keadilan bagi perempuan maupun karena dukungan Rusdi dan kawan-kawan
LSM di NTB, dimenangkan seluruhnya oleh Beauty Erowati.
Saya merasa beruntung karena Rusdi juga menikah dengan Encop Sofia,
yang saya kenal dan juga pernah membantu LBH APIK Jakarta yang waktu itu
saya pimpin ( 1995-2002) . Dibawah pimpinan Almarhum DR.Abdurrahman,
mereka bersama Ratna Batara Munti melakukan penelitian putusan-putusan
pengadilan dan penelitian lapangan tentang kondisi sosial ekonomi buruh
migran perempuan. Hasilnya tentu sangat berguna untuk advokasi tentang
hak buruh migran perempuan. Keduanya tampak serasi, baik dari segi ke-
samaan visi kemasyarakatan dan keadilan, termasuk keadilan gender dan
keadilan ekologi.
Beberapa kali saya berkunjung ke rumah mereka di Serang, Banten,
karena kebetulan Encop adalah pendiri LBH APIK Banten. Karier politik En-
cop juga sangat moncer, baik sebagai ketua cabang partai Gerindra maupun
sebagai anggota DPRD. Saya yakin, capaian itu, selain karena kecerdasan
dan hasil kerja kerasnya sendiri, juga tidak terlepas dari dukungan yang
diberikan Rusdi, suaminya, yang tentunya memahami betul tentang pen
tingnya keterwakilan perempuan dalam politik. Saya tahu juga perjuangan
mereka berdua dalam memenangkan cinta dan kesamaan ide mereka yang
menjadi dasar bagi keduanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga,
sekaligus tetap dalam dunia gerakan dan perjuangan untuk keadilan sosial,
gender dan ekologi.
Konsistensi antara satunya kata dan perbuatan itulah yang barangkali
bisa saya gambarkan tentang sosok Almarhum Rusdi dalam kiprahnya sela-
ma ini di dunia gerakan. Sedihnya, konsistensinya dalam mempertahankan
hobiya, merokok, itu pula yang membuat kesehatannya mundur, sakit liver-
nya makin parah, meski saya tak hentinya mengingatkannya agar menjaga
kesehatan.
Selamat jalan Rusdi. Semoga amal baikmu menjadi cahaya bagi jalan-
mu menuju keabadian. Semoga Encop dan putera semata wayangmu,
serta semua keluarga dan teman-teman yang engkau tinggalkan diberi-
kan ketabahan dan keikhlasan, serta menjaga serta menghidupkan ter-
us melanjutkan legacy, demi cita-cita bersama mewujudkan Indonesia
yang berkeadilan sosial, gender dan ekologi. Rusdi telah menunjukkan
konsistensi dalam upa-ya mewujudkannya.
Bukit Tinggi, 22 Oktober 2022 n Nursyahbani Katjasungkanan, Aktifits
Emansipasi Perempuan Indonesia.
48 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
10
Numpang Tinggal
dari Kantor ke Kantor
Rusdi Tagaroa. Nama belakangnya agak nyeleneh. Dia dari Situbondo,
Jawa Timur. Mestinya, nama itu identik dengan nama khas Madura. Walau
demikian, saya tidak pernah bertanya soal nama itu. Aku juga mengenal
baik adik Rusdi, Rudi Hidayat. Namanya lebih Madura ketimbang nama Rusdi
Tagaroa.
Tagaroa rupanya sosok Dewa Laut. Mitologi yang hidup ribuan tahun di
Suku Sangihe Talaud, Minahasa. Bangsa Maori, New Zealand menyebut Tan-
garoa. Sementara, bangsa Samoa, Oceania mengenal dewa laut Tangaloa.
Bisa jadi, Rusdi sangat tertarik besar dengan laut. Bukan hanya tertarik
soal ikan, tapi soal sosial, ekonomi, politik, lingkungan dan budaya kelau-
tan. Mungkin, dari ketertarikan itu, Rusdi pernah hinggap di Yayasan Lem-
baga Kemanusiaan Pedesaan (YLKMP), yang pernah punya galangan kapal.
Aku lebih dulu kenal dengan adiknya Rusdi, Rudi Hidayat. Kenal saat
menjadi aktivis di Universitas Mataram (Unram). Kebetulan, aku satu kam-
pus dengan Rudi di FKIP Unram. Uniknya, yang mengenalkan aku dengan
Rusdi malah bukan Rudi, tapi Sulistiyono. Sulis adalah kakak kelasku di juru-
san Bahasa Inggris FKIP Unram.
Saat mahasiswa, boleh dibilang, aku tidak dekat dengan Rusdi. Bahkan,
aku tidak kenal Rusdi saat demonstrasi mahasiswa Gerakan Anti Pembodo-
han (GAP) di Kampus Universitas Mataram (Unram) tahun 1991. Saat demon-
strasi GAP itu, aku masih jadi anak manis kampus.
Aku baru terlibat di aktivis mahasiswa setelah GAP. Tahun 1991, aku,
Parma Negara, Syafiq, Didit dan beberapa mahasiswa mendirikan UKM Wa-
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 49
hana Mahasiswa Pengabdi Masyarakat di Unram. Sejak itu, aku mulai kenal
banyak mahasiswa, termasuk Rusdi.
Aku mulai banyak mengenal Rusdi pada tahun 1992. Badannya terhitung
kerempeng, bulu janggutnya tidak rapi karena jarang tumbuh. Aku be-
nar-benar bertatapan muka dengan Rusdi saat beberapa aktivis LSM dan ma-
hasiswa berdiskusi semalam suntuk di kantor Yayasan Tunas Alam Indonesia
(Santai) di bilangan Jalan Pajang, Cakranegara. Aku lupa topik diskusinya.
Kebetulan, Rusdi jadi salah satu pembicara.
Pada 1992, aku diajak Sulis, Rujito dan Rusdi mendirikan LSM Koslata.
Belakangan, aku baru tahu. Sebelumnya, Koslata merupakan nama kelom-
pok diskusi di Unram. (Koslata singkatan dari Kelompok Studi Lingkungan
dan Pariwisata. Rusdi menjadi Direktur Yayasan Koslata pertama).
Anehnya, aku tidak sering bertemu Rusdi, Direktur Koslata. Palingan ke-
temu dia saat keluyuran di kos-kosan mahasiswa di Jalan Merapi, di acara
diskusi mahasiswa, dan dipertemuan LSM.
Koslata didirikan tanpa ada kantor. Aku juga tidak punya kamar inde-
kos tetap, alias berpindah-pindah kos. Aku sempat numpang di kos Syafiq
sebelum berlabuh ngekos di kantor LSM Santai di Karang Baru, Mataram.
Di kantor Santai itu, bareng Rusdi, aku sering numpang kos di situ. Gratis,
tentunya.
Mahasiswa tua dan mantan mahasiswa itu sesekali menginap di kantor
Santai itu. Di salah satu kamarnya, ada satu tempat tidur seukuran 2x2 me-
ter. Kamarnya tidak luas. Ruangannya hanya tersisa sepuluhan sentimeter
setelah ‘dipotong’ tempat tidur.
Siang sampai sore penghuni kos pada kabur, digantikan aktivis dan rela-
wan Santai dalam suasana kerja yang sangat ‘cair’. Kami datang lagi pada
malam hari. Di kantor Santai itu, aku kian dekat dan semakin mengenal
Rusdi.
Tahun 1995, Koslata punya kantor, berbagi dengan LSM YKPR. Lokasi
nya di Jalan Bekasi, Perumahan Taman Indah, Mataram. Di depan kantor,
tumbuh pohon jambu yang selalu busuk buahnya. Aku dan Rusdi numpang
50 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
tinggal di kantor Koslata itu kira-kira dua tahun.
Hampir setiap hari, kantor Koslata ramai dikunjungi sejumlah aktivis
mahasiswa. Sesekali mereka menginap di kantor Koslata yang menyediakan
dua kamar tidur. Jika tidak kebagian tempat tidur, mereka tidur semba-
rangan di lantai.
Pendek kata, kami makan dan tidur di kantor Koslata. Aku dan Rusdi
bergantian masak. Kami sering memasak sarapan pagi untuk teman-teman
yang menginap. Suatu hari, Rusdi menggoreng tempe diiris kecil-kecil. Mu-
ngkin agar semua penghuni kantor kebagian tempe. Maklum, kami belum
punya pendapatan tetap saat itu.
Begitulah aku dan Rusdi pindah-pindah tempat tinggal mengikuti perge
rakan pindah kantor Koslata. Terakhir ngekos dengan Rusdi di kantor Ko-
slata, di Jalan Jember III, Taman Baru, Mataram. Aku dan Rusdi berpisah
paa tahun 1998, setelah dia menikah. Sejak itu, aku hanya sesekali ketemu
Rusdi di Jakarta atau saat dia ke Mataram.
Rusdi sosok yang selalu menjaga jarak dengan eksistensi. Dia memilih
berdiri dipinggir kerumunan saat mahasiswa demonstrasi. Aku tidak pernah
melihat dia berorasi di depan massa. Agung Bawantara pernah bilang, Rusdi
itu pemberani, tetapi pemalu.
Bulan April 2022, Rusdi menelpon aku untuk janjian bertemu. Kami ber-
temu di acara Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Caringin, Bogor. Kami
menghabiskan waktu bercerita soal koperasinya yang mulai maju. Sisanya
ngobrol ngalor-ngidul. Ketika itu, tidak ada tanda-tanda dia sakit. Mengeluh
pun, tidak!
Pertemuan itu pertemuan terahirku dengan Rusdi. Jujur saja, aku tidak
kaget saat mendengar kabar Rusdi meninggal dunia. Aku tahu Rusdi sakit
lever sejak 1998. Dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Rusdi
pamitan dengan cara yang lain; Pamitan dengan cara ngobrol, tiada keluh
kesah. Selamat jalan Rusdi, sang Dewa Laut. n Dwi Sudarsono, Pegiat Wa-
hana Lingkungan Hidup
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 51
11
Berdiri dalam Posisi
Sebagai Bagian dari Gerakan
Setiap kita mengenang kepergian kawan yang baru saja meninggal
dunia, kita seperti berdiri menatap jam besar. Di depan jam itu, kita
seperti menghadap pengadilan sang waktu. Kemarin Rusdi Tagaroa, besuk
siapa lagi yang pergi lebih dulu menghadap Sang Khaliq. Menuliskan ke-
nangan pada almarhum Rusdi, saya tidak bisa bersikap santai, tapi tidak
juga serius.
Rentang pergaulan saya bersama Rusdi tergolong panjang. Dari akhir ta-
hun 80-an sampai 2022. Dalam rentang pergaulan yang panjang itu, saya
dan Rusdi tergabaung dalam organasasi PIPHAM, LAPASIP, PRODEM dan INDE-
MO. Walau di INDEMO Rusdi hanya sesekali datang dan ikut Webinar.
Kami dulu hidup dalam “kerajaan” Agus Lenon. Kerajaan Agus Lenon
jauh berbeda dengan kerajaan Ferdy Sambo. Kalau yang terungkap dalam
kerajaan Sambo, terlihat mafia kekuasaan, yang berkiprah dalam perju-
dian dan narkoba. Kerajaan Agus Lenon, konsen dengan hak asasi manusia
(HAM) dan demokrasi. Sambo dengan konsorsium 303, Lenon dengan kon-
sorsium kebenaran, keadilan dan kesetaraan jender. Jejaring Agus Lenon
ini bisa mengakrabkan berbagai mahasiswa dari berbagai daerah tanpa
menurut “kakak asuh”.
Kalau saya mengingat pergaulan saya dengan Rusdi Tagaroa (RT), saya
juga terbayang Syafik, Sirra Prayuna, Didu, Danu, Bulak, Dessy, Rinja-
ni, Yusnida, Tami dan nama-nama yang saya tidak ingat lagi. Di dalam
pergaulan, kawan-kawan Mataram terasa menyenangkan, banyak tawa,
hangat dan tulus. Saya mulai kenal dan bekerja sama dengan RT mulai
tahun 1996.
52 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Pertama-tama, saya berkawan dengan RT ketika lembaga swadaya
masyarakat masih banyak menerima dana dari lembaga dana asing. RT
berkutat digerakan anti kemiskinan. Saya dan RT sering mengadakan
diskusi atau seminar tentang kemiskinan di Indonesia. Pada soal kemi-
skinan, RT menaruh minat yang serius di mata saya. Keseriusan itu juga
masih terus berlanjut, bahkan setelah reformasi. RT sering bekerja sama
dengan Kementrian Desa Tertingggal atau Kementrian Dalam Negeri, un-
tuk memerangi persoalan kemiskinan di Indonesia.
Tentu saja, dalam memetakan gerakan antikemiskinan, RT sering
memimpin proyek, memberikan arahan langkah terhadap apa yang harus
kami lakukan. Terhadap teori-teori kemiskinan pun, RT terkesan konsen.
Ada beberapa buku yang sering kita jadikan bahan diskusi.
Pada waktu itu, di jaman pemerintahan Suharto, diskusi terhadap pi-
lihan buku yang menjadi bahan untuk melihat kemiskinan di Indonesia
tidak sebebas sekarang. Kita kucing-kuncingan dengan aparat dalam me-
nentukan tempat dan temanya.
