The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Alfathon Rameza, 2024-01-17 07:33:16

CERPEN 280 halaman (2)

CERPEN 280 halaman (2)

51itulah pesan terakhir dari istrinya yang dijadikan pedoman hidupnya. Saya melihatkan salah satu buku puisi yang sudah berisi penuh, dalam penuh dengankekesalan, keikhlasan dan rasa cinta, itu adalah buktinya bahwa kakek telahmenjalankan perjanjiannya dengan baik. Jangan melupakan akan hal yangmencintai.... menjadi diri sendiri.... Saya berpikir lama akan pertanyaan ini. Dari kata-kata kakek itu, ternyata anak itu adalah teman tuli, dunia dia telah ditekankantombol mute. Bagi dia dunia ini sunyi banget, dia bahkan tidak kenal apa itu bising, dia tidak tahu suara ketawa dari teman-teman bagaimana. Dia tidak pernahmendengarkan Suara dari air sungai, kerbau di sawah, dan burung di atap itubagaimana. Saya hanya bisa membayangkan sekilas kondisi apa yang dialaminya, tapi kesulitan apa yang dihadapi dia selama masa hidup ini bukanlah hal yang bisa saya mengungkapkan dengan hanya sekedar membayangkan. Karena tidak bisa berbicara, dia sulit bergabung dengan teman-teman lain, kebanyakan waktu dia hanya bergambar sendiri kesana-sini. Di rumah kakek ada beberapa gambar karya dia, itu semuanya dipajang didinging. Saya melihat serambi yang penuh denganlukisannya, walaupun hanya berwarna hitam putih, tapi bisa merasakan pengaturancahayanya sangatlah cantik. Elang Itu seperti akan melayang keluar dari kertas lembar ini. Tata ruang dalam gambarnya juga berirama seperti sedang melakukanpaduan suara. Dia memiliki mata yang bisa menemukan keindahan. Di sampingnya adalah puisi yang ditulis oleh kakek itu, kata-kata yang dipakai sangatlah estetik. Jika gambar ini adalah makanan, maka puisi itu adalah bumbunya. Saya teringat pada awal mulanya menyukai sama poster, senyuman tanpa tahu sembunyi muncul pada muka saya. Tetapi teringat akan kejadian dekat-dekat ini ekspresi saya kembali jadi muram lagi. Kakek mengasih saya sebuah buku puisi yang ditulisnya “Jangan lupa untuk balas surat ya”. Itu kumpulan puisi yang dibuat olehnya pada saat seumuran dengan saya. Saya merapatkan jari tangan kananku, letakkan di depan mulut dan kemudian menggarah ke depan. “Terima kasih” itu bahasa isyarat yang saya baru belajar semalam.


52Anak itu nampak sedikit terkejut, lalu tangan kanannya membuat menjadi bentuktelepon bergerak maju-mundur dengan ibu jarinya menunjuk ke diri sendiri. “Sama-sama”, anak itu membalas bahasa isyarat saya. Tapi sebelumnya ada hal suatu yang membuat saya bingung. Kebetulan saya belajar bahasa isyarat dari internet, berdasarkan informasi-informasi yang didapatkan, bahasa isyarat yang resmi dan yang orang-orang pakai tiap hari tanpa belajar resmi belum tentu sama. Yang tanpa resmi itu bisa jadi berbeda-beda di berbagai daerahsesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Dan anak itu menjawab saya denganmenggunakan bahasa isyarat dengan benar. Saya bercerita kepada temanku tentanghal yang terjadi semalam. Mendengar pergaulan saya dengan kakek itu, dia bersenyum seperti orang tua yang melihat anaknya belajar berjalan.“ ”Kamu sudah bisa bergaul dengan baik sama orang-orang” makasih ya ... walaupunsaya sendiri tidak merasa begitu. Selanjutnya diaberceritakan kepada saya mengenai pertanyaan saya itu. Dulu disini pernah ada seorang wanita yang pandai bahasa isyarat, dialah satu-satunya cahaya bagi anak itu. Beliau mengajari anak itubahasa isyarat, dan akhirnya itu menjadi bahasa khusus antara mereka berdua. Tangan mereka bergerak-gerik, dalam mata mereka hanya ada masing-masing. Dunia ini seperti terdiam saja untuk mereka sambil menunjukkan senyuman kepada mereka. Kakak itu hanya tinggal di desa ini untuk sementara saja. Awalnya dia datang ke tempat kampung-kampung ini hanya karena perlu menjaga orang tuanya yang sedang sakit. Saudaranya semua lebih sibuk daripada dia yang sebagai anakbungsu, sehingga mau tidak mau dia harus memikul tanggung jawab untuk menjaga orang tuanya. Tapi wanita kuat itu tetap menerima semua tantangan dengan ikhlas dan menghadapi dengan iman. Namun dia memikul dengan rela dan juga lelah. Langsung beradaptasi dengan lingkungan yang baru bukanlah suatu hal yangmudah, dan dia juga memiliki cita-cita, teman-teman dan pekerjaan dia sendiri. Tetapi jika tidak yang lelah berkorban, maka yang kehilangan adalah orang tuanya. Dia ikhlas, tapi bukan tanpa kekesalan. Ada kalanya diasempat menangis karena


53beratnya beban hidup yang harus dipikul. Pada malam yang sunyi hingga tersisa suara angin sepoi-sepoi dan kicauan jangkrik, hanyaseorang anak yang“mendengarkan” tangisannya. Itulah awalan perkenalan mereka. Sebagai seorangshadow teacher, dia lebih kurang bisa sedikit cara untukbergaul dengan anak-anakyang dianggap lebih unik. Wanita itu mengajarkan bahasa isyarat dan makna tulisankepada dia, anak itu juga sering-sering diajak untuk menggambar bersama. Sejakkecil anak itu tidak bisa menyampaikan apa-apa dengan bagus, setelah bertemudengan wanita itu perasaan dia dapat disampaikan dengan lebih jelas. Dia bisa menyampaikan terima kasih dengan melipatkan jari didepan mulut danmengarahkan ke depan. Dia bisa menyampaikan rasa maaf dengan mengepalkantangan sambil diputarkan di depan jantung. Beliau belum sempat mengajar cara menyampaikan “saya rindu kamu”. Orang Tuanya telah kembali kepada tuhan, dia juga kembali pada pekerjaannya. Semua hal seperti berpulang pada awal mulanya, kecuali anak itu. Mungkin pada saat-saat tergelap dalam masa hidup mereka telahmenjadi suatu kecerahan bagi masing-masing. Namun itu hanya sekedar cahaya dari meteor yang datang dengan cepat dan pulang dengan sekilas. Setelah kejadianitu saya mulai banyak bergaul dengan teman tuli itu, Setiap berbicaranya akan akanmembuka masker agar dia bisa melihat perubahan gerakan mulutnya, kayaknya saya sudah terbiasa dengan udara di sini. Kita sering ke tempat-tempat rahasia yangtidak diketahui oleh orang, disitu saya menggambar poster, dia melukis dan kakekitu akan menuliskan sebuah puisi untuk pemandangan ini. Saya juga mencoba mengajak dia untuk bergabung dengan anak-anak lain. Saya juga semakin akrabdengan anak-anak disini, mereka membawa saya kesungai dan padang lumput, tenyata bau desa bukanlah menyengat tetapi hanya saya mengambil kesimpulanditempat yang salah. Saya merasakan suara air sungai yangmengalir, suara anginmembelai rumput, dan suara anak-anak berketawa senang.Tetapi bagi anak itu tidak, di sudut pandang dia ini hanya sebuah film yang tak bersuara. Dia tidak bisa memahami secara utuh betapa terkejutnya ketika saya menemukan seekor ular di tas saya, ketika ada yang ngelawak dia hanya bisa ikut bersenyum tanpa tahu sebab. Dalam proses pergaulan saya telah banyak merasakan kebahagiaan yangsudah


54terhilang sejak masa lalu, tetapi ini ada banyak hal yang dipikirkan oleh sayauntukmasa depan mereka. Diantara mereka masih banyak yang hanya sekedar bisa membaca, dan bahkan ada beberapa yang masih buta huruf. karena itu saya membuat suatu keputusan untukmembangun suatu tempat belajar disini. Saya bukanlah orang yang pandai, cara yang merubah masa depan yang bisa tercapai dengan akal saya hanyalahpendidikan. Saya mengajukan permohonan kepada kepala desa, tetapi hal ituditolak karena masalah dana. Selain itu bapak ibu juga belum percaya sangat dengan orang asing yang dari kota ini. Saya meragukan, mungkin sekarangbukanlah waktu saya untuk melakukan kerja bakti yang tidak ada umpan baliknya. “Jika kamu berniat untuk melakukan, mengapa tidak mencoba ? Minimal kita bisa dari hal yang kecil dulu.” Sekali lagi, dia memotivasi diri ku yang suka ragu-raguini. Dengan asumsi “Tidak langsung mencapai tujuan juga gapapa, kita boleh mulai dari hal kecil dulu.” Kita mendirikan suatu tempat literasi kecil yang berupa gazebo. Ini bukan sekolah tetapi hanya suatu tempat main untuk membaca, menggambar, dan mengarang. Bahan bacanya hanya cerita pendek yang saya catat manual pada kertas kalender. Mereka berjelajah dalam cerita-cerita ini untuk menemukan mimpi, mereka meninggal karyanya disini sebagai jejak pernah sampai. Kadang hujan bisa membasahkan naskah kita, itu tandanya kita di semangati untuk membuat karya baru. Hampir setiap hari saya akan ke tempat ini bertemu dengan mereka yangpebuh dengan rasa ingin tahu. Saya bukan menjalankan perjuangan sendiri, Kakek dan teman saya juga sering bergabung untuk membagi ilmu disini. Kita belajar menggunakan bahasa Indonesia yang lembut tetapi berkekuatan dan juga bahasa isyarat yang tidak berbunyi tetapi menyampai ke hati orang. Akhirnya anakitu juga bisa bergaul dengan teman-teman lain. Saya memposting cerita-cerita di desa ini ke internet, banyak orang yang menanyakan tentang programyangdilakukan oleh saya ini. Tulisan-tulisan karya mereka juga dikirim saya ke berbagai tempat koran dan majalah. Cerita desa initelah menarik perhatian banyak pecinta sastra diantaranya yang suka membagi telah menyumbangkan beberapa buku untukanak-anak. Lama-kelamaan gazebo itumenjadi sebuah ruang kelas sederhana yang


55memiliki meja dan rak buku yang berisi, dinding dihiasi dengan lukisan anak itudan juga teman-temannya. Akhirnya saya menemukan suatu tempat yang bisa dijadikan sebagai tujuan dan juga kampung. Tulisan adalah komunikasi yang tanpa gelombang suara. Sebagai seorang pecinta sastra dan seniman, tugas saya adalahmenyampai informasi dalam bentuk gambar dan tulisan yang mudah dipahami olehpara pembaca. Bagi saya itu adalah suatu pekerjaan yang sangat dicintai saya, disini tulisan bukanlah suatu hal yang bosan, gambaran juga akan lebih mudah dipahami tanpa ditebak-tebak. Saya telah menemukan hal yang dicintai oleh saya, itu suatuhal yang tidak akan tercapai jika tanpa bantuan dari saudara-saudara yang selalumendukung saya dengan bijak. Saya sudah menemukan jati diri saya sekarang saya akan meneruskan estafet ini kepada generasi selanjutnya. iPad : produk computer tablet buatan Apple Inc. mute : mendiamkan, membisukan. Shadow teacher : guru yang bekerja di sekolahinklusi, selain sebagai guru mereka juga sebagai orang tua disekolah untuk menjaga, membimbing dan menemani anak berkebutuhan khusus. Mandiri, Untuk Dan Karena Sendiri (Rifqy Apriansyah Basri) Seorang pria remaja sedang berlari dengan membawa beban berat di punggungnya melewati gerbang sekolah, pasrah saja ketika ia melihat barisan-barisan yang telahrapidi lapangan, dengan napas terengah-engah ia masuk ke dalam barisan khusus orang-orangyang telat. Jarang sekali untuk seorang Revan Hasibi berada di barisankhusus yangmenjadi tontonan siswa di lapangan di bawah teriknya sinar matahari, seseorang berdasidengan rambut hitam legam yang disisir ke belakang yang saat ini kemejanya basah oleh keringat. Setelah upacara selesai dan para siswa dibubarkan, Seorang guru datang menghampiri barisan Revan. Seperti biasa, sebelum


56memberikan hukuman ia menghitung jumlah orang yang ada.“ 15 orang yangterlambat!” Teriaknya “Sekarang tanggal empat, lima belas dikaliempat sama dengan...” potongnya menarik nafas sambil berhitung. “Enam puluh, kalian lakukan push up sebanyak enam puluh kali!” Setelah menyelesaikan hukuman dan diceramahi panjang lebar. Barulah Revandanyang lainnya diperbolehkan kembali ke kelas masing-masing. Setelah sampai di kelas danmenaruh tasnya seseorang menyapa Revan. “Revan, kok, kamu bisa telat sih?” Tanya Kana seorang gadis cantik denganrambuthitam sebahu yang berada di sebelah Revan. “Biasa, habis nganterin nenek ke pasar, habis itu jalanan malah macet, jadinya telat.”Jawab Revan sambil menyamankan posisi duduknya. Revan Hasibi dan Kana Aliya memang terbilang sangat dekat untuk seorang temankarena di dalam kelas hanya mereka saja yang duduk bersebelahan sesama lawanjenis diantara teman sekelasnya. Bahkan, ketika hari pertama masuk pun, ketika Revan terlambat masuk kelas karena jalanan macet setelah mengantar neneknya ke pasar. Kanalah yang pertama kali menawarkan kursi kosong di sebelahnya ketimbangmenunggu Revan yang meminta izin berada di sebelahnya atau menunggu Revandipaksa oleh guru karena hanya itulah kursi kosong yang tersisa Walaupun begitumereka belum menyandangvstatus pacaran sama sekali. Bel istirahat berbunyi, para siswa berlarian ke kantin berharap merekalah yang pertama disana dan dapat menentukan menu sesuka hati tanpa takut menunggu antrian. Revan sedangberjalan menuju kantin. Tiba-tiba ada tiga orang datang menghalangi jalanRevandengan wajah tertekuk.


