The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Melalui buku ini semua pihak dapat mengetahui gambaran dari upaya KPU mengkaji penyederhanaan desain surat suara, mulai dari menggali desain surat suara yang kemudian muncul dengan enam model desain surat suara, sampai pada tiga model surat suara, hingga dua model surat suara

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search

MENJAGA MANDAT PEMILU DENGAN PENYEDERHANAAN SURAT SUARA

Melalui buku ini semua pihak dapat mengetahui gambaran dari upaya KPU mengkaji penyederhanaan desain surat suara, mulai dari menggali desain surat suara yang kemudian muncul dengan enam model desain surat suara, sampai pada tiga model surat suara, hingga dua model surat suara

Keywords: EBOOKMENJAGA MANDAT PEMILU DENGAN PENYEDERHANAAN SURAT SUARA

PENGARAH

Ilham Saputra (Ketua KPU RI)
Evi Novida Ginting Manik (Anggota KPU)
Arief Budiman (Anggota KPU RI)
I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (Anggota KPU)
Hasyim Asy’ari (Anggota KPU)
Pramono Ubaid Tanthowi (Anggota KPU)
Viryan (Anggota KPU)
Bernad Dermawan Sutrisno (Sekretaris Jenderal KPU)

PENANGGUNG JAWAB

Eberta Kawima
Melgia Carolina Van Harling

TIM PENYUSUN

Biro Teknis Penyelenggaraan Pemilu

PENYELARAS

Tunjung Yulianto
Andi Bagus Makkawaru
Andi Krisna
Fikry Errydian Syahidi
Raden Hendit Eriyanto
Livirta Adhesia
Ahdy Rifkiyanto

EDITOR

Yohan Wahyu

PENERBIT

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia
Jalan Imam Bonjol No 29, Menteng Jakarta Pusat 1031

ISBN : 978-623-6183-53-3



DAFTAR ISI DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN i

KATA PENGANTAR ii

PENGANTAR iv

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II SEBUAH CATATAN TENTANG SURAT SUARA PEMILU 13

l Aturan Hukum Penyederhanaan AdmAtiunrisatnraHsiuPkeummuPnegnuyteadnedrahnanaan Administrasi Pe
Penghitungan Suara dalam Pemilu SerPeenntagkhiTtuanhguann2S0u2a4ra dalam Pemilu Serentak Ta
(Muhammad Ihsan Maulana)

l Mencari Format Desain Surat Suara Pemilu Serentak (Heroik M Pratama)

BAB III REKAM JEJAK SURAT SUARA PEMILU 32

BAB IV PENYEDERHANAAN DESAIN SURAT SUARA PEMILU 42

BAB V SIMULASI DESAIN SURAT SUARA PEMILU 66

l Simulasi Enam Model Desain Surat Suara
l Simulasi Tiga Model Desain Surat Suara Di Tiga Provinsi
l Simulasi Dua Model Desain Surat Suara

BAB VI PENUTUP 199

DOKUMENTASI SIMULASI SURAT SUARA 203

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Surat Suara Pemilu 2019 2
Tabel 2 Dampak Penggunaan Lima Surat Suara di 3
Tabel 3 Pemilu 2019 5
Tabel 4 Ketentuan Desain Surat Suara Pemilu 6
Tabel 5 Jumlah Suara Sah dan Tidak Sah di Pemilu
Simulasi Perbandingan Biaya Surat Suara 10
Tabel 6 Pemilu 2019 (5 Lembar) dengan Rancangan
Surat Suara Pemilu 2024 (2 Lembar) 11
Tabel 7 Simulasi Perbandingan Biaya Kotak Suara
Pemilu 2019 (5 Lembar) dengan Rancangan 11
Tabel 8 Surat Suara Pemilu 2024 (2 Lembar) 15
Tabel 9 Perkiraan Kebutuhan Bahan Baku dan Biaya 16
Tabel 10 Cetak Surat Suara Berdasarkan Rancangan 17
Tabel 11 Surat Suara Pemilu Tahun 2024 Model 3 lembar 18
Tabel 12 Bunyi Pasal 353 UU Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum 19
Tabel 13 Bunyi Pasal 386 UU Nomor 7 Tahun 2017 21
Tabel 14 Tentang Pemilihan Umum 26
Tabel 15 Syarat Yang Harus Ada Di Dalam Surat Suara 27
Tabel 16 Menurut UU Pemilu 28
Tabel 17 Perbandingan Pengaturan Pemberian Suara 30
Tabel 18 Sejak Pemilu 2004-2019 40
Tabel 19 Perbandingan Syarat Pencoblosan Pemilu 45
Tabel 20 Legislatif Berdasarkan Perkembangan UU 46
Tabel 21 Pemilu 2004-2019 49
Tabel 22 Pengaturan Surat Suara dan Tata Cara 63
Tabel 23 Pemberian Suara di Filipina dan Kenya 64
Tabel 24 Surat Suara Tidak Sah di Pemilu Nasional 64
Tabel 25 Surat Suara Tidak Sah di Pemilu DPRD 90
Tabel 26 Jawa Barat dan Lampung 91
Perbandingan Perolehan Suara Partai Politik
di Pemilu 2014 dan 2019
Analisa Dampak Pilihan Model Penggabungan
Surat Suara
Surat Suara dan Metode Pemberian Suara
di Pemilu
Tiga Model Desain Surat Suara
Enam Model Desain Surat Suara
Keterangan Desain Enam Model Surat Suara
Desain Surat Suara Pemilihan Umum
Tiga Model Desain Surat Suara Hasil Simulasi
di Kantor KPU
Tiga Model Desain Surat Suara Simulasi di
Sulawesi Utara, Bali, dan Sumatera Utara
Data Pemilih Hasil Simulasi 6 Model Desain
Surat Suara
Penilaian Responden Pada Ukuran Enam
Model Desain Surat Suara