Dalam jaringan Agus Lenon, RT terkesan tidak agresif. Orangnya
kalem, hambel, dan membimbing. RT adalah pribadi yang karakteristik,
serius tapi santai. Di PIPHAM, RT juga sering jadi pembicara pada ta-
hun-tahun sebelum reformasi. RT banyak terlibat merumuskan gerakan
penegakan HAM. Bersama Alharhum Mulyana W Kusuma, Almarum Amir
Husain Daulay dan Almarhum Agus Lenon, sering terlibat menyusun kuri-
kurum pendidikan HAM untuk mahasiswa yunior.
Di kantor LAPASIP, Rusdi sering diskusi hangat di lembaga yang kon-
sen dengan ranjau darat. Walaupun di Indonesia tidak ada ranjau darat,
tetapi Agus Lenon mendirikannya di Indonesia. Agar kami yang ada da-
lama jaringan Agus punya kegiatan yang bertarap Internasional. Dessy,
Bambang Subono, pernah dikirim ke luar Negeri atas nama LAPASIP.
LAPASIP pernah mengadakan seminar di Pulau Bali, seminar Internasi-
onal. Di acara itu ada kawan Erfan Jayadi, yang banyak berperan, juga RT.
Di LAPASIP itu, persahabatan saya dengan RT terasa dekat. Selain sering
tidur satu rumah di daerah Cawang, juga sering begadang larut malam.
Walaupun kami dekat, tapi tidak terjebak dalam pembicaraan domestik.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 53
Dialog kami tentang politik demokrasi, perlawanan gerakan mahasiswa
dan militansi perlawanan gerakan Islam, sering pula diselingi gerakan
lingkungan hidup. Karena perhatian RT terhadap gerakan lingkungan dan
gender, keluar dari orbit saya pribadi.
Rusdi Tagaroa sering bertanya tentang ketertarikan saya pada te-
ori-teori kiri. Tak urung, idologi kiri sering menjadi menu diskusi saya dan
almarhum. Selain teori kiri dan ideologi kiri, tentu saja gerakan umat Is-
lam dalam menegakkan perlawanan mengusir penjajah. RT mengatakan,
Islam adalah ideologi kiri. Karena Islam membela nasib kaum dhuafa,
memperjuangkan terhapusnya kemiskinan di Indonesia.
Setelah Suharto jatuh dan sistem otoritarian diganti dengan sistem
demokrasi, RT tidak berhenti berjuang. Reformasi berjalan dengan
demokrasi pilihan langsung. Tetapi demokrasi yang ada sekarang belum
memuaskan sebagian orang yang berpikir terhadap demokrasi substansi-
al. Tentu saja perhatiannya tidak fokus terhadap gerakan anti kemiskinan
dan gerakan anti ranjau darat. Konsentrasinya pada demokrasi dan HAM.
Di PRODEM atau INDEMO kami sering ketemu kalau RT sedang di Jakarta.
Ngobrol tentang situasi up to date sosial dan politik. Terasa perkawanan
saya dengan RT, serius memikirkan persoalan system demokrasi substan-
sial.
Demokrasi yang terbajak oleh uang. Demokrasi transaksional,
demokrasi criminal yang selalu menjadi topic pembicaraan kami selalu
menjadi konsennya sampai akhir hayat. Rusdi terus berjuang dalam berb-
agai posisi untuk Indonesia yang lebih baik. Walaupun dalam posisinya
tidak dipusatnya gerakan. Kami berdiri di ferry-ferry.
Setelah RT pulang ke rumah Allah, banyak kawan-kawannya menjadi
saksi bahwa Rusdi orang baik. Doa teriring dalam perjalanannya kembali
keharibaan Allah. RT dan saya, dalam rentang perkawanan social-politik,
ternyata hidup sebagai orang pinggiran. Kami berdiri sebagai subyek yang
berposisi sebagai bagian. Bagian dari gerakan mahasiswa 80-an. Bagian
dari gerakan anti kemiskinan. Bagian dari gerakan menegakkan Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Dan Juga bagian dari gerakan Demokrasi substansi-
al.
54 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Selain doa yang terus terucap dan mengalir untuk almarhum Rusdi
Tagaroa. Juga doa kekuatan untuk isteri, (Encop Sofia) anak dan keluar-
ganya. Semoga semua yang ditinggalkan diberiNya kekuatan mengarungi
hidup yang keras. Saya inign menutup tulisan ini dengan puisi :
Laut biru, aku menjadi bagiannya
Pelawi di cakrawala, aku menjadi bagiannya
Pegunungan, Pohon, dan ranting-ranting aku menjadi bagiannya
Senyum tipismu, tawamu yang tertahan, aku menjadi bagiannya
Debu cinta yang bertebaran, kita menjadi bagiannya.
n Isti Nugroho
Pulo Gadung 3 September 2022.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 55
12
Pejuang yang Melahirkan Pengusaha
Ini bandara atau pangkalan perang?. Tiba-tiba saja terbersit seper-
ti itu. Tidak pernah terbayangkan, pada Juli 1990, saya mendarat di
sebuah pulau berjuluk “Bumi Gora”. Kedatangan ini hanya seperti se-
buah “kewajiban konstitusi” yang harus dijalani atas pilihan “keluarga
besar.” Bismillahirrahmannirrahim. Dimanapun tempat berpijak adalah
milik Allah SWT.
Selanjutnya, rutinitas perkuliahan berjalan sebagaimana mestinya.
Saya termasuk orang yang beruntung, pada semester tiga telah mem-
punyai banyak kawan. Tidak hanya pada satu angkatan, melainkan jauh
melampaui angkatan yang di atas maupun di bawah saya, bahkan lintas
fraksi dan faksi, serta dari berbagai kelompok etnis yang ada di NTB:
Sasak, Sumbawa dan Bima; juga teman teman dari Bali dan Jawa. Wa-
laupun tidak seviral kawan-kawan yang super cerdas, saya viral dengan
nama “Bedel”, kadang dipanggil Tiger. No problemo, bagi saya, hidup
tidak cukup hanya dengan pintar, tapi haruslah pintar-pintar.
Perkenalan dengan Rusdi Tagaroa terjadi pada tahun 1992, tepatnya
di rumah Mas Catur Kukuh di Jl. Catur Warga, sekaligus kesekretariatan
Yayasan Santai. Saat itu, kalau kata anak sekarang, saya masih unyu
unyu bingits. Kalau bahasa sasaknya, Ndekn Tau Lauk daye..
Kesan Pertama
Saya datang ke rumah Mas Tjatur atas ajakan Mas Rudi Hidayat, ma-
hasiswa FKIP Universitas Mataram, yang sebelumnya di kenalkan oleh
Mas Yusuf Sanhors, senior dari Fak. Pertanian, teman satu markas rumah
kontrakan di Sumber Pelita, Dasan Agung, Mataram. Kebetulan, dia te-
men Mas Rudi Hidayat, sama-sama dari Jawa Timur (Situbondo??).
56 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Di rumah kontrakan kami, selain Mas Yusuf, ada Mas Hendar Fahmi
Ananda (Alm), Ucok Andi Bangun (Alm) dan Tigan M Dien Fauzi Azis. di
Sumber Pelita. Saat datang ke Catur warga, saya ketemu dengan Mas
Catur Kukuh, Mbak Upik, Mas Rusdi, dan ada beberapa anak anak. Kalau
gak salah, saya ingat nama salah satunya adalah Menceh (Alam Kun-
dam). Itulah pertemuan pertama kali saya dengan sosok Rusdi Tagaroa
yang seiring waktu kami memanggil beliau dengan sebutan Suheng (Ka-
kak Seperguruan)..
Ketika pertama kali ngobrol dengan Suheng, yang murah senyum dan
ramah ini, kesannya biasa saja.. Gak ada yang istimewa. Pokoknya bi-
asa saja. Gak juga dia nanya saya dari mana ? Fakultas apa ? Semester
berapa ? dan Tinggal dimana ?. Bagi dia, siapapun yang datang dan ber-
temu, ya sudah, anggap saja teman. Bagi saya, yang anak perantauan,
ini jadi menarik. Tak urung, saya terlebur dalam obrolan dengan Mas
Catur, Mbak Upik, Mas Rusdi dan Mas Rudi serta beberapa kawan lainnya
di Catur Warga.
Saat itu. Suheng menghampiriku, lalu mengajak berdiskusi. Dia ber-
sedia mendengarkan juniornya (sekali lagi, saya mahasiswa baru semes-
ter 3,..he, he, hee) .Beliau sangat santun dan ramah kepada orang yang
dikenalnya. Dari pertemuan itu, saya sudah bisa menyimpulkan,: Orang
ini hebat!
Antikemapanan
Memulai suatu yang baru dalam menggapai kehidupan kedepan ada-
lah proses belajar tentang arti kehidupan. Bermula dari komunitas San-
tai (Yayasan Tunas Alam Indonesia) itulah saya banyak mengenal orang-
orang hebat. Sehingga, sadar ataupun tidak, saya “terbawa” dalam
setiap diskusi yang sering kali diakhiri dengan aksi demontrasi. Mulai
dari aksi membela petani rumput laut di Kuta, KabupatenLombok Ten-
gah, Hutan Mekaki, Pantai Senggigi (Keduanya di Lombok Barat), dan
banyak lagi.setelahnya.
Dalam Setiap diskusi, Suheng sering memberi “tausyiah-tausy-
iahnya”terkait kinerja Pemerintah, hak dan kewajiban negara, peran
dan posisi mahasiswa, serta rencana-rencana aks,i dan hubungan dengan
pers yang harus tetap dijaga untuk menjadi corong gerakan mahasiswa.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 57
Selanjutnya, saya mulai sering melihat Suheng ini sebagai sosok yang
berbeda dari yang saya kenal pertama. Ternyata dia pintar, pemberani,
terstruktur dan militan dalam pemikiran dan strateginya. Menariknya
adalah, dia mempunyai banyak sekali referensi bacaan,. Bagi saya, saat
itu, seperti masuk dalam kolam intelektual yang luas dan tak berbatas
ketika mendengar dia bicara dan membaca beberapa tulisannya.
Dalam beberapa kali pertemuan, baik yang bersifat formal maupun
informal, saya bisa menilai, pemikiran beliau antithesis dari sebuah
kemapanan tentang berbagai hal, diantaranya mengenai demokra-
si, HAM, kemiskinan, kewirausahaan, dll, yang ditindaklanjuti dengan
memproduksi gagasan dan aksi nyata —untuk memperlihatkan secara
langsung adanya kesenjangan antara teori (pengetahuan) dan kenyata-
an di lapangan, khususnya kebijakan regulator sebagai pendekatan un-
tuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Kemandirian dan Koperasi
Dari sekian pemikiran Rusdi Tagaroa, hal yang paling menginsipirasi
bagi saya adalah tentang kemandirian dan kewirausahaan: Bagaimana
membangun usaha yang berbasis kerakyatan, pengorganisasian massa
untuk membangun usaha bersama, kira-kira seperti Koperasi. Di titik
ini, saya ingin mendedikasikan diri: pada suatu saat nanti dapat mendi-
rikan perusahaan sendiri, dan akan membangun koperasi sebagai usaha
bersama yang berbasis kerakyatan. Nmun, sebelum itu terjadi, saya
harus sudah selesai dengan ekonomi saya sendiri. Karena, bagaima-
na mungkin kita dapat mengimplementasikan usaha yang berbasis ker-
akyatan dengan baik bila kita sendiri tidak memiliki kapital? Bagi saya,
usaha bersama yang juga dikelola secara bersama, tidak akan pernah
bergerak bila pengurusnya sibuk dengan persoalan internal. Sudah ter-
lalu banyak contoh koperasi yang sudah cukup besar, tapi menjadi han-
cur karena konflik internal. Kenyataan itu membuat saya harus lebih
realistis dalam mengejawantahkan pemikiran Mas Rusdi Tagaroa.
Bagi saya, Mas Rusdi Tagaroa adalah buku panduan hidup,. Kita dapat
mengambil sebagian bab, atau hanya satu paragraf dari buku besar itu.
Selanjutnya, kita dapat mengembangkannya sesuai kebutuhan, kemam-
puan dan pemahaman kita yang telah kita dapatkan dari proses perjala-
nan hidup ini.
58 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Inilah sedikit kenangan saya selama mengenal Suheng Rusdi Tagaroa,
yang pada 16 Agustus 2022, sedang terbaring lemah ketika saya temui
bersama Danu Indriadi di RS Sari Asih, Serang.
Lima hari kemudian, tepatnya Minggu 21 Agustus 2022, dia pergi
menghadap Sang Pemilik Hidup.. Selamat jalan Heng...Kamu hebat
Heng, dan kamu pernah menjadi bagian besar dalam sepenggal perjala-
nan hidup saya di Mataram..
Terimakasih untuk semuanya...semoga amal jariahmu menjadi pem-
berat mizanmu di Yaumil Akhir nanti. Doa kami menyertaimu Abangku
Rusdi Tagaroa. n Didi Iskandar Aulia, Ketua IX Gapensi, Tinggal di Ja-
karta
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 59
13
Sang Penjelajah
Lelaki kurus Itu mengangkat tangan dan berbicara tentang konflik
lahan perkebunan di Jawa Timur. Ya, saya ingat benar. Ketika itu, saya
memfasilitasi diskusi tim dari Universitas Indonesia ( M Ikhsan dkk )
dengan pihak Bappenas dan teman teman dari K/L serta teman dari
LSM. Saya persilahkan dia bicara untuk mengungkapkan pendapatnya.
