35
Dendam Rusdi Tagaroa
Matanya tajam menghujam. Senyumnya hanya sekelelebat. Tak ba-
nyak tertawa, terlebih terbahak-bahak, sejak masih mahasiswa, sosok
ini dikenal peduli pada masalah ekonomi, lingkungan, juga sosial. Meski
bertipikal pendiam, ia selalu enteng bercerita tentang sebuah ‘latar
belakang’ semacam duduk persoalan kepada siapa saja. Karenanya, ia
begitu banyak teman, dari berbagai sekte dan aliran kehidupan.
Pertama kali bertemu mas Rusdi pada tahun 1987. Saat itu, saya
mahasiswa baru di Unram, dikenal sebagai finalis Lomba Penulisan Pari-
wisata Majalah MODE di Jakarta, besutan Thress Emier. Satu-satunya
dari finalis dari Unram, bahkan dari kawasan Indonesia Timur. Pada per-
temuan kali pertama itu, Mas Rusdi ingin mengetahui sudut pandang
saya tentang pariwisata Lombok. Padahal, saya hanya bercerita tentang
indahnya lekuk Gunung Rinjani.
Mas Rusdi, demikian saya memanggil, sudah beberapa tahun kuliah
di fakultas yang berbeda. Entahlah, darimana pertemuan itu berawal,
tiba-tiba diskusi ringan di bawah teduhnya pohon cemara berlangsung
bersamanya; tentang pariwisata, lingkungan hidup, juga kesejahteraan
masyarakat. Tema itu terasa berat bagi saya karena saya tidak memi-
liki data apapun tentang perbincangan ringan ini. Akhirnya, saya yang
masih seperti spon basah ini menyerap begitu saja diskusi yang tidak
sepadan ini. Saya menikmati diskusi ringan ini, tapi tak bisa bercakap
lebih luas.
Selebihnya, perjalanan waktu yang sangat panjang pun kami lalui.
Masing-masing berkiprah dengan dunianya sendiri. Berjalan mengaru
ngi waktu, sesekali menyapa dalam Grup WA, atau berdiskusi ringan pas
ketemu di gelaran komunitas. Hingga akhirnya, minggu21 Agustus 2022,
di depan Kamar Perawatan Lantai 3, Rumah Sakit Premier Bintaro, BSD,
Tangerang, Banten, saya yang mendengar mas Rusdi di RS Premier se-
148 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
dang gawat bergegas untuk menjenguknya. Kabar yang saya terima mas
Rusdi dalam kondisi kritis. Ketika saya sampai di rumah sakit, di depan
kamar perawatannya kabar duka itu menyambar; Mas Rusdi telah tiada.
“Innalilahi wa innailaihi rojiun. Mahabesar Allah dengan segala kua-
saNya. Yang dari Allah akan kembali kepadaNya dengan segala amalnya.
Sebelumnya, jauh berbulan-bulan sebelumnya - saya berkali-kali ber-
komunikasi dengan mas Rusdi. Dan berkali-kali mengundang saya untuk
datang ke rumahnya di Serang. Alhamdulillah saya sempat berkunjung,
sendiri, bertemu mas Rusdi dan istrinya. Bersama mas Budi Laksono
yang lebih awal tiba, saya berkunjung ke ‘asset’ padepokan lebah mas
Rusdi yang terbengkalai akibat pandemi. Tempat ini sebenarnya men-
jadi ‘dendam’nya mas Rusdi selama ini. Dendam mas Rusdi yang ingin
membuat Padepokan semacam ‘rumah perubahannya’ Rhenald Kasali
ini hidup kembali. Di Padepokan itu, ia berharap dapat mentransfor-
masikan pemikiran dan gagasannya tentang pengembangan ekonomi ke-
rakyatan, kesejahteraan sosial, politik, lingkungan hidup, juga tentang
apa saja yang menjadi kepeduliannya selama ini.
Saya diajak ke ‘lokasi padepokan’ itu. Saya memahami jalan pikiran
nya. Menghidupkan ‘padepokan’ agar bernyawa kembali tidaklah mu-
dah. Perlu energi besar.
Saya diminta untuk membantu memikirkan nya. Berkali-kali mas Rusdi
mencoba memberi ilustrasi pentingnya keberadaan padepokan ini. Ia
berharap, ‘padepokannya ini dapat menjadi tempat belajar rakyat jela-
ta, tempat arisan ibu-ibu sembari mendapat literasi tentang keuangan
dan kewirausahaan, tempat nongkrong anak muda untuk mendapatkan
pengetahuan tentang peluang pekerjaan dan inovasi teknologi, tentang
pembelajaran HAM, Lingkungan hidup, keagamaan, keorganisasian, dan
banyak lagi.
Dendam itu telah dibawa pergi.
Entahlah, siapa yang akan meneruskannya. n Isdiyanto
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 149
36
Ancaman Seorang Rusdi
Pada tulisan ini, saya tidak menulis kenangan tentang Rusdi Tagaroa
sebagai seorang aktivis mahasiswa, aktivis gerakan reformasi dan
demokratis atau seorang pakar, atau ahli strategi. Saya yakin, teman-
teman sudah banyak menulisnya. Pada kesempatan kali ini, saya ingin
mengenang Rusdi sebagai seorang sahabat yang selalu menyapa dengan
senyum. Tapi siapa sangka, sekalinya mengancam, sungguh mengerikan.
Saya pernah mengalaminya.
Sebagai mahasiswa satu angkatan dalam satu fakultas, tepatnya
Fakultas. Ekonomi Universitas Mataram (Unram) angkatan 1983. Keb-
etulan, kami punya hobi sama, berdiskusi. Kami sering bertemu dan
ngobrol disela-sela jam kuliah, dan sering terjadi perdebatan panjang,
hingga harus dilanjutkan sampai ke tempat kos saya, ke tempat kos
Rusdi, atau ke tempat kos teman yang lain. Dari seringnya pertemuan
itu, mulailah terbangun pertemanan dan kebersamaan.
Rokok dan kopi, bagi kami, sebagai mahasiswa saat itu, merupa-
kan amunisi “strategis” yang harus dimiliki untuk menyelesaikan ber-
bgai tema perdebatan. Keseruan sebuah perdebatan tergantung jum-
lah batang rokok dan kopi yang tersisa. Suatu hari, sekitar bulan Juli
atau Agustus 1984, sekitar jam 11 malam, seperti biasa, kami berdiskusi
berempat: saya, Rusdi, Fong (Furkon Buhara) dan satunya lagi, saya
lupa. Ditengah diskusi itu, rokok habis. Mau beli, tapi semua kios su-
dah tutup. Mahasiswa tidak boleh kalah dengan keadaan. Saya lupa,
entah siapa yang punya gagasan mengumpulkan semua puntung rokok
di asbak, memisahkan tembakau dengan filternya, lalu menjadikannya
rokok lintingan dengan kertas hvs. Ibarat pepatah: tak ada rotan, akar
pun jadi. Ha,haa..
150 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Biang Kejengkelan
Pertemanan saya dengan rusdi sepertinya biasa-biasa saja. Intensi-
tas pertemuan juga tidak rutin. Sesekali Rusdi datang ke rumah, dan
setelah itu lama tak kembali jumpa. Waktu itu, saya masih tinggal di-
rumah paman di Karang Jangkong. Kebetulan, di kamar saya ada rak
besar, tempat paman menaruh buku, koran, dan majalah. Saya masih
ingat, di rak itu, ada tumpukan majalah Prisma karena paman berlang-
ganan majalah itu. Setiap kali Rusdi berkunjung ke rumah paman, pu-
langnya, hampir selalu membawa pulang majalah itu. Nah, Suatu hari,
paman menyuruh saya mengumpulkan majalah Prisma itu karena hen-
dak di-bundle. Karena saya tahu jumlah majalahnya banyak berkurang,
maka dengan wajah bloon, saya bilang, “Banyak dari majalah tersebut
ikut ditimbang dan dijual bersama koran bekas.”
“Kamu mahasiswa paling bodoh. Tidak bisa membedakan koran dan
majalah,” bentak Paman, penuh kejengkelan.
Setelah Unram membuka asrama mahasiswa, saya pindah ke Asra-
ma Unram. Suatu hari, sepulang kuliah, Rusdi ikut ke asrama. Saya
suguhkan hidangan makan siang, tapi nasinya banyak dikerubuti semut
merah.
“Anggap saja semut ini sebagai abon,” canda Rusdi,
Penghubung Keluarga
Setelah tidak aktif di kampus, saya bertemu dan berkumpul lagi
di padepokannya Mas Tjatur Kukuh di Pajang, Mataram bersama Rusdi
Tagaroa, Budi laksono, Sulistiyono, Lalu Prima, Cak Paidi (Widi Widian-
toro), Sarwo (Almarhum) dan beberapa teman lainnya. Pada awal-aw-
al di padepokan Mas Tjatur ini, kominikasi saya dengan keluarga agak
terganggu, bahkan terputus karena saya memutuskan tidak pulang ke
rumah. Disinilah peran saudara saya, Rusdi Tagaroa, sangat terpatri da-
lam hati saya. Tidak seorang pun tahu sampai saya menulisnya sekarang
ini. Rusdi adalah penghubung saya dengan keluarga saya di Pohgading di
Lombok Timur.
Saat itu, Rusdi punya kegiatan pembinaan di Desa Poto, Kabupat-
en Sumbawa. Setiap dia balik dari Sumbawa ke Mataram, dia sering
mampir di rumah saya di Pohgading, Lombok Timur, dan menceritakan
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 151
kondisi saya dengan bahasa yang sangat bijak sehingga membuat kedua
orang tua saya tenang. Lewat dia pula, kedua orang tua saya menitipkan
pesan-pesan, dan yang paling penting, menitipkan sangu. He, hee….,
Alhamdulillah.
Sekitar tahun 1991, saya punya kegiatan pengkaderan dan proyek
kerja sama dengan sebuah lembaga asing, Belanda, di Labuhan Mapin,
Sumbawa. Di sini, intensitas pertemuan saya dengan Rusdi agak berku-
rang. Sampai suatu hari, saya ketemu di padepokan Mas Tjatur ( Saya
lupa apa masih di pajang Atau di Jln Catur warga). Ketika itu, dia bilang,
“Saya mau bicara empat mata denganmu, ini serius,” pintanya,
Sore itu, kami pergi ke Pantai Ampenan. Sambil duduk di pasir, dia
menatap saya dengan tajam tanpa senyum. Untuk memecah suasana,
saya goda dia, bahwa ada cewek cantik di Sumbawa. Namun, pancingan
itu sama sekali tidak ditanggapi. Malah, dengan tatapan tajam, dia
bilang begini, “ Ril…., kamu harus pulang. Kasihan ibu dan bapak di
rumah.”
Dia terus menjutkan bicaranya dengan nada lembut, tapi saya tau,
dia sedang marah. Tumben, saya tidak berani menatap wajah-nya.
Kutekuk wajahku, sembari tanganku memainkan pasir pantai. Kami
mengakhiri pembicaraan dengan satu kalimat ancaman dari Rusdi.
“Kamu harus pulang besok sendiri, atau kita tidak akan pernah ketemu
lagi,” ancamnya, serius. Keesokan harinya, saya pulang menemui orang
tua saya, dan semua jadi normal kembali.
Jadi Mak Comblang
Sekitar pertengahan 1991, di Hotel Paradiso, Mataram, Yayasan Tunas
Alam Indonesia (Santai) menyelenggarakan pelatihan. Beberapa kader
lembaga yang baru saya dirikian ikut serta. Salah satunya adalah kader
yang saya taksir, dan sedang dalam proses PDKT (Pendekatan,red).
Pada acara itu, kader yang saya maksud berkenalan dengan Rusdi.
Dalam obrolan santai mereka, rupanya, rencana mengajak semua kader
untuk mampir di rumah orang tua saya di Lombok Timur sudah bocor.
Sekitar seminggu sepulang dari pelatihan itu, Bapak saya tiba tiba
152 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
muncul di sekretariat lembaga kami. Antara kaget dan bingung, saya
menanyakan tujuan kedatangan beliau. Saya tambah kaget ketika be-
liau minta diantar ke rumah kader yang saya incar. “Bapak mau sila-
turahmi aja dengan keluarga anak itu,” jelasnya, singkat.
Dihinggapi rasa penasaran, saya bersama teman sekantor, Lari Gau,
mengantar Bapak ke rumah kader tersebut. Dan memang, kunjungan
tersebut hanya silaturahmi biasa, tapi hati saya semakin gundah me-
mikirkan kemana arah silaturrahmi mendadak ini.
Sepulang silaturrahmi itu, sebelum kembali ke Lombok, Bapak sem-
pat keceplosan bilang begini: Rusdi sudah datang ke rumah di Pohga-
ding, Lombok Timur. Dia bercerita tentang kader yang ananda bawa
mampir ke rumah, tempo hari.
Dua bulan setelah silaturahmi itu, kedua orang tua saya datang
melamar kader tersebut. Dua minggu kemudian, kader tersebut resmi
menjadi isteri, dan kini menjadi ibu anak-anak saya.
Dengan senyumnya yang khas, Rusdi datang ke pernikahan saya ber-
sama Dwi Sudarsono dan Ahmad Junaidi. Seusai akad nikah, dia me-
meluk saya, “ Ini gara gara kamu aja,” bisikku ke telinganya. Rusdi
tersenyum, sembari berkelakar.
“Sekali- kali ngerjain pemberontak,” katanya sembari tertawa.
Kutanggapi dengan senyum, dan saya pun mengucap, “Terima kasih
Dik.”
