The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Jejak Langkah Rusdi Tagaroa_book

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by bulax9009, 2022-12-22 23:43:10

Jejak Langkah Rusdi

Jejak Langkah Rusdi Tagaroa_book

Keywords: Rusdi

Diterbitkan Oleh

Komunitas
Mahasiswa Mataram di Jakarta

Jejak Langkah
Rudi Tagaroa
Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram

Layout /Ilustrasi Sampul/Disain
Agus Setyo Budi /Agung Bawantara

Editor
Budi Laksono

Diterbitkan Oleh
Komunitas Mahasiswa Mataram di Jakarta

KATA PENGANTAR

Konsistensi Ideologis dan Kontinuasi
Semangat Juang

”A winner is a dreamer who never gives up”
Seorang Pemenang adalah seorang pemimpi yang tidak pernah menyerah

- Nelson Mandela-

Saya kenal Rusdi (Rusdi Tagaroa) pada tahun 1987, ketika Se
kretariat Kerjasama Pelestarian Hutan (SKEPHI), LSM yang saya pimp-
in melaksanakan pelatihan tentang pelestarian hutan di Lombok. Rusdi
dikenal sebagai tokoh aktivis yang saat itu banyak terjun ke LSM sebagai
kancah perjuangan baru di bawah rejim otoriter Suharto. Saya sendiri
adalah mahasiswa yang terlibat dalam Gerakan Mahasiswa 1977/1978
yang juga mengenal aktivis lain yang tinggal di Mataram seperti Jody
Wuryantoro dari Universitas Indonesia.
Tidak kalah mengesankan adalah hubungan saya dengan para ak-
tivis mahasiswa di Mataram, mengingat kebijakan LSM yang saya pimpin
adalah menyelesaikan masalah dari akar masalahnya, yakni mengubah
kebijakan makro/politik yang membutuhkan tekanan gerakan politik.
Itulah mengapa saya bersemangat saat diundang seminar, tahun 1990-
an, yang diadakan Senat Mahasiswa Universitas Mataram (SMUM), seka-
ligus mengenal dedengkotnya seperti Agung Bawantara (Ketua Senat
1991/1992), Mohammad Syafiq Khan (Ketua Senat 1992/1003), Budi Lak-
sono (FE-83), juga Nurdin Ranggabarani yang memimpin Forum Komuni-
kasi Mahasisa Mataram.
Pada tahun 2002, saya kembali lagi ke Lombok mengadakan pela-

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” I

tihan dan mengundang lagi jaringan teman-teman LSM yang sama di
Bappeda NTB. Namun, pada waktu itu, SKEPHI bekerjasama dengan Dit-
jen Pembangunan Daerah (Bangda) Kementerian Dalam Negeri melaku-
kan pelatihan untuk pengelolaan sumber daya air dan irigasi. Saya se-
nang melihat aktivis lama LSM di Lombok tetap survive karena sudah
ada yang ikut terlibat dalam kegiatan Bappeda sebagai konsultan dan
pendamping masyarakat tani.
Setelah itu, saya beberapa kali berkunjung ke Lombok untuk me-
mantau dan mengevaluasi program irigasi dan sumber daya air untuk
pertanian. Dengan diantar teman-teman LSM, saya bisa kontak langsung
dengan para petani yang berkumpul di Perhimpunan Petani Pemakai Air
(P3A). Hubungan batin saya dengan Mataram/Lombok tidak pernah pu-
tus, sebagaimana de-ngan Almarhum Rusdi yang setiap kali kontak dan
berbicara politik, sampai saya tahu ia ternyata sudah tinggal di Banten.
Beberapa bulan lalu, saya masih berhubungan dengan Rusdi untuk
membicarakan pertemuan para aktivis di Lombok dalam mengkonsolida-
si aktivis di daerah yang tidak pernah kendor berperan sebagai kekua-
tan kritis sejak masa penumbangan rejim Suharto sampai rejim Joko
Widodo saat ini. Beberapa pertemuan para aktifis sudah diselenggara-
kan di Yogya dan Bandung. Diharapkan, para aktifis yang berdomisili
di kota-kota lain, seperti Mataram, bisa menyelenggarakan pertemuan
dan dapat berhimpun dalam suatu jaringan (network) di tingkat nasio
nal.
Rusdi juga memiliki pemikiran yang sama, yakni para aktivis ha-
rus segera melakukan rekonsolidasi secara nasional agar tidak terjebak
dalam pragmatisme. Dalam sejarah Indonesia, perjuangan aktivis bu-
kanlah untuk mengejar jabatan, apalagi menjadi jongos dalam dukung
mendukung calon presiden/wakil presiden. Kita semua sudah harus
meninggalkan berpikir praktis, bahwa dengan mengusung Capres/Cawa-
pres akan mendapat imbalan jabatan di pemerintahan.
Setelah Gus Dur, tidak ada Capres/Cawapres yang bisa diajak se-
bagai teman bersama dalam satu gerbong perjuangan melakukan peru-
bahan sistem. Pengalaman para aktivis pada tahun 2014 dan 2019 yang
berharap Capres/Cawapres dapat diusung dalam satu barisan perjuan-
gan untuk melanjutkan reformasi ternyata omong kosong . Setelah men-

II Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

jadi presiden/wakil presiden, mereka ternyata menjadi budak kepen
tingan partai politik, kehilangan hak prerogatifnya, dan bersikap anti
aktivis.
Padahal sejarah membuktikan, bahwa perubahan-perubahan be-
sar bangsa dan negara selalu dipelopori oleh para aktivis atau relawan
yang berkorban demi perubahan. Aktivis adalah sumberdaya politik
suatu bangsa yang melahirkan sumber konstitusi dalam setiap perubah-
an rejim dan sistem yang baru. Aktivis memotori perubahan yang terja-
di sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, 1966, 1974, 1977/1978,
1998, dan munculnya Nawacita dan Joko Widodo.
Tema diskusi semacam itulah yang sering kita perbincangkan ber-
sama Rusdi (almarhum) yang saya lihat tetap semangat. Walau hanya
melalui handphone, Rusdi yang saya kenal memang bukanlah orang
yang memilih menjadi tokoh aktivis yang highprofile yang senang bera-
da di tengah aksi-aksi massa yang garang atau berorasi lantang. Seperti
judul dalam testimoni ini, Rusdi secara ideologis konsisiten dan memili-
ki semangat juang yang kontinyu, tiada henti.
Bercerita tentang Rusdi almarhum, saya jadi teringat pada Nelson
Mandela, pejuang apartheid Afrika Selatan ,yang berjuang sejak menja-
di ang- gota partai Kongres Nasional Afrika (ANC) tahun 1948. Pada 1962
,ia ditahan, diadili, dan dihukum seumur hidup dengan tuduhan melaku-
kan sabotase dan bersekongkol menggulingkan pemerintahan. Setelah
selama 27 tahun berpindah-pindah penjara—sementara dunia internasi-
onal berkampanye untuk pembebasannya, pada tahun 1990 ia lepas dari
penjara dan menjadi Presiden Afrika Selatan tahun 1994-1999.
Nelson Mandela selama berjuang pernah mengatakan, ”A win-
ner is a dreamer who never gives up.” (Seorang Pemenang adalah seo-
rang pemimpi yang tidak pernah menyerah)”. Filosofi perjuangan inilah
yang saya rasakan diamalkan oleh Rusdi almarhum. Untuk menjadi pe-
menang, seseorang harus punya dan setia pada mimpi dan cita-cita per-
juangannya. Mayoritas aktivis yang tetap eksis saat ini, semuanya men-
jalani adagium seperti itu, yakni tidak ada kemenangan yang didapat
jika sudah tidak ada lagi mimpi dan cita-cita perjuangan n (Sukmadji
Indro Tjahyono )

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” III

SEKAPUR SIRIH

Kabar duka itu datang begitu cepat. Tak percaya saja secepat
itu, emski kami tahu kondisi livernya dalam kondisi Kronis. Maka, keti-
ka kabar duka itu tiba, kami pun bergegas melayat, mengantarnya ke
peristirahatan terakhirnya. Rasa duka menelimuti hati kami.
Ditengah perjalanan pulang, tercetus ide membuat buku kena
ngan tentang sepak terjang Rusdi, Rusdi In Memoriam. Ide itu meluncur
saja dengan cepat. Bukan tanpa sebab. Dalam pertemuan dua ming-
gu sebelum kepergiannya, Rusdi tumben-tumbennya menyampaikan
permintaan khusus. Diminta bikin puisi dan dibaca pada acara ulang
tahunnya. Rusdi juga meminta teman-teman untuk menulis. Pastinya ti-
dak menulis tentang dirinya, melainkan tulian apa saja. Bisa jadi untuk
dimuat di media damarbanten.com yang dibidaninya.
Ide kami sebar ke teman-teman aktivis mahasiswa Universitas
mataram seangkatan. Beragam tanggapan. Yang pasti hampir semua
yang kami hubungi dan masukkan di WAG setuju dan bersedia menyum-
bang tulisan. Ada pendapat yang berbeda, pendapat yang tidak setuju.
Kami menghargai yang tidaksetuju dan tidak bersedia menyumbang tu-
lisan.
Karena mengejar target terbit dan launching pada hari ke-40 Rus-
di, kami bergerak ekstra cepat. Penyumbang tulisan diberikan deadline
tanggal 6 September, hanya dua minggu setelah kesepakatan mayori-
tas anggota WG Kawan Rusdi. Dari anggota group kemudian bergulir ide
untuk mengembangkan penyumbang tulisan dari sahabat-sahabat dekat
Rusdi di sejumlah lembaga.
Alhamdulillah.. hingga batas deadline tercatat 35 tulisan, dari

IV Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

60-an yang bersedia menulis, kami terima. Sementara, sekitar 15-an
orang meminta diskresi waktu tambahan karena kesibukan luar biasa
yang tengah dihadapi. Permintaan itu kami akomodir. Hingga tanggal 15
September, total terkumpul 40-an tulisan, dan terakhir, bertambah lagi
menjadi 60-an tulisan dan puisi. Luar biasa.
Tentu saja, selaku penggagas, kami sangat berterima kasih kepa-
da teman-teman yang telah meluangkan waktunya untuk menyumbang
tulisan seputar kesan-kesan dan pandangan tentang sosok Rusdi. Hampir
semua menilai sosok Rusdi yang sederhana, sabar, namun memiliki pe-
mikiran progresif itu sangat layak untu dikenang jasanya, dan dituliskan
perjuangannya agar bisa ditauladani dan menginspirasi pembaca, dan
generasi setelah kami.
Akhir kata, sekali lagi, kami ucapkan terima kasih kepada teman-
teman penulis dan teman-teman donator hingga bisa terbitnya buku ini
tepat waktu. Semoga amal baiknya menapat baasan terbaik dari Allah
SWT.n Salam Editor

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” V

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR ......................................................... I

SEKAPUR SIRIH ............................................................ IV

DAFTAR ISI ................................................................. VI

01 Kenangan Bersama Mas Didik ....................................... 8
02 Rusdi, Paman Che dan Tan Malaka ................................. 18
03 Guru dan Mentor Gerakan Mahasiswa ............................. 23
04 Motivator Gerakan yang Rendah Hati .............................. 25
05 Selamat Jalan El Libertador, Rusdi Tagaroa ....................... 31
06 Aktivis Idealis Bernama Rusdi ....................................... 35
07 Rusdi Tagaroa, Kesadaran Kritis dan Perubahan.................. 38
08 Dia memanggilku Mek ................................................ 42
09 Cerita tentang Sebuah Konsistensi.................................. 46
10 Numpang Tinggal dari Kantor ke Kantor............................ 49
11 Berdiri dalam Posisi Sebagai Bagian dari Gerakan................ 52
12 Pejuang yang Melahirkan Pengusaha............................... 56
13 Sang Penjelajah ....................................................... 60
14 PAMAN “HO” ........................................................... 62
15 Lima Kenangan Penggugah Inspirasi ............................... 70
16 Peletak Dasar Toleransi di Kalimantan ............................ 72
17 Sang Motivator dan Pemersatu ..................................... 74
18 Nasionalisme Rusdi dan Puisi Chairil Anwar ...................... 82
19 Menggugat Aktivis, Mengadili Diri .................................. 86
20 Lanjutkan Perjuangan ................................................ 93
21 Tampang Kriminal, Berhati Peri .................................... 96
22 Skripsi untuk Kritik .................................................. 99
23 Membingkai Gerakan Perlawanan Rakyat ......................... 104
24 Sang Perintis Itu Telah Berpulang .................................. 106
25 Penghormat Kehidupan .............................................. 110
26 Rusdi Suheng Al Bantani ............................................. 114
27 Kejar Ijazahmu, Jangan Tiru Saya ............................... 118
28 Jangan Warnai Pacarku ............................................. 120