57“Woy, lu dengerin gua!” Kata Arka, Salah seorang dari mereka sebelummenaikkansuaranya. “Sekarang gua pengen lu jauhin Kana dan jangan sok akrab sama dia!” “Terus?” Tanya Revan dengan wajah tenang, walau suaranya agak menekankarenamerasa kesal dengan ucapan Arka. “Ya, lu jangan deketin Kana!” Kata Arka makin kesal “Terus?” Kata Revan mengulangi perkataannya, “Kalau gua nggak mau gimana?” Ya, kata itulah yang langsung membuat Arka semakin tidak tahan dan melayangkanpukulannya menuju wajah Revan. Tapi, Revan dengan segera menepis tangan Arka keatas sambil menurunkan badannya dan disambut pukulan menuju ulu hati Arka dengan telak yang membuat seluruhoksigen yang ada di dalam paru-paru Arka dikeluarkan melalui pukulan itu. “Seharusnya lu taukan kalau gua lebih kuat daripada lu,” Kata Revan menekan. “Berisik! Woi, lu berdua tangkap dia!” Perintah Arka kepada kedua temannya. Melihat kedua teman Arka maju menuju kepadanya, Revan langsung memasangkuda-kuda, persiapan mengurangi cedera. Mulailah baku hantamyang tidakterelakkan. Tapi, tetap Revan bukanlah lawan mereka berdua yang membuat keributan selesai denga ncepat tanpa adanya luka-luka di wajah, karena yangmenjadi tujuan Revan adalah melumpuhkan bukan membabak belurkan karena yang ingin Revan hindari adalah masalah panjang jika guru-guru tahu, yangmenyebabkan neneknya dipanggil Revan pun meninggalkan mereka di lorong. Revan kembali menuju kelasnya karena sudah tidak nafsu makan setelah kejadian


58tadi. entah apa yang dipikirkan oleh Revan sehingga ia tidak menyadari ada seseorangmelewati lorong. Bukk!!Tanpa disadari Revan menabrak seseorang yang sedang membawa buku- buku hingga buku-buku itu terjatuh, dengan cepat Revan membantu membersihkanbuku-buku yang berserakan di lantai. Heran dengan apa yang dilihatnya, bukanbuku-buku pelajaran atau buku paket negara yang biasanya diserahkan guru, tetapi buku-buku tebal seperti kamus dan buku dengan bahasa yang berbeda. Seorang pria yang sangat rajin membawa buku itu membuat Revan heran. “Maaf, ya, kepala saya sedang pusing,” Katanya setelah membereskan buku- bukunyayang berserakan. “Nggak apa-apa, ngomong-ngomong buku-buku ini untuk apa?” Tanya Revanmengutarakan keheranannya. “Oh, ini, buku percakapan bahasa asing dan kamus,” Jawabnya “Persiapan untuk jadipresenter robotic di China, kan, kalau di negara orang lain kita harus paham bahasa.” “Hmm... Oke, semoga berhasil.” “Terima kasih.” Balasnya lalu pergi. “Masih muda sudah bisa jadi presenter di luar negeri,” Ucap Revan didalamhati. Bel pulang sekolah berbunyi, waktu kebebasan para siswa dimulai. Revanmenaikimotornya yang berada di parkiran samping sekolahnya dan berangkat menuju pasar,tempat neneknya berdagang. “Assalamu’alikum, Nek,” Sapa Revan sambil mencium tangan neneknya.


59“Wa’alaikumsalam, Revan cucu nenek udah makan belum? Kalau belum, adamakanan di tas nenek, Revan makan, ya.”Revan mengangguk dan mengambil makanan yang ada di tas neneknya, memang beginilah nasib Revan setiap hari etelah ditinggal kedua orangtuanya sejak kecil. Dan Revan mau tidak mau harus tinggal dengan neneknya dengan dibiayai olehpaman dan tantenya yang tinggal jauh dengannya dan beberapa peninggalan orangtuanya. Ketika pulang sekolah, Revan selalu menemani neneknya berdagang hingga sore hari, barulah mereka kembali ke rumah. Pernah Revan menyarankan kepada neneknya agar beristirahat untuk berhenti berdagang dan tetap di rumah -Karena uang bulanan yang diberikan paman dan tante sudah dapat mencukupi kebutuhanmereka sehari-hari dan Revan dapat menggantikan neneknya berdagang juga karena usia neneknya yang telah lanjut Tapi, neneknya tidak mau dengan alasantidak ada kerjaan dan merasa bosan karena siapapun di rumah juga untukmemenuhi kebutuhan tambahan jika perlu. Revanpun pasrah dan diamsaja. “Revan nanti setelah lulus sekolah mau jadi apa?” Tanya neneknya setelahselesaimakan, pertanyaan yang membuat Revan terkejut. Dalam hati kecil Revan ia ingin menjadi seorang dokter, tetapi mustahil dengan uang yang mereka hasilkandengan berdagang sehari-hari dapat memenuhi kebutuhan kuliahnya, yang ada nanti malah menjadi beban untuk neneknya. “Masih mikirin nek,” Jawab Revan pelan “Yaudah, Revan pikirin aja dulu, nanti kalau udah kepikiran kasih tau nenek, biarnanti nenek siapin buat biaya kuliah kamu, jangan kelamaan, nanti kalau neneknggak ada duluan gimana? Kan, nggak tau nanti Revan jadi apa.” Ucap neneknya yang membuat Revan merasa bersalah. “Baik, nek, Revan tidur dulu.” Balas Revan tersenyum.


60Lalu kembali ke kamarnya. Dikamarnya Revan tidak langsung tidur tapi masihmemikirkan kata-kata neneknyatadi. Ia teringat kejadian di sekolah tadi.“Bukupercakapan bahasa asing dan kamus.” “Buat persiapan jadi presenter di China.” Keesokkan harinya di sekolah, Selama jam pelajaran Revan selalu termenung danhanya gelagapan ketika ditanya guru. Perkataan neneknya semalam membuat Revanselalu memikirkannya. Bel pulangsekolah berbunyi, membuat semangat semua siswa kembali pulih tapitidak satuorang. “Revan, kamu kenapa?” Tanya Kana cemas karena sikap Revan dari pagi. “Nggak apa-apa.” Jawabnya singkat. “Tapi, kok, kamu dari tadi bengong sih? Mikirin apa?” Tanya Kana semakincemasdengan sikap Revan. “Tenang aja, nggak apa-apa kok, aku pulang duluan ya.” Kata Revan setelah ituRevan meninggalkan Kana di kelas. Tolong bre, cari kerjaan yang gampang- gampang buat gua” “Kerjaan apa?” “Kerjaan apa aja, paruh waktu, yang gampang.” “Kok, tiba-tiba?” “Buat cari penghasilan gua nggak bisa ngeliat nenek gua dagang terus di pasar.” “Oh.. Coba aja kerja di cafe, penghasilannya lumayan untuk anak sekolah.”


61“Cafe dimana?” “Di Perempatan jalan dekat sekolah.” “Oke, Thanks bre.” “Ya.” Revan menutup teleponnya, berpikir apakah dengan begitu ia bisa menambahpenghasilan neneknya. “Oke, lebih baik dicoba daripada tidak sama sekali.” Keesokkan harinya Revanmenuju tempat yang dimaksud. Ia mendaftarkan diri untuk bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Setelah menyanggupi syarat kontrak dan janji Revan pun diterima untuk bekerja disana. Dan bekerja setiap pulang sekolah. “Revan, belakangan ini kamu setiap habis sekolah pergi kemana?” Tanya neneknyaheran, karena Revan jarang menemaninya lagi di pasar. ” Kegiatan sekolah dan ekskul,” Jawab Revan natural. “Oh..Yang rajin ya Revan, buat nanti kamu besar,” Kata neneknya menasehati, tidak tahu kalau Revan berbohong. Seperti sudah menjadi kebiasaan, Revan bekerja di cafe setiap pulang sekolah tanpa ada paksaan apalagi rasa grogi ketika bekerja, tekadnya untuk membantu nenek lebih kuat. Suatu ketika Revan menghantarkansuatu pesanan salah satu pelanggannya. Ia melihat layar laptop pemilik pelangganitu dengan jelas, betapa banyak garis-garis bar berwarna, gambaran seperti gelombang suara, angka-angka dengan titik dan koma, simbol-simbolyang ia tidakketahui dan gambar yang ditengah-tengahnya. “Hei, kenapa?” Tegur si pelanggan heran , karena Revan memandangi layarlaptopnya.


62“Oh.. Maaf, ini pesanan punya anda,” Balas Revan merasa tidak enakmenggantungkan pesanannya. ”Kamu tertarik?” Tawarnya. “Duduk sini,” Setelah dijawab dengan jelas oleh wajah penasaran Revan. “Tapi...” “Nggak apa-apa, biar saya yang bilang ke manajer kamu,” Potongnya, seperti sudahpaham apa yang Revan khawatirkan. Setelah ajakan itu akhirnya Revan duduk di sampingnya dan menyimaksetiapperkataannya. Mulai dari After FX, blender, green screen, transisi, renderingdan AI. Semua itu terlihat menakjubkan dengan kumpulan gambar yang cerahmenjadi gelap, mengubah latar belakang menjadi apapun itu sesuai keinginannya dan membuat seseorang berbicara seperti itu padahal tidak. “Benar-benar terlihat nyata,” pikir Revan. Keesokkan harinya, setelah bel istirahat Revan dengan segera menemui seseorang di ruang publikasi dan dokumentasi ataudisebut juga studio. “Hei, Tefro, gua boleh minta tolong nggak?” Tanya Revan kepada Revan sangketua penanggung jawab bagian, klub dan ruang publikasi dan dokumentasi. “Apa?” Tanya Tefro. “Tolong masukin gua ke bagian publikasi dan dokumentasi, tapi gua nggakpunyakamera jadi masukin gua ke bagian editing,” “Hah, Kok, tiba-tiba,” Kata Tefro tidak percaya


63“Hanya ingin membuat suatu hal,” Jawab Revan percaya diri. Setelah Tefro setuju untuk memasukkan Revan, Tefro terkejut kalau Revansangatrajin mempelajari dunia multimedia. Hingga beberapa hari kemudian, ternyatakemampuan Revan lebih hebat daripada yang lainnya dan malah bagianpublikasi dandokumentasi menjadi lebih baik olehnya. Contohnya ialah short movie yang diedit olehRevan tiga kali lebih banyak viewernya daripada sebelumnya.1Bulan Kemudian. Setelah kebiasaan itu Revan, semakin mahir dalamdunia multimedia danmemindahkan waktu kerja paruh waktunya menjadi shif malam. “Wih, makin jago aja lu,” Puji Trefo. “Iya nih, kak Revan, tolong ajarin dong,” Sambar junior-juniornya. “Jago dari mana? Baru 2 bulan disini,” Kata Revan merendah. ” Masih bilang anak baru,” Trefo lalu mengambil sertifikat penghargaanyangdidapat dari perlombaan pembuatan short movie Tingkat kabupaten setelahtigaminggu Revan berada di sini dan itu muruni hasil dari editan Revan seorang. “Terus ini apa?” Tunjuk Trefo yang membuat Revan tertawa. Brakkk!!Suara keras pintu yang terbuka lebar hingga menabrak dinding itumembuat semuaorang tertuju pada sumber suara. “Info!... Info! Ada perlombaan short movie Tingkat nasional tentang ‘Karya anakbangsa dalam membangun ekonomi negara’,” Kata Rasastra wakil penanggungjawabstudio. “Wuih... boleh tuh,” Sahut Trefo.