Tabel 27 Penilaian Responden Tentang Tingkat 92
Kesulitan Enam Model Desain Surat Suara
Tabel 28 Perbandingan Tingkat Kesulitan Enam 93
Model Desain Surat Suara
Tabel 29 Penilaian Umum Tingkat Kesulitan Enam 93
Model Desain Surat Suara
Tabel 30 Penilaian Umum Tingkat Kesulitan Enam 94
Model Desain Surat Suara
Tabel 31 Penilaian Responden Tentang Jumlah Surat 95
Suara
Tabel 32 Penilaian Responden Tentang Tingkat 95
Kesulitan Mengenali DCT
Tabel 33 Penilaian Responden Tentang Ukuran Daftar 96
Calon Tetap
Tabel 34 Penilaian Responden Tentang Lokasi 96
Penempelan DCT
Tabel 35 Masukan Tentang Desain dan Ukuran Surat 97
Suara 98
Tabel 36 Masukan Tentang Tata Cara Pemberian Suara 98
Tabel 37 Masukan Tentang Daftar Calon Tetap di TPS
Tabel 38 Masukan Dari Hasil Wawancara Terkait 101
Simulasi Surat Suara Model 1
Tabel 39 Masukan Dari Hasil Wawancara Terkait 104
Simulasi Surat Suara Model 2
Tabel 40 Masukan Dari Hasil Wawancara Terkait 110
Simulasi Surat Suara Model 3
Tabel 41 Masukan Dari Hasil Wawancara Terkait 114
Simulasi Surat Suara Model 4
Tabel 42 Masukan Dari Hasil Wawancara Terkait 119
Simulasi Surat Suara Model 5
Tabel 43 Masukan Dari Hasil Wawancara Terkait 125
Simulasi Surat Suara Model 6 127
Tabel 44 Tiga Model Desain Surat Suara Pemilu
Tabel 45 Catatan Waktu Model 3 Lembar Suara di 139
TPS 1 dan TPS 2 Simulasi Sulawesi Utara
Tabel 46 Profil Responden Simulasi di Provinsi 141
Sulawesi Utara
Tabel 47 Sikap Responden Simulasi di Provinsi 142
Sulawesi Utara
Tabel 48 Catatan Waktu Model 3 Lembar Suara di 159
TPS 1 dan TPS 2 Simulasi Bali 160
Tabel 49 Profil Responden Simulasi di Provinsi Bali 161
Tabel 50 Sikap Responden Simulasi di Provinsi Bali
Tabel 51 Catatan Waktu Model 3 Lembar Suara di 175
TPS 1 dan TPS 2 Simulasi Sumatera Utara 177
Tabel 52 Profil Responden Simulasi Sumatera Utara
Tabel 53 Sikap Responden Simulasi di Provinsi 178
Sumatera Utara 197
Tabel 54 Profil Responden Simulasi KPU 22 Maret 2022 198
Tabel 55 Sikap Responden Simulasi KPU 22 Maret 2022

