15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 1 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Efektivitas Pemberian Kombinasi Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) dan Lemon (Citrus limon L.) untuk Meningkatkan Kadar Hb pada Wanita Menstruasi The Effectiveness of Giving Combination of Red Guava Juice (Psidium guajava L.) and Lemon (Citrus limon L.) to Increase Hb Levels in Menstruating Women Alia Nur*, Muhammad Faisal, Fajar Prasetya Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Menstruasi merupakan proses keluarnya darah secara teratur dan bersiklus, yang terjadi ketika dinding lapisan terdalam dari rahim (endometrium) luruh. Jambu biji merah dan lemon merupakan salah satu sumber buah yang dapat meningkatkan kadar hemoglobin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh dalam pemberian kombinasi jus jambu biji merah dan lemon terhadap peningkatan kadar hemoglobin pada wanita menstruasi. Desain penelitian ini adalah QuasyExperiment dengan metode Pre Test-Post Test with control group. Pengambilan sampel menggunakan teknik Purposive Sampling berdasarkan kriteria inklusi. Pengukuran kadar hemoglobin menggunakan alat EasyTouch GCHb yang dianalisis menggunakan Paired Sample T-Test dan Independent Sample TTest. Hasil penelitian pada kelompok perlakuan memiliki rata-rata kadar hemoglobin sebelum intervensi sebesar 11,4 g/dL, sesudah intervensi sebesar 13,9 g/dL dengan p-value 0,000. Pada kelompok kontrol memiliki rata-rata kadar hemoglobin sebelum intervensi sebesar 13,8 g/dL, sesudah intervensi sebesar 10,6 g/dL dengan p-value 0,000. Hasil analisis statistik Independent Paired T-Test memiliki nilai p-value 0,000 (kurang dari 0,05). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi jus jambu biji merah dan lemon secara signifikan dapat meningkatkan kadar hemoglobin darah pada wanita menstruasi. Kata Kunci: Jambu Biji, Lemon, Menstruasi, Hemoglobin Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Efektivitas Pemberian Kombinasi Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) dan Lemon (Citrus limon L.) untuk Meningkatkan Kadar Hb pada Wanita Menstruasi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 2 Abstract Menstruation is the process of regular and cyclical bleeding, which occurs when the lining of the uterus (endometrium) is shed. Red guava and lemon are one source of fruit that can increase hemoglobin levels. This study aims to determine the effect of giving a combination of red guava and lemon juice on increasing hemoglobin levels in menstruating women. The design of this research is QuasyExperiment with Pre Test-Post Test method with control group. Sampling using purposive sampling technique based on inclusion criteria. Measurement of hemoglobin levels using the EasyTouch GCHb tool which was analyzed using Paired Sample T-Test and Independent Sample T-Test. The results of the study in the treatment group had an average hemoglobin level before the intervention of 11.4 g/dL, after the intervention of 13.9 g/dL with a p-value of 0.000. The control group had an average hemoglobin level before intervention of 13.8 g/dL, after intervention of 10.6 g/dL with a p-value of 0.000. The results of the Independent Paired T-Test statistical analysis have a p-value of 0.000 (less than 0.05). Based on the results of the study showed that the combination of red guava juice and lemon can significantly increase blood hemoglobin levels in menstruating women. Keywords: Guava, Lemon, Menstruation, Hemoglobin DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.651 1 Pendahuluan Menstruasi merupakan proses keluarnya darah secara teratur dan bersiklus, dimana terjadi luruhnya dinding lapisan terdalam dari rahim (endometrium). Lapisan endometrium disiapkan untuk implantasi embrio. Luruhnya lapisan dinding rahim akan terjadi jika sel telur tidak dibuahi oleh sperma [1]. Jumlah zat besi yang dibutuhkan wanita setiap hari adalah 0,8 mg. Namun wanita dewasa mengalami kehilangan zat besi karena menstruasi yang meningkat rata-rata setiap hari, sehingga zat besi yang harus diserap adalah 1,4 mg per hari dan setidaknya 2,4 mg zat besi per hari untuk mengimbangi kehilangan yang sangat tinggi selama menstruasi [2]. Wanita membutuhkan asupan zat besi yang lebih tinggi daripada pria. Pada wanita, asupan zat besi tidak hanya dapat meningkatkan pertumbuhan, tetapi juga menggantikan zat besi yang hilang dalam darah akibat menstruasi bulanan. Karena wanita memiliki kebutuhan zat besi yang sangat tinggi, wanita berisiko mengalami kekurangan zat besi, yang kemudian dapat berkembang menjadi anemia [3]. Menurut data Riskesdas tahun 2018, prevalensi anemia pada remaja sebesar 32% yang berarti 3-4 dari 10 remaja mengalami anemia. Hal ini dipengaruhi oleh asupan gizi dan aktivitas olahraga yang kurang [4]. Pasokan zat besi dalam makanan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu makanan zat besi rendah seperti sereal, akar dan umbi-umbian, hampir tidak pernah makan daging, ikan dan makanan yang mengandung vitamin C. Zat besi sedang meliputi biji-bijian, akar dan umbiumbian, termasuk makanan dari hewani dan makanan yang mengandung vitamin C. Makanan dengan zat besi tinggi adalah makanan yang banyak mengandung daging, unggas, ikan, atau kaya vitamin C [5]. Kandungan mineral pada buah jambu biji merah (Psidium guajava L.) dapat mengatasi penderita anemia (kekurangan sel darah merah), karena mineral yang terdapat pada buah jambu biji merah dapat mempercepat pembentukan hemoglobin sel darah merah [6]. Kandungan nutrisi dalam 100 gram buah jambu biji merah mengandung energi 51 kkal; 11,88 gram karbohidrat; 0,82 g protein; 0,6 gram lemak; dan 183,5 mg vitamin C [7]. Lemon mengandung asam yang membantu membentuk rasa buah yang asam. Buah lemon merupakan sumber vitamin C dan antioksidan yang
Efektivitas Pemberian Kombinasi Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) dan Lemon (Citrus limon L.) untuk Meningkatkan Kadar Hb pada Wanita Menstruasi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 3 berkhasiat bagi kesehatan manusia, biasanya digunakan sebagai bahan penyedap masakan dan menghilangkan bau amis [8]. Komposisi utama lemon adalah gula dan asam sitrat. Kandungan jeruk nipis meliputi flavonoid, limonene, tanin, vitamin (C, A, dan B1) dan mineral (kalium, magnesium) [9]. Lemon merupakan buah yang kaya vitamin C dan antioksidan yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Dalam 100 g lemon mengandung 3,7% asam sitrat dan vitamin C 40-50 mg [10]. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi non-heme hingga empat kali lipat. Vitamin C dan zat besi merupakan senyawa askorbat besi kompleks yang mudah larut dan mudah diserap, sehingga sayur dan buah segar yang mengandung vitamin C dalam jumlah besar dapat digunakan untuk mencegah anemia [11]. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, botol minum, Easytouch GCHb, gelas ukur, mangkok, pemeras jeruk, pen lancet, pisau, dan timbangan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air mineral, alcohol swab, blood lancet 28G, jambu biji merah, lembar informed consent, lemon, dan strip hemoglobine Test. 2.2 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah wanita menstruasi. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik Purposive Sampling yaitu dengan memisahkan responden berdasarkan kriteria-kriteria inklusi, yaitu bersedia menjadi responden dengan menandatangani lembar informed consent, usia 15-24 tahun, sedang menstruasi saat penelitian. 2.3 Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengukuran kadar hemoglobin dengan jenis penelitian Quasy-Experiment menggunakan metode One Group Pre Test-Post Test with control design. Responden yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, yang dimana kelompok kontrol dan kelompok perlakuan merupakan responden yang sama. Peningkatan kadar hemoglobin akan dilihat melalui pengukuran kadar hemoglobin sebelum dan sesudah perlakuan. Kelompok uji diintervensi selama 5 hari yaitu mulai dari hari ke-1 menstruasi sampai hari ke-5 menstruasi. Kadar hemoglobin selanjutnya diukur pada hari ke-1 sebagai data Pre-Test, kemudian diukur kembali pada hari ke-3 untuk memantau kadar hemoglobin dan diukur pada hari ke-6 sebagai data Post-Test. Data pengukuran kadar hemoglobin sebelum dan sesudah pemberian intervensi dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan uji statistik Paired T-Test. 3 Hasil dan Pembahasan Tabel 1 Karakteristik Berdasarkan BMI Klasifikasi Frekuensi Persentase Kurus (< 18.4) Normal (18.5 – 25.0) Gemuk (>25.1) 4 13 3 20% 65% 15% Total 20 100% Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki IMT normal sebanyak 13 orang (65%), responden memiliki IMT kurus yaitu sebanyak 4 orang (20%), responden memiliki IMT gemuk yaitu sebanyak 3 orang (15%). Tabel 2 Karakteristik Berdasarkan Usia Klasifikasi Frekuensi Persentase 15 – 18 Tahun 19- 24 Tahun 4 16 20% 80% Total 20 100% Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden 80% berumur 19-24 tahun, dan 20% responden berumur 15-18 tahun. Tabel 3 menunjukkan hasil pengukuran kadar hemoglobin pada responden setelah diberikan perlakuan kombinasi jus jambu biji merah dan lemon, dimana terjadi peningkatan kadar hemoglobin. Peningkatan yang paling
Efektivitas Pemberian Kombinasi Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) dan Lemon (Citrus limon L.) untuk Meningkatkan Kadar Hb pada Wanita Menstruasi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 4 kecil 1,6 g/dL, sedangkan yang paling besar 4,8 g/dL. Tabel 3 Hasil Pengukuran Kadar Hb Responden (Kelompok Perlakuan) Responden Kadar Hemoglobin (g/dL) Pre-test Post-test Selisih Kp1 9.8 12.1 2.3 Kp2 8.6 11.2 2.6 Kp3 12 15.9 3.9 Kp4 10.9 14.7 3.8 Kp5 12.3 13.9 1.6 Kp6 11.7 13.5 1.8 Kp7 10.2 14.8 4.6 Kp8 12.2 14.6 2.4 Kp9 12.7 14.5 1.8 Kp10 12.9 15 2.1 Kp11 12.1 13.7 1.6 Kp12 11 12.9 1.9 Kp13 12.2 14.2 2 Kp14 11.7 13.3 1.6 Kp15 12.3 15.3 3 Kp16 11.9 14.3 2.4 Kp17 11.6 13 1.4 Kp18 11.8 13.6 1.8 Kp19 10.8 12.9 2.1 Kp20 10 14.8 4.8 Tabel 4 Hasil Pengukuran Kadar Hb Responden (Kelompok Kontrol) Responden Kadar Hemoglobin (g/dL) Pre-test Post-test Selisih Kk1 11.6 10 -1.6 Kk2 13.5 11.3 -2.2 Kk3 12.4 10.1 -2.3 Kk4 14.7 11.7 -3 Kk5 14.9 10.8 -4.1 Kk6 14.7 10.1 -4.6 Kk7 16.3 11.3 -5 Kk8 13.6 9.7 -3.9 Kk9 12 11.4 -0.6 Kk10 13.3 8.8 -4.5 Kk11 12.7 11.7 -1 Kk12 13.4 7.7 -5.7 Kk13 14.8 12.4 -2.4 Kk14 15.4 11.8 -3.6 Kk15 14.6 7.9 -6.7 Kk16 13.9 10 -3.9 Kk17 13.9 11.2 -2.7 Kk18 14.2 12 -2.2 Kk19 12.7 11.5 -1.2 Kk20 12.8 10.6 -2.2 Tabel 4 menunjukkan hasil pengukuran kadar hemoglobin pada responden setelah diberikan plasebo, dimana terjadi penurunan kadar hemoglobin. Penurunan yang paling kecil -0,6 g/dL, sedangkan yang paling besar -6,7 g/dL. Tabel 5 Hasil Analisis Uji Statistik Paired T-Test Variabel Mean t df Sig. Kadar Hb sebelum intervensi (Jambu biji merah dan Lemon) 11.435 -10.871 19 0.000 Kadar Hb sesudah intervensi (Jambu biji merah dan Lemon) 13.910 19 0.000 Kadar Hb sebelum intervensi (Plasebo) 13.770 8.720 19 0.000 Kadar Hb sesudah intervensi (Plasebo) 10.600 19 0.000 Tabel 5 menunjukkan adanya pengaruh pemberian kombinasi jus jambu biji merah dan lemon terhadap peningkatan kadar hemoglobin karena memiliki nilai signifikansi (2-tailed) 0,000 < 0,05 dimana menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara Pre-Test dan Post-Test, yang menunjukkan terdapat pengaruh bermakna terhadap perbedaan perlakuan yang diberikan pada masing-masing variabel. Tabel 6 Hasil Analisis Uji Statistik Independent T-Test Variabel Kelompok Mean t df Sig. Pre-Test Perlakuan Kontrol 11.435 13.770 -6.417 38 0.000 Post-Test Perlakuan Kontrol 13.910 10.600 8.518 38 0.000 Tabel 6 menunjukkan nilai signifikansi (2- tailed) 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan ada perbedaan signifikan hasil kadar hemoglobin antara kelompok yang diberikan kombinasi jus jambu biji merah dengan kelompok yang diberikan plasebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan kadar hemoglobin setelah diberikan kombinasi jus jambu biji merah dan lemon. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rusdi, et al (2018) yang menyatakan bahwa jambu biji merah dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan ferritin serum pada penderita anemia remaja putri dengan p value < 0,001 [12]. Kandungan mineral pada buah jambu biji merah (Psidium guajava L.) dapat mengatasi penderita anemia (kekurangan sel darah merah), karena mineral yang terdapat pada buah jambu biji merah dapat mempercepat pembentukan hemoglobin sel darah merah [6].
Efektivitas Pemberian Kombinasi Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) dan Lemon (Citrus limon L.) untuk Meningkatkan Kadar Hb pada Wanita Menstruasi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 5 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Putrianti (2020) yang menyatakan bahwa perasan air jeruk lemon dapat meningkatkan kadar Hb dalam darah para remaja [3]. Hal ini sesuai dengan pendapat Almatsier (2011) yang menyatakan bahwa makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C sangat bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus, sehingga dapat meningkatkan kadar Hb [13]. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi non-heme hingga empat kali lipat. Vitamin C dan zat besi merupakan senyawa askorbat besi kompleks yang mudah larut dan mudah diserap, sehingga sayur dan buah segar yang mengandung vitamin C dalam jumlah besar dapat digunakan untuk mencegah anemia [11]. Berdasarkan hasil analisis uji statistik Paired T-Test, nilai p value dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan yaitu 0,000 dimana nilai tersebut kurang dari 0,05 yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan dari pemberian kombinasi jus jambu biji merah dan lemon terhadap peningkatan kadar hemoglobin pada wanita menstruasi. 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian kombinasi jus jambu biji merah dan lemon dapat meningkatkan kadar hemoglobin darah pada wanita menstruasi dengan p value 0,000 (kurang dari 0,05). 5 Kontribusi Penulis Alia Nur: Melaksanakan penelitian, pengumpulan dan analisis data, menyusun pustaka, membahas hasil penelitian, serta penyusunan draft manuskrip. Fajar Prasetya dan Muhammad Faisal : Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip. 6 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 7 Daftar Pustaka [1] Purwoastuti, & Wulyani, 2015. Ilmu Obsetri & Ginekologi Sosial untuk Kebidanan. Pustaka Baru Press. Yogyakarta. [2] Sulistyowati. 2015. Pengaruh Jambu Biji Merah terhadap Kadar Hb saat Menstruasi pada Mahasiswi DIII Kebidanan STIKES Muhammadiyah Lamongan. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 11 (2). [3] Putrianti, B, 2020. Efektivitas Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) dan Jeruk Lemon (Citrus medica) terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin pada Remaja. Jurnal Kesehatan Karya Husada, Vol. 1 (8). [4] Kemenkes, R, 2019. Laporan Nasional Riskesdas 2018. Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. [5] Syatriani, S., & Aryani, A., 2010. Konsumsi Makanan dan Kejadian Anemia pada Siswi Salah Satu SMP di Kota Makassar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 4 (6). [6] Winarni, L., Lestari, D., & Wibisono, A., 2020. Pengaruh Pemberian Jus Jambu Biji Merah dan Jeruk Terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin pada Ibu Hamil Anemia: a Literature Review. Jurnal Menara Medika, Vol. 2 (2). [7] Ramayulis, R., 2013. Jus Super Ajaib. Penebar Plus. Jakarta. [8] Nizhar, U., 2012. Level Optimum Sari Buah Lemon (Citrus limon) sebagai Bahan Penggumpal pada Pembentukan Curd Keju Cottage. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. [9] Budiana, N., 2013. Buah Ajaib. Penebar Swadaya. Jakarta. [10] Trisnawati, I., Hersoelistyorini, W., & Nurhidajah., 2019. Tingkat Kekeruhan, Kadar Vitamin C dan Aktivitas Antioksidan Infused Water Lemon dengan Variasi Suhu dan Lama Perendaman. Jurnal Pangan dan Gizi, Vol. 9 (1). [11] Adriani, M., & Wijatmadi, B., 2016. Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan Cetakan ke 3. Prenadamedia. Jakarta. [12] Rusdi, P., Oenzil, F., & Chundrayetti, E., 2018. Pengaruh Pemberian Jus Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Terhadap Kadar Hemoglobin dan Ferritin Serum Penderita Anemia Remaja Putri. Jurnal Kesehatan Andalas. [13] Almatsier, S., Soetardjo, S., & Soekatri, M., 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 6 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020-2021 Evaluation of Medication Use in Patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) at Kanujoso Djatiwibowo Hospital Balikpapan in 2020-2021 Alida Adelia Islami* , Fahriani Istiqamah Jafar, Hadi Kuncoro Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang bersifat kronis dan sistemik ditandai dengan produksi antibodi yang berlebih sehingga menimbulkan berbagai manifestasi klinis pada organ tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui evaluasi ketepatan penggunaan obat pada pasien LES di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 - 2021. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan analisis deskriptif bersumber dari data retrospektif menggunakan data rekam medis dengan jumlah pasien sebanyak 48 pasien. Hasil penelitian menunjukkan data karakteristik pasien LES yang paling banyak berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan (87,5%), berdasarkan usia berkisar antara usia 26-35 tahun (33,33%), berdasarkan diagnosis adalah pasien tanpa penyakit penyerta (58,33%), berdasarkan derajat aktivitas LES adalah LES Ringan (62,5%). Obat yang paling banyak digunakan pada terapi tunggal lupus adalah obat golongan kortikosteroid yaitu metil prednisolon (89,58%) dan terapi kombinasi paling banyak digunakan adalah obat golongan kortikosteroid dengan imunosupresan (54,17%). Sedangkan ketepatan penggunaan obat meliputi tepat indikasi (100%), tepat obat (100%), tepat dosis (93,75%). Maka, disimpulkan bahwa pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020-2021 sudah efektif. Kata Kunci: Lupus eritematosus sistemik, Ketepatan penggunaan obat, Autoimun, Imunosupresan Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 7 Abstract Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic and systemic autoimmune disease characterized by the overproduction of antibodies resulting in various organ clinical manifestations. This study aims to find out how to evaluate the accuracy of drug use in SLE patients at Kanujoso Djatiwibowo Hospital of Balikpapan City in 2020 - 2021. This study was an observational study with descriptive analysis designs sourced from retrospective data using medical record data from 48 patients. Research results showed the most SLE patient characteristic data by gender were female (87.5%), by age ranging from 26 to 35 years old (33.33%), by diagnosis were patients without inclusion disease (58.33%), by the degree of SLE activity was SLE mild (62.5%). The most widely used drug in single-lupus therapy was corticosteroid class drug which was methylprednisolone (89.58%), and the most widely used combination therapy was corticosteroid class drug with immunosuppressant (54.17%). While the accuracy of drugs use includes right indications (100%), right drugs (100%), and right dose (93.75%). Then, it was concluded that the treatment of Systemic Lupus Erythematosus (SLE) at Kanujoso Djatiwibowo Hospital Balikpapan in 2020-2021 was effective. Keywords: Systemic lupus erythematosus, Accuracy of medication use, Autoimmune, Immunosuppressant DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.609 1 Pendahuluan Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang bersifat kronis dan sistemik ditandai dengan produksi antibodi yang berlebih sehingga menimbulkan berbagai manifestasi klinis pada organ tubuh [1,2]. LES juga memiliki perjalanan penyakit, dan penyebab penyakit sangat beragam sehingga sering kali terjadi kekeliruan dalam mengidentifikasi penyakit ini [3]. Lupus sering disebut penyakit “seribu wajah” oleh masyarakat karena memiliki karakteristik yang berbeda-beda pada setiap penderitanya [4]. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO [4] penderita LES di seluruh dunia telah tercatat sekitar 5 juta orang, sebagian besar merupakan perempuan dengan usia produktif, yaitu usia 15 sampai 50 tahun. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kesalahan dalam pengobatan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES dengan indeks aktivitas SLEDAI, dan MEX-SLEDAI. Adapun pengobatan medikamentosa penyakit LES, yaitu OAINS, antimalaria, kortikosteroid, serta imunosupresan [3]. Melihat sulitnya penetapan pengobatan pada penyakit LES, maka peneliti rasa penting untuk melakukan penelitian terkait evaluasi penggunaan obat pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020-2021 dengan berfokus pada parameter tepat indikasi, tepat obat, dan tepat dosis. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan yaitu laptop, handphone, pulpen, dan penggaris. Sedangkan bahan yang digunakan adalah data rekam medis, dan buku pendataan. 2.2 Prosedur Prosedur penelitian dilakukan dengan menentukan subjek penelitian yang didiagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (LES), kemudian dilakukan pendataan dan dianalisis data berdasarkan karakteristik pasien, pola pengobatan, dan dievaluasi ketepatan obat yang digunakan pada pasien Lupus Eritematosus