64“Semuanya! Mari kita buat karya terbaik kita dan tunjukkan kepada negara,” Kara Trefo berproklamasi sambil mengangkat tangannya keatas dan disambut seluruhanak studio. Setelah petang, Revan kembali ke pasar untuk menjemput neneknya lalu pulang kerumah bersama. “Nek, nanti Revan ada perlombaan tingkat nasional membuat short movie, mohonridhonya nek,” Izin Revan setelah pulang ke rumah. “Tentu saja nenek meridhoi, Revan,” Kata neneknya terbatuk-batuk. “Nanti, kalau Revan sudah jadi editor, nenek berhenti berdagang ya? biar Revanyangnyari duit,” Bujuk Revan. “Tentu Revan, sekarang nenek sudah tenang,” Balas neneknya terharu.Setelah satubulan berlalu, akhirnya short movie mereka akhirnya selesai dan sudah diedit laludi upload. Dan akan diumumkan pemenangnya satu minggu kemudian. 1 Minggu kemudian “Revan, katanya hari ini pengumuman pemenang lomba film kan?” Tanya Kana. “Ya, aku nggak sabar buat liat siapa pemenangnya,” “Semoga menang, ya, nanti kalau sudah lulus boleh nggak, kamu edit video kita berdua nanti,” Kata Kana tidak sadar. “Hah?” Revan terkejut dengan perkataan Kana tadi. “Eh, maksudnya itu... Nanti pas kita lulus kan ada study tour, maksudnya nanti kamumau nggak editin video-videonya,” Jelas Kana dengan cepat karena sadar akanperkataannya.


65“Haha... Iya deh, mau editin video tentang keluarga kita juga boleh,” Goda Revanmembuat wajah Kana memerah. Bel pulang sekolah berbunyi, dengan segera Revan menuju studio di sekolahnya dan disambut oleh penghuninya. “Wih, Van cepet nih, pengumumannya mau keluar,” Kata Trefo Revan punlangsung menuju komputer tempat mereka berkumpul dan melihat layarkomputernya. Tertulis disana juara pemenang pertama adalah sekolah milikRevan. “Wwwooooaaaaa... Meenaaaannnnggggg,” Sorak semuanya senang. “Malam ini kita pesta di cafe tempat Revan kerja, gua traktir,” Teriak Trefo bahagia. Akhirnya mereka berpesta di cafe tempat Revan bekerja, lalu Revan melanjutkanhidupnya dalam dunia multimedia dan bekerja di perusahaan filmterkenal danmenikahi Kana dan tinggal bersama sambil menemani neneknya. Pahlawan Perfeksionis (Sofi Rizqa Agustiani) Kepalaku yang berat mulai kusandarkan pada hamparan luas berbalut rasa. Perlahan mataku mulai tak mampu melawan kantuk yang merajai. Semester terakhir SMA menjadi momok menakutkan untuk orang-orang yang merasa taksempurna, seperti aku. Mungkin memang benar kata orang-orang, menjadi seseorang yang perfeksionis itu menyakitkan. Selama ini aku terus menuntut kesempurnaan, tetapi kesempurnaan itulah yang justru pelan-pelan menghancurkanmimpi-mimpiku. Haus kesempurnaan merebut atensiku pada satu titik dari ribuantitik yang terpatri dalam benakku. Bahkan tuntutan kesempurnaan itumampumengoyak kepercayaan dan emosi orang lain. Sekarang aku sadar, akuhanya bisamenjadi diriku yang apa adanya, aku harus membuang kesempurnaanyang teruskugenggam erat.


66” Kalau saya sudah besar, saya ingin jadi pahlawan, Bu,” celetuk aku kecildengansemangat. Suara itu tanpa sadar membangunkanku. Aku menyipitkan mataku di tengah bilik yang temaram, rupanya jamsudahmenunjukkan pukul sembilan malam. Dari bilik seberang, aroma robusta sayup- sayup memanggilku. Kulihat ayah sedang tenggelam dalam setumpuk berkas di mejanya. Pemandanganitu seolah mengetuk dalam sanubari. Jika besok aku takseperti apa yang ayahbayangkan, akan seperti apa diriku kemudian. Bimbingan, bimbingan, bimbingan, setiap hari bukan waktunya menikmati secangkir kopi. Sepulang sekolah akan ada kelas tambahan untuk membekali siswa-siswi di sekolahku sebelum memasuki dunia perkuliahan. Berkali-kali sudah tatapan teduhguru BK membuatku terlarut dalam kebimbangan. Belum lagi nilaikuyang justrumenurun. Tetapi, tak pernah setetes pun air mata lolos dari pelupuk mataapalagi wajahku yang berubah Semerah delima. Aku menolak sadar dengan realita. Dalamkegundahan, jemariku menggoreskan rangkaian kata. Sudah tak terhitungjumlahnya cerita-cerita dan puisi yang telah kucipta. Suatu ketika, buku catatantempatku menuliskan cerita tak sengaja terselip di antara buku pelajaran kelasku. Aku baru sadar, kegundahan telah membuyarkan pikiranku, hingga yang kutumpukbukanlah cacatan Bahasa Indonesia, melainkan catatan rahasia tempatkumencurahkan rasa lewat cerita. Saat itu, aku sudah berniat untuk mengendap- endapke ruang guru untuk menukar bukuku diam-diam, tetapi kemudian akuurungkan. Hari Selasa, jam pelajaran pertama, aku mendengar ketukan suara sepatuyang renyah menuju kelasku. Seorang wanita yang telah berumur membawa setumpuk buku. Tatapan tajamnya tampak dari balik kacamata kotaknya yang khas. Aku yang duduk di kursi belakang sudah bersiap-siap menyiapkan seribu alasantentang buku catatanku yang tertukar. Satu persatu nama telah terpanggil, tetapi takpernah sekali pun kudengar namaku dipanggil, bahkan tak ada satu pun bukuyangtersisa di meja guru. Kakiku gemetar, aku merasa jantungku terpacu kencang, Sedang tanganku yang memegang buku catatan Bahasa Indonesia tak sengaja melepaskan kuasanya.


67“Ada yang belum dipanggil?” ucap ibu guru dengan tegas. “S-saya, Bu,” sahutku ragu. ”Kemarin saya mengoreksi tugas tidak menemukan buku kamu, justru bukuini yangsaya temukan. Jadi, nilai kamu masih kosong. “Bukunya hilang?” Sahutan itu membuat tenggorokanku kaku, belumlagi tangankuyangbergetar hebat sesaat setelah kata terakhir dilontarkannya. “Maaf, Bu. Saya tahu, Saya memang teledor. Buku saya sebenarnya tidak hilang, saya cuma keliru saat menumpuk tugas. Saya minta maaf dan siap menerima konsekuensinya.” Bu guru mendecak pelan. “Hari ini saya maafkan. Lain kali jangan diulangi. Sudah mau lulus tapi masihbegini. Ayo, kumpulkan sekarang bukunya. Bas, nantisore temui saya di ruangguru.” Aku mengangguk mengiyakan, setidaknya satu kekhawatiranku telah sirna. Fana merah jambu mulai menyiratkan eksistensinya. Suara riuh menggema dari balikkelas-kelas, tak lupa dengan suara denting jam yang menggema. Ku ketuk pelanpintu kokoh di depanku. Dari dalam tak terdengar sahutan. Jemari kumemberanikandiri meraih gagang pintu dan membukanya. Wajah-wajah bahagia tampak jelas dari guru-guru yang telah bersiap menenteng tasnya, tetapi ada satu guru yang masihberkutat dengan kesibukannya. Dia adalah Bu Ratri, guru Bahasa Indonesia dengankesabarannya yang seluas samudra. Aku mendekatinya, jemari lentiknya lantas mengulurkan dua buah buku yang berbeda kepadaku. Satu bukucatatan pelajarandan yang satunya adalah buku ceritaku.


68“Saya sudah membaca ceritanya, saya tidak menyangka ternyata kamu mahir menulis cerpen. Sejak kapan suka nulis begini?” dia membuka pembicaraan. Akuyang sibuk meneliti lembaran demi lembaran tugasku dibuat terkejut. “Eh, itu sudah lama, Bu. Hanya saja ...,” ucapanku terpotong. ”Kamu punya bakat menulis, Bas. Saya kagum dengan tulisan kamu yangrapi, bukan sekedar dari goresan tanganmu, tapi juga tanda baca, ejaan, estetika, dandiksi yang kamu pilih jauh berbeda dari teman-temanmu. Sebenarnya saya sudahmemantau ini sejak bimbingan beberapa waktu yang lalu. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah menentukan mau lanjut ke mana besok?” tukasnya. “Sudah, tapi saya masih ragu.” Aku tertunduk, netraku mengisyaratkansendu yangtak bisa kubendung kala mengingat bayangan ayah dan sejuta riuh yang kuhadapi. ”Kenapa?” balasnya ringan. “Saya takut tidak bisa membanggakan orang tua saya, Bu. Saya sadar, saya punya banyak kekurangan, bahkan sekarang nilai saya menurun. Saya punya keinginanmasuk sastra, tapi gimana masa depan saya nanti. Orang-orang bilang, Sudah bukanwaktunya belajar sastra. Saya minder lihat teman-teman saya yang punya cita-cita jadi programmer, youtuber, musisi, intel, sedangkan cita-cita saya, mana ada yangmau menerima saya.” Suaraku semakin memelan, tercekat air mata yang mengikat kata. Bu Ratri bangundari kursinya, tangan dinginnya mengelus pundakku pelan. Tangisku semakinmenjadi-jadi, sedang bisikan pelan terus menenangkan emosiku yang tak terkontrol. Bisikannya seolah meramu mantra penenang, terlebih setelahibu tiada, tak ada lagi sosok ibu yang merengkuh perasaanku lagi. Sosok wanita hebat itu terus berada di belakangku semenjak hari itu. Hari-hari berlalu dengan deretan huruf dan angka yang memenuhi catatanku. Goresan-goresan itu kemudian terganti oleh layar digital. Kalender rumahku bukan lagi dipenuhi oleh pengingat ulang tahun atau hari


69istimewa, melainkan jadwal-jadwal ujian yang harus kupenuhi. Kertas-kertas pengumuman pun kini banyak memenuhi majalah dinding sekolah. Setiap hari akumelewatinya, tak pernah sekali pun aku membayangkan namaku terpampang danmenjadi perhatian banyak orang. “Bas, lo udah liat pengumuman UKBI belum?!” Langit datang ke kelas dengannapasnya yang tak beraturan. Aku yang tengah membaca novel di sudut ruanganteralihkan atensinya. Segera selepas itu, Langit mengajakku berlari ke arahmajalahdinding sekolah. Di sana, banyak orang sudah berdesak-desakan untuk mencari namanya. Tanpa perlu bersusah payah, netraku telah mampu menemukan nama empunya. Namaku berada di baris teratas dari ratusan nama yang ada. Takberapa lama, suara dari ruang penyiaran memanggil namaku, disusul dengan tepuktanganyang bersahutan dari orang-orang. “Bas, ini kesempatan lo. Sana, cepet!” perintah Atma. Mendengar itu,kepercayaandiriku seolah memelukku erat. Aku dengan cepat melangkahkan kakiku ke arahsumber suara dengan senyum yang merekah tanpa lelah. “Predikat Istimewa UKBI, ya. Cumlaude sastra. Juara lomba menulis cerpen, juara, juara,” gumam seorang wanita membaca satu persatu berkas yang kubawa. Klik, klik, klik, suara kuku yang terpotong oleh deretan gigiku yang rapi memecahhening ruangan. Aku mulai merasa tidak enak, terlebih jendela ruangy ang terbuka mengundang dingin. Hanya ada aku seorang diri di sana. Saat aku hendak mencari udara segar di luar, tiba-tiba namaku terpanggil. Aku langsung merapikan kemeja dan tatanan rambutku. ”Kami akan mempertimbangkan keputusan kami untuk menerima Anda. Pengumuman penerimaan akan di-share melalui WhatsApp. Ini berkas- berkasnya,ya, Pak. Kami tunggu anda untuk bisa bergabung di perusahaan kami.” Wanita itumenjabat tanganku dengan tegas.


