151“Tidak apa-apa. Sudah lama kita tidak jalan-jalan sekeluarga. Ini juga tidakdipungut biaya,” ucap Ayah. ”Kalau Ayah bilang begitu, mau gimana lagi?” Ibu hanya bisa tersenyum. Aku merasakan pancaran kebahagian, kebahagiaan bergema dalamdiriku. Akhirnya, setelah sekian lama, kami pergi jalan-jalan. Sudah lama kami tidak pergi jalan-jalan. Aku pergi ke kamarku untuk bersiap-siap. Aku merapikan bajuku danmenata rambutku di depan cermin. Bayangan garis senyum di wajahku terpantul di cermin. Aku terus menari-nari. Kami pun selesai bersiap-siap. Kami menuju ke pentas seni dengan berjalan kaki karena lokasinya cukup dekat. Kami pun sampai di tempat di selenggarakannya pentas seni. Tempat yang sederhana, tetapi memesona. Banyak orang yang datang. Di sana, aku melihat kakek yang kutemui tadi. Ia menyadari keberadaanku langsung menyampiriku. Ia bersalaman dengankedua orang tuaku. Ia berterima kasih karena telah mendidikku selama ini. Akutidak mengerti mengapa ia berterima kasih. MC membuka acara tersebut dengansambutan dan doa. Pentas seni berlangsung dengan meriah. Keindahan budaya Indonesia ditampilkan dengan menawan. Semua orang bersorak, suara tepuktangan . Sayang sekali jika kita tidak menjaga warisan berharga ini. Setiap daunadalah karya seni alam yang unik dan bernilai. Mereka akan mati, kemudianterjatuh apabila pohon tempat ia tumbuh tidak dirawat dengan baik. Begitu juga dengan budaya, mereka akan punah apabila kita tidak melestarikannya.
152Melodi Leluhur, Sebuah Warisan Budaya (Azra Khairunisa Hanifah) Di sebuah desa kecil, terletak di lereng gunung yang subur. Hiduplah Jani, Alle,Agas, dan Yasa, sekelompok sahabat yang sangat mencintai sastra dan seni. Setiaphari, ketika memiliki waktu luang, mereka menghabiskan waktu di perpustakaandesa, membaca karya-karya sastra klasik serta mengekspresikan diri melalui sastradan seni, seperti puisi dan lukisan. Keempat sahabat ini tumbuhbersama dengansastra sebagai pengikat yang kuat dalam persahabatan mereka. “Aku suka sekali suasana perpustakaan sore ini. Membaca buku memang sangat menyenangkan ketika hujan turun,” ujar Jani sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling perpustakaan. “Ngomong-ngomong hujan, aku teringat kenangan kita tahun lalu. Ketika hujan- hujanan menonton Festival Melodi Leluhur. Melihat kelompok musik
153Yasamenampilkan lagu-lagu lama yang cocok sekali dengan suasana hujan!” sahut Alle. Desa tempat sekelompok sahabat ini tinggal adalah tempat yang kaya akan tradisi dan budaya. Salah satu tradisi yang paling berharga adalah Festival Melodi Leluhur. Kegiatan ini diadakan setiap tahun untuk memperingati para leluhur desa,k arena telah memberikan warisan seni dan sastranyal yang begitu berharga. Festival ini melibatkan pertunjukan musik, tarian, dan pertunjukan teater tradisional. “Hei, lihat! Aku menemukan naskah usang ini di sudut perpustakaan, danakumerinding sekali membacanya.” Yasa, lelaki yang baru saja dibicarakan Alle itutiba-tiba muncul dari balik rak buku. Dengan wajah berbinar, dia menyerahkannaskah yang dia temukan pada Jani dan Alle. Setelah membaca isi naskah itu, Janidan Alle saling bertatapan, dengan wajah yang sama berbinarnya, seperti wajahYasa. “Apa itu? Kenapa kalian seperti habis menemukan harta karun dalamsebuahnaskah?” Agas mengambil naskah yang dipegang Jani, ikut membacanya denganseksama. Kemudian Agas mengangkat wajahnya, paham apa yang terjadi dan apayangmenyebabkan ketiga temannya mendadak bahagia. Bagaimana tidak? Yasa menemukan naskah lama berisikan lirik sebuah lagukuno yang telah hampir dilupakan. Lagu tersebut dinyanyikan oleh leluhur mereka dalam festival-festival sebelumnya. Yasa sebagai anggota kelompok musik tentusaja sangat terinspirasi oleh lirik-lirik itu. “Astaga, lirik-lirik ini menyeruak masuk ke dalam pikiranku, tapi aku tak bisa mengingat bagaimana melodinya,” ujar Alle sambil berusaha menyanyikan liriklirik itu, namun tidak menemukan melodi yang pas.
154”Kita tanyakan saja pada Mbak Ayu dan Mas Danu, sepasang suami istri itusangat paham dengan sastra dan seni. Benar bukan, Jan?” Agas menolehkan pandangannya pada Jani, menyebut nama kakak dan kakak ipar Jani. Ketika sudah disetujui oleh Jani, mereka berempat segera membereskan buku-bukukembali ke rak sebelumnya dan mengurus peminjaman naskah kuno itu untukdibawa. Yasa menyimpan naskah itu di dalam tasnya agar tidak basah oleh hujan, berlari bersama Agas menuju parkiran sepeda. Kemudian menyusul Jani dan Alle yang sedang menunggu. Tepat setelah Jani dan Alle naik ke sepeda, memposisikandiri diboncengan dengan baik. Yasa dan Agas segera mengayuh sepeda mereka,berlomba dengan hujan yang semakin deras. Kedua sepeda itu melajumenuju sebuah sanggar tari yang terletak di Tengah desa. Sanggar sederhana namun pekat dengan nuansa tradisional yang amat menyenangkan untuk disinggahi. Jani dapat melihat Mbak Ayu dan Mas Danu tengah bercengkrama di teras sanggar. Mbak Ayu, seorang penari tradisional berbakat. Semantara Mas Danu, seorangpemain alat musik tradisional. Mereka merupakan sepasang suami istri yangmendirikan sanggar tari ini, dengan harapan dapat melestarikan budaya desa yangsedikit demi sedikit mulai terlupakan. Setelah bersalaman dan sedikit bercengkrama, keempat sahabat ini mulai menjelaskan ntujuan kehadiran mendadak mereka di tengah hujan. “Wah, Mas juga rasanya pernah mendengar lagu dengan lirik ini, tapi sulit sekalimengingat melodinya, sepertinya lagu ini dinyanyikan ketika Mas masihkecil,” ujar Mas Danu yang ditanggapi oleh Mbak Ayu dengan anggukan setuju. Namun jiwa seni yang ada di dalam diri mereka semua menolak keras untukmenyerah, Sehingga beberapa hari kedepan, mereka bersama-sama bekerja keras untuk memahami lirik lagu dan menciptakan melodi yang pas. Mereka juga meminta bantuan Mbah Yayok, seorang guru besar di desa yang memiliki pengetahuanmendalam tentang tradisi dan budaya leluhur.Tepat 3 minggu sejakdimulainya diskusi mengenai lirik itu, Alle datang membawa sebuah selebaran,
155berboncengan sepeda bersama Yasa menuju sanggar tari milik Mbak Ayu dan Mas Danu. Secara kebetulan mereka berpapasan dengan Jani dan Agas yang juga tengahbersepeda menuju tengah desa. “Hei, kebetulan sekali aku bertemu kalian disini. Lihat, aku menemukan selebaranini!” Seru Alle setelah meminta Yasa dan Agas menghentikan sepedamereka. “Astaga! Festival Melodi Leluhur akan dilaksanakan bulan depan. Bukankahinikabar yang sangat menggembirakan? Aku tidak sabar ingin menonton anak- anakdesa menari, berpuisi, dan menampilkan bakat seni mereka di festival itu!” Sahut Jani melihat selebaran itu, selebaran yang berisi informasi bahwa bulandepan akandiadakan Festival Melodi Leluhur. “Bukan, aku membawa ini bukan hanya untuk memberitahu kalian mengenai festivalnya, namun juga membawa sebuah ide cemerlang. Tapi akan aku ceritakannanti ketika sampai di sanggar, jadi ayo kita segera menuju sanggar sekarang!” Alle kembali meloncat ke atas sepeda, menepuk-nepuk bahu Yasa agar segera mengayuhsepeda, disusul Agas di belakang. Sesampainya di sanggar, Alle memimpin langkah mencari Mbak Ayu dan Mas Danu yang ternyata tengahmenonton anak-anak desa sedang berlatih. Yasa danAlle kompak menarik tanganMbak Ayu dan Mas Danu menuju teras sanggar, menemui Agas dan Jani yangsejak awal diminta untuk menunggu di teras saja. Demi melihat wajah bingungMbak Ayu, Mas Danu, dan kedua temannya. Alle tertawa dan mengajak semuanya untuk duduk, kemudian menceritakan maksud dari ide cemerlang yang sebelumnya dia bicarakan. “Jadi maksud kamu, kita harus segera menyelesaikan lagu itukemudianmenampilkannya di Festival Melodi Leluhur?” Mbak Ayu memastikanmaksud dariide Alle.
156“Iya, Mbak. Walaupun kita belum menyelesaikan lagu itu, tapi aku sangat jatuhcinta pada liriknya, dan setelah beberapa hari memikirkannya, aku yakin laguiniakan cocok jika disandingkan dengan sebuah tarian, benar ‘kan, Yas?” “Benar, Mbak. Kemarin aku sempat membicarakannya dengan temantemanmusikku, dan mereka juga setuju jika lagu ini diselesaikan dengan baik. Danakanindah sekali jika ditampilkan bersama sebuah tarian,” jawab Yasa, menyetujui ucapan Alle. Tanpa berpikir lagi, Mas Danu tiba-tiba mengutarakan bahwa dia setuju. “Menurutku, ide Alle bukanlah hal yang harus kita pertimbangkan lagi. Laguitusedikit lagi rampung, dan kita masih punya waktu satu bulan untuk persiapan. Kita tidak punya alasan untuk menolak ide cemerlang ini, kan? Mas yakin kaliansemuapun sangat setuju mempersembahkan lagu indah ini kepada masyarakat desa. ”Maka dengan persetujuan Mas Danu yang disusul oleh anggukan semangat MbakAyu. Jani dan Agas juga memutuskan untuk menyetujui ide Alle. Mbak Ayukemudian langsung merancang sebuah penampilan yang lengkap untukdipersembahkan pada Festival Melodi Leluhur nantinya. “Jani dan tim tarinya yang akan menari untuk lagu ini, nanti Mbak sendiri yangakan melatihnya. Kemudian, Alle dan Agas bersama Yasa dan kelompok musiknya akan menampilkan lagu ini, nanti Mas Danu yang akan membantu persiapan. Tapi sebelum memulai semua persiapan, kita harus selesaikan dulu lagu ini. Bagaimana kita melanjutkannya, jika Mbah Yayok sedang sakit?”Mereka semua terdiam, sejenak terlupa bahwa Mbah Yayok sang kunci lagu ini sedang sakit dan tidak bisa meneruskan penyelesaian melodi. “Tidak apa, kita coba lanjutkan saja dulu tanpa Mbah Yayok. Kita sudah taubukanpolanya? Maka kita lakukan saja seperti yang biasa Mbah Yayok ajarkan.” Percaya
157diri sekali Yasa mengatakan itu, menarik yang lain untuk ikut setuju danpercaya diri. Namun, seperti sebuah pepatah, “Bagai mencari jarum di tumpukan jerami”. Usaha pencarian melodi yang tepat untuk lirik itu tak kunjung membuahkan hasil. Sudah 2 pekan sejak terakhir kali mereka memutuskan untuk menyelesaikan laguitutanpa Mbah Yayok, namun hasilnya nihil. Dari pagi hingga malam, di sela kegiatanharian, bahkan kadang hingga tak tidur malam, karena tidak sempatdikerjakan di siang hari. Yasa dan kelompok musiknya bahkan sudah bulak-balik nyaris setiaphari mencoba memecahkan lagu itu, tapi selalu tidak berhasil. Kadan gkala terasa tidak cocok dengan melodi sebelumnya, atau malah jadi terkesan sepertimerusaklirik yang telah ada. “Astaga. Ini semua rumit sekali. Aku tidak pernah sampai se-frustasi ini dalammemikirkan sebuah lagu sebelumnya. Lirik ini seperti mempermainkan kita,” keluhAgas sambil menatap bintang yang bersinar terang di langit malam kala itu. “Waktu kita sudah tidak banyak. Apa yang harus kita lakukan? Aku sudah hampir menyerah dengan semua ini," sahut Jani. Saat itu hanya ada Jani, Yasa, Agas, danAlle, duduk di teras sanggar sambil menatap langit malam. Mbak Ayu dan Mas Danu sedang pergi ke ibukota bersama anak-anak desa untuk sebuah pertunjukkansejak kemarin sore. Dan sejak kemarin sore jugalah mereka berempat datang ke sanggar hanya duduk di teras dan meratapi naskah lirik itu. “Sejak kapan 4 jagoan desa jadi mudah menyerah seperti ini? Apalagi hanyakarena sebuah naskah lirik? Itu memalukan sekali. ”Tanpa basa-basi, keempat sahabat itu sontak menoleh ke arah gerbang sanggar,danmata mereka berbinar, sama terangnya seperti bintang di malam itu. “Mbah Yayok? Syukurlah Mbah Yayok sudah sehat!” Jani memimpin berlari kearah Mbah Yayok, menyalami tangannya, disusul ketiga sahabatnya.Tanpa membuang waktu, setelah bercerita semua hal yang terjadi selama MbahYayok
158sakit. Mbah Yayok pun menyetujui untuk ikut membersamai langkah keempat sahabat ini sampai Festival Melodi Leluhur, maka dilanjutkan lahpenyelesaian lagutersebut. Semudah membalik telapak tangan, Mbah Yayok hanya membutuhkanwaktu 1hari untuk menyelesaikan lagu itu, tentunya dengan bantuan Jani danketigasahabatnya. Mbak Ayu dan Mas Danu kembali ke desa besok paginya. ”Kami tidak perlu beristirahat, kabar lagu itu sudah selesai saja cukup membuat energi kami terisi penuh lagi. Maka tidak perlu buang waktu, kita mulai semua persiapan pagi ini. ”Maka dimulailah seluruh persiapan. Menciptakan tarian, menjahit kostum, penyesuaian alat musik, dan penyesuaian nada nyanyian. Festival Melodi Leluhur pun tiba, semua persiapan sudah selesai sejak sebelumhari festival. Maka denganpersiapan yang luar biasa, tim yang dilatih oleh Mbak Ayu dan Mas Danu itutampil dengan memukau. Warga desa benar-benar penuh haru menyaksikanpenampilan indah itu. Jani dan ketiga sahabatnya pun sangat bangga atas apa yangsudah mereka persembahkan, hingga setelah tampil, Jani teringat untukmenanyakan sesuatu pada Mbah Yayok. Bagaimana bisa Mbah Yayok dengansangat mudah menyelesaikan lagu itu ketika dia sembuh dari sakitnya? "Kalian tau? Aku sudah sangat tua untuk dapat mengingat banyak hal yangterjadi selama hidupku. Bahkan aku kadang lupa bahwa namaku adalah Yayok. Hari-hari sebelum aku jatuh sakit, ketika menemani kalian menyelesaikan lagu itu. Akuhanya mengikuti naluriku, perasaanku, dan butuh waktu yang panjang agarsemua melodi dalam pikiran tuaku ini bisa saling terikat. Sampai aku jatuh sakit,dalamkesendirian aku seperti dibukakan jendela masa laluku. Aku melihat dirikuberpuluh-puluh tahun yang lalu, masih sangat kecil, sedang bermain dengan ayahku. Hey, aku bahkan tidak ingat wajah ayahku sebelum dihampiri ingatan itu. Kemudian, aku dengan jelas melihat diriku yang kecil itu sedang berlarian diladang, menghampiri ayahku yang duduk di bale bambu tengah ladang. Dengan jelas, akumendengar ayahku menyanyikan lirik lagu yang baru saja dia ciptakan. Aku duduk
159terdiam mendengar ayahku menyanyi kala itu, terpesona dengan lagudan suara ayahku sendiri.” Mbah Yayok terdiam, matanya menatap dalam ke arah panggungfestival yang sedang menampilkan sekelompok anak desa menari. ”Ketahuilah anak-anak, bahwa lirik kuno itu adalah lirik indah yang ditulisayahkuberpuluh-puluh tahun yang lalu. Jendela kenangan itu menghantarkaningatan akanmelodi indah yang aku sampaikan pada kalian untuk lagu itu. Yang juga menghantarkan ingatan padaku, bahwa aku adalah Yayok, anak si PenciptaLaguterindah yang pernah mengalun merdu di desa ini. Ya, jika kalian ingin bertanya, maka izinkan aku menjawab terlebih dahulu, bahwa kini lagu indah itusudah jadi milik kalian. Ada di tangan dan suara emas paling terang yang dimiliki desa kita. Kalian berempat.”