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Desain Surat Suara Pemilu Presiden Amerika Serikat 2000 di Negara 25
Bagian Florida 29
Gambar 2 Surat Suara Pemilu Honduras 34
Gambar 3 Surat Suara di Pemilihan Umum 1955 35
Gambar 4 Surat Suara di Pemilihan Umum 1971 36
Gambar 5 Surat Suara di Pemilihan Umum 1977-1997 36
Gambar 6 Surat Suara di Pemilihan Umum 1999 37
Gambar 7 Surat Suara di Pemilihan Umum 2004 38
Gambar 8 Surat Suara di Pemilihan Umum 2009 39
Gambar 9 Surat Suara di Pemilihan Umum 2014 40
Gambar 10 Surat Suara di Pemilihan Umum 2019 74
Gambar 11 Enam Model Desain Surat Suara 100
Gambar 12 Surat Suara Model 1 di Simulasi TPS 1 KPU 21 Juni 2021 103
Gambar 13 Surat Suara Model 2 di Simulasi TPS 2 KPU 21 Juni 2021 106
Gambar 14 Surat Suara Model 3 di Simulasi TPS 3 KPU 21 Juni 2021 112
Gambar 15 Surat Suara Model 4 di Simulasi TPS 4 KPU 21 Juni 2021 115
Gambar 16 Surat Suara Model 5 di Simulasi TPS 5 KPU 21 Juni 2021 121
Gambar 17 Surat Suara Model 6 di Simulasi TPS 6 KPU 21 Juni 2021 129
Gambar 18 Model 3 Lembar Surat Suara Simulasi Sulawesi Utara 135
Gambar 19 Model 2 Lembar Surat Suara Simulasi Sulawesi Utara 146
Gambar 20 Model 3 Lembar Surat Suara Simulasi Bali 152
Gambar 21 Model 1 Lembar Surat Suara Simulasi Bali 165
Gambar 22 Model 3 Lembar Surat Suara Simulasi Sumatera Utara 171
Gambar 23 Model 2 Lembar Surat Suara Simulasi Sumatera Utara 187
Gambar 24 Model 3 Lembar Surat Suara Simulasi KPU 22 Maret 2022 193
Gambar 25 Model 2 Lembar Surat Suara Simulasi KPU 22 Maret 2022

KATA SAMBUTAN
KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA

Salah satu langkah yang dilakukan KPU dalam mempersiapkan
penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 yaitu membuat desain surat suara
yang lebih mudah dan sederhana bagi penyelenggara Pemilu. Penyederhanaan desain
surat suara ini merupakan salah satu upaya KPU dalam mempermudah dan
mempercepat kerja petugas di lapangan khususnya Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS). Dilatarbelakangi pada Pemilu 2019 dimana beban KPPS
begitu besar akibat kompleksitas penyelenggaraan Pemilu serentak, sehingga tidak
sedikit yang kemudian menjadi korban, baik sakit maupun meninggal dunia. Tidak
hanya dari segi penyelenggara Pemilu, KPU juga mengkaji penyederhanaan desain
surat suara dari semua sisi, baik itu Pemilih dan Peserta Pemilu, serta upaya efisiensi
anggaran dari pengadaan logistik Pemilu. Kajian penyederhanaan surat suara ini
juga ditujukan demi menciptakan kemudahan bagi pemilih untuk memberikan
suaranya di TPS.

Melalui buku ini semua pihak dapat mengetahui gambaran dari upaya KPU
dalam mengkaji penyederhanaan desain surat suara, mulai dari menggali desain
surat suara yang kemudian muncul dengan enam model desain surat suara sampai
pada tiga model surat suara, hingga dua model surat suara. Semua proses hasil
kajian penyederhanaan desain surat suara dilakukan dengan melibatkan sejumlah
pemangku kepentingan, melalui simulasi atau uji coba di lapangan, untuk menyaring
masukan dan pendapat agar kajian yang dihasilkan dapat menciptakan model surat
suara yang ideal, tidak hanya sederhana dan mudah tetapi juga menjamin desain
surat suara mampu menjaga mandat suara pemilih, dengan mengurangi potensi
suara tidak sah yang disinyalir akibat kesulitan pemahaman pemilih terhadap
banyaknya jumlah surat suara pada Pemilu sebelumnya.

Pada akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu upaya KPU dalam menghasilkan kajian penyederhanaan desain
surat suara yang komprehensif, sebagai upaya KPU dalam melayani Pemilih untuk
memberikan suaranya dengan mudah, sederhana dan benar, untuk pengembangan
dan perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.

Ketua
Komisi Pemilihan Umum

Republik Indonesia,

Ilham Saputra

i

KATA PENGANTAR

Penyederhanaan surat suara berarti melakukan reformasi elektoral yang
menjadi pekerjaan besar bagi Komisi Pemilihan Umum. Reformasi elektoral berlaku
pada modifikasi tahapan pemilu yang menyangkut transparansi, inklusivitas, dan
integritas tahapan – desain surat suara.

Reformasi elektoral semacam penyederhanaan desain surat suara seringkali
memancing mata publik karena surat suara bersentuhan langsung dengan pemilih
dan kandidat pemilihan. Surat suara menjadi sebuah media “penyaluran hak pilih”
dan “dipilihnya kandidat” di bilik suara atau TPS.

Sebagaimana telah diungkapkan oleh para penulis di dalam buku ini,
penyederhanaan desain surat suara mahfum dilakukan seperti halnya sistem pemilu
yang kerap berubah. Dalam alam demokrasi, sistem pemilu sangat menentukan
layouting dari surat suara. Situasi psikologis Pemilu 2019 merekam kesulitan para
petugas KPPS dalam mengolah surat suara yang sangat banyak akibat sistem pemilu
kita yang menganut tiga sistem sekaligus: proporsional terbuka, distrik, dan mayoritas.

