dalam bidang hukum sudah pasti. Misalnya, makna
kata tahanan jika dikaji dari makna istilah sudah pasti
‘orang yang ditahan dengan suatu perkara’. Begitu
juga dengan makna tahanan dalam bidang kelistrikan
menjadi ‘daya yang menahan arus listrik’.
5. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual yaitu makna yang sesuai
dengan konsep, makna yang sesuai dengan referen,
dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan
apapun. Makna konseptual disebut juga makna
denotatif, makna leksikal, dan makna denotatif.
Dengan kata lain, makna konseptual merupakan
makna yang tidak tergantung pada konteks kalimat.
Makna konseptual juga disebut makna yang terdapat
dalam kamus. Misalnya kata ibu yakni ‘manusia yang
berjenis kelamin perempuan dan telah dewasa’.
Contoh lain, pada kata demokrasi makna akan berubah
jika unsurnya diperluas menjadi demokrasi liberal,
demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila.
Makna asosiatif disebut juga makna kiasan
(transferred meaning, figurative meaning) atau
pemakaian kata yang tidak sebenarnya. Makna asosiatif
adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan
dengan adanya hubungan kata dengan keadaan di
luar bahasa. Misalnya kata bunglon berasosiasi dengan
makna ‘orang yang tidak berpendirian tetap’. Kata
melati sebagai lambang ‘kesucian’, merah sebagai
lambang ‘keberanian’, dan srikandi sebagai lambang
‘kepahlawanan’.
142 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
6. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Makna idiomatikal adalah satuan-satuan bahasa
(bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang
maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal
unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-
satuan tersebut. Misalnya kaidah gramatikal kata-kata
ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan
memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya.
Misalnya frase rumah kayu.
Makna idiomatikal atau makna idiomatik
adalah makna yang ada dalam idiom, makna yang
menyimpang dari makna konseptual dan gramatikal
unsur pembentuknya. Dalam bahasa Indonesia ada
dua bentuk idiom, yaitu:
a. Idiom penuh
Idiom penuh adalah idiom yang unsur-
unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan
satu kesatuan dengan satu makna. Misalnya
membanting tulang, kambing hitam ‘penumpahan
kemarahan’, meja hijau ‘pengadilan’, dan panjang
tangan ‘pencuri’. Makna kata-kata tersebut tampak
jelas apabila ada dalam kalimat berikut.
1) Orang tua itu membanting tulang demi
mencukupi kebutuhan anaknya.
2) Anak yang malang itu menjadi kambing hitam
keluarganya.
3) Pembunuh bayaran yang ditangkap kemarin
dibawa ke meja hijau.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 143
4) Anak yang panjang tangan wajib harus
dinasehati dengan baik.
b. Idiom sebagian
Idiom sebagian adalah idiom yang di dalamya
masih terdapat unsur yang masih memiliki
makna leksikal. Contohnya daftar hitam yang
berarti ‘daftar berisi nama-nama orang yang
dicurigai/dianggap bersalah’, koran kuning yang
berarti ‘koran yang memuat berita sensasi’, dan
menunjukkan gigi yang berarti ‘menunjukkan
kekuasaan’. Makna kata-kata tersebut tampak
jelas apabila ada dalam kalimat berikut.
1) Amin termasuk salah seorang yang berada
dalam daftar hitam di kantorku.
2) Asma masuk dalam koran kuning berita
selebriti hari ini.
3) Orang yang tinggi besar itu menunjukkan gigi
pada masyarakat di daerahnya.
Selanjutnya, selain idom ada juga istilah
peribahasa. Peribahasa adalah kelompok kata
atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya
mengiaskan maksud tertentu. Dengan kata
lain, makna leksikal dan gramatikalnya masih
berasosiasi atau bertautan. Misalnya, ada dua
orang yang sering bertengkar dikatakan dalam
bentuk peribahasa Bagai anjing dengan kucing,
keadaan pengeluaran belanja lebih besar
jumlahnya daripada pendapatan dikatakan dalam
bentuk peribahasa Besar pasak daripada tiang.
144 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
Karena peribahasa bersifat memperbandingkan
atau mengumpamakan makna lazim disebut
dengan perumpamaan. Kata-kata seperti, bak,
bagai, laksana, dan umpama lazim digunakan
dalam peribahasa. Akan tetapi, ada juga peribahasa
yang tanpa menggunakan kata-kata tersebut.
Misalnya Tong kosong nyaring bunyinya yang
berarti ‘orang yang tiada berilmu biasanya banyak
cakapnya’. Sebaliknya, ‘orang pandai, orang yang
banyak ilmunya biasanya pendiam, merunduk, dan
tidak pongah’. Keadaan ini disebutkan dengan
peribahasa yang berbunyi Bagai padi, semakin
berisi, semakin runduk.
7. Makna Kias
Makna kias adalah makna bentuk bahasa, baik
kata, frase, maupun kalimat yang tidak merujuk pada
arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau
arti denotatif). Makna kias berupa kata-kata kias.
Kata kias adalah kata-kata yang sangat tidak formal,
bukan dalam arti kata yang sebenarnya (denotatif).
Kata kiasan dipakai untuk memberi rasa keindahan dan
penekanan pada pentingnya hal yang disampaikan.
Misalnya Cita-citanya setinggi langit dan wajahnya
bagai rembulan. Kata-kata kiasan sering ditemukan
pada nyanyian-nyanyian, puisi-puisi, dan karya-karya
tulis lama.
Jadi, bentuk-bentuk seperti putri malam
yangberarti ‘bulan’, raja siang yang berarti ‘matahari’,
daki dunia yang berarti ‘harta, uang’, membanting
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 145
tulang yang berarti ‘bekerja keras’, kapal padang
pasir yang berarti ‘unta’, pencakar langit yang berarti
‘gedung bertingkat tinggi’. Kemudian contoh kata
kiasan yang terdapat dalam kalimat seperti Aminah
adalah bunga desa kami yang memiliki kata kias bunga
yang berarti ‘gadis cantik’. Begitu juga dengan kata-
kata sebelumnya yang memiliki makna kias.
8. Makna Kolusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Dalam kajian tindak tutur (speech act) dikenal
adanya istilah makna kolusi, ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam
ujaran, makna harfiah, atau makna apa adanya.
Sedangkan yang dimaksud dengan makna ilokusi
adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar.
Sebaliknya, yang dimaksud dengan makna perlokusi
adalah makna seperti yang diinginkan oleh penutur.
Misalnya, jika seseorang bertanya kepada tukang foto
di pinggir jalan, “Bang, tiga kali empat, berapa?”
Dilihat dari makna lokusi kalimat di atas adalah
keingintahuan dari penutur tentang berapa tiga
kali empat. Namun, makna perlokusi, makna yang
diinginkan si penutur bahwa penutur ingin tahu biaya
mencetak foto ukuran tiga kali empat sentimeter. Jika
si pendengar, yaitu tukang foto memiliki makna ilokusi
yang sama dengan makna perlokusi dari si penanya,
tentu dia akan menjawab “dua belas”, bukan jawaban
lain.
146 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
Dalam kajian tindak tutur, sebuah ujaran sekaligus
dapat bermakna kolusi, ilokusi, dan perlokusi jelas
seperti kalimat berikut.
Seorang laki-laki tua bertanya kepada pelayan
toko peti mati:
“Berapa harga peti mati yang ukiran ini?”
“Dua juta, Tuan”, jawab si pelayan toko.
“Wah, mahal amat”, sahut laki-laki tua itu dengan
kaget.
“Tapi, Tuan”, kata pelayan toko itu menjelaskan,
“Kami jamin kalau Tuan sudah masuk ke dalamnya,
Tuan pasti tidak ingin keluar lagi!”
Pada ilustrasi bagian akhir ada kalimat “Tuan
pasti tidak ingin keluar lagi!”. Makna lokusi kalimat
tersebut adalah “Tuan pasti tidak ingin keluar lagi!”.
Lalu, makna ilokusinya adalah “Saya tidak keluar lagi
karena merasa nyaman yang bukan main”. Sedangkan
makna perlokusinya adalah “Tuan tidak ingin keluar
karena pada waktu itu Tuan sudah meninggal”.
C. Perubahan Makna Kata
Bahasa berkembang sesuai dengan tuntutan
masyarakat pemakainya. Pengembangan diksi terjadi
pada kata. Namun, hal ini berpengaruh pada penyusunan
kalimat, paragraf, dan wacana. Pengembangan tersebut
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan komunikasi.
Komunikasi kreatif berdampak pada perkembangan
diksi, berupa penambahan dan pengurangan kuantitas
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 147
maupun kualitasnya. Selain itu, bahasa berkembang sesuai
dengan kualitas pemikirnya pemakainya. Perkembangan
dapat menimbulkan perubahan yang mencakup perluasan,
penyempitan, pembatasan, pelemahan, pengaburan, dan
pergeseran makna. (Widjono, 101-102).
Menurut Chaer (2009:131), sebab-sebab perubahan
makna terjadi karena (1) perkembangan dalam ilmu
dan teknologi, (2) perkembangan sosial dan budaya, (3)
perbedaan bidang pemakaian, (4) adanya asosiasi, (5)
pertukaran tanggapan indra, (6) perbedaan tanggapan,
(7) adanya penyingkatan, (8) proses gramatikal, dan (9)
pengembangan istilah. Dari faktor-faktor atau sebab-sebab
terjadinya perubahan makna dapat dilihat ada perubahan
yang sifatnya menghalus, ada perubahan yang sifatnya
meluas, ada perubahan yang sifatnya menyempit atau
mengkhusus, ada perubahan yang sifatnya yang halus,
ada perubahan yang sifatnya mengasar, dan ada pula
perubahan yang sifatnya total. Maksudnya, berubah sama
sekali dari makna semula.
1. Meluas
Perubahan makna kata meluas adalah gejala
yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang
pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi
kemudian karena berbagai faktor menjadi makna-
makna lain. Misalnya kata saudara bermakna ‘seperut’
atau ‘sekandungan’. Kemudian berkembang menjadi
‘siapa saja yang masih ada pertalian darah’. Akibatnya,
anak paman pun disebut dengan saudara. Selanjutnya,
siapapun yang masih mempunyai kesamaan asal usul
148 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
disebut saudara. Lebih jauh lagi selanjutnya siapa
pun yang masih mempunyai asal usul disebut juga
saudara. Kini siapa pun dapat disebut saudara. Berikut
penggunaan kata saudara dalam kalimat-kalimat.
a. Saudara saya hanya dua orang.
b. Surat Saudara sudah saya terima.
c. Sebetulnya dia masih saudara saya, tetapi sudah
agak jauh.
d. Bingkisan untuk saudara-saudara kita di Timur-
Timur.
e. Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,
marilah kita tanamkan sikap nasionalisme.
Perluasan juga terjadi pada kata-kata kekerabatan
lain seperti kakak, ibu, adik, dan bapak. Contoh
perluasan makna lain terdapat pada kata baju yang
mulanya hanya berarti pakaian sebelah atas pinggang
dan pinggang sampai ke bahu seperti pada frase baju
batik, baju safari, baju lengan panjang, dan sebagainya.
Akan tetapi, pada kalimat Anak-anak memakai baju
seragam, kata baju sudah bermakna meluas karena
termasuk celana, baju, topi, dasi, sepatu. Begitu juga
dengan baju olahraga, baju dinas, dan baju militer.
2. Menyempit
Perubahan makna kata menyempit adalah
gejala yang terjadi pada sebuah kata yang mulanya
mempunyai makna cukup luas, kemudian berubah
menjadi terbatas hanya pada sebuah makna kata
saja. Misalnya kata sarjana yang pada mulanya orang
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 149
berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendekiawan’. Kemudian
hanya berarti ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi’.
Contoh lain kata jurusan dahulu bermakna arah dan
tujuan menjadi kata yang bermakna sempit yaitu
bagian dari pengkajian ilmu di suatu perguruan tinggi,
seperti tampak pada sarjana sastra, sarjana ekonomi,
sarjana hukum. Betapapun pandainya seseorang
mungkin sebagai hasil upaya belajar sendiri dan
bukan tamatan suatu perguruan tinggi tidak bisa
disebut sarjana. Sebaliknya, betapa pun rendahnya
indeks prestasi seseorang kalau dia sudah lulus dari
perguruan tinggi, dia akan disebut sarjana.
3. Perubahan Total
Perubahan total adalah perubahan makna sebuah
kata dan makna asal. Kemungkinan masih ada sangkut
pautnya dengan makna asal, tetapi sudah jauh sekali.
Misalnya kata ceramah pada mulanya berarti ‘cerewet’
atau ‘banyak cakap’, tetapi kini berarti ‘pidato’ atau
‘uraian’ mengenai suatu hal yang disampaikan di
depan orang banyak. Contoh lain kata seni pada
mulanya selalu dihubungkan dengan air seni. Akan
tetapi, kata seni bermakna karya atau ciptaan yang
bernilai halus. Misalnya digunakan dalamm frase seni
lukis, seni tari, seni suara, dan seni ukir.
4. Penghalusan (Eufemia)
Penghalusan (eufemia) adalah perubahan
makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada
yang akan digantikan. Kecenderungan untuk
menghaluskan makna kata merupakan gejala umum
150 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
dalam masyarakat bahasa Indonesia. Misalnya kata
bui diganti dengan kata/ungkapan yang maknanya
dianggap lebih halus yaitu lembaga pemasyarakatan;
dipenjara atau dibui diganti menjadi dimasukkan ke
lembaga pemasyarakatan. Contoh lain, kata korupsi
diganti dengan menyalahgunakan jabatan; kata
pemecatan (dari pekerjaan) diganti dengan pemutusan
hubungan kerja (PHK); kata babu diganti dengan
pembantu rumah tangga dan kini diganti lagi dengan
pramuwisma, kata/ungkapan kenaikan harga diganti
dengan perubahan harga, penyusunan tarif, atau juga
pemberlakuan tarif baru.
5. Pengasaran (Disfemia)
Pengasaran (disfemia) adalah usaha untuk
mengganti kata yang maknya halus atau bermakna
biasa dengan kata yang maknanya kasar. Gejala
pengasaran biasanya dilakukan orang dalam situasi
yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan.
Misalnya kata/ungkapan masuk kotak dipakai untuk
mengganti kata kalah seperti dalam kalimat Dia
sudah masuk kotak. Kata mencaplok dipakai untuk
mengambil dengan begitu saja seperti dalam kalimat
Dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir itu.
Begitu juga dengan kata menjebloskan yang dipakai
untuk menggantikan kata memasukkan seperti dalam
kalimat Polisi mejebloskan penjahat ke dalam sel.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 151
BAB VIII
DIKSI BAHASA INDONESIA
Nur Apriani Nukuhaly, M.Pd.
IAIN Ambon
A. Pengertian Diksi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diksi
diartikan sebagai pilihan kata yang tepat dan selaras dalam
penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga
diperoleh efek tertentu seperti yang diharapkan. Dari
pernyataan itu tampak bahwa penguasaan kata seseorang
akan mempengaruhi kegiatan berbahasanya, termasuk
saat yang bersangkutan membuat karangan.
Pengertian pilihan kata atau diksi merupakan unsur
yang sangat penting dalam karang mengarang, terutama
dalam karangan ilmiah. Pada umumnya, kata-kata yang
berdiri sendiri, yaitu lepas dari hubungan kalimat, belum
jelas benar. Makna suatu kata baru jelas jika berada dalam
kalimat, dan pengertiannya hanyalah satu. Diksi adalah
pilihan kata dalam mengungkapkan apa yang ingin
disampaikan.
Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan
pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah
kata yang dipilih itu dapat juga diterima atau tidak
merusak suasana yang ada. Sebuah kata yang tepat
untuk menyatakan suatu maksud tertentu, belum tentu
152 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
dapat diterima oleh para hadirin atau orang yang diajak
bicara. Masyarakat yang diikat oleh beberapa norma,
menghendaki pula agar setiap kata yang dipergunakan
harus cocok atau serasi dengan norma norma masyarakat,
harus sesuai dengan situasi yang dihadapi. Diksi adalah
pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat
untuk menyatakan sesuatu.
Dengan uraian yang singkat ini, dapat diberikan tiga
kesimpulan utama mengenai diksi. Pertama, pilihan
kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana
yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan,
bagaimana membentuk pengelompokan kata kata
yang tepat atau menggunakan ungkapan ungkapan
yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan
dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara nuansa-nuansa makna
dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan
untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan
situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai
hanya dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar kosa
kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan
yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu
bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah
bahasa.
B. Kriteria Pemilihan Kata
Agar dapat mengungkapkan gagasan, pendapat,
pikiran, atau pengalaman secara tepat, dalam berbahasa
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 153
baik lisan maupun tulis pemakai bahasa hendaknya dapat
memenuhi beberapa persyaratan atau kriteria di dalam
pemilihan kata. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai
berikut. (1) Ketepatan (2) Kecermatan (3) Keserasian.
1. Ketepatan
Ketepatan dalam pemilihan kata berkaitan
dengan kemampuan memilih kata yang dapat
mengungkapkan gagasan secara tepat dan gagasan
itu dapat diterima secara tepat pula oleh pembaca atau
pendengarnya. Dengan kata lain, pilihan kata yang
digunakan harus mampu mewakili gagasan secara
tepat dan dapat menimbulkan gagasan yang sama
pada pikiran pembaca atau pendengarnya. Ketepatan
pilihan kata semacam itu dapat dicapai jika pemakai
bahasa mampu memahami perbedaan penggunaan
kata-kata yang bermakna (1) denotasi dan konotasi,
(2) sinonim, (3) eufemisme, (4) generik dan spesifik,
serta (5) konkret dan abstrak.
a. Penggunaan Kata yang Bermakna Denotasi dan
Konotasi
Makna denotasi adalah makna yang mengacu
pada gagasan tertentu (makna dasar), yang tidak
mengandung makna tambahan atau nilai rasa
tertentu, sedangkan makna konotasi adalah
makna tambahan yang mengandung nilai rasa
tertentu di samping makna dasarnya. Contohnya:
1) Karena perlu biaya, ia menjual kambing
hitamnya dengan harga murah.
154 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
2) Dalam setiap kerusuhan mereka selalu
dijadikan kambing hitam.
Ungkapan kambing hitam pada kalimat (1)
merupakan ungkapan yang bermakna denotasi,
yaitu merujuk pada makna sebenarnya, dalam
hal ini ‘kambing yang berwarna hitam’. Berbeda
dengan itu, pada kalimat (2) ungkapan kambing
hitam merupakan ungkapan yang bermakna
konotasi, yaitu merujuk pada makna kiasan. Dalam
kalimat (2) itu ungkapan kambing hitam bermakna
‘pihak yang dipersalahkan’.
Dari contoh di atas memberikan gambaran
bahwa seseorang yang mampu memahami
perbedaan makna denotasi dan konotasi akan
dapat mengetahui kapan ia harus menggunakan
kata yang bermakna denotasi dan kapan ia dapat
menggunakan kata yang bermakna konotasi.
Dengan demikian, ia tidak akan sembarangan saja
dalam memilih dan menentukan kata yang akan
digunakan.
b. Penggunaan Kata yang Bersinonim
Menurut pendapat Mansoer Pateda secara
etimologis, kata sinonim berasal dari bahasa
Yunani Kuno yaitu onoma yang berarti nama dan
syn yang berarti dengan. Adapun makna secara
harfiah kata sinonim adalah nama lain untuk
benda atau hal yang sama.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 155
Sementara itu, Palmer mengatakan bahwa
“synonymy is used to mean sameness of meaning”
‘kesinoniman digunakan untuk menunjukkan
kesamaan’. Hal itu berarti bahwa dalam sebuah
bahasa terdapat perangkat kata yang mempunyai
arti yang berkesamaan atau berkesesuaian.
Jadi, bentuk bahasa yang mengalami dan
menjadi kelompok kesinoniman disebut sinonim.
Kridalaksana juga mengatakan bahwa sinonim
adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip
atau sama dengan bentuk lain. Selanjutnya,
menurut Abdul Wahab sinonim digunakan untuk
menyatakan ‘kesamaan arti’ karena dalam sejumlah
kata dijumpai adanya makna yang sama atau
satu sama lain sama makna, atau ada hubungan
di antara kata-kata yang mirip (dianggap mirip)
maknanya. Misalnya, kata buruk dan jelek adalah
dua kata yang bersinonim; kata bunga, kembang,
dan puspa adalah tiga kata yang bersinonim.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa sinonim adalah dua kata atau lebih yang
mempunyai makna sama atau hampir sama (mirip).
Adapun bentuk sinonim dapat meliputi kata, frase,
dan kalimat yang maknanya kurang lebih sama.
Beberapa kata yang bersinonim, misalnya, dapat
diperhatikan pada contoh di bawah ini.
kelompok
rombongan
156 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
kawanan
gerombolan
Keempat kata yang bersinonim itu mempunyai
makna dasar yang sama. Namun, oleh pemakai
bahasa, kata kawanan dan kata gerombolan
cenderung diberi nilai rasa yang negatif,
sedangkan dua kata yang lain mempunyai nilai
rasa yang netral: dapat negatif dan dapat pula
positif, bergantung pada konteksnya. Oleh karena
itu, pada contoh kalimat berikut pemakaian kata
rombongan tidak tepat, sebaliknya pada contoh
berikutnya (5) pemakaian kata kawanan dan
gerombolan tidak tepat.
kelompok penjahat yang dicuri-
? rombongan gai itu sudah diketahui
kawanan identitasnya.
gerombolan
kelompok guru yang akan
rombongan mengikuti seminar
* kawanan sudah hadir.
* gerombolan
Karena berkonotasi negatif, kata kawanan
dan gerombolan bahkan dapat digunakan untuk
merujuk pada binatang. Misalnya:
kelompok binatang itu merusak tana-
gerombolan man petani karena habitat-
nya dirusak.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 157
Apabila telah memahami benar perbedaan
makna kata-kata yang bersinonim, pemakai bahasa
diharapkan dapat memilih salah satu kata yang
bersinonim itu untuk digunakan dalam konteks
yang tepat. Dengan demikian, ia diharapkan tidak
mengalami kesulitan dalam menentukan kata
yang akan digunakan.
c. Penggunaan Eufemisme
Eufemisme adalah kata atau ungkapan
yang dirasa lebih halus untuk menggantikan
kata atau ungkapan yang dirasa kasar, vulgar,
dan tidak sopan. Terkait dengan itu, pemakai
bahasa diharapkan dapat memilih kata-kata atau
ungkapan yang lebih halus agar komunkasi yang
disampaikan dapat mengungkapkan maksud
secara tepat dan tidak menimbulkan disharmoni
dalam komunikasi. Misalnya:
mati (untuk manusia) meninggal dunia
bodoh kurang pandai
miskin kurang mampu
minta mohon
Meskipun dianjurkan menggunakan bentuk
eufemisme untuk menjaga hubungan baik dengan
lawan bicara, pemakai bahasa tidak seharusnya
terjebak pada penggunaan eufemisme yang
terkesan menyembunyikan fakta. Hal itu karena
pemakai bahasa dapat dianggap membohongi
pihak lain. Misalnya:
158 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
Ditangkap (polisi) diamankan (polisi)
harganya dinaikkan harganya
disesuaikan
d. Penggunaan Kata yang Bermakna Generik dan
Spesifik
Makna generik adalah makna umum,
sedangkan makna spesifik adalah makna khusus.
Makna umum juga berarti makna yang masih
mencakup beberapa makna lain yang bersifat
spesifik. Misalnya, kendaraan merupakan kata
yang bermakna generik, adapun makna spesifiknya
adalah mobil, motor, bus, sepeda, angkutan kota,
dan sebagainya. Kata banyak juga merupakan
kata yang bermakna umum, sedangkan makna
spesifiknya adalah yang sudah mengacu pada
jumlah tertentu. Misalnya:
(1) Penduduk Indonesia yang tergolong kurang
mampu masih cukup banyak.
Pernyataan (1) tersebut masih bersifat umum
karena belum menjelaskan seberapa banyak
jumlah yang sesungguhnya. Bandingkan dengan
pernyataan berikut.
(2) Penduduk Indonesia yang tergolong kurang
mampu masih ada 16 juta orang.
Sehubungan dengan hal tersebut, baik makna
generik maupun spesifik sama-sama dapat
dipilih dalam penggunaan bahasa bergantung
pada maksud penggunanya, yakni apakah ingin
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 159
mengungkapkan persoalan secara umum ataukah
secara spesifik. Dalam hal ini pernyataan yang
diungkapkan secara umum dapat dimaknai pula
bahwa pemakainya tidak mengetahui jumlah
yang pasti sehingga tidak dapat meyakinkan
lawan bicara atau pembacanya. Sebaliknya,
pernyataan yang lebih spesifik dapat menunjukkan
pemahaman pemakainya terhadap persoalan yang
dikemukakan sehingga lebih dapat meyakinkan
lawan bicara.
e. Penggunaan kata yang bermakna konkret dan
abstrak
Kata yang bermakna konkret adalah kata
yang maknanya dapat dibayangkan dengan
pancaindera. Sebaliknya, kata yang bermakna
abstrak adalah kata yang sulit dibayangkan
dengan pancaindera. Kata mobil, misalnya,
merupakan kata yang konkret karena wujudnya
dapat dibayangkan atau dapat tergambar dalam
pikiran pemakai bahasa, begitu pula kata-kata
seperti roti, mangga, dan pisang.
Bagaimana dengan kata seperti keadilan,
pertahanan, kemanusiaan, dan pendidikan? Kata-
kata seperti itu merupakan kata yang abstrak. Oleh
karena itu, kata-kata yang abstrak tersebut hanya
dapat dipahami oleh orang yang sudah dewasa
dan terutama yang berpendidikan.
Jika dikaitkan dengan ketepatan dalam
pemilihan kata, kata-kata yang abstrak seperti
160 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
itu sebaiknya hanya digunakan pada sasaran
pembaca atau pendengar yang sudah dewasa dan
berpendidikan. Jika digunakan pada anak-anak
atau orang dewasa yang kurang berpendidikan,
kata-kata tersebut cenderung sulit dipahami.
Atas dasar itu, baik kata yang abstrak maupun
yang konkret sebenarnya sama-sama dapat
dipilih untuk digunakan, tetapi sasarannya harus
disesuaikan.
2. Kecermatan
Kecermatan dalam pemilihan kata berkaitan
dengan kemampuan memilih kata yang benar-benar
diperlukan untuk mengungkapkan gagasan tertentu.
Agar dapat memilih kata secara cermat, pemakai
bahasa dituntut untuk mampu memahami ekonomi
bahasa dan menghindari penggunaan kata-kata yang
dapat menyebabkan kemubaziran.
Dalam kaitan itu, yang dimaksud ekonomi bahasa
adalah kehematan dalam penggunaan unsurunsur
kebahasaan. Dengan demikian, kalau ada kata
atau ungkapan yang lebih singkat, kita tidak perlu
menggunakan kata atau ungkapan yang lebih panjang
karena hal itu tidak ekonomis. Misalnya:
disebabkan oleh fakta karena
mengajukan saran menyarankan
melakukan kunjungan berkunjung
mengeluarkan pemberitahuan memberitahu-
kan
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 161
meninggalkan kesan yang dalam mengesan-
kan
Sementara itu, pemakai bahasa juga dituntut untuk
mampu memahami penyebab terjadinya kemubaziran
kata. Hal itu dimaksudkan agar ia dapat memilih
dan menentukan kata secara cermat sehingga tidak
terjebak pada penggunaan kata yang mubazir. Dalam
hal ini, yang dimaksud kata yang mubazir adalah kata-
kata yang kehadirannya dalam konteks pemakaian
bahasa tidak diperlukan. Dengan memahami kata-kata
yang mubazir, pemakai bahasa dapat menghindari
penggunaan kata yang tidak perlu dalam konteks
tertentu.
Sehubungan dengan masalah tersebut, perlu
pula dipahami adanya beberapa penyebab timbulnya
kemubaziran suatu kata. Penyebab kemubaziran kata
itu, antara lain, adalah sebagai berikut.
a. Penggunaan kata yang bermakna jamak secara
ganda
b. Penggunaan kata yang mempunyai kemiripan
makna atau fungsi secara ganda
c. Penggunaan kata yang bermakna ‘saling’ secara
ganda
d. Penggunaan kata yang tidak sesuai dengan
konteksnya
e. Penggunaan Kata yang Bermakna Jamak
162 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
Penggunaan kata yang bermakna jamak,
terutama jika dilakukan secara ganda, dapat
menyebabkan kemubaziran. Contohnya:
1) Sejumlah desa-desa yang dilalui Sungai
Citarum dilanda banjir.
2) Para guru-guru sekolah dasar hadir dalam
pertemuan itu.
Kata sejumlah dan para dalam bahasa Indonesia
sebenarnya sudah mengandung makna jamak. Begitu juga
halnya dengan bentuk ulang desa-desa dan guru-guru.
Oleh karena itu, jika keduanya digunakan secara bersama-
sama, salah satunya akan menjadi mubazir, seperti yang
tampak pada contoh (1) dan (2).
Agar tidak mubazir, kata-kata yang sudah menyatakan
makna jamak itu hendaknya tidak diikuti bentuk ulang
yang juga menyatakan makna jamak. Atau, jika bentuk
ulang itu digunakan, kata-kata yang sudah menyatakan
makna jamak itu harus dihindari pemakaiannya.
a. Penggunaan Kata yang Bersinonim
Penggunaan kata yang bersinonim atau
kata yang mempunyai kemiripan makna yang
dilakukan secara ganda juga dapat menyebabkan
kemubaziran. Beberapa contohnya dapat
diperhatikan pada kalimat berikut.
1) Kita harus bekerja keras agar supaya dapat
mencapai cita-cita.
2) Generasi muda adalah merupakan penerus
perjuangan bangsa.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 163
Kata agar dan supaya serta adalah dan
merupakan masing-masing mempunyai makna
dan fungsi yang bermiripan. Kata agar dan
supaya masing-masing mempunyai makna yang
bermiripan, yakni menyatakan ‘tujuan’ atau
‘harapan’. Di samping itu, fungsinya pun sama,
yaitu sebagai ungkapan atau kata penghubung.
Kata adalah dan merupakan juga mempunyai
fungsi yang sama, yaitu sebagai penanda
predikat. Oleh karena itu, jika digunakan secara
berpasangan, salah satu di antara pasangan kata
tersebut menjadi mubazir. Agar tidak menimbulkan
kemubaziran, kata-kata yang berpasangan itu
sebenarnya cukup digunakan salah satu saja, tidak
perlu kedua-duanya.
b. Penggunaan Kata yang Bermakna Saling
Penyebab kemubaziran yang ketiga adalah
penggunaan makna kesalingan (resiprokal) secara
ganda. Makna kesalingan yang dimaksudkan di
sini adalah makna yang menyatakan tindakan
berbalasan. Jadi, pelaku tindakan itu setidak-
tidaknya ada dua orang atau lebih. Jika tindakan
itu hanya dilakukan oleh satu orang, dapat
dikatakan bahwa hal itu tidak tepat karena
tindakan berbalasan tidak dapat hanya dilakukan
oleh satu orang. Misalnya:
1) Ia berjalan bergandengan (?)
Tindakan bergandengan, dari segi
pengalaman, tidak mungkin hanya dilakukan
164 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
oleh satu orang karena tindakan itu, paling
tidak, melibatkan orang yang menggandeng
dan orang yang digandeng. Kalau hanya
dilakukan satu orang, penggunaan kata
bergandengan tentu tidak cermat.
2) Walaupun perjanjian gencatan senjata sudah
ditandatangani, saling tembak-menembak
antara kedua belah pihak tetap sulit dihindari.
Kata saling seperti yang terdapat pada
kalimat (2) sebenarnya sudah menyatakan
tindakan ‘berbalasan’. Begitu juga halnya
dengan bentuk ulang tembak-menembak.
Oleh karena itu, penggunaan kata saling
secara bersama-sama dengan bentuk ulang
yang menyatakan tindakan ‘berbalasan’ dapat
menyebabkan salah satunya menjadi mubazir.
Dengan demikian, agar tidak mubazir, kata
saling tidak perlu lagi diikuti bentuk ulang yang
menyatakan tindakan berbalasan. Sebaliknya,
kalau bentuk ulang sudah digunakan, kata
saling tidak perlu disertakan.
c. Penggunaan Kata yang Tidak Sesuai dengan
Konteks
Penyebab kemubaziran berikutnya lebih
banyak ditentukan oleh konteks pemakaiannya
di dalam kalimat. Beberapa contohnya dapat
diperhatikan pada kalimat berikut.
1) Pertemuan kemarin membahas tentang
masalah disiplin pegawai.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 165
2) Maksud daripada kedatangan saya ke sini
adalah untuk bersilaturahmi.
3) Kursi ini terbuat daripada kayu.
Kata tentang pada kalimat (1) dan kata
daripada pada kalimat (2) sebenarnya mubazir
karena berdasarkan konteksnya kehadiran kata
itu pada kalimat di atas tidak diperlukan. Karena
tidak diperlukan, kata tentang dan daripada
dapat dilepaskan dari kalimat yang bersangkutan.
Sementara itu, penggunaan kata daripada dalam
kalimat (3) tidak tepat karena kata tersebut
mengandung makna perbandingan, sedangkan
konteks kalimat (3) tidak memerlukan kata itu
karena tidak menyatakan perbandingan. Kata yang
diperlukan dalam kalimat itu adalah kata yang
menyatakan makna ‘asal’. Makna ini terkandung
dalam kata dari, bukan daripada. Oleh karena itu,
pada kalimat (3) kata daripada harus digantikan
dengan kata dari.
3. Keserasiaan
Keserasian dalam pemilihan kata berkaitan dengan
kemampuan menggunakan kata-kata yang sesuai
dengan konteks pemakaiannya. Konteks pemakaian
yang dimaksud dalam hal ini erat kaitannya dengan
faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.
a. Faktor Kebahasaan
Faktor kabahasaan yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan pemilihan kata, antara lain,
adalah sebagai berikut.
166 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
1) Penggunaan kata yang sesuai dengan konteks
kalimat
2) Penggunaan bentuk gramatikal
3) Penggunaan idiom
4) Penggunaan ungkapan idiomatis
5) Penggunaan majas
6) Penggunaan kata yang lazim
Beberapa faktor kebahasaan tersebut secara
ringkas akan dibahas pada bagian berikut ini.
1) Penggunaan Kata yang Sesuai dengan Konteks
Kalimat
Dalam sebuah kalimat kata yang satu
dan kata yang lain harus memperlihatkan
hubungan yang serasi secara semantis.
Contoh dapat dilihat pada kalimat berikut.
a) Tujuan daripada penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Kalimat tersebut bukanlah kalimat
yang menyatakan ‘perbandingan’. Oleh
karena itu, penggunaan kata daripada
pada kalimat tersebut tidak sesuai
sehingga fungsinya pun tidak ada.
2) Penggunaan Bentuk Gramatikal
Istilah gramatikal tidak hanya digunakan
dalam struktur kalimat, tetapi dapat juga
digunakan dalam struktur kata. Dalam hal
ini, yang dimaksud dengan bentuk gramatikal
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 167
suatu kata adalah kelengkapan suatu bentuk
kata berdasarkan imbuhannya. Perhatikan
contohnya pada kalimat berikut.
a) Para peserta upacara sudah kumpul di
lapangan.
b) Sampai jumpa lagi pada kesempatan
yang lain.
Jika digunakan di dalam komunikasi yang
resmi, bentuk kata kumpul pada kalimat (a)
dan jumpa pada kalimat (b) dianggap tidak
gramatikal karena strukturnya tidak lengkap.
Agar gramatikal, bentuk kedua kata tersebut
harus dilengkapi, yaitu dengan menambahkan
imbuhan ber- sehingga menjadi berkumpul
dan berjumpa, seperti yang tampak pada
perbaikannya berikut ini.
a) Para peserta upacara sudah berkumpul
di lapangan.
b) Sampai berjumpa lagi pada kesempatan
yang lain.
3) Penggunaan Idiom
Idiom adalah dua buah kata atau lebih
yang maknanya tidak dapat dijabarkan dari
makna unsur-unsur pembentuknya. Misalnya,
banting tulang seperti yang terdapat pada
kalimat di bawah ini.
a) Orang tua itu sampai membanting tulang
untuk membiayai kedua anaknya.
168 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
Makna gabungan kata membanting
tulang pada kalimat tersebut adalah
‘bekerja keras’. Makna itu tidak
dapat dijabarkan dari unsur-unsur
pembentuknya, baik dari unsur
membanting maupun unsur tulang. Oleh
karena itu, ungkapan tersebut disebut
idiom. Beberapa idiom yang lain dapat
dilihat di bawah ini.
kambing hitam ‘pihak yang dipersalahkan’
naik daun ‘kariernya sedang menanjak’
kembang desa ‘gadis tercantik’
mata keranjang ‘lelaki yang suka
menggoda wanita’
biang keladi ‘orang yang menjadi sumber
masalah’
Di dalam pemilihan kata, idiom
tersebut dapat digunakan sesuai dengan
konteks pemakaiannya. Terkait dengan itu,
tulisan akademis biasanya sangat jarang
menggunakan idiom-idiom semacam itu.
Sebaliknya, dalam seni sastra idiom-idiom
semacam itu cukup banyak digunakan
untuk memperindah ungkapan.
4) Penggunaan Ungkapan Idiomatis
Secara harfiah, istilah idiomatis bermakna
‘bersifat seperti idiom’. Sehubungan dengan
itu, yang dimaksud dengan ungkapan
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 169
idiomatis adalah dua buah kata atau lebih
yang sudah menjadi satu kesatuan dalam
mengungkapkan makna. Oleh karena itu,
ungkapan tersebut harus digunakan secara
utuh, dalam arti tidak boleh dihilangkan salah
satunya.
Beberapa ungkapan idiomatis dalam
bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.
sesuai dengan
sehubungan dengan
berkaitan dengan
bergantung pada
tergantung pada
terdiri atas
Terkait dengan hal tersebut, kata kedua
dari ungkapan idiomatis tersebut, yaitu
dengan, atas, dan pada, sering dihilangkan
oleh pemakai bahasa karena dianggap
tidak mendukung makna. Dalam arti, tanpa
kata kedua itu pun maknanya dianggap
sudah jelas. Meskipun tidak mendukung
makna, kata kedua dari ungkapan itu tidak
seharusnya dihilangkan karena keduanya
sudah merupakan satu kesatuan.
5) Penggunaan Majas
Majas adalah kiasan atau cara melu-
kiskan sesuatu dengan menyamakan atau
membandingkan dengan sesuatu yang lain.
170 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
Jenis majas yang lazim digunakan dalam pe-
makaian bahasa adalah sebagai berikut.
a) Perbandingan (personifikasi, metafora,
asosiasi)
b) Pertentangan (litotes, hiperbola)
c) Sindiran (ironi, sinisme, sarkasme)
d) Penegasan (pleonasme, aliterasi)
Beberapa majas tersebut dapat dipilih
dan digunakan sesuai dengan konteks
pemakaiannya yang tepat.
6) Penggunaan Kata yang Lazim
Faktor kebahasaan lain yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan kata
adalah kelaziman kata-kata yang harus dipilih.
Dalam hal ini, yang dimaksud kata yang lazim
adalah kata yang sudah biasa digunakan
dalam komunikasi, baik lisan maupun tulis.
Kata yang lazim juga berarti kata yang sudah
dikenal atau diketahui secara umum. Dengan
demikian, penggunaan kata yang lazim
dapat mempermudah pemahaman pembaca
terhadap informasi yang disampaikan.
Sebaliknya, penggunaan kata yang tidak/
kurang/belum lazim dapat mengganggu
kejelasan informasi yang disampaikan karena
pembaca atau pendengar belum memahami
benar maknanya. Oleh karena itu, penggunaan
kata yang tidak/belum lazim hendaknya
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 171
dihindari. Atau, jika kata itu akan digunakan,
penggunaannya harus disertai keterangan
penjelas. Jika perlu, keterangan penjelas itu
dapat dicantumkan pada catatan kaki agar
penjelasannya dapat lebih leluasa.
Sebagai contoh, kata besar dalam bahasa
Indonesia bersinonim dengan kata raya,
agung, dan akbar. Sungguhpun demikian,
kelaziman pemakaian kata-kata itu berbeda-
beda. Dalam ungkapan jalan raya misalnya,
kata jalan selain lazim digunakan bersama
kata raya, lazim pula digunakan bersama
kata besar. Namun, kata agung dan akbar
tidak lazim digunakan secara bersama-sama
dengan kata jalan. Dengan demikian, kalau
diringkaskan, kelaziman itu tampak seperti
berikut.
jaksa agung
*akbar
*besar
*raya
guru besar
*agung
*akbar
*raya
b. Faktor Nonkebahasaan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
kriteria keserasian dalam pemilihan kata berkaitan
172 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
pula dengan faktor di luar masalah bahasa. Faktor
nonkebahasaan yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan kata agar serasi, antara lain, adalah
sebagai berikut. (1) Situasi pembicaraan, (2)
Mitra bicara/lawan bicara, (3) Sarana bicara, (4)
Kelayakan geografis dan (5) Kelayakan temporal.
1) Situasi Komunikasi
Situasi komunikasi atau situasi
pembicaraan dalam hal ini menyangkut
situasi resmi dan situasi yang tidak resmi.
Dalam situasi pembicaraan yang resmi bahasa
yang digunakan harus dapat mencerminkan
sifat keresmian itu, yakni bahasa yang baku.
Kebakuan yang dimaksudkan itu harus
meliputi seluruh aspek kebahasaan yang
digunakan, baik bentuk kata, pilihan kata,
ejaan, maupun susunan kalimatnya.
Kata Baku Kata Tidak Baku
metode methode, metoda
teknik tehnik, technik
sistem sistim
persen prosen
persentase prosentase
kuitansi kwitansi
kualitas kwalitas
risiko resiko
Kata-kata yang termasuk dalam daftar
baku di atas itulah yang harus dipilih dalam
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 173
pemakaian bahasa yang resmi. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa kata-kata
yang tergolong tidak baku hendaknya dihindari
pemakaiannya dalam situasi komunikasi yang
resmi. Selain itu, dalam situasi pemakaian
bahasa yang resmi, hendaknya penggunaan
kata-kata kiasan, prokem, dan slang juga
dihindari.
2) Mitra bicara/ lawan bicara
Berkenaan dengan faktor nonkebahasaan
yang berupa mitra bicara atau lawan bicara,
hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi: (a)
siapa mitra bicara, (b) bagaimana kedudukan/
status sosial, dan (c) seberapa dekat hubungan
pembicara dan mitra bicara (akrab atau tidak
akrab).
3) Sarana bicara
Faktor nonkebahasaan lain yang juga perlu
diperhatikan adalah sarananya berbahasa,
yakni lisan atau tulis. Bahasa yang digunakan
secara lisan juga memiliki perbedaan dengan
bahasa yang digunakan secara tertulis. Dalam
bahasa lisan informasi yang disampaikan
dapat diperjelas dengan penggunaan
intonasi, gerakan anggota tubuh, atau jeda
dalam pembicaraan. Hal-hal yang dapat
memperjelas informasi dalam bahasa lisan itu
tidak terdapat pada bahasa tulis. Oleh karena
itu, unsur-unsur kebahasaan yang digunakan
174 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
pada ragam tulis dituntut lebih lengkap agar
dapat mendukung kejelasan informasi. Selain
itu, penggunaan tanda bacanya pun harus
lengkap. Jika unsur-unsur kebahasaan itu
tidak lengkap, ada kemungkinan informasi
yang disampaikan pun tidak dapat dipahami
secara tepat.
Beberapa faktor nonkebahasaan yang
telah disebutkan di atas, sebagai bagian
dari tradisi yang melingkupi kehidupan
masyarakat, mau tidak mau, berpengaruh
pula dalam pemakaian bahasa karena bahasa
pada dasarnya juga merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
faktor-faktor nonkebahasaan itu, baik yang
menyangkut situasi, mitra bicara, maupun
sarana berbahasa, harus pula dipertimbangkan
dalam pemilihan kata khususnya dan
penggunaan bahasa pada umumnya.
4) Kelayakan geografis
Dalam kaitannya dengan pemilihan
kata, yang dimaksud kelayakan geografis
adalah kesesuaian antara kata-kata yang
dipilih untuk digunakan dan kelaziman
penggunaan kata-kata tertentu pada suatu
daerah. Dengan demikian, ketika akan
menggunakan suatu kata, pemakai bahasa
harus mempertimbangkan apakah kata-kata
yang akan digunakan itu layak digunakan di
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 175
daerah itu atau tidak. Hal itu karena di suatu
daerah biasanya ada kata-kata tertentu
yang dianggap tabu untuk digunakan dalam
komunikasi umum.
Di wilayah Kalimantan, misalnya, kata
butuh mengandung makna tertentu,
yakni alat kelamin laki-laki, sehingga tidak
seharusnya digunakan dalam komunikasi
umum. Oleh karena itu, pemakai bahasa
hendaknya menghindari penggunaan kata
itu. Sebagai penggantinya, kata butuh dapat
diganti dengan kata perlu jika digunakan di
wilayah itu. Di daerah yang lain pun tidak
tertutup kemungkinan adanya kata-kata yang
dianggap tabu seperti itu. Oleh karena itu,
pemakai bahasa diharapkan dapat memahami
kata-kata tertentu yang dianggap tabu.
Hal itu dimaksudkan agar pemakai bahasa
dapat menggunakannya dalam konteks
yang memang sesuai sehingga terhindar dari
penggunaan kata yang tidak pada tempatnya.
5) Kelayakan temporal
Kelayakan temporal yang dimaksud
dalam hal ini adalah kesesuaian antara
kata-kata yang dipilih untuk digunakan dan
zaman penggunaan kata-kata tertentu pada
suatu masa. Dengan demikian, ketika akan
menggunakan suatu kata, pemakai bahasa
harus mempertimbangkan apakah kata-kata
176 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
yang akan digunakan itu layak pada zaman
tertentu atau tidak. Hal itu karena pada masa
tertentu ada sejumlah kata atau istilah yang
lazim digunakan, tetapi kata atau istilah itu
tidak lazim pada masa yang lain.
Pada masa orde lama, misalnya, ada kata-
kata tertentu yang lazim digunakan pada masa
itu. Kata gestapu, misalnya, juga kata ganyang,
berdikari, dan antek lazim digunakan pada
masa orde lama. Adapun pada masa orde baru
kita mengenal kata seperti kelompencapir,
anjangsana, dan ABRI masuk desa.
Pada awal abad ke-20 kita juga mengenal
ada kata syahdan, hulubalang, alkisah, hikayat,
dan sebagainya. Kata-kata seperti itu tentu
tidak relevan lagi jika digunakan pada masa
sekarang. Dengan kata lain, kata-kata seperti
itu hanya layak digunakan pada zamannya,
dan tidak layak digunakan pada masa
sekarang. Kelayakan temporal seperti itu juga
perlu dipertimbangkan dalam memilih kata.
C. Pilihan Kata yang Tidak Tepat
Sehubungan dengan pemilihan kata, berikut ini akan
diberikan beberapa contoh pilihan kata dan pemakaiannya
yang kurang/tidak tepat beserta alternatif perbaikannya.
1. Pemakaian Kata Ganti Saya, Kita, dan Kami
Kata ganti atau pronomina saya, kita, dan kami
sering digunakan secara tidak tepat. Dikatakan tidak
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 177
tepat karena ketiga kata ganti itu pemakaiannya sering
dikacaukan. Di satu pihak, kata kita sering digunakan
sebagai pengganti saya dan, di pihak lain, kata saya
pun tidak jarang digantikan dengan kata kami.
Pengacauan pemakaian kata kita dan saya
umumnya terjadi dalam ragam lisan, yang terpengaruh
oleh dialek Jakarta atau bahasa daerah tertentu. Dalam
ragam lisan itu kata kita sering digunakan sebagai
pengganti orang pertama tunggal (saya).
Contohnya: Kemarin waktu kita pulang sekolah, dia
sudah ada di sini.
Kata kita sebenarnya merupakan kata ganti orang
pertama jamak, yaitu yang meliputi pembicara dan
lawan bicara, sedangkan kata saya merupakan kata
ganti orang pertama tunggal, yang hanya meliputi
pembicara. Karena perbedaan itu, pemakaian kata kita
sebagai pengganti kata saya tidak dapat dibenarkan,
terutama jika digunakan dalam ragam resmi, baik
lisan maupun tulis. Jika yang dimaksud kita adalah
pembicara atau saya, seharusnya kalimat itu diubah
menjadi seperti berikut.
Kemarin waktu saya pulang sekolah, dia sudah ada
di sini.
Jika dipandang dari segi penggunaan kata
gantinya, kalimat perbaikan itu sudah benar. Namun,
tingkat kebakuannya masih relatif rendah karena
bentukan kata waktu dan ada belum lengkap. Jika
digunakan dalam ragam resmi, baik lisan maupun tulis,
178 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
kata waktu dan ada harus dilengkapi, yaitu menjadi
sewaktu (yang berpadanan dengan ketika) dan berada
berada, sehingga kalimat tersebut menjadi seperti
berikut.
Kemarin sewaktu (ketika) saya pulang sekolah, dia
sudah berada di sini.
Berbeda dengan itu, dalam suatu karya tulis atau
dalam surat-menyurat kata saya, yang merupakan
pengganti penulis, sering digantikan dengan kata
kami. Penggantian itu sering dimaksudkan untuk
menghormati pembaca atau untuk merendahkan diri
(penulis). Dalam kaitan itu, penggunaan kata kami
sebagai pengganti penulis pada dasarnya juga tidak
dapat dibenarkan dari segi bahasa, kecuali kalau
penulisnya memang lebih dari satu.
Dalam surat-menyurat, misalnya, kata kami dan
saya memang dapat digunakan, tetapi pemakaiannya
berbeda. Jika penulis surat mewakili kelompok atau
lembaga, pemakaian kata kami memang tepat. Namun,
jika penulis surat hanya mewakili dirinya sendiri, tidak
mewakili siapa pun, penggunaan kata kami tidak tepat
karena kami merupakan kata ganti orang pertama
jamak. Dalam hal itu, jika hanya mewakili dirinya
sendiri, lebih tepat penulis surat menggunakan kata
saya, bukan kami.
2. Pemakaian Kata Kebijakan dan Kebijasanaan
Kata kebijakan dan kebijaksanaan keduanya
merupakan bentukan kata yang benar dan baku.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 179
Namun, penggunaan keduanya berbeda. Kata
kebijakan digunakan untuk menyatakan hal-hal
yang menyangkut masalah politik atau strategi
kepemimpinan dalam pengambilan putusan.
Contohnya:
Berdasarkan kebijakan pemerintah dalam bidang
pariwisata, tahun 2012 dicanangkan sebagai Tahun
Kunjungan Indonesia.
Berbeda dengan itu, penggunaan kata
kebijaksanaan lazimnya berkaitan dengan masalah
kearifan atau kepandaian seseorang dalam
menggunakan akal budinya. Misalnya:
a. Para orang tua diharapkan dapat mendidik anak-
anaknya secara bijaksana.
b. Berkat kebijaksanaan orang tuanya, Yuli akhirnya
diizinkan mengikuti kursus komputer.
Dalam hubungan itu, kata kebijakan berpadanan
dengan kata asing policy, sedangkan kebijaksanaan
berpadanan dengan kata asing wisdom.
3. Pemakaian Kata Mantan dan Bekas
Kata mantan dan bekas sebenarnya memiliki
pengertian yang sama, yaitu tidak berfungsi lagi.
Kedua kata itu merupakan padanan kata asing ex
(Inggris). Namun, kata bekas cenderung mengandung
konotasi yang negatif, terutama jika digunakan untuk
mengacu pada orang. Oleh karena itu, kata mantan
kemudian dipilih sebagai penggantinya. Penggunaan
kata mantan, dengan demikian, untuk menghilangkan
180 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
konotasi yang negatif itu dengan maksud untuk
menghormati orang yang diacu. Karena demikian,
penggunaannya pun berkenaan dengan orang yang
dihormati, yang pernah memangku jabatan dengan
baik, atau yang pernah mempunyai jabatan/profesi
yang luhur. Misalnya:
mantan menteri
mantan gubernur
mantan camat
mantan kepala desa
mantan kepala biro
Adapun kata bekas penggunaannya hanya
dilazimkan untuk menyebut barang-barang yang
sudah tidak terpakai lagi atau orang yang tidak harus
dihormati. Misalnya:
bekas mobil
bekas tempat
rokok bekas
pencuri bekas perampok
4. Pemakaian Kata Jam dan Pukul
Kata jam dan pukul sering pula dikacaukan
pemakaiannya dan tidak jarang dianggap sama.
Padahal, kedua kata itu pada dasarnya mengandung
makna yang berbeda. Kata jam selain menyatakan
makna ‘durasi atau jangka waktu’, juga menyatakan
makna ‘arloji’ atau ‘alat penunjuk waktu’, sedangkan
kata pukul menyatakan ‘waktu atau saat’. Dengan
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 181
demikian, jika yang ingin diungkapkan adalah ‘waktu’,
kata yang harus digunakan adalah pukul. Misalnya:
a. Mereka akan berangkat pada pukul 09.30.
b. Rapat itu akan diselenggarakan pada pukul 10.00.
Sebaliknya, jika yang ingin diungkapkan itu ‘durasi
atau ‘jangka waktu’, kata yang harus digunakan adalah
jam. Misalnya:
Para pekerja di Indonesia rata-rata bekerja selama
delapan jam sehari.
Selain digunakan untuk menyatakan ‘durasi
atau jangka waktu’, kata jam juga digunakan untuk
mengacu pada benda penunjuk waktu atau arloji. Jadi,
jam juga bersinonim dengan arloji.
5. Pemakaian Kata Dari dan Daripada
Kata dari dan daripada pemakaiannya berbeda.
Perbedaan itu disebabkan oleh maknanya yang tidak
sama. Kata dari lazimnya digunakan untuk menyatakan
makna ‘asal’, baik ‘asal tempat’ maupun ‘asal bahan’.
Misalnya:
a. Mereka baru pulang dari Yogyakarta.
b. Meja ini terbuat dari marmer
Pada kalimat (a) kata dari menyatakan makna
‘asal tempat’, sedangkan pada kalimat (b) kata dari
menyatakan makna ‘asal bahan’. Berbeda dengan kata
dari, kata daripada hanya digunakan untuk menyatakan
perbandingan, seperti yang dapat diperhatikan pada
contoh berikut.
182 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
a. Ali lebih pandai daripada Temon.
b. Gunung Himalaya lebih tinggi daripada Gunung
Kelud.
Pada kalimat semacam (c) dan (d) pemakai bahasa
kadang-kadang menggunakan kata dari sebagai
padanan daripada, seperti yang dapat diperhatikan
pada contoh berikut.
a. Kota Jakarta lebih besar dari kota Bandung.
b. New York lebih jauh dari London.
Penggunaan kata dari sebagai pengganti daripada
seperti pada contoh tersebut tentu tidak tepat karena,
baik fungsi maupun maknanya, kedua kata itu berbeda.
Kenyataan lain yang sering dijumpai dalam pemakaian
bahasa adalah bahwa kata daripada cukup sering
digunakan secara tidak tepat. Misalnya:
a. Disiplin kerja merupakan pangkal daripada
produktivitas.
b. Seluruh biaya daripada pembangunan masjid itu
ditanggung oleh masyarakat.
Penggunaan kata daripada pada kedua
kalimat tersebut tidak tepat karena selain kata
itu tidak diperlukan dalam kalimat tersebut, juga
karena kata itu tidak digunakan untuk menyatakan
perbandingan. Kalimat itu akan menjadi tepat jika
tidak menggunakan kata daripada. Perhatikan
perbaikannya berikut ini.
1) Disiplin kerja merupakan pangkal produkti-
vitas.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 183
2) Seluruh biaya pembangunan masjid itu
ditanggung (oleh) masyarakat.
6. Pemakaian Kata Adalah dan Yaitu
Pemakaian kata adalah dan yaitu dalam
penggunaan bahasa Indonesia tidak jarang kata adalah
dan yaitu penggunaannya dipertukarkan. Dalam posisi
kata adalah orang sering menggunakan kata yaitu,
begitu pula sebaliknya. Misalnya:
a. Logam yaitu suatu benda yang dapat memuai jika
dipanaskan.
Penggunaan kata yaitu pada kalimat (a) tidak
tepat karena pada posisi kata itu yang diperlukan
adalah kata yang berfungsi predikatif. Dalam hal
ini, kata yang memiliki fungsi predikatif adalah
ialah atau adalah, bukan yaitu. Contohnya:
1) Logam adalah suatu benda yang dapat
memuai jika dipanaskan.
2) Logam ialah suatu benda yang dapat memuai
jika dipanaskan.
Jika penggunaannya dicermatkan, kata adalah
dan ialah juga berbeda dalam penggunaannya.
Kata adalah digunakan untuk menjelaskan,
sedangkan ialah digunakan untuk mendefinisikan.
Lalu, bagaimana penggunaan kata yaitu? Kata
yaitu berfungsi untuk menerangkan. Oleh karena
itu, penggunaannya yang tepat adalah pada akhir
kalimat yang sudah lengkap dan perlu diberi
keterangan. Contohnya:
184 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
1) Ada dua hal yang menyebabkan kenaikan
harga kebutuhan pokok, yaitu persediaan
yang semakin tipis dan kenaikan harga BBM.
2) Ada dua hal yang menyebabkan kenaikan
harga kebutuhan pokok, yakni persediaan
yang semakin tipis dan kenaikan harga BBM.
Dalam kaitan itu, penggunaan kata yaitu
sama dengan kata yakni. Oleh karena itu, pada
kalimat (1) kata yaitu dapat diganti dengan yakni
(2). Dalam posisi kata yakni dan yaitu, kata
misalnya dan antara lain juga sering digunakan.
Namun, kedua kata itu penggunaannya berbeda
dengan kata yakni dan yaitu. Tempatnya memang
sama, yaitu sesudah sebuah kalimat itu lengkap
dan berfungsi untuk memberi keterangan.
Meskipun demikian, fungsinya berbeda. Kata
yaitu dan yakni digunakan untuk menyebutkan
seluruhnya, sedangkan kata misalnya dan antara
lain digunakan untuk menyebutkan sebagian dari
jumlah yang lebih banyak. Contohnya:
1) Banyak hal yang menyebabkan kenaikan harga
kebutuhan pokok, antara lain persediaan
barang yang semakin tipis dan kenaikan harga
BBM.
2) Ada beberapa hal yang menyebabkan
kenaikan harga kebutuhan pokok, misalnya
persediaan barang yang semakin tipis dan
kenaikan harga BBM.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 185
Dengan memperhatikan beberapa
contoh tersebut, pemakai bahasa diharapkan
dapat memilih kata secara cermat sehingga
dapat mendukung makna yang tepat dan
mengungkapkan informasi secara akurat.
186 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
BAB IX
RUANG LINGKUP KARYA ILMIAH
Rita Kumala Sari, M.Pd.
Universitas Borneo Tarakan
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Karya Ilmiah
Karya ilmiah merupakan karya tulis yang menyajikan
gagasan, deskripsi atau pemecahan masalah secara
sistematis, disajikan secara objektif dan jujur, dengan
menggunakan bahasa baku, serta didukung oleh fakta,
teori, dan atau bukti-bukti empirik. Menurut (Achmad &
Alek, 2016 : 99) Karya ilmiah didefinisikan sebagai karya
tulis yang memaparkan ide atau gagasan, pendapat,
tangapan, Fakta, dan hasil penelitian yang berhubungan
dengan segala kegiatan keilmuan dan menggunakan
ragam bahasa keilmuan.
Suyitno (2012:1-2) karya ilmiah adalah karya tulis
yang disusun atau dikembangkan berdasarkan prosedur
ilmiah. Dalam menulis ilmiah, penulis berada dalam situasi
formal ilmiah. Lingkungan tempat menulis ilmiah adalah
lingkungan masyarakat akademik. Pembaca tulisan ilmiah
adalah ilmuwan. Karena itu, dalam menulis karya ilmiah
penulis harus benar-benar memiliki kecenderungan untuk
bersikap ilmiah. Yang dimaksud dengan kecenderungan
sikap ilmiah antara lain: (a) kecenderungan ingin
mengetahui dan memahami topik yang ditulis secara
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 187
utuh, (b) kecenderungan untuk mempertanyakan dan
menemukan jawaban atas masalah yang ditulisnya, (c)
kecenderungan untuk mencari data dan makna dari masalah
yang dibahas, (d) kecenderungan untuk selalu memenuhi
tuntutan ilmiah yang berkaitan dengan pengujian hipotesis,
(e) kecenderungan untuk selalu berupaya menerapkan
logika secara benar dalam pengembangan karyanya, dan
(f) kecenderungan untuk membiasakan bersikap cermat
dalam memeriksa kembali pokok-pokok pikiran yang
dikembangkan menjadi karya ilmiah.
B. Karakteristik dan Syarat Karya Ilmiah
Menurut (Wardani, 2011: 21) mengemukakan bahwa
ciri-ciri dari sebuah karya ilmiah dapat dikaji minimal
menjadi empat aspek, yaitu struktur sajian, komponen dan
substansi, sikap penulis, serta penggunaan bahasa. Struktur
sajian karya ilmiah sangat ketat, biasanya terdiri dari bagian
awal (pendahuluan), bagian inti (pokok pembahasan), dan
bagian penutup. Bagian awal merupakan pengantar ke
bagian inti, sedangkan inti merupakan sajian gagasan pokok
yang ingin disampaikan yang dapat terdiri dari beberapa
bab atau subtopik. Bagian penutup merupakan simpulan
pokok pembahasan serta rekomendasi penulis tentang
tindak lanjut gagasan tersebut. Komponen karya ilmiah
bervariasi sesuai dengan jenisnya, namun semua karya
ilmiah mengandung pendahuluan, bagian inti, penutup,
dan daftar pustaka. Artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal
mempersyaratkan adanya abstrak. Sikap penulis dalam
karya ilmiah adalah objektif, yang disampaikan dengan
188 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
menggunakan gaya bahasa impersonal, dengan banyak
menggunakan bentuk pasif, tanpa menggunakan kata
ganti orang pertama atau kedua. Bahasa yang digunakan
dalam karya ilmiah adalah bahasa baku yang tercermin
dari pilihan kata/istilah, dan kalimatkalimat yang efektif
dengan struktur yang baku. Secara lengkap, karakteristik
Karya ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Mengacu kepada teori. Artinya karangan ilmiah wajib
memiliki teori yang dijadikan sebagai landasan berpikir
atau kerangka pemikiran atau acuan dalam pembahasan
masalah. Fungsi teori adalah: - Tolak ukur pembahasan
dan penjawaban persoalan - Dijadikan data sekunder
/ data penunjang (data utama; fakta) - Digunakan
untuk menjelaskan, menerangkan, mengekspos
dan mendeskripsikan suatu gejala,Digunakan untuk
mendukung dan memperkuat pendapat penulis.
2. Berdasarkan Fakta. Artinya setiap informasi dalam
kerangka ilmiah selalu apa adanya,sebenarnya dan
konkret.
3. Logis. Artinya setiap keterangna dalam kerangka
ilmiah selalu dapat ditelusuri, diselidiki dan diusut
alasan-alasannya, rasional dan dapat diterima akal.
4. Objektif. Artinya dalam kerangka ilmiah semua
keterangan yang diungkapkan tidak pernah subjektif,
senantiasa faktual dan apa adanya, serta tidak
diintervensi oleh kepentingan baik pribadi maupun
golongan.
5. Sistematis. Baik penulisan/penyajian maupun
pembahasan dalam karangan ilmiah disajikan secara
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 189
rutin, teratur, kronologis, sesuai dengan prosedur dan
sistem yang berlaku, terurut dan tertib.
6. Sahih/valid. Artinya baik bentuk maupun isi karangan
ilmiah sudah sah dan benar menurut aturan ilmiah
yang berlaku.
7. Jelas. Artinya setiap informasi dalam karangan
ilmiah diungkapkan sejernih-jernihnya, gamblang,
dan sejelas-jelasnya sehingga tidak menimbulkan
pertanyaan dan keraguan-raguan dalam benak
pembaca.
8. Seksama. Baik penyajian maupun pembahasan dalam
karangan ilmiah dilakukan secara cermat, teliti, dan
penuh kehati-hatian agar tidak mengandung kesalahan
betapapun kecilnya.
9. Tuntas. Pembahasan dalam karangan ilmiah harus
sampai ke akar-akarnya.Jadi, supaya karangan tuntas,
pokok masalah harus dibatasi tidak boleh terlalu luas.
10. Bahasa Baku. Bahasa dalam kerangka ilmiah harus baku
artinya harus sesuai dengan bahasa yamg dijadikan
tolak ukur/standar bagi betul tidaknya penggunaan
bahasa.
11. Penulisan sesuai dengan aturan standar (nasional/
internasional). Akan tetapi, tata cara penulisan laporan
yang berlaku di lembaga tempat penulis bernaung
tetap harus diperhatikan
190 Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi
C. Macam-Macan Karya Ilmiah
Beberapa jenis karya ilmiah yang paling banyak
diterbitkan oleh manusia adalah sebagai berikut:
1. Makalah
Makalah merupakan karya ilmiah yang menyajikan
sebuah masalah yang penyelesaianya mengandalkan
berbagai macam data yang ada di lapangan. Karya
ilmiah ini bersifat empiris dan juga objektif. Dalam
penyajiannya, makalah biasanya dipresentasikan
dalam sebuah kegiatan seminar.
2. Artikel
Dalam konteks jurnalistik, pengertian karya
ilmiah artikel merupakan karya ilmiah yang memuat
pendapat subjektif pembuatnya mengenai sebuah
peristiwa ataupun masalah tertentu, sedangkan jika
dipandang dari sudut pandang ilmiah, artikel dapat
diartikan sebagaikarya tulis yang sengaja dirancang
untuk dimuat dalam jurnal ataupun kumpulan artikel
yang dibuat dengan memperhatikan kaidah penulisan
ilmiah dan
3. Skripsi
Skripsi merupakan karya ilmiah yang dibuat oleh
mahasiswa untuk bisa mendapatkan gelar sarjana
(S1). Skripsi memuat tulisan berisi pendapat penulis
dengan mengacu ataupun berdasarkan teori yang
telah diterbitkan sebelumnya.
Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi 191