70Aku menerima uluran tangannya dan pergi meninggalkan tempat interviewdenganperasaan bimbang bercampur bahagiakarena sudah mendaftar di sana. Di perjalananpulang, aku mampir ke warteg tempatku makan sepulang sekolah dulu. Tak ada yang tampak berbeda setelah empat tahun lamanya aku tak mengunjungi warung ini lagi. Seperti biasa, aku memesan perkedel dengan sayur nangka kesukaanku. Saat pemilik warung tengah membungkus pesananku, bayangan seorang wanita yangkukenal tengah memilah-milih lauk di depannya. “Bu Ratri?” aku memanggil wanita itu. Dia menoleh dan tersenyum padaku. “Nak Bas, gimana kabarnya?” Klik, klik, klik, suara ketikan laptop menemaniku di perpustakaan. Ditemani dengan segelas kopi, jemariku asyik menari mencipta kata demi kata. Sudahberjam-jam lamanya aku duduk menulis cerita. Aku kerahkan seluruh imajinasi kuuntuk lomba cerpen terakhirku di SMA. Sesekali, aku senyam-senyummelihat hasil karyaku. Resolusi sudah tergambar di depan mata. Namun, sesaat kemudian, pikiranku hampa. Aku tak bisa menyelesaikan bagian akhirnya. Aku berdecakkesal, lantas kertas-kertas yang berserakan di mejaku kuremas erat-erat. “Gimana progress-nya?” tanya Aruna. Dia berjalan ke arahku. Netra indahnya mencuri-curi kesempatan membaca cerpenku. Baru seteguk kopiku minum, akukemudian meletakkan secangkir kopi itu dan beranjak merebutlaptopku dari Aruna. Bukannya marah, Aruna justru terkekeh geli. Aku yang takheran dengantingkahnya, kembali melanjutkan cerpenku yang sejenak terhenti. “Apaan, sih. Jangan ganggu aku, Na,” celetukku kesal. Belum sempat kugenggamsecangkir kopi di sampingku, Aruna sudah lebih dahulu menanyakan pertanyaanreceh padaku.


71”Kenapa, sih, Bas. Lo minum kopi enggak pernah diabisin. Cuma diseruput dikit, terus ditinggal sampai dingin. Ujung-ujungnya dibuang. Mau lo apaan coba?” “Enggak usah repot-repot ngurusin urusan orang.” “Gue pernah dikasih tau sama bokap gue dulu, waktu beliau masih ada. Setiapbeliau bikin kopi, pasti gue selalu ikut-ikutan. Padahal paling gue minumdikit doang. Abis itu gue tinggal. Lama-lama bokap gue jengkel,” dia menghentikanucapannya. “Terus, terus?” sahutku penasaran. ”Kata bokap gue, hidup orang itu kayak kopi. Enggak selamanya hidup itumanis, tapi bagi penikmatnya, kopi itu nikmat sekalipun pahitnya minta ampun. Kopi ituenaknya pas anget, kalau udah dingin bikin kembung. Sama kayak masalah, semakin lama dibiarin malah bisa bikin celaka buat kita,” jelasnya. ”Kamu masih konsisten pengin jadi editor penyuntingan, kan?” lanjutnya. “Enggak tau. Aku udah bilang mau jadi pahlawan ke ayahku. Mending akujadi polisi lah. Editor itu cita-citaku pas pupus harapan aja, hahaha.” Aku tertawa renyah. “Lo salah, Bas. Editor juga pahlawan. Bayangin kalau enggakada editor,tuh, buku lo enggak bakal serapi itu. Secara enggak langsung, editor itupelestarisastra dan bahasa. Bukan cuma ngedit, editor bisa jadi konsultan penulis. Kerja itubukan sekedar uang atau harga diri, tapi pengorbanan dan value-nya juga, Bas.” Aku memikirkan pembicaraan kami hingga larut malam. Kurang dari duabulan lagi, aku harus menentukan pilihan. Malam-malamku kini ditemani overthinking dansecangkir kopi. Ayah akan pulang menjelang larut malam dan saatayah pulang,


72akan kusambut hangat untuk membantuku mendiskusikan masadepan. Selama ini, aku tak pernah menyinggung tentang apa yang sebenarnya aku inginkan. Tok, tok, tok. Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku. Aku bergegas ke ruang tamu. Kusingkap tirai penutup jendela dan kutemukan ayah dengan sekotak martabak di tangan kanannya. Aku membukakan pintu dan mempersilahkan ayah masuk. Sementara ayah membersihkan diri, aku menyeduh secangkir kopi kesukaan ayah. Perlahan aku membuka sekotak martabak yang dibeli ayah sepulang kerja, rupanya di luar sempat hujan dan martabak itu ayah beli sembari menunggu hujan reda. Kopi ayah tinggal setengah, tetapi aku belum berani membuka perbincangan. Netra ayah sejenak melirik padaku. Seolah paham, ayah segera menghabiskan martabakyang dikunyahnya dan membuka suara. “Gimana besok kuliahnya?” “Kalau itu, sebenarnya Baskara mau minta ijin dulu ke ayah,” balasku ragu. “Lho, emang kenapa. Masalah kuliah itu senyaman kamu aja, tergantungminat danbakat kamu. Kamu itu orangnya perfeksionis, kan. Siapa tau itu jadigolden ticket- mu ngeraih cita-cita.” “Gimana, ya. Sebenarnya Baskara pengin jadi pahlawan. Tapi, bukanpahlawankayak orang-orang selama ini bayangin.”Ayah menepuk pundakku. “Apapun itu, Nak. Seyakin kamu aja.” “Baskara pengin masuk Sastra Indonesia, biar besok kalau udah lulus bisajadi editor. Gimana, Yah?” aku berucap dengan percaya diri. Sayangnya, ayahtakmembalasku. Sesaat setelah tegukan terakhir dihabiskannya, ayahberpamitanpadaku dan pergi ke kamarnya. Tanpa sadar, pipiku telah terbasahi olehair mata. Sejak hari itu, aku tak pernah membicarakan masalah itu dengan ayah. Aku meraih kalender yang bertengger di samping ranjangku. Hari ini adalah hari


73yang istimewa bagiku. Aku bergegas menenteng tasku dan mengendarai sepeda melewati keramaian kota. Kerumunan orang-orang menyebar di depanaula ,menunggu pengumuman akhir penerimaan mahasiswa baru. Tangisan haruperlahan mengetuk pendengaranku. Aku teliti satu persatu nama-nama di majalahdinding sekolah. Aku terkejut bukan main, aku berhasil lolos masuk Sastra Indonesia di kampus impianku. “Bas, lo lolos. Lo keren, sumpah!” “Selamat, Bas. Lo emang pantes jadi anak sastra.” “Dih, apaan. Cari aman doang masuk sastra, coba masuk jurusan lain. Pastienggakketerima tuh, hahaha. ”Ucapan selamat terus membisikkan harsa ke dalam jiwa. Aku membenamkankepalaku dalam pelukan teman-teman yang merengkuhku. Meski perlahanperasaanku terkoyak oleh kedengkian. Hari itu terasa cepat berlalu, ucapan selamat, tangis haru, serta perbincangan masa depan mewarnai buku bersampul kokoh yangterus kugenggam. Di depan gerbang, ayah rupanya sudah menunggu. Ayahtersenyum, lantas berkata, “Selamat, Nak. Kamu hebat.” Tangisku mengucur deras, kupeluk tubuh ayah erat- erat. Mulai hari itu, aku berjanji untuk terus membanggakan ayah dengan apa yangaku punya. Takdir yangt elah digariskan untukku mengajarkanku bahwa perfeksionis bukanlah hal yangsalah. Lewat jurusan yang kupilih, aku bertekadmenjadi “Pahlawan Perfeksionis”. “Pahlawan Perfeksionis?” tanya Bu Ratri.


74“Iya, doakan saja, Bu. Semoga saya beneran bisa jadi editor, hehe.” “Kamu, ya, hahaha.”Beberapa hari selepas itu, aku diterima bekerja sebagai editor di salah satup erusahaan penerbitan ternama. Hanya berselang beberapa bulan, beberapa buku telah berhasil aku sunting dan telah dipasarkan. Mungkin hati ini ingin berserah pada lelah, tetapi tekad dan harapan ayah terus menguatkanku, hingga aku bisa menjadi orang yang bisa dibanggakan. “Belajar sastra dan bahasa itu keren!” Harmoni Kreativitas Kesenian di Desa Kecil (Windi Juni Lestari) Dalam sebuah desa kecil yang terletak di lereng bukit, terdapat sebuah kehidupanyang penuh warna dan kreativitas. Desa ini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi penduduknya,tetapi juga menjadi panggung bagi sastra dan ekspresi budaya yangunik. Setiap harinya, Suasana desa dipenuhi dengan keceriaan dan imajinasi yangtak terbatas. Pada sebuah pagi yangcerah, di sebuah sudut desa yang tenang, hiduplah seorang pemuda bernama Rama. Rama adalah seorang pemimpi danpencinta seni sastra. Dia memiliki kekreatifan yang melimpah dan selalu mencoba untuk mengekspresikan pemikirannya melalui kata-kata yang indah. Rumahkecilnya dipenuhi dengan buku-buku klasik dan catatan pribadi yang penuhdengan puisi dancerita pendek yang ia ciptakan. Desa itu sendiri menjadi sumber inspirasi bagi Rama. Setiap bangunan, setiap pohon, dan setiap wajah pendudukdesa memiliki cerita sendiri. Rama senantiasa mencoba menggambarkan kehidupansehari-hari melalui tulisan-tulisannya,menciptakan dunia imajiner yangmemperkaya makna budaya desa. Pada suatu hari, desa tersebut mengadakanfestival seni dan budaya. Semua pendudukdesa berbondong-bondong berkumpul, membawa karya seni mereka masing-masing. Ada tarian tradisional, lukisan, dan


75pertunjukan musik. Namun, Rama memilih untuk mengekspresikan kreativitasnya melalui sastra. Ia membacakan puisi-puisinya yang sarat makna di panggung, mengundang para pendengar untuk merenung dan terhanyut dalamkata-katanya. Ternyata, karya-karya sastra Rama tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga menggugah rasa kebanggaan akan warisan budaya desa. Puisi-puisinya mencerminkan keindahan bahasa sastra dan kearifan lokal, menjembatani masa laludan masa kini dalamsebuah alur kata yang indah. Dengan demikian, desa kecil itumenjadi lebih dari sekadar tempat tinggal. Ia menjadi tempat di mana kreativitas bahasa sastra dan ekspresi budaya bersatu, menciptakan warisan yang takterlupakan bagi generasi-generasi mendatang. Rama, dengan kekreatifannya, berhasil membawa desa ke dalam sorotan, mengajak semua orang untuk merayakankeindahan kata-kata dan ekspresi budaya yang kaya. Suasana di desa semakin hidupdengan kehadiran festival seni dan budaya. Pada hari itu, seluruh desa terasa seperti panggung besar yang memamerkan keberagaman kreativitas. Penduduk desa dengan bangga menampilkan hasil karya mereka, mulai dari seni rupa hingga tariantradisional. Namun, sorotan khusus jatuh pada penampilanRama yang membacakanpuisi-puisi indahnya. Ketika Rama berdiri di atas panggung, pandangan mata semua orang tertuju padanya. Dalam detik-detik itu, desa menjadi sunyi, hanya terdengar suara lembut angin yang menyapa pepohonan. Rama memulai pembacaan puisi pertamanya dengan penuh emosi, dan kata-katanya seolah menjadi benang yangmenghubungkan hati setiap pendengar. Puisi-puisinya bukan sekadar rangkaiankata, melainkan jendela yang membuka pandangan baru tentang kehidupan di desa. Setiap bait puisi menciptakan gambaran yang jelas tentang kehidupan sehari-hari, keindahan alam, dan kebijaksanaan nenek moyang. Rama tidak hanya menunjukkan kreativitas bahasa sastra, tetapi juga berhasil menyentuh hati setiappendengar. Saat ia menyampaikan kata-kata tentang kebersamaan, kepedulian, dancinta terhadap tanahair, seisi desa terasa bersatu dalam kehangatan kebudayaanmereka. Pada akhir acara, tepuk tangan meriah bergema di seluruh desa. Rama bukan hanya menjadi pahlawan sastra lokal, tetapi juga simbol kebanggaan bagi desa kecil itu. Para penduduk menyadari bahwa kreativitas bahasa sastra dapat menjadi kekuatan besar untu merawat dan melestarikan ekspresi budaya mereka.