Belum lagi kesulitan para pemilih dalam memahami surat suara di tangan
mereka yang menyebabkan banyaknya surat suara tidak sah atau banyaknya surat
suara yang urung tercoblos. Kendati membutuhkan riset yang lebih detail mengenai
dampak desain surat suara terhadap perilaku pemilih, memang pada umumnya
kerumitan yang terjadi di TPS karena desain surat suara kita yang tidak sederhana.

KPU selaku Penyelenggara Pemilu memiliki kewenangan untuk
menyederhanakan desain surat suara pada Pemilu mendatang. Sebagaimana prinsip
reformasi elektoral, KPU bersama pemangku kepentingan dalam melakukan
penyederhanaan desain surat suara harus memenuhi tiga aspek: (1) aspek legal,
(2) aspek administrasi, dan (3) aspek politik. Buku ini berusaha menjelaskan dan
memaparkan dua aspek pertama agar memudahkan langkah kita semua membawa
gagasan ini ke pemangku kepentingan lain seperti pemerintah, DPR, dan peserta
Pemilu.

Sebelum saya akhiri kata pengantar ini, Marcia Lausen (2007) dalam papernya
berjudul Design for Democracy: Ballot and Election Design menulis “petugas pemilu
menginginkan surat suara yang memberikan informasi yang jelas agar menghindari
kesalahpahaman dan ketidakpercayaan. Pemilih menginginkan surat suara yang
mudah dimengerti untuk yakin memberikan suara mereka”.

Begitulah kira-kira semangat dari hadirnya buku ini, dalam upaya memberikan
kajian-kajian komprehensif mengenai desain surat suara Pemilu dari masa ke masa
dan perbandingannya dengan Pemilu di luar negeri. Buku ini merupakan upaya
kolaboratif antara KPU dan pemangku kepentingan untuk menghadirkan desain

ii

surat suara yang applicable, menjangkau semua kalangan, dan dapat diterima oleh
semua pihak.
Semoga dapat menjadi sumbangsih kemajuan demokrasi Indonesia di masa
mendatang.

Anggota KPU RI Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu
Evi Novida Ginting Manik

iii

PENGANTAR

Apa itu surat suara? sampai pelaksanaan Pemilihan Umum 1999, pemahaman
tentang surat suara hanya pada tataran kebiasaan penyelenggaraan penyelenggara
pemilu dan masyarakat saja. Tidak ada rumusan atau pengertian baku tentang apa
yang dimaksud dengan surat suara.

Pada pemilihan umum 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
penyelenggara pemilu, untuk pertama kali merumuskannya. Surat suara dimaknai
sebagai alat memberikan suara dalam pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Inisiatif KPU ditindaklanjuti pembuat undang-undang pemilu. Untuk pertama
kalinya pada Pemilu 2004 yang diikuti oleh 24 parpol dan calon perseorangan untuk
mengisi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta untuk pertama kalinya
memilih Presiden dan Wakil Presiden melalui pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden (pilpres) secara langsung, pengaturan surat suara dilakukan, bahkan
pengaturannya mencakup apa saja yang menjadi muatan surat suara.

Mengutip Ben Reilly dan Andrew Reynolds, yang menempatkan bahwa surat
suara sebisa mungkin dibuat agar mudah dimengerti oleh semua pemilih untuk
memaksimalkan partisipasi dan mengurangi surat rusak atau ‘tidak sah’. Hal ini
sering memerlukan penggunaan simbol-simbol untuk partai dan calon legislatif, foto,
dan warna-warna.

Pengalaman penyelenggaraan pemilihan umum serentak di 2019 untuk
memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dengan
pemilihan umum presiden dan wakil presiden atau “pemilu lima kotak”, membuat
skala penyelenggaraan pemilu Indonesia menjadi luar biasa besar. Isu soal lima
surat suara ini menjadi perhatian karena melahirkan beban yang berat, tidak saja
bagi pemilih, namun juga bagi penyelenggara pemilihan umum. Terutama yang
berada di tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)

Pemilu serentak 2019 tercatat menjadi pesta demokrasi terbesar sepanjang
sejarah Indonesia. Pemilu ini sekaligus menjadi pemilu satu hari terbesar di dunia
karena penyelanggaraannya yang paling kompleks. Betapa tidak, ada tiga sistem
pemilu yang digunakan pada satu hari pemungutan suara, yaitu, sistem proporsional
daftar calon terbuka untuk memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Kemudian sistem distrik berwakil banyak untuk memilih anggota
DPD, dan sistem mayoritas dua putaran untuk memilih pasangan calon presiden dan
wakil presiden.

Berdasarkan Pasal 168 ayat 1 (satu) sampai 3 (tiga) Undang Undang Nomor
7 Tahun 2017 Sistem Kepemiluan di Indonesia adalah sebagai berikut : pemilu
presiden dan wakil presiden dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan daerah pemilihan. Pemilu untuk memilih
anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan
sistem proporsional terbuka, dan pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan
dengan sistem distrik berwakil banyak.