160Bahasa Tanpa Kata (Bernadetha Asri) Suara gaduh pecahan piring terlempar satu demi satu di ruang makan keluargaku. Aku mengurung diri di dalam lemari baju kamarku. Melipat-lipat tubuhku hingga aku bisa masuk ke dalam lemari bajuku yang kecil. Suara gaduh itudatang dari amarah ibu tiriku yang tidak suka dengan kehadiranku di keluarga inisejak kecil. Ayahku jarang pulang ke rumah karena harus bertugas di luar kota. Suara amarahibu tiriku semakin keras bunyinya. “Pergi saja kau dari rumahku, Alina! Jangan sampai kau merusak rencanakulagi,” teriak ibu tiriku dari ruang makan. Aku hanya bisa diam di dalam lemari dan membiarkan waktu menyelesaikanamarah ibu tiriku. Aku hanya bisa menangis, berharap bahwa aku bisa lepas dari situasi buruk seperti ini. Setelah semua kegaduhan ini berakhir, aku beranjak keluar dari lemariku. Aku tak bisa berhenti meneteskan air mata. Aku memukul-mukul kepalaku dengan kedua tanganku, mengobrak-abrik kamarku yang baru saja dirapikan. Aku mencoba untuk tenang dengan duduk di meja belajarku. Tanpa sengaja, aku membuka laci kecil di bawah meja belajarku dan ditemukan fotoku
161dan ibu kandungku ketika aku masih kecil. Aku sangat berharap, ibuku bisa datangmenjemputku dan keluar darirumah yang sesak ini. “Alina, ibu sudah memasakkan sayur bayam kesukaanmu. Sini, Alina, kitamakanbersama-sama,” kata ibuku dari dapur. Bau sedap sayur bayam masak ibu memangmampu membuatku langsung nafsu makan saat itu juga. Ibu membukapintukamarku dan berkata, “Sini, Alina! Ibu gendong ya?” Ibu lalu menggendongku dan membawaku ke meja makan. Aku sangat bahagia sekali setiap melihat mata ibuku yang berbinar, nampakmenyayangiku dengan kesungguhan hatinya.Tak lama, ayah yang baru saja pulangdari luar kota akhirnya sampai dirumah. Ayah mencium keningku dengan penuhkasih sayang dan berbisik kepada ibuku untuk mengajaknya berbincang. Ayahmenarik tangan ibuku untuk menjauh dariku, sedangkan aku makan sendirian di meja makan. Sejenak, ada rasa penasaran terbesit tentang apa yang mereka perbincangkan sehingga aku tidak boleh mendengarnya. Tetapi akumengacuhkannya dan tetap asik memakan sayur bayam kesukaanku.Tiba-tiba terdengar suara teriakan ayah memanggil-manggil nama ibu dengan keras. Ketika aku sudah habis dengan sayur bayam masakan ibu, aku memalingkan kepalakumenuju arah ruangan dimana ayah dan ibu tengah berbincang. Tak lama, ayahmelihatku dan segera menggendongku. Aku merasa kebingungan pada saat itu. Akumencari-cari ibu dan sebagai anak kecil, aku hanya bisa menangis. Tangisankumakin kencang setelah melihat ibuku sendiri menuju pintu keluar rumah denganmembawa tas besar. Tiga tahun setelah kejadian itu, Ayah kembali pulang denganseorang wanita muda. Ayah memperkenalkan padaku dan mengatakan bahwa wanita itu adalah ibu baruku. Aku merasa sangat kecewa dengan Ayah dansemenjak saat itu aku memutuskan untuk membenci ibu tiriku. Aku terbangun dari tidurku di meja belajar sembari masih memegang fotoku dan ibu semasa kecil. Ingatanku tentang masa kecil membuatku sadar bahwa kejadian itu sudah 20 tahunyang lalu. Aku secara spontan membuka pintu kamarku sedikit untuk mengetahui situasi rumah di luar kamar. Ternyata ada Ayah yang sedang berbincang dengan ibu
162tiriku. Ayah seperti marah dengannya karena merusak banyak perabotan rumah. Tak lama, Ayah seperti berjalan menuju arah kamarku. Aku langsung menutuppintu kamarku dan menguncinya. Ayah yang sudah tiba di depan pintu kamarku, mencoba memanggil-manggil namaku dan aku tidak memberi respon apapun. Ibutiriku mengatakan, “Sepertinya anakmu sudah tidur karena kelelahan bertengkar denganku, mas. Beri dia waktu dulu.” Aku berpikir gila pada saat itu dengan memutuskan untuk kabur dari rumah. Akumencoba mengemas baju-bajuku setelah aku sudah merasa ayah tidak ada didepankamarku lagi. Aku mengumpulkan keperluan yang perlu kubawa dan mencoba mengatur strategi. Aku memeriksa sebuah barang yang sudah kusimpan dan kupikir, ada baiknya membawa fotoku dan ibu di masa kecil sebagai motivasi untukmemperjuangkan ketenangan. Ketika aku hendak mengambil foto itu, aku tidaksengaja menginjak mainanku sehingga terdengar suaranya sampai luar kamar. Ayahku sontak terkejut dan mulai kembali menggedor pintu kamarku. Sembari Ayahku mencoba untuk mendobrak kamarku, aku langsung pergi keluar jendela kamar dan pergi dari rumah. Aku berjalan mengikuti jalanan besar yang ada di Jakarta. Sesekali aku berhenti untuk beristirahat dan mengisi energi. Aku yangsudah kehabisan tenaga menjadi tidak fokus dalam melangkah. Aku secara tidaksadar berada di tengah jalan dan hal ini sangat berbahaya bagiku. Ketika akusemakin tidak sadar, ternyata ada mobil yang melaju kencang dari arah barat hingga aku terluka dan kecelakaan pada saat itu. Aku tak ingat apa-apa tentang kejadian ituselain tatapan terakhir pad amatahari di atas kepalaku. Aku terbangun pada sebuahranjang yang tidak begitu empuk. Terdapat secangkir teh hangat di sampingranjangku dan sejenak aku berpikir tentang keberadaanku. Apa mungkin akupingsan setelah kecelakaan tadi dan seseorang membawaku ke rumahnya? Seorangperempuan masuk ke dalam ruangan dimana aku tidur dan iatersenyumkepadaku. Perempuan itu menyodorkan pisang goreng untukku makan. Dia tidak berkata apapun dan meninggalkanku begitu saja.
163“Kamu siapa? Apakahkamu yang menolongku tadi?” Perempuan itu memalingkanwajahnya dan tersenyum. Hanya itu balasan yang dia berikan kepadaku. Aku mencoba teh dan pisang gorengyang diberikannya untukku. Rasa pisang goreng itu sungguh gurih dan tehnya sungguh manis. Pisang goreng dan teh mampu menghangatkan tubuhku yangnampaknya berkeringat. Aku merasa hawa yang panas membuatku ingin mandi danbersih-bersih. Aku sontak terkejut, teringat bahwa aku pergi dengan membawa tas berisi pakaian dan beberapa keperluan. Aku mengamati sekitar ruangan, ternyata tasku berada di dekat lemari pakaian ruangan itu. Ketika aku hendak bangun danmelangkah, aku merasakan sakit yang sangatdahsyat pada kaki kananku. “Aaaww!!” Teriakanku membuat perempuan itukembali datang kepadaku. Ia membawa beberapa obat luka yang ia punya dan mulaimembantu mengobati luka itu. “Terima kasih,” kataku dan tak ada jawaban apapun. Aku meminta izin perempuanitu untuk mandi dan perempuan itu mengarahkan pintu kamar mandi yang tidakjauh dari ruangan tersebut. Aku bergegas mengambil pakaianku dan mandi denganjalan pincang. Perempuan ituhanya tersenyum melihat tingkahku dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang lain. Entah apa yang akan dia lakukan, aku tidak begitumengetahuinya. Selesai mandi, aku kembali ke kamar dan meminumteh yangsudah disiapkan. Aku kembali penasaran pada wanita itu dan mulai mencari tahukeberadaannya saat ini. Saat kubuka ruangan itu, ada puluhan lukisan yangterpampang di dinding. Pintu ruangan itu sangat berisik untuk dibuka, tetapi perempuan itu tetap tidak memberi respon apapun. Perempuan itu sedang mulai melukis sebuah gambar dengan menghadap ke arah jendela. Aku semakin bingung, apa memang perempuan itu termasuk seseorang yang suka dengan kesendirian?Akumembelakangi perempuan dan mencoba untuk mengajaknya basa-basi.
164”Kau sedang apa?” Tidak ada jawaban apapun. “Kau memang sedingin itu ya kalau berhadapan dengan orang?” Tetap tidak ada jawaban apapun dari perempuan itu. Aku yang semakin bingung dan marah dengan perempuan yang tidak memberikanrespon itu, akhirnya aku memutuskan untuk menarik pundak perempuanitusehingga mencoret garis pada lukisannya. Perempuan itu nampak tetap tegar dengan kelakuanku yang terkesan seperti anak kecil. Perempuan itu menyodorkankursi kecil yang ada di sampingnya untuk kududuk di sebelahnya. Ia kembali melukis meskipun lukisannya sudah tercoret warna yang sangat merusak. “Akumasih tak mengerti dengan diammu itu, sebenarnya kau kenapa?!” Perempuan itukeluar ruangan dan kembali dengan membawa sebuah buku. Ia menyodorkan bukuitu padaku, berharap aku dapat memahaminya melalui sebuah karya. Rupanya, buku tersebut adalah sebuah novel langka berjudul ‘Berjalan Tanpa Rungu’ karya Thomas Gregory yang terbit pada tahun 2005. Mengisahkan seorang perempuandesa yang berjuang dalam hidupnya untuks enantiasa bertahan dalamkesunyiannya akibat terdiagnosa menjadi tuna rung untuk selama-lamanya. Perempuan itukehilangan harta, benda, dan keluarganyaakibat gempa bumi yang dahsyat. Telinganya tertimpa batu ketika ia tidur. Semua orang meninggalkan dia ketika tahubahwa perempuan itu menderita tuna rungu. “Jadi maksudnya, kamu adalah seorang tuna rungu?” Perempuan itumengangguk. “Dan kamu, juga tidak bisa berbicara?” Perempuan itu mengangguk lagi, kali ini dengan tetesan air mata. Aku merasa sangat bersalah sekali dan ak umemeluk perempuan itu dengan erat. Entah mengapa dengan rasa bersalah ini, aku nyaman sekali memeluk perempuanitu. Seperti ada ikatan batin tersendiri terhadap cerita perempuan itu. Mungkin
165perasaan itu hadir karena perempuan itu telah baik kepadaku dan mengizinkan akuuntuk tinggal di rumahnya. Aku meminjam buku itu untuk dibaca sekilas. Aku juga mencoba untuk mengitari ruangan tersebut dan melihat semua koleksi lukisanperempuan itu. Aku terpaku pada satu lukisan. Lukisan tersebut hanya terdiri dari kata-kata yangberhamburan membentuk wajah seseorang. Kata-kata yang tertulis pada lukisan itu,antara lain: membaca, berpikir, dan berkarya. Aku mengambil lukisan itu dari tembok dan menanyakan makna dari kata-kata tersebut kepada perempuan itu. “Darimana kamu bisa mendapatkan inspirasi untuk melukis seperti ini?” Perempuan itu menunjuk pada buku novel yang masih kupegang. “Darimana kamu bisa mengetahui apa yang hendak kamu lukis?” Perempuan itumenunjuk pada kepalanya dengan jari telunjuk. “Untuk apalukisanmu setelah ini?” Kali ini aku sedikit terkejut dengan responnya. Perempuanitu memberikan sebuah brosur. Brosur itu bertuliskan sebuahpengumuman bahwaakan diadakan pameran lukisan karya Ningsih Pratiwi. “Ini pameranmu,” tanyakupenuh bangga pada perempuan itu. Perempuan itutersenyum sambil mengangguk. Keesokan harinya, aku membawa perempuan ituuntuk menyiapkan pameran yang akan dibuka pada sore hari. Aku bergegas untukmembantu membawakan barang masuk ke dalam angkutan yang sudah disewa. Aku tak sabar ingin menyaksikan banyak orang menikmati karya lukis NingsihPratiwi. Singkat cerita, pembukaan pameran lukis Ningsih Pratiwi berjalan sukses dan ramai. Banyak orang berbondong-bondong ingin menyaksikan karya-karyanya. “Termasuk, ayah?!”Aku sontak terkejut melihat ayahku bersama istrinya datang ke pameran Ningsih Pratiwi. Sungguh sebuah kebetulan yang aneh. Semua rencanakugagal untuk menjadi seorang anak yang kabur dari rumah untuk selamanya. Ayahkumelihat dan mencoba mengejarku. Aku langsung kabur dan masuk ke dalam
166ruangan pribadi perempuan itu. Ketika ayah berhasil masuk ke dalamruangan yangsama, ayah terkejut melihat sosok perempuan itu. “Sri, itu kamu?” Perempuan itu menoleh dengan perlahan. “Sri!!” Ayahku mendekati perempuan itu. Aku sangat heran karena itu artinya ayahtidak jadi mengejarku. “Sri, maafkan aku,” kata ayahku pada perempuan itu. “Aku meninggalkanmu, aku egois,” tegas ayah kembali pada perempuan itu. Akuterkejut dan mendekat, “Maksud ayah apa?” “Perempuan ini adalah ibumu, Alina. Dia adalah ibu kandungmu dan ayahmeninggalkannya karena aku merasa kehadiran ibumu akan menjadi sanksi sosialbuat ayahmu. Maafkan ayahmu ini, nak!” Ayah menangis dengan keras danberusaha untuk memeluk kami berdua. Ingatan ayah dan ibu kembali pada saat aku masih kecil. Saat itu, aku tengahasikmemakan sayur bayam kesukaanku dan ayahku menyeret ibu menuju ruangtamu. “Sri, kamu mengerti maksudku?” Ibuku hanya terdiam, nampak kebingungan. “Sri, kamu dengar penjelasanku tidak dari tadi?! Fokus dulu! Apa yang sedangkamu pikirkan? Biarkan Alina makan. Jangan hiraukan dia, meskipun masih kecil, tetapi dia harus mandiri!” Ibu masih diam dengan perasaan resah. “Sri!!”Ayah membentak ibuku dengan sangat keras. Sekali lagi ayahkuberteriak di telinganya, “Sri!!! Kamu ini sedang pura-pura atau tuna rungu?!!!”
167Seketika ibuku berteriak dengan suara yang tidak jelas. Ayahku sangat terkejut, Sebab melihat telinga kanan ibuku yang berdarah. “Sri, apa yang terjadi padadirimu?!!”, teriak Ayahku. “Aaa.. Aaa... Aaaa..”, jawab ibuku dengan bahasa yang tidak jelas. Ayahku sangat kecewa dan merasa bersalah kepada dirinya sendiri. Ibuku ternyata cacat. Ayahkuterlanjur ngamuk dan merasa malu memiliki istri yangcacat sehingga ayahkumengusir ibuku dari rumah disaat itu juga. Setelah tiga tahun berlalu, ayah datangdengan meminang seorang wanita yang akan menjadi ibu tiriku. Ibu tiriku sangatlahgalak dan senang dengan kekayaan. Kehadiranku mengganggu kehidupannya karena aku sering memarahinya ketika melihat belanjaan yang di borongnya begitubanyak. Ayahku mengharapkan istri yang sempurna secara fisik, tetapi tidakmampu menyempurnakan keluarga kami. Setelah ingatan itu berlabuh, ibu mulai merasa sesak nafas. Ayahku panik dan mencoba mencari bantuan. Ambulance dipanggil untuk membawa ibuku ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, ibudiperiksa oleh dokter. Ternyata ibu sudah lama mengidap penyakit kanker. Akumenangis menyadari bahwa selama ini perempuan yang telah membantuku adalahsosok ibu yang selama ini kurindukan. Aku duduk di samping ranjang ibu sambil menunggu ibu tersadarkan diri. “Alina, ayah harus selesaikan urusan dengan ibu tirimu, Wulan.” “Hati-hati, ayah!”Aku kembali menatap ibu yang mulai pucat wajahnya. Akuyangsebenarnya kelelahan membantu mengurusi pameran, akhirnya tertidur di sampingranjang ibu bersandar pada kasur. “Alina, ini ibumu,” panggil seseorang untuk membangunkanku dari tidur. “Ibu?” Aku sontak terkejut dan berdiri untuk memeluk ibu. “Ibu sudah sembuh,
168”tanyaku pada ibu yang terlihat sangat sehat dan bugar. “Iya, ibu sudah sembuh. Apa kabar, Alina sayang? Lama kita tidak bicara. Masihsuka dengan sayur bayam kesukaan ibu,” tanya ibu padaku. Aku terharu danmenjawab, “Masih ibu.” Aku memeluk ibu dengan sangat erat kembali dan ibumengajakku untuk duduk di sofa rumah sakit. Ibu memintaku untuk menyandarkankepalaku pada bahu ibu. Ibu mulai mengelus-elus kepalaku. Aku sangat merindukan kehangatan ini, yang sudah sangat lama tidak aku dapatkan di rumahkusendiri. “Nak, ibumu memang pernah menjadi seorang tuna rungu dan tuna bicara, tetapi bukan berarti bahasa yang sekedar tersampaikan lewat ucapan. Bahasa dapatkita ciptakan melalui banyak hal, termasuk karya seni. Seseorang dapat dikatakanmemiliki penguasaan bahasa yang tinggi, jika ia memiliki tiga hal penting yangharus dilakukan. Membaca, berpikir, dan berkarya. Membaca artinya caramu untukmendapatkan pengetahuan baru dan meningkatkan kemampuan berbahasa danpemahamanmu tentang dunia. Berpikir artinya kemampuanmu dalammenganalisa dan kritis dalam mengevaluasi sebuah informasi. Hal ini juga berkaitan dengan ide kreatifmu dalam mengembangkan hal-hal baru serta reflektif dalammemperbaiki keputusan-keputusan yang dibuat di masa lalu. Terakhir, berkarya artinya penerapan ide dan konsep yang diperoleh dari hasil membaca dan berpikir. Berkarya dapat dilakukan dengan berbagai jenis karya seni, tulisan, dan banyak lagi. Berkarya dapat memberikan dampak positif bagi diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang memenuhi ketiga hal tersebut mampu menciptakan sastra danekspresi budaya yang berbeda-beda dalam konteks berbahasa kepada orang lain.” “Seperti lukisan ibu waktu itu ya,” tanyaku. “Iya, nak.” Aku kembalimenjawab,
169“Terima kasih ibu karena sudah mengajari bagaimana cara mengekspresikan dirikudalam rangka berbahasa kepada orang lain. Meskipun ibu hidup dalamkesunyian, tetapi ibu dapat berkomunikasi kepada banyak orang melalui lukisan-lukisan yangibu tunjukkan pada pameran tadi.” Ibu tersenyum kepadaku dan kembali mengelus rambutku dengan lembut. Aku kembali tertidurpulas. “Alina, bangun! Ibumu, Alina!” Ayah berteriak-teriak membangunkanku. Akuyang masih mencoba membuka mata berusaha bertanya kepada ayah, “Ada apa, ayah? Ibu ikut tidur bersamaku disini. ”Ayahku terkejut dan memelukku. Ayahku mendekatkan mulutnya ke salahsatutelingaku dan berbisik, “Ibumu sudah tidak ada.” Aku marah atas candaan ayah yang tak masuk akal. Ibubaru saja bersamaku dan memberikan nasihat tentang kehidupan. Mengapa ayahmengatakan bahwa ibu sudah tiada? Aku memperhatikan ruangan sekitar dankeluar masuk ruangan tersebut, tetapi tetap tidak menemukan ibu disana. Aku danayah menghadiri pemakaman ibu. Kami memutuskan untuk memakamkan jenazahibu tidak jauh dari rumah kami agar kami bisa sering menjenguk ibu kesini. Sejakawal hingga akhir pemakaman, aku hanya bisa menangis. Ayah berusaha menguatkanku, tetapi dirinya sendiri sebenarnya lemah. Kami berdua harus ikhlas menghadapi kepergian ibu untuk selama-lamanya. Ketika pemakaman selesai, ayahmemberikan buku ‘Berjalan Tanpa Rungu’milik ibu untuk diberikan padaku. Ibuberharap bahwa aku bisa menjalankan amanahnya untuk memperjuangkan bahasa kehidupan, terutama bahasa yang bisa diterima oleh banyak kalangan yaitu karya seni. Setelah membaca novel itu sampai habis, aku terinspirasi untuk menulis kisahibu menjadi novel juga. Judul buku karyaku sendiri, yaitu: ‘Bahasa Tanpa Kata’, mengenang Ibu Sri Ningsih Pratiwi.
