The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajar, 2024-05-27 22:26:23

Jurnal RTH

Jurnal RTH

AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 121 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 spesies pohon, yaitu dari pohon mangga (Mangifera indica), pohon mahoni (Swietenia mahagoni), dan pohon palem raja (Roystonea regia) pada ketinggian 0–1 m di atas permukaan tanah. Calymperes tenerum merupakan lumut epifit dari divisi Bryophyta yang memiliki jumlah tutupan terbesar, yaitu 95,5%. Sementara itu dari divisi Marchantiophyta, Lejeunea eifrigii memiliki persentase tutupan terbesar, yaitu 50% (Tabel 3). Jumlah pohon yang ditemukan di lokasi penelitian adalah sebanyak 295 individu, namun hanya sebanyak 3,73% individu yang ditumbuhi lumut epifit Lumut yang tumbuh pada substrat tanah hanya terdiri dari lumut sejati. Isopterygium bancanum merupakan spesies lumut sejati yang persentase tutupannya 100%. Sementara itu, pada substrat batu hampir semua spesies lumut memiliki persentasi tutupan di atas 50%, kecuali Bryum apiculatum, Fissidens atroviridis, dan Hyophila involuta. Lumut pada substrat batu yang memiliki persentase tutupan paling tinggi, yaitu lumut hati, Haplomitrium blumei sebesar 90% (Tabel 3). Karakteristik Lumut di Wilayah Urban Karakteristik lumut yang berada di lokasi Komplek Taman Bona Indah meliputi karakter gametofit, sporofit, dan keberadaan organ reproduksi vegetatif (Tabel 4). Berdasarkan hasil pengamatan, panjang tubuh lumut di Komplek Taman Bona Indah termasuk berukuran kecil, berkisar 0,5-7 mm. Bentuk tumbuh lumut didominasi oleh tipe pertumbuhan tegak atau Acrocarpousus sebanyak 68% dan bentuk tumbuh menjalar sebanyak 31,58%. Bentuk hidup lumut yang ditemukan di Komplek Taman Bona Indah, yaitu cushion, turf, dan mats (Gambar 3). Ketiga tipe bentuk hidup tersebut dapat ditemukan pada lumut sejati. Lumut hati umumnya berbentuk mats, namun hasil pengamatan tedapat 1 spesies dengan bentuk turf, yakni Haplomitrium blumei. Tabel 4. Karakter lumut sejati dan lumut hati yang ditemukan di Komplek Taman Bona Indah Karakter Hasil pengamatan Ukuran tubuh 0,5–7 mm Bentuk pertumbuhan Acrocarpous (tegak) Pleurocarpousous (menjalar) Bentuk hidup Cushion Turf Mats Bentuk daun Melanset Membundar telur Melanset sungsang Membundar telur sungsang Ornamentasi permukaan daun Terdapat ornamentasi Tanpa ornamentasi Jumlah lapisan sel daun 1 lapis sel 3 lapis sel (2 lapis sel hialin, 1 lapis sel berkloroplas di bagian tengah) Modifikasi daun Vaginant lamina Lobul berupa lipatan lobus Bentuk sel daun bagian ujung Kuadrat Mengetupat Bentuk sel daun bagian tengah Kuadrat Mengetupat Hexagonal dengan trigon Hexagonal tanpa trigon Bentuk sel daun bagian basal Terdapat cancellina Terdapat sel alar Sel hialin Tepi daun Mengutuh (dengan berpinggir) Mengutuh (tanpa berpinggir)


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 122 Karakter Hasil pengamatan Menggergaji (tanpa berpinggir) Keberadaan sporofit Tanpa sporofit Terdapat sporofit Reproduksi aseksual Terdapat gemma pada ujung daun Daun lekas luruh Gambar 3. Tipe bentuk hidup koloni lumut: turf (a), mats (b), cushion (c) Bentuk daun pada lumut di lokasi penelitian, yaitu melanset-membundar telur. Sebanyak 2 kelompok lumut yang memiliki modifikasi pada daunnya, yaitu pada famili Fissidentaceae dan Lejeuneaceae. Daun pada Fissidentaceae diketahui memiliki struktur yang disebut dengan vaginant lamina, sementara Lejeuneaceae memiliki lobul yang merupakan lipatan pada lobus daun. Berdasarkan karakter sel daun, sebagian besar lumut memiliki daun yang terdiri dari 1 lapis sel, namun terdapat 1 spesies yang memiliki daun yang terdiri dari 3 lapis sel, yaitu Leucophanes octoblepharoides. Berdasarkan sayatan melintang daun, diketahui bahwa spesies tersebut memiliki 1 lapis sel yang memiliki kloroplas yang diapit dengan 2 lapis sel hialin tanpa kloroplas (Gambar 4). Gambar 4. Sayatan melintang daun Leucophanes octoblepharioides yang terdiri dari banyak lapis sel Sel daun pada lumut sejati yang terdapat di lokasi penelitian berbentuk kuadrat dan mengetupat. Sementara itu, sel pada daun lumut hati berbentuk hexagonal. Beberapa spesies memiliki sel mati berupa sel hialin yang tidak berwarna dan memiliki ukuran yang lebih besar. Sel hialin ini dapat berupa cancelina, sel hialin bagian basal daun, dan sel alar (Gambar 5). Sel pada lumut hati yang memiliki trigon terdapat pada Lejeunea enfrigii, dan yang tidak memiliki trigon terdapat pada Haplomitrium blumei. Daun pada bagian basal pada lumut sejati memiliki sel yang bentuk dan ukurannya berbeda dengan sel di sekitarnya. Sel tersebut berukuran lebih besar dengan hialin tidak berwarna karena selnya tidak memiliki kloroplas. Sel tersebut memiliki beberapa tipe di antaranya adalah cancellina, sel alar, dan sel hialin. a b c


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 123 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Gambar 5. Sel hialin pada daun yaitu sel hialin bagian basal daun (a), sel alar (b), dan cancelina (c) Lumut sejati di Taman Bona Indah mengembangkan fase sporofit sebanyak 84%, sementara itu yang tidak mengembangkan fase sporofit sebanyak 16%, termasuk lumut hati. Terdapat 3 spesies lumut sejati yang mengembangkan reproduksi secara aseksual dengan gemma pada bagian ujung daun, yaitu Calymperes crassinerve, C. Montleyi, dan C. tenerum. Beberapa spesies lumut yang ditemukan memiliki karakter khusus dalam bentuk ornamentasi di bagian permukaan daun. Ornamentasi permukaan daun berupa papilla ditemukan pada Barbula javanica, Calymperes crassinerve, C. motleyi, dan C. tenerum. Namun, papila yang teramati dengan jelas hanya pada B. javanica dan C. crassinerve (Gambar 6a). Papila pada B. javanica paling jelas teramati di bagian tepi daun, seperti ada selaput bening yang menonjol ke arah luar (Gambar 6a). Papila pada C. crassinerve dapat terlihat di bagian tengah daun, seperti selaput bening yang melapisi setiap sel chlorocyst (Gambar 6b). Sementara itu, papila pada C. motleyi dan C. tenerum tidak teramati dengan jelas. Gambar 6. Ornamentasi pada daun berupa papila yaitu pada Barbula javanica (a) dan Calymperes crassinerve (b) Calymperes merupakan genus yang memiliki struktur reproduksi aseksual berupa gemma di bagian ujung kosta yang mengalami pemanjangan melebihi ujung daun (excurrent) (Gambar 7). Pada umumnya, lumut dari genus Calymperes ditemukan pada batang pohon dengan kanopi yang cukup lebar, tetapi tumbuh menghadap ke arah timur atau barat sehingga kondisi iklim mikro cukup kering. Sebanyak 57 sampel lumut yang ditemukan di Komplek Taman Bona Indah. Terdapat 3 sampel dari 3 spesies yang memiliki sporofit, yaitu B. javanica, H. apiculata, dan H. javanica. Ketiga sampel tersebut memiliki persentase tutupan 100%, berada di bawah naungan kanopi yang rapat, dan berada di dekat saluran air. Gambar 7. Alat reproduksi aseksual berupa gemma pada ujung daun Calymperes Papila Papila Gemma Gemma a b c a b


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 124 Deskripsi Singkat Spesies Lumut di Komplek Taman Bona Indah Famili Bryaceae Bryum apiculatum Schwägr., sp. Musc. Frond., Suppl. 1 2: 102. 1816. Panjang tubuh 3,4–4 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Roset batang. Batang berwarna hijau muda. Bentuk daun melanset, warna hijau cerah, panjang daun 0,6–1,5 mm, lebar daun 0,2–0,4 mm, ujung daun meruncing dengan hair-pointed tip sepanjang 168,3 µm, tepi daun rata di bagian basal hingga tengah daun terkadang bergerigi sangat halus di bagian ujung. Bentuk sel daun mengetupat, panjang sel 59–60 µm, lebar sel 13–14 µm. Rizoid bercabang dan berwarna merah (Gambar 8). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah pada substrat batu dan ternaungi kanopi yang rapat. Catatan: terdapat sel hialin di bagian tengah daun diduga karena sel rusak dan kehilangan klorofil. Gambar 8. Bryum apiculatum Schwägr yaitu bentuk pertumbuhan (a), bentuk daun (b), dan ujung daun (c) Famili Calymperaceae Calymperes crassinerve (Mitt.) A. Jaeger, Ber. Thätigk. St. Gallischen Naturwiss. Ges. 1871--72: 481. 1873. Panjang tubuh 6–7 mm, acrocarpous, bentuk hidup cushion. Bentuk daun oblongate mendekati melanset, berwarna hijau kekuningan, panjang daun 0,7–1 mm, lebar daun 0,1–0,4 mm, tepi daun rata. Sel daun berbentuk kuadrat di bagian ujung daun, berbentuk persegi di bagian basal daun, terdapat sel-sel leucosis yang disebut cancellina di bagian basal daun pada sisi kanan dan kiri kosta. Ukuran sel daun kurang lebih 19 x 10 µm. Terdapat kosta berwarna hijau kehitaman dengan panjang melebihi ujung daun (excurrent), tetapi masih dilingkupi oleh sel-sel tepi daun. Pada satu individu, terdapat daun yang memiliki gemma di ujung atas kosta serta daun yang tidak memiliki gemma. Panjang gemma pada daun sekitar 418,6 µm. Rizoid berwarna cokelat (Gambar 9). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan pada batang pohon palem di taman Komplek Taman Bona Indah. C. crassinerve tumbuh pada bagian batang pohon di ketinggian 0–1 m di atas permukaan tanah, menghadap ke arah timur dengan pH 5. Calymperes motleyi Mitt., Bryol. Jav. 1: 48. 1856. Panjang tumbuhan 2–3 mm, acrocarpous, bentuk hidup turf. Bentuk daun melanset sungsang, warna hijau kekuningan, panjang daun 1–2 mm, lebar daun 0,3–0,7 mm, tepi daun rata. Bentuk sel daun kuadrat hingga isodiameter, panjang sel 8,5 µm–1 mm, lebar sel 6,4–12,5 µm, pada bagian basal daun terdapat cancellina. Terdapat kosta dengan panjang melebih ujung daun (excurrent), tetapi masih ditutupi oleh lapisan sel tepi daun. Kosta berwarna hijau kehitaman yang tersusun dari sel-sel berbentuk persegi panjang. Pada beberapa daun, gemma dapat ditemukan di ujung atas kosta (Gambar 10). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di batang pohon yang lembap dengan tipe kulit kayu merekah dengan tekstur yang kasar. Umumnya, C. motleyi tumbuh pada bagian pohon di ketinggian 0–2 m di atas permukaan tanah menghadap ke arah timur dan utara. a b c


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 125 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Gambar 9. Calymperes crassinerve (Mitt.) A.Jaeger yaitu bentuk tumbuh 1 individu (a), bentuk daun (b), dan gemma pada ujung daun (c) Gambar 10. Calymperes motleyi Mitt. yaitu bentuk pertumbuhan (a), bentuk daun (b), dan gemma pada ujung daun (c) Calymperes tenerum Müll. Hal., Linnaea 37: 174. 1871-1873 [1872]. Panjang tubuh 2–3 mm, acrocarpous, bentuk hidup cushion Bentuk daun oblanceolate, warna hijau tua, panjang daun 1–2 mm, lebar daun 0,3–0,5 mm, tepi daun rata. Sel daun berbentuk kuadrat, panjang sel 8,4–32 µm, lebar sel 6–23 µm, sel tersusun rapat, bagian basal daun terdapat cancellina. Kosta excurrent, tidak tertutup lapisan sel tepi daun, terdapat gemma pada ujung kosta; pada beberapa daun gemma tidak ada. Rizoid bercabang, cokelat kehitaman (Gambar 11). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di batang pohon manga dan mahoni pada ketinggian 0–2 m di atas permukaan tanah. C. tenerum yang ditemukan umumnya menghadap ke arah barat dengan persentase tutupan yang cukup luas. Gambar 11. Calymperes tenerum Müll yaitu bentuk tumbuh 1 individu (a), bentuk daun dengan kosta excurent (b), dan gemma pada ujung daun (c) Leucophanes octoblepharioides Brid., Bryol. Univ. 1: 763. 1827. Panjang tubuh 2–3 mm, acrocarpous, bentuk hidup cushion, berwarna hijau muda mengkilap. Bentuk daun melanset, panjang daun 3–4 mm, lebar daun 0,4–0,8 mm, tepi daun rata, terdapat sel hialin di sepanjang tepi daun seperti membentuk berpinggir, ujung daun runcing. Bentuk sel daun rectangular, panjang sel daun 15,5–24,7 µm, lebar sel daun 9,4–13,4 µm. Daun tersusun atas 3 lapis sel yang terdiri dari 2 lapis sel leukosit di bagian atas dan bawah serta 1 lapis sel mengandung klorofil di bagian tengah. Kosta memanjang dari bagian basal hingga ujung daun (percurrent) (Gambar 12). a b c a b c a b c


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 126 Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di batang pohon palem pada ketinggian 0–1 m di atas permukaan tanah, pH 4. Terdapat tumbuhan paku di sekitar L. octoblepharioides. Gambar 12. Leucophanes octoblepharioides Brid., yaitu bentuk tumbuh 1 individu (a), bentuk daun (b), dan sayatan melintang daun (c) Famili Fissidentaceae Fissidens atroviridis Besch., Ann. Sci. Nat., Bot., sér. 7, 2: 86. 1885. Panjang tubuh 1– 4 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun melanset, tersusun spiral, warna daun hijau kekuningan, hijau kecokelatan, atau hijau muda. Panjang daun 0,831–1,5 mm, lebar daun 0,2–0,4 mm, tepi daun rata. Terdapat sel hialin di sepanjang tepi daun seperti membentuk berpinggir yang tersusun dari 1 lapis sel linear. Terdapat vaginant lamina dengan panjang 0,1–0,7 mm dan lebar 0,2–0,5 mm. Bentuk sel daun mengetupat dengan ukuran yang besar, panjang sel daun 17–28 µm, lebar sel daun 10–12 µm. Pada 2 individu dari 4 individu, sel daun terisi penuh dengan klorofil. Ujung daun meruncing; ujung daun runcing dapat ditemui di beberapa daun pada individu yang sama. Kosta berakhir jauh di bawah ujung daun. Rizoid cokelat muda, bercabang di pangkal bawah batang (Gambar 13). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di taman dan tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah pada substrat batu dan tanah dengan nilai pH tanah berkisar 6,2–6,9. Catatan: karakter yang membedakan F. atroviridis dengan spesies dari genus Fissidens lainnya adalah kosta di bawah ujung daun. Gambar 13. Fissidens atroviridis Besch. yaitu bentuk pertumbuhan (a), bentuk daun dengan vaginant lamina (b), dan bentuk sel bagian tengah dan tepi daun (c) Fissidens biformis Mitt., J. Proc. Linn. Soc., Bot., Suppl. 1(2): 141. 1859. Panjang tubuh 0,7–2 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun membundar telur mendekati melanset, terususun secara spiral di sepanjang batang, warna daun hijau cerah, hijau kekuningan, atau hijau kecokelatan. Panjang daun 0,4–1 mm, lebar daun 0,12–0,31 mm, tepi daun rata dengan berpinggir di tepi daun yang tersusun dari sel hialin berbentuk linear, ujung daun meruncing atau runcing. Terdapat vaginant lamina dengan ukuran panjang mencapai setengah dari panjang daun, yaitu 0,2– 0,7 mm, lebar vaginant lamina 0,06–0,2 mm. Sel daun di bagian ujung hingga tengah berbentuk kuadrat; pada beberapa daun ditemukan sel berbentuk isodiameter. Panjang sel daun 8–14 µm, lebar sel daun 6–9 µm. Kosta terlihat jelas, bentuk sel persegi, panjang kosta mencapai bagian ujung daun (percurrent). Rizoid berwarna cokelat kemerahan, bercabang (Gambar 14). a b c a b c