Indonesia sendiri menganut sistem pemerintahan presidensial yang berasal

iv

dari kata presiden, sehingga sistem pemerintahan presidensial meletakkan hubungan
fungsional antar lembaga dan pelaksanannya, dipimpin oleh presiden. Sejak
amandemen UUD 1945 yang ketiga dan keempat, pemerintah negara Indonesia
menjalankan sistem pemerintahan presidensial secara nyata.

Sebelumnya, Indonesia sempat menjalankan sistem pemerintahan demokrasi,
yang seiring berjalannya waktu mengalami perubahan. Pembagian tugas yang
dijalankan lembaga negara dengan sistem pemerintahan presidensial, secara murni
menggunakan doktrin Trias Politica, yakni legislatif yang berkuasa membuat undang-
undang, eksekutif yang berperan menjalankan undang-undang, dan yudikatif yang
memiliki hak mengadili pelanggaran undang-undang.

Pemilu serentak lima kotak diselenggarakan setelah Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42/2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Putusan Nomor 14/ PUU-
XI/2013 yang dibacakan pada 23 Januari 2014 tersebut, MK menyatakan
penyelenggaraan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pemilu presiden)
yang digelar setelah pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (pemilu legislatif)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pengalaman penyelenggaran pemilu serentak 2019 dengan beban yang tidak
ringan inilah yang mengilhami Komisi Pemilihan Umum berupaya melakukan kajian
untuk mendesain ulang surat suara. Tujuannya tentu pada akhirnya menjaga agar
kemurnian suara pemilih sebagai mandate untuk yang dipilihnya, baik partai politik,
calon legislatif, maupun presiden dan wakil presiden.

Buku ini adalah catatan bagaimana upaya Komisi Pemilihan Umum
membangun kajian, melakukan simulasi, dan kemudian berupaya melahirkan
rekomendasi agar desain surat suara bisa menjadi kajian yang terus dilakukan untuk
melahirkan model surat suara yang ideal, tidak saja lebih sederhana dan mudah bagi
pemilih, tidak menjadi beban yang berat bagi penyelenggara, namun juga tetap
menjamin desain surat suara menjaga mandate suara pemilih agar potensi surat
suara tidak saha, yang disinyalir akibat kesulitan pemahaman pemilih terhadap
desain surat suara, menjadi lebih berkurang.

Di bagian pertama buku ini lebih menjelaskan latar belakang mengapa penting
dilakukan kajian desain surat suara. Sejumlah temuan lembaga riset terkait evaluasi
pelaksanaan Pemilu 2019 juga menjadi pertimbangan urgensi merumuskan kembali
desain surat suara yang lebih sederhana, efisien, dan memudahkan bagi pemilih dan
penyelenggara pemilu. Hal ini juga diperkuat di bagian kedua yang berisi kajian
pemikiran dan rekomendasi dari pegiat pemilihan umum terkait upaya memperkuat
kajian terhadap desain surat suara.

Pada bagian ketiga disajikan sejarah singkat surat suara yang pernah dipakai
di pemilihan umum di Indonesia sebagai bagian ilustrasi tentang dinamika perubahan
surat suara sebagai wujud pelaksanaan dari perintah undang-undang yang berlaku
dan dijadikan dasar dari pelaksanaan pemilihan umum yang bersangkutan.

Di bagian keempat menyajikan soal desain surat suara hasil kajian Komisi
Pemilihan Umum. Pada bagian ini juga dijelaskan bagaimana dinamika yang yang
terjadi di internal tim kajian, dari diskursus sampai berwujud pengembangan desain

v

surat suara dengan tetap berpegang pada ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2019 yang menjadi landasan pelaksanaan Pemilihan Umum 2024.

Di bagian kelima disajikan hasil simulasi dari desain surat suara hasil dari
pengembangan yang dilakukan oleh tim kajian surat suara Komisi Pemilihan Umum.
Simulasi ini dilakukan tidak saja di kantor Komisi Pemilihan Umum, namun juga di
sejumlah daerah dengan pengujian sejumlah model desain suarat suara. Dalam
simulasi melibatkan representasi pemilih, baik dari sisi usia, latar belakang profesi,
dan kelompok masyarakat. Simulasi juga melibatkan partai politik sebagai peserta
pemilihan umum.

Kemudian bagian enam adalah penutup dan rekomendasi dari segala
rangkaian kegiatan kajian, simulasi, dan diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan Umum. Harapannya, buku ini tidak sekadar menjadi upaya diseminasi
dan pertanggungjawaban KPU sebagai penyelanggara pemilu, namun sekaligus
harapannya buku ini bisa menjadi titik awal bagi upaya penyederhanaan surat suara
pemilu ke depan. Tentu, tujuan utamanya tidak sekadar persoalan teknis kemudahan
semata. Namun, lebih dari itu, bagaimana tetap menjamin bahwa surat suara menjadi
alat untuk menjaga kemurnian suara pemilih sebagai ekspresi pemberian mandate
politik kepada peserta pemilihan umum yang dipercayainya.

