251Ketika Bahasa Indonesia Tersesat di Dunia Digital (Muhammad Rifqi Azmi Asshidiqi) Klakson mobil tak pernah terdengar seribut itu di telinga Bima, seorang remaja ygtinggal di kota kecil yang belakangan ini mulai hiruk-pikuk saking ramainya. Bima memiliki cinta mendalam pada Bahasa Indonesia. Dia selalu berusaha mempertahankan keelokan kata-kata dalam setiap kalimatnya, meskipun dunia di sekitarnya semakin terjerat dalam serba digital. Pagi itu, Bima duduk di sudut perpustakaan kota, tempat yang menjadi oase ketenangan bagi pemuda itu. Di hadapannya, buku-buku klasik dan kamus-kamus bahasa terbuka lebar. Namun, satu peristiwa tak terduga mengubah segalanya. Bima menemukan temannya, Rani, yang sibuk dengan gawai terbarunya. Gawai itu menjadi pusat segala perhatiannya, membuatnya lupa bahwa di sekitarnya ada dunia kata-kata yang menggoda untukdijelajahi. Bima menyadari, bukan hanya Rani yang terjebak dalam pesona digital, melainkan bahasa yang ia cintai. Dalam hari-hari berikutnya, Bima mencoba memahami dan menemukan tempat bahasa dalam era digital. Ia menulis blog
252tentang keindahan Bahasa Indonesia, tetapi hanya sedikit yang membacanya. Dalam dunia yang dipenuhi singkatnya perhatian, kata-kata panjang danindahseperti terbang begitu saja. Suatu hari, Bima mendapatkan ide untuk menciptakanpodcast entang bahasa. Ia berharap suara dan ceritanya dapat mencapai generasi muda yang lebih suka mendengarkan ketimbang membaca. Namun, usahanya terhenti ketika ia menyadari bahwa persaingan di dunia podcast sangat sengit. Bima merenung di perpustakaan, di bawah kilau lampu yang hangat. Tiba-tiba, ide cemerlang menyapanya seperti kilat. Mengapa tidak menggabungkan kecintaannya pada bahasa dengan kecanggihan teknologi? Bima pun mengembangkan aplikasi ponsel yang membantu pengguna memahami dan mencintai keindahan Bahasa Indonesia. Aplikasi itu menjadi proyek besar dalam hidup Bima. Ia menyusunkamus modern dengan definisi yang jelas dan contoh kalimat yang menarik. Fitur terjemahan langsung dan permainan kata-kata membuat aplikasi itu semakinmenarik bagi generasi yang lebih suka berselancar di dunia maya. Namun, tantangan belum berakhir. Bima menyadari bahwa dalam dunia digital, kebenaransering kali terdistorsi. Bahasa sering kali disalahgunakan dan diterjemahkan dengansembarangan. Bima tidak hanya ingin memberikan alat pembelajaran, tetapi juga melindungi keaslian dan keelokan bahasa. Ia pun memutuskan untuk mengajakbeberapa teman bahasa untuk membentuk komunitas daring yang peduli pada Bahasa Indonesia. Bersama-sama, mereka memantau dan mengoreksi informasi yang tersebar di dunia maya. Mereka berusaha membangun kesadaran akanpentingnya menggunakan bahasa dengan bijak, bahkan dalam ruang digital. Aplikasi Bima menjadi populer, bukan hanya di kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga di kalangan profesional yang ingin meningkatkan keterampilanberbahasa mereka. Bima melihat keberhasilannya sebagai awal dari perubahan kecil yang dapat mengubah arah perjalanan bahasa dalam era digital. Suatu hari, Bima diundang untuk memberikan ceramah di sebuah konferensi internasional tentangbahasa dan teknologi. Di hadapan para ahli bahasa dari berbagai negara, Bima menceritakan perjalanan panjangnya mengubah cinta pada bahasa menjadi suatubentuk yang dapat diterima dan diakses oleh semua orang, termasuk mereka yangterlena dalam dunia digital. Bima menyimpulkan ceramahnya dengan menekankan
253bahwa Bahasa Indonesia tidak hanya hidup di buku dan perpustakaan, tetapi juga dapat tumbuh dan berkembang di dunia digital. Kuncinya, menurut Bima, adalahmenggabungkan kecintaan pada bahasa dengan kecanggihan teknologi, menjaga keaslian, dan berkomitmen untuk menggunakan bahasa dengan bijak. Konferensi berakhir dengan tepuk tangan meriah. Bima merasa bangga bisa menjadi bagiandari perubahan positif dalam dunia bahasa. Ia kembali ke kotanya dengan semangat baru, siap untuk terus mengembangkan inovasi dan memberikan kontribusi pada keberlanjutan Bahasa Indonesia di era digital. Dengan tekad yang kuat, Bima melangkah ke depan, meyakini bahwa bahasa tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan terus berkembang dalam era digital yang penuh tantangan dan peluang. Bima mulai aktif di media sosial untuk mempromosikan aplikasinya. Ia juga menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan dan komunitas bahasa. Dengan kerja kerasnya, aplikasi Bima mulai dikenal oleh masyarakat luas. Selainitu, Bima juga terus mengembangkan aplikasinya agar semakin bermanfaat bagi pengguna. Ia menambahkan fitur-fitur baru, seperti fitur penyuntingan kata, fitur terjemahan otomatis, dan fitur permainan kata-kata. Aplikasi Bima mendapat sambutan positif dari masyarakat. Banyak orang yang merasa terbantu denganaplikasi ini. Mereka mulai menyadari bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yangindah dan kaya makna. Bima merasa senang karena usahanya telah membuahkanhasil. Ia berharap bahwa aplikasinya dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untukmencintai dan menjaga Bahasa Indonesia.(SELESAI). Keterangan:Terdistorsi adalah pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya; penyimpangan. Oase adalah sumber mata air di padang pasir yang menjadi tempat singgah para pengembara. Tetapi disini maksudnya menggambarkan perpustakaankota tempat Bima biasa menghabiskan waktu. Perpustakaan kota menjadi tempat yang tenang dan nyaman bagi Bima untuk belajar dan membaca. Gerai adalahtempat usaha yang menjual barang atau jasa. Podcastadalah hasil rekaman audioyang bisa didengarkan oleh khalayak umum melalui media internet.
