The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajar, 2024-05-27 22:26:23

Jurnal RTH

Jurnal RTH

Mohamad Fakhri Mashar 1942 Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 BIBLIOGRAFI Annerstedt, M., Östergren, P.-O., Björk, J., Grahn, P., Skärbäck, E., & Währborg, P. (2012). Green qualities in the neighbourhood and mental health–results from a longitudinal cohort study in Southern Sweden. BMC Public Health, 12 (1), 1–13. Google Scholar Balfour, R., & Allen, J. (2014). Local action on health inequalities: Improving access to green spaces. Public Health England and UCL Institute of Health Equity Report, London. Google Scholar Cohen-Cline, H., Turkheimer, E., & Duncan, G. E. (2015). Access to green space, physical activity and mental health: a twin study. J Epidemiol Community Health, 69 (6), 523–529. Google Scholar Dwiyanto, A. (2009). Kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau di permukiman perkotaan. Teknik, 30 (2), 88–92. Google Scholar Frances, K. (2006). Outdoor recreation as an occupation to improve quality of life for people with enduring mental health problems. British Journal of Occupational Therapy, 69 (4), 182–186. Google Scholar Hafidz, I. Y. N., & Nugrahaini, F. T. (2020). Konsep Healing Environment untuk Mendukung Proses Penyembuhan Pasien Rumah Sakit. Sinektika: Jurnal Arsitektur, 16 (2), 94–100. Google Scholar Hijau, K. (2016). 6 Manfaat Ruang terbuka hijau. http://kotahijau.id/knowledge/detail/6 -manfaat-ruang-hijau-terbuka. Google Scholar Jamaludin, A. N. (2015). Sosiologi perkotaan: memahami masyarakat kota dan problematikanya. Pustaka Setia. Google Scholar Kurniawati, F. (2007). Peran Healing Environment Terhadap Proses Penyembuhan. Universitas Gadjah Mada. Google Scholar Nutsford, D., Pearson, A. L., & Kingham, S. (2013). An ecological study investigating the association between access to urban green space and mental health. Google Scholar Pomerantz, A. (2014). Psikologi Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar RI, K. (2016). Peran Keluarga Dukung Kesehatan. Google Scholar Steg, L. E., Van Den Berg, A. E., & De Groot, J. I. M. (2013). Environmental psychology: An introduction. BPS Blackwell. Google Scholar Tambunan, D. (2010). Perbedaan Kesehatan Mental Pada Gay Ditinjau Dari Perilaku Religius. Skripsi. Google Scholar


Fungsi Psikologis Ruang Terbuka Hijau Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1943 White, M. P., Alcock, I., Wheeler, B. W., & Depledge, M. H. (2013). Would you be happier living in a greener urban area? A fixed-effects analysis of panel data. Psychological Science, 24 (6), 920–928. Google Scholar WHO. (2014). Mental health: a state of well-being. http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/. Google Scholar Zed, M. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Obor. Google Scholar Copyright holder: Mohamad Fakhri Mashar (2021) First publication right: Jurnal Syntax Admiration This article is licensed under:


Jurnal Penyuluhan Vol. 17 (02) 2021 | 237-245 https://doi.org/10.25015/17202135452 Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under Department of Communication and Community Development Science, IPB University and in association with Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembangunan Indonesia. E-ISSN: 2442-4110 | P-ISSN: 1858-2664 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta Factors Affecting the Sustainability of Green Open Space in DKI Jakarta Suryani1,*) , Pudji Muljono2 , Djoko Susanto2 , Sri Harijati3 1Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Respati Indonesia, Jakarta 13890, Indonesia 2Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, IPB University, Bogor 16680, Indonesia 3Departemen Agribisnis, Universitas Terbuka, Tangerang 15437, Indonesia *)E-mail korespondensi: [email protected] Diterima: 26 April 2021 | Disetujui: 14 September 2021 | Publikasi Online: 28 September 2021 ABSTRACT The quantity and quality of green open space (RTH) in big cities in Indonesia has decreased and resulted in environmental damage. The existence of green space is very much needed by the people of DKI Jakarta. However, the availability has not met the standards set by law, it is suspected that the capacity of RTH managers and the role of stakeholders in encouraging land use for RTH sustainability is not maximized. This study aims to analyze the level of sustainability of RTH and analyze the factors that influence the sustainability of RTH in DKI Jakarta. The research method uses quantitative data with survey methods and questionnaires as a data collection tool. The number of samples taken as many as 340 people for sub-districts and villages was selected by purposive sampling with the consideration that there are green alley activities for the sustainability of RTH. Data were collected from December 2019 to February 2020. The data were analyzed descriptively using SPSS 24 and inferential PLS 3. The results showed that the level of sustainability of RTH in DKI Jakarta was in the low category on economic, ecological, socio-cultural aspects and very low category for aesthetics. Stakeholder support has a positive and real impact on the sustainability of RTH which is reflected by the role of the government, community, media and extension workers. Manager capacity also has a positive and significant impact on the sustainability of RTH which is reflected by technical, managerial and social capacities. Keywords: Green open space, manager capacity, role of stakeholders, sustainability ABSTRAK Kuantitas dan kualitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kota-kota besar di Indonesia mengalami penurunan dan mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup. Keberadaan RTH sangat dibutuhkan oleh masyarakat DKI Jakarta. Walau demikian ketersediaan belum memenuhi standar yang ditetapkan Undang-Undang, diduga kapasitas pengelola RTH dan peran pemangku kepentingan dalam mendorong pemanfaatan lahan untuk keberlanjutan RTH belum maksimal. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat keberlanjutan RTH dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keberlanjutan RTH di DKI Jakarta. Metode penelitian menggunakan data kuantitatif dengan metode survei dan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 340 orang untuk kecamatan dan kelurahan dipilih secara purposive sampling dengan pertimbangan terdapat kegiatan gang hijau untuk keberlanjutan RTH. Data dikumpulkan pada bulan Desember 2019 sampai Februari 2020. Data dianalisis secara deskriptif menggunakan SPSS 24 dan inferensial PLS 3. Hasil penelitian menunjukkan tingkat keberlanjutan RTH di DKI Jakarta berada dalam kategori rendah pada aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan kategori sangat rendah untuk estetika. Dukungan stakeholder berpengaruh positif dan nyata terhadap keberlanjutan RTH yang direfleksikan oleh peran pemerintah, masyarakat, media dan penyuluh. Kapasitas pengelola juga berpengaruh positif dan nyata terhadap keberlanjutan RTH yang direfleksikan oleh kapasitas teknis, manajerial dan sosial. Kata kunci: Ruang terbuka hijau, kapasitas pengelola ruang terbuka hijau, peran penyuluh/pemberdaya masyarakat kota, Keberlanjutan


Jurnal Penyuluhan | Vol. 17 (02) 2021 | 238 PENDAHULUAN Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah di Indonesia yang paling kompleks dan pertumbuhan penduduknya terus meningkat sebesar 269 per hari atau sekitar 11 jiwa jam, sehingga sangat perlu didukung oleh pertumbuhan RTH untuk keharmonisan lingkungan alam dan sosial (Prakoso & Herdiansyah, 2019). Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan amanat dari UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang yang disyaratkan proporsi luas RTH pada suatu kota minimum sebesar 30 persen dari luas wilayah kota yang dibagi menjadi RTH publik 20 persen dan RTH privat sebesar 10 persen. Pengertian RTH kawasan perkotaan adalah area memanjang atau jalur, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman (Permen PU No.05/2008) yang kegunaanya untuk memberikan keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (Infokum & Binbangkum, 2007). Perubahan ketersediaan RTH sering terjadi akan membawa dampak dan masalah baru seperti penggusuran dan tukar guling aset pemeritah dengan swasta. Menurut hasil penelitian Setyani et al. (2017) bahwa perubahan RTH dipengaruhi oleh ketersediaan luas lahan kosong di kota dan kesiapan SDM pengelola RTH. Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 konsep keberlanjutan RTH adalah penataan ruang dilakukan dengan menjamin kelangsungan dan kelestarian lingkungan untuk kepentingan generasi yang akan datang. Manfaat RTH di wilayah perkotaan mendukung fungsi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan estetika (Permendagri No.1/2007). Ruang Terbuka Hijau juga menjadi elemen kunci lanskap perkotaan yang berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas lingkungan, sarana interaksi sosial dan kualitas hidup masyarakatnya (Rojas, Páez, Barbosa, & Carrasco, 2016). Namun, luas RTH sering berkurang karena adanya pelanggaran bangunan untuk tempat tinggal dan usaha. Upaya pemerintah untuk melakukan penertiban dan memodifikasi menjadi taman objek wisata (Armaeni, Suranata, Gde, & Triswandana, 2017). Pengelolaan RTH masih membutuhkan peran berbagai stakeholders terutama peran penyuluh perkotaan. Menurut (Lini, Hamzah, & Abdullah, 2018) penyuluh perkotaan minimal memiliki empat peran utama, yiatu sebagai pembimbing, fasilitator, organisator dan dinamisator. Sebagai pembimbing penyuluh berusaha membimbing para kelompok untuk menjaga dinamika kelompok dalam mencapai tujuannya. Sebagai fasilitator penyuluh terus memberi fasilitas yang dibutuhkan para anggota kelompok. Sebagai organisator penyuluh mengupayakan petani dapat berorganisasi dengan baik dan memanfaatkannya untuk kemajuan bersama. Sebagai dinamisator penyuluh tersu membri semangat untuk dinamis dan trus maju dalam pengembangan efektifitas kelompok. Penyediaan RTH penting untuk mensukseskan program Eco Cultural City yang menjadi cikal bakal terbentuknnya human settlement. Kota besar sebagai tempat kehidupan, terbentuknya human settlement menjadi kekuatan kemajuan masyarakat yang mandiri dan modern. Human settlement sebuah pemukiman yang didukung oleh elemen dasar permukiman yaitu: adanya rumah-rumah, jaringan prasarana, alam, manusia dan masyarakat (Susilowati, 2013). Urban farming merupakan salah satu kegiatan dalam penerapan komsep Eco Cultural City. Hasil penelitian Ahmad Rifqi Fauzi & Annisa Nur Ichniarsyah (2016) menunjukkan bahwa hambatan dalam pengembangan urban farming adalah partisipasi masyarakat rendah, penguasaan lahan pekarangan skala kecil, dan kurangnya dukungan pemerintah. Keberadaan ruang terbuka hijau berperan penting dalam menjaga kualitas kehidupan kota dengan unsur lingkungan alami. Konsep ekologi lanskap berupaya mewujudkan kota yang sehat banyak oksigen dan memperhatikan hubungan timbal balik antara kehidupan kota dengan lingkungan alaminya sesuai kondisi iklim tropis (Fuady, 2011). Menurut (Lestari et al., 2012) dan (Woltjer, 2014), bahwa RTH akan dapat berhasil jika sumberdaya manusia yang mengelola alam professional. Hasil penelitian Setyani et al. (2017), masih kurangnya ketersediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk ada hubungan signifikan dan positif dengan jumlah fasilitas, ekonomi dan jarak tempuh pada wilayah kota. Faktor yang berhubugan negatif adanya fasilitas pendidikan, fasilitas sosial, luas RTH sebelumnya proporsi lahan terbangun pada RTRW dan banyaknya jumlah penduduk terbaru. Berdasarkan hasil kajian RTH oleh Saputra and Ma’sum (2017) menunjukkan bahwa strategi untuk pemgembangan RTH berkelanjutan, karena ketersediaan lahan untuk RTH. Selain itu berdasarkan pengukuran SIG terjadi perubahan RTH dibandingkan luas eksistingnya (Wahyuningsih, 2018). Penelitian Setiyawan dan Akbari (2021), menunjukkan bahwa penurunan RTH disebabkan oleh program pemberdayaan masyarakat di wilayah sekitar RTH menjadi tekanaan utama dalam pengembangan RTH yang berkelanjutan. Hasil penelitian Supratiwi (2018), bahwa kendala pengembangan RTH karena rendahnya pendanaan, lemahnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum dan komitmen pemerintah kota yang masih


Jurnal Penyuluhan | Vol. 17 (02) 2020 | 239 kurang. Sehingga, perlu peningkatan partisipasi pihak swasta untuk membantu pemerintah dalam mengatasi permasalahan terkait pengembangan RTH. Provinsi DKI Jakarta sampai tahun 2019 proporsi RTH belum sesuai yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Permasalahanya adalah diduga masih rendahnya kapasitas sumber daya manusia sebagai pengelola RTH, kurangnya partisipasi masyarakat dan peran stakeholders seperti pemerintah, swasta dan Perguruan Tinggi dalam mendukung keberlanjutan program RTH belum maksimal. Selain itu terdapat kendala-kendala implementasi RTH yaitu: masih lemahnya pengawasan pada penggunaan lahan dan bangunan; harga tanah yang relatif mahal; peningkatan lahan-lahan terbangun; dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai arti penting RTH (Hendra Wijanto, 2017). Menurut Iswari (2014) pengembangan RTH di kota terkendala oleh terbatasnya anggaran, minimnya sarana dan prasarana. Sebagian besar hasil penelitian yang telah lalu tersebut masih kurang membahas tentang faktor-faktor keberlanjutan yang komprehensif, sehingga penelitian ini tertarik memenuhi beberapa vareabel yang belum diteliti tersebut. Berdasarkan latar belakang dan penelitian-penelitain terdahulu maka tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis tingkat keberlanjutan Ruang Terbuka Hijau dan (2) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi keberlanjutan ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta. METODE PENELITIAN Penelitian didesain dengan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Penelitian dilakukan di 22 Kecamatan dan 29 Kelurahan di lima Kota Administrasi DKI Jakarta. Penentuan kecamatan dan kelurahan menggunakan metode purposive sampling berdasarkan wilayah mendapat program RTH. Pengambilan data lapangan dilaksanakan mulai bulan Desember 2019 sampai dengan bulan Februari 2020. Populasi penelitian sejumlah 2.236 responden, jumlah sampel ditentukan secara proporsional didapatkan 340 responden. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui hasil pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan responden di lokasi penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data primer adalah kuesioner dan wawancara. Variabel independen dalam penelitian ini adalah (X1): karakteristik individu; (X2): kosmopolitan; (X3): stakeholders; (X4): partisipasi. Variabel dependen, yaitu: (Y1): kapasitas; dan (Y2): keberlanjutan. Indikator dari variabel eksogen (X1): karakteristik individu (X1.3; pendidikan non formal; X1.5: motivasi); (X2): kosmopolitan (X2.1: keluar wilayah; X2.3: keluar kelompok, X2.4: penggunaan media); (X3): stakeholders (X3.1: peran pemerintah; X3.3: peran masyarakat; X3.4: peran media; X3.5: peran penyuluh); X4: partisipasi (X4.1: merencanakan; X4.2: melaksanakan; X4.3: memanfaatkan hasil; X4.4: evaluasi). Indikator dari variabel endogen, yaitu: (Y1): kapasitas: (Y1.1: teknis, Y1.2: manajerial; dan Y1.3: sosial), (Y2): Keberlanjutan (Y2.1: ekonomi; Y2.2: ekologi; Y2.3: sosial budaya; dan Y2.4: estetika). Kuesioner yang disiapkan berisi pertanyaan yang merupakan penjabaran dari peubah penelitian. Data sekunder merupakan data hasil pengolahan dari sumber yang relevan sebagai pendukung data penelitian. Sumber data sekunder dari profil kota Jakarta, data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, laporan kajian dan hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian. Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah (1) Data demografi wilayah penelitian, meliputi kondisi fisik dan keadaan penduduk; (2) Dokumen kegiatan penyuluhan, meliputi program penyuluhan dan laporan penyuluhan; (3) Dokumen dari lembaga penyuluhan terkait dengan ketenagaan dan program penyuluhan di wilayah penelitian. Analisis data menggunakan uji statistik deskriptif dan inferensial. Uji statistik deskriptif menggunakan analisis program excel dan SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 24 dan analisis statistik inferensial menggunakan program Partial Least Square (PLS) 3. Pengujian hipotesis satu arah dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi dari nilai koefisien path yang ditunjukkan oleh nilai t-statistik harus diatas 1.96 untuk alpha 5 persen (Cress Well, 2007). Berdasarkan hasil uji validitas menggunakan alat bantu program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 24, menunjukkan bahwa kuesioner layak digunakan lebih lanjut. Hal ini terlihat dari nilai r hitung yang berkisar 0,381 sampai dengan 0,779, artinya nilai tersebut lebih besar dari 0,361 sesuai ketentuan. Kemudian nilai cronbachs alpha yang dihasilkan berkisar dari 0,509 sampai 0,879 menunjukkan lebih besar dari r tabel (0,361) (Arikunto S, 2010).


Jurnal Penyuluhan | Vol. 17 (02) 2021 | 240 HASIL DAN PEMBAHASAN Keberlanjutan Ruang Terbuka Hijau Aspek Ekonomi Tabel 1. Tingkat keberlanjutan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tingkat Keberlanjutan Kategori Jumlah Orang (n) Persentase (%) Keberlanjutan Ekonomi Sangat rendah (Skor 3-6) 93 27,4 Rendah (Skor 7-8) 145 42,6 Sedang (Skor 8-9) 77 22,6 Tinggi (Skor 10-12) 25 7,4 Keberlanjutan Ekologi Sangat rendah (Skor 4-7) 52 15,3 Rendah (Skor 8-10) 171 42,6 Sedang (Skor 11-13) 81 23,8 Tinggi (Skor 14-16) 36 10,6 Keberlanjutan Sosial budaya Sangat rendah (Skor 4-7) 106 31,2 Rendah (Skor 8-10) 132 38,8 Sedang (Skor 11-13) 77 22,6 Tinggi (Skor 14-16) 25 7,4 Keberlanjutan Estetika Sangat rendah (Skor 4-7) 115 33,8 Rendah (Skor 8-10) 100 29,4 Sedang (Skor 11-13) 96 28,2 Tinggi (Skor 14-16) 29 8,5 Keterangan: n = 340 Tabel 1 memperlihatkan bahwa keberlanjutan RTH pada aspek ekonomi di DKI Jakarta persentase tertinggi 42.6 persen pada kategori rendah. Rendahnya keberlanjutan ekonomi di lokasi penelitian, disebabkan oleh hasil dari RTH belum mampu meningkatkan ekonomi keluarga dan hasill produksi baik sayuran maupun olahan masih terbatas untuk konsumsi sendiri. Selanjutnya masih rendahnya hasil budidaya tanaman karena pertanian bukan pekerjaan utama masyarakat DKI Jakarta. Akhirnya pada area RTH belum banyak menerima kunjungan wisatawan. Temuan di lokasi penelitian juga menunjukkan masih rendahnya keberlanjutan RTH aspek ekonomi disebabkan pengelola RTH belum maksimal dalam menjalin kerjasama dengan pihak swasta dalam pengembangan RTH yang dapat dikormersilkan dari segi estetika, misalnya dengan penataan RTH menjadi area rekreasi yang indah, sebagai upaya menarik wisatawan berkunjung ke area RTH dan membeli hasil produk dari tanaman. Selaras dengan hasil penelitian Hidayani and Warsono (2017); Suryani, Muljono, Susanto, & Harijati (2021) bahwa peran swasta masih rendah dalam pengembangan RTH, karena swasta selalu memikirkan untung dan ruginya untuk perusahaan. Selanjutnya pihak swasta juga lebih tertarik berinvestasi pada bidang yang memberi keuntungan cepat. Hasil penelitian Riyanto Suprayitno et al. (2011), menunjukkan bahwa masih rendahnya keberlanjutan ekonomi, disebabkan oleh masyarakat tidak menjadikan sumber utama pendapatan dari mengelola hutan, namun dijadikan pemasukan tambahan untuk rumah tangga. Menurut Mulyanie dan As’ari (2019), apabila ketersediaan RTH dimaksimalkan menjadi sumber produk tanaman hortikultura akan berdampak pada ekonomi mikro dari hasil menjual tanaman sayuran, buah, bunga dan herbal. Oleh karena itu, keberlanjtan RTH memerlukan dukungan dari pemangku kepentingan terkait yang netral dan fokus untuk mendukung tercapainya misi RTH (Samsudi, 2010). Hasil temuan Pratiwi, Tohjiwa, danMildawani (2020) bahwa RTH yang baik akan menguntungkan di masa sekarang, fisik, sosial dan yang akan datang. Implikasi dari hasil penelitian tersebut diatas bahwa program keberlanjtan RTH merupakan program multi sektor dan multi aspek secara terpadu agar cepat berhasil dan memiliki dampak yang luas bagi tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat kota. Aspek Ekologi Fungsi RTH di DKI Jakarta harus diarahkan untuk memperbaiki kualitas lingkungan yang sudah menurun kualitasnya sebagai upaya melindungi ekosistem kota. Tabel 1 memperlihatkan bahwa persentase keberlanjutan pada aspek ekologi RTH di Jakarta berada pada kategori rendah 42.6 persen. Maknanya bahwa,


Jurnal Penyuluhan | Vol. 17 (02) 2020 | 241 masyarakat di DKI Jakarta ada yang belum mempunyai kesadaran akan manfaat RTH untuk menjaga lingkungan perkotaan. Temuan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat kurang berpartisipasi menjaga kebersihan lingkungan di sekitar pemukiman, terbukti masih ada masyarakat yang membuang sampah sembarangan, sehingga sampah menyumbat di bantaran kali atau got-got sekitar tempat tinggalnya. Menumpuknya sampah di area RTH menimbulkan aroma yang kurang sedap dan pada saat musim penghujan beberapa wilayah di DKI Jakarta dilanda banjir, akibat saluran air tersumbat sampah. Selaras dengan hasil penelitian Lestari et al. (2012); Suryani, Muljono, Susanto, & Harijati (2021) bahwa rendahnya keberlanjutan RTH pada aspek ekologi karena kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan dengan menjaga kebersihan pemukiman masih kurang dan area RTH peruntukkanya untuk fungsi lain. Menurut hasil penelitian Mulyanie dan As’ari (2019), bahwa ketersediaan RTH di kota pada fungsi ekologis menghasilkan udara yang segar, tanah menjadi subur dan meredam suara bising karena adanya pohon yang ditanam di pemukiman. Selain itu, temuan terbaru oleh Putra dan Roosandriantini (2021) RTH konsep vertikal sangat sesuai dengan lingkungan gedung perkotaan dan memberi nilai tambah program green building. Aspek Sosial Budaya Manfaat dari RTH berkelanjutan bagi masyarakat di perkotaan adalah terbangunnya hubungan sosial antar warga yang harmonis dan menjadi wahana interaksi kegiatan di perkotaan. Merujuk Tabel 1 bahwa keberlanjutan RTH aspek sosial budaya RTH di Jakarta persentase tertinggi adalah 38.8 persen pada kategori rendah. Temuan di lokasi penelitian menunjukkan, gang hijau area RTH belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Disamping itu ketersediaan RTH belum memengaruhi penurunan terjadinya konflik sosial di masyarakat, karena area RTH masih sebatas untuk interaksi dengan tetangga di sekitar pemukiman. Selanjutnya kendala pengembangan RTH sebagai sarana interaksi masyarakat pemukiman di DKI Jakarta adalah komunikasi dengan stakeholders masih kurang bersinergi, oleh sebab itu fasilitas yang ada di area RTH belum memenuhi kebutuhan untuk aktivitas masyarakat di sekitarnya. Penelitian Susilowati (2017) menunjukkan bahwa fungsi RTH adalah fungsi sosial budaya dan keberlanjutan RTH memerlukan dukungan dari pemangku kepentingan yang komprehensif dalam memfasilitasi aktivitas masyarakat agar harmonis. Peryataan diperkuat hasill penelitian (Medeiros & Zwet, 2020), bahwa pembangunan kota berkelanjutan harus ada keterlibatan aktif warga negara dan pemangku kepentingan. Bahkan hasil riset Triana, Aspar, dan Jumarni (2020) memberi insentif terhadap pengenaan pajak property (PBB perdesaan/perkotaan) efektif meningkatkan peran stakeholders terhadap RTH dan partisipasi masyarakat terhadap RTH sebesar 40% saja. Implikasinya bahwa kombinasi program RTH perlu memadukan program top down dan bottom up, sehingga pada tataran lapangan dapat saling menjaga dan memiliki sebagai aset kepentingan bersama. Partisipasi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi RTH perlu ditingkatkan agar mau terlibat dalam menjaga lingkungan dan menjamin keberlanjutan. Aspek Estetika Fungsi estetika di wilayah perkotaan dapat meningkatkan citra kota dari nilai keindahan dan kenyamanan kawasan kota dengan ketersediaan tanaman yang beraneka warna, maka lingkungan menjadi terlihat indah dan asri. Walau demikian, masyarakat di DKI Jakarta masih ada yang belum berpartisipasi menjaga lingkungan di sekitar pemukiman tempat tinggalnya. Berdasarkan Tabel 1 memperlihatkan bahwa keberlanjutan RTH pada aspek estetika persentase tertinggi 33.8 persen pada kategori sangat rendah. Sangat rendahnya nilai keberlanjutan aspek estetika, karena masyarakat DKI Jakarta kurang memanfaatkan gang hijau sebagai area RTH di sekitar pemukiman untuk budidaya tanaman hortikultura yang direkomendasikan oleh Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. Rekomensasi penataan tanaman yang rapi di gang hijau area RTH bertujuan menjaga lingkungan dan menarik wisatawan untuk berkunjung. Temuan di lokasi penelitian menunjukkan, masih banyak lingkungan pemukiman di sekitar gang hijau area RTH tidak tertata rapi, bahkan cenderung terlihat kumuh. Hasil penelitian Suryani, Muljono, Susanto, & Harijati, (2021) keberlanjutan RTH estetika di DKI Jakarta pada kategori sangat rendah karena kapasitas pengelola RTH dalam budidaya tanaman kurang dan keterlibatan masyarakat dalam memperindah area RTH di sekitar pemukiman belum maksimal. Selanjutnya ketersediaan lahan yang mereka miliki sempit, menjadi alasan masyarakat tidak menanam tanaman hortikultura di sekitar tempat tinggalnya. Pada beberapa wilayah penelitian terlihat gang hijau sebagai area RTH digunakan sebagai tempat parkir kendaraan pribadi. Temuan ini sesuai hasil penelitian Mulyanie dan As’ari (2019) bahwa masih rendahnya jumlah kunjungan wisatawan pada area RTH perkotaan, karena penataan tanaman tidak rapi dan


Jurnal Penyuluhan | Vol. 17 (02) 2021 | 242 kurang asri lingkungan wilayahnya. Implikasinya, RTH perlu di bangun dengan rancangan menyatu dengan alam dan sosial budaya masyarakat serta tidak bertentangan dnegan kearifan lokal warga setempat agar mudah diterima dan menjadi bagian penting untuk berbagai acara yang kental dengan sosial, adat dan budaya masyarakat sekitar RTH. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keberlanjutan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Tabel 2. Nilai signifikansi peubah laten keberlanjutan program Ruang Terbuka Hijau (RTH) No. Matriks Pengaruh Peubah Laten Koefisien Jalur T- Hitung Signifikansi 1. Karakteristik Individu => Keberlanjutan 0.081 1.385 Tidak Sig 2. Kosmopolitan => Keberlanjutan 0.077 0.813 Tidak Sig 3. Dukungan stakeholder => Keberlanjutan 0.178 2.707 Signifikan 4. Tingkat Partisipasi => Keberlanjutan -0.002 0.023 Tidak Sig 5. Kapasitas Pengelola RTH => Keberlanjutan 0.261 4.014 Signifikan Keterangan: nilai t-hitung > nilai t-tabel(1.96) = signifikan, α =5 persenmode Analisis Partial Least Square digunakan untuk mengetahui pengaruh karakteristik individu, tingkat kekosmopolitan, tingkat dukungan stakeholders dan tingkat partisipasi terhadap keberlanjutan RTH di DKI Jakarta. Pada tahap pertama dilakukan analisis first order confirmatori factor analysis (CFA). Tahap kedua menggunakan analisis model PLS untuk pengujian signifikansi hipotesis menggunakan proses bootstrapping. Pada analisis iterasi algoritma dilakukan beberapa kali, karena saat pertama kali dilakukan terdapat beberapa indikator yang memiliki nilai loading faktor dibawah 0.5 yang menunjukkan bahwa indikator-indikator tersebut tidak valid dan tidak reliabel. Maknanya bahwa indikator tersebut tidak merefleksikan masing-masing peubah laten, sehingga harus dikeluarkan dari model. Temuan ini selaras dengan hasil penelitian Imas Gandasari, Hotimah, dan Miarsyah (2021) bahwa keindahan dan kenyamanan dari RTH memiliki manfaat jangka panjang sebagai tanaman obat, penyerap udara kotor, dan melestarikan ragam flora dan fauna. Gambar 1. Model pengukuran (outer model) Hasil analisis Partial Least Square (PLS) menunjukkan terdapat faktor-faktor yang memengaruhi keberlanjutan RTH di DKI Jakarta. Persamaan model struktural adalah Y2= 0.178X3 + 0.261Y1 + 0.792. Nilai R2 sebesar 0.208 yang artinya 20.8 persen keberlanjutan RTH dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diteliti


Jurnal Penyuluhan | Vol. 17 (02) 2020 | 243 dalam penelitian ini, sedangkan 79.2 persen dipengaruhi oleh faktor lain diluar yang diteliti. Berdasarkan pada nilai R2 maka model yang dihasilkan berada pada kategori lemah. Hasil loading menunjukkan bahwa keseluruhan indikator sudah merefleksikan keberlanjutan pada aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan estetika. Tingkat dukungan stakeholder berpengaruh positif dan nyata terhadap keberlanjutan RTH di DKI Jakarta. Tingkat dukungan stakeholder direfleksikan oleh peran pemerintah, media, masyarakat dan penyuluh. Semakin tinggi tingkat dukungan pemerintah, masyarakat, media dan penyuluh maka keberlanjutan RTH di DKI Jakarta menjadi meningkat. Peran penyuluh perkotaan berperan penting dan memiliki makna strategis dalam mengawal keberhasilan program RTH. Temuan ini sangat sesuai dengan hasil penelitian (Sudibyo, Bakhtiar, & Hasanah, 2019) bahwa ada hubungan yang positif antara karakteristik sosial penyuluh dengan tugas pokoknya sebagai penyuluh perkotaan di wilayah Batu Malang. Selain itu hasil penelitian (Aslamia, Mardin, & Hamzah, 2017) menyatakan penyuluh perkotaan sudah berperan baik sebagai fasilitator, pengembangan organisasi,dan pengembangan kelompok tani perkotaaan sebagai wahana belajar, kerjasama dan unit produksi usahatani. Peran Penyuluh perkotaan disini kuramng optimal dalam pencarian informasi dan inovasi teknologi terkini. Tingkat kapasitas pengelola RTH berpengaruh positif dan nyata terhadap keberlanjutan RTH di DKI Jakarta. Kapasitas pengelola RTH direfleksikan oleh kapasitas teknis, manajerial dan sosial. Semakin tinggi kapasitas pengelola RTH maka akan semakin meningkat keberlanjutan RTH. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Susilowati (2017) yang menunjukkan bahwa dalam pengembangan RTH, diarahkan pada harmonisasi alam dan sosial dengan optimalisasi lahan melalui pot-pot tempat hidup berbagai tanaman secara lestari. Penelitian Prakoso dan Herdiansyah (2019), menunjukkan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dan penguatan regulasi yang dilaksanakan dengan konsisten menjadi syarat tercapainya luasan RTH 30 persen di DKI Jakarta. Senada dengan hasil penelitian Cahya, Widyawati, dan Ayodhia (2016) bahwa ketersediaan RTH di Kota yang masih minim dan kondisi masih kurang ideal perlu upaya kerja keras multi stakeholders untuk mewujudkan RTH lestari berkelanjutan. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat keberlanjutan RTH di DKI Jakarta berada pada kategori rendah pada aspek ekonomi, ekologi, sosial budaya dan kategori sangat rendah pada aspek estetika. Peran penyuluh perkotaan berperan penting dan memiliki makna strategis dalam mengawal keberhasilan program RTH di DKI Jakarta. Faktor-faktor yang memengaruhi keberlanjutan RTH di DKI Jakarta adalah tingkat dukungan stakeholders yang direfleksikan oleh peran pemerintah, media, masyarakat dan penyuluh. Pada tingkat kapasitas masyarakat aspek teknis, manajerial dan sosial berpengaruh positif terhadap keberlanjutan ruang terbuka hijau. DAFTAR PUSTAKA Anonim. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Ruang Kawasan Perkotaan. Anonim. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Anonim. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.Menteri Pekerjaan Umum. Jakarta. Ahmad Rifqi Fauzi1)*,Annisa Nur Ichniarsyah1), H. A. (2016). Urban Agricuture : Urgency, Role, and Best Practice. Jurnal Agroteknologi, 10(1), 49–62. Arikunto S. (2010). Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Armaeni, N. K., Suranata, P. G., Gde, I. W., & Triswandana, E. (2017). Pemberdayaan Obyek Guna Lahan Di Kawasan Desa Sanur Sebagai Alternatif Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) Kota Denpasar. 2–7. Aslamia, Mardin, & Hamzah, A. (2017). Peran Penyuluh Pertanian Dalam Pengembangan Kelompok Tani Di Kelurahan Matabubu Kecamatan Poasia Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Membangun Desa Dan Pertanian, 2(1), 6–9. Retrieved from http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMDPdoi:http://dx.doi.org/10.33772/ jimdp.v2i1.6650 Cahya, D. L., Widyawati, L. F., & Ayodhia, F. W. (2016). Evaluasi ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Bekasi. Jurnal Planesa, 7(1), 1–9.