Biro Teknis Penyelenggaraan Pemilu
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia

vi

BAB I
PENDAHULUAN

1

BAB I
PENDAHULUAN

Penyelenggaraan dan dinamika Pemilihan Umum (Pemilu) serta dampaknya
pada ketatanegaraan dan kehidupan demokrasi di setiap negara tidak lepas dari
sistem pemilu yang dipilih. Sistem pemilu merupakan metode dimana suara yang
diberikan dalam pemilihan ditransfer ke dalam kursi yang dimenangkan dalam
legislatif oleh partai dan para kandidat (Rose, 2000, 58).

Sederhananya, sistem pemilu mengkonversi suara yang diperoleh partai
politik atau calon legislatif (caleg) dalam pemilu menjadi kursi. Variabel-variabel
kuncinya adalah: pertama, model pemilu yang digunakan (misalnya: apakah sistem
mayoritas atau proporsional, dan rumus matematis apa yang dipakai untuk
menghitung perolehan suara). Kedua, ukuran distrik (distric magnitude), bukan
berdasarkan banyaknya pemilih yang tinggal di sebuah wilayah tertentu, tetapi
berdasarkan banyaknya anggota parlemen yang dipilih untuk wilayah tersebut
(IDEA, 2001, 1).

Berdasarkan ketentuan Pasal 347 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa pemungutan suara pemilu
diselenggarakan secara serentak. Dengan demikian, pemungutan suara untuk Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD
Provinsi), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD
Kabupaten/Kota) dilakukan pada hari yang sama.

Dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019, pemungutan suara dilakukan
dengan mekanisme pemberian suara untuk pasangan calon presiden dan wakil
presiden serta calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pemungutan suara dilakukan dengan cara mencoblos masing-masing surat suara.
Adapun surat suara yang digunakan dalam Pemilu 2019 yaitu ada 5 (lima) jenis
surat suara yang terdiri atas:

Lima surat suara di atas diberlakukan secara nasional di Pemilu 2019 kecuali
untuk Provinsi DKI Jakarta yang hanya terdiri dari 4 jenis surat suara karena pemilu
legislatif di daerah hanya ada pemilihan anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta.

2

Secara nasional, masing-masing jenis surat suara tersebut dimasukkan ke
dalam 5 (lima) jenis kotak suara yang berbeda sesuai dengan jenis Pemilunya. Pemilih
diberikan 5 (lima) jenis surat suara tersebut untuk dilakukan pencoblosan, kemudian
setelah mencoblos, pemilih harus memasukkan 5 (lima) jenis surat suara tersebut
ke dalam masing-masing kotak suara.

Dengan adanya 5 (lima) jenis surat suara tersebut, tentunya ini akan
membutuhkan waktu yang lebih lama bagi pemilih untuk membuka masing-masing
5 (lima) surat suara dan melakukan pencoblosan, kemudian melipatnya kembali
untuk dimasukkan ke dalam masing-masing kotak suara.

Komisi Pemilihan Umum mencatat sejumlah dampak positif dan negatif dari
penggunaan lima jenis surat suara ini, seperti yang dijabarkan dalam tabel berikut
ini.

Berdasarkan pengalaman pelaksanaan Pemilu 2019, Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) perlu hati hati untuk membaca sah/tidaknya surat suara
dalam proses penghitungan. Apalagi dengan banyaknya saksi yang hadir di TPS
sebagai perwakilan setiap peserta pemilu. Ditambah lagi beban KPPS karena waktu
penghitungan suara di TPS dilakukan dan selesai di TPS pada hari yang sama dengan
pemungutan suara.

Batasan waktu ini sesuai dengan Undang Undang 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum, yakni Pasal 383 Ayat 2 (dua). Namun, batasan waktu ini kemudian
diperpanjang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 37/PUU-
XVII/2019, yaitu diperpanjang hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari
pemungutan suara di TPS/TPSLN, yaitu pukul 24.00 waktu setempat.

Dengan ketentuan putusan MK ini maka ada tambahan waktu bagi KPPS
untuk menyelesaikan penghitungan, jadi tidak harus selesai di hari yang sama dengan
hari pemungutan suara. Misalnya, sebagai ilustrasi, ketika pelaksanaan penghitungan
suara di TPS tanggal 17 April Tahun 2019, maka hal berikut ini diberlakukan :

• Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum, penghitungan suara dilakukan sampai Tanggal 17 April 2019 Pukul
23.59 waktu setempat.