76Setelah festival, Rama menjadi semakin terkenal di antara penduduk desa danbahkan di luar desa. Karya-karyanya menjadi inspirasi bagi banyak orang untukmengeksplorasi kreativitas mereka sendiri. Pusat desa menjadi tempat berkumpul bagi para seniman dan penulis muda yang ingin belajar dari Rama dan berbagi ideide mereka. Dengan demikian, kehidupan di desa kecil itu berubah. Kreativitas bahasa sastra dan ekspresi budaya tidak hanya menjadi hiburan, melainkan juga daya ungkit untuk memperkuat ikatan antar penduduk. Desa kecil itu menjadi cermin bagi bagaimana kreativitas dapat menjadi kekuatan yang merajut hubungan, merawat warisan budaya, dan membentuk identitas suatu komunitas. Meskipunkehidupan di desa tampak penuh keharmonisan setelah festival seni dan budaya, namun, seperti setiap kisah hidup, tak selalu terhindar dari konflik. Pada suatu hari, Sebuah perdebatan muncul antara para pemuda desa yang memiliki pandanganberbeda tentang bagaimana kreativitas seharusnya diekspresikan. Pertemuan ituberlangsung di bawah rindangnya pohon besar di tengah desa. Beberapa pemuda, yang termasuk di antaranya adalah teman-teman Rama, berpendapat bahwa ekspresi kreativitas harus lebih modern dan mengikuti tren global. Mereka berpikir bahwa desa harus berubah dan mengadopsi gaya hidup yang lebih kontemporer untuk tetap relevan. Namun, Rama dan sekelompok pemuda lainnya bersikeras mempertahankan keaslian dan kearifan lokal dalam ekspresi kreativitas. Mereka berpendapat bahwa kreativitas tidak hanya mengikuti tren,tetapi juga menciptakantren yang bersumber dari kekayaan budaya mereka sendiri. Pemandangan desa yang damai dan tradisional tidak harus hilang hanya karena kemajuan zaman. Rama, dengan kepemimpinan lembutnya, mencoba menyatukan kedua belah pihak. ”Kreativitas itu seperti aliran sungai yang tak terbatas," ucap Rama dengan bijak. "Kita bisa mengeksplorasi dan mengadopsi ide-ide baru, tetapi kita juga tidak bolehmelupakan akar kita, kebijaksanaan nenek moyang yang telah menjadi landasankehidupan kita.


77"Namun, pemuda yang ingin mengadopsi perubahan berpendapat bahwa untuktumbuh,desa harus berinovasi dan beradaptasi. "Tanpa perubahan, kita akan terkungkung dalam masalalu," ujar salah satu dari mereka. Menciptakan ketegangan yang nyata di antara penduduk desa. Namun, denganbijaksana, Rama mencoba menengahi dan mengarahkan mereka untukmencari solusibersama. "Mari kita cari jalan tengah yang menghormati tradisi kita tetapi juga membukapintu untuk inovasi," kata Rama dengan nada penuh harapan. Perdebatan pun berakhir dengan kesepakatan untuk membentuk sebuah kelompokkerja yang terdiri dari berbagai generasi, yang akan bekerja sama untukmenggabungkan kekayaan tradisional dan inovasi. Ini menjadi langkah awal bagi desa kecil tersebut dalam menciptakan harmoni antara kreativitas, tradisi, danperubahan. Beberapa minggu berlalu, kelompok kerja yang terbentuk mulai bekerja sama. Meskipun ada ketegangan awal, mereka saling berbagi ide dan pandanganuntuk menciptakan suatu ekspresi kreativitas yang mencakup kekayaan tradisional dan inovasi kontemporer. Mereka menyadari bahwa kreativitas sejati datang dari kerjasama antar-generasi dan pemahaman akan nilai-nilai budaya mereka. Mereka memutuskan untuk mengadakan sebuah pertunjukan besar di desa. Pertunjukan ituakan mencakup segala bentuk seni, mulai dari tarian tradisional hingga instalasi senimodern. Namun, pembagian peran dan visi yang berbeda antara kelompokpemuda dankelompok tradisional menimbulkan ketegangan baru. Di malampertunjukan, desa itu dipenuhi dengan antusiasme dan penasaran. Panggung yangdihiasi dengan indah menjadi simbol perpaduan antara masa lalu dan masa kini. Namun,d i belakang layar, ketegangan mencapai puncaknya. Pemuda dankelompok tradisional terlibat dalam perdebatan panas tentang bagaimana seharusnya pertunjukan itu disajikan. Rama, sebagai penghubung di antara keduanya, merasa bertanggung jawab untukmencari solusi.


78"Kreativitas adalah tentang penemuan dan penerimaan," ucap Rama dengan lembut. "Mari kita lihat ini sebagai kesempatan untuk merayakan keberagaman kita, bukansebagai pertarungan antara tradisi dan inovasi. "Walaupun sulit, akhirnya kedua kelompok itu setuju untuk menciptakanpertunjukanyang mencerminkan harmoni antara tradisi dan inovasi. Mereka memutuskan untukmenyajikan tarian tradisional dengan sentuhan modern, serta memadukan musik tradisional dengan alat musik modern. Ini bukan hanya pertunjukan seni biasa; ini adalah upaya bersama untuk menciptakan karya yangmewakili roh dan identitas desa mereka. Saat tirai pertama terbuka, pandanganyang memukau memenuhi mata penonton. Pertunjukan yang beragamdanmemukau menciptakan pengalaman yang tak terlupakan. Desa kecil itu bersatudalam kebanggaan akan kekayaan budaya mereka, menunjukkan bahwa kreativitas sejati muncul ketika tradisi dan inovasi beriringan. Awalnya mengancamkeharmonisan desa, malah menjadi titik balik positif. Desa itubelajar bahwa kreativitas bukanlah pilihan antara masa lalu dan masa kini, melainkan perpaduanyang indah dari keduanya. Dengan pertunjukan yang sukses itu, desa kecil itutidakhanya merayakan kreativitas bahasa sastra dan ekspresi budaya, tetapi juga menyatukan penduduknya dalam cinta dan kebanggaan terhadap warisan mereka. Setelah pertunjukan selesai, suasana desa dipenuhi sorak-sorai dan aplaus. Kegembiraan terpancar dari wajah setiap penduduk, dan harmoni yang baru saja tercipta terasa begitu nyata. Rama, sebagai tokoh kunci dalam rekonsiliasi, merasa puas melihat bagaimana desa yang ia cintai telah bersatu dalam perbedaan mereka. Pada malam itu, para pemuda dan kelompok tradisional berkumpul untukmerayakan keberhasilan pertunjukan. Mereka saling bertukar cerita, tertawa bersama, dan merayakan keanekaragaman kreativitas yang mereka hasilkan. Rama menyampaikan kata-kata penghormatan kepada kedua kelompok, mengingatkanmereka bahwa desa mereka menjadi indah bukan karena persamaan, tetapi karena perbedaan yang dihargai. Seiring waktu, kerjasama antar-generasi ini tidak hanya menciptakan satu pertunjukans pektakuler, tetapi juga membuka pintu untuk


79proyek-proyek kreatif berkelanjutan di desa. Desa itu menjadi terkenal di sekitarnya karena upaya mereka dalam melestarikan warisan budaya dan memadukannya dengan inovasi yang menarik. Suasana damai dan keharmonisan yang melingkupi desa kecil itu. Kreativitas bahasa sastra dan ekspresi budaya telah membantumengatasi permasalahan, membuka pintu untuk pertumbuhan dan pemahaman yanglebih baikdi antara penduduk desa. Desa itu tetap menjadi tempat yang penuhwarna, di mana kreativitasditerima sebagai kekuatan yang menggerakkan roda kehidupan mereka. Selesai Setapak Mimpi Yang Digenggam (Zahwa Almaliku Nilamsari) Mimpi itu kembali lagi, Era terbangun dan mengusap poninya ke belakang, dan bila diukur bisa sepanjang jari telunjuknya. Mimpi yang menyebalkan, sungguh. Mimpiitu terus membawanya pada pikiran buruk yang selalu muncul tanpa diundang,apabila perasaan mimpi dejavu itu bisa menjadi schedule tiap harinya bekerja, Erajamin; pagi yang mekar, siang yang bolong, dan sore sebagai redupnya akan membuat isi kepalanya ruwet. “Ngelamun nggak bikin kamu kaya, meratapi keadaan sekarang bisa buat sayamiskin.” Sekejap Era kembali menatap layar komputer dan menegakkanpunggung, berpura-berpura jarinya menginjak keyboard, bibir yang tidak bisa dibilang tebal dan tipisitu berdesis pelan, pengawas killer dan hari yang buruk, sudah Era pastikan setiaphari akan menimpanya. “Bakat tidur dan banyak melamun bisa mengundang surat PHK atau resign loh,Ra.”


80Meskipun pelan terucap, telinga Era dibuat meriang. ‘Siap bekerja di bawahtekanan’ apabila tekanan semacam ini Era lebih memilih self job, tapi apa yang bisa Era perbuat, perusahaan penerbitan ini gajinya lebih bisa memastikan kebutuhanbulanannya. ”Kok, diem aja, sih?” tanya Andaman, pria berumur itu melangkah hingga berdiri di samping Era. Bukan Andaman namanya yang galak berakhir romantis, Eraselama dua tahun bekerja justru tidak mendapatkan kisah romantis dari Andaman,yang ada hanya; pekerjaan sebagai interpreter novel harus selesai denganbaik,cekat, dan benar. “Maaf, Pak, saya akan memperbaiki dua kebiasaan buruk itu,” Era menundukkankepalanya, “tapi izinin saya menyampaikan sesuatu yang sudah saya pikirkansatutahun terakhir apabila Bapak mengizinkan, saya ingin bekerja remote agar hasilnyaf leksibel, apabila saya duduk di kantor saya tidak bisa bekerja dengannyaman, dansaya bisa menjamin pekerjaan akan saya kerjakan tepat waktu,” lanjutnya lagi. Era tidak yakin keluh kesahnya akan disetujui mengingat Andaman bukan pria loyalterhadap penulis yang bekerja di kantor penerbitannya. Era menunggu jawabanAndaman, pria berumur itu justru fokus pada suara di sakunya, dengan lirik alis dandua mata yang mengerjap sekali bermaksud menyuruh Era menunggu. Gadis itutersenyum tipis, Andaman pria sibuk, sampai-sampai ia juga ikut sibuk denganucapan Andaman yang sarkas. Era menepuk jidatnya, sungguh ia melakukanbanyak kerugian hari ini. Naskah yang kemarin masuk belum ia kerjakan, dengancepat Era langsung menyipitkan matanya dan fokus pada pekerjaannya. Rasa pusing dan kusut melihat kosakata naskah novel Inggris membuat Era harus terus mencari inti dari alurnya, kemudian dengan imajinasinya ia merangkai penuhperasaan. Pekerjaannya ini tidak terlalu buruk, iaterlalu banyak mengeluh denganpilihannya, dari kejadian-kejadian buruk itu Era masih dapat merasakan ia menjadi dirinya sebagai interpreter novel.


81"Silakan pulang, saya setuju." Era berbalik cepat ke belakang sambil menatapwajah Andaman. Wajah Era yang datar berubah jadi berbinar, gadis itu berdiri danhendak memeluk, akan tetapi langsung ia urungkan. Andaman yang hampir mendapatkan serangan pelukan langsung melotot, Era terkekeh. "Baik, Pak. Terima kasih!" Ujarnya. ”Kenapa masih berdiri di sini?" "Eh?" Era mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu melanjutkan ucapannya, "Saya boleh pulang sekarang?" Andaman hanya berdehem pelan. Saat hendakmembereskan alat bekerjanya,Andaman tiba-tiba terbatuk kecil. "Kalau capek dengan pekerjaanmu, lihat saja bulan, setelah melihat bulan kamuakan merasa tenang." Era mengerjap mata-matanya berkali dan hendak berbalik badan, gadis itu dibuat bingung, Andaman sudah membelakanginya dan berjalan keluar pintu kantor. Penilaiannya terhadap Andaman tidak sepenuhnya benar. Andaman masih bersifat kemanusiaan, Era sungguh menghargai hal itu. "AKU BISA HIDUP DENGAN DAMAI!" Sungguh, Era berteriak tak karuansaatmasuk ke dalam kamarnya. Andaman membuatnya bisa sebahagia ini. "Hah!" Era menghela napasnya dan menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, laluterpejam pelan. Belum puas dengan pejaman mata, gadis itu dikejutkan suaraponselnya bergetar di dalam tasnya. Dengan lesu, Era mengambil tasnya danmencari ponsel dengan posisi masih memejamkan mata, rasa kantuk Era tak bisaterelak.


