101“Tapi sayang. Sayang beribu sayang. Kita bisa menengok sendiri, bagaimana kondisi anak muda saat ini?! Bagaimana keadaan moral dan etika generasi muda masa kini?! Turun! Sangat drastis bahkan!!” Pemateri itu menggeser lagi ke slide berikutnya, “Sebagai contoh simpel, Saya ambil data statistik dari salah satu lembaga pemeriksa keuangan negara.” Klik!Slide berikutnya muncul, menampilkan data statistik milik badan keuangan.“ Berdasarkan data yang ada di hadapan anda sekalian ini, bisa kita lihat, data peminjaman uang yang ada. Dan mencengangkannya, peminjam dengan taraf usia 19 hingga 34 tahun, mempunyai porsi pinjaman sebesar 26,9 triliun rupiah!! Wow! Nilai yang begitu banyak tentunya.“ Tetapi sebentar, ada yang lebih mengejutkan. Anak-anak seusia sekolah menengahatas, SMA. Atau lebih dikenal dengan Generasi Z! Anak-anak yang mungkin masihdi bawah usia 19 tahun, mempunyai saldo pinjaman mencapai 169 miliar rupiah!!“Dan tahukah Anda, dampak yang akan terjadi jika terus menerus begini? Maka secara perdata, mereka anak-anak muda ini akan mati secara perdata. Artinya, mereka tidak akan bisa mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, karena masuk blacklist. “Yah, tentu ini hanya contoh kecil yang mungkin bisa kita ambil pelajaran. Ataujuga yang tampak dalam keseharian kita! Soal etika dalam berbahasa.“ “Negeri kita ini, juga merosot sekali soal etika berbahasa. Bahkan, jika kita tanya hal-hal sederhana saja, banyak yang tidak tahu cara pemanggilan yang benar kepada yang lebih tua, kepada sesama, atau kepada yang lebih muda. Lantas bagaimana reaksi kita menanggapi persoalan demikian?Terlebih soal gagdet! Generasi akhir saat ini tidak bisa dipisahkan dari satu perangkat ini. Yaitu gadget.“
102“Dalam ranah berkomunikasi, gadget membuat generasi muda semakin mudah danluas dalam mengakses sesuatu. Teman obrolan mereka pun berbagai macam. Termasuk dari luar negeri. Maka kemudian hal itulah yang membuat seseorangmenjadi malas, atau bosan menggunakan bahasa nasionalnya. Sampai-sampai, ada bahasa gaul yang mereka ciptakan. Dan tak perlu saya sebutkan di sini, karena tentukalian sudah mengerti.“ “Saya pun yakin, semua yang hadir di sini, tidak ada yang tidak berkaitan dengangadget. Baik ponsel, maupun laptop. Benar bukan?” Para pendengar mengangguk-angguk setuju. Beberapa ada yang justrumengangkatnya, mengambil jepret-jepret foto. Pemateri itu berhenti sejenak. Duduk di kursi, meraih botol minumnya, meneguknya. Kemudian kembali berdiri. “Baiklah. Akhir kata, semoga apa yang hari ini kita sama-sama belajar bisa membawa kebaikan untuk di masa depan. Membawa perubahan yang semakin baik. Sebagai penutup, saya akan mengutip kata-kata dari presiden pertama kita, BapakInsinyur, Haji Sukarno, ‘Beri Aku 10 Pemuda! Niscaya Akan KuguncangkanDunia!!’ Terima kasih semuanya!!” Riuh tepuk tangan kembali memenuhi seisi ruangan. Pemateri itu melangkah turun, menuju ke belakang panggung. “Penampilan yang masih selalu memukau, Bu Retna. Sungguh saya sebagai temanmerasa bangga. ”Seorang wanita paruh baya datang menyalami pemateri tersebut.“Ah, Bu Tami terlalu berlebihan. Bukankah itu memang tugas kita sebagai guru, sekaligus orangtua?” “Ya, Bu. Betul sekali itu.”
103Sementara itu, ratusan kilometer dari gedung tersebut. Di sebuah tanah lapang. Puluhan anak sekolah, masih lengkap dengan seragam sekolah mereka, berkumpul. Di tangan mereka terhunus beberapa benda tajam, tongkat besi, bahkan gir hingga rantai.Tinggal menunggu waktu dan aba-aba, kericuhan sebentar lagi akan meletus. “Jangan takut teman-teman! Apapun yang mereka bawa! Apapun senjata mereka, mental kita tetap tangguh!!SIAPA KITA!!!?ZERO!!SIAPAKITA!!!?ZERO!!MAJU!! SERANG!!!Dari pihak seberang pun tak kalah hebohnya. Pemimpin dari sana sama-sama telah memberi komando penyerangan. Dan, dua kubu. Dua kelompok siswa, yang seharusnya berada di sekolah saat itu, harus majubertempur. PRAK! BUK! WUSSH! KROSAK!!Rangkaian suara kekerasan campur aduk di sini. Hantaman tangan kosong, balok kayu yang melayang bebas, belumlagi kibasan rantai yang begitu liar. Ditambah lagi lantunan-lantunan kata kasar yang keluar dari mulut mereka. Debu, pasir di tanah lapang itu mulai beterbangan, menambah atmosfer tawuran semakin memanas. “Mana nih Bosnya!!? Woy! Mana Bos Lu!!?” “Ngapain Lu nyari-nyari Bos Gua!?” “Bawel Lu!! BRUAKK!!” Hantaman demi hantaman saling baku membaku. Takada rasa kepedulian sesama lagi. Beda sekolah. Beda rasa. Darah halal tuk terkucur di sana. Sungguh tragis! DOR! DOR! DOR!BERHENTI!! DOR! DOR! DOR! Spontan mendengar letupan peluru. Pertanda bahaya bagi anak muda seperti mereka. Aparat! Polisi! Satpol-PP! yang kali ini, tanpa komando pun mereka sudahkalang kabut berlarian mencari tempat sembunyi. Ada yang melompat pagar warga. Masuk ke dalam masjid. WC masjid. Bahkan ada yang merangsek masuk ke
104warung makan yang sedang ramai-ramainya.Tapi bagi polisi, hal seperti ini bukankasus pertama kalinya. Mereka sudah membuat taktik, puluhan personil sebelumadanya aba-aba peringatan sudah bersembunyi, mengitari lapangan itu. Ada yangberusaha kabur, langsung tangkap. Melawan? Jangan salahkan. Kasus tawuran kali ini, sedikit sekali yang berhasil kabur. Itu pun karena memang polisi-polisi itukewalahan menghadapinya. “Bawa masuk ke dalam mobil! Jangan sampai ada yang lolos lagi! Cepat, langsungbawa semuanya ke dalam mobil!” Empat mobil tahanan yang sudah terparkir di beberapa meter dari lokasi kejadiansigap meringkus kawanan pemuda rusuh itu. Dan beruntungnya, kali ini, pemimpin, dalang dari keributan ini berhasil tertangkap. Meski sebelumnya ia selalu lolos melarikan diri. “Ayo semuanya, langsung masuk ke dalam. Kita bicarakan lebih lanjut di kantor polisi!” Beberapa petugas yang lain turut menarik anak-anak siswa tadi, memaksa masuk ke dalam mobil tahanan. Hampir sekitar dua puluh lima siswa tertangkap. Setelahsemua siswa masuk ke dalam mobil, barang-barang bukti, seperti benda tajamjuga telah diamankan sebagai barang bukti, empat mobil itu segera meluncur ke kantor kepolisian pusat. Di kantor kepolisian. Dua puluh lima siswa, yang masih lengkapdengan seragamnya, digiring masuk ke dalam. Mereka diletakkan di satu aula luas, untuk ditindak lanjuti. Di aula, beberapa petugas polisi sudah siap menyambut mereka. “Hei anak-anak muda! Sungguh miris kondisi kalian!”, salah satu petugas polisi berseru. Tubuhnya besar, tegap. Tampak dari raut wajahnya, keras, tegas .“Untuk apa kalian melakukan tindakan bodoh seperti itu? Untuk apa tawuran?! Berbuat keributan!!? Supaya terlihat hebat? Terlihat lebih jagoan!!?”
105Para siswa yang berada di aula itu hampir rata menunduk malu, bercampur ketakutan. Tak ada yang berani menatap jendral kepolisian itu. “Bukan!! Bukan itu yang kalian dapat!! Yang kalian dapatkan hanyalah tindakanbodoh dan sia-sia saja!!”Di tengah-tengah berkoar-koarnya petugas itu memarahi mereka, seorang Polisi dengan lencana bintang 4 melangkah mendekatinya. Petugas-petugas lain yang berada di situ bergeser memberi jalan.” KomjenBambang, permisi menyela orasi Anda. Ijinkan saya mengambil salah satu anakdari mereka.” Komjen itu mengangguk, mempersilahkan. Tak mungkin ditolaknya permintaan jenderalnya itu. “Itu! Kau yang memakai topi hitam! Ya, kamu ikut saya!!” Para siswa itu rata terbelalak. Itu bos mereka. Gagah, namanya. Yang dipanggil, berdiri perlahan, melangkah patah-patah menuju petugas polisi itu. Semua pandangan tertuju ke Gagah yang berjalan mengikuti jenderal kepolisian tersebut. Yang kemudianlangkahnya hilang masuk ke dalam ruangan khusus. “Duduk di situ! Tatap wajah saya!”, jenderal kepolisian itu berseru tegas pada Gagah. Hanya berdua di ruangan itu.“ Gagah Pratama. Seorang pemimpin GengZero, katanya! Benar begitu!!?” “Ii.. iya Pak. Heem..”BRAKK!!“Jawab dengan sopan dan tegas!!”, jenderal kepolisian itu memkul meja di hadapannya. Membentak Gagah. “Tidak ada kata ‘Heem’ dalam kosa kata bahasa kita, bahasa Indonesia!” Gagahterhenyak. Lantas kaku menjawab, “I.. ii.. Iya Pak. Benar. Sa.. Saya Gagah Pratama, ketua Geng Zero.” Jenderal polisi itu tersenyum.
106“Ya. Bagus, jawab lain kali dengan seperti itu! Tapi tidak usah dengan grogi! Kauini laki-laki, dibentak sedikit saja langsung ketakutan seperti perempuan saja!” “Baiklah, Gagah. Sebenarnya saya sudah lama ingin menangkap kamu. Tapi sayang, kamu lincah dalam tiap-tiap pertempuran. Sebelum petugas kepolisian datang, kamu selalu berhasil melarikan diri.” Gagah kembali terhenyak. Tapi kali ini bukankarena bentakan dari jenderal itu, tapi soal bagaimana tahu jenderal itu dengandirinya? Apalagi namanya?! Bagaimana jenderal ini juga tahu kalau ia selalukabur dalam tiap-tiap pertempuran sebelumnya?Benar begitu? Gagah!!? ”Gagah mengangguk-angguk. BRAK!!Jenderal polisi itu memukul meja di depannya lagi,“Kalau ditanya itu dijawab! Bukan hanya mengangguk-anggukkankepala saja!! Kecuali kau bisu!!” “Sungguh menurun memang kondisi moral pemuda jaman sekarang...”, gumamjenderal itu. Set! Jenderal itu tak melanjutkan interogasinya. Justru berdiri, melangkah mendekati salah satu meja di ruangannya. Menekan proyektor yang ada di atasnya. Proyektor itu lalu menampilkan layar hologram. “Gagah, di video ini kamu akan melihat seorang anak muda, yang hidup dalamjaman teknologi.. Hampir saja ia hancur, beruntung ada yang berhasil menyelamatkannya...”, jenderal polisi itu menjelaskan kembali. Kemudian videohologram itu mulai disetel olehnya. Tampilan awal video menceritakan seorangpemuda yang hidup di lingkungan yang kurang baik. Di rumah, ia bersosialisasi dengan para preman, anak-anak jalanan, yang rusak kondisi keseharian mereka. “Woy Bang, Lo kalau punya sebat bagi-bagi dong!!”, salah seorang dari kumpulanpreman dan anak jalanan itu berseru ke yang lain. “Ya Elah, makanya jadi orang jangan kere. Susah hidup Lo kan!? Noh, satu ajaye..”.
107“Ye.. Pelit amat jadi orang!! Ya udah, mana sini!?”. Tampilan video berganti menunjukkan keseharian pemuda itu ketika di sekolah. Sama seperti sebelumnya, pergaulannya bebas, berkata seenaknya, sudah tak ada tata krama dan sopansantunnya sama sekali. “Oi kampret nggak ni... Kemarin ad yang ngajakin geng kita ribut ni..”, pemuda itu berseru di gerombolan teman-temannya. Mereka biasa bergerombol, berkumpul sambil terkadang membuat onar di sekitarnya. “Buset... Parah bet!! Siapa tuh orangnya?! Gas, samperin aja, Bang!!” “Iya dong! Harus itu.. Gue nggak sabaran pengen nimpuk pala mereka satu-satupake tangan Gue ini..”, ujar pemuda itu sambil mengepalkan tangannya.TIIIT.. KLIK!Jenderal itu menekan tombol proyektor. Video yang barusan disetelnya terjeda. Ia bertanya pada Gagah, “Baik. Bagaimana Gagah? Apa reaksi, serta hasil yang kamu dapatkan setelahmenonton secuplik video barusan...,”. Gagah menoleh kepada jenderal kepolisiantersebut. “Bagus Pak. Video itu begitu banyak meninggalkan pesan dan kesan.”Jenderal itumengangguk-angguk mendengar jawaban Gagah. “Begitulah Gagah. Keadaan anak zaman sekarang, lebih tepatnya Generasi Z. Begitu mengkhawatirkan! Mulai dari kebiasaan hidupnya, moral, etika, hingga cara bicaranya! Benar-benar membuat elus dada. ”Jenderal polisi itu menatap wajahGagah sejenak. Menatap matanya tajam. “Pak? Pak? Ada apa ya?!”, Gagah bertanya risih.“Ah! Tidak, tidak. Oh ya, sekarang kita bahas sedikit bagaimana penurunan kondisi moral anak zama
108sekarang menurun?!”Jenderal polisi itu kembali menekan proyektor di sampingnya Set! Klik!Kali ini video menunjukkan keadaan belajarnya anak-anakmuda zaman sekarang. “Lihat Gagah! Seperti dirimu. Kebanyakan anak zaman sekarang, mereka sudahmalas belajar. Paling yang memperhatikan hanya segelintir orang yang duduk di baris depan. Sisanya? Entah kemana pikiran mereka? Ada yang saling menjahili temannya. Ada yang tidur. Parahnya, ada yang bermain game di belakang sana.” “Maka berarti, poin pertama di antara penyebabnya adalah, turunnya minat belajar para pemuda. Semangat mereka seperti pudar entah hialg kemana.” Gagah tersenyum malu melihat cuplikan-cuplikan video itu. Benar, benar semua yang ditampilkan oleh Pak Jenderal polisi ini. Semuanya hampir ada pada kepribadian Gagah. Tapi sebenarnya masih ada yang mengganjal dalamlubuk hati Gagah. Siapa sebenarnya polisi ini? Berbeda sekali cara ia menginterogasi dirinya. Diajak berpikir, bahkan sampai ditampilkan video seperti ini. Juga kenapa dia menatap mataku tadi dengan tatapan tajam begitu? “Kemudian yang kedua...”, layar hologram berganti menampilkan suasana di tamankota. Rata-rata yang mengisi kepadatannya adalah anak-anak muda. “Remaja-remaja yang saling berpacaran, bergandengan tangan. Ada juga beberapa duduk sendiri di bangku-bangku. Membalas pesan-pesan yang masuk. Dan karena budaya malas sudah menjalar, sampai soal mengetik pesan pun banyak kata-kata yang disingkat. Dirubah dengan bahasa gaul, bahkan bahasa lain. Semisal, “kmudmna syg??” . Dijawab dengan hal yang sama, “Aq lgi sibuk bget d kantor.. Sorry ya, kagak bisa nemenin...”
109“Ya, kira-kira begitulah contohnya. Banyak kata yang disingkat, dirubah ejaannya, bahkan bercampur aduk dengan bahasa negara lain.” “Jadi, faktor kedua adalah, pergaulan bebas dan merebaknya budaya malas.”, Jenderal polisi itu mengisyaratkan dengan dua jarinya. Melihat potongan-potonganvideo barusan, Gagah semakin tak kuat. Ia merasa benar-benar sudah berantakansekali kondisi moral kebanyakan anak muda saat ini. Tak perlu dari video yang ia tonton, di realita kehidupan nyata saja, ia bersama teman-temannya. Hampir semuanya sama. “Baiklah, kita lanjut faktor yang ketiga....”, saat Jenderal polisi itu hendak menekantombol proyektor lagi, Gagah berseru lebih dulu .“Tidak usah Pak Jenderal! Cukup. Apa yang sudah saya tonton tadi sudah cukupuntuk membuat saya merasa hancur. Saya mungkin bahkan tahu, apa-apa yang akanditampilkan oleh video itu selanjutnya.” Pak Jenderal itu terdiam. Ia urung menekan tombol proyektor. Lalu justrumematikannya. “Baiklah Bapak Jenderal yang saya hormati. Saya mengaku salah. Salah atas apa yang telah diperbuat selama ini. Dan sekaligus mengakui kesalahan saya sebagai ketua dari Geng Zero, yang selama ini mengarahkan teman-teman pada kondisi moral yang begitu buruk. Maka, saya terima untuk menjalani hukuman yangseharusnya.” Ruang interogasi lengang sejenak. Jenderal polisi itu tak langsungmenjawab tanggapan Gagah. Ia tampak diam termangu, seperti memikirkan sesuatu. “Ehm..”, jenderal polisi memperbaiki posisi duduknya.
110“Gagah Pratama, anak dari seorang Guru Sekolah Menengah. Sebenarnya pembicaraan ini belum tuntas. Masih ada hal-hal yang ingin saya tanyakan, saya ajak pikirkan. Bahwa mengapa...”, ucapan jenderal polisi itu terputus ketika pinturuangannya terbuka. Seorang polisi bawahan melangkah masuk. “Maaf mengganggu, Jenderal. Lapor, di depan ruangan ada seorang wanita yangingin bertemu dengan Anda.” “Coba tanyakan, ada keperluan apa. Kalau tak begitu penting, suruh tunggu saja dulu.” “Siap, jenderal.” Kurang dari satu menit, polisi bawahan itu kembali masuk, melaporkan jawaban dari wanita itu. Dia menyampaikan bahwa dirinya bersangkutan dengan anak yang sedang diinterogasi. “Baiklah, suruh saja dia masuk.”Polisi bawahan tersebut mempersilahkan wanita tersebut masuk. Dan baru saja sampai di depan pintu, jenderal kepolisian ituterkejut. Begitu pula dengan Gagah. “Retna?” “Mama?!” Wanita itu berhenti melangkah. Dia tidak meneruskan langkahnya. Berhenti beberapa langkah di depan pintu. Berkata dari situ,“Gagah! Sudahkesekian kalinya kamu berbuat keonaran lagi. Apa kamu tidak malu berbuat seperti ini terus? Hampir setiap bulan Mama harus dipanggil ke Ruang Kepala Sekolah. Untuk menyelesaikan urusanmu. “Dan hari ini, Mama bukan lagi dipanggil ke Ruang Kepala Sekolah. Tapi di kantor kepolisian, sebab diberitahu oleh pihak sekolah. Beberapa detik, ruangankembali lengang. Tak ada yang angkat bicara, sampai jenderal polisi itu bangkit
111berdiri dari kursinya.“ Sepertinya ini sudah waktunya. Waktunya untuk semuanya kembali pulih. Setelah sakit di beberapa masa, saat ini kita pulihkan bersama. ”Gagah tak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mamanya baru saja memarahinya, tapi selanjutnya Jenderal polisi ini yang menanggapi. Apa? Apayang sebenarnya terjadi di sini?!“ “Jadi begini Gagah. Kondisi ini benar-benar ingin sekali saya alami bertahun-tahunlamanya. Tapi takdir selalu berkata lain. Hingga hari ini. Ketika semuanya berkumpul. Aku, kamu, dan juga ibumu.” Benar-benar pusing sudah kepala Gagah dibuat oleh situasi ini. ”Kamu sebenarnya adalah, anak kandung Saya.” Bak terkena sambaran petir, Gagah yang mendengar kata-kata Jenderal barusanmendadak lemas di tempat duduknya. Mulutnya ingin sekali banyak bertanya. Memastikan, apakah ini mimpi yang selama ini dilaluinya? Apakah ia berada di bawah alam sadar? Tapi itu semua tak mampu ia lakukan. Lidahnya mendadak kelu. Sulit sekali ia bicara. “Dan untuk kamu, Retna. Mantan istriku tersayang. Ibu dari Gagah. Sepertinya ini waktunya kita tuk berdamai dengan masa lalu. Pulih. Itu saja sebenarnya yang kita inginkan bukan? Sudah terlalu sakit kita melalui masa-masa menyakitkan itu.” “Dan kamu sepertinya sudah tahu dampak nyata yang terjadi sebab perceraian kita. Ya, Gagah. Kasihan dirinya. Kurangnya kasih sayang orang tua, tak ada obrolanyang bisa mengontrol kendalinya. Hingga anak-anak seusianya, tentu akanberusaha mencari jati diri. Dan bahaya bila terlambat sehingga kehilangan kendali.” “Jadi, bagaimana? Pulih?”