Suatu saat, dikemudian hari, Rusdi tiba-tiba nongol di rumahku, di
Labuhan Mapin Sumbawa Besar. Kami sudah lama tidak bertemu kare-
na dia sudah menetap di Jakarta. Di perjumpaan itu, di teras rumah,
kami bercerita panjang-lebar tentang berbagai isu dan persoalan. Salah
satunya, curhatan kondisi ekonomi saya yang sedang kelabu. Saat itu,
Rusdi tidak memberikan solusi apapun. Tak urung, obrolan itu saya ang-
gap hanya sebagai obrolan biasa, sebagai saudara yang lama tidak ber-
jumpa.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 153
Sekitar dua atau tiga minggu kemudian, datanglah H. Rudi Hidayat
( Adik Rusdi, yang saat itu mungkin belum berstatus haji) ke rumah saya.
Dia bercerita baru kembali dari Sumbawa, mencari pengepul jagung.
Panjang diskusi kami tentang seluk beluk pasar jagung di wilayah Sum-
bawa. Ketika itu, Rudi langsung meminta beberapa contoh jagung yang
ada di di tempatku untuk diperlihatkan kepada bos-nya.
Sepulang Rudi ke Mataram, saya baru teringat, Rudi adalah war-
tawan, bukan makelar jagung. Saya pun hanya bisa menduga, kedatang
annya di rumahku adalah atas perintah Rusdi untuk membantu saya (Sa-
yang, sampai Rusdi meninggal, hal itu belum sempat saya konfirmasi.
Saya pun berharap, semoga Rudi kelak bisa menjelaskan, mengapa dia
tiba tiba jadi makelar jagung). Ah, Rusdi. Ada saja akalnya mendapat-
kan cara elegan untuk membantu teman, tanpa membuat orang yang
dibantu merasa rendah diri.
Sekembali Rusdi ke Jakarta, kami tetap menjaga komunikasi, dan si-
laturrahmi kami tetap terjaga baik. Ketika anak pertama selesai kuliah,
saya menitipkannya ke Rusdi untuk belajar bekerja di Jakarta.
Dengan penuh kesabaran dan perhatian, dia membimbing anak saya
sampai bisa mandiri. Bahkan, ketika putera saya menikah, Rusdi ber-
peran sangat besar. Bersama Rusdi didampingi isterinya, Encop Sofia;
dan Bulak (Budi Laksono), saya melamar calon isteri anak saya.
Pertemuan Terakhir
Pada awal November 2021, saya menelponnya, dan memberitahukan
rencana saya dan isteri hendak ke Bogor untuk menjenguk cucu. Begitu
dia tahu isteri saya ikut datang ke Bogor, seperti biasa, dia memesan
makanan favoritnya. Beberapa hari kemudian, tibalah saya di rumah
anak saya, di Cilebut, Kabupaten Bogor.
Beberapa kali tertunda karena kesibukannya, ahirnya Rusdi datang
menemui saya di Bogor. Setelah ngobrol, kami berangkat ke rumah Bu-
lak ( Budi Laksono) di Cibinong, Bogor. Disepanjang jalan, kami saling
tukar cerita tentang penyakit yang kami derita.
“Kita ini sudah tua Ril, tubuh ini sudah sulit diajak kompromi,“ce-
154 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
letuknya. Saya pun menimpali, “Sudah waktunya kita menikmati hidup
ini, menyederhanakan pemikiran kita, dan mulai mendekatkan diri ke-
pada Sang Khalik.” Rusdi tertawa kecil “ Hahh…, .HMI-nya muncul lagi,
“ pungkasnya, sembari melempar senyuman khasnya.
Obrolah kami sempat terhenti karena lupa jalan menuju rumah
Bulak. Berkali kali menelpon Bulak untuk menanyakan jalan menuju
rumah. Setelah itu, dia memaksa saya untuk menunda kepulangan ke
NTB, karena keesok malamnya, tangganya saya lupa, bulan November
2021, Bulak merayakan pernikahan peraknya. Tapi, karena sudah ter-
lanjur tes PCR dan beli tiket pesawat, permintaan itu tidak bisa saya
penuhi.
Setelah silaturrahmi di rumah Bulak, sekitar jam 10 malam, dia dan
Bulak mengantar saya pulang ke perumahan Nuansa Alam Cilebut. Di-
antara derai gerimis dan dinginnya malam itu, di depan pintu rumah,
kami berpelukan karena besok subuh saya akan berangkat ke bandara.
Tanpa kata , tanpa air mata. Hanya senyuman yang tidak pernah lepas
dari bibirnya yang menjadi penanda pertemuan terahir dengan saudar-
aku, Rusdi Tagaroa.
“Biarkan Doa Dan Air Mataku Yang Mengatakan Segala Rasa Tentang
Mu” n Guril Lizan ( Sahabat Rusdi, Tinggal di Sumbawa)
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 155
37
Yang Patah (Ia Biarkan) Tumbuh
Tahun 2016, saya bertemu Raden Elang Yayan Mulyana di Cikini. Peng-
acara muda, berapi-api, punya mimpi menyelesaikan masalah hukum struk-
tural di Banten. “Ayo kita pulang kampung Man, benerin daerah sendiri.”
ujarnya di basecamp bagi korban pelapor ke Komisi Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (KontraS).
“Nanti disana tempatnya udah ada?” tanya saya.
“Ada Pak Rusdi,” tutupnya.
Itulah kali pertama saya mengenal Pak Rusdi. Belakangan, sepulang dari
Kampung Inggris (Pare) --dengan mimpi keluar negeri, tapi akhirnya pupus
karena kekurangan biaya-- kami berkumpul di kota Serang, Banten, untuk
mendeklarasikan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Banten (LBH
RB).
Itu kali pertamanya saya bertemu. Ketika berbicara, ia mengingatkan
saya akan pengakuan orang-orang yang pernah bertemu Tan Malaka:
“Suaranya berat dan dalam.”
“Saya bukan siapa-siapa, saya hanya laki-laki tua,” ujarnya saat
perkenalan. Dari gaya bicaranya, bagaimana ia menyampaikan ucapan-
nya, ada basa-basi yang coba ia tinggalkan selama berpuluh-puluh ta-
hun. Ia tidak punya kepentingan untuk bicara ‘saya paling.’ Logatnya
hampir seperti orang Madura, tapi bicara dengan siapapun, tidak dalam
konteks lokal, pandangan kebangsaanya sangat kental tanpa bisa di-
tutup-tutupi. Meskipun ditusuk-tusuk oleh semangat aktivisme, karena
kadang, gagasan kebangsaan menjadi tameng kebijakan publik, yang
justru menyengsarakan rakyat.
Pada sisi ini, ia selalu mencari gerakan bolak balik antara nasional-
156 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
isme yang mengakar dengan tidak lunturnya kehendak untuk mengorek-
si yang keliru. Seperti:
“Dalam hal ini kita mendukung pemerintah,… tapi dalam konteks itu,
kita, harus melawan negara, dan siap ketika mesti berhadapan, baik di ru-
ang diskusi atau di lapangan terik matahari,” ujarnya.
Memang Bijak
Sebagai lembaga baru dengan idealisme yang menggebu, hampir ker-
ja-kerja organisasi kami di LBH Rakyat Banten berjalan tanpa sedikitpun
negosiasi. Kami masih ingat, kasus pertama yang diatasi adalah kasus pen-
gusiran warga di Pulau Pari. Sempat kami ragu karena lokasinya tidak di
wilayah administrasi Banten. Pak Rushdi berkata, “Tidak apa, kita buat LBH
untuk membantu. Bantu saja kalau bisa,” ujarnya menutup keluhan kami.
Kami juga mengurus kasus “Perebutan” air di Cadasari, Serang pada
tahun berikutnya. Pak Rusdi memberikan gambaran bagaimana kasus ini
bermula.
“Ini kasus lama, teman-teman hati-hati.”pintanya.
Benar saja, pada satu waktu, kami salah langkah dalam nengadvokasi
karena hanya menganggapnya sebagai urusan korporasi vs santri semata.
Tapi, ternyata, ada beberapa pemuka agama -- yang belakangan membelah
posisi dan bisa memprovokasi warga yang kami bantu-- untuk melawan balik
kuasa hukumnya.
Ini merupakan aib besar bagi organisasi. Dalam headline koran lokal ter-
pampang, “LBH Di demo warga Cadasari.”
Sejak saat itu, lembaga mulai melemah. Lalu, kami mampir ke rumah
Pak Rusdi, dan mendapat nasehat.
“Ya memang begitu. Baru segitu. Saya nih,.. bukan orang lokal. Dike-
jar-kejar. Masa kalian orang sini, kalah?,” ujarnya menyemangati.
Bara sudah menjadi abu. Sebagian dari kami tidak muda. Ada yang sudah lu-
lus kuliah. Ada yang mulai ditanyakan pekerjaan tetap dan lainnya. Ini me-
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 157
mang hal yang sulit diatasi. Satu ketika, terjadi keributan antar kami. Pak
Rusdi menengahi, “Sudah tidak apa-apa. Tidak bubar saja sudah syukur.”
Hari terakhir
Dua tahun kemudian, saya tidak lagi aktif di LBH. Kini menjadi guru di
Jakarta. Bekal dan bimbingan Pak Rusdi, selama menjadi pembina lembaga,
terus mengisi relung perjalanan hidup pribadi saya. Dalam pertemuan tidak
sengaja selepas Lebaran, saya ceritakan bahwa saat ini saya hanya guru,
yang mengejar prestasi.
“Sebenarnya sayang sekali. Harusnya kamu bisa mengkonsolidasikan su-
ara guru,” harapnya.
Belakangan, saya aktif di organisasi guru, Perhimpunan Pendidikan dan
Guru (P2G) dan dipercaya sebagai Kepala Bidang Advokasi Guru.
Mungkin lucu, jabatan itu diberikan tanpa mereka tahu bahwa saya per-
nah bekerja di LBH. Mereka baru tahu bahwa saya pernah memiliki pengala-
man advokasi di LBH, setelah mendapatkan jabatan tersebut.
Belakangan, aktivitas di P2G membuat saya sering muncul di media. Pak
Rusdi sering mengirim pesan pribadi: antara apresiasi, nasehat dan keingi-
nan berdiskusi. Ia juga menyarankan saya agar membuka cabang di Kabu-
paten Serang, karena guru-guru di sini juga butuh advokasi.
Selama tahun pandemik, kami sering berbincang. Saya juga sering
dikirimi buku digital: buku politik secara umum, dan buku pendidikan yang
saya butuhkan. Buku-buku itu dia kirim tanpa pernah saya minta.
Pada suatu waktu, dinamika aktivis di dunia pendidikan membuat saya
perlu memetakan aktor di dalamnya. Satu-satunya orang yang perlu saya
hubungi adalah Pak Rusdi. Kami bertelepon cukup lama. Segala hal yang
membuat saya pesimis, saya tumpahkan kepada beliau. Pertama, saya
memberikan polemik bahwa gerakan guru, oleh organisasi besar, sangat
lamban dan cenderung negosiatif. Di sisi lain, saya merasa terlalu berat jika
organisasi kami, P2G, kadang harus sendirian untuk mengkritisi kebijakan
pendidikan.
158 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Seperti biasanya, Rusdi selalu menyemangati, bahwa posisi saya lebih
menguntungkan dari pada nasib beberapa gerakan di masa lalu. Ia kembali
menyemangati saya untuk terus maju.
“Kamu udah bener itu. Lanjutkan Man!” pintanya,
Terakhir, saya sempat mengobrol dengan teman-teman LBH untuk be-
berapa masalah lain, dan berlanjut untuk beranjangsana ke Pak Rusdi. Kami
bertemu di Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Cordova. Tempatnya tidak as-
ing bagi kami, karena di lantai 2 gedung yang sama, pernah menjadi kantor
kami, LBH Rakyat Banten, tempat berkumpul puluhan anak muda dengan
idealisme menggebu untuk membantu rakyat miskin.
Saya bertemu dengannya di ruang sebelah sekolahan TK, tempat dia
membuka kedai kopi kecil. Kami mengobrol banyak, dan dia mengeluhkan
usianya yang kian menua, dan tidak bisa lagi ikut kumpul-kumpul.
Setelah saya menceritakan posisi “gerakan”.saya di Jakarta, Rusdi pun
menyarankan agar segera membukukan tulisan-tulisan artikel dan makalah
yang pernah saya buat.
“Tulisan kamu udah banyak Man. Itu bukukan. Tahun ini, ya,” pintanya.
Itulah percakapan terakhir saya dengan sosok Rusdi. Sore hari, Senin 6 Juni
2022, saya mencium tangannya dan melambaikan tangan padanya, sembari
meminta doa, dan kami pun berbalas kata akhir,
“Minta doanya ,ya, Pak,”
“Iya Man.”
“Iya Pak Rusdi, saya akan membukukan tulisan saya, termasuk tulisan
mengenai Pak Rusdi. Sampai jumpa Pak!”
Hingga akhirnya, kami menerima kebar kepergian Pak Rusdi untuk sela-
manya. Innalillahi wainnalillahi rajiun. n Iman Zanatul Haeri,
Kepala Bidang Advokasi Guru, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 159
38
Membuka Tabir Nama Tagaroa
Nama sebenarnya adalah Rusdi, hanya lima huruf. Namun orang menge-
nalnya dengan panggilan Rusdi Tagaroa. Waktu itu, tahun 1986, saya bertan-
ya di tempat kosnya - sekamar berdua dengan adiknya,
Rudi Hidayat - di bilangan Gapuk, Dasan Agung, Mataram.