• Jika sampai batas waktu di atas belum selesai, ada tambahan waktu sesuai

3

dengan Putusan MK, penghitungan suara bisa dilakukan sampai Tanggal 18
April 2019 Pukul 12.00 waktu setempat.
Berkaitan dengan pendeknya waktu dan kerumitan dalam proses penghitungan
suara tersebut berdampak pada banyaknya badan ad hoc, terutama KPPS yang
mengalami kelelahan secara fisik, bahkan meninggal.
Untuk itulah kemudian Komisi Pemilihan Umum melihat perlu ada kajian
untuk memberikan gambaran apakah 5 (lima) jenis surat suara dari 5 jenis Pemilu
di 2019 dapat digabungkan menjadi beberapa varian alternatif desain. Kajian
dilakukan dengan melihat aspek regulasi dan aspek teknis dari penggunaan satu
penggabungan surat suara atau beberapa jenis surat suara yang digabungkan serta
untuk melihat dampak positif dan negatif dari penggunaan 5 jenis surat suara secara
serentak.
Kajian yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum ini memang ditujukan untuk
melakukan evaluasi terhadap penggunaan surat suara. Selain itu juga dimaksudkan
untuk menyiapkan alternatif kebijakan, terutama terkait surat suara yang merupakan
alat konversi suara rakyat menjadi hasil Pemilu.
Terkait surat suara ini, sebenarnya ada empat aspek yang menjadi landasan
betapa pentingnya kedudukan desain surat suara Pemilu. Pertama, desain surat
suara harus menjamin kemampuan pemilih untuk mengenali kandidat atau partai
politik yang menjadi peserta Pemilu dan agar pemilih dapat memberikan suaranya
dengan cara yang benar atau sah di bilik suara.
Kedua, desain surat suara Pemilu juga harus menjamin akurasi proses
penghitungan suara. Hal ini penting karena desain surat suara tidak hanya wajib
memudahkan pemilih, namun juga harus memudahkan bagi petugas penghitungan
suara di hari pemungutan dan penghitungan suara. Akurasi dalam proses
penghitungan suara juga menjadi ujung tombak dari proses pemilu yang berkualitas
dan demokratis.
Ketiga, desain surat suara Pemilu juga harus memperhatikan sistem Pemilu.
Mengubah desain surat suara harus tetap berpegang pada sistem Pemilu yang sudah
menjadi kesepakatan bersama. Salah satunya adalah soal sistem Pemilu proporsional
terbuka yang mewajibkan ada nomor urut dari nama dan gambar partai politik
peserta Pemilu dan nomor urut beserta nama calon legislatif.
Keempat, senada dengan poin ketiga, aspek penting yang juga harus
diperhatikan tentu adalah peraturan perundang-undangan. Menentukan desain surat
suara tetap harus berpedoman dari perintah undang-undang. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, ada sejumlah hal yang
sudah diatur secara konkrit terkait desain surat suara ini.
Pada Pasal 353 ayat (1) huruf a, b, dan c yang menyebutkan tentang cara
pemberian suara dengan melakukan pencoblosan. Mencoblos menjadi syarat
pemberian suara bagi pemilih. Artinya, desain surat suara harus menampung
kebutuhan ruang agar memudahkan pemilih melakukan pencoblosan di kertas surat
suara. Jangan sampai ruang dalam surat suara terlalu sempit, sehingga berpotensi
suara dari pemilih menjadi tidak sah. Hal-hal teknis seperti ini menjadi wajib
diperhatikan sekaligus menjadi aspek penting desain surat suara.

4

Selanjutnya di Pasal 386 juga dijelaskan bahwa secara operasional terkait
syarat sahnya surat suara, yakni ayat (1) menjelaskan bahwa suara untuk Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan sah apabila surat suara ditandatangani oleh
Ketua KPPS; dan tanda coblos pada nomor urut, foto, nama salah satu pasangan
calon, tanda gambar partai politik, dan/atau tanda gambar gabungan partai politik
dalam surat suara.

Kemudian di ayat (2) menjelaskan suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dinyatakan sah apabila surat suara
ditandatangani oleh Ketua KPPS dan tanda coblos pada nomor atau tanda gambar
partai politik dan/atau nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota berada pada kolom yang disediakan. Hal yang sama juga untuk
suara Pemilu anggota DPD dinyatakan sah apabila surat suara ditandatangani oleh
Ketua KPPS dan tanda coblos terdapat pada 1 (satu) calon perseorangan.

Selain ketentuan di atas, ada juga ketentuan di undang-undang yang
mendelegasikan ke Komisi Pemilihan Umum. Hal ini tertuang dalam Pasal 386 ayat
(4) yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis
pelaksanaan pemberian suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) sebelumnya, diatur dengan Peraturan KPU.

Jika merujuk undang-undang pemilu, hal-hal yang tidak bisa berubah dari
desain surat suara bisa digambarkan sebagai berikut :

Berpijak dari ketentuan di atas, jelas sekali mengubah desain surat suara
harus memperhatikan hal-hal yang harus ada dalam surat suara (V). Selain itu,

5

metode pemberiran suara dengan cara mencoblos juga harus menjadi pertimbangan.
Tidak heran jika kemudian dalam perjalanannya, terutama sejak Pemilu 2019, yang
harus menggunakan lima desain surat suara berakibat membuat beban bagi pemilih.
Hal ini dikarenakan surat suara untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota menjadi sangat besar dan banyak.