112Bu Retna yang masih berdiri terdiam di depan pintu menunduk, tangisnya takterbendung kan lagi. Kedua matanya yang sudah berkaca-kaca kini akhirnya pecah. Gagah bangkit dari kursinya, melangkah pelan menuju Mamanya. “Maafkan Gagah, Ma!”, Gagah berseru sambil mendekap Mamanya. Tangisnya turut pecah di situ. “Ya. Maafkan Mama juga, Gagah. Selama ini, di belasan tahun terakhir, Mama menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu, kamu masih berusia satutahun. Masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi. Pertengkaran Mama dan Papa. Hampir setiap hari, kita berdua berselisih.“ Sampai di satu waktu, Papa memutuskan untuk menceraikan Mama. Dan merantauke luar pulau. Maka, runtutan cerita itu dikisahkan oleh Bu Retna hingga usai. Gagah kini telahpaham dengan kondisi yang selama ini, bahkan yang baru saja terjadi. Selama ini, Gagah bahkan tidak tahu jawaban pasti, ketika ditanyakan soal keberadaan ayahnya. Dan cerita ini pun berakhir dengan kondisi pulih. Semuanya sama-sama mau tukberdamai dengan masa lalu. Memilih pulih, dan membangun pondasi kehidupanbaru yang lebih baik. Dua hari setelah kejadian di kantor polisi itu, akhirnya Jenderal polisi itu, kembali rujuk dengan Bu Retna. Dan Gagah telah benar-benar berubah. Ia mencoba bertutur kata dengan baik. Belajar dengan rajin, tak lagi menjadi sosok yang penuh ego dan arogan. Bahkan, Gagah yang mempunyai pengaruh kepada Geng Zero, satu kumpulan siswa yang cukup ditakuti di sekolahan, membuat perubahan. Mereka tak lagi berbuat onar, tetapi beralih menjadi satu organisasi pergerakanmenuju perbaikan. Gagah bersama kawan-kawannya, sama-sama mencari para siswa yang belum paham soal pelajaran. Belajar bersama. Menghidupkan suasana berbahasa dan bertutur kata yang baik dan benar, sesuai kaidah. Perlulah diingat, dari satu hal kecil saja, bisa menjadi satu perubahan yang besar. Berbahasa yang
113baik, memahami kaidahnya, cara bertuturnya, bisa menciptakan suasana dankondisi yang baik.Tetapi sebaliknya, bermula dari berbicara yang kasar, seenaknya, melupakan bahasa nasionalnya yang benar-benar indah sejatinya, bisa menimbulkan kondisi, dan suasana buruk yang mengerikan. Seperti salingmengejek, membully, hingga berujung saling baku hantam dan tawuran besar- besaran. Maka saatnya, kita Pulihkan! Siapa lagi yang bisa memulihkannya? Kalaubukan anak muda? Generasi Z katanya, yang kelak akan menjadi penerus bangsa, memikul amanat keadaan di tanah air ini. Sekian. Sang Mentor (Wahyu Ramadhan) Setelah memenangkan sayembara cerpen se Kota Tercinta, nama Berto menjadi perbincangan hangat di tempat ia kuliah. Naskah cerpen karya Berto yangmemenangi sayembara tersebut menjadi bahan analisis mahasiswa saat mata kuliahKritik Sastra. Pada diskusi-diskusi sastra bulanan tak jarang cerpen-cerpen Bertoyang lain juga dijadikan objek untuk diulas. Dikaji dalam berbagai perspektif, pendekatan dan teori sastra–dari teori strukturalisme hingga psikologi sastra. Kemudian bagaimana cara Berto dalam membangun narasi cerita, teknik yangdigunakan Berto dalam menulis, komposisi yang digunakan Berto, pendekatanseperti apa yang sering Berto pakai dalam menarik perhatian pembaca dan makna- makna tersirat yang ada pada cerpen Berto. Bukan hanya karya Berto yangmendapatkan apresiasi, Berto sebagai penulis karya juga mendapatkan apresiasi. Ada dosen yang mentraktir Berto makan di kantin fakultas setelah ia memenangkansayembara tersebut. Para senior yang menekuni dunia penulisan kreatif, mulai mengakrabkan diri dengan Berto. Ada yang mentraktir Berto kopi di kantin fakultas sambil mengajak Berto mendiskusikan perihal menulis kreatif. Beberapa junior danteman yang baru mulai menaruh minat menulis juga beberapa kali meminta Berto
114mengulas cerpen-cerpen mereka. Para junior yang tergabung dalamkepanitiaanacara Pekan Sastra mengajukan nama Berto sebagai salah satu pembicara. Menanjaknya popularitas Berto di kampus beriringan dengan meningkatnya nilai akademiknya. Terutama pada mata kuliah kajian ilmu sastra. Indeks Prestasi (IP) Berto meningkat setiap semester setelah menekuni dunia kepenulisan. Jika tulisanBerto dimuat di media cetak atau digital, Berto akan mendapatkan nilai A. Bertotidak perlu mengikuti kelas, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Dengan catatan tulisan Berto yang dimuat, baik itu berupa esai, artikel, cerpen, danfeature ada kaitannya dengan mata kuliah yang sedang Berto pelajari. Hal yangmemotivasi Berto untuk belajar menulis berawal dari dimuatnya tulisan temanangkatan Berto di media cetak lokal Kota tercinta. Nama teman Berto itu RikoBaper. Karya Riko berupa puisi. Puisi Riko sempat menjadi perbincangan hangat oleh dosen pengampu mata kuliah Kajian Puisi. “Karya saudara Riko mengingatkan saya kepada karya-karya awal Chairil Anwar pada masa awal-awal kepenyairannya. ‘Aku lirik’ puisi saudara begitu tajamdansajak-sajaknya begitu menusuk sanubari. Selamat Riko, semoga konsisten dalamberkarya.” Riko mendapat tepuk tangan oleh dosen pengampu dan mahasiswa yangmengikuti mata kuliah Kajian Puisi tersebut. Mata Riko Baper langsung berbinar-binar mendapatkan tepuk tangan dan pujian itu. Sesekali ia menutupi mukanya yang memerah karena pujian tersebut. Semenjakpuisinya yang pertama terbit, puisi-puisi Riko yang lain rutin terbit hampir setiapbulannya di berbagai media cetak lokal di Kota Tercinta. Pernah suatu kali Bertoingin bergabung nongkrong dengan Riko dan para senior penulis, tapi Rikomengatakan kepada Berto kalau ingin nongkrong dengan mereka harus berkarya dulu. Kalau tidak menulis tidak bisa bergabung dengan mereka. “Makanya kau harus belajar menulis Ber. Biar luas pertemananmu di kampus.” ucap Riko kepada Berto pada suatu sore setelah selesai kelas mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi.
115Setelah percakapannya dengan Riko yang terakhir, mulailah Berto belajar menulis. Ia belajar dengan senior dua tingkat diatasnya yang bernama Kosmik. Kosmikmerupakan salah satu mahasiswa yang sudah banyak tulisannya terbit di media cetak dan digital. Tulisan Kosmik berupa esai film, cerpen, dan puisi. Redaktur salah satu media cetak lokal kenamaan di kota Tercinta yang juga seorangsastrawan menilai cerpen Kosmik sudah menyamai level cerpen-cerpen karya A. SLaksana. Sebelum belajar menulis kreatif, Kosmik bertanya kepada Berto “Kau mau fokus menulis apa? Mau menulis esai, cerpen atau puisi?” Sambil membakar rokok Sampoerna Mild dengan korek api kayu, lalu menghembuskanasap pertama ke langit-langit kamar kosannya. Bukannya menjawab pertanyaan Kosmik, Berto malah balik bertanya “Dari ketiga jenis tulisan tersebut, apa bedanya dari segi manfaat bang Kosmik?” Tanya Berto kepada Kosmik sambil mengisap minuman di kantong kresek hitamdi tangannya lalu ikut juga membakar rokok. “Kalau menulis cerpen, kemampuan imajinasi kau terasah dan handal menuliskansesuatu secara deskriptif. Kemudian menulis esai, bisa meningkatkan daya pikir kritis kau terhadap sesuatu. Kau bisa menggunakan berbagai perspektif dalammenganalisis suatu fenomena dan permasalahan. Dan terakhir, jika kau tekuni menulis puisi bisa membantu kau dalam mengekspresikan emosi dan perasaan yangmungkin sulit selama ini kau ungkapkan lewat perkataan. Kemudian juga bisa melatih kemampuanmu dalam memadatkan paragraf yang deskriptif menjadi sebaris kalimat tajam yang multitafsir.” Jawab Kosmik kepada Berto, sambil mengetik di laptop, melanjutkan tulisannya yang terbengkalai sesaat. Setelah Berto beberapa menit melihat Kosmik mengetik
116“Aku tertarik untuk belajar ketiganya bang. Tapi untuk awal ini aku mau belajar menulis cerpen dulu bang Kosmik.” Jawab Berto kepada Kosmik sambil terus menghisap minuman kresek hitam yang ia cekek dengan tangan kirinya. “Baiklah kalau begitu, ini ada satu buku teori menulis kreatif dan beberapa bukukumpulan cerpen. Kalau mau membaca buku lain, silahkan pilih di rak buku ya.” Ucap Kosmik sambil mengeluarkan buku-buku tersebut dari dalamtasnya. Ada buku teori yang berjudul ‘Menulis Kreatif Sastra dan Beberapa Model Pembelajarannya’ karya Andri Wicaksono, kumpulan cerpen ‘Saksi Mata’ karya Seno Gumira Ajidarma, kumpulan cerpen ‘Bidadari yang Mengembara’ karya A. SLaksana dan satu kumpulan cerpen penulis luar negeri berjudul ‘Insomnia’ yangditerjemahkan oleh Anton Kurnia. “Kau tuntaskan membaca satu buku setiap minggunya ya Ber. Lalu setiap malamSenin kau setor satu cerpen kepadaku. Hal itu kau lakukan rutin sampai tulisan kauterbit di koran. Bukan kolom remaja ya, langsung ke kolom umum. Kalau kausepakat kita mulai proses diskusi ini.” Ucap Kosmik kepada Berto sambil melipat laptop yang telah ia matikan beberapa menit yang lalu dan memasukkannya ke dalam tas sandang Bodypack warna abu-abu berukuran 18L. “Baik bang, akan aku usahakan semampuku. Kalau bisa dua cerpen akan aku setor setiap minggunya bang.” Jawab Berto sambil merapikan buku-buku yangdipinjamkan Kosmik, lalu memasukannya ke dalam slingbag Dickies birunya. Setelah pertemuan malam itu, rutinitas Berto bertambah. Sebelumnya rutinitas Berto hanya kuliah, main di rental PS dua sampai tiga jam dan latihan silat. Kini setelah sholat Subuh, Berto akan membaca buku-buku yang dipinjamkan Kosmikdan mencatat poin-poin penting buku tersebut lalu menuliskannya pada sebuahnotebook. Kemudian pada malam harinya sepulang latihan silat dari kampus, Bertoakan mulai mengetik cerpen, mengangsur paragraf demi paragraf hingga menjadi satu naskah yang utuh. Dua hari menjelang pengumpulan cerpen, Berto akan
117mengedit cerpen yang ia tulis dengan teliti. Berto akan melihat ulang keselarasanantar paragraf, membaca ulang naskah apakah masih ada kalimat yang rancu, danmeneliti kata demi kata lalu memperbaikinya jika masih ada yang salah ketik. Rutinitas tersebut Berto lakukan hampir dua bulan lamanya. Diskusi malamSenindi kosan Kosmik fokus membahas naskah cerpen yang ditulis Berto. Kosmik akanmengkaji naskah tersebut secara teknis, kemudian mengkritisi isi dan teknik Bertodalam membangun tokoh-tokoh fiktif pada cerpen-cerpennya. Jika semuanya telahselesai, Kosmik akan menyuruh Berto untuk mengirim naskah cerpennya ke media cetak lokal. “Ingat ya Ber, jangan kau kirim ke rubrik remaja. Rubrik umum! Tidak masalahlama terbitnya, mungkin redaktur sedang melihat konsistensi dan perkembangannaskahmu.” Ucap Kosmik mengingatkan Berto. Memasuki minggu terakhir di bulan ketiganya berproses, Berto mulai jenuh. Ia sudah mau menyerah karena tulisannya tidak kunjung dimuat juga di media. Bertojuga sering tidak datang ke agenda diskusi malam Senin di kosan Kosmik. Pertemuan tersebut sering diakalinya dengan alasan sibuk mengerjakan tugas kuliah. Kosmik sesekali mengirim pesan singkat kepada Berto via Line. “Pokoknya percaya proses, meskipun kau sudah jenuh coba jugalah sesekali menulis satu dua cerpen. Ingat janji kita, kalau masih belum terbit di bulan keempat proses, kembalikan saja buku-buku yang aku pinjamkan. Mungkin bukan jalanmudi dunia kepenulisan. Silahkan kau tekuni bidang lain.” Diiringi dengan kirimanemote icon ketawa tiga kali. Memasuki bulan keempat proses menulis cerpen, setelah puluhan kali mengirimnaskah akhirnya cerpen Berto terbit. Cerpen karya Berto dimuat pada rubrik umumedisi hari Minggu edia cetak lokal Kota Tercinta. Berto mengetahui karyanya dimuat setelah ia ditelpon oleh Kosmik pada hari Minggu pagi. Awalnya, ketika panggilan telpon dari Kosmik masuk, Berto enggan menjawabnya. Karena Bertoberpikir tujuan Kosmik menelponnya untuk meminta Berto mengembalikan buku-
118bukunya yang ia pinjam empat bulan yang lalu. Berto masih engganmengembalikan karena ia masih punya keyakinan kalau naskah cerpennya akandimuat suatu hari nanti di koran. Namun dengan berat hati Berto mengangkat telpon via Line tersebut. “Halo selamat pagi bang Kosmik. Ada apa bang?” Tanya Berto sambil menguap. Kepalanya terasa masih berat karena efek begadang main PS bersama teman-temansatu kontrakannya. “Selamat ya, kita tidak perlu diskusi nanti malam ya. Besok aku traktir kau makandi kantin fakultas. Aku tunggu jam setengah satu siang ya.” Lalu Kosmikmematikan telpon. Dengan badan yang masih oyong dan kepala pusing, Berto masih bingung dan sulit mencerna maksud dari perkataan Kosmik kepadanya. Sampai ada dua pesan via Line masuk dari kontak baru. “Selamat ya Ber, you made it!” kemudian disusul masuk dua kiriman pesan yangberisi potongan foto koran yang memuat cerpen karya Berto. Ternyata yangmengirim pesan tersebut adalah kekasihnya Kosmik. Seketika Berto bersorak“Yuhu! Terbit juga kau! Terbit kau terbit!” Sontak teriakan tersebut membangunkan teman sekamar Berto dan bertanya kenapa Berto berteriak. Bertohanya menjawab “Terbit bos terbit!” sambil memperlihatkan isi pesan yang dikirim kekasih Kosmikbarusan kepadanya. Setelah cerpen pertamanya terbit, semua sayembara cerpentingkat kampus digasak oleh Berto. Ia selalu keluar menjadi pemenang. Hadiah dari lomba biasanya akan Berto belikan buku-buku sastra, lalu sesekali mentraktir Kosmik rokok dan makan. Setiap premis cerpen yang ditulis Berto untuk ia ikutkanlomba, akan didiskusikan terlebih dahulu dengan Kosmik. Setelah Berto bertukar pendapat, sudut pandang, metode penulisan dan cara garap, barulah ia akan
119mengembangkan menjadi naskah dan mengirimnya ke panitia lomba. PertemananBerto dengan Kosmik dari tahun ke tahun makin akrab. Mereka sering berbagi pengalaman hidup, membahas hal apa saja dari berbagai perspektif masing-masing. Dalam proses kreatif masing-masing antara Berto dan Kosmik tidak pernah ada terjadi silang pendapat. Mereka berdua saling support. Kosmik tekun sebagai periset film dan menulis cerpen, puisi dan esai tentang film. Sedangkan Bertomenekuni kesenian tradisional Minangkabau seperti pencak silat tradisional danmengkaji ilmu beladiri modern. Dalam hal kepenulisan Berto lebih banyak menulis cerpen dan esai-esai bela diri. Beberapa artikel-artikel tentang bela diri yang ditulis oleh Berto juga tidak lepas dari campur tangan dan buah pikir Kosmik. Pernah ada beberapa komentar-komentar sentimen dari mahasiswa di kampus kepada Berto. Mereka berpendapat kalau Berto hanya bisa menulis karena meniru gaya penceritaan dan teknik menulis Kosmik. Ada juga penulis-penulis lama yangpernah bersinar namun redup popularitasnya oleh Berto, mengatakan kalau cerpen- cerpen dan tulisan Berto berupa esai dan artikel adalah epigon dari karya-karya Kosmik. Dengan senang hati Berto membenarkannya. “Iya memang begitu adanya. Banyak tulisan-tulisan bang Kosmik yang menjadi acuan saya dalam menulis. Tidak mungkin dong yang saya jadikan pedoman danreferensi untuk menulis karya-karya yang kualitasnya menurut saya masih di bawahbang Kosmik. Kadang tulisan-tulisan mereka bagi saya bercita rasa buruk danterkesan menor.” Jawab Berto kepada divisi humas fakultasnya dalamsebuah sesi wawancara untuk buletin kampus. Tidak ada lagi diskusi rutin setiap malam Senin antara Kosmik dan Berto. Mereka lebih fleksibel perihal waktu diskusi menulis. Kadang sekali sebulan bahkan lebih. Hal ini terjadi karena Berto dan Kosmik punya kesibukan masing-masing. Tapi komunikasi antara Berto dan Kosmik tidak pernah putus. Komunikasi harmonis tersebut bukan hanya dalam menulis, tapi dalam banyak hal di kehidupan sehari- hari. Apabila Berto sedang kehabisan uang saku, ia akan meminjamuang Kosmikdan meminta beberapa batang rokok Kosmik. Begitu juga sebaliknya, jika Kosmik
120sedang terkendala uang, Berto juga akan melakukan hal yang sama. Meskipunkalau dihitung sebenarnya yang sering meminjam adalah Berto kepada Kosmik. Berto juga merasakan terjadi perubahan yang signifikan dalam hal presentasi materi kuliah setelah belajar menulis dengan Kosmik. Dulu Berto sering dikritik olehdosen karena bahan presentasinya yang tidak kompeten. Ia sering diganjar nilai Coleh dosen pengampu. Sekarang ia sudah menjadi mahasiwa yang tangguh dalamhal riset dan presentasi. Jika dulu sebelum bisa menulis dan seering berdiskusi, pada saat rapat jurusan dan organisasi Berto enggan menyatakan pendapatan danide. Karena ia sadar kalau ia minim referensi dan merasa minder dengankemampuannya berbicara di depan khalayak ramai. Lebih baik dia diamdanmenjadi pendengar setia jalannya rapat saja. Menekuni dunia kepenulisan menuntut Berto untuk tekun membaca dan harus banyak berdiskusi. Hal tersebut menambahreferensi Berto dan mengasah kemampuan intelegensinya dalam berpikir. Bertosudah mampu berbicara secara lancar di depan orang banyak. Saat mengerjakantugas kuliah, opini-opini dan perspektif Berto sering dipuji dosen. Ide dangagasannya sering menjadi acuan penting dalam mengambil keputusan saat rapat organisasi. Semua itu terasah setelah ia belajar menulis kreatif dan sering berdiskusi dengan Kosmik. Waktu melaju begitu cepat bagai seorang tiran yang tidak bisa digugat. Berto sudah memasuki tahap akhir masa kuliah. Sebagai bentuk rasa terimakasih dan sayang Berto kepada Kosmik, Berto menjadikan salah satu bukukumpulan cerpen yang dipinjamkan Kosmik saat awal belajar menulis sebagai objek penelitian skripsinya. Saat skripsi Berto telah rampung dan sudah layak untukdiuji pada sidang komprehensif, pada halaman persembahan Berto menulis “Kalaupun ada hal-hal yang baik aku dapatkan semasa kuliah, kenal dan berproses dengan Kosmik adalah salah satunya.” Jika ada yang menanyakan kepada Bertobagaimana proses awal dia bisa menulis, dengan senang hati ia akan menceritakanbagaimana Kosmik mengajarinya. Baginya Kosmik bukan hanya sekedar mentor dalam menulis, tapi sosok kakak yang bisa membuatnya bersemangat dalammenjalani hidup. Memang Kosmik bukan tipikal orang yang setiap hari rutin
121bertanya kabar kepada Berto, dan juga bukan orang yang setiap saat hadir dalamhidup Berto. Tapi Kosmik selalu ada disaat yang tepat bagi Berto. Tuhan, Apa Aku Bisa ? (Afni Chairani Nasution) "Tiur ooo Tiur...,” Seperti biasa suara lantang khas Batak teriakan mamakkumembuka pagi hariku, menonjok telingaku untuk segera bangkit dari peraduan nyamanku. Rasanya berat sekali bangun dari tempat nyaman ini, selimut yang hangat , kasur yang hangat, bantal yang empuk, meski sederhana bukan produ kmahal, cukuplah membuatkumerasa nyaman merebahkan tubuh lelahku disanasampai terlelap tidur nyenyaksemalam. "Ooo Tiur ....,” panggilan kedua dari mamakku merupakan panggilan pamungkas, Seperti terompet sangkakala, dimana kalau Aku tak segera bangunmenghampirinya, berarti kiamat dunia segera menjelang. "Olo mak.... tongkin jolo, u parapi jolo kamaron da", sahutku biar emosi mamak kutak sampai ke puncak Bukit ini. Bergegas kurapikan tempat tidur danselimutku,kuletakkan masing- masing ditempatnya, serapi mungkin, kuraih sapuyang bersandar di dinding kayu kamarku, kutepis debu - debu lantai dari kamarku
122sampai keluar rumahku. Segera kuganti busanaku dengan perlengkapan yang bias aku kenakan ke sawah. Mataku sedikit melirik jam dinding sambil terus mengerjakan aktifitasku mempersiapkan diri, Oh sudah jam 06 : 30 wib rupanya , pantas suara mamakku lebih keras dari biasanya, rupanya kami kesiangan, bergegas aku menghampiri mamakku yg sudah menunggu didepan pintu rumah. "Ayo mak, sahutku", Mamakku langsung bangkit dari duduknya, Saat melangkahkeluar rumah, seketika, brrbrbrbr .... tubuhku sedikit bergetar, menahan udara dingin yang menyapa kulitku, angin sejuk pengunungan menyentuh tubuhkudariujung rambut ke kaki, kutarik ujung lengan bajuku, sampai melewati pergelangantanganku, dan kurapatkan jaket yang kupakai menutupi tubuhku, untukmenepisrasa dingin yang tak henti berusaha menyerang tubuhku. "Paipas ma ...", suara mamakku didepanku mengagetkanku, aku berjalan lebihcepat, mensejajari langkah kakinya. Kamipun berjalan beriringan sekarang. Seperti biasa jam 06 :00 pagi kami berangkat kesawah, sekedar melihat sawah, Mencabut rumput liar, atau menghalau burung-burung yang mengganggu padi yangkami tanam. Wah sebentar lagi kami akan panen. Sawah keluargaku tak luas, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan kami setiap bulannya, jika berlebih akankami jual kepasar, ketetangga atau kami barter dengan lauk ikan dipasar. Yahbegitulah kehidupan didesaku, kadang kami bertani dan beternak untuk memenuhi kebutuhan kami sendiri, jika berlebih baru kami jual atau barter dengan tetangga atau pasar. Tanganku tak henti bergerak memburu rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman padi kami, sesekali kuseka keringat yang mengucur deras dari keningku, Mamakku juga sigap menggerakkan alat sederhana yang kami buat untukmenghalau hewan melayang yang sangat tergiur dengan bulir- bulir padi kami yanghampir matang sepenuhnya. O iya Aku lupa memperkenalkan diriku, namaku Tiur Dwi Zulekha, usiaku 18tahun, Aku anak ke 3 dari 3 bersaudara dikeluargaku, kakakku yang paling tuabernama
123Risma dan abangku yang nomor 2 bernama Binsar. Kami keturunancampuranBatak Mandailing dengan Batak Toba, ayahku bermarga Haloho (BatakToba), danibuku bermarga Pulungan (Batak Mandailing ), Bahasa batak yang seringkugunakan Bahasa Batak Mandailing, biasalah karena sehari- hari Aku bersama Mamakku dari kecil, makanya Bahasa Mandailing lebih akrab di telingaku dari pada Bahasa Batak Toba, tapi kalau orang lain menggunakan Bahasa Batak Toba, aku mengerti artinya tapi tetap kujawab dengan Bahasa Batak Mandailing danalhamdulillah mereka juga paham bahasaku. Ya benar, ada sedikit perbedaan antara Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Batak Mandailing, dalam hal pengucapan, tulisan dan lain - lain, tapi kami yang sesama orang Batak sedikit banyak bisa paham jika berkomunikasi. Kami sekeluarga muslim, Bapakku masuk Islamsaat menikahi Mamakku. Bapakku sudah lama meninggal dunia, jadi Ibu adalah tulangpunggung keluargak usaat ini, Kak Risma sekarang sudah ikut suaminya menetapdi Medan, sedangkan abangku Bang Binsar sudah memboyong istrinya ke Berastagi, katanya berbisnis buah - buahan disana lebih menguntungkan daripada membuka warung di pinggiranDanau Toba. Tinggallah Mamakku dan Aku di kampung kami ini, Aku dan Mamakku tinggal di Desa Sampur Toba, KecamatanHarian Boho Kabupaten Samosir. Kecamatan kami ini punya 13 Desa. Yah bukanwilayah yang sangat luas,tapi cukup luas buat kami yang terbiasa tinggal didesa. Sepeninggal Bapakku , Ibuku diwariskan sepetak sawah yang masih produktif, Sepetak tambak ikan mas di kolam penangkaran Danau Toba, dan sebuah warungkopi di pinggiran Danau Toba, Alhamdulillah ketiga usaha ini cukuplah untukmemenuhi kebutuhan hidup kami berdua, bahkan kadang lebih dari cukup, tapi tidak sampai hidup mewah hehehe... . Dari ketiga sumber ekonomi kami itu, akubisa memiliki sebuah telepon seluler buatin Taiwan terbaru, sebagai upah dari Mamakku karena Aku rajin membantunya, alhamdulillah dari alat canggih ini Akujadi tahu banyak hal- hal baru tentang alamsekitarku, tentang informasi kota lainbahkan negara lain, hampir 80 % informasi yang ada didunia ini bisa Aku cari melalui benda canggih ini. Wawasanku menjadi lebih luas meskipun aku tinggal di desaku yang kecil ini. Hobbyku menulis, bisa puisi, syair, atau menulis cerita tentang kegiatanku sehari-hari atau tentang indahnya desaku. Tapi tulisan- tulisan
124itu hanya ku nikmati sendiri, kadang Aku berbagi dengan teman- temanku Rika, Hotma, Risma, Duma dan Nina,hampir semua temanku mengatakan tulisankusangat bagus , kenapa tidak diterbitkan ?, tanya mereka setiap kali selesai membaca tulisanku. Aku hanyamenggaruk kepala dan menjawab. "Hasil karyaku belumlah sebagus itu", ujarku merendah. Selesai merawat sawah, Mamak memanggilku dari gubuk ditepi sawah kami, kulihat mamak membuka rantang yang ia bawa tadi dari rumah, saatnya sarapan, Aku bergegas menghampiri Mamak karena memang sudah sangat lapar perut ini ditambah udara dingin rasa lapar itu semakin tak tertahankan. Wah Mamak sudahmenyiapkan lauk kesukaanku, sambal kering ikan mas dan gulai daun ubi tumbuk, "Mantap sekali,” ujarku dalam hati, dengan lahap Aku makan. Mamakku jugalahap makan, rupanya beliau juga sudah lapar. Selesai dari sawahbiasanya kamilangsung ke danau, memeriksa tambak ikan sederhana peninggalanBapakku,memberi makan ikan, mengecek keadaan tambak, dan memeriksa kondisi ikanapakah sehat atau ada yang sakit. Kegiatan ditambak ikan ini biasanya lebihlama yah karena biasalah yah kalauMamak - Mamak sudah ketemu sesamanya pasti bergosip. Kadang sampai lupawaktu. Hanya suara teriakanku saja yang bisa menyudahi acara bergosip mereka, "Mak cepatlah ayok buka lapo kita" "O iya iya,” jawab Mamakku kelabakan ketahuan asik menggosip sambil senyum- senyum." hiburan Mamak ini loh, silaturrahmi, jangan marah kau nanti cepat tua,” jawabnya sambil bercanda. “Cari hiburan yang lain aja Mak, yang tidak tambah dosa,” kataku mengingatkan. "Ih berdosa rupanya ?, palalah itu sampai berdosa,” ujarnya.
125"Berdosalah Mak menceritakan keburukan orang,” ujarku kesal." Dia yang cerita, Mamak cuma mendengarkan saja,” ujarnya membela diri." Sama saja Mamak, berdosa,” jelasku. "Ih yaudahlah kalau gitu, tidak maulah Aku lagi kalau diajaknya cerita- cerita,” jawabnya. Buru- buru kami berdua jalan beriringan menuju rumah, untuk mandi, berdandanrapi, lalu bergegas ke lapo untuk membuka lapo kami yang berada ditepi d anau. Semua barang dagangan tidak kami bawa kerumah, cukup kami kunci di dalamwarung insyaallah aman, karena penduduk disini sangat takut melakukan pencurianatau kejahatan lainnya, karena hukumannya sangat berat bisa sampai dikeluarkandari desa. Sesampainya di lapo, aku langsung menyambar sapu dan serbet, guna mencemerlangkan penampilan lapo sederhana kami ini, biar terlihat menarik olehpara wisatawan. Menu dilapoku ini biasalah, kalau kelen pernah main ke DanauToba, pasti taulah menu umum semua lapo disekitaran Danau Toba, ya.. mie instant ,kopi panas , susu panas , teh panas, kadang ada kacang rebus, gorengan, kacang panggang khas Batak produksi lokal, dan lain lain sejenis makanan ringan. Hari ini Mamakku tak sempat memasak Ubi rebus, karena waktunya sudah habis buat bergosip tadi. Jadi menu dilapo kami hari ini cuma : kacang panggangproduksi lokal, kacang rebus, pisang rebus, pulut kelapa, dan aneka minumanpanas, karena udaranya sudah dingin ya kan, kalau minum atau makan dingin beku nanti wisatawannya disini, hehehehe.. bercanda. Lapo sudah kinclong, semua menusudah siap saji, tinggal menunggu wisatawan mampir nih. Jamdi ponselkumenunjukkan pukul 10 : 00 wib. Sambil menunggu wisatawan aku meraih ponselkudan duduk menghadap Danau, suasana seperti inilah yang kadang membuat naluri penulisku keluar dengan mudahnya, ya... keindahan alam disekitarku, tanpa sadar tanganku tergerak menguntai sebuah puisi. Beberapa menit kemudianAh untungsaja sudah selsai , beberapa tamu sudah mulai menghampiri lapo kami, Aku dan
126Mamakku mulai sibuk melayani kebutuhan para wisatawan, dan melayani mereka dengan ramah. Setelah selesai, aku duduk kembali dikursi yang sama , menghadapDanau. Kubuka lagi akun sosial media yang menginformasikan perlombaanmenulis cerita pendek, aku sangat tertarik untuk ikut serta, apalagi terbuka untukumum, dan tidak berbiaya, tapi apa Aku pantas, apa karyaku sudah pantas disejajarkan dengan penulis - penulis Indonesia yang mungkin lebih bagus dariku. "Heh melamun aja kau,lagi ngapain,” aku kaget suara keras Risma dantepukantangannya dipundaku menyadarkanku dari lamunanku. "Oh lomba itu, sudah ikut saja Kau, jangan Kau minder duluan, hasil karya Kaubagus kok, Sangat bagus malah, begini,” yakinnya sambil mengacungkanjempolnya kearahku. "Apa iya ?” tanyaku ragu. "Ah jangan buat malu orang Batak Kau, sudah cepat daftar saja, mumpung belumlewat tanggal pendaftarannya, nanti Kau menyesal, kan tidak ada salahnya dicoba kawan, sekalian mengetest hasil karyamu apakah diajui Indonesia atau tidak, iya kan ? , kesempatan tidak datang dua kali kawan,” profokasinya. "Benar juga ujarku dalam hati, bagaimana Aku bisa tahu apakah karyaku bagusatautidak kalau tak pernah diadu, baiklah aku daftar sekarang juga,” ujarku dalamhati. Dengan sigap kuraih ponselku yang sempat kuletakkan diatas meja, segera akumendaftarkan diri dan mengupload karya yang sudah kubuat jauh hari sesuaidengantema yang diminta, "Semoga aku menang, aamiin.” Doaku dalam hati.
127"Ah gitulah kawan, harus percaya diri, Kau pasti jadi juara 1, insyaallah yakinAku,heh,” ujarnya sambil mengacungkan jempolnya lagi kearahku." “Bisa saja Kau, kutraktir kacang rebus dan teh Hangat mau Kau ?" tawarku sebagai balasan terimakasih karena sudah berhasil meyakinkan Aku. "Ih mantap kalilah itu, hahaha,” tawa kami pecah memenuhi ruangan sekitar lapoku. Beberapa hari kemudian hari pengumuman pemenang pun tiba, Aku sangat takpercaya hasil karyaku dinobatkan sebagai salah satu juara dalam kompetisi tersebut. “Alhamdulillah,” ujarku dalam hati penuh Syukur. Sebagai ungkapan rasa Syukur Mamak mengadakan acara syukuran kecil - kecilandi rumah dengan mengundang beberapa teman – teman terdekatku dan keluarga terdekatku. Pesan penting dari kisahku ini adalah, jangan pernah takut mencoba sesuatu,karena kita tidak akan pernah tahu apakah kita mampu atau tidak jika kita tak pernah mencoba, dari mencoba kita bisa tahu kapasitas diri, jika kurang baikbisa ditingkatkan, jika sudah baik maka bisa diusahakan menjadi lebih baik lagi. Jadi, buat teman – teman semua jangan pernah takut memulai sesuatu ya, semangaaat.. .– Selesai – Arti kosa kata :* Mamak= Ibu* Olo mak.... tongkin jolo, u parapi jolo kamaron da", = "Iya Bu sebentar, Sayarapikan dulu kamar ini ya"* " Paipas ma ..." = " Cepatlah",* daun ubi = daun singkong* tumbuk = dihancurkan dengan alu kayu* Lapo = warung/ kedai* kelen = Kalian* pulut kelapa= ketan kukus kelapa* kinclong = bersih dan rapi* Kau = kamu
128Buku Wasiat Pak Dosen (Abdi Galih Firmansyah) Seperti biasa pagi ini aku berkunjung ke perpustakaan kota dengan besi tua kesayanganku, Vespa Super keluaran tahun 1979. Mentari sangatlah anggun, Sinarnya yang hangat menyelimuti sekujur tubuhku membawa semangat baruyangberbeda dari pagi yang kemarin. Pohon-pohon dengan gagah melambaikandaunnyadi pinggir jalan, seolah menyapaku dengan bahasa mesra yang tak bisa kutuliskandengan kata-kata. Kubalas lambaian itu dengan gelora antusiasme pencarian bukuwasiat dosenku. Alam Sastra Jawa karya Sastro Koestono. Semoga aku menemukan buku itu. Sesampai di halaman parkir kulihat tempat itu tampaksepi sekali, tak sepertibiasanya yang selalu ramai para pembaca yang sedangbermesraan bersama buku-buku. Padahal hari Sabtu, seharusnya tempat ini lebihramai dari biasanya. Akupun bergegas masuk menuju bangunan itu, belumsampai aku menginjakkan kaki diambang pintu, tiba-tiba mendarat telapak tangan yanglembut dengan tenang di ataspundakku. "Hei Bim, mau pinjam buku ya?""Eh, Mas Budiman, tahu saja sampeyan1ini”
129“Wah sayang sekali untuk hari ini perpustakaan sedang tutup Bim, karena masihdalam proses renovasi. Jadi, untuk hari ini dan hari-hari selanjutnya kamu tidak bisa meminjam buku disini, ya kira-kira selama sebulan.” “Oh begitu ya Mas, ya sudah kalau begitu saya mau pamit pulang kembalisaja” “Sebentar, memangnya kamu mau meminjam buku apa?” “Saya mencari buku berjudul Alam Sastra Jawa karya Sastro Koestono apakahsampeyan mengenalnya?” "Ada apa gerangan kamu mencari buku itu? Disini tidak ada buku itu, hanyaorang- orang tertentu saja yang masih menyimpan itu buku. Sekarang sudah tak Berarti “Anda” dalam bahasa jawa. Diterbitkan lagi, kalau tidak salah terakhir terbit tahun1980 lalu, tetapi, akumengenal orang yang agaknya bisa meminjamkan buku yangkamu cari itu"Mas Budiman adalah salah satu penjaga perpustakaan kota, Suka memberidan ramah sekali orangnya. Selama ia menjaga disini, para peminjambukuselaludiberinya untaian kata “terima kasih” dengan senyuman yang khas ketika telahdistempelnya buku yang dipinjam hingga diberikan dengan kedua tangannyakepada si peminjam buku. Ia juga tak pernah ketinggalan bingkisan kue pasardengan jumlah yang kira-kira cukup dibagikan kepada 20 orang, jadi, setiap20orang peminjam buku pertama selalu dikantongi satu kue oleh Mas Budiman. "Maukah Anda mengantarkan saya ke tempat orang itu Mas?" "Tentu, dengan senang hati. Kebetulan aku ada janji ke rumah beliau pagiini" ahsenyum itu muncul lagi, gumamku dalam hati. “Sudah lama aku tak naik motor vespa, bolehkah aku memboncengmu?”
130“Tentu saja Mas” “Kamu kalau naik vespa hiduplah seperti vespa, jangan berpenampilansama seperti teman-temanmu, kamu harus nyentrik. Hindari gaya hidup serbamewah dankelebihan”“Kenapa begitu Mas?” “Ada dua karakter vespa, yakni eksentrik dan sederhana” “Kenapa wajahmu serius begitu, aku cuma bercanda” ditepuknya pundakkudengantangan lembutnya itu sedang mulutnya tertawa melihat wajahku. ItulahMasBudiman, lisannya filosofis tapi wataknya sangat humoris. Kamipun berangkat menuju kediaman orang yang istimewa buatku pagi ini,karena disanalah bukuwasiat dosenku bersemayam. “Mas, siapakah orang yang sampeyan maksud itu? Apakah dia dosen? Atausastrawan?” rupanya Mas Budiman tak mendengar suaraku, jalanan yangramaimembuatnya tak mendengar suaraku yang bariton ini. “Nanti kamu juga akan tahu” singkat saja jawabnya. Batas Kota Malang sudah terlampaui. Kini kami telah memasuki kawasanKabupaten Malang. Jalan yang kami lewati sudah agak sepi, yang terlihat kebanyakan adalah para wisatawan saja. Rupanya ini adalah jalan menuju daerahpesisir pantai. Sampailah kami di depan gapura bertuliskan Kecamatan Pagelaran. Di sini banyak kutemui becak berlalu lalang serta ada juga delman. Bangunanrumah nyarata-rata bermodel seperti rumah kakekku, langit-langitnya tinggi danhalamannya luas. Masjidnya adalah hasil akulturasi Hindu dan Islam, mirip seperti Masjid Agung Demak. Fenomena yang tak kutemui di kota adalah beberapa orangdisini masih memakai blangkon. Aku merasa seperti hidup di filmyang berlatar Jawa zaman dahulu.
131“Nah, sudah sampai!”Kami berdiri di depan rumah bergaya joglo. Bangunan itu semuanya terbuatdari kayu. Di pojok kiri dan kanan teras rumah ituterdapat tiang berukiran kepalanaga yang sedang tertutup mulutnya, tetapi matanya menatap kami dengan siaga. Meja bundar setinggi dada orang duduk dan tiga kursi tertata rapi di depan rumah, Seolah sang pemilik sudah merasakan kedatangan kami. Selain itu, tersaji teko dantiga cangkir yang terkurap melingkar, semuanya berbahandasar gerabah. Sejuruskemudian, keluarlah sosok manusia paruh baya denganlangkah berwibawa, memakai kaos putih dan celana hitam kain, dengan rokokkretek yang menyala ditangan kanannya. “Hei, kenapa masih berdiri disitu. Monggo-monggo2 mari masuk” seru bapak itu. “Bim, kamu jaga etika ya, bersikaplah yang sopan, karena di depan kita iniadalahorang yang terhormat” bisik Mas Budiman. Kami bertiga duduk di kursi yang sudah disiapkan tadi. Aku tak mau berkataapa- apa sebelum si pemilik rumah memulai pembicaraan. Kepala kutundukkan sedikit dan tanganku tak berani kutaruh di atas meja. Kuletakkan tanganku di atas paha dankesepuluh jemariku menyatu dalam genggaman layaknya sang murid yang sedangbertamu di kediaman gurunya. Bapak itu melihat kami dengan wajah tersenyumramah. Berarti “silakan” dalam Bahasa Jawa. “Bagaimana kabarmu Bud?”. “Alhamdulillah, kabar baik Pak Yon.” “Perkenalkan ini Bimo, pengunjung setia perpustakaan kota.” Mas Budiman memperkenalkanku dan akupun tersenyum sambil menundukkanwajahku dihadapan wajahnya.
132“Nama saya Mulyono. Anda bisa memanggil saya Yon saja” “Monggo-monggo silakan diminum tehnya, ayo jangan sungkan-sungkan.” Pak Rampal menuangkan ketiga cangkir itu sambil melanjutkan obrolan. “Ayo sambil diminum, Ngomong-ngomong maksud kedatangan kaliankesini ituapa ya? mau pinjam buku?” Aku tersentak mendengar pertanyaan Pak Yon, matakuterbelalak menatapwajah Pak Yon yang mesem. Lagi-lagi ia menggoda kami. Kesemuanya tak mungkin terjadi secara kebetulan. Mulai dari tiga kursi, tiga cangkir, dan sekarangia menanyakan buku itu. Orangjawa memang pandai menebak sesuatu. “Benar sekali Pak Yon, adapun maksud kedatangan kami kesini adalah untukmeminjam buku Alam Sastra Jawa karya Sastro Koestono, apakah anda masihmenyimpan buku itu?” jawab Mas Budiman. “Buku itu tidak familiar di kalangan seumuran saya, apalagi generasi kalian. Memangnya kalian tahu dari mana?” “Sebetulnya, ini adalah wasiat almarhum dosen saya pak, beliau yang meminta saya membaca buku itu sehari sebelum beliau meninggal” kataku “Prof. Abdul Jalil! Kamu mahasiswanya Prof. Jalil?” jawabnya spontan “Betul Pak” Kulihat wajah Pak Yon berlari ke masa lalunya. Beliau tersenyum sambil memandang langit-langit.
133“Prof. Jalil itu kawanku semasa kuliah di Jogja dulu. Dia itu orangnya kalemsekali, lembut tetapi tegas terhadap nilai-nilai. Pertemananku dengannya sangat penuhmakna. Pernah suatu ketika aku menemukan duah buah Apel yang jatuh daripohon, yang satu kuberikan kepadanya dan yang satu kumakan sendiri. Kami menikmati Apel itu di kamar kos Prof. Jalil. Kemudian di tengah-tengah makan ia bertanya. ”Kamu beli dimana Apel ini?” “Aku menemukannya jatuh dari pohon tadi saat perjalanan kesini” “Sudah izin yang punya?” “Belum” jawabku. Sontak Prof. Jalil tak melanjutkan makan, ia menarik tanganku dan menyuruhkuuntuk mengantar ke tempat dimana aku mengambil Apel untuk meminta izinkepada yang punya. Ia tak mau memakan barang yang tak jelas asal-usulnya. Sungguh budi pekerti yang mulia. “Buku yang engkau cari itu adalah hadiah Prof. Jalil waktu ulang tahunkuyang ke 25, silakan kalau engkau mau membacanya, mari kuantarkan ke dalam.” Aku dan Mas Budiman memasuki area perpustakaan Pak Yon. Terdapat duarakbuku besar dengan ukuran lebar dua meter dan tinggi empat meter. Semuanya tersusun rapi, terkumpul sesuai genrenya. Aku dipersilakan beliau membaca bukuitu, namun sayang aku tak bisa membawanya pulang, hanya diizinkan membacanya disini saja. Sehingga aku harus bolak-balik ke rumah Pak Yon untukmengkhatamkan buku itu, Sementara, Mas Budiman sibuk membaca buku yanglain. Namun pada pertemuan kedua, kejadian yang tak kusangka membuatku berhenti membaca buku. Buku ini berisi tentang pitutur-pitutur jawa kuno beserta penjabarannya.
134Pitutur pertama, heneng-hening-henungArtinya: Dalam diam kita akan memperolehkeheningan dan dalam heningkita akan mencapai ketenangan yang hakiki. Pitutur kedua,Jroning suka kudu éling lan waspada artinya: Dalam keadaan gembira kitaharus tetap ingat dan waspada Berarti “nasihat” dalam bahasa jawa. Pitutur ketiga, Mèpèr Hardaning Pancadriya artinya: Kita harus selalu mengekang hawanafsu. Sudah, tiga pitutur itu kamu amalkan dulu, kalau sudah mengamalkankemarilah lanjutkan ke pitutur selanjutnya, karena pada dasarnya ilmu tanpa amal tiada lain adalah kemunafikan, dan mencari ilmu itu bagaikan orang yang sedangmeneteskan tinta ke dalam mangsi, harus sedikit demi sedikit dan penuh ketelitian, kalau langsung ditumpahkan ya bisa meluber kemana-mana. Itulah yang diajarkanProf. Jalil kepadaku ”Sebenarnya dalam hatiku sedikit kesal, kenapa tak kubawa saja buku itu, daripada aku harus bolak-balik kesini, menghabiskan bensin saja, apalagi motorku butut begini.” Kalau kamu membawa buku ini pulang, kamu sudah pasti membacadenganburu-buru, sudah manut5saja. Sekarang kamu pulang, amalkan tiga pituturtadi. Kalau sudah kau amalkan, kembalilah kesini, lanjutkan” Aku sudah tak heran lagi, beliau ini bukan orang sembarangan. Kalimat dalamhati pun bisa di dengarnya. Pitutur kedua dan ketiga sudah ku amalkan, tetapi pitutur yang pertama rasanya sulit sekali untukku mengamalkan, sehingga akupunmemutuskan kembali ke tempat Pak Yon dengan sedikit putus asa. “Pak Yon, pitutur kedua dan ketiga sudah kuamalkan, tapi pitutur yangpertama sangat sulit kuamalkan, aku tak mampu” “Ya sudah, kalau begitu mari kita amalkan bareng-bareng disini saja”
135Aku dan Pak Yon duduk berhadapan di atas kursi depan teras yangdipisahkan olehmeja bundar, seperti aku pertama kali bertemu beliau. Kami memejamkan mata bersama-sama, sambil mengikuti intruksi dari Pak Yon. “Rasakan getaran semesta yang ada di dalam batinmu, masuklah ke dalamalamkeheningan, masuklah lebih dalam, lebih dalam lagi hingga kamu menemukanketenangan itu. Jangan berhenti menyebut asma Allah dalam hati. Teruslahmenyebut hingga kamu seakan tak merasakan apa-apa.” Wadah tinta yang digunakan oleh santri di pesantren untuk menulis dengan cara menyelupkanpena ke dalam wadah secara berkala. Berarti “nurut” dalambahasa jawa. Aku merasakan ketenangan yang tak pernah kurasakan selama hidupku! Tetapi, Pak Yon tak meneruskan intruksinya. Mataku pun kubuka pelan dan kulihat Pak Yon termangu dengan mata tertutup dan bibir yang tersenyum, serta nafas yangtak berhembus. Aku dan beliau telah mencapai ketenangan hakiki, namun dalamsemesta yang berbeda.
136Tumbuh Bersama, Pelestarian Mengikuti (Adhira Kurnia Adhwa) Gadis itu membuka halaman buku perlahan-lahan. Membaca setiap kata yangmenyusun alur menjadi satu kesatuan. Tangannya menopang dagu, tatapan matanya tampak malas. Jika kegiatannya sekarang membaca buku, berbeda denganjalanpikiran yang sedang amburadul. Sekelilingnya terdapat rak buku berjejer rapi, memenuhi isi toko. Dari buku abad 19 sampai 20 pun masih tersimpan di sana walaupun sudah berjamur. Toko kelontong itu sudah berdiri sejak buyutnya masihmuda. Diwarisi sampai sekarang Kartika harus mengurusnya agar bisa diturunkankepada anaknya, lagi. Boro-boro meneruskan, hingga generasi ayahnya saja sudahmulai kehilangan banyak pelanggan. Berhenti di Kartika, mungkin terhitungsegelintir orang untuk meminjam buku. Syukur-syukur kembali dengan selamat, terkadang buku yang kembali tidak dalam keadaan utuh. Berjamur, robek, ketumpahan, dan banyak lagialasannya. Di sanalah Kartika berpikir untukmenghentikan bisnisnya.
137”Kak Tika.” Kepalanya mendongak, melihat tetangga sebelah menghampiri tokonya. “Maupinjam buku? Atau mau ajak aku tutup toko lagi?” tebaknya. Cakra tahu sekali tokonya sepi, makanya sering mengajak jalan untuk menghibur dirinya. Cakra terkekeh. “Kali ini mau pinjam buku,” ucapnya percaya diri. “Tapi KakTika ada buku bahasa daerah? Aku cari di perpustakaan, kebanyakansudah tidak ada,” beritahunya. “Seingatku ada banyak. Cuma aku kurang tahu masih ada di rak atau tidak.” Kartika berdiri, mencari buku itu. Maklum Kartika baru enam bulan mengurus toko,jadi ia belum terlalu hafal tata letak setiap buku yang dibutuhkan pelanggan. “Tidak ada. Berarti ada di kardus. Kamu mau menunggu?” tanyanya setelahmencari. “Aku ikut,” ujar Cakra tidak mau ditinggal. Ada sebuah gudang kecil untuk menyimpan buku-buku. Kata ayahnya, buku-bukuitu disimpan karena sudah tidak ada lagi yang mencarinya. Kartika tersenyumkecil, sebegitu minimnya masyarakat ingin belajar daerah jika bukan karena paksaan dari ajaran sekolah. “Wah banyak sekali,” ucap Cakra kagum. Matanya ikut berbinar melihat Kartika mulai mengubek-ubek isi kardus. Ikut terbatuk ketika debu beterbangan ke sana-kemari.
138“Bukannya kamu bisa mencari bahasa daerah di internet?” Kartika menumpuk bukubahasa itu, membiarkan Cakra memilih. “Aku lihat sudah banyak websiteyang bisa langsung menerjemahkan kata daerahyang kamu cari,” ungkapnya. “Memang banyak.” Kartika terperengah. Menunggu Cakra melanjutkan kalimatnya. “Tapi bukan berarti yang ada di internet, betul semua `kan?” Mata mereka salingbertemu. “Aku tahu Kak Tika sedikit skeptis dengan orang yang meminjam bukudi sini. Tapi aku punya tujuan yang berbeda. Aku sungguh ingin meminjam buku, membaca buku, dan mempelajari semua dari buku-buku ini.” Jawaban Cakra sangat meyakinkan Kartika. Sepanjang ia kenal dengan Cakra, tingkahnya selalu membuatnya sakit kepala. Suka bermain, membolos, mencari masalah dengan warga sekitar, dan banyak lagi. Makanya ia agak terkejut mendengar anak ini ke perpustakaan hanya untuk ... mencari ini. ”Kenapa kamu mau pelajari semuanya?” “Cukup simpel. Aku mau mewarisi bahasa sekaligus kebudayaan kita, Kak.” Matanya mengerjap, terkejut ketika Kartika menyentuh keningnya denganpunggung tangan. “Ke – kenapa, Kak?” tanyanya tergagap. ” Kamu sedang tidak demam `kan? Aku khawatir ini bukan Cakra yang aku kenal,” gumamnya. Perlahan menjauhkan tangannya dari wajah Cakra.
139“Wajahkamu merah,” beritahunya. Berusaha mungkin Cakra menstabilkan raut wajahnya. Berdiri setelah berjongkok cukup lama. “Kak, aku punya saran untuk Kak Tika,” ujarnya membuat Kartika mendongakkepala. “Coba Kak Tika buat terobosan baru biar toko ini tidaksepi lagi. Misalnya berdamai dengan perubahan jaman. Aku yakin toko ini akanbisa berlanjut lagi,” sarannya buru-buru keluar sembari memeluk buku yang dipinjamnya barusan. “Wajahnya masih merah, sepertinya memang demam,” duga Kartika memperhatikan bayangan Cakra yang hampir menghilang dari pandangan. Namunusul dari Cakra membuatnya berpikir ulang. Agaknya ia perlu mengusung ide terbaru, tentunya perlu berdiskusi dengan ayahnya. Kartika pernah berpikir tentangucapan Cakra kala itu hanya omongan belaka. Bisa saja ia sungguhan belajar, kemudian menyerah begitu saja karena banyak bahasa yang harus dipelajari. Karena Kartika tahu sikap Cakra seperti itu. Tapi tidak. Ucapan Cakra benar-benar diwujudkan dengan dirinya sendiri setelah sekian tahun anak itu menghilang. Kartika saja masih terbengong melihat televisi dengan mulut setengah terbuka. Tanpa berkedip, Kartika ingin memastikan yang dilihatn yaitu benar-benar Cakra atau bukan. “Dek, iku anak tetangga iringaning toko dudu? Raine kaya ora asing 1 ,” sahut IbuKartika membenarkan kacamata. Menyipitkan mata selagi menunggu jawabanKartika. “Iya, Bu. Dia dulu sering ke toko,” jawab Kartika. Kali ini Kartika yakin. Melihat pemberitaan sedang membawakan suatu acara pentas dari pemerintahan. Tertera jelas pada headline berita jika Cakra terpilih
140menjadi duta bahasa pada tahun tersebut. Hati mungilnya merasa tersakiti. Awal anak ini belajar bahasa darinya, tapi kenapa juga Cakra tidak pernah menghubungi Kartika untuk memberikan kabar itu. Toko tidak pernah pindah, nomor telepontoko juga tidak pernah diganti, apalagi Kartika masih rajin melewati rumahnya, memberi tanda kalau ia masih ada di sanamengurus toko. “Dheweke asring menyang toko? Pantesan bisa dadi duta mangkono, anake pinter 2 ,” kekeh Ibu Kartika. Lanjut melipat baju bersih di depan televisi. Kartika ikut terkekeh canggung. Andai ibunya tahu tujuan Cakra ke toko untukapa, pasti ucapan ibunya langsungberbanding terbalik dengan yang tadi. Tidak. Justru Kartika yang akan mendapat omelan dari ibunya karena dulu sering menutup toko tanpa sepengetahuan mereka. “Nduwe vidhio sinau basa laladan uga? Pinter pisan anake bu mayang iki3 .” Kartika melihat kembali televisi. Sekarang sedang membanggakan seorang Cakra yangmengajar di suatu platform. Tentang berbagai bahasa. Entah sudah berapa kali Kartika merasa bangga sekali dengan perubahan Cakra. Anak ini ... sekalinya bermimpi, tidak pernah main-main. “Akh ... sakit, Bu,” rintih Kartika saat ibunya memukul pelan bahunya. “Alon ngono, kamune ringkih 4,” sindir Ibu Kartika, membuat Kartika mendengkus. “Arep budhal jam pira? Bisa wae pelanggan kowe wis nyelinapmlebu 5 ,” ingatkannya. Buru-buru Kartika pamit, lupa akan waktu. Untunglah jaraknya tidakterlalu jauhdari rumah, ia bisa berlari secepat mungkin. Jangan berpikir jika tokoKartika tidak akan berubah konsep. Atas persetujuan ayahnya, akhirnya Kartika dapat menarik pelanggan lagi seperti sedia kala. Pelanggan yang agaknya tidakhanya sekali datang, melainkan berkali-kali datang hanya untuk meminjambuku. Jumlah pelanggan yang sama dengan pertama kali buyutnya menjalankan bisnis. Konsep sekarang adalah mempromosikan buku yang sudah berpuluh-puluh tahun
141terbit ke media sosial. Menyediakan seluruh seri penulis lama agar menarikpembaca. Tidak lupa mengadakan permainan kecil untuk mendapat reservasi dengan antrean teratas. Konsepnya sungguh sesederhana itu, tetapi dampaknya terasa sampai sekarang. Ternyata tidak sedikit orang yang masih tertarik buku-bukulama, ia pikir sudah mulai punah. Cakra benar, kalau saja ia mengikuti perkembangan jaman, tokonyaakan selalu ramai seperti ... ini. “Hai, Kak Tika.” Tubuh Kartika seakan membeku ketika melihat siapa yang sudahmenetap didepan tokonya. Masih ada jarak jauh di antara mereka, anak itu lebihmemilih hampiri Kartika. “Kak Tika?” Cakra melambaikan tangan depan wajahnya. Kartika menggosokmatanya, masih tidak percaya yang ia lihat. “Ini betulanCakra? Mungkin aku cuma halusinasi. ”Ia menepuk pipinya, mencoba menyadarkan diri. Dilihat lagi, tidak hilang. “Kok tidak hilang?” herannya. Cakra tertawa kecil. “Ini aku benaran, Kak. Lihat nih.” Tangannya sudah berani mencubit pipi Kartika sampai perempuan itu merintih. “Itu bukti kalau aku nyata. Di depan Kak Tika,” akuinya. “Baru ingat aku sekarang? Ku pikir kamu sudah lupa karena sudah sukses sekarang,” sindir Kartika. Pura-pura merajuk di depannya. “Ah ... Kak Tika sudah tahu rupanya.” Cakra mengusap tengkuknya, merasatidakenak. “Padahal aku sengaja baru muncul sekarang untuk memberitahu hal itu. Maumemberi kejutan,” gumamnya nyaris tak terdengar.
142“Apa?” Cakra tersenyum lalu menggeleng. “Tapi sepertinya aku yang lebih dikasihkejutan sama Kak Tika. Agak kaget akulihat sudah banyak yang menunggu didepan toko. Aku tanya, ternyata mereka maupinjam buku,” ujarnya sesekali menunjuk ke arah toko. Kartika menepuk kening, lagi-lagi lupa dengan toko sendiri. “Aku buka toko dulu,” pamitnya. “Aku melu6.” Cakra mengejar Kartika dari belakang. Perempuan itu tersenyum, ternyata Cakra masih seperti orang yang ia kena ldahulu. 1 Dek, itu anak tetangga sebelah toko bukan? Mukanya tidak asing.2 Dia sering ke toko? Pantesan bisa jadi duta begitu, anaknya pintar. 3 Punya video belajar bahasa daerah juga? Pandai sekali anaknya Bu Mayang ini.4 Pelan begitu, kamunya lemah.5 Mau berangkat jam berapa? Bisa saja pelanggan kamu sudah nyelinap masuk.” 6 Aku ikut.
143Buku Nusantara (Amiira Mahdiyya) Matahari telah menenggelamkan dirinya di bagian barat, menandakan bahwa kini telah menjelang sore hari menuju malam. Jingga mewarnai langit. Sekelompokburung terbang tanpa tujuan. Diriku kini sedang berada di kamarku. Duduk di kursi meja belajarku. Dengan headphone yang terpasang di kedua telingaku. Pulpen di tangan kananku. Dan juga tumpukan buku yang saat ini terletakdi depan mataku. Salah satu buku yang terbuka penuh dengan coretan. Beberapa buku tertulis nama Arunika Sandra di sampulnya. Selembar daun berputar-putar karena tertiup anginsepoi-sepoi, kemudian menghampiri rumahku, mendarat tepat di mejaku. Tangankumeraih daun itu. Daun kering, berwarna cokelat gelap diikuti warna jingga. Daunyang rapuh, namun indah. Aku menghela napas, menundukkan kepalaku, lalumenatap buku yang menumpuk di mejaku. Tugas-tugas telah menghantui pikiranku. Keadaan ekonomi keluarga juga memburuk, karena itu aku pindah rumah sekaligus sekolah ke sebuah daerah yang belum pernah ku datangi. Saat aku bertanya, Ayahhanya menjawab,
144“Ayah dapat pekerjaan barudengan gaji yang lebih tinggi di sini.” Bohong. Aku tahu jika Ayah dipecat. Namun, aku hanya bisa diam. Keduaorang tuakuselalu bertengkar dalam diam. Mereka pikir, aku tidak mengetahuibahwa hubunganmereka sedang bersitegang. Padahal, mereka bertengkar tepat didepan mataku. Di sini aku tidak mempunyai teman. Setelah pindah, teman-teman kumenghilang tanpa kabar. Sepertinya mereka bersenang-senang atau mungkin sedang dihantui olehtugas-tugas yang menumpuk sama sepertiku. Sama seperti daun di pohon, satudemi satu, pergi meninggalkanku. Aku bingung. Apakah masa depanku akan indah?Saat melanjutkan tugasku, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari balik pintu. Aku melepas headphone-ku dari kedua telingaku. Seseorang membuka pintukamarku. Ya, dia adalah ibuku. Aku terus menatap ibuku. Sudah berapa lama akutidak memperhatikan Ibu? Ekspresi lelah terlukis di wajahnya. Kantung mata yangtiap hari makin membesar. Sejak pindah, Ibu terus membanting tulang menjual aneka kue sepanjang hari. Tubuh Ibu menjadi lebih kurus. Apa tadi Ibusudahmakan? “Nak... Tolong belikan tepung di warung ya. Mau buat kue.” Ucapan Ibu berhasil memecahkan lamunanku. “Tapi, Aru lagi kerjain tugas, Bu,” ucapku sembari melanjutkan tugasku.” Kembaliannya buat kamu.”Satu kalimat itu berhasil membuatku tersentak. “Belinya 1 kilo, kan?” Aku bangkit dari posisi dudukku. Siapa yang tidak senangsaat mendapatkan uang? “Iya, ini uangnya.” Ibu memberikan selembar uang berwarna hijau. “Cepat belinya, sebentar lagi Maghrib.” Ibu menunjuk jam dinding.
145“Siap, Bu.” Aku mengangkat tangan, hormat. Ibu hanya tertawa melihat tingkahku.Tanpa banyak pikir, aku langsung bergegas mengambil tas, lalu pergi keluar rumah menuju warung. Sepanjang perjalanan, angin sepoi-sepoi menyibakrambutku. Anak-anak bermain dengan sangat gembira. Beberapa anak disuruhuntuk segera pulang oleh ibunya. Hari ini langit juga terlihat sangat indah. Di saat aku memandangi langit, selembar kertas berputar-putar tertiup angin lalu mendarat di tanah. Aku mengambil kertas itu. Kertas itu berisi iklan mengenai pertunjukanseni budaya yang akan diselenggarakan malam ini. Beberapa meter di depan, akumelihat seorang kakek yang sedang membungkukkan badannya sembari memungut kertas yang berserakan di tanah. Aku menghampiri kakek itu. Tanpa mengucapkansepatah kata pun, aku langsung membantu kakek itu memungut kertas. Kakek itumendongak menatapku dan mengangguk yang menunjukkan bahwa ia berterima kasih. Aku membalas rasa terima kasih itu dengan senyuman. Semua kertas telahdipungut. Aku merapikan tumpukan kertas itu lalu memberikannya kepada kakekitu. “Terima kasih, ya, Nak,” ucap kakek itu tersenyum dengan wajah yang berkeriput. “Sama-sama, Kek.” Aku turut senang melihat senyuman kakek itu. “Itu acara pentas seni, ya, Kek?” Aku menunjuk kertas itu. Sejujurnya, akutertarikdengan pertunjukan itu. “Iya, hanya pertunjukan sederhana. Kakek hanya ingin orang muda mengenal budaya kita yang sangat indah dan terus melestarikannya agar tidakpunah pada suatu hari.” Ekspresi senang itu berubah menjadi murung. “Tapi, dengan adanya perkembangan zaman. Orang-orang mulai lupatentangbudaya di negeri kita. Mereka terpaku pada gawai dan budaya luar. Memangbenar dengan adanya gawai hidup kita lebih mudah, budaya luar juga tidak kalahindahnya. Namun, mereka hanya tertuju pada satu keindahan tanpa menyadari
146keindahan di sekitarnya.” Kakek itu menatap anak-anak yang sedang bergembira bermain.“Tapi, masih ada harapan. Kita dapat mempertahankan budaya kita dimulai dengan hal kecil. Pentas seni inilah salah satunya,” ucap kakek itu sembari mengeluarkan sebuah buku dari tas selempangnya.“Buku ini Kakek berikanpadamu, jaga baik-baik. Kamu juga boleh menonton pertunjukannya nanti malam,” ucap kakek itu tersenyum sambil memberikan selembar kertas tadi dan buku itukepadaku. “Buku apa ini, Kek?” tanyaku bingung. “Hanya buku biasa. Kakek ingin memberikan buku ini kepada seseorang,tapi tidaktau siapa yang harus kuberi. Kamu mungkin menyukainya. Anggap sajaini tanda terima kasihku. ”Aku mengambil buku itu. Buku itu terlihat kuno, sampul berwarnakeemasan, di buku itu terdapat gambar semacam barang kuno dan pola-pola seperti batik, kata “Nusantara” terukir di cover buku itu. Selang beberapa detik, aku menaruh buku ituke dalam tas, lalu pamit pergi. Dari kejauhan, kakek itu melambaikan tangannya, aku membalas lambaian itu. Aku pun sampai di warung. Mengambil sebungkus tepung, lalu menujukasir. Aku meletakkan tepung itu di atas meja kasir. Tangankumengeluarkanl embaran uang yang diberikan Ibu tadi dari sakuku. Petugas kasir itumengambil uang hijau itu dari tanganku, lalu memasukkan uang itu ke mesin kasir dan mengeluarkan struk pembayaran. “Terima kasih telah berbelanja di sini,” ucap petugas kasir sembari tersenyumdanmemberikan struk pembayaran. Tunggu dulu... Nggak ada kembalian? “Maaf, Mas. Uang kembaliannya,” ucapku. “Oh, maaf, ya, Mbak. Uangnya pas,” ucap petugas kasir.
147Aku mengerutkan dahi. Ternyata, Ibu membohongiku. Aku pun keluar dari warung, lalu berjalan menuju rumah. Sepanjang perjalanan, aku terus memasangmuka masam. Aku pun sampai di rumah. Aku membuka pintu, lalu masuk danmenutuppintu. Aku menaruh tas yang berisi tepung dan buku di atas meja. ”Kamu sudah sampai, Nak?” Ibu membawa sebuah keranjang yangdipenuhi baju. Aku menatap sinis Ibu.” Kamu kenapa, sih, Nak?” tanya Ibu. “Tadi uangnya pas,” ucapku sambil menunjukkan muka masam. Ibu tertawa mendengar ucapanku. Ia meletakkan keranjang penuh baju itudi atas meja. Lalumendekatiku dan mengacak rambutku. “Maaf, ya. Mau Ibu belikan apa?” Ibu tersenyum, lalu menurunkan tangannya. Akumenggelengkan kepala. “Jangan marah, dong. Kayak anak kecil saja. Ibu nggak tau kalau harganyanaik.” Ibu mencubit pipiku. “Lepas, Bu.” Wajahku merah merona. “Iya, iya.” Ibu melepas cubitan di pipiku. “Aru ke kamar dulu, ya, Bu.” Aku berjalan menuju anak tangga. Setelah aku pergi, Ibu melanjutkan kegiatannya. Aku sampai di kamarku. Aku langsung menjatuhkantubuhku ke kasurku yang empuk. Aku menutup mataku sejenak. Lalu, aku teringat mengenai buku tadi. Aku beranjak dari kasur, lalu menuruni tangga. Mengambil buku itu dari tas, kemudian kembali ke atas lagi. Aku duduk di meja belajarku, lalumenyalakan lampu. Meletakkan buku itu di atas meja. Aku menatap buku ituselama beberapa detik. Rasa penasaran memenuhi kepalaku. Aku memberanikandiri untuk membuka buku itu. Belum sempat aku menyentuh buku itu, tiba-tiba buku itu mengeluarkan cahaya, lalu melayang menuju atap kamar. Badanku ikut
148melayang seolah-olah gravitasi lenyap di kamarku. Semua benda yang ada di kamar berubah menjadi serpihan cahaya, lalu lenyap. Begitu juga dengan dinding kamar, dinding kamar juga lenyap. Semuanya menghilang. Tubuhku masih melayang, akuberusaha menyeimbangkan diri. Aku menggenggam kedua tanganku sembari melihat sekeliling, tidak ada apapun. Diriku dikelilingi oleh warna putih polos tanpa ujung. Aku mulai memberanikan diri untuk menyentuhkan kakiku di dasar. Saat kakiku menyentuh tanah, tiba-tiba seluruh tempat berwarna putih itu berubahmenjadi hutan. Pohon yang subur, bunga yang bermekaran, burung yangbeterbangan. Tepat di depanku,berdiri sebuah rumah dengan bentuk atapnya yangbergonjong runcing menjulang. Itu adalah Rumah Gadang, rumah adat Minangkabau. Rumah itu berdiri dengan sangat megah. Ditengah ketakutan dankebingungan itu, aku mendengar suara lantunan alat musik kecapi, bersatu dalamharmoni dan melodi memainkan lagu “Indonesia Pusaka”. Alat musik khas Jawa Barat itu terdengar sangat indah, bulu kudukku berdiri mendengar musik itu. Akuberjalan ke seluruh penjuru untukmencari sumber suara. Aku tiba di sebuah air terjun, di sana terlihat seorang priasedang menggerakkan jari di tangan kanan untukmemetik tiga dawai yang berbedasecara bersamaan. Tiba-tiba, aku mendengar suara lantang seseorang sedangmembaca puisi legendaris karya Sapardi DjokoDarmono yang berjudul “Hatiku Selembar Daun”. “Hatiku selembar daun. Melayang jatuh di rumput.” Daun mulai berjatuhandari pohon. “Nanti dulu. Biarkan aku sejenak berbaring di sini.” Angin kencang membawa pergi daun itu. “Ada yang masih ingin kupandang. Yang selama ini senantiasa luput.” Daun ituterbang terbawa angin hingga tak terlihat lagi. “Sesaat adalah abadi. Sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.” Angin bertiupkencang seakan puisi itu dibacakan untuknya. Lalu, aku mendengar alunan suara
149alat musik saluang, talempong, gong, dan rebana. Di balik pohon, seorang wanita muncul dengan mengenakan baju kurungsambil membawa piring kaca di kedua tangannya. Wanita itu menari dengan anggun. Selang beberapa menit, muncul pecahan kaca di depannya, ia menari tepat di atas pecahan kaca itu sambil terus tersenyum. Alisku terangkat, aku kagum melihat tarian itu. Aku pergi ke tempat lain. Di gua kecil, sebuah kain putih atau biasa disebut kelir dibentangkan hampir menutupi gua, muncul bayangan wayang di balik kain tersebut. Alunan musikangklung, gamelan, gong, dan alat musik lainnya mengiringi pertunjukkan wayangtersebut. Seorang dalang dengan lihai memainkan wayang dan menyuarakan dialogpara wayang. Ia menceritakan kisah Ramayana, yang bercerita tentang perjuanganRama yang berjuang untuk mendapatkan kembali istrinya, yaitu Sinta dari penculikan yang dilakukan oleh Rahwana. Ini semua benar-benar indah. Mulai dari musiknya, tariannya, ceritanya, bahasanya, suaranya, pemandangannya. Semuanya sangat indah, aku terus menatap kagum. Indonesia kaya akan budaya, seperti cerita rakyat, bahasa daerah, seni tari, Seni rupa, dan budaya lainnya. Semua keberagaman budaya dan bahasa menjadi satu membentuk keindahan yangmemesona. Tiba-tiba, tanah bergetar, permukaan bumi terbuka. Aku berusaha menghindari lubang. Semakin lama, lubang tersebut semakin banyak. Tanpa sengaja, aku tergelincir, lalu terjatuh ke lubang dibelakangku. Tubuhku melayang. Aku menutup kedua mataku. Aku terbangun dari tempat tidurku. Ternyata, itusemua hanya mimpi. Tapi,buku itu nyata. Buku itu dalam keadaan terbuka terletakdi atas meja belajarku. Aku bangun dari kasur, lalu mendekati meja belajar. “Budaya adalah warisan.” Itulah kalimat yang tertulis pada lembaran buku itu. Akumendengar suara mesin motor, Sepertinya Ayah sudah pulang. Aku bergegas bangkit dari kasur, lalu menuruni tangga. Ayah sudah berada di depan pintu denganwajah yang lelah dengan membawa tas di punggungnya. Aku dan Ibu menyambut kedatangannya. “Selamat datang, Ayah,” sapaku dengan senyum merekah. Ayah membalassapaanku dengan senyuman, kemudian mengusap rambutku.
150“Selamat pulang.” Ibu mencium tangan Ayah lalu melepasnya. “Capek banget....” Ayah menghela napas.“Yah, Aru punya pantun buat Ayah,” ucapku.“Apa itu?” Ayah mengangkat alis penasaran. “Di taman ada lebah.” Aku mengangkat tangan menghayati. “Cakep,” seru kedua orang tuaku. “Di pagar ada kawat.” “Cakep.” “Jika engkau lelah. Tetaplah semangat.” Aku mengepalkan tangan ke atas. Ayah dan Ibu kompak bertepuk tangan. “Ibu, Ayah, mau nonton pentas seni, nggak?” tanyaku. “Boleh. Ayah juga butuh hiburan.” Mulut Ayah terbuka, memperlihatkan deretangigi. “Pentas seni? Sekarang ‘kan jarang yang nyelenggarain pentas seni,” ucap Ibu. “Ada yang nyelenggarain.” Aku memberikan selembar iklan pentas seni. “Pentas seninya dimulai sebentar lagi, ayo bersiap,” ucapku bersemangat. “Tapi, Ayah ‘kan baru pulang. Butuh istirahat,” ucap Ibu.