170Sinergi Bahasa Dalam Digitalisasi Generasi (Darmawi Safaril) Di suatu kota modern yang gemerlap dengan teknologi, terdapat sebuah toko bukutua yang telah berdiri sejak zaman dulu. Pemiliknya, Pak Joko, adalah seorang pria yang memegang erat nilai-nilai tradisional. Namun, bisnisnya merosot karena minimnya minat generasi muda terhadap buku fisik di era digital. Suatu hari, seorang pemuda bernama Andi datang ke toko tersebut. Andi, Seorang penggiat teknologi, tertarik pada keunikan toko tersebut dan memiliki ide untukmenghadirkan sinergi antara bahasa tradisional dan digital. Pak Joko,awalnya skeptis, akhirnya setuju untuk mencoba. Andi membantu mendigitalisasi koleksi buku di toko Pak Joko. Mereka membuat aplikasi yang memungkinkan pembaca membaca buku fisik melalui perangkat digital mereka. Sinergi antara bukutradisional dan digital menciptakan pengalaman baru yang menarik. Pada saat yangsama, Pak Joko dan Andi juga melibatkan komunitas lokal untuk menggelar diskusi dan lokakarya mengenai keindahan bahasa. Mereka mengajak generasi muda untuklebih menghargai dan memahami makna di balik setiap kata. Tak lama, toko bukuitu menjadi tempat bertemunya generasi yang berbeda. Dengan sinergi antara bahasa tradisional dan digital, toko buku itu menjadi pusat pembelajaran yang unikdan menarik. Pesan-pesan positif tentang pentingnya keberlanjutan budaya dankekayaan bahasa tersebar luas di kalangan masyarakat. Generasi muda tidak hanya terhubung dengan teknologi, tetapi juga menghargai kearifan nenek moyang
171mereka. Melalui perpaduan harmonis bahasa tradisional dan digital, toko buku PakJoko bukan hanya bertahan, tetapi berkembang menjadi simbol sinergi yangmembawa nilai-nilai positif bagi generasi yang semakin terhubung dengan dunia digital. Pada suatu pagi yang cerah, toko buku Pak Joko menjadi saksi pertemuandua dunia: buku fisik dan teknologi digital. Seiring waktu, aplikasi yang mereka kembangkan bersama mendapatkan perhatian dari komunitas pembaca online. Buku-buku klasik yang telah terdigitalisasi menjadi semakin populer, mengundangminat pembaca dari berbagai kalangan. Pak Joko dan Andi juga mengembangkan fitur interaktif di dalam aplikasi, Seperti forumdiskusi, kuis literasi, dan pertemuan daring dengan penulis terkenal. Dengan demikian, pembaca tidak hanya membaca buku, tetapi juga terlibat aktifdalam menjaga keberlanjutanbudaya literasi. Generasi muda mulai datang ke toko buku tersebut, bukan hanya untuk mencari bacaan, tetapi juga untuk mengikuti berbagai acara literasi yangdiselenggarakan secara berkala. Kegiatan ini menjadi sarana interaksi antargenerasi, di mana orang tua dan anak muda saling bertukar pandangan tentangdunia literasi yang terus berkembang. Pak Joko sendiri merasa terharu melihat perubahansignifikan dalam perilaku pembaca muda. Mereka tidak hanya terpaku pada layar gadget mereka, tetapi juga menyempatkan waktu untuk mengeksplorasi buku-bukuklasik yang sebelumnya mungkin terabaikan. Sinergi antara teknologi dan bahasa tradisionalmenciptakan suasana yang harmonis di toko buku tersebut. Dalamsatuacara literasi besar, toko buku Pak Joko menyelenggarakan kompetisi menulis bagi anak-anak dan remaja. Hasilnya sangat mengesankan. Karya-karya mereka tidakhanya memancarkan kreativitas, tetapi juga mengandung nilai-nilai kearifan lokal dan kecintaan terhadap bahasa. Para pemenang mendapatkan penghargaan yangtidak hanya berupa hadiah fisik, tetapi juga kesempatan untuk mempublikasikankarya mereka melalui platform digital toko buku tersebut. Toko buku Pak Joko tidak hanya menjadi tempat transaksi jual beli buku,melainkantelah bertransformasi menjadi pusat literasi yang memancarkan sinergiantara masa lalu dan masa depan. Pengunjung, terutama generasi muda, tidak hanya memperoleh pengetahuan dari buku-buku yang mereka baca, tetapi
172jugamembangun hubungan yang erat dengan budaya dan bahasa lewat inisiatif digitalyang digagas oleh Pak Joko dan Andi. Seiring berjalannya waktu, toko bukuitu bukan hanya menjadi pusat literasi lokal, tetapi juga mendapatkan perhatian dari media nasional. Berita mengenai kesuksesan mereka menyebar, memotivasi pemilik toko buku di berbagai daerah untuk mengadopsi model serupa. Sinergi bahasa dalam digitalisasi generasimenjadi semacam gerakan, menghubungkanbanyak komunitas di seluruh negeri. Pak Joko, dengan senyum penuh kebahagiaan, berbicara dalam sebuah wawancara, "Kita tidak bisa menghindari arus digitalisasi, namun kita juga tidakbolehmelupakan akar budaya kita. Sinergi antara bahasa tradisional dan digital memberikan keindahan baru dalam perjalanan literasi kita. Mari kita bersama-sama membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan, agar kekayaan budaya kitatetap hidup dalam hati setiap generasi." Dengan tekad dan semangat untuk terus menghadirkan sinergi bahasa, tokobukuPak Joko menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk tidak hanya melihat teknologi sebagai ancaman, tetapi juga sebagai peluang untuk melestarikan danmengembangkan nilai-nilai budaya kita. Namun, tidak semua perjalanan berjalanmulus. Sukses yang mereka raihjuga menarik perhatian pihak-pihak yang tidaksetuju dengan visi toko buku PakJoko. Sebuah perusahaan besar yang mendominasi industri penerbitan digital mencoba merayu Andi untuk bergabung dengan mereka. Mereka menawarkan kekayaan dan kemewahan, menginginkan ide-ide inovatif Andi untuk diterapkan dalam skala yang lebih besar. Andi, dihadapkan pada godaan tersebut, merasa bimbang. Namun, setelah berdiskusi dengan Pak Joko danmerenungkan tujuannya awalnya, ia memutuskan untuk tetap setia pada proyeknya di toko buku. Keputusan itu membuatnya menjadi sosok inspiratif bagi banyak anakmuda yang ingin mempertahankan nilai-nilai lokal di tengah gempuran globalisasi. Sementara itu, Pak Joko melihat bahwa tantangan tidak hanya berasal daridunia luar. Dalam menjalankan toko bukunya, ia mulai menyadari bahwa dia perlumemperbarui pengetahuannya tentang teknologi. Dengan semangat
173pembelajarannya, ia mengikuti berbagai pelatihan dan workshop untuk dapat lebihmemahami perkembangan dunia digital. Hal ini memperkuat sinergi antara generasi yang berbeda di dalam toko buku tersebut. Keberhasilan toko buku Pak Jokomenarik perhatian lembaga pemerintah yang peduli terhadap literasi dankeberlanjutan budaya. Mereka menawarkan bantuan dalam bentuk programpelatihan dan dana hibah untuk meningkatkan kapasitas toko buku. Dengan bantuanini, toko buku dapat meningkatkan kualitas digitalisasi koleksi bukunya danmenyelenggarakan acara literasi yang lebih besar dan beragam. Saat acara literasi besar berikutnya diadakan, toko buku Pak Joko dihadiri oleh penulis terkenal, budayawan, dan bahkan pejabat pemerintah. Acara tersebut menjadi momenpenting yang mempertegas bahwa sinergi bahasa dalam digitalisasi generasi dapat menjadi kekuatan untuk memajukan literasi dan melestarikan budaya. Pada akhirnya, toko buku Pak Joko bukan hanya menjadi tempat transaksi komersial, tetapi telah menjadi pusat kegiatan literasi yang berdampak pada masyarakat luas. Mereka menjalin kerjasama dengan sekolah-sekolah lokal untukmembantu meningkatkan minat baca anak-anak. Selain itu, mereka juga memberdayakan para penulis lokal untuk mempublikasikan karya-karya mereka, menjadikan toko buku sebagai tempat yang mendukung perkembangan bakat-bakat lokal. Sinergi bahasa dalam digitalisasi generasi di toko buku Pak Joko bukanhanya menjadi model bisnis yang sukses, tetapi juga sebuah cermin keberhasilanuntuk melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya. Melalui perjuangan dantekad Pak Joko serta Andi, toko buku tersebut membuktikan bahwa keberlanjutanbudaya dan perkembangan teknologi dapat saling mendukung. Dengan semangat yang tidak padam, toko buku Pak Joko terus menjadi pusat literasi yangmenginspirasi banyak orang. Mereka meyakini bahwa melalui sinergi bahasa, kita dapat membuka pintu menuju dunia pengetahuan yang lebih luas, tanpa kehilanganakar budaya yang membuat kita unik. Sebuah kisah inspiratif yang mengajarkankita bahwa dalam menghadapi perubahan zaman, kita dapat menemukankesinambungan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
174Puteri-Puteri Indonesia (Farah Fauqa Mihrabi) Sama seperti setiap tahunnya, SMA Purnama selalu mengadakan sebuah kegiatanbernama pentas seni, dimana para siswa-siswinya dapat bersantai atau menghibur diritatkala usai sudah penatnya ujian semester. Ada banyak sekali acara-acara di dalam pentas tersebut, terlalu banyak untuk menyapa tulisan kali ini. Namun, tidakperlu repot-repot melihat seluruh rangkaian acara. Hanya ada satu acara di dalamPensi kali ini yang akan menjadi tempat saksi bisu lahirnya anak-anak muda pembela bangsa. ”Kita ngga boleh menyerah gitu aja, dong!” “Terus kita harus gimana, Ru? Kamu tahu sendiri kelompoknya Aya selalumenangsetiap tahunnya. Kita masuk 3 besar aja ngga pernah, gimana maumenggeser posisimereka coba?” “Yang dibilang Asha benar, Aruna. Mungkin buat tahun terakhir ini, kita lebihbaiknonton aja. Ngga ada salahnya, `kan? Ini tahun terakhir kita, bukannya malahlebihbagus kalau kita menikmati apa yang tersaji?”
175“Ngga, aku setuju sama Aruna. Justru di waktu seperti ini kita harusnya lebihbanyakmembuat kenangan, Vina. Tentang kalah menangnya nanti, itu bonus. Yangterpentingadalah mencoba terlebih dahulu.” “Aku suka gagasannya Dara.”Aruna, Asha, Kavina, Dara dan Mahira. Kelima gadis yang sudah menghabiskan 15menit waktu mereka hanya untuk berdebat satu sama lain. Perdebatan mereka tak laindan tak bukan perihal Ajang Bakat. Salah satuacara yang menjadi simbol ikonik daripentas seni SMA Purnama. Setelah beradugagasan selama 15 menit terakhir, barulah mereka akhirnya setuju ataspendapat Dara. Tapi Asha yang sedari awal telah berada dalam kubu kontra, masih raguatas keputusan yang diambil oleh teman-temannya. “Aya dan kelompoknya selalu menang. Setiap tahun, mereka mengambil tema budaya asing yang pastinya menarik perhatian publik. Terus gimana caranya kita bisa menandingi mereka?” Masih terselimuti khawatir, Asha kemudian bertanya. Berbeda dengan Asha yang masih belum beranjak dari keraguannya, Aruna justrumemasangwajah penuh keyakinan. “Ya dengan budaya kita, lah.” Aruna menjawab santai. Wajahnya tidak luput darisenyum bangga. Dapati hal itu, teman-temannya memasang wajah yang menuntut akan penjelasan. Namun tentu saja, Aruna langsung menyadarinya. Ia membuka bibirnya guna memberi penjelasan lebihlanjut kepada keempat gadis yang masih setia menunggu. “Gini, lho. Aku tahu semua hal yang bersangkut paut dengan budaya asingsekarang lebih menarik. Tapi, tetap aja. Kita orang Indonesia. Ada darah Indonesia yang mengalir di tubuh. Faktanya, kita ngga bisa menyangkal kalau kita akan selalulebih tertarik dengan rumah daripada tempat singgah.” Ucap Aruna.
176Bohong dikata jikalau keempat temannya tidak tertegun atas jawaban yang keluar dari bibir Sang gadis berdarah Jawa. Itulah Aruna Maharani, gadis yang penuh akankejutan, penuh dengan sejuta takjub kala dirimu mengenalnya lebih jauh. Dara mengerjap mata kagum, lalu sedetik kemudian terbitlah senyum bangga padaparas eloknya. “Aru, itu jawaban yang menarik. Sifat nasionalismemu selalu membuatorang-orangkagum. Aku bangga punya teman seperti kamu.” Disusul oleh anggukkan serentakoleh Asha, Mahira, dan Kavina, sebagai bentuk persetujuan atas perkataan Dara. ”Kembali ke topik, teman-teman. Apa yang akan kita tampilkan sebagai bentukcintabudaya tanah air seperti yang dibilang Aru?” Pertanyaan dari Mira alias Mahira membuat mereka bungkam. Masing-masing beradu dengan otak, mencari jawaban ataspertanyaan sederhana yang buat kelimanya berpikir keras. “Aku tahu! Kita bisa menampilkan tarian, lagu dan puisi! Tapi tentunya semuabertemakan budaya-budaya Indonesia seperti yang dibilang Aru. Aku, Dara, dan Mirayang menari, Asha bagian menyanyi, sementara Aruna berpuisi. Boom! Satupertunjukan, tiga bakat yang ditampilkan. Keren, `kan?” “Keren banget. Vin. Tapi, nih, ya... Memang kita diizinkan buat menampilkan lebihdarisatu bakat? Selama 3 tahun, belum ada yang pernah buat kayak gitu.” Asha menyelutuk, yang disusul anggukan oleh Aruna dan Dara. “Tapi ngga ada salahnya buat mencoba, Sha. Lagian nih ya, di peraturan ngga ada yangmenyinggung soal larangan menampilkan lebih dari 1 bakat. Jadi ya... Boleh- boleh ajatuh, kayaknya.” Setelah kelimanya sudah sepakat akan keputusan akhir, Aruna mulai mengarahkan teman-temannya untuk mencari ide.