Kondisi ini bisa memicu kebingungan pemilih. Hal ini terkonfirmasi dengan
masih tingginya jumlah surat suara yang tidak sah dalam Pemilu. Dalam catatan
Komisi Pemilihan Umum, Pemilu 2019 yang pertama kali digelar secara serentak
nasional terdapat temuan surat suara tidak sah yang cukup besar, terutama di Pemilu
legislatif yang memang potensi kebingungan pemilih lebih tinggi dibandingkan
Pemilu presiden.

Pada Pemilu 2019 ada sedikitnya 17.503.953 suara tidak sah di Pemilu DPR.
Angka ini setara dengan 11,12 persen surat suara yang digunakan dalam Pemilu.
Angka surat suara tidak sah yang cukup fantastis ditemui di surat suara Pemilu
anggota DPD RI, yakni terdapat 29.710.175 suara tidak sah. Jumlah ini setara dengan
19,02 persen surat suara yang digunakan dalam Pemilu. Tentu sebuah angka yang
cukup memperihatinkan jika dikaitkan dengan besarnya biaya Pemilu yang
dikeluarkan negara dalam pelaksanaaan kontestasi lima tahunan ini.

Sementara di Pemilu presiden sendiri, angka surat suara tidak sah tidak
sebesar yang terjadi di Pemilu legislatif. Di Pemilu presiden jumlah surat suara tidak
sah mencapai 3.754.905 suara atau setara 2,37 persen dari surat suara yang
digunakan di Pemilu. Data yang sama dijumpai di Pemilu 2014 dan 2009 dimana
suara tidak sah di Pemilu presiden cenderung lebih rendah dibandingkan suara tidak
sah pada Pemilu legislatif.

Sama halnya dengan di Pemilu 2019, di Pemilu 2009, misalnya, suara tidak
sah di Pemilu anggota legislatif mencapai 17,7 juta suara, namun proporsinya lebih
besar, yakni mencapai 14,43 persen dari pemilih pengguna hak pilih di tempat
pemungutan suara. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan suara tidak sah di
Pemilu presiden 2009 yang mencapai 6,4 juta suara atau hanya 5,06 persen. Berpijak
dari data ini, dapat disimpulkan memang ada faktor kesulitan dari pemilih dalam
memberikan suara karena banyaknya surat suara yang harus dicoblos.

6

Sejumlah survei memperkuat hal ini. Hasil survei nasional yang dilakukan
Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menyebutkan, pelaksanaan pemilihan umum serentak 2019 dianggap menyulitkan
masyarakat. Setidaknya ada 74 persen responden survei publik dan 86 persen
responden survei tokoh yang menyatakan bahwa Pemilu serentak 2019 telah
menyulitkan pemilih.

Hasil survei menyebutkan juga bahwa para pemilih dipusingkan dengan
hal-hal teknis karena surat suara yang harus dicoblos terlalu banyak. Survei P2P
LIPI ini menjaring 1.500 responden dari 34 provinsi dengan margin of error 2,53
persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Pengumpulan data atas survei ini
dilakukan pada 27 April hingga 5 Mei 2019 untuk survei publik dan 27 Juni sampai
8 Agustus 2019 untuk survei tokoh.

Survei serupa juga dilakukan Litbang Kompas terkait kemudahan pemilih
dalam memberikan suaranya di Pemilu. Hasil jajak pendapat Kompas juga merekam
jawaban responden yang mengaku kesulitan soal banyaknya surat suara di Pemilu
lalu. Meskipun sebagian besar merasa tidak menjadi masalah, namun dengan adanya
lima kertas suara, tetap melahirkan kesulitan sekaligus kerumitan bagi pemilih.

Dari mereka yang mengaku kesulitan ini, separuh lebih berasal dari kelompok
responden berpendidikan rendah. Hal yang paling membuat mereka menemui
kesulitan saat di bilik suara di Pemilu lalu adalah terkait sulitnya membedakan mana
surat suara untuk DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Hal yang sama juga mereka akui soal kebingungan mencari nama calon
legislatif yang dipilih karena kertas suara yang terlalu banyak. Namun, pada umumnya,
mayoritas responden (90,8 persen) yang mengakui menemui kesulitan dengan surat
suara saat Pemilu 2019 lalu, secara umum menyimpulkan, dengan lima kertas suara,
waktu yang dibutuhkan terlalu lama di bilik suara, rata-rata mencapai 5 menit.

Lamanya waktu bagi pemilih melaksanakan pemungutan suara ini sedikit
banyak berdampak pada lamanya durasi tahapan di tempat pemungutan suara.
Bagaimanapun tahapan ini paling krusial dari semua tahapan Pemilