Bahkan di sana dia menulis bagaimana masyarakat dan dampak manusia mengikutinya saat dia melihat pesawat terbang berdengung di atas kepala atau mendengar deru perahu motor di kejauhan. 20 16 Grzyb, Tomasz, dkk. "Using Social Media to Assess Recreation across Urban Green Spaces in Times of Abrupt Change." Ecosystem Services 49 (2021): 101297. 17 Rosidin, Udin, Nina Sumarni, dan Iwan Suhendar. "Penyuluhan tentang Aktifitas Fisik dalam Peningkatan Status Kesehatan." Media Karya Kesehatan 2.2 (2019). 18 Alvianna, Stella, dkk. "The Role of Green Tourism Perception, Environmental Concern and Intention of Participation in Green Tourism on Environmentally Responsible Tourism Behavior." Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 10.1 (2022): 79-87. 19 Noe, Elizabeth Elliot, dan Ottilie Stolte. "Dwelling in the City: A Qualitative Exploration of the Human-Nature Relationship in Three Types of Urban Greenspace." Landscape and Urban Planning 230 (2023): 104633. 20 Cameron, Ross WF, dkk. "Where the Wild Things Are! Do Urban Green Spaces with Greater Avian Biodiversity Promote More Positive Emotions in Humans?." Urban ecosystems 23 (2020): 301-317.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 900 c) Estetis Taman kota dan ruang publik lainnya memiliki nilai estetika yang tak terbantahkan. Ketika alam sangat distigmatisasi, seperti yang sering terjadi di perkotaan, kehadirannya disambut dengan tangan terbuka. Oleh karena itu, ruang terbuka menawarkan nilai "mengganti infrastruktur abu-abu". Menurut sebuah penelitian, orang lebih cenderung mengadopsi praktik berjalan kaki dan berorientasi komunitas jika mereka tinggal di area yang menarik secara visual. Properti di dekat ruang terbuka perkotaan cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi. 21 Sebuah penelitian dapat menunjukkan bahwa, "pemandangan yang menyenangkan dapat menyebabkan kenaikan harga rumah yang cukup besar, terutama jika rumah tersebut menghadap ke air (8–10%) atau ruang terbuka (6–12%)." Manfaat tertentu juga dapat diperoleh dari paparan versi virtual dari lingkungan alam. Misalnya, orang-orang yang diperlihatkan gambar-gambar pemandangan, lingkungan alam telah meningkatkan aktivitas otak di wilayah yang terkait dengan mengingat kenangan indah, dibandingkan dengan orang-orang yang diperlihatkan gambar pemandangan kota. 22 d) Dampak terhadap kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia telah mengakui manfaat kesehatan dari ruang hijau di daerah perkotaan. Manfaat kesejahteraan emosional dan fisik seseorang dari bidang-bidang ini tidak dapat disangkal. Pohon dan tumbuhan lain di ruang terbuka perkotaan membantu mengatur suhu dan mengurangi polusi udara. 23 Persepsi kesehatan lebih tinggi pada komunitas dengan lebih banyak ruang hijau. Ada korelasi langsung antara ketersediaan ruang terbuka perkotaan dan pengurangan kejadian dan keparahan penyakit kronis yang terkait dengan ketidakaktifan, peningkatan kesehatan psikologis, dan mitigasi kerentanan penduduk terhadap dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. 24 METODE PENELITIAN Penelitian ini akan dilaksanakan dengan menggunakan data sekunder yang berisikan luas wilayah, jumlah penduduk hingga proyeksi jumlah penduduk Jakarta di tahun 2040. Adapun datadata ini diperoleh melalui Badan Pusat Statistik Jakarta dan Dinas Pertamanan Jakarta. Data 21 Chen, Xianwen, dkk. "Research Challenges for Cultural Ecosystem Services and Public Health in (Peri-) Urban Environments." Science of the Total Environment 651 (2019): 2118-2129. 22 Basu, Sukanya, dan Harini Nagendra. "Perceptions of Park Visitors on Access to Urban Parks and Benefits of Green Spaces." Urban Forestry & Urban Greening 57 (2021): 126959. 23 Jennings, Viniece, dan Omoshalewa Bamkole. "The Relationship between Social Cohesion and Urban Green Space: An Avenue for Health Promotion." International journal of environmental research and public health 16.3 (2019): 452. 24 Pratiwi, Ririk Darti, Indung Sitti Fatimah, dan Aris Munandar. "Persepsi dan Preferensi Masyarakat terhadap Infrastruktur Hijau Kota Yogyakarta." Jurnal Lanskap Indonesia 11.1 (2019): 33-42.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 901 penelitian yang sudah berhasil dikumpulkan kemudiana akan dianalisis, agar hasil dari penelitian ini dapat ditemukan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Regulasi Pemerintah Dalam Menghitung Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Penghitungan kebutuhan RTH dapat dilaksanakan dengan menggunakan tiga parameter yang merujuk dengan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam penggunaan beberapa parameter seperti: a) Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (Green Open Space) berdasarkan luas wilayah di Kota Jakarta. b) Kebutuhan ruang terbuka hijau (Green Open Space) berdasarkan jumlah penduduk. c) kebutuhan ruang terbuka hijau (Green Open Space) dalam proyeksi pertumbuhan penduduk 20 tahun kedepan. Kebutuhan ruang terbuka hijau (Green Open Space) di kawasan perkotaan seharusnya mengikuti peraturan tata ruang wilayah yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2007 mengenai kebutuhan tata ruang, yaitu harus mencukupi minimal sebesar 30% dari luas wilayah perkotaan dari keseluruhan luas wilayah yang terdiri dari 20% Ruang Terbuka Hijau Publik dan 10% Ruang terbuka Hijau Privat yang disediakan oleh masyarakat. Bentuk Ruang terbuka yang dimaksud didalamnya berdasarkan Pasal 1 butir 31 Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 mengenai Penataan Ruang menjelaskan bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang atau mengelompok, dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka tempat tumbuhnya tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun disengaja ditanam. Sedangkan dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum: Nomor: 05/PRT/M/2008 ruang terbuka adalah ruang-ruang dalalm wilayah kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun dalam bentuk yang memiliki area memanjang atau jalur dimana di dalam penggunaanya lebih bersifat terbuka tanpa ada bangunan. Dalam penentuan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 5/PRT/M/2008 adalah sebagai berikut : K = L x Keterangan : K = Ketersediaan ruang terbuka hijau L = Luas Wilayah Dalam penentuan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dapat dilakukan dengan aturan 20 m² per kapita. Kebutuhan Ruanng Terbuka Hijau berdasarkan jumlah penduduk


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 902 dengan mengalikan antara jumlah penduduk dengan standar luas Ruang terbuka Hijau per-kapita sesuai dengan peraturan yang berlaku dengan kondisi pertumbuhan penduduk di Jakarta dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. RTH pi = Pi x k Keterangan : K = Nilai ketentuan luas ruang terbuka hijau perpenduduk Pi = Jumlah penduduk pada wilayah tertentu. Dalam menentukan kebutuhan ruang terbuka hijau pada tahun 20 tahun kedepan. Langkah pertama yang dilakukan dengan menghitung proyeksi penduduk Jakarta pada 20 tahun kedepan. Dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Pn = Po Keterangan : Pn = Jumlah penduduk tahun ke n Po = Jumlah penduduk tahun dasar r = Laju pertumbuhan penduduk n = Jumlah interval B. Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Jakarta Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 bahwa ketersediaan Ruang Terbuka hijau harus mencapai minimum 30% dari luas wilayah perkotaan. Sehingga proporsi 30% tersebut terbagi dalam 20% ruang terbuka hijau yang disediakan oleh pemerintah dan 10% ruang terbuka hijau private. Ketersediaan ruang terbuka hijau yang terdapat di Jakarta mencapai 2748,81 Ha menurut Dinas Pertamanan DKI Jakarta dengan luas Jakarta seluas 66394,18 Ha sehingga dapat dihasilkan kebutuhan ruang terbuka hijau dengan menggunakan rumus diatas: K = L x K = 66394 x 30/ 100 K = 19.918 Ha Berdasarkan perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau di Jakarta seharusnya mencapai 19.918 Ha. Sedangkan yang tersedia saat ini hanya mencapai 2748 Ha atau hanya sekitar 4.1% saja. Berdasarkan hasil dari data masih jauh dari kebutuhan ruang terbuka hijau yang dibutuhkan di Jakarta sesuai denga yang sudah ditetapkan Peraturan Menteri PU No. 5/PRT/M/2008 sebesar 20% yang harus disediakan oleh pemerintah. Berdasarkan dalam


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 903 peraturan Kementerian Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 telah ditentukan bahwa kebutuhan ruang terbuka hijau telah ditetapkan bahwa 20 m²/penduduk. Menurut data dari Badan Pusat Statistik DKI Jakarta Tahun 2021 bahwa penduduk Jakarta mencapai 10.467.630 jiwa dengan perhitungan dalam menentukan kebutuhan ruang terbuka hijau yang berada berdasarkan jumlah penduduk dapat dihitung dengan: RTH pi = Pi x k RTH pi = 10.467.630 x 20 m² = 213.526.400 m² Dengan perhitungan diatas makan dapat diketahui bahwa kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk Jakarta pada tahun 2020 seharusnya memiliki luas ruang terbuka hijau sebesar 21.352 ha. Namun pada kenyataan yang terjadi pada saat ini keberadaan ruang terbuka hijau hanya 2748,81 ha. Keadaan tersebut tentunya masih jauh dari harapan untuk memenuhi kebutuhan ruang terbuka di Jakarta. Dalam menentukan kebutuhan ruang terbuka hijau pada tahun 20 tahun kedepan. Langkah pertama yang dilakukan dengan menghitung proyeksi penduduk Jakarta pada 20 tahun kedepan. Dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Pn = Po Keterangan : Pn = Jumlah penduduk tahun ke tahun tertentu Po = Jumlah penduduk pada tahun awal r = Laju pertumbuhan penduduk n = Jumlah interval tahun Setelah perhitungan dari hasil proyeksi penduduk di 20 tahun kedepan. Langkah selanjutnya adalah menghitung proyeksi kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta dengan rumus : RTH pi = Pi x k Keterangan : K = nilai ketentuan luas ruang terbuka hijau per penduduk Pi = Jumlah penduduk pada wilayah i Dengan mengambil pertumbuhan jumlah penduduk pada tahun 2020 sebesar 0.92 % maka perhitungan proyeksi dalam 20 tahun kedepan dapat dihitung dengan ; Pn = 10.467.630 x = 12.571.677 jiwa


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 904 Sedangkan kebutuhan ruang terbuka hijau yang dibutuhkan pada proyeksi 20 tahun kedepan dengan jumlah penduduk yang mencapai 12.571.677 jiwa dapat dengan perhitungan sebagi berikut: RTH pi = 12.571.677 x 20 m² = 251.433.540 m² = 25.143 Ha Maka dapat diketahui bahwa luar ruang terbuka hijau dalam proyeksi 20 tahun kedan dengan kondisi penduduk Jakarta sebesar 12.571.677 jiwa ruang terbuka yang dibutuhkan berdasarkan jumlah penduduk yaitu sebesar 25.143 Ha atau sekitar 37% dari luas wilayah Jakarta. Jika hal itu bisa terpenuhi maka dari itu peraturan mengenai kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota sudah mampu terpenuhi. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa ketersedia ruang terbuka hijau di Jakarta masih jauh dari kebutuhan yang selayaknya baik menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 bahwa ketersediaan Ruang Terbuka hijau harus mencapai minimum 30% dari luas wilayah perkotaan. Sehingga proporsi yang seharusnya terpenuhi adalah 30% tterbagi dalam 20% ruang terbuka hijau yang disediakan oleh pemerintah dan 10% ruang terbuka hijau private serta berdasarkan jumlah penduduk di Kota Jakarta. Hal ini tentunya menjadi masalah yang tidak mudah di selesaikan oleh pemerintah. Mengingat banyak nya jumlah penduduk pemerintah yang diiringin dengan lahan yang sangat terbatas. DAFTAR PUSTAKA Alvianna, Stella, dkk. "The Role of Green Tourism Perception, Environmental Concern and Intention of Participation in Green Tourism on Environmentally Responsible Tourism Behavior." Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan 10.1 (2022): 79-87. Andriyansyah, M. Fahrudin Andri, dan Hisbul Luthfi Ashsyarofi. "Kebijakan Ruang Terbuka Hijau Publik Pemerintah Kota Malang di Wilayah Kecamatan Kedungkadang." Jurnal Hukum dan Kenotariatan 6.3 (2022): 1389-1405. Ayu, Ardianti Permata. "Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Citra Kota Studi Kasus: Taman Suropati, Jakarta." Jurnal Ilmiah Desain & Konstruksi 18.1 (2019): 53-66. Basu, Sukanya, dan Harini Nagendra. "Perceptions of Park Visitors on Access to Urban Parks and Benefits of Green Spaces." Urban Forestry & Urban Greening 57 (2021): 126959. Cameron, Ross WF, dkk. "Where the Wild Things Are! Do Urban Green Spaces with Greater Avian Biodiversity Promote More Positive Emotions in Humans?." Urban ecosystems 23 (2020): 301-317.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 905 Chen, Xianwen, dkk. "Research Challenges for Cultural Ecosystem Services and Public Health in (Peri-) Urban Environments." Science of the Total Environment 651 (2019): 2118-2129. Firianti, Wahidatul Rizqi. "Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Sungai Winongo di Kricak Kota Yogyakarta." Jurnal Noken: Ilmu-Ilmu Sosial 5.1 (2019): 67-80. Grzyb, Tomasz, dkk. "Using Social Media to Assess Recreation across Urban Green Spaces in Times of Abrupt Change." Ecosystem Services 49 (2021): 101297. Hadijah, Zara, dan Mohammad Isnaini Sadali. "Pengaruh Urbanisasi terhadap Penurunan Kemiskinan di Indonesia." Jurnal Wilayah dan Lingkungan 8.3 (2020): 290-306. Han, Shuyan, dkk. "Behaviour in Public Open Spaces: A Systematic Review of Studies with Quantitative Research Methods." Building and Environment (2022): 109444. Hesty, Rein Susinda, dkk. "Perbandingan Berbagai Teknik Estimasi Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandar Lampung." Jurnal Tanah dan Iklim 43.1 (2019): 59-70. Jennings, Viniece, dan Omoshalewa Bamkole. "The Relationship between Social Cohesion and Urban Green Space: An Avenue for Health Promotion." International journal of environmental research and public health 16.3 (2019): 452. Mao, Qizheng, dkk. "Evaluating Cultural Ecosystem Services of Urban Residential Green Spaces from the Perspective of Residents' Satisfaction with Green Space." Frontiers in public health 8 (2020): 226. Mardiansjah, Fadjar Hari, dan Paramita Rahayu. "Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota-Kota di Indonesia: Suatu Perbandingan Antar-Wilayah Makro Indonesia." Jurnal Pengembangan Kota 7.1 (2019): 91-110. Mayona, Enni Lindia. "Konsep Ecological City dalam Kerangka Konsep Ekologi Kota dan Kota Berkelanjutan." Prosiding Seminar Nasional Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) 2021. 2021. Noe, Elizabeth Elliot, dan Ottilie Stolte. "Dwelling in the City: A Qualitative Exploration of the Human-Nature Relationship in Three Types of Urban Greenspace." Landscape and Urban Planning 230 (2023): 104633. Prakoso, Panji, dan Herdis Herdiansyah. "Analisis Implementasi 30% Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta." Majalah Ilmiah Globe 21.1 (2019): 17-26. Pratiwi, Ririk Darti, Indung Sitti Fatimah, dan Aris Munandar. "Persepsi dan Preferensi Masyarakat terhadap Infrastruktur Hijau Kota Yogyakarta." Jurnal Lanskap Indonesia 11.1 (2019): 33-42. Rosidin, Udin, Nina Sumarni, dan Iwan Suhendar. "Penyuluhan tentang Aktifitas Fisik dalam Peningkatan Status Kesehatan." Media Karya Kesehatan 2.2 (2019). Sinatra, Fran, dkk. "Prinsip Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota sebagai Infrastruktur Hijau di Kota Bandar Lampung." Jurnal Planologi 19.1 (2022): 19-36. Sobarna, Cece. "Bandung Menuju Kota untuk Semua: Harapan dan Kenyataan yang Selaras dengan SDGs." Metahumaniora 10.3 (2020): 295-309. Susiati, Ana. "Analysis of Migration Phenomenon and Urban Bias in Indonesia." Formosa Journal of Sustainable Research 1.7 (2022): 1029-1040. Taslim, Rhoshandhayani Koesiyanto, Marga Mandala, dan Indarto Indarto. "Pengaruh Luas Penggunaan Lahan terhadap Laju Erosi: Studi pada Beberapa DAS di Wilayah Tapal Kuda Jawa Timur (The Effect of Land Use on Erosion Rate: A Study at Several Watersheds in Tapal Kuda Region, East Java)." Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 3.2: 141-158.


Parissa Filifin, I Made Astra, Budiaman: Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Al Qalam: Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan Vol. 17, No. 2 Maret - April 2023 906 Yana, Syaifuddin, Ardhana Yulisma, dan T. M. Zulfikar. "Manfaat Sosial Ekonomi Energi Terbarukan: Kasus Negara-Negara ASEAN." Jurnal Serambi Engineering 7.1 (2022).


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023, 115-139 Website: http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kauniyah P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 © 2023 The Author(s). This is an open article under CC-BY-SA license (http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/) KARAKTERISTIK LUMUT DI RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI AREA PERMUKIMAN JAKARTA SELATAN THE CHARACTERISTICS OF BRYOPHYTES IN THE GREEN OPEN SPACE IN THE SETTLEMENT AREA OF SOUTH JAKARTA Sarah Tsabituddinillah1 , Afiatry Putrika1,2,3*, Niarsi Merry Hemelda1 , Andi Salamah1 , Windri Handayani1 , Astari Dwiranti1 , Mega Atria1,2,3 1Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 2Ruang Koleksi Biota Herbarium Depokensis, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 3Wildlife Biology and sustainable landscape research group *Corresponding author: [email protected] Naskah Diterima: 26 Juli 2021; Direvisi: 5 November 2021; Disetujui: 4 September 2022 Abstrak Permukiman merupakan salah satu ruang terbuka hijau (RTH) yang terdapat di daerah urban, khususnya Jakarta. Salah satu kelompok tumbuhan yang ditemui pada RTH adalah lumut. Keberadaan lumut di permukiman urban menunjukkan kemampuan lumut yang dapat bertahan di lingkungan yang terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies serta karakteristik lumut di salah satu permukiman Jakarta Selatan. Lumut dikoleksi dengan metode transect-line pada 6 titik tepi jalan dan jelajah bebas pada 3 taman di permukiman tersebut Jakarta Selatan. Pengamatan karakteristik morfologi dan anatomi lumut dilakukan dengan penilaian kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 2 divisi lumut, yaitu Bryophyta (lumut sejati) dan Marchantiophyta (lumut hati) di lokasi penelitian. Bryophyta terdiri dari 6 famili, 9 genus, dan 16 spesies. Sementara itu, Marchantiophyta terdiri dari 2 famili, 2 genus, dan 3 spesies. Pottiaceae merupakan famili dengan jumlah spesies terbanyak ditemukan, yaitu 5 spesies. Fissidens biformis adalah spesies dengan jumlah sampel terbanyak. Lumut tersebut ditemukan pada substrat tanah, batu, dan batang pohon. Kisaran luas tutupan lumut yang ditemukan yaitu 2–100%. Karakteristik seperti ukuran tubuh yang kecil, bentuk hidup, bentuk daun, ornamentasi pada permukaan daun, modifikasi sel daun, serta keberadaan sporofit atau gemma diduga mendukung lumut beradaptasi di lingkungan urban. Kata Kunci: Adaptasi; Bryophyta; Marchantiophyta; Permukiman; Urban Abstract Settlement is one of urban green open spaces in Jakarta. One of the plant groups found in the open green spaces is the bryophytes. The presence of bryophytes in the settlement areas indicates the ability of bryophytes to survive in a disturbed environment. This study aims to determine bryophytes species and their characteristic in the settlements area of South Jakarta. Bryophyte collected by transect-line at 6 sites of roadside and broad survey at 3 sites of park. The morphological and anatomical characteristics were observed with qualitative and quantitative assessments. Mosses and liverworts are groups that found in study sites. The mosses consists of 6 families, 9 genera, and 16 species. Meanwhile, the liverworts consists of 2 families, 2 genera, and 3 species. Pottiaceae is has the highest species richness in the location. Meanwhile the highest number of samples was Fissidens biformis. The bryophytes were attached in the soil, rock, and tree trunk. The coverage of bryophyte is about 2–100%. Characteristics such as small body size, life-forms, leaf shape, the ornamentation on the leaf surface, modified leaf cells, and the presence of sporophyte or gemmae are thought to support the adaptation of bryophyte in urban environments. Keywords: Adaptation; Bryophyte; Marchantiophyte; Open green space; Urban Permalink/DOI: http://dx.doi.org/10.15408/kauniyah.v16i1.21811


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 116 PENDAHULUAN Wilayah urban memiliki aktifitas manusia yang tinggi sehingga didominasi oleh gedung perkantoran, kendaraan bermotor, dan pemukiman padat penduduk. Karena hal tersebut, wilayah urban mengalami masalah-masalah lingkungan. Salah satunya adalah tingkat polusi udara tinggi yang berdampak pada keseimbangan ekosistem (Uttara et al., 2012). Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi masalah tersebut dengan menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta dan kotakota besar lainnya sejak 2007. RTH yang ada merupakan hutan, taman kota, jalur hijau jalan, dan pekarangan di pemukiman yang ditanami beragam spesies tumbuhan (Setiyani et al., 2017). Salah satu kelompok tumbuhan penyusun suatu RTH di daerah urban adalah lumut. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penelitian yang menemukan beragam spesies lumut di wilayah urban. Penelitian lumut di daerah urban di Indonesia pernah dilakukan oleh Putrika (2017) di Hutan Kota Universitas Indonesia yang menemukan 21 spesies dan Kristiyanto et al. (2018) di Arboteum Cibubur yang menemukan 7 spesies. Sementara itu, penelitian lumut di daerah urban juga pernah dilakukan oleh Floyed dan Gibson (2012) di Kota Victoria, Australia, Fudali dan Zolnierz (2019) di hutan kota Wroclaw, Polandia, serta Oishi (2019) di Kota Kyoto, Jepang. Lumut merupakan tumbuhan berstruktur sederhana yang memiliki peran penting bagi ekosistem di daerah urban. Lumut berperan sebagai substrat pertumbuhan benih tannaman tinggi (Bahuguna et al., 2013) dan sebagai biakumulator yang mengabsorpsi unsur-unsur beracun seperti polutan (Sharma, 2007). Selain itu lumut berperan menghambat erosi tanah dan menjaga kelembapan udara iklim mikro disekitarnya (Fajri, 2009). Keberadaan lumut di daerah urban menunjukkan adanya kemampuan adaptasi, karena lumut umumnya tumbuh di lingkungan dengan udara yang lembab dan bersih. Namun, lumut yang tumbuh di daerah urban, seperti Jakarta, beradaptasi pada suhu udara yang tinggi (22,05 – 37,20 C) dan kelembapan udara yang rendah (33-100%) (Sari, 2019). Bentuk adaptasi lumut di daerah urban dapat dilihat dari morfologi, anatomi, bentuk hidup (life-form), dan mekanisme reproduksi (Goffinet et al., 2009; Slack, 2011). Sebagai contoh, lumut di derah urban di India mengembangkan bentuk hidup turf dan mats serta tidak bereproduksi seksual untuk beradaptasi terhadap kualotas udara yang buruk (Govindapyari et al., 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman spesies lumut serta karakter morfologi dan anatomi yang dimiliki lumut di RTH permukiman daerah urban Jakarta. Penelitian diharapkan dapat menambah data spesies lumut di daerah urban di Indonesia. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam identifikasi spesies lumut di daerah urban dan dapat memberikan informasi terkait kondisi lingkungan di RTH daerah urban berdasarkan peran lumut sebagai biomonitor dan bioakumulator di ekosistem daerah urban. MATERIAL DAN METODE Waktu dan Tempat Pengambilan lumut dilakukan di Komplek Taman Bona Indah dengan luas 249.587 m2 yang merupakan salah satu area permukiman di dekat area komersial Jakarta Selatan. Pengamatan karakter sampel dan identifikasi taksa dilakukan di Laboratorium Taksonomi dan Ruang Koleksi Biota (RKB) Departemen Biologi Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2020. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan tempat penggunaan. Pertama, alat-alat yang digunakan di lapangan, yaitu pisau [Cutter Joyko L-500], buku lapangan dan alat tulis, kamera [Nikon D5300], kaca pembesar 3 x 2,1 cm [Iwamoto], alat ukur faktor abiotik lingkungan [Krisbow KW0600291], meteran [Krisbow], dan Diameter at Breast High (DBH) meter [Yamayo]. Kedua, alat-alat yang digunakan di laboratorium untuk proses identifikasi karakter morfologi dan anatomi lumut. Alat yang digunakan di laboratorium yaitu mikroskop cahaya [Olympus CX22], mikroskop stereo [Olympus SZ51], dissecting set [Gold Cross], kaca preparat [Sail Brand], cover glass [Deck Glass], pipet tetes kaca, botol larutan, dan literatur taksonomi lumut.


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 117 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Bahan yang digunakan dalam penelitian, yaitu sampel lumut, akuades, tusuk gigi, tisu, amplop kertas berukuran 12 x 9 cm untuk menyimpan sampel (Bridson & Forman, 1992), dan kertas mika ukuran 10 x 10 cm² yang terbagi menjadi 100 subkuadrat berukuran 1 x 1 cm² untuk mengukur tutupan lumut (Lovadi et al., 2012). Cara Kerja Pengambilan sampel lumut menggunakan metode purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada 9 titik yang terdiri dari 6 titik jalan utama dan 3 titik taman di Komplek Taman Bona Indah (Gambar 1). Sampel lumut dikoleksi dari taman dilakukan dengan menggunakan metode jelajah bebas. Sementara itu, pengambilan sampel di jalan utama dilakukan menggunakan line transect dengan panjang 30 m serta lebar ke kiri dan kanan sebesar 4 m. Pada setiap titik pengambilan sampel, lumut dikoleksi dari berbagai substrat, yaitu tanah, batang pohon, dan substrat keras. Persentase tutupan lumut dilakukan pada plot berukuran 10 x 10 cm2 . Gambar 1. Peta lokasi dan titik pengambilan sampel lumut Pengambilan sampel lumut epifit dilakukan pada pohon inang dengan diameter setinggi dada (DBH) lebih dari 20 cm. Sampel lumut epifit diambil pada ketinggian 0–1 m dan 1–2 m dari permukaan tanah pada 4 arah mata angin berbeda. Nama spesies pohon inang dan tipe kulit batang dicatat. Parameter abiotic yang di ukur di antaranya suhu udara, kelembapan, intensitas cahaya, serta pH tanah dan kulit batang pohon. Pengukuran parameter abiotic dilakukan sebanyak 1 kali selama 7 hari berturut-turut di setiap titik taman dan tepi jalan utama. Pengukuran dilakukan selama 2 jam, dari pukul 07.00 sampai 09.00. Parameter abiotik pada saat pengambilan sampel diukur dengan environmental meter. Pengamatan sampel lumut dilakukan dengan mengamati karakter morfologi dan anatomi secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40x, 100x, dan 400x. Parameter kuantitatif diukur menggunakan aplikasi Image J. Identifikasi sampel dilakukan menggunakan Guide to The Liverworts and Hornworts of Java, Mosses & Liverworts of Hong Kong, a Guide to The Mosses of Singapore, a Handbook of Malesian Mosses, dan literatur taksonomi lumut lainnya seperti situs web “World Flora Online dan Online Index of Mosses” dari Missouri Botanical Garden. Sampel lumut disimpan di Ruang Koleksi Biota Herbarium Depokensis Departemen Biologi FMIPA Universitas Indonesia.


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 118 Analisis Data Data yang disusun, diolah, dan dianalisis meliputi daftar famili dan spesies lumut, parameter abiotik, parameter biotik, serta karakter lumut dalam bentuk tabel dan grafik. Data dari tabel dan grafik tersebut memberikan informasi terkait spesies lumut yang hidup di wilayah urban serta melimpah atau tidaknya suatu spesies lumut berdasarkan luas tutupan lumut. Sementara itu, data mengenai karakter lumut baik yang berhasil diamati secara kualitatif maupun kuantitatif dikaitkan dengan tipe substrat dan parameter abiotik lingkungan. Kemudian, data karakter lumut tersebut dibandingkan dengan karakter lumut pada literatur untuk mengetahui apabila terdapat perbedaan. Data karakter lumut disusun ke dalam bentuk deskripsi taksonomi untuk masing-masing spesies. HASIL Perolehan Lumut di Komplek Taman Bona Indah Paramter abiotik yang diperoleh di lokasi penelitian, yaitu suhu udara 29,3–32,8 C, kelembapan udara 46,8–61,6%, serta intensitas cahaya 978–1.982 lux. Berdasarkan data tersebut, kondisi lingkungan Komplek Taman Bona Indah yang merupakan area permukiman di daerah urban tergolong kering, terik, dan terbuka. Berdasarkan data perolehan spesies lumut di Taman Bona Indah, terdapat 19 spesies lumut di lokasi penelitian yang terdiri dari 3 spesies lumut hati dan 16 spesies lumut sejati. Jumlah spesies lumut sejati lebih banyak dibandingkan lumut hati. Hal tersebut juga terjadi pada penelitian lumut urban lainnya yang ada di Jakarta dan Depok. Dari 18 spesies lumut hati yang telah tercatat di Jakarta dan Depok, hanya terdapat 3 spesies lumut hati di Komplek Taman Bona Indah. Sementara itu, lumut sejati yang terdapat di Komplek Bona Indah berjumlah 16 spesies dari 24 spesies yang telah tercatat di Jakarta dan Depok (Tabel 1). Lejeunea cocoes merupakan spesies lumut hati yang tidak hanya ditemukan di Komplek Taman Bona Indah, tetapi juga ditemukan di lokasi penelitian lain, yaitu Arboretum Cibubur dan RTH Kampus UI Depok (Tabel 1). Sementara itu, Haplomitrium blumei dan Lejeunea enfrigii adalah spesies lumut hati yang hanya ditemukan di Komplek Taman Bona Indah. Berdasarkan penelitian lumut urban di Jakarta dan Depok sebelumnya, Hyophylla involuta merupakan spesies lumut sejati yang juga ditemukan di Arboretum Cibubur. Selain itu, Calymperes tenerum merupakan lumut sejati epifit yang ditemukan di Taman Bona Indah dan Kampus UI Depok. Tabel 1 menunjukkan data perbandingan spesies lumut urban yang ada di Jakarta dan Depok. Tabel 1. Perbandingan Keanekaragaman spesies dan jumlah lumut di Komplek Taman Bona Indah, RTH Kampus UI Depok, dan Arboretum Cibubur Divisi Spesies Lokasi I Lokasi II Lokasi III Lokasi IV Marchantiophyta Acrolejeunea fertilis √ √ Cheilolejeunea intertexta √ √ C. serpentina √ C. trifaria √ Cololejeunea sp. √ Cololejeunea planissima √ Frullania campanulata √ √ Haplomitrium blumei √ Harpalejeunea √ Lejeunea √ Lejeunea anisophylla √ √ √ L. cocoes √ √ √ √ L. eifrigii √ L. papilionaceae √ √ L. patriciae √ L. tuberculosa √ Microlejeunea ulicina √ Schifnolejeunea pulopenangensis √