VI Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

29 Rusdi Tagaroa dalam Bait Puisi ..................................... 125
30 Mentor Hebat, Manajer Payah .................................. 129
31 Sosok Sederhana Dan Santun .................................... 135
32 Bang Rusdi dan Tuduhan Eksploitasi Perempuan .............. 137
33 Mengingat Perjalananmu, Papa ................................. 142
34 Kisah Aneh Tas Ransel dan Tas Kresek .......................... 145
35 Dendam Rusdi Tagaroa ............................................ 148
36 Ancaman Seorang Rusdi ........................................... 150
37 Yang Patah (Ia Biarkan) Tumbuh ................................. 156
38 Membuka Tabir Nama Tagaroa ................................... 160
39 Tujuh Cerita Penggugah ........................................... 163
40 Mengenangmu, Adik Lelakiku, Rusdi Tagaroa .................. 165
41 Kekasih Kekal ....................................................... 169
42 Surat (Pertama) Untuk Sang Pemimpi .......................... 171
43 Bang Rusdi dan Jalan Pedang .................................... 175
44 Inspirasi yang Tak Pernah Kering ................................ 180
45 For Mas Rusdi, Inspirator Back to Situbondo .................. 187
46 Tokoh Pergerakan Sederhana dan Inspiratif ................... 189
47 In memoriam ...................................................... 191
48 Mengenang Dakwah Ke Universitas Mataram .................. 193
49 Dicintai Orang Kampung .......................................... 201
50 Jejak Tak Terhapuskan ............................................ 205
51 Pribadi Rendah Hati Tanpa Jumawa ............................ 207
52 Rusdi, Catatan dari Duduk Di Sebelahmu ...................... 209
53 Figur Balik Layar yang Mengispirasi ............................. 212
54 Guru Aktivis ......................................................... 215
54 Sayang, Sekarang Aku Harus Ikhlas.............................. 216

PUISI ...................................................................... 221


Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” VII

01

Kenangan Bersama Mas Didik

Pulang Ke Rahmat Allah
Minggu, 20 Agustus 2022, sekitar pukul 15.20, nafas Mas Didik yang di
opname di kamar 373 RS Priemier Bintaro, Tangerang semakin melemah.
Isteri Mas Didik, Mbak Sofie dan putranya Gaga, ‘UU’ (Panggilan akrab kaka-
kku, Mbak Rosa), aku dan Japrak bergantian mengaji dan berdoa di samping
kanan dan kirinya sejak pukul 12.00.WIB.
Perawat dan dokter sudah beberapa kali masuk kamar dan memberikan
bantuan kepada Mas Didik yang tengah dalam kondisi kritis. Ya, terasa
sekali nafasnya mulai melemah. Mbak Sofie minta agar dokter dan perawat
memberikan bantuan yang optimal untuk membantu pernafasan Mas Didik.
Kakinya yang mulai mendingin terus merambat ke atas sampai tangan, dan
nafasnya terus melemah. Sudah beberapa kali peralatan yang ada di RS
terhenti dan diaktifkan kembali. Dokter memperhatikan denyut dan detak
jantung Mas Didik yang juga mulai melemah.
Saya merasa sedih, dan tak bisa berbuat apa-apa, kecuali berdoa, baca
tahlil dan doa apa saja yang saya ingat. Demikian juga orang orang tercinta,
Mbak Sofie, ‘UU’ dan Gaga yang tak pernah berhenti berdoa dan membisik-
kan agar Mas Didik terus berdoa dan membaca kalimat tauhid, tahlil.
Ciuman Terakhir
Saya cium keningnya dan saya juga minta ‘UU’ mencium kening Mas Di-
dik meski nafasnya agak berat. Cukup lama ‘UU’ mencium Mas Didik. Dan
rupanya, iInilah ciuman terakhir kami. Mas Didik akhirnya dipanggil sang
pemilik mati dan hidup. Mas Didik berpulang ke Rahmatullah sekitar pukul
15.30 seusai dokter mengecek jalannya peralatan, memegang tangan, dan
memeriksa semuanya, dan menyatakan Mas Didik telah tiada.
Kami semua yang ada di ruangan itu sedih dan sangat berduka. Mbak

8 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

Sofie yang selalu bersama Mas Didik dan selama ini terus merawat Mas Didik
sangat sedih. Demikian pula Gaga, yang hampir tidak pernah pisah dengan
Mas Didik, nampak sedih sekali.
Kami tak kuasa menghadapi kenyataan ini. Beberapa perawat yang
membantu dokter juga tak bisa berbuat banyak. Dokter dan perawat pe-
lan-pelan mulai mencabut semua peralatan yang ada di tubuh Mas Didik.
Mas Didik menghadap Sang Pencipta dengan senyuman. Salah satu sum-
ber mata air kasih sayang yang selalu menyayangi saya terhenti. Ya, ter-
henti untuk selama-lamanya, kembali menghadap Sang Pemiliknya. Semo-
ga semua kebaikan selama ini diterima sebagai ibadah, semua salah dan
khilafnya diampuni. diterangi dan dilapangkan kuburnya, dihindarkan dari
azab kubur, serta diberikan tempat terindah bersama orang sholeh sampai
di Yaumil akhir dan surga.
Terserang Liver Sirosis
Saya ikut menjaga Mas Didik ketika Sabtu sore, tanggal 12 Agustus 2022
ditelpon ‘UU’. ‘’Rudi, Didik, sakit, aku mau ke Serang besok,’’ katanya le-
wat HP. Kebetulan HP saya pakai speaker dan ada istri saya juga mendengar.
Saya jawab, saya juga berangkat besok. ‘’Sebentar saya cari tiket,’’ jawab
saya.
Akhirnya, saya putuskan Minggu siang berangkat dari BILZAM ke Suraba-
ya. Lalu, dari Surabaya lanjut ke Jakarta naik kereta. Tiba di Jakarta pukul
02.30 dinihari. Saya menunggu Subuh di Pasar Senin, lalu, ba’da Subuh, saya
berangkat ke Serang..
Tiba di Serang Banten, saya langsung ke ruang 3018 RS Sari Asih tempat
Mas Didik diopname. Ketika baru sampai, Mas Didik masih dalam keadaan
istirahat. Dan siang harinya, ‘UU’ juga tiba di RS setelah menempuh per-
jalanan panjang dari Bandara Banyuwangi ke Soetta hingga RS Sari Asih,
Kami memperhatikan, warna kulit Mas DIdik menguning, pertanda men-
gidap sakit liver sirosis. ‘UU’ mencoba mengajak Mas Didik berbicara dan
menyuapi makanan. Alhamdulillah Mas Didik mau. Demikian juga saat kami
semua berkumpul, Mbak Sofie, Gaga, ‘UU’ dan saya; Mas Didik nampak se-
nang dan mulai banyak makan.

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 9

Keesokan harinya, Selasa, Mas Didik mulai membaik dan mulai bicara se-
dikit-sedikit. Hari Rabu juga begitu. Dan yang membahagiakan, kata dokter,
Mas Didik boleh pulang Hari Kamis.
Sepulangnya, di rumah, pada Hari Kamis, Mas Didik terlihat lebih leluasa
bergerak dibandingkan ketika masih berada di rumah sakit.
Keesokan harinya, Jumat pagi, saya bersama Mbak Sofie ke RSCM untuk
mendaftarkan Mas Didik agar bisa dirawat di RSCM Jakarta. Tapi, di RSCM
ternyata waktunya mepet dengan Jumatan dan dapat jadwal Hari Selasa.
Sepulang dari RSCM, Mbak Sofie terus berusaha agar kesehatan Mas Didik
membaik dengan minta pertolongan dokter dan perawat (home care) untuk
memberikan perawatan di rumah, di Pakupatan. Meski sewaktu masih di RS
Sari Asih, Mak Sofie telah meminta perawat yang menjaga Mas Didik untuk
membantu dan mengontrol kesehatan Mas Didik di rumah. Tapi, entah
kenapa, mereka gak jadi datang. Yang datang, dokter yang biasa merawat
Ummi (almarhum ibunda Mbak Sofie). Kami bersyukur, mereka cekatan dan
telaten.
Di tengah perawatan home care itu, Mbak Sofie terus berupaya agar Mas
Didik mendapat pelayanan kesehatan yang maksimal. Akhirnya, Mbak Sofie
mendapat info bahwa RS Priemeir Bintaro, Tangerang bisa menerima Mas
Didik pada sore hari. Dan Alhamdulillah, pilihan Mbak Sofie adalah pilihan
yang sangat tepat dan terbaik karena takut kalau dibawa ke RS biasa hanya
dilayani di IGD dan keleleran karena gak dapat kamar inap.
Mbak Sofie pun mempersiapkan ambulan dan sepakati berangkat hari
Sabtu pukul 15.00 dari Serang, dan diperkirakan tiba di RS Premier sebelum
Maghrib.. Namun, karena di tol ada kecelakaan dan macet sehingga ambu-
lan kami berjalan tidak optimal, apalagi saya meminta sopir ambulan agar
tidak menghidupkan sirine.
Setiba di RS Primeir, Mas Didik harus PCR terlebih dahulu, demikian juga
pendamping yang akan menjaganya. Saya dan Gaga dapat tugas duluan,
menjaga Mas Didik. Sementara Mbak Sofie dan ‘UU’ menggantikan kami
pada keesokan paginya.

10 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

Saya bersama Gaga terus berjaga, mulai dari UGD sampai ruang 373.
Hampir tiap jam, saya memberikan laporan kepada Mbak Sofie. Dan kondi-
si Mas Didik saat itu fluktuatif, kadang-kadang normal, kadang kadang
menurun.
Malam Minggu, hampir semalaman, saya gak tidur dan beberapa kali me-
nemani Mas Didik, ngajak minum atau ngajak baca tahlil dan istighfar.
Sekitar pukul 06.00 Mas Didik dilap dan diganti bajunya. Kemudian diantar
bubur oleh perawat, saya ajak makan dan mau makan serta minum teh
hangat beberapa sendok.
Pukul 07.00, saya ketemu Mbak Sofie dan ‘UU’ di ruang lab untuk PCR,
mau gantian jaga. Setelah PCR, saya diantar ke hotel untuk istirahat.
Sekitar Pukul 11.30, saya ke RS Priemier lagi dan berada di parkiran.
Setelah sholat Dzuhur, saya ijin kepada UU untuk makan siang di depan RS
Priemier. Sementara ‘UU’ juga mau sholat di mushola RS.
Saya pesan soto dan minuman. Ketia sotonya sudah siap dituangi kuah,
tiba-tiba saya menerima telpon dari nomor Mbak Sofie, tapi Gaga yang
bicara ditelepon. Saya diminta segera kembali ke RS karena Mas Didik da-
lam kondisi kritis. Setelah buru-buru membayar semua makan dan minum,
walau belum saya sentuh, saya langsung bergegas kembali ke kamar pe
rawatan Mas Didik.
Saya pun berusaha menelpon dan mencari ‘UU’, tapi tidak ketemu, saya
WA agar ‘UU’ juga segera kembali karena Mas Didik kritis. Akhirnya, ‘UU’
datang juga. Pada masa kritisnya, Mas Didik dijaga oleh orang orang yang
sangat mencintainya: Ada Mbak Sofie yang selalu mencintainya, Ada Gaga,
sang buah hati yang tak pernah lepas dan paling dicintainya. Ada ‘UU’, ka-
kaknya yang selalu siap membela di keluarganya.
Keluarga Sederhana
Saya bersaudara empat orang: Mbak Rosana Hayatie biasa saya panggil
‘UU’, Mas Rusdi biasa saya panggil Mas Didik, saya dan adik saya, Sari. Ke-
hidupan masa kecil saya dari keluarga, biasa dan sederhana.

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 11

Bapak saya guru agama SD Muhammadiyah dan PNS Departemen Agama
tamatan Sekolah Guru Agama. Sedangkan ibu saya, ibu rumah tangga biasa
yang melahirkan dan membesarkan kami di sebuah desa bernama Kilensari,
di kota terakhir pembuatan jalan 1000 Kilometer oleh Dandels, dari Anyer
sampai Panarukan. Ibu saya cantik, peramah, pintar nyanyi, dan pernah
jadi penyiar radio lokal.
Bahasa Madura Halus
Di keluarga, saya berbahasa Madura halus kepada kedua orang tua saya
dan kepada Mas Didik. Tapi berbahasa Madura biasa saja kepada ‘UU’. Ke-
napa? Konon waktu saya masih kecil, ‘UU’ pernah menggendong saya dan
bersama ‘UU’ terjatuh di penai (gerabah) tempat memasak, sehingga saya
tidak berbahasa Madura halus kepada ‘UU’. Meski tidak berbahasa Madura
halus, tapi rasa sayang dan cinta dalam persaudaraan saya sangat dekat.
Demikian juga dengan Mas Didik dan Sari.
Sebagai putra kedua, dulu waktu kecil, Mas Didik dan saya sering main
tinju-tinjuan, apalagi kalau ada pertandingan Muhammad Ali di TV. Sebelum
pertandingan atau esoknya, kami selalu menirukan adegan tinju Muham-
mad Ali dan lain-lain. Kalau saya kena tinju dan menangis, pasti Mas Didik
jadi sasaran kemarahan ibu. Oleh karena itu, saya berpikir, sebaiknya ja-
ngan nangis kalau main tinju-tinjuan. Dan olahraga tinju ini semakin asyik
karena ada sepupu yang ikut tinggal di rumah, putra adik Bapak, namanya
Endel alias Edy Susanto.
Selain tinju, saudara mbah kami, yakni Mbah Masdura, alias Mbah Duk,
juga pelatih pencak silat tradisional Madura. Tapi Mas Didik dan saya kurang
tertarik berlatih secara intensif ilmu bela diri ini. Mbah kami, Mbah Saleh
adalah pedagang tikar dan mbah putri, Mbah Aminah juga pedagang, jagal
sapi.
Muslim yang Taat
Kami berasal dari keluarga muslim yang taat. Bapak, sebagai guru, sejak
muda sudah aktif di Muhammadiyah dengan ikut Pandu HW. Bahkan, bapak
termasuk salah satu perintis yang ikut mendirikan Panti Asuhan Tunas Hara-
pan Panarukan, satu satunya panti asuhan di Situbondo di era tahun 70-an.
Meski Muhammadiyah tulen, Bapak tidak pernah menyuruh anaknya
ikut Muhammadiyah atau NU. Sejak kecil, kami sudah dibiasakan dengan
berpuasa Ramadhan meski dimulai dari setengah hari dulu (Pada waktu ma-

12 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

sih kelas 1 SD) kemudian berlanjut puasa penuh.
Di rumah juga diadakan Sholat tarawih berjamaah. Bapak atau Paman
selalu bertindak sebaga imam. Bila keduanya berhalangan, digantikan oleh
tetangga. Meski di tahun 70-an ekonomi tergolong sulit, tapi setelah tara-
wih selalu disediakan takjil, sehingga jemaahnya selalu ramai. Apalagi
sholatnya memakai tikar pandan dari raas yang harum .
Sore hari, kami semua juga sekolah di Madrasah Muhammadiyah yang
mengajarkan menulis Bahasa Arab, mengaji dan ilmu Agama. Sehingga ilmu
agama dan ilmu pengetahuan umum cukup kami timba.
Juara Pingpong
Mas Didik dan UU, sekolah di SD Muhammadiyah Panarukan, SD yang di-
rintis oleh Bapak dan kawan-kawan. Sementara, saya sekolah di SDN Kilen-
sari 1 Panarukan. Sepulang sekolah, ibu sangat rajin mengajari kami me-
ngulang pelajaran yang ada di sekolah pada siang hari. Sementara, malam
hari setelah mengaji, mengajari pelajaran untuk besoknya. Sehingga kami
bersaudara terkenal dari keluarga yang rajin dan pintar di sekolah. Bahkan
waktu SD, saya dari kelas 1 langsung naik ke kelas 3.
Masa kanak-kanak kami sangat indah. Tempat tinggal dekat dengan pan-
tai dan di rumah juga ada lapangan pingpong yang menjadi arena latihan
grup pingpong Gajah Mada. Mas Didik pernah menjadi juara 2 pingpong ting-
kat kecamatan untuk kategori remaja. Sementara Bulik kami, Harta Eryati
juga sering juara pingpong putri untuk tingkat kecamatan.
Dekat dengan pantai membuat kami suka memancing. Apalagi di bulan
Ramadhan dan hari hari libur. Suatu hari, ketika memancing di dermaga
Panarukan, paha Mas Didik tertancap pancing, sehingga perlu hati-hati
untuk mengeluarkannya. Sejak saat itu, Mas Didik jarang ikut mancing
lagi. Sedangkan saya, karena banyak kawan, tetap sering mancing dan ikut
melaut bersama teman-teman dan saudara, baik itu di pesisir maupun di
Somangkaan.
Tahun 1978, adalah tahun duka bagi kami, Ibu kami tercinta dipanggil
ke Rahmatullah. Sehingga kami semakin akrab bertiga. Mas Didik waktu itu
masih SMP dan ‘UU’ sudah SMA. Ketika SMA, Mas Didik dibelikan sepeda

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 13

motor oleh bapak, Suzuki A9. Kalau sore atau waktu motor nganggur, ser-
ing saya diam-diam belajar naik sepeda motornya, dan sudah tentu saya
dimarahi. Kalau tidak ada motornya Mas Didik, saya juga secara diam-diam
pakai sepeda motornya Bulik, Vespa PTS. Tapi, akibatnya sama saja, dima
rahi karena waktu itu masih kecil, dan belum punya SIM.
Rukun dan Kompak
Kami bersaudara hampir tidak pernah cekcok, apalagi berkelahi, untuk
urusan apapun. Alhamdulillah, semoga ini terus sampai kapan pun. Biasanya
kalau ada urusan dalam keluarga, saya menyerahkan kepada ‘UU’. Demiki-
an juga dengan Mas Didik, juga menyerahkan kepada ‘UU’. Kalau ‘UU’ ber-
kata “A”, maka kami semua ikut ‘UU’ dan mengatakan A.
Bila terjadi persoalan dengan ‘UU’, biasanya Mas Didik yang jadi ju-
birnya. Dan saya selalu ikut apa kata Mas Didik, sehingga tidak ada
konflik dan enak saja.
Demikian juga, bila ada urusan dengan keluarga yang lain, biasanya ‘UU’
saja yang kami mintai tolong, mulai dari acara pernikahan, kematian, ke-
lahiran, ulang tahun atau apa saja. Kalau ada yang mau disumbang, ‘UU
‘yang menyumbang atas nama kami semua. Jadi bersaudara gak pernah gak
kompak.
Di Masjid Hatiku Terkait
Semasa SMA, Mas Didik dan kawan-kawannya ikut aktif di Remaja Masjid
al Jihad Situbondo. Mereka punya seragam kaos lengan panjang, bertu-
liskan Remaja Masjid Al Jihad Situbondo dan Di Masjid Hatiku Terkait.
Setamat SMA, Mas Didik pernah ikut UMPTN di Surabaya tapi gagal, mau
masuk STAN tapi juga gagal. Dan juga pernah sakit yang lumayan lama.
Berkat rajin terapi mandi air laut, Mas Didik sembuh dan segar kembali.
Kemudian, Mas Didik melanjutkan kuliah di FE Unram tahun ajaran 1983.
Tahun 1985, saya disuruh ‘UU’ menemani Mas Didik ikut kuliah di
Unram. Saya ikut mondok di Repuk Bebek, Dasan Agung (baca tulisan
HL Aksar Ansyari, Mas Rusdi Tokoh Gerakan Mahasiswa). Kami mondok
bertiga, Mas Didik, Bang Usman dan saya. Bang Usman Atsigah biasanya
ada di pondok dari Hari Senin sampai Hari Jumat saja. Hari Sabtu dan
Minggu biasa pulang ke Rempung.

14 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

Dangdutan
Selain kuliah, sore hari, kami biasa main volley bersama Andek, dan
malam hari, kalau lagi nganggur, kami juga biasa main musik dangdut
dibawah pimpinan Bang Usman. Bahkan, kami membentuk group dangdut
Rochet yang kebanyakan mahasiswa Unram asal Lotim. Kami sering mang-
gung di acara Maulidan.
Koslintama
Tahun 1986, sudah mulai membentuk kelompok diskusi dan membuat
poster PEMIKIR PEJUANG, dan PEJUANG PEMIKIR. Juga Gebrakan Kaum
Tertindas. Masih saat mahasiswa, sekitar tahun 1987, ketika pindah kos
di Kampung Pelita, membentuk grup pecinta alam, KOSLINTAMA. Bersama
Sugeng dan Andek mengadakan susur pantai dari Ampenan sampai Labuhan
Carik, Bayan, dengan berjalan sekitar 4 hari 3 malam. Setelah sampai Labu-
han Carik, mereka dijemput ramai-ramai dengan meriah. Tapi setelah itu,
saya mulai diserang Malaria.
Juga pernah camping di Sendang Gile bersama beberapa orang, terma-
suk Ida, putri Rektor Unram saat itu, Bpk Qazuini. Ida ikut bergabung kare-
na akrab dengan Rita, dan mahasiswa FH,. Sugeng, aktivis Pecinta Alam
yang selalu mengomandoi kami di Koslintama.
Koslintama ini merupakan cikal bakal dan inspirasi lahirnya KOSLATA atau
Kelompok Studi Lingkungan dan Pariwisata.
HIMPESS
Selain membentuk Koslintama, Mas Didik dan kawan-kawan juga mem-
bentuk HIMPESS yakni Himpunan Mahasiswa Pecinta Studi Sosial. Beberapa
kali mengadakan diskusi, seminar, workshop dan kemah sosial, baik itu di
Gili Meno, Gili Air dan tempat-tempat lainnya.
Mas Didik juga aktif membangun Pers Kampus, Koran Kampus Mahasiswa
MEDIA Unram. Kegiatan HIMPESS juga beberapa kali melibatkan teman-
teman Media Unram. Dan aktivis LSM
Sebagai aktivis kampus, Mas Didik juga bersinggungan dengan aktivis
LSM, mulai dari Djody Wuryantoro, Ali B Dachlan, Catur Kukuh, Hakimuddin,
Ardie Ibrahim, Dane Rahil, Tarjono dan Suhardi dari LP3ES.

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 15

Pengembangan masyarakat melalui LSM dulu dikenal dengan Comunity
Development, (CD), bergerak membantu perekonomian masyarakat. Mas
Didik bersama mas Tjatur membantu masyarakat di Poto, Kecamatan Moyo,
Sumbawa. Banyak persinggungan dengan masyarakat Sumbawa disini, dan
sifat altruisme Mas Didik mulai berkembang.
Demikian juga dalam hal pengkaderan, Mas Didik punya kemampuan
untuk membaca talenta dan memberikan kepercayaan kepada kadernya de-
ngan baik tanpa merasa dikader. Hal ini terbukti dari beberapa teman yang
kemudian jadi aktivis karena sering diberikan kesempatan dan kepercayaan
untuk memimpin.
Mas Didik berbulan-bulan di Sumbawa. Bila sedang di Mataram, Mas Dik
selalu menyempatkan bertemu saya dan Budiyono yang kuliah di Matemati-
ka FKIP Unram, dan selalu bercerita tentang pengembangan di Sumbawa
atau bertukar kabar lainnya.
Jaringan Mahasiswa Luar NTB
Ketika di Unram banyak demo dan aksi mahasiswa, Mas Didik sudah se-
ring turun ke masyarakat. Sehingga, demo dan aksi mahasiswa sering dapat
informasinya dari saya atau teman-teman Kerinci, atau teman-teman lain-
nya yang ngumpul di Pajang, dan Panji Tilar Negara 199.
Untuk pelestarian Rinjani, Mas Didik sering berdiskusi dengan Mas Eko
(Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unram). Foto-fotonya tentang Rinjani luar
biasa. Belakangan, Mas Eko memilih berprofesi menjadi kameramen
SCTV di Jakarta.
Yang tak kalah pentingnya, Mas Didik banyak membuka jaringan dengan
mahasiswa luar daerah, seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya,
Malang dan lain-lainnya. Kedekatan inilah yang semakin membuka jaringan
mahasiswa Lombok dengan jaringan mahasiswa se-Indonesia.
Belangguan
Ekslusifnya gerakan mahasiswa membuat aktivis LSM dan mahasiswa
mencari pola baru untuk memecah kebisuan demokrasi di Indonesia. Pseudo
demokrasi yang sering didengar di ruang diskusi dan seminar harus dicarikan

16 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

solusinya dengan membuat gerakan bersama rakyat., terutama rakyat yang
mengalami konflik. Soal ini, Agus Lenon lah yang banyak cara dan akal.
Dia selalu mencoba untuk berkreasi atas pseudo demokrasi ini. Hasilnya,
rakyat Belangguan bersama aktivis berdemonstrasi di DPR RI. Inilah demo
pertama dan terbesar yang mengagetkan semua orang, baik itu politisi, ma-
hasiswa dan aktivis. Bukan hanya pengaduan ke DPR RI, tapi juga ke kantor
PBNU, yang waktu itu dipimpin Gus Dur. Mas Didik bersama Agus Lenon ikut
aktif dalam demo Belangguan ini.
Beberapa tahun setelah demo ini, Bila bercerita tentang mas Didik, Agus
selalu tertawa. Karena, banyak hal lucu sekaligus menegangkan. Mas Didik
sering juga digojlok Agus.
Agus selalu memanggil Rusdi kepada Mas Didik. Saya melihat, dua so-
sok ini soulmate. Meski sering digojlok Agus, Mas Didik tidak pernah marah
atau membalas gojlokan Agus. (Bapaknya Agus, M. Budi Santoso berkarib de-
ngan bapak saya, Moch Anwar. Mereka sama-sama aktif di Muhammadiyah
Panarukan).
Saya pernah sampaikan ke Agus begini, ‘’Gus bapak-bapak kita ini orang-
orang hebat. Meski di sekelilingnya orang NU, tapi bapak kita tetap pendi-
riannya untuk aktif di Muhammadiyah dan membikin Panti Asuhan pertama
di Situbondo.’’
Agus setuju dengan asumsi saya dan menyuruh saya membuat tu-
lisan tentang bapak-bapak yang mendirikan Panti Asuhan Tunas Harapan
Panarukan.
Saya sangat senang Mas Didik banyak terlibat di berbagai gerakan, baik itu
gerakan mahasiswa, gerakan LSM atau pun gerakan kerakyatan. Memang,
Mas Didik jarang mau tampil jadi orator atau pidato di demo-demo. Dia
lebih memilihberaksi nanti setelah demo, dengan melakukan evaluasi dan
mengajak kita berpikir lebih kritis lagi. n Rudi Hidayat, Aktivis Pers di NTB


Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 17

02

Rusdi, Paman Che dan Tan Malaka

Rusdi. Singkat namanya, panjang kiprah pengabdiannya. Di dunia
gerakan mahasiswa, nama Rusdi tak asing di tingkat daerah, khusus-
nya di Mataram, dan nasional. Di tataran, LSM/NGO, nama Rusdi juga
banyak dikenal. Beruntung, saya mengenal dan dekat sosok Rusdi, akrab
kupanggil Mas Boy.
Saya baru mengenal Rusdi ketika menjalani pendidikan di bangku
kuliah Universitas Mataram. Semester-semester awal malah tidak me
ngenalnya sama sekali. Kesamaan hobi beroposisi dengan lembaga kam-
pus telah memperkenalkanku dengan sosok Rusdi. Ketika itu, saya aktif
di sebuah kelompok studi. Sementara, seorang Rusdi aktif di kelompok
studi Himpunan Mahasiswa Peminat Studi Sosial (Himpess). Kadang saya
bersinggungan dalam sejumlah percakapan, dan kegiatan pengabdian
kampus. Yang saya kaget, dia sudah memahami sejumlah kerangka
analisa sosial politik. Padahal, dia satu Fakultas di Universitas Mataram
dengan saya, Fakultas Ekonomi. Bedanya, saya di jurusan Manajemen,
dan dia di jurusan Studi Pembangunan.
Persinggungan semakin lekat, manakala tiba-tiba Rusdi menggeretku
masuk ke pelatihan jurnalistik Kampus Universitas Mataram (Unram).
“Bud, kamu sudah kudaftarin jadi peserta training. Kita mau hidupkan
lagi media kampus yang sudah lama mati,” todongnya ketika itu, dan
kusambut dengan kata singkat, “Ok.”
Pasca training, kami bersama-sama membangun kembali Media kam-
pus Unram. Di situ ada juga penulis-penulis senior, diantaranya, Suryan-
syah (Koresponden majalah Editor,Jakarta), Herman S Pane (Wartawan
LKBN Antara, Biro NTB), dan Heri Suparman; sementara saya sendiri han-
ya pernah mengelola media sekelas majalah dinding, semasih duduk di

18 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

bangku SMP.
Di Koran Kampus MEDIA Unram, Suryansyah selalu menjadi kompor
untuk bersikap kritis, bahkan beroposisi terhadap kampus dan pemer-
intah daerah. ... Karena belum ada koran daerah (Tepatnya ada koran
daerah Suara Nusa, tetapi tidak terbit), Media kampus Unram berani
menempatkan diri sebagai koran daerah, dan meliput masalah-masalah
ketimpangan sosial di luar kampus, sementara di dalam kampus juga
mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus. Alhasil, pendanaan dari kam-
pus jadi seret.
Dimana sosok Rusdi? Nah, kalau bertemu dan ngobrol dengan Rusdi,
dia selalu asyik bicara tentang kemiskinan struktual, hegemoni poli-
tik, dan puncaknya keresahan terhadap kepemimpinan Soeharto yang
otoriter. Pastinya, saya larut dalam alur ‘kompor’-nya.
Dari Media Kampus Unram inilah kemudian lahir gerakan mahasiswa
di Mataram. Pergulatan intens dalam berbagai diskusi di redaksi Media
Unram itu, semakin mengkristalkan pergerakan mahasiswa. Dan hebat-
nya, Rusdi ternyata sudah memiliki jaringan luas di tingkat nasional.
Lalu, kami pun dipertautkan dengan para aktivis pers kampus di Yog-
ja (UGM dan UII) dan Jakarta (Unas). Lalu, dari berbagai pertemuan,
disepakatilah bahwa jaringan media kampus se Indonesia sepakat untuk
menjadi media alternatif untuk mengekspose berita-berita yang ‘tidak
berani’ diterbitkan oleh media mainstream nasional, khususnya beri-
ta-berita tentang demonstrasi mahasiswa dan berita-berita perlawanan
rakyat atas hak-hak tanahnya.
Namun, kami telah bersepakat, gerakan mahasiswa di Mataram ha-
rus diawali dengan pemahaman masalah sosial politik beserta alat be-
dah analisanya. Selanjutnya, gerakan mahasiswa di Mataram banyak
diwarnai dengan diskusi-diskusi buku. Sementara, diskusi-diskusi yang
menyerempet rezim otoriter Orde Baru dibatasi hanya aktivis maha-
siswa yang sudah mencapai titik pemahaman tertentu agar tidak lari
ketakutan.
Dari seminar ke seminar, Rusdi selalu kami andalkan. Alasannya
jelas! Rusdi paling memiliki kapasitas analisa sosial politik. Referensi
bacaan bukunya juga luar biasa. Saya pun tergagap dan kedodoran ke-

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 19

tika harus berupaya mengimbanginya. Setiap kali membaca buku baru,
ketika saya diskusikan dengan Rusdi, eh, dia malah mereferensi buku-
buku lain yang perlu dibaca.
“Wahh.., ketinggalan kereta melulu,” kataku, dalam hati.
Rusdi bagai ‘monster’ seminar. Dosen-dosen juga cukup segan berardu
argumen dengan Rusdi di forum-forum seminar kampus. Tak heran, saya
yang selalu bersamanya, tak kebagian jatah untuk turut ikut rembuk
dalam sejumlah seminar. Kami dilewatkan begitu saja, oleh moderator,
meski sudah berkali-kali mengacungkan tangan. Saya tahu persis, bila
Rusdi diberi kesempatan, dia selalu ‘membantai’ karena pembahasan
pada umumnya hanya berkutat pada tataran teoritis. Rusdi selalu me-
nelaah dan menautkannya dengan realitas sosial yang berkembang di
masyarakat, dengan “pisau” analisa strukturalnya.
Ada yang unik dari berbagai seminar mahasiswa. Rusdi seringkali me-
minta saya, mendampingi sebagai pembicara kedua. Tujuannya satu,
menerjemahkan makna tulisan dan ucapan Rusdi yang seringkali sulit
dipahami oleh aktivis mahasiswa pemula.
“Bul, tugasmu menjelaskan penjelasan saya di seminar. Hanya kamu
yang bisa membahasakan alam pikiran saya dalam bahasa yang seder-
hana dan mudah dipahami aktivis mahasiswa pemula,” begitu katanya,
suatu ketika. (Bul adalah panggilan pendek dari Bulak, Budi Laksono)
Pastinya, saya merasa tersanjung, dan tak ada pilihan lain, selain-
mengiyakannya. Aneh rasanya. Tapi, bahasa lisan dan bahasa tulisan
Rusdi memang bagai bahasa ‘dewa’, agak berat dicerna mahasiswa yang
jauh levelnya dari Rusdi. Selanjutnya, di forum-forum mahasiswa dan
forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), saya pun selalu diberi tugas
untuk memberikan materi kemiskinan struktural dibedah dari sudut te-
ori ketergantungan.
Paman Che
Pergerakan dan pemikiran Rusdi yang revolusif itu, tak sedikit tem-
ana semarkas menyematinya dengan panggilan Paman Che, khususnya
di kalangan Laskar Pajang, sebutan kelompok aktivis pergerakan kontra

20 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

Orba yang berbasis di sebuah sekretariat LSM, di Kelurahan Pajang,
Mataram, NTB. Di situ ada juga dedengkot LSM, sekaligus kompor gera-
kan mahasiswa, Mas Tjatur Kukuh dan (Alm) Cak Paidi.
Paman Che, mengacu pada Che Guefara, seorang tokoh revolusioner
asal Argentina yang berkelana dari satu negara ke negara lain di Ame
rika Selatan, dan berakhir mati dieksekusi tembak pada umur 31 tahun.
Namun, dalam berbagai oborolan, Rusdi lebih sering menyebut tokoh
dan pahlawan nasional, Tan Malaka. Tokoh ‘kiri’ yang juga berakhir
diujung peluru, dalam sebuah eksekusi mati. Ironisnya, Tan dihabisi oleh
bangsanya sendiri gara-gara pilihan ideologinya. Belakangan, ada juga
yang memanggilnya sebagai Paman Ho.
Menyimak pergerakan Rusdi memang ada kemiripan dengan apa yang
dilakukan Tan Malaka. Dia merantau ke Lombok juga tak ada sauda-
ra di sana, sehingga lebih tepatnya disebut berkelana. Pun demikian,
setelah dia aktif di LSM, sembari kuliah, Rusdi juga banyak berkelana
ke daerah lain, yang tentu saja meninggalkan jam kuliahnya, untuk me
nebarkan gagasan, pikiran, dan pengaplikasiannya. Alhasil, sama seperti
saya, keluar dari kampus sampai last minute, batas akhir masa kuliah.
Sudah begitu, dia masih saja bersahaja.
Secara sadar, “Paman Che” meninggalkan skripsinya akibat ‘sengke-
ta’ prinsip dengan dosen pembimbing. Meskipun sudah berganti dosen
pembimbing, Rusdi tetap memilih berkelana dari satu kelompok ke
kelompok lainnya, dan dari satu daerah ke daerah lain. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan bila Rusdi ‘berada’ dimana-mana, utama
nya di organisasi-organisasi pergerakan ‘radikal’ kontra-Orde Baru. Dia
pun hadir di sejumlah lembaga yang bergerak dalam isu-isu, mulai dari
Isu HAM, demokrasi, kemiskinan, dan buruh migran. Pun setelah rezim
Orde Baru tumbang, Rusdi tetap bersuara kritis terhadap siapa pun yang
berkuasa.
Selepas dari dunia kampus, saya lebih banyak berkecimpung di dunia
jurnalistik. Sementara Rusdi aktif di LSM. Kami tetap bersinergi dalam
membangun gerakan mahasiswa. Ketika saya pindah tugas ke Jakarta,
1999, saya bertemu kembali dengan Rusdi, yang jauh lebih awal ma-
suk Jakarta. Kala itu, Mas Boy tengah asyik melakukan pendampingan

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 21

dan advokasi kaum miskin. Dia juga mengembangkan Grameen Bank di
Bekasi, dan saya menjadikannya sebuah tulisan di Suara Pembaruan.
Selain itu, Rusdi juga aktif di Teplok Press, bersama aktivis mahasiswa
dan LSM, Agus Lenon. Penerbitan itu dikenal banyak mencetak buku-
buku sosial dan politik, dan buku-buku berhaluan ‘kiri’. Saya pun keba-
gian beberapa buku terbitannya. Gratis.
Jurnalis Spartan
Kembali intens bertemu Rusdi setelah saya ‘keluar dari Suara Pem-
baruan dan mendirikan majalah Media Pembaruan. Semasih berkantor
di Kalibata, Jakarta Selatan. kami juga bersama-sama menggarap se-
buah buku profil daerah Kabupaten Intan Jaya, Papua. Ya, hampir dua
minggu kami tidur di “negeri di atas awan”; mengingat Intan Jaya be-
rada di wilayah pegunungan., dan selalu diselimuti awan/kabut tebal.
Di malam hari, suhu rata-ratanya mencapai 6 derajat celcius. Dingin
sekali!
Belakangan, Rusdi mengajak mendirikan Media di Banten. Damar
Ban-ten, namanya. Tujuannya bukan untuk bisnis, melainkan sebagai
media literasi bagi anak-anak muda tentang jurnalistik di tengah abad
hoax akhir-akhir ini, dan penumbuhan jurnalis-jurnalis muda yang spar-
tan. Sayangnya, saya tidak bisa terlibat operasional sehari-hari. Saya
hanya bisa membantu capacity bulding SDM dan penyematan nama se-
bagai Pemimpin Redaksi (Pemred) karena adanya ketentuan, Pemred
harus memiliki sertifikat kompetensi “Utama” yang di-indorse Dewan
Pers.Setahun lewat sudah. Tercatat empat angkatan training jurnalis-
tik, dengan dua diantaranya murni diselenggarakan Damar Banten, dan
dua lainnya bekerja sama dengan Kaukus Politik Perempuan Indonesia
(KPPI) Provinsi Banten.
Dua bulan terakhir ini, Rusdi mengaku kesehatannya sedang tidak
baik-baik saja. “Liverku kumat bul, peyakit lama,” ucapnya di ruang
tamu, rumahnya, sekira dua minggu sebelum Rusdi masuk rumah sakit.
Sayangnya, ketika harus masuk rumah sakit, penyakit livernya sudah
masuk kategori akut, dan mengantarnya pulang ke Rahmatullah. Se-
lamat jalan saudaraku, Allhumaghfirlahu Warhamhu Wa’afini Wa’fuan-
hu. Semoga husnul khatimah, amiin. n Budi Laksono, Pekerja Pers di
Jakarta

22 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

03

Guru dan Mentor Gerakan Mahasiswa

Sedih dan duka mendengar kepergian Bang Rusdi Tagaroa.

Saya kenal Almarhum Rusdi bersama Bang Haji Rudi Hidayat, adik
kandung Almarhum, sejak saya masih SMA, tahun 1986, hingga 1990-an.
Kami sama-sama kos di mess Masjid Al Muttaqien, Repok Bebek Banjar,
Dasan Agung, Mataram, NTB. Almarhum saat itu masih berstatus sebagai
mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (Unram), dan Bang H.
Rudi Hidayat, mahasiswa FKIP Unram.
Sebagai anak SMA, saya belum bisa menangkap tema-tema diskusi
dan buku-buku yang sehari-hari menjadi bahasan Almarhum. Saya baru
sedikit mengerti setelah menjadi mahasiswa pada tahun 1988. Lalu,
saya pun kerap diajak Almarhum dan Bang H. Rudi Hidayat ikut ke-
giatan-kegiatan gerakan mahasiswa di Unram meskipun pada awalnya
hanya sebagai pendengar diskusi dan rapat-rapat.
Di luar gerakan mahasiswa, saya ingat betul, Almarhum dan Bang
H. Rudi Hidayat mengajak saya ke Karang Baru, Mataram, menghadiri
peresmian dan pembukaan kantor LSM [(Seingat saya lembaganya ada-
lah Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI)]. Tak terhitung, berapa kali
saya bersama Almarhum pada masa-masa tersebut. Almarhum masa itu
juga akrab dengan kakak saya, H. Lalu Sohimun Faishal, orang yang
dituakan anak-anak, bahkan di Masjid Al Muttaqien, sehingga kerap di-
panggil Ustadz.
Bersama Almarhum dan Bang H. Rudi Hidayat, saya banyak mengenal
para guru dan kawan-kawan aktivis, antara lain: Mas Tjatur Kukuh, Budi
Laksono, Hendar Fahmi Ananda (Alm), Agus Saputra, Nurdin Rangga
barani, Bambang MF Didu Bmeif, Prima W Putra , Moh Syafiq Khan, M

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 23

Saleh, Lalu Pharmanegara, Lalu Martawang dan banyak lagi. Bahkan,
bersama Mas Didu, Lalu Martawang dan banyak lagi aktivis mahasiswa,
saya ikut mendirikan HMP2K (Himpunan Mahasiswa Peduli dan Pengkaji
Kemasyarakatan) UNRAM. Berbagai kegiatan pendidikan kritis, pengor-
ganisasian dan peringatan-peringatan hari pendidikan, hari buruh, dll
kerap mewarnai aktivitas dan gerakan mahasiswa.

Bagi aktivis mahasiswa dan NGO, khususnya di Mataram, Almarhum
Rusdi adalah guru dan mentor dalam segala hal di atas dan apa saja
yang berkaitan dengan berbagai isu, mulai dari pengorganisasian, pen-
didikan, kemanusiaan, lingkungan, anak, jender, dsb. Sehingga, semua
merasa kehilangan atas kepergian Almarhum.

Innalillahi Wainna Ilaihiro Ji’un. Selamat jalan Bang Rusdi Tagaroa.
Semoga semua amal kebaikanmu mendapat ganjaran berlipat pahala,
dan husnul khotimah.n HL Aksar Ansyari, Sekretaris PWNU NTB




24 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

04

Motivator Gerakan yang Rendah Hati

Siang itu, sekira pertengahan tahun 1988, di pelataran kampus kami
bersua. Di antara pokok-pokok cemara berdaun rindang, kami bercakap
sambil berdiri. Rusdi Tagaroa mengenakan kemeja lengan pendek berwar-
na coklat muda dan celana kain berwarna lebih gelap. Saya sendiri men-
genakan pakaian serba hitam, warna favorit saya saat itu. Kepadanya saya
sampaikan informasi tentang keluhan para aktivis kampus mengenai sikap
seorang aktivis yang menghadiri sebuah forum gerakan di satu daerah di
luar NTB mengatasnamakan salah satu organisasi mahasiswa di kampus, pa-
dahal ia tak tercatat sebagai anggota organisasi itu. Bagi sebagian aktivis
kampus saat itu, pengakuan tersebut adalah isu besar. Mereka pun berniat
mengadili si aktivis tadi dengan tuduhan melakukan klaim untuk mendapa-
tkan popularitas bagi dirinya sendiri di “blantika” pergerakan nasional.
Rusdi tersenyum mendengar informasi saya. Lalu, katanya, “Sampaikan
kepada teman-teman, jangan besar-besarkan caranya. Lihat saja niat ba
iknya di balik itu. Betapa pun ketika seseorang mau hadir di forum aktivis
tentu dia punya kemauan untuk membuat perubahan.”
Setelah dengan seksama menyedot rokok dan menghembuskan ke udara,
Rusdi kemudian menambahkan, klaim hanya akan bekerja pada sosok dan
pikiran yang kuat. Tanpa itu, klaim akan rontok dengan sendirinya.
“Jadi, tak perlu sibuk untuk itu,” tegasnya.
Setenang itulah Rusdi menanggapi hampir setiap masalahl. Dan, darinya
nyaris tak pernah terlontar topik tentang pribadi orang per orang. Semua
pembicaraannya, ringan atau berat, selalu berkait isu yang menyangkut
nasib orang banyak.
Saya lupa kapan dan di mana pertama kali berkenalan dengan Rusdi.
Saya yang berbeda angkatan dan fakultas di Universitas Mataram, NTB,

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 25

begitu saja akrab dengannya. Kami sering sua dan berbincang seputar ak-
tivisme, terutama gerakan penyadaran melalui pendidikan luar sekolah dan
jurnalisme. Saat itu, cengkraman Rezim Orde Baru, di bawah Jenderal Soe-
harto, tengah kuat-kuatnya. Isu-isu politik aktual tabu dibicarakan di dalam
kampus, kecuali di ruang perkuliahan. Itu pun lebih bersifat text book.
Entah kenapa Rusdi mengajak saya membicarakan topik-topik itu setiap
kami bersua. Ia pun kerap memberi saya buku berkait aktivisme, khususnya
yang membangkitkan kesadaran untuk bergerak menjadikan bumi sebagai
rumah bersama yang nyaman dan adil.
Sekali, Rusdi pernah bercerita dengan sangat menarik tentang Ahmad
Wahib, seorang pemikir dan pembaharu Islam. Rusdi menceritakannya
pada saya jauh sebelum Wahib dikenal luas sebagai pembaharu, terutama
setelah catatan hariannya diangkat menjadi buku Pergolakan Pemikiran Is-
lam oleh Djohan Effendi dan Ismet Natsir pada 2004.
Waktu itu, Rusdi menerangkan soal sikap Wahib mengenai tokoh-tokoh
PNI, PKI, PSI, atau Katholik yang tidak buruk pikiran teman-temannya di
kalangan Muslim. Kata Rusdi, berteman akrab dengan para pemikir lintas
golongan dan keyakinan membuatnya menemukan, bahwa mereka semua
memiliki kesamaan dalam banyak hal, khususnya mengenai ide-ide pema-
juan bangsa.
Setelah percakapan, di mana saya lebih banyak berada pada posisi murid
itu, Rusdi meminjami saya sebuah buku yang hingga kini belum saya kem-
balikan: “Karsa Menegakkan Jiwa Agama dalam Dunia Ilmiah” karya Hidajat
Nataatmadja.
Kesabaran Revolusioner
Pada pertemuan-pertemuan lain, dengan gayanya yang kalem itu, Rusdi
selalu mengulik semangat saya untuk membuat gerakan penyadaran bagi
masyarakat untuk bangkit melawan rezim Orde Baru yang otoriter. Ketika
saya mulai membara, Rusdi mengenalkan saya dengan tokoh-tokoh Lemba-
ga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kritis di NTB seperti Tjatur Kukuh dan
(belakangan) Djodi Wuryantoro. Ia juga memperkenalkan dan membuka
jaringan para aktivis di Pulau Jawa. Dari Rusdi, saya mengenal M. Thoriq ak-
tivis pers mahasiswa UGM yang kemudian mengantar saya pada perkenalan
dengan aktivis Yogya lainnya seperti M. Yamin, Atha Mahmud, Ifdhal Kasim,

26 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

Yuli Ambodo, Webby Warouw, Afnan Malay, Broto Seno, dan lainnya.
Rusdi juga yang mengenalkan saya dengan ativis kelompok studi Taufiq
Rahzen dan aktivis gerakan kesadaran perempuan seperti Tati Krisnawati
dan Damai Ria Pakpahan. Juga Agus Edi Santoso, Amir Husein Daulay, Tri
Agus Siswomiharjo, Zein Rolas, dan Nuku Solaeman. (Beberapa dari na-
ma-nama di atas kini telah berpulang).
Dari persahabatan dengan Rusdi dan perkenalan dengan tokoh-tokoh
tersebut, sikap kritis dalam diri saya pun makin menguat. Saya mulai
melakukan gerakan penyadaran kecil-kecilan di fakultas. Satu di antara-
nya dengan merancang sedemikian rupa penyelenggaraan Opspek agar pe-
san-pesan penyadaran masuk ke dalamnya.
Rusdi selalu tersenyum senang setiap kali saya menceritakan hal-hal
baru yang saya lakukan berkait gerakan. Sebaliknya, Rusdi selalu menghibur
ketika saya down dan frustasi melakoni gerakan yang seolah tak memiliki
masa depan sama sekali.
“Sabar. Tenang. Tak boleh grusa-grusu,” ujarnya sembari menerangkan
bahwa bahkan seorang tokoh revolusioner macam Che Guevara pun ter-
us-menerus menjaga kesabarannya untuk melakukan sesuatu di saat yang
tepat.
“Itulah kesabaran revolusioner!,” imbuhnya.
Begitulah Rusdi, seorang sahabat yang saya rasakan sebagai kakak sekaligus
guru dalam memahami hakekat hidup dan perjuangan untuk memaknainya.
Menggairahkan Gerakan
Suatu hari, saya lupa hari dan tangalnya, bersama Tjatur Kukuh, Rudi
Hidayat, Budi Laksono, Sulistiono, dan teman-teman aktivis lain Rusdi me
ngusulkan saya untuk memimpin aksi demonstrasi menolak penggusuran
rakyat dari lahan yang mereka garap di Senggigi oleh investor yang hendak
membuat resor di lahan tersebut. Itulah aksi unjuk rasa pertama di NTB di
era Orde Baru.
Sebagai koordinator lapangan, saya sama sekali buta mengenai teori
gerakan massa. Ketidaktahuan itu membuat saya memimpin unjuk rasa

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 27

yang massanya digalang oleh Rudi Hidayat di lokasi penggusuran yang sepi
tanpa konsep publikasi atau penyeberan informasi sama sekali. Maka aksi
tersebut pun lindap nyaris tanpa gaung sama sekali. Beruntung ada satu
wartawan Jawa Pos, Suprianto Khafid, membuat laporan kecil mengenai
itu.
Dalam evaluasi pasca aksi, barulah saya menyadari, bahwa aksi unjuk
rasa dilakukan untuk menarik perhatian pemegang kebijakan. Karena itu,
aksi harus dirancang sedemikian rupa agar memiliki news value sehingga
menarik perhatian media.
Setelah peristiwa itu, saya pun terdorong untuk mempelajari teori-te-
ori gerakan massa melalui berbagai buku. Bersamaan dengan itu, gerakan
penyadaran dan pembangkitan sikap kritis terus menerus dilakukan oleh
para aktivis LSM di mana Rusdi termasuk di dalamnya. Pelatihan-pelatihan
diselenggarakan dengan menghadirkan tokoh-tokoh aktivis seperti Yayak
Yatmaka, S. Indro Tjahjono, dan banyak lagi.
Selanjutnya, atas dorongan Rusdi, saya melakukan perjalanan ke Pulau
Jawa mengunjungi para aktivis di Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Ja-
karta untuk memperkuat jaringan. Saya pun beberapa kali menghadiri aksi
mahasiswa di kota-kota itu. Di Bandung, bersama aktivis Priambudi yang
sempat datang menjadi mentor dari pelatihan kami di NTB, saya menghadiri
persidangan M. Fadjroel Rahman dan lima mahasiswa ITB lainnya yang dia-
dili karena menggerakkan aksi demonstrasi menolak kedatangan Mendagri
Rudini ke kampus ITB.
Di Jakarta, atas rekomendasi Rusdi, saya mendatangi tokoh-tokoh se-
perti Adi Sasono, Amir Husein Daulay, Kartjono, HJC Princen, Mulyana W.
Kusumah dan Mochtar Lubis.
Sejauh itu, Rusdi dengan gayanya yang khas terus menggairahkan gera-
kan mahasiswa di NTB. Di kampus Unram kemudian muncul tokoh-tokoh
baru dari angkatan di bawah saya. Mereka anak-anak muda yang berani
dan progresif. Rusdi bersama Rudi Hidayat, Budi Laksono, dan Cukup Wi-
bowo “menggarap” mereka hingga daya kritis mereka terus menajam. Pun-
cak nya, meletuslah “Gerakan Anti Pembodohan” yang melibatkan hampir
lima ribu mahasiswa di Kampus Unram. Koordinator lapangan aksi tersebut
adalah mahasiswa heroik bernama Hendar Fahmi Ananda. Sayang, Hendar

28 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

tak berusia panjang. Ia berpulang beberapa bulan setelah aksi itu dalam
kecelakaan lalulintas setelah ia memacu kencang motornya karena dikejar
oleh seseorang yang tidak dikenal.
Pada saat aksi itu meletus, saya menjabat sebagai Ketua Presidium Senat
Mahasiswa Universitas Mataram yang memperjuangkan aspirasi mahasiswa
dari jalur organisasi. Mungkin itulah salah satu era terbaik gerakan maha-
siswa di Unram, di mana aktivis organisasi dan aktivis gerakan massa ber-
gandengan tangan membangun kesadaran kritis di kalangan mahasiswa dan
masyarakat luas.
Pada semua proses panjang itu, Rusdi berada di inti pusaran. Sejauh itu,
tak sedikit pun ia menunjukkan gelagat ingin menonjolkan diri.
Pada 1994, saya meninggalkan Mataram dan hijrah ke Jakarta setelah
diterima bekerja sebagai jurnalis di Tabloid Detik--sebuah tabloid poli-
tik yang sangat moncer saat itu--karena dianggap berani menggaungkan
suara-suara publik yang enggan disuarakan oleh kebanyakan media main-
stream. Tabloid ini dibreidel setahun kemudian atas perintah Menteri Pe
nerangan, Harmoko. Pada masa masa itu, saya mulai jarang berkomunikasi
dengan Rusdi. Hanya sesekali via telepon. Sebab, tarif telepon interlokal
pada saat itu relatif mahal.
Dahsyat Bli
Saya sua Rusdi kembali setelah Rusdi hijrah ke Banten sebagai komuter
yang berkiprah di Jakarta. Itu terjadi jauh setalah rezim Orde Baru tum-
bang. Kami berjumpa dalam sebuah pertemuan para alumni Unram yang
mukim dan berkiprah di ibukota untuk menggagas sebuah gerakan bersama.
Lagi-lagi ini atas inisiatif Rusdi, sosok kalem yang oleh teman-teman peng-
gemar cerita-cerita karya Ko Ping Hoo, dijuluki Suheng, kakak tertua.
Tapi gerakan bersama itu tak berlanjut. Dinamika ibukota dan persoa-
lan masing-masing individu yang tinggi dan kompleks membuat kami tak
seleluasa ketika di Mataram untuk menggalang gerakan bersama. Saya pun
semakin jarang bertemu Rusdi.
Suatu hari, setelah sekian tahun tak saling sua, Rusdi mengontak saya via
jaringan Whatsapp. Saat itu saya sudah hijrah lagi dari Jakarta ke Bali. Saat
berkontak, Rusdi mengapreaisasi penyelenggaraan Denpasar Documentary

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 29

Film Festival yang saya inisiasi. Terlebih ketika saya menerangkan padanya,
bahwa pelatihan produksi film dokumenter untuk anak-anak SMP dan SMA
yang saya selenggarakan dalam festival tersebut bertujuan membangun
kesadaran kritis generasi baru melalui proses produksi film.
“Lanjutkan,” ujarnya. Nada bicaranya terdengar riang. Persis seperti moti-
vator di televisi.
Rusdi kemudian menawarkan kerjasama penyelenggaraan pelatihan se-
rupa di komunitas yang ia kelola di Banten. Saya menyanggupinya. Namun
hingga beberapa tahun berlalu, kerjasama tersebut tak kunjung terwujud.
Sampai kemudian Rusdi mendirikan sebuah situs Damabanten.com. Kali
ini, kepadanya saya memberi masukan mengenai beberapa hal untuk me-
maksimalkan situs tersebut.
Sementara itu, keingingan untuk membuat gerakan bersama terus ia
rawat. Berkali-kali ia lontarkan itu sebagai topik diskusi. Maka, ketika saya
mengirim foto diri saya --yang tengah memberi pelajaran Creative Writing
kepada anak-anak sekolah di sebuah Banjar di Denpasar--Rusdi merespons
nya dengan senang.
“Dahsyat Bli,” ujarnya.
Itulah komunikasi terakhir kami sebelum suatu pagi ponsel saya mene-
rima pesan: “Kak Rusdi masuk rumah sakit. Kondisinya rentan. Belum bisa
dikunjungi. Hanya ditunggui oleh satu orang. Mohon doa.”
Pesan itu baru saya ketahui dua jam kemudian. Segera saya panjatkan
doa untuk kesembuhannya. Tapi doa itu tak sedikit pun mengubah keadaan.
Tiga jam setelah berdoa, saya dengar kabar Rusdi telah menghembuskan
nafas terakhirnya. Kabar yang membuat nafas saya terasa sesak. Sungguh
sesak.*** n Agung Bawantara, Pekerja Kreatif, Tinggal di Bali


30 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

05

Selamat Jalan El Libertador,
Rusdi Tagaroa

Bung Rusdi, demikian saya memanggilnya. Nama yang begitu karib di
lingkungan para aktivis gerakan demokrasi dan reformasi, jaringan antar
kota se-Indonesia. Pribadi yang selalu menyapa dengan senyum pada setiap
perjumpaan. Kami mengenalnya, terkadang sebagai sosok misterius, yang
tiba-tiba datang, dan seketika menghilang. Entah dari mana, dan pergi tia-
da khabar kemana. Bagai sang gerilyawan sejati.
Tanpa bermaksud berlebihan, sosok Bung Rusdi Tagaroa bagai minia-
tur Simon Bolivar, pejuang anti-kolonialisme, kelahiran Caracas Venezuela
1783, yang memimpin pembebasan 7 (tujuh) negara di Amerika Selatan
(Kolombia 1810, New Granada 1810, Venezuela 1811, Panama 1821, Ekua-
dor 1822, Peru 1824, dan Bolivia 1925) dari cengkeraman kolonial Spanyol.
Ia dijuluki El Libertador (Sang Pembebas).
Bolivar kemudian didaulat sebagai presiden, untuk memimpin ketujuh
negara yang telah ia bebaskan tersebut, dan membentuk Negara Federasi
Kolombia Raya (Gran Colombia, 1819-1831). Bahkan ia diberi kewenangan
untuk mengubah bentuk negara-negara tersebut menjadi kerajaan, dan di-
rinya didaulat menjadi raja. Namun, Bolivar bukanlah sosok ambisius, ba
ginya sebutan El Libertador jauh lebih mulia dan agung, ketimbang mahko-
ta dan singgasana kerajaan.
Gerak-gerik Rusdi Tagaroa, yang tanpa kenal lelah juga banyak ber-
juang untuk membebaskan dan mencerahkan banyak kelompok masyarakat
akar rumput dan aktivis (mahasiswa, pemuda, perempuan, buruh, petani,
pedalaman, nelayan, pesisir, masyarakat adat, serta aktifis lingkungan dan
perhutanan sosial, dll), menginspirasi lahirnya kelompok studi, kelompok
diskusi, organisasi ekstra mahasiswa, organisasi sosial kemasyarakatan,

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 31

hingga lembaga swadaya masyarakat, namun tak pernah berambisi tampil
untuk memimpin, apalagi mendikte. Kebebasan dan pembebasan manusia
adalah tujuan hidupnya. Tidak ingin menguasai, apalagi dikuasai.
Bung Rusdi bisa tiba-tiba hadir di tengah forum, menyampaikan ga-
gasan-gagasan perubahan dan pembaharuan, dengan aksen Madura yang
khas, tegas dan bernas. Setelah itu, seolah hilang, senyap, bagai pertapa
yang bersemedi di ruang sunyi. Bak elang yang memantau di ketinggian pe-
gunungan, meninggikan kesadaran dan melihat gerak organik masyarakat,
yang hidup dan berkembang disentuh tangan dinginnya.
Tidak banyak aktivis gerakan mahasiswa dan aktivis sosial yang secara
sadar mengambil posisi dan peran sebagaimana yang dilakoni Bung Rusdi
Tagaroa: mengorganisir, menginspirasi, memfasilitasi, membangun kesada-
ran, pencerahan, memberdayakan, menumbuhkan semangat, memban-
gkitkan keberanian, menjalin simpul, merawat jaringan, dan merekatkan
untuk sebuah kolaborasi setara yang saling menguatkan. Perjuangan yang
tak kenal batas, tiada akhir.
Saya terkenang peristiwa 5 Agustus 1989, saat kami menentang keha
diran Menteri Dalam Negeri, Jenderal TNI Rudini, di kampus ITB (Institut
Teknologi Bandung). Menentang kediktatoran dan menyerukan turunnya
Jenderal Besar TNI Soeharto, dan rezim fasis militeristik Orde Baru. Yang
menggiring saya bersama teman-teman mahasiswa lainnya sebagai tahan-
an politik, dibungkam, disiksa dan di penjara. Diadili tanpa rasa keadilan.
Kami divonis menghina pemerintah Orde Baru dengan pasal karet warisan
kolonial, yang juga dipergunakan untuk menjerat Bung Karno kala itu. Kami
kemudian dibuang ke Penjara Pulau Nusakambangan oleh rezim fasis mi-
literistik otoriter Soeharto-Orde Baru.
Penangkapan kami, kala itu, melahirkan aksi solidaritas dari berbagai
elemen mahasiswa se-Indonesia, bahkan dunia. Diantaranya dari kawan-
kawan mahasiswa di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Aksi solidaritas ma-
hasiswa se-Indonesia dan dunia tersebut, terbangun hanya melalui pesan
berantai antar simpul jaringan yang masif dan sistematis, melalui berbagai
saluran komunikasi. Termasuk melalui individu-individu pemberani. Salah
satu diantara penyambung pesan solidaritas tersebut, adalah Bung Rusdi
Tagaroa.

32 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

Perjuangan demokrasi dan reformasi adalah buah dari kesadaran dan
pencerahan, yang melahirkan keberanian tanpa pamrih. Bahwa kese-
taraan, penegakan hukum, keadilan, demokrasi, dan hak azasi manusia,
harus diperjuangkan dan direbut. Bahwa feodalisme politik harus diakh-
iri, dan rezim fasis militeristik, otoritarian, dan anti-demokrasi, harus
digulingkan. Digantikan dengan demokrasi substantif.
Pengorganisasian gerakan rakyat semesta, membangkitkan kesadaran
dan meninggikan pencerahan, adalah prasyarat kebangkitan perlawa-
nan masif dan berkesinambungan. Trisula gerakan perlawanan semesta
tersebut, terbangun melalui tiga arena, yaitu intelektualisme, praksis
dan komunikasi. Berwujud pada terbentuknya kelompok-kelompok stu-
di (di ITB bernama Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan), kelom-
pok aksi mahasiswa dan penerbitan Majalah Mahasiswa ITB “Ganesha”,
ikut membentuk Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menjalin simpul, dan
merawat jaringan antar elemen gerakan se-Indonesia, bahkan dunia.
Hal ini, senafas sejiwa dengan apa yang ditekadkan oleh Bung Rusdi
Tagaroa.
Bahkan kami sangat meyakini, sehebat apapun hentakan yang dilaku-
kan di pusat kekuasaan, tanpa penyambung resonansi di akar-akar rum-
put se- perti Bung Rusdi Tagaroa, gemanya takkan mampu mengger-
akkan akar-akar rumput, dan menggetarkan Indonesia. Dan reformasi
1998, mungkin belum terwujud. Karena rezim fasis militerstik Orde
Baru sudah terbangun 32 tahun, sangat massif dan mapan. Hanya gera-
kan rakyat semesta yang mampu meruntuhkannya pada 21 Mei 1998.
Dalam sebuah kerja jaringan antar elemen gerakan, apa yang dila-
koni oleh Bung Rusdi Tagaroa, memiliki peran dan arti penting serta
strategis. Karena “matang dan mentahnya” sebuah perjuangan, setida-
knya ditentukan oleh mereka yang setia dan sukarela menjadi “penjaga
nyala bara api semangat” antar elemen perjuangan.
Peran Bung Rusdi Tagaroa pun tidak mudah dan serta merta. Karena
untuk dapat menempati posisi tersebut, harus melalui rekam jejak yang
panjang dan teruji waktu. Harus mampu menjadi pelayan yang tulus,
terpercaya, amanah, sabar, telaten, low-profile, rendah hati, sedehana
dan bersedia menjadi pendengar yang bijak. Dalam ungkapan sarkastik,

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 33

posisi ini adalah peran pembawa misi “ke-nabi-an”, yang telah terbebas
dari urusan pribadinya sendiri.
Hari ini, kita kehilangan sosok figur pemersatu antar elemen akar rum-
put. El Libertador, Sang Pembebas, penjaga nyala bara api semangat per-
juangan dan perlawanan itu, telah membebaskan dirinya sendiri. Menjem-
put kebebasan sejati, keharibaan pemilik kesejatian. Namun nyala bara api
semangat harus tetap terjaga, untuk tetap terus menyala dan membara.
Karena perjuangan demokrasi tanpa akhir. Harus terus diperluas dan diper-
dalam tanpa henti. Demokratisasi demokrasi!.
Selamat jalan kawanku Rusdi Tagaroa. Innalillahi wainna ilaihi raji’un.
Datang dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Melangkahlah dengan tenang
menuju kebebasan sejati. Dalam kedamaian, menuju keabadian. Peranmu
sulit tergantikan, jejakmu takkan terhapuskan. Ia akan menjadi memori
indah, yang tersimpan dalam di setiap relung jiwa yang terbebaskan dan
tercerahkan.
Selamat Jalan El Libertador. Doa putih bertabur harum melati dan bu-
nga-bunga mengiringi kepergianmu. Kami rindu pada senyum bersahaja dan
sapa hangatmu. Semoga kami amanah menjaga nyala bara api semangat
yang kau tinggalkan. Amin Yaa Rabbal Alamin.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu, tapi keridlaanmu menerima se-
gala tiba, tak ku tahu setinggi itu atas debu dan duka, Maha Tuan bertahta”
(Puisi Chairil Anwar).
Selamat Jalan kawan, Bung Rusdi Tagaroa.
Sampai jumpa dalam kehidupan lain.
Dari Nur-Sultan (Astana) Kazakhztan, 25 Agustus 2022 n DR.Mochmmad Fa-
jroel Rachman, Juru Bicara Presiden RI (2019-2021), Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Republik Kazakhztan dan Republik
Tajikistan (2021-Sekarang)



34 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

06

Aktivis Idealis Bernama Rusdi

Kabar berpulangnya sobat Rusdi Tagaroa ke Rachmatullah saya terima
dari seorang kawan yang mem-forward kabar lelayu, yang diterimanya, ke
handphone saya. Tentu saja yang terkejut menerimanya, dan spontan me
ngucapkan “innalilahi wa innailaihi rojiun”; selamat beristirahat di surga
sobatku, semoga amal dan ibadah yang sudah kau berikan mendapat tempat
yang selayaknya di sisi Allah SWT. Saya bersaksi, kamu orang yang baik, dan
hidupmu sudah kamu wakafkan untuk membantu yang du’afa dan kebe-
basan.
Memang sudah lama kita tak bersua bertatap-muka, sejak datangnya
wabah global covid-19, yang mengubah pola hidup kita. Kita hanya bersa-
pa melalui whatsApp, facebook, atau whatsApp grup, sekedar meneruskan
gosip atau mengajak ngopi. Yang saya ingat, terakhir kita sering jumpa dan
berdiskusi --kalau tidak salah, saat bersama-sama bekerja untuk penang-
gulangan kemiskinan melalui Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Penguasaanmu yang luas tentang desa-desa miskin di Nusa Tenggara Barat
sungguh membantu dalam menyusun program intervensi yang tepat sasa-
ran. Untuk soal ini, saya banyak belajar darimu. Tulisan memorial ini, selain
sebagai ungkapan terima kasih untukmu, juga untuk mengenang hidupmu
yang sederhana itu.
Pertemuan Rode
Awal perkenalan saya dengan sobat yang santun ini ketika masih sa-
ma-sama sebagai mahasiswa. Rusdi mahasiswa di Mataram; saya mahasiswa
di Jogyakarta. Kampus pada kurun waktu itu, pertengahan tahun 80-an
hingga awal 90-an, diwarnai oleh gemerlapnya ide-ide pembebasan yang
menggerakkan mahasiswa hampir di semua kampus. Mereka tidak hanya
terlibat dalam kelompok-kelompok studi, tetapi juga mulai turun ke jalan
dan melakukan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat yang ter-

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 35

pinggirkan oleh pembangunan, seperti pembangunan waduk Kedung Ombo,
penggusuran petani Cimacan dan Rancamaya, dan proyek-proyek pemba-
ngunan lainnya yang menggusur rakyat kecil. Selain itu, mahasiswa sudah
mulai gerah dengan kontrol politik oleh militer yang sangat ketat membata-
si kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan unjuk rasa secara damai.
Dalam pelataran inilah, mahasiswa, yang terpanggil oleh peran seja
rahnya, membangun jaringan ke hampir semua kampus di Indonesia. Di
mulai dengan hubungan pertemanan, berlanjut dengan mengadakan dis
kusi atau seminar, dan kemudian ditautkan dengan mengadakan aksi soli-
daritas untuk petani yang digusur, lalu diikuti dengan aksi turun ke jalan.
Salah satu simpulnya adalah kelompok studi mahasiswa yang bermarkas
di rumah kontrakan yang berada di Gang Rode Jogyakarta. Rusdi memba-
wa teman-temannya, mahasiswa Universitas Mataram, datang berdiskusi
di sini. Nah, di sinilah saya pertama kali berkenalan dengannya, dan saya
terkesan dengan penampilannya yang apa adanya, dan yang khas darinya,
adalah dia sangat murah dengan senyumnya. Wajahnya senantiasa meman-
carkan aura yang bersahabat. Sejak itu, dia menjadi pembuka jalan bagi
kami berkenalan dengan aktivis-aktivis mahasiswa di Mataram.
Di kotanya sendiri, Mataram, dia dikenal memprakarsai berdirinya Fo-
rum Komunikasi Mahasiswa Mataram (FKMM), organisasi mahasiswa yang
menentang praktek represi rezim Orde Baru Soeharto. Organisasi-organisasi
mahasiswa sejenis ini bermunculan di berbagai kota sebagai alternatif dari
organisasi intra-kampus seperti Dewan Mahasiswa atau Senat Mahasiswa,
maupun ekstra-kampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhim-
punan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),
yang sudah mapan. Apalagi saat itu, organisasi-organisasi ini menjadi bagian
dari korporatisme negara. Tidak mengherankan apabila muncul organisa-
si-organisasi mahasiswa alternatif seperti FKMM tersebut, yang lebih disukai
mahasiswa. Ditingkat nasional muncul Solidaritas Mahasiswa Indonesia un-
tuk Demokrasi (SMID), dan seterusnya.
Konsisten Bersama Kaum Marjinal
Selepas masa mahasiswa, tak disangka, saya bertemu lagi dengannya.
Sungguh di luar dugaan, tidak ada yang berubah dari dirinya; tetap seorang
aktivis yang idealis. Bersama kawan-kawannya di masa pergerakan maha-

36 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

siswa, dia mendirikan organisasi non-pemerintah (NGO) yang bergerak di
bidang pembelaan buruh migran. Seperti diketahui, NTB merupakan daerah
yang banyak mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri, yang kebanyakan
bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh kebun, buruh bangunan,
dan seterusnya. Para pekerja ini berangkat tanpa perlindungan yang mema-
dai, yang memunculkan kasus-kasus yang merupakan pelanggaran terhadap
standar kerja dan hak asasi manusia. Selain itu, dia juga aktif digerakan
pembaruan agraria.
Saya juga memilih bekerja di sektor masyarakat. Saya memilih menjadi
pembela umum untuk hak asasi manusia di sebuah NGO di Jakarta. Makanya
saya bertemu lagi dengan sobat yang humble ini, karena kami sama-sama
terlibat dalam advokasi untuk kelompok masyarakat yang rentan itu. Pem-
belaan terhadap kelompok-kelompok ini, apakah buruh migran, masyarakat
adat, maupun perempuan dan anak, memerlukan kerja secara berjaringan.
Rusdi yang bekerja langsung di lapangan, membuatnya lebih peka dengan
apa yang dirasakan pekerja-pekerja migran tersebut. Ketika Soehato leng-
ser, yang menandai berakhirnya rezim Orde Baru, Rusdi tetap berada di
jalan pengembangan masyarakat ini. Sementara kawan-kawannya banyak
yang berganti haluan, masuk ke dunia politik atau pemerintahan. Rusdi
tetaplah seorang Rusdi yang aktvfis.
Selesai bekerja di Lembaga Studi dan Masyarakat (ELSAM), saya terlibat
di Tim Percepatan Penangulangan Kemiskinan. Di sini, saya bertemu lagi
dengannya, tapi dia tampak berubah penampilannya. Rambutnya dibiarkan
memutih dengan kumis yang tebal, dan selalu mengenakan topi. Saya pun
iseng memanggilnya “paman ho”. Seperti biasa kalau diledek, dia hanya
tertawa lebar. Tetapi di belakang candaan itu, sebetulnya saya kagum de-
ngan pilihannya yang tidak kenal lelah bersama kaum du’afa, mengemansi-
pasi kaum marjinal itu, yang telah dirintisnya sejak mahasiswa.
Selamat jalan kawan Rusdi, kontribusimu bagi demokratisasi dan per-
lindungan untuk pekerja migran tidak akan terlupakan. Kami akan selalu
mengenang apa yang telah kamu berikan. *** n Ifdhal Kasim, Ketua Kom-
nas HAM 2010-2012


Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 37

07

Rusdi Tagaroa,
Kesadaran Kritis dan Perubahan

Mengenang dan menceritakan kembali sosok Rusdi Tagaroa bagi sia-
papun yang pernah bersinggungan dengannya, hampir selalu bermuara
pada ungkapan yang sama, ialah pribadi dengan konsistensi kritis dalam
melihat ragam persoalan. Perspektif yang ia tuju dan tawarkan adalah
perubahan. Oleh alasan itu, sebagaian kawan menyebutnya “anti ke-
mapanan”, namun saya cenderung menyebutnya sebagai “pembaru
perubahan” (a change updater) untuk caranya yang selalu kritis me-
nelaah dan mengkonstruksi sebuah desain pemikiran dalam meman-
dang persoalan yang sedang hangat didiskusikan, untuk topik apa saja.
Bila belakangan ini marak istilah “keluar dari kelaziman” atau out of
the box, rasanya ia sudah lebih dulu mempraktekkannya. Ia selalu me
nyulut pemikiran siapapun lawan bicaranya dengan gagasan dan diksi
nya yang senantiasa berbeda dari kelaziman.
Begitulah yang saya rasakan dengannya dalam rentang panjang se-
lama kurang lebih 35 tahun, sejak pertemuan awal di kampus Uni-
versitas Mataram tahun 1987-an hingga ia harus menyelesaikan tugas
kehidupannya di tahun 2022.
Mengubah Cara Pandang
Kami berbeda kampus saat itu. Saya di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, sementara dirinya di Fakultas Ekonomi. Pada minat yang
bertemu di kegiatan jurnalistik kampus, kami kemudian tak bisa lepas
dari intensitas percakapan tentang banyak hal. Yang mempesona pada
dirinya adalah ia begitu banyak tahu tentang hal-hal baru, tapi juga
terasa langka; bagi rata-rata mahasiswa, tak terkecuali saya. Saat
itu, kegemarannya berbagi buku dan pemikiran itulah yang kemudian
menjadi cirinya yang amat khas dalam mengubah cara pandang kawan-

38 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

kawan mahasiswa dalam memotret persoalan khususnya masalah poli-
tik, ekonomi, dan sosial. Ia tak ubahnya candu yang merasuki pikiran
dan kemudian membentuk keyakinan baru untuk melakukan tindakan
kolektif melalui kesadaran kritis yang amat sistematis.
Ketekunan dan kesabarannya --dalam menguraikan cara bekerja
nya analisa sosial yang menghasilkan kesadaran perlawanan di sebuah
rezim kuat Orde Baru yang amat represif-- harus diakui menjadikan
nya sebagai salah satu sosok penting yang berperan dalam membentuk
gerakan mahasiswa dengan kesadaran kritisnya. Rusdi Tagaroa adalah
salah satu arsitek perubahan di tubuh mahasiswa kala itu, yang mem-
buat mahasiswa Universitas Mataram (Unram) makin memiliki akses
dalam hubungan antaraktivis dengan mahasiswa dari perguruan tinggi
lainnya.
‘Kompor’ Guru
Setelah saya lulus dan kemudian menjadi guru di sebuah Sekolah
Kejuruan pada tahun 1994, hubungan saya masih terus berlanjut. Ke
sadaran kritis dan tanggung jawab seorang Rusdi untuk terus melakukan
perubahan itu menjadi semacam buah dari persenyawaan antara diri-
nya dengan siapa saja, dalam profesi apa saja. Seperti teman-teman
lainnya, saya juga merasakan itu. Saat menjadi guru, kalangan internal
di sekolah saya tak bisa melepaskan “keterlibatan saya” saat para siswa
berani berunjuk rasa memprotes transparansi pengelolaan uang siswa.
Saya dicurigai sebagai dalangnya.
Ketika Reformasi meledak dan membentuk eranya di tahun 1998,
seperti elemen organisasi dan komunitas lainnya, saya dalam posisi guru
juga tak bisa mengelak dari pergolakan zaman. Saya ingat, ketika Rusdi
berujar di tengah diskusi kecil dengan beberapa kawan di kantor Saka,
di Jalan Jember BTN Taman Indah, Mataram kala itu. “Bowo, tugasmu
memimpin perubahan guru. Buat organisasi Paguyuban Guru Mahardhi-
ka Indonesia (PGMI),” ujarnya dengan ringan dan spontan tanpa lupa
tertawa terkekeh, seperti yang menjadi ciri khasnya. Secara jujur, saya
bahkan tak membayangkan harus mengiyakan “perintahnya” dalam po-
sisi saya sebagai Pegawai Negeri Sipil dan mengajak guru lainnya untuk
berani keluar dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), organisasi

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 39

guru yang usianya sama tuanya dengan berdirinya Republik ini.
PGMI adalah cikal bakal untuk banyak hal di Republik ini. Tak hanya
untuk menandai keberanian guru untuk berani keluar dari hegemoni
organisasi tunggal bernama PGRI, tapi juga sudah mulai berkesadaran
dalam berserikat, berhimpun dan membentuk organisasi sesuai kebutu-
hannya. PGMI adalah juga penanda sejarah saat Undang-Undang Guru
lahir setelah itu. Undang-Undang yang membuat guru lebih memiliki
kemartabatan atas pengakuan keprofesionalan dirinya. Sejarah menulis
semua itu. Sebagai pelaku di panggung sejarah, saya harus bertesti-
moni, bahwa sosok Rusdi Tagaroa adalah salah satu sosok penting da-
lam perjalanan sejarah di perubahan kehidupan guru pascareformasi.
Diskusi saya dengannya mungkin tak berbeda dengan saat dirinya harus
berdiskusi dengan teman lainnya. Tak ada yang abadi kecuali perubah-
an. Dan di dalam perubahan itu, sosok Rusdi Tagaroa melintas dalam
pikiran banyak orang.
Keabadian yang Indah
Oleh percakapan dan kesaksian kita pada apa yang sudah, tak bisa
dibantah bahwa kabar kematian akan selalu menghentakkan siapa saja
yang masih hidup. Kematian menjadi semacam pengulangan kisah yang
selalu tampak tiba-tiba, dan terasa mengagetkan. Padahal, kita tahu,
kematian adalah kemutlakan Tuhan untuk menggugah kesadaran kita
yang kerap khilaf, lalai, dan jarang mau belajar pada apa yang menjadi
keharusan.
Sebagaimana kelahiran yang menciptakan harapan agar memiliki ke-
bergunaan bagi sesama, keluarga, bangsa, dan negara. Kematian juga
begitu. Ia tak bisa disebut sebagai telah selesainya sesuatu.
Ia adalah kisah yang terus berlanjut untuk membuat harapan bagi
yang ditinggalkan sang empunya kisah memanjang, oleh sebab kebaikan
dan kemanfaatan bagi banyak orang. Itu sebabnya, kita harus mau bela-
jar tentang arti husnul khotimah pada mereka—para pemilik akhir yang
yang baik, akhir yang menyisakan ingatan akan persenyawaan yang baik
semasa hidup. Mari kita berdoa, semoga Allah mengampuni dosa dan
kesalahan para pemilik kematian yang husnul khotimah. Yang padanya
disediakan tempat terbaik di sisi Allah, yang membuat kematiannya men-

40 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

jadi keabadian yang sangat indah. Insya Allah, Almarhum Rusdi Tagaroa,
sahabat, kakak, suheng dan sekaligus suhu bagi kita semua, beristirahat
dalam keabadiannya yang indah bersama mereka yang ditetapkan Allah
sebagai orang-orang baik dan beramal saleh semasa hidupnya.
Kini, pada kepergiannya di Ahad, 21 Agustus 2022, pukul 15.30 WIB,
di RS Premier Bintaro Tangerang; sudah pada semestinya, kita merawat
dan melanjutkan semua tugas dan impian kebaikannya bagi kemanu-
siaan.
Selamat jalan sahabat, kakak, suheng dan sekaligus suhu, Jejak
pikiran kritismu biar mewujud dalam tindakan nyata kami, hari ini hing-
ga usainya waktu.
Kopajali-Mapak Mataram NTB, Sabtu 27 Agustus 2022 n Cukup Wibowo,
Widyaiswara, Tinggal di Mataram



Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 41

08

Dia memanggilku Mek

Dia memiliki postur tubuh kurus, tinggi kurang lebih 170 cm, rambutnya
lurus sedikit bergelombang dan sebagian sudah beruban. Kalau berbicara
selalu disertai dengan senyum dan intonasi suara ringan sedikit berlogat
madura. Maklum dia berasal dari Situbondo, daerah tapal kuda komunitas
Madura di Jawa Timur. Namun dibalik posturnya yang terkesan ringkih terse-
but, sesungguhnya dia memiliki otak yang cerdas dan pemikiran besar.
Dia kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (Unram), angkatan
tahun 1983. Semasa mahasiswa, sosok yang santun ini sangat fasih mengua-
sai teori ekonomi dari beragam mahzab: Max Weber, Engels, Fisher, Keynes,
juga sangat handal memahami teori ekonomi Karl Marx, seorang filsuf dan
ekonom dari Jerman. Di mana pada era itu, pandangan tentang Karl Marx
sangat diharamkan oleh penguasa. Membicarakan atau diskusi tentang
Marxisme, akan dianggap sebagai musuh negara.
Bukan hanya soal ekonomi, dia juga sangat tertarik dengan pandang
an-pandangan tentang falsafah politik, agama, kebudayaan dan peruba-
han sosial. Pembawaannya sangat bersahaja, mudah akrab dengan siapa
saja, dan ringan kaki untuk mengunjungi kawan-kawannya. Tidak heran jika
dengan profil seperti itu, sosok Rusdi Tagaroa sangat akrab dengan banyak
mahasiswa, khususnya aktivis mahasiswa di seluruh fakultas yang ada di
Unram.
Selama kenal dengan dia, tidak pernah saya dengar dia mengeluh ten-
tang dirinya, dia selalu akan asyik bicara tentang situasi politik, kekuasaan,
gerakan mahasiswa dan bias demokrasi. Kalaupun toh dia mengeluh, ya
karena keprihatinannya terhadap hegemoni negara yang dianggap dominan
dan melahirkan penguasa tiran terhadap rakyatnya.
Dialah yang menjadi inspirasi melahirkan pemikiran kritis para maha-

42 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

siswa untuk berani menyuarakan kebenaran, menggugat ketidakadilan dan
memecah kebekuan kampus yang saat itu dalam cengkeraman kekuasaan
orde baru. Dialah yang menjadi perekat mahasiswa untuk aksi-aksi para
mahasiswa yang sempat membuat Rektor Unram kewalahan saat itu.
Dia sangat getol mengajak aktivis mahasiswa untuk menulis, dan salah
satu majalah kampus yang dia bidani adalah Lecturer, majalah yang diter-
bitkan oleh mahasiswa ekonomi, tetapi juga menampung tulisan mahasiswa
fakultas lain. Saya termasuk yang sering ditagih untuk mengisi tulisan di
Majalah tersebut. Di saat mahasiswa, dia juga rajin terlibat dalam program
pemberdayaan masyarakat di salah satu desa di Poto Kabupaten Sumba-
wa dan melahirkan salah satu LSM yang bernama LOH (Lembaga Olah Hi-
dup) yang eksis sampai sekarang. Salah satu event fenomenal yang pernah
dilakukan adalah menyelenggarakan kemah kebudayaan, ajang diskusi ra-
gam pemikiran kebudayaan yang dilakanakan di Gili Air, Lombok.
Saya memanggilnya Rus, dan dia memanggilku Mek.
“Rus, kelihatanya pikiranmu terus berkelana memikirkan banyak hal,
memikirkan sesuatu yang tidak pernah berujung dengan jelas, apa kamu
yakin apa yang kamu lakukan ini akan membuat perubahan?” Kataku suatu
kali saat ngobrol lepas.
Dia tertawa mendengar sentilan saya tersebut.” Setidaknya untuk pe-
rubahan dalam mindset berpikir teman-teman mahasiswa Mek.” Katanya.
Kuliah saja tanpa diikuti dengan kesadaran kritis, hanya akan melahirkan
generasi cerdas kognitif, tapi belum tentu memiliki kecerdasan empatif.
Artinya memiliki logika pintar, tetapi belum tentu punya empati, belum
tentu punya kepekaan terhadap situasi disekitarnya. Kecerdasan seperti itu
akan mudah digiring untuk kepentingan pragmatis, dan bisa jadi melahirkan
intelektual yang tidak merdeka, yaitu intelektual yang sulit mengatakan
tidak, meskipun dia sebenarnya ingin mengatakan tidak.”
“Terus kapan kamu memikirkan dirimu sendiri Rus?”
“Misalnya apa Mek?”
“Misalnya, selama ini saya tidak pernah melihat kamu punya teman spe-
sial perempuan, memang kamu tidak pernah tertarik pacaran dengan pe
rempuan?” Godaku.

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 43

“Ha ha ha… Hantu Blau kamu Mek.”
Human Katalisator
Pada tahun 2016, saya bertemu dia di Kementerian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Kelihatanya dia sedang kolaborasi de-
ngan salah satu Direktorat, untuk mengerjakan proyek tertentu. Apa yang
saya lihat, profilnya sama ketika masih mahasiswa dulu, tidak ada yang
berubah. Di acara Kementerian tersebut, saya hadir mewakili Universitas
Mataram.
Dalam satu sessi pengarahan oleh seorang Direktur, saya terpukau de-
ngan uraian sang direktur yang piawai memberikan pandangan tentang teori
perubahan sosial dan pemberdayaan masyarakat desa dalam dimensi yang
(menurut pandangan saya) begitu progresif dan inovatif. Karena jarang
sekali saya jumpai ada pemikiran birokrat seperti dia, yang biasanya cen-
derung berpikir praktis, prosedural dan mekanistik.
Ketika masuk sessi istirahat, saya sempat ngobrol sama Rusdi. Rusdi me-
ngatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Direktur tadi, sejatinya adalah
pandangan-pandangan dia. Dia sangat senang karena gagasan-gagasannya
telah diadopsi untuk konsep pembangunan desa di Indonesia. Dalam hati
saya bergumam,” pantas saja, lha arsiteknya si Rusdi.”
Ketika dia hadir menemui seseorang, begitu mudahnya bagi seseorang
tersebut untuk menerimanya sebagai kawan, dan juga menerima pe-
mikiran-pemikarannya, bahkan sekelas pejabat tinggi seperti direktur ke-
menterian tadi. Saya kembali teringat, bagaimana dulu saat mahasiswa,
Rusdi selain rajin diskusi dengan mahasiswa juga sangat dekat dengan be-
berapa pentolan LSM, diantaranya YLKMP, LP3ES, SANTAI dan KOSLATA.
Pikirannya yang bebas, tanpa ada pretensi dan kepentingan pribadi,
gayanya yang lugas, tanpa merasa perlu ada sekat dengan posisi seseorang,
barangkali itulah mengapa sosok dia begitu mudah masuk dan diterima pada
berbagai kelompok dan komunitas.
Dia memiliki human katalisator, bisa dengan mudah mempengaruhi
orang lain, tetapi tidak mengubah eksistensi dirinya. Dia mudah bisa diter-
ima orang, karena dia tidak pernah membuat orang lain merasa tidak nya-

44 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

man dengan kata-katanya, atau terganggu dengan sikapnya. Kapanpun dia
hadir, sikap orang akan selalu sama, menyambut dia dengan senyum. Dan
dia masih tetap ada di hati setiap para sahabatnya.
Saya tidak begitu mengikuti WAG “Kawan Mas Rusdi Tagaroa” dan bahkan
terlambat untuk menyimak isinya. Dan setelah saya lihat di WAG tersebut,
begitu banyaknya postingan diskusi tentang Rusdi. WAG tersebut telah men-
jadi media reuni para sahabatmu. Ah Rusdi yang baik, Rusdi yang bersahaja,
Rusdi yang idealis, kamu selalu hadir menjadi daya ikat para sahabatmu,
bahkan ketika kamu sudah pergi untuk selamanya. Kamu benar-benar hu-
man katalisator. n Markum, Akademisi, Tinggal di Mataram



Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 45

09

Cerita Tentang Sebuah Konsistensi

Tak banyak orang yang bisa bertahan dan konsisten dengan ide yang
diperjuangkannya. Salah satunya adalah Rusdi Tagaroa. Meski mungkin te-
lah lama meninggalkan basis perjuangannya di Lombok, namun setidaknya
sampai akhir hayatnya, saya mengikuti komentar-komentarnya di dua WA
grup yg saya ikuti bersamanya: ProDem ( Pro Demokrasi) yang berisi teman-
teman aktivis senior sejak jaman Orba dan aktivis junior era reformasi
sampai sekarang serta WA grup Madura Lebur ( Madura Menyenangkan) yang
keduanya dibuat oleh Almarhum Agus Lenon.
Saya tidak tahu mengapa Agus mengundang Rusdi ke dalam WA grup itu.
Apakah karena pertemuannya yang panjang dengan Rusdi atau karena Rusdi
juga berdarah Madura seperti saya? Saya tak pernah bertanya tentang
asal-usul ini. Tidak terlalu penting juga bagi sebuah persahabatan yang di-
dasarkan pada sebuah kesamaan ide: menegakkan demokrasi dan hak asasi
manusia, termasuk hak asasi perempuan dan anak. Meski saya berbangga
hati karena orang-orang Madura terlibat juga dalam gerakan sosial. Tidak
seperti digambarkan selama ini: menjadi sumber olok-olok yang membuat
orang tertawa, tapi juga mengakui keluguan dan rasionalitasnya.
Entah kapan waktunya, perkenalan saya dengan Rusdi dimulai keti-
ka saya beraktivitas dalam isu-isu lingkungan hidup, baik lewat Kelompok
10 maupun sebagai Ketua Presidium WALHI. Sejak tahun 80-an, bersama
Kelompok Studi Mahasiswa untuk Lingkungan dan Pariwisata ( Koslata), Rus-
di bersama mahasiswa-mahasiswa Universitas Mataram, dan lain-lain, su-
dah aktif dalam isu-isu lingkungan hidup dan sumber daya alam di Lombok,
yang memang dikenal sebagai destinasi wisata karena alamnya yang indah.
Saya ingat juga, bagaimana dia bersama Koslatanya itu menolak kepemi-
likan tunggal (monopoli) anak-anak Soeharto yang bekerja sama dengan

46 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”

investor asing ( Jepang), ketika itu, di kawasan Pantai Mandalika, Lombok
Tengah. Selain itu, Rusdi juga terlibat advokasi atas konflik struktural lahan
di pulau-pulau terindah di Lombok, seperti Gili Trawangan dan Gili Air.
Dari isu-isu lingkungan ini, lewat Solidaritas Perempuan (SP), dimana
saya adalah salah seorang pendirinya (1990) dan kemudian sebagai Direk-
tur Eksekutif ( 1993-1995).Selama menjadi anggota SP, Rusdi terlibat dalam
mengkonsolidasikan Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi)
dan mendirikan Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia sebagai badan
otonom Solidaritas Perempuan. Sejak saat itu, saya kerap berjumpa deng-
an Rusdi dalam kegiatan-kegiatan SP maupun kegiatan lainnya. Saat 1995,
saya aktif di LBH APIK, Rusdi juga sering kami minta untuk menyumbangkan
pemikirannya tentang masalah-masalah yang terkait dengan advokasi dan
penelitian hak perempuan dan anak.
Yang juga sangat mengesankan saya, Rusdi berhasil menggalang dukung-
an teman-teman aktivis LSM se- Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk Beauty
Erowati, direktur PKBI NTB waktu itu yang sedang menghadapi laporan pi-
dana pemalsuan tandatangan dan gugatan tentang keabsahan perkawinan-
nya dengan Dr. Kartono Muhammad, ketua PKBI Pusat dan juga IDI saat itu.
TAk Cuma itu, Beauty juga menghadapi gugatan pemutusan hubungan kerja
oleh PKBI Pusat di Jakarta. Menghadapi tiga kasus kepolisian dan penga-
dilan dalam waktu bersamaan-- melawan bos besar di organisasi tempatnya
mengabdi-- bagi seorang Beauty Erowati, waktu itu, bukanlah sesuatu yang
mudah mengingat budaya patriarki di LSM sendiri, maupun di kalangan pe-
negak hukum di NTB. Ironisnya pula, banyak LSM dan aktivis perempuan di
Jakarta dan di NTB yang melecehkannya, bahkan saya sendiri memperoleh
serangan hingga membuat saya terkesiap: mengapa saya membela seorang
yang justru melanggar pagar keluarga perempuan lain?
Pada waktu itu, kesadaran bahwa relasi kuasa baik antara perempuan dan
laki-laki, antara atasan dan bawahan ( buruh dan majikan) serta antara
negara dan warga negara, masih sangat tipis. Karena itu, sebagai peng-
acara Beauty Erowati pada waktu itu, surat dukungan kawan-kawan aktivis
NTB yang digalang Rusdi sangat membantu advokasi dan proses pembelaan
kasus-kasus yang dihadapi Beauty Erowati, dimana saya juga harus berha-
dapan dengan pengacara-pengacara yang juga senior saya di LBH Jakarta.
Pada akhirnya, kasus-kasus tersebut, baik karena esensinya untuk tegaknya

Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 47


Click to View FlipBook Version