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 8 Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021. 2.3 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan deskriptif berdasarkan data retrospektif dari data rekam medis pasien yang didiagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (LES). 2.4 Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah pasien yang didiagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di Rumah Sakit Umum Daerah Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 yang memenuhi kriteria inklusi. 2.5 Analisis Data Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan pada lembar pengumpulan data. Data pasien yang diperoleh berupa data karakteristik pasien dan data pengobatan pasien LES. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel menggunakan persentase. 3 Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan jumlah pasien sebanyak 62 pasien dengan diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik. Dari total jumlah pasien, hanya 48 pasien yang memenuhi kriteria inklusi yang digunakan sebagai subjek dalam penelitian ini. 3.1 Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 1 Distribusi pasien LES di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Perempuan 42 87,5% Laki-laki 6 12,5% Total 48 100% Berdasarkan tabel diatas, diketahui bahwa pasien LES paling banyak berjenis kelamin perempuan dengan persentase 87,5%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa prevalensi LES lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki dengan perbandingan 15:1 hingga 22:1 [5]. Salah satu penyebab LES adalah hormon. Perempuan lebih beresiko terkena penyakit LES daripada laki-laki karena perempuan memiliki hormon prolaktin dan estrogen yang berperan dalam aktivasi sel T untuk membuat mereka lebih sensitif. Saat sel T menjadi lebih sensitif, hal tersebut dapat memperburuk penyakit LES dengan memperpanjang lama hidup sel-sel autoimun yang mengendap di jaringan atau organ. Selain itu, hormon estrogen pada perempuan dapat mengaktifkan sel B poliklonal yang menyebabkan produksi autoantibodi yang berlebihan pada pasien LES. Oleh karena itu, semakin banyak autoantibodi yang diproduksi, semakin lama kompleks imun mengendap di jaringan atau organ, dan akan semakin memperparah kerusakan yang disebabkan oleh banyaknya kompleks imun yang sudah lama mengendap [6]. 3.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia Tabel 2 Distribusi pasien LES di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 berdasarkan usia Usia Jumlah Persentase (%) 6-11 tahun 2 4,17% 12-16 tahun 6 12,5% 17-25 tahun 13 27,08% 26-35 tahun 16 33,33% 36-45 tahun 6 12,5% 46-55 tahun 5 10,42% Total 48 100% Data karakteristik usia paling banyak pada rentang usia 26-35 tahun dengan persentase sebesar 33,33%. Hal ini sudah sesuai dengan data Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2019) bahwa gejala dan dan tanda dari penyakit LES umumnya dapat muncul pada usia 9 sampai 58 tahun dengan rentang usia yang tertinggi pada usia 21 sampai 30 tahun, dan puncaknya terjadi pada usia 28 tahun. Sedangkan pada anak, puncaknya pada usia 13
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 9 tahun dengan rasio pasien perempuan dan lakilaki sebesar 9,5:1 [5]. 3.3 Karakteristik Pasien Berdasarkan Diagnosis Distribusi pasien LES paling banyak berdasarkan diagnosis adalah pasien tanpa penyakit penyerta yaitu sebanyak 27 pasien (56,25%) (Tabel 3). Tabel 3 Distribusi pasien LES di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 berdasarkan diagnosis Diagnosis Jumlah Persentase (%) Pasien LES dengan penyakit penyerta 20 41,67% Pasien LES tanpa penyakit penyerta 28 58,33% Total 48 100% 3.4 3.4 Karakteristik Pasien Berdasarkan Derajat Aktivitas LES Distribusi pasien LES paling banyak berdasarkan derajat aktivitas LES adalah LES Ringan yaitu sebanyak 30 pasien (62,5%) (Tabel 4). Tabel 4 Distribusi pasien LES di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 berdasarkan derajat aktivitas LES Derajat Aktivitas LES Jumlah Persentase (%) LES Ringan 30 62,5% LES Sedang 13 27,08% LES Berat 5 10,42% Total 48 100% Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia [3] derajat aktivitas LES dikategorikan menjadi 3, yaitu LES Ringan, LES Sedang, dan LES Berat. Hal ini dikarenakan seringkali timbul kebingungan dalam pengelolaan LES, terutama obat yang akan diberikan, dosis, lama pemberian, dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya untuk meminimalkan kemungkinan kesalahan adalah dengan menentukan tingkat keparahan LES. Berdasarkan derajat aktivitas LES tersebut, didapatkan persentase tertinggi yaitu 62,5% pada pasien LES di RSUD Kanujoso Djatiwibowo sebanyak 30 pasien yang dikategorikan dengan LES ringan. 3.5 Penggunaan Obat Lupus pada Pasien LES 3.5.1 Penggunaan Terapi Utama Pasien LES Tujuan terapi pengobatan LES adalah untuk mencapai masa remisi jangka panjang, meminimalkan aktivitas penyakit, mengurangi rasa nyeri, dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup sehari-hari tetap berfungsi dengan baik untuk kualitas hidup yang optimal [3]. Terapi utama yang digunakan pasien LES pada penelitian ini adalah golongan kortikosteroid, imunosupresan, analgetikantipiretik, OAINS, dan antimalaria. Tabel 5 Penggunaan terapi utama tunggal dan kombinasi pada pasien LES di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 Golongan Obat Nama Obat Jumlah Pasien Persentase (%) Kortikosteroid Metil Prednisolon 43 89,58% Imunosupresan Asam Mikofenolat 31 64,58% Azatioprin 8 16,67% Metotreksat 1 2,08% Analgetik-Antipiretik Paracetamol 5 10,42% OAINS Ketorolac 1 2,08% Ibuprofen 1 2,08% Meloxicam 1 2,08% Antimalaria Hidroksiklorokuin 1 2,08% Golongan Obat Kombinasi Jumlah Pasien Persentase (%) Kortikosteroid + Imunosupresan 26 54,17% Kortikosteroid + Analgetik-Antipiretik 4 8,33% Kortikosteroid + Imunosupresan + Analgetik-Antipiretik 3 6,25% Kortikosteroid + Imunosupresan + OAINS 3 6,25% OAINS + Analgetik-Antipiretik 1 2,08% Kortikosteroid + Imunosupresan + OAINS+ Analgetik-Antipiretik 1 2,08% Kortikosteroid + Imunosupresan+ Antimalaria 1 2,08% Berdasarkan tabel diatas, metil prednisolon dipilih sebagai terapi pengobatan utama yang paling banyak digunakan di antara obat lupus lainnya karena metil prednisolon dapat menjadi obat imunosupresif dan juga sebagai obat antiinflamasi [7]. Metil prednisolon adalah kelompok kortikosteroid sintetik turunan dari prednison yang efek kerjanya lebih kuat dari prednison dan dapat
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 10 diberikan secara oral ataupun intravena. Selain itu, penggunaan metil prednisolon lebih disukai karena dosisnya mudah diatur [8]. Kortikosteroid juga dianggap lebih baik daripada OAINS dalam mengatasi peradangan dan memulihkan fungsi selama aktivitas penyakit, sehingga kortikosteroid tetap menjadi pengobatan pilihan utama untuk terapi LES [9]. Penggunaan obat kombinasi yang paling banyak digunakan yaitu golongan kortikosteroid dengan imunosupresan sebanyak 26 pasien dengan persentase 54,17%. Kombinasi kortikosteroid dan imunosupresan dapat digunakan untuk mengontrol aktivitas imunologis dan mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut, diikuti dengan periode pemeliharaan untuk mencapai remisi dan mencegah flare. Kombinasi imunosupresan juga dapat membantu mengurangi efek samping dari penggunaan kortikosteroid yang berlebihan [10]. 3.5.2 Penggunaan Terapi Obat Tambahan pada LES Dengan Penyakit Penyerta Tabel 6 Penggunaan terapi obat tambahan pada pasien LES dengan penyakit penyerta di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 Golongan Obat Nama Obat Jumlah Pasien Persentase (%) PPI Omeprazole 20 41,67% Lansoprazole 16 33,33% Pantoprazole 1 2,08% Antibiotik Ceftriaxone 5 10,42% Cefixime 1 2,08% Cefotaxim 1 2,08% Antasida Sukralfat 3 6,25% Sanmag 1 2,08% Antasida Doen 2 4.17% Antikonvulsan Clobazam 1 2,08% Diazepam 1 2,08% Phenytoin 1 2,08% Diuretik Furosemid 3 6,25% Spironolakton 1 2,08% Antijamur Nystatin drop 2 4.17% Antispasmodik Braxidin 2 4.17% CCB Amlodipine 2 4.17% Opioid Tramadol 2 4.17% Antiemetik Ondansetron 2 4.17% Beta Blocker Bisoprolol 1 2,08% Mukolitik Acetylcysteine 1 2,08% Antipsikotik Olanzapine 1 2,08% ARB Candesartan 1 2,08% Antidotum Ca Polystyrene sulfonat 1 2,08% Selain terapi utama lupus, pasien LES juga menggunakan obat simtomatik lain untuk mengatasi penyakit penyerta yang diderita pasien dan untuk mengatasi efek samping dari penggunaan terapi utama. Berdasarkan tabel 6 didapatkan bahwa golongan obat PPI yang sering dipakai adalah omeprazole sebesar 41,67%. Golongan PPI digunakan untuk mengatasi efek samping penggunaan imunosupresan dan OAINS, serta sebagai terapi tambahan LES dengan penyakit penyerta seperti penyakit gastrointestinal [7]. Terapi antibiotik dengan jumlah peresepan paling banyak yaitu ceftriaxone sebanyak 10,42% yang sebagian besar digunakan oleh pasien LES dengan penyakit penyerta dispepsia. Ceftriaxone adalah senyawa sefalosporin yang bersifat bakterisid terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Bakteri yang menyebabkan dispepsia adalah H.Pylori, bakteri tersebut merupakan bakteri gram negatif. Sehingga penggunaan Cefttriaxone sudah tepat untuk membunuh bakteri tersebut [11]. Pasien LES rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi saluran cerna, infeksi saluran kemih, infeksi kulit, selaput lendir dan sistemik. Terdapat dua mekanisme yang dapat meningkatkan risiko infeksi pada pasien LES, yaitu faktor genetik yang menyebabkan terjadinya imunodefisiensi, dan perjalanan penyakit yang telah mencapai imunopatologi akut. Antibiotik merupakan salah satu pengobatan utama yang diberikan pada pasien LES karena penggunaan kortikosteroid sebagai imunosupresan dapat meningkatkan risiko infeksi[12]. Terdapat beberapa obat golongan lain yang digunakan oleh pasien LES, seperti antasida, antikonvulsan, diuretik, dll. Terapi obat golongan lain ini diberikan sesuai dengan keluhan atau gejala yang dirasakan pasien.
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 11 3.5.3 Penggunaan Terapi Obat Vitamin dan Suplemen Tambahan pada LES Tabel 7 Penggunaan terapi vitamin dan suplemen tambahan pada pasien LES di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 Golongan Obat Nama Obat Jumlah Pasien Persentase (%) Vitamin dan Suplemen Kalsium Laktat 31 64,58% Osfit 7 14,58% Elkana 6 12,5% Asam Folat 6 12,5% Osteocal 1 2,08% Kalium Klorida 1 2,08% Data penggunan vitamin dan suplemen dapat dilihat pada Tabel 7. Terdapat suplemen kalsium yaitu kalsium laktat yang digunakan untuk mengatasi osteoporosis akibat penggunan obat golongan kortikosteroid [7]. Asam folat digunakan untuk mengobati LES dengan penyakit penyerta anemia dan juga dapat digunakan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang untuk mencegah osteoporosis akibat penurunan massa tulang [13]. 3.6 Evaluasi penggunaan obat berdasarkan tepat indikasi Penggunaan obat dapat dikatakan tepat indikasi jika obat yang diresepkan telah sesuai diagnosis pasien dengan keluhan utama dan gejala lupus eritematosus sistemik. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, jumlah pasien yang terdiagnosis lupus eritematosus sistemik di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020- 2021 sebanyak 48 pasien yang telah memenuhi kriteria kerasional pengobatan menggunakan obat lupus dengan persentase 100%. Oleh karena itu, RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan sudah melakukan pemberian obat berdasarkan indikasi yang sesuai dengan penyakit yang diderita oleh pasien. 3.7 Evaluasi penggunaan obat berdasarkan tepat obat Ketepatan penggunaan obat dikatakan tepat obat dengan mempertimbangkan ketepatan kelas pemberian terapi, jenis obat, manfaat, dan keamanan obat yang diberikan berdasarkan guideline Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan British Society for Rheumatology. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, jumlah pasien yang terdiagnosis lupus eritematosus sistemik di di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020-2021 sebanyak 48 pasien yang telah memenuhi kriteria tepat obat dengan persentase 100%. Pemberian obat yang diberikan pada pasien telah sesuai dengan kriteria ketepatan obat yang ditentukan. 3.8 Evaluasi penggunaan obat berdasarkan tepat dosis Ketepatan penggunaan obat dikatakan tepat dosis jika obat yang diresepkan telah sesuai dengan guideline Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan British Society for Rheumatology dalam rentang dosis, interval, dan rute pemberian obat. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan persentase 93,75% yaitu sebanyak 45 pasien yang mendapatkan obat dengan dosis, interval dan rute pemberian obat yang telah sesuai dengan guideline yang digunakan. 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020-2021, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Karakteristik pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) paling banyak berdasarkan jenis kelamin adalah perempuan (87,5%), berdasarkan usia berkisar antara usia 26-35 tahun (33,33%), berdasarkan diagnosis adalah pasien tanpa penyakit penyerta (56,25%), berdasarkan derajat aktivitas LES adalah LES Ringan (62,5%). 2. Persentase penggunaan obat lupus pada LES yang paling banyak digunakan pada terapi utama adalah obat golongan kortikosteroid yaitu metil prednisolon (89,58%), terapi obat kombinasi yaitu obat golongan kortikosteroid dengan imunosupresan (54,17%). 3. Ketepatan penggunaan obat pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan
Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan Tahun 2020 – 2021 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 12 Tahun 2020-2021 yaitu tepat indikasi 100%, tepat obat 100%, tepat dosis 93,75%. 5 Ucapan Terima Kasih Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Kepala DIKLAT, Komite Etik, serta staf rekam medis RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan yang telah berkenan memberikan izin pengambil an data pada penelitian ini. 6 Kontribusi Penulis Alida Adelia Islami: Melaksanakan penelitian, pengumpulan data rekam medis, analisis data dan pustaka, membahas hasil penelitian, serta penyusunan draft manuskrip. Hadi Kuncoro dan Fahriani Istiqamah Jafar: Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip. 7 Etik Surat persetujuan kelayakan etik dikeluarkan oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD Kanujoso Djatiwibowo Kota Balikpapan, No.01/1/KEPK-RSKD/2022 8 Konflik Kepentingan Seluruh penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan dari penelitian ,penyusunan, dan publikasi artikel ilmiah ini. 9 Daftar Pustaka [1] Roviati, E. 2012. Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun Bawaan yang Langka dan Mekanisme Biokimiawinya. Scientiae Educatia: Jurnal Pendidikan Sains, 1(2). [2] Fatmawati, A. 2018. Regulasi Diri pada Penyakit Kronis-Systemic Lupus Erythematosus: Kajian Literatur. Jurnal Keperawatan Indonesia, 21(1), 43-50. [3] Kasjmir, Y.I., dkk. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia. [4] Kementerian Kesehatan RI. 2017. LES (Lupus Eritematosus Sistemik). Diakses pada 8 Januari 2022, dari http://www.p2ptm.kemkes.go.id/kegiatanp2ptm/subdit-penyakit-paru-kronik-dangangguan-imunologi/les-lupus-eritematosussistemik [5] Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2019. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia. [6] Khoerrunisah, A., Asrori, A., Karneli, K., & Edyansyah, E. (2021). FREKUENSI PROTEINURIA PADA PENDERITA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES). Journal of Medical Laboratory and Science, 1(2), 32-37. [7] Astini, S. P., Udayani, N. N. W., & Meriyani, H. (2021). Studi Retrospektif Penggunaan Obat dan Potensi Interaksi Obat Pasien Systemic Lupus Erythematosus. Jurnal Ilmiah Medicamento, 7(2), 77-83. [8] Touma, Z., & Gladman, D. D. (2017). Current and future therapies for SLE : obstacles and recommendations for the development of novel treatments. Lupus Science and Medicine, 4, 1– 11.Erythematosus. Jurnal Ilmiah Medicamento, 7(2), 77-83. [9] Helmi, Luthfi. 2008. Manifestasi Systematic Lupus Erythematosus pada Paru. Majalah Kedokteran Nusantara. 41 (1): 65-70. [10] Bertsias B, Fanouriakis A, Boumpas BT. 2017. Chapter 81 - Treatment of Systemic Lupus Erythematosus. In: Firestein, G. S., Budd, R. C., Gabriel, S. E., Mcinnes, I. B. & O'dell,J. R. (eds.) Kelley and Firestein's Textbook of Rheumatology (Tenth Edition). Philadelphia: Elsevier. [11] Wijayanti, A., & Saputro, Y. W. 2016. Pola Peresepan Obat Dispepsia dan Kombinasinya Pada Pasien Dewasa Rawat Inap di Rumah Sakit Islam Yogyakarta Persaudaraan Djamaah Haji Indonesia (PDHI) 2012. CERATA Jurnal Ilmu Farmasi, 5(1). [12] Barber, M. R. W., & Clarke, A. E. (2020). Systemic lupus erythematosus and risk of infection. Expert Review of Clinical Immunology, 16(5), 527–538. [13] Zanella, A., & Barcellini, W. (2014). Treatment of autoimmune hemolytic anemias. Haematologica, 99(10), 1547.
15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 13 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Aktivitas Antioksidan Teh Herbal Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Teh Herbal Bawang Dayak (Eleutherine americana) Antioxidant Activity Herbal Tea of Kelor (Moringa oleifera) and Herbal Tea Bawang Dayak (Eleutherine americana) Amalia Srikurniawati, Sabaniah Indjar Gama, Yurika Sastyarina* Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Daun kelor dan bawang dayak memiliki kandungan senyawa flavonoid yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Saat ini pengkonsumsian minuman herbal yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah minuman dalam bentuk teh herbal. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari teh herbal daun kelor (Moringa oleifera) dan teh herbal bawang dayak (Eleutherine americana). Metode penelitian ini yaitu pembuatan teh herbal dan pengujian aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Aktivitas antioksidan dari teh herbal daun kelor dan teh herbal bawang dayak diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan konsentrasi 10; 20; 30; 40; 50 ppm. Hasil pengujian didapatkan nilai IC50 dari teh herbal daun kelor sebesar 29,51 ppm dan teh herbal bawang dayak sebesar 18,49 ppm. Aktivitas antioksidan teh herbal daun kelor dan bawang dayak memiliki aktivitas yang tergolong sangat kuat, dimana nilai IC50 < 50 ppm. Kata Kunci: Antioksidan; teh herbal; kelor; bawang dayak; DPPH Abstract Moringa leaves and bawang dayak contain flavonoid compounds that can function as antioxidants. Currently, the consumption of herbal drinks that are widely consumed by the community is drinking in the form of herbal teas. This study aimed to determine the antioxidant activity of moringa leaf herbal tea (Moringa oleifera) and bawang dayak herbal tea (Eleutherine americana). The research method is the manufacture of herbal teas and testing of antioxidant activity using the DPPH method (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazil). The antioxidant activity of moringa leaf herbal tea and bawang dayak herbal tea was measured using a UV-Vis spectrophotometer with a concentration of 10; 20; 30; 40; 50 Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Aktivitas Antioksidan Teh Herbal Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Teh Herbal Bawang Dayak (Eleutherine americana) 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 14 ppm. The test results obtained the IC50 value of moringa leaf herbal tea of 29.51 ppm and bawang dayak herbal tea of 18.49 ppm. The antioxidant activity of Moringa leaf and bawang dayak herbal teas has a very strong activity, where the IC50 value is <50 ppm. Keywords: Antioxidant; herbal tea; kelor; bawang dayak; DPPH DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.610 1 Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam tanaman obat yang secara turun temurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Kemajuan pengetahuan dan teknologi modern saat ini tidak mampu menghilangkan peran obat tradisional, walaupun pada pemerintahan sekarang tengah mengelakkan pengobatan secara alami. Tanaman obat selain digunakan sebagai ramuan obat tradisional dapat juga diolah menjadi produk pangan fungsional seperti teh herbal. Teh merupakan minuman fungsional yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Teh yang dikonsumsi tersebut kebanyakan berasal dari daun jenis Camellia sinensis. Manfaat dari teh sangat banyak bagi kesehatan karena kandungan dari teh yang berbagai komponen zat aktif seperti polifenol. Selain itu, teh memiliki sifat menyegarkan dan memiliki khasiat sebagai antioksidan alami. Teh tidak hanya berasal dari tumbuhan teh saja, namun dapat dibuat dari tanaman lain misalnya daun kelor dan bawang dayak atau bahan lainnya [1],[2]. Daun kelor (Moringa oleifera) memiliki kandungan senyawa flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan. Senyawa ini sangat bermanfaat dalam pembuatan teh untuk kesehatan. Daun kelor mengandung flavonoid, alkaloid, antrakuinon, saponin, terpenoid, antosianin, tannin, dan karotenoid [3]. Pengolahan kelor dapat dilakukan dengan mengolah menjadikan kelor sebagai teh herbal, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari daun kelor. Selain daun kelor, tanaman obat yang dapat dijadikan sebagai teh herbal yaitu bawang dayak (Eleutherine americana). Bawang dayak merupakan tanaman khas Kalimantan. Tanaman ini memiliki kandungan senyawa seperti denol, flavonoid, tanin, glikosida, steroid, alkaloid yang berperan baik untuk kesehatan. Salah satu manfaat dari bawang dayak yaitu dapat berperan sebagai antioksidan. Antioksidan dapat menghambat dan mencegah kerusakan yang diakibatkan dari proses radiasi oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, bawang dayak memiliki potensi sebagai produk herbal, salah satunya dengan mengolah bawang dayak menjadi teh herbal [4]. Antioksidan merupakan senyawa yang bekerja dengan cara menghambat laju oksidasi dari suatu molekul atau menetralisir radikal bebas. Dengan mekanisme tersebut antioksidan dapat melindungi sistem biologi tubuh dari efek dari efek merugikan yang dihasilkan dari proses atau reaksi yang dapat meyebabkan oksidasi yang berlebihan [5][6]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari teh herbal daun kelor (Moringa oleifera) dan teh herbal bawang dayak (Eleutherine americana). 2 Metode Penelitian 2.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, blender, ayakan, timbangan analitik, kantung teh, termometer, hot plate, gelas kimia, batang pengaduk, kaca arloji, tabung reaksi, rak tabung, pipet ukur, propipet, mikropipet, pipet tetes, dan spektrofotometer UV-Vis.
Aktivitas Antioksidan Teh Herbal Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Teh Herbal Bawang Dayak (Eleutherine americana) 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 15 2.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun kelor, bawang dayak, aquades, DPPH (2,2 diphenyl-1-picrylhydrazyl), dan etanol pro analisis, 2.3 Pembuatan Teh Herbal Daun kelor dan bawang dayak diperoleh dari kota Samarinda, Kalimantan Timur. Selanjutnya, daun kelor dan bawang dayak dibersihkan dengan dicuci air mengalir. Setelah itu ditiriskan dan dirajang. Lalu daun kelor dan bawang dayak dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 50°C selama 8 jam. Kemudian daun kelor dihaluskan menggunakan blender, diayak mengguanakan ayakan mesh 20 dan ditimbang daun kelor dan bawang dayak lalu dimasukkan kedalam kantung teh sebanyak 2 gram. 2.4 Pengujian Aktivitas Antioksidan Serbuk DPPH ditimbang sebanyak 4 mg kemudian dilarutkan menggunakan etanol pro analisis dan dicukupkan dengan aquades hingga 100 mL. Selanjutnya di inkubasi selama 30 menit. Setelah itu, larutan DPPH diukur serapan pada panjang gelombang 510-520 nm untuk menentukan panjang gelombang maksimal DPPH. Lalu diukur larutan blanko dengan menambahkan 2 mL aquades dan 2 mL larutan DPPH, kemudian diukur serapan pada panjang gelombang maksimal yang diperoleh. Sebanyak masing-masing 2 gram daun kelor dan bawang dayak dimasukkan kedalam kantung teh. Teh herbal daun kelor dan bawang dayak masing-masing diseduh dengan 200 mL aquades dengan suhu 90°C dan didiamkan selama 10 menit. Setelah itu, masing-masing seduhan teh herbal dibuat seri konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm. Masing-masing seri konsentrasi diambil sebanyak 2 mL dan dimasukkan kedalam tabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan 2 mL larutan DPPH kedalam tabung reaksi yang telah berisi sampel lalu dihomogenkan dan diinkubasi selama 30 menit. Setelah itu, diukur serapan pada panjang gelombang maksimal. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Pengujian Aktivitas Teh Herbal Daun Kelor (Moringa oleifera) Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan terhadap teh herbal daun kelor dimulai dari pembuatan larutan DPPH selanjutnya dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum larutan DPPH pada konsentrasi 40 ppm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Dari pengukuran tersebut diperoleh panjang gelombang maksimum larutan DPPH 520 nm. Panjang gelombang tersebut digunakan untuk pengukuran absorbansi larutan teh herbal daun kelor. Larutan teh herbal daun kelor dibuat dengan berbagai seri konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi dan dihitung persen aktivitan antioksidan dari masingmasing konsentrasi sehingga diperoleh nilai IC50. Hasil pengujian aktivitas antioksidan teh herbal daun kelor (Moringa oleifera) dapat dilihat pada tabel 1. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa persen inhibisi teh herbal daun kelor mengalami peningkatan seiring meningkatnya konsentrasi. Hal ini disebabkan karena terjadinya reduksi radikal DPPH oleh antioksidan, dimana semakin tinggi konsentrasi maka partikel senyawa antioksidan akan semakin banyak sehingga semakin besar juga aktivitas antioksidannya dan menyebabkan absorbansi berkurang [7]. Berdasarkan hasil pengujian akttivitas antioksidan teh herbal daun kelor menunjukkan nilai IC50 sebesar 29,51 ppm. Tingkat kekuatan antioksidan yang termasuk sangat kuat yaitu antioksidan yang memiliki nilai IC50 < 50 ppm. Dengan demikian aktivitas antioksidan teh herbal daun kelor termasuk dalam kategori antioksidan yang sangat kuat [8]. 3.2 Pengujian Aktivitas Teh Herbal Bawang Dayak (Eleutherine americana) Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan terhadap teh herbal bawang dayak dimulai dari pembuatan larutan DPPH selanjutnya dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum larutan DPPH pada konsentrasi 40 ppm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Dari pengukuran tersebut diperoleh panjang
Aktivitas Antioksidan Teh Herbal Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Teh Herbal Bawang Dayak (Eleutherine americana) 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 16 gelombang maksimum larutan DPPH 520 nm. Panjang gelombang tersebut digunakan untuk pengukuran absorbansi larutan teh herbal daun kelor. Larutan teh herbal bawang dayak dibuat dengan berbagai seri konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi dan dihitung persen aktivitan antioksidan dari masingmasing konsentrasi sehingga diperoleh nilai IC50. Tabel 1 Hasil Pengujian Aktivitas Antioksidan Teh Herbal Daun Kelor C Log C ABS Rata2 %Inhibisi Probit IC50 = 29.51 ppm 1 2 3 blanko 0.557 0.562 0.559 0.559 ± 0.002 10 1 0.32 0.316 0.322 0.319 ± 0.003 42.90 4.818 20 1.30103 0.32 0.304 0.297 0.307 ± 0.01 45.11 4.8733 30 1.477121 0.277 0.28 0.284 0.280 ± 0.003 49.88 4.9964 40 1.60206 0.268 0.267 0.268 0.267 ± 0.0005 52.14 5.0542 50 1.69897 0.25 0.254 0.247 0.250 ± 0.003 55.24 5.1348 Tabel 2 Hasil Pengujian Aktivitas Antioksidan Teh Herbal Bawang Dayak C Log C ABS Rata2 %Inhibisi Probit IC50 = 18.49 ppm 1 2 3 blanko 0.474 0.485 0.478 0.479 ± 0.005 10 1 0.256 0.25 0.255 0.253 ± 0.003 47.04 4.9212 20 1.30103 0.244 0.241 0.248 0.244 ± 0.003 48.99 4.9698 30 1.477121 0.206 0.229 0.227 0.220 ± 0.012 53.93 5.0986 40 1.60206 0.217 0.221 0.216 0.218 ± 0.002 54.48 5.1144 50 1.69897 0.212 0.208 0.205 0.208 ± 0.003 56.50 5.165 Hasil pengujian aktivitas antioksidan teh herbal bawang dayak (Eleutherine americana) dapat dilihat pada tabel 2. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa persen inhibisi teh herbal bawang dayak mengalami peningkatan seiring meningkatnya konsentrasi. Hal ini disebabkan karena terjadinya reduksi radikal DPPH oleh antioksidan, dimana semakin tinggi konsentrasi maka partikel senyawa antioksidan akan semakin banyak sehingga semakin besar juga aktivitas antioksidannya dan menyebabkan absorbansi berkurang [7]. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antioksidan teh herbal bawang dayak menunjukkan nilai IC50 sebesar 18,49 ppm. Tingkat kekuatan antioksidan yang termasuk sangat kuat yaitu antioksidan yang memiliki nilai IC50 < 50 ppm. Dengan demikian aktivitas antioksidan teh herbal bawang dayak termasuk dalam kategori antioksidan yang sangat kuat [8]. 4 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan aktivitas antioksidan teh herbal daun kelor adalah 29,51 ppm. Sedangkan hasil aktivitas antioksidan teh herbal bawang dayak adalah 18,49 ppm. Aktivitas antioksidan teh herbal daun kelor dan teh herbal bawang dayak memiliki aktivitas yang tergolong sangat kuat, dimana nilai IC50 < 50 ppm. 5 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 6 Daftar Pustaka [1] Atmadja Taufiq Firdaus Al-Ghifari dan Andi Eka Yunianti. 2019. Formulasi Minuman Fungsional Teh Meniran (Phyllanthus niruri) Tinggi Antioksidan. Jurnal AcTion: Aceh Nutrition Journal Volume 4 Nomor 2. [2] Silaben, Marisi. 2005. Pengaruh Jenis Teh dan Lama Fermentasi Pada Proses Pembuatan Teh Kombucha. Skripsi: Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. [3] Nweze Nkechin Yere Onyekwew and Nwafor. Felix I. 2014. Phytochemical, Proximate, and Mineral Composition of Leaf Extracts of
Aktivitas Antioksidan Teh Herbal Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Teh Herbal Bawang Dayak (Eleutherine americana) 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 17 Moringa oliefera Lam. From Nsukkam, SouthEastern Nigeria. Journal of Pharmacy and Biological Sciences Volume 9, Issue 3. [4] Yuswi, Nusa Claudea Riane. 2017. Ekstraksi Antioksidan Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia) dengan Metode Ultrasonic Bath (Kajian Jenis Pelarut dan Lama Ekstraksi). Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 5 No. 1. [5] Rahim Abdul., Herlianti., dan Rostiati. 2019. Karakteristik Kimia dan Organoleptik The Daun Kelor (Moringa oliefera Lam.) Berdasarkan Ketinggian Tempat Tumbuh. Ghidza : Jurnal Gizi dan Kesehatan, 3(2). [6] Hariyatmi. 2004. Kemampuan Vitamin E sebagai Antioksidan terhadap Radikal BEbas pada Lanjut Usia. Journal MIPA Volume 14 Nomor 1. [7] Talapessy, S., Suryanto, E., & Yudistira, A. 2013. Uji aktivitas antioksidan dari ampas hasil pengolahan sagu (Metroxylon sagu Rottb). Jurnal Ilmiah Farmasi, 2(3). [8] Hidayah, Anita Sarah., Kiki Mulkiya., dan Leni Purwanti. 2015. Uji Aktivitas Antioksidan Umbi Bawang Dayak (Eleutherinebulbosa Merr.) Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba.
15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 18 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Formulasi Sediaan Gel Masker Wajah Peel-Off dari Ekstrak Daun Melati (Jasminum Sambac L.) Sebagai Antibakteri Penyebab Jerawat Formulation of Peel-Off Facial Mask Gel Preparations from Jasmine Leaf Extract (Jasminum sambac L.) as Antibacterial Causes Acne Andi Berbi Ollan Yunus*, Mirhansyah Ardana, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Jasminum sambac L merupakan tanaman yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat formulasi sediaan gel masker wajah peel-off dari ekstrak daun melati (Jasminum sambac L) sebagai antibakteri penyebab jerawat. Dilakukan optimasi basis gel peel-off dengan 4 variasi konsentrasi pva yaitu FB1 (7%), FB2 (10%), FB3 (13%), dan FB4 (16%). Dilakukan uji antibakteri ekstrak dengan konsentrasi 10%, 15%, 20%, dan 25%. Konsentrasi yang digunakan adalah konsentrasi ekstrak 10% dengan zona hambat terhadap bakteri P.acnes 10,17 mm. Sediaan gel peel-off ekstrak daun melati (Jasminum sambac L) dibuat 3 replikasi konsentrasi pva yaitu FR1 (10%), FR2 (10%), dan FR3 (10%). Hasil penelitian didapatkan sediaan berwarna cokelat kehijauan, berbau khas, tekstur kental, homogen, pH 5-5,5, daya sebar 5-6,2 cm, waktu mengering 16-27 menit, viskositas 12-25 Pa.s, dan tidak terjadi sineresis. Uji aktivitas antibakteri sediaan gel peel-off pada bakteri P.acnes menunjukkan zona hambat 5,61-7,29 mm (zona hambat sedang). Maka, dapat disimpulkan bahwa formulasi sediaan gel peel-off sebagai antibakteri dapat menghambat pertumbuhan bakteri P.acnes serta memenuhi karakteristik fisik. Kata Kunci: Jasminum sambac L, Gel Peel-Off, Antibakteri Abstract Jasminum sambac L is a plant thxat has antibacterial activity. The purpose of this study was to make a peel-off face mask gel formulation from jasmine leaf extract (Jasminum sambac L) as an antibacterial that causes acne. The peel-off gel basis was optimized with 4 variations of PVA concentration, namely FB1 (7%), FB2 (10%), FB3 (13%), and FB4 (16%). Antibacterial tests were carried out with Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Formulasi Sediaan Gel Masker Wajah Peel-Off dari Ekstrak Daun Melati (Jasminum Sambac L.) Sebagai Antibakteri Penyebab Jerawat 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 19 concentrations of 10%, 15%, 20%, and 25%. The concentration used was a 10% extract concentration with an inhibition zone of 10.17 mm for P.acnes bacteria. The peel-off gel preparation of jasmine leaf extract (Jasminum sambac L) made 3 replications of pva concentration, namely FR1 (10%), FR2 (10%), and FR3 (10%). The results showed that the preparation was greenish-brown in color, had a distinctive smell, thick, homogeneous texture, pH 5-5.5, spreadability 5-6.2 cm, drying time 16-27 minutes, viscosity 12-25 Pa.s, and did not occur syneresis. The antibacterial activity test of the peel-off gel preparation on P. acnes bacteria showed an inhibition zone of 5.61-7.29 mm (moderate inhibition zone). Thus, it can be concluded that the peel-off gel formulation as antibacteria was able to inhibit the growth of P.acnes bacteria and fulfill its physical characteristics. Keywords: Jasminum sambac L, Gel Peel-Off, Antibacterial DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.611 1 Pendahuluan Jerawat merupakan salah satu masalah kulit wajah yang sering dijumpai. Jerawat terjadi karena kondisi kulit yang meradang akibat adanya sumbatan folikel sebasea. Selain itu faktor lain seperti genetik, endokrin, psikis, stress, makanan, dan penggunaan kosmetik yang tidak cocok pada kulit juga merupakan awal penyebab terjadinya jerawat. Salah satu sumber pemicu peradangan pada jerawat yakni adanya aktivitas bakteri Propionibacterium acne [1]. Tanaman Melati (Jasminum sambac L.) merupakan tanaman dengan kandungan senyawa aktif seperti tanin, glikosida, alkaloid, saponin, dan flavonoid yang memiliki peranan sebagai antibakteri [2]. Sediaan masker gel peel-off merupakan salah satu sediaan masker yang pemakaiaannya cukup praktis dan mudah. Sediaan gel lebih baik digunakan untuk pengobatan jerawat karena sediaan gel dengan pelarut yang polar lebih mudah dibersihkan dari permukaan kulit wajah setelah pemakaian dan tidak mengandung minyak yang mana dapat meningkatkan keparahan jerawat [3]. Selain itu, sediaan gel peel-off dapat membantu penyerapan polifenol ke dalam kulit serta akan membantu mengencangkan, menyegarkan kulit, dan mengangkat sel kulit mati [4]. Tujuan dari penelitian ini ialah mengetahui optimasi basis sediaan gel peel-off, mengetahui aktivitas antibakteri sediaan gel masker wajah peel-off dari ekstrak daun melati (Jasminum sambac L.) dalam menghambat bakteri penyebab jerawat, mengetahui evaluasi sediaan masker wajah peel-off ekstrak daun melati (Jasminum sambac L.) telah memenuhi syarat uji sediaan. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat kaca dan alat non kaca, rotary evaporator, hot plate, timbangan analitik (Precisa®), pencadang, inkubator (Frailabo®), autoklaf (Tomy SN-700), LAF (Laminar Air Flow) dan mikrometer sekrup (Insize®). Bahan yang digunakan adalah aquades, biakan Propionibacterium acnes, daun melati (Jasminum sambac L.), HPMC, metanol 96%, metil paraben, NaCl 0,9%, Nutrient Agar, propilen glikol, tween 60, polivinil alkohol. 2.2 Ekstraksi Daun Melati Simplisia daun melati ditimbang sebanyak 500 gram lalu ditambahkan metanol 96% sampai simplisia terendam seluruhnya, kemudian dilakukan proses ekstraksi metode maserasi selama 3 hari dan setiap hari dilakukan pengadukan, selanjutnya dilakukan remaserasi kembali. Hasilnya disaring dengan kertas saring dan didapatkan filtrat. Filtrat
Formulasi Sediaan Gel Masker Wajah Peel-Off dari Ekstrak Daun Melati (Jasminum Sambac L.) Sebagai Antibakteri Penyebab Jerawat 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 20 kemudian diuapkan dengan rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental. 2.3 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan dengan berbagai konsentrasi menggunakan metode difusi sumuran. Media NA dicampur dengan suspensi bakteri sebanyak 0,1 ml ke dalam cawan petri dan tunggu hingga memadat. Kemudian dibuat lubang sumuran sebanyak lima lubang lalu dimasukkan ekstrak daun melati konsentrasi 10%, 15%, 20%, 25%, dan tween 60 sebagai kontrol negatif. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam kemudian diamati zona hambat yang terbentuk disekitar sumuran. 2.4 Optimasi Basis Masker Gel Peel-Off Tabel 1. Pembuatan basis masker gel peel-off No. Nama Bahan Konsentrasi (%) FB1 FB2 FB3 FB4 1. PVA 7 I0 I3 I6 2. HPMC 1 1 1 1 3. Metil Paraben 0,2 0,2 0,2 0,2 4. Propilen Glikol 10 10 10 10 5. Aquades ad 100 ad 100 ad 100 ad 100 Keterangan: FB=Formula Basis Pembuatan basis masker gel peel-off yakni dengan mengembangkan PVA selama 1x24 jam dengan menggunakan aquades panas, kemudian dikembangkan HPMC selama 30 menit menggunakan aquades dingin. Dilarutkan metil paraben dengan propilen glikol dan aduk hingga homogen. Dicampurkan semua bahan, kemudian tambahkan sisa aquades, lalu aduk hingga homogen. 2.5 Evaluasi Masker Gel Peel-Off 2.5.1 Organoleptis Uji organoleptis gel peel-off dilakukan dengan pengamatan secara langsung dengan mengamati tekstur, warna, dan bau [5]. 2.5.2 Homogenitas Diletakkan gel peel-off diatas kaca, kemudian diatasnya diletakkan kaca lain. Diamati secara visual apakah terdapat butiran kasar pada sediaan atau tidak [6]. 2.5.3 pH Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter, dengan cara dikalibrasi terlebih dahulu alat dengan menggunakan larutan dapar standar pH netral dan larutan dapar pH asam hingga alat menunjukan harga pH tersebut. Kemudian elektroda dicuci dengan aquades, lalu dikeringkan dengan tisu. Selanjutnya elektroda dicelupkan kedalam basis gel, sampai alat menunjukkan pH yang konstan [7]. 2.5.4 Daya sebar Diambil sebanyak 0,5 gram gel dan diletakkan di tengah plat kaca yang telah ditempeli kertas milimeter blok. Setelah didiamkan selama 1 menit,. Pengukuran awal diameter gel dimulai tanpa beban, kemudian ditambahkan beban 50 gram, 100 gram, 150 gram, 200 gram, hingga diperoleh daya sebar konstan dalam 1 menit [8]. 2.5.5 Waktu mengering Diletakkan basis gel peel-off sebanyak 0,1 g pada permukaan kaca kemudian diratakan dan ditunggu hingga mengering dan dicatat waktu yang dibutuhkan sediaan untuk mengering dengan stopwatch. Sediaan masker peel-off yang diharapkan yaitu mampu mengering pada waktu antara 15-30 menit [9]. 2.5.6 Viskositas Pengukuran viskositas basis gel peel-off dilakukan dengan cara menggunakan viskometer Rheosys. Sebanyak 1 g basis gel diletakkan permukaan silinder, kemudian viskositasnya diukur dengan viskometer yang dilengkapi dengan spindel dengan kecepatan 1 rpm. Nilai viskositas sediaan gel yang baik yaitu antara 2.000- 50.000 cps atau 2-50 Pa.s [10] 2.5.7 Sineresis Sebanyak 5 gram basis gel peel-off dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi hingga mencapai setengah volume tabung. Tabung kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 15 menit [11].
Formulasi Sediaan Gel Masker Wajah Peel-Off dari Ekstrak Daun Melati (Jasminum Sambac L.) Sebagai Antibakteri Penyebab Jerawat 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 21 2.6 Aktivitas Antibakteri Sediaan Basis masker gel peel-off yang paling baik ditambahkan ekstrak daun melati dengan konsentrasi ekstrak 10%. Pengujian aktivitas antibakteri sediaan dilakukan menggunakan metode difusi sumuran. Media NA dicampur dengan suspensi bakteri sebanyak 0,1 ml ke dalam cawan petri dan tunggu hingga memadat. Kemudian dibuat lubang sumuran sebanyak empat lubang lalu dimasukkan sediaan gel peeloff ekstrak daun melati ke dalam lubang sumuran dan sediaan gel peel-off tanpa ekstrak sebagai kontrol negatif lalu dilakukan replikasi sebanyak 3 kali. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam kemudian diamati zona hambat yang terbentuk disekitar sumuran. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Melati Tabel 2. Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambatan Ekstrak Daun Melati (Jasminum sambac L.) Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium acnes. Perlakuan Diameter Zona Hambat (mm) Kategori Kekuatan Daya Antibakteri (Davis dan Stout ,1971) FK (-) - Tidak terdapat aktivitas antibakteri F1 (10%) 10,17 Kuat F2 (15%) 10,38 Kuat F3 (20%) 10,35 Kuat F4 (25%) 9,36 Sedang Keterangan: F=Formula, FK=Formula Kontrol Dari pengujian aktivitas antibakteri ekstrak terhadap bakteri Propionibacterium acnes yang telah dilakukan didapatkan zona hambat pada F1 sebesar 10,17 mm, F2 sebesar 10,38 mm, F3 sebesar 10,35 mm, dan F4 sebesar 9,36 mm. Sedangkan pada pada FK(-) yakni berupa tween 60 tidak ditemukan adanya zona hambat yang terbentuk. Berdasarkan hasil yang diperoleh masing-masing konsentrasi memiliki aktivitas sebagai antibakteri dengan kategori sedang hingga kuat dan perlakuan kontrol negatif tidak terjadi penghambatan. Sehingga diambil perlakuan F1 dengan konsentrasi 10% dengan diameter 10,17 dan termasuk kategori kuat yang akan diformulasikan dengan basis masker gel peel-off. 3.2 Optimasi basis masker gel peel off Dilakukan untuk mengetahui formula terbaik basis yang akan digunakan dengan melihat hasil evaluasi fisik basis. Hasil evaluasi fisik basis masker peel-off dapat dilihat pada tabel 3. Hasil optimasi basis menunjukkan semua basis dengan berbagai konsentrasi yakni FB1 (7%), FB2 (10%), FB3 (13%), dan FB4 (16%) masuk dalam rentang kategori yang sesuai dengan parameter uji. Hasil basis yang paling baik ialah FB2 (10%) berdasarkan data yang diperoleh. Tabel 3. Hasil Optimasi Basis Masker Gel Peel-Off Evaluasi Konsentrasi Parameter Uji FB1 FB2 FB3 FB4 Organoleptis (Warna, Bau, Tekstur) Bening, Tidak Berbau, Kental Bening, Tidak Berbau, Kental Bening, Tidak Berbau, Kental Bening, Tidak Berbau, Kental Bening, Tidak Berbau, tekstur kental Homogenitas Homogen Homogen Homogen Homogen Tidak terdapat partikel kasar pH 5,81 5,90 5,93 5,69 4,5-6,5 Daya Sebar 7 6,3 5,5 5,2 5-7cm Waktu Mengering 23 menit 22 menit 21 menit 20 menit 15-30 menit Viskositas 3,135 21,454 32,436 25,536 2-50 Pa.s Sineresis Tidak Terjadi Sineresis Tidak Terjadi Sineresis Tidak Terjadi Sineresis Tidak Terjadi Sineresis Tidak Terjadi Sineresis Keterangan: FB=Formula Basis
Formulasi Sediaan Gel Masker Wajah Peel-Off dari Ekstrak Daun Melati (Jasminum Sambac L.) Sebagai Antibakteri Penyebab Jerawat 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 22 3.3 Evaluasi Fisik Sediaan Masker Gel PeelOff Ekstrak Daun Melati (Jasminum sambac L.) 3.3.1 Uji organoleptis Tabel 4. Evaluasi Fisik Organoleptis Formula Minggu ke- Warna Aroma Tekstur FR1 M1 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M2 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M3 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M4 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental FR2 M1 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M2 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M3 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M4 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental FR3 M1 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M2 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M3 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental M4 Cokelat Kehijauan Bau Khas Kental FK (-) M1 Bening Tidak Berbau Kental M2 Bening Tidak Berbau Kental M3 Bening Tidak Berbau Kental M4 Bening Tidak Berbau Kental Keterangan: FR=Formula Replikasi, FK=Formula Kontrol Pada uji organoleptis didapatkan hasil pada formula replikasi 1,2, dan 3 berupa warna cokelat kehijauan, aroma khas ekstrak, dan tekstur kental. Sedangkan untuk kontrol tetap berwarna bening, tidak berbau, dan kental. Sesuai dengan hasil yang diinginkan. 3.3.2 Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk melihat melihat adanya partikel kasar atau tidak. Tidak adanya partikel kasar menunjukkan sediaan telah homogen. Hasil pengujian diperoleh semua sediaan homogen dengan tidak adanya butiran kasar. 3.3.3 Uji pH Tabel 5. Evaluasi Fisik pH Minggu ke- Evaluasi FR1 FR2 FR3 FK (-) M1 5,41 5,39 5,37 5,57 M2 5,02 5,02 5,01 5,24 M3 5,20 5,28 5,23 5,40 M4 5,14 5,11 5,14 5,39 Keterangan: FR = Formula Replikasi, FK = Formula Kontrol Uji pH dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan suatu sediaan. Sediaan topikal idealnya mempunyai pH yang sama dengan pH kulit, hal ini ditujukan agar tidak terjadi iritasi pada permukaan kulit. pH kulit wajah yaitu pada rentang 4,5-6,5 [12]. Berdasarkan hasil yang diperoleh, sediaan memenuhi syarat uji pH. 3.3.4 Uji daya sebar Tabel 6. Evaluasi Fisik Daya Sebar Minggu ke- Evaluasi (cm) FR1 FR2 FR3 FK(-) M1 5,8 5,8 6,0 5,0 M2 6,0 6,1 6,0 6,0 M3 6,1 6,0 6,0 6,1 M4 6,2 6,1 6,2 6,1 Keterangan: FR = Formula Replikasi, FK = Formula Kontrol Pengujian daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan sediaan ketika diaplikasikan pada kulit dimana diharapkan gel mampu menyebar dengan mudah di tempat yang dioleskan sehingga efek yang dihasilkan merata. Adapun persyaratan daya sebar yang baik berkisar antara 5-7 cm. Lama penyimpanan akan mempengaruhi daya sebar gel, semakin lama penyimpanan maka daya sebar gel semakin kecil dikarenakan kandungan air dalam sediaan gel menguap sehingga sediaan menjadi semakin kental [13]. Pada penelitian ini, daya sebar sediaan berada pada rentang 5- 6,2 yang berarti masuk dalam parameter uji. 3.3.5 Uji waktu mengering Tabel 7. Evaluasi Fisik Waktu Mengering Minggu keEvaluasi FR1 FR2 FR3 FK (-) M1 18 menit 18 menit 18 menit 18 menit M2 18 menit 17 menit 17 menit 16 menit M3 21 menit 22 menit 22 menit 21 menit M4 26 menit 27 menit 25 menit 23 menit Keterangan: FR = Formula Replikasi, FK = Formula Kontrol Uji waktu mengering bertujuan untuk mengetahui berapa lama masker peel-off mengering sehingga dapat membentuk lapisan film. Waktu mengering sediaan masker gel peel-
Formulasi Sediaan Gel Masker Wajah Peel-Off dari Ekstrak Daun Melati (Jasminum Sambac L.) Sebagai Antibakteri Penyebab Jerawat 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 23 off yang baik berkisar antara 15-30 menit [9]. Hasil penelitian diperoleh bahwa formula 1-3 memenuhi kriteria standar waktu mengering sediaan masker gel peel-off. 3.3.6 Uji Viskositas Tabel 8. Evaluasi Fisik Viskositas Minggu keEvaluasi (Pa.s) FR1 FR2 FR3 FK (-) M1 19,118 17,499 25,818 15,922 M2 21,128 20,646 25,983 19,453 M3 19,667 19,271 13,137 17,702 M4 22,075 12,115 20,842 20,228 Keterangan: FR = Formula Replikasi, FK = Formula Kontrol Pengujian viskositas bertujuan untuk mengetahui seberapa kental gel yang dihasilkan, dimana viskositas menyatakan besarnya kekuatan suatu cairan untuk mengalir. Semakin tinggi viskositasnya maka semakin tinggi tingkat kekentalan sediaan tersebut [14]. Nilai viskositas sediaan gel yang baik yaitu d berkisar antara 2.000- 50.000 cps atau 2-50 Pa. S [10]. Pada penelitian ini, didapatkan hasil pengukuran viskositas semua formula sediaan masuk kedalam rentang standar sediaan yang baik. 3.3.7 Uji Sineresis Hasil penelitian menunjukkan, sediaan masker gel peel-off tidak menunjukkan adanya lapisan air pada permukaan gel yang berarti sediaan gel peel-off tidak terjadi sineresis. 3.4 Pengujian Aktivitas Antibakteri Sediaan Dari pengujian aktivitas antibakteri sediaan gel masker wajah peel-off ekstrak daun melati (Jasminum sambac L.) yang telah dilakukan, didapatkan zona hambat pada FR1 sebesar 7,29 mm, FR2 sebesar 6,82 mm, FR3 sebesar 5,61 mm,dan pada kontrol negatif tidak terdapat adanya penghambatan. Kategori daya hambat dibagi atas : kategori sangat kuat adalah diameter zona hambat >20 mm, kategori kuat adalah diameter zona hambat 10-20 mm, kategori sedang adalah diameter zona hambat 5-10 mm, dan kategori lemah adalah diameter zona hambat <5 mm [15]. Sehingga dapat dinyatakan pengujian bakteri Propionibacterium acnes pada FR1, FR2 dan FR3 masing-masing bakteri memiliki diameter zona hambat dalam kategori 5-10 mm yang artinya penghambatannya tergolong sedang dan pada FK(-) tidak adanya zona hambat yang terbentuk. Tabel 11. Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambatan Ekstrak Daun Melati (Jasminum sambac L.) Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium acnes. Perlakuan Diameter Zona Hambat (mm) Kategori Kekuatan Daya Antibakteri (Davis and Stout, 1971) FK (-) - Tidak Terdapat Aktivitas Antibakteri FR1 7,29 mm Sedang FR2 6,82 mm Sedang FR3 5,61 mm Sedang Keterangan: FR=Formula Replikasi, FK=Formula Kontrol Gambar 1. Aktivitas antibakteri gel anti jerawat bakteri Propionibacterium acnes 4 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa sediaan gel masker wajah peel-off ekstrak daun melati (Jasminum sambac L.) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Propionibacterium acnes, serta sediaan gel peel-off memenuhi standar karakteristik fisik sediaan. 5 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini.
Formulasi Sediaan Gel Masker Wajah Peel-Off dari Ekstrak Daun Melati (Jasminum Sambac L.) Sebagai Antibakteri Penyebab Jerawat 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 24 6 Daftar Pustaka [1] Rohimah, Indah Ulfatur. 2021. Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Melati Putih (Jasminum sambac L.) Terhadap Diameter Zona Hambat Bakteri Propionibacterium acnes Penyebab Jerawat Sebagai Sumber Belajar Biologi. BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi. [2] Krishnaveni, A., & Thaakur, S. R. (2012). Phytochemical studies of Jasminum sambac. International Research of Pharmaceutical and Applied Sciences (IRJPAS), 2(5), 95–97 [3] Sasanti, T.J., Wibowo, M.S., Fidrianny, I., & Caroline, S. (2006). Formulasi Gel Ekstrak Air Teh Hijau dan Penentuan Aktivitas Antibakterinya terhadap Propionibacteria acnes (Skripsi). Sekolah Farmasi-ITB, Bandung, 8-11. [4] Shai, A., Maibach, H. I. Baran, R., 2009. Handbook of Cosmetic Skin Care, 2nd edition. India: Informa Healthcare, p. 44 – 45. [5] Wasiaturrahmah, Yusrinie, Raudhatul Jannah. 2018. Formulasi Dan Uji Sifat Fisik Gel Hand Sanitizer Dari Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum). Borneo Journal Of Pharmascientech, 2 (2), 87-94. [6] Astri Sulastri, Anis Yohana Chaerunisaa. 2016. Formulasi Masker Gel Peel Off Untuk Perawatan Kulit Wajah. Jurnal Farmaka Vol. 14 No.3 [7] Zhelsiana, D.A., Pangetuti, Y.S., Nabilla, F., Lestari, N.P., Wikantyasning, E.R. 2016. Formulasi dan Evaluasi Sifat Fisik Masker Gel Peel-Off Lempung Bentonite. The 4 th University Research Coloquium. ISSN 2407-9189 [8] Widyawati, Lili, Baiq Ayu Aprilia Mustariani, And En Purmafitriah. 2017. Formulasi Sediaan Gel Hand Sanitizer Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona Muricata Linn) Sebagai Antibakteri Terhadap Staphylococcus Aureus. Jurnal Farmasetis, 6.2 Hal. 47–57. [9] Ulfa, Wahyu., Wisnu Cahyo Prabowo, Muhammad Amir Masruhim. 2016. Aktivitas Antibakteri Masker Peel-Off Ekstrak Etil Asetat Bunga Melati (Jasminum sambac). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. [10] R., Indri Pramita, F., Victoria Yulita, Mita, N., Ramadhan, Adam. 2017. Pengaruh Konsentrasi HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Cellulose) Sebagai Gelling Agent dengan Kombinasi Humektan Terhadap Karakteristik Fisik Basis Gel. Proceeding of the 5th Mulawarman Pharmaceuticals Conferences. Fakultas Farmasi Universitas Mulawarman. [11] Wijayanti., Astuti.,Prasetia.,Darayanthi., Nesa., Wedarini., Adhiningrat. 2015. Profil Stabilitas Fisika Kimia masker Gel Peel-Off Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). Jurnal Farmasi Udayana. [12] Tranggono, Retno, I., Latifah., Fatimah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmestik. PT. Gamedia Pustaka Utama: Jakarta. [13] Garg, A., Aggrawal, D., Garg, S., dan Singla, A.K., (2002), Spreading of Semisolid Formulations: An Update, Pharmaceutical Technology. [14] Octavia, Nurlina. 2016. Formulasi Sediaan Gel Hand Sanitizer Minyak Atsiri Pala (Myristica fragrans Houtt.): Uji Stabilitas Fisik dan Uji Aktivitas Antibakteri Terhadap Bakteri Stapphylococcus aureus [Skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta [15] Davis, W. W., Stout, T. R. 1971. Disc Plate Methods of Microbiology. 22(4): 659-665
15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 25 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Formulasi Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebagai Antioksidan Formulation of Clay Mask Rosella Flower Calyx Extract (Hibiscus sabdariffa L.) as an Antioxidant Ardella Safilla*, Mirhansyah Ardana, Laode Rijai Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) diketahui memiliki banyak senyawa aktif yang berfungsi sebagai antioksidan seperti flavonoid, polifenol, antosianin, dan vitamin C. Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan masker clay ekstrak kelopak bunga rosella yang memenuhi syarat evaluasi fisik dan memiliki aktivitas antioksidan. Ekstrak kelopak bunga rosella dibuat dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Sediaan masker clay dibuat dengan variasi konsentrasi xanthan gum sebesar 0%, 0,5% dan 1%. Evaluasi fisik yang dilakukan meliputi viskositas, daya sebar, waktu kering, pH, dan homogenitas. Uji antioksidan sediaan masker clay dilakukan melalui metode 2,2- difenil-1-pikrizilhidrazil (DPPH). Hasil yang diperoleh menunjukkan masker clay berbentuk semisolid, homogen, daya sebar 5,1 ± 0,1 cm, waktu kering 13,666 ± 0,577 menit, pH 6,386 ± 0,180 dan viskositas 5,666 ± 0,577. Uji aktivitas antioksidan ekstrak kelopak bunga rosella sebelum dan sesudah diformulasikan yaitu 75,97% dan 52,89%. Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh formula sediaan masker clay ekstrak kelopak bunga rosella yang memenuhi karakteristik fisik yang baik sehingga dapat disimpulkan bahwa kelopak bunga rosella dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif masker clay. Kata Kunci: Hibiscus sabdariffa L., masker clay, antioksidan Abstract Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) was known as the flower which many active compounds that act as antioxidants such as flavonoids, poliphenol, anthocyanins, and vitamin C. This study aims were to prepare the clay mask of ethanolic extract of roselle calyx that qualified in physical properties and Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Formulasi Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebagai Antioksidan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 26 knowing the antioxidant activity. Roselle extract was prepared by maceration with ethanol 96%. Clay mask preparations are made with variations in xanthan gum concentrations of 0%, 0.5% and 1%. Physical properties observation includes viscosity, spreadability, pH, homogeneity and dry time. Antioxidant activity of cream was carried out by 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) assay. The results obtained showed a grayish-white, semi-solid consistency, typical aroma of oleum rosae, homogeneous, spreadability 5,1 ± 0,1 cm, dry time 13,666 ± 0,577 minute, pH 6,386 ± 0,180 and viscosity 5,666 ± 0,577. In the activity test, it was found that antioxidant effect of the extract of roselle calyx before and after formulation is 75,97% and 52,89%. Based on the results, the formula for clay mask extract of rosella calyx is obtained with good physical characteristics. So, it can be concluded that extract of roselle calyx can be used as a active ingredients of clay mask. Keywords: Hibiscus sabdariffa L., clay mask, antioxidant DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.612 1 Pendahuluan Kulit adalah salah satu organ tubuh yang terletak di bagian luar tubuh manusia. Kulit memiliki peran penting dalam melindungi bagian dalam tubuh dari kontak langsung dengan lingkungan luar, baik secara fisik maupun mekanis, kimia, sinar matahari (ultra violet) dan mikroba [1]. Radikal bebas dapat merusak struktur kolagen dan elastin yang membentuk kulit sehingga kulit menjadi kurang elastis dan timbul garis kerutan, mengganggu distribusi pigmen melanin dan melanosit sehingga pigmentasi tidak merata, serta merusak molekul makro pembentuk sel, yaitu protein, karbohidrat, lemak, dan DNA yang dapat menyebabkan kanker pada kulit [2]. Efek dari radikal bebas ini dapat dicegah dengan menggunakan antioksidan. Kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) adalah salah satu tanaman yang memiliki aktivitas antioksidan. Kadar antioksidan yang tinggi pada kelopak rosella dapat menghambat radikal bebas. Kelopak rosella dalam pelarut air mempunyai total aktivitas antioksidan yang tinggi sebesar 54,1%. Kandungan flavonoid pada kelopak rosella yang paling berperan yaitu antosianin. Antosianin merupakan salah satu jenis pigmen yang berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menghambat oksidasi radikal bebas dalam tubuh Kelopak rosella terkandung antosianin yaitu sebesar 1,48 g/100 g kelopak kering [3]. Masker merupakan sesuatu yang digunakan untuk menutupi permukaan wajah dan sangat bermanfaat untuk menjaga dan merawat kulit wajah, menyegarkan, memperbaiki serta mengencangkan kulit wajah. Selain itu melancarkan peredaran darah, merangsang kembali kegiatan sel-sel kulit, mengangkat sel tanduk yang telah mati, sehingga merupakan pembersih yang paling efektif. Masker wajah dengan tipe clay banyak digunakan karena mampu meremajakan kulit. Clay jenis pasta mampu mengangkat kotoran dari wajah. Kotoran dan komedo terangkat ketika sediaan dicuci dari kulit wajah. Efek setelah penggunaan masker adalah kulit yang tampak cerah dan bersih [4]. Dalam penelitian ini, ekstrak kelopak bunga rosella digunakan sebagai bahan aktif dalam sediaan masker clay. Gambaran umum dari metode penelitian ini adalah membuat masker clay dengan konsentrasi basis yang telah ditentukan, kemudian menambahkan ekstrak kelopak bunga rosella sebagai bahan aktif kedalam basis dan mengevaluasi sifat fisik, dan uji antioksidan menggunakan metode DPPH pada sediaan yang telah dibuat. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kelopak bunga rosella (Hibiscus
Formulasi Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebagai Antioksidan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 27 sabdariffa L.), bentonit, xanthan gum, kaolin, gliserin, titanium dioksida, DMDM hydantoin, oleum rosae, aquadest, aluminium foil, dan kertas saring. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan porselen, corong kaca, gelas ukur, kaca arloji, kaca objek, mortar dan stemper, oven, pipet tetes, pipet ukur, propipet, pH meter, sendok tanduk, spatel besi, spektrofotometer UV-VIS, labu ukur, timbangan analitik, viskometer rion, rotary evaporator dan sonikator. 2.2 Metode Ekstrasi Simplisia kelopak bunga rosella diekstraksi menggunkan metode maserasi. Sebanyak 700 gram simplisia kelopak bunga rosella dimaserasi menggunakan etanol 96% sebanyak 3 liter. Dilakukan maserasi selama 3×24 jam. Larutan hasil ekstraksi kemudian dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator. 2.3 Optimasi dan Formulasi Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Optimalisasi basis masker clay dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental dimana komponen yang divariasikan konsentrasinya yaitu xanthan gum dengan tiga konsentrasi, kemuadian dilakukan evaluasi fisik pada basis masker clay meliputi uji organoleptik, homogenitas, pH, daya sebar, waktu mengering dan viskositas. Tabel 2.1 Formula Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Bahan Formula (%) Fungsi Rosella Flower Calyx Extract 0,1 Bahan Aktif Bentonite 1 Rheologi Modifier Xanthan Gum 0,5 Thickener Agent Kaolin 35 Oil Adsorbent Glycerin 8 Humektan Titanium dioxside 0,5 Opacifier Dmdm hydantoin 0,3 Pengawet Oleum Rosae qs Pengaroma Aquadest ad 100 Pelarut 2.4 Uji Antioksidan Ekstrak Kelopak Bunga Rosella dan Sediaan Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Aktivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. Pengujian dilakukan dengan membuat 40 ppm larutan DPPH, kemudian mengoptimalkan panjang gelombang pada 510-520 nm. Dibuat larutan induk dengan melarutkan 0,1% ekstrak dan 5 g masker clay dalam metanol pa 50 mL, larutan disaring kemudian diinkubasi dengan larutan DPPH (1: 1) selama 30 menit dan diukur pada panjang gelombang maksimum. 2.5 Evaluasi Karakteristik Fisik 2.5.1 Uji Organoleptis Evaluasi uji organoleptik karakteristik fisik sediaan masker clay dengan melihat warna, bau, dan konsistensi sediaan masker clay ekstrak kelopak bunga rosella. 2.5.2 Uji Homogenitas Evaluasi uji homogenitas karakteristik fisik sediaan masker clay dengan melihat secara langsung sediaan apakah telah tercampur secara homogen. 2.5.3 Uji Daya Sebar Sebanyak 1 g sediaan masker diletakkan di atas kaca arloji, dimana kaca arloji bagian atas dibebani dengan menggunakan anak timbangan 50 g, 100 g, dan 150 g dan 200 g. Masing-masing diberi rentang waktu 1-2 menit, selanjutnya diameter penyebaran diukur pada setiap penambahan beban. Daya sebar yang memenuhi standar masker clay yaitu 5-7 cm. 2.5.4 Uji pH Sebanyak 1 g sediaan sediaan dimasukkan kedalam pot obat lalu dilarutkan menggunakan aquades, kemudian elektroda yang telah dikalibrasi menggunakan larutan dapar pH 4 dan pH 7 dicelupkan ke dalam wadah tersebut. Angka yang ditunjukkan pada alat pH meter merupakan pH dari sediaan masker lumpur tersebut. pH yang memenuhi standar yaitu ph yang sesuai dengan pH wajah yaitu 4,5-7. 2.5.5 Uji lama waktu mengering Sebanyak 0,5 gram sediaan pada masingmasing konsentrasi dioleskan di kaca objek dan
Formulasi Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebagai Antioksidan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 28 diamati berapa lama waktu yang dibutuhkan sediaan untuk mengering. Persyaratan waktu mengering sediaan masker clay yaitu 10-25 menit. 2.5.6 Uji Viskositas Viskositas sediaan diukur dengan menggunakan viskometer rion menggunakan spedel no 2. Spesifikasi viskositas sediaan semisolid berkisar antara 2.000- 50.000 cps atau 2-50 Pa.s. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kelopak Bunga Rosella dan Sediaan Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Hasil uji kualitatif menunjukkan bahwa terdapat senyawa antioksidan pada larutan ekstrak 0,1% dan filtrat hasil ekstraksi masker karena warna ungu tua DPPH telah tereduksi yang menyebabkan intensitas warnanya menjadi berkurang dan warnanya berubah menjadi kuning [5]. Based on the antioxidant testing that has been carried out, the %inhibition Berdasarkan hasil uji antioksidan didapatkan nilai persen penghambatan DPPH ekstrak kelopak bunga rosella sebesar 75,97% dan aktivitas ekstrak kelopak bunga rosella dalam basis masker clay sebesar 52,89% dimana aktivitas antioksidan mengalami penurunan. Penurunan aktivitas antioksidan diduga dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam basis yang dapat mempengaruhi aktivitas ekstrak, proses pelepasan bahan aktif serta pengaruh waktu difusi ekstrak untuk lepas dari basis. Semakin lama waktu difusi maka semakin besar bahan aktif yang dilepaskan. Tabel 3.1 Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Ektrak Kelopak Bunga Rosella Konsentrasi Abs Rata-rata %AA Blanko 0.276 0.276 0.276 0.276 - Ekstrak (0,1%) 0.066 0.067 0.066 0.0663 75,97 Tabel 3.2 Hasil Uji Antioksidan Basis Sediaan Masker Clay Konsentrasi Abs Rata-rata %AA Blanko 0.31 0.308 0.31 0.3093 Basis 0.276 0.281 0.278 0.2783 10,03% 3.2 Evaluasi Karakteristik Fisik Tabel 3.3 Evaluasi Karakteristik Fisik Formula Sediaan Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella Parameter Uji Formula Warna Putih keabu-abuan Bentuk Semisolid Aroma Khas oleum rosae Homogenitas Homogen Daya sebar (5-7 cm) 5,1 ± 0,1 Waktu kering (10-25 menit) 13,666 ± 0,577 pH (4,5-7) 6,386 ± 0,180 Viskositas (2-50 Pa.s) 5,666 ± 0,577 3.2.1 Evaluasi Organoleptis Hasil evaluasi organoleptis sediaan masker clay diperoleh sediaan masker yang memiliki warna putih keabu-abuan, konsistensi semisolid, beraroma khas oleum rosae. 3.2.2 Evaluasi Homogenitas Hasil evaluasi homogenitas masker clay menunjukkan bahwa sediaan homogen di semua replikasi. 3.2.3 Evaluasi pH Hasil evaluasi pH didapatkan nilai 6,386±0,180 dimana pH basis masker clay yaitu 6,763±0,035 nilai tersebut masuk dalam rentang pH kulit wajah (4,5-7), pH sediaan masker clay dipengaruhi oleh ekstrak kelopak bunga rosella yang memiliki pH asam. pH ekstrak kelopak bunga rosella sendiri yaitu 2,83 pada konsentrasi 0,1%. 3.2.4 Evaluasi Daya Sebar Hasil evaluasi daya sebar masker clay yaitu 5,1±0,1 dimana masuk dalam rentang daya sebar masker yang baik (5-7 cm). 3.2.5 Evaluasi Viskositas Hasil evaluasi viskositas yaitu 5,666±0,577 yang masuk dalam rentang viskositas masker yang baik (2–50 Pa.s). 3.2.6 Evaluasi Lama Waktu Mengering Hasil evaluasi waktu mengering masker yaitu 13,666±0,577 yang masuk dalam rentang waktu kering masker yang baik (10-25 menit).
Formulasi Masker Clay Ekstrak Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) sebagai Antioksidan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 29 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh formula sediaan masker clay ekstrak kelopak bunga rosella yang memenuhi karakteristik fisik yang baik sehingga dapat disimpulkan ekstrak kelopak bunga rosella dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif masker clay. 5 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 6 Daftar Pustaka [1] Darmawan, A. B. 2013. Anti - aging Rahasia Tampil Muda di Segala Usia. Yogjakarta: Media Pressindo. Hal. 18,31. [2] Halliwell, B. 1992. Reactive oxygen species and the central nervous system. Journal of neurochemistry, 59(5), 1609-1623 [3] Herdiani, Novera, Edza Aria Wikurendra. 2020. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dengan Metode DPPH. Jurnal Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dengan tema "Kesehatan Modern dan Tradisional"ISBN: 978-623-6572-15-3 Gusti, R. E. P., Zulnely, Z., & Kusmiyati, E. (2012). Sifat Fisika-kimia Lemak Tengkawang Dari Empat Jenis Pohon Induk. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 30(4), 254-260. [4] Harry, R. G. 2000. Harry’s Cosmeticology. Edisi VIII. Newyork: Chemical Publishing Co. Inc halaman 471-483. Achroni, K. 2012. Semua Rahasia Kulit Cantik Dan Sehat Ada Disini. PT Buku Kita. Jakarta. [5] Vankar, P. S., Tiwari, V., Singh, L. W., dan Swapana, N., 2006, Antioxidant Properties of Some Exclusive Species of Zingiberaceae Family of Manipur, Electronic Journal of Agriculture, 5 (2), 1-6.
15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 30 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Formulasi dan Optimasi Basis Serum Xanthan Gum dengan Variasi Konsentrasi Formulation and Optimization of Xanthan Gum Serum Base with Variations of Concentration Chairunnisa Aprilia* , Muhammad Faisal, Fajar Prasetya Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Serum merupakan sediaan topikal dengan viskositas yang lebih rendah dan warna semi transparan hingga transparan. Xanthan gum befungsi sebagai pengental dengan sifat yang stabil pada pH dan suhu yang luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi optimum xanthan gum yang digunakan sebagai basis serum. Pada penelitian ini dibuat tiga formula dengan konsentrasi xanthan gum yang berbeda dan dilakukan evaluasi fisik basis yaitu organoleptis, homogenitas, pH dan viskositas. Konsentrasi xanthan gum yang digunakan dalam optimasi basis serum sebesar 0,5% (F1); 0,6% (F2); dan 0,7% (F3). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa ketiga formula memiliki nilai yang baik sesuai dengan rentang standar persyaratan pada uji organoleptis, homogenitas, dan pH. Sedangkan pada uji viskositas, ketiga formula menunjukkan hasil yang berbeda, dimana hanya dua formula yang memenuhi rentang standar yaitu 230-1150 cPs. Nilai viskositas pada F1 sebesar 489 cPs; pada F2 sebesar 664,29 cPs; dan pada F3 sebesar 2516,16 cPs. Tingkat efektivitas serum semakin meningkat jika nilai viskositas semakin menurun. Dari ketiga formula dapat disimpulkan bahwa basis yang paling optimum adalah F1 dengan konsentrasi xanthan gum 0,5%. Kata Kunci: Xanthan gum, optimasi, serum Abstract Serum is a topical preparation with a lower viscosity value and semi-transparent to transparent color. Xanthan gum have a functions as a thickener with stable properties over a wide pH and temperature range. This study aims to determine the concentration of optimum xanthan gum which is used as a serum base. In this study, formulas were made in three different concentrations of xanthan gum and physical evaluation of the base was includes organoleptic, homogeneity, pH test and viscosity. The Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Formulasi dan Optimasi Basis Serum Xanthan Gum dengan Variasi Konsentrasi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 31 concentration of xanthan gum used in optimizing the serum base was 0.5% (F1); 0.6% (F2); and 0.7% (F3). The results of the study is two of the three formulas had good value according to the standard range of requirements of organoleptic test, homogeneity, and pH. While the viscosity test, the three formulas have different results, only two formulas have standard range of 230-1150 cPs. The value of viscosity in F1 is 489 cPs; at F2 of 664,29 cPs; and at F3 of 2516,16 cPs. Serum effectiveness will increase if viscosity value decreases. From the three formulas, it can be concluded that the most optimum base is F1 with a xanthan gum concentration of 0.5%. Keywords: xanthan gum, optimization, serum DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.613 1 Pendahuluan Perawatan wajah menjadi salah satu kegiatan penting yang banyak dilakukan terutama oleh perempuan. Hal ini terjadi akibat meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya penampilan, terutama bagian wajah. Dengan perawatan wajah dapat membuat seseorang menjadi lebih percaya diri serta menjaga kulit menjadi lebih sehat, terawat, dan selalu memancarkan kesegaran [1]. Salah satu langkah perawatan wajah adalah dengan menggunakan produk-produk skincare seperti serum. Serum merupakan salah satu sediaan topikal yang umumnya memiliki tekstur sedikit kental dengan warna semi transparan hingga transparan. Serum memiliki nilai viskositas yang lebih rendah dibandingkan dengan sediaan topikal lainnya serta mengandung zat aktif dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Serum banyak diminati karena memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan efek yang lebih cepat pada kulit. Selain itu, serum mampu memberikan rasa nyaman saat penggunaan dan lebih mudah menyebar pada kulit karena nilai viskositas yang rendah [2]. Xanthan gum merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam formulasi serum. Xanthan gum umumnya digunakan pada sediaan farmasi terutama pada sediaan topikal. Xanthan gum memiliki sifat tidak toksik dan dapat bercampur dengan bahan-bahan farmasetik lain. Xanthan gum memiliki kestabilan yang bagus dan viskositas yang baik pada rentang pH dan suhu yang luas [3]. Xanthan gum mudah larut pada air dingin ataupun air panas yang kemudian dapat mengabsorbsi sejumlah air sehingga mampu meningkatkan nilai viskositas pada sediaan. Xanthan gum dapat digunakan sebagai pengental dalam rentang 0,5 – 1% [4]. Optimasi basis formula diperlukan untuk mendapatkan sediaan yang memenuhi standar sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Tujuan dari penelitian ialah untuk mengetahui konsentrasi optimum xanthan gum sebagai pengental pada basis serum yang memenuhi persyaratan. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan analitik, mortar dan stemper, gelas ukur, spatel, sendok tanduk, kaca arloji, pH meter, dan viscometer rheosys 2.2 Bahan Bahan tyang digunakan dalam penelitian antara lain xanthan gum, gliserin, metil paraben, propil paraben, dan aquadest. Tabel 1. Rancangan Formula Basi Serum Bahan Fungsi Konsentrasi (%) F1 F2 F3 Xanthan gum Pengental 0,5 0,6 0,7 Gliserin Humektan 10 10 10 Metil paraben Pengawet 0,02 0,02 0,02 Propil paraben Pengawet 0,18 0,18 0,18 Aquadest Pelarut Ad 100 Ad 100 Ad 100 Keterangan: F = Formula
Formulasi dan Optimasi Basis Serum Xanthan Gum dengan Variasi Konsentrasi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 32 2.3 Prosedur Penelitian 2.3.1 Formulasi Basis Serum Pembuatan basis serum diawali dengan dimasukkan xanthan gum ke dalam mortar lalu ditambah dengan aquadest sebanyak 20 kali total xanthan gum dan digerus hingga terbentuk corpus emulsi. Kemudiaan masukkan gliserin sedikit demi sedikit sambil terus digerus. Tambahkan metil paraben dan propil paraben dan sisa aquadest, gerus hingga campuran basis homnogen. Pindahkan basis serum ke dalam botol serum. 2.3.2 Uji Organoleptis Uji organoleptis dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung warna, aroma, dan tekstur dari basis serum [5]. 2.3.3 Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan dengan cara dioleskan basis serum pada kaca transparan, lalu amati apakah sediaan telah homogen atau tidak. Sediaan dapat dikatakan homogen apabila tidak terdapat butiran-butiran kasar pada sediaan [6]. 2.3.4 Uji pH Uji pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, pH meter dilakukan kalibrasi terlebih dahulu. Kemudian ujung elektroda dicelupkan pada sediaan serum. Tunggu beberapa saat hingga muncul angka pada pH meter, dimana angka tersebut menunjukkan pH dari sediaan [6]. 2.3.5 Uji Viskositas Viskositas serum diukur dengan alat viscometer rheosys. Pengukuran viskositas diawali dengan masukkan sediaan ke dalam wadah, lalu dipasang spindle. Atur kecepatan sebesar 5 rpm dengan waktu kurang lebih 30 detik Tunngu hingga alat menunjukkan nilai viskositas serum [6]. 3 Hasil dan Pembahasan Optimasi basis serum bertujuan untuk mengetahui formula optimum dari basis serum. Suatu formula dapat dikatakan optimum apabila memenuhi rentang standar yang sesuai dengan persyaratan pada tiap karakteristik fisik. Karakteristik fisik basis serum yang diuji antara lain organoleptis, homogenitas, pH, dan viskositas. Basis serum dibuat dalam tiga formula, dimana 3 formula ini merupakan variasi konsentrasi dari xanthan gum. Xanthan gum pada sediaan ini berfungsi sebagai pengental [3]. Bahan dengan fungsi pengental berpengaruh pada viskositas sediaan yang kemudian dapat mempengaruhi sifat fisik suatu sediaan [4]. Pengujian organoleptis dilakukan dengan mengamati secara langsung basis serum. Pengamatan yang dilakukan antara lain warna, aroma, serta tekstur. Serum umumnya memiliki warna semi transparan hingga transparan, dengan bau khas dan tekstur sedikit kental [6]. Dari ketiga formula yang telah dibuat, didapatkan warna yang sama yaitu putih dengan semi transparan. Kemudian pada aroma, ketiga formula memiliki aroma yang mirip yaitu bau khas. Terakhir pada tekstur, ketiga formula memiliki hasil yang sedikit berbeda, dimana pada F1 dan F2 tekstur yang dihasilkan yaitu sedikit kental, sedangkan pada F3 tekstur yang dihasilkan yaitu kental. Tabel 2. Hasil uji organoleptis Pengamatan Formula Nilai Standar F1 F2 F3 Warna Putih transparan Putih transparan Putih sedikit transparan Semi transparantransparan Bau Bau khas Bau khas Bau khas Bau khas Tekstur Sedikit kental Sedikit kental Kental Emulsi Pengujian homogenitas bertujuan untuk melihat ketercampuran antar bahan penyusun sediaan serum. Sediaan dapat dikatakan homogen apabila tidak terlihat adanya butiranbutiran kasar [6]. Hasil pemeriksaan homogenitas menunjukkan bahwa ketiga formula tidak terlihat adanya butiran kasar. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga formula memiliki susunan yang homogen. Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Basis Nilai F1 Homogen F2 Homogen F3 Homogen
Formulasi dan Optimasi Basis Serum Xanthan Gum dengan Variasi Konsentrasi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 33 Pengujian pH bertujuan untuk mengetahui tingkat keasaman sediaan serum. Sediaan serum yang baik memiliki pH yang sesuai dengan pH kulit wajah yaitu 4.5 – 6.5 [7]. pH serum sesuai dengan pH kulit bertujuan untuk memberi keamanan dan kenyamana saat penggunaan. Apabila pH sediaan tidak sesuai dengan pH kulit maka dapat menimbulkan iritasi atau rasa sakit saat penggunaan [8]. Hasil pengujian pH menunjukkan bahwa ketiga formula serum memiliki pH yang sesuai dengan rentang pH kulit wajah. F1 menunjukkan pH 5,45; F2 menunjukkan pH 5,44; dan F3 menunjukkan pH 5,24. Berdasarkan nilai tersebut, penambahan konsentrasi xanthan gum pada sediaan dapat mempengaruhi nilai pH. Nilai pH akan menurun seiring bertambahnya konsentrasi xanthan gum yang digunakan. Tabel 4. Hasil Uji pH Basis pH Nilai Standar F1 5.45 4.5 – 6.5 F2 5.44 4.5 – 6.5 F3 5.24 4.5 – 6.5 Tabel 5. Hasil Uji Viskositas Formula Titik uji (Pa. s) Rata-rata Rata-rata Syarat 1 2 3 (Pa.s) (cPs) sediaan F1 0.48036 0.50137 0.48529 0.48900 489 230-1150 cPs F2 0.67659 0.66654 0.64974 0.66429 664,29 230-1150 cPs F3 2.52768 2.51526 2.50557 2,51617 2516,1699 230-1150 cPs Pemeriksaan viskositas bertujuan untuk mengetahui ukuran kekentalan serum yang dihasilkan. Tingkat kekentalan dipengaruhi oleh viskositas, dimana semakin tinggi nilai viskositas maka semakin tinggal tingkat kekentalan sediaan [8]. Nilai viskositas sediaan serum lebih rendah dibandingkan dengan beberapa sediaan topikal lainnya [6]. Serum dapat dikatakan baik apabila telah memenuhi persyaratan yaitu berada pada rentang 230- 1150 cPs. Semakin tinggi viskositas sediaan, maka semakin kecil tingkat efektivitas serum. Hal ini terjadi karena viskositas serum yang terlu tinggi dapat menurunkan mobilitas zat aktif menuju permukaan kulit kecepatan penetrasi akibat penurunan kecepetan penetrasi pada kulit [9]. Berdasarkan pengujian, dua dari tiga formula telah memenuhi persyaratan yaitu F1 dan F2. Nilai viskositas yang didapatkan pada F1 sebesar 489 cPs dan pada F2 sebesar 664.29 cPs. Sedangkan pada F3 didapatkan nilai viskositas yang melebihi persyaratan yaitu sebesar 2516.16 cPs. Berdasarkan nilai tersebut penambahan xanthan gum berpengaruh pada viskositas, dimana penambahan konsentrasi xanthan gum akan menaikkan nilai viskositas pada sediaan. 4 Kesimpulan Berdasarkan data yang telah didapatkan, dapat disimpulkan bahwa formula optimum terdapat pada F1 dengan konsentrasi Xanthan Gum sebesar 0,5%. F1 yang dihasilkan berupa sediaan serum homogeny yang berwarna putih transparan dengan bau khas dan tekstur sedikit kental. F1 memiliki nilai pH yang sesuai dengan pH kulit yaitu 5,45 dengan nilai viskositas sebesar 489 cPs. 5 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 6 Daftar Pustaka [1] Ariyanti, E. L., Handayani, R. P., dan Yanto, E. S. 2020. Formulasi Sediaan Serum Antioksidan dari Ekstrak Sari Tomat (Solanum Lycopersicum L.) dan Ekstrak Kayu Manis (Cinnamomum Burmannii) sebagai Perawatan Kulit. Journal of Holistic and Health Sciences, 4(1), 50–57. [2] Mardhiani, Y. D., Yulianti, H., Azhary, D., dan Rusdiana, T. 2018. Formulasi dan Stabiltas Sediaan Serum dari Ekstrak Kopi Hijau (Coffe Canephora). Indones Nat Res Pharm J, 2(2), 19– 33.
Formulasi dan Optimasi Basis Serum Xanthan Gum dengan Variasi Konsentrasi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 34 [3] Rowe, R. C., Sheskey, P. J., dan Owen, S. C. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6 th Ed. Pharmaceutical Press. London. [4] Anwar, Effionora. 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi – Karakterisasi dan Aplikasi. Dian Rakyat. Jakarta, Indonesia. [5] Ernawati, E. E., Farida, Y., dan Taurhesia, S. 2021. Formulasi Serum Antioksidan Kombinasi Ekstrak Buah Ceremai dan Kulit Buah Semangka. Majalah Farmasetika, 6(5), 398-408. [6] Pratiwi, R. I. H., Arpiwi, N. L., dan Arpiwi, N. L. 2021. Formulasi Serum Ekstrak Buah Malaka (Phyllanthus emblica) Sebagai Anti Aging. Metamorfosa: Journal of Biological Sciences, 8(2), 284-290. [7] Raharjeng, S. W., Ikhda, C., Hamidah, N., dan Pangestuti, Z. 2021. Formulasi dan Evaluasi Serum Anti Jerawat Berbasis Minyak Atsiri Curcuma Zedoaria. Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek (SNPBS) ke-VI 202, 406–415. [8] Aprilianti, N., Sastyarina, Y., Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian, L., dan Tropis, F. 2020. Optimasi Polivinilalkohol (PVA) Sebagai Basis Sediaan Gel Antijerawat Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences. Mulawarman Pharmaceutical Conference, 17– 21. [9] Dewi, L. O., Priani, S. E., dan Darusman, F. 2019. Pengaruh Berbagai Jenis Peningkat Penetrasi Terhadap Difusi Perkutan Kafein dalam Sediaan Body Serum. Prosiding Farmasi, 5(2), 146–153.
15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 35 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Pola Penggunaan Antibiotik pada Pasien Bedah Apendiktomi Berdasarkan ATC/DDD di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan The Use of Antibiotics in Appendectomy Surgery Patients Based on ATC/DDD at Kanujoso Djatiwibowo Hospital Balikpapan Dhea Annisa Putri*, Adam M. Ramadhan, Fika Aryati Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis atau yang dikenal sebagai usus buntu. Penatalaksanaan apendisitis dilakukan dengan apendiktomi yang merupakan operasi bersih kontaminasi, sehingga perlu dilakukan pemberian antibiotik untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Namun penggunaan antibiotik dapat menimbulkan masalah apabila penggunaannya tidak rasional. Penggunaannya yang berlebihan dan tidak rasional dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, kuantitas dengan metode ATC/DDD dan kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens pada pasien bedah apendiktomi di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan periode Januari hingga Desember 2020. Penelitian ini merupakan penelitian observasional secara retrospektif dengan melihat data rekam medis pasien. Didapatkan data karakteristik berupa jenis kelamin, usia, pekerjaan dan pendidikan terbanyak yaitu perempuan sebanyak 45 pasien (67,16%), usia remaja akhir (18-25 tahun) sebanyak 22 pasien (32,84%), pekerja IRT sebanyak 7 pasien (10,45%) dan pendidikan SMA sebanyak 14 pasien (20,89%). Pada kuantitas penggunaan antibiotik didapatkan ceftriaxone dengan penggunaan terbesar sebanyak 95,75 DDD/100 patient-days, serta ceftriaxone dan metronidazol yang termasuk kedalam segmen DU 90%. Pada kualitas penggunaan antibiotik didapatkan kategori IIC sebanyak 1,59% yaitu metronidazol, IIIA sebanyak 0,80% yaitu ceftriaxone dan metronidazol, IIIB sebanyak 5,58% yaitu ceftriaxone dan metronidazol, IVA sebanyak 0,4% yaitu metronidazol, serta kategori 0 sebanyak 91,63%. Kata Kunci: Apendiktomi, Antibiotik, ATC/DDD, DU 90%, Gyssens Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Apendiktomi Berdasarkan ATC/DDD di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 36 Abstract Appendicitis is an inflammation of the vermiform appendix. Appendicitis is done with an appendectomy which is a clean contamination operation, so it is necessary to give antibiotics to prevent contamination. Antibiotics can cause problems if used irrationally because it can lead to resistance. This study aims to determine patient characteristics, quantity with ATC/DDD method and quality of antibiotics with Gyssens method in appendectomy surgery at Kanujoso Djatiwibowo Hospital from January to December 2020. This is a retrospective observational study by looking at the medical record data of appendectomy surgery patients. Characteristics of data which obtained gender, age, occupation and education were mostly female with 45 patients (67.16%), late teens (18-15 years) with 22 patients (32.84%), IRT workers with 7 patients (10.45%) and high school with 14 patients (20.89%). In terms the quantity of antibiotics, it was found that ceftriaxone was the largest use with 95.75 DDD/100 patient-days, and ceftriaxone and metronidazole were included in the 90% DU segment. In terms the quality of antibiotics, the IIC category was 1.59% which is metronidazole, IIIA was 0.80% which is ceftriaxone and metronidazole, IIIB was 5.58%, which is ceftriaxone and metronidazole, IVA was 0.4% which is metronidazole, and category 0 was 91.63%. Keywords: Appendectomy, Antibiotic, ATC/DDD, DU 90%, Gyssens DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.614 1 Pendahuluan Apendisitis atau biasa dikenal orang awam sebagai usus buntu terjadi akibat adanya peradangan pada apendiks vermiformis yang memiliki gejala utama yaitu nyeri perut dibagian kanan bawah [1]. Apendisitis merupakan salah satu penyakit kegawatdaruratan pada abdomen yang setiap tahun terdapat 86 kasus per 100.000 populasi [2]. Dan di Indonesia tercatat angka kematian 2,5 kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya sehingga menjadikan Indonesia menjadi negara kedua dengan angka kematian tertinggi kedua di Asia [3]. Apendisitis dapat ditangani dengan tindakan operasi pengangkatan usus buntu yaitu apendiktomi dengan melakukan pembedahan pada jalur abdomen. Apendiktomi merupakan operasi bersih kontaminasi yang memungkinkan dapat menimbulkan Infeksi Luka Operasi (ILO) sekitar 5-15% [4]. Infeksi dapat disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri yang bersifat patogen dan antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan dalam mengatasi kejadian infeksi tersebut. Antibiotik merupakan bahan atau zat kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan memiliki sifat menghambat atau mematikan pertumbuhan mikroorganisme [5]. Namun penggunaan antibiotik harus rasional, tepat dan aman karena dapat menimbulkan masalah apabila penggunaannya tidak tepat dan tidak rasional. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan kurang bijak dapat menyebabkan terjadinya resistensi atau kekebalan ganda terhadap mikroorganisme serta dapat meningkatkan morbditas, mortilitas dan biaya pelayanan kesehatan [6]. Menurut Permenkes RI tahun 2011, penggunaan antibiotik yang bijak yaitu penggunaan antibiotik yang tepat indikasi, interval, lama pemberian dan dosis. Pada penelitian yang dilakukan Wirda Aggraini pada tahun 2020 mengenai evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien bedah apendisitis akut didapatkan penggunaan antibiotik tidak tepat dosis sebanyak 28 kasus, tidak tepat indikasi sebanyak 52 kasus, tidak tepat interval sebanyak 46 kasus dan tidak tepat lama pemberian sebanyak 42 kasus [7]. Hal tersebut menunjukkan perlunya menilai penggunaan
Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Apendiktomi Berdasarkan ATC/DDD di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 37 antibiotik dengan mengevaluasi secara kuantitatif dan kualitatif penggunaan antibiotik pada pasien bedah apendiktomi. Untuk melakukan evaluasi penggunaan antibiotik, menurut WHO (World Health Organization) pada evaluasi kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode ATC/DDD yang merupakan sistem klasifikasi dan pengukuran penggunaan obat dan dikembangkan menjadi Drug Utilization 90% (DU 90%) dengan menunjukkan pengelompokkan obat yang termasuk dalam kategori 90%. Evalusasi kualitas penggunaan antibiotik dilakukan dengan menggunakan metode Gyssens dengan melihat antibiotik yang digunakan tepat indikasi, penggunaan antibiotik lebih efektif, lebih aman, spektrum lebih sempit, tepat waktu, tepat lama pemberian, tepat dosis, tepat interval dan tepat rute. 2 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan mengambil data secara retrospektif dengan tujuan mengetahui karakteristik, kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik pada pasien bedah apendiktomi di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan pada periode Januari – Desember 2020. Penelitian dilakukan dengan menganalisa rekam medis pasien dengan menentukan karakteristik, menghitung kuantitas dan menganalisa kualitas pasien. Pada perhitungana kuantitas antibiotik dilakukan dengan metode ATC/DDD dan DU 90%, dan pada analisa kualitas penggunaan antibiotik dilakukan dengan metode Gyssens. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Jumlah populasi pasien yang diperoleh dari data rekam medis pasien sebanyak 67 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu; pasien yang berusia diatas 18 tahun, pasien yang mendapatkan antibiotik dan pasien yang memiliki data rekam medis pasien lengkap. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu; pasien yang data rekam medisnya tidak terbaca dan pasien yang pulang paksa dan meninggal dunia. Data yang didapatkan kemudian dianalisa lalu disajikan dalam bentuk presentasi dan grafik dalam bentuk diagram. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik Pasien Hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Februari–April 2022 diperoleh data dari 67 rekam medis pasien. Diperoleh data jenis kelamin pada Gambar 1 dimana terdapat jenis kelamin perempuan sebanyak 45 pasien dengan presentase 67,16% dan jenis kelamin laki-laki sebanyak 22 pasien dengan presentase 32,84%. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hartawan di Bali pada tahun 2018 dimana pasien terbanyak yaitu yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 64 orang dan pada perempuan sebanyak 46 orang [8]. Namun pada penelitian yang dilakukan Amalia pada tahun 2016 mendapatkan hasil jenis kelamin perempuan lebih banyak dibanding laki-laki [9]. Hal ini diduga karena gaya hidup dan kebiasaan makan cepat saji dan kurang konsumsi serat pada perempuan di daerah tersebut. Hal tersebut diduga juga menjadi penyebab banyaknya pasien perempuan di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Namun hubungan tingginya pasien laki-laki masih belum diketahui pasti penyebabnya dikarenakan bentuk apendiks laki-laki yang sama dengan perempuan [10]. Karakteristik berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 2 didapatkan hasil terbanyak yaitu pada usia 18-25 tahun sebanyak 22 pasien dengan presentase 32,84%, usia 26-35 tahun sebanyak 19 pasien dengan presentase 28,16%, usia 36-45 tahun dan 46-55 pasien sebanyak 11 pasien dengan presentase 16,42%, usia 56-65 tahun dan >65 tahun sebanyak 2 pasien dengan presentase 2,98%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ramadhani pada tahun 2018 yang mendapatkan hasil usia terbanyak pada kategori remaja akhir (17-25 tahun). Pada usia muda terdapat limfoid yang jumlahnya lebih besar disepanjang jaringan apendiks [11]. Perkembangan maksimal dari jaringan limfoid di masa remaja menjadi faktor meningkatnya insidensi apendiks untuk tersumbat [12]. Sedangkan pada usia >65 tahun atau lansia lumen apendiks sudah tertutup sepenuhnya sehingga gejala yang dirasakana tidak terlalu jelas dan baru dapat didiagnosa setelah terjadi perforasi [13].
Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Apendiktomi Berdasarkan ATC/DDD di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 38 Gambar 1 Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin Gambar 2 Karakteristik Berdasarkan Usia Gambar 3 Karakteristik Berdasarkan Pekerjaan Gambar 4 Karakteristik Berdasarkan Pendidikan Karakteristik berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 3 dimana didapatkan hasil terbanyak yang tercatat di rekam medis yaitu dengan pekerjaan IRT sebanyak 7 pasien dengan presentase 10,45%. Hasil terbanyak dengan 49 pasien dimasukkan pada hasil lainnya karena data pekerjaan tidak tercatat pada rekam medis pasien. Menurut literatur, penderita apendisitis lebih banyak diderita oleh pasien dengan ekonomi dan pendapatan menengah keatas karena gaya hidup dan pola makan yang diet rendah serat [11]. Hasil karakteristik pendidikan terakhir pasien dapat dilihat pada Gambar 4 yang didapatkan hasil terbanyak yang tercatat pada rekam medis pasien yaitu SMA sebanyak 14 pasien dengan presentase 20,89%. Hasil terbanyak dengan 37 pasien dimasukkan pada hasil lainnya dikarenakan data pendidikan terakhir tidak tercatat pada rekam medis pasien. Menurut literatur, hubungan pendidikan terakhir dengan kejadian apendisitis secara teori belum dapat dikaitkan. Namun dapat dijelaskan dengan pengetahuan seseorang, dimana orang yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan memiliki banyak informasi yang didapat sehingga dapat melakukan tindakan preventif dan penatalaksanaan masalah kesehatan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya [14]. 22 (32,84%) 45 (67,16%) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Laki-laki Perempuan Jumlah Pasien Jenis Kelamin 22 (32,84%) 19 (28,16%) 11 (16,42%) 11 (16,42%) 2 (2,98%) 2 (2,98%) 0 5 10 15 20 25 18-25 26-35 36-45 46-55 56-65 >65 Jumlah Pasien Usia (tahun) 6 (8,95%) 2 (2,99%) 1 (1,49%) 2 (2,99%) 7 (10,45%) 49 (73,13%) 0 10 20 30 40 50 60 Karyawan swasta Wiraswasta Buruh PNS IRT Lainnya Jumlah Pasien Pekerjaan 4 (5,97%) 3 (4,48%) 14 (20,89%) 6 (8,96%) 3 (4,48%) 37 (55,22%) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 SD SMP SMA S1 D3 Lainnya Jumlah Pasien Pendidikan
Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Apendiktomi Berdasarkan ATC/DDD di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 39 3.2 Kuantitas Antibiotik Berdasarkan ATC/DDD dan DU 90% Berdasarkan 67 rekam medis pasien bedah apendiktomi pada periode Januari – Desember 2020 yang diambil didapatkan 251 peresepan antibiotik. Analisis kuantitas penggunaan antibiotik dilakukan dengan menghitung DDD (Defined Daily Dose). DDD diasumsikan sebagai dosis rata-rata pemeliharaan perhari untuk obat yang digunakan orang dewasa. Semakin kecil kuantitas penggunaan antibiotik maka semakin mendekati prinsip penggunaan antibiotik yang rasional dan menandakan bahwa dokter lebih selektif dalam pemilihan antibiotik [15]. Data kuantitas penggunaan antibiotik dapat dilihat pada Tabel 1, didapatkan penggunaan antibiotik terbanyak yaitu ceftriaxone dengan 95,75 DDD/100 patient-days yang bermaksud diantara 100 pasien yang dirawat inap terdapat sekitar 96 pasien yang mendapatkan terapi ceftriaxone 2000 mg. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Fazriyah pada tahun 2016 yang mendapatkan ceftriaxone sebagai penggunaan antibiotik terbanyak dengan nilai 46,52 DDD/100 patient-days [16]. Jumlah total nilai DDD pada penelitian ini didapatkan nilai sebesar 141,82 DDD/100 patient-days yang artinya terdapat 141 pasien yang mengkonsumsi 1 DDD WHO antibiotik setiap harinya. Dan semakin besar nilai total DDD/100 patient-days menunjukkan tingginya tingkat pemakaina antibiotik dalam 100 hari rawat. Dalam penelitian ini didapatkan 4 jenis antibiotik yang digunakan pasien bedah apendiktomi selama dirawat inap di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan. Pada Tabel 2 didapatkan 2 jenis antibiotik yang masuk ke dalam segmen DU 90% yaitu ceftriaxone dan metronidazol, dan 2 jenis antibiotik lainnya yaitu cefotaxim dan cefazolin masuk ke dalam segmen DU 10%. Untuk antibiotik yang masuk ke dalam segmen DU 90% perlu adanya kontrol terhadap penggunaan antibiotik karena dapat menyebabkan rentannya insiden resistensi terhadap antibiotik yang digunakan [15]. Tabel 1 Kuantitas Penggunaan Antibiotik DDD/100 patient-days No Nama Antibiotik Kode ATC LOS (hari) Dosis (g) DDD DDD/100 1 Ceftriaxone J01DD04 283 542 271 95,75 2 Metronidazol J01XD01 194 129,33 45,69 3 Cefotaxim J01DD01 13 3,26 1,15 4 Cefazolin J01DB04 2 0,66 0,23 Total 751 404,25 142,82 Tabel 2 Profil DU 90% Penggunaan Antibiotik No Nama Antibiotik DDD/100 DU (%) Segmen DU 1 Ceftriaxone 95,75 67,04 90% 2 Metronidazol 45,69 31,99 3 Cefotaxim 1,15 0,80 10% 4 Cefazolin 0,23 0,16 3.3 Kualitas Antibiotik Berdasarkan Gyssens Antibiotik yang diresepkan oleh dokter pada penelitian ini hanya 2 jenis antibiotik yaitu antibiotik profilaksis dan empiris. Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang digunakan bagi pasien yang belum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Antibiotik empiris merupakan penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya, sedangkan antibiotik definitif digunakan pada kasus infeksi yang telah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistennya. Sedangkan antibiotik definitif tidak diberikan karena tidak adanya hasil kultur dan hasil tes sesitivitas antimikroba [6]. Antibiotik golongan sefalosporin banyak digunakan secara luas pada rumah sakit karena aktif terhadap bakteri gram negatif maupun positif. Menurut ASHP mikroorganisme yang banyak menginfeksi luka paska bedah apendiktomi bakteri anaerob dan aerob. Pada penelitian ini paling banyak digunakan antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 yaitu ceftriaxone. Ceftriaxone efektif terhadap bakteri gram positif (Staphylococcus sp dan Streptococcus sp) dan gram negatif anaerob B. fragilis. Ceftriaxone diindikasikan untuk mengurangi terjadinya infeksi pada proses pembedahan yang aktif melawan bakteri gram positif dan gram negatif [17].
Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Apendiktomi Berdasarkan ATC/DDD di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 40 Hasil yang didapatkan dari penilaian kualitas penggunaan antibiotik berdasarkan Gyssens yang terdiri dari kategori 0 hingga VI dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Dari 251 peresepan antibiotik didapatkan 91,63% peresepan antibiotik yang masuk kedalam kriteria 0 (rasional), 1,59% termasuk dalam kategori II C (tidak tepat rute pemberian); 0,80% termasuk dalam kategori III A (pemberian terlalu lama); 5,58% termasuk dalam kategori III B (pemberian terlalu singkat) dan 0,4% termasuk dalam kategori IV A (terdapat alternatif lebih efektif). Antibiotik yang masuk ke dalam kategori II C (tidak tepat rute pemberian) mendapatkan terapi antibiotik empiris yaitu kombinasi ceftriaxone dengan metronidazol. Ceftriaxone diberikan dengan rute intravena namun metronidazol diberikan secara oral. Menurut IDSA guidelines, rute yang direkomendasikan untuk pemberian antibiotik adalah rute parenteral karena rute oral harus mempertimbangkan sifat fitokimia obat, keadaan saluran pencernaan pasien dan interaksi obat saat diabsorbsi dalam saluran pencernaan yang dapat berpengaruh pada bioavailabilitas antibiotik. Rute oral dapat diberikan jika terjadi pergantian dari rute intravena menjadi oral. Pergantian rute dapat dilakukan jika telah menerima terapi intravena minimal 24 jam. Sedangkan pada pasien diberikan terapi kombinasi dengan ceftriaxone intravena. Antibiotik yang masuk kategori IIIA (pemberian terlalu lama) mendapatkan antibiotik terapi empiris kombinasi ceftriaxone dan metronidazol. Kombinasi obat tersebut diberikan selama 9 hari. Menurut IDSA guidelines, untuk terapi empiris diberikan tidak lebih dari 7 hari. Antibiotik yang masuk kategori IIIB (pemberian terlalu singkat) mendapatkan antibiotik empiris ceftriaxone, metronidazol dan kombinasi ceftriaxone dan metronidazol selama kurang dari 3 hari. Menurut IDSA guidelines, antibiotik terapi untuk orang dewasa minimal diberikan selama 3 hari. Antibiotik yang masuk kategori IV A (ada alternatif yang lebih efektif) yaitu antibiotik profilaksis metronidazol tunggal. Menurut IDSA guidelines, pemberian metronidazol tunggal kurang efektif karena memiliki laju infeksi diatas 10%. Table 3 Kualitas Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Gyssens No Nama Antibiotik Jenis Terapi Kategori Gyssens P E 0 I IIC III IV V VI A B A C 1 Ceftriaxone 63 66 118 0 0 1 10 0 0 0 0 2 Metronidazol 4 47 40 0 4 1 4 1 0 0 0 3 Cefixime 0 44 44 0 0 0 0 0 0 0 0 4 Cefotaxim 1 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 5 Cefazolin 2 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 6 Ciprofloxacin 0 17 17 0 0 0 0 0 0 0 0 7 Cefadroxil 0 6 6 0 0 0 0 0 0 0 0 Total 70 181 230 0 4 2 14 1 0 0 0 *Keterangan: P = Profilaksis, E = Empiris Table 4 Kualitas Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Algoritme Gyssens Kategori Keterangan Jumlah Presentase (%) II C Tidak tepat rute pemberian 4 1,59 III A Pemberian terlalu lama 2 0,80 III B Pemberian terlalu singkat 14 5,58 IV A Terdapat alternatif lebih efektif 1 0,4 0 Tepat (Rasional) 230 91,63 Total 100 4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan karakteristik pasien terbanyak yaitu jenis kelamin perempuan sebanyak 45 pasien (67,16%), usia remaja akhir (18-25 tahun) sebanyak 22 pasien (32,84%), pekerja IRT sebanyak 7 pasien (10,45%) dan pendidikan SMA sebanyak 14 pasien (20,89%). Pada kuantitas penggunaan antibiotik dengan metode ATC/DDD didapatkan ceftriaxone dengan penggunaan terbesar sebanyak 95,75 DDD/100 patient-days dan didapatkan nilai total penggunaan antibiotik sebanyak 141,82 DDD/100 patient-days. Dalam pengelompokkan Segmen DU 90% ceftriaxone dan metronidazol termasuk kedalam segmen DU 90%, sedangkan cefotaxim dan cefazolin termasuk kedalam segmen DU 10%. Pada kualitas penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens didapatkan kategori IIC (tidak tepat rute pemberian) sebanyak 1,59% yaitu metronidazol, IIIA (pemberian terlalu lama) sebanyak 0,80% yaitu ceftriaxone dan metronidazol, IIIB (pemberian terlalu singkat) sebanyak 5,58% yaitu ceftriaxone dan metronidazol, IVA (ada alternatif yang lebih efektif) sebanyak 0,4% yaitu metronidazol, serta kategori 0 (rasional) sebanyak 91,63%
Pola Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Apendiktomi Berdasarkan ATC/DDD di RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 41 5 Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh staff rekam medis RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan dan pihak yang telah berkontribusi dalam kelancaran penelitian ini 6 Kontribusi Penulis Dhea Annisa Putri: Melaksanakan penelitian, pengumpulan, analisis data dan pustaka, membahas hasil penelitian serta penyusunan draft manuskrip. Adam M. Ramadhan dan Fika Aryati: Pengarah, pembimbing, serta penyelaras akhir manuskrip 7 Etik Keterangan layak etik pada penelitian dikeluarkan oleh Komite Etik Penelitian Kesehatan RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo No.02/1/KEPK-RSKD/2022 8 Konflik Kepentingan Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 9 Daftar Pustaka [1] Thomas, G. A. 2016. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal eclinic, 231- 232 [2] B. Dogra. 2014. Acute Appendicitis: Common Surgical Emergency. Medical Journal of Dr. D. Y. Patil Vidyapeeth Vol. 7 No. 6: 749- 752 [3] Sander, Mohammad Aleq. 2011. Apendisitis Akut: Bagaimana Seharusnya Dokter Umum dan Perawat Dapat Mengenali Tanda dan Gejala Lebih Dini Penyakit Ini?. Jurnal Keperawatan Vol. 2 No.1 [4] Waisani, Siti dan Khoiriyah. 2020. Penurunan Intensitas Skala Nyeri Pasien Appendiks Post Appendiktomi Menggunakan Teknik Relaksasi Benson. Ners Muda, Vol. 1 No. 1 [5] Tjay TH dan Rahardja K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan EfekEfek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo [6] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi Antibiotika Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. [7] Anggraini, Wida et al., 2020. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Pasca Bedah Apendisitis Akut di RSUD Kabupaten Pasuruan Tahun 2018. Pharmaceutical Journal of Indonesia 2020 6(1):15-20 [8] Hartawan, I Gusti Ngurah Bagus Rai Mulya et al. 2020. Karakteristik Kasus Apendisitis di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Bali Tahun 2018. Jurnal Medika Udayana Vol. 9 No. 10 [9] Amalia, Iftina. 2016. Gambaran SosioDemografi dan Gejala Apendisitis Akut di RSU Kota Tangerang Selatan. Skripsi Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta [10] Nototadmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta [11] Garba, S., & Ahmed, A. 2012. Appendicitis – A Collection of Essays from Around the World. InTech, Kroasia. halm 107-132 [12] Bunicardi, F.C., Andersen, D.K., Billiar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., & Matthews, J.B. 2010. Schwartz's Principle of Surgery (9th ed.). USA: The McGraw-Hill Companies Inc. [13] Shiddiq, M. 2013. Suhu Tubuh Dan Nilai Granulosit Praoperasi Pasien Apendisitis Akut Berkomplikasi Di Rsud Dokter Soedarso Pontianak Tahun 2012. Jurnal Mahasiswa PSPD FK Universitas Tanjungpura, 2(1). [14] Ramadhan, Wildan Rizki et al. 2022. Penerapan Relaksasin Benson Untuk Menurunkan Intensitas Nyeri Pasien Post Operasi Apendiktomi Diruang Bedah RSUD Jend. Sudirman Yani Metro. Jurnal Cendikia Muda Vol.2 [15] Mahmudah, Febrina et al. 2016. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan ATC/DDD dan DU 90% di Bagian Bedah Digestif di Salah Satu Rumah Sakit di Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia Vol. 5 No. 4 [16] Fazriyah, Nurul. 2016. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Apendiktomi Dengan Metode ATC/DDD dan DU 90% di Rumah Sakit Daerah Cengkareng Periode Januari-Desember 2016. Skripsi UIN Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan [17] Bratzler Dale W., E. Patchen Dellinger, Keith M. Olsen, Trish M. Perl, Paul G. Auwaerter, Maureen K. Bolon, Douglas N. Fish, Lena M. Napolitano, Robert G. Sawyer, Douglas Slain, James P. Steinberg, and Robert A. Weinstein. 2013. “Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery.” Surgical Infections14(1):73–156. doi: 10.1089/sur.2013.9999
15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 42 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Sifat Fisika Kimia Tulang Sotong (Sepia Sp.) dan Optimasi Basis Pasta Gigi Physicochemical Properties of Cuttlefish Bone (Sepia Sp.) and Optimization the Toothpaste Base Dyah Ayu Puspo Rini*, Maria Almeida, Angga Cipta Narsa Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Limbah Tulang Sotong (Sepia Sp.) memiliki kandungan kalsium karbonat (CaCO3) yang selama ini belum optimal pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui basis terbaik dari tiga seri formulasi dengan Variasi F1, F2 dan F3, serta karakteristik tulang sotong (Sepia Sp.) yang meliputi kadar air, kadar abu dan kadar Kalsium. Penentuan kadar kalsium dengan menggunakan titrasi kompleksometri yang merupakan metode identifikasi kadar kalsium melalui perubahan warna dari ungu atau merah anggur sampai menjadi biru. Hasil yang didapatkan pada pengujian ini diperoleh kadar kalsium; 18,16%, kadar air; 1,35%, dan Kadar abu; 88,2%. pada evaluasi basis F3 dengan Formula NaCMC; 2%, Gliserin; 35%, Metil Paraben; 0,1%, Na Sakarin; 0,2%, SLS; 2% dan Titanium dioksida; 0,1% yang dinyatakan stabil sesuai parameter stabilitas fisik meliputi uji Organoleptis; bentuk massa pasta, aroma khas mentol dan warna putih, Daya Sebar; 6,92 cm, pH; 7,60, Homogenitas; tidak terdapat partikel, Viskositas; 2.461 Pa.s, Pembentukan busa; 21 mL serta uji sentrifugasi; tidak terjadi pemisahan Fase. Kata Kunci: Tulang Sotong, Kalsium, Optimasi basis Abstract The Westes of Cuttlefish bone (Sepia Sp) has contains calcium carbonate (CaCO3) which so far has not been optimally utilized. This study aims to determine the best of three series of formulations with variations F1, F2 and F3, as well as the characteristics of cuttlefish bone (Sepia Sp.) which include moisture content, ash content and calcium content. Determination of calcium levels by using complexometric titration, which is a method of identifying calcium levels by changing the colours from purple or burgundy to blue. The results obtained in this test obtained calcium levels; 18.16%, water Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Sifat Fisika Kimia Tulang Sotong (Sepia Sp.) dan Optimasi Basis Pasta Gigi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 43 content; 1.35%, and ash content; 88.2%. on the evaluation of the basis of F3 with Formula NaCMC; 2%, Glycerin; 35%, Methyl Paraben; 0.1%, Saccharin Na; 0.2%, SLS; 2% and Titanium dioxide; 0.1% which is state that stable according to the parameters of physical stability include organoleptic test; the shape of the paste mass, the characteristic Scent of menthol and colored white, the Spreading Power; 6.92 cm, pH; 7.60, Homogeneity; no particles, Viscosity; 2461 Pa.s, Foam formation; 21 mL and centrifugation test; no phase separation. Keywords: Cuttlefish bone, Calcium,Base Optimization DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.615 1 Pendahuluan Pemanfaatan Limbah terus dilakukan guna memperoleh suatu produk yang dapat digunakan dan memiliki nilai yang berguna dalam masyarakat. Selain itu penelitian yang mengangkat limbah dipercaya bahwa mengurangi produksi limbah itu sendiri. Limbah Hasil laut tulang sotong (Sepia Sp.) belum optimal pemanfaatannya, kandungan kalsium karbonat yang tinggi diperoleh dari tulang sotong [1]. Fungsi kalsium sebagai komponen pembentukan tulang dan gigi koagulasi atau pembekuan darah sehingga menunjang nutrisi tulang dan gigi agar tidak mengalami kerusakan [2] Gigi merupakan komponen jaringan yang tersusun dari kalsium, kesehatan gigi dan mulut mempengaruhi produktivitas keseharian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia termasuk mengunyah, berbicara dan kepercayaan diri. Terjadinya masalah dalam kesehatan gigi dan mulut ialah terjadinya plak. Plak merupakan suatu matriks yang melekat pada permukaan gigi apabila jarang dibersihkan [3] Pasta gigi merupakan sediaan semisolid dengan presentase (20%-50%) bahan-bahan terdispersi sebuk yang tidak larut. Secara umum pasta gigi memiliki konsistensi yang lebih kaku. Pasta Gigi berbahan abrasif umumnya sebagai scrub atau dapat juga berfungsi sebagai pemoles atau pembersih permukaan gigi [4] Penggunaan kalsium khususnya kalsium karbonat (CaCO3) dalam pasta gigi sebagai bahan abrasif yang masih digunakan dan mudah didapat, dengan harga yang relatif murah. Selain kalsium karbonat sebagai bahan abrasif ada pula silika terhidrasi, Dicalcium Phospat dihydrate (DCP-D) dan kalsium pirofosfat (CPP). Komponen bahan pasta gigi yang paling berpengaruh terdapat pada gelling agent dan bahan pembasahnya. Bahan pengental sangat berpengaruh dalam stabilitas selama penyimpanan dan kemampuannya mengikat bahan lainnya bebrapa bahan pengental diantaranya, NaCMC dan Xanthan gum. Kompnen humektan dalam sediaan pasta gigi berfungsi agar sediaan tidak mengering dan sulit dikeluarkan dari wadahnya. Adapun beberapa penggunaan humektan diantaranya ada sorbitol. Gliserin dan propilen glikol [5] 2 Metode Penelitian 2.1 Alat Wadah bulat (Stainless steel), Anak timbang, gerinda (grinder miller DE200G), Ayakan Mesh ukuran 200, Batang pengaduk, Gelas Kimia, Labu ukur, Botol coklat, Botol semprot, Buret,Cawan porselen, Corong kaca, Erlenmeyer, Gelas ukur, Kaca arloji, Object glass, Lempeng Kaca, Mortir dan stamper, oven, penggaris, pH meter, Pipet tetes, pipet ukur, propipet, sendok tanduk, sentrifuge, Spatel logam, Statif dan klem, Sudip, Tube sentrifuge, Viskometer Rheosys 2.2 Bahan Air suling (Aquadest), EDTA, Etanol 70%, Gliserin, HCl, Indikator EBT (Eriochrome Black T), Metil Paraben, MgSO4, Na CMC, Natrium
Sifat Fisika Kimia Tulang Sotong (Sepia Sp.) dan Optimasi Basis Pasta Gigi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 44 sakarin, NH4Cl, NH4OH, Oleum mint, Sodium Laureth Sulfate. Serbuk Tulang Sotong, Titanium dioksida 2.3 Prosedur Penelitian 2.3.1 Pembuatan Serbuk Tulang Sotong (Sepia Sp.) Sampel dikumpulkan dan dibersihkan dan direndam menggunakan air panas selama 20 menit sambil dibersihkan permukaannya agar hilang kotoran yang menempel. Kemudian dikeringkan menggunakan oven selama 24 jam dengan suhu 70oC, Kemudian tulang sotong yang sudah kering di haluskan menggunakan gerinda atau mortir dan stamper hingga berbentuk serbuk halus. Kemudian, diayak menggunakan mesh 200 sehingga di dapatkan sampel tulang sotong yang lebih halus. 2.3.2 Pembuatan Larutan Tulang Sotong (Sepia Sp.) Ditimbang ± 4 gram Serbuk tulang sotong kemudian ditambahkan 10 ml aquades digelas kimia dan 50 ml HCl 6 M sambil diaduk diatas penangas air sampai volume larutan menjadi 50 ml lalu didinginkan Sampai asap putih menghilang. Disaring larutan dan diencerkan dengan aquades dalam labu ukur 250 ml dan kemudian dipipet 25 ml kedalam labu ukur 100 ml diencerkan hingga tanda batas. 2.3.3 Penentuan Kadar Kalsium Diambil larutan sampel (Larutan Tulang Sotong) sebanyak 25 ml kedalam erlenmeyer 250 ml, ditambahkan buffer salmiak pH 10 sebanyak 10 mL dengan ditambah Indikator EBT 3 - 4 tetes. Larutan EDTA dimasukkan kedalam Buret 50 mL. Lalu, larutan dititrasi sampai berubah warna dari merah anggur atau ungu sampai menjadi biru. Hasil perubahan warna dicatat dan dihitung kadar kandungan kalsium didalam sampel. 2.3.4 Penentuan Kadar Abu Dioven Cawan krus yang akan digunakan dalam pengujian dengan suhu 105oC selama 30 menit, kemudian diletakkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang sampel tulang sotong sebanyak 1 gram kemudian diletakkan dalam cawan krus. Selanjutnya dipanaskan diatas hotplate sampai asap putih hilang dan dimasukkan kedalam tanur pengabuan dengan suhu 600oC selama 7 jam. Dimasukkan cawan didalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian cawan krus ditimbang. 2.3.5 Penentuan Kadar Air Diambil sampel sebanyak 1 gram diletakkan dalam kertas aluminium dan dimasukkan kedalam alat Moisture Balance. Ditunggu sampai lampu pada alat menyala yang menandakan bahwa presentase kadar air sudah mencapai presentase konstannya. 2.3.6 Pembuatan Basis Semua bahan ditimbang sesuai perhitungan, serbuk NaCMC dikembangkan dengan air hangat sebanyak 20 kali jumlah NaCMC didalam mortir. Ditempat terpisah disiapkan wadah dengan mencapurkan gliserin, metil paraben dan titanium dioksida diaduk sampai homogen. NaCMC yang sudah mengembang dicampur dengan natrium sakarin yang telah dilarutkan dengan sisa air dari jumlah bobot keseluruhannya. Campuran gliserin, metil paraben dan titanium dioksida dicampur dengan campuran NaCMC dengan Natrium sakarin. Kemudian, digerus hingga homogen. Campuran tersebut ditambahkan dengan Sodium Laureth Sulfat (SLS) dan digerus sampai homogen. Yang terakhir ditambahkan 2- 4 tetes oleum mint dan diaduk semua bahan basis sampai membentuk masa pasta. 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik Tulang Sotong (Sepia Sp.) Penelitian ini menggunakan sumber kalsium yang diperoleh dari limbah hasil laut yang belum optimal pemanfaatannya. Untuk mengetahui kandungan kalsium pada tulang sotong dilakukan dengan metode titrasi kompleksometri yang menggunakan titran EDTA dengan indikator EBT. Pemilihan Titran EDTA dikarenakan memiliki ligan polidentat dengan 6 pasang elektron yang bebas dapat mencengkram pusat atom dengan kuat [6]. Titrasi kompleksometri digunakan karena metode ini merupakan metode yang baik dalam analisis pengujian kadar kalsium dengan di dasari prinsip reaksi pembentukan senyawa kompleks antara ion logam yang cocok seperti kalsium dengan target zat pembentuk kompleks [7]. Titrasi Kompleksometri berdasarkan SNI
Sifat Fisika Kimia Tulang Sotong (Sepia Sp.) dan Optimasi Basis Pasta Gigi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 45 06-6989.13.2004 merupakan prosedur analisis kadar kalsium pada air dan air limbah [8]. Pembakuan EDTA dilakukan terlebih dahulu mengetahui bahwa konsentrasi EDTA tidak diketahui pastinya karena larutan ini merupakan larutan sekunder yang mana perlu diketahui nilai kosentrasi bakunya. Proses titrasi didasari pada perubahan warna yang menandakan titik akhir titrasi. Selama titrasi kadar ion dalam logam kalsium yang ada pada sampel sebanding dengan volume titran yang digunakan. Didapatkan presentase kadar kalsium tulang sotong sebesar 18,16% dengan Volume EDTA 47,2 mL dan kandungan kalsium karbonat sebesar 45,2% yang menandakan bahwa tulang sotong memiliki kandungan kalsium yang baik apabila digunakan sebagai bahan abrasif. Bahan abrasif merupakan bahan utama penyusun pasta gigi dengan rentan 20- 50% kandungan pasta gigi. bahan abrasif bermanfaat sebagai pemoles permukaan gigi dari partikel yang sulit dihilangkan, sehingga komponen Abrasif diyakini sebagai anti plak [9]. penambahan kalsium karbonat optimal dalam sediaan pasta gigi adalah sebesar 40 g [10]. Kadar Abu analisa pengujian kadar abu mengacu pada prinsip jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan yang terkait dengan mineral yang terkandung dari bahan yang dianalisanya[11]. Kadar abu total ialah analisis proksimat yang digunakan dalam menganalisa suatu sediaan, sekitar 96% terdiri dari air dan bahan organik. komponen Sisahnya terdiri mineral seperti Cu, Mn, Fe, K, P, Na, Mg dan Ca [12]. pada penelitian ini didapatkan kadar abu total dari sampel tulang sotong sebesar 88,20% yang mana hasil ini menandakan bahwa tingginya kadar abu sampel tulang sotong karena mineral yang terdapat dalam tulang sotong. mengetahui bahwa habitat sotong didasar laut membuat kadar mineral dalam tubuh terpenetrasi sehingga kandungan mineral dalam tubuh sotong tinggi. Kadar air mengacu pada prinsip analisis jumlah air yang terdapat dalam suatu bahan[11] Kandungan air dalam hasil laut diperkirakan sebesar 70-85% [13]. Pada hasil penelitian ini didapatkan hasil analisa kadar air sebesar 1,35% Hasil yang didapatkan cukup baik, berdasarkan standar nasional Indonesia (SNI 01-3158-1992), Tepung tulang memiliki kadar air maksimal 8% Hal ini berpengaruh pada stabilitas penyimpanan semakin rendah kadar air dimiliki maka masa simpan sampel akan lebih lama [14]. Tabel 1. Hasil Analisis Penentuan Karakteristik pada tulang Sotong Karakteristik Hasil Kadar Kalsium 18,16% Kadar Air 1,35% Kadar Abu 88,20% 3.2 Penentuan Formula Terbaik Optimasi basis bertujuan untuk mendapatkan basis yang baik dan sesuai parameter Evaluasi Fisik. Pada penelitian ini dilakukan optimasi pada tiga seri formulasi dengan variasi yang berbeda. Apabila satu diantara tiga memenuhi standar kriteria evaluasi fisik yang meliputi uji Organoleptik, uji pH, uji Homogenitas, uji daya sebar, uji sentrifugasi serta uji pembentukan busa. dalam memvariasikan tiga formula pada Komponen bahan NaCMC dan giserinnya. Kedua bahan ini sangat berpengaruh dalam stabilitas fisiknya Khususnya viskositas dan konsistensinya, diketahui bahwa NaCMC berperan sebagai pengental dan gliserin sebagai humektan [15]. Tabel 2.Optimasi Formulas Basis Komposisi Formula F1 % F2 % F3 % Natrium Karboksimetil Selulosa (Na CMC) 1 1,5 2 Gliserin 27,5 27.5 35 Metil Paraben 0,1 0,1 0,1 Natrium Sakarin 0,2 0,2 0,2 Sodium Laureth Sulfate 2 2 2 Titanium dioksida 0,1 0,1 0,1 Oleum Menthae q.s q.s q.s Aquades ad 100 ad 100 ad 100 Hasil uji stabilitas fisik sediaan pada masing-masing parameter dapat dilihat pada tabel 3. Pengujian organoleptik dilakukan dengan memperhatikan bentuk, warna dan aroma dari basis, dengan parameter tersebut didapatkan hasil dari tiga formula berbeda tidak jauh berbeda dengan warna putih, rasa dan konsistensi yang kental. Pengukuran pH dilakukan dengan menilai derajat keasaman suatu sediaan. Syarat Parameter pasta gigi menurut SNI 12-3524-1995 pada rentang 4,5 -
Sifat Fisika Kimia Tulang Sotong (Sepia Sp.) dan Optimasi Basis Pasta Gigi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 46 10. Pengujian ini dilakukan secara langsung menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan dapar phospat [16]. Pada pengujian pH didapatkah ketiga hasil formulasi masuk pada rentang yang telah ditetapkan sehingga diapat dinyatakan pH pasta gigi memenuhi syarat. Homogenitas merupakan syarat untuk melihat komponen bahan terdistribusi dengan rata keseluruh sediaan. Menurut SNI 12-3524- 1995 menyatakan bahwa syatrat mutu pada pengujian homogenitas tidak ditemukan gelembung udara didalam sediaan dan butiranbutiran padat yang menandakan bahwa bahan tidak terdispersi dengan merata [17]. Pada pengujian homogenitas didapatkan hasil pada F2 NaCMC 1,5% dan gliserin 27,5% yang kurang homogen karena ditemukan udara mengendap pada sediaan. Pada F1 NaCMC 1% dan gliserin 27,5% dan F3 NaCMC 2% dan gliserin 35% dinyatakan homogen sesuai dengan syarat mutu pasta gigi. Tabel 3. Hasil Evaluasi Basis Evaluasi Organoleptis Formula F1 F2 F3 Warna Putih Putih Putih Aroma Menthol Menthol Menthol Konsistensi Agak Kental Kental kental pH 6,68 7,69 7,60 Homogenitas Homogen Kurang Homogen Homogen Daya Sebar 7,82 cm 7,09 cm 6,92 cm Viskositas 2,217 Pa.s 2,212 Pa.s 2,461 Pa.s pembentukan busa 24 mL 21 mL 21 mL Uji Sentrifugasi Tidak terjadi pemisahan Fase Tidak terjadi pemisahan Fase Tidak terjadi pemisahan Fase Pengujian daya sebar merupakan pengujian yang berguna untuk mengetahui kelunakan suatu sediaan. Semakin besar diameter makan akan semakin besar pula jangkauan pasta gigi. Luas daya sebar berbanding lurus dengan beban pemberatnya [18]. syarat evaluasi fisik daya sebar pada sediaan semisolid berkisar 5-7 cm [19]. Hasil daya sebar dinyatakan bahwa pada formula F1 NaCMC 1% dan gliserin 27,5% dan F2 NaCMC 1,5% dan gliserin 27,5% tidak masuk dalam syarat rentang sediaan semisolid dengan diameter F1; 7,82 cm dan F2; 7,09 cm, sedangkan diameter F3 F3 NaCMC 2% dan gliserin 35% dinyatakan sesuai syarat sediaan semisolid dengan luas daya sebar 6,92 cm. Pengujian Viskositas bertujuan untuk mengetahui kekentalan dari sediaan yang dibuat dimana kemampuan suatu cairan untuk mengalir [20]. Pemeriksaan viskositas dilakukan secara langsung dengan menggunakan Viskometer Rheosystipe cone and plate 5/30 mm dengan kecepatan 6 Rpm. Syarat viskositas sediaan semisolid berkisar 2-50 Pa.s atau 2.000- 50.000 cps. Hasil yang didapatkan dalam pengujian ini dinyatakan bahwa tiga formula basis yang diuji viskositasnya sesuai dengan kisaran parameter sediaan semisolid. Uji pembentukan busa dilakukan untuk melihat tinggi rendahnya busa yang terbentuk dalam gelas ukur. Busa yang terbentuk memberikan sensasi nyaman dimulut dan mengangkat kotoran karena konsistensi busa dihasilkan lebih padat [17]. Hasil yang didapat pada pengujian ini umumnya dipengaruhi oleh surfaktan yang digunakan memiliki karakteristik pembentuk busa yang baik dari hasil ketiga formula menujukkan kemampuan yang baik untuk menghasilkan busa. Uji sentrifugasi memiliki tujuan untuk melihat terjadinya pemishan fase, biasanya perbedaan warna atau terdapat endapan dibawah tabung sentrifuse [21]. pada pengujian sentrifugasi dilakukan selama 30 menit dengan kecepatan 6000 Rpm [22]. Hasil yang didapatkan pada tiga formula tidak ditemukan adanya perbedaan warna fase ataupun terdapat endapan. 4 Kesimpulan Karakteristik Kadar yang terkandung didalam tulang Sotong (Sepia Sp.) berturutturut yaitu kadar Kalsium; 18,16%, Kadar Air; 1,35% dan kadar Abu; 88,2%. Hasil optimasi basis menunjukkan bahwa basis F3 dengan
Sifat Fisika Kimia Tulang Sotong (Sepia Sp.) dan Optimasi Basis Pasta Gigi 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 47 konsentrasi NaCMC 2% dan gliserin 35% menjadi basis pasta gigi yang memenuhi syarat parameter evaluasi fisik yang baik sesuai ketetapan. 5 Konflik Kepentingan Tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini. 6 Daftar Pustaka [1] Bihan el, Zatylny C, Perrin A & Koueta N. 2006. Past Mortem Change in Viscera of Cuttlefish sepia officinalis L. During Storage at Two Diferent Temperatures. Journal Food Chemistry 98(1): 39.51 [2] Shita, A. D. P., & Sulistyani, S. (2015). Pengaruh Kalsium Terhadap Tumbuh Kembang Gigi Geligi Anak. Stomatognatic-Jurnal Kedokteran Gigi, 7(3), 40-44. [3] Ahmad, Ilham. 2017. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kerang Darah (Anadara Granosa) sebagai Bahan Abrasif dalam Pasta Gigi. Jurnal Galung Tropika Vol. 6 No. 1. [4] Gintu, Agung Rimayanto, Elizabeth Betty Elok Kristian, and Yohanes Martono. 2020. "Karakterisasi Pasta Gigi Berbahan Abrasif Hidroksiapatit (HAp)." Jurnal Kimia Riset 5.2: 120-126. [5] Reiger, Martin M. 2000. Harry’s Cosmeticology Eighth Edition Volumes I-II. Chemical Publishing. Boston. [6] Puspitasari, Indarini Dwi. 2014. Kimia Analitik Dasar dengan Strategi Problem Solving dan OpenEnded Experiment. Alfabeta. Bandung. [7] Ward, R. E., & Carpenter, C. E.2010. Traditional Methods for Mineral Analysis. In Nielsen, S. S. (Ed). Food analysis 4 (pp.201-2015). New York, NY: Springer [8] Miefthawati. N. P., L. Gusrina, & F. Axela. 2013. Penetapan Kadar Kalsium Pada Ikan Kembung Segar dan Ikan Kembung Asin Secara Kompleksometri. Jurnal Analis Kesehatan Klinikal Sains 1:1-9. [9] Pratama, R.N. 2014. Efek Antibakteri Pasta Gigi yang Mengandung Baking Soda dan Pasta Gigi yang Mengandung Fluor Terhadap Pertumbuhan Bakteri Plak. Skripsi. Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanuddin [10] Rahman, D A. 2009. Optimasi Sediaan Gel Gigi yang Mengandung Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L) dengan Na-CMC sebagaiGelling Agent. [11] [AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc. [12] Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [13] Nurjanah & Abdullah, A. 2010. Cerdas Memilih Ikan dan Mempersiapkan Olahannya. Bogor: IPB Press. [14] Husna, A., Handayani, L., & Syahputra, F. (2020). Pemanfaatan tulang ikan kambing-kambing (Abalistes stellaris) sebagai sumber kalsium pada produk tepung tulang ikan. Acta Aquatica: Aquatic Sciences Journal, 7(1), 13-20. [15] Elfiyani, Rahmah, Naniek Setiadi,Sri Dwi Mei dan Siti Maesaroh. 2015. Perbandingan antara penggunaan pengikat dan humektan terhadap sifat fisik sediaan pasta gigi ekstrak etanol 96% daun sosor bebek (Bryophylum pinnatum [lam.] Oken). Media Farmasi Vol. 12 No. 2. [16] Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia: Edisi Ke IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. [17] Afni, Nur, Nasrah Said dan Yuliet. 2015. Uji Aktivitas Antibakteri Pasta Gigi Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu L.) terhadap Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus. Jurnal Galenika Journal of Pharmacy Vol. 1 No. 1. [18] Andriana, Ika. Mimiek Murrukmihardi dan Dewi Ekowati. 2011. Pengaruh Konsentrasi Tragakan terhadap Mutu Fisik Sediaan Pasta Gigi Ekstrak Etanolik Daun Mahkota Dewa (Phaleria papuana Warb var. Wichnannii) sebagai Antibakteri Streptococcus mutans. Jurnal Farmasi Indonesia: 66-76. [19] Garg, A., Aggarwal D., Garg S., Sigla A.K. 2002. Spreading of Semisolid Formulation: an Update. Pharmaceutical Tecnology Vol. 9 No. 2: 84-102. [20] Warnida, Husnul, Ade juliannor dan Yulia sukawaty. 2016. Formulasi Pasta Gigi Gel ekstrak etanol Bawang Dayak (Eleutherine bulbosa (Mill.) Urb.) Jurnal Sains Farmasi dan Klinis [21] Lachman, L dan Herbert Lieberman. 2008. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Universitas Indonesia Press [22] Gratia, B., Yamlean, P. V., & Mansauda, K. L. (2021). Formulasi pasta gigi ekstrak etanol buah pala (Myristica fragrans Houtt.). Journal of pharmacon, 10(3), 968-974.
15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 48 Journal homepage: https://prosiding.farmasi.unmul.ac.id Formulasi Sediaan Krim Body scrub dari Serbuk Kopi yang Dikombinasikan dengan Minyak Zaitun sebagai Pencerah dan Pelembab Kulit Formulation of Body Scrub Cream Preparations from Coffee Powder Combined with Olive Oil as Skin Lightening and Moisturizing Elit Dita Paradila*, Fajar Prasetya, Maria Almeida Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Kefarmasian “Farmaka Tropis”, Fakultas Farmasi, Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia *Email korespondensi: [email protected] Abstrak Body scrub merupakan produk kecantikan yang bekerja untuk membersihkan kotoran pada sel kulit mati hingga mencegah terjadinya kerusakan kulit. Kopi memiliki kandungan-kandungan yang baik untuk kulit seperti zat antioksidan yang cukup tinggi diantaranya flavonoid dan polifenol. Kandungan dicaffeoyqluinic acid dan asam klorogenik dalam biji kopi dapat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas,penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang meliputi tahap penyiapan sampel, pembuatan sediaan dengan konsentrasi 10%,15% dan 20%, evaluasi sediaan , uji iritasi dan uji efektivitas sediaan menggunakan skin analyzer untuk mengukur kelembapan dan menggunakan kertas indikator untuk mengukur kecerahan. Hasil penelitian yang di dapatkan yaitu sediaan homogen, berwarna coklat tua, berbau khas kopi untuk daya lekat sebesar 191,85 detik daya sebar sebesar 5,14 detik dan pH sebesar 5,5. Penggunaan sediaan krim body scrub yang mengandung serbuk kopi 20% menunjukkan peningkatan kondisi kulit menjadi lebih baik, meliputi kadar air pada kulit yang meningkat (10,4%) sehingga kulit menjadi lembab dan untuk kecerahan meningkat setelah pemakaian. Untuk formula terbaik adanya perbedaan konsentrasi memberikan efek yang berpengaruh dengan konsentrasi paling baik yaitu 20% dibandingkan 10% dan 15%. Kata Kunci: Body Scrub, Serbuk kopi, Kulit Abstract Body scrub is a beauty product that works to clean dirt on dead skin cells to prevent skin damage. Coffee has ingredients that are good for the skin, such as high levels of antioxidants, including flavonoids and polyphenols. The content of dicaffeoyqluinic acid and chlorogenic acid in coffee beans Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences
Formulasi Sediaan Krim Body scrub dari Serbuk Kopi yang Dikombinasikan dengan Minyak Zaitun sebagai Pencerah dan Pelembab Kulit 15 th Proc. Mul. Pharm. Conf. 2022. e-ISSN: 2614-4778 Samarinda, 27-29 Mei 2022 49 can function as free radical scavengers, this study used experimental methods which included the sample preparation stage, preparation of preparations with concentrations of 10%, 15% and 20%, evaluation of preparations, irritation test and test the effectiveness of the preparation using skin analyzer to measure humidity and use indicator paper to measure brightness. The results obtained were homogeneous preparations, dark brown in color, with a distinctive coffee smell for adhesion of 191,85 seconds, spreadability of 5,14 seconds and pH of 5,5. The use of body scrub cream preparations containing 20% coffee powder showed an increase in skin condition for the better, including an increase in water content in the skin (10.4%) so that the skin becomes moist and for increased brightness after use. For the best formula, the difference in concentration gives the effect with the best concentration, which is 20% compared to 10% and 15%. Keywords: Body Scrub, Coffee Powder, Skin DOI: https://doi.org/10.25026/mpc.v15i1.616 1 Pendahuluan Body scrub atau yang biasa dikenal dengan istilah lulur mandi merupakan lulur yang digunakan saat kulit dalam keadaan basah. Cara penggunaannya adalah dengan cara mengoleskan secara merata ke kulit tubuh kemudian digosok secara perlahan. Komponen Body scrub yang terdiri dari komponen lemak, dapat meningkatkan kelembapan kulit. Fase air dapat meningkatkan hidrasi kulit tampak segar. Surfaktan pada Body scrub juga mampu menggantikan peran sabun. Salah satu bentuk sediaan Body scrub yang banyak beredar dipasaran adalah bentuk sediaan krim[1,2]. Krim termasuk sediaan semi padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang dilarutkan atau didispersikan dalam bahan matriks. Krim ini memiliki daya tarik estetika yang lebih besar karena sifatnya tidak berminyak dan kemampuan untuk diserap oleh kulit pada saat diaplikasikan [3,]. Serbuk kopi memiliki kandungankandungan yang baik untuk kulit seperti zat antioksidan yang cukup tinggi diantaranya flavonoid dan polifenol. Kandungan dicaffeoyqluinic acid dan asam klorogenik dalam biji kopi dapat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas. Dalam pengaplikasiannya, ampas kopi banyak digunakan untuk berbagai manfaat memiliki kemampuan mengangkat sel sel kulit mati, mengurangi selulit, mencerahkan kulit kusam, dan meminimalkan resiko penyakit kanker kulit. Salah satu cara pemanfaatan serbuk kopi dalam bidang kecantikan yaitu dibuat Body scrub. Minyak zaitun selain digunakan untuk berbagai masakan juga berkhasiat untuk perawatan kecantikan. Minyak zaitun yang kaya vitamin E yang merupakan anti penuaan dini dan untuk mengencangkan kulit. Minyak zaitun juga bermanfaat untuk menghaluskan dan melembabkan permukaan kulit tanpa menyumbat pori- pori.minyak zaitun merupakan pelembab yang baik untuk melembabkan kulit wajah dan tubuh. Melembabkan dan menjadikan kulit terasa lebih lembut. Sudah bertahun-tahun manfaat minyak zaitun digunakan untuk perawatan kesehatan dan sebagai bahan kosmetik. 2 Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan yaitu mortir dan stamper, gelas kimia, gelas ukur, spatel plat kaca, batang pengaduk, sendok tanduk, timbangan analitik, pH meter, moisturizer checker dan cawan porselen. Bahan yang digunakan serbuk kopi, asam stearat, TEA, setil alkohol, minyak zaitun, metil paraben, propil paraben dan aquades.