“Mas, orang Madura kok namanya Tagaroa?”. Beliau menjawab, “Tagaroa
adalah dewa laut menurut kepercayaan masyarakat Sangihe,Talaud, Su-
lawesi Utara. Dulu ada pelaut dari Sangihe, namanya John Tagaroa. Beliau
pejuang, gigih, tangguh”.
Nampaknya, Bang Rusdi kagum dengan karakter tokoh tersebut. Seh-
ingga disematkan nama “Tagaroa” di belakang nama aslinya. Dan terbukti,
Bang Rusdi memiliki karakter pejuang dan tangguh.
Tahun 1987, tempat kosnya pindah ke bilangan Jalan Panji Tilar. Waktu
itu masih daerah persawahan. Air di tempat kosnya masih terasa tercampur
zat besi. Bang Rusdi sempat sakit lebih satu minggu. Saat saya tanya, “sakit
apa mas?”. Dijawabnya “sakit lever stadium awal”. Sejak itu saya tahu bah-
wa Beliau telah berkenalan dengan sakit lever. Yang harusnya tidak boleh
terforsir raganya.
Di kalangan kawan kampusnya, dia dikenal mahasiswa yang nyentrik.
Perawakannya kurus, pakaian bersahaja, rambut tidak pernah disisir. Se-
dangkan di kalangan mahasiswa penggemar demonstrasi, Beliau dikenal se-
bagai figur inspirator, motivator, agitator. Mirip karakter Jenderal Soedirman
atau Beghawan. Tidak ikut berorasi, namun selalu bersama demonstran
memberikan wawasan perlawanan atas ketidak-adilan, amunisi semangat,
energi sinkang; sehingga para demonstran tetap memiliki kekuatan untuk
berorasi dan berdemonstrasi berhari-hari. Kapan pun, di mana pun, ketika
160 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
ketidak-adilan itu terjadi, dia diposisikan sebagai pemimpin spiritual. yang
dituakan, yang disegani.
Penyebar sikap perlawanan atas ketidak-adilan ini tidak hanya ditunjukkan
saat mahasiswa. Berlanjut terus saat dia memilih dunia Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) sebagai ruang pengabdiannya. LSM yang dipilihnya bu-
kan LSM pengembangan ekonomi dan pembangunan fisik sarana pedesaan.
Namun LSM yang memiliki platform melawan ketidak-adilan. Melawan keti-
dak-adilan ini disuarakan terus hingga akhir hayatnya.
Mengapa Bang Rusdi Tagaroa diposisikan sebagai pemimpin spiritual di ka-
langan demonstran yunior (yang umurnya lebih muda darinya?), dan Beliau
dikenang sampai akhir hayatnya?
Menurut pengamatan saya, ada beberapa karakternya yang memang ciri
karakter Pemimpin pada umumnya:
1) Fathonah
Bang Rusdi dikenal memiliki keunggulan wawasan terkait pengetahuan
ekonomi politik, pendidikan kaum tertindas, perlawanan ketidak-adilan dan
budaya. Kelompok demonstran banyak menerima pengetahuan dan menga-
kui ke-fahonah-an di bidang tersebut.
2) Sidiq
Ucapannya jujur, tidak berbohong, tidak korup, tidak suka bergurau.
3) Tidak pernah menggunjing
Setiap obrolan dengan Beliau, tidak pernah membahas keburukan,
kelemahan teman secara personal; kecuali orang yang memiliki kewenangan
(otoritas), kekuasaan, atau pejabat public karena orang-orang itu memang
diberikan amanah, yang dengan kekuasaannya dia bisa mensejahterakan
kaum pinggiran, dan mengurangi penindasan terhadap masyarakat lemah.
4) Konsisten memperjuangkan, melawan ketidak-adilan
Sejak zaman mahasiswa sampai dengan akhir hayatnya, Bang Rusdi se-
lalu menyuarakan, menggaungkan sikap perlawanan atas ketidak-adilan.
Tidak takut bahaya, keselamatan jiwa, dan peluang dipenjarakan ada di-
hadapannya. Meskipun saat tinggal di sekitar Jakarta dia bisa saja memilih
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 161
mengabdi pada dunia pergerakan yang pro kepada kapitalisme dan oligarki,
toh dia tetap konsisten pada pilihannya.
5) Hidup sederhana
Sikap sederhana, tidak bermegah-megahan membuat para koleganya
menaruh hormat pada Beliau.
Paling tidak, lima karakter, sikap yang Beliau miliki ini membuat Suheng
Rusdi Tagaroa selalu dikenang, dihormati oleh teman-teman, yuniornya
yang merasa kaget dan sangat kehilangan atas berpulangnya Beliau.
Semoga Bang Rusdi ditempatkan di tempat Mulia di Sisi Allah. Padang
kuburane, jembar dalanne, Terang tempatnya dan luas jalannya. Aamiin yaa
robbal aalamiin. n Djoko Sawolo
162 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
39
Tujuh Cerita Penggugah
Bila sempat kau biarkan setiap kemapanan menjadi jembatan kekua-
saan, maka sesaat kemudian ia bisa berubah menjadi tirani penebar
penderitaan..
Cerita pertama.
Sekitar tahun 1987-88, hampir setiap hari Jumat, ba’da Jumatan di Mas-
jid Baabul Hikmah Universitas Mataram, saya berjalan ke Gedung Fakultas
Ekonomi lantai 2 untuk mengikuti diskusi HIMPESS ( Himpunan Mahasiswa
Peminat Ekonomi Dan Studi Sosial) yang dikelola oleh Bang Rusdi, Mardi
Puswahyu, dkk. Dari situlah terbangun gerakan kelompok studi di Universi-
tas Mataram. Saya dan kawan kawan, dari studi matematika, pun sempat
membuat kelompok studi bernama HIMAPAMA, Himpunan Mahasiswa Pecin-
ta Matematika.
Cerita kedua.
Pada saat forum daerah Walhi Bali-Nusra di Praya, Lombok Tengah, ta-
hun 1992. Melihat kondisi gesekan antar calon pimpinan Walhi saat itu, Mas
Rusdi merasa harus ada yang diperbaiki dalam paradigm berorganisasi di
Walhi saat itu. Untuk dapat ikut berkontribusi gagasan, dipersyaratkan un-
tuk menjadi lembaga anggota. Pada saat itulah kami mendirikan sebuah
organisasi bernama LAREMA, Lapangan Relawan Kemanusiaan
Cerita ketiga.
Suatu siang, saya sempatkan main ke Kantor Koslata di BTN Taman,
Mataram. Suasana sepi, pimpinan dan staf mungkin sedang keluar. Saya naik
ke lantai atas, ternyata ada Mas Rusdi di ruangannya. Konon, sudah beber-
apa pekan tidak keluar kamar, hanya karena ingin menghabiskan membaca
buku. Hebat, tahan banget,...” Apa gak lapar,” gumam saya dalam hati.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 163
Cerita keempat.
Suatu sore, saya ketemu Bang Rusdi dir umah Mas Tjatur. Dimasa itu,
saya sedang menggemari aktif di organisasi dakwah Islam. Bang Rusdi ber-
tanya, “ Me, di sorga itu ada perpustakaan nggak? Kalau ada saya mau dech
ikut aktif beragama”,
Cerita kelima.
Suatu saat, saya berkunjung ke kantor Bang Rusdi. Kala itu beliau masih
di Komite Independent Pemantau Pemilu (KIPP). Saat itu, KIPP merupakan
LSM yang sangat di segani di Indonesia, dan Bang Rusdi konon adalah peja-
bat teras di sana. Setelah ngobrol sebentar, saya ditraktir makan di warteg,
warung sederhana di dekat kantor itu. Walau beliau menjadi orang populer
sejagad Indonesia, beliau tetap sederhana dan bersahaja.
Cerita keenam.
Seusai melaksanakan shalat jumat di Masjid Istiqlal, saya berkunjung
ke kantor Bang Rusdi, di Jalan Veteran. Sekantor dengan Budayawan Besar
Taufiq Rahzen. Disanalah saya banyak belajar tentang manajemen organi-
sasi kebudayaan. Bang Rusdi membukakan pintu untuk saya untuk terakses
dengan orang – orang besar di Indonesia ini.
Cerita ketujuh.
Bersama Bang Rusdi, Abah Syafiq, Dwi Sudarsono, Agus Saputra, Joko Sa-
wolo, Cukup Wibowo, dan kawan kawan lainnya, kami membuat organisasi
alumni, yang dinamakan FAUM, Forum Alumni Universitas Mataram. Setelah
menyelenggarakan berbagai webinar dan dialog intens, saya mengusulkan
untuk membuat Sekte Epistemology Mataramayana, Mazhab Pemikiran Ali-
ran Mataram. Seperti biasanya, Bang Rusdi senantiasa membesarkan hati
dan mendukung sekte itu. n Shri Lalu Gde Pharma
164 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
40
Mengenangmu,
Adik Lelakiku, Rusdi Tagaroa
Kami adalah keluarga sederhana yang bahagia. Ayah kami guru aga-
ma dengan panggilan ustadz Anwar. Ibu kami, Rukmini, perempuan he-
bat. Beliau adalah pedagang, penyiar di beberapa radio swasta, pe-
nyanyi keroncong, dan aktivis Aisyiyah di desa kami
Kami tiga bersaudara: aku anak tertua Roosana Hayati, Rusdi Tagaroa
nomor dua, dan si bungsu Rudi Hidayat
Saya dan Rusdi sekolah di SD Muhammadiyah dan Rudi di SD Negeri
Kilensari 1. SMP dan SMA kami sekolah di kota kabupaten di SMPN 1 dan
SMAN 1 Situbondo.
Meski jauh dari rumah kami, orang tua kami menyekolahkan kami di
sekolah favorit waktu itu, Harapannya, kami, anak-anaknya, menjadi
orang baik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kami seperti anak lainnya, kadang “acarok,” nanti berdamai lagi.
Biasanya, Rudi yang suka nakalan, suka memukul-mukul Rusdi, tapi ka-
lau dibalas dipukul juga sama Rusdi, Rudi suka nangis teriak-teriak lapor
sama ibu kami. Sehingga, jadilah Rusdi yang dimarahi.
Sejak dulu, Rusdi itu anak pendiam, suka ngalah, cerdas, bijak, low
profile, dan baik hati.
Alhamdulillah, dua adik lelakiku adalah lelaki yang hebat, cerdas,
baik hati, suka membantu, dan menjunjung tinggi persaudaraan/persa-
habatan di atas segalanya
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 165
Tanggal 12 Oktober 1978, ibu kami, Rukmini, wafat. Sejak saat itu,
saya, mbaknya merangkap menjadi ibunya (?).
Hobi seusai Ngaji
Dulu, di Panarukan, malam hari di sepanjang jalan pelabuhan, ramai
dengan penjual obat, penjual buah-buahan, penjual tape dan lain-lain.
Maklum, kala itu, Panarukan menjadi tempat singgah perahu-perahu
besar yang berlayar antara Sulawesi, Madura, Kalimantan dan Panaru-
kan.
Di malam hari, seusai ngaji, Rudi dan Rusdi suka mendengarkan
penjual obat. Biasanya, penjual obat selalu mengeluarkan permainan
terlebih dahulu untuk menarik pengunjung. Setelah pengunjung ramai,
mulailah berjualan obat.
Dari cara bicaranya, Rusdi tidak meledak-ledak dan bukan orator
yang menggebu-gebu. Rusdi lebih enak diajak ngobrol dan diskusi men-
dalam dan intens karena dia lebih banyak tahu kelanjutan apa yang
didiskusikan. Sering kali, saya dan Rusdi berdiskusi mendalam, entah
itu persoalan keluarga, buku-buku baru atau persoalan kemasyarakatan
dan kebangsaan. Saya senang karena pemikirannya jernih dan enak un-
tuk diikuti.
Pulang Kampung
Bulan April 2022, Rusdi telepon mengabarkan dirinya sakit flu, dan
batuknya tidak kunjung sembuh. Saya saranan untuk pulang kampung.
Biasanya, kalau sakit, dia pulang kampung. Saya rawat, pijat dan istira-
hat satu atau dua minggu. Setelah pulih, dia kembali pulang ke Serang,
Banten.
Waktu saya telepon, menyuruh dia untuk pulang kampung, dia se
perti enggan, malah bilang kalau sakitnya sudah mendingan, cuma pe-
rutnya agak sesak.
Tanggal 12 Agustus 2022, hari Sabtu, Dik Sofie telepon saya, me
ngabarkan kalau Rusdi masuk rumah sakit. Saya langsung telpon Rudi,
dan janjian untuk segera berangkat ke Jakarta.
166 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Tgl 14 Agustus 2022 pagi, Rudi sampai duluan di Rumah Sakit Serang,
dan siangnya, saya baru sampai juga di Rumah Sakit yang sama. Waktu
itu, Rusdi sedang tidur. Saya usap tangannya sambil berkata, “Saya dan
Rudi datang untuk menjaga dan menemanimu.” Dia membuka matanya
dan tersenyum. Diam-diam kami mengamati, kulit dan matanya sudah
menguning pertanda sakit lever sirosis.
Kalau kumpul bertiga, kami punya kebiasaan untuk tidur bersa-
ma-sama (lonkelon), bercerita apa saja tentang masa kecil yang indah,
tentang makanan jadul kesukaan di desa kami, keluarga, dan lain-lain.
Oleh karena itu, saya izin ke Dik Sofie dan Gaga, anak lelaki semata
wayangnya, agar malam itu biarlah saya dan Rudi menjaganya.
Alhamdulillah, makan dan minumnya mulai banyak, dan sudah sering
bicara. Teman-temannya banyak yang datang silih berganti, tak hen-
ti-henti, kadang bergurau atau foto-foto bersama. Tak utung, suasana
jadi ramai sekali manakala teman-temannya datang membesuknya.
Kondisi Kritis
Dik Sofie berinisiatif untuk membawa Rusdi ke rumah sakit yang lebih
lengkap: dokter dan peralatannya. Tanggal 20 Agustus 22, hari Sabtu,
jam 3 sore, kami:Rusdi, Dik Sofie, Rudi, dan saya berangkat naik mobil
ambulance menuju RS Primer Bintaro. Setibanya, kami semua diwajb-
kan test PCR.
Setelah dapat kamar 373, malam itu, Rudi bertugas menjaga Rusdi,
sementara kami bertiga menginap hotel untuk istirahat dan persiapan
piket menjaga Rusdi keesokan paginya.
Minggu, tanggal 21 Agustus 22 pagi, saya, Dik Sofie, Gaga, dan Japrak
berangkat menuju rumah sakit untuk gantian menemani Rusdi. Pagi
itu, kami sepakat, Gaga dan Dik Sofie kebagian piket jaga, sedangkan
saya dan Rudi kembali ke hotel.
Keesokan harinya, tepatnya jam 11.30 WIB, saya dan Rudi balik lagi
ke rumah sakit. Ternyata, kondisi Rusdi semakin melemah. Akhirnya,
kami memutuskan untuk bersamaan, berempat menemani Rusdi di ka-
mar perawatan.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 167
Kami hanyut dalam doa, tahlil, tahmid, takbir dan dzikir. Saya ciumi
tangan dan wajahnya. Saya tuntun dia dengan kalimat Lailahaillallah,
kalimat tauhid yang dengan ucapan bibirnya, dia akan dijamin berada
di jannah-Nya.
Rusdi, adik lelakiku, mengikuti ucapanku. Lailahaillallah dengan
perlahan, namun jelas.Senyum di bibirnya mengembang, dan tetes air
mata di sudut matanya mengakhiri perjalanan hidupnya.
Kucium keningnya dan kubisikkan padanya,
“Adikku, pergilah dengan tenang dan diridhoi. Masuklah ke
dalam golongan hamba yang sholeh
Dan. ....
Masuklah ke dalam surga-Nya.
Pergilah ...
Sebagai kakak dan pengganti ibu, aku ikhlas ...
Ayah dan ibu kita menunggumu di surga
Damailah dan bahagialah adikku
Selamat jalan menuju keabadian ....
Masih kuingat kata katamu adiku ....
Agar melatih untuk menyambut kematian dengan gembira
Dan ....
Bukan dengan air mata
Sudah waktunya kita mengubah persepsi kematian
Bukan lagi sebagai peristiwa duka cita
Tetapi ....
Kepastian dan kemenangan
Innalilahi wa innailaihi rojiun.
n Roosana Hayatie
168 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
41
Kekasih Kekal
Pagi hari, diakhir bulan Januari 1989. Saat itu, saya mau pulang
kampung karena libur semester. Di markas indekosku, di Jalan Kerinci
48 Mataram, tepatnya didepan kamar 05; dua orang terlihat sedang as-
yik berdiskusi tentang pèrekonomian Indonesia. Tanpa kopi. Hanya asap
rokok yang mewarnai percakapan tersebut.
Penasaran melihatnya, aku pun memutuskan untuk bergabung se-
jenak. Toh masih jam 7 pagi. Masih banyak mobil engkel (Hiace), an-
gkutan umum ke Pelabuhan Lembar, Lombok Barat. Maka jelaslah su-
dah. Mereka asyik dan begitu mendalam membahas utang luar negeri,
kemiskinan structural, dll. Pastinya, semua tema itu asing bagi saya.
Maklum, saya kuliah di Fakultas Peternakan, baru mau masuk semester
dua.
Ndak terasa, hampir satu jam saya hanya menjadi pendengar diskusi
Mas Rusdi dan Mbah Wahid (Nama keren dari Mas Wahid SDH). Tiba-ti-
ba, saya dikagetkan dialek Madura Mas Rusdi. “Beh gik tojuk deggi tak
nemmo bemo..cakna molea (Artinya, Lho koq masih duduk nanti nggak
dapet bemo. Katanya mau pulang).
Sepanjang perjalanan, terngiang kedalaman dan kecerdasan Mas
Rusdi yang begitu anggun menyuguhkan narasi-narasi perekonomian In-
donesia terkait utang, ketimpangan sosial, dan kemiskinan struktural
Sosok Rusdi adalah pribadi yang ramah. Bertemu dengan siapapun,
dia selalu melempar senyum khas yang begitu ikhlas di setiap perjump-
aan, dan dilanjutkan dengan sapa pertanyaan, bagaimana kabar?.
Setahu saya, aktivis-aktivis di Mataram yang muncul pada awal 1990-
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 169
an, pada umumnya adalah hasil didikannya. Ya, Mas Rusdi telah ba
nyak melahirkan bibit-bibit pergerakaan di dunia kemahasiswaan. Wa-
lau demikian, dia tidak pernah menganggap dirinya harus dihormati
karena senioritas. Sosok bersahaja ini juga tak pernah mau disanjung.
Kalau lagi bersedih, dia tak pernah menampakkannya. Saya kagum. Mas
rusdi telah mempersembahkan hari-harinya untuk membantu orang
yang sedang dalam kesusahan atau kesedihan. Mungkin, banyak orang
yang bisa beribadah semalam suntuk, namun banyak dari mereka tak
menolong sesama yang sedang dalam kesusahan.
Minggu sore. saya, bersama Arief Mahmudi, menjenguk anak yang
mondok di Mataram. Kami dikejutkan dengan berita duka via WA Grup.
“Rief,... Mas Rusdi meninggal dunia,” begitu pesan yang terbaca di
WAG. Kulihat, mata Arief berkaca-kaca, menahan tangis, dan sesak
dadanya. Bahkan saat itu, dia bilang dirinya sakit. “ Hak, asam lam-
bungku kumat,” katanya.
Mas Rusdi, selamat jalan menuju keabadian hakiki. Engkau telah
mempersembahkan hari-harimu dengan amal baik. Engkau telah mem-
bantu mereka yang kesusahan. Biarlah itu menjadi kekasih kekal di alam
kuburmu. n Taha
170 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
42
Surat (Pertama)
untuk Sang Pemimpi
Assalamualaikum Bang.
Aku sehat seperti ikan dalam air yang bebas tailing, dan kupastikan
dirimu demikian pula adanya. Bang, Mestinya aku langsung menyambut
tawaranmu waktu itu. Tawaran untuk saling menyurati, lantaran kita akan
jarang bertemu setelah Abang menikah dengan Mbak Sofi dan tak lagi men-
etap di Lombok.
Kesepakatannya waktu itu; kita surat menyurat tentang apa saja, cer-
ita apa saja, terserah, katamu. Mungkin kamu terinspirasi surat-surat Gie
kepada para sahabatnya, yang dari itu kemudian belakangan kita tahu per-
golakan apa yang tengah terjadi pada dunia di dalam dan di luar kepala
demonstran kala itu.
Surat-suratan itu tak pernah ada Bang. Setelah ku pikir persoalannya
ternyata pada ketidakmampuanku menulis yang berbalut kemalasan akut.
Menunda-nunda, lalu pura-pura lupa. Meski berkali-kali kau ingatkan, “Mana
tulisanmu?” Dan kamu cuma senyum manakala kutimpali dengan jawaban..
“siyap..!” (Lalu kembali senyap).
Jika surat menyurat itu berlangsung, aku membayangkan betapa kayan-
ya aku akan asupan energi maha asyik tentang berbagai hal yang kau geli-
sahkan Bang. Tentang mimpi-mimpimu, termasuk tentang rincian atas se-
buah pelajaran yang sempat kau sampaikan dengan bahasa verbalmu yang
terkadang misterius dan membutuhkan ekstra perenungan untuk kuter-
jemahkan.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 171
Tapi sudahlah Bang. surat itu memang tak pernah ada, sampai ku tulis
surat pertama ini. Ndak perlu dimaafkan, biar dosanya aku simpan, jadi
pelajaran untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan emas bila dia datang
bergegas. Tapi Bang (nyari nyari alasan ngeles..), apa mungkin lantaran ja-
rak kita yang masih bisa ditebak, menjadi musabab surat-surat itu tak per-
nah tampak?
Meskipun sudah tak lagi di Lombok, sesekali kamu masih berkunjung ke
Indonesia Kecil itu dan kita sempatkan bertemu. Lalu, materi yang mestinya
jadi konten surat-surat itu tumpah dalam obrolan kita yang seringkali tak
berstruktur. Aku menceritakan semua: apa yang sudah dan apa yang hendak
aku lakukan. Dan seperti biasa, kamu akan menimpali dengan pemband-
ing-pembanding, bukan penilaian salah benar, baik buruk. Dirimu selalu
menjadi guru yang tak menggurui, Bang. Kalaulah tak bisa bermuka-muka
langsung, aku masih bisa mendapati dirimu dalam dunia maya di akun me-
dia sosialmu Bang, dan sesekali kita masih bisa saling baku sapa di sana.
Minggu sore, 31 Juli 2022. Kami baru saja balik dari mengantar Gaung
dan Bentang yang mulai kuliah di Jogja. Kamu menyapa dengan sapaan khas
“Apa kabar kawan?” Sudah lama kita tak berbalas pesan lewat WhatsApp.
Aku menebak Abang ada di Mataram, tapi ternyata di Serang. Kamu bilang
belum bisa keluar kota dan, “kangen saja.”
Bang... selama kita bergaul belum pernah aku mendengar atau mener-
ima pesan dengan diksi ‘kangen’ darimu. Aku bergegas menelponmu, tapi
tak terjawab. Pikong punya firasat lain, dia memintaku menelpon ulang.
Tak lama berselang, giliran teleponmu yang masuk, sebuah panggilan video.
Maka ngobrollah kita sore itu Bang, aku dan Pikong juga dirimu. Seperti juga
kesaksian kawan-kawan yang lain, senyummu dipastikan menjadi mukadi-
mah di setiap perjumpaan.
Bang, hari itu aku masih menangkap semangatmu, manakala Abang
menunjukkan bakal panggung yang hendak dibangun di padepokanmu. Kau
bilang, tempat itu membutuhkan sentuhan seniman. Ah, terkadang kamu
berlebihan Bang, aku bukan seniman, cuma senang berkawan dengan seni-
man, dan mengagumi karya seni.
Belakangan kami memang banyak bergaul dengan para dalang di Sekolah
172 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Pedalangan Wayang Sasak. Di awal pendirian sekolah dalang itu, aku ingat,
kamu menyempatkan datang dan berdiskusi panjang tentang langkah-lang-
kah yang bisa kami tempuh untuk mengembangkan sekolah dalang.
Bang, waktu kami cerita tentang Wayang Botol, salah satu program yang
kami jalankan di Sekolah Dalang, Abang meminta kami datang ke padepo-
kan yang asri itu. “Tapi jangan pakai pesawat, pakai kapal laut saja,” kata-
mu. Kami mengiyakan Bang.
Terbayanglah kemudian, kita berkumpul dengan anak-anak di padepo-
kan itu, belajar membuat wayang dan langsung menggelar pertunjukan ber-
sama. Aku dan Pikong punya pemikiran bersama, kami akan ke sana men-
gajak beberapa kawan yang punya gairah yang sama; merawat yang akan
punah dan menjaga yang tumbuh.
Ketika berkesempatan ke Jakarta untuk sebuah kegiatan Aliansi Jurnalis
Indonesia (AJI), Pikong memintaku memundurkan jadwal kepulangan, biar
bisa bertemu denganmu, Bang. Tapi, Sang Maha Sutradara ternyata punya
skenario berbeda. Dia memanggilmu pulang duluan Bang, sebelum sempat
kita bermain wayang bersama dengan anak-anak dunia yang akan tumbuh
merdeka di padepokanmu.
Obrolan 36 menit, 7 detik, sore itu rupanya cara yang kau pilih untuk
berpamitan. Beberapa kawan juga kau sapa dengan cara yang sama, cara
yang sangat asyik. Dan kau juga sangat pandai menyelimuti sakitmu, Bang.
Sungguh kami terkecoh.
Bang, selain kerendahan hati, dan keikhlasan mengayomi, aku men-
cari-cari pelajaran penting apa yang hendak kau ajarkan padaku. Setiap
kawan yang mengenalmu ternyata punya cerita unik tentang pendekatan
yang kau pakai untuk sesuatu yang hendak kau tanamkan pada mereka. Dan
belakangan, aku baru bisa menyimpulkan, bahwa kekuatan imajinasi dan
keberanian untuk bermimpi, adalah mata kuliah utama yang aku dapatkan
dari kampus merdekamu.
Bahkan dalam dialog terakhir di Minggu sore itu, kita masih membin-
cangkan mimpi-mimpi, meskipun kita belum tahu bagaimana mimpi itu
akan diwujudkan, atau siapa yang kelak akan mewujudkannya.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 173
Bang, suratku mungkin sudah kepanjangan. Ada banyak cerita dari
kawan-kawan lain yang akan kau baca. Cerita-cerita tentangmu di mata
mereka Bang. Aku akan sangat bergembira bila mendapat balasan surat
darimu Bang, tapi pasti ada banyak kesibukan lain yang akan menyita wak-
tumu di sana. Tak mengapa Bang, aku juga tak ingin merepotkan.
Oh ya Bang, kalau bisa lobilah para malaikat yang tengah bersamamu,
minta tolong mereka untuk merayu Tuhan agar diizinkan membuat sebuah
panggung kecil di belakang Rumah-Nya. Disitu, kita akan berkumpul. Aku in-
gin menyaksikanmu kembali membacakan ‘Aku’ Chairil Anwar dengan peng-
galan-penggalan kalimat yang tak pernah kudengar dari para deklamator
selama ini;
Aku kalau sampai
Waktuku mau tak
Seorang kan merayu tak
Juga kau
Sambil tertawa, kau bacakan puisi mahsyur itu dengan caramu, cara
yang tak lazim Bang. Seperti mimpi mimpi, ide-ide, dan imajinasimu yang
melompat-lompat ke sana kemari, ke sisi-sisi yang tak terpikirkan orang
kebanyakan selama ini.
Tentu saja kawan-kawan lain akan bergantian membacakan puisi atau
berorasi dipanggung itu. Puisi dan orasi yang mengingatkan kita bahwa ..
dunia ini hanya senda gurau belaka!
Wassalamualaikum Bang. Sehatlah kau di rumah abadimu, seperti ikan
dalam air yang bebas tailing, dan kami semoga demikian pula adanya.
Bogor, 28 Agustus 2022.
Muridmu yang bengal itu Bang n Abdul Latief Apriaman
174 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
43
Bang Rusdi dan Jalan Pedang
Masih teringat ketika bersama Kak Latif (Abdul Latief Apriaman) be-
rada di Situbondo, Jawa Timur. Kami membawa sebuah buku yang tahun
itu sangat diburu oleh kawan-kawan gerakan, bahkan juga mata-mata
kaum militer, sebagai alasan untuk menangkap kami.
Disepanjang perjalanan, mengunakan bus patas, dari Sitobondo
menuju Malang, saya menyembunyikan buku itu dibalik baju, bagian
perut, agar tak mudah terlacak.
Buku “ Mati Ketawa Cara daripada Soeharto” Karya Rakyat Indonesia
pemberian Bang Rusdi Tagaroa pada awal tahun 1998 itu diterbitkan
oleh Pustaka Goro Goro. Ilustrasinya dibuat oleh Iskra (Guru Yayak Yat-
maka) dengan sangat satir, mengejek cara cara orde baru menghajar
siapapun yang berani melawan.
Singkat kata, setiba di tempat kos kami di Malang, segera kami lumat
habis kata demi kata. Lucu memang, dan kami pun sering dibikin terta-
wa sendiri, namun juga sakit hati terhadap ulah Soeharto. Sedemikian
lucunya buku itu, sampai-sampai saya membacanya berulang kali.
Dari Malang, buku itu ‘bergerak’ ke Lombok bersama Kak Latif, lalu
tersebar sampai kemana-mana.Sesuai amanah Bang Rusdi, buku tu bu-
kan untuk kami berdua atau saya sendiri, melainkan harus digilir mem-
bacanya hingga buku itu bergerak sampai kemana mana. Gaya memban-
gun kesadaran kolektif itulah yang kami curi dari Guru Rusdi yang baik.
Berikutnya, pertemuan demi pertemuan dengan Bang Rusdi Tagaroa
penuh kejutan, dan selalu berbeda. Ada saja yang memenuhi isi kepala
kami tiap kali bertemu dengannya.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 175
Mungkin, karena saya suka mendengar, maka apa saja yang dika-
takannya adalah nutrisi ilmu yang menjadi darah dan energi untuk tetap
bergerak dan pantang berhenti.
Meski Bang Rusdi tidak pernah menentukan jalan yang harus kami
tempuh, namun setiap kali bertemu dengannya, makin kuat tekad kami
untuk memilih “jalan pedang” dalam melawan segala ketimpangan.
“Jalan pedang” yang ditempuhnya adalah sikap tegas melawan keti-
dakadilan dan penindasan pada kelompok yang tak bisa bersuara, tanpa
tawar menawar. Tidak ada keharusan untuk mengikuti jejaknya, namun
jalan pikiran itu selalu diam-diam menyelinap ke dalam benak kami,
dan menjadi amunisi tiada henti.
Bacaan dan pengalamannya di lapangan, terutama pada kelompok
petani dan buruh migran, kerap kami jadikan bahan pembicaraan di se-
tiap pertemuan sederhana, hingga secara perlahan, kian mempertebal
keyakinan jalan yang kami tempuh.
Anomali
Sebelum perkenalan dengan Bang Rusdi sejak 1995, dalam beberapa
kali libur kuliah, saya berusaha sebisanya datang ke Kantor di Koslata.
Seperti biasanya, Bang Rusdi. duduk di kursi , dan berjam-jam ngobrol
dan berdiskusi bersama Kak Latif dan kawan kawan lain.
Suatu pagi, Bang Rusdi tampil rapi, berkemeja lengkap, bercelana
panjang dengan ikat sabuk meligkat di pinggangnya, dan sepatu pan-
tofel yang disemir mengkilat. Siang harinya, dia menanggalkan pakaian
kantornya dan melepas sepatunya. Kata Kak Latif, itu artinya, Bang
Rusdi sudah selesai jam ngantornya, dan akan mulai masak, menyiapkan
makan siang yang bisa dinikmati bersama. Tentu saja, menu utamanya
adalah tempe goring. Selain Bang Rusdi, ada pula guru kami satunya
lagi, Dwi Sudarsono yang selalu membantunya.
Suatu hal yang biasa dilihat kawan- kawan lain, yang datang dan per-
gi, sesaat atau berlama lama di Kantor Koslata, di Jalan Jember, BTN.
Taman Baru, Kota Mataram. Tapi, i bagi saya dan Kak Latif, laku Bang
Rusdi adalah pelajaran berharga, yakni “tetap konsisten dan disiplin”,
176 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
tidak mencampurkan urusan pribadi saat bekerja, tetapi urusan pribadi
bisa dipinggirkan dulu demi sebuah kerja panjang dan penting bagi ban-
yak orang.
Bagi kami, kejutan dari Bang Rusdi adalah hal yang anomali, dan
membuat Bang Rusdi memang berbeda dengan yang lain. Kesan itu be-
gitu kuat. Tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi Kak Latif. Kami ber-
dua, di mata Bang Rusdi, dianggapnya sebagai satu kesatuan yang kerap
mengganggunya. Ya, kami memang suka ganggu waktu lowong Bang
Rusdi.
Ketika Bang Rusdi menikah, hal itu menjadi kebahagiaan bagi kami.
Perempuan pendampingnya, Mbak Sofia, sungguh pilihan tepat bagi
Bang Rusdi. Pernikahan keduanya memang agak unik. Selain karena
emas kawinnya rada nyeleneh, buku berjudul “Zaman Bergerak”, juga
karena diwarnai kegiatan diskusi, yang kemudian kami tiru ketika kami
menikah tiga tahun kemudian.
Mbak Sofi memang meminta buku yang mempengaruhi hidup Bang
Rusdi sebagai mas kawinnya, Buku Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat
di Jawa 1912-1926, sebuah disertasi Takashi Shiraishi yang dialih baha-
sakan oleh Hilmar Farid.
Buku itu banyak mempengaruhi Bang Rusdi, seperti halnya beliau
mempengaruhi kami dengan selalu memberi suntikan, bahwa aksi ger-
akan itu diwujudkan dengan berbagai cara: melalui karya sastra, su-
rat kabar, lagu- lagu yang membangkitkan selera melawan, pemberon-
takan, serikat buruh dan bentuk- bentuk perlawanan lainnya.
Pada awal-awal mengenalnya, salah satu naskah teater saya, berju
dul Kardus-Kardus, sempat dibahas Bang Rusdi karena naskah itu me
ngulik perampasan tanah di bumi Terawangan. Naskah tersebut merupa-
kan hasil karya ketika saya masih duduk di bangku SMA.
Kardus kardus adalah gambaran gedung gedung yang dibangun diatas
penderitaan dan teriakan, dan dari dalam gedung- gedung itu muncul
sosok plastik yang membawa stick golf dan melahap apa saja di dekat-
nya. Ketika memang bukan hanya Terawangan yang terancam atas per-
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 177
ampasan itu, tapi juga Pantai Sire yang belakangan menjelma lapangan
golf.
Bang Rusdi terlalu kaya ide dan pemurah. Masukannya adalah pintu
masuk menuju pemikiran yang luas, melangit dan membumi. Cara me-
mandang keluasan dari ‘teropong’ kecil, sungguh itu sangat berharga
hingga kini.
Kebaikan itu adalah Rusdi Tagaroa
Yang tak bisa saya lupakan adalah ketika saya memilih keluar dari
Koslata, dan beralih menjadi jurnalis.
Bang Rusdi mengajariku betapa berharganya kerja pengarsipan.
Tahun pertama bekerja di Koslata, dengan gaji Rp 250.000 per bulan.
Sebelum wisuda, kerja saya adalah mengkliping berita-berita buruh mi-
gran, politik, dan masalah sosial yang terbit di koran lokal dan nasional.
Kertas bekas menjadi sasaran tempelan mengkliping.
Tidak hanya itu, tugas penting dari Bang Rusdi adalah membuat ana
lisis dan catatan dari satu bulan kliping koran yang dikliping.
Memberi penomeran pada buku-buku dan mendokumentasikan
semua kegiatan yang penting, baik foto dan video. Kerja -kerja pengar-
sipan itu adalah modal utama bagi saya belajar menjadi jurnalis. Hingga
kini, saya tetaplah belajar dari apa yang telah Bang Rusdi berikan.
Jembatan Network
Bang Rusdi adalah guru terbaik yang melatih kami dengan cara sunyi,
namun gemuruhnya sampai di ujung kepala, kemudian membakar ener-
gi tiada henti untuk melakukan apapun yang penting bagi misi gerakan.
Hingga kini, konsep membangun kesadaran kolektif itu menjadi sangat
penting. Karena, kesadaran itu tak ada gunanya bila hanya untuk diri
sendiri dan kelompok kecil saja.
Saya diberikan jalan untuk berkenalan dengan Guru Tedjabayu Soed-
jonono, tahanan politik selama 14 tahun di Pulau Buru. Pertemuan di
Koslata yang telah pindah ke Jalan Akasia III Karang Jangkong itu, makin
menguatkan bahwa Bang Rusdi telah memberi banyak amunisi.
178 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
Kerja- kerja pengarsipan dan berlatih di Tanak Awu dan Gerupuk, yang
kini menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK Mandalika), bersama Guru
Dwi Sudarsono, Burhanuddin SH, Guru Widodo Dwi Putra, dan tentu
saja Kak Latif, mendapat tanggapan seru dari Guru Tedjabayu. Hingga
kini, Guru Tedja adalah bagian penting dalam perjalanan kecil saya.
Bang Rusdi telah memberi jalan penghubung yang luas itu, saya
merasa begitu beruntung.
Saat saya menulis ini, saya baru tahu kalau Guru Tedja telah ber-
pulang 25 Februari 2021 lalu. Semoga Bang Rusdi dan Guru Tedjabayu
bertemu di jalan suci itu, dan mengosipkan saya.
Pelajaran menyimak darinya adalah amunisi terbaik, yang bisa kami
gunakan untuk belajar membaca dan bertutur. Bang Rusdi adalah juta-
an lembaran catatan yang kami kumpulkan satu persatu, … tak pernah
selesai hingga akhirnya guru yang baik kami ini menuju jalan suci yang
keren.
Bang Rusdi telah membangun banyak jembatan penghubung bagi ti-
ap-tiap kita, sehingga dari segala penjuru, kita bisa saling terkoneksi
menerima jalan baik yang telah diberikannya dengan cuma cuma tanpa
syarat.
Berbahagialah Gautama dan Mbak Sofia telah hidup bersama guru
kami yang kokoh. Bang Rusdi adalah suluh bagi kami (Saya dan Kak
Latif) disepanjang jalan dan jembatan- jembatan yang dibangunnya di
tiap hati kita.
Bang Rusdi membangunnya bukan untuk menuju jalan pulang sendi-
rian, tapi menyiapkanya bagi mereka yang bersepakat pada ‘jalan
pedang’, bagi mereka yang bersepakat pada jalan lurus, hangat dan
penuh cinta.
Salam hormat Bang,...
Dari aku, Pikong, yang tetap kecil seujung kuku itu. n Pikong
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 179
44
Inspirasi yang Tak Pernah Kering
Innalillahi Wainna Ilaihi Roojiun… Selamat jalan kawan, sahabat, “guru”
dan saudaraku Rusdi Tagaroa… Kita akan terus menjadi kawan… Dimanapun
kita berada… Tempat terbaik layak di sisi-Nya
Rusdi Sahabat Semua
Setelah Rusdi Meninggal, banyak orang, termasuk kami (Shaleh dan
Sumiati) ingin bercerita bahwa “kami” adalah sahabat, teman diskusi,
keluarga dan sebagainya. Awal terasa malu, takut dianggapnya klaim dan
mengada-ngada. Tapi, tanpa bisa dibendung, hasrat ini keluar begitu saja.
Karena kami bangga bahwa kami memang punya kawan, sahabat, “guru”
dan saudara bernama Rusdi Tagaroa. Rusdi adalah bagian dari kehidupan
kami, bagian dari badan kami, dan bagian dari gagasan-gagasan bersama
kami yang akan terus mengalir.
Rusdi Tagaroa memang ada di kehidupan banyak orang, termasuk kami
yang ada di Lombok, yang ada di Propinsi NTB, yang ada di provinsi-provinsi
lain di Indonesia, bahkan yang kini melanglang buana di negara lain. Rusdi
berteman dengan kalangan mahasiswa yang cinta demokrasi, rakyat yang
kini terus kehausan akan hidup layak, para aktivis sosial dan politik yang
sampai kini sama-sama mencari lorong-lorong keadilan, dan siapa saja yang
cinta damai. Rusdi adalah sahabat kita semua.
Diskusi, Belajar Bersama dan Bekerja Bersama
Di akhir tahun 1988 saya kenal Rusdi Tagaroa. Saat itu, kami sama-sama
mahasiswa. Beliau Angkatan lima tahun di atas kami, tapi kami berrasa se-
angkatan. Diskusi ke diskusi jadi makanan harian kami. Saat itu, kami bersa-
ma Rudi Hidayat (Adik kandung Rusdi), Cukup Wibowo, Yanti, Pharma, Sulis,
Tjatur, Jodi Wuriyantoro (almarhum), Mas Eko SB (Almarhum) dan banyak
lagi, diskusi dari satu tempat ke tempat lain. Mereka semua adalah teman
180 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
kami, dan mereka sahabat diskusi Rusdi Tagaroa, sahabat sampat saat ini.
Diskusi Gerakan Mahasiswa, soal tanah rakyat (Senggigi, Kuta, Rempek,
Mekkaki, Kekalik, Dam Mamak dan banyak lagi lainnya), perlindungan Buruh
Migran Indonesia (BMI/TKI), perlindungan perempuan dan anak, ecotour-
ism, hutan, pertanian dan nelayan, serta berbagai tema sosial pollitik keki-
nian juga tak lepas dari incaran diskusi kami. Seperti biasa, Rusdi Tagaroa
selalu mejadi inisiator, konseptor dan pemikir kritis pemberi warna diskusi.
Di awal tahun 90-an, kami bahagia bisa bekerja bersama dalam satu
lembaga, yaitu Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI). Lembaga ini berger-
ak untuk advokasi anak dan masyarakat miskin. Bersamanya lahir konsep,
yang hingga kini masih diingat dan dipakai, yaitu Konsep PABAM (Pendidikan
Alternatif Bagi Anak dan Miskin/Masyarakat), sebuah konsep belajar yang
menempatkan semua orang setara dan sama-sama punya hak untuk belajar.
Semua orang itu guru, dan alam raya sekolahnya. … Rusdi Tagaroa saat itu di
divisi Litbang (Penelitian dan Pengembangan).
Tahun 1997, saya kembali bekerja bersama dengan Rusdi Tagaroa dalam satu
lembaga, Koslata. Awalnya, singkatan dari Kelompok Studi Lingkungan dan
Pariwisata. Tetapi seiring waktu, Namanya berubah menjadi Yayasan Ko-
slata. Di lembaga tersebut, kami tidak hanya belajar di tataran diskusi dan
gagasan, tetapi secara riil kami bersama anak-anak pinggiran, masyarakat
dan kelompok marginal di berbagai desa mencari Lorong-lorong keadilan,
mencari alternatif pemecahan untuk bisa lebih maju, berdaulat, dan tetap
bahagia bersama.
Tak Pernah Kering
Setiap pertemuan dengan Rusdi Tagaroa adalah anugerah. Pasalnya, se-
lalu ada konsep/gagasan segar didapat. Ada pertemuan yang sifatnya intens
dan ketemu tatap muka, tapi ada juga yang hanya sekedar by phone atau
hanya say hello by Whattapp, facebook atau lainnya. Kadang, kami gelag-
apan ketika bertemu. Kerap kali, beberapa gagasan awal belum kami lak-
sanakan, sudah muncul gagasan lanjutannya.
Beberapa gagasan di bawah ini adalah sebagian contoh kecil yang tidak
lepas dari pemikiran Rusdi dan gagasan kawan-kawan lain. Misalnya: ten-
tang perlindungan anak, Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP)TKI NTB, siapa
bertanggung jawab untuk kasus perempuan dan anak korban strukrual, pe-
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 181
langgaran HAM dan kasus kemanusaian multidimensi, serta menjahit dan
jenis kelamin.
Perlindungan Anak
Rusdi Tagaroa pernah Bersama kami di Yayasan Tunas Alam Indonesia
(SANTAI), posisinya di Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Kami
meng-create konsep pndidikan alternative bagi anak-anak miskin, utaman-
ya di pedesaan, yang tidak mendapat akses pendidikan formal karena berb-
agai sebab dan alas an praktis.
Kalaupun mereka bisa sekolah, tapi tidak bisa membuatnya sadar dan
kritis akan diri dan lingkungannya. Menurutnya, sekolah itu candu yang
akan membuatnya menjadi lupa dirinya, lupa alamnya, lupa lingkungannya
dan lupa permasalahan disekitarnya.
Kami banyak berdiskusi tentang sejumlah model dan gagasan pendidilan
alternatif, antara lain, Pendidikan Pembebasan Paole Freire, sekolah anak
ala Totto-Chan, serta Pendidikan Nusantara ala Ki Hajar Dewantoro sebagai
bahan evaluasi dan refleksi mencari formula pendidikan yang tepat di tem-
pat yang teapt. Masih terngiang di ingatan kami. Saat itu, kami secara ber-
gilirian harus menjadi pembicara dan harus membuat tulisan kecil sebisan-
ya, menggunakan mesin ketik manual karena belum mengenal teknologi
computer. (Komputer saat itu belum populer seperti saat ini). Begitu Sebuah
cara Rusdi Tagaroa mengajari kami untuk terbiasa menulis dan mengem-
bangkan gagasan-gagasan.
Kesimpulannya, penidikan harus memberikan ruang semua anak bisa be-
lajar, belajar yang setara (equal), yang bisa memanusiakan manusia, bisa
peduli pada alam dan lingkungan. Dari diskusi Panjang inilah lahir Konsep
Pendidikan Aalternatif Bagi Anak Miskin / Masyarakat yang selanjutnya dike-
nal dengan istilah PABAM.
a. Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) TKI (PMI)
Tahun 2008, kami menjadi saksi sejarah bagaimana Layanan Terpadu
Satu Pintu (LTSP) TKI (PMI) NTB di resmikan. LTSP TKI NTB ini lahir pertama
kali di Indonesia yang selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya LTSP TKI di
seluruh propinsi di Indonesia, bahkan disebagian besar kabupaten/ kota di
Indoneisa. Harapannya, Lembaga terpadu ini dapat memberikan layanan
182 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
dokumen yang lebih aman, lebih cepat dan lebih murah.
Bisa dikatakan lebih aman, karena, dengan terpadu, pengurusan doku-
men PMI bisa diurus di satu tempat sehingga menghilangkan percaloan, pe-
malsuan dokumen dan antarpemberi layanan bisa bersinergi.
Bisa dikatakan lebih cepat, karena setiap pekerja migran Indonesia (PMI)
bisa membuat dokumen di satu tempat, dan prosesnya bisa lebih cepat,
proses menunggu bisa tidak terlalu lama.
Bisa dikatakan lebih murah karena dana yang akan dikeluarkan, biaya
transportasi bisa lebih kecil atau biaya dokumen, bisa diminimalisir. Den-
gan system satu Pintu, beberapa hal penting juga bisa termonitor, seperti
terjadinya saling koreksi dokumen, siapa berperan dan bertanggung jawab
apa, hingga soal-soal aliran dana dan peruntukannya.
Di periode ini, Rusdi Tagaroa tak hanya turut membantu memberikan
warna roh contens LTSP TKI NTB, tetapi di posisinya sebagai tim ahli (Staf
ahli) BP2MI (saat itu namanya BNP2TKI), ia bisa membantu mendorong dan
menjembatani--dengan kepala BP2MI Jumhur Hidayat—dalam memper-
juangkan konsep tersebut di tingkat pusat, sehinga layanan terpadu ini ber-
hasil menjadi kebijakan dan dilaksanakan secara nasional. Kami tahu, Rusdi
Tagaroa berjuang meyakinkan pemerintah pusat sehingga terbit nomenkla-
tur baru untuk LTSP TKI, termasuk men-skill-up LTSP ke semua provinsi di
Indonesia. Cara kerjanya silent, tapi berdampak sangat luar biasa.
b. Menjahit dan Jenis Kelamin
Sekitar Pertengahan Tahun 2019, di sela-sela diskusi, by phone, Rusdi me-
mesan baju bias gender. “Leh, buatin saya baju, ya… tapi bajunya tidak
bias gender, ya,” pintanya.
Sebelumnya, permintaan nyeleneh ini pernah disampaikan melalui Ari-
ef Mahmudi, namun tidak saya tanggapi serius. Awalnya saya kebingungan.
Baju apa yang tidak bias gender. Apakah baju yang selama ini kami jahit dan
pakai bias gender ? di mana bias gender-nya ? Akhirnya,… hingga sekarang,
permintaan itu belum kami penuhi.
Ternyata, pakaian / busana itu punya jenis kelamin. Dari sisi penempa-
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 183
tan kancing, asesori, serta efisiensi dan efektivitasnya. Hal ini baru kami
temukan maknanya setelah tiga tahun kami (shaleh dan Sumiati) mengge-
luti dan belajar menjahit.
Mata kancing sebelah kiri untuk perempuan. Seorang penjahit diang-
gap sangat tidak paham tentang teori menjahit, ketika kancing yang dipakai
untuk perempuan diletakkan disebelah kanan, dan sebaliknya kancing untuk
laki-laki di letakkan di sebelah kiri. Adakah perbedaan organ kanan dan kiri
perempuan, atau juga laki-laki ? Aktivis perempuan menilai, bahwa kancing
di sebelah kiri bagian perempuan memaknakan orang nomor dua setelah
laki-laki, atau dahulukan laki-laki baru perempuan. Duh….
Busana tertutup, tapi mudah “terbuka”. Tanpa disadari, banyak busa-
na seolah menutup sebagian besar anggota tubuh, tetapi tidak aman untuk
dirinya. Baju tidak aman (untuk perempuan dan laki-laki) akan memberikan
peluang untuk terjadinya kekerasan dari pihak lain.
Pakaian menghambat kinerja. Saking banyaknya model baju/busana,
orang menyebutnya dengan iklan 1001 model baju/busana, dan setiap
model dari 1001 model masih bisa dtambah dengan sal, sabuk, renda dan
lainnya yang melekat, belum lagi pada asesori yang tidak melekat dengan
baju. TAk Cuma itu, masih ada pula baju dalam yang bisa berlapis-lapis,
bahkan sampai empat lapis. Tidak heran jika pemakai harus menyiapkan
waktu khusus hanya untuk memakai busana, dan secara tak sadar telah
membuang banyak waktu. Tidak efisien!
Belakangan saya menyadari hikmah dari dari baju pesanan Rusdi tidak
pernah saya penuhi itu. Pertama, jangan ikut-ikutan melanggengkan baju/
busana yang bias gender. Kedua, sebenarnya, semua aktivitas yang kita laku-
kan bisa jadi bagian kerja untuk perubahan kehidupan rakyat agar bisa lebih
baik, sejahtera dan adil. Atau, meminjam bahasa Cukup Wibowo, “Semua
pekerjaan yang kita lakukan dengan ikhlas akan menjadi ladang amal, dan
itu ibadah.
c. Siapa bertanggung jawab untuk kasus perempuan dan anak korban
strukrual, pelanggaran HAM dan kasus kemanusaian multidimensi di
daerah?
Diskusi antara kami dan Rusdi Tagaroa tentang ini cukup panjang. Seki-
184 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
tar tahun (2009-2016), yang selanjutnya bersambung dengan beberapa per-
temuan insidentil di beberapa tempat dan tanpa direncanakan. Dan hingga
kini tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Pertemuan ini kerapkali juga mel-
ibatkan tim lain selain Rusdi Tagaroa.
Kasus perempuan dan anak korban struktural, pelanggaran Hak Asasi Ma-
nusia (HAM) serta kasus-kasus kemanusiaan multidimensi terus bermuncu-
lan semakin marak di Nusa Tenggara Barat. Saya duga, kasus-kasus semacam
ini juga terjadi di Provinsi lain. Kasus-kasus khusus semacam ini tentu tidak
efektif ditangani oleh Lembaga Perlindungan Perempuan Dan Anak pada
umumnya. Karena, pelakunya sering kali tak terjangkau oleh tupoksi dan
kewenangan mereka. Pun jika dipaksakan, biasanya ditangani dengan delik
hukum biasa, dan tak bisa menyelesaikan persoalan dasarnya, bahkan bisa
jadi, korban akan menjadi korban untuk kedua kalinya.
Dalam berbagai fakta-- kasus-kasus perempuan dan anak dalam pers-
pektif korban struktural, pelanggaran hak asasi manusia serta kasus-kasus
kemanusiaan multidimensi-- korban malah terjerumus menjadi korban lagi,
untuk kedua kalinya. Bahkan, para pembelanya juga banyak mendapat
ancaman dan kekerasan yang berpotensi membahayakan dirinya serta kel-
uarganya. Bisa dilakukan secara tidak langsung seperti telp dan/atau pesan
singkat, ancaman lewat media social, demo tandingan dari pelaku hingga
kekerasan secara fisik.