Saya yakin, orang ini dari LSM GAPRI yang kami undang. Cirinya jelas.
Hanya dia satu-satunya peserta yang tidak berpakaian formal dan belum
saya kenal. Berkaus dan membawa tas ransel. Setelah diskusi, saya
segera menghampiri dan berkenalan. Ya, Rusdi, namanya.
Selepas diskusi, selama tiga tahun, Rusdi terlibat dalam penyusunan
naskah dokumen snpk dan memperjuangkan gagasan itu ke dalam satu
bab dokumen RPJMN. Tentu saja, kerja ini juga melibatkan teman teman
GAPRI ( Andik Hardiyanto, Fahrul Mega, Sugeng Bahagjo dan.Johanes).
Substansi dokumen itu menjadi bab IX RPJMN 2004- 2009. Sedangkan do-
kumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan diambil alih oleh
Kemenko. Jejak ini cukup gemilang dan hingga sekarang kelembagaannya
masih eksis di pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ternyata perkawanan ini tetap berlanjut. Ketika saya pindah ke ke-
mentrian lain, dia masih terlibat dalam banyak formulasi kebijakan
dan implementasi kebijakan bidang kesehatan dan ekonomi desa. Tentu
saja, warna karakter senantiasa terjaga : emansipatoris dan kerakyatan.
Ideologi ini yang senantiasa dijaga hingga akhir hayat.
Di luar pekerjaan, seringkali kami berjalan ke mana saja. Perjalanan
menjadi berarti karena selalu melakukan kritik dan refleksi. Perjalanan
ke Bayah adalah yang berkesan karena menyusuri jejak Ilyas Husein.
Tentu saja, dia abadikan dalam foto di monumen Tan Malaka.
60 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Memupuk semangat dengan perjalanan juga pernah kami lakukan ke
Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Papua. Di Sulteng, penanda budaya di-
kunjungi : danau dan gereja-gereja di Poso, Bertemu dengan pendeta
yang pernah dia kenal. Kolonodale yang eksotis di Morowali.juga dia
sambangi. Kami juga pernah ke Papua dengan waktu cukup lama. Di
Kabupaten Intan Jaya dia merasa ada warna kehidupan yang berbeda;
Kabupaten yang hanya bisa dikunjungi melalui pesawat ini, mulai difa-
hami bagaimana memahami Papua.
Terakhir mendirikan media online (damarbanten.com) bersama
teman teman ‘masa tua’ nya. Kali ini teman masa kuliahnya, jurnalis
senior di Suara Pembaruan ( Budi Laksono) sebagai komandan. Cita ci-
tanya, media online ini bisa menjadi jejaknya dalam berkiprah untuk
mewujudkan idealismenya.
Takdir berkehendak lain. Rusdi berpulang dengan senyum yang terus
mengembang. Selamat jalan kawan.n Bambang, Kawan dekat di Kan-
tor Kemendes, Jakarta.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 61
14
PAMAN “HO”
Tulisan ini merupakan catatan yang tidak runut. Jauh dari siste-
matik. Jemari ini sudah tidak secekatan dulu. Lebih lambat dari otak
yang makin melambat. Makin uzur. Ups. Tak boleh merasa tua, kata
Ning Upik, isteriku.
Rus… Rusdi, Rusdi Anwar, Rusdi Tagaroa, dan Paman Ho
Di rumah ragam latar, talenta dan watak, seumumnya ia di panggil
“Rus…atau …Rusdi”…atau di tambah dengan “Mas atau Kak” di depan
nya. Di ijazah atau surat resmi lainnya ditulis Rusdi Anwar.
“Tagaroa” entah sejak kapan disematkan dan pelahan menempel
lekat di nama aslinya. Ikhwal Tagaraoa ini--suatu saat aku cari mak-
nanya-- ternyata adalah telaga atau laut yang luas. Dalam mitologi ma-
syarakat asli suku-suku pulau kecil di Asia Paifik, Tagaroa atau Tanga-
roa atau Kanaloa atau Tangaloa adalah Dewa Laut. Masyarakat rumpun
poleneisia seperti masyarakat “asli” Minahasa, Sangar, Talaud bahkan
masyarakat asli kepulauan Asia Pasifik (Nusantara purba ?) : Maori, Sa-
moa, Hawai dan lain lain mengenal dewa laut ini sebagai dewa yang
tegas, namun baik hati. Apakah seperti itu? Wallahu’alam !
Tapi…“Paman…” adalah panggilan menyehari dari Katip, Lento dan
Menceh…kemudian Denar dan seterusnya. Anak anak kami memangggil
Rusdi dengan sebutan Paman. Sejawat sepantarannya yang lain, di-
panggil oleh mereka mas atau Om. Ada juga yang maunya dipanggil
Abah.
“Paman Ho!,” begitu mereka memanggilnya. Kalau Amerika, yang
ketika itu sama-sama kita cap sebagai monster kapitalis punya sebutan
Paman, tepatnya Uncle Sam. Nah, di sini, anak anak kami punya Paman
62 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Ho. Paman Ho yang asli lengkapnya Ho Chi Min, di negara asalnya, Viet-
nam, adalah sebutan pada sosok yang sederhana dan bersahaja.
Tampang Ho Chi Min Jauh dari kelihatan intelek! Sosoknya kurus ke-
ring, dengan mata elang dan daya juang semut merah. Bersama rakyat-
nya, ia membangun kerajaan bawah tanah dengan lelorong dan lelubang
yang bersaling hubung. Uts…ada perangkap yang cerdas di dalamnya.
Melalui tangan dinginnya, jelata yang tertindas merayap-rayap di
lubang lubang buatan itu. Dengan cerdik dan pantang surut, sosok krus
kering itu menggerogoti raksasa yang nyaris tak terkalahkan, Paman
Sam, Sang Jawara Jumawa Takluk!!
Jelas, sosok yang nampak ringkih itu ahli strategi perang tak tertan
ding. Melalui gerilya bercaping tani yang tak tembus radar cangih-- se-
buah negara tak bersebut dalam peta dunia hingar dan tak mau ter-
tekuk lututnya-- itu menaklukkan raksasa Uncle Sam. Tak masuk di
nalar super modern. Gerilya yang teremehkan di awal, menghoror dan
mendepak sosok adidaya yang angkuh dan yang ketika itu merasa tak
terkalahkan.
Lalu Paman Ho-nya anak anak ini, mau menumbangkan apa dan sia-
pa??
Entahlah!!
Hijrah
Suatu Ketika di awal awal perjemukan, kutanya kenapa dan bagaima-
na ia datang dan sampai di Pulau Lombok. Di Mataram…
“Bikin riuh..” jawabnya sambil ketawa yang khas. Ketawa pelit. Ia lalu
menjelaskan, di sini banyak masalah sosial, tapi kurang bergelora. Pas-
if. Lantas, diskusi pun mengalir kemana-mana hingga diujung kesepa-
haman yang laras.:
Suatu ketika lagi, masih di awal= awal, kutanya : “Kenapa UNRAM,
bukan kampus-kampus hebat lain di Jawa?”
“Kampus ini, terlalu diam! Ketimpangan ada di mana-mana, tapi ma-
hasiswanya gak ada yang tergerak dan bergerak. Pasif!....”
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 63
Dan diskusi berlanjut pada mimpi-mimpinya di kampus yang ketika
itu dikenal sebagai kampus seribu cemara. Eh, sekarang pepohonan itu
di mana ya? Masih ada kah? Jadi cemiriii….kalee…
Suatu ketika lainnya, ia bercerita…setelah aku tanya kenapa dia
memilih GMNI padahal ada HMI dan PMII sejenisnya…yang lebih solid dan
kuat. Lagi lagi jawabannya sambil ketawa pelit… “organ ini (maksudnya
GMNI) di sini (Mataram) belum kuat, kalau tidak mau dikatakan belum
ada. Sementara yang lain sudah eksis dan “kuat” dalam tanda “petik”!
…Lalu cengkeraman ideologis mengelana bersama dalam cakap-cakap
yang ala kadarnya. Tapi dalam kenyataan, ia dekat dengan kelompok
mahasiswa manapun. Ia selalu mengikutkan pemikirannya dalam kelom-
pok-kelompok dan organ-organ mahasiswa yang ada di kampusnya. Tak
membedakan lagi antara GMNI, HMI,PMII dan sejenis lainnya. Ia magni-
tut….inspirator. Bersama kelompok inti geril diseputarannya, ia berger-
ak. Bestrategi, Bersiasat. Bermanuver dalam senyap dan dalam kehing-
aran.
Akhirnya, demonstrasi jalanan ala mahasiswa pertama pecah di Lom-
bok! Tentu ada andil yang tak sedikit dari lingkaran pengaruh sejawat
di seputarannya. Yang ikut meracik, membumbui, memasak dan me-
matangkannya. Gerakan= gerakan kritis membersemai…mainan-main-
an kritis tercipta. Sparing partner dari berbagai daerah bersilih datang
atau didatanginya. Mereka berjejaring secara horizontal dan verti-
kal bergerilya dengan gaya yang rada rada mirip “Paman Che!” ciiee
cieee….
Tapi alam pikir juga terus bersaling tempa. Tertempa dan men-
empa. Belajar dan kerja nyata di lapangan, bersama para tertindas,
terus mengiring pergulatan ideologis yang dialogis dan dialektik. Prak-
sis! Pemikiran dan gerak berbagai pesohor nasional dan dunia berpu-
tar-putar dalam obrolan yang tak berputus dan diejawantahkan dalam
praktik-praktik nyata. Bersenyawa alam pikir dan alam nyata. Sekecil
apapun. Gitu sih…
Manusia biasa.
Ia pemarah dan penggeram. Marah kalau melihat ketidakadilan.
64 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Geram kalau melihat sejawatnya loyo. Mendengar kekeluhan yang ber-
lebih dari semuda dan lebih muda usia darinya. Marah dan geramnya
konstruktif. Tidak impulsif. Apalagi ekspolisif. Kadang disembunyikan
dalam tawa getir atau satir yang seolah sejuk. Maklum, sejawatnya ba-
nyak orang teater.
Masak gak pernah dimarahi? Aku pernah lo…yang paling kuingat ada-
lah ketika suatu saat dia sedang memfasilitasi diskusi dan meminta
pendapatku. Aku ” berulang kali hanya mengatakan “sama”. Hilang kes-
abaranya…ha ha… akhirnya, ya, aku berpendapat juga, biar pun sedang
malas berpendapat dan gak focus, he he….
Yang kedua, karena seringnya aku muncul dan memunculkan diri di
koran lokal. Entah itu karena nulis artikel, jadi berita atau apa saja….
Eh, dia bilang begini, “Mas, gak usah muncul lagi di koran!”
Loo…???
Aha… pasti karena infasi tampang. Gak seru….Aku pun puasa gak
nongol di Koran, dalam bentuk apapun. Puasa nampang.
Begitulah marahnya seorang Rusdi. Menyenangkan. Konstruktif.tidak
boleh pasif. Tidak boleh berlebihan…sedang-sedang sajalah….
Jail. Adakalanya ia dan kawan seputarannya jail. Suatu ketika, ia
bercerita bahwa ia dan kawan kawan persejawatan habis rapat di se-
buah elesem (Baca LSM,red) besar yang kondang mengatur strategi….
Dan terjadilah demonstrasi yang menggegarkan Mataram. Esoknya,
pimpinan elesem itu membuat klarifikasi di media koran lokal, bahwa
yang dilakukan oleh gerombolan pendemo itu di luar tanggung jawab
lembaganya…cukup satu saja ya…he he he
Keseimbangan hidup sering jadi wacana. Wacana doang… Seperti ak-
tivis lainnya, ia sering tak peduli pada kekuatan fisik tubuhnya. Jatuh
sakit. Parah. Sudah berulang ulang. Ning Upik sering kali merawatnya.
Atas inisiatif Rusdi sendiri, atas permintan sejawat dekatnya, atau ini-
siatif Ning Upik. Meski sudah tidak senaungan rumah, tetap saja kalau
ada yang sakit, terlebih Rusdi, Ning Upik selalu minta agar teman-teman
atau sejawatnya mebawanya ke rumah.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 65
“….bawa kesini…”
“..biar dia istirahat di sini…”
“….jangan ganggu dulu ya…biar istirahat “
Kalimat-kalimat itu mengiringi proses perawatan; Seorang kakak
pada adiknya. Ia merawat dan menjaganya dari kerumunan pendiskusi…
Tapi, ya, begitu deh, …begitu enak sedikit sudah mulai bergerak lagi.
Mana betah dia berlama-lama diam dalam kesunyian. Ucul!!!!
Cerita lain, Ia bergeming terhadap perempuan. Seolah atau sungguh
sungguh bergeming? Ada ceritanya. Kawan kawan di SP suatu ketika
bercerita kepadaku…. Bagaimana mereka mencoba merobohkan iman
si kurus ini. Mereka bahkan dengan sengaja dan demonstratif tidur di
kamarnya. Lalu ganti baju didepanya…ha ha ha…gak terjadi apa apa….