82"Ra!" Suara pekikan dari telepon membuat Era membuka matanya. "Gue barupulang dari kerjaan. Ada perlu apa, Ca?" "Gimana keadaan lo, Mama nunggu lo setahun ini buat pulang." "Gue belum bisa, Ca. Masih banyak kerjaan di sini, gue lebih nyaman ngekos, guejuga malu buat pulang." "Kerjaan lo masih jadi penerjemah naskah Bahasa Inggris ke Indonesia?" "Hum." Era berdehem pelan, entah kenapa menjawab pertanyaan Arca seakan ia tauarah ucapan pemuda itu. "Mending lo—" "I don't need your advice, Ca. Ini kerjaan gue, gue ngejalaninya, udah cukup, gue capek denger ocehan lo berulangkali, kalau beda masih gue dengerin, tapi ini sama,Ca. Manusia mana yang nggak bosen denger ini?" "Ra, dengerin gue dulu,” pinta Arca. Mendengar itu, Era membalas, “Apalagi?" "Pekerjaan lo udah tua, Ra. Mana ada orang butuh jasa lo? Sekarang semua udahcanggih, Ra, orang-orang buat baca novel asing tinggal google lens. "Perkataan Arca sungguh membuatnya seperti terhantam batu keras, ibaratnya iatidak sengaja hanyut pada air penuh lintah, perih dan mematikan. Apabila ditanya perasaannya setiap kali mendengar Arca berbicara hal yang sama, gadis itu kembali masuk pada mimpi buruknya yang sering ia mimpikan setiap terpejam; ia


83kehilangan pekerjaan, dibuang, dilupakan, dan ditertawakan karena masihpadabudaya kuno yang tertinggal dengan zaman. "Cukup, Ca. Gue banyak kerjaan! Bye!" Arca saudaranya itu sangat menyebalkan! Bagaimana bisa seorang yang dekat dengan dirinya berkata semenyakitkan itu! Sudah cukup untuk semua tekanan, gadis itu kemudian terduduk tegak di ujungkasur dan menyunggingkan senyum. "Gue bisa, kok!" Dua bulan berlalu, Era masih seperti biasa berkutat pada keyboard. Apa yangArcakatakan kini menjadi kenyataan: tidak banyak orang membutuhkan jasanya lagi,dua bulan terakhir ini masalah sering muncul, perusahaan penerbitan milikkeluarga Andaman sepi, peminat buku cetak menurun, kebanyakan mereka bisa mengakses bebas di internet berupa e-book, dan banyak buku dari penerbitankeluarga Andaman dibajak. Dampak krisis peminat membuat Era ikut merasakannya. "Pak, tidak bisa seperti ini dong! Naskah yang saya buat kenapa harus ditariklagi?Saya juga sudah menyelesaikan naskah novel Robert, kalau ditarik, ini dapatmerugikan penerbitan dalam segi waktu, tenaga, dan beban pikiran!" "Maaf, Ra. Rekan yang bekerja sama dengan penerbitan kita memintanya sepertiitu. Perusahaan juga sudah mengalami kebangkrutan yang parah, dengan berat hatikamu terpaksa saya PHK, dan perusahaan penerbitan yang keluarga saya bangunharus tutup." Era mengusap wajahnya kasar, mendengar suara Andamanmembuatpikiran Era kusut. "Pak, ayo pertahankan sekali lagi! Kita bisa cari solusi darimasalah ini."


84"Kalaupun ada solusi pasti dananya nggak murah, Ra. Semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik, saya tutup, ya. Saya ada kerjaan, nanti saya bayar gaji kamu bulan ini. "Tut!” Pak? Pak!" Era memejamkan matanya berusaha menenangkan dirinya. "Argh!Masalah apa ini?" Rumit! Ia sekarang menjadi pengangguran, bagaimana ia makan setelah bulan ini berlalu? Mengandalkan gaji terakhirnya? Era tidak yakin. Gadis itu dengan geram memukul meja bekerjanya di rumah dan menelungkupwajahnya. Mimpi buruk yang selalu membayanginya bersamaan ucapan Arca menjadikenyataan. Nasib dirinya akan menjadi seperti apa? Era dibuat gusar. Dua minggu lamanya Era masih meratapi nasibnya sebagai pengangguran. Tidakada keluhan lelahnya bekerja, dan pusingnya mendengar ocehan Andaman, semuaterasa kosong dan sia-sia. Era menggeram kesal, hidupnya hampa. Gadis itumengambil ponselnya berniat menelepon seseorang agar membantunya, belumredadengan kekesalannya, suara operator terdengar. "Maaf sisa pulsa Anda tidak mencukupi un—"Era menghela napas kasar. Setelahmendengar kalimat menyebalkan itu, ialangsung mematikan panggilan, tidak inginmembuang-buang waktunya. "Semiskin ini ya, gue?" monolognya. Gadis itu juga tidak bisa mengirimkanpesanWhatsApp karena kuotanya yang habis dua hari lalu dan menelepon pun ia tidakmemiliki pulsa. "Gue harus gimana?" Era berdiri dan merentangkan tangannya, ia harus menenangkan dirinya dengan berolahraga sekarang. Berusaha merelakan yangsudah terjadi, Era mengenakan sepatu untuk berjalan sore, setidaknya ini adalah halsederhana bermakna dalam untuk kesehatan mentalnya


85yang berantakan. Lingkungan tempat tinggal Era sepi, rumah-rumah yangterpampang memanjang pintu depannya tertutup seperti tidak ada kehidupan. Setidaknya kebahagiaan sedikit bagi gadis itu. Berjalan lebih jauh, di pinggir jalanraya, Era melihat beberapa orang berlalu lalang, pedagang kaki lima ikut serta di sekitarnya. Gadis itu tersenyum, ia mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu di note. Berdiri tak karuan dengan pikiran yang menabrak, aku tetap berkelana. Kubiarkanmasalahku, kupercayai skenario hidupku kepada penulis terbaik, tidakmungkinaku terus melarat. Lega rasanya, gadis itu menepi pada bangku di depanwarung yang tutup, danmeluruskan kakinya. Gadis itu menghela napasnya dantersenyum tenang. "Ra!" Era sontak memandang ke kiri, ada gadis yang berdiri dengan tegak, dansenyuman lebar ke arahnya sambil melambaikan tangan. Era sedikit bingung, lalumengerutkan keningnya. ”Kamu nggak kenal aku lagi?" Era terus menyipit, wajah gadis di sampingnyaterasa tidak asing. Di mana Era bertemu dengan gadis ini? Ah, Era terkekeh, iaketerlaluanbisa melupakan gadis yang di sampingnya begitu saja. "Mbak Dewi?" Tebak Era. Dewi mengangguk dan duduk di samping Era. "Kamu abis jalan santai juga?" "Iya, Mbak, waktu yang bagus kan, sore hari?" Era terkekeh setelah mengatakanitu. "Ahahaha, kamu bisa aja. Tumben banget kamu pulang cepat, atau sekarangsedanglibur?" "Perusahaan penerbitan tempat bekerjaku bangkrut dua minggu yang lalu," ujar Era. Dewi memandang wajah sendu Era sontak memegang pundak Era.


86"Percaya samaTuhan ya, Ra, Dia nggak pernah menguji melewati kemampuanhambanya." Era mengangguk, meski sekarang sedang berat-beratnya, ia tidak akanmeragukan penulis semesta! Dewi yang hendak mengusap pundak Era terhenti ketika menyadari ponselnya berdering. Gadis itu segera mengangkat panggilantelepon. "Halo, Mbak? Kenapa, ya?" Dewi memandang lurus sambil menggenggamteleponnya, Era menatap wajah yang berkerut itu nampak khawatir. "Baik, Mbak. Saya segera mengecek email yang masuk." Panggilan tertutup. Dewimenundukkan kepalanya sambil menghela napasnya. ”Kenapa, Mbak?" tanya Era.Wajah Dewi yang semula berseri nampak lebih redup. "Ada kasus penculikan yangbelum terpecahkan di Jerman, korbannya ada tujuhorang, dan tiga orangnya dari Indonesia, diduga seorang penulis yang menjadi pelakunya, semuanya diperiksa, pelaku mengatakan ia tidak akan pernah mengakui kejahatannya, tapi sebelum pelaku ditangkap, karyanya yang baru saja terbit seminggu yang lalu yang akan menjadi bukti terakhir.” Era terdiam sejenak. "Jadi, Mbak Dewi disuruh menulis jurnalnya?" "Tapi, Mbak belum fasih Bahasa Jerman, Mbak Dewi harus gimana?" tanya MbakDewi. Era, gadis itu menimbang-nimbang, kemudian langsung tersenyum. "Mbak, Era bisa sedikit-sedikit bisa Bahasa Jerman, nanti Era bantu terjemahkan!" "Kamu yakin, Ra? Kamu kan, terbiasa dengan Bahasa Inggris." "Serahkan ke Era, Mbak." Mbak Dewi mengangguk. "Nanti Mbak Dewi hubungi kamu, ya, Ra."


87"Siap, Mbak." Era menoleh pada Mbak Dewi dengan wajah tidak enak hati . "Mbak,Era boleh pinjem lima puluh ribu nggak? Kuota Era nggak ada lagi, gaji terakhirEra sisa seratus ribu, itu pun untuk makan, kalau dibelanjakan Era nggakbisamakan besok. "Mbak Dewi mendengarnya terkekeh dan mengeluarkan dompetnya memberikandua lembar uang merah. "Astaga, Ra. Tentu saja, nggak perlu minjem! Ini buatkamu. "Era melotot sambil berujar, "Ini terlalu banyak, Mbak." "Udah kamu simpen, Mbak kemarin dapat rezeki. Besok ke rumah Mbak, ya, Ra. Nanti di sana kamu mulai bantu, Mbak." "Siap. Terima kasih, Mbak!” Terhitung sudah tujuh hari Era masih berkutat pada komputer untukmenerjemahkan novel berjudul 'Dunkles und Faules Loch' denganbantuan Artificial Intelligence; ia dapat dimudahkan, Era mengerti, ada sesuatuyang istimewa dari teknologi saat ini, meskipun terasa dimudahkan, Era masihdibingungkan dengan translate otomatis tersebut. Selain hidupnya yang tertantangdengan kemajuan alat translate, Era juga punya peluang yang luar biasa untukdimanfaatkan dan membuat pekerjaannya lebih cepat, perlu ia harus ingat Artificial Intelligence canggih tidak memiliki kemampuan seperti dirinya sebagai manusia yang harus memaknai setiap kosakata pada bantuan ilmu sastranya, berkomunikasi dengan orang Jerman sendiri untuk memastikan pemaknaannya, dan perasaankhususnya pada kisah novel yang ditulis oleh Abe, penulis yang diduga menjadi pelaku penculikan. Diibaratkan ungkapan tulisan tanpa dibantu rasa oleh manusia hanya sekadar benda mati tanpa mesin.


88"Serem, sih." Bibirnya sontak bergumam, melihat judul novel dan membalik- balikan cover. "Lubang gelap dan busuk?" gumamnya lagi. Gadis itu menepis pikirannya yangbercabang dan mengamati halaman terjemahan sebelumnya. "Berpijak selangkah, mereka berhasil menggapai bulan, berpijak dua langkahmereka akan ke neraka. Biarkan semu adalah tantangan, biarkan lega obatnya." Era kembali bergumam, gadis itu menyandarkan punggungnya pada sofa. Ia memejamkan matanya memikirkan apakah ini adalah kata kunci yang selama ini kepolisian cari?Lupakan sejenak mengenai masalah di halaman novel yang ditulis Abe,, Era harus beristirahat sejenak dari aktivitas yang rumit. Era kembali menegakkan punggungnya dan disela-sela istirahat, ia juga menuangkan imajinasi menciptakan karya-karya sederhana, setidaknya ada yang ia lakukan selama di rumah Mbak Dewi. Era tersenyum lebar melihat tulisannya yangsudah selesai danmulai mempublish karyanya di platform Wepwrites, di sana sedang hangat- hangatnya menjadi trending: aplikasi menulis digital yang bisa dijangkau semua orang."... setelah melihat bulan kamu akan tenang." Kalimat Pak Andamanterbayang-bayang dipikirannya membuat Era sejenak memasang puzzle yang masihbelumjelas. "Berpijak selangkah, mereka berhasil menggapai bulan ... bulan dipandangmenjaditenang. Jadi, menikmati indahnya bulan mereka akan tenang ...."Era menjentikkan jarinya, gadis itu tersenyum. "Okay! Teori bulan dipecahkan!Terima kasih, Pak!" ujarnya, meskipun PakAndaman tidak ada di hadapannya. "Berpijak dua langkah mereka akan ke neraka. Eh, bentar ... neraka bukannya tempat pembuangan? Di mana isinya buruk. Lalu, biarkan semu adalah tantangan,


89biarkan lega obatnya. Semu adalah ketidakpastian yang menjadi tantangan danobatdari ketidakpastian menghasilkan lega! Apa ini ... jadi, penculikan ituberkaitandengan judul dan halaman tengah novelnya?" tanyanya menebak-nebak. "Gue harus nyamperin Mbak Dewi, nih!" Gadis itu berdiri dan keluar kamar tempat bekerjanya menuju dapur, tempat Mbak Dewi sedang mencuci piring."Mbak!" panggil Era. Mbak Dewi yang sedang mendengar alunan musik Darari milikTreasure langsung menoleh ke belakang dan langsung mematikan musikdiponselnya. "Ayo makan dulu, Ra. Mbak sudah masakin makanannya." "Ah, gampang itu, Mbak. Tapi, Era menemukan sesuatu yang dicari polisi." "Seriusan kamu?" Mbak Dewi menarik tangan Era duduk di kursi meja makan. "Gimana, Ra?""Korbannya ada di rumah pelaku dan lebih khususnya di Septic Tank milik Abe." Berita yang ramai dikunjungi di Twitter beberapa hari ini kembali ramai saat kabarpenemuan mayat—warga negara Indonesia— berhasil ditemukan danmembuat Eraterkejut saat jurnal yang ditulis untuk dibawa ke pengadilan tertera namanyasebagai pemecah kasus. "Mbak ... Instagramku ramai dan Twitterku banyak yangbertanya-tanya apakah akuEra yang memecahkan kasus itu." Mbak Dewi terkekeh. "Bagus dong! Kamu punya personal branding yang luarbiasa!" Era menggarukkepalanya bingung, lalu merebahkan tubuhnya di kasur dan memejamkan matanya. Mbak Dewi yang melihat wajah lelah Era tersenyum, ia benar-benar harus berterima kasih dengan gadis ini. Usai terbangun, Era memilih kembali ke kos, seperti biasa ia menjadi pengangguran lagi. Era membuka laptopnya untuk


90mengunjungi akun menulisnya. Ia dibuat terkejut dua kali ketika menemukanbanyak akun yang mengikutinya dan membaca novel yang ia buat dengan judul "Robots don't Have Feelings Like Humans". Banyak komentar yang mengatakankesetujuan akan hal itu dan meminta Era menyelesaikan novelnya yang satu ini danmenerbitkannya. Era terkekeh, semua seperti keajaiban, saat hendak membalas satukomentar yang menarik perhatiannyatiba-tiba ponselnya bergetar. "Halo, Mbak. Kenapa?" "Halo, Ra. Mbak mau ngasih kabar gembira. Rabu depan kita diundang ke istana kepresidenan untuk mendapatkan penghargaan."Era melotot mendengarnya. "Mbak ... serius?" "Iya dong! Ada sesuatu istimewa menanti kita!"


91Kelas Sastra (Ilham Al Badi Soewartono) Kakak sudah ke Amerika. Menuntut ekonomi dan bisnis di barat. Sahabatku sudahke Jepang. Mencari pencerahan di Asia Timur. Sementara aku, masih di sini. TanahPasundan yang dikelilingi bukit. Kampus yang sederhana sebagai mahasiswa baru. Aku sampai berpikir, kenapa aku tidak mampu menembus batas-batas mereka atausetidaknya batas-batas yang aku buat sendiri. Sebatas masuk universitas terbaik di Indonesia saja aku tidak bisa, apalagi menembus batas mereka. Sekarang akuhanyadi sini saja. Menyiksa diriku pada batas-batas tersebut. Cahaya matahari menyorot kamarku. Sudah panas dan mataharinya sudah naik. Ini sudah jam10siang. Teringat semalam aku menulis novel untuk festival. Ragaku belumsiapuntuk memulai hari. Hari ini aku ada kelas, mata kuliah SejarahKesusasteraanIndonesia, Jam 10. Ini sudah terlambat berdiam diri. Wajahku begitu kotor danrambut panjangku berantakan. Aku hanya cuci muka, langsung berganti baju danmembakar rokok. Memulai hari dengan terpaksa berjalan ke kampus. KemarauJatinangor menyiksa fisik dan batinku. Bukan sebatas masalah suhu. Tapi,melihat kampus ini saja terasa sakit. Rokok pun tidak bisa menyelamatkan batin yang sudahterjatuh seperti ini. Kampus ini titiknya. Masalah batin itu selalu ada karena aku


92tidak seharusnya disini dan aku tidak mau ada di sini. Selama aku kuliah, aku tidakmendapatkan hal yang aku inginkan. Ilmu yang istimewa, rekan yang sama gila, dan segalanya yangbisa menghidupi mimpiku. Kampus ini sudah membuktikandirinya sendiri bahwa kampus ini belum sama derajatnya dengan universitas terbaikdi Indoensia. Namun, mau bagaimana lagi. Arah dan alur yang Tuhan bawa pada diriku sekarang sudah mutlak sampai di sini. Aku sudah tidak bisa berusaha apa- apa lagi. Pikiran itu berjalan selama 20 menit sampai aku tiba di fakultas. Hal-hal yang terpikir dalam otakku begitu buruk. Namun, harus aku akui. Berjalan di fakultas ini begitu menenangkan. Terlihat pemandangan taman yang luas denganberbagai bangunan antik dengan mahasiswa yang unik. Memang Fakultas IlmuBudaya adalah fakultas yang paling beragam. Di ujung taman, ada beberapa orangyang sibuk membuat video dengan segala atribut budaya Jepang. Di ujung taman, beberapa mahasiswa sibuk membuat video dengan segala atribut budaya Jepang. Setelah aku perhatikan, mereka sedang menari Yosakoi. Mengenakan kostumcerahdengan tenun khas yang mencerminkan sifat musiman Jepang. Aneh juga kenapa aku tahu hal ini. Di sisi lain, beberapa orang berdiskusi dengan membawa petabesar. Mungkin sedang belajar sejarah pelayaran kuno, aku tahu itu karena di petatersebut terlihat gambar naga. Di belakang jaket mereka tertulis “HimpunanMahasiswa Ilmu Sejarah”. Selama aku berjalan juga, beberapa orang berbicara bahasa inggris dengan fasih, beberapa orang lainnya yang melewatiku berbahasa mandarin. Setelah orang-orang tersebut melewatiku. Aku jadi lebih memperhatikanfakultas ini. Arsitektur bangunan di sini adalah yang paling unik. Bangunan gaya kolonial yang masih terjaga baik konsepnya. Walau sudah menguning, retak, dankotor. Mahasiswa yang hidup di sini berkembang dengan berbagai arah danmempelajari budaya dari negri nan jauh. Keberagaman ini menjadi identitas mutlakdari Fakultas Ilmu Budaya. Setelah melamun sepanjang perjalanan. Aku melihat jam di tangan kiriku. Sudah jam 10.25. Aku sudah sangat terlambat. Rasa gemetar ini sedikit ada. Walau aku tau aku akan selalu bisa masuk kelas, tapi rasa malu akanselalu ada. Aku ketuk sedikit dan mulai masuk. Sepintas aku mendengar dosen ini sedang membicarakan Pramoedya Ananta Toer. Penulis orde lama danpengguncang orde baru dengan tertaloginya. Di papan tulis juga dia sudah menulis


93beberapa penulis terkenal Indoensia. Buku Max Havelar juga dia tulis disampingdaftar nama-nama penulis. Mungkin untuk penjelasannya. Ketika aku masuk, dosenitu langsung melihatku dan berbicara, "Aduh. Ampunsekali ini mahasiswa."Aku hanya menunduk malu berhadapandengan dosen itu, "Maaf Prof, Izin sayaduduk.” Ketika aku duduk, dosen itu mulai berbicara tentangku di depan kelas. "Ini adalah contoh kawan-kawan. Pramoedya tidak pernah terlambat. Salah satu ciri penulis hebat dan besar adalah disiplin dan komitmen. Pramoedya dalampengasingannya selalu rutin menulis. Disiplin dan berkomitmen. Setiap hari dia tulis tentangperubahan. Membawa ide dan gagasan luar biasa.” Kemudianpandangannya terlaihkan padaku dan berbicara sembari menunjuk nunjuk akudengan spidolnya, "Anda ini sebagai mahasiswa baru saja sudah telat. Apa yang kamu cari di kuliahini? Mimpi besar menjadi apa? Bagaimana kamu ingin menulis buku atau menjadi orang yang besar, jika dalam menunjang dan menuntut ilmu saja kamu sudah tidakmemiliki komitmen dan disiplin." Aku masih menunduk malu dan berbicara kecil menanggapi beliau, "Maaf Prof,ada hal yang terjadi sehingga saya telat."Dia langsung bertanya padakudengan nada sinis, "Nama anda siapa?" "Saya Maha Putra Prof. Nomer Mahasiswa saya 120087951009" "Putra. Tolong anda berdiri dan menghadap pada rekan-rekan lainnya."


94"Baik." Aku langsung berdiri dari bangkuku menghadap rekan mahasiswa lainnya. Beberapa orang memperhatikanku dengan diam. Beberapa mahasiswa lainnya berbisik dengan teman di dekatnya, sedikit membicarakanku sepertinya."Coba anda ceritakan. Apa alasan anda telat. Mengapa anda memilih jurusan sastraIndonesia, dan apakah anda tau nama-nama yang ada di papan tulis ini. "Dosen itu menunjuk ke papan tulis dengan spidol di tangannya. Di papantulisterdapat nama Chairul Anwar, Budi Darma, Pramoedya Ananta Toer, Rendra. Nama-nama di papan tulis tertulis secara acak tanpa hubungan yang jelas. Mungkinnama-nama ini untuk menunjang pembahasan dosen dan nama-nama lainnya belumdi tulis oleh dosen ini. Aku tarik nafas dan berusaha menegakkan badanku, "Baik. Perkenalkan, saya Maha Putra Nanda Dewata. Pertama-tama, saya inginmeminta maaf karena saya telat dan mengganggu kelas mata kuliah ini. Namun, terima kasih Prof. Nazzan sudah mempersilahkan saya untuk masuk kelas ini. Alasan saya bisa terlambat lebih dari30 menit ke kelas ini adalah karena saya menulis beberapa tulisan untuk lomba dan festival kemarin malam. Seperti yangprof bilang sebelumnya. Memang saya kurang disiplin dalam menghadiri kuliah ini dan menyusun hidup saya, karena saya belum mampu mengatur waktu dengan baik. Namun, ada yang professor salah presepsi dari saya." "Jika Prof menilai saya sebagai orang yang tidak berkomitmen itu kurang tepat. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Saya mengerjakan tulisan saya, yangsudah saya susun dari tiga bulan lalu secara konsisten dan karya untuk festival sudah saya mulai dari dua tahun lalu. Ini berhubungan langsung dengan pertanyaa nkedua, mengapa saya memilih jurusan Sastra Indonesia. Tiga tahun lalu, saya mengenal menulis serta sastra dan dua tahun lalu saya memulai menulis karya saya. Saya sudah mendedikasikan hidup saya untuk sastra, mulai dua tahun lalu sampai saya berhasil berada dalam nama-nama yang ada di papan tulis lalu dan karya saya diajarkan dalam mata kuliah Sastra Indonesia. Jurusan ini bukan hanya formalitas pendidikan saja. Namun, saya menaruh harapan tinggi bahwa saya akan