177Beberapa menit lalu mereka masih sibuk berdebat akan ikut tidaknya mereka dalamAjang Bakat kali ini, namun sekarang kelima gadisi tu kompak terlihat sibukdengan kegiatan masing-masing. Dara, Kavina dan Mira yang sibuk menontonvideo para penari di internet, sembari sesekali bertukar canda ketika salah satunya salah gerakan. Asha yang dengan khidmat mendengar lagu melaluie arphone miliknya, dan terakhir ada Aruna yang mengunci seratus persen atensinyapada selembar kertas putih dengan goresan tinta yang memenuhi. Detik, menit, bahkanjam telah beberapa kali jumpa sapa dengan kelima hawa. Sampai tak sadar, warna langit ‘tlah terganti tatkala netra beralih atensi. Tak ingin menghabiskan waktuterlalu lama, para remaja tersebut putuskan untuk segera kembalike rumah. Beberapa waktu setelahnya, barulah mereka lanjut persiapkan penampilan yangmendatang. Singkat cerita, setelah 1 bulan lebih mempersiapkan penampilan, hari penentuan telah tiba di depan mata. Gugup tentunya ada, cemas pun pasti turut serta. Namun, keyakinan para puteri tak dapat hirap dari daksa. Kelima remaja genggamkeberanian padakepalan tangan, siap hadapi apa yang menunggu di hadapan. “Dan selanjutnya, mari kita sambut, Puteri-puteri Indonesia!!!” Arahandilantangkan, menjadi perintah untuk kelompok selanjutnya menampilkan. Suara musik lirih bergema pada ruangan. Lampu mulai padam, satu sorotan tersisa pada panggung. Di atas sana, tiga gadis dengan baju adat khas Sulawesi serta kipas yangdigenggam, buat ketiganya nampak elok dan mempesona. Tak luput serta, senyuman manis dari para penari telah berhasil mengunci seluruh atensi yang ada. Mengikuti alunan musik, tubuh mulai bergerak dengan indahnya. Kala tarian telahberjalan 2 menit, alunan musik mulai terdengar lebih pelan. Lampu mulai berganti sorotan, memperlihatkan seorang gadis dengan kebaya dan selembar kertas di tangan miliknya. Aruna tersenyum, pandangi satu per satu penonton di hadapan. Bibirnya mulai bergerak, seiring dengan ekpresi wajah yang ikut berubah. “Waktu silih berganti... Sejarah perlahan terkubur mati... Orang-orang mulai takpeduliTentang indahnya budaya negeri kami. Ribuan bahasa penuh harsa Sandangpangan penggoda mataPerbedaan jadi sebuah alasan indahnya Indonesia dengan
178semua keragaman Hei, Putra-putri pertiwi! Buka matamu dan lihatlah ini Keindahan tak hanya milik Negeri tetanggaIndonesia-mu juga tak kalah hebatnya. Cobalah berbalik dan perhatikan baik-baik. Ada ribuan keragaman yang simpanbanyak keindahan” Untaian sastra indah undang riuh tepuk tangan bentuk apresiasi. Berakhirnya puisi jadi tanda dimulainya lagu Ibu Pertiwi. Suara lembut milik Asha menggema di setiap telinga. Membuat beberapa diantaranya bahkan menitikkan air mata. Penampilan mereka berlima benar-benar berhasil mengambil hati setiap atma yangberada di sana. Tak henti-henti sorakan dilantangkan, kepada para pemenang yangpantas mendapatkan. Bukan tanpa alasan kelimanya mendapat penghargaan. Penampilan mereka bukan hanya tentang meraih kemenangan, mencuri atensi penonton, atau mengalahkan kelompok Aya dan teman-temannya. Tapi mereka berusaha untuk memperlihatkan dan mengingatkan kembali akan berbagai keindahan budaya-budaya di Indonesia.Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya- budaya asing seringkali menjadi minat utama bagi beberapa orang. Namun, cobalahberbalik. Lihatlah sekitarmu sekali lagi. Negerimu, Indonesia, menyimpan banyakkeragaman yang tidak kalah indahnya. Kalian hanya perlu memandang lebih dekat, tidak perlu terlalu jauh. Ada harta karun yang terkubur jauh di dalam.
179SUARA IBU (Faustina Marpaung) Dalam keheningan purnama, jarum dan benang berpadu menjadi alat utama. Suara halus jarum menusuk kain terdengar, menciptakan irama yang menenangkan. Konsentrasi tampak di wajah wanita yang kucintai tengah memusatkan perhatianpada detail-detail kecil. Menjahit merupakan kegemaran sekaligus caranya membantuku menciptakan uang. Perlahan aku berlalu dari ruang tamu serbaguna tersebut dengan pikiran penuh berkecamuk. Kakiku bergerak gontai melangkah di atas lantai marmer. Tiba-tiba saja aku menyudahi langkahku, sejenak memandangi pintu kamar usang yang ditempelkan sketsa tangan anakku yang melukiskankeluarga kami. Tanpa sadar jari jemari ini membuka kenop pintu—memandangi dua jagoanku tengah tertidur pulas. Kapan terakhir aku bisa seperti itu? Bisa terbaring nyenyak tanpa harus memikirkan kenyataan hidup yang sebenarnya. Lamunanku membuyar seketika kala mendengar seseorang menyebutnamaku. Ternyata wanita yang selalu menjadi pendamping hidupku—Sarah. “Adam?” Kembang desa itu telah termakan usia bersamaku sepuluh tahun ini. Garis-garis halus dan kerutan mulai muncul di permukaan wajahnya dankepenatanterlukis jelas pada air mukanya.
180“Pok kangen kek pok Ibu.” Bibir ini secara tak sadarmengatakan itu, tatapantercengangnya terlihat wajar. Di rumah ini jarang sekali kami berkomunikasi menggunakan bahasa daerah apalagi dengan satu kalimat yang baru saja kuucapkan. Dia mengikuti punggungku dan kami berdua berjalan dibawah keheningan. Malamyang sunyi, hanya dihiasi oleh desiran angin lembut berbandingterbalik dengan isi kepala sibuk dengan segala kebisingan. Harusnya aku menerimarisiko atas pilihanyang telah dijalani dalam waktu bahkan tak terbilang singkat. Mencintai seni hingga meninggalkan tanah air demi terjebak di negeri asing ini. Semakin hari keadaan ekonomi mencekik keluarga kami. Kebutuhan hidup yang meningkat sementara sebagai seniman grafik penghasilan selalu labil. Industri seni sering kali tidak stabil dan kompetitif. Beberapa kali harus kehilangan dukungan dari pada lembaga, apalagi mengingat biaya produksi memerlukan biaya yang signifikan. Masalahnya di negara dengan gaya pakaiannya yang modis seperti Perancis saat ini produk tangan lokal rendahan sepertiku terus tertinggal. Selain itu dengan modal sedikit tak banyak yang bisa dibuat berkualitas terbaik. “Besok ulang tahun ibu, “ Sarah mengingatkan, tapi aku tetap asik dalampikiransendiri sampai tidak menyadari telah terlelap.Ternyata malam sulit itu terlewati begitu saja menyambut kedatangan fajar dan cerita baru. Sempat terbayang suara ibu, tidak biasanya aku jadi bangun lebih cepat dari semua orang. Seperti ritual pagi biasanya kami makan bersama di meja makan. Di tengah-tengah dentinganperalatan makanan, aku memotong aktivitas ketiganya. “What do you think if we go back to Indonesia?” Kelihatannya Sarah membeku di tempat seketika mendengar penuturanku yang entah berupa pertanyaan ataupernyataan. Jarang sekali aku mengungkit topik ini di meja makan, karena keterbatasanfinansial kami. Tabungan yang dipunya hanya bisa mengantarkan kembali ke Indonesia tapi biaya pulang hanya bisa menjadi tanya.
181“That would definitely be a lot of fun.” Terlihat kedua putraku ekspresif menyampaikan kegembiraannya sedangkan Sarah menatapku nanar sembari menganggukkan kepalanya mencoba mengerti. Jujur saja perasaanku sedari tadi terasa ganjil, entahmungkin mengingat kejernihan serta kelembutan suara ibumenyambut pagiku membuat wajahnya sangat dirindukan. Tapi keceriaan yangterpancar tidak bertahan lama ketika aku menegaskan bahwa kami tidak akankembali lagi ke Perancis. Putra pertamaku—Obed tampaknya yang paling kecewa. Sesaat Sarah mencoba menenangkannya, aku hanya diam memaku di tempat menengadahkan pandangan ke arah langir-langit rumah yang menyimpan banyakcerita keluarga inti kami. Inilah satu-satunya jalan, lagi pula tak banyak yang bisa diusahakan dari tanah asing ini. Mau bagaimana pun juga semuanya harus terjadi. Setiap mil yang dilewatij antung ini terus berdebar, setelah 10 tahun usai pernikahanku dan Sarah akhirnya kami pulang. Entah bagaimana ibu bereaksi melihat kami, terharu sampai menitikkan air mata atau kesal karena tak pernahmengunjunginya? Biarlah gerutukannya terus terdengar hingga kuping ini panas, celoteh panjang dari bidadari pertamaku akan ditunggu dengan lapang dada. Beberapa kali transit mengubahsuasana hati bungsuku—Daniel yang baru pertama kali menaiki pesawat, Sedangkan Obed tetap pada pendiriannya. Kami berdua mengerti, ia pasti kehilangan banyak hal dicintainya mulai dari teman hingga tempat favoritnya. Anakku itu, belum melihat pesona Indonesia menawan. Apalagi banyak perairan diBangka yang eksotis. Bicara soal perairan ternyata kami sudahtiba di Tanjung Kalian, Muntok. Jari jemariku menggenggam pergelangan tangan Sarah, sembari menurunkanbarang bawaan kelopak mata tidak lepas dari dermaga—tempat yang mengantarkankami untuk pergi sekarang menjadi tempat untuk pulang. Netra hitampekat mengarah kiri dan kanan tidak pernah lepas dari jendela bus. Vegetasi hijau terus bertengger di pinggir jalan, Bangka masih sama hanya. Bagaimana menurutmu jika kita kembali ke Indonesia?Itu pasti akan sangat menyenangkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), transit artinya tempat singgah beberapa perubahanhutan yang diubah menjadi pemukiman penduduk maupun gedung. Sempat
182melupakan ketidakrelanya, Obed menikmati perjalanan yang dilalui. Sampai akhirnya tertidur menyenderkan kepala pada Sarah. Mataku terus memperhatikankeluar, aku masih ingat jelas bagaimana bentuk desa tempat diri berkembang danbertemu Sarah. Yang dulunya hanya sebatas angan, sekarang desa tersebut nyata di depan mata. Jika memang membandingkan daerah ini dan desa lain, jelas kalah dari segi mana pun. Akan tetapi setiap bagian tempat ini berisikan banyak memori yanglebih indah untuk memuaskan pikiran. Kendaraan roda empat tersebut akhirnya berhenti setelah sekian lama bergerak di atas aspal. Langkah demi langkahmendebarkan, netraku menyapu bersih kampung halaman saksi perjalanan seoranganak kecil yang berhasil keluar ke dunia baru. Aku berusaha menegur salah seorangdi sana sedangkan Sarah terus menatap ke sudut desa berharap menemukan rumahpeninggalan kedua orangtuanya yang sudah lama tiada sayangnya nihil—rumahyang sudah sangat berbeda dengan jejak ingatan beberapa tahun lalu. Kedatangankami berempat berhasil menghebohkan warga sekampung. Mantan kepala desa termakan usia tak pernah menebak hadirnya tamu luar negeri yang pernahmenghabiskan waktu kanak-kanaknya di sini. Aku melihat keberadaan semua orangtapi tak menemuka nentitas yang menjadi alasan kuat kami kembali. “Ibu dimane? ” Entah bagaimana suara ini terdengar dengan bibir bergetar. Kebisingan kampung segera lenyap kalau aku mengeluarkan pertanyaan singkat itu. “Adam!” Kepalaku terdongak mengarahkan penglihatan ke asal suara tak jemujemu memanggil namaku. Hari ini terlihat jelas tubuh kukuh dulu yang memanggul diriku sekarang telahrapuh, langkahnya terseok-seok seolah orang tak menyangka dia pernah berjalan ke ladang tetangga tiap pagi-pagi buta, mukanya sekarang dipenuhi kerutan halus dangaris-garis mendalam ada setiap lipatan di kening laksana mewakilkan seluruhkisah hidupnya. Dia adalah wanita yang menghantarkan aku ke dunia ini.