Kata mereka, “terbuat dari apa orang ini…?”.
Karenanya, beberapa sejawat perempuan yang setara, atau lebih
muda, nyaman berada di sampingnya. Kadang-kadang memanja. Mere-
ka yakin aman dan nyaman.. Pernah ada wanita yang bersungguh-sung-
guh menginginkannya menjadi pendamping, eh, Rusdi tetep aja cuek
bebek. Lama lama, perempuan ini pun dibuat patah harapan di tengah
jalan, beretpuk sebelah tangan. Nah, ini yang bikin kita khawatir…..
sebab, para sejawat diseputarnya, satu demi satu telah menikah dan
berpinak.
Aha, Ia jatuh cinta…benar benar jatuh cinta. Binar matanya beda
ketika menceritakan sosok yang kemudian dikenalkan kepada kami.
Bahagianya kami ketika akhirnya, ia mempersunting gadis mungil dari
Serang, Jawa Barat (Ketika itu belum pemekaran wilayah, menjadi
Banten). Sayang, kami tak bisa hadir pada acara pernikahannya…Gak
punya ongkos atau karena ada kegiatan…kami sudah lupa…yang penting
doa kami sampai. Kami tersenyum ketika ada ikrar puitik di prosesi per-
nikahan mereka. Ayak ayak wae…
Suatu ketika, dengan agak loyo, dia pulang ke rumah. Bercerita ka-
lau dia gak bisa melanjutkan skripsinya. Judulnya di tolak, tapi tetap
saja ketawa. Sarkatis.
66 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
“…ganti pembimbing saja….”, kataku, mengingat dulu judul tugas
akhrku juga ditolak. Untung ada dosen-dosen yang lebih senior dari
pembimbingku, mendukungku penuh.
“Gak ada yang berani Mas. Ga ada yang mau!” jawabnya sambil ter-
tawa getir.
“Emang, judul skripsimu apa…kok ga ada dosen yang berani??” pe-
nasaran juga neh… Ekonomi semacam apa yang mau dibedah.
“Bisnis di Lingkar Elit Militer (kalau aku salah. Lupa lupa ingat)”. Ups!
Pantas saja. Mana ada dosen yang berani. Wong diajak diskusi kritis saja
pada gak berani. Mulai berani Ketika menjelang reformasi..diujung jatuh-
nya….suharto…di mana tekanan tekanan semakin tak terbendung…Banyak
yang kemudian menjadi pahlawan demokrasi ketika itu….he he… Tapi me-
mang di jaman Suharto berkuasa, yang menentangnya bisa bermasalah.
Bahkan hilang! Skripsi itu berarti menguliti Orde Baru. Berarti membongkar
aib militer yang sedang berkuasa. Berarti menelanjangi the Smile General.
Mana ada dosen yang berani membimbing… Bunuh diri namanya!
“Yo wis. Toh tanpa ijazah kita tetap bisa berkiprah…,” hiburku
setelah mendengarkan penjelasan dan diskusi panjang-lebar. Harga se-
buah prinsip memang mahal. Beberapa sejawatnya yang lain memang
gak melanjutkan kuliahnya karena pilihan. Tapi, kali ini tidak ada pili-
han! Apa boleh buat!! The show must go on!!
Di kemudian hari, tanpa ijazah sarjana ternyata memang agak meng-
hambat kerja dan kariernya. Rusdi tidak bisa menjadi konsultan resmi
di direktorat kementerian yang sejalan dan membutuhkan kompeten-
si yang dimilikinya. Padahal, dia diakui sebagai konseptor andal, tapi
tidak bisa masuk sebagai konsultan secara formal dan harus menjadi
bagian secara informal dari suatu tim. Ya, dunia formal memang pu-
nya mekanisme yang lebih menjujung tinggi selembar kertas ijazah dari
pada pengalaman dan kemampuan. Ijazah sarjana seperti tiket masuk
sebuah opera kerja. Semakin luar negeri, semakin banyak “S” nya, ma-
kin berpeluang kerja dan dengan gaji makin asoy…apalagi kalau bahasa
inggrisnya cas cis cus. Weleh…!!
Suatu Ketika, di sela sela kiprahnya sebagai “konsultan informal”, kami
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 67
ngobrol dan mengenang perjalanan, pergulatan. kiprah, ideologi dan
idealism….dan mendikusikan berbagai persoalan bangsa…ceilah!!
Ada keputusasaan. Rusdi merasa kalah. Dan merasa tidak lagi ber-
jalan pada ideologi dan idealism yang pernah dibangun di awal- awal
pergerakan….
“…tapi aku gagal Mas…kalah!”
“Maksudmu ?”
“Aku sekarang menjadi pekerja…”
“Tapi dirimu gak larut kan?”
“Sedikit!”
“Ok, masih bisa memengaruhi…?”
“Mencoba sekuatnya….tapi hanya sedikit yang bisa…”
Dan seterusnya, dan seterusnya…lalu aku mencoba menguatkan
kembali…mengatakan bahwa di manapun, kita bisa menjadi bajingan
atau menjadi orang suci. Di LSM banyak orang baik, tapi tak sedikit yang
culas. Di Pemerintah juga demikian….banyak yang masih memiliki in-
tegritas, tapi tidak sedikit yang korup. Demikian halnya DPR…eh, kalau
yang ini mungkn lebih banyak yang…. Sok bijak oiii…!! Padahal dibanyak
moment, aku juga bilang kalau generasiku, generasi yang gagal! Ha ha…
Tapi gak bisa memilih. Itukah takdir?? Kalah kok nekat terus…piye jaal!!
Firasat
Ini bagian akhir…supaya gak nggladrah kemana mana…he he.
Di Pantai duduk, di mana Gusdur (Arif), secara rutin menerapi di
rinya, sesekali mengajak kami untuk sekedar ha ha hi hi… dan sesekali
bernostalgila… tempatnya tidak indah, tapi merakyat. Yang sering kita
tongkrongi adalah milik Haiti, “anak didik” Santai yang pernah jadi
TKW. Sambil lalu, Gusdur bercerita..kalau dia ditelpon Bang Rusdinya….
minta baju. Tapi harus dijahit oleh Torgok (Shaleh). Agus, suami Anik
juga bercerita kalau dia juga di WA….
“Biasanya kalau minta yang aneh-aneh gini, mau pisah dengan
kita…..bla bla bla …” canda Gusdur… …lalu kami melanjutkan cengkera-
ma…dan menyantap asupan yang tersedia. Pulang, fresh…lupa makna
yang tercerita…sesekali firasat itu menyelinap.
68 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Belakangan, perkembangan Kesehatan Rusdi tidak baik. Kami, paling
tidak aku dan Ning Upik, terus berkomunikasi melalui siapa saja. Teru-
tama Rudi, adiknya Rusdi, adik kami.
Ning Upik memintaku, kalau bisa dan sempat menengok Rusdi pada
hari Sabtu, tentu jika ada yang menjemput-antar. Kebetulan ada waktu
selama transit di bandara. Tapi, anak anak melarang. Jauh, kata me
reka. Entoh, ketika sampai di Bandara, aku mencoba kontakan lagi dan
minta adikku untuk jemput-antar-jemput…Mereka sedang kelelahan,
baru pulang dari Surabaya. Telpon Abah Syafik, kudapat perkembangan
Rusdi seperti samar samar. Tanda tidak tahu. Yo wis….
Minggu pagi dini hari, siap siap berangkat. Check in..eh, gak bisa
berangkat karena persyaratan administrasi….ada apa ini…? Pasti ada se-
suatu. Ada hikmah dibalik ketidak jadian berangkat. Dan sore, dapat
berita…Rusdi Kepundut Gusti Allah. Innalillahi……ia lebih dulu pulang ke
RumahNYA. Menunggu kami di sana. Semoga bisa jumpa di lazuardi yang
“adil” tidak lagi utopi, “keseimbangan” bukanlah mimpi, dan makmur
adalah nyata…
Tenanglah di sana, segala pesan untuk sejawatmu, sudah kau sam-
paikan. Tinggal apakah itu dilaksanakan atau tidak…gak usah pusing.
Fokus bercanda dengan malaikat dan teduh dalam pelukan Tuhanmu,
Tuhan kita, Tuhan Semesta. Yakinlah! Anak anak milenial masa kini,
termasuk Gautamamu, dan ponakan-ponaknmu akan mampu menyele-
saikan persoalan bangsa ini. Dan menjadikan lebih baik. Mereka punya
cara. Mereka punya gaya…Ciao…. n Tjatur Kukuh S
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 69
15
Lima Kenangan Penggugah Inspirasi
Sebenarnya, banyak hal yang bisa saya ungkapkan dari karakter Al-
marhum Rusdi sebagai bahan renungan. Namun, ada beberapa hal
yang sangat saya kenang dari Almarhum:
Pertama, pada tahun 1996, saya mendampingi siswa SMA YPWKS
menjadi Finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja di Gedung LIPI Jakarta. Saat
itu, ada finalis dari Propinsi Nusa Tenggara Barat atas nama Alamsyah
(kalau tidak salah). Anak ini akhirnya dinobatkan sebagai Juara Ketiga
LKIR Bidang Sosial Humaniora tahun 1996. Setelah saya ceriterakan ke
Almarhum (lima tahun setelah lomba), ternyata Alamsyah itu sosok anak
pantai yang drop out dari SMP. Dan ternyata, Alamsyah adalah “anak
binaan” Almarhum yang saat itu bekerja sebagai aktivis lembaga sosial
kemasyarakatan di bidang kepariwisataan. Sungguh sebuah prestasi
yang prestisius dengan sosok Alamsyah. Bagaimana tidak? Remaja drop
out dari SMP, yang mendapat binaan sebagai tenaga pemandu wisata
di Kawasan Nusa Tenggara Barat ini berhasil diorbitkan menjadi finalis
LKIR LIPI Tahun 1996.
Kedua, Pada tahun 1998, saya diterima sebagai mahasiswa S-3 Uni-
versitas Islam Nusantara Bandung. Saat itu, saya mengalami kegama-
ngan untuk membayar SPP diawal semester. Saat itulah saya diyakinkan
oleh almafhum. “Tenang saja kang, pada saatnya pasti ada jalan kelu-
ar,” katanya. Ternyata, memang ada jalan keluar dari jalur yang tidak
diduga-duga. Alhamdulillah….
Ketiga, sekitar tahun 2000, saya mendapat undangan dari LSM Dina-
misator sebagai penulis essai terbaik dalam mengomentari buku biografi
SBY “Harus Bisa”. Saat itu, saya diantar oleh almarhum ke Jakarta
dengan tujuan Hotel Redtop sebagai tempat kegiatan para penulis es-
70 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
sai terbaik. Di hotel inilah, saya diajari bagaimana menggunakan kunci
kamar di hotel. Setelah tiga kali latihan membuka dan mengunci pintu
hotel, barulah saya yakin bisa tinggal di hotel selama tiga hari.
Keempat, ketika saya ngobrol santai dengan almarhum, sekitar 5
kali, beliau sering melontarkan ide tentang perlunya membangun “Pu-
sat Studi Syeh Nawawi” dan juga perlunya membangun ”Perpustakaan
Syeh Nawawi Taranara”. Pusat Studi Syeh Nawawi dimaksudkan untuk
mengumpulkan segala bentuk tulisan orang darimana pun tentang tokoh
Syeh Nawawi yang berserakan di berbagai jurnal dan media sosial lain-
nya. Sementara, Perpustakan Syah Nawawi dihajtkan untuk mengum-
pulkan seluruh buku-buku karya Syeh Nawawi yang sempat diterbitkan
didalam negeri maupun di luar negeri.
Kelima, Almarhum juga sering melontarkan perlunya membentuk
LSM berbasis Lingkungan Hidup. Almarhum juga sering memberikan
pandangan tentang isu-isu lingkungan hidup yang akan semakin meng-
gema seiring dengan semakin banyaknya penduduk di Kota Serang dan
sekitarnya.
Keenam, menggagas lembaga kursus dan bimbingan metodologi pe-
nelitian. Usulan ini sifatnya pengembangan bakat dan minat mahasiswa
di bidang penelitian, sebelum mereka menyelesaikan studi dengan ke-
wajiban membuat skripsi, tesis, atau disertasi.
Semoga Almarhum Kang Rusdi dimaafkan dosa-dosanya dan mendapat
tempat yang mulia disisi Allah SWT. n Anis Fauzi (Teman Sejawat)
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 71
16
Peletak Dasar Toleransi Di Kalimantan
“ Kalau saja lima tahun lalu tahu awakmu di Singkawang, aku se-
ring mampir.” Ini kalimat yang diketik Mas Rusdi ketika kami baru saja
nyambung komunikasi setelah saya mendapat no WA-nya dari Adinda
Farida.
Selanjutnya, dia mengirim sofl file buku; “Agama Dan Kontestasi
Ruang Publik ISLAMISME, KONFLIK DAN DEMOKRASI” Oleh The Wahid
Institute
Buku kedua yang dikirim : “DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY, Oleh Mu-
hammad AS Hikam.”
Saya mengucapkan terima kasih kepadanya seraya mengapresiasi
apa yang dilakukan di Kalimantan Barat beberapa tahun silam.
“Wah Mas Rusdi dan Tim rupanya yang meletakkan dasar-dasar tole
ransi di sini. Sedangkan saya tinggal menikmati.” gumamku.
Ya, Pada ahun 2022, Kota Singkawang mendapat predikat kota paling
toleran diantara 100 kota di Indonesia. Tahun sebelumnya (2020), Sing-
kawang menduduki peringkat kedua.
Mas Rusdi adalah aktivis mahasiswa yang rendah hati, dan setelah
lulus pun sepertinya lebih memilih sebagai aktivis kemanusiaan.
Saya kenal beliau ketika kami mengikuti Pelatihan Jurnalistik Dasar
yang diselenggarakan teman-teman Media, Koran Kampus Universitas
Mataram. Sebagai panitianya : Rusdi (FH), Budi Laksono (FE), Cukup
Wibowo (FKIP) dan Agung Bawantara (Faterna).
72 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Aku peserta dari Faterna bersama Awing, Edi Wahyu C. dan Rahman
Hakim.
Semenjak itu, kami berteman akrab disela-sela kegiatan masing-ma-
sing. Aku lebih fokus dan berbasis kegiatan di fakultas. sementara Mas
Rusdi, termasuk Agung Bawantara, berbasis kegiatan di tingkat univer-
sitas.
Engkau di sana, aku di sini. Sama saja n Bambang Mulyantono
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 73
17
Sang Motivator dan Pemersatu
Jalan Kerinci 48, Mataram, NTB. Di sinilah kami bermarkas. Di sinilah
tempat indekosku dan mahasiswa lain. Sebagian besar dari Situbondo.
Sekamar aku bertiga: bersama adikku, Anung, dan kakakku, Nisa Fad-
lun. Di sini pula, aku mengenal Rusdi Tagaroa. Orangnya kalem, teguh
mempertahankan prinsip, dan konsisten memperjuangkannya.
Kuingat di malam-malam panjang, Mas Rusdi datang dan berdiskusi
dengan sejumlah penghuni kos di teras kamarku atau dimanapun yang
beliau nyaman untuk bertamu.. Materi diskusinya cair, tentang apa
saja, mulai isu kampus sampai isu Hak Asasi Manusia, Sementara, di
dalam kamar, terkadang saya diam-diam mencuri dengar, menguping
pembicaraan mereka. … lama-kelamaan, saya berani nimbrung, turut
meramaikan diskusi. Materinya, sersan, serius tapi santai. Sedemikian
rutinnya, kami pun menyatu, dan guyub. Lalu, mengkristal dalam se-
buah komunitas, biasa disebut Komunitas Kerinci..
Jelas terlihat, sosok Mas Rusdi yang sangat dihormati dan disegani
oleh para mahasiswa asal Situnbondo, seindekos denganku. Tawanya
kadang lepas, menyapa siapapun yang ada, dan kadang hanya diam
menyimak pembicaraan yang berkembang. Suasana tambah ramai
manakala hadir Hendar Fahmi Ananda (Alm) yang menggelegar suara-
nya, orang-orang kocak macam Sira Prayuna, Didi Aulia, Nurdin Rangga
barani, dkk. Aihh.., lucu sekali …jadi hiburan gratis waktu itu, hee….
Seiring perjalanan waktu, pertemanan beralih menjadi persa-
habatan, dan berlanjut dalam kancah perjuangan bersama. Seringkali,
aku ikut ke forum-forum pertemuan mahasiswa dan LSM, juga terlibat
dalam aksi-aksi demonstrasi. Berkat Mas Rusdi, aku mengenal tokoh LSM
di NTB, Mas Catur Kukuh dan Mbak Upik. Keduanya, suami-isteri yang
74 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
sangat ngayomi terutama Mbak Upik yang keibuan dan baik hati. Ada
juga Mas Sulis, dan banyak aktivis mahasiswa lainnya, Cuma yang ku-
rasakan saya kadang datang dan pergi dalam komunitas, dimana kalau
ada mas Didik saja saya datang, atau saat diundang makan-makan di
kos mas Didik baik di BTN Taman Indah atau di Sayang-Sayang atau per-
temuan dimanapun ada mas Didik bersama adekku Anung Wahid ikut “
milu bawang “ kami hehe
Kuingat juga, saya pernah turut bergabung dalam advokasi petani
rumput laut, Kuta, Lombok Tengah. Selanjutnya, … saya tak lagi me-
manggil Mas Rusdi, tapi Mas Didik karena begitu akrab dan dekatnya,
dan kuanggap kakakku sendiri. Bisa jadi, karena terlalu sering diajak
diskusi dan mengikuti seminar-seminar tentang HAM, kini saya “terce-
bur” bekerja di Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM.
Padahal, latar belakang disiplin ilmu saya, Fakultas Peternakan. Joko
sembung naik ojek. Gak nyambung, Jeekkk, tapi itulah jalan kehidupan.
Jejaring LSM
Selepas kuliah, singkat cerita, kami bersama-sama lagi di Jakarta.
Entah secara kebetulan atau tidak, Tuhanlah yang mempertemukan
kami kembali. Hal yang kuingat benar, pada awal kedatangan di Ibuko-
ta, saya diajak ke rumah aktivis LSM dan mantan aktivis mahasiswa,
Mas Agus Lennon. Saat sedang berbicang dengan Mbak Tati Krisnawati
(Isteri Mas lenon), Mas Didik dan Mas Lennon beranjak ke dapur. … saya
sungkan, dan ikut “cawe-cawe” membantu masak, tapi dilarang Mbak
Tati.
Mas Didik berbisik, “Da, kamu ke depan saja, ya, duduk manis saja.”
Meski hati kecil saya protes--demi menghormati Mas DIdik-- saya
manut saja.
Awal-awal di Jakarta, Mas Didik sering mengajak dan memperkenal-
kanku ke jejaring LSM-nya, terutama yang berkaitan dengan isu HAM:.
Di Menteng, di Kemendes atau di Kantor LP3ES atau dimana, saya sudah
lupa. Ya, dia adalah kakak yang baik, yang selalu ikhlas memberikan
masukan, setiap kali kutanya persoalan pelik, terkait pekerjaanku di
Kemenkumham. Tak jarang, kami bersilang pendapat, tapi Mas Didik
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 75
tak pernah memaksakan pendapat dan kehendaknya. Untuk pelipur
lara, palingan saya bilang, “ saya orang pemerintah ya mas, walau
kadang, saat menyusun regulasi, saya setengah LSM.”Mas Didik pun
tertawa keras, sesuatu yang jarang kudengar.
Tak bisa kuhitung lagi, ruang-ruang percakapan sang motivator itu
dalam kehidupanku. ... Aku yang terus bertanya dan dia selalu mem-
berikan masukan tentang isu perempuan, anak, penyandang disabilita,
pekerja migran dan isu ham lainnya. bahkan terkait Indeks HAM yang
ketika itu sedang di susun oleh Kementerian Hukum dan HAM bersa-
ma Lokataru, dengan dimotori Mas Haris Azhar, dan Mbak Atnike CS.
Dan ketika harus mengawal hak ekonomi, sosial dan budaya, aku juga
mendiskusikannya melalui telepon.
Banyak pengayaan yang kuperoleh, khususnya terkait isu masyarakat
adat, pemberdayaan ekonomi perempuan, isu perempuan dalam poli-
tik. Hal sama juga kulakukan ketika RUU Kewirausahaan di Kementerian
Koperasi dan UKM yang saat itu masih dalam pembahasan.
Dalam perjalanan waktu, tak melulu soal HAM yang kami bahas. Ter-
kadang, Mas Didik mengirimiku gambar vespa, karena Mas Didik tahu,
suamiku hobi mengoleksi dan pecinta vespa. Di suatu waktu, tawa kami
berderai, selepas saya bilang, “Sebenarnya saya benci suara dan vespa
itu sendiri Mas Dik. Ingin saya ingin buang-buang saja itu Vespa, karena
pengalaman saat kuliah malam, saya pernah ditabrak orang kaya pemi-
lik vespa.” Lalu, kami berdua tertawa kencang gara-gara percakapan
itu.
Yang kuingat benar, seminggu sebelum kami menuju Koloni Lebah di
Serang, saya berdiskusi cukup panjang dengan Mas Didik, walau beliau
dalam kondisi sakit.
“ Aku terus menerus sakit, Da.”
Sejenak aku terdiam. “ Berobat Mas, jangan didiamkan penyakit
nya,” harapku.
Dalam diskusi itu, saya menyampaikan adanya kerja sama Kemen-
76 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
kumham dengan satu Lembaga Asing terkait Program Pemberdayaan Pe
rempuan. Kala itu, Mas Didik bilang, “Jangan lupa ada program saya, ya,
Da, ini lagi buat Training Jurnalistik Perempuan dan sekolah Demokrasi
menyusul Da.” Tanpa jeda, Mas Didik melanjutkan, “Jangan lupa, Ida
kontak Andik, ya, dia punya program bagus di Semarang terkait tenaga
kerja wanita (TKW) dan perempuan marjinal.”
Saya diam mendengarkannya, tapi hatiku berkata, “Dalam kondisi
sakit saja Mas Didik masih punya banyak ide kegiatan dipikirannya.”.
Hmm, selalu saja, Mas Didik membuka pikiranku, tentang apa yang bisa
dilakukan bersama-sama dalam beberapa isu Hak Asasi Manusia.
Dari pembicaraan itu, akhirnya saya bekerja sama dengan UN Wo-
men, UNDP dan IOM membuat Pelatihan Global Compact for Migra-
tion berbasis HAM dan responsif Gender dengan Pemda, Kanwil Hukum
dan HAM, Kementerian/Lembaga dan Organisasi Masyarakat Sipil yang
bergerak diisu pekerja migran.
Satu lagi yang kuingat, waktu reuni kecil-kecilan alumni Fater-
na, sering kami sebut “Pertemuan Kudatuli.” Ketika Mas Bamton, dari
Kalbar, tiba di ruang pertemuan, saya menelpon Mas Didik agar ikut
bergabung di Sarinah. Sayang, Mas Didik tidak bisa hadir bergabung ber-
sama kami.
“Aku sakit Da, seperti kena covid berbulan-bulan. Salam buat teman-
teman Faterna ya Da, kangen mereka semua, saya sebenarnya ingin
datang”, ujarnya diujung telpon. Seketika, saya langsung membatin,
“Mas Didik serius sakitnya.”. Pasalnya, saya juga pernah kena covid
saat awal-awal pandemic, dan merasakan gejala sakitnya: panas tinggi,
flu pilek, dan lain-lain.
Meski tak hadir secara fisik, Mas Didik turut bergabung dalam fo-
rum zoom meeting, dan mengajak untuk membuat buku bareng-bareng.
Kebetulan, alumni Faterna Unram juga sedang merencanakan mem-
buat buku tentang perjalanan hidup alumni selepas dari kampus.
Sepanjang bersinggungan dengan Mas Didik, beliau tak cuma mem-
beri saran dan buku. Dia juga terus mengarahkanku untuk menulis,
menulis, dan menulis, tapi akunya memang pemales banget. Suatu ke-
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 77
tika, ku-share tulisanku di majalah Mediasi Direktorat Jenderal HAM,
Kementerian Hukum dan HAM dengan Judul Hak Politik Penyandang
Disabilitas Mental dalam Pemilu “, Didik semakin memompa semangat
menulisku. Beberapa catatan tulisan telah kudiskusikan; termasuk isu
Perempuan, Anak, Penyandang Disabilitas dan beberapa program kegia-
tan terkait pekerja migran. Utangku yang juga belum terbayar adalah “
menulis di Damar Banten.
Hari berganti, bulan berganti, tahun juga berganti. Tak melulu seri-
us, sesekali, kami juga ‘nyantai’, dan bertamasya bersama. Suatu keti-
ka, kami ke Puncak, Bogor. Turut serta dalam perjalanan itu: Mas Didik,
Abah, Mbak Wing, Nisa Fadlun, aku dan Mas Tok (Suamiku), Erna dan
Kak Hasbi, serta anak- anak kami.
Kami juga ber-happy-happy di acara Reuni Ikatan Alumni (IKA) Un-
ram di Hotel Sheraton Gandaria City, Pondok Indah, Jakarta. Kami pun
bertemu teman dan sahabat lama. Ketika bergulir ke acara hiburan,
tebak lagu, Mas didik kudorong dan kutarik untuk ikut menebak, tapi
tebakannya salah semua. Ha,haa.. Mas Didik memang lebih mengenal
judul buku ketimbang judul lagu. Mas Didik juga tertawa gembira meli-
hat kegilaan joget Trio ASD: Abah, Sira Prayuna dan Didi Aulia. Lucu dan
konyol. Mereka seolah kembali ke masa kampus, lupa posisi jabatannya
saat ini.
Padepokan Koloni Lebah
Awal Agustus 2022, kami sempat berkunjung ke rumah Mas Didik
setelah di WA group “Kumpul-Kumpul” masih sering bercanda dengan
lepas. Dan memintaku merekam suara untuk membacakan Mas Agus K
Saputra yang berjudul “Ketuk Jaran Putih”. Seperti biasa saya pun ber-
canda dengan mengatakan sedang sariawan seperti Mas Bulak. Seperti
biasa tawanya berderai-derai lepas. Mas Didik beberapa kali menulis
ingin dikunjungi. Akhirnya bersama Erna, Kak Hasbi, Danu, Mas Awing,
Abah dan Mbak Wink kami datang bersilaturahmi. Dalam perjalanan-
nya, kami sempat terputar-putar, tak kunjung nemu rumah Mas Didik
meski sudah berulangkali saling telpon, dan menerima shareloc.
“Ah, kalian ini kayak gak pernah pramuka aja,” kata Mas Didik, ke-
sal, tapi malah bikin kami tertawa. Ha,haa…..
78 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Kami diajak “Tour de Padepokan Koloni Lebah”, Sebidang tanah,
sekitar 3000-an m2, bertanam ratusan pohon jati mas berjajar teratur,
sebuah aula, rumah panggung, cottage, dan mushola.
“Saat ulang tahunku baca puisi di sini ya, Da, bersama anak-anak
Banten.” pinta Mas Rusdi. yang langsung kami sambut penuh seman-
gat, “Siap mas..!!!”
Kami makan bersama: makan duren,makan bakso, makan masakan
Erna yang lezat, sementara Mas Didik menyediakan buah dan makanan
lain. Mas Didik bernyanyi riang bersama Mbak Wink, dan juga ikutan
dengan suara tak jelas arah, alias false, ha,haa,. Yang penting kami
bergembira. Namun, dibalik semua itu, ada satu hal yang membuat
kami gelisah. Ketika satu diantara kami mengambil air wudhlu, Mas Di-
dik terlihat berbaring, tiduran. Badannya sayah dan lemah. Perutnya
terlihat buncit. Raut mukanya agak kuning, pertanda sakit levernya
sedang kambuh..
“Mas Didik sakit?” tanyaku sambil mengelus tangannya.
“Leverku kumat, Da,” jawabnya singkat.
“Berobat ya Mas. Kita mau Mas Didik sehat,” pintaku.
‘Ya,” jawabnya singkat, lalu, tak lama kemudian, tertidur.
Menjelang sore, ketika Teteh Sofia datang, kami juga mendiskusikan
perihal penyakit Mas Rusdi. … sampai menjelang isya’, kami masih di
Koloni Lebah.
Satu minggu kemudian, kami balik lagi ke Serang. Kali ini dalam
suasana yang bertolak belakang. Mas Didik terbaring di rumah sakit,
kami berusaha menyemangati, sambil menyuapkan beberapa sendok
makanan. … Saat kami pamit pulang, Mas Didik mengulurkan tangannya
dengan lemah untuk bersalaman. Sedih rasanya. Kami tahu, berdasar-
kan hasil rongent, penyakitnya tergolong sangat berat, namun kami se-
lalu berharap mukjizat dari Allah SWT. “Semangat sembuh ya mas,”
begitu kami berpesan.
Di hari-hari berikutnya, kami terus berkomunikasi dengan Rudi (Adik
Mas Didik), dan mendiskusikan dengan sahabat-sahabat kami yang lain
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 79
terkait pernyakit Mas Didik. Hingga suatu ketika, kami mendengar ka-
bar yang membuat kami lemas. saat adzan Ashar berkumandang, Ming-
gu. 21 Agustus 2022, kami tengah bersiap untuk membesuknya. Namun,
kabar duka mendahului perjalanan kami, Mas Didik menghembuskan
nafasnya yang terakhir di Rumah Sakit Premier Bintaro. Kami pun berge-
gas melayat, dan mengantarnya ke peristirahatan terakhirnya, di se-
buah pemakaman keluarga, di Serang.
Diperjalanan, tak terasa, air mata kami mengalir deras. Kami ber-
komunikasi dengan semua, Sirra, Didi, Abah dan lainnya. Kami terisak,
larut dalam kesedihan yang mendalam. Di dalam mobil, air mataku de-
ras mengalir, dan Erna sesenggukan menahan tangis, Mas Bulak juga
diam tak sanggup berkata-kata apa lagi, kami sibuk dengan pikiran dan
hati kami masing masing … dalam hati, aku berkata, “Kami lanjutkan
perjuangan dan kecintaanmu pada nilai-nilai kemanusiaan dan hak asa-
si manusia.”.
Dimalam itu, kami melihat jenazah dan wajahnya untuk terakhir
kali, senyum yang mengembang, walau tak sempat lagi melihat tatapan
elangnya yang meneduhkan kami semua. Keteduhan dan ketulusan hati
yang terpancar, Selamat Jalan Mas Didik. Selamat jalan masku, selamat
jalan Sang Pejuang, sahabat kami semua, rasa hormatku selalu padamu,
yang juga menjadi bagian penting memberikan pencerahan dengan ket-
eduhan dan kesabaran.
Sepeninggal Mas didik, aku termenung, teringat permintaannya,
membaca puisi di Hari Ulang Tahunnya, yang jatuh pada 28 Agustus
2022, seminggu setelah hari kepergiannya.
Kami memang datang lagi ke Banten, tapi bukan untuk merayakan
ulang tahunnya, melainkan melakukan doa bersama dalam rangkaian
tradisi H+7 dan H+9 hari kepergian beliau. Praktis, dalam sebulan di
bulan Agustus, saya ke Banten setiap minggu.
Mengakhiri tulisan kenangan ini, ijinkan aku mempersembahkan se-
buah puisi dari WS Rendra, untuk mengiringi dan menemani perjalanan-
mu di alam sana, ya, Mas Dik,…
80 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Aku Lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
Atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tak memuaskan
Untuk punya posisi ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
Dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada allah
Tuhan, aku cinta padamu
n Farida Wahid, Koordinator Instrumen Hak Ekonomi, Sosial dan Bu-
daya/Analis Kebijakan Ahli Madya Pada Direktorat Jenderal HAM, Kemente-
rian Hukum dan HAM
O
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 81
18
Nasionalisme Rusdi dan
Puisi Chairil Anwar
Tak ada yang menjadi lebih ‘indah’ dari sesuatu yang telah mening-
galkan kita. Sahabat Rusdi Tagaroa berpulang dengan damai. Kita ke-
hilangan sosok yang tiap kehadirannya selalu berusaha memberi arti,
kadang-kadang mencoba memberi jalan keluar. Pendeknya sering men-
yampaikan pikiran-pikiran yang tak terduga untuk memecahkan kebun-
tuan. Kini, sosok itu telah pergi, dan seolah-olah kita kehilangan yang
kita butuhkan (mungkin) saat kita terdesak.
Sesuatu yang telah tiada tiba-tiba membangkitkan hal yang ‘ghoib’,
yakni kenangan-kenangan indah, kebaikan-kebaikan atau segala se-
suatu yang sudah tidak nyata, tapi mengusik kesadaran kita sebagai
mahluk sosial. Kita tiba-tiba menyadari ada yang hilang. Kematian kel-
uarga, sahabat atau handai taulan, membuat kita seperti kehilangan
organ dalam tubuh yang selama ini mungkin kurang mendapat perhatian
meskipun sebenarnya penting.
Kemudian timbul pertanyaan di benak kita, apakah kematian berarti
akhir dari seluruh riwayat seseorang? Apakah mereka yang telah tiada
berarti tutup buku dan tidak berarti lagi bagi yang hidup?
Tentu saja, tidak. Banyak yang telah mati, tapi tetap memberi inspi-
rasi. Kita menjalani hidup berbangsa dan bernegara selalu mengenang
para terdahulu, yakni para pahlawan yang menyumbangkan jiwa raga
untuk kehidupan yang lebih baik bagi anak-cucu, generasi yang akan
melanjutkan perjuangan.
Seseorang pantas disebut pahlawan kalau sudah mati. Sebab, yang
82 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
masih hidup bisa saja tidak husnul khotimah. Hanya yang sudah mati
bisa ditimbang baik-buruknya, bisa diambil kesimpulan tentang amal
kebaikan yang bersangkutan.
Bagi saya, Rusdi Tagaroa sahabat yang baik, meski kami tidak sering
bertemu. Saya yakin, banyak teman Rusdi yang lain beranggapan sama,
bahwa Rusdi merupakan sahabat yang baik. Tidak berlebihan berang-
gapan demikian, karena teman-teman di banyak tempat menyambut
kepergian Rusdi dengan duka mendalam. Saya diajak Latief Apriaman
untuk tahlilan ke rumah Sira Prayuna di Mataram, tapi sangat menyesal
saya tidak bisa ikut karena kesehatan saya masih belum mengijinkan,
karena saya baru saja selesai operasi batu ginjal.
Saya sangat menyesal tidak bisa hadir untuk doa bersama, tapi,
penyesalan itu terobati karena acara tahlilan --untuk mendoakan sa-
habat , Rusdi -- berlangsung di banyak tempat, bahkan disusul dengan
dialog virtual. Dengan demikian dipastikan, banyak sahabat yang tulus
berdoa untuk kedamaian Rusdi Tagaroa. Dan selanjutnya disusun buku
untuk mengenang Almarhum. Ini sangat menggembirakan, sangat mem-
besarkan hati.
Saya masih mengingat Rusdi ketika saya suatu saat diajak Mas Tja-
tur Kukuh – saya lupa tahun berapa, mungkin sekitar tahun 80-90-an
– mengantarnya ke suatu desa di Sumbawa. Ia belum menyelesaikan
belajarnya di Universitas Mataram, tapi memutuskan belajar bekerja
di masyarakat. Semula saya menduga ini pasti akibat pengaruh ‘mulut
berbisa’ Mas Tjatur Kukuh. Setahu saya, Mas Tjatur selalu menebar
‘bisa’ untuk anak-anak muda (tentu yang saya maksud adalah ‘bisa’
yang bertujuan baik).
Pilihan Hidup
Belakangan saya mengetahui, Rusdi memang sosok yang bisa men-
etapkan pilihan sendiri tentang hidup yang harus dijalani. Pilihannya
untuk hidup dan bekerja bersama masyarakat memang aneh sekaligus
mengagumkan. Sebab, saat itu jarang anak muda (mahasiswa) punya
pilihan yang tidak populer seperti itu. Saya tidak bisa menduga bayang-
bayang masa depan hidup yang mengganggu benaknya.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 83
Saya mengenal Rusdi sebagai mahasiswa yang kalem, cenderung
pendiam, hati-hati, dan senyumnya tampak selalu tertahan. Rusdi bisa
tersenyum lepas hanya pada orang-orang yang sangat dekat. Tapi, sejak
awal, saya mengagumi matanya yang menyiratkan mata anak muda ber
pendirian teguh, namun selalu toleran pada pihak yang berseberangan
sekalipun.
Meski kami jarang bertemu, karena ‘trayek’ hidup kami yang me-
mang berbeda, tapi saat bertemu, suasana pertemuan berlangsung akr-
ab dan terbuka, dan biasanya ia selalu berusaha menjadi pendengar.
Saya pikir ini bagian dari sikap rendah hatinya, meski saya selalu ingin
mendengar pendapatnya tentang apa yang saya katakan.
Suatu saat, Abah Syafiq membuat acara virtual untuk memperingati
penyair dan dramawan WS Rendra. Seingatku, Rusdi waktu itu muncul.
Semula saya diberitahu menjadi salah satu pembicara, tapi tidak jadi
dan saya cuma kebagian membaca puisi Rendra. Sebenarnya, banyak
hal yang ingin saya sampaikan, terutama sikap budaya Rendra yang se-
lalu memihak ‘spontanitas dan akal sehat’, dan itu membuatnya terus
melakukan perlawanan.
Perjuangan Seniman
Rendra pernah bersama Abah Syafiq dan teman-teman (saat itu ma-
sih mahasiswa) datang ke rumah saya untuk membaca puisi. Tapi, di
acara virtual Abah Syafiq itu, cukup jadi pembaca puisi pun saya suka.
Yang ingin saya katakan, beberapa hari setelah itu, saya berbicara den-
gan Rusdi tentang kebudayaan dan kesenian. Ia berbicara banyak ten-
tang pilihan sikap hidup, apa itu perjuangan, dan setelah itu berlanjut
ke pembicaraan kebudayaan. Seperti biasanya, ia tidak bicara melet-
up-letup. Menurut saya, bicaranya masih dengan agol Madura, yang
diucapkan selalu dipikirkannya lebih dulu. Kali ini, giliran saya yang
terpukau bicaranya. Ia bicara tentang perjuangan yang harus dilaku-
kan seniman, ternyata ia tahu banyak banyak tentang Rendra. Ia juga
menyinggung nasionalisme dalam puisi Chairil Anwar. Itulah terakhir kali
bercakap-cakap dengan Rusdi.
Saya tidak tahu apa lagi yang perlu diceritakan tentang Rusdi Tagaroa.
84 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Rusdi telah tiada, saya jadi ingat bait-bait puisi Chairil Anwar;
……………………………
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu
nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
……………………………
Mataram, awal September 2022
n Kongso Sukoco, Seniman NTB, Tinggal di Mataram
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 85
19
Menggugat Aktivis, Mengadili Diri
(Selamat Jalan Sang Begawan, Rusdi Tagaroa)
Satu-satu…
Daun berguguran
Jatuh ke bumi
Di makan usia
Tak terdengar tangis
Tak terdengar tawa
Redalah, reda…
(Satu-satu, Iwan Fals)
Begitulah siklus berlangsung. Begitulah jarum jam kehidupan diper-
gilirkan. Setelah detak waktu terhenti, kita pun diistirahatkan. Gugur
dan tumbuh, pergi dan datang. Yang gugur menjaga yang tumbuh. Yang
pergi memberi ruang pada yang datang.
Alam semesta berotasi dalam keseimbangan sempurna. Karena se-
jatinya, alam semesta tak pernah memisahkan. Ia justru menyatukan.
Alam semesta tak pernah menjauhkan, tapi ia mendekatkan. Alam se-
mesta tak pernah melemahkan, ia justru saling menguatkan. Alam se-
mesta itu tak pernah mengenal kata pergi, ia justru mengajak pulang.
Seperti itulah saya memaknai berpulangnya Mas Rusdi Tagaroa. Yang
semasa hidupnya, saya sebut “suhu”. Ia telah kembali menyatukan yang
selama ini terserak. Mendekatkan yang selama ini saling berjauhan.
Mengajak pulang mereka yang selama ini telah pergi. Untuk kembali
saling menguatkan dalam satu barisan gerakan yang sama. Karena kita
memag terlahir dan tumbuh dari satu persemaian yang sama.
Berpulangnya Sang Suhu, bagai alarm keras yang menggetarkan dan
86 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
menyadarkan kita, akan kelalaian kolektif yang telah berlangsung lama.
Kita terlalu asyik pada mainan fana dan hiburan semu kita masing-mas-
ing. Terseret arus deras kehidupan. Hanyut dalam pusaran keruh kom-
promistis. Lupa jatidiri, bahkan lupa diri.
Dan dalam momentum ini, Sang Suhu, kembali tampil mengingatkan,
membimbing, menyeru dan mengajak pulang. Sang Bathara Guru se-
pertinya kecewa dan marah. Untuk apa terlahir menjadi aktivis, jika tak
mampu menyalakan lilin pencerahan di kamar yang gelap, dalam ruang
sempit kehidupan kita masing-masing. Kemana perginya orasi penyada-
ran dan pidato pembebasan, jika kita ikut terjerat dan terantai dalam
kubangan lumpur yang sama dengan mereka yang bukan aktivis.
Selama ini, sepertinya kita tak berkawan, apalagi bersaudara. Bah-
kan mungkin, hampir saja kita tak saling mengenal satu sama lain. Uru-
san dan masalah kita, tidak lagi menjadi urusan dan masalah bersama,
dalam ikatan persaudaraan kolektif. Kita bagai domba yang tertinggal
oleh barisan komunitasnya. Terlepas dan tersesat sendiri di padang
gembala kehidupan yang maha luas. Kita masing-masing, berjuang
sendiri-sendiri, menghadapi gerombolan serigala liar dan buas, yang
siap mencengkeram dengan kuku tajam, dan memangsa dengan taring
yang menakutkan dan mengerikan.
Kita tak lagi merasa pernah bersama-sama berjuang, merintis hubun-
gan, membangun jaringan, merawat solidaritas dan kolektifitas. Jan-
gankan saling memperkuat, silaturrahim dan tegur sapa pun seolah
menjadi barang langka yang mahal. Kita bagai anak panah yang tak
kenal kata kembali. Kita bagai proyektil yang melesat, meninggalkan
selonsong mesiu yang telah kosong. Tercecer, terserak, kemudian hilang
tanpa jejak kebersamaan dan persaudaraan.
Bahkan ada diantara kita yang beranggapan, bahwa dunia aktivis ha-
nya just having fun masa muda, masa-masa mahasiswa, sesuatu yang
tidak berguna “useless” di masa depan. Karena tidak ada keistimewaan,
tidak ada manfaat, dan tidak ada pembeda antara pernah menjadi ak-
tivis maupun mahasiswa hedon. Kekecewaan ini, melahirkan aktivis-ak-
tivis transaksional, dan menciptakan yel-yel baru, “maju tak gentar
membela yang bayar”.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 87
Terus terang, mungkin ketetarikan kita semua terhadap dunia ak-
tivis, hampir sama kala itu. Selain hasil internalisasi nilai-nilai, yang
melahirkan pencerahan dan pembebasan, kita terpesona pada kuatnya
nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas sesama aktivis. Kala itu kita san-
gat yakin, bahwa kita tidak sedang berjuang sendiri di jalan sunyi.
Keyakinan kita begitu kuat, bahwa bila kita diganggu, ditangkap.
digebuk, atau dizalimi, maka akan bangkit solidaritas sesama aktivis. Ti-
dak saja di dalam negeri, tapi juga dunia. Karena kita memiliki jaringan
solidaritas yang kuat, hingga dunia internasional. Kenal atau pun tidak.
Diminta maupun tidak. Jaringan solidaritas tersebut akan bergerak dan
bekerja secara otomatis.
Begitu indah menjadi aktivis kala itu, cukup dengan menyebut nama
organisasi dan kota asal, maka semua pintu akan terbuka lebar. Padahal
sebelumnya kita tak pernah saling kenal mengenal, dan baru pertama
kali berjumpa. Saya terkenang, saat mendapat mandat dari teman-
teman aktivis FKMM (Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram) untuk
menghadiri suatu acara di berbagai kota. Dengan modal ongkos trans-
portasi sampai kota terdekat, Denpasar atau Surabaya saja misalnya,
dengan solidaritas teman-teman, dari kota tersebut, transportasi menu-
ju kota tujuan, tanpa diminta, akan menjadi tanggungjawab teman-
teman di kota tersebut, hingga konsumsi dan akomodasi.
Ketakjuban saya pada solidaritas jaringan aktivis, kala itu, kian men-
jadi. Dengan menyebut nama dan organisasi serta kota asal saja, lem-
baga-lembaga besar seperti, PIPHAM, PIJAR, YLBHI, Petisi 50, Aldera,
YLBHN, Imparsial, Elsam, Bina Desa, Solidaritas Perempuan, Aliansi Jur-
nalis Independen, hingga tokoh-tokoh terkenal, dengan reputasi besar,
langsung akrab bagai saudara.
Sebut saja misalnya, Dr. H. Adnan Buyung Nasution, Mochtar Lubis,
Gus Dur, Letjen. Ali Sadikin, Letjen. H. R. Dharsono, Megawati Soekar-
noputri, H. J. C. Princen, Dr, Syahrir, Hariman Siregar, Abdul Hakim
Garuda Nusantara, Sri Bintang Pamungkas, Mulyana W. Kusuma, T. Mu-
lya Lubis, Agus Edi Santoso, W. S. Rendra, Iwan Fals, Adi Sasono, Anwar
Hardjono, A. M. Fatwa, Bambang Widjojanto, Goenawan Muhammad,
Amien Rais, Yopie Lasut, Maqdir Ismail, Emha Ainun Nadjib, Marwah
88 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Daud Ibrahim, Eros Djarot, Daniel Dhakidae, Benny K. Harman, Dr.
Burhan D. Magenda, Fachry Ali, Nursyahbani Kantjasungkana, Tati Kris-
nawaty, Dr. Arief Budiman, Sabam Sirait, Dr. George Junus Aditjondro,
Rahman Tolleng, S. Indro Tjahjono, Akbar Tanjung, Setiawan Djody, Wiji
Thukul, Christ Siner Key Timu, Hendardi, Syarif Bastaman, Effendy Sa-
man.
Di daerah ada, H. L. Satria Utama, H. L. Mudjitahid, H. L. Azhar,
Djody Wuryantoro, L. Satriawan Sahak, Zainal Asikin, H. L. Mesir Sury-
adi, H. L. Wiratmaja, H. L. Serinata, H. Makmun, SH. H. M. Ali Bin Dah-
lan, H. Ismail Husni, H. Khaerul Anwar, Catur Kukuh, Kongso Sukoco, H.
Agus Talino, H. Supriyanto Khafid, Khairul Makmursyah, serta tokoh-to-
koh lainnya.
Di jaringan aktivis mahasiswa ada Pius Lustrilanang, Fahri Hamzah,
Taufik Rahzen, Paskah Irianto, Bursah Zarnubi, Yeni Rosa Damayanti,
Bambang Beathor Suryadi, Brotoseno, Mohammad Thoriq, Ferry Julian-
tono, Bambang Isti Nugroho, Rachland Nashidik, Atha Mahmud, Andi
Arief, Standarkiaa Latief, Setya Dharma, Fajroel Rachman, Jumhur Hi-
dayat, Tri Agus Susanto, Kacik Arek. Sidik Jatmika, Wahyu Susilo, Raziku
Amin, Lukas Luwarso, Eko S. Dananjaya, Agustiana, Sunandar, Syamsu-
nar, Marlin Dinamikanto, Hendrik Sirait, dan banyak lagi teman-teman
aktivis dari berbagai kota.
Lembaga dan para tokoh tersebut di atas, begitu mudah membuka
ruang dan akses. Semua atas nama persaudaran dan solidaritas sesama
aktivis. Sehingga dari pesona dan ketakjuban tersebut, seorang aktivis
merasa bersaudara dengan aktivis lainnya. Melahirkan solidaritas yang
kuat dan militansi yang hebat, serta sadar dan rela mewakafkan diri un-
tuk menghadapi resiko apa pun, bagi tegaknya marwah dan kehormatan
aktivis.
Namun sejak usainya reformasi, sepertinya masa-masa indah per-
saudaraan dan solidaritas itu pun terdegradasi, melemah, pudar, kemu-
dian luntur, kabur dan perlahan hilang. Dan hari ini, menjadi momen-
tum yang baik untuk melakukan introspeksi bersama, menggugat dunia
aktivis dan mengadili diri sendiri.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 89
Di hari-hari kepulangan Mas Rusdi Tagaroa ini, saya menyaksikan se-
suatu yang indah, merona cahaya, membangkitkan harapan dan seman-
gat baru. Bagai taman-taman bunga yang selama ini kering meranggas,
kini bagai tersiram sumber mata air kesejukan. Satu per satu mekar,
merekah, menghadirkan bunga warna-warni.
Kita bagaikan pesakitan, yang tampil satu per satu, menyatakan
testimoni pengakuan dosa. Mengenang pahit-manis dan suka-duka ma-
sa-masa kebersamaan. Kita kembali merasa begitu dekat dan karib. Di
hari-hari terakhir ini, walau berjauhan, dan hanya terkoneksi zoom, na-
mun seakan kita sedang bercengkrama dalam satu ruangan yang sama.
Ruang hati yang lebur, diaduk dan menyatu oleh rasa yang sama oleh
Sang Suhu, Rusdi Tagaroa.
Kita bagai terhipnotis, menyaksikan dan mendengar, dari satu tes-
timoni ke testimoni berikutnya. Kita terpana memandang wajah-wa-
jah dengan raut muka yang akrab dan karib. Bahkan kita mampu saling
membayangkan sosok profil saudara kita satu per satu, saat mereka
menjadi aktivis mahasiswa 30 tahun yang lampau. Kita pun mengenaln-
ya secara detail dan dalam, lebih dari sekedar apa yang mampu mereka
ucapkan dan tampilkan saat ini.
Masih terbayang jelas bagaimana wajah polosnya, senyum tulusn-
ya, model rambutnya, bajunya, celananya, langkah kakinya, cara bic-
aranya, dan berbagai kebiasaan kesehariannya. Kita pun saling tahu
banyak tentang password dan keyword kisah yang paling kita kenang
masing-masing. Tentang siapa dekat dengan siapa, dan siapa suka sia-
pa. Bahkan banyak diantara kenangan tersebut, juga menjadi kenangan
kolektif kita bersama.
Kepulangan Sang Suhu, menjadi moment yang sangat emosional.
Karena ternyata mampu menjadi momentum yang dapat mempertaut-
kan tali silaturrahim yang hampir lepas, dan mendekatkan rasa per-
saudaraan, yang nyaris kehilangan rasa. Ada getar haru yang menyertai,
setiap kali menatap dalam-dalam satu per satu wajah yang hadir, dalam
setiap acara doa bersama untuk Mas Rusdi. Dalam hati saya berkata,
ternyata saya bersaudara dengan mereka.
90 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Mas Rusdi Tagaroa adalah sosok figur yang memang sangat luar bi-
asa. Saya belum pernah menyaksikan ada aktivis, yang kepergiannya
mendapatkan atensi dan penghormatan sebagai mana Mas Rusdi. Yang
kepergiannya dapat mengguncang emosi kolektif, dalam waktu yang
sama, dengan getar dan frekwensi yang nyaris sama.
Oleh karenanya, jika semasa hidupnya saya memanggilnya “suhu”,
sejak kepulangannya, saya ingin menyematkan sebutan “Sang Bega-
wan” kepada Mas Rusdi Tagaroa. Gelar atau sebutan bagi seseorang
yang sesungguhnya memiliki “Adhikara” (kekuasaan dan wibawa) se-
bagai pemimpin, yang sangat dihormati dan disayangi oleh rakyatnya.
Namun memilih turun tahta, meninggalkan mahkota dan singgasana,
menolak gemerlap kekuasaan, dan memilih menjalani kehidupan se-
bagai seorang “Wiku”. Menjadi orang suci, yang mengambil jarak den-
gan kekuasaan, untuk menjadi pengingat dan penasehat para penentu
kebijakan. Menjadi pertapa yang mencari kesejatian hidup, di gua-gua
sunyi, di ruang-ruang sepi. Sebagaimana syair lagu “Doa Dalam Sunyi”,
Iwan Fals.
Merenung seperti gunung
Mengurai hidup dari langit
Jejak-jejak yang tertinggal
Menyimpan rahasia hidup
Selamat jalan saudaraku
Pergilah bersama nasibmu
Pertemuan dan perpisahan
Dimana awal akhirnya
Dimana bedanya
Doa-doa terdengar dalam sunyi
Doa-doa terdengar dalam sepi
Selamat jalan Sang Begawan. Melangkahlah dalam tenang penuh da-
mai. Bagai dedaunan gugur, tertiup angin senja. Diamanahkan untuk
menghidupi dan menguatkan akar, agar batang pohon tetap tegak. Se-
hingga, dahan dan ranting terus berkembang. Tunas-tunas muda dapat
terus tumbuh. Dan pucuk-pucuk muda dapat terus bermunculan. Itulah
amanah. Itulah tugas sejarah. Itulah daur siklus kehidupan.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 91
“Gugur dan tumbuh, pergi dan datang.
Yang gugur menjaga yang tumbuh
Yang pergi memberi ruang untuk yang datang
Tak ada yang punah sirna tanpa makna
Tiada pula yang gugur sia-sia”.
Sumbawa Besar, 1 September 2022
n Nurdin Ranggabarani, Ketua Presidium Forum Komunikasi Maha
siswa Mataram (FKMM) 1990-1994
92 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
20
Lanjutkan Perjuangan
Innalillahi Wainna Ilaihirojiun.
Saya bersaksi, Rusdi Tagaroa adalah orang baik. Awal tahun 90-an,
saya mengenal seorang Rusdi Tagaroa. Tokoh mahasiswa yang memiliki
peran penting dalam pergulatan politik kemahasiswaan, yaitu lahirnya
gerakan mahasiswa Mataram.
Kawan Rusdi, kerap dipanggil Suheng, memiliki kepribadian seder-
hana, rendah hati, dengan kesabaran tingkat dewa. Sebagai seorang sa-
habat, Almarhum adalah mentor yang baik dan dihormati para aktivis
pergerakan. Terkadang, dia rela mengambil peran domestik, mengerja-
kan hal yang semestinya menjadi bagian dari tanggung jawab kami. Dia
juga sering memanjakan para yuniornya dengan cara sederhana, mema-
sakala kadarnya, lalu mengajak makan bersama, sembari berbincang
lepas tentang situasi sosial, politik, demokrasi dan HAM. Sering pula, Al-
marhum meluangkan waktu untuk membersihkan tumpukan piring dan
gelas. Ya, dia mengajarkan tentang nilai-nilai dan etika dipergaulan ses-
ama aktivis.
Kawan Rusdi tak terbiasa dengan budaya hirarki. Dia memperlakukan
para sahabatnya, satu dengan lainya; “duduk sama rendah, berdiri sama
tinggi.” Sebagai mentor, sosok Rusdi tak pernah letih membimbing para
yuniornya. Dia selalu membagi ilmunya degan tulus. Pergumulan dialek-
tika Almarhum adalah pencerah, pemikiran, perumus yang cakap, bijak
dan progresif. Gagasannya juga seolah tak pernah habis di kepalanya.
Gagasan tersebut ditularkan degan narasi yang baik dan mudah di-
mengerti oleh setiap orang. Dia tak memilih tampil diruang-ruang diskur-
sus publik pencitraan. Pilihan jalan sunyi, bagai sosok seorang sufi yang
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 93
sarat dengan perenungan, dan merumuskan kebaikan negerinya sebagai
pengejewantahan atas kebajikannya. Tak ada sifat jumawa pada dirinya
dan tak mudah tergoda oleh kekuasaan. Sebagai aktivis, Suheng senan-
tiasa konsisten memilih jalan politik keberpihakan kaum tertindas.
Tak tergambar kemarahaan dirautnya karena sebab apapun. Jika ter-
jadi kontradiksi pemikiran, dia memiliki kesanggupan mengurai duduk
persoalan secara baik dan mudah dipahami. Ia tak memaksakan pendapa-
tnya, tetapi berjalan dengan keyakinan pikirannya, serta tak pernah
mengecilkan suatu diskursus. Senyum adalah cara dia menjawab perbe-
daan itu.
Rusdi memiliki prototip pendiam, tak mudah senyum. Sesekali
tersenyum dikala ada joke di forum-forum diskusi. Dia tak memiliki ke-
sanggupan senyum lepas, apalagi tertawa terbahak seperti kebanyakan
kawan lainnya.
Saya banyak terlibat berbegai diskusi sang mentor. Pemikirannya jauh
ke depan dengan pengembaraan imajinasi tingkat tinggi, dan apik dalam
menutur soal-soal, serta cakap dalam pemilihan diksi, dan argumentasin-
ya sarat dengan solusi. Semua itu bukan tanpa sebab. Suheng memang
kaya referensi, sehingga argumentasinya selalu menarik dan sangat kri-
tis. Disetiap diskusi, Suheng selalu “berteman” dengan sebungkus rokok
kretek dan secangkir kopi.
Untuk dapat berdialektika dengan baik dan memahami konstruksi ber-
pikirnya yang luas, kami, kaum pergerakan, selalu dijejali dengan tum-
pukan kliping-kliping koran, baca buku ini atau buku itu. Salah satunya,
bacaan wajib para aktivis era 1990-an, yaitu buku karangan Almarhum
Arief Budiman. Entah apa maksudnya, namun buku ini memang mem-
berikan pencerahan dan catatan kritis yang dapat menstimulus bangkit-
nya perlawanan terhadap rezim Alm. Soeharto. Masih terngiang di benak
saya, bagaimana sosok Rusdi membimbing kami membangun logika akal
sehat dalam membaca realitas sosial politik, hukum, ekonomi, pertahan-
an, dan keamanan. Rusdi juga memiliki kemampuan berpikir taktis strat-
egis dalam mengorganisir pergerakan dan mengkonsolidasi para aktivis.
Gaya bertuturnya tak memaksa sehingga membuat kami nyaman karena
tak merasa diindoktrinasi dalam berpikir, bertindak dan “bergerak.”
94 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Sayang, penyakit lama yang mengerogoti tubuhnya telah membuatnya
terus melemah. Medio Agustus 2022, tepatnya tanggal 16, saya bersyukur
masih berkesempatan bertemu sang mentor. Dia terbaring lunglai di Ru-
mah Sakit Serang, Banten. Dialog ringan pun berlangsung.
“Kapan kamu datang?”
“Barusan, mas.”
“Aku Sakit, Nan, rumah sakit sudah tak sanggup.”
Saya pun terdiam, berusaha menutupi kesedihan dengan mencoba
mengalihkan obrolan tentang penyakit yang dideritanya. Ketika itu, saya
hanya bisa melepas jawaban, “Sembuh ya Mas,” dan dijawabnya dengan
anggukan kepala.
‘Bagaimana kerjaanmu,” tanyanya lagi.
Alhamdulillah, lancar Heng.”
“Kamu semangat, ya, teruslah berjuang.”
‘Siap Heng.”
Kutambahkan, “Urusan republik ini tak akan selesai di pikiran seorang
Suheng,… sudahlah, yang penting Suheng sehat-sehat, yaa,” pesanku
menyemangati, dan lagi-lagi disahutnya dengan anggukan kepala.
Itulah akhir dialog saya dengan sang guru, sahabat, dan mentor. Sung-
guh tak menyangka, ternyata itu adalah pertemuan kami untuk terakhir
kalinya.
Beberapa hari kemudian, tepatnya Minggu, 21 Agustus 2022, kita
semua dikejutkan oleh datangnya kabar duka. Bang Rusdi telah pergi
meninggalkan kita semua, kembali keharibaan-Nya.
Selamat jalan bapak, sahabat, dan sang mentor. Semoga engkau te-
nang di alam baka, dan semoga amal ibadahmu diterima, serta mendapat
tempat terbaik disisi-Nya.
Amiin Yaa Rabbal alamin. n Sirra Prayuna
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 95
21
Tampang Kriminal Berhati Peri
Sulit kupercaya. Rusdi yang santun dihakimi bertampang kriminal.
Setidaknya, itu tergambar dari obrolan seingkat dengan Kakakku, sep-
ulang Rusdi meninggalkan rumah tempat aku tinggal, rumah Kakakku.
“siapa temanmu tadi?” tanya Kakakku, begitu aku balik dari mengantar
kepulangan Rusdi sampai gerbang. “Rusdi”, jawabku pendek, sambil me-
nutup pintu. “Kok kayak tampang kriminal,” timpalnya dengan ekspresi
tanpa tendensi. Aku terdiam, kehilangan kata, dan melangkah masuk ke
kamar.
“Tampang kriminal?” hatiku bertanya. Apa karena gondrong? Ah, ti-
dak. Aku juga gondrong. Apa karena pakaiannya urakan? Tidak juga. Aku
malah lebih urakan lagi. Apa mungkin kumis lebat dan tatapan mata
yang menghujam ke kedalaman hati sehingga membuatnya kelihatan
menyeramkan bagi Kakakku? Ah, jangan=jangan, Mbak Sis melontarkan
sasaran kejengkelannya karena beberapa hari aku nggak pulang. Sebagai
mahasiswa yang numpang di rumah Kakak, aku memang sering nglanglang
dari kos teman satu ke yang lain.
Sesama kuliah di Universitas Mataram (Unram), perjumpaan dengan
Rusdi bukannya di kampus, melainkan dalam suatu diskusi di rumah Mas
Catur, pegiat Ornop tertua kedua di NTB, Yayasan Lembaga Kemanusiaan
Pedesaan (YLKMP). Kala itu, tahun 1987, saya datang bersama bebera-
pa teman kuliah sok nyeniman dan Mas Kongso, pimpinan Bengkel Aktor
Mataram.
Selaku salah satu narasumber diskusi, pemaparan Rusdi cukup analitik
dengan omongan lugas. Penampilannya biasa saja, bukan tipe pesolek.
Usai diskusi, kami pun ngobrol santai, tapi riuh saling sahut diantara
teman-teman lainnya.
96 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Sejak itu, tempat singgah favorit, rumah kontrakan Mas Tjatur, yang
sekaligus sekretariat Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI), dan tempat
Rusdi bermarkas. … di situ, bergerombol “Laskar Pajang” seperti: Sarwo,
Arief Prabu, Cak Paidi, Putri dll dengan seragam pakaian hitam-hitam.
Di kamar indekosnya, di jalan Panji Tilar, Mataram, Rusdi tinggal
bersama adiknya, Rudi Hidayat. Di situ juga, sering ngumpul Sukaeri,
mahasiswa Muhammadiyah asal Poh Gading, Lombok Timur; Shaleh Tor-
gog, Budi, Gepeng, dan teman mahasiswa lainnya, yang sebagian besar
diantaranya, blasteran Jawa-Madura.
Di Panji Tilar, tiada hari tanpa diskusi. Tanpa ujung pangkal, obrolan
biasa bisa merambah menjadi serius ke diskusi. Di temani isapan rokok
dan kopi seduh, ada saja cara Rusdi membenturkan ide-idenya dengan
pemikiran kami. Pertautan gagasan terjadi, disambung dengan kerja-ker-
ja bikin kaos. Di Panji Tilar, aku yang gambar desainnya, Budi dan Shaleh
nyablon, Rusdi yang nodong LSM-LSM beli kaosnya. Hasil sablonan disisih-
kan untuk bikin buletin, diskusi atau pun pertemuan FKUM yang kemudian
malih rupa menjadi FKMM (Forum Komunikasi Mahasiswa Mataram).
Selain FKMM, Rusdi juga terlibat ikut mendirikan HIMPESS dan or-
gan mahasiswa di luar kampus lainnya. Kecuali KOSLATA, dia tak pernah
tampil, namun lebih banyak menyemai gagasan dan merawat konsistensi
gerakannya. Biasa dipanggil Mas Didi oleh adiknya, Rudi; Mas Rusdi, bah-
kan Suhu/Suheng oleh aktivis mahasiswa di Mataram. Bukan hanya senior-
itas ataupun sosok sebagai pemikir yang membuatnya seringkali dipanggil
suhu ataupun suheng. Bagi yang mengenalnya secara utuh, figur pribadi
Rusdi “memaksa” orang untuk menempatkannya secara spesial. Dalam
kondisi sibuk pun, Rusdi masih menyempatkan untuk berbagi, tidak cang-
gung ataupun merasa remeh karena kerja domestik: goreng tempe/tahu,
bikin sambal, ataupun nyuci piring. Walau ada yang cuek, sebagian besar
teman kelabakan nggak enak hati manakala Rusdi mencuci gelas-gelas
bekas kopi di rumah kontrakan, yang dia namai Gedung Saka.
Rusdi memang jarang marah, kalaupun menegur, gaya dan sikapnya sep-
erti ngemong anak-anak nakal. Di Gedung Saka, yuniornya yang sedang
skripsi berdatangan minta advice, bahkan menumpahkan uneg-uneg ke-
jengkelan terhadap dosen pembimbing ataupun keruwetan kebijakan or-
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 97