254Sandor Rellang di Tanah Mojan (Nurillah Achmad) Tiap kali ke makam lalu menabur kembang di dekat nisan, Mamak acapkali merintihmenyebut namaku berulang-ulang. Mamak betah berlama-lama di sini. Meski kadang taktega mendengar pilu suaranya yang menyayat hati, aku merasa beruntung memiliki ibuseperti Mamak. Bagi aku—anaknya yang mati padahal belum genap berusia 2 tahun—tak adayang lebih indah selain dibesuk orang tua sendiri.“Sepertinya Mamak belum ikhlas melepasmu,” katamu melihat air mata Mamak jatuhsatu per satu. Aku membenarkan lewat senyuman. Bahasa mata Mamak seolah bicara jika iamenyimpan pedih tak tertangguhkan. Andai aku takmeninggal, barangkali saat ini Mamaktengah mengajariku memanggil burung, kucing, cicak, atau apa pun di sekitar rumah. Seorang ibu tetaplah ibu meski anaknya mati, dan seorang anak harus tetap menjadianak meski tak lagi bersama
255orang tuanya. Begitu katamu saat mendapatiku menatap nanar. Sebagai adikmuyang dua hari lalu mati, aku hanya mampu meratap sembari berharap agaraku bisa kembali dalam dekapan Mamak.“Barangkali Mamak sulit ikhlas karena jalankematian kita sangat mirip.”Aku kembali menatapmu, takut salah bicara. Apalagi selama aku hidup, hanya sekaliMamak menyebut namamu, yakni saat akumengerjap-ngerjap di atas dipan, saat itulahMamak memohon pada Tuhan agar akutak ikut menyusulmu.“Aku juga mati saat Bapak mengirim sayur keluar kota, padahal keesokan hari adaSandor Rellang.”“Sandor Rellang?”Engkaumemandangku sayu, lantas kau cerita kalau tiap tanggal 1 Suro, para pelakimelalukan ritual di atas makam leluhur Mojan.“Di sanalah letak makampara pembabat kampung,” kau mengajakku keluar danmenunjuk deret makamtua yangletaknya bersebelahan dengan tempat tinggalmu. “Dimakam itulah Sandor Rellangdilaksanakan. Kau tahu, tak semua lelaki bisa menjadi penari.”“Mengapa?”1Sandor Rellang adalah tradisi atau budaya sastra lisan yang diselenggarakan tiap tanggal1Suro di Klungkung, Mojan yang berada di lereng Hyang Argopuro wilayah Jember. Biasanya dilakukan oleh beberapa lelaki dengan mengenakan pakaian khas sembarimerapalkan doa-doa dalam bentuk sastra lisan saat mengitari makamleluhur Mojan. Tradisiini kembali dihidupkan setelah bertahun-tahun mati suri.” Karena tak semua lelaki sanggup menghafal doa-doa Sandor yang tak boleh ditulis. Kalau mau menerima warisan doa, ia mesti menghafal dulu. Ini tradisi turuntemurun agartanah Mojan dalam perlindungan Lah Ta‟ala.”Malamtelah larut. Mamak telah pulang, tapi aku mendengar suara tangis anak lelakidi sebelah utara. Engkau mengajakku menemui anak itu. Agaknya, ia baru meninggal.Tanahnya masih basah beraroma kembang.“Ia dikubur bersamaan denganmu. Tapi aku kira, dia tidak berasal dari dusun sini.”Aku mengikuti langkahmu menuju makamkecil di bawah pohon kamboja.“Arham?”Kau terperanjat saat aku mengenal anak itu. “Kau kenal?”Aku mengangguk meyakinkanmu. “Bapak pernah membawaku ke dusun sebelah danaku bertemu dengannya.”***Tak pernah aku kira, kalau kita bertemu lagi dalam keadaan begini. Ya, aku tahunamamu Randu ketika kau ke rumah sebulan lalu. Sebulan sebelum kita sama-sama bertemumenjadi ruh seperti ini. Sebulan sebelum hari naas itu terjadi hingga akhirnya kita bersuamalam
256ini.“Bagaimana bisa kamu di sini?” sela seseorang di sebelahmu. Sosok perempuanyangusianya sedikit lebih tua dariku.“Nina,” katamu. “Dia kakakku.”Aku tidak tahukalau kau memiliki saudara di alam ini. Ah, seketika aku merasamemiliki keluarga saat bertemu kalian berdua. Apalagi, kakakmu tampaknya tak sabarmendengar apa yang terjadi pada malam itu. Pada malam di mana tulang belulang dalamtubuhkuseakan melepuh, sementara kepala seperti diterjang seribu palu.“Apa yang terjadi padamu?” tanya kakakmu kembali.“Aku tengah sakit. Ibu memohon pada Bapakagar membawaku ke kota. Bapakbergeming sebab keesokan hari ada Sandor, danharus memastikan ritual itu tetapberlangsung.”Lantas aku cerita bagaimana ibukubegitu panik malam itu. Ia mondar-mandir daridapur ke depan sembari menggendongku sementara air matanya luruh membasahi tubuh.“Aku mohon, bawalah anak kita ke bawah,” kata Ibu sembari bersujud ke kaki Bapak.“Pantangseorang perempuan nikah sirri sepertimu menunjukkan hasil persetubuhankita. Apalagi aku orang berpangkat.”Bapak bersikukuh. Ia enggan membawaku berobat. Menjelang tengah malam,panasku kian menjadi-jadi.“Sandor Rellang bukansekadar doa-doa. Tapi juga perantara untuk menjaga tanahMojan dari incarantangan luar,” ujar Bapak. Malam itu, Bapak mengoceh soal tanah Mojan yangmengandung emas layaknya diSilo dan Paseban. Kata Bapak, orang luar kampungmengetahui letak emas di lereng HyangArgopuro ini. Ibu tak menanggapi perkataanBapak. Ia terus menimang tubuhku yang mulaikejang-kejang. Apalagi bola matakumemelotot ke atas, Ibu kian gelagapan.“Pak. Bapaaak,” teriak Ibuku. Tapi Bapaktak peduli. Ia malah menyebut Sandorharus tetap dilaksanakan agar tanah Mojantetap lestari. Aku masih mengingat samar-samar kejadian menjelang kematian. Ibumembawaku kehalaman sembari teriak di bawah naungan malam. Saat itulah, saat lolongan binatangterdengar dari sudut kaki gunung ini, Ibu memekik tajammanakala sadar kalau aku telahdibawa malaikat maut.“Itulah yang terjadi. Bapaktak menangis saat aku mati, tapi malah mencak-mencakketika Sandor Rellang gagal terwujud lantaran pemimpin ritual tak datang,” katakumengakhiri cerita. Kakakmutampak merundukkan kepala usai mendengarnya. Agak lama sampaiakhirnya dia bersuara.“Aku pernah melihat ritual Sandor setelah kematian. Beberapa lelaki bukan sekadarmengenakan pakaian dan odheng di kepala, atau saling bergandengan
257tangan sembari menarimengitari makam leluhur. Melainkan doa Sandor Rellangyang dipimpin Bapak teramatampuh, dan hanya Bapak satu-satunya pewaris doa.”“Bapakmu? Jadi bapakmu ketuanya?” tanyaku setengah tak percaya. Kakakmu mengiyakan. “Tahun pertama aku mati, tanah Mojan kecolongan. Beberapapenambang telah menggali tanah sebelah timur makamku dan untungnya mereka tertangkapdan dibawa ke balai desa. Ketika itu menjelang tanggal 1 Suro. Bapak dan beberapa penarisepakat memohon leluhur mengutuk penambang. Kaliantahu, apa yang terjadi selanjutnya?”Aku menggelengkan kepala. Kakakmu kembali menyambung cerita.“Sesaat sebelum Sandor Rellang dimulai, angin menghembus kencang. Pepohonantumbang. Bapak tetap memulai ritual. Baru beberapa putaran, tiba-tiba angin bertiup rendah. Hujan berhenti. Dan tiga lelaki itu, para penambangemas itu, tiba-tiba mati bersamaan. Semua orang percaya kalau doa leluhur begitudekat dengan pintu langit lewat perantaraSandor Rellang.”Usai mendengar cerita kakakmu, aku sebetulnya ingin bertanya, tapi kakakmu pamitkembali ke makam. Aku kecewa saat melihatnya keluar dari makamku ini. Namun, belumsampai kakakmu berjalan jauh, ia memanggilku lewat suara bergetar.“Arham, cepat keluar. Arham!”Aku tergeragap mendengarnya. Aku hendak bertanya, gerangan apa ia memanggilkuketakutan, tapi aku terkesiap melihat beberapa lelaki tengahmemasang garis danmengikatkannya pada pohon kapuk sebelah makam.“Pasti mereka,” kataku.“Siapa?”“Orang luar Mojan yang mengincar emas.”Derau anginmerontokkan dedaunan. Tapi mereka seakan tak peduli.“Tidurlah. Esok kita bertemu.”“Bagaimana denganmu?” tanyaku“Tak usah risau. Aku bisa jaga diri.”Akhirnya, kalian pamit. Kau ke tepi barat sementara kakakmu menuju sebelahtimur.“Tidurlah,” kata kakakmu mendapatiku tak lekas masuk ke makam. Akuingin berujar „hati-hati‟, namun bibirku diam tak bergerak.***Keesokan hari, tanahMojan gempar. Sebagian orang melempar umpatan. Sebagianlagi terbungkammanakala makam leluhur dan beberapa makam lainnya telah dibongkar. Mereka mengutuk pelaku, tapi saat mata tertuju pada sisa bongkahan emas di bekas galian,mereka justru terdiam dan saling memandang.” Kakak, kau di mana, Kak? Kakak?”Tak tega aku mendengar suaramu, Randu. Suara yang begitu menyayat hati saat kaumencari keberadaan kakakmu.” Kakak? Tak dengarkah kau kalau aku