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 119 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Divisi Spesies Lokasi I Lokasi II Lokasi III Lokasi IV Bryophyta Barbula javanica √ Bryum apiculatum √ Calymperes crassinerve √ C. motleyi √ C. tenerum √ √ Ectropothecium monumentorum √ Fissidens sp. √ F. atroviridis √ F. biformis √ F. gedehensis √ Hyophila apiculata √ H. beruensis √ H. involuta √ √ H. javanica √ Isopterygium sp. √ I. bancanum √ I. minutirameum √ Leucophanes octoblepharioides √ Meiothecium attenuatum √ M. microcarpum √ Octoblepharum albidum √ √ Taxithelium nepalense √ Taxithellium sp. √ Trichosteleum singapurense √ Catatan: Lokasi I: Lumut epifit RTH Kampus UI Depok (Putrika et al., 2017); Lokasi II: Lumut pada semua substrat Arboretum Cibubur (Kristiyanto et al., 2018); Lokasi III: Lumut hati epifit RTH Kampus UI Depok (Putrika et al., 2020); Lokasi IV: Lumut pada semua substrat permukiman Tabel 2. Keberadaan spesies lumut di tepi jalan dan taman di Komplek Taman Bona Indah Famili Spesies Titik pengambilan sampel Tepi jalan Taman Bryaceae Bryum apiculatum + Calymperaceae Calymperes crassinerve + Calymperes motleyi + + Calymperes tenerum + Leucophanes octoblepharioides + Fissidentaceae Fissidens atroviridis + + Fissidens biformis + + Hypnaceae Isopterygium bancanum + Isopterygium minutirameum + Pottiaceae Barbula javanica + Hyophila apiculata + + Hyophila beruensis + Hyophila involuta + Hyophila javanica + Sematophyllaceae Taxithelium nepalense + Trichosteleum singapurense + Haplomitriaceae Haplomitrium blumei + Lejeuneaceae Lejeunea eifrigii + Lejeunea cocoes + Total spesies 13 10


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 120 Spesies lumut yang ditemukan di tepi jalan lebih banyak dari spesies yang ditemukan di taman. Lumut yang ditemukan di tepi jalan sebanyak 13 spesies, yang terdiri dari 12 spesies lumut sejati dan 1 spesies lumut hati, sedangkan pada taman ditemukan 8 spesies lumut sejati dan 2 spesies lumut hati. Semua spesies dari famili Pottiaceae ditemukan di tepi jalan, sementara itu hanya terdapat 1 spesies dari famili Pottiaceae yang ditemukan di tepi jalan dan taman. Dua spesies dari famili Lejeuneaceae ditemukan di taman, namun famili tersebut tidak dapat ditemukan di tepi jalan (Tabel 2). Berdasarkan tipe substratnya, terdapat 3 substrat yang ditumbuhi lumut di Komplek Taman Bona Indah, yaitu tanah, batu, dan batang pohon (epifit). Jumlah spesies lumut yang tumbuh di substrat batu sangat beragam yang dapat dilihat dari persentase jumlah spesies yang paling tinggi, yaitu 41%, sementara itu pada substrat pohon 36%, dan tanah memiliki persentase yang paling kecil, yaitu 23% (Gambar 2). Gambar 2. Persentase jumlah spesies lumut pada 3 substrat` Tabel 3. Persentase luas tutupan lumut sejati dan lumut hati di berbagai tipe substrat Famili Spesies Tutupan lumut (%) Tanah Batu Batang pohon (epifit) Bryaceae Bryum apiculatum 15 Calymperaceae Calymperes crassinerve 75 C. motleyi 31,75 C. tenerum 95,5 Leucophanes octoblepharioides 16 Fissidentaceae Fissidens atroviridis 8 40 F. biformis 16,7 58 Hypnaceae Isopterygium bancanum 100 I. minutirameum 61 Pottiaceae Barbula javanica 77 Hyophila apiculata 58 H. beruensis 89 H. involuta 2 47 H. javanica 71 Sematophyllaceae Taxithelium nepalense 35 Trichosteleum singapurense 75 Haplomitriaceae Haplomitrium blumei 90 Lejeuneaceae Lejeunea eifrigii 50 Berdasarkan data pada Tabel 3 diketahui bahwa seluruh spesies hanya tumbuh pada 1 tipe substrat, tidak ada yang tumbuh lebih dari 1 substrat. Spesies pohon yang tumbuh di lokasi penelitian cukup beragam, namun hanya 4% jumlah pohon yang ditumbuhi oleh lumut epifit. Spesies pohon inang yang ditumbuhi lumut epifit di Komplek Taman Bona Indah sebanyak 5


Click to View FlipBook Version