95mendapatkan kebijaksanaan tinggi dari ini. Mendapat juga rekan yang sama gilanya dengan saya. Harapan saya bukan untuk lulus dan dapat sarjana, tapi saya inginmendapatkan ilmu tinggi sehingga karya saya terjamin kualitasnya. Sampai banyakorang luas membaca karya saya serta mendapatkan ilham sama seperti ketika saya membaca Bumi Manusia Pramoedya tiga tahun lalu. Saya ingin menebar perubahan, menaikkan derajat hidup dan terasa sampai tinggi kualitas hidup saya. Kemudian, tulisan saya akan selalu hidup selamanya." Dosen itu terlihat terkesima dengan bagaimana aku menjawab pertanyaannya. Rekan-rekan lainnya juga fokus penuh terhadap aku, tidak ada yang berbicara. Akulalu melanjutkan bicara dan menunjuk tulisan yang ada di papan tulis, "Kemudia nini juga masih berhubungan langsung dengan pertanyaan ketiga. Daftar nama yang ada di papan tulis adalah tokoh-tokoh sastra Indonesia yang berhasil membawa perubahan dan mereka akan selalu hidup dengan tulisannya. Saya juga beruntung bisa mengenal dan membaca semua tulisan dari daftar penulis yang Prof tulis. Chairul Anwar, seorang penyair ulung masa Hindia Belanda sampai Indonesia Merdeka. Puisi dan tulisannya masih terkenal dan terdengar sampai sekarang. Judul-judul seperi 'aku, taman, dan pelarian' masih relevan dengan zaman sekarang. Roman dan kehidupan manusia. Menunjukkan betapa rapuhnya manusia. Dia masihmenjadi pelopor sastra Indonesia yang menjadi teladan penyair dansastrawanIndonesia." Aku masih menguasai ruangan ini, aku mulai lirik kiri dan kanan melihatbagaimana seisi ruangan terkesima dengan cara aku berbicara, "Lalu ada Budi Darma, saya tidak tau kenapa prof menaruh Budi Darma menjadi contoh dalam pembelajaran ini setelah Chairul Anwar. Namun, beruntung sekali saya mengenal Sastrawan ini. Budi Darma salah satu penulis Novel Indonesia yangmendapatkan penghargaan. Walau karya-karyanya asing di masyarakat umumIndonesia. Tapi inimasih menjadi favorit saya. Sangat berkesan. Dari banyaknya novel dan cerpen beliau. Olenka tetap menjadi terbaik. Pembawaan tokoh Fanton


96dalam obsesi terhadap Olenka adalah sebuah manifestasi dari masyarakat modernyang bergeser. Keluh dan buruknya asmara beserta gairah berhasil diciptakan olehBudi Darma dalam Olenka." Pandanganku mulai digeserkan penuh pada rekan-rekan lainnya tanpa melihatpapantulis, "Pramoedya Ananta Toer, Siapa yang tidak tahu beliau. Seorang maestro dansastrawan terbaik yang dimiliki Indonesia. Satu-satunya yang berhasil masuknominasi nobel sastra dan dengan tulisannya juga, dia berhasil memberi ketakutanpada Orde Baru. Seperti yang prof bilang sebelumnya. Pram adalah sebuah wujuddalam komitmen, disiplin dan konsisten, karena Pram sudah dimusuhi negara, diasingkan, dan dibatasi. Namun dia tetap menulis sebuah mahakarya yang diakui semua orang. Saya masih terkesan, karena dalam pengasingannya dia mampumenulis Bumi Manusia di mana dalam pengasingan itudia tidak dapat membaca buku atau mencari referensi dalam menulis novel ini. Tapi dia mampu menulis Bumi Manusia dengan apik dan detail tentang masa Kolonial Hindia Belanda akhir abad 19. Lalu ada W. S. Rendra.. "Dosen ini lalu melambaikan tangannya ke bawah, menyuruhku untuk duduk, "Sudah-sudah. Silahkan duduk kembali." Aku duduk. Lalu dosen ini berjalanperlahan ke tengah kelas, "Putra, saya akan selalu ingat namamu dan jangankhawatir. Kamu sudah pasti mendapatkan A dalam kelas ini."Aku hanya bisa tersenyum tersanjung dan masih sedikit menunduk. "Putra, kamu sudah menjelaskan dirimu. Kamu paham sastra dengan baik dan kamusudah hidup dengan sastra. Anugrah datang padamu dan kamu berhasil menjemputnya. Jarang saya menemukan orang seperti kamu. Jujur saja, saya juga terlambat mengenal orang-orang ini terutama Pramoedya. Dan ketika kamumenjelaskan itu. Saya teringat teman saya yang mirip denganmu. Seseorang yang


97hidup dengan gairah dan mimpi untuk suatu tujuan mulia. Saya ingin bilangpadamu. Bahwa saya bisa pastikan, kamu akan mendapatkannya suatu saat nanti." Dia melihatku dengan tersenyum dengan giginya terlihat. Dia menghormatiku. Sepanjang kelas, aku dibakar semangat untuk kuliah. Sepanjang hari juga akuterpikir kejadian ini. Mungkin, aku akan ingat kejadian ini sampai aku mati. Obrolan ini adalah suatu keberuntungan untukku. Alur kejadian yang tidak dikiraini adalah pengalaman acak yang hadir dalam belangnya alasan aku ada di kampusini. Bagaimana cara dia berbicara dan menaruh hormat padaku adalah hal istimewa. Caranya elegan dan seperti Plato mengajari murid-muridnya. Merangsangkebijaksanaan dan meneteskan cara berpikir lebih tinggi. Di malamhari akumelanjutkan novelku sembari merokok. Bermain dengan setiapsilabel, menciptakanmetafora yang belum pernah ada. Terus menerus kata itumengalir sampai kata itumenemukan bentuknya sendiri. Ketika aku menghisap rokokku kembali, pikirankuberhenti sebentar. Layar laptop yang begitu terang memusingkanku. Ketika akumelihat ke arah jendela dan menghisap rokokku. Akujadi kembali ingat mengapa aku bisa sampai di sini. Mengapa aku bisa menjadisegila ini dengan sastra.Tiga tahun lalu, buku “The History of Western Philosopy” aku temukan di perpustakaankota. Beberapa halaman pertamanya sudah menyihirku masuk dalampikiran abstrak. Kebijaksanaan Yunani dan segala arah ilmu pengetahuan bergerakmelewati kepalaku berkali-kali. Sampai ini menjadi candu untuk mencari hal yangl ebih. Buku-buku selanjutnya terus datang. Sosial politik, novel, dan segala hal mencerahkan diriku. Pramoedya, “Bumi Manusia”. Sarte, “Eksistensialisme adalahHumanisme”. Olenka oleh Budi Darma, dan semuanya datang di waktu bersamaan. Dua tahun lalu ketika aku kembali membaca Bumi Manusia kedua kalinya beserta semua catatan dan biografi Pram. Anugrah kembali datang padaku dengan lebihradikal. Inspirasi tentang roman dan sejarah Indonesia mengalir dalamdiriku. Itutitik di mana aku memilih untuk menulis novel pertamaku. Aku menambahkanbegitu banyak detail seperti bagaimana Pram menulis Bumi Manusia. Membawa sejarah dan kehidupan sederhana manusia menjadi sebuah kereta kecil untukmengantar cerita yang besar. Ini masih aku kerjakan sampai saat ini dengan


98komitmen kuat. Sampai pada bulan lalu. Aku mendapat poster untuk festival sastra. Aku percaya, bahwa novel “Kematian Matahari” akan menjadi tempatnya. Sedari awal, aku sudah dimaki oleh orang tuaku. “Memilih sastra adalah mimpiburuk,” kata orang tuaku. Pengangguran dan tidak punya uang selalu ada dalambenak mereka sehingga takut menyerahkan pilihan padaku. Tapi aku begitu radikal sampai aku memaksa begitukeras untuk memasuki kehidupan abu-abu yang dinamakan seniman danpenulis.Walau ketika ini dimulai. Darah pesimis tentang kampus di tanah Pasundaninibegitu buruk. Tapi Prof. Azzan sudah membuktikan, bahwa memang tempatkudisini dan sebuah keberuntungan aku masuk di kampus ini. Terlambat juga menjadi puncak keberuntunganku sehingga dia bisa mengungkapkan segala pencerahankebijaksanaan padaku. Membakar gairah kembali untuk menulis perubahan. Akusadar. Hal buruk yang terjadi dalam hidupku adalah anugerah dari alur Tuhan. Bagaimana dia menempatkan aku. Menyimpan aku di tanah Pasundan adalahbentuk kepedulian tinggi Tuhan padaku sebagai manusia rendahan. Sekarang, Sampailah padaku sekarang. Mengejar lomba dan festival. Menaiki tangga karirsatuper satu untuk mimpi yang aku mulai dua tahun lalu. Pembuktian bahwa akumampu dan akan menjadi salah satu yang terbaik. Untuk mimpi lama menjadikantulisanku dibaca banyak orang. Sama seperti bagaimana penulis-penulis sebelumnya datang padaku dengan mukzizat tulisan mereka padaku. Akumenghisap rokokku kembali ketika melihat bulan sempurna dari jendela. Menutuppikiran buruk bahwa hidupku adalah kesalahan. Bara rokok sudah mencapai ujungnya, aku mematikan rokokku di asbak dan mulai untuk menulis karya terbesarku kembali. Untuk sastra yang selalu aku idamkan.” Kematian Matahari” - Maha Putra Nanda Dewata. Bermimpilah yang tinggi, ketika kau jatuh. Kau akan jatuh dalam kilauan bintang. Bintang itu pun akan menampungmu sebelum kamu jatuh ke tanah. Derajat mumasih tinggi dalam kejatuhan itu dan sebagai manusia, dirimu itu diuji untuk


99sampai pada bintang kedua kalinya yang lebih tinggi. Newton tidak langsungmenemukan kalkulus beserta teori gravitasi. Indonesia tidak langsung merdeka dengan damai ketika proklamasi. Pramoedya harus diasingkan dan dipenjarasampai menulis Bumi Manusia. Mereka semua sampai pada titik tertingginyamelalui jatuhberkali-kali. Dihina, berdarah, memukul mimpi berkali-kali hinggabegitu tinggi. Sampai kejatuhan kesekian kalinya. Batas itu berhasil ditembus daritempaan dankomitmen mereka pada mimpi agung manusia. Semua hal yang agung dan tinggi. Tidak diciptakan dengan jalan yang mulus. Tidak dalam sekali tidur tercipta. Mereka yang mendapatkannya dengan mudah, akan kehilangan juga dengan mudah. Kemudian diujilah kamu. Betapa setia dan kuatnya iman terhadap mimpi untukmelawan itu semua. Alurnya sudah diciptakan oleh Tuhan untuk kebijaksanaan itu. Hanya kembali padamu. Apakah kamu mauuntuk mengambilnya?Aku masih di Tanah Pasundan, berada di antara bukit-bukit dan kampus sederhana. Mungkintidak seindah Amerika atau Jepang. Namun aku sadar sekarang, bahwa ditempat ini lah perubahan dimulai. Aku memahami bahwa kebijaksanaan dapatditemukan di tempat yang paling tak terduga dan di mana saja. Aku mungkin belumseperti kakakku di Amerika atau sahabatku di Jepang, tapi aku telah membuatperubahandengan kebijaksanaan dari tulisanku. Ini akan terus hidup kepada semua.


100Pulih (Muhammad Faiq Akbar) Riuh tepuk tangan terdengar memenuhi atmosfer aula. Siang ini, di salah satugedung, di ibukota ini, seorang wanita menyampaikan seminarnya. “Ya, baiklah. Untuk yang terakhir. Yang terakhir, harap diperhatikan para pendengar yang saya hormati. Negeri kita ini, negeri Nusantara. Sebuah negeri yang terkenal dengan budayanya, keindahan alamnya. Namun sayangnya, saat ini negeri indah itu sudah diambang oleh kematian!” Para pendengar terhenyak kaget. Tetapi mata mereka masih betahmenatap pemateri itu. Tak ada yang bergeming satu pun. “Ya! Saya katakan negeri diambang kematian! Mengapa demikian?!” Menunjuk ke arah layar, pemateri itu menggeser slide layar. “Tonggak negeri kita, adalah generasi muda sekarang. Merekalah, cikal bakal yangkelak akan meneruskan perjuangan, pembangunan, pemerintahan, dan segala aspekyang ada di negeri ini.


Click to View FlipBook Version