183“IBU! ” pekikku tak kuasa membendung cairan bening di pelupuk mata segera mengejarnya dan membawa tubuh rengkuhnya menyentuh dadaku. Dengan segala keadaan fisik tak seperti dulu, ibu tetap ibu, ia masih sama. Jari jemarinya mungkintelah keriput, tapi sentuhannya masih terasa hangat. Sorot matanya masihmenyinarkan kasih yang sama sebelum aku meninggalkan dirinya. Sekarang, tidakpeduli pemikiran orang terhadapku, aku ingin mengeluarkan segala rindukupadanya lewat tangisan. “Maafkan Adam Bu, jangan benci Adam. Adam pantas dikeruce Ibu.” Kesunyianibu meredakan tangisku. Mungkin ini pertama kalinya Obed dan Daniel melihat kondisiku begini. “Bu?” beoku karena melihat mukanya pucat memandang dengan tatapan kosong. “Adam anakku.. Jika ini hanyalah mimpi sebelum Ibu mati, Ibu tidak akan pernahmenyesal meninggalkan dunia ini. ” Kalimatnya menyayat hatiku, seberapa berdosanya aku meninggalkan wanita ini. “Adam ada di di sini, Bu! Ini Adam di depan Ibu. Ibu pacak ngeruce Adamsepuasnya.” Tapak tangannya mengambil sebilah punggung tangankumenggenggamnya dengan penuh kelembutan. “Mana mungkin Ibu marahpada anak yang kedatangannya memang Ibu rindukan? ”Dia memang masih ibu yang sama, ku dekap ia lagi kemudian memperkenalkanpangeran-pangeran kecilku padanya. Kesehatannya tampak telah menurun, di sela- sela pujiannya terhadap Sarah terdengar suara batuk menggerogoti tenggorokannya. Senyum tipisnya memperhatikan Obed dan Daniel menyadari sekarang dia menjabat seorang nenek. Namun, ternyata itu tidak bertahan lama aku merengkuhibu yang nyaris terkulai lemas di tanah. Di usianya lanjut, selama ini iahanya bisa terbaring si tempat tidur dan hanya bisa hidup berkat penghasilan menulisnya. Rasa
184bersalah semakin memakan habis tubuhku. Sejak kecil ayah pergi menempati surga, aku tidak mempunyai adik maupun kakak, dan kami memang tidak memiliki sanaksaudara. Walaupun disambut dengan ramah, sebenarnya kehadiran kami menyiratkan tanda tanya bagi mereka. Bahkan mungkin mereka sudah mengirakami berdua sudah tiada sebelumnya. Langit senja berangsur malam, seisi rumah sudahtidur sementara aku memilih menyesap kopi untuk merencanakan bagaimana ke depannya nanti. Sekarang aku tidak lagi membuat rencana hanya untuk kami berdua, kehadiran Obed dan Daniel yang harus meneruskan sekolah dasar juga menjadi bahan pemikiranku. Manik hitam pekat milikku spontan menoleh ke arahjemari yang menyentuh bahuku. Ternyata ibu, wajahnya lebih segar daripada pertama kali bertemu hari ini. Air mukanya memandangku penuh arti mengangkat ujung sudut bibirnya lalu duduk di sampingmu terbatuk sesaat. “Ada apa nak? Kalian tidak bahagia di sana?” Tanpa perlu membiarkan ibu berucaplagi, aku segera mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini aku tahan di negeri orang. Perancis adalah kota besar, bahkan terikat akan kesenian dan gaya pakaian. Karya tanganku hanya melesat tiga sampai empat tahun saja sisanya semakinbertambahnya tahu nperlahan mengalami kemunduran. Dan sekarang mungkinterancam tidak beroperasi lagi. Padahal dulu ibu telah menciptakan mimpi bagikumenjadi di marahi Bisa seniman. Aku bertanya padanya dengan nada frustrasi, “Ibu ape pok berhenti bai?Begawe kebon kanti ibu. ” Kepalanya tidak menganggukataupun menggeleng, dia menatapku dengan sorot bijaksananya. “Adam, keputusan Adam adalah yang terbaik dari segala opini orang lain karena itudari Adam dan memang untuk Adam. Selama ini dengan segala tantangan yangdiambil Adam, Adam bisa melewatinya ‘kan? Buktinya sekarang kamu ada di depan ibu, membawa dua anak dan seorang istri yang sangat baik.
185”Aku terus menyimak dan ibu melanjutkan perkataan yang dengan sabar. Suaranya amat kurindukan. “ Tapi kalau Ibu boleh menyarankan, coba kamu perhitungkanlagi soal berhenti melakukan pekerjaan yang kamu sukai. Ibu tau Adamsendiri bisa merasakan iya atau tidaknya profesi itu. Saat pekerjaan itu berada di posisi titikterberat dan kamu tetap mencintainya setelah melaluinya. ”Obrolan kami terus berlanjut. Sejak aku lahir ibu selalu menggunakan Bahasa Indonesia jika tengah berbincang perihal serius atau berada di situasi formal. Meski berada di desa, dia seorang yang terpelajar dan memiliki ambisi tinggi. Ia hobi membaca buku sejak kecil, terutama buku yang mengangkat masalah sosial. Mungkin karena itulah sampai saat ini saya ingatnya masih sangat tajamdanterhindar dari penyakit Alzheimer. Dari dulu ibu selalu mendukung apa yangmenjadi keputusanku—waktu seusiaku cita-cita menjadi jurnalistik ataupenulisberitanya hanya menjadi angan-angan karena hambatan restu kedua kakek- nenekku. Tujuannya baru tercapai setelah menikah dengan ayah. Satu hari telahterlewati, duduk aku di bawah pohon rindang menikmati semilir angin sembari menghabiskan buku yang kupinjam dari anak kepala desa—namanya Rahmat. Anak muda tersebut tengah menjalani bangku perkuliahan mengambil jurusanantropologi budaya, kumanfaatkan saja mencari referensi barang baru yang bisa dijadikan kerajinan tangan untuk diperjualbelikan. Bukannya mau ketinggalanzaman, tapi membaca buku itu sering kali menyajikan pengetahuan yang lebihmendalam dan komprehensif tentang suatu topik. Buku dapat memberikan konteks sejarah, teori, dan analisis mendalam yang mungkin sulit ditemukan secara lengkapdi internet. Buku di genggaman ku terlepas momen beberapa anak-anak timbul dari balik ranting pohon menyapa. Yang bisa dilakukan hanyalah mengelus dada, mewajarkan kenakalan anak sebelas dua bekas dengan putraku. Pupil hitammereka mengamati tumpukan buku di sebelahku dengan pekat. Salah satu alisku menaik, ternyata tak lama kemudian mereka berkata penasaran dengan buku-buku tersebut. Memperhatikan air muka penasaran mereka, aku menggeser buku itu lebih dekat kepada mereka. Dan dalam sekejap tempatku Ibu apa aku berhenti saja? Bekerja di
186kebun menemani ibu. Bersantai menjadi perpustakaan alam. Perpustakaan alam? Hm, aku memiliki ide cemerlang. “Di rumah ikak ade buku dak?“ Biasanya di antara cahaya bulan dan bintang timbul ujaran alammengisi ketenangan langit malam. Malam ini seluruh warga desa berkumpul di depanbalaidesa. Beberapa obor api telah ditempatkan semestinya. Nada tawa danobrolanruang memenuhi udara dari anak-anak tengah menunggu kedatangan para wanita membawakan sejumlah makanan di tangan mereka ditutup dengan dulang. Kala perbincangan diskusi soal panen dikumandangkan, kepalaku menoleh ke arahObed dan Daniel yang tengah antusias. Padahal nyatanya mereka sama sekali tidakmemahami bahasa daerah itu. Sejak kecil tinggal di Perancis membuatnya mahir tiga bahasa, Perancis, Inggris serta beberapa Bahasa Indonesia. Semoga dari sini mereka dapat mengerti arti bahasa yang sesungguhnya. Saatnya penampilan Tari Cempaka, aku duduk di barisan sedikit terbelakang. Sekumpulan anak-anak tadi siang ternyata bertanggung jawab—semuanya membawa buku lama mereka yangsudah jarang dibaca untuk didonasikan. Aku tersenyum lebar menatap mereka, membayangkan perpustakaan alam terealisasikan. Tak sabar memberitahu ibu soal rencanaku. Bicara soal ibu, dengan segala perubahan fisiknya yang menua. Dia agak sedikit berbeda, tapi kehangatannya masih sama. Mungkin efek dari kepergianku menghilang darinya. Setiap pagi, ibu akan berbaring di kamar yangditutup tirai hijau dan ada peraturan baru dari ibu, selama di sana aku sama sekali tidak boleh memasuki kamar ibu. Pas sekali yang dipikirkan menghampiri dirikuibu membawa sesuatu di tangannya. Ia tersenyum, ternyata tidak butuh lama mengetahui proyek perpustakaan alam tersebut. Tampaknya Sarah yangmembocorkannya. Ibu memberikan beberapa lembar kertas berisi tulisan sajakpadaku untuk dipajang di perpustakaan alam atas permintaannya. Katanya helaiankertas itu telah ia buat sebelum dan sesudah kehilangan ayah. Sekarang ia inginmewariskannya kepada diriku, katanya diantaranya ada beberapa surat untukkuyang tidak pernah terkirim. Walaupun terus ditentang kakek dan nenek, ibu tahu
187sastra yang ia cintai itu yang selalu membantu hidupnya hingga akhir hayatnya mulai dari berkomunikasi sampai menghasilkan uang. Sambil mendengarkan laguYok Miak di dengungkan sorot mataku kosong termangu di depan memikirkan apa yang dibicarakan ibu. Aku hanya lulusan sarjana satu seni rupa, pekerjaan apa yangharus kujalani? Anak-anak harus segera mendapatkan sekolah yang tepat. Akusudah tak kepercayaan diri lagi menjadi seniman, seniman hanya cocok dijadikanhobi. Namun, aku tak bisa mengelak dari fakta setelah menyelesaikan suatu seni aku merasakan sukacita. Saat aku menengok Kamu atau kalian ibu, ternyata sorot netranya masih memandangku. Mungkin tengah menebakpikiran yang melesat di benak putra tunggalnya. “Adam masih ingin jadi seniman,Bu. ” Manik mata kami bertabrakan seolah dia memang telah menunggu ceritauntuk malam ini. Kepala ibu menengadahkan ke langit yang kunjung hitam. “ Hidup dan mati hanya sekali, Adam sebenarnya bisa melakukan hal apa saja di segala kesempatan yang Adam miliki. Tapi juga harus ingat akan ada yangnamanya sebab-akibat dari segala pilihanmu. Lakukan apa yang Adamsuka danjangan sampai ilmu itu hanya berhenti pada dirimu. “ “Hanya itu yang ingin Ibu katakan pada Adam, Ibu senang Adam di sini,tapi Ibutidak bisa egois,” timpal ibu sambil mengecup kening dan mengelus punggungku. Ia bangkit beranjak dari tempatnya hendak pergi, tapi aku menghentikannya. Maksud bertanya perihal pagi tadi. Ibu memanggil namaku dan ketika nyaris masukke kamar ibu justru mengusirku. Tatapannya mengarah pada diriku sendu beserta bibir masih terkatup rapat. Sampai kelereng hitam dalam mataku kehilanganpunggung ibu, pertanyaanku masih belum terjawab. Ibu malah menitahkanmembaca surat-surat yang sebenarnya ingin ia kirimkan untuk kami. Sakingmemikirkan hal itu aku tidak menyadari Daniel yang menarik tanganku untukpulang. Kami berempat pulang ke rumah, banyak hal yang diceritakannya padaku
188selama perjalanan menuju rumah. Dua anak kecil itu tidak pernah mencoba masakan asli Bangka. Mereka gembira sekali ketika Sarah membuatkan lempahkuning beserta rusip—pedas, asam dan gurih. Sibuk mendengarkan celoteh mereka, kakiku bergerak berat melewati kamar ibu. Jujur aku ingin bertanya soal kertas ini padanya. Namun, mengingat ibu juga sekarang sudah renta, sebaiknya aku lebihmemikirkan kondisi ibu yang lebih banyak membutuhkan istirahat. Jarumpendektelah mengacu ke angka empat tapi aku tetap tidak bisa tidur. Perlahan, aku bangkit dari kasur lalu duduk di lantai membereskan bahan bacaan dari Ibu. Hatikuterenyuh seketika merasakan perasaan ibu lewat tulisannya harus menyerah soal impiannya karena kakek dan nenek. Kemudian surat-surat manis dari ibu untukayah, bahkan ayah sempat belajar menulis karena ibu. Tibalah deretan surat yangmenyatakan kekalutan ibu tatkala kepergian ayah. Sampai akhirnya tumpukan surat yang tidak pernah ia kirimkan selama ini. Aku masih ingat sepenggal isi surat yangibu kirimkan padaku intinya sama, tapi mungkin ibu ingin aku lebih merasakan apa yang dirasakan ibu. Hingga akhirnya aku bertemu suratitu, jari jemariku melemas menggenggamnya hingga jatuh ke atas lantai. Surat yang mampu mendorongku lari ke kamar ibu dengan sekuat tenaga. Baru kusadari tempat di rumah ini yang belumpernah kujamah adalah kamar ibu. “Adam...” Panggilan ibu kembali masuk panca indra, kendati demikian akutetapmenyingkap kasar tirai kamar, memintanya memberikan maksud dari kalimatnya di sini. Namun, suatu peristiwa yang tidak akan bisa aku lupakan adalahketika membuka tirai aku menemukan diriku di rumah lamaku di Perancis sedangmembuka kamar. Menyaksikan istriku—Sarah yang tengah memandangku sembari menggenggam ponsel genggamnya. Apa maksudnya semua ini? Aku hanya bisa membeku di tempat yang sama sementara Sarah melepaskan panggilannya denganpelupuk mata yang sudah tergenang air. Ia berjalan cepat memeluk diriku dengantubuh gemetar. “I-ibu baru saja meninggal, Bang. ” Entah sejak kapan mataku telah berair, memandang telapak tanganku. Memutar segala memori yang terjadi, Hari-hariku