Lembaga strategis negara untuk perlindungan perempuan dan anak su-
dah lahir, diantaranya yang secara khusus adalah Komnas Perempuan dan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI dibentuk melalui Keputusan
Presiden No.181 Tahun 1998 yang selanjutnya diperkuat dengan Peraturan
Presiden No.65 Tahun 2005. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia
dibentuk melalui Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 yang selanjutnya
secara khusus dilahirkan Perpres Nomor 61 tahun Tahun 2016 tentang Komisi
Perlindungan Anak Indonesia. Tentu, masih banyak lagi lembaga independen
strategis untuk perlindungan perempuan dan anak, seperti kelompok organ-
isasi rakyat perduli perempuan dan anak, lembaga swasdaya masyarakat,
gabungan dari ormas, hingga partai politik.
Kedua lembaga strategis tersebut telah dimandatkan untuk bisa
mendekatkan perlindungan perempuan dan anak. Komnas Perempuan,
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 185
lewat Satker-Satkernya, sementara Komnas Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) lewat Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD). Dengan demikian,
perlindungan perempuan dan anak diharapkan bisa lebih efektif dan efisien.
Sayangnya, di saat memberikan perlindungan, Komnas Perempuan dan
KPAI bersifat sentralistis, sementara daerah hanya menjadi “jaringan pen-
ghubung,” hanya sebagai pembantu, bukan menjadi eksekutor di daerah.
Harapan efektif dan efisien itu akhirnya tidak terealisir, ibarat Jauh Pang-
gang dari Api.
Di NTB, dalam beberapa bulan terakhir, dipengujung tahun 2021, Tim
Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak NTB sekurang-kurangnya telah
mendapat laporan, melakukan pendampingan hingga melakukan kerja-ker-
ja advokasi. Diantaranya: soal perempuan dan anak korban Pembangunan
pariwisata di Mandalika, kekerasan pada perempuan di lembaga pendidikan
(kampus), kekerasan dan pelecehan kelompok perempuan difabel dan
pekerja migran, serta kekerasan oleh APH dan pejabat negara. Selain itu,
masih ada beberapa kasus lama yang belum tuntas, yaitu menyangkut nasib
masa depan anak-anak dan perempuan kelompok Ahmadiah.
Jika Aliansi ini didesain khusus untuk melakukan monitoring, investigasi,
mungkin fenomena gunung es perempuan dan anak korban struktural, pe-
langgaran HAM dan kasus multidimensi akan semakin banyak terungkap.
Nah, Masa depan mereka ada di tangan kita. Rusdi Tagaroa yang tel-
ah memulai menginisiasi kini telah tiada., “Jangan berhenti pada disku-
si-diskusi, gagasan-gagasan, konsep ke konsep, tapi harus terealisasi dan
berdampak pada kehidupan rakyat,” demikian pesan Rusdi yang patut kita
tindaklanjuti.
Alfatihah untuk kawan, sahabat, “Guru” Rusdi Tagaroa. Ladang amalmu
akan terus mengalir. n Muhammad Shaleh & Sumiati
186 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
45
For Mas Rusdi,
Inspirator Back to Situbondo
Kaget ketika membaca kabar di salah satu WAG, engkau telah tiada.
Tidak ada lagi yang akan tanya ;
“Beremma Situbondo Kek???”
(Kalimat yang sering dilontarkan ketika menelpon saya)
Kalimat tanya sederhana seorang diaspora Situbondo, yang rindu akan
kemajuan daerahnya.
“Jangan sesekali menyalahkan rakyat”
(Dua kalimat diatas sering terucap ketika sedang diskusi darat). Kalimat
penawar ketika curhat tentang Masyarakat Akar Rumput dengan Beliau.
Tidak heran jika banyak orang menyebutnya sebagai Guru, Ayah dan Ka-
kak. Beliau salah seorang yang kompleks dan tidak pernah berubah sikap
dan pemikiran sejak pertama kali kenal beliau.
Saya masih sangat ingat ketika pertama kali kenal dengan beliau melalui
Almarhum Mas Agus Edy Santoso (Agus Lenon), melalui WAG “Reng Pato’an”
(Sebuah grup WA beranggotakan anak rantau Situbondo dan lebih tepatnya
para aktivis senior tahun 80-an asal Situbondo).
Beliau orang Situbondo pertama yang menginspirasi saya untuk kembali
ke desa. Banyak sharing knowledge yang telah beliau transfer, khususnya
tentang gerakan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat desa.
Tidak hanya itu, beliau tidak ragu mengkritik apabila ada hal yang keliru.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 187
Namun, juga tidak pelit mengapresiasi karya seseorang, tanpa melihat umur
dan pengalaman yang sangat jauh dari beliau.
“Yan, Jangan Lupa Membaca dan Menulis,” demikian beliau selalu ber-
pesan.
Mas Rusdi, Abang yang tidak pelit. Setiap menanggapi ide dan gagasan
yang muncul dari adik-adik juniornya, beliau tidak segan untuk mereal-
isasikan sebagai sebuah project, dari akses pun beliau buka selebar-lebarn-
ya.
Hal yang paling membekas di benak saya, beliau belum pernah menge-
luh. Beliau selalu tampak fresh, baik secara fisik maupun batin.
Semoga kau tenang di alam sana, Mas. n Ahmad Ali Supyan
Catatan :
Mohon Maaf, mungkin tidak banyak yang bisa kami tulis. Sangat banyak hal
tentang beliau, dan mungkin butuh waktu mengembalikan memori-memori
indah bersama beliau.
188 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
46
Tokoh Pergerakan
Sederhana dan Inspiratif
Tahun 2010, di acara seminar tenaga pendidik dan kependidikan
se-Provinsi Banten, saya bertemu dengan Almarhum Rusdi Tagaroa. Penampi-
lannya sangat sederhana, murah senyum, dan tidak banyak kata-kata.
Kemudian, kami berdiskusi kecil yang dihadiri oleh beberapa teman. Isi di-
skusi sedikit bercerita tentang pengalaman masing-masing, terkait kegia-
tan yang berhubungan dengan sosial, pendidikan, lingkungan, ekonomi, dan
politik. Walaupun kalimat yang diucapkan Almarhum tidak begitu banyak,
namun memiliki nilai yang sangat mendalam serta mencerminkan pribadi
yang memiliki integritas moral serta berwawasan yang sangat luas. Sebagai
aktivis lokal Banten, saya banyak mendapat inspirasi untuk terus peduli
terhadap isu-isu, terutama yang menimpa masyarakat akibat dampak dari
kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat bawah. Hari-hari berikut-
nya, saya dan Almarhum melakukan interaksi dan komunikasi serta saling
berkunjung ke rumah masing-masing.
Ketika beliau membuka cafe di dekat Terminal Pakupatan Serang, saya
termasuk yang pertama kali diundang untuk menikmati hidangan secara
gratis. Cafe yang Almarhum bangun bersama Ibu Encop Sofia, M.A,tidak ha-
nya menghidangkan menu yang nikmat, tetapi juga sering dijadikan tempat
berkumpul para aktivis untuk berdiskusi program-program keumatan, se-
hingga beberapa sahabat Almarhum mampu mengembangkan program di
daerahnya: mendirikan lembaga pendidikan formal, pondok pesantren, dan
model-model pemberdayaan masyarakat berbasis potensi sumber daya lo-
kal. Almarhum Bapak Rusdi Tagaroa, baik langsung maupun tidak langsung,
memberikan edukasi terhadap tumbuhnya gerakan yang bersentuhan den-
gan kebutuhan masyarakat setempat.
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 189
Almarhum Bapak Rusdi Tagaroa pernah mengajak kami berkunjung
ke kantor Bapak Jumhur Hidayat, yang saat itu menjabat sebagai Kepa-
la Badan Nasional Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI). Pada saat itu, Almarhum mengenalkan kami --dengan berbagai
kegiatan masing-masing-- kepada Bapak Jumhur Hidayat. Spontan, Bapak
Jumhur Hidayat menyatakan membantu kegiatan untuk pemberdayaan
mantan TKI di Pontang dan Tirtayasa, yang dikelola oleh Saudara Masyhudi
dan Ade Firdaus. Kami juga pernah diikutkan dalam seminar nasional yang
diselenggarakan Kementerian Desa di Jakarta.
Kegiatan seminar tersebut menginspirasi saya untuk mendirikan Yayasan
Merdesa di Desa Linduk, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Sekarang
yayasan tersebut telah memiliki bangunan SMP, SMK. Pondok Pesantren,
dan Mushola. Almarhum Bapak Rusydi Tagaroa beberapa kali berkunjung ke
Yayasan Merdesa bersama teman-temannya. Beliau terlihat sangat senang
melihat perkembangan Yayasan Merdesa, Karena gagasan beliau diwujud-
kan oleh para sahabatnya dalam bentuk program nyata. Almarhum Bapak
Rusdi juga menginspirasi berdirinya Yayasan Al-Birru yang dipimpin oleh Dr.
H. Masyhudi, M. Pd, dan Ade Firdaus, M.A. Yayasan tersebut telah memiliki
Pondok Pesantren, MTs, dan SMK. Peran Almarhum sangat signifikan dalam
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak komunitas pergerakan untuk
berkiprah ditengah kehidupan masyarakat,
Kiprah Almarhum juga sejalan dengan aktivitas istrinya, Dra. Encop So-
fia, M.A, yang sangat cerdas, berintegritas, serta memiliki misi mulia yang
beliau ejawantahkan melalui keterlibatan langsung di dunia politik, sebagai
anggota DPRD Kota Serang dan Provinsi Banten.
Selamat jalan sahabat. Semoga Allah Swt menempatkanmu bersama
insan-insan muttaqin di Surga Firdaus. Aamiinnn yaa robbal ‘aalamiin. n
Syihabuddin, Dosen dan Peneliti dari Kampus UIN SMH Banten;
Ketua Asosiasi Pengusaha Desa Indonesia (APEDI) Provinsi Banten.
190 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
47
In memoriam
Sekejap, Kau Berikan yang Terbaik
Sosoknya yang tak lagi muda (Dibanding saya, red) saat awal berjumpa,
sempat menimbulkan rasa tak yakin pada dirinya. Perawakannya yang tak
begitu berisi, (menurut ukuran saya), dan rambut yang kebanyakan sudah
memutih. Kedua tampilan itu semakin membuat saya tak yakin pada sosok
pria ini.
Namun, tak terlalu lama, semua keraguan dalam diri saya sirna da-
lam hitungan hari. Saya yang kala itu, tepatnya di awal tahun 2020, baru
saja dipercaya menjadi Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi
Banten, butuh sekali orang-orang yang aktif dalam menjakankan roda or-
ganisasi.
Pun demikian dengan JMSI yang baru beberapa bulan saja di deklarasikan,
tepatnya di tanggal 8 Februari 2020. Sebuah organisasi baru, tentu saja
membutuhkan orang-orang yang tak kenal lelah dalam mengenalkan organ-
isasinya.
Membangun Optimisme
Pada saat dan waktu yang tepat itulah saya mengenal sosok Pak Rusdi
Tagaroa. Pria berperawakan tinggi, agak kurus, namun mempunyai sorot
mata penuh optimisme. Saya pun yakin mendapat partner yang tepat, lalu
mengajak beliau bergabung di kepengurusan JMSI Provinsi Banten, periode
2020-2025.
Awal-awal saya menjalani sebagai ketua JMSI Provinsi Banten inilah,
Pak Rusdi, menjadi salah satu pengurus yang rajin memberikan ilmu dan
pemikirannya dalam menjalankan roda organisasi JMSI Provinsi Banten.
Dengan tanpa ragu, Pak Rusdi memberikan ilmu dan pengalamannya dalam
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 191
berorganisasi. Yang masih saya ingat betulpada saat beliau bergabung ada-
lah keoptimisan dalam membesarkan JMSI di Provinsi Banten.
Tak heran, bila setiap ada kegiatan JMSI Provinsi Banten, Pak Rusdi se-
lalu memberikan dukungan penuh. Bahkan, Kami yang lebih muda, kadang
merasa tak sesemangat beliau. Malah, tak jarang beliau pula yang member-
ikan sebuah ide untuk dikerjakan dan beliau pula yang memberikan contoh
untuk langsung bertindak.
Saya dua kali diundang beliau untuk mengisi kegiatan di Media Damar
Banten, yang beliau kelola. Dan di dua kegiatan itu pun, tak segan ia mem-
perkenalkan saya yang masih junior sebagai ketua JMSI Banten, yang ka-
lau dibandingkan dengan pengalaman berorganisasi beliau, boleh dikata,
bagaikan langit dan bumi.
Perjuangan kami di Banten pun serasa tak sia-sia. Tak berselang lama,
kurang dari dua tahun, JMSI telah menjadi anggota konstituen Dewan Pers.
Meski tak seberapa yang kami lakukan, setidaknya, kami bahagia bisa ikut
mengantarkan JMSI menjadi salah satu konstituen Dewan Pers. Tntunya,
hal ini menjadi sebuah pencapaian tertinggi dari sebuah organisasi Pers di
tanah air.
Tak berselang lama, Pak Rusdi Tagaroa yang sudah kami anggap sebagai
keluarga, menyudahkan pemikirannya di JMSI Banten. Innalillahi Wainnaila-
hi rojiuun, Ya, guru kami telah berpulang keharibaan Allah SWT, di tanggal...
September 2022. Hanya sebentar saya dan pengurus JMSI Banten mengenal-
mu. Tapi, dari waktu yang sedikit itu, engkau bagaikan memberi pengala-
man yang tak mudah dilupakan Sekejap, Kau Berikan yang Terbaik”.
Selamat jalan kawan, sahabat, dan pejuang. Pembelajaran yang telah
engkau berikan pada kami, akan selalu kami teladani. Semoga engkau Hus-
nul Khotimah, diampuni semua dosa, diterima segala amal ibadahmu, dan
ditempatkan di Surganya Allah SWT, Tuhan Semesta Alam”, Aamiin Ya Raba-
lalamiin.n Wahyu Hariyadi.S.IP., Ketua Jaringan Media Siber Indonesia
(JMSI) Provinsi Banten
192 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
48
Mengenang Dakwah
ke Universitas Mataram
Sebagai mahasiswa pas-pasan di tahun 80-an, agak susah bagi saya
untuk bisa jalan-jalan keluar Pulau Jawa. Paling banter hanya ke Ja-
karta, Bandung, Surabaya, Malang, Semarang, atau ke Solo sekalian
menengok orang tua. Yang paling sering ke Jakarta, karena ongkosnya
masih terjangkau dan malah bisa dibilang paling gampang. Kaum ma-
hasiswa pas-pasan memiliki ilmu adiluhung yang memungkinkan untuk
naik kereta api dengan berbagai opsi.
Opsi yang paling memalukan, yaitu membayar tiket penuh, sebaiknya
dihindari. Ada opsi yang sedikit terhormat, yaitu berkolaborasi dengan
kebaikan hati kondektur untuk membayar ala kadarnya diatas kereta.
Dan opsi yang paling membanggakan adalah, tanpa membayar serupiah
pun hingga turun di stasiun tujuan. Ini berlaku untuk semua jenis kere-
ta, mulai kereta barang, kereta penumpang kelas kambing; seperti Gaya
Baru Malam, kereta kelas menengah seperti Senja Utama, hingga kereta
paling mahal pada jaman itu, Biru Malam alias Bima. Kami bisa naik di
bagian manapun: gerbong barang, gerbong penumpang, sambungan an-
tar gerbong yang disibut bordes, atau di kokpit masinis. Kami menguasai
sepenuhnya ilmu ini, dan hanya membagi ke mahasiswa sekaum. Sayang
sekali, tiga puluh tahun kemudian, ada revolusi perbaikan manajemen
PT KAI yang dilakukan oleh Meneg BUMN Ignatius Jonan, yang memati-
kan peluang kreatif ini. Akibatnya, tak ada lagi penumpang yang bisa
naik kereta api tanpa bayar. Inilah dosa terbesar Jonan yang tak akan
dilupakan oleh kaum mahasiswa pas pasan.
Dengan latar belakang itu, di tahun 1988, saya menerima undangan
dari koran kampus “Media” yang diterbitkan oleh mahasiswa Universitas
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 193
Mataram (Unram), NTB. Sebagai pemimpin redaksi majalah mahasiswa
UGM, Balairung, saya diminta untuk memberi materi pada acara pela-
tihan pers mahasiswa di Unram. Pucuk dicinta ulam tiba. Alhamdulillah,
inilah kesempatan bisa jalan-jalan jauh ke Pulau Lombok, yang ongkos-
nya diganti oleh panitia pengundang.
Inilah perjalanan panjang antar kota paling jauh yang pernah saya laku-
kan saat mahasiswa. Hari itu, saya naik bus kota dari dari kampus ke
Terminal Umbulharjo, kemudian ganti naik bus antar kota menuju ke
Solo. Selanjutnya, dari terminal Tirtonadi, Solo ganti bus lagi menuju
ke Surabaya. Dari Surabaya ganti bus lagi menuju ke Bayuwangi. Lanjut
menuju ke pelabuhan Ketapang, lalu naik kapal fery menyebrang ke
Pelabuhan Gilimanuk, Bali. Dari Gilimanuk lanjut ke terminal Ubung di
Denpasar, terus ganti bus lagi menuju ke Pelabuhan Padangbai di ujung
timur pulau Bali. Di sini, saya menunggu jadwal kapal untuk menye-
brang ke Pelabuhan Lembar, Lombok, NTB. Kata orang pelabuhan,
sehari hanya ada dua pemberangkatan dan kapal terakhir baru saja be-
rangkat. Maka, terpaksalah saya tidur di kawasan pelabuhan ditemani
gigitan nyamuk. Esoknya, barulah bisa naik kapal ferry yang tidak ter-
lalu besar meninggalkan Padangbai, menuju Lembar. Saya menikmati
betul pelayaran dengan kapal kecil yang terus-terusan digoyang ombak,
hingga merapat di Lembar. Dari sini, saya mendapat tumpangan truk
menuju ke kota Mataram, hingga sampailah di Universitas Mataram.
Inilah Universitas yang aneh, lokasinya di Pulau Lombok (cabe), dan
menggunakan nama kerajaan di kota Jogja.
Sampai di kampus, saya disambut oleh Agung Bawantara, awak koran
Media, mahasiswa Fakultas Peternakan. Disitulah kemudian, saya dike-
nalkan dengan beberapa tokoh koran Media, termasuk salah satu pendi-
rinya, Rusdy Tagaroa yang perawakannya kurus, Cukup Wibowo, dan
Budi Laksono yang dipanggil Bulak. Menjelang sore, saya diajak mampir
ke rumah Djody Wuryantoro, tokoh LSM yang mantan Sekretaris Dewan
Mahasiswa Universitas Indonesia saat diketuai Hariman Siregar. Setelah
ngobrol ngalor ngidul cukup lama, Agung mengajak ke kostnya Agung, di
Jalan Gunung Kerinci, Mataram. Di kamar kostnya Agung inilah kantuk-
ku tak tertahan, dan saya nginap di situ.
Esoknya, setelah sarapan, barulah saya memikirkan materi untuk
194 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
disampaikan ke peserta pelatihan, yaitu seputar peran pers mahasiswa
dalam gerakan mahasiswa.
Kampus Melempem
Sejak awal 1970-an, mahasiswa di kampus-kampus besar bersikap
kritis pada penguasa Orde Baru. Pada 1971, ada protes terhadap pem-
bangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dinilai memboroskan
keuangan negara. Ada juga demo anti dominasi modal Jepang yang
dipimpin oleh ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar, pada 1974.
Demo ini disusupi intel yang kemudian memicu huru hara pembakaran
kawasan Senen. Inilah yang dikenal sebagai tragedi Malari (Malapeta-
ka Lima belas Januari), yang berbuntut penangkapan para tokoh ma-
hasiswa dan tokoh politik, serta pemecatan Pangkopkamtib Jendral
Soemitro. Ada juga protes mahasiswa membela warga yang tergusur
dari lahannya, dan masih banyak lagi. Bisa dibilang, tiada tahun tan-
pa protes mahasiswa, yang kemudian berujung pada protes pencalonan
kembali Jendral Soeharto sebagai presiden pada SU MPR 1978. Ten-
tu saja, Pak Harto marah, dan memerintahkan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Doed Joesoef untuk memberangus aksi-aksi mahasiswa.
Buntutnya, pada 1979, Daoed Joesoef menerapkan apa yang disebut
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/
BKK). Intinya, mahasiswa tidak boleh lagi berpolitik praktis, alias pro-
tas-protes menentang pemerintah. Tak urung, Dewan Mahasiswa dib-
ubarkan, koran mahasiswa dibredel, para tokohnya di berbagai kampus
ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Memasuki tahun 1980=an, kampus
menjadi tenang, sepi dari aksi aksi protes mahasiswa.
Pembubaran Dewan Mahasiswa mengakibatkan mahasiswa tak lagi
mempunyai kelembagaan sentral yang memiliki dua keunggulan pokok:
sebagai wadah yang bagus untuk menggodok potensi kepemim¬pinan
mahasiswa secara sehat tanpa karbitan, sekaligus sebagai kelembagaan
sentral mahasiswa yang memiliki kekuatan dan posisi tawar terhadap
pihak di luar kampus, khususnya penguasa.
Dibredelnya pers mahasiswa mengakibat¬kan hilangnya pers yang
berani melontarkan kritik ke penguasa dengan bahasa lugas mahasiswa.
Pengadilan para tokoh mahasiswa tentu di¬maksudkan sebagai perin-
gat¬an agar mahasiswa generasi berikutnya kapok, dan tidak ikut-ikutan
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 195
beroposisi. Dan pemberlakuan NKK/BKK merupakan instrumen depoli-
tisasi, agar mahasiswa hanya menekuni kuliahnya saja, menjauhi akti-
vitas yang mengkritik dan menentang penguasa. Begitu alerginya pen-
guasa pada aktivitas politik mahasiswa, sampai-sampai nama Fakultas
Sosial Politik (Sospol) UGM diganti menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Harapannya, Untuk mahasiswa, politik adalah ilmu, bukan aksi
protes.
Begitulah, maka generasi mahasiswa pasca-NKK/BKK ini (dimulai an-
gkatan 1980) menjadi apolitis dan melempem, karena infrastruktur
politisnya (Dewan Mahasiswa dan Pers Mahasiswa) sudah dihancurkan.
Inilah generasi baru mahasiswa yang manis, tumpul kepekaan sosial,
apolitis, dan diindoktrinasi lewat penataran P4. Tapi, kondisi melem-
pem ini tidak bertahan lama. Memasuki pertengahan 80-an, muncul
beberapa kelompok studi mahasiswa. Salah satu yang terkenal adalah
Kelompok Studi Dasakung yang meneliti fenomena kumpul kebo di se-
buah kampung di dekat UGM. Hasil penelitian ini diliput oleh harian
Kompas dan menjadi gempar. Nama Dasakung pun melambung, dan
bermunculan berbagai kelompok studi lainnya.
Pada saat bersamaan, mahasiswa juga membangitkan kembali pers
mahasiswa yang dulu dibredel. Ada yang menerbitkan surat kabar maha-
siswa: seperti mahasiswa Universitas Nsional (Unas) yang menerbitkan
koran Solidaritas, ada yang menerbitkan majalah karena tidak diijinkan
menghidupkan kembali koran mahasiswa di kampusnya. Tetapi, aktivi-
tas penerbitan ini bukanlah tujuan utamanya. Bisa saja kadang terbit
kadang tidak, tetapi kelembagaan pers mnahasiswa mampu menjadi
titik temu para aktivis mahasiswa dari beragam aliran. Bahkan, pers
mahasiwa membangun jaringan antar kampus yang solid.
Kebekuan mahasiswa ini pecah pada 1987, ketika mahasiswa Univer-
sitas Hasanudin di Makasar menggelar aksi memprotes aturan yang me-
wajibkan penggunaan helm bagi pengendara motor. Aparat yang sudah
sekian tahun tak menghadapi aksi protes mahasiswa, seakan tergagap
lagi. Hasilnya, beberapa mahasiswa meninggal. Inilah yang kemudi-
an mulai memicu kemarahan mahasiswa. Di Bandung, Mahasiswa ITB,
dibawah koordinasi FKHJ, berbondong ke Jakarta menggelar protes di
DPR, membentangkan spanduk “Demokrasi, Bukan Tangan Besi?”
196 Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram”
1988, majalah mahasiswa Imbas (Fakutas Teknik Jurusan Elektro
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga dibredel oleh rek-
toratnya karena menerbitkan laporan penyimpangan keuangan rek-
torat. Bredel berlanjut menyasar ke enam majalah mahasiswa lainnya
di lingkungan UKSW. Dalam waktu hampir bersamaan, majalah Arena
(IAIN Sunan Kalijaga, Jogja) dibredel oleh rektornya, karena memuat
wawancara dengan Dr Arief Budiman, dosen UKSW yang saat itu dike-
nal sangat kritis pada rezim Soeharto, dan mantan demonstran semasa
duduk di bangku mahasiswa UI.
Ketemu “Penjahat” Mataram
Pada 11-12 April 1988, ada pertemuan pengelola pers mahasiswa
se- Indonesia di IAIN Sunan Kalijaga, Jogja. Maka, dibentuklah Komite
Pembelaan Pers Mahasiwa Indonesia. Kebetulan, saya ditunjuk menja-
di ketuanya, untuk mengadvokasi kasus pembredelan pers mahasiswa
UKSW dan IAIN Jogja itu. Inilah yang kemudian semakin membuat solid
jaringan pers mahasiswa nasional. Dan dari sinilah, pengelola koran ma-
hasiswa MEDIA Unram mengundang saya untuk berdakwah ke kampusn-
ya. Ini juga diluar dugaan saya. Sebab, sejauh ini yang aktif menyelang-
garakan acara semacam ini biasanya kampus kampus di Jogja, Jakarta,
Bandung, Semarang, Solo, Malang dan Surabaya. Mataram terlalu jauh
dari radar jaringan konsolidasi mahasiswa saat itu.
Nah, dengan bekal latar itulah, saya menyampaikan materi dengan
judul “Pers Mahasiswa Dalam Gerakan Mahasiswa Indonesia”. Dengan
atau tanpa makalah, sebenarnya saya hapal materi ini diluar kepala,
karena saking seringnya menyampaikan di berbagai acara diskusi, sem-
inar, dan pelatihan pers di berbagai kampus. Seputar periode itu, saya
selalu siap dengan tiga topik materi: tentang pers mahasiswa, tentang
gerakan mahasiswa, dan tentang perekonomian nasional, tepatnya kop-
erasi.
Sebagai mahasiswa yang “kurang benar”, saya selalu menggunakan
tiga tema itu sebagai sarana untuk “berdakwah”, membangitkan ke-
beranian mahasiswa mengritik pemerintahan Orde Baru. Istilah saat itu
adalah “menyebarkan kebencian pada Soeharto”. Jadi, pada dasarnya,
acara pelatihan, diskusi ataupun seminar hanya saya jadikan kedok un-
tuk menyebarkan kebencian ,he..hee...
Jejak Langkah Rudi Tagaroa “Inspirator Gerakan Mahasiswa Mataram” 197