Jurnal Penyuluhan | Vol. 17 (02) 2021 | 244 Cress Well. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Approaches.Choosing among Five Approaches. housand Oaks, CA: Sage. Fuady, M. (2011). Ruang terbuka hijau ekologis sebagai penyedia oksigen dan penyimpan air untuk kota banda aceh. (2008). Hendra Wijanto, R. K. H. (2017). Implementasi Kebijakan RTH DI KOTA ADMINITRASI JAKARTA UTARA PROVINSI DKI JAKARTA. Jurnal Ilmu Adminitrasi Publik, 2(1), 32–42. Hidayani, H., & Warsono, H. (2017). Analisis Kemitraan dalam Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang. Journal Of Public Policy And Management Review, 6(2), 1–13. Imas Gandasari, Hotimah, O., & Miarsyah, M. (2021). Pemanfaatan Ruang Terbuka Kampus Sebagai Potensi Menjaga Lingkungan. Jurnal Green Growth Dan Manajemen Lingkungan, 9(2), 71–85. https://doi.org/10.21009/jgg.092.04 Infokum, S., & Binbangkum, D. (2007). Permen No.01-2007. 1–8. Iswari, A. N. (2014). Strategi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya dalam Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. Kebijakan Dan Manajemen Publik, 1(1), 1–9. Retrieved from http://repository.unair.ac.id/16213/ Lestari, S. P., Noor, I., Ribawanto, H., Publik, J. A., Administrasi, F. I., & Brawijaya, U. (2012). DALAM UPAYA MEWUJUDKAN SUSTAINABLE CITY ( Studi Pada Masterplan Pengembangan RTH Tahun 2012-2032 di Kabupaten Nganjuk ). 2(3), 381–387. Lini, L., Hamzah, A., & Abdullah, S. (2018). Peranan Penyuluh Pertanian Dalam Pengembangan Kelompok Tani Di Kelurahan Benua Nirae Kecamatan Abeli Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Membangun Desa Dan Pertanian, 3(5), 128–132. Mulyanie, E., & As’ari, R. (2019). Fungsi Edukasi Ruang Terbuka Hijau Taman Kota Tasikmalaya. 338–345. Prakoso, P., & Herdiansyah, H. (2019). Analisis Implementasi 30% Ruang Terbuka Hijau Di Dki Jakarta. Majalah Ilmiah Globe, 21(1), 17. https://doi.org/10.24895/mig.2019.21-1.869 Pratiwi, L. Y., Tohjiwa, A. D., & Mildawani, I. (2020). Produksi Ruang Terbuka Hijau Publik Taman Terpadu. Lanskap Indonesia, 12(2), 63–72. Putra, H. A., & Roosandriantini, J. (2021). Ketersediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kampus UKDC Surabaya Availability and Utilization of Green Open Space at UKDC Surabaya Campus. Arsitektura, 19(1), 1–12. Retrieved from https://jurnal.uns.ac.id/Arsitektura/article/view/44374 Riyanto Suprayitno, A., Sumardjo, S., S. Gani, D., & Ginting Sugihen, B. (2011). MODEL PENINGKATAN PARTISIPASI PETANI SEKITAR HUTAN DALAM PENGELOLAAN HUTAN KEMIRI RAKYAT: Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi Kehutanan, 8(3), 176–195. https://doi.org/10.20886/jsek.2011.8.3.176-195 Rojas, C., Páez, A., Barbosa, O., & Carrasco, J. (2016). Accessibility to urban green spaces in Chilean cities using adaptive thresholds. Journal of Transport Geography, 57(December), 227–240. https://doi.org/10.1016/j.jtrangeo.2016.10.012 Samsudi. (2010). Ruang Terbuka Hijau Kebutuhan Tata Ruang Perkotaan Kota Surakarta. Journal of Rural and Development, Vol. 1(No. 1), Hal. 11-19. Saputra, W., & Ma’sum, F. R. (2017). Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada Kawasan Kelurahan Pampang Kota Makassar. D007-D010. https://doi.org/10.32315/ti.6.d007 Setiyawan, N., & Akbari, T. (2021). Analisis Proyeksi Perubahan Ruang Terbuka Hijau Publik Di Kota Cilegon Pada Tahun 2025. JURNALIS: Jurnal Lingkungan, 4(1), 70–79. Retrieved from http://ejournal.lppm-unbaja.ac.id/index.php/jls/article/view/1215 Setyani, W., Risma, S., Sitorus, P., & Panuju, R. (2017). Analisis Ruang Terbuka Hijau dan Kecukupannya di Kota Depok An Analysis of Greenery Open Space and Its Adequacy in Depok City. Buletin Tanah Dan Lahan, 1(1), 121–127. Suryani, Muljono, P., Susanto, D., & Harijati, S. (2021). Factors Affecting the Capacity of Green Gang Managers in the Utilization of Yards for Green Open Space in Jakarta. 4(2), 149–162. Sudibyo, R. P., Bakhtiar, A., & Hasanah, M. A. (2019). Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Penyuluh dengan Pelaksanaan Tugas Pokok Penyuluh Pertanian di Kota Batu. Jurnal Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 3(4), 710–719. https://doi.org/10.21776/ub.jepa.2019.003.04.6


Jurnal Penyuluhan | Vol. 17 (02) 2020 | 245 Supratiwi, S. (2019). Studi ruang terbuka hijau dalam kebijakan pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Kota Semarang. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 3(2), 89. https://doi.org/10.14710/jiip.v3i2.3878 Susilowati, I. (2017). Konsep Pengembangan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) pada Permukiman Kepadatan Tinggi. Jurnal Pembangungan Wilayah Dan Kota, 9(4), 429–438. Triana, D., Aspar, & Jumarni. (2020). Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar. Jurnal Lanskap Indonesia, 11(2), 43–47. https://doi.org/ 10.29244/jli.v11i2.22116 Wahyuningsih, H. (2018). Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta). Jurnal Arsitektur Dan Perencanaan (JUARA), 1(1), 106–115. https://doi.org/10.31101/juara. v1i1.368 Woltjer, J. (2014). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota, 25(1), 1– 16. https://doi.org/10.5614/jpwk.2014.25.1.1


94 UNM Geographic Journal UNM Geog. J. Vol. 6, No. 2, September 2023, pp. 94-102, Journal Homepage: https://ojs.unm.ac.id/UGJ/indexJ/index DOI: https://doi.org/10.26858/ugj.vXiX.XXXX ANALISIS PERUBAHAN DAN KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA JAKARTA BARAT Hilman Rizq Ratuandyas1* 1 Prodi Sains Informasi Geografi, FPIPS, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 40152, Indonesia Email: [email protected] ABSTRAK Penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam perencanaan tata ruang kota. Meningkatnya alih fungsi lahan dari lahan vegetasi menjadi lahan terbangun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk akan berdampak pada ketersediaan ruang terbuka hijau di perkotaan. Salah satu wilayah yang terdampak oleh fenomena tersebut adalah Kota Jakarta Barat yang merupakan wilayah dengan perkembangan yang pesat. Salah satu langkah menanggulangi minimnya ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat adalah dengan memberikan informasi dan memetakan daerah-daerah ruang terbuka hijau dengan melibatkan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: 1) perubahan RTH di Kota Jakarta Barat tahun 2017 dan 2021, 2) persebaran RTH di Kota Jakarta Barat, dan 3) kebutuhan RTH di Kota Jakarta Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan Citra Sentinel 2A untuk memetakan kondisi eksisting ruang terbuka hijau. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa lahan vegetasi atau ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat mengalami perubahan sebesar 498,31 ha dari tahun 2017 hingga tahun 2021. Adapun persebaran ruang terbuka hijau dibagi menjadi 6 (enam) klasifikasi yakni Kawasan Hijau Hutan Kota, Kawasan Hijau Taman Kota, Kawasan Hijau Rekreasi, Kawasan Jalur Hijau, Kawasan Hijau Olahraga, dan Kawasan Hijau Pemakaman yang memiliki luas keseluruhan sebesar 21,935 km2 atau 16,93% dari luas wilayah Kota Jakarta Barat. Diketahui juga kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk mengalami kekurangan sebesar 29,791 km2 dan kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah mengalami kekurangan sebesar 16,927 km². Kata Kunci: Ruang Terbuka Hijau, Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Citra Satelit ABSTRACK Provision and utilization of Green Open Space (RTH) is one of the requirements that must be fulfilled in urban spatial planning. Increasing land conversion from vegetation land to built-up land along with population growth will have an impact on the availability of green open space in urban areas. One of the areas affected by this phenomenon is the City of West Jakarta which is an area with rapid development. One of the steps to overcome the lack of availability of green open space in the City of West Jakarta is to provide information and map of green open spaces areas by involving the application of Geographic Information Systems (GIS). Therefore this study aims to analyze: 1) changes in green open space in the city of West Jakarta in 2017 and 2021, 2) the distribution of green open space in the city of West Jakarta, and 3) the need for green open space in the city of West Jakarta. The method used in this study is by utilizing a Geographic Information System (GIS) using Sentinel 2A Imagery for mapping the existing condition of green open spaces. The results of this study indicate that vegetation land or green open space in West Jakarta City has changed by 498,31 ha from 2017 to 2021. The distribution of green open space is divided into 6 (six) classifications namely City Forest Green Area, Green Park Area, Green Recreation Area, Green Line Area, Green Sports Area, and Cemetery Green


P-ISSN: 2580-9423; E-ISSN: 2597-4076 Doi: 10.26858/ugj.v%vi%i.51063 Publisher: Prodi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar UNM Geographic Journal, Volume 6 Nomor 2 September 2023 95 Area which has a total area of 21,935 km22 or 16.93% of the total West Jakarta City area. It is also known that the need for green open space based on the population has a shortage of 29,791 km22 and the need for green open space based on the area experienced a shortage of 16,927 km². Keywords: Green Open Space, Area, Total Population, Satellite Imagery 1. PENDAHULUAN Pemenuhan kebutuhan dalam pembangunan berkelanjutan dalam sebuah perencanaan pembangunan kota wajib memenuhi persyaratan dan mengacu pada kebijakan penataan ruang wilayah kota, yang mana kebijakan tersebut berisi rencana penyediaan dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang telah diatur dalam Undang-Undang Tata Ruang Nomor 26 Tahun 2007. Pada ketetapan yang diatur oleh undang-undang tersebut, penyediaan ruang terbuka hijau memiliki dua jenis ruang yaitu ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Adapun ketersediaan ruang terbuka hijau harus memenuhi syarat sebagai suatu pembangunan dan penataan ruang, dimana ruang terbuka hijau pada dasarnya diharuskan mencakup 30% dari luas wilayah, yang mana pada ruang terbuka hijau publik mencakup 20% dari luas wilayah, dan ruang terbuka hijau privat mencakup 10% dari luas wilayah (Hidayat, 2016). Saat ini Kota Jakarta Barat telah tumbuh menjadi pilihan favorit masyarakat urban untuk hidup serta menjalankan aktivitas industri. Kota Jakarta Barat juga lahir sebagai salah satu bagian integral wilayah ibukota DKI Jakarta yang berbatasan dengan Kota Jakarta Pusat dan Kota Tangerang menjadikan kota ini memiliki lokasi yang sangat strategis untuk dilakukan berbagai aktivitas kehidupan. Fakta tersebut menjadikan fenomena alih fungsi lahan hijau menjadi lahan terbangun menjadi sebuah kenyataan yang sulit untuk dihindari. Kota Jakarta Barat yang memiliki luas wilayah sekitar 129,54 km² semestinya memiliki persentase ruang terbuka hijau sebesar 38.862 km² atau sekitar 30% dari total luas wilayah keseluruhannya, dimana 20% diantaranya merupakan lahan ruang terbuka hijau yang dibangun oleh pemerintah kota sementara 10% sisanya dibangun oleh masyarakat atau pihak swasta (Ramadhan, 2018). Salah satu langkah menanggulangi minimnya ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat adalah dengan memberikan informasi tentang daerah-daerah Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk membantu pemetaan ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat berdasarkan data yang sedia ada dengan melibatkan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka penelitian mengenai “Analisis Perubahan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berbasis Sistem Informasi Geografis di Kota Jakarta Barat” diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi pengembangan ruang terbuka hijau mengacu pada gambaran terkait perubahan RTH, persebaran RTH, dan analisis kebutuhan RTH yang telah dijabarkan 2. METODE Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode OBIA (Object Based Image Analysist). Metode ini digunakan dengan tujuan untuk mengidentifikasi jenis Ruang Terbuka Hijau. Selanjutnya akan digunakan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) sebagai metode untuk membuat klasifikasi dari suatu objek penelitian. Metode klasifikasi dilakukan pada lahan terbangun dan ruang terbuka hijau untuk meninjau ketersediaan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan luasan perubahan permukiman di Kota Jakarta Barat berdasarkan luas area hasil pemrosesan OBIA yang dibandingkan dengan luas area pada objek di peta acuan hasil interpretasi visual.


P-ISSN: 2580-9423; E-ISSN: 2597-4076 Doi: 10.26858/ugj.v%vi%i.51063 Publisher: Prodi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar UNM Geographic Journal, Volume 6 Nomor 2 September 2023 96 Penelitian ini dilaksanakan di Kota Jakarta Barat, DKI Jakarta. Berdasarkan letak geografisnya, Kota Jakarta Barat terletak 106 – 48 Bujur Timur dan 60 – 12 Lintang Utara, serta berada 7 m di atas permukaan laut. Kota Jakarta Barat memiliki Luas sebesar 129,54 km² dan mempunyai 8 (delapan) kecamatan yakni Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Grogol Petamburan, Kecamatan Taman Sari, Kecamatan Tambora, Kecamatan Kebon Jeruk, Kecamatan Kalideres, Kecamatan Palmerah dan Kecamatan Kembangan. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penentuan sampel dengan Cluster Random Sampling. Teknik digunakan untuk pengambilan sampel pada wilayah yang cukup luas. Teknik cluster random sampling pada penelitian ini melalui dua tahapan yakni tahap pertama menentukan sampel daerah RTH di masing-masing kecamatan, dan tahap kedua menentukan objek lokasi RTH. Sampel yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah sebaran ruang terbuka hijau publik dan privat di wilayah perkotaan diantaranya hutan kota, taman kota, jalur jalan hijau, lapangan olahraga, tempat pemakaman umum, dan pekarangan rumah maupun perkantoran di 8 kecamatan Kota Jakarta Barat melalui data yang dihimpun secara acak sebanyak 70% dari sebaran ruang terbuka hijau publik dan privat dan 10% berupa data yang berasal dari google maps. Untuk mekanisme teknik pengumpulan data, penelitian ini melaksanakan kegiatan dilapangan dengan studi literatur, observasi, dan dokumentasi. Adapun teknik analisis data yang digunakan yakni analisis overlay, analisis penggunaan lahan, analisis perubahan lahan ruang terbuka hijau, dan analisis kebutuhan ruang terbuka hijau. Penelitian ini diawali dengan mengumpulkan beragam data yang dibutuhkan baik primer maupun sekunder. Data primer yang digunakan berupa data perekaman wilayah Kota Jakarta Barat pada tahun 2021 menggunakan citra Sentinel 2A. Data ini memiliki fungsi untuk mengetahui penggunaan lahan eksisting di Kota Jakarta Barat. Sedangkan data sekundernya berupa seperti luas wilayah Kota Jakarta Barat, peta administrasi Kota Jakarta Barat, dan data Kota Jakarta Barat yang disediakan Badan Pusat Statistik. Selanjutnya dilakukan pengolahan data yang sudah dihimpun sebelumnya dengan berbagai teknik seperti digitasi, cropping dan overlay. Setelah melalui tahap pengolahan data maka kemudian akan muncul hasil penelitian berupa penggunaan lahan, perubahan ruang terbuka hijau, dan kebutuhan ruang terbuka hijau.


P-ISSN: 2580-9423; E-ISSN: 2597-4076 Doi: 10.26858/ugj.v%vi%i.51063 Publisher: Prodi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar UNM Geographic Journal, Volume 6 Nomor 2 September 2023 97 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berdasarkan hasil ground check lapangan maka selanjutnya hasil dari gambaran tersebut disusun menjadi output berupa Peta Penggunaan Lahan pada tahun 2017 dan tahun 2021. Mengacu pada hasil analisis, penggunaan lahan di Kota Jakarta Barat tersebut terbagi menjadi 5 klasifikasi yakni terbangun, lahan vegetasi atau ruang terbuka hijau, jalan, badan air, dan juga lahan kosong yang selanjutnya dilakukan analisis menggunakan data citra. Berdasarkan hasil dari analisis tersebut diperoleh 5 simbologi warna yang akan disajikan pada peta penggunaan lahan yaitu warna merah untuk memvisualisasikan klasifikasi lahan terbangun, warna hijau untuk untuk memvisualisasikan klasifikasi lahan vegetasi atau ruang terbuka hijau, warna kuning untuk untuk memvisualisasikan klasifikasi jalan, warna biru untuk untuk memvisualisasikan klasifikasi badan air, serta warna coklat untuk untuk memvisualisasikan klasifikasi lahan kosong. Gambar 2. Peta Penggunaan Lahan Kota Jakarta Barat Tahun 2017 dan 2021 Perubahan Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta Barat Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu komponen yang memiliki peran penting bagi tata ruang di kota besar, khususnya di wilayah yang menjadi kawasan pusat administrasi dan industri. Kota Jakarta Barat wilayah termasuk kedalam wilayah yang memiliki aktivitas yang aktif sebagai pusat bisnis dan marak akan pembangunan. Hal ini membuat ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan guna merealisasikan secara nyata tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan.


P-ISSN: 2580-9423; E-ISSN: 2597-4076 Doi: 10.26858/ugj.v%vi%i.51063 Publisher: Prodi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar UNM Geographic Journal, Volume 6 Nomor 2 September 2023 98 Gambar 3. Peta Lahan Vegetasi Kota Jakarta Barat Tahun 2017 dan 2021 Pertambahan luas lahan terbangun akan memengaruhi luasan lahan vegetasi atau ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat. Hal ini terjadi karena alih guna fungsi lahan yang disebabkan oleh kebutuhan akan lahan terbangun yang semakin meningkat seiring berkembangnya zaman. Adapun kecamatan yang terdampak akan perubahan lahan vegetasi atau ruang terbuka hijau yang signifikan yakni terjadi di Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Kalideres, dan Kecamatan Kembangan. Berdasarkan hasil analisis dari pemanfaatan citra yang dilakukan sebelumnya maka tampak visualisasi akan perubahan lahan vegetasi atau ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat pada tahun 2017 hingga tahun 2021. Pada tahun 2017 luas ruang terbuka hijau atau lahan vegetasi lahan di Kota Jakarta Barat memiliki luas sebesar 1.118,25 ha, sedangkan pada tahun 2021 luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat mengalami penurunan luas lahan menjadi 619,94 ha. Setelah dilakukan analisis dari Peta Lahan Vegetasi Tahun 2017 dan Peta Lahan Vegetasi Tahun 2021 diatas maka dapat diambil hasil yakni terjadi penurunan luas lahan vegetasi atau ruang terbuka hijau sebesar 498,31 ha di Kota Jakarta Barat. Berdasarkan fakta ini dapat diambil kesimpulan bahwa luas ruang terbuka hijau atau lahan vegetasi di Kota Jakarta Barat mengalami regresi luas lahan. Gambar 4. Peta Perubahan Lahan Vegetasi Kota Jakarta Barat Dapat diketahui dari gambar 4.30 diatas bahwa Perubahan Lahan Vegetasi (RTH) di Kota Jakarta Barat terjadi dengan cukup signifikan. Simbologi warna hijau muda menandakan kondisi lahan vegetasi eksisting pada tahun 2021 sedangkan simbologi warna merah menandakan perubahan lahan vegetasi menjadi non vegetasi. Terlihat perubahan kenampakan lahan dari lahan vegetasi menjadi non vegetasi terjadi secara masif di beberapa kecamatan yakni Kecamatan Kalideres, Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Kembangan, Kecamatan Kebon Jeruk dan Kecamatan Palmerah. Sedangkan di wilayah Kecamatan lainnya seperti Kecamatan Grogol Petamburan, Taman Sari dan Tambora memiliki tingkat kerapatan vegetasi yang rendah sehingga perubahan penggunaan lahannya tidak terlalu signifikan.


P-ISSN: 2580-9423; E-ISSN: 2597-4076 Doi: 10.26858/ugj.v%vi%i.51063 Publisher: Prodi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar UNM Geographic Journal, Volume 6 Nomor 2 September 2023 99 Persebaran Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta Barat Melansir dari data yang disediakan oleh laman resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yakni Jakarta Satu Peta bahwa terdapat sekitar yaitu 50 ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat yang memiliki luas yang bervariasi dengan keseluruhan jumlah luas RTH yakni 21,935 km2. Berdasarkan Tabel 16 diatas dapat diketahui dari 50 titik ruang terbuka hijau yang terdapat di Kota Jakarta Barat kemudian diklasifikasikan kembali menjadi 6 (enam) klasifikasi jenis ruang terbuka hijau yakni Kawasan Hijau Rekreasi, Kawasan Jalur Hijau, Kawasan Hijau Pemakaman, Kawasan Hijau Olahraga, Kawasan Hijau Taman Kota, dan Kawasan Hijau Hutan Kota. Gambar 5. Peta Persebaran Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta Barat Dapat diketahui terkait persebaran Ruang terbuka hijau (RTH) yang terdapat 8 kecamatan di Kota Jakarta Barat memiliki potensi untuk dilakukan pengembangan. Pengembangan ruang terbuka hijau dapat dilakukan dengan meninjau kesesuaian fungsi dan jenisnya pengembangan. Pembangunan ruang terbuka hijau baru dapat dilakukan di kecamatan yang memiki konsentrasi penduduk dengan kepadatan yang tinggi diantaranya Kecamatan Tambora, Kecamatan Palmerah, dan Kecamatan Grogol Petamburan. Ruang terbuka hijau yang dapat dibangun dapat berupa tipe Kawasan Hijau Permukiman, dan Kawasan Hijau Rekreasi. Menurut Khusaini (2008), area di perkotaan yang dapat dilakukan penanaman adalah di taman kota, sisi jalan, kuburan, sempadan sungai, pekarangan ruma, dan perkantoran. Tempat yang ditanam berbagai jenis tanaman sebagai vegetasi juga dapat termasuk dalam dalam pengembangan ruang terbuka hijau di Kotamadya Jakarta Barat. Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) menyebutkan bahwa jenis tanaman yang ditanam dalam mekanisme penghijauan kota serta tanaman yang memilifi fungsi menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida diantaranya yakni Pohon Damar, Pohon Akasia, Pohon Beringin, dan Pohon Lamtoro Gung (Tauhid, 2008). Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta Barat Dapat dilakukan analisis terkait kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah di Kota Jakarta Barat. Untuk memudahkan menghitung luas ketersediaan dan kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah mengacu pada UU Tata Ruang


P-ISSN: 2580-9423; E-ISSN: 2597-4076 Doi: 10.26858/ugj.v%vi%i.51063 Publisher: Prodi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar UNM Geographic Journal, Volume 6 Nomor 2 September 2023 100 No 26 Tahun 2007. Jika luas wilayah Kota Jakarta Barat sebesar 129,54 km² maka kebutuhan ruang terbuka hijau yang harus dipenuhi yakni sebesar 38,862 km², yaitu luas ruang terbuka hijau 30% dari luas wilayah Kota Jakarta Barat. Sementara pada kondisi eksisting luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat saat ini hanya sebesar 21,935 km². Kebutuhan akan luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat berdasarkan luas wilayah yakni sebesar 38,862 km², adapun pada tahun 2021 luas ruang terbuka hijau hanya mencapai angka 21,935 km². Fakta ini mengungkap bahwa ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat masih mengalami kekurangan luas yaitu sebesar 16,927 km². Fakta tersebut menjelaskan bahwa kebutuhan akan ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat masih terlampau jauh untuk mencapai luas standar ruang terbuka hijau yang harus dimiliki. Telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 bahwa luas ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk di wilayah perkotaan yakni harus memenuhi angka sebesar 20 m2 per penduduk. Untuk memudahkan menghitung luas ketersediaan dan kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008. Jika jumlah keseluruhan penduduk di Kota Jakarta Barat pada tahun 2020 sebanyak 2.586.330 maka kebutuhan ruang terbuka hijau yang harus terpenuhi yakni sebesar 5.172,660 ha atau 51,726 km². Sementara kondisi eksisting ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat saat ini baru terpenuhi sebesar 21,935 km². Kebutuhan akan luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat berdasarkan jumlah penduduk yakni sebesar 51,726 km², sedangkan pada tahun 2021 lalu luas ruang terbuka hijau baru mencapai 21,935 km². Maka terdapat defisit dan kekurangan luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat sebesar 29,791 km² jika dilakukan perbandingan dengan kebutuhan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk. 3.2 Pembahasan Tidak dapat terelakkan lagi bahwasannya perubahan ruang terbuka hijau atau lahan bervegetasi di Kota Jakarta Barat terjadi karena adanya pertambahan jumlah penduduk sehingga mengakibatkan tingginya permintaan akan kebutuhan lahan Kota Jakarta Barat. Kebutuhan lahan juga berpengaruh pada perubahan lahan kosong menjadi lahan terbangun sehuingga dapat diambil kesimpulan bahwa setiap ketersediaan lahan tak terbangun masih bersifat tentatif atau dapat berubah kapan saja. Berdasarkan hasil penelitian berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) pada tahun 2017 dan tahun 2021, perubahan ruang terbuka hijau atau lahan vegetasi mengalami penurunan sebesar 498,31 ha sejak tahun 2017 hingga tahun 2021. Kota Jakarta Barat memiliki luas sebesar 129,54 km² dan membutuhkan luas ruang terbuka hijau sebesar 38,862 km². Dengan ini dapat diketahui bahwa Kota Jakarta Barat belum cukup mencapai standar kriteria kota hijau. Melansir data yang disediakan oleh laman resmi pemerintah provinsi DKI Jakarta yaitu Jakarta Satu Peta, disebutkan angka luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat hanya sebesar 21,935 km² atau hanya 16,93% dari luas keseluruhan wilayah. Hal tersebut menunjukan bahwa luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat masih mengalami kekurangan luas sebesar 16,927


P-ISSN: 2580-9423; E-ISSN: 2597-4076 Doi: 10.26858/ugj.v%vi%i.51063 Publisher: Prodi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar UNM Geographic Journal, Volume 6 Nomor 2 September 2023 101 km². Dengan ini Kota Jakarta Barat masih jauh dari angka minimal 30% dari luas wilayah sesuai dengan undang- undang yang berlaku. Ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008, mengenai pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan, yakni dapat dilakukan perhitungan antara luas ruang terbuka hijau terhadap jumlah penduduk dengan total 20 m²/penduduk sedangkan jumlah penduduk di Kota Jakarta Barat menilik data pada tahun 2020 yakni sebanyak 2.586.330 penduduk. Setelah melakukan kalkulasi dan perhitungan, maka diketahui bahwa kebutuhan ruang terbuka hijau yakni sebesar 51,726 km², namun pada realitanya luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat hanya sebesar 21,935 km². Disini dapat diambil kesimpulan bahwa ketersediaan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk masih memiliki kekurangan luas sebesar 29,791 km² yang sudah tentu akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Jakarta Barat sebab bagaimanapun masyarakat sangat membutuhkan ruang terbuka hijau sebagai tempat berolahraga, tempat berekreasi, tempat berkegiatan sosial, dan tempat berteduh. Belum lagi dengan meningkatnya jumlah penduduk pada setiap tahunnya yang memiliki korelasi dengan penurunan akan ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat. 4. KESIMPULAN Perubahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) atau lahan vegetasi di Kota Jakarta Barat pada tahun 2017 sebesar 1.118,25 ha, sedangkan luas lahan vegetasi atau Ruang Terbuka Hijau pada tahun 2021 sebesar 619,94 ha. Terjadi penurunan luas ruang terbuka hijau atau lahan vegetasi di Kota Jakarta Barat selama tahun 2017 hingga tahun 2021 sebesar 498,31 ha. Persebaran ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat memiliki luas keseluruhan 21,935 km² yang tersebar di 8 kecamatan serta terdiri dari 50 titik ruang terbuka hijau. Dari data tersebut kemudian dapat diklasifikasikan kembali menjadi 6 (enam) klasifikasi jenis ruang terbuka hijau yakni Kawasan Hijau Hutan Kota berjumlah 4 titik, Kawasan Hijau Taman Kota berjumlah 3 titik, Kawasan Hijau Rekreasi berjumlah 28 titik, Kawasan Jalur Hijau berjumlah 8 titik, Kawasan Hijau Olahraga berjumlah 2 titik, dan Kawasan Hijau Pemakaman berjumlah 5 titik. Berdasarkan ketentuan jumlah penduduk, kebutuhan akan luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat yakni sebesar 51,726 km², sedangkan luas ruang terbuka hijau eksisting di Kota Jakarta Barat hanya sebesar 21,935 km². Maka luas ruang terbuka hijau di Kota Jakarta Barat masih kekurangan sebesar 29,791 km² dari total kebutuhan akan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk di Kota Jakarta Barat DAFTAR RUJUKAN Hidayat, Kiki. (2016). Analisis Ruang Terbuka Hijau Publik di Kabupaten Pringsewu tahun 2014. Skripsi Sarjana pada Universitas Lampung.


P-ISSN: 2580-9423; E-ISSN: 2597-4076 Doi: 10.26858/ugj.v%vi%i.51063 Publisher: Prodi Pendidikan Geografi Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar UNM Geographic Journal, Volume 6 Nomor 2 September 2023 102 Mukafi, Achmad. (2013). Tingkat Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Publik di Kota Kudus. Skripsi Sarjana pada Universitas Negeri Semarang. Direktorat Jenderal Pekerjaan Umum Penataan Ruang. (2019). Ruang Terbuka Hijau yang Masih Terpinggirkan di Indonesia. Ciptakarya, (Online). Tersedia: http://ciptakarya.pu.go.id/pbl/index.php/detail_berita/565/ruang-terbukahijau-yang-masih-terpinggirkan-di-indonesia Kementerian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang. (2020). Program Pengembangan Kota Hijau Dari Rencana Menuju Aksi Nyata, SUD Forum Indonesia. BPS Kota Jakarta Barat. (2022). Jumlah Penduduk Jakarta Barat Kelompok Umur 2018- 2020. BPS Kota Jakarta Barat, (Online). Tersedia: https://jakbarkota.bps.go.id/indicator/12/48/1/jumlah-penduduk-jakarta-baratkelompok-umur.html (Diakses 22 Februari 2023) Ramadhan, I. N. (2018). Analisis Ketersediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan dalam Meningkatkan Persepsi Masyarakat Kota Bekasi: Bandung. UIN Sunan Gunung Djati. Sahrudin, R. (2020). Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berbasis Sistem Informasi Geografis di Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat. Skripsi Sarjana pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hotimah, K. (2019). Sistem Informasi Geografis Berbasis Web untuk Pemerintah Desa (Studi Kasus: Desa Dukuwaluh, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas). Disertasi Doktor ITN Malang.


Jurnal RISA (Riset Arsitektur) ISSN 2548-8074, www.journal.unpar.ac.id Volume 07, Nomor 04, edisi Oktober; 2023; hal 388-406 IDENTIFICATION OF PUBLIC OPEN SPACE QUALITY IN URBAN SETTLEMENT (CASE STUDY: NEIGHBORHOOD PARKS IN BSD CITY AREA, SOUTH TANGERANG) 1 Elvareta, 2Dr. Ir. Y. Basuki Dwisusanto, M.Sc. 1 Student in the Undergraduate’s (S-1) Study Program in Architecture at Parahyangan Catholic University 2Senior lecturer in the Undergraduate’s (S-1) Study Program in Architecture at Parahyangan Catholic University Abstract - Since the beginning of the COVID-19 pandemic, South Tangerang City Government has temporarily closed City Parks 1 and 2. With the closure of city parks, people are looking for alternative public open spaces on a smaller scale, namely neighborhood parks. The focus of the research will be on neighborhood parks in the BSD City, Taman Perdamaian dan Taman Kesehatan. Both objects of this study have the same position as an active neighborhood park. Currently the condition of Taman Perdamaian has decreased in physical quality. Meanwhile, the condition of Taman Kesehatan looks deserted by visitors even though the facilities are very well maintained. This study wants to identify more deeply the quality of the two public open spaces in terms of physical elements and their activities to find out what factors influence the success of the two neighborhood parks as public open spaces in urban settlements. This research is descriptive qualitative. Information was collected by field observations related to physical elements and their use in the two study objects. Furthermore, questionnaires and interviews were distributed to users, to obtain perception data as a basis for identifying the quality of the two public open spaces. Based on the analysis, it is known that the Taman Perdamaian has manifested three qualities that contribute to the overall structure of a place, namely permeability, variety, and physical legibility. With the realization of these three qualities, the park's success can be seen in attracting more users. Meanwhile, in Taman Kesehatan of the three qualities that stand out, only permeability and the more dominant manifestation of visual suitability and richness that are more focused on spatial details. This answers why Taman Kesehatan is underutilized, namely because of the lack of embodiment of the quality of diversity and quality of legibility. Keywords: public open space in settlements, neighborhood park, quality of public open space IDENTIFIKASI KUALITAS RUANG TERBUKA PUBLIK DI PERMUKIMAN KOTA (STUDI KASUS : TAMAN LINGKUNGAN DI KAWASAN BSD CITY, KOTA TANGERANG SELATAN) 1Elvareta, 2Dr. Ir. Y. Basuki Dwisusanto, M.Sc 1Mahasiswa S1 Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan 2Dosen Pembimbing S1 Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Abstrak - Sejak awal pandemi COVID-19, Pemerintah Kota Tangerang Selatan menutup sementara Taman Kota 1 dan 2. Dengan ditutupnya taman kota, masyarakat mencari alternatif ruang terbuka publik dalam skala yang lebih kecil yaitu taman lingkungan. Fokus penelitian akan dilakukan pada taman lingkungan di kawasan BSD City yaitu Taman Perdamaian dan Taman Kesehatan. Kedua objek studi ini memiliki kedudukan yang sama sebagai taman lingkungan aktif. Saat ini kondisi Taman Perdamaian semakin mengalami penurunan kualitas fisik, namun tidak mengurangi pemanfaatannya oleh masyarakat sekitar. Sedangkan kondisi Taman Kesehatan sepi pengunjung padahal fasilitasnya sangat terawat. Penelitian ini ingin mengidentifikasi lebih dalam kualitas kedua ruang terbuka publik ditinjau dari elemen fisik dan aktivitas penggunaannya untuk mengetahui faktor apa saja mempengaruhi keberhasilan kedua taman lingkungan tersebut sebagai ruang terbuka publik di permukiman kota. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Pengumpulan informasi dilakukan 1Corresponding Author: [email protected] 388


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) dengan observasi lapangan terkait elemen fisik dan penggunaannya pada kedua objek studi. Selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner dan wawancara kepada pengguna, untuk memperoleh data persepsi sebagai dasar untuk mengidentifikasi kualitas kedua ruang terbuka publik. Berdasarkan analisis, diketahui bahwa pada Taman Perdamaian telah terwujud tiga kualitas yang berkontribusi terhadap keseluruhan struktur suatu tempat yaitu permeabilitas, keragaman, dan keterbacaan fisik. Dengan terwujudnya tiga kualitas ini, terlihat keberhasilan taman dalam menarik lebih banyak pengguna. Sedangkan pada Taman Kesehatan dari ketiga kualitas tersebut yang menonjol baru permeabilitas serta lebih dominan perwujudan kesesuaian visual dan richness yang lebih berfokus kepada detail ruang. Hal ini menjawab kurang dimanfaatkan Taman Kesehatan, yaitu kurangnya perwujudan kualitas keragaman dan kualitas keterbacaan.Prasarana dan sarana merupakan hal yang harus disediakan pada suatu lingkungan perumahan dan harus memenuhi standar dan peraturan untuk membuat kehidupan masyarakat rusun Sarijadi menjadi lebih baik dan memberi kepuasan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui apakah prasarana dan sarana yang ada pada rumah susun Sarijadi telah memenuhi standar yang telah ditetapkan dan apakah prasarana dan sarana yang ada telah memenuhi kebutuhan para penghuni. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif, data diperoleh dari studi literatur, pengamatan langung ke lapangan, serta dari angket dan wawancara terhadap penghuni rumah susun Sarijadi. Diperoleh kesimpulan bahwa walaupun prasarana dan sarana yang ada pada rumah susun Sarijadi belum sepenuhnya memenuhi standar, namun para penghuni menyatakan bahwa prasarana dan sarana sudah cukup lengkap dan dapat memenuhi kebutuhan mereka. Kata-kata kunci: ruang terbuka publik di permukiman, taman lingkungan, kualitas ruang terbuka publik 1. PENDAHULUAN Ruang terbuka publik memiliki manfaat yang sangat besar dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitarnya. Ruang terbuka publik dalam suatu kawasan berfungsi sebagai pusat orientasi, sarana interaksi dan identitas kawasan dimana di dalamnya terdapat aktivitas sosial dari budaya masyarakatnya. Sejak merebaknya pandemi COVID-19, masyarakat semakin menyadari pentingnya ruang terbuka publik yang mudah dijangkau, yang memungkinkan pergerakan di dalam kawasan permukiman kota yang padat. Diberlakukannya berbagai kebijakan terkait pembatasan mobilitas masyarakat selama pandemi, mempengaruhi berbagai bidang kehidupan termasuk arsitektur, khususnya penggunaan ruang terbuka publik. Penggunaan ruang terbuka publik yang biasanya didominasi oleh ruang terbuka publik perkotaan (urban) menjadi bergeser ke ranah penggunaan ruang terbuka publik pada skala permukiman kota (neighboorhood) akibat kebijakan pemerintah agar masyarakat lebih baik beraktivitas di lingkungan terdekatnya. Sejak awal pandemi COVID-19, Pemerintah Kota Tangerang Selatan menutup sementara taman kota dan ruang terbuka hijau di wilayahnya. Ruang terbuka publik yang mengalami penutupan, diantaranya adalah Taman Kota 1 dan Taman Kota 2 yang berada di kawasan BSD City, Kota Tangerang Selatan. Taman Kota 1 dan Taman Kota 2 merupakan ruang terbuka publik yang cukup diminati masyarakat. Dengan ditutupnya taman kota, masyarakat mencari alternatif ruang terbuka publik pada skala yang lebih kecil, yaitu taman lingkungan. Taman lingkungan merupakan bagian ruang terbuka publik yang dibangun dan dikembangkan di lingkungan perumahan atau permukiman, yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dan diatur sebagai ruang terbuka kota atau sebagai bagian dari pembangunan perumahan oleh pengembang swasta misalnya taman bermain, fasilitas olahraga, dan lainnya (Carr et al, 1992). Oleh karena itu fokus penelitian akan dilakukan pada taman lingkungan di Kawasan BSD City, yaitu Taman Perdamaian yang berada di wilayah Kelurahan Rawa Mekar Jaya dan Taman Kesehatan yang berada di Keluragan Lengkong Gudang Timur, Kawasan BSD City, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Dua objek studi memiliki kedudukan yang sama sebagai taman lingkungan berstatus aktif. Saat 389