258mencarimu?”Kau terus berteriak memanggil kakakmu, Randu. Bisaku terdiammemandangmuyang ketakutan. Tak tega rasanya aku cerita padamu kalau semalamaku melihat makamkakakmu dibongkar. Tak tega rasanya kalau aku cerita, jika tulang belulangnya dibawa keluarMojan.“Mamak...” katamu menghampiri ibumu. Tapi perempuan paruh baya itu tak sanggupmendengar suaramu. Ia duduk meratapi makam kakakmu terbongkar. “Kakak tak ada, Mak. Kakak tak ada,” katamu lagi. Aku kian meringis melihatmu sesenggukan mencari kakakmu. Apalagi, tangismukianmelengking manakala kain kafan kakakmu tertinggal di dalamlubangbersamaan dengansebongkah emas yang kini direbutkan orang.” Kakak, mengapa kau pergi, Kak? Kakak? Tak tahukah kau kalau aku mencarimu?”Kau terus teriak, Randu. Kau terus teriak memanggil kakakmu tapi percuma. Percumasebabsemalam aku melihat sendiri siapa yang menggali makam kakakmu. Kau tahusiapapelakunya?Ibumu, Randu. Ia bersekongkol dengan ayahku dan menjebakayahmu selaku ketuaSandor agar tak bisa memimpin ritual. Dengan begitu, keduanya mendapat jatah daritambang emas di bawah makam sana. Para Pemimpi dan Rasa Bangganya ( Raihanah Rahmania Rumy) Dahulu kala, pernah terdengar suara lantunan tembang di setiap rumah. Suara tawasehabis menonton pertunjukan yang diadakan di balai desa. Juga senyumdanbusungnya dada para penduduk, atas karya-karya seni daerah mereka yangsudahdiakui banyak orang.“Berbanggalah kami akan budaya dan seni indahdiwariskan kepada kami,” katamereka. Senyum bangga selalu hinggap di wajahpara warga. Pun selaras dengan suasanadamai yang selalu hinggap pula di desa tersebut. Para warga hidup drngan penuhbangga dan damai dalamdiri. Bangga akan budaya, dan penuh dengan rasa toleransiakan keberagaman budaya yang ada pada wilayah tersebut. Para lelaki desa berkumpul dan bermusyawarah demi menjaga keamanan danketentraman desa. Terdengar suara tawa keras dari sebuahgubuk sederhana tempatbapak-bapak bergantian menjaga pos untuk menghindari
259gagal panen di desa itu. Pun para wanita hidup dengan keindahan budaya yangmereka turunkan turun-temurun dengan rasa bangga kepada anaknya. Mereka lantunkan lagu tradisionalyang dulunya Ibu mereka lantunkan sebagai pengantar tidur anaknya. Kadang pulaceritakan dongeng-dongeng tradisional penuh hikmahsebagai kisah pemgantartidur. Berkatalah mereka setiap harinya, “Jadilah anak baik. Dan penuhi hatimu denganrasa bangga terhadap warisan leluhurmu.”Seni, budaya, harmonisnya mereka, rasa bangga, dan banyak hal lainnya. Segalanyasangat indah. Begitu indah sampai-sampai mereka dibuat terlena oleh rasa banggadan congkak itu. Sayangnya, kenyataan dan arus besar menghantam kebanggaan mereka. Seiringdengan perjalanan waktu menuju modern, berbagai budaya dari luar mulaimasuk. Berbagai hal-hal modernisasi dipaksa timbul dan menggeser posisi warisanbudaya yang dulunya mereka banggakan. Kebanggan mereka hilang. Kebanggaan yangtertumpuk di dasar hati, perlahan tunduk di bawah kekuasaanbudaya negara laindan mudahnya teknologi. Hari, bulan, bahkan tahun demi tahun berlalu. Orang- orang yang diwariskankebudayaan-kebudayaan dengan penuh rasa bangga perlahanmenghilang. Adayang memilih membelot dan memberontak dengan membiarkandirinya diserangarus modernisasi tanpa batas. Adapula yang sudah berjuang, namunsayang,kematian menghentikan perjuangannya secara paksa. Hancur sudahkebudayaan yang sudah dipercayakan oleh para leluhur denganpenuh rasa bangga. Dan di sinilah ia. Seorang wanita biasa, dengan watak keras dan tangguhyangmasih keras kepala mempertahankan budayanya. Ia berjuang seorang diri. Sebabsemua sanak saudaranya sudah melupakan dan mengaku kalah pada hebatnyaperkembangan jaman. Namun, apa daya. Ia hanyalah seorang wanita miskin. Wanita miskin yangpendapatnya pun tak akan dihiraukan sama sekali olehorang-orang. Yang apabilaia menyuarakan suaranya, hanya tatapan sinis dan cacianyang ia dapatkan dariorang lain. Sukma dipaksa kalah oleh keadaan, meski jiwa raganya memaksa berjuang. Sukma kalah dengan keras kepalanya orang-orangpedalaman lain yang memilihmembelot dan bersenang-senang dengan budaya luar, serta melupakan tugasmereka untuk menjaga dan melestarikan budaya yang telahdiwariskan kepadamerekaNamun, biarlah. Sukma akan tetap berjuang. Berjuanguntuk budaya, dan jati diriyang selama ini dijaga drngan penuh kehati-hatian oleh
260leluhurnya. Puluhan tahun berlalu, kini perjuangan Sukma diharapkan akanditeruskan kepadacucunya, Bathari. Bathari, anak perempuan pemalu yang dirawat oleh sang nenek seorang diri. Sebabstatus yatim-piatu yang melekat dirinya sejakumurnya yang masih satu tahun. Sang nenek, pejuang pada masanya, menaruhharap besar pada Bathari. Harap-harap agar Bathari bisa meneruskan perjuangannya yang sudah renta ini, untukmelestarikan kebudayaan-kebudayaan yang selama ini ia perjuangkan. Sang pewaris, nenek didik dengan penuh ketegasan. Nenek tanamkanprinsip dannorma-norma pada diri Bathara sejak ia masih kecil. Semua cara Neneklakukan,agar nantinya Bathara bisa menggantikan dan mewarisi kebanggaannya. Namun sayang, harap besar sang nenek harus berganti menjadi kecewa yangteramat. Sebuah kecelakaan buat cucunya jadi cacat. Cucunya bisu dan tuli. Sang nenekdibuat hancur sehancur-hancurnya. Saat mendapati fakta kejam yang ia sadari sesaat bangun dari tidur panjangnya,Bathara menangis kencang sekali. Sebab sekali lagi, ia hancurkan harap besar neneknya. Juga sebab kebudayaan-kebudayaan itutelah menjadi hidup dan teman Bathara. Namun, hidupnya ini akandipenuhi dengankeheningan. Dan kecil kemungkinannya untuk Bathara bisaterbebas dari keheningan ini. Dia tidak akan bisa lantunkan lagu tradisional seperti yang duluneneknya lakukan,tak akan bisa lantunkan senandung tembang bersama keluarga serta temannya, jugatak bisa rasakan ekspresi budaya yang juga hidupnya ini, melalui perantara suara. Bathara putus asa. Tangis putus asa terus ia lantunkansetiap malamnya. Ia juga ingin turut serta jadi bagian dari perjuangan, namunkeadaan seakanmenyuruhnya menyerah sebelum sempat memulai. Dengankebisuan dan tulinyaitu, tak akan ada yang mau mendengarkan pendapatnya. Takakan ada satupun. Lantas bagaimana pewaris dapat menjalankan dan meneruskanperjuanganneneknya?Tangis tak terima, berubah jadi putus asa, dan berakhir jadi penerimaan kenyataanyang selalu menyakitkan untuk dijalani. Kenyataan bahwa sampai kapanpun,dirinya akan selalu dihantui keheningan. Sampai akhirnya penerimaan menyakitkan itu berubah jadi lapang dada ketika iamenemukan sastra. Baginya, sastra dan tulisan lebih dari cukup untuk menjaditempat dirinya bisa mengeksplor dan mengungkapkan ide atau gagasan yangselama ini hanya berkeliaran di kepala. Berkat sastra, hidupnya yang awalnya dipenuhi keputusasaan
261jadi berwarna. Lantas, Bathara bertekad. Bertekad untuk tetap dan memulai karya serta hidupberwarna yang baru dengan sastra. Sebab dengan sastra-lah, Bathara dapat temukanbahagianya. Kecintaan Bathara terhadap sastra dan menulis semakinbertambah ketika Batharatemukan perpustakaan berjarak tiga jam dengan berjalankaki tanpa pengunjung,yang dijaga oleh seorang kakek dengan senyuman hangat yang juga telah ajarkanbanyak hal pada Bathara. Dari buku-buku yang yang dibaca Bathara di perpustakaan itu, Bathara temukandan rasakan begitu banyak hal danpemandangan yang tidak pernah ia temukansebelumnya. Dari buku-buku itu pula, Bathara rasakan kagum dan bahagia yangteramat besar. Dari pembicaraanmendalam tentang banyak hal dengan kakek penjagaperpustakaan, Bathari temukandan sadari banyak hal.“Nduk, budaya tidak hanya bisa diekspresikan lewat lisansaja. Tulisan dan sastrajuga bisa menjadi wadah untuk melestarikan, merawat, danmenyebarkan budayapada khaayak ramai. Lewat penggambaran dan penulisan yangapik, banyak penulisbesar berhasil menggambarkan dan buat banyak orang tertarikdengan budaya yangmereka bahas di buku mereka,“ itu kata kakek pustakawanketika Bathara bagikankegelisahannya selama ini. Benar juga. Budaya juga dapat diekspresikan melalui sastra dan bahasa. Danapabila banyak penulis-penulis besar yang namanya tak bisa Bathara sebutkansaking banyaknya ini bisa, maka Bathara juga pasti bisa. Pemudi ini telah bertekad. Maka siapa pula yang bisa mematahkantekadnya ketikaketika pemudi ini sudah bertekad?“Nenek, tolong doakan Bathara untuk teruskan perjuangan dan mimpi-mimpi besarNenek.”Dengan keheninganhangat yang melingkupi dirinya, Bathara perlahan bangkitkembali. Danperjuangannya akan dimulai untuk kesekian kalinya. Di awal tonggakperjuangannya dimulai, kakek pustakawan perkenalkan Batharadengan 3 pemuda- pemudi yang punya mimpi sama besarnya dengan Bathara. Mimpi untuk Indonesia, dan untuk budaya kebanggan mereka. Mereka Awan, Nala, dan Andanang. Perjuangan Bathara, Nala, Awan, dan Andanang dimulai sekarang!Dalamperjuangan mereka untuk mimpi-mimpi besar itu, dipenuhi denganbanyaktantangan dari orang di sekitar mereka. Di setiap langkah yang Bathari jalani untuk capai mimpi besarnya, terdaoat tatapansinis dan caci maki banyak orang yangpandang remeh “Si Cacat,” dan “Si Miskin.”Tapi, kelompok Amerta masih terus
262berjalan melewati jalanan berbatu itu.“Percuma! Tidak tahu diri sekali. Kalian ituorang miskin. Orang-orang miskin danbodoh seperti kita ini tidak akan bisa bawa perubahan apa-apa.” Kadang ada keinginan untuk menyerah sebab kendala ekonomi dan keluarga yangsering tampar mereka dengan kata-kata menyakitkan. Tapi Awan dan teman-temannya masih tetap berjalan mantap lewati jalan yangmenyakitkan.Walaupun kadang menyakitkan, namun Nala dan teman-temannya masih berjalandengan pasti, meskipun kadang jalannya masih tertatih-tatih untukmelewati jaluritu. Dan walaupun ada banyak isak tangis sakit hati atas penolakandari banyak orangpada perjuangan mereka untuk melestarikan budaya, mereka tetapberjalan bersamademi tujuan besar mereka. Mereka kejar mimpi besar, danekspresikan budaya dengan sastra. Mereka perkenalkan indahnya budaya dan seni yang diturunkan turun temurun padacerita pendek yang mereka tulis sama hangatnya dengan keharmonisan yang nenekBathara rasakan dulunya di pedalaman. Mereka perkenalkan dan tarik minat para generasi muda akan budaya Indonesia,karena puisi dan karya tulis yang mereka tulis dengan penuh kehati- hatian. Mereka bawa kembali bahasa daerah yang lama dilupakan pada paragraf demiparagraf tulisan mereka. Mereka bungkam omongan orang-orang yangmenganggap budaya Indonesia kalahindah indah dengan gemerlap budaya negara lain. Sebab mereka berhasil tunjukkankeindahan budaya Indonesia yangsesungguhnya lewat ekspresi bahasa dan sastraindah mereka. Mereka tanamkanprinsip lestarikan budaya pada diri pembaca karya artikel dancerita penggugah hati yang mereka tulis. Mereka berhasil tunjukkan indahnya tembang-tembangIndonesia, musiknya,pertunjukannya, tariannya, dan bahkan budaya sikap serta harmonisnya orang-orang jaman dahulu di Indonesia. Mereka berhasilkantunjukkan sekaligus gugahhati banyak orang melalui tulisan dan sastra. Akhirnya... Mereka berhasil. Bathara yang dulu dipanggil cacat, serta Nala, Awan,danAndanang yang dipanggil dan diejek miskin. Empat anak ini berhasil buktikanbahwa dengan perjuangan dan sastra yang mereka tulis, mereka bisa buat perubahansekaligus raih mimpi besar mereka untuk indonesia. Lihatlah sekarang. Meskipun penuh dengan ketidakcukupan, kelompok Amertaberhasil bawa dan buat sastra yang mampu gugah dan ekspresikan budaya sertamimpi-mimpi besar mereka.
263Keheningan yang dialami Bathara, justru tidak patahkan semangatnya untukberkarya dan bermimpi. Kini Bathara bisa tunjukkan budaya kecintaannya ini, pada banyak orang dengansenyum bangga lewat tulisan dan sastranya. KelompokAmerta yang awalnya hanya beranggotakan lima orang saja, sekarangberkembangmenjadi sebuah kelompok besar yamg menaungi ratusan pemuda-pemudi yangpunya mimpi sama berkobar dan besarnya seperti Bathara dan teman-temannya dulu. Jadi tempat banyak pemuda-pemudi bebas berekspresi dengan sastra dankaryalainnya. Jadi tempat banyak anak muda tuk berani curahkan semua mimpi- mimpiserta ekspresikan kecintaannya terhadap budaya Indonesia pada secarikkertas didepan mereka. Orang-orang hebat ini, berhasil jadi tempat bernaung bagi para anak-anak mudalainnya yang punya mimpi hebat di benaknya.“Nek, Bathara berhasil,” bisik Bathara dengan pandangan tertuju pada langit tempatneneknya mungkin sedang tersenyum mengamati perayaan kebahagiaan atas semuaperjuangan keras yang dilewati Bathara selama ini. Sekarang. Kisah Bathara dengan sastra sebagai tempatnya pulang. Sastra sebagaitempatnya menyampaikandan berekspresi serta sampaikan kencintaannya padabudaya Indonesia, budaya yang diturunkan leluhurnya dengan penuh rasa bangga. Isak tangis yang dialami Andanang, Nala, Awan, juga Bathara berakhir di sini. Sebab kini, mereka dapat tersenyum lebar menikmati hasil dari perjuangan mereka. Kisah ini diakhiri dengansenyum lebar di wajah masing-masing pemuda-pemudipejuang ini. Pada akhirnya, akhir yang bahagia menunggu mereka. Meskipun begitu, ini bukan akhir yangsebenarnya. Sebab masih ada banyak mimpibesar mereka untuk Indonesia yangakan mereka kejar. Selamat berjuang, para Pejuang dan Pemimpi!
264Memahami Keseimbangan Antara Dunia Digital dan Dunia Nyata (Raka Permana Trisna Wardhana) Pada suatu hari di zaman era serba digital ini, Dimas dan Siti adalah dua remaja yang saat ini sedang berada dalam tantangan besar. Mereka selalu bersama sejakkecil seperti seolah-olah saudara Adik dan Kakak. Akan tetapi kini mereka merasakan bahwa bahasa yang pernah menyatukan mereka mulai terancamolehsebuah teknologi. Di tengah labirin peradaban digital yang semakin merajalela, bahasa yang selama ini menjadi ikatan mereka terancam sirna oleh pesona takterelakkan oleh sebuah teknologi modern. Dalam upaya mereka menjelajahi dunia digital dan menjaga keseimbangan dengan kehidupan nyata, tantangan besar pasti sudah menanti. Yang kemudian akan mempertanyakan esensi persahabatan diera teknologi yang serba canggih. Sebuah pertualangan pun dimulai, dimana mereka berusaha memahami keseimbangan antara dunia digital yang begitu canggih dankehidupan nyata yang tetap eksis dalam era teknologi ini. Dalamperjalananmencari keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata, Siti menemui tantangan yang tak terduga. Suatu hari, di tengah percobaannya menjalani hidup
265tanpa smartphone, dia menghadapi kesulitan dalam mengatur pertemuan denganteman-temannya yang hanya mengandalkan pesan teks menggunakan smartphone. Sementara itu, Dimas menyadari bahwa dalam upayanya mempertahankan tradisi tatap muka, ada momen di mana teknologi membantunya memahami dunia lebihluas. Sebuah aplikasi penerjemah membantu Dimas berkomunikasi denganseseorang dari luar negeri yang memiliki pandangan unik tentang penggunaansebuah teknologi. Pertualangan Siti tidak hanya memunculkan kesadaran tentangtantangan, tetapi juga menginspirasi teman-temannya, termasuk Dimas untukmerenungkan sejauh mana pengaruh teknologi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ini membuka diskusi mendalam tentang bagaimana mereka dapat memanfaatkanteknologi untuk memperkaya hubungan mereka tanpa mengorbankan kualitas komunikasi. Seiring dengan berjalannya waktu, Siti dan Dimas mulai melihat bahwa keberagaman cara berkomunikasi dapat menjadi kekuatan. Merekamerancang proyek bersama yang menggabungkan aspek teknologi dengan keasliantatap muka untuk menciptakan pengalaman berbeda dan mendalam. Siti cenderunghanya lebih suka berbicara melalui pesan teks dan media sosial, sedangkan Dimasmasih mencoba mempertahankan tradisi bertemu dan berbicara secara langsungatau tatap muka. Mereka sering kali berdebat mengenai apakah bahasa dalamera digital ini adalah peluang atau justru sebuah tantangan. Namun, suatu hari Siti mendengar sebuah cerita dari Neneknya tentang masa lalu di mana pada saat itukomunikasi dan belanja harus dilakukan secara fisik. Ia merasa penasaran tentangbagaimana tantangan hidup tanpa teknologi pada saat itu. Maka, Siti pun mengajakDimas untuk memutuskan mencoba petualangan baru dengan hidup tanpa smartphone selama dua minggu. Kemudian, dalam perjalanannya tanpa smartphone Siti tidak sengaja bertemu oleh seorang seniman jalanan yang memperkenalkannya pada dunia seni tradisional. Seniman tersebut mengajarkannya seni lukis dankerajinan tangan yang kini hampir dilupakan karena kecanggihan sebuah teknologi. Siti menyadari bahwa keindahan dan kekayaan budaya dapat ditemui tidak hanya terus menerus melalui layar gadget, tetapi juga melalui interaksi langsung denganlingkungan yang ada sekitarnya. Disisi lain, Dimas tiba-tiba menemukan sebuah
266tempat perpustakaan tua yang menjadi tempat berkumpul para pencinta buku. Dalam era digital, Dimas merasa senang dapat menyaksikan secara langsungbetapa pentingnya melestarikan buku fisik sebagai warisan budaya. Ia terpesona oleh aroma kertas dan cerita-cerita klasik yang tidak bisa digantikan oleh e-book. Ini membuatnya semakin yakin bahwa ada kekayaan bahasa dan pengetahuan yangtak tergantikan oleh teknologi digital. Selama perjalanan dua minggu itu, keduanya juga mengeksplorasi kembali tentang keindahan alam dan kebersamaan tanpa gangguan gadget. Mereka mulai mengerti dan menemukan bahwa tanpa tergantungpada sebuah ponsel, mereka dapat lebih fokus dan menghargai momen-momenkecil dalam hidup. Pengalaman berharga ini mengubah pandangan mereka tentangpentingnya melestarikan interaksi sosial yang bersifat langsung. Selama pertualangan ini, Siti pun menyadari bahwa teknologi digital akan memberikanpeluang besar dan lebih mudah mengakses informasi, tetapi juga menghadirkantantangan tersendiri. Seiring berjalannya waktu, Siti mulai menemukankeseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata. Kini, Siti tidak hanya terhubung secara online, tetapi juga tahu bagaimana menghargai dunia nyata yangada di sekitarnya. Siti berpendapat bahwa teknologi memberikan peluang untukberkomunikasi dengan orang dari seluruh dunia dan belajar bahasa asing melalui sebuah aplikasi. Sedangkan, Dimas merasa bahwa ini cepat atau lambat akanmengurangi kualitas komunikasi dan membuat mereka semakin berjarak antara satusama lain. Siti belajar bahwa dalam era digital ini, kreativitas dan keberanian untukberbagi cerita adalah kunci kesuksesan. Ia tidak hanya mengubah takdirnya sendiri, tetapi juga membuktikan bahwa dunia maya adalah ladang subur bagi bakat-bakat muda. Setelah berakhirnya masa pertualangan tanpa smartphone yang mereka hadapi antara kehidupan digital dan keaslian tatap muka. Siti menemui kesulitandalam hidup tanpa smartphone, sementara Dimas merasakan manfaat teknologi dalam memahami dunia lebih luas. Siti dan Dimas menemukan keindahan seni tradisional, melestarikan buku fisik, dan menghargai momen kebersamaan tanpa gangguan gadget. Mereka menyadari bahwa keseimbangan antara dunia digital dankehidupan nyata adalah kunci, memanfaatkan teknologi dengan bijak untuk
267memperkaya hubungan mereka. Tidak hanya itu mereka juga menyadari potensi dan peluang yang ditawarkan oleh teknologi. Mereka memutuskan untukmemanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya, tetapi tetap menjaga keakrabanmelalui pertemuan langsung. Sambil tidak berhenti menggali peluang danpengetahuan melalui dunia digital. Akhirnya, Dimas dan Siti memahami bahwa bahasa dalam era digital bisa menjadi peluang jika digunakan dengan bijaktergantung masing-masing individu. Mereka pun memutuskan untuk tetap menjaga keakraban mereka dengan bertemu secara langsung, sementara tetap memanfaatkanteknologi yang ada disekitar mereka untuk memperluas wawasan bahasa daninformasi. Sebuah Kisah dari Masa Digital (Ardin Septa Dela) Kisah ini terjadi di tahun digital, dimana negara mengalami lompatan teknologi yang amat pesat di berbagai sektor. Ilmu pengetahuan berada di puncak. Seluruhsendi kehidupan tumbuh meroket, mengalami upgrade luar biasa. Sebaran gadget mulai meluas dan menyentuh segala usia dengan harga terjangkau. Negara mulai memberlakukan sistem digital dimana-mana. Mulai dari belanja, pariwisata, layanan publik, sebagian sistem sekolah, termasuk kegiatan literasi. Penggunaankertas sudah mulai ditinggalkan dan seluruh aktivitas pencatatan dilakukan secara elektronik dan otomatis. Apapun yang berkaitan dengan digital, seketika meledaklaris di pasaran. Pengadaan buku bacaan juga turut beralih mejadi digital. Jika dulukeluarga kalian sering langganan koran atau majalah, maka cukup men-downloadaplikasi koran atau berita berlangganan. Jika kalian adalah anak muda yang senangmembaca cerita-cerita fiksi fantasi, thriller, romansa atau cerita bersambung, cukupberlangganan pada aplikasi novel digital. Atau mungkin kalian adalah remaja yanggemar menulis, berbakat, penulis belajaran ataupun penulis karya best seller kalian
268bisa membuat akun pribadi di aplikasi platform menulis digital. Semua serba digital dalam genggaman. Dan semua aplikasi-aplikasi itu, dikelola oleh perusahaanpenerbitan digital. Satu malam di masa itu, duduk seorang gadis di depan laptop. Usianyasekitar enam belas tahun. Layar laptop masih menyala. Sesekali ia mengetikkan sesuatu, menimbulkan suara tak beraturan. ”Kamu belum tidur, Nusa?” seseorang menegur. Tampak seorang laki-laki paruhbaya telah berdiri di tengah pintu. Wajahnya kusut, juga rambut dan kemeja kerjanya. “Papa sudah lama di sana?” Gadis itu bernama Nusaiba dan yang menegur tadi adalah papanya yangbaru saja pulang dari kerja. Papa Nusaiba adalah salah satu penulis tersohor di negara itu. Karya-karyanya berupa e-book novel laris terjual di e-commerce langganan publik. Ia juga penulis cerita bersambung di novel digital, yang banyakd igandrungi pembaca danseringkali menjadi trending nomor satu. “Papa sepertinya lelah. Mau kubuatkan teh hangat?” tanpa menunggu jawabanpapanya, Nusaiba telah berlari menuju dapur dan kembali beberapa menit kemudian sembari membawa secangkir teh hangat. Nusaiba memperhatikan lelaki di depannya. Ada guratan rasa lelah di wajah yang hampir menginjak usia kepala lima. Papanya tidak banyak bicara. Ia lebih memilih menikmati teh hangat spesial yang diseduh anak gadisnya. “Oh, iya, Pa, ada sesuatu yang ingin Nusa tunjukkan kepada Papa,” Nusaiba teringat sesuatu, lantas ia mengetikkan sesuatu. Terdengar suara printer menyaladankeluar beberapa lembar kertas. “Apa ini?” Papa Nusaiba mengernyit, menatap seksama tulisan di kertas.
269“Tadi Nusa ‘main’ di novel digital, membaca satu-dua episode di sana. Nusa menemukan beberapa kosakata asing, mungkin itu kosakata baru. Ada beberapa akata yang sepertinya mengarah ke pornografi, kata yang kurang sopan,” jelas Nusaiba. “Papa sudah tahu?” Papa Nusaiba mengangguk, ia menyeruput kembali tehnya. Pandangannya tak lepas dari kertas-kertas itu. “Papa sudah tahu ini. Staf di pusat kendali bagian literasi juga membahas ini beberapa hari terakhir. ”Nusaiba mengangguk pelan. Nusaiba adalah salah satu remaja yang gemar membaca. Setiap hari, ia menghabiskan waktu dengan membaca novel, cerita-cerita, berita, apapun. Ada fasilitas yang memadai untuk mengakses bacaan digital di rumah. Ia juga sering membahas satu-dua hal dengan sang Papa tentang literasi. E- book yang baru rilis, kosakata baru, permasalahan di dunia kepenulisan, dan banyakhal. Hari itu, dia membaca salah satu cerita, dan ia menemukan banyak kata-kata asing. Bahasa yang kurang sopan. “Setiap perkembangan hal baru, akan selalu muncul permasalahannya,Nusa. Tantangan-tantangan yang mengimbangi peluang yang muncul. Tidaksemuanya mulus,” sang Papa dengan senang hati menjelaskan. “Perubahan teknologi ini misalnya. Ketika semua beralih ke digital, peluangpunberubah. Dulu, buku-buku banyak yang terbit dan memenuhi rak-rak di tokobukudan perpustakaan. Sekarang, perusahaan penerbitan beralih ke buku digital,e-book. Kabar baiknya, semua akan lebih efisien, lebih murah produksi dan lebihmudahdisebar.” “Para penulis seperti Papa juga lebih mudah lagi. Semua orang bisa menulis. Mereka berlomba-lomba menciptakan cerita baru dan lebih menarik dengan
270ideyang kreatif. Coba lihat ke aplikasi novel digital, setiap hari kamu bisa menemukanpuluhan judul baru di sana. Orang-orang akan lebih mudahmendapatkan uangdengan tulisan mereka. Kosakata baru bertambah. Dunia bahasa juga semakinberkembang.” “Tapi, kemajuan itu akan tetap dibuntuti tantangan-tantangan,” Papa Nusaiba berhenti sejenak, menghela nafas. “Sayangnya, aplikasi-aplikasi digital ituada yang belum dilengkapi sensor yang bisa mendeteksi kalimat-kalimat pornografi, kosakata yang kurang sopan seperti yangkamu data tadi. Bahkan, kadang ada cerita yang mengarah pada pelecehan seksual atau kebencian terhadap kelompok tertentu.”Nusaiba mengangguk. Selalu seru ketika berbincang dengan sang Papa. Mereka lupa bahwa malamsemakin larut. “Apakah ini yang selalu membuat Papaterlihat kusut setiap kali pulang kerja?” Papa Nusaiba menyeringai. “Ada yang membuat Papa lebih sebal lagi,Nusa.”“Apa itu?” tanya Nusaiba. “Pembajakan,” Papa Nusaiba menatap kosong. Raut wajahnya berubah. ”Ketika dunia literasi berubah menjadi digital, buku-buku diproduksi secar aelektrik, ternyata pembajakan tetap ada. Malah kali ini semakin merajalela. Padahal, setiap e-book yang terbit selalu dilengkapi dengan enkripsi keamananyang tidak bisa disalin, tapi entah mengapa tetap bisa dibajak.” “Karya Papa juga?” Papa Nusaiba mengangkat bahu.
271“Hampir seluruh buku ada bajakannya. Tadi Papa dan teman-teman di penerbitanhabis menelusuri seluruh e-commerce, dan semuanya selalu ada yang menjual e- book bajakan. Ada juga karya teman Papa yang sudah tersebar lebih dulu sebelumpenulis aslinya merilis.” “Memangnya dari komite pusat tidak ada pengamanan soal ini, Pa?” “Sudah, tapi juga tidak begitu serius. Sudah beberapa kali aliansi penerbitan digital melakukan pertemuan, meminta saran dan masukan dari Pemerintah soal ini.Tapi hasilnya masih mengecewakan.” Keduanya menghela nafas dalam. Permasalahanini seperti terdengar sepele, tapi Papa selalu mengeluh bahwa permasalahan ini mengakibatkan kerugian yang amat serius. “Ada beberapa teman Papa yang kadang mogok masuk kerja, mogok menulis, mogok mengedit. Ya, karena itu. Sebelum buku-buku itu terbit, semua penulis akanmelakukan riset. Banyak sekali risetnya. Riset isi bacaan, bahasanya, kebutuhanbacaan masyarakat. Dan itu menghabiskan biaya yang tidak murah. Eh,p as rilis, ada bajakannya. Dan pembaca akan memilih e-book yang lebih murah.” “Ada juga, akun teman Papa yang terkena phising ...” “Phising? Apa itu?” sela Nusaiba. “Itu seperti pembobolan data pribadi. Jadi, setiap penulis digital di kantor Papa akan membuat akun resmi sebagai penulis. Akun itu membutuhkan data-data asli untuk memastikan bahwa akun itu juga asli. Nah, phising ini adalah pancinganpembajak akun yang meminta data-data penulis secara tidak sadar. Kadang mereka mengirim e-mail yang menawarkan diskon tertentu, atau kode verifikasi apalah. Seperti itu.” Nusaiba manggut-manggut.
272“Seperti yang Papa bilang, Nusa, setiap hal akan ada peluang dan tantangannya. Transformasi digital di dunia kepenulisan ini banyak sekali peluangnya, seperti yang Papa sebut tadi. Tantangannya juga lebih banyak lagi. Tetapi kita bisa memilih, apakah memilih berhenti atau mencari solusinya. Dan Papa akan selaluberusaha mencari solusi terbaiknya.” “Sudah, ya, Papa lelah. Papa belum salat. Papa juga ingin istirahat. Ada banyak hal yang akan Papa urus besok. Kamu juga segera istirahat,” Papa Nusaiba mengecupkening anak gadisnya, kemudian mengusap kepala. Itu adalah tradisi sebelumtidur yang selalu dilakukan sejak Nusaiba kecil. “Have a nice dream, Papa.” Nusaiba menatap punggung Papanya yang melangkah menjauh, kemudian hilangbersama pintu tertutup. Ia tahu, ada banyak permasalahan yang Papa hadapi,temanteman penulis Papa, juga para penulis lain. Tapi, Papa benar, ada yang bisa dipilih. Apakah memilih berhenti, atau mencari solusi terbaiknya. nar, ada yang bisa dipilih. Apakah memilih berhenti, atau mencari solusi terbaiknya.
273PERTEMUAN DIGITAL (Bayu Setyo Nugroho) Di suatu pagi cerah di kota yang penuh dengan kemajuan teknologi, Hans duduk di sudut kamar kecilnya yang penuh dengan perangkat canggih. Ponsel pintarnya menjadi iteman setia sejak bangun tidur hingga malam hari. Namun, di antara kerumunan teknologi, Hans adalah seorang pelajar yang gemar membaca. Ketika sedang sibuk mengerjakan tugas, mata Hans tertuju pada sebuah puisi yangtanpa sengaja ditemukannya. Ia tersenyum terpukau oleh kata-kata yang terpampangdilayar. "Pertemuan Lewat Digital" membuat hatinya tergetar, menciptakankeindahan dalam dunia maya yang begitu terkoneksi. Pada hari berikutnya, Hans kembali terpaku pada tugasnya yang belum selesai. Pada pertengahan perjalanantugasnya, rasa jenuh menyergapnya. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk memberikandirinya istirahat sejenak dengan bermain game. Begitu menyentuh layar perangkatnya, Hans tenggelam dalam dunia virtual yang penuh warna. Di dalampermainan, Hans bertemu dengan seorang wanita misterius. Mereka salingberinteraksi, bekerja sama dalam mengatasi tantangan yang muncul. Meskipunhanya berkomunikasi melalui karakter dalam game, Hans merasakan kecocokan
274dan kebersamaan yang luar biasa. Setiap tertawa dan setiap kemenangan, membentuk benang-benang keakraban di antara mereka.Waktu berlalu tanpa disadari oleh Hans. Pada suatu titik, ia menyadari bahwa perasaannya terhadapwanita di dalam game telah berubah. Tanpa bisa dijelaskan, Hans merasakankehangatan dan kelembutan di balik setiap pertukaran kata. Maka, tanpa ragu,ia menyampaikan perasaannya kepada wanita tersebut. Mereka memutuskan untukmelanjutkan hubungan di luar permainan. Pertemuan pertama di dunia nyata terasa seperti kelanjutan dari kisah digital mereka. Hans dan wanita itu, yang bernama Mia, menemukan bahwa dunia maya telah membawa mereka bersama, tetapi kehidupan nyata memberikan dimensi baru yang tak tergantikan. Meski begitu, perjalanan cinta Hans dan Mia tidak selalu mulus. Mereka harus menghadapi tantangan dan perbedaan di antara mereka. Hans, yang begitu terikat denganteknologi, belajar untuk memberikan perhatian lebih kepada dunia di sekitarnya. Sementara Mia, yang lebih terbiasa dengan kehidupan nyata, mulai memahami kepentingan teknologi bagi Hans. Pertemuan mereka melalui dunia digital menjadi cikal bakal kisah cinta yang unik. Hans dan Mia membagi waktu antara menjalani kehidupan nyata dan menjelajahi duniamaya bersama. Mereka menemukan bahwa keduanya memiliki keindahan dan pelajaranyang berbeda, saling melengkapi seperti puzzle yang akhirnya terbentuk sempurna. Namun, kebahagiaan mereka tidak luput dari ujian. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain game bersama, koneksi internet Hans tiba-tiba terputus. Kecemasan menyelinap ke dalamhatinya, dan ia menyadari betapa pentingnya kehadiran Mia dalam hidupnya. Dalamkegelapan dunia maya, Hans merasa kehilangan. Ketika koneksi internet kembali, Hans dengan cepat mencari Mia. Namun, seolah-olah dunia maya ikut merasakankepanikan yang sempat melanda, karakter Mia telah menghilang. Hans panik, mencoba segala cara untuk mencari tahu keberadaannya. Hingga akhirnya, pesanmuncul di layar, "Maaf, aku harus pergi dari dunia ini. Terimakasih untuk semua kenangan indah." Hans merasa hancur. Puisi "Pertemuan Lewat Digital" kembali memenuhi pikirannya. Namun, kali ini, maknanya lebih dalam. Ia menyadari bahwa meskipun
275koneksi digital bisa tiba-tiba terputus, kenangan dan pengalaman yang mereka bagi tetap abadi. Dalam kehilangan, Hans menemukan kekuatan untuk terus melangkah. Dengan hati yang penuh pengharapan, Hans kembali menyusun tugasnya yangtertunda. Namun, kali ini, setiap kata yang ia tulis terasa lebih hidup, karena di balik layar ponsel pintarnya, kenangan indah bersama Mia tetap membimbingnya. Waktu berlalu, namun Hans tidak pernah melupakan Mia. Setiap kali ia melihat layar ponsel pintarnya, bayangan Mia tetap menghiasi pikirannya. Kegiatan sehari- hariterasa hambar tanpa kehadiran wanita yang pernah bersamanya melalui dunia maya. Hans memutuskan untuk menyibukkan diri dengan kegiatan baru untukmengatasi kekosongan yang dirasakannya. Ia kembali menemukan kedamaiandalam membaca buku-buku fisik, mencoba meresapi setiap halaman dengan hati yang lebih terbuka. Namun, dalam diam, ia masih berharap akan kembalinya Mia, entah di dunia nyata ataumaya. Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di taman, Hans mendengar suara familiar. Ia berbalik dan kaget melihat sosok yang ia kenal begitu baik. Mia berdiri di depannya, dengan senyuman hangat di wajahnya. Hans merasa hatinya berdebar-debar, seolah dunia memberinya kesempatan kedua. Mia menjelaskan bahwa kepergiannya dari dunia maya bukanlah suatu perpisahan. Ia butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa urusan di kehidupan nyata, namunselalu menyimpan kenangan indah bersama Hans dalam hatinya. Perasaan Hans yang selama ini terpendam kini mekar kembali seperti bunga yang tumbuh di musim semi. Keduanya kembali membangun hubungan mereka, kali ini denganlebih banyak keterlibatan dalam kehidupan nyata. Hans belajar untuk menemukankeseimbangan antara teknologi dan kebersamaan riil. Bersama Mia, ia menemukankeajaiban dalam momen-momen sederhana, seperti berjalan bersama di taman atauberbagi tawa di kedaikopi. Pertemuan mereka yang sebelumnya hanya melalui karakter dalam game, kini berkembang menjadi kisah cinta yang nyata danmendalam. Setiap tantangan yang mereka hadapi, baik dalam dunia maya maupundunia nyata, mereka lewati bersama-sama. Mereka menyadari bahwa kekuatancinta mereka melebihi batas antara dunia digital dan dunia nyata. Suatu hari, ketika sedang duduk bersama di tepi danau, Hans menarik sejuta kata-kata dari dalamhatinya. Ia merangkai sebuah puisi, bukan hanya untuk Mia, tetapi juga sebagai
276ungkapan syukur untuk setiap detik yang telah mereka lalui bersama. Puisi itumenjadi simbol cinta mereka, melebihi kisah "Pertemuan Lewat Digital" yangpernah Hans temukan. Puisi itu berkisah tentang perjalanan cinta yang dimulai dari dunia maya, tumbuh di dunia nyata, dan menciptakan satu cerita yang takterlupakan. Mia tersenyum, merasa tersentuh oleh kata-kata Hans. Mereka menyadari bahwa, sejauh apapun teknologi membantu menghubungkan mereka, esensi cinta tetap ditemukan dalam kehidupan nyata yang riil. Cerita Hans dan Mia menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitar mereka. Kisah cinta yang dimulai dari pertemuan di dunia digital mengajarkan bahwa hubungan sejati tidak terbatas oleh media atau platform. Keberagaman kehidupan, baik yang nyata maupun maya, mampu menciptakan keindahan yang utuh. Dengan tangan yang salingbergandengan, Hans dan Mia melangkah ke depan, siap mengarungi liku-likukehidupan bersama-sama. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa cinta sejati tidak hanya ditemukan di antara serangkaian kode dan sinyal digital, tetapi juga dalam detak jantung dan sentuhan nyata.
277Menari Di Atas Kesedihan (Aurelia Imani Arindriaputri) Di hari Minggu yang cerah, Rani terlihat sedang termenung di kamar tidurnya. Seraya rebahan di kasur dan membuka handphone-nya, ia bergumam, “Aduh, aku bingung sekali. UKT semester ini harus dibayar maksimal minggudepan, tapi Ibu sedang tidak punya uang dan aku tidak enak merepotinya terus- menerus. Aku harus apa?”. Dengan keputusasaan, ia terus melamun. Sampai-sampai ia tidak sadar akan kehadiran sang Ibu di kamarnya. “Aduh anak gadis ini pagi-pagi sudah melamun saja. Lagi mikirin apa sih? Pasti lagi mikirin cowok ya?”, ucap sang Ibu sambil terkekeh kecil. Mendengar ucapan Ibunya, Rani sontak tersadar dari lamunannya dan berkata,
278“Ah apa sih Bu? Aku tidak sedang memikirkan itu kok. Aku hanya sedangmemikirkan tugas-tugas yang belum aku kerjakan.”. Rani berbohong kepada Ibunya karena ia merasa kasihan dengan Ibunya dan tidak mau merepotinya lagi. Ibu Rani hanya seorang pedagang kecil di pasar dengan penghasilan yang kecil pula. Meski demikian, Ibu Rani sangat menyayangi Rani, ia rela melakukan apapun asal Rani dapat hidup layak. Penghasilannya yang kecil membuatnya terpaksa harus meminjam uang di berbagai tempat sehingga tanggungan Ibu Rani sangat banyak. Rani yang mengetahui hal tersebut, merasa iba pada Ibunya, sehingga ia memutuskan untuk mulai mencari uang sendiri. Namun, Rani bingung harus memilih darimana, terlebih ia hanya merupakan seorang mahasiswi biasa dan tidakpunya pengalaman sama sekali. Rani mempunyai seorang sahabat yang bernama Citra. Rani biasa curhat kepada Citra tentang masalah-masalah yang sedang ia hadapi, termasuk akan masalah ini. Citra pun memberikan solusi untuk Rani berupa ajakan untuk mengikuti berbagai perlombaan yang Rani bisa. Kemudian Citra pun bertanya pada Rani, “Sebenarnya, kamu itu paling berbakat di bidang apa sih?”. Rani berpikir sejenak, kemudian ia menjawab pertanyaan Citra, “Karena aku anak Sastra Inggris, menurutku sih kelebihanku ada di bidang itu. Seketika, wajah Citra menjadi sumrigah. “Eh Ran, kayaknya aku tahu deh perlombaan apa yang cocok buat kamu. Jadi kebetulan tadi pas aku lagi scroll Instagram, di berandaku ada lomba menulis cerpen dalam bahasa Inggris. Penyelenggaranya itu Harsard University, universitas dari Inggris itu loh. Dan kalau tidak salah lihat, hadiahnya untuk juara 1 nya itusekitar 20 juta gitu. Tapi nanti kalau kamu ikut dan menang, jangan lupa bagi-bagi ya!”, ujar Citra dengan menggebu-gebu. Rani pun tertarik dengan perlombaan yang Citra tawarkan. Segera, ia meminta infoperlombaan tersebut. Setelah mendapatkan juknis perlombaan tersebut dari Citra,
279Rani semangat sekali karena ternyata memang benar bahwa hadiahnya adalah 20juta untuk juara 1. Untuk biaya pendaftaran juga gratis 100%, sehingga ia membulatkan tekad untuk mengikuti perlombaan tersebut dan harus memenangkannya. Namun, semangat Rani tiba-tiba menurun drastis karena ketika ia melihat daftar peserta perlombaan tersebut yang ternyata kebanyakan merupakanpenulis ahli. Rani merasa tidak percaya diri. Ia berpikir, bagaimana seorangmahasiswi biasa mampu mengalahkan penulis-penulis ahli itu? Hal tersebut membuat kepribadian Rani menjadi berubah. Ia merasa sangat insecure danberubah dari yang semula ceria menjadi begitu pendiam. Teman sekelas Rani yangbernama Zaki adalah orang yang paling menyoroti kepribadian Rani yang berubahdrastis. Suatu hari, ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Rani. “Rani, aku lihat-lihat akhir-akhir ini kamu tidak seceria biasanya. Ada apa?”, tanya Zaki. Rani pun menceritakan hal yang membuatnya berubah drastis seperti itu. Zaki yangmendengar ceritanya pun merasa iba terhadap Rani, sehingga Zaki memutuskanuntuk membantu Rani menyusun cerpen untuk perlombaan. “Ran, tidak ada yang tidak bisa kita lakukan di dunia ini. Mau sehebat apapunpenulis-penulis di luaran sana, kalau Tuhan berkehendak kamu yang memenanganperlombaan itu, ya kamu akan jadi pemenangnya. Kita cuma bisa berdoa danberusaha yang terbaik Ran. Soal menang kalah, itu urusan belakangan, yangterpenting kita sudah mencobanya. Bagaimana kita bisa tau hasilnya kalau kita tidak berani mencobanya kan?”, ujar Zaki menyemangati Rani. Mendengar ucapan Zaki, Rani menjadi senang dan bersemangat lagi. Ia mulai berpikir bahwa insecure yang sedang ia alami hanya akan mengganggunya untukmenjadi juara. Rani pun berterimakasih kepada Zaki, “Makasih ya ki, udah mau bantu dan nyemangatin aku.”
280Di hari-hari selanjutnya, Zaki dan Rani menghabiskan waktu luang mereka untukmengerjakan cerpen. Rani membuka laptopnya dan mulai mengetik judul cerpennya: Dancing on Sadness. Ia memilih tema kearifan lokal, yaitu tentangseorang anak perempuan yang tinggal di desa dan bercita-cita menjadi penari tradisional. Ia terinspirasi oleh kisah nyata yang pernah ia baca di internet. Rani menulis dengan penuh semangat. Ia menggambarkan tokoh utama cerpennya yaituZara, yang memiliki bakat dan minat dalam menari. Sari berasal dari desa yangterletak di pinggiran kota. Ia tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai penjual sayur di pasar. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil akibat kecelakaan. Zara selalu bermimpi untuk menjadi penari profesional dan tampil di panggung- panggung besar. Ia sering menonton acara-acara tari di televisi dan menirukangerakan-gerakan para penari. Ia juga sering berlatih menari di halaman rumahnya dengan menggunakan kain-kain bekas sebagai kostum, karena latar belakangkeluarganya yang serba kekurangan. Rani menyusun cerpen seperti itu karena ia terinspirasi dari kisah keluarganya. Menurutnya, karakter Zara akan sangat menggambarkan kisah hidupnya, sehingga ia berharap pembaca cerpennya akanmerasa bahwa cerpen itu ‘hidup’. Selanjutnya, adalah tugas Zaki untuk merevisi cerpen buatan Rani. Zaki membaca cerpen tersebut dengan seksama. Ia sesekali mengangguk, mengernyitkan dahi, atau menulis catatan di pinggir halaman. Setelahselesai membaca, Zaki memberikan beberapa saran dan kritik kepada Rani. Ia mengatakan bahwa cerpennya sudah cukup baik, tetapi masih bisa diperbaiki. Ia menyarankan Rani untuk menggunakan kosakata yang lebih variatif, memperbaiki tata bahasa dan ejaan, dan memberikan lebih banyak detail tentang karakter dankonflik cerita. Rani kemudian berterimakasih pada Zaki, dan langsung merevisi cerpennya itu. Cerpen yang telah dibuat oleh Rani akhirnya siap untuk dikirimke panitia lomba. Setelah beberapa hari menunggu publikasi 10 besar cerpen terbaik, akhirnya Rani menerima sebuah e-mail dari panitia yang menyatakan bahwa cerpenyang ia tulis masuk di 10 besar cerpen terbaik dan akan diterbitkan di website Harsard University. Rani merasakan perasaan tidak percaya sekaligus bangga. Ia segera memberitahu Zaki dan Citra akan kabar yang menggembirakan tersebut dan
281mereka mengucapkan selamat serta bangga terhadap Rani. Sekarang, Rani hanya perlu menunggu pengumuman kejuaraan perlombaan tersebut. Di website HarsardUniversity, ia melihat banyaknya komentar positif dari khalayak umumterhadapcerpennya. Ia pun menjadi yakin bahwa ia mampu menjuarai perlombaan tersebut. Tidak lupa dengan nasihat dari Zaki, Rani tetap berdoa kepada Tuhan agar dapat memenangkan perlombaan tersebut sehingga ia dapat membantu Ibunya danmelunasi UKT-nya. Hari yang dinanti-nanti oleh Rani pun tiba. Ia mendapat notifikasi e-mail dari panitia perlombaan cerpen tersebut yang berisikanpengumuman bahwa cerpen Rani terpilih menjadi juara 1 dalamperlombaantersebut dan Rani berhak menerima hadiah berupa uang tunai sebesar 20 juta. Rani membaca notifikasi e-mail tersebut dengan perasaan campur aduk. Ia bahagia dansangat bersyukur kepada Tuhan. Rani pun menutup e-mail tersebut dan langsungmenghubungi Citra dan Zaki. Mereka berdua mengucapkan selamat lagi kepada Rani. Tak lupa, Rani juga menghubungi ibunya yang saat itu sedang berdagang di pasar dan memberitahukan semuanya. Ibu Rani sangat senang dan bangga kepada Rani. “Kamu memang anak gadis Ibu yang sangat pintar dan berbakat, jadi Ibu sudahtidak heran.”, ujar sang Ibu kepada Rani. Rani merasa terharu dan bersyukur. Ia berjanji akan menggunakan uang hadiahnya dengan bijak. Ia berencana untukmembantu ibunya membayar tanggungan hutang dan menyisihkan sebagian untuktabungan. “Ya sudah Bu, Rani tutup dulu ya teleponnya karena Rani sedang ada mata kuliah.”, pungkas Rani di ujung telepon.