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 127 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di taman dan tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah dari beragam tipe substrat. F. biformis ditemukan di tanah dengan nilai pH 5,9–7. F. biformis juga ditemukan di batu dan kain yang tertimbun tanah. Semua lokasi di mana F. biformis ditemukan ternaungi kanopi pohon. Catatan: limbidium bervariasi, umumnya tipis dan berakhir di bawah ujung daun. Gambar 14. Fissidens biformis Mitt., yaitu bentuk pertumbuhan (a), bentuk daun dengan vaginant lamina (b), dan bentuk sel bagian tengah dan tepi daun (c) Famili Haplomitriaceae Haplomitrium blumei (Nees) R.M. Schust., J. Hattori Bot. Lab. 26: 225. 1963. Leafy liverworts, panjang tubuh 1–2 mm, succubous, terlihat seperti bunga dari tampak atas. Daun terdiri dari lobus, tidak memiliki lobul. Bentuk lobus membundar tepi lobus bergigi di bagian ujung sampai tengah, tepi daun rata di bagian basal. Lobus berukuran 0,23 x 0,25 mm. Terdapat underleaf, ujung apiculate, ukuran underleaf hampir sama dengan lobus 0,125 x 0,128 mm. Sel pada lobus berbentuk persegi di bagian ujung, berbentuk mengetupat di bagian ujung, sel tanpa trigon, oil bodies tidak teramati. Sel pada lobus berukuran 19,6 x 13,7 µm, sel pada underleaves berukuran 20,6 x 11 µm (Gambar 15). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah pada substrat batu. H. blumei berada di bawah naungan kanopi pohon dengan daun yang tidak rapat. Intensitas cahaya matahari yang sampai ke H. blumei sebesar 75%. Gambar 15. Haplomitrium blume (Nees) R.M. Schust. yaitu bentuk pertumbuhan (a), bentuk daun underleaf (b), dan bentuk daun lobus (c) Famili Hypnaceae Isopterygium bancanum (Sande Lac.) A. Jaeger, Ber. Thätigk. St. Gallischen Naturwiss. Ges. 1876--77: 442. 1878. Panjang tubuh 3–4 mm, pleurocarpous, bentuk hidup mats. Memiliki struktur daun, batang, dan rizoid yang dapat dibedakan dengan jelas. Bentuk daun ovate, warna hijau kekuningan, panjang daun 0,7–1 mm, lebar daun 0,2–0,4 mm. Ujung daun runcing dengan sel leukosit yang membentuk pointed tip, tepi daun rata. Pada bagian ujung tepi daun tampak seperti bergerigi, karena susunan sel di tepi daun yang sedikit menonjol ke arah luar. Kosta bicostate, yaitu terdapat 2 kosta di bagian asal daun yang membentuk huruf v. Bentuk sel daun mengetupat, panjang sel 52–82 µm, lebar sel 10,8–15,7 µm. Batang bercabang, seperti membentuk stolon. Rizoid tidak berwarna, tumbuh di sepanjang batang (Gambar 16). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan pada substrat tanah dengan pH 6,6 dan nilai kelembapan sebesar 6 dari 8. I. bancanum ditemukan, di habitat yang ternaung oleh kanopi pohon. a b c a b c


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 128 Intensitas cahaya matahari yang sampai ke I. bancanum sebesar 23% dari intensitas cahaya matahari di taman Komplek Taman Bona Indah. Gambar 16. Isopterygium bancanum (Sande Lac.) A. Jaeger yaitu bentuk daun (a), bentuk apeks daun (b), dan bentuk sel pada bagian tepi daun (c) Isopterygium minutirameum (Müll. Hal.) A. Jaeger, Ber. Thätigk. St. Gallischen Naturwiss. Ges. 1876--77: 434. 1878. Panjang tubuh 3–4 mm, pleurocarpous, bentuk hidup mats. Individu memiliki struktur daun, batang, dan rizoid. Batang seperti membentuk stolon. Bentuk daun melanset, tersusun secara spiral di sepanjang batang, warna hijau muda, panjang daun 0,5–0,5 mm, lebar daun 0,08–0,2 mm. Bentuk sel daun vermiculose mendekati mengetupat, panjang sel daun 53,5–78,9 µm, lebar sel daun 4,5–6,4 µm. Ujung daun runcing, tepi daun memiliki tonjolan menyerupai serratus tapi dalam ukuran yang sangat kecil. Kosta tidak ada (Gambar 17). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di batang pohon palem pada ketinggian 0–1 m. Letak I. munitrameum di balik tumbuhan paku dan dikelilingi banyak alga. Nilai pH akar pohon yang menjadi substrat I. minutrameum adalah 4. Gambar 17. Isopterygium minutirameum (Müll. Hal.) A. Jaeger. yaitu bentuk daun (a), bentuk ujung daun (b), dan bentuk sel pada bagian tepi daun (c) Famili Lejeuneaceae Lejeunea eifrigii Mizut., J. Hattori Bot. Lab. 33: 244. 1970. Leafy liverworts, jarak antar lobus pada batang cukup renggang atau tersebar. Panjang tubuh 2–3 mm. Lobus berukuran 0,13 x 0,11 mm, beberapa lobus memiliki ujung membundar, beberapa menumpul. Lobul memiliki 1 gigi, menempel pada batang, panjang lobul 48,7 µm. Underleaves terbagi 2 dengan belahan yang sangat dalam seperti huruf v, tetapi tidak sampai terpisah, underleaves sangat kecil, dapat ditemukan di setiap pasangan daun. Terdapat trigon atau penebalan dinding sudut antara sel-sel daun, tetapi tidak terlalu tebal. Oil bodies ada di setiap sel walaupun bentuk tidak terlihat jelas, menurut Lee (2013) berbentuk opaque-papillose (Gambar 18). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di batang pohon palem pada ketinggian 0–1 m dengan pH 4. L. eifrigii berada dibalik tumbuhan paku. a b c a b c


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 129 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Gambar 18. Lejeunea eifrigii Mizut. yaitu bentuk pertumbuhan(a) dan underleaf dan lobule (b) Lejeunea cocoes Mitt., J. Proc. Linn. Soc., Bot. 5: 114. 1861. Leafy liverworts, panjang tubuh 3–5 mm. Ukuran lobus 0,34 x 0,23 mm, ujung lobus membundar, mudah sekali rontok. Lobul memiliki 1 gigi, menempel pada batang. Underleaves terbagi dua, tetapi lekuk pemisahnya tidak terlalu dalam sekitar 1/3 dari panjang underleaves. Terdapat trigon, oil bodies tidak terlalu jelas teramati. Jarak susunan daun pada batang cukup renggang (Gambar 19). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di batang pohon palem pada ketinggian 0–1 m. L.cocoes berada di balik tumbuhan paku dengan lebar daun yang cukup besar. Gambar 19. Lejeunea cocoes Mitt. yaitu bentuk pertumbuhan (a), lobul (tanda panah) (b), dan underleaf (tanda panah) (c) a. Famili Pottiaceae Barbula javanica Dozy & Molk., Ann. Sci. Nat., Bot., sér. 3, 2: 300. 1844. Panjang tubuh 2–4 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun oblongate, ujung runcing, beberapa membundar. Daun berwarna hijau kehitaman, panjang daun 0,1 mm, lebar daun 0,2–0,3 mm. Tepi daun unistratose; pada beberapa daun rata di bagian basal. Bentuk sel daun kuadrat di bagian ujung hingga tengah daun. Panjang sel daun 9–13 µm, lebar sel dau 6–7 µm, memiliki banyak papila (multipapillose). Batang berwarna cokelat kekuningan, tetapi tertutup oleh daun yang tumbuh rapat satu dengan lainnya. Rizoid bercabang, berwarna cokelat kemerahan. Panjang sporofit 1–2 mm. Seta berwarna hijau kehitaman, tersusun atas sel persegi, panjang seta 0,5–1 mm. Kapsul terlindungi operkulum berbentuk segitiga, panjangnya mencapai 943 µm, tepi operkulum tampak bergerigi. Bagian ujung operkulum berwana cokelat, sedangkan bagian tengah sampai basal berwarna hijau (Gambar 20). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di area tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah. Umumnya, B. javanica ditemukan pada substrat batu. Terdapat 1 sampel B. javanica yang ditemukan pada substrat tanah dengan pH 7. a b a b c underleave lobule


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 130 Gambar 20. Barbula javanica Dozy & Molk yaitu bentuk pertumbuhan (a) dan bentuk daun (b) Hyophila apiculata M. Fleisch., Musci Buitenzorg 1: 325. 1904. Panjang tubuh 2–3 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun oblanceolate, warna daun hijau kekuningan, hijau kecokelatan, atau hijau muda. Panjang daun 0,9–1,5 mm, lebar daun 0,34–0,5 mm, ujung daun meruncing. Tepi daun rata; jika diamati lebih dekat seperti terdapat unistratose akibat bentuk sel di bagian tepi daun. Daun melipat dalam keadaan kering atau kekurangan air dan akan kembali terbuka ketika ditetesi air. Daun di bagian basal terlihat jelas mengalami penyempitan. Sel daun berbentuk kuadrat mendekati isodiameter, di bagian basal daun terdapat sel hialin berukuran lebih besar dari sel daun lainnya, panjang sel daun 10–21 µm, lebar sel daun 7–8 µm. Rizoid berwarna merah kecokelatan, bercabang, tumbuh di pangkal bawah daun (seperti roset akar). Sporofit banyak ditemukan pada individu yang hampir mati. Panjang sporofit 3–4 mm. Seta tergolong panjang, yaitu 3 mm, warna seta cokelat kehitaman. Kapsul berbentuk cylindrical, berwarna kuning kecokelatan, panjang kapsul 0,6 mm. Operkulum long rostrate (Gambar 21). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan pada substrat batu di taman dan tepi jalan Komplek Taman Bona Indah. Umumnya, H. apiculata ditemukan di bawah naungan kanopi pohon yang rapat. Catatan: sel hialin memenuhi 1/4 bagian dari panjang daun secara keseluruhan. Gambar 21. Hyophila apiculata M. Fleisch. yaitu bentuk tumbuh 1 individu (a) dan bentuk daun (b) Hyophila beruensis Dixon, J. Bot. 65: 255. 1927. Panjang tubuh 1–2 mm, acropcarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun membundar telur sungsnang, warna daun hijau kecokelatan, panjang daun 1–2 mm, lebar daun 0,5–0,7 mm, tepi daun rata. Ujung daun meruncing; terkadang hanya meruncing sangat sedikit sehingga disebut bertusuk. Bentuk sel daun kuadrat mendekati isodiamter, panjang sel 9–11 µm, lebar sel 7–10 µm. Kosta terlihat jelas, dari basal hingga berakhir tepat di ujung daun (percurrent). Sprofit tidak ditemukan. Rizoid berwarna cokelat sedikit transparan dan bercabang (Gambar 22). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah pada substrat batu. H. beruensis dinaungi kanopi pohon yang cukup rapat. Intensitas cahaya matahari yang sampai ke H. beruensis sekitar 26,6% dari total intensitas cahaya matahari di lokasi penelitian. a b a b


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 131 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Gambar 22. Hyophila beruensis Dixon. yaitu bentuk pertumbuhan (a) dan bentuk daun (b) Hyophila involuta (Hook.) A. Jaeger, Ber. Thätigk. St. Gallischen Naturwiss. Ges. 1871-- 72: 354. 1873. Panjang tubuh 0,5–0,7 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun melanset sungsang, warna daun hijau kekuningan atau hijau cerah. Panjang daun 0,5–2 mm, lebar daun 0,3–1 mm, ujung daun meruncing. Khusus di bagian ujung, tepi daun bergigi halus (serratus) yang membedakan H. involuta dengan spesies dari genus Hyophila lainnya. Daun melipat dalam keadaan kering dan kembali membuka saat ditetesi air. Bentuk sel daun kuadrat, pada beberapa daun bentuk sel mendekati heksagon atau isodiameter. Di bagian basal daun dapat ditemukan sel hialin berbentuk persegi dalam jumlah yang sedikit atau tidak ada sama sekali. Panjang sel daun 8–16 µm, lebar sel daun 6–9 µm. Kosta melebar di bagian bawah. Rizoid berwarna cokelat kemerahan, bercabang. Sporofit tidak teramati (Gambar 23). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di taman dan tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah. Dari 6 sampel, 5 sampel H. involuta ditemukan di substrat batu, sedangkan 1 sampel H. involuta lainnya ditemukan di substrat tanah dengan pH 5,8. Umumnya, lokasi ditemukannya H. involuta tidak ternaungi. Catatan: pada beberapa daun dari individu yang berbeda ditemukan susunan sel seperti bertumpuk satu sama lain. Tepi daun di bagian apeks bergerigi. Gambar 23. Hyophila involuta (Hook.) A. Jaeger. yaitu bentuk pertumbuhan (a) dan bentuk daun (b) Hyophila javanica (Nees & Blume) Brid., Bryol. Univ. 1: 761. 1827. Panjang tubuh 2–2,5 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun membundar telur sungsang mendekati melanset sungsang, bagian basal daun mengalami penyempitan, tetapi tidak lebih sempit dari H. apiculata. Warna daun hijau kecokelatan atau hijau kekuningan, panjang daun 0,3–2 mm, lebar daun 0,12–0,6 mm, ujung daun meruncing tepi daun seperti beringgitan, beralur mengikuti bentuk sel di bagian tepi. Bentuk sel daun kuadrat, beberapa daun sel berbentuk kuadrat mendekati isodiamtri. Klorofil memenuhi setiap sel, bagian basal daun terdapat sel hialin dengan jumlah yang lebih sedikit dari sel hialin pada H. apiculata. Rizoid cokelat kemerahan. Panjang sporofit mencapai 3–4 mm. Seta cokelat kekuningan dengan panjang 3–35 mm. Warna kapsul cokelat kekuningan sampai cokelat kemerahan. Bentuk kapsul pyriform dengan panjang 0,5 mm. Bentuk operkulum long rostrate dengan panjang 0,3 mm (Gambar 24). a b a b


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 132 Lokasi dan habitat: ditemukan di taman dan tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah. H. javanica hanya ditemukan pada batu yang umumnya ternaungi kanopi pohon. Catatan: daun muda yang berwarna hijau kekuningan memiliki sel hialin lebih sedikit dari daun tua yang berwarna hijau kecokelatan. Sel hialin memenuhi 1/6 bagian dari panjang daun secara keseluruhan. Gambar 24. Hyophila javanica (Nees & Blume) Brid. yaitu bentuk tumbuh 1 individu (a) dan bentuk daun (b) Famili Sematophyllaceae Taxithelium nepalense (Schwägr.) Broth., Monsunia 1: 51. 1899 Panjang tubuh 5–6 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun ovate, panjang daun 0,4–0,6 mm, lebar daun 0,2–0,3 mm, warna hijau muda. Bentuk apeks daun acute, terkadang acuminate. Tepi daun rata di bagian basal hingga tengah, di bagian apeks terlihat bergelombang mengikuti bentuk sel di tepi daun. Bentuk sel heksagon hampir linear, panjang sel daun 22–32 µm, lebar sel daun 2–4 µm, dinding sel tipis. Batang hijau muda. Rizoid cokelat di pangkal batang bagian bawah (Gambar 25). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan pada tanah di tepi jalan utama Taman Komplek Bona Indah. pH tanah 6,6. Lokasi ditemukannya T. nepalense berada di bawah naungan kanopi pohon. Gambar 25. Taxithelium nepalense (Schwägr.) Broth. yaitu susunan daun (a), bentuk daun (b), dan bentuk sel bagian tepi daun (c) Trichosteleum singapurense M. Fleisch., Hedwigia 44: 325. 1905 Panjang tubuh 4–5 mm, acrocarpous, bentuk hidup mats. Bentuk daun melanset, berwarna hijau muda, panjang daun 0,3–0,4 mm, lebar daun 0,1–0,3 mm, ujung daun runcing. Tepi daun rata, namun di bagian ujung tepi daun terihat berlekuk karena mengikuti bentuk dinding sel. Sel daun berbentuk mengetupat dengan jarak antar sel yang rapat. Panjang sel 42–68 µm, lebar sel 7–10 µm. Batang berwarna hijau muda dipenuhi daun yang tersusun secara spiral (Gambar 26). Lokasi dan habitat: spesies ini ditemukan di tepi jalan utama Komplek Taman Bona Indah pada pangkal atas akar pohon palem yang sudah lapuk. T. singapurense tumbuh pada ketinggian 65 cm di atas permukaan tanah menghadap utara. a b a b c


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 133 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Gambar 26. Trichosteleum singapurense M. Fleisch, yaitu susunan daun (a), bentuk daun (b), dan bentuk sel pada bagian tepi daun (c) PEMBAHASAN Bryophyta merupakan divisi lumut yang banyak ditemukan di daerah urban (Grdović et al., 2009). Komplek Taman Bona Indah yang berada di tengah kota Jakarta Selatan yang dikelilingi oleh jalan raya yang banyak dilalui kendaraan dan gedung-gedung perkantoran dan pertokoan. Oleh karena itu, terlihat lingkungan di Komplek Taman Bona Indah juga menunjukkan rata-rata kelembapan udara yang cukup rendah, yaitu 61,6% dan rata-rata suhu udara yang cukup tinggi, sebesar 32,8 C. Lumut hati lebih menyukai habitat yang relatif lebih lembap dibandingkan dengan lumut sejati (Sabovljević & Sabovljević, 2009). Penelitian lumut urban di Arboretum Cibubur dan RTH Kampus UI Depok juga menunjukkan bahwa jumlah spesies lumut sejati lebih banyak dibandingkan dengan lumut hati (Putrika, 2017; Kristiyanto et al., 2018). Menurut Szűcs (2017), jumlah Marchantiophyta yang minim di daerah perkotaan kemungkinan karena kondisi kelembapan udara yang rendah. Bryophyta merupakan kelompok lumut yang tersebar secara luas (kosmopolitan), memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi, dan memiliki daya tahan hidup yang baik pada lingkungan yang cenderung kering (Ergiana et al., 2013). Famili lumut sejati, yaitu Bryaceae, Fissidentaceae, Hypnaceae, dan Pottiaceae banyak ditemukan di daerah urban. Hal tersebut juga ditemukan pada penelitian Floyed dan Gibson (2012) di daerah industri Australia. Pottiaceae merupakan famili yang paling beragam di lokasi penelitian. Anggota famili tersebut dapat tumbuh dengan baik di lingkungan yang ekstrem seperti daerah ruderal, tanah gersang, atau daerah yang berasosiasi dengan aktivitas manusia, karena merupakan kelompok Bryophyta yang kosmopolit dan dapat di temukan di berbagai kondisi habitat (Gerdol et al., 2002; Floyed & Gibson, 2012). Keberadaan Pottiaceae pada substrat batu dengan persentase tutupan berkisar 47–89% menunjukkan bahwa famili tersebut cenderung hidup di tempat kering dan tidak ternaung. Hal tersebut didukung oleh karakteristik Pottiaceae, yaitu bentuk tumbuh acrocarpousus, bentuk hidup turf, dan terdapat ornamentasi pada permukaan daun berupa papila atau mamila (Eddy, 1990; Câmara & Kellog, 2010). Menurut Câmara dan Kellog (2010) papila adalah tonjolan yang merupakan modifikasi dari lapisan lilin pada permukaan dinding sel. Keberadaan papila dan mamila tersebut bertujuan untuk memperluas permukaan daun untuk mempercepat penyerapan uap air dari lingkungan, serta dapat membentuk pipa kapilar untuk menyimpan air dan menunda dehidrasi (Kürschner, 2004; Vanderpoorten & Goffinet, 2009). Lejeuneaceae merupakan lumut hati yang dikoleksi pada substrat akar adventif pohon palem raja yang berada di atas permukaan tanah. Anggota famili tersebut, yaitu L. cocoes dan Lejeunea einfrigii. Kelembapan udara di sekitar tempat tumbuh sebesar 59,40% dengan intensitas cahaya matahari yang sampai ke substrat sebesar 250 lux. Lejeuneaceae umumnya tumbuh optimal pada lingkungan yang tertutup dengan kelembapan udara yang tinggi (Vanderpoorten & Goffinet, 2009). L. cocoes merupakan spesies dari Lejeuneaceae yang ditemukan di 3 penelitian lumut urban lainnya di Jakarta dan Depok. L. cocoes merupakan spesies lumut hati yang berukuran sangat kecil, dengan lebar 0,66 mm dan memiliki karakter daun yang lekas luruh yang berperan sebagai alat reproduksi vegetatif (Lee, 2013). Lejeunea eifrigii dan L. cocoes memiliki karakter khusus berupa trigon yang merupakan penebalan dinding sel. Trigon yang termasuk ke dalam tipe sel hialin dapat menyimpan a b c


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 134 cadangan air bagi lumut Ketika kondisi lingkungan kering. Trigon terdiri dari hemiselulosa dan memiliki peran penting dalam konduksi apoplastik air (Dey et al., 2007). Fissidens biformis merupakan spesies lumut sejati yang paling banyak ditemukan di lokasi penelitian. Spesies tersebut ditemukan di pembatas jalan utama ternaung kanopi pohon yang cukup lebar dan rapat sehingga intensitas cahaya matahari yang sampai ke substrat sebesar 24–550 lux. Beberapa sampel F. biformis juga ditemukan pada substrat tanah yang sedikit tertutup oleh rumput teki pada taman yang aktif digunakan masyarakat sekitar untuk beraktivitas. F. biformis memiliki keanekaragaman yang tinggi di daerah tropis, sering ditemukan pada substrat tanah dan bebatuan di lingkungan yang teduh atau lingkungan yang terbuka, serta tidak jarang ditemukan di tanah yang terganggu oleh aktivitas manusia (Eddy, 1988; Govindapyari et al., 2012; Seppelt, 2019). Beberapa spesies menghasilkan alat reproduksi aseksual seperti gemma yang terdapat pada ujung daun, serta daun yang mudah rontok. Menurut Brinda et al. (2011), reproduksi aseksual menjadi strategi adaptasi agar lumut dapat melakukan pergiliran keturunan ketika kondisi lingkungan tidak mendukung terbentuknya struktur sporofit. Sepanjang tepi jalan, terdapat pohon-pohon peneduh yang jarak antara 1 pohon dengan pohon lainnya kurang lebih 2 m. Kanopi pohon di tepi jalan saling tumpang tindih dapat menaungi tanah dan bebatuan di bawahnya. Berdasarkan pengukuran parameter abiotik, diketahui bahwa intensitas cahaya matahari di tepi jalan sebesar 1.162–1.820 lux. Sementara itu, pohon-pohon di taman hanya tumbuh di tepi atau pinggir taman sehingga bagian tengah taman sangat terbuka. Kondisi taman lebih kering akibat intensitas cahaya matahari sampai ke tanah dan bebatuan dalam jumlah maksimal, yaitu sebesar 1.982 lux. Hal tersebut diduga menjadi penyebab jumlah spesies lumut yang tumbuh atau ditemukan di taman lebih sedikit daripada spesies yang ditemukan pada tepi jalan. Lumut lebih menyukai lingkungan yang teduh untuk tumbuh (Gabriel & Bates, 2005). Substrat batu yang ditemukan berupa batu alami dan pembatas jalan yang terbuat dari semen (Gambar 7). Substrat batu di Komplek Taman Bona Indah umumnya berada di bawah naungan kanopi pohon dan memiliki tekstur retak-retak. Retak pada batu memungkinkan tanah terjebak di dalam retakan tersebut, kemudian menjadi sumber nutrisi yang baik bagi lumut karena tanah di dalam retakan batu tidak terpengaruh perubahan iklim mikro pada lingkungan (Floyed & Gibson, 2012) Substrat batu di Komplek Taman Bona Indah mudah ditemukan serta dapat menyediakan nutrisi untuk lumut tumbuh optimal. Lumut yang tumbuh di substrat batang pohon hanya ditemukan pada ketinggian 0–1 m. Tekstur batang yang berupa rekahan memungkinkan tanah terjebak di batang pohon dan menyediakan nutrisi untuk lumut tumbuh. Selain itu, ukuran kanopi yang lebar menyebabkan bagian batang pohon ternaungi dan menjadi teduh. Bagian basal pohon, yaitu pada ketinggian 0–1 m menyediakan lebih banyak tempat berlindung untuk lumut epifit fakultatif karena bagian tersebut terpapar tanah lembap di sekitarnya dan menyediakan nutrisi untuk pertumbuhan lumut (Durawel & Lock, 2000). Jumlah spesies lumut epifit yang lebih rendah dibandingkan dengan lumut terestrial di Komplek Bona Indah juga menunjukkan bahwa lumut epifit yang hanya dapat hidup di daerah perkotaan sangat terbatas. Menurut Govindapyari et al. (2010), lumut epifit lebih sensitif terhadap polusi udara dibandingkan lumut terestrial. Lumut tersebut dapat tumbuh lebih baik pada bagian basal pohon dibandingkan pada bagian cabang pohon. Debu-debu yang mengandung polutan banyak tersimpan pada substrat lumut epifit. Hal tersebut menyebabkan lumut sulit untuk membentuk koloni dan bertahan hidup (Floyed & Gibson, 2012). Tanah di Komplek Taman Bona Indah kering. Berdasarkan pengukuran parameter abiotik yang dilakukan, nilai kelembapan tanah di Komplek Taman Bona Indah hanya sebesar 12–24%. Substrat tanah yang langsung terpapar dengan lingkungan luar diduga mudah mengalami perubahan ketersediaan nutrisi dan kelembapannya akibat perubahan iklim mikro. Oleh karena itu, kondisi substrat tanah tidak terlalu sesuai untuk lumut tumbuh. Kondisi substrat batu yang banyak mengalami keretakan memungkinkan tanah terjebak di bebatuan dan terlindungi dari erosi atau perubahan iklim mikro yang memengaruhi keberadaan nutrisi bagi lumut. Selain itu, berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, umumnya ketiga spesies tersebut ditemukan pada substrat batu yang dinaungi kanopi pohon. Sementara itu, substrat tanah di


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 135 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 tempat F. atroviridis, F. biformis, dan H. involuta ditemukan tidak ternaung dan kering dengan nilai kelembapan tanah hanya sebesar 6–24%. Menurut Eddy (1988) dan Govindapyari et al. (2012), F. atroviridis dan F. biformis tumbuh di tanah yang lembap. Da Costa (2015) juga menyatakan bahwa H. involuta tumbuh optimal pada batu dan tanah yang lembap dan teduh di daerah urban. Dengan demikian, F. atroviridis, F. biformis, dan H. involuta tumbuh lebih optimal pada substrat batu daripada substrat tanah di Komplek Taman Bona Indah. Karakteristik Lumut di Wilayah Urban Lumut yang ditemukan di Komplek Taman Bona Indah memiliki karakteristik yang diduga sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan tempat tumbuh. Karakteristik tersebut meliputi ukuran tubuh, bentuk tumbuh, bentuk hidup, bentuk daun, ornamentasi pada permukaan daun, modifikasi sel daun, serta keberadaan sporofit atau gemma. Setiap karakter memiliki fungsi yang berbeda untuk mendukung lumut tumbuh di lingkungan Komplek Taman Bona Indah yang merupakan permukiman di daerah urban. Kisaran panjang tubuh lumut yang ditemukan di Komplek Taman Bona Indah yaitu 0,5–7 mm, yang menurut Vujičić et al. (2011), lumut dengan panjang tubuh tidak lebih dari 1 cm tergolong kecil. Ukuran tersebut dapat mendukung lumut tumbuh optimal pada lingkungan Komplek Taman Bona Indah yang kering dengan kelembapan udara sebesar 46,8–64,1 %. Menurut Huttunen et al. (2018), ukuran tubuh lumut yang kecil memiliki korelasi dengan kemampuan adaptasi lumut berupa toleransi terhadap kekeringan yang tinggi, sehingga lumut membutuhkan lebih sedikit air untuk proses pertumbuhan. Berdasarkan bentuk individunya, diketahui bahwa bentuk tumbuh lumut yang dominan ditemukan di lokasi penelitian adalah acrocarpousus, yaitu lumut yang tumbuh tegak. Hal tersebut berkaitan juga dengan tipe substrat yang dominan ditemukan di lokasi penelitian, yaitu berupa batu atau dinding trotoar dan dinding selokan. Tipe tumbuh acrocarpousus merupakan lumut yang terdapat pada habitat terbuka dengan substrat berpasir dan dinding sebagai pioneer (Isermann, 2007). Sementara itu berdasarkan bentuk koloninya, terdapat 3 tipe bentuk hidup, lumut yang ada di Komplek Taman Bona Indah, yaitu cushion, turf, dan mats (Gambar 8). Menurut Govindapyari et al. (2010), tipe cushion, turf, dan mats merupakan tipe bentuk tumbuh yang resistan terhadap peningkatan polusi. Tipe turf dan cushion didominasi oleh lumut sejati, namun terdapat satu-satunya spesies lumut hati berbentuk turf yang ditemukan pada substrat batu yang tidak ternaung, yaitu Haplomitrium blumei. Kedua tipe tersebut umumnya ditemukan pada habitat terbuka. Sementara itu tipe mats banyak ditemukan di lantai hutan (Bahuguna et al., 2013). Hal tersebut diduga dikembangkan oleh koloni lumut yang berada di bawah naungan agar area penangkapan cahaya matahari untuk fotosintesis lebih luas. Cahaya matahari yang terhalang naungan menyebabkan lumut tidak mendapatkan cukup cahaya untuk melakukan fotosintesis. Di beberapa tempat yang ternaung, intensitas cahaya matahari yang sampai ke tanah dan bebatuan hanya sebesar 24–550 lux. Sementara itu, koloni lumut dengan bentuk hidup turf tidak perlu memperluas permukaan koloni karena cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan fotosintesis tidak terhalang naungan. Keberhasilan fotosintesis pada lumut dapat dipengaruhi oleh bentuk hidup yang dikembangkan (Huttunen et al., 2018). Selain itu, ketiga bentuk hidup tersebut diduga dapat mencegah lumut dari kekeringan dengan bentuk yang umumnya rapat (Glime & Gradstein, 2018). Hal tersebut dapat memungkinkan lumut menyimpan air pada ruang antar komponen yang ada di dalam koloni. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui bahwa bentuk hidup cushion, turf, dan mats merupakan bentuk adaptasi lumut terhadap lingkungan urban (Govindapyari et al., 2010). Berdasarkan bentuk daunnya, diketahui bahwa lumut pada lokasi Taman Bona Indah memiliki bentuk daun yang lebih ramping dan luas permukaan daun yang sempit. Hal tersebut diduga dapat melindungi lumut dari kehilangan air dalam jumlah yang banyak. Daun dengan luas permukaan yang lebar dapat menyebabkan suhu permukaan daun menjadi lebih tinggi sehingga penguapan air dapat terjadi dengan cepat (Nicotra et al., 2011). Dengan demikian, daun dengan luas


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 136 permukaan yang sempit dapat menjaga ketersediaan air pada lumut di lingkungan yang kering (Todey & Taylor, 2020). Daun pada lumut Hyophila dan Calymperes menggulung saat kondisi dehidrasi dan kembali turgid saat terhidrasi. Mekanisme penggulungan daun diduga sebagai bentuk pertahanan lumut dalam kondisi kering dan adanya paparan cahaya matahari yang tinggi. Kelebihan cahaya matahari yang diterima oleh daun dapat menyebabkan lumut kehilangan pigmen yang dapat menyebabkan kematian (Vanderpoorten & Goffinet, 2009). Daun yang menggulung berfungsi untuk mencegah kematian pada lumut akibat kehilangan pigmen karena kelebihan cahaya matahari yang ditangkap oleh permukaan daun. Ornamentasi pada permukaan sel daun berupa papila dan mamila pada famili Pottiaceae dan Calymperaceae dapat terlihat pada seluruh bagian sel daun, kecuali pada bagian basal. Menurut Vanderpoorten dan Goffinet (2009), lumut sejati yang tumbuh di daerah kering cenderung memiliki ornamentasi pada salah satu sisi atau kedua sisi permukaan daunnya. Tonjolan papila yang padat dapat membentuk suatu rongga yang dapat berperan untuk mempercepat proses pengambilan air dari lingkungan saat air sudah tersedia di lingkungan (Kürschner, 2004; Vanderpoorten & Goffinet, 2009). Namun, peran papila yang lain seperti kontrol cahaya dan suhu udara bagi lumut untuk beradaptasi di lingkungan kering belum dapat dipastikan, meskipun sudah banyak teori yang diajukan melalui penelitian-penelitian sebelumnya (Câmara & Kellogg, 2010). Oleh karena itu, lumut dari famili Pottiaceae dan Calymperaceae memiliki daerah distribusi yang luas dan sering ditemukan di daerah perkotaan yang kering dan tidak ternaung. Modifikasi sel yang tidak memiliki kloroplas, seperti sel hialin, sel alar, dan cancellina juga berperan untuk mendukung lumut beradaptasi di lingkungan yang kering. Ketiga jenis sel tersebut memiliki kemampuan untuk menyimpan air yang akan digunakan dalam proses fotosintesis (Goffinet et al., 2009; Shaw et al., 2010). Sel tersebut umumnya ditemukan pada lumut sejati yang daunnya terdiri dari 1 lapis sel. Sel tersebut terdapat di bagian basal daun seperti yang terdapat pada Hyophilla, Calymperes, dan Trichosteleum. Namun pada salah satu lumut sejati, yaitu Leucophanes octoblepharioides yang daunnya terdiri dari banyak lapis sel (2 lapis sel hialin yang mengapit 1 lapis sel yang berkloroplas). Sel hialin dalam jumlah yang lebih banyak dapat mendukung L. octoblepharioides tumbuh pada lingkungan dengan ketersediaan air yang terbatas. Struktur sel yang terdiri dari banyak lapis dapat meningkatkan kemampuan menyimpan air dan memperpanjang periode aktif fotosintesis (Goffinet et al., 2009; Glime & Gradstein, 2018). Karakter khusus berupa trigon yang merupakan penebalan dinding sel ditemukan pada sel daun milik lumut hati. Trigon adalah jenis sel hialin yang dapat menyimpan cadangan air bagi lumut Ketika kondisi lingkungan kering. Trigon terdiri dari hemiselulosa dan memiliki peran penting dalam konduksi apoplastik air (Dey et al., 2007). Sebagian besar sampel lumut yang dikoleksi di Komplek Taman Bona Indah tidak menghasilkan fase sporofit. Hal tersebut menandakan bahwa kondisi lingkungan tidak mendukung semua spesies untuk bereproduksi secara seksual. Ketersediaan air serta kelembapan udara yang cukup tinggi pada lingkungan menyebabkan siklus hidup lumut dapat berlangsung dengan baik sehingga menghasilkan fase sporofit. Keberhasilan reproduksi seksual pada lumut sangat bergantung pada ketersediaan air di lingkungan karena air berperan membantu sel gamet jantan menuju sel gamet betina sebelum terjadi fertilisasi (Goffinet et al., 2009). Ketersediaan air juga penting setelah proses fertilisasi terjadi agar sporofit tidak mengalami stres akibat kekeringan (Goffinet et al., 2009). Namun terdapat 3 sampel yang memiliki fase sporofit terdiri dari 3 spesies dari famili Pottiaceae. Hal tersebut menunjukkan kemampuan famili Pottiaceae untuk dapat berkembang biak secara seksual walaupun kondisi lingkungan kurang menguntungkan. SIMPULAN DAN SARAN Spesies lumut yang tumbuh di Komplek Taman Bona Indah merupakan anggota dari kelompok lumut sejati sebanyak 16 spesies serta lumut hati sebanyak 3 spesies. Spesies lumut sejati yang paling banyak dikoleksi adalah anggota Pottiaceae. Spesies lumut dengan jumlah individu yang paling banyak ditemui adalah Fissidens biformis. Beberapa spesies lumut yang ditemukan


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 137 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 memiliki struktur morfologi dan anatomi yang diduga sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan urban seperti ukuran tubuh yang relatif kecil, bentuk hidup acrocarpous atau bentuk hidup turf, bentuk daun, terdapat ornamentasi pada permukaan daun, terdapat sel hialin, serta keberadaan gemma. Pengamatan lumut di RTH yang lain perlu dilakukan untuk mengetahui perbedaan komposisi dan keragaman spesies lumut di daerah urban. Selain itu, pengamatan lumut di daerah urban pada musim yang berbeda dengan musim saat dilakukan penelitian, yaitu musim hujan, juga perlu dilakukan. Hal ini untuk mengetahui perbedaan karakter seperti ukuran tubuh, bentuk hidup, bentuk daun, ornamentasi pada permukaan daun, modifikasi sel daun, serta keberadaan sporofit atau gemma yang dikembangkan oleh lumut. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia atas Hibah Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi Universitas Indonesia (PDUPT UI) tahun 2020 No NKB-197/UN2.RST/HKP.05.00/2020 serta Ruang Koleksi Biota Herbarium Depokensis Departemen Biologi FMIPA Universitas Indonesia. REFERENSI Bahuguna, Y. M., Gairola, S.U., Semwal, D. P., Uniyal, P. L., & Bhat, A. B. (2013). Bryophyte and ecosystem. In R. K. Gupta, & M. Kumar (Eds.), Biodiversity of lower plants (pp 279-296). New Delhi, India: International Publishing House Pvt. Ltd. Bridson, D., & Forman, L. (1992). The herbarium handbook. Kew: The Royal Botanical Garden Kew Press. Brinda, J. C., Fernando, C., & Stark, L. R. (2011). Ecology of bryophytes in mojave desert biological soil crusts: Effects of elevated CO2 on sex expression, stress tolerance, and productivity in the moss Syntrichia caninervis Mitt. Bryophyte Ecology and Climate Change, 169-189. doi: 10.1017/CBO9780511779701.010. Câmara, P. E. A. S., & Kellogg, E. A. (2010). Morphology and development of leaf papillae in Sematophyllaceae. The Bryologist, 113, 22–33. doi: 10.1639/0007-2745-113.1.22. Da Costa, D. P. (2015). Diversity and conservation of Pottiaceae (Pottiales) in the Atlantic Rainforest. Acta Botanica Brasilica, 29(3), 354-374. doi: 10.1590/0102-33062015abb0012. Dey, M., Singh, D., & Singh, D. K. (2007). Lejeunea eifrigii Mizut. (Hepaticae: Lejeuneaceae) – a record for Indian bryoflora from Sikkim. Indian Journal of Forestry, 30(4), 511-512. Durawel, L., & Lock, K. (2000). Epiphytic bryophytes in the city of Ghent. Belgian Journal of Botany, 133(1-2), 84-90. doi: 10.2307/20794465. Eddy, A. (1988). A handbook of Malesian mosses-volume 1-Sphagnales to Dicranales. London: British Museum (Natural History). Eddy, A. (1990). A handbook of Malesian mosses-volume 2-Leucobryaceae to Buxbaumiaceae. London: British Museum (Natural History). Ergiana, H., Wiryani, E., & Jumari. (2013). Bryoflora terestrial di zona tropic Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Jurnal Biologi, 2(1), 65-71. Fajri, M. T. A. (2019). Keanekaragaman lumut (Bryophyta) di sekitar kawasan wisata air terjun Tumpak Sewu Kabupaten Lumajang (Skripsi Sarjana). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, Indonesia. Floyed, A., & Gibson, M. (2012). Bryophytes of urban industrial streetscapes in Victoria, Australia. Victorian Naturalist, 129(6), 203-214. Fudali, E., & Żołnierz, L. (2019). Epiphytic bryophytes in urban forests of Wroclaw (SW Poland). Biodiersity: Research and Conservation, 53, 73-83. doi: 10.2478/biorc-2019-0005. Gabriel, R., & Bates, J.W. (2005). Bryophyte community composition and habitat specificity in the natural forests of Terceira, Azores. Plant ecology, 177, 125-144. doi: 10.1007/s11258-005- 2243-6. Gerdol, R., Bragazza, L., Marchesini, R., Medici, A., Pedrini, P., Benedetti, S., … Coppi, S. (2002). Use of moss (Tortula muralis Hedw.) for monitoring organic and inor- ganic air pollution in


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720| 138 urban and rural sites in Northern Italy. Atmospheric Environment, 36, 4069-4075. doi: 10.1016/S1352-2310(02)00298-4. Glime, J. M., & Gradstein, S. R. (2018). Tropics: General ecology chapter 8-1. In J. M. Glime (Eds.), Bryophyte ecology volume 4. Houghton, USA, Michigan Technological University. Goffinet, B., Buck, W. R., & Shaw, A. J. (2009). Morphology, anatomy, and classification of the Bryophyta. Bryophyte Biology, 2, 55-138. Govindapyari, H., Leleeka, M., Nivedita, M., & Uniyal, P. L. (2010). Bryophytes: Indicators and monitoring agents of pollution. NeBio, 1(1), 35-41. Govindapyari, H., Kumari, P., Bahuguna, Y. M., & Uniyal, P. L. (2012). Evaluation of species richness of acrocarpous mosses in Imphal District, Manipur, India. Taiwania, 57(1), 14-26. doi: 10.6165/tai.2012.57(1).14. Grdović, S., Saboljević, M., & Vitorivić, G. (2009). Ecological and distributional donsideration of the bryophyte vegetation of urban areas: Case study on Belgrade bryophytes. Journal of Applied Biological Sciences, 3(2), 51-57. Huttunen, S., Bell, N., & Hedenas, L. (2018). The evolutionary diversity of mosses – taxonomic heterogeneity and its ecological drivers. Critical Reviews in Plant Sciences, 1-47. doi: 10.1080/07352689.2018.1482434. Isermann, M. (2007). Diversity of bryophytes in an urban area of NW Germany. Lindbergia, 32, 75-81. doi: 10.2307/20150241. Kristiyanto., Sitanggang, N. D. H., & Az-zahro, S. F. (2018). Keanekaragaman dan peran ekologi lumut (Bryophyta) di Area Arboretum Wanawisata Pramuka Cibubur. Prosiding Seminar Nasional Biologi, 176-181. Kürschner, H. (2004). Life strategies and adaptations in bryophytes from the near and middle east. Turkish Journal of Botany, 28, 73-84. Lee, G. E. (2013). A systematic revision of the Genus Lejeunea Lib. (Marchantiophyta: Lejeuneaceae) in Malaysia. Bryologie, 34(4), 381-484. Lovadi, I., Cairns, A., & Congdon, R. (2012). A comparison of three protocols for sampling epiphytic bryophytes in tropical montane rainforest. Tropical Bryology, 34, 93-98. Nicotra, A. B., Leigh, A., Boyce, C. K., Jones, C. S., Niklas, K. J., Royer, D. L., & Tsukaya, H. (2011). The evolution and functional significance of leaf shape in The Angiosperms. Functional Plant Biology, 38, 535–552. Oishi, Y. (2019). The influence of microclimate on bryophyte diversity in an urban Japanese garden landscape. Landscape and Ecological Engineering, 15, 167-176. Ompad, D., Galea, S., & Vlahow, D. (2007). Urbanicity, urbanization, and the urban environment. Macrosocial Determinants of Population Health, 53-69. Putrika, A. (2017). Keragaman lumut epifit di hutan kota dan tepi jalan utama kampus universitas Indonesia. Bio-site, 03(1), 25-38 Putrika, A., Wijaya, S. K., Dwiranti, A., Atria, M. (2020). Keanekaragaman jenis lumut hati epifit dan rekaman baru untuk Jawa. Floribunda, 6(4), 133-140. Sabovljević, M., & Sabovljević, A. (2009). Biodiversity within urban areas: A case study on bryophytes of the city of Cologne (NRW, Germany). Plant Biosystems, 143(3), 473-481. Sari, D. P. (2019). Temperatur, kelembapan, dan tekanan udara di Provinsi DKI Jakarta tahun 2019. (2020, December 20). Seppelt, R. D. (2019). Notes on Fissidens (Fissidentaceae) in tropical Australia: Fissidens darwinianus. Acta Musei Silesiae, Scientiae Naturales, 68, 151-155. Setiyani, W., Sitorus, S. R. P., & Panuju, D. R. (2017). Analisis ruang terbuka hijau dan kecukupannya di Kota Depok. Buletin Tanah dan Lahan, 1(1), 121-127. Sharma, S. (2007). Marchantia polymorpha L.: A bioaccumulator. Aerobiologia, 23, 181-187. Shaw, A. J., Cox, C. J., Buck, W. R., Devos, N., Buchanan, A. M., Cave, L., … Temnsch, E. M. (2010). Newly resolved relationships in an early land plant lineage: Bryophyta Class Sphagnopsida (peat mosses). American Journal of Botany, 97(9), 1.511-1.531.


AL-KAUNIYAH: Jurnal Biologi, 16(1), 2023 139 | 10.15408/kauniyah.v15i2.25261| P-ISSN: 1978-3736, E-ISSN: 2502-6720 Slack, N. G. (2011). The ecological value of bryophytes as indicators of climate change. Bryophyte Ecology and Climate Change, 1-12. Szűcs, P. (2017). Bryophyte flora of the Botanic Garden of the University of Sopron (W Hungary). Studia Botanica Hungarica, 48(1), 77-88. Todey, D., & Taylor, E. (2020). Climate adaptation. (2020, December 27). Retrieved from www.agron.iastate.edu/courses/Agron541/classes/541/lesson11a/541L11.pdf: Uttara, S., Bhuvandas, N., & Aggarwal, V. (2012). Impacts of urbanization on environment. International Journal of Research in Education and Science, 2(2), 1637-1645. Vanderpoorten, A., & Goffinet, B. (2009). Introduction to bryophyte. Cambridge: Cambridge University Press. Vujičić, M., Sabovljević, A., & Sabovljević, M. (2011). Axenically culturing the bryophytes: Establishment and propagation of the moss Hypnum cupressiforme Hedw. (Bryophyta, Hypnaceae) in in vitro conditions. Botanica Serbica, 35(1), 71-77. Zander, R.H. (1993). Genera of the Pottiaceae: Mosses of harsh environments. New York: The Buffalo Society of Natural Sciences.


Corresponding Author : *[email protected] Indexed : Garuda, Crossref, Google Scholar 129/138 DOI : https://doi.org/10.29313/jrpwk.v3i2.2743 Identifikasi Potensi Ketersediaan Lahan Ruang Terbuka Hijau Publik di Palmerah Jakarta Barat Nanda Mahrunnisya, Dadan Mukhsin* Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam Bandung, Indonesia A R T I C L E I N F O Article history : Received : 12/9/2023 Revised : 12/12/2023 Published : 24/12/2023 Creative Commons AttributionNonCommercial-ShareAlike 4.0 International License. Volume : 3 No. : 2 Halaman : 129 - 138 Terbitan : Desember 2023 A B S T R A K Kurangnya eksisting ruang terbuka hijau terutama ruang terbuka hijau publik pada kawasan permukiman padat penduduk di perkotaan akan berdampak pada kualitas lingkungan dan kenyamanan kota. Urgensi penelitian ini untuk melihat eksisting, kebutuhan berdasarkan luas wilayah, serta potensi ketersediaan lahan untuk ruang terbuka hijau publik yang berada di Kecamatan Palmerah. Teori yang dijadikan sebagai acuan untuk mengidentifikasi potensi ketersediaan lahan ruang terbuka hijau publik ini berdasarkan kebijakan Peraturan Menteri ATR/KBPN RI Nomor 14 tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. Metode pendekatan yang dipakai yakni secara deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif dengan metode pengumpulan data yakni secara primer (observasi lapangan, dokumentasi) dan sekunder (studi literatur, survey instansional). Metode analisis yang digunakan yakni analisis geospasial untuk pemetaan eksisting ruang terbuka hijau publik, analisis kebutuhan ruang terbuka hijau publik dengan perhitungan statistik, dan overlay peta menggunakan arcgis 10.7. Berdasarkan hasil analisis menghasilkan bahwa lahan yang potensial di untuk dijadikan ruang terbuka hijau publik memiliki luas total sebesar 17,5 Ha atau jika dipersentase yaitu sebesar 2% dari luas wilayah kecamatan. Jika dimaksimalkan maka lahan dapat menambah eksisting ruang terbuka hijau publik yang ada di Kecamatan Palmerah menjadi 32,5 Ha atau bertambah menjadi 4% dari luas wilayah kecamatan. Kata Kunci : Potensi; Ketersediaan; Ruang Terbuka Hijau Publik. A B S T R A C T The lack of existing green open spaces, especially public green open spaces, in densely populated urban residential areas will have an impact on the quality of the environment and the city's comfort. The urgency of this research is to examine the existing situation, assess the area-based needs, and explore the potential availability of land for public green open spaces in Palmerah District. The theory used as a reference to identify the potential availability of land for public green open spaces is based on the policy of Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency (ATR/BPN) Regulation Number 14 of 2022 concerning the Provision and Utilization of Green Open Spaces. The research adopts a descriptive qualitative and descriptive quantitative approach with data collection methods including primary data (field observations, documentation) and secondary data (literature review, institutional surveys). The analysis methods used include geospatial analysis for mapping the existing public green open spaces, analysis of the area- based needs for public green open spaces using statistical calculations, and overlaying maps using ArcGIS 10.7. Based on the analysis, it is found that the potentially suitable land for public green open spaces has a total area of 17.5 hectares or approximately 2% of the district's total area. If maximized, the land can increase the existing public green open spaces in Palmerah District to 32.5 hectares or approximately 4% of the district's total area. Keywords : Potential; Availability; Public Green Open Space. @ 2023 Jurnal Riset Perencanaan Wilayah dan Kota Press. All rights reserved.


Nanda Mahrunnisya et al. Identifikasi Potensi Ketersediaan Lahan, .... 130/138 Volume 3, No. 2, Desember 2023 A. Pendahuluan Wilayah perkotaan menjadi pusat berbagai aktivitas masyarakat, termasuk kegiatan ekonomi, sosial, perdagangan, industri, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan sebagainya. Seiring dengan semakin banyaknya aktivitas tersebut, permintaan untuk mengembangkan lahan di perkotaan juga meningkat guna membangun fasilitas penunjang infrastruktur perkotaan. Namun, hal ini menyebabkan peningkatan kepadatan penduduk dan perubahan penggunaan lahan di perkotaan, dengan mengalihfungsikan ruang terbuka hijau untuk penggunaan lainnya. Akibatnya, lahan untuk ruang terbuka hijau menjadi terpinggirkan. Dalam upaya mewujudkan pembangunan perkotaan yang optimal, para pemangku kepentingan perlu memiliki rancangan tata ruang sebagai pedoman untuk mengurangi permasalahan yang mungkin timbul dalam proses pembangunan [1]. Ruang terbuka hijau, dengan fungsi ekologisnya, membantu dalam pemeliharaan ekosistem yang telah rusak atau hilang karena aktivitas manusia yang merusak lingkungan. Dalam hal sifatnya, ruang terbuka hijau dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari ruang terbuka lingkungan [2]. Dalam Peraturan Menteri ATR/KBPN Nomor 14 tahun 2022 penyediaan ruang terbuka hijau paling sedikit 30% dari luas wilayah kota/kawasan perkotaan, terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat [1]. Adanya ruang terbuka hijau dalam suatu perkotaan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan ruang untuk aktivitas masyarakat dengan keberlangsungan ekosistem lingkungan [2]. Kota Jakarta merupakan kota megapolitan yang perkembangan pembangunan fisiknya berkembang dengan cepat. Seiring perkembangan pembangunan peningkatan jumlah penduduk di Kota Jakarta mengakibatkan semakin banyaknya aktivitas dan mengalami penurunan kualitas lingkungan karena bertambahnya lahan terbangun yang mengakibatkan lahan untuk ruang terbuka berkurang. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area yang terbuka untuk umum, dapat dikunjungi secara bebas, dan difungsikan sebagai tempat tumbuhnya tanaman alami atau ditanami dengan sengaja[5]. Ruang Terbuka Hijau memiliki fungsi ekologi yang meliputi penjagaan dan pemeliharaan ekosistem untuk makhluk hidup yang telah banyak rusak atau hilang karena aktivitas manusia yang merusak lingkungan. Selain itu, RTH juga berperan sebagai pencegah degradasi lahan, peningkat daerah resapan air, dan pengatur kandungan karbon dioksida (CO2) dalam udara[6]. Pada wilayah DKI Jakarta, luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) masih jauh dari target 30% dari total luas Kota Jakarta. Hal ini disebabkan oleh keadaan saat ini di mana terdapat 168.646 bangunan yang berdiri di atas area yang seharusnya digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau, dimana seharusnya bangunan tidak diizinkan untuk berdiri di area yang ditetapkan sebagai zona Ruang Terbuka Hijau (RTH). Persentase lahan non-hijau yang berada di atas zona Ruang Terbuka Hijau adalah 19,9%, sedangkan lahan hijau yang masih berada di zona Ruang Terbuka Hijau mencapai 80,1%, dengan luas total 6.057,1 Ha (Buku Fakta RDTR DKI Jakarta, 2021) [3]. Karena kondisi tersebut, proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di DKI Jakarta masih belum mencapai persentase minimal yaitu 20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Kendala dan permasalahan dalam implementasi penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga menjadi penyebab belum tercapainya target penyediaan RTH dan fungsi RTH di permukiman[8]. Jakarta Barat merupakan salah satu kota yang berada di Provinsi DKI Jakarta dengan pembangunan yang pesat. Penggunaan lahan eksisting ruang terbuka hijau (RTH) pada kawasan Jakarta Barat hanya 4% atau sekitar 496,99 Ha dari total luasan kawasan Jakarta Barat yang sebesar 13119,30 Ha dengan 8 kecamatan. Dimana Jakarta Barat ini masih jauh dari kebijakan yang mengharuskan rth publik 20% dan rth privat 10%. Kurangnya eksisting RTH terutama RTH publik pada kawasan permukiman padat penduduk di perkotaan akan berdampak pada kualitas lingkungan dan kenyamanan kota. Selain itu, sempitnya RTH pada suatu perkotaan juga dapat mengakibatkan penurunan ketersediaan air tanah karena area tanah terbuka dapat menampung air hujan yang nantinya menembus ke lapisan tanah sehingga air tanah akan tersedia (Buku Analisis RDTR DKI Jakarta, 2021) [4]. Terdapat 8 Kecamatan di Jakarta Barat, Kecamatan Palmerah adalah salah satu kecamatan yang memiliki klasifikasi kepadatan penduduk padat yaitu sebesar 289,36 jiwa/ha dengan luas wilayah sekitar 751 ha dan jumlah penduduk 217.310 jiwa (Buku Analisis RDTR DKI Jakarta, 2021) [4]. Melihat kondisi Kecamatan Palmerah memiliki kepadatan penduduk yang padat maka dengan mengidentifikasi lahan yang berpotensi untuk RTH Publik di Kecamatan Palmerah ini dapat membantu untuk menambah eksisting ruang terbuka hijau


Jurnal Riset Perencanaan Wilayah dan Kota (JRPWK) e-ISSN 2798-6561 | p-ISSN 2808-3113 131/138 (RTH) publik serta untuk menyeimbangkan kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) publik yang sekaligus membantu ekosistem perkotaan juga dapat meningkatkan lingkungan sehat yang jauh dari berbagai permasalahan lingkungan. Berdasarkan penelitian terdahulu (Fachriani, 2017) [2], menyatakan bahwa luas ruang terbuka hijau di Kecamatan Palmerah Jakarta Barat pada tahun 2015 belum memenuhi standar kriteria yang ditetapkan Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yaitu luas ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan 30% dari luas wilayah. Dalam penelitian terdahulu menyarankan untuk diperlukannya upaya untuk menambah luas ruang terbuka hijau agar memenuhi ketentuan yang sudah diberlakukan, salah satu upayanya yaitu dengan menambah ruang terbuka hijau dengan memaksimalkan potensi lahan yang ada pada Kecamatan Palmerah. Penelitian ini merupakan salah satu upaya melanjutkan penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan yang bertujuan untuk melihat eksisting dan kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) Publik di Kecamatan Palmerah serta potensi ketersediaan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) publik yang berada di Kecamatan Palmerah Jakarta Barat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut: “Berapa kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) publik di Kecamatan Palmerah Kota Jakarta Barat?” dan “Dimana lahan yang berpotensi untuk menambah ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting?”. Selanjutnya, tujuan dalam penelitian ini diuraikan dalam pokok-pokok sbb. Mengidentifikasi kebutuhan ruang terbuka terbuka hijau (RTH) publik di Kecamatan Palmerah, Kota Jakarta Barat dan Mengidentifikasi lahan yang berpotensi untuk menambah ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting yang ada pada Kecamatan palmerah, Kota Jakarta Barat. B. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan campuran (kualitatif dan kuantitatif). Peneliti menggunakan metode pendekatan deskriptif. Penelitian ini dilakukan pendekatan data sebaran RTH publik yang didapatkan dari survey instansional dan melakukan observasi dan dokumentasi lapangan untuk mengecek ulang data sebaran RTH publik dari dinas. Kemudian dipetakan menggunakan ArcGIS 10.7 untuk mempermudah mengetahui luasan, letak lokasi dan tipologi RTH publik (kawasan/zona RTH) yang ada di Kecamatan Palmerah. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan, survey instansional, studi literatur dan dokumentasi. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis geospasial untuk pemetaan eksisting (RTH) publik, analisis kebutuhan RTH publik berdasarkan luas wilayah dan overlay peta menggunakan arcgis 10.7. C. Hasil dan Pembahasan Eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik Data RTH publik eksisting yang diambil dilapangan dibatasi hanya tipologi kawasan/zona RTH. Hasil dari groundcheck yang dilakukan peneliti untuk RTH publik eksisting yang ada di Kecamatan Palmerah ini memiliki luas total sebesar 14 Ha atau seperti pada tabel 1. Tabel 1. Tipologi RTH Publik Eksisting Kecamatan Palmerah RTH Publik Eksisting Luas (Ha) Taman Kota 3,2 Taman Lingkungan 1,9 Taman RW 0,6 Taman RT 0,6


Nanda Mahrunnisya et al. Identifikasi Potensi Ketersediaan Lahan, .... 132/138 Volume 3, No. 2, Desember 2023 Tabel 1. Tipologi RTH Publik Eksisting Kecamatan Palmerah RTH Publik Eksisting Luas (Ha) Taman Lainnya 0,3 Lapangan Olahraga 1,1 Pemakaman 2,1 Jalur Hijau 4,0 Total 14 Sumber: Data Penelitian, 2023. Pada tabel 2 terdapat tabel ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting di Kecamatan Palmerah dengan dibandingkan luas wilayah kelurahan, kecamatan dan kota yang bertujuan untuk melihat persentase ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting. Tabel 2. Ketersediaan RTH Publik Eksisting Kecamatan Palmerah No. Kelurahan Luas Wilayah (Ha) Luas RTH Publik Eksisting (Ha) Persentase Terhadap Luas Wilayah Kelurahan Persentase Terhadap Luas Wilayah Kecamatan Luas Wilayah Kota (Ha) Persentase Terhadap Luas Wilayah Kota 1 Jati Pulo 83,5 0,6 1% 0,08% 2500,3 0,024% 2 Kemanggisan 210,1 7,2 3% 0,98% 2500,3 0,288% 3 Kota Bambu Utara 58,5 0,3 1% 0,05% 2500,3 0,014% 4 Kota Bambu Selatan 66,6 0,9 1% 0,13% 2500,3 0,037% 5 Palmerah 220,5 4,4 2% 0,60% 2500,3 0,177% 6 Slipi 97,5 0,3 0% 0,04% 2500,3 0,013% Total 736,8 14 2% Total 0,6% Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2023. Dari tabel di atas, ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting yang ada pada Kecamatan Palmerah memiliki luas sebesar 14 Ha. Ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting Kecamatan Palmerah yaitu sebesar 2% dari luas wilayah kecamatan dan 0,6% dari luas wilayah kota. Persentase tersebut masih jauh dari ketentuan minimal ruang terbuka hijau (RTH) publik sebesar 20%. Maka dari itu Kecamatan Palmerah perlu menambah ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting untuk menyeimbangkan ekosistem perkotaan. Pada penelitian ini memiliki ruang lingkup wilayah mikro Kecamatan Palmerah, data yang dipakai dan difokuskan untuk analisis adalah data luas ruang terbuka hijau (RTH) publik berdasarkan luas wilayah kecamatan. Untuk melihat pemetaan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting di 6 kelurahan yang ada pada Kecamatan Palmerah dapat dilihat pada gambar 1.


Jurnal Riset Perencanaan Wilayah dan Kota (JRPWK) e-ISSN 2798-6561 | p-ISSN 2808-3113 133/138 Gambar 1. Pemetaan RTH Publik Eksisting Kelurahan di Kecamatan Palmerah


Nanda Mahrunnisya et al. Identifikasi Potensi Ketersediaan Lahan, .... 134/138 Volume 3, No. 2, Desember 2023 Kebutuhan RTH Publik Kecamatan Palmerah Analisis kebutuhan RTH publik berdasarkan luas wilayah ini ditujukan untuk melihat berapa kebutuhan ruang terbuka hijau publik yang harus dipenuhi sesuai Peraturan Menteri ATR/KBPN No.14 tahun 2022. Pada peraturan tersebut RTH paling sedikit 30% dari luas wilayah kota atau kawasan perkotaan yang terdiri dari 20% RTH publik dan 10% RTH privat, yang mana pada eksisting RTH publik di Kecamatan Palmerah ini masih < 20% dari luas wilayahnya, maka diperlukan peningkatan kuantitas RTH publik. Berikut ini adalah hasil perhitungan kebutuhan RTH publik berdasarkan luas wilayah di Kecamatan Palmerah. Kebutuhan RTH Publik = 20/100 x luas wilayah Kebutuhan RTH Publik = 20/100 x 736,8 Ha = 147,4 Ha Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan RTH publik di Kecamatan Palmerah, total RTH publik yang harus tersedia yaitu minimal sebesar 147,4 Ha atau 20% dari luas wilayah Kecamatan Palmerah yang sebesar 736,8 Ha. Adapun RTH publik eksisting yang sudah tersedia di Kecamatan Palmerah ini sebesar 14 Ha atau sekitar 2% dan total kekurangan sebesar 133,4 Ha atau 18% dari luas wilayah Kecamatan Palmerah. Analisis Potensi Lahan RTH Publik Kecamatan Palmerah Analisis Potensi Lahan RTH publik ini dilakukan dengan cara overlay 3 peta yaitu peta penggunaan lahan tidak terbangun yang berada pada Kecamatan Palmerah, peta pola ruang RDTR Kecamatan Palmerah dan peta status hak kepemilikan lahan. Sebelum melakukan overlay 3 peta, untuk data penggunaan lahan sudah dilakukan validasi terlebih dahulu dengan cara groundcheck lapangan yang kemudian menghasilkan data penggunaan lahan tidak terbangun yang berada di Kecamatan Palmerah. Lalu untuk data status hak kepemilikan lahan yang dioverlay adalah hanya status hak kepemilikan lahan tidak terbangun yang berada di Kecamatan Palmerah. Data-data tersebut yang kemudian akan dioverlay dengan peta pola ruang RDTR Kecamatan Palmerah. Berikut pada gambar 2 merupakan ilustrasi overlay peta dalam penelitian ini. Gambar 2. Ilustrasi Overlay Peta Penelitian


Jurnal Riset Perencanaan Wilayah dan Kota (JRPWK) e-ISSN 2798-6561 | p-ISSN 2808-3113 135/138 Berdasarkan hasil analisis dengan melakukan overlay peta menggunakan ArcGIS 10.7 terdapat 2 kategori yaitu memiliki potensi dan tidak memiliki potensi. Pada tabel 3 berikut merupakan hasil overlay dalam penelitian ini. Tabel 3. Hasil overlay Penggunaan Lahan Tidak Terbangun Status Hak Kepemilikan Pola Ruang RDTR Luas (Ha) Luas (Ha) Hasil Lahan Kosong Hak Guna Bangunan Perumahan Kepadatan Sangat Tinggi 1,665 14,11 5 Memiliki Potensi Perdagangan dan Jasa Skala Kota 4,21 Perdagangan dan Jasa Skala WP 8,24 Hak Milik Perumahan Kepadatan Sangat Tinggi 2,106 3,38 Tidak Memiliki Potensi Perdagangan dan Jasa Skala Kota 0,16 Perdagangan dan Jasa Skala WP 0,932 Perdagangan dan Jasa Skala SWP 0,182 Hak Pakai Perumahan Kepadatan Sangat Tinggi 0,136 0,136 Memiliki Potensi Belum Terdaftar Jalur hijau 0,95 3,271 Memiliki Potensi Perdagangan dan Jasa Skala WP 0,064 Perumahan Kepadatan Sangat Tinggi 2,194 Perdagangan dan Jasa Skala SWP 0,063 Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2023.


Nanda Mahrunnisya et al. Identifikasi Potensi Ketersediaan Lahan, .... 136/138 Volume 3, No. 2, Desember 2023 Menurut Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 tahun 2022 penggunaan lahan yang sesuai untuk ruang terbuka hijau (RTH) yaitu area memanjang/jalur dan/atau mengelompok dan yang penggunaannya bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dikarenakan lahan tidak terbangun yang berada di Kecamatan Palmerah ini lahan kosong yang mana merupakan suatu area tanah terbuka yang sifatnya terbuka, maka dari itu lahan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang dapat dijadikan lahan potensial untuk ruang terbuka hijau (RTH). Kemudian untuk status hak kepemilikan lahan yang dapat dijadikan potensi yaitu lahan tidak terbangun yang memiliki hak guna bangunan, hak pakai dan lahan yang belum terdaftar. Karena dalam peraturan undang-undang RI no 5 tahun 1960, hak guna bangunan dapat sewaktu-waktu ditarik menjadi milik pemerintah untuk dikelola sesuai kebutuhan dan dapat berubah hak jika hak tersebut diubah menjadi hak milik. Kemudian untuk hak pakai dapat dijadikan potensi lahan ruang terbuka hijau (RTH) publik karena hak pakai dapat diberikan sesuai keputusan pejabat berwenang atau berdasarkan kesepakatan dengan pemilik tanah, dan lahan yang belum terdaftar sertifikatnya dapat dijadikan potensi lahan ruang terbuka hijau (RTH) publik terutama jika pemerintah dengan cepat langsung mengurus pembuatan surat sertifikat lahan agar lahan tersebut dapat dikelola pemerintah [5]. Hak milik tidak dapat dijadikan potensi untuk dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) publik karena hak milik merupakan hak atas tanah yang paling kuat dan paling penuh dari hak-hak lainnya yang dimiliki orang atas tanah dan sudah bersurat secara resmi [5]. Berdasarkan hasil overlay peta, lahan tidak terbangun di Kecamatan Palmerah yang teridentifikasi memiliki peruntukan pola ruang RDTR yakni Perumahan Kepadatan Sangat Tinggi, Perdagangan dan Jasa Skala Kota, Perdagangan dan Jasa Skala WP, Perdagangan dan Jasa Skala SWP, dan Jalur Hijau. Menurut Peraturan Menteri ATR/KBPN RI No. 14 tahun 2022 [1] mengenai program perwujudan pola ruang pada kawasan/zona lainnya, peruntukan kawasan/zona lainnya dapat ditetapkan untuk memiliki fungsi tambahan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) akan tetapi tanpa mengurangi fungsi utamanya. Maka meski peruntukan lahan tidak untuk ruang terbuka hijau (RTH), lahan yang tidak terbangun yang ada pada Kecamatan Palmerah ini memiliki potensi untuk ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) publik. Dari hasil analisis dengan overlay peta yang telah dilakukan peneliti, untuk lahan yang berpotensi dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) publik memiliki luas total sebesar 17,5 Ha atau jika di persentase yaitu sebesar 2% dari luas wilayah kecamatan. Maka dari itu jika lahan yang berpotensi dimaksimalkan untuk dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) publik, luas 17,5 Ha atau 2% bisa menambah eksisting ruang terbuka hijau (RTH) publik yang ada di Kecamatan Palmerah menjadi 31,5 Ha atau bertambah menjadi 4% dari luas wilayah kecamatan. Sehingga jika lahan yang tidak terbangun dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) publik total kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) publik di Kecamatan Palmerah berkurang menjadi 115,9 Ha atau 16% dari luas wilayah kecamatan. Lengkapnya dapat dilihat pada tabel 4 dan gambar 3 untuk lahan potensial RTH publik di Kecamatan Palmerah. Tabel 4. Hasil data Luas Wilayah Kecamatan Palmerah (Ha) Kekurangan RTH Publik Kecamatan Palmerah (Ha) Lahan Potensial RTH Publik Kecamatan Palmerah (Ha) RTH Publik Eksisting Kecamatan Palmerah (Ha) 736,8 133,4 17,5 14 100% 18% 2% 2% Sumber: Data Penelitian yang Sudah Diolah, 2023.


Jurnal Riset Perencanaan Wilayah dan Kota (JRPWK) e-ISSN 2798-6561 | p-ISSN 2808-3113 137/138 Gambar 3. Lahan Potensial D. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan sebagai berikut, Menurut Peraturan Menteri ATR/KBPN No.14 tahun 2022 kewajiban minimal kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting berdasarkan luas wilayah pada Kecamatan Palmerah yaitu sebesar 147,4 Ha atau 20% dari luas wilayah Kecamatan Palmerah. Adapun jika diselisihkan dengan luas ruang terbuka hijau (RTH) publik eksisting sebesar 14 Ha atau 2% dari luas Kecamatan Palmerah, hasil selisih yaitu sebesar 133,4 Ha atau 18%. Hasil overlay peta penggunaan lahan tidak terbangun yang berada pada Kecamatan Palmerah, peta pola ruang RDTR Kecamatan Palmerah dan peta status hak kepemilikan lahan terdapat 2 kategori yaitu memiliki potensi dan tidak memiliki potensi. Lahan yang potensial untuk dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) publik memiliki luas total sebesar 17,5 Ha atau dipersentase yaitu sebesar 2% dari luas wilayah kecamatan. Jika lahan yang berpotensi dimaksimalkan untuk dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) publik, luas 17,5 Ha atau 2% bisa menambah eksisting ruang terbuka hijau (RTH) publik yang ada di Kecamatan Palmerah menjadi 32,5 Ha atau bertambah menjadi 4% dari luas wilayah kecamatan. Untuk titik lahan yang berpotensi dapat dilihat pada gambar 3. Daftar Pustaka [1] P. Handayani, Nazarudin, and Nuribadah, “Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH) Implementasi Ruang Terbuka Hijau Publik (Suatu Tinjauan Berdasarkan Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bireuen),” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Hukum (JIM FH), vol. 4, no. 3, 2021, [Online]. Available: http://iyan88simple.blogspot.com /2012/09/penataan- [2] E. Budihardjo and D. Sujarto, Kota Yang Berkelanjutan. PT Alumni, 2005. [3] Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, “Peraturan Menteri ATR/BPN Republik Indonesi Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau,” Peraturan Menteri ATR/BPN Republik Indonesi Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau, pp. 1–13, 2022. [4] N. Fachriani, Analisis Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Dengan Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (Sig) Di Kecamatan Palmerah Jakarta Barat. 2017. [5] A. U. Nurhasan and V. Damayanti, “Evaluasi Fungsi Ekologis Taman Kota dalam Upaya Peningkatan Kualitas Ruang Perkotaan,” Jurnal Riset Perencanaan Wilayah dan Kota, vol. 1, no. 2, pp. 149–158, Feb. 2022, doi: 10.29313/jrpwk.v1i2.479.


Nanda Mahrunnisya et al. Identifikasi Potensi Ketersediaan Lahan, .... 138/138 Volume 3, No. 2, Desember 2023 [6] M. W. Purnamaselfi and H. Widyasamratri, “Studi Literatur : Analisis Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Urban,” Jurnal Kajian Ruang, vol. 1, no. 1, 2021. [7] Buku Fakta RDTR DKI Jakarta, Buku Fakta Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta, vol. 89, no. 2. 2021. [8] Indah Susilowati and Nurini, “Konsep Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH)padaPermukiman Kepadatan Tinggi,” Jurnan Pembangunan Wilayah dan Kota, vol. 9, no. 4, 2013. [9] Buku Analisis RDTR DKI Jakarta, Buku Analisis Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta. 2021. [10] BPK, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria,” Undang-Undang No.5 Tahun 1960, no. 1, pp. 1–5, 2004.


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 240 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala ANALISIS URGENSI PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN DI PROVINSI DKI JAKARTA Wildan Fido Ramadhan 1 , Syifa Aulia Zahra2 1,2Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta [email protected], 2 [email protected] ABSTRAK DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi sekaligus kota di Indonesia yang menjadi pusat pembangunan dari berbagai sektor. Hal ini tentunya berdampak pada bertambahnya jumlah penduduk di DKI Jakarta karena banyak sekali pendatang yang merantau ke DKI Jakarta sehingga mereka akan berusaha untuk tinggal di Jakarta. Hal tersebut menyebabkan pembangunan gedung dan permukiman kian meningkat dan berdampak pada sempitnya ketersediaan lahan, khususnya lahan dan ruang hijau sebagai habitat ekologis. Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk menciptakan ruang hijau sebagai penunjang keberlangsungan ekologis atau kelestarian lingkungan di DKI Jakarta dan dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik, apalagi hal ini selaras dengan regulasi dari pemerintah terkait penyediaan ruang terbuka hijau sebanyak 30% dari luas wilayahnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan model studi literatur. Sehingga penelitian ini memaparkan analisis data yang didapat dari berbagai hasil penelitian sebelumnya yang sudah terpublikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberi gambaran terkait urgensi dan perlunya pendirian ruang terbuka hijau di wilayah DKI Jakarta sebagai upaya pelestarian lingkungan. Kata kunci: Ruang Terbuka Hijau, Jakarta, Kota, Penduduk, Lingkungan ABSTRACT DKI Jakarta is one of the provinces and cities in Indonesia which is the center of development for various sectors. This of course has an impact on increasing the number of residents in DKI Jakarta because there are so many migrants who migrate to DKI Jakarta so they will try to live in Jakarta. This causes the construction of buildings and settlements to increase and has an impact on the limited availability of land, especially land and green spaces as ecological habitats. Thus, efforts are needed to create green spaces to support ecological sustainability or environmental sustainability in DKI Jakarta and can be utilized as public spaces, moreover this is in line with government regulations regarding the provision of green open spaces as much as 30% of the total area. This research uses a descriptive method with a literature study model. So this study describes the analysis of data obtained from various published previous research results. The purpose of this research is to provide an overview regarding the urgency and need for the establishment of Green Open Spaces in the DKI Jakarta area as an effort to preserve the environment. Keywords: Green Open Space, Jakarta, City, Population, Environment Dikirim: 01-06-2023; Disetujui: 24-12-2023; Diterbitkan: 26-12-2023


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 241 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN Pembangunan yang terjadi di wilayah DKI Jakarta kerap diimbangi dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk ini tiap tahun mengalami peningkatan cukup signifikan. Dampaknya, ketersediaan wilayah di Provinsi DKI Jakarta kian mengalami penurunan dan membuat ruang di Provinsi DKI Jakarta mengalami penyempitan. Lahan di wilayah DKI Jakarta yang sebelumnya banyak didominasi oleh lahan kosong dan kebun-kebun kini nampaknya telah mengalami perubahan menjadi sebuah permukiman yang ramai penduduk dengan wujud permukiman yang padat. Tentunya, hal ini terjadi karena banyaknya masyarakat rantauan yang memilih menetap dan tinggal di Jakarta. Sehingga, kebutuhan lahan pun kian mengalami peningkatan dan kapasitasnya kian mengalami penyusutan. Memang secara umum, pembangunan kota di Indonesia belum memusatkan pada kelestarian lingkungan karena cenderung mengedepankan pembangunan secara infrastruktur dan ekonomi. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sebagian besar wilayah di DKI Jakarta telah didominasi lahan permukiman, sehingga memerlukan lahan terbuka hijau sebagai bentuk upaya dalam melestarikan lingkungan agar kondisi udara, ketersedian lahan, nilai estetika, dan sarana sosial di Jakarta tetap terjaga. Hadirnya ruang terbuka hijau di Jakarta tentunya turut berkontribusi dalam pemanfaatan lahan sebagai sarana publik, khususnya sebagai tempat pelestarian lingkungan, peningkat nilai estetika sebuah kota, dan juga sarana sosial dan budaya. Ruang terbuka hijau dapat diwujudkan dalam bentuk taman kota atau hutan kota. Menurut PP No.63 Tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak yang ditetapkan sebagai hutan Kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian, dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Dengan demikian, kehadiran ruang terbuka hijau yang diwujudkan dalam bentuk hutan kota maupun taman kota memiliki peran yang sangat penting dan fundamental dalam menciptakan kelestarian dan keasrian lingkungan. Sehingga dengan hadirnya hutan kota sebagai ruang terbuka hijau diharapkan mampu menciptakan lingkungan perkotaan yang lestari dan asri, lalu di sisi lain juga dapat menjadi sarana dari aktivitas sosial dan budaya masyarakat DKI Jakarta. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa permasalahan pengelolaan dan


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 242 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala ketersediaan lahan di DKI Jakarta sudah masuk dalam tahap yang mengkhawatirkan, pasalnya semakin ke depan ketersediaan lahan di DKI Jakarta mengalami penurunan karena jumlah pendatang juga semakin bertambah. Alhasil, banyak area hijau yang dialihfungsikan menjadi lahan permukiman. Tentunya hal ini menjadi sebuah masalah besar bila seluruh wilayah DKI Jakarta mengalami alih fungsi lahan karena akan bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah diamanatkan bahwa salah satu strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan adalah dengan mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan. Berdasarkan regulasi yang termaktub di dalam Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang Dalam pasal 29 bahwa RTH sebuah kota terdiri dari dua jenis yaitu RTH publik dan RTH privat. Sebuah wilayah perkotaan diharuskan memiliki RTH dengan proporsi minimum 30% dari luas wilayahnya, yang terdiri dari RTH publik sebesar 20% dan RTH privat sebesar 10%. Pada 2011, DKI Jakarta hanya memiliki sekitar 10% saja sehingga pemerintah DKI Jakarta terus mengupayakan hingga RTH di DKI Jakarta mencapai 20% guna mencapai (Novianty, Neolaka, & Rahmayanti, 2012). Upaya pemerintah ini sangat terlihat hingga akhir kepemimpinan gubernur Anies Baswedan di mana jumlah RTH publik mulai banyak didirikan di wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan penataan ruang terbuka hijau di seluruh wilayah DKI Jakarta, karena semata-mata untuk melestarikan lingkungan dan menjaga ekosistem sekitar agar tidak mengalami degradasi lingkungan. Apalagi DKI Jakarta sudah memiliki problematika lainnya dalam aspek lingkungan seperti polusi udara, air, dan tanah. Dengan demikian, penyedian RTH menjadi sangat urgen sebagai upaya pelestarian lingkungan wilayah DKI Jakarta. METODE PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitian ini, metodologi yang digunakan dalam artikel ilmiah ini adalah deskriptif dengan model studi literatur. Metode studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan penelitian (Zed, 2008:3). Pengumpulan data yang menggunakan karya ilmiah dari hasil penelitian yang sudah terpublikasi dimaksudkan untuk memberi gambaran permasalahan sehingga dapat dianalisis


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 243 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala dengan baik dan mencapai tujuan penulisan artikel ini. Maka dalam artikel ilmiah ini, semua pembahasan diulas dengan menganalisis referensi dari hasil penelitian yang sudah terpublikasi. Baik melalui media internet maupun bersumber dari buku. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian Ruang Terbuka Hijau Menurut Peraturan Mentri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ruang terbuka hijau merupakan sebuah wilayah yang diciptakan sebagai upaya dalam menyeleraskan sektor ekologis dan sosial. Artinya, RTH dapat dimanfaatkan sebagai tempat hidup bagi tumbuhan dan tanaman serta ruang publik bagi manusia untuk berinteraksi atau melakukan suatu aktivitas. Manfaat Ruang Terbuka Hijau Bersumber pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992), dan KTT Johannesburg, Afrika Selatan (2002), RTH yang perlu dimiliki oleh sebuah kota adalah minimal 30% dari total luas kota. Wilayah yang memiliki ciri kekotaan yang kuat akan mengalami keadaan dimana semakin menurunnya kualitas dan kuantitas RTH yang dapat dialihkan karena adanya tuntutan bagi kebutuhan pertumbuhan sarana dan prasarana kota, sebagai konsekuensi dari meningkatnya kebutuhan warga kota sebagai sarana kegiatan masyarakat. Manfaat yang dapat diharapkan dari perencanaan RTH di wilayah perkotaan, yaitu: a. Sarana untuk mencerminkan identitas (citra) daerah. b. Sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan. c. Sarana rekreasi aktif dan rekreasi pasif, serta interaksi sosial. d. Meningkatkan nilai ekonomis lahan perkotaan. e. Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah. f. Sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa, dan manula. g. Sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat. h. Memperbaiki iklim mikro.


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 244 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala i. Meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan. Adanya upaya perencanaan RTH ini dilakukan sebagai upaya dalam memberi arah pada berbagai kegiatan pembangunan, agar perubahan dapat berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya, sehingga dapat memberikan sifat kehidupan yang terjaga keseimbangannya antara ruang terbangun dengan ruang terbuka (hijau). RTH terdiri dari 3 kelompok utama, yaitu gardening (taman), landscaping (lanskap) dan tree lot (kumpulan vegetasi pohon berupa hutan). RTH kota ini merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang memiliki fungsi sebagai hutan lindung. Menurut Chafid Fandeli, Kaharuddin, Mukhlison (2004), kawasan RTH kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau, hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, dan kawasan hijau pekarangan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Shirvani (1985), ruang terbuka hijau adalah salah satu di antara delapan unsur-unsur perancangan kota, yaitu tata guna lahan (land use), bentuk dan massa bangunan (building form and massing), sirkulasi dan parkir (circulation and parking), ruang terbuka kota (open space), jalur pejalan kaki (pendistrian), pendukung aktivitas perkotaan (activity support), keterhubungan (linkage), dan pelestarian (preservation). Urgensi Ruang Terbuka Hijau bagi Pelestarian Lingkungan Adanya penataan ruangan yang diperuntukkan sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang adalah satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, dalam wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten, dan wilayah kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sangat penting, seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2, yang berbunyi “Proporsi Ruang Terbuka Hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari wilayah kota. Selanjutnya dalam pasal 29 ayat 3 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota adalah sebesar 30%. Angka tersebut diharapkan dapat menjadikan penataan kota menjadi lebih seimbang sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Pengembangan ruang terbuka hijau dilaksanakan dengan melakukan penghijauan dengan tumbuhan secara alami maupun dengan tanaman budi daya. Dari segi aspek fisik, ruang terbuka hijau dapat dibedakan menjadi beberapa bagian, yaitu ruang terbuka hijau alami dan ruang terbuka hijau non alami. Ruang terbuka hijau alami terdiri dari kawasan lindung dan taman


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 245 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala nasional, sedangkan ruang terbuka hijau non alami terdiri dari taman, kebun bunga, dan lainlain. Ruang terbuka hijau memili beberapa fungsi, diantaranya yaitu: 1. Fungsi hidrologis, yaitu melindungi kelestarian tanah dan air. 2. Fungsi klimatologis, yaitu menciptakan iklim mikro sebagai akibat proses fotosintesis dan respirasi tanaman. 3. Fungsi higenis, ruang terbuka hijau mampu untuk mereduksi polutan udara maupun air. 4. Fungsi edukatif, ruang terbuka hijau dapat menjadi sumber pengetahuan masyarakat tentang flora dan mengenal manfaat atau khasiat suatu tanaman. 5. Fungsi estetis, ruang terbuka hijau dapat memberikan keindahan pada lingkungan sekitar melalui keindahan warna, bentuk, dan kombinasi. 6. Fungsi sosial ekonomi, ruang terbuka hijau sebagai tempat kegiatan sosial dan dapat menjadikan nilai ekonomi. Kebijakan Pemerintah Terkait Pelestarian Lingkungan Pelaksanaan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau dalam mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah melalui wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Seperti yang tercantum pada pasal 11 Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur: “Wewenang pemerintah daerah kabupaten dan kota dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kota dan kawasan strategi kabupaten dan kota. Ruang Terbuka Hijau dirancang dengan ukuran yang sangat luas. Ruang Terbuka Hijau memiliki banyak peraturan perundang-undangan, diantaranya yaitu: 1. Undang-Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 1 butir 31, Pasal 28, 29, 30, dan 31. 2. Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. 4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 246 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala Hubungan antara Ruang Terbuka Hijau dengan Pelestarian Lingkungan DKI Jakarta Adanya ruang terbuka hijau terkadang masih dianggap kurang menguntungkan dibandingkan dengan pembangunan fisik yang dianggap lebih menguntungkan dan cenderung berorientasi pada kepentingan ekonomi. Kebutuhan ruang terbuka hijau yang berfokus pada keberlangsungan fungsi ekologis menjadi kurang terakomodasi dan tentunya dapat berdampak pada permasalahan harga tanah yang semakin tinggi, sehingga sebagian masyarakat lebih memilih untuk membangun bangunan tinggi seperti gedung dibandingkan untuk membangun ruang terbuka hijau yang merupakan area yang luas. Semakin meningkatnya pembangunan akan berdampak pada struktur tanah sebagai ruang pembangunan. semakin meningkatnya volume pembangunan, maka struktur tanah mengalami perubahan yang cukup besar. Banyak tanah atau ruang yang seharusnya bisa digunakan untuk ruang terbuka hijau kini beralih fungsi menjadi tanah yang dipergunakan untuk permukiman, perkantoran, pusat bisnis, dan kepentingan lainnya. Daerah DKI Jakarta menjadi salah satu daerah yang sangat padat aktivitasnya mulai dari aktivitas sosial hingga ekonomi. Pembangunan yang berada di DKI Jakarta saat ini sangat berfokus pada gedung bertingkat, sehingga menjadikan daerah DKI Jakarta memiliki sedikit ruang terbuka hijau. Adapun beberapa ruang terbuka hijau yang berada di DKI Jakarta sangat membantu dalam mewujudkan lingkungan yang sehat dan bersih. Ruang terbuka hijau di DKI Jakarta juga menyediakan kawasan olahraga, rekreasi, dan fasilitas lain yang mendukung sehingga masyarakat menjadi paham mengenai pentingnya ruang terbuka hijau. Dalam upaya mewujudkan pemenuhan sarana dan prasarana tersebut dapat melibatkan elemen masyarakat serta pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ruang terbuka hijau yang merata. Sehingga Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membenahi tata ruang Ibu Kota dengan memberikan plot lebih banyak dan merata untuk ruang terbuka hijau di seluruh wilayah, dengan berdasarkan pada Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengharuskan tersedianya minimal 30% ruang terbuka hijau dari setiap luas wilayah. PENUTUP Pembangunan wilayah di DKI Jakarta yang kian masif ini merupakan dampak dari pertumbuhan jumlah penduduk di DKI Jakarta yang terus mengalami peningkatan setiap


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 247 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala tahunnya. Pembangunan yang sudah terjadi sejak lama ini cenderung kurang memerhatikan kelestarian lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari semakin menipisnya ketersediaan lahan, termasuk lahan perkebunan liar di wilayah DKI Jakarta yang saat ini sudah banyak berubah menjadi permukiman padat. Tentunya, hal ini menjadi sebuah tantangan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera mengupayakan pelestarian lingkungan dengan cara membuka dan memanfaatkan lahan yang tersedia untuk RTH. Pasalnya RTH sendiri memiliki manfaat secara ekologis dan sosial. Dengan demikian, upaya pelestarian lingkungan melalui program pendirian RTH ini sudah semestinya dilaksanakan semaksimal mungkin mengingat ketersediaan lahan di Jakarta yang kian menipis dan masalah-masalah lingkungan yang juga semakin kompleks. Hadirnya RTH tentunya menjadi sebuah tanda bahwa DKI Jakarta bukan hanya fokus pada sektor pembangunan secara ekonomi saja melainkan juga memperjuangkan kelestarian lingkungan. Dengan didirikannya RTH maka pemanfaatan ruang untuk kelestarian lingkungan jauh akan lebih maksimal karena bukan hanya sektor ekologis saja melainkan juga sektor sosial. Di dalam RTH masyarakat bisa mendapat kesejukan dan kenyamanan karena lingkungan yang lestari kemudian juga dapat memanfaatkan fasilitas yang ada untuk berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, pembangunan RTH sudah menjadi urgensi bagi pemerintah DKI Jakarta agar tercipta kota yang bukan hanya maju dalam sektor ekonomi dan infrastruktur saja melainkan dalam sektor lingkungannya pun juga merasakan hal yang sama. DAFTAR PUSTAKA Arianti, Lin. (2010). Ruang Terbuka Hijau. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Rekayasa, Edisi Januari 2010. Imansari, N., & Parfi K. (2015). Penyediaan Hutan Kota dan Taman Kota sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik Menurut Preferensi Masyarakat di Kawasan Pusat Kota Tangerang. Ruang, Volume 1 Nomor 3, 2015, 101-110. Prakoso, P., & Herdis H. (2019). Analisis Implementasi 30% Ruang Terbuka Hijau di Dki Jakarta. Majalah Ilmiah Globe Vol 21 No 1 April 2019: 17-26. Wemasmaaratri. (2018). Analisis Efektivitas Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus dalam Menurunkan Suhu Udara Mikro. Tugas Akhir: Universitas Islam Indonesia.


Jurnal Pendidikan Geosfer Volume VIII Nomor 2 Tahun 2023 Available at: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JPG P-ISSN: 2541-6936 E-ISSN: 2808-2834 DOI: 10.24815/jpg.v8i2.32236 248 | Jurusan Pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala Darma. Ospi. (2022). Lokasi RTH Diatur Merata Di Semua Wilayah Jakarta. Jakarta: Rakyat Merdeka id. Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. (2020, November 19). Mengenal 5 Manfaat Ruang Terbuka Hijau Bagi Kehidupan. Retrieved from DINAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SEMARANG: https://dlh.semarangkota.go.id/mengenal-5-manfaat-ruangterbuka-hijau-bagi-kehidupan/ Dwiyanto, Agung. (2009). KUANTITAS DAN KUALITAS RUANG TERBUKA HIJAU DI PERMUKIMAN PERKOTAAN. TEKNIK, 88-93. Mawar Kartina, Ratu. (2018). Ruang Terbuka Hijau Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. LOGIKA, 73-79. Safriani, Andi. (2015). URGENSI PENGATURAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG. Jurisprudentie, Vol. 2 No. 2, 23-31. Samsudi. (2010). RUANG TERBUKA HIJAU KEBUTUHAN TATA RUANG PERKOTAAN KOTA SURAKARTA. Journal of Rural and Development, 11-19


How to cite: Mashar, M. F. (2021) Fungsi Psikologis Ruang Terbuka Hijau. Jurnal Syntax Admiration 2(10). https://doi.org/10.46799/jsa.v2i10.332 E-ISSN: 2722-5356 Published by: Ridwan Institute Jurnal Syntax Admiration Vol. 2 No. 10 Oktober 2021 p-ISSN : 2722-7782 e-ISSN : 2722-5356 Sosial Teknik FUNGSI PSIKOLOGIS RUANG TERBUKA HIJAU Mohamad Fakhri Mashar Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat, Indonesia Email: [email protected] INFO ARTIKEL ABSTRAK Diterima 25 September 2021 Direvisi 05 Oktober 2021 Disetujui 15 Oktober 2021 Ruang terbuka hijau memiliki banyak sekali fungsi salah satunya adalah fungsi psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi psikologis ruang terbuka hijau. Metode penelitian ini adalah studi literatur. Studi kepustakaan merupakan kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian, khususnya penelitian akademik yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa fungsi psikologis dari ruang terbuka hijau itu sendiri untuk meredam keramaian, kepadatan dan kesemrawutan yang secara psikologis dapat menimbulkan stres atau depresi. Ruang Terbuka Hijau, sesuai dengan namanya RTH adalah tempat terbuka di alam bebas yang penuh dengan taman hijau yang penuh dengan tatanan tanaman hias, tanaman peneduh yang memberikan kesejukan bagi pengunjung. ABSTRACT Green open space has many functions, one of which is a psychological function. This study aims to examine the psychological function of green open spaces. This research method is literature study. Literature study is an activity that is required in research, especially academic research whose main purpose is to develop theoretical aspects as well as aspects of practical benefits. The results of this study indicate that the psychological function of the green open space itself is to reduce the crowd, density and chaos that can psychologically cause stress or depression. Green Open Space, as the name implies, green open space is an open space in the wild filled with green gardens filled with ornamental plants, shade plants that provide coolness for visitors. Kata Kunci: ruang terbuka hijau; psikologis; amenity Keywords: green open space; psychological; amenities Pendahuluan Sehat adalah kondisi mutlak yang dibutuhkan manusia agar dapat menjalankan fungsi hidupnya dengan lancar dan optimal. (WHO, 2014) mendefinisikan sehat sebagai kondisi yang sempurna secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial, dan bukan hanya terbebas dari penyakit atau cacat. Berdasarkan definisi sehat tersebut, maka sehat


Fungsi Psikologis Ruang Terbuka Hijau Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1931 mental menjadi komponen penting agar seseorang dapat dikatakan sehat. Kesehatan mental didefinisikan sebagai sebuah kondisi sejahtera dimana setiap individu menyadari potensinya, dapat mengatasi tekanan hidup yang normal, dapat bekerja dengan produktif dan sukses, dan mampu berkontribusi dalam komunitasnya (WHO, 2014). Kesehatan mental memiliki peran yang esensial dalam kehidupan manusia, namun pada kenyataannya kesehatan mental menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, begitu pula terjadi di Indonesia. Data WHO menunjukkan bahwa pada tahun 2016 terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia (RI, 2016). Faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan mental manusia adalah faktor biologis, psikologis, sosial budaya, dan lingkungan. Kondisi lingkungan yang sehat akan berpengaruh dan mendukung kesehatan manusia yang ada di sekitarnya, sebaliknya jika kondisi lingkungan tidak sehat maka dapat mengganggu kesehatan manusia, termasuk konteks kesehatan mentalnya (Tambunan, 2010). (Steg et al., 2013) menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan bersifat timbal balik atau resiprokal. Lingkungan dapat memengaruhi perilaku manusia dan sebaliknya perilaku manusia dapat menyebabkan perubahan pada lingkungan. Pada akhir tahun 1960, berbagai penelitian mengenai isu lingkungan muncul untuk menjelaskan serta merubah pengaruh negatif perilaku manusia terhadap lingkungan dan pada efek negatif yang disebabkan oleh manusia (seperti bising dan polusi) yang berpengaruh terhadap well-being dan kesehatan. Sebuah studi di Washington mengenai akses ke ruang terbuka hijau, aktivitas fisik, dan kesehatan mental yang melibatkan 4338 anak kembar mendukung hipotesis bahwa akses yang lebih baik ke ruang terbuka hijau berkaitan dengan tingkat depresi yang lebih rendah. Ruang terbuka hijau dianggap memengaruhi kesehatan mental melalui peningkatan aktivitas fisik, dengan menyediakan tempat bagi warga sekitar untuk bertemu, memfasilitasi ikatan sosial, serta mengurangi stres dan kelelahan mental (Cohen-Cline et al., 2015). Hal tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan (Annerstedt et al., 2012). yang menjelaskan bahwa mereka tidak menemukan hubungan langsung antara green qualities pada lingkungan dengan kesehatan mental. Hal tersebut tidak berarti tidak terdapat hubungan sama sekali diantara keduanya, kurang beragamnya jenis landscape atau bentang darat area yang diteliti kemungkinan menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, perbedaan yang muncul pada hasil penelitian menjadi lebih sedikit. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi baik endemik maupun introduksi (Dwiyanto, 2009). RTH memiliki berbagai fungsi, yaitu ekologi (paru-paru kota), rekreasi dan ruang tempat warga bersilaturahmi, estetis (memperindah pemukiman, perkantoran, dll), planologi dalam tata kota (menjadi pembatas antara satu ruang dengan ruang lain), pendidikan (sarana belajar tanaman dan ruang tempat satwa), serta fungsi ekonomis (Hijau, 2016). Ruang terbuka hijau dapat menjadi sebuah alternatif tempat refreshing atau rekreasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat


Mohamad Fakhri Mashar 1932 Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 perkotaan karena sifatnya yang ekonomis. Rekreasi di alam terbuka atau outdoor recreation dapat digunakan sebagai media terapeutik yang layak bagi orang- orang dengan gangguan kesehatan mental. Salah satu manfaat biopsikososial dari rekreasi di alam terbuka adalah manfaat emosional, hal ini meliputi perbaikan suasana hati, pengalihan dari gangguan kesehatan mental, peningkatan mekanisme koping, peningkatan kemampuan untuk mengatasi tantangan, kematangan emosi yang berkembang, dan peningkatan penerimaan diri (Frances, 2006). Lingkungan perkotaan menjadi pilihan banyak masyarakat Indonesia untuk menjadi tempat mengadu nasib. Masyarakat perkotaan sering disebut sebagai urban community. Secara fisik, masyarakat di perkotaan kehidupannya ditandai dengan adanya gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuk kendaraan, kemacetan, pabrik, warga masyarakat yang sibuk, polusi, persaingan yang tinggi, dan sebagainya. Secara sosial, kehidupannya cenderung individual, heterogen, serta persaingan yang tinggi sering menimbulkan konflik (Jamaludin, 2015). Kedekatan manusia dengan lingkungan menimbulkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Manusia membutuhkan alam untuk tempat tinggal, hidup dan berkembang. Alam membutuhkan manusia untuk merawat kelestariannya. Kesadaran terhadap peran besar lingkungan ini menyadarkan manusia untuk selalu dekat dengan lingkungan sebagai aspek kehidupan. Kedekatan manusia dengan lingkungan menimbulkan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Manusia membutuhkan alam untuk tempat tinggal, hidup dan berkembang. Alam membutuhkan manusia untuk merawat kelestariannya. Kesadaran terhadap peran besar lingkungan ini menyadarkan manusia untuk selalu dekat dengan lingkungan sebagai aspek kehidupan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji fungsi psikologis Ruang Terbuka Hijau di Indonesia. Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat memberikan suatu rekomendasi perencanaan ruang terbuka hijau yang efektif dalam memberikan pelayanan khususnya fungsi psikologis di Indonesia. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur. Metode studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelolah bahan penelitian (Zed, 2008). Studi kepustakaan merupakan kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian, khususnya penelitian akademik yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis. Studi kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti dengan tujuan utama yaitu mencari dasar pijakan / fondasi utnuk memperoleh dan membangun landasan teori, kerangka berpikir, dan menentukandugaan sementara atau disebut juga dengan hipotesis penelitian. Sehingga para peneliti dapat menggelompokkan, mengalokasikan mengorganisasikan, dan menggunakan variasi pustaka dalam bidangnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, para peneliti


Fungsi Psikologis Ruang Terbuka Hijau Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1933 mempunyai pendalaman yang lebih luas dan mendalam terhadap masalah yang hendak diteliti. Melakukan studi literatur ini dilakukan oleh peneliti antara setelah mereka menentukan topik penelitian dan ditetapkannya rumusan permasalahan, sebelum mereka terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Pengumpulan data perlu dilakukan dalam penelitian ini. Data yang digunakan berasal dari textbook, journal, artikel ilmiah, literature review yang berisikan tentang konsep yang diteliti Analisa dalam penelitian ini dilakukan dengan materi hasil penelitian yang secara sekuensi diperhatikan dari yang paling relevan, relevan, dan cukup relevan. Cara lain dapat juga, misalnya dengan melihat tahun penelitian diawali dari yang paling mutakhir, dan berangsung – angsur mundur ke tahun yang lebih lama. Membaca abstrak dari setiap penelitian lebih dahulu untuk memberikan penilaian apakah permasalahan yang dibahas sesuai dengan yang hendak dipecahkan dalam penelitian. Mencatat bagian – bagian penting dan relevan dengan permasalahan penelitian, Untuk menjaga tidak terjebak dalam unsur plagiat, para peneliti hendaknya juga mencatat sumber – sumber informasi dan mencantumkan daftar pustaka. Jika memang informasi berasal dari ide atau hasil penelitian orang lain. Membuat catatan, kutipan, atau informasi yang disusun secara sistematis sehingga penelitian dengan mudah dapat mencari kembali jika sewaktu - waktu diperlukan. Hasil dan Pembahasan 1. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Psikologis Faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan mental manusia adalah faktor biologis, psikologis, sosial budaya, dan lingkungan. Kondisi lingkungan yang sehat akan berpengaruh dan mendukung kesehatan manusia yang ada di sekitarnya, sebaliknya jika kondisi lingkungan tidak sehat maka dapat mengganggu kesehatan manusia, termasuk konteks kesehatan mentalnya (Tambunan, 2010). (Steg et al., 2013) menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan bersifat timbal balik atau resiprokal. Lingkungan dapat memengaruhi perilaku manusia dan sebaliknya perilaku manusia dapat menyebabkan perubahan pada lingkungan. Pada akhir tahun 1960, berbagai penelitian mengenai isu lingkungan muncul untuk menjelaskan serta merubah pengaruh negatif perilaku manusia terhadap lingkungan dan pada efek negatif yang disebabkan oleh manusia (seperti bising dan polusi) yang berpengaruh terhadap well-being dan kesehatan. Sebuah studi di Washington mengenai akses ke ruang terbuka hijau, aktivitas fisik, dan kesehatan mental yang melibatkan 4338 anak kembar mendukung hipotesis bahwa akses yang lebih baik ke ruang terbuka hijau berkaitan dengan tingkat depresi yang lebih rendah. Ruang terbuka hijau dianggap memengaruhi kesehatan mental melalui peningkatan aktivitas fisik, dengan menyediakan tempat bagi warga sekitar untuk bertemu, memfasilitasi ikatan sosial, serta mengurangi stres dan kelelahan mental (Cohen-Cline et al., 2015). Hal tersebut berbanding terbalik dengan


Mohamad Fakhri Mashar 1934 Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 pernyataan (Annerstedt et al., 2012) yang menjelaskan bahwa mereka tidak menemukan hubungan langsung antara green qualities pada lingkungan dengan kesehatan mental. Hal tersebut tidak berarti tidak terdapat hubungan sama sekali diantara keduanya, kurang beragamnya jenis landscape atau bentang darat area yang diteliti kemungkinan menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, perbedaan yang muncul pada hasil penelitian menjadi lebih sedikit. Ruang Terbuka Hijau RTH perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi baik endemik maupun introduksi (Dwiyanto, 2009). RTH memiliki berbagai fungsi, yaitu ekologi (paru-paru kota), rekreasi dan ruang tempat warga bersilaturahmi, estetis (memperindah pemukiman, perkantoran, dll), planologi dalam tata kota (menjadi pembatas antara satu ruang dengan ruang lain), pendidikan (sarana belajar tanaman dan ruang tempat satwa), serta fungsi ekonomis (Hijau, 2016). Ruang terbuka hijau dapat menjadi sebuah alternatif tempat refreshing atau rekreasi yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat perkotaan karena sifatnya yang ekonomis. Rekreasi di alam terbuka atau outdoor recreation dapat digunakan sebagai media terapeutik yang layak bagi orang-orang dengan gangguan kesehatan mental. Salah satu manfaat biopsikososial dari rekreasi di alam terbuka adalah manfaat emosional, hal ini meliputi perbaikan suasana hati, pengalihan dari gangguan kesehatan mental, peningkatan mekanisme koping, peningkatan kemampuan untuk mengatasi tantangan, kematangan emosi yang berkembang, dan peningkatan penerimaan diri (Frances, 2006). Faktor psikologis merupakan faktor yang penting dan memiliki peranan dalam proses penyembuhan penyakit. Faktor psikologis merupakan faktor dari dalam yang prinsip penyembuhannya memberikan dorongan positif melalui psikis pasien. Di antara faktor psikologis dalam penyembuhan penyakit adalah : 1. Menghindari kecemasan 2. Menghilangkan depresi 3. Kehidupan sosial 4. Dukungan keluarga 5. Kepercayaan pasien pada diri sendiri 6. Mempercayai penangan medis 7. Kehidupan relegius 8. Berpikiran positif 9. Pola hidup 10. Kondisi psikologis Menurut psikologi kesehatan dan pengobatan behavioral cara berpikir dapat memengaruhi kondisi tubuh. Psikologi kesehatan merupakan salah satu subdisiplin pengobatan behavioral yang secara spesifik berhubungan dengan proses-proses psikologis, misalnya kognisi, suasana perasaan, dan jaringan sosial, yang dapat memengaruhi kesehatan dan penyakit (Pomerantz, 2014).


Fungsi Psikologis Ruang Terbuka Hijau Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1935 Cara berpikir dapat memberikan sugesti terhadap kondisi tubuh. Dalam hal kesehatan, selain pola hidup, pengendalian cara berpikir sangat dibutuhkan untuk mencapai tingkat kesehatan tubuh. Tetap menjaga pola hidup sehat dan tidak membebani diri dengan pikiran berat, mensugesti diri dengan hal positif, dapat meningkatkan sistem imun tubuh. Hal ini mengakibatkan terjaganya sistem kekebalan tubuh dan mencegah antigen untuk masuk ke dalam tubuh, sehingga mengecilkan peluang terhadap resiko terkena penyakit. Beban pikiran berat, kecemasan, rasa takut, dan tanpa adanya sugesti positif dapat meningkatkan resiko depresi dan stres. Stres dapat berdampak buruk bagi kesehatan. Dalam banyak literatur yang dijelaskan, stres telah sering dikaitkan dengan banyak gejala dan penyakit, mulai dari penyakit ringan sampai berat. Di dalam buku Psikologi Klinis, yang ditulis oleh (Pomerantz, 2014) menjelaskan, respon tubuh terhadap stres dapat mengakibatkan masalah kesehatan seperti: a. Meningkatnya kadar hormon tiroid yang menyebabkan insomnia dan penurunan berat badan. b. Menipisnya endorfin, yang menyebabkan sakit jasmaniah. c. Berkurangnya hormon seks yang berakibat pada amenore dan kesuburan. d. Mati atau beristirahatnya sistem pencernaan,yang menyebabkan pusing, kembung, mulut kering dan masalah lain. e. Pelepasan kolesterol yang berlebih yang dapat menyebabkan penyumbatan pada arteri, meningkatkan tekanan darah sampai dengan 400%, stroke, atau aneurisma. Tingkat yang paling membahayakan dari stres adalah menurunya sistem imun tubuh. Stres mengaktifkan Hipotalamus pituitari-adrenal (HPA) aksis yang mengontrol pelepasan hormon stres yaitu kortisol. Stres kronis dapat meningkatkan kadar kortisol, yang mengakibatkan kemunduran pada sel-T, sel yang sangat esensial di dalam sistem kekebalan tubuh. Sel-T menyerang patogen asing dan sekaligus meregulasi sel-sel lain di dalam sistem kekebalan tubuh. Ketika kadar kortisol yang teregulasi menyebabkan menurunya fungsi sel-T, hasilnya adalah melemahnya sistem kekebalan. Atau lebih mudahnya, stres kronis dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit (Pomerantz, 2014). Faktor yang menentukan seberapa baik seseorang menangani stres ada dua, secara natur (genetik) dan nurtur (non-genetik). Para ahli psikolog mengatakan genetik adalah faktor yang melekat dan pengendaliannya masing-masing individu berbeda, sehingga psikolog tidak dapat berbuat banyak terkait dengan penanganan stres melalui faktor ini. Tetapi melalui faktor nurtur (non-genetik) untuk penanganan stres harus ada peran psikologis individu itu sendiri, salah satunya adalah faktor persepsi untuk menentang kesalahpahaman kognitif dan menggantinya dengan sudut pandang yang lebih sehat. Faktor yang dapat memengaruhi kesembuhan secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 4, diantaranya; faktor medis (melalui pengobatan medis), faktor genetik bawaan, faktor psikologis, dan faktor lingkungan. Dua diantara empat


Mohamad Fakhri Mashar 1936 Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 faktor tersebut dapat dikendalikan melalui hubungan antara pikiran dengan perilaku, yaitu faktor psikologis dan faktor lingkungan. 2. Manfaat Ruang Terbuka Hijau Terhadap Psikologis Sesuai dengan pernyataan bahwa ruang terbuka hijau dianggap memengaruhi kesehatan mental melalui peningkatan aktivitas fisik, dengan menyediakan tempat bagi warga sekitar untuk bertemu, memfasilitasi ikatan sosial, serta mengurangi stres dan kelelahan mental (Cohen-Cline et al., 2015). Korelasi yang lemah tersebut mungkin terjadi karena terdapat variabel mediator atau penghubung antara akses ke ruang terbuka hijau dengan kesehatan mental, yaitu peningkatan aktivitas fisik dan sosialisasi. (Nutsford, D., Pearson, A. L., & Kingham, 2013) menemukan bahwa jarak atau akses yang lebih dekat ke ruang terbuka hijau yang dapat digunakan (useable green space) dan peningkatan proporsi ruang terbuka hijau di lingkungan yang lebih besar berhubungan dengan menurunnya jumlah perawatan gangguan kecemasan atau mood dalam lingkungan perkotaan. (White et al., 2013) membuat penelitian dengan menggunakan data panel yang diperoleh dari 10.000 individu untuk mengeksplorasi hubungan antara ruang terbuka hijau perkotaan dan tekanan mental (mental distress) untuk individu yang sama selama beberapa waktu. Penelitian tersebut menemukan bahwa rata-rata individu memiliki tekanan mental yang lebih rendah dan kesejahteraan yang lebih tinggi ketika tinggal di daerah perkotaan yang memiliki lebih banyak ruang terbuka hijau. Meskipun efek pada tingkat individu kecil, manfaat kumulatif pada tingkat komunitas Menggaris bawahi mengenai pentingnya kebijakan untuk melindungi dan mempromosikan ruang terbuka hijau perkotaan untuk kesejahteraan manusia. Hal tersebut serupa dengan hasil uji korelasi yang menyatakan bahwa akses ke ruang terbuka hijau berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis dan berhubungan negatif dengan distres psikologis yang merupakan dua skala global kesehatan mental. Akses ke ruang terbuka hijau tidak hanya dibatasi oleh hambatan fisik seperti lokasi, kedekatan, kuantitas, dan kualitas. Hal yang biasanya menjadi hambatan untuk mengakses ruang terbuka hijau adalah rasa takut akan keselamatan diri, perilaku antisosial, buruknya pemeliharaan ruang terbuka hijau, terlalu sibuk bekerja, cuaca yang buruk, terlalu sibuk di rumah, kesehatan yang buruk, lansia, serta kurangnya transportasi. Pemerintah dapat memerankan peran penting untuk membantu masyarakat mengatasi hambatan-hambatan tersebut (Balfour & Allen, 2014). 3. Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Psikologis Ruang Terbuka Hijau menawarkan konsep Healing Environment. Healing Environment adalah konsep yang di dalamnya memuat tiga aspek penting terhadap proses kesembuhan pasien, yaitu: a. Aspek Healing Environment adalah lingkungan alam. Lingkungan alam dinilai mampu memberikan energi positif terhadap psikologi manusia, yang memberikan kenyamanan dan rileksasi terhadap suasana pikiran manusia.


Fungsi Psikologis Ruang Terbuka Hijau Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1937 b. Aspek psikologi. Konsep Healing Environment dalam penerapannya mampu memberikan sugesti positif terhadap kesehatan psikis pasien. Sugesi positif tersebut mampu membangkitkan rasa optimisme dan harapan sehat bagi pasien. c. Aspek panca indra manusia. Konsep Healing Environment harus mampu memberikan rangsangan terhadap kelima panca indera manusia melalui penglihatan, aroma, suara- suara, dan tekstur, yang diwujudkan dalam elemenelemen alam. Prinsip konsep Healing Environment, tidak hanya diterapkan pada desain bagian luar (tata ruang luar) tetapi juga bagian dalam (tata ruang dalam) bangunan. Inti dari konsep ini adalah membangun suasana melalui penyesuaian semua elemen desain untuk dapat memberikan rangsangan positif bagi kelima panca indera manusia. Prinsip-prinsip penerapan konsep tersebut sebagai berikut (Kurniawati, 2007): a) Desainnya harus mampu mendukung proses pemulihan baik fisik maupun psikis seseorang. b) Akses ke alam. c) Adanya kegiatan-kegiatan outdoor yang berhubungan langsung dengan alam. Desainnya diarahkan pada penciptaan kualitas ruang agar suasana terasa aman, nyaman, tidak menimbulkan stress. Konsep Healing Environment merupakan bentuk pengembangan dan pengaplikasian konsep sebagai respon atas terbuktinya riset yang menunjukan bahwa faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap faktor penentu kualitas penyembuhan pasien. Konsep ini memiliki tiga aspek pendekatan, yaitu pendekatan alam, rangsangan indera, dan psikologis. Pendekatan alam dipilih karena alam memiliki sifat restoratif terhadap manusia, yang mampu menurunkan tingkat stres, menstabilkan atau menurunkan tekanan darah, dan meningkatkan energi. Gambar 1 Bagan Pengaruh Healing Environment terhadap Kesembuhan (Hafidz & Nugrahaini, 2020)


Mohamad Fakhri Mashar 1938 Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 Desain Rumah Sakit yang hadir dengan membentuk suasana alam, melalui tumbuhan, elemen-elemen air, material kayu dan sedikit bebatuan dengan tatanan tertentu, dapat mempengaruhi pikiran pasien untuk lebih merasa rileks dan nyaman dengan suasana rumah sakit. Dalam ilmu kesehatan suasana perasaan dan kognisi yang baik dapat mencegah dan mengatur peningkatan kortisol (hormon stres). Sehingga kortisol dapat bekerja secara optimal dan berimbang, hal ini berakibat terhadap peningkatan sistem kekebalan tubuh pasien yang dapat mempercepat kesembuhan dan pencegahan terhadap penyakit. Lingkungan alamiah maupun lingkungan buatan memiliki pengaruh dalam menciptakan satu kesatuan lingkungan yang kondusif bagi proses penyembuhan, tidak hanya kondisi fisik tetapi juga psikis. Kondisi psikis yang prima secara langsung maupun tidak langsung akan memberi stimulus positif terhadap kondisi fisik seseorang sehingga mempercepat berlangsungnya proses penyembuhan. Pendekatan kedua melalui aspek rangsangan indera yang meliputi pendengaran, pengelihatan, penciuman, perasa dan peraba. Melalui indera manusia, Konsep Healing Environment pada Rumah Sakit berfokus untuk membangun kesan melalui; visual suasana, suara, aroma, dan tekstur. Konsep lingkungan alam haruslah mendapat porsi besar di dalam desain sebuah Rumah Sakit, sebab melalui konsep tersebut terapi rangsangan indera dapat dihadirkan. Pengaplikasian elemen alam sebagai rasangan indera manusia dapat dilakukan antara lain dengan Penambahan elemen-elemen tumbuhan pada ruang dalam rumah sakit sebagai rangsangan indra penglihatan manusia untuk menghasilkan keindahan visual. Elemen air pada desain Rumah Sakit. Melalui kolam ikan dengan gemercik suara air bisa menjadi pilihan untuk merangsang indera pendengaran untuk relaksasi pasien melalui suara. Menanam bunga-bunga beraroma wangi di dalam atau di luar ruangan untuk memberi aroma relaksasi. Mengaplikasikan material alam dan material kayu yang bertekstur di sebagian ruang rumah sakit, sebagai respon terhadap indera peraba. Pendekatan ketiga melalui aspek psikologis. Dengan memberikan stimulus positif terhadap kondisi jiwa, bisa melalui lingkungan sosialnya, keluarganya, dan kehidupan relegiusnya untuk membentuk hubungan positif antara pikiran dan perilaku pasien. Rumah sakit menyediakan fasilitas berupa ruang untuk berkumpul, ruang komunal, taman penyembuhan, dan lain sejenisnya untuk tempat bersosialisasi, komunikasi antar sesama dan keluarga untuk membentuk stimulus mengenai rasa optimisme terhadap sehat, menumbuhkan kepercayaan, meningkatkan semangat sembuh untuk menekan stres pasien saat menjalani perawatan. Konsep Healing Environment di dalamnya memuat aspek-aspek penting mengenai lingkungan dan psikologis manusia terhadap proses kesembuhan. Apabila saling dikaitkan antara lingkungan, psikologis, kesehatan dan kesembuhan, keempat hal tersebut mempunyai hubungan yang saling berpengaruh satu sama lain. Melalui lingkungan manusia mempunyai kedekatan yang mempengaruhi rasa (kenyamanan, relaksasi, optimisme dan ketentraman).


Fungsi Psikologis Ruang Terbuka Hijau Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1939 Kondisi jiwa yang demikian akan menekan tingkat stres dan depresi pasien pada keadaan ataupun suasana di dalam rumah sakit. Stres dan depresi dapat meningkatkan kortisol (hormon stres), dengan peningkatan tersebut akan menurunkan sistem imun tubuh, sehingga dengan turunnya sistem imun akan memperlambat kesembuhan dan yang paling merugikan dapat membuat antigen masuk kedalam tubuh dan membuat penyakit baru. Oleh karena itu, rumah sakit harus memiliki fasilitas penyembuh yang lengkap, baik secara medis maupun secara non medis. Dengan menerapkan konsep Healing Environment rumah sakit akan dapat memaksimalkan perannya terhadap suatu proses kesembuhan. 4. Rekomendasi Ruang Terbuka Hijau a) Berdasarkan penelitian Ir.Djoko Pratikto,MT. Gambar 2 Pasar Terban & RTH b) Hasil Akhir Desain Pasar Terban Tujuan diadakan revitalisasi pembangunan pasar Terban adalah untuk memperbaiki kondisi pasar Terban pada saat sekarang yang tidak representative lagi (kumuh, kotor, semrawut, rusak) yang dapat memungkinkan pasar Terban ini ditinggalkan oleh para pembelinya. Hasil desain Pasar Terban yang baru merubah kondisi yang tidak representaive menjadi pasar yang lebih menarik dan lebih representativ karena; Desain Pasar Terban yang baru menampilkan bangunan yang moderen dalam segi tampilan bentuk namun tetap bernuansa tradisional, kesemrawutan suasana dapat dipecahkan dengan pengaturan tata ruang yang rapi yang mengelompokan jenis dagangan yang dijual dengan tata ruang kios/los yang teratur rapi dan bersih Sedangkan sirkulasi baik untuk pengunjung manusia maupun kendaraan. Fasilitas pasar dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai seperti tempat penampungan sampah, toilet, mushola serta RTH. Kenyamanan pengguna pasar (penjual dan pembeli) terjamin karena desain sirkulasi udara yang lancar serta dimensi tata ruang yang memenuhi standard yang memungkinkan interaksi antar pengunjung tidak berdesak- desakan. Penggunaan bahan bangunan yang memungkinkan pasar mudah dibersihkan (misalnya lantai


Mohamad Fakhri Mashar 1940 Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 keramik) serta warna dinding yang cerah dapat mengubah citra pasar tradisional yang kotor dan kumuh menjadi bersih dan rapi. c) Hasil Desain Ruang Terbuka Hijau Tujuan dibangunnya Ruang Terbuka Hijau pada lokasi disamping tapak Pasar Terban dibangun adalah untuk menunjang keberadaan pasar disamping fasilitas ruang Terbuka Kota Yogjakarta. Faslitas yang dibangun dalam RTH ini meliputi area parkir, panggung terbuka kedai/angkringan/lesehan, tempat bermain anak-anak/keluarga, petamanan hijau. Ruang Terbuka Hijau ini sesuai dengan namanya hijau didominasi dengan taman/tananaman peneduh/tanaman hias untuk lebih mnyegarkan suasana serta fungsi tamannya kelihatan menonjol. d) Fungsi RTH Terhadap Pasar Secara umum keberadaan Ruang Terbuka Hijau terhadap Pasar Terban adalah: a. Menambah citra penempilan Pasar Terban menjadi pasar asrifungsi RTH terhadap pasar, indah, megah, bersih dengan konsep Green Market. b. Memberikan fasilitas rekreasi, bersantai menghilangkan rasa penat bagi pengunjung pasar untuk pengunjung umum lainnya. setelah melakukan aktivitas belanja. c. Mengurangi kesan kesemrawutan yang terjadi di pasar. Secara khusus fungsi RTH terhadap Pasar Terban adalah : a. Penyediaan area parkir di RTH mengurangi kepadatan sirkulasi yang ada di pasar. b. Penyediaan panggung terbuka untuk menampilkan tontonan pertunjukan kesenian tradisional dalam skala kecil, musik jalanan, atau aksi pentas budaya lain. c. Penyediaan pedagang angkringan/kedai/warung makan lesehan terbuka memberi pelayanan kepada pengunjung untuk makan dan minum dalam suasana santai. d. Fungsi taman hijau memberikan penyegaran terhadap para pengunjung pasar e. Tempat rekreasi keluarga untuk menediakan tempat untuk bersantai/ bercengkerama dengan keluarga, tempat bermain anak-anak, tempat beristirahat setelah penat berbelanja. Kesimpulan Kajian diatas dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya fungsi psikologis dari ruang terbuka hijau itu sendiri untuk meredam keramaian, kepadatan dan kesemrawutan yang secara psikologis dapat menimbulkan stres atau depresi. Ruang Terbuka Hijau, sesua dengan namanya RTH adalah tempat terbuka di alam bebas yang penuh dengan taman hijau yang penuh dengan tatanan tanaman hias, tanaman peneduh yang memberikan kesejukan bagi pengunjung. Fasilitas yang ada didesain dengan konsep taman yang meliputi taman parkir, taman kuliner, taman pertunjukan dan lain sebagainya.


Fungsi Psikologis Ruang Terbuka Hijau Jurnal Syntax Admiration, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1941 Fungsi psikologis ruang terbuka hijau sendiri dapat dipenuhi dengan cara pengaplikasian elemen alam sebagai rasangan indera manusia antara lain dengan Penambahan elemen-elemen tumbuhan pada ruang dalam rumah sakit sebagai rangsangan indra penglihatan manusia untuk menghasilkan keindahan visual. Elemen air pada desain Rumah Sakit. Melalui kolam ikan dengan gemercik suara air bisa menjadi pilihan untuk merangsang indera pendengaran untuk relaksasi pasien melalui suara. Menanam bunga-bunga beraroma wangi di dalam atau di luar ruangan untuk memberi aroma relaksasi. Mengaplikasikan material alam dan material kayu yang bertekstur di sebagian ruang rumah sakit, sebagai respon terhadap indera peraba.


Click to View FlipBook Version