189bersamanya hanyalah mimpi belaka? Nasihatnya, mimpi, harapan, perpustakaanalam, seniman, semua itu hanya sekedar bunga tidur yang dititipkan ibu padaku? Telapak tangan menutupi bibirku, aku tercengang dengan semua ini. Kami berdua terisak, menyesali semua yang telah terjadi. Penyesalan ada di dunia ini agar semua orang sadar untuk menghargai semua yang kita miliki. Sesuai mimpiku, akukembali ke Indonesia meninggalkan segala yang kumiliki di Perancis. Ini pertama kalinya Obed dan Daniel melakukan perjalanan jauh, sayangnya mereka tidakmemiliki kesempatan untuk menikmati. Alasan kami ke sana bukan lagi bertemuibu, melainkan bertemu jasadnya. Tidak ada sambutan dari para warga, pandangansinis tertuju pada keluarga kami. Bahkan Sarah tak sempat melirik rumahkeluarganya dahulu. Akhirnya aku kembali ke rumah ini, dan memasuki kamar ibuuntuk sekian lamanya. Segalanya masih utuh sama sebelum kami pergi dari sini, kamar ini menjadi saksi bisu akan kematian ibu. Kamar tempat kami beristirahat memang sudah dibangun ibu mempersiapkan kedatangan aku dan Sarah. Ibu tidakingin kami tidur dia sembarang tempat. Bahkan katanya sebelum menghembuskannapasnya, ia terus berulang kali menyebut namaku. Naas, ibu meninggal di hari ulang tahunnya. Lima tahun berlalu, sekarang selain bekerja sebagai seniman di ibukota, aku memiliki pekerjaan tetap sebagai guru di salah satu sekolah menengahatas. Disinilah aku mendapatkan gaji dan menebus dosaku atas ibu. Perpustakaanalam dalam mimpiku ada secara nyata. Bahkan telah memiliki nama ‘PerpustakaanSuara Ibu’ dimana memang didedikasikan secara gratis bahkan didominasi denganbanyak sumbangan buku para peminjam. Tentunya karya tulis ibu sebagai maskot utama perpustakaan tersebut masih dipajang hingga seterusnya. Jiwanya telah tiada, tapi tulisan dan karyanya tetap abadi di dunia ini. Di lorong waktu yang semakinsempit Sebagai hari terlahir ini hari terakhirku “Tuhan kabulkanlah satu permintaan ini Adam... Ibu memanggil, dalambisikanhatiIbu berharap, dalam tidur yang terakhir Kita dapat bertemu di dunia mimpiMenyatukan hati yang terpisah oleh waktu Menghapus kerinduan yang takterucapkan"
190Meretas Tantangan Bahasa Dalam Era Digital: Kisah SuksesLinguaLearn (Febri Alhafis) Di era digital yang sedang berkembang pesat, Bahasa menghadapi tantangan danpeluang baru. Di tengah lautan data dan informasi, seorang pemuda bernama Arief merasa terdoronguntuk menggali potensi Bahasa dalam dunia maya. Arief, seorangpemuda berusia 25 tahun yang bersemangat, memiliki hasrat mendalamterhadapBahasa. Ia melihat bagaimana penggunaan Bahasa telah berubah denganpesatseiring dengan kemajuan teknologi dan internet. Pada suatu malamyang cerah, ketika ia sedang menelusuri berita dan artikel di internet, Arief mengalami pencerahan. Ia memutuskan untuk menciptakan platform pembelajaran Bahasa online yang interaktif dan inovatif. Arief percaya bahwa Bahasa adalah kunci untukmenghubungkan manusia diseluruh dunia. Dengan platform ini, ia berharap dapat membantu orang-orang memperkaya Bahasa mereka, tanpa batasan geografis. Arief mulai bekerja keras. Ia belajar tentang pengembangan web, desain grafis, dancaramengajar Bahasa secara efektif. Bersama sekelompok teman yang memiliki latar belakangberagam, mereka mulai merancang platform mereka, yang mereka beri nama "LinguaLearn."Tantangan pertama yang dihadapi Arief adalah bersaingdengan platform pembelajaran Bahasa besar yang telah ada. Mereka memiliki sumber daya yang lebih besar dan nama besardi dunia pendidikan online. Namun, Arief dan timnya memiliki semangat dan inovasi yang kuat. Mereka mengambil pendekatan yang berbeda. LinguaLearn tidak hanya menawarkan kursus Bahasa
191standar, tetapi juga menggabungkan elemen permainan dan kebudayaan dalampembelajaran. Mereka menyadari bahwa belajar Bahasa tidak hanya tentang tata bahasa dankosakata, tetapi juga tentang memahami budaya dan konteksnya. Platform ini juga menekankan aspek komunitas. Pengguna dapat berinteraksi satusama lain, berbicara dalam Bahasa yang mereka pelajari, dan berbagi pengalamanmereka. Hal ini menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran Bahasa yang lebih efektif dan menyenangkan. Namun, dalam perjalanan mereka, Arief dantimnya juga menghadapi tantangan besar lainnya. Salah satunya adalah penyebaraninformasi palsu atau hoaks. Dalam era digital yang penuh dengan informasi yangmudah tersebar, banyak orang sulit membedakan antara faktadan hoaks. Hal ini dapat merusak pemahaman yang benar tentang Bahasa dan budaya. Arief tidaktinggal diam. Dia memutuskan untuk melibatkan ahli Bahasa dan pakar dalamproyek mereka. Mereka bekerja sama untuk memeriksa dan menyaring konten yangdisediakan oleh pengguna. Mereka juga menyediakan sumber daya dan panduanuntukmembantu pengguna mengembangkan keterampilan pemahaman dan analisis Bahasa. Platform LinguaLearn mulai berkembang pesat. Ribuan orang bergabungdan merasa terinspirasi oleh inisiatif Arief. Mereka menyadari bahwa Bahasa adalah jendela ke dunia yang lebih luas dan budaya yang beragam. Mereka juga merasakan betapa pentingnya keterampilan Bahasa dalam era digital ini, dimana komunikasi global semakin mendominasi. Keberhasilan LinguaLearn membuktikanbahwa Bahasa masih memiliki tempat yang penting dalam era digital ini. Dalamlautan informasi yang begitu besar, kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas dan efektif menjadi semakin berharga. LinguaLearn membantu orang-orang dari berbagai latar belakang untuk meraih potensi penuh Bahasa mereka. Arief dantimnya tidak hanya menciptakan sebuah platform pembelajaran Bahasa, tetapi juga membawa inspirasi kepada banyak orang. Mereka menunjukkan bahwa dengantekad, Semangat, dan inovasi, kita dapat mengatasi tantangan dalamera digital ini dan memanfaatkan peluang untuk memperkaya Bahasa dan budaya kita. KisahArief dan LinguaLearn menginspirasi banyak orang untuk memanfaatkanpeluangBahasa dalam era digital, sambil menghadapi tantangan dengan tekad dankeberanian. Mereka membuktikan bahwa Bahasa tetap relevan dan memiliki
192kekuatan untuk menghubungkan kita di tengah lautan data dan informasi yang takterbatas. The Adventure of Luna (Febrian Kemal D.) Dahulu di sebuah kota kuno yang terletak di antara perbukitan dan sungai yangberkelok-kelok, hiduplah sebuah komunitas yang menghargai seni bahasa. Kota ini bukanlah tempat biasa; kota ini merupakan surga bagi para penulis kata-kata, penyair,dan pendongeng. Penduduknya percaya bahwa kreativitas mereka denganbahasa adalah detak jantung budaya mereka. Di jantung kota berdiri sebuahperpustakaan yang telah berusia berabad-abad, yang menyimpan harta karun berupa literatur dari seluruh penjuru dunia. Di sinilah seorang calon penulis muda bernama Luna menghabiskan hari-harinya, menyerap keajaibanyang terjalin dalamhalaman- halaman buku yang tak terhitung jumlahnya. Pada suatu sore yang cerah, Luna menemukan sebuah buku kuno yang tersimpan di sudut perpustakaan yang berdebu. Sampulnya yang sudah usang dan lapuk,membisikkan janji-janji tentang kisah- kisah yang terlupakan. Dengan penuh rasa penasaran, Luna membuka buku itu, melepaskan ledakan energi yang memenuhi ruangan. Yang membuatnya takjub, karakter-karakter dalam cerita-cerita itu melompat keluar dari halaman-halamannya, mengambil bentuk tiga dimensi. Ada ksatria berbaju zirah, makhluk mistis, danpahlawan dari alam yang terlupakan. Namun yang paling menarik perhatian Luna adalah makhluk halus yang nakal bernama Quill. Quill, seorang penjaga bahasa, menjelaskan bahwa buku tersebut adalah portal yan gmenghubungkan dunia sastra dan dunia nyata. Luna, yang secara tidak sengaja membuka portal tersebut, kini
193menjadi penjaganya. Quill dan Luna memulai petualangan untuk menjelajahi dunia magis di dalam buku tersebut. Saat mereka melakukan perjalanan melalui lanskapyang dilukis dengan kata-kata, Luna menemukan bahwa setiap frasa, setiap kalimat, memiliki kekuatan untuk membentuk lingkungan mereka. Di dunia Metaforia, kata- kata berubah menjadi metafora yang nyata. Luna dapat memetik "harapan" dari udara, dan harapan itu terwujud sebagai cahaya yang memandu jalan mereka. Di Simililand, perbandingan menjadi kenyataan, dan rumput menjadi selembut sentuhan kekasih. Ketika Luna dan Quill menggali lebih dalam, mereka menghadapi sebuah tantangan: sebuah kekuatan gelap mengancamuntukmenghapus kata-kata dan cerita dari eksistensi. Struktur dunia sastra bergetar. Untuk menghadapi ancaman ini, Luna harus menggunakan pemahaman bahasa yangbaru ditemukannya secara kreatif. Dia membuat syair yang menyatukankeberanian, imajinasi, dan ketangguhan. Setiap kata beresonansi dengan kekuatanseribu cerita. Pertarungan epik antara kreativitas dan penghapusan terbentang di seluruh halaman. Kata-kata Luna berbenturan dengan keheningan kekuatan gelap. Metafora dan perumpamaan menari dalam simfoni puitis, menciptakan perisai yangmelindungi esensi bahasa. Pada klimaks perjuangannya, Luna menyadari bahwa kekuatan yang sebenarnya tidakhanya terletak pada kata-kata itu sendiri, tetapi juga pada hubungan yang mereka bentuk. Cerita-cerita, metafora, perbandingan - semua itu adalah benang yang menenun permadani pengalaman dan emosi bersama. Dengan pengungkapan ini, Luna menenun sebuah akhir yang beresonansi denganhati semua orang yang menghargai bahasa. Kekuatan gelap mundur, tidak dapat menghapus kisah kolektif dari jiwa manusia. Saat Luna dan Quill kembali ke kota mereka, portal yang dulunya tersembunyi di perpustakaan berubah menjadi mural yang menggambarkan petualangan mereka. Masyarakat merayakan kemenangankreativitas bahasa, mengakui perannya dalam melestarikan budaya dan menjalinhubungan. Sejak hari itu, kota kuno ini menjadi mercusuar bagi para penulis danpendongeng di seluruh dunia. Dan Luna, yang kini menjadi seorang penulis cerita berpengalaman, terus mengarang cerita yang menggemakan keajaiban dunia yangtelah di jelajahinya. Warisan Kreativitas Bahasa terus hidup, mengingatkan umat manusia bahwa setiap kata memiliki kekuatan untuk membentuk dunia,
194menjembatani kesenjangan, dan menyalakan api imajinasi lintas generasi. Setelahpetualangan besar mereka, Luna mendapati dirinya berada di tengah-tengahkebangkitan sastra. Para penulis dan penyair dari negeri-negeri yang jauhberduyun-duyun datang ke kota ini, tertarik oleh bisikan dari perpustakaannya yangpenuh pesona. Alun-alun kota yang dulunya kuno kini ramai dengan kreativitas, saat para penyair membacakan syair, pendongeng mengisahkan kisah-kisah yangrumit, dan para dramawan menghidupkan tokoh-tokoh mereka. Komunitas ini menyelenggarakan festival tahunan untuk merayakan keindahan kreativitas bahasa. Udara dipenuhi dengan irama manis dari kata-kata yang diucapkan, dan jalananberbatu bergema dengan ketukan mesin ketik dan goresan pena di atas perkamen. Luna, yang kini menjadi sosok yang dihormati, berdiri di garis depan dalamkancahsastra yang semarak ini. Pada salah satu festival tersebut, seorang pelancongmisterius tiba di kota. Orang asing itu, yang mengenakan jubah yang ditenundengan kata-kata, mendekati Luna dengan sebuah permintaan. Dia berbicara tentang dunia tersembunyi di luar lanskap sastra yang dikenal, sebuah tempat yangtidak tersentuh oleh pengaruh kreativitas. Luna merasakan bahwa wilayah yangbelum dipetakan ini memegang kunci untuk mengungkap misteri bahasa itu sendiri. Didorong oleh semangat eksplorasi, Luna dan Quill memulai pencarian baru. Kali ini, mereka mencari wilayah yang tidak tertulis, di mana kata-kata belummenemukan suaranya. Perjalanan ini membawa mereka melewati halaman-halamankosong dan metafora yang belum dijelajahi, di mana ketiadaan bahasa adalahkanvas yang menunggu untuk dilukis. Ketika Luna menyelidiki Unwritten, ia menemukan bahwa keheningan memiliki bahasa yang mendalam. Jeda di antara kata-kata membisikkan kisah-kisah antisipasi, dan ruang-ruang kosong di halaman- halamannya bergema dengan potensi narasi yang tak terhitung jumlahnya. Luna, dengan Quill di sisinya, mulai memahami bahwa terkadang, kisah-kisah yangpaling kuat adalah kisah-kisah yang belum diceritakan. Di dunia yanghalus ini, Luna bertemu dengan para Penjaga Esensi, makhluk-makhluk misterius yangmenjaga blok-blok dasar bahasa. Para Penjaga ini, yang merupakan personifikasi darikata benda, kata kerja, dan kata sifat, memandu Luna melalui wilayah yangbelum dipetakan. Bersama-sama, mereka mengungkap rahasia sintaksis,
195menyingkap keindahan tata bahasa, dan menikmati tarian tanda baca. Ketika Luna menggali lebih dalam tentang Unwritten, dia menemukan konsep "tanpa kata". Ini adalah keadaan di mana komunikasi melampaui kebutuhan akan bahasa yangeksplisit. Emosi, pikiran, dan ide terwujud dalam bentuk yang murni dan takterucapkan. Luna menyadari bahwa, di dunia ini, ketiadaan kata-kata tidak sama dengan kekosongan, melainkan potensi yang tak terbatas. Berbekal kebijaksanaanyang baru ditemukan ini, Luna dan Quill kembali ke kota mereka, membawa esensi dari Yang Tak Tertulis di dalam diri mereka. Luna berbagi pengalamannya denganmasyarakat, memicu revolusi dalam cara pandang terhadap kata-kata. Para penulis mulai bereksperimen dengan hal-hal yang tidak terucapkan, membuat cerita yangtersimpan diruang-ruang di antara kalimat. Orang asing yang memakai jubah tenunitu mengungkapkan dirinya sebagai Pengembara Kata, penjaga batas-batas bahasa yang belum dijelajahi. Bersyukur atas keberanian Luna dalam melintasi Yang TakTertulis, ia memberikannya sebuah penayang mengandung esensi dari ketiadaankata. Pena ajaib ini memungkinkan Luna untuk menulis cerita yang melampaui batasan bahasa, menyentuh hati pembaca dengan carayang tidak bisa dilakukanoleh kata-kata. Festival di kota ini berubah menjadi perayaan yang tertulis dan tidaktertulis, dimana para pendongeng merajut kisah dengan jeda yang disengaja, danpara penyair merangkul kekuatan yang tak terucapkan. Perjalanan Luna tidak hanya memperkaya khazanah sastra di komunitasnya, tetapi juga memperluas definisi bahasa itu sendiri. Ketika Luna terus menulis, kisah-kisahnya menjadi jembatanantara dunia yang tertulis dan yang tidak tertulis, mengundang para pembaca untukmenjelajahi lanskap imajinasiyang luas. Warisan petualangannya terus hidup, sebuah bukti akan kemungkinan tak terbatas yang dimiliki kreativitas bahasa bagi mereka yang mau menjelajah melampaui batas-batas ekspresi tertulis. Setelahperjalanan transformatif Luna, kota ini menjadi surga bagi para penulis yangmencari inspirasi di luar batas-batas bahasa konvensional. Perpustakaan ajaib yangkini menjadi titik fokus eksplorasi linguistik, menarik para cendekiawan dan ahli bahasa yang ingin menguraikan rahasia yang telah dibawa Luna dari yang taktertulis. Quill juga menjadi simbol dari pemahaman yang baru ditemukan ini. Dibuat dari bulu makhluk mitos yang berada di Dunia Tak Tertulis, pena ini
196memancarkan cahaya halus yang mengisyaratkan potensi yang belumtersentuhdalam setiap goresannya. Luna, juru tulis yang dihormati di kota ini, menghabiskanhari-harinya untuk membimbing paracalon penulis dan mendorong mereka untukmerangkul nuansa yang tak terucap kan dalam mendongeng. Festival ini berkembang menjadi perayaan keanekaragaman bahasa, di mana para penyair berbaur dengan para filsuf, dan para pendongeng berkolaborasi dengan para ahlibahasa. Lokakarya tentang seni tanpa kata menjadi hal yang utama, menginspirasi para penulis untuk mengeksplorasi dampak keheningan yang disengaja dalamnarasi mereka. Alun-alun kota bergema dengan perpaduan harmonis antara ekspresi yang diucapkan dan yang tidak diucapkan. Setelah perjalanan transformatif Luna, kota ini menjadi surgabagi para penulis yang mencari inspirasi di luar batas-batas bahasa konvensional. Perpustakaan ajaib yang kini menjadi titik fokus eksplorasi linguistik, menarik para cendekiawan dan ahli bahasa yang ingin menguraikanrahasia yang telah dibawa Luna dari yang tak tertulis. Quill juga menjadi simbol dari pemahaman yang baru ditemukan ini. Dibuat dari bulu makhluk mitos yangberada di Dunia Tak Tertulis, pena ini memancarkan cahaya halusyangmengisyaratkan potensi yang belum tersentuh dalam setiap goresannya. Luna, jurutulis yang dihormati di kota ini, menghabiskan hari-harinya untuk membimbingpara calon penulis dan mendorong mereka untuk merangkul nuansa yang takterucapkan dalam mendongeng. Festival ini berkembang menjadi perayaankeanekaragaman bahasa, di mana parapenyair berbaur dengan para filsuf, dan para pendongeng berkolaborasi dengan para ahli bahasa. Lokakarya tentang seni tanpa kata menjadi hal yang utama, menginspirasi parapenulis untuk mengeksplorasi dampak keheningan yang disengaja dalam narasi mereka. Alun-alun kota bergema dengan perpaduan harmonis antara ekspresi yang diucapkandan yang tidakdiucapkan. Dalam sebuah festival yang sangat memesona, Luna meluncurkansebuah mahakarya yang ditulis dengan pena bulu ajaib - "SimfoniSenyap". Komposisi yang luar biasa ini memanfaatkan jeda, ruang, dan ketiadaan kata-kata untuk menyampaikan kisah yang melampaui keterbatasan bahasa. Saat Luna membacakannya dengan lantang, para penonton dibawa ke dalam dunia di mana emosi beresonansi tanpa artikulasi yang jelas. Berita tentang Simfoni Sunyi Luna
197menyebar ke mana-mana, menarik perhatian para penggemar sastra di berbagai penjuru dunia. Kota yang dulunya merupakan tempat tinggal sederhana dalampeta sastra, kini bersinar sebagai mercusuar inovasi. Para cendekiawan berduyun-duyunmempelajari teknik Luna, dan sang Pengembara Kata-kata pun kembali, mengakui peran penting kota ini dalam menjembatani dunia tertulisdan tak tertulis. Warisanperjalanan Luna tidak hanya terbatas pada festival dan kota ini. Para penulis dari berbagai tempat yang jauh merangkul konsep tanpa kata, memperkaya narasi mereka dengan keheningan yang disengaja. Dunia Unwritten menjadi sumber inspirasi bagi para pendongeng yang ingin membangkitkan emosi di luar batas- batasbahasa. Ketika Luna melanjutkan karyanya, dia menemukan dunia baru dalamUnwritten. Dia menjelajah ke dalam lanskap makna tersirat, di mana metafora menari dengan alegori,menciptakan permadani interpretasi yang kaya. Pena penanya, yang kini menjadi artefakyang dihormati, menjadi simbol keterkaitanantara dunia ekspresi dan wilayah yang belum dipetakan dari hal-hal yang takterucapkan. Di sebuah sudut kota yang tenang, Luna mendirikan Sekolah Seni Linguistik, sebuah tempat perlindungan bagi mereka yang ingin menjelajahi batas- batas bahasa. Kurikulumnya melampaui tata bahasa dan sintaksis tradisional, mempelajari seni tanpakata dan nuansa komunikasi yang halus. Sekolah ini menarik siswa dari berbagai penjuru dunia, membina komunitas pelopor linguistik. Kota yang kini dikenal sebagai tempat lahirnya Renaisans Linguistik ini berkembang sebagai pusat di mana bahasa dan kreativitas berpadu dengan cara yang belum pernahterjadi sebelumnya. Simfoni Sunyi Luna menjadi karya klasikyang dipelajari oleh generasi penulis yang bercita-cita untuk menenun cerita yangmelampaui batas-batas ekspresi konvensional. Maka, di kota yang selalumerayakan sastra ini, Luna dan Quill melanjutkan pengembaraannya melalui kata- kata, ruang, dan dunia yang memesona baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Warisan petualangan mereka bergema melalui halaman-halaman cerita yang takterhitung jumlahnya, menginspirasi komunitas penulis kata-kata global untukmerangkul kemungkinan kreativitas bahasa yang tak terbatas. Ketenaran kota ini sebagai surga bagi kreativitas bahasa bahkan sampai ke makhluk halus yang tinggal di alam tak tertulis. Dewan Gema Fana, penjaga alam tak terucapkan,
198menganugerahi Luna dengan hadiah unik-benang perak penghubung yangmemungkinkannya menarik inspirasi langsung dari Yang Tak Tertulis. Benang ini, yang dijalin ke dalam penanya, menjadi saluran untuk ide-ide yang melampaui batas-batas kedua dunia. Ketika Luna menggali lebih dalam ke dalamYang TakTertulis, ia menemukanf enomena linguistik yang menentang pemahaman duniawi. Metafora terwujud sebagai lanskap yang halus, dan alegori terbentuk sebagai rasi bintang yang berkilauan. Bisikan-bisikan sunyi dari Yang Tak Tertulis memanduLuna untuk menemukan makna tersembunyi di ruang-ruang di antara kata-kata. Festival ini, yang kini menjadi ziarah tahunan bagi para penulis kata-kata, berkembang menjadi perayaan multidimensi. Para seniman dari Unwritten, yangtertarik oleh resonansi kreativitas yang berasal dari kota,terwujud selama perayaan. Kolaborasi antara penulis duniawi dan makhluk halus menghasilkan kisah-kisahyang beresonansi lintas dimensi. Quill, yang diresapi dengan esensi dari Unwritten, menjadi saluran untuk bercerita secara kolaboratif. Para penulis dan makhluk halus berkumpul di alun-alun kota,masing-masing berkontribusi pada narasi kolektif yangterbentang dalam waktu nyata. Kata-kata yang ditulis oleh tangan-tangan manusia terjalin dengan jejak bercahaya yang ditinggalkan oleh makhluk halus, menciptakansebuah karya sastra yang ada di keduaalam. Benang Perak, yang kini hanya dapat dilihat oleh mereka yang selaras dengan frekuensi dari Yang Tak Tertulis, menenunpola-pola rumit di langit selama festival berlangsung. Kilauannya yang berkilauanmenjadi simbol hubungan simbiosis antarayang Tertulis dan yang Tidak Tertulis, menyoroti keterkaitan semua alam melalui bahasa universal kreativitas. Perpustakaan kosmik yang terletak di antara dimensi ini tidak hanya menyimpancerita,tetapi juga esensi dari bahasa itu sendiri. Pena-pena Luna, yang kini menjadipeninggalan berharga, berada di dalam perpustakaan sebagai mercusuar bagi merekayang ingin menjelajahi alam kreativitas. Para penulis, baik dari duniawi maupun darialam gaib, akan melakukan ziarah ke tempat lahirnya Renaisans Linguistik, tertarik olehdaya tarik perpustakaan kosmik Festival ini, yang kini terjalin secara abadi dengan tarian kosmik, menjadi perayaan yang tak lekang olehwaktu. Para penulis dan makhluk halus hidup berdampingan, berbagi narasi yangmelampaui batas ruang dan waktu. Benang Perak, sebuah bukti surgawi tentang
199kesatuan antara yang Tertulis dan yang Tidak Tertulis, terus menenun pola-pola bercahaya di langit. Generasi pendongeng mewariskan kisah Luna dan Quill, pionir yang menjembatani dunia dengan alkimia bahasa. Sekolah Seni Linguistikberkembang pesat, menghasilkan para visioner yang berani menjelajahi wilayahekspresi yang belum dipetakan. Tempat lahirnya Renaisans Linguistik, yang kini menjadi tujuan para pencari kebijaksanaan universal, memancarkan energi yangdapat diraba - sebuah energi yang membisikkan kisah-kisah tentang keterkaitansemua hal. Luna, yang telah melampaui batasan keberadaan fana, menjadi rohpenjaga perpustakaan kosmik. Kehadirannya yang halus bergema melalui koridor- koridor yangtak tertulis, membimbing mereka yang berusaha menerangi sudut- sudut bahasa yang takterlihat. Gema tawanya, terbawa oleh angin kosmik, menginspirasi para penulis diseluruh alam.
200Desa Dalam Bahasa (Ira Fratiwi) Hari sabtu siang yang cerah di kamarnya yang rapi dan hangat Rani gadis berusia 18 tahun itu duduk dikursi belajarnya sembari sibuk membolak-balik kertas jadwal masa Pengenalan Masa Mahasiswa Baru (PMMB) yang akan dimulai pada Seninlusa. Rani telah ditetapkan diterima di Fakultas Informatika jurusan Multimedia di Universitas Swasta di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Siang yang cerah itudentingan bunyi handphone Rani mendadak ramai tidak seperti biasanya bahkanbisa dibilang tidak kunjung berhenti. Sudah mencoba membisukan notifikasi yangmasuk pada handphonenya karena sedang fokus mempelajari apa saja yang harus dia siapkan untuk PMMB tetap saja layar hitam handphonenya terus menyala. Rasa penasaran dalam hati Rani tidak bisa ditahan lagi. Sudah setengah jammencoba fokus mencatat keperluan-keperluan kuliahnya tanpa memperdulikan keributanyang dibuat handphonenya Rani menyerah, dia tidak bisa menahannya lagi dansigap mengambil benda hitam itu dan membukanya. Penuh dengan pemberitahuandari sosial media miliknya, Rani membuka aplikasi berlogo mirip kamera berwarna merah keunguan yang banyak digandrungi kalangan Mahasiswi baru seperti dirinya saat ini, yaitu Instagram. Rupanya notifikasi yang muncul berasal dari kontenperkenalan dirinya yang baru saja diunggahnya dua jam yang lalu dan banyakmendapat perhatian juga komentar dari pengikut akun pribadi Rani yang berjumlahdua ribu followers itu. Rani heran komentar postingan video perkenalan dirinya untuk tugas PMMB berdurasi satu menit itu sudah mencapai 45 komentar dan 55penyuka. Bahkan karena video perkenalan dirinya itu Rani mendapat followers