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) ini kondisi Taman Perdamaian semakin mengalami penurunan kualitas fisik, namun tidak mengurangi intensitas penggunaan oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan dengan adanya pandemi COVID-19, aktivitas pada Taman Perdamaian masih terlihat ramai. Sedangkan, keadaan Taman Kesehatan sepi pengunjung walaupun fasilitasnya sangat terawat. Penelitian ini ingin mengidentifikasi lebih dalam kualitas kedua ruang terbuka publik ditinjau dari elemen fisik dan aktivitas penggunaannya untuk mengetahui faktor apa saja mempengaruhi keberhasilan kedua taman lingkungan tersebut sebagai ruang terbuka publik di permukiman kota. Penelitian akan diawali dengan pengamatan dan pengumpulan data persepsi melalui kuesioner dan wawancara sebagai dasar untuk mengidentifikasi kualitas kedua ruang terbuka publik yang menjadi objek studi. Kuesioner dan wawancara akan dilakukan terhadap pengguna taman dengan mengambil sampel sebanyak 15 orang responden dari masing-masing objek studi. Data primer yang didapat selanjutnya akan diidentifikasi menggunakan 7 indikator kualitas ruang terbuka publik dari buku “Responsive Environment” (Bentley, 1885), terdiri dari akses ke dalam ruang (permeabilitas), keragaman (variety), keterbacaan fisik (legibility), kemampuan ruang dalam mengakomodasi keinginan pengguna (robustness), kesesuaian visual (visual appropriatness), richness, dan personalisasi. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian di bidang arsitektur, khususnya tentang bagaimana elemen fisik dan aktivitas memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan ruang terbuka publik, atau dijadikan perbandingan bagi penelitian selanjutnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi kajian untuk meningkatkan kualitas ruang terbuka publik di permukian kota, khususnya taman lingkungan. 2. KAJIAN TEORI Teori yang digunakan pada penelitian ini, yaitu teori tentang ruang terbuka publik dan teori tentang desain lingkungan binaan yang adaptif sebagai indikator dari kualitas fisik ruang terbuka publik. Teori ruang terbuka publik (Carr, 1992) terdiri dari definisi ruang terbuka publik, tipologi ruang terbuka publik, fungsi ruang terbuka publik, dan elemen ruang terbuka publik. Sedangkan teori yang digunakan sebagai indikator kualitas ruang terbuka publik adalah Teori Bentley (1985) dalam bukunya “Responsive Environment”. 2.1 RUANG TERBUKA PUBLIK DI PERMUKIMAN Ruang terbuka publik di permukiman kota merupakan ruang-ruang publik terbuka yang pada saat sebelum pandemi COVID-19 dapat digunakan warga permukiman untuk menjalankan aktivitas bersama. Selama pandemi, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat, seperti menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Darurat, hingga PPKM Level di berbagai wilayah. Diberlakukannya berbagai kebijakan mengenai pembatasan mobilitas masyarakat tersebut menyebabkan aktivitas masyarakat lebih terkonsentrasi di unit rumah tinggal atau lingkungan terdekatnya. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa secara fisik telah terjadi perkembangan spasial dimana penggunaan ruang terbuka publik perkotaan (urban) bergeser ke ranah penggunaan ruang terbuka publik pada skala permukiman kota (neighboorhood). 390


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) 2.2 RUANG TERBUKA PUBLIK Ruang terbuka publik merupakan ruang milik bersama dimana publik dapat melakukan berbagai macam aktivitas dan tidak dikenakan biaya untuk memasuki area tersebut (Carr & Rivlin, 1992). Aktivitas yang terjadi dapat berupa rutinitas sehari-hari, kegiatan pada musim tertentu atau sebuah event. Rutinitas sehari-hari seperti bersantai atau sekedar menikmati suasana lingkungan, sedangkan kegiatan musiman biasanya diselenggarakan sebuah komunitas dalam periode tertentu. Ruang ini juga sering menjadi titik pertemuan sehingga menciptakan interaksi publik yang tinggi. Hal-hal tersebut menyatakan bahwa ruang publik adalah faktor penting dalam rutinitas kehidupan, ruang pergerakan, titik pertemuan, dan ruang untuk bersantai dan rekreasi. Dalam perkembangannya, ruang publik memiliki banyak variasi dan karakter. Hal ini sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan manusia dalam melakukan kegiatan bersama (baik dengan sosial, ekonomi dan budaya). Menurut Stephen Carr (1992), ruang publik dibagi menjadi beberapa tipe dan karakter, sebagai berikut : 2.2.1 Taman – taman publik (public parks) Terdiri dari taman publik, taman di pusat kota, taman lingkungan, dan taman mini. Taman publik/pusat (public/central park), merupakan bagian dari zona ruang terbuka pada sistem kota yang dibangun dan dikelola oleh publik, pada umumnya berlokasi dekat pusat kota dan sering kali lebih luas dari taman lingkungan. Taman di pusat kota (downtown parks), merupakan taman hijau dengan rumput dan pepohonan yang berlokasi di daerah pusat kota, dapat berupa taman tradisional dan bernilai sejarah. Taman lingkungan (neighbourhood parks). Merupakan ruang terbuka yang dibangun dalam lingkungan permukiman, dibangun dan dikelola oleh publik sebagai bagian dari zone ruang terbuka kota atau sebagai bagian dari pembangunan perumahan privat baru, biasanya termasuk di dalam taman bermain, fasilitas olahraga dan lain – lain. Taman mini (mini/vest – pocket parks), merupakan taman kota yang berukurang kecil yang dibatasi oleh gedung – gedung, kadang – kadang di dalamnya terdapat air mancur/ hiasan air. 2.2.2 Lapangan dan plaza (squares and plaza) Yang termasuk lapangan dan plaza adalah lapangan pusat (central squares) dan corporate plaza. 2.2.3 Taman peringatan (memorial parks) Memiliki karakteristik yaitu merupakan tempat umum untuk mengenang seseorang atau peristiwa yang penting bagi suatu daerah, dalam lingkup local atau nasional. 2.2.4 Pasar (markets) Salah satu contoh dari pasar adalah pasar petani (farmer’s markets) yang memiliki karakteristik sebagai suatu ruang terbuka atau jalan yang dapat digunakan untuk pasar, dan kadang –kadang bersifat temporer. 2.2.5 Jalan (streets) Yang termasuk jalan adalah trotoar (pedestrian sidewalks), mal pejalan kaki (pedestrian mall), dilengkapi dengan fasilitas untuk pejalan kaki seperti tanaman dan 391


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) bangku – bangku, mal tempat transit (transit mall), jalan – jalan yang dibatasi untuk lalu lintas (traffic restriced streets), dan jalan kecil di kota (town trails). 2.3 INDIKATOR KUALITAS RUANG TERBUKA PUBLIK Ruang terbuka publik yang baik harus bersifat responsive, yaitu tanggap terhadap kebutuhan dan keinginan penggunanya setiap waktu. Kualitas ruang terbuka publik yang tanggap dan bersahabat dijabarkan secara spesifik oleh Bentley (1985) dalam bukunya “Responsive Environment”, melalui indikator sebagai berikut : 2.3.1 Akses ke dalam ruang (Permeabilitas) Kemampuan suatu lingkungan dalam menyediakan pilihan akses untuk pergerakan pengguna dari satu tempat ke tempat lain /lingkungan harus bersifat aksesibel. 2.3.2 Keragaman (Variety) Variasi ditandai dengan adanya keragaman dari sebuah ruang publik. Baik itu dari keragaman fasilitas, fungsi hingga aktivitas yang dilakukan di dalamnya. Keanekaragaman ini dapat dijadikan sebagai faktor penarik pengunjung. Dengan adanya keanekaragaman, pengunjung diberikan lebih banyak pilihan dalam berkegiatan. 2.3.3 Kemudahan dalam mengidentifikasi ruang (Legibility) Kualitas yang bisa menciptakan identitas suatu lingkungan atau suatu tempat menjadi mudah dikenali. Legibilitas lingkungan dapat dicapai melalui bentuk desain, struktur dan pola ruang suatu tempat. 2.3.4 Kemampuan Ruang dalam Mengakomodasi keinginan Pengguna (Robustness) Kualitas yang ditawarkan oleh suatu lingkungan terkait tujuan penggunaan yang berbeda/ lingkungan harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai fungsi baru pada masa yang akan datang. 2.3.5 Kesesuaian Visual (Visual Appropriatness) Berkaitan dengan kualitas tampilan fisik lingkungan yang bisa mempengaruhi persepsi pengamat terhadap lingkungannya. Kemudahan dalam mengenali tempat ditentukan oleh bentuk fisik ruang. 2.3.6 Richness Berkaitan dengan kemampuan suatu lingkungan untuk meningkatkan pengalaman indera yang dapat dinikmati pengguna (pengalaman gerak, sentuhan, suara, dsb). 2.3.7 Personalisasi Personalisasi memberi ciri/ identitas individu di suatu lingkungan. Hal yang perlu diperhatikan, yaitu : kebutuhan individu akan privasi dalam menggunakan ruang dan kebutuhan individu terhadap selera dan nilai tertentu melalui bentuk dan desain yang ditujukan untuk kepentingannya sendiri. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang memanfaatkan data kualitatif dan dijabarkan secara deskriptif. Dimana peneliti 392


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) mengumpulkan informasi dengan observasi lapangan pada kedua objek studi yaitu Taman Perdamaian dan Taman Kesehatan terkait elemen fisik serta penggunaannya oleh masyarakat sekitar. Selanjutnya dilakukan penyebaran kuesioner dan wawancara mendalam kepada subjek penelitian (pengguna taman) untuk memperoleh data persepsi sebagai dasar untuk mengidentifikasi kualitas kedua ruang terbuka publik yang menjadi objek studi. Kuesioner dan wawancara dilakukan kepada masing-masing 15 orang responden, dalam hal ini pengguna taman pada masing-masing objek studi. Penelitian ini akan menggunakan skala Likert yang membagi ke dalam lima kategori tanggapan responden yaitu : sangat (setuju/baik/puas), setuju/baik/puas, netral/ragu-ragu, kurang, dan sangat (tidak setuju/buruk/tidak puas). Setelah melalui pengamatan dan penggumpulan persepsi pengguna dari hasil kuesioner dan wawancara, selanjutnya akan diidentifikasi menggunakan 7 indikator kualitas ruang terbuka publik dari buku “Responsive Environment” (Bentley, 1885) tentang desain lingkungan binaan yang adaptif, yaitu permeability, variety, legibility, robustness, visual appropriatness, richness, dan personalisasi. Setelah melalui proses analisis data, hasil penelitian akan dijabarkan secara deskriptif dengan menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari setiap indikator pada masing-masing objek studi. Tabel 1. Variabel Penelitian VARIABEL DIMENSI/ SUB-VARIABEL Permeabilitas accessibility pedestrian safety traf ic comfort Keragaman (Variety) variety of form variety of uses variety of people Keterbacaan Fisik (Legibility) kejelasan struktur visual obstacles Robustness flexible environment interaction opportunities Kesesuaian Visual (Visual Appropriateness) spatial dimension contextual cues Richness visual attraction cleanness orderliness vitality safety Personalisasi public participation 4. ANALISIS Sub-bab ini mulai membahas kualitas Taman Perdamaian dengan menjabarkan masing-masing indikator ke dalam sub sub-bab, yaitu permeabilitas, keragaman (variety), keterbacaan fisk (legibility), kemampuan ruang dalam mengakomodasi keinginan pengguna (robustness), kesesuaian visual (visual appropriatness), richness, dan personalisasi. 4.1 ANALISIS FISIK TAMAN PERDAMAIAN 393


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Sub-bab ini mulai membahas kualitas Taman Perdamaian dengan menjabarkan masing-masing indikator ke dalam sub sub-bab, yaitu permeabilitas, keragaman (variety), keterbacaan fisk (legibility), kemampuan ruang dalam mengakomodasi keinginan pengguna (robustness), kesesuaian visual (visual appropriatness), richness, dan personalisasi. 4.1.1 Permeabilitas Taman Perdamaian. Sebagian besar pengguna taman (53,3%) merasakan bahwa permeabilitas taman sudah sangat baik. Hal ini dapat terlihat dari kemudahan pencapaian yang ditawarkan. Gambar 1. Analisis permeabilitas Taman Perdamaian Sumber : google.earth, diolah pribadi (2022) Posisi taman di tengah permukiman warga membuat aksesibilitas lebih mudah. Pencapaian ke taman juga dapat dilakukan dengan berjalan kaki karena jalur pedestrian taman terhubung dengan jalur pedestrian jalan sekitarnya. Selain itu tersedianya tiga pintu masuk untuk mengakses taman menjadi nilai tambah yang mempermudah pencapaian ke dalam taman. Di sisi lain, kemudahan pencapaian ke dalam taman menggunakan transportasi publik, sebanyak 33,3% pengguna taman merasa belum terpenuhi. Pada gambar di atas dapat terlihat halte terdekat, yaitu Halte Griya Loka harus dicapai dalam jarak 400 meter. 4.1.2 Keragaman (variety) di Taman Perdamaian 394


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Gambar 2. Keragaman fasilitas pada Taman Perdamaian Keragaman pada Taman Perdamaian terlihat dari keragaman fasilitas, keragaman penggunaan (variety of uses), dan keragaman pengguna (variety of people). Keragaman fasilitas diwujudkan pada zona-zona taman, yang terdiri dari zona PKL, zona bermain, zona olahraga, zona komunitas, dan zona duduk. Zona PKL (Pedagang Kaki Lima) berada di bagian utara taman, yaitu pada jalur pedestrian di sisi Jalan Taman Perdamaian. Zona bermain berada di bagian barat taman. Zona ini berisi berbagai perlengkapan bermain anak, berupa playset perosotan, playset perosotan dan ayunan, mini pull-up bar, komedi putar dan mini flying fox. Zona duduk berada di bagian utara taman, merupakan area pekerasan yang cukup luas, terdiri dari bangku-bangku taman, ayunan, dan perosotan di sekelilingnya. Pada bagian tengah taman terdapat zona komunitas. Zona ini terdiri atas panggung beserta tribun yang dapat digunakan untuk penyelenggaraan acara komunitas. Terdapat juga alat latihan BMX yang sering digunakan oleh komunitas BMX. Sedangkan, pada sisi taman bagian selatan terdapat zona olahraga yang berisi dua jenis alat olahraga pull-up bar dan bangku-bangku taman yang saling berhadapan. Keragaman fasilitas pada Taman Perdamaian mendukung penggunaan yang beragam. yaitu dari berbagai kelompok usia baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Berdasarkan hasil kuesioner sebagian besar pengguna Taman Perdamaian tidak terbatas pada lingkup Kelurahan Rawa Buntu, melainkan berasal dari kelurahan di sekitarnya, seperti Kelurahan Ciater dan Kelurahan Rawa Mekar Jaya. Kelompok pengguna yang dominan pada Taman Perdamaian adalah kelompok usia anak-anak, remaja dan dewasa. Kegiatan dan perilaku pengguna pada tiap area dapat dirangkum dalam tabel, sebagai berikut. Tabel 2. Karakteristik Penggunaan Taman Perdamaian Area Kegiatan Pengguna Perilaku Area bermain bermain, mengawasi anak bermain anak-anak, dewasa berkeluarga Area plaza duduk santai, berinteraksi, makan dan minum, atraksi BMX, anak-anak berlarian, main motor-motoran anak-anak, remaja, dewasa sendiri, berdua, berkeluarga/ berkelompok Area duduk duduk santai, berinteraksi, makan dan minum remaja, dewasa berdua/ berpasangan 395


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Area olahraga duduk santai, ngopi, olahraga dewasa berkelompok 4.1.3 Keterbacaan Fisik (legibility) di Taman Perdamaian Keterbacaan pada taman terlihat dari pintu masuk yang mudah diidentifikasi. Sebanyak 53,3% pengguna taman menyatakan mereka dapat mengenali akses masuk taman dengan sangat jelas. Keberadaan akses utama juga mudah dikenali oleh pengguna, yaitu akses yang berada di Jalan Taman Perdamaian. Akses pada sisi ini dinilai sebagai main entrance karena dimensinya yang lebih besar dibandingkan dua entrance lainnya. Keterbacaan pintu masuk utama (main entrance) juga ditandai dengan adanya elemen fisik berupa portal yang membedakan dengan dua entrance lainnya. Gambar 3. Entrance Taman Perdamaian Sumber : google.maps (2022) Elemen fisik lain yang mendukung keterbacaan main entrance adalah adanya zebra cross yang menghubungkan area parkir dengan taman. Selain itu, fasilitas taman diletakkan di daerah tepi (edges) yang berbatasan langsung dengan jalan sehingga memungkinkan aktivitas yang terjadi di dalamnya terlihat dari luar taman. Hal ini memungkinkan masyarakat yang lewat di sekitar taman dapat mengetahui keberadaaan taman ini sehingga dapat menarik pengguna baru. Gambar 4. View dari luar taman Sumber : google.earth (2022) 4.1.4 Robustness di Taman Perdamaian Taman ini menyediakan banyak tempat berkumpul dan tempat duduk memberikan penggunanya kesempatan untuk berinteraksi dan berelaksasi. Sebagian besar pengguna (53,3%) menilai ketersediaan tempat berkumpul pada taman sangat baik. Selain kehadiran elemen fisik berupa plaza yang menawarkan berbagai pilihan penggunaan, pada taman juga terdapat banyak elemen hardscape yang berbentuk bidang sehingga dapat menjadi alternatif tempat berkumpul bagi pengguna taman. 396


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Gambar 5. Alternatif tempat berkumpul pada Taman Perdamaian Sebanyak 46,7% pengguna taman juga menilai ketersediaan tempat duduk pada Taman Perdamaian sangat baik. Pada setiap area taman tersedia bangku taman. Selain itu, terdapat elemen fisik berupa bidang yang dinaikkan, seperti undakan pada tribun dan dinding pembatas yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat duduk alternatif oleh pengguna taman. Gambar 6. Alternatif penggunaan pada Taman Perdamaian 4.1.5 Visual Appropriateness di Taman Perdamaian Kesesuaian visual pada Taman Perdamaian dari aspek keteraturan bentuk dinilai pengguna cukup baik (66,7%). Hal ini terlihat dari pengaturan elemen-elemen fisik pada Taman Perdamaian yang memiliki keteraturan bentuk. Ketiga titik yang menjadi pintu masuk taman dihubungan oleh jalur (path) yang bertemu membentuk titik simpul (nodes) di tengah taman, yaitu zona komunitas berupa plaza dengan panggung dan area tribun yang digunakan sebagai tempat berkumpul. 397


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Gambar 7. Analisis kesesuaian visual pada Taman Perdamaian Di sisi lain terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan visual seperti keberadaan PKL (Pedagang Kaki Lima) yang tidak teratur pada jalur pedestrian. Selain itu, rusaknya sebagian besar fasilitas taman juga dinilai pengguna cukup mengganggu keindahan taman. Sebanyak 46,7% pengguna taman juga menyatakan bahwa banyak ditemukan petunjuk kontekstual pada taman, yaitu papan informasi dan imbauan (warning signs) yang berisi pemberitahuan peraturan taman, seperti larangan untuk berjualan, larangan merusak taman, larangan membuang sampah sembarangan, dll. Berdasarkan persepsi pengguna, keberadaan warning sign yang berisi pemberitahuan peraturan taman dirasa kurang memiliki kesan yang mencolok sehingga tidak mengundang perhatian pengguna untuk membacanya. Hal ini dibuktikan dengan beberapa pengguna yang masih terlihat tidak menjaga kebersihan taman. 4.1.6 Richness di Taman Perdamaian Sebagian besar pengguna taman (46,7%) menyatakan Taman Perdamaian memiliki suasana yang sangat tenang dan damai. Keberadaan pohon yang rindang menyegarkan mata dan membuat suasana taman menjadi teduh sehingga penggunanya merasa nyaman untuk berinteraksi dan beraktivitas pada taman ini. 398


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Gambar 8.Suasana taman yang dipenuhi pepohonan rindang Namun, pengalaman visual ini tidak didukung oleh aspek kebersihan yang masih perlu ditingkatkan, terutama partisipasi pengguna dalam menjaga kebersihan taman. Sebanyak 40% pengguna memberikan penilaiannya terhadap kebersihan taman pada kondisi netral. Selain itu, dari aspek pemeliharaan taman dinilai pengguna kurang baik. Hal ini terlihat dari banyaknya fasilitas taman yang rusak, seperti ramp BMX dan fasilitas bermain anak. 4.1.7 Personalisasi di Taman Perdamaian Gambar 9. Personalisasi pada area duduk (kiri) dan area belakang taman (kanan) Taman menyediakan area yang memberikan privasi bagi pengguna ruang, yaitu pada area duduk yang terletak di utara taman dan pada area belakang taman. Area duduk 399


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) yang terletak di ujung taman dan jauh dari keramaian membuat area ini lebih bersifat privat dibandingkan area lainnya sehingga seringkali digunakan pasangan muda mudi untuk saling berinteraksi. Area belakang taman memiliki elevasi yang lebih rendah dari area lainnya sehingga menjadikannya area yang paling privat. Area ini digunakan satu atau dua orang yang membutuhkan privasi untuk berinteraksi. Selain itu terlihat personalisasi jalur pedestrian di sekitar taman oleh pedagang kaki lima dengan menaruh atribut dagang berupa kursi dan barang dagangan. 4.2 ANALISIS FISIK TAMAN KESEHATAN Sub-bab ini mulai membahas kualitas Taman Kesehatan dengan menjabarkan masing-masing indikator ke dalam sub sub-bab, yaitu permeabilitas, keragaman (variety), keterbacaan fisk (legibility), kemampuan ruang dalam mengakomodasi keinginan pengguna (robustness), kesesuaian visual (visual appropriatness), richness, dan personalisasi. 4.2.1 Permeabilitas Taman Kesehatan Sebagian besar pengguna taman (60%) menilai, permeabilitas Taman Kesehatan sudah sangat baik. Posisi taman di persimpangan jalan arteri sekunder membuat akses dengan kendaraan menjadi lebih mudah. Pada taman ini juga terdapat tiga pintu masuk untuk mengakses taman, sehinga mempermudah pencapaian ke dalam taman. Sedangkan dari sisi kemudahan pencapaian menggunakan transportasi publik, 73,3% pengguna menilai sudah sangat baik. Hal ini disebabkan terdapat halte yang berada tepat di sisi taman yang menghadap Jalan Pahlawan Seribu. Gambar 10. Analisis permeabilitas Taman Kesehatan Sumber : google.earth, diolah pribadi (2022) 4.2.2 Keragaman (variety) di Taman Kesehatan Keragaman fasilitas pada Taman Kesehatan tidak terlihat karena penggunaan taman dikhususkan untuk aktivitas olahraga sehingga fasilitas yang disediakan terbatas pada fungsi-fungsi yang menunjang aktivitas tersebut. Taman tidak mewadahi kegiatan opsional dan sosial di samping kegiatan olahraga. 400


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Gambar 11. Fasilitas pada Taman Kesehatan Berdasarkan hasil kuesioner sebagian besar pengguna Taman Kesehatan tidak terbatas pada lingkup kelurahan yang sama, melainkan berasal dari kelurahan lain yang masih dalam lingkup Kawasan BSD City, Kecamatan Serpong. Kelompok pengguna yang dominan pada Taman Kesehatan adalah kelompok usia remaja, dewasa, dan lansia. Kegiatan dan perilaku pengguna dapat dirangkum dalam tabel, sebagai berikut. Tabel 3. Karakteristik Penggunaan Taman Kesehatan Area Kegiatan Pengguna Perilaku Area plaza duduk santai, berinteraksi, senam remaja, dewasa, lansia sendiri, berdua, berkelompok Jogging track jogging remaja, dewasa, lansia sendiri, berdua Outdoor gym latihan fisik remaja, dewasa, lansia sendiri Gazebo beberapa polisi sedang beristirahat beralaskan palet kayu dewasa sendiri, berdua, berkelompok 4.2.3 Keterbacaan Fisik (legibility) di Taman Kesehatan Pintu masuk untuk mengakses taman didefinisikan oleh tiga buah jalur dari masing-masing jalan yang mengelilingi taman. Berdasarkan persepsi pengguna, sebanyak 40% pengguna menyatakan keterbacaan pintu masuk untuk mengakses taman berada pada posisi netral. Hal ini disebabkan tidak ada elemen fisik yang mempertegas keberadaan pintu masuk. 1. Entrance (Jalan Pahlawan Seribu) 2. Entrance (Jalan BSD Boulevard Timur) 3. Entrance (Jalan BSD Boulevard Timur II) 401


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Gambar 12. Pintu masuk Taman Kesehatan Sumber : google.earth (2022) Hal ini juga didukung oleh kondisi taman yang sangat terbuka, tidak adanya elemen yang bertidak sebagai pembatas taman sehingga membentuk persepsi taman dapat diakses dari segala arah. Untuk keterbacaan aktivitas yang terjadi di dalam taman dari luar, sebagian besar pengguna (40%) menjawab ragu-ragu. Aktivitas yang terjadi di dalam taman tidak terlihat jelas dari luar karena ukuran taman yang cukup luas dan terhalang pepohonan atau fasilitas publik seperti halte, pos polisi, dan papan iklan. Hal ini juga memungkinkan masyarakat yang lewat di sekitar taman cenderung tidak mengetahui keberadaaan taman di balik perpohan besar yang mengelilinginya. 4.2.4 Robustness di Taman Kesehatan Ketersediaan tempat berkumpul pada taman, dinilai pengguna pada posisi netral (60%). Ketersediaan tempat berkumpul hanya terdapat di area plaza, hal ini dapat dilihat dari desain taman yang mengarahkan pusat taman atau titik berkumpul pada bagian tengah yaitu area plaza ini. Aktivitas yang terlihat pada area plaza, yaitu berbagai jenis aktivitas olahraga oleh komunitas, seperti tai chi, line dance, dan senam. Gambar 13. Kehadiran plaza sebagai tempat berkumpul dan alternatif tempat duduk Pengguna taman juga menilai ketersediaan tempat duduk pada posisi netral (66,7%). Kerusakan sebagian besar bangku taman menyebabkan pengguna taman memanfaatkan trap area panggung sebagai tempat duduk. Minimnya fasilitas duduk pada taman membatasi kesempatan pengguna untuk berinteraksi dan menikmati suasana taman. 4.2.5 Visual Appropriateness di Taman Kesehatan Kesesuaian visual pada Taman Kesehatan dari aspek keteraturan bentuk dinilai netral oleh pengguna taman (33,3%). Namun, bentuk taman yang tidak teratur atau organik ini dirasakan pengguna cukup estetik. Selain itu, Taman Kesehatan tidak memiliki elemen fisik, seperti landmark tertentu yang membentuk image kawasan. Namun, melalui namanya “Taman Kesehatan” pengguna dapat dengan mudah mengetahui 402


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) elemen fisik apa saja yang terdapat pada taman, yaitu elemen-elemen yang berkaitan dengan fungsi olahraga untuk menunjang kesehatan. Gambar 14. Jalur pada taman yang mengarahkan pergerakan pengguna pada Taman Kesehatan Pada taman tidak ditemukan petunjuk kontekstual yang berfungsi sebagai wayfinding, namun elemen fisik taman dapat mengarahkan pergerakan penggunanya dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil kuesioner, dimana 66,7% pengguna merasa tidak takut tersesat ketika menyusuri taman. Petunjuk kontekstual lainnya seperti papan imbauan dan larangan (warning sign) yang berisi peraturan taman juga tidak ditemukan, namun kesadaran pengguna untuk menjaga kebersihan sudah sangat baik. 4.2.6 Richness di Taman Kesehatan Keberadaan pepohonan yang tinggi dan rindang menghadirkan suasana seperti berjalan di tengah hutan, memberikan pengalaman visual bagi penggunanya. Sebanyak 46,7% pengguna merasakan pemandangan hijau pada taman sangat menyegarkan mata. Pengalaman visual ini juga didukung oleh aspek kebersihan yang dinilai pengguna sudah sangat baik (60%). Gambar 15. Suasana Taman Kesehatan pada waktu pagi hari Gambar 16. Elemen jalur pada taman yang menawarkan sense of movement Elemen fisik pada taman yang sebagian besar berupa jalur (path) memungkinkan pengguna ruang untuk mengalami pergerakan (sense of movement). Selain itu 403


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) pengalaman sentuhan (sense of touch) juga dapat dirasakan pengguna melalui jalur refleksi kaki. 4.2.7 Personalisasi di Taman Kesehatan Personalisasi pada Taman Kesehatan tidak terlihat karena pada taman ini tidak memiliki banyak ruang (elemen hardscape) yang dapat digunakan untuk penggunaan personal. Sebagian besar elemen fisik pada taman berupa jalur yang hanya digunakan untuk aktivitas olahraga di mana penggunanya terus mengalami pergerakan. Satu-satunya area pada taman yang dapat digunakan untuk aktivitas lain yang lebih fleksibel adalah plaza di bagian tengah taman. Area ini merupakan pusat dari Taman Kesehatan dimana sifatnya cukup publik karena menjadi titik kumpul dari berbagai aktivitas. 5. KESIMPULAN Sebagai ruang terbuka publik, kedua taman lingkungan yang menjadi objek studi, yaitu Taman Perdamaian dan Taman Kesehatan unggul dalam indikator permeabilitas. Indikator ini merupakan syarat pertama dan utama dari sebuah ruang terbuka publik yaitu dapat diakses oleh publik yang akan dilayaninya. Indikator ini menjadi langkah awal bagaimana ruang terbuka publik dapat menarik masyarakat sekitarnya. Untuk selanjutnya, kualitas kedua taman dapat disimpulkan sebagai berikut. Kualitas Taman Perdamaian unggul dalam indikator keragaman (variety), keterbacaan fisik (legibility), dan kemampuan ruang dalam mengakomodasi keinginan pengguna (robustness). Sedangkan dalam indikator kesesuaian visual (visual appropriateness) dan richness masih perlu ditingkatkan. Kualitas Taman Kesehatan unggul dalam indikator kesesuaian visual (visual appropriateness) dan richness. Sedangkan dalam indikator keragaman (variety), keterbacaan fisik (legibility), dan kemampuan ruang dalam mengakomodasi keinginan pengguna (robustness) masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan analisis terhadap tujuh indikator yang telah dilakukan, diketahui bahwa pada Taman Perdamaian telah terwujud tiga kualitas yang berkontribusi terhadap keseluruhan struktur suatu tempat yaitu permeabilitas, keragaman (variety), dan keterbacaan (legibility). Dengan terwujudnya tiga kualitas ini, terlihat keberhasilan taman dalam menarik lebih banyak pengguna. Sedangkan pada Taman Kesehatan dari ketiga kualitas tersebut yang menonjol baru permeabilitas. Pada Taman Kesehatan lebih dominan perwujudan kesesuaian visual (visual appropriateness) dan richness yang lebih berfokus kepada detail ruang. Hal ini menjawab kurang dimanfaatkan Taman Kesehatan, yaitu kurangnya perwujudan kualitas keragaman (varitey) dan kualitas keterbacaan (legibility). Di luar dari kualitas fisik, terdapat faktor lain yang mempengaruhi minat berkunjung masyarakat ke Taman Perdamaian dan Taman Kesehatan, yaitu kepentingan pengguna. Masyarakat yang mengunjungi Taman Perdamaian datang untuk kepentingan rekreasi. Sedangkan masyarakat yang mengunjungi Taman Kesehatan datang atas minat berolahraga. Seperti kita ketahui, tidak seluruh masyarakat memiliki minat dan apresiasi yang tinggi terhadap olahraga. Selain itu aktivitas olahraga juga memiliki waktu penggunaan khusus, sehingga intensitas kunjungan pada taman sangat bergantung pada waktu-waktu tertentu yang mendukung kegiatan olahraga, misalnya pada akhir pekan pagi dan sore hari. 404


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) Keberadaan taman-taman lingkungan sebagai bagian dari ruang terbuka publik di permukiman kota menjadi penting sehingga perlu didukung dengan perawatan taman secara teratur sehingga kualitas taman tetap terjaga dan terus bisa menarik minat masyarakat untuk menggunakan taman-taman tersebut. Pada Taman Perdamaian perlu dilakukan perawatan dan perbaikan taman sehingga tidak mengurangi minat masyarakat untuk mengunjungi taman di kemudian hari. Pihak pengelola juga perlu melakukan evaluasi terhadap kondisi taman sehingga dapat menentukan peningkatan maupun perbaikan taman sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Seperti pada Taman Kesehatan, perlu dilakukan peningkatan terhadap kualitas keragaman (variety) dan keterbacaan ruang (legibilty) untuk menarik pengunjung yang lebih banyak. Keragaman dapat diwujudkan misalnya dengan menambahkan activity support, seperti fasilitas bermain anak. Sedangkan keterbacaan dapat diwujudkan dengan menambahkan elemen fisik, misalnya seperti landmark yang dapat membentuk image taman atau melakukan penataan hardscape dan softscape pada sisi entrance agar dapat menonjolkan keberadaaan taman kepada masyarakat luar untuk menarik pengguna baru. 6. DAFTAR PUSTAKA BENTLEY, I. (1985). Responsive Environments: A Manual for Designers. The Architectural Press, London. CARR, S., FRANCIS, M., RIVLIN, L. G., & STONE, A. M. (1992). Public Space. Cambridge University Press, New York. Jurnal DUHITA, D. & VIRDIANTI, E. (2015). Urban Community Responses To Visual Appropriate Thematic Design, Super Hero Park Bandung. Jurnal Pengembangan Kota, Volume 4 No. 2, 169-176. FARD, HANIYEH R. (2014). Evaluating Spatial Behavior in the Urban Public Space of Kadıköy Square. 2nd ICAUD International Conference in Architecture and Urban Design Epoka University, Tirana, Albania, 08-10 May 2014. SUSHANTI, I.R., YUNIANTI, S.R., & ANGELIA, T. (2021). Eksistensi Ruang Publik Menghadapi Transformasi Penggunaan Ruang di Permukiman Kota. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Pengembangan Partisipasif, Volume 16, Nomor 2. TER, UMMUGULSUM. (2011). Quality criteria of urban parks: The case of Alaaddın Hill (Konya-Turkey). African Journal of Agricultural Research Vol. 6(23), pp. 5367-5376. UJANG, N., MOULAY, A., AHMAD, N., MAULAN, S., & ABU BAKAR, N.A. (2018). Interrelation Between Legibility Attributes and Park Utilization as Determinants for Responsive Neighborhood Parks. Archnet-IJAR, Vol. 12, Issue 2, 40-56. Internet ANGGRIYANA, SHINTA. (2018). Yang Baru di BSD City, Taman Kesehatan. Diakses 25 Maret 2022, dari https://travel.detik.com/domestic-destination/d-4253536/yang-baru-di-bsd-city-taman-kesehat an. BAIHAQI, ERLANGGA. (2015). Taman Perdamaian BSD. Diakses tanggal 24 Maret 2022, dari http://abouttng.com/taman-perdamaian-bsd/ Pemkot Tangsel Tutup 5 Tempat Wisata Antisipasi Penyebaran Virus Corona (2020). Diakses tanggal 24 Maret 2022, dari https://dpu.tangerangselatankota.go.id/berita/pemkot-tangsel-tutup-5-tempat-wisata-antisipasi -penyebaran-virus-corona/ Pengunjung Membeludak, Walikota Tangsel Sebut Taman Kota 2 BSD Belum Dibuka (2022). Diakses tanggal 11 Mei 2022, dari 405


Identification Of The Quality Of Public Open Space In Urban Settlements (Case Study: Neighborhood Park In BSD City Area, South Tangerang) https://www.bantennews.co.id/pengunjung-membeludak-walikota-tangsel-sebut-taman-kota-2 -bsd-belum-dibuka/ TRISNA, CITRA DARA VRESTI. (2021). Taman Perdamaian BSD, Tempat Ngadem Legendaris di Serpong. Diakses tanggal 24 Maret 2022, dari https://banten.genpi.co/travel/1326/taman-perdamaian-bsd-tempat-ngadem-legendaris-di-serp ong. Laporan Ilmiah/Skripsi/Tesis/Disertasi SHAHIDEH, SHIRIN. (1998). Analyzing the Quality of Pedestrian Street in the Case of Istiklal Street in Walled City of Famagusta. Thesis. Graduate Programme in Urban Design. North Cyprus: Eastern Mediterranean University. SONI, K. (1998). A Search for Responsive Environments Within in Situ Upgrading. Thesis. Graduate Programme in Town and Regional Planning. Durban: University of Natal. NAIR, SUDHESHNA. (2011). Unlocking The Potential of The Durban City Hall Precinct: An Urban Design/ Town Planning Response For A Post‐Apartheid South Africa. Thesis. Graduate Programme in Town and Regional Planning. Department of Town and Regional Planning. Durban: University of Natal. 406


Community Perception of the Green Open Space Planning Aspect in the City of Jakarta Rustam Hakim Manan1 1Department of Landscape Architecture, Faculty of Landscape Architecture and Environment TechnologyUniversitas Trisakti- Indonesia Abstract:- This paper examines the community's perception of green open space planning in the city of Jakarta. The discussion will be divided into two main sections, namely aspects that cause green open space to be less successful and identify the most dominant aspects that hinder green open space planning in terms of planning, institutional, human resources, institutional coordination and funding. The method used is the distribution of questionnaires and interviews. Based on the results of data analysis shows that the dominant aspect in managing green open space in Jakarta is the planning aspect. Keywords: Green open space planning, public perception INTRODUCTION The Jakarta City Government recognizes the need to increase the amount of green open space in the capital. But the success of the increase in the city's green open area on vacant land was followed by the disappearance of the city's green open space elsewhere. The program was less successful because of; a. Lack of coordination between a number of administrative agencies responsible for Jakarta's green open spaces. The Jakarta Province has a number of institutions responsible only for the city's green open spaces and these responsibilities often overlap between the Parks Department, the Forest Department and the Funeral Department. There is still a lack of common perceptions about the understanding of green open space so that efforts are needed to develop cooperation and clarity of division of authority and work in accordance with their respective main tasks and functions in more depth. b. Land management plays a very important role in the development of cities, especially large cities that experience rapid economic growth such as the city of Jakarta. Increased economic growth in the region has had the effect of increasing demand for land, both for private sector and government activities. Weaknesses and obstacles for the local government of Jakarta to build public infrastructure such as green open space, collide with the inability to be fully involved in making management of highly complex urban land. Lack of understanding of geography, historical factors, socio-cultural factors that are interrelated with one another, will bring about the impact of reduced attractiveness, and the comfort of the city. Therefore the ability of the development management system, especially in the field of green open space will have a very strategic meaning and nature. c. There is no land information system model, and an accurate mapping information system that can easily monitor some of the amount of green open space available, some amount removed, and other information that is needed for decision makers and other information needs. This system will be very necessary for the management of the relevant agencies starting from the process of planning, implementation, monitoring to evaluation and control in the context of decision making, d. There is an ambivalent policy between the central government and the city government. On one hand it recognizes environmental interests, but on the other hand it emphasizes the importance of the economic development sector. Decision makers believe that implementing the concept of sustainability will actually damage economic growth. Therefore when it comes to choosing between maintaining a green open space or giving permission for industrial development, the latter is usually won. One case was the reclamation development on the north coast of Jakarta which damaged the ecological system of the north coast of Jakarta. e. There is an opinion that green open space is a reserve land to meet the demands of the city's urgent growth. Land requirements for the development of green open space will experience constraints in line with the development of land values, both socially and economically. The lack of legality provisions regarding the regulation, control and supervision that also causes some parts of the city's green open space is used and used improperly. f. Judicial power is not sufficiently independent. Although the Environmental Protection and Management Act No. 32 of 2009 has been passed, the application of judicial decisions on the destruction of the green open space has not always International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) http://www.ijert.org ISSN: 2278-0181 IJERTV9IS020139 (This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.) Published by : www.ijert.org Vol. 9 Issue 02, February-2020 316


been successful. This is because the judges' understanding and experience of the existence of green open space is still very limited. There are four elements of management planning that affect urban open space, namely, physical elements (Morancho, 2003), ecological (Costanza , 1997; Li, 2005), participation (Morancho, 2003; Li, 2005) and openness (McGill, 2001; Chakrabarty, 2001). These four elements are described in a number of questions in the questionnaire METHODOLOGY The study will be directed to study the management of Jakarta's green open space in five municipal areas, namely West Jakarta Municipality, East Jakarta Municipality, North Jakarta Municipality, South Jakarta Municipality and Central Jakarta Municipality. The city of Jakarta is a reflection of other cities in the Republic of Indonesia. In the area there are various types of community activities that are closely related to the existence of green open spaces, green open spaces of the city of Jakarta, have green park open spaces, agricultural green open spaces and special green open spaces with management managed by the Parks Department, the Forest Department and the Funeral Department. Figure.1. Limitation of the five regions of DKI Jakarta municipality, as Area for Distribution of Question Forms (Source: Field Study, 2018) Distribution of question forms is done by free sampling technique. This is in line with the statement of Masri Singarimbun (2005) that the sampling type of random sample is taking the unit of analysis freely. In this study the number of samples involved was 260 respondents with 95% confidence and 5.5% margin error. These levels are based on estimates and beliefs that have been made by De Vaus (Shuhana, 1997). The selection of this amount is based on the suitability of this study with a 95% confidence threshold that is still acceptable for validity. Besides this election was also caused by considerations in terms of cost and time factors. To obtain data in processing data, closed questionnaires were used for respondents from the category of policy recipients with 260 respondents from a population of 9,720.40 residents of the city of Jakarta and distributed randomly to five municipal areas, namely the municipalities of Central Jakarta, North Jakarta, South Jakarta, East Jakarta, and West Jakarta, as shown in table 1 Table 1. Distribution of Policy Recipient Respondents No Respondent West Jkt East Jkt Center Jkt South Jkt North Jkt Position Respondents Amount Respondents 1. Scientific Society / University Univ. Trisakti, West Jakarta Univ. Borobudur, East Jakarta Univ. Indonesia, Central Jakarta Indonesian Institute of Technology South Jakarta Univ. Tarumanegara, North Jakarta Policy Recipients 60 2. Professional Society Professional Organizations ISLA (Indonesia Society of Landscape Architects) IAI (Indonesia Architects Institution) ILCA (Indonesia Lanscape Contractors Association) Policy Recipients 30 International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) http://www.ijert.org ISSN: 2278-0181 IJERTV9IS020139 (This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.) Published by : www.ijert.org Vol. 9 Issue 02, February-2020 317


3. Jakarta City Community 15 15 15 15 15 Recipients of Policies 75 4. Non-Governmental Organization or NGO The Indonesia Transparency Society The Indonesian Green Foundation Policy Recipients 20 5. Community of Business World / Traders, 15 15 15 15 Recipients of Policies 75 TOTAL 260 The assessment of policy recipient perceptions was developed through a questionnaire which covered issues involving the following five variables: 1) planning; 2) institutional; 3) human resources; 4) coordination and 5) funding. DISCUSSION To answer the study relating to the study of management aspects that may contribute to the success of green open space management, the authors have conducted an analysis of the data obtained rather than a study of the question forms and interview studies. , institutional aspects, aspects of human resources, aspects of coordination and aspects of funding, as illustrated in Figure 2 below Figure 2. Chart for Comparing Management Aspects in the study (Source: Investigator, 2018) a. Physical Elements in the Planning Aspect Based on the results of the questionnaire in terms of planning aspects, it was found that the people of Jakarta agreed (59 percent) who stated that the factor of physical space limitations was an obstacle in planning. This is due to the reduced area of green open space that can be achieved by the DKI Jakarta government. Meanwhile, most people do not agree if the existing open space is transferred to be used for other uses or functions. The number of people who do not agree to the transfer of this function reaches 92 percent. The transfer of functions makes the quantity of green space decreases. To increase the quality of green open space, the community generally agreed to plant their yard with trees to improve the local ecosystem. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) http://www.ijert.org ISSN: 2278-0181 IJERTV9IS020139 (This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.) Published by : www.ijert.org Vol. 9 Issue 02, February-2020 318


Figure 3. Physical elements in the planning aspect The relationship between the decline in green open space and the transfer of functions can be said to be very close. In general, the decrease in the amount of green open space is caused by a change of function Based on the comparison between the two physical elements, it can be concluded that in this case the residents of Jakarta expect no change in the function of green open space which results in a decrease in the number. This is consistent with research conducted by Morancho (2003) which states, there is a similar relationship between the function of urban green open space with the physical quality of the city. b. Ecological Elements in Planning Aspects The ecological element is an important factor in the planning aspect. This can be seen from the perception of green open space people who agree on the importance of green open space as forming the ecological quality of the city. Judging from the four questions raised concerning ecological aspects, ecological balance is a major factor. This means that the main use of the existence of green open space according to public perception is as a balance of the city's ecosystem. This can be seen from the percentage who strongly agreed and agreed to reach 100 percent. Other ecological elements that stand out and are felt by the community are air and visual pollution (strongly agree and agree 90 percent). Air pollution is the most felt factor due to an imbalance in the city ecosystem. The element of air pollution has the second rank after the awareness of ecological balance. Both of these can be seen in Figure 4 Figure 4. Ecological elements in planning aspects The first component (equilibrium) and the second (air pollution) is one of the forms of causal relations, this is supported by the third and fourth components as the dominant component perceived by the community, namely the decline of ecosystems and understanding the importance of ecological functions. The beauty component of the city has the smallest percentage related to the level of public understanding of the visual function of the city to give the image of Jakarta as the nation's capital. If related to previous research by Li et al. (2005) who developed a comprehensive conceptual framework for green open space in China International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) http://www.ijert.org ISSN: 2278-0181 IJERTV9IS020139 (This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.) Published by : www.ijert.org Vol. 9 Issue 02, February-2020 319


based on the principles of landscape ecology. So the main thing to do is in the aspects of green space planning is to establish a green open space master plan for the city in a long-term, sustainable and characteristic of the city of Jakarta. With the results of the questionnaire above, the priority that must be done to maintain the balance of the city's ecosystems is to improve the quality of the existing Jakarta city landscape, prevent the reduction in the amount of open space and try to increase the quantity of green open space, so that the ecological function of the city can be fulfilled. c. Elements of Participation in the Planning Aspect Community participation is a key element of green open space planning and maintaining its quality. The aspect of planning in the management of urban green open spaces based on community perceptions concerning things that smell of bureaucracy means that up to now the aspects of planning green open spaces have not been socialized by the local government to the community. Thus the government is more likely to implement a top down or central planning process than bottom up which accommodates the wishes of the community. This can be seen from the percentage of public perceptions that have received planning socialization from the government only reaching 20 percent, only a small portion of the public has ever been consulted (public hearing) of 28 percent. The unclear role of the community is still unclear, so there is a striking difference between the ever and never external factors in this case the community in urban green open space planning. When compared with previous research conducted by Breuste (2004), planning will be efficient if it involves the community together. Branch (1970) emphasizes that planning must be evaluated continuously and flexibly in urban green open space planning. In certain areas, there is indeed government authority to plan green open spaces, but in a wider area, community involvement is essential so that the planning is in accordance with the needs of the community and faces the complexity of city growth. Figure 5. Elements of participation in the planning aspect Based on the results of the questionnaire concerning the element of participation it appears that the involvement of NonGovernmental Organizations (NGOs) is clearer than the involvement of the community. This shows the role of NGOs in Jakarta in planning green open space is quite useful and calculated. Community involvement is still lacking in terms of the percentage of responses and scoring aspects requested in green open space planning. As many as 72 percent of the community felt they were never asked for their responses and opinions for green open space planning. This means that community participation is representative and not individual. This is related to the planning system which still needs to be improved regarding how the involvement of the community can be thoroughly represented. Is the use of information technology that allows the community to give active advice or by giving awards for community participation. d. Elements of Openness in Planning Aspects The element of openness is one aspect of planning, especially in this era. The community has begun to realize and demand openness of the government, especially in managing the city. This can be seen from the respondents' opinions about the openness of bureaucratic attitudes and the dissemination of information on green open space planning in the city of Jakarta. Based on the openness element of the bureaucratic system, it can be seen that 86 percent of the people agreed to this. Whereas in the information element 72 percent of the public strongly agreed and agreed on information disclosure. Judging from this percentage, it can be noted that the community has begun to be critical of the openness of the plan and not just information, which means that there must be more explanation for green open space planning. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) http://www.ijert.org ISSN: 2278-0181 IJERTV9IS020139 (This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.) Published by : www.ijert.org Vol. 9 Issue 02, February-2020 320


Figure 6. Elements of openness in planning aspects Figure 7. Elements of openness in planning aspect Based on the results of the questionnaire, it appears that the main obstacle in the openness of aspects of green open space planning is socialization. The aspect of information media socialization can be said to be lacking because almost 78 percent of respondents said there was never any socialization of plans through information media. Although on the aspect of information almost 56 percent said they had heard of green open space planning. This is supported by the fact that most respondents have faced problems in finding secondary data about green open space plans in the city of Jakarta. This means that the information is quite adequate but a deeper explanation of the planning aspects is still not open. Based on the above results, if it is associated with research conducted by Chakrabarty (2001), the equation that exists is the ability of social reaction and social evaluation in urban green open space planning. This means that the community has been critical in the attitude of reaction and evaluation of the city green open space management plan. This requires the government as an urban planning actor to not only disseminate information but require socialization, so that government intervention and regulations have greater freedom and flexibility in improving the overall performance of the urban sector. CONCLUSION The existence of Jakarta's green open space is very much determined by the plan. The responsibility for planning the green open space should ideally be carried out jointly between the city government, the private sector and the community. This research tries to explore aspects of green open space planning such as what is expected by the community. To limit these aspects, a study of previous research related to green open space planning was conducted. Based on previous studies it can be concluded that aspects of green open space planning include aspects of physical, ecological, participation and openness. These aspects are elaborated in the form of questionnaire questions and distributed to the public to find out their understanding and views on aspects of green open space planning in the City of Jakarta. Clarity of elements in the planning aspect is the main outcome of this research. These aspects include supporting elements in the clearest sequence as follows: ecological elements, physical elements, openness and participation. In a more detailed component the influential ecological elements include ecological balance, air pollution, ecological quality degradation, ecological functions and finally technology. While the physical elements include a decrease in the number and conversion of land. In the openness element, the obvious component is planning and information. Lastly is the element of participation which includes the bureaucracy and the community. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) http://www.ijert.org ISSN: 2278-0181 IJERTV9IS020139 (This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.) Published by : www.ijert.org Vol. 9 Issue 02, February-2020 321


REFERENCES [1] Morancho., Aurelia Bengochea. ). “A Hedonic Valuation of Urban Green Areas”, Journal Landscape and Urban Planning 66, (2003) pp 35–41. [2] Costanza, R., d’Arge, R., de Groot, R., Farber, S., Grasso, M., Hannon, B., Limburg, K., Naeem, S., O’Neill, R.V., Paruelo, J., Raskins, R. G., Sutton, P., Van den Belt, M. “The Value of the World’s Ecosystem Services and Natural Capital”. Journal Nature 387, (1997) pp 253–260. [3] McGill, R. “Urban Management Checklist”, Journal Cities 18 (5), (2001) pp 347–354 [4] Chakrabarty, B. K. (2001). “Urban Management: Concepts, Principles, Techniques and Education”, Journal Cities 18, (2001) pp 331-345. [5] Singarimbun, Masri. dan Handayani “Metode Penelitian Survey”, Yogyakarta: Gajahmada University Press. . (1989). [6] Shuhana Shamsuddin, and Bashri, A. S. “Public Perception of Urban Spaces - A Case Study Centre of Bandaraya Johor Bahru”. Unpublished Research Report. Skudai, Johor Bahru: Jabatan Seni Bina, Fakulti Alam Bina. Universiti Teknologi Malaysia. (1999). [7] Li, F., Wang R., Paulussen J., Lui X. ”Comprehensive Concept Planning of Urban Greening Based on Ecological Principles: a Case Study in Bejing, China”. Journal Landscape and Urban Planning 72 (4), (2005). pp 325-336. [8] Breuste, Jurgen H. Decision Making, “Planning and Design for The Conservation of Indigenous Vegetation Within Urban Development”, Journal Landscape and Urban Planning 68, (2004) pp 439-452. [9] Branch, M C. “Delusions and diffusions of city planning in the United States”. Management Science 16 (12). (1970) [10] Abbot, John. “Sharing the City, Community Participation in Urban Management”, Earthscan Publication, London. (1996) [11] Adolf Heuken SJ, “Historical Sites in Jakarta”, Cipta Loka Caraka Foundation, Jakarta. (1997). [12] Butler Jd & James Rf, “Landscape Management”, Van Nostrand Reinhold Co., New York, (1988), [13] Weimar, David.L and Aidan R. Vining. “Policy analysis. Concepts and practice”. Prentice-Hall International, Inc. New Jersey. (1989), [14] White, Rodney R, “Urban Environmental Management”, John Wiley, New York. (1994) International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) http://www.ijert.org ISSN: 2278-0181 IJERTV9IS020139 (This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.) Published by : www.ijert.org Vol. 9 Issue 02, February-2020 322


Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 12 (2), Juni 2023 | 100 Copyright ©2023. JLBI This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License JURNAL LINGKUNGAN BINAAN INDONESIA ISSN Cetak: 2301-9247 | ISSN Daring: 2622-0954 | Beranda Jurnal: https:// iplbijournals.id/index.php/jlbi Evaluasi terhadap Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong, Jagakarsa, Jakarta Selatan Berti Dara Suryani 1 , Dewi Astuti 2 , Agus Dharma Tohjiwa3 1 Mahasiswa S1, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Universitas Gunadarma. 2 Staf Pengajar S1, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Universitas Gunadarma. 3 Staf Pengajar S1, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Universitas Gunadarma. | Diterima 14 Januari 2023 | Disetujui 06 April 2023 | Diterbitkan 15 Juni 2023| | DOI http://doi.org/10.32315/jlbi.v12i2.87| Abstrak Ruang terbuka publik baiknya didesain dengan optimal agar ruang-ruang yang tercipta dapat dimanfaatkan para pengunjung dengan baik & optimal pula. Di kawasan ruang terbuka publik Tepi Situ Mangga Bolong terdapat aktivitas yang dilakukan di tempat yang tidak tepat seperti parkir di ruang berkumpul, PKL di ruang hijau dan lain-lain sehingga menimbulkan ketidakteraturan. Oleh karena itu, hal ini perlu lebih diperhatikan penataannya agar pengunjung dapat merasa aman dan nyaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui & mengevaluasi pemanfaatan ruang pada Kawasan Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong berdasarkan aktivitas & perilaku pengunjung. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitaif melalui place-centered-mapping sebagai alat untuk mengetahui kecenderungan pemanfaatan ruang & aktivitas pengunjung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong memiliki ruang-ruang yang kurang optimal dalam pemanfaatannya dikarenakan memiliki kekurangan pada ruang fisiknya sehingga mempengaruhi aktivitas dan perilaku pengunjung dalam pemanfaatan ruangnya. Kata-kunci: pemanfaatan ruang, ruang terbuka publik, situ Space Utilization of Situ Mangga Bolong Public Open Space, Jagakarsa, Jakarta Selatan Abstract Public open spaces should be optimally designed so that the spaces created can be utilized by visitors properly and optimally as well. In the public open space area of Tepi Situ Mangga Bolong there are activities carried out in unsuitable places such as parking in gathering spaces, street vendors in green spaces and others, causing disorder. Therefore, it is necessary to pay more attention to the arrangement so that visitors can feel safe and comfortable. This study aims to determine & evaluate the use of space in the Situ Mangga Bolong Public Open Space Area based on visitor activities & behavior. Data collection is done by direct observation. The research method used is descriptive qualitative through place-centered mapping as a tool to determine the use in space utilization and visitor activities. The results showed that the public open area of the Situ Mangga Bolong Public Open Space Area has spaces that are not optimal in its utilization because it has a shortage of physical space that affects the activities and behavior of visitors in the use of space. Keywords: lakeside, public open space, space utilization Kontak Penulis Berti Dara Suryani Mahasiswa S1, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil & Perencanaan, Universitas Gunadarma Jl. Juragan Sinda I Pondok Darussalam Blok D1, Kukusan, Beji, Depok, 16425 HP (WA) : +6287881169835 E-mail : [email protected]


B. D. Suryani, D. Astuti, A.D. Tohjiwa Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 12 (2), Juni 2023 | 101 Pengantar Perkembangan kota yang cukup pesat menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas kegiatan yang membutuhkan ruang untuk mewadahinya khususnya ruang terbuka publik. Ruang publik menurut sifatnya terbagi atas external public space, internal public space, dan quasi-public space [1]. Ruang terbuka publik sebagai external public space menurut Carr didefinisikan sebagai jenis ruang luar yang dapat digunakan secara bebas oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas dan interaksi sosial [2]. Ruang terbuka publik merupakan elemen penataan lanskap yang penting dan merupakan titik penting bagi sistem sosial kemasyarakatan di sebuah kota [3]. Ruang terbuka publik menyediakan berbagai layanan (seperti fasilitas untuk aktivitas fisik dan interaksi sosial) kepada masyarakat lokal, dan layanan ini penting untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas hidup [4] Ruang terbuka publik adalah bagian penting dari semua kota dan ada dalam berbagai jenis, bentuk, dan ukuran (dari alun-alun, jalan hingga taman bermain, taman, tepi sungai, dan hutan kota), masing-masing memberikan layanan lingkungan dan sosial yang berbeda untuk semua penduduk [5]. Menurut Rachmatsyah et al, ruang publik dapat membantu membangun rasa kebersamaan, identitas kewarganegaraan, dan budaya. Ruang publik juga memfasilitasi modal sosial, pembangunan ekonomi, dan revitalisasi masyarakat [6]. Kawasan Situ Mangga Bolong merupakan kawasan yang berupa Ruang Terbuka Publik Tepi Situ yang terletak di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Dari ruang-ruang yang ada di kawasan ini, terdapat aktivitas yang dilakukan tidak sesuai tempatnya, misalnya seperti area hijau digunakan untuk PKL, ruang berkumpul digunakan untuk parkir, dan lain-lain, sehingga, aktivitas ini merubah pemanfaatan ruang terbuka publik yang ada dan menyebabkan terjadinya aktivitas yang tumpang tindih. Oleh karena itu, hal ini perlu lebih diperhatikan penataannya agar pengunjung dapat merasa aman dan nyaman. Dari sinilah muncul pemikiran bahwa diperlukan suatu penelitian atau kajian untuk mengidentifikasi aktivitas-aktivitas apa saja yg muncul pada kawasan dikarenakan kawasan ini merupakan kawasan ruang terbuka publik tepi situ di Kecamatan Jagakarsa selain Situ Babakan. Selain itu, keberadaanya sangat dekat dengan pemukiman-pemukiman warga membuat Situ Mangga Bolong ramai didatangi masyarakat. Pada penelitian terdahulu oleh Marhendra et al, ditemukan bahwa ketidakmerataan pola aktivitas pemanfaatan di Alun-alun Batu, beberapa ruang memiliki intensitas aktivitas tinggi dan beberapa ruang lainnya memiliki intensitas aktivitas yang rendah [7]. Suminar et al dalam penelitannya menemukan bahwa Alun-alun Karanganyar memiliki pola aktivitas sangat beragam yang terdiri dari fixed elements, semi-fixed elements, serta non fixed elements yang tersebar pada 6 zona [8]. Pemanfaatan ruang di Alun-alun Karanganyar pada beberapa kondisi seringkali tidak sesuai dengan fungsi ruang yang seharusnya karena masih ada PKL yang berjualan di tempat-tempat terlarang, kegiatan parkir berupa on street parking yang mengganggu sirkulasi kawasan, pada beberapa titik tercampurnya kegiatan pada zona bermain anak dengan lapak-lapak PKL, dan lain-lain [8]. Di Kawasan King Abdulaziz University, dari berbagai jenis ruang terbuka publik, sebagian besar dimanfaatkan pengunjung untuk kegiatan olahraga, belajar serta berkumpul [4]. Berbagai ruang terbuka publik di Kota Nagpur, India memiliki kelebihan di antaranya memfasilitasi kohesi sosial, keterlibatan atau engangement, dan fasilitas dasar namun, memiliki kekurangan diantaranya tidak mendorong akses yang adil dan praktik berkelanjutan [9]. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu identifikasi ruang dan pemanfaatannya serta mengevaluasi pemanfaatan ruang-ruang tersebut. Dari situ dapat dilihat pola aktivitas yang ada dan kedepannya dapat menjadi acuan untuk mengembangkan Kawasan Situ Mangga Bolong di masa mendatang agar meningkatkan kenyamanan bagi para pengunjung. Metode Lokasi yang dijadikan bahan penelitian merupakan Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong di Jln. Kp. Kalibata & Jln. Setu Mangga Bolong, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Luas area lokasi amatan adalah ±4.163,99 m². Gambar 1 memperlihatkan peta lokasi penelitian dan bagian yang berwarna ungu merupaka area lokasi amatan oleh penulis.


Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 12 (2), Juni 2023 | 102 Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif dikerjakan dengan desain penelitian yang temuan-temuannya tidak didapatkan melalui prosedur statistik atau dalam bentuk hitungan, melainkan bertujuan mengungkapkan fenomena secara holistik-kontekstual dengan pengumpulan data dari latar/ setting alamiah dan memanfaatkan peneliti sebagai instrumen kunci [10]. Selain dengan pendekatan deskriptif kualitatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan behaviour mapping. Behaviour mapping merupakan cara untuk menggambarkan pola-pola yang terdapat dalam sebuah ruang yang tercipta akibat hubungan timbal balik antara manusia dengan ruang [11]. Adapun jenis behaviour mapping yang digunakan adalah placecentered mapping. Place-centered-mapping bertujuan untuk mengetahui bagaimana manusia atau sekelompok manusia memanfaatkan, menggunakan atau mengakomodasikan perilakunya dalam suatu situasi waktu dan tempat tertentu [12]. Place centered mapping digunakan agar pola penyebaran pemanfaatan aktivitas yang terjadi dapat terlihat secara menyeluruh di Kawasan Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong. Metode pengumpulan data pada penilitian ini yaitu melalui observasi atau survey langsung ke lokasi penelitian serta mengumpulkan data-data sekunder dari literatur. Observasi dilakukan di hari Minggu pukul 14.00 – 15.00 WIB. Adapun kebutuhan data yang diperlukan yaitu jenis pengunjung Kawasan Situ Mangga Bolong, aktivitas dan perilaku pengunjung Kawasan Situ Mangga Bolong serta standar kualitas ruang terbuka publik. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: a. Pelaku Aktivitas Pelaku aktivitas disini merupakan pengunjung atau wisatawan Kawasan Situ Mangga Bolong b. Aktivitas Aktivitas adalah apa saja yang dilakukan oleh manusia atau perilaku manusia yang dapat diobservasi oleh mata. c. Ruang Ruang dalam variabel ini merupakan ruang fisik yang dijadikan wadah para pengguna beraktivitas. Hasil dan Pembahasan A. Pembagian Zona Observasi Untuk mempermudah pembahasan dan analisis, area observasi dibedakan menjadi 3 zona. Zona 1 (satu) merupakan area dalam atau tengah di Kawasan Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong. Zona 2 (dua) merupakan area perbatasan antara daratan dengan perairan situ. Zona 3 (tiga) merupakan area batas luar kawasan. Gambar 2 memperlihatkan kondisi eksisting setiap zona. B. Pemanfaatan Ruang di Setiap Zona Pemanfaatan Ruang Zona 1 (satu) Melalui Gambar 3 di bawah, dapat diketaui bahwa zona 1 (satu) memiliki ruang-ruang yang tersusun di dalamnya yang terbentuk dari elemen fisik, di antaranya yaitu ruang hijau, ruang berkumpul, ruang sirkulasi serta ruang parkir. Ruang hijau di Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong merupakan ruang dengan kondisi Gambar 1 Lokasi Penelitian Sumber: Arcgis Pola Ruang Kota Depok, 2 022 Gambar 2 Identifikasi Zona Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong Sumber: Analisis Penulis & Arcgis Pola Ruang Kota Depok, 2022 Gambar 3 Zona 1 Sumber: Arcgis Pola Ruang Kota Depok & Hasil Observasi Penulis, 2022


B. D. Suryani, D. Astuti, A.D. Tohjiwa Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 12 (2), Juni 2023 | 101 eksistingnya berupa tanah yang mayoritas ditanami pohon-pohon peneduh. Di dalam ruang hijau terdapat tempat-tempat duduk yang terdiri dari tempat duduk permanen dan non permanen. Di dalam ruang hijau terdapat banyak jenis pelaku aktivitas, mulai dari anak-anak, remaja, anak muda hingga orang dewasa serta para pedagang kaki lima. Di waktu tertentu yaitu di Hari Minggu, terdapat banyak orang-orang yang berasal dari komunitas kontes burung yang memenuhi sebagian ruang hijau. Aktifitas yang dilakukan pengunjung di area ini yaitu duduk-duduk di bawah pohon. Area dudukduduk terdapat beberapa fungsi di antaranya yaitu duduk-duduk untuk melihat pemandangan Situ, untuk berbincang & bersantai, serta untuk menyantap makanan yang dihidangkan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar kawasan Situ Mangga Bolong. Ruang hijau di sini digunakan untuk berjualan oleh beberapa PKL. Para PKL menyediakan sendiri fasilitas untuk berjualan seperti stand/gerobak, tempat duduk, meja, serta tikar. Selain itu, area ruang hijau di dekat Jln. Kp Kalibata sering digunakan oleh orang-orang dari komunitas burung untuk duduk-duduk, berdiri dan menaruh sangkar burung. Dengan banyaknya tempat duduk nonpermanen yang disediakan sendiri oleh pengunjung dan PKL, dapat dikatakan bahwa area ini kurang fasilitas untuk para pengunjung duduk-duduk. Para PKL yang berjualan di area ini membuat Kawasan Situ Mangga Bolong tidak teratur. Selain itu, area hijau yang digunakan PKL berjualan merupakan area yang memiliki fungsi yang lain. Gambar 4 memperlihatkan aktivitas dan perilaku pengunjung di ruang hijau. Ruang berkumpul pada Kawasan Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong yaitu berupa area terbuka beralaskan paving block berbentuk lingkaran. Di dalam ruang berkumpul terdapat banyak jenis pelaku aktivitas, mulai dari anak-anak, remaja, anak muda hingga orang dewasa. Di waktu tertentu yaitu di Hari Minggu, terdapat banyak orang-orang yang berasal dari komunitas kontes burung yang memenuhi sebagian area berkumpul. Gambar 5 memperlihatkan kondisi eksisting ruang berkumpul dan aktivitas pengunjung di dalamnya. Aktivitas yang dilakukan pengunjung di area ini mayoritas adalah duduk-duduk lesehan menggunakan tikar sewaan sembari melihat pemandangan situ atau makan atau mengobrol. Didapat juga pengunjung yang menggunakan area ini untuk menaruh sangkar burung dan parkir kendaraan sembarangan. Adanya pengunjung yang parkir di ruang berkumpul membuat Kawasan Situ Mangga Bolong tidak tertara & teratur karena para pengunjung memanfaatkan ruang tidak sesuai fungsinya sehingga mengganggu kenyamanan pengunjung lain. Ruang sirkulasi pada Kawasan Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong mayoritas berupa jalan berukuran sekitar 120 - 150 cm dengan material penyusunnya adalah paving block. Jalur ini menyusuri seluruh area Kawasan Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong dalam 1 jalur. Untuk mengakses jalur sirkulasi yaitu hanya berupa naikan paving block, tidak ada ramp yang dapat digunakan untuk akses kursi roda. Khusus pada area yang digunakan untuk menyebrangi jalur air, jalur sirkulasi terbuat dari susunan kayu yang berfungsi seperti jembatan. Susunan kayu ini tanpa railing atau pegangan di kanan kirinya. Gambar 6 memperlihatkan kondisi eksisting ruang sirkulasi dan aktivitas pengunjung di dalamnya. Di dalam ruang sirkulasi terdapat banyak jenis pelaku aktivitas, mulai dari anak-anak, remaja, anak Gambar 4 Aktivitas & Perilaku Pengunjung di ruang Hijau Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2022 Gambar 5 Aktivitas & Perilaku Pengunjung di Ruang Berkumpul Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2022 Gambar 6 Aktivitas & Penulis Pengunjung di Ruang Sirkulasi Ruang Terbuka Publik Tepi Situ Mangga Bolong Sumber: Hasil Observasi Penulis, 2022


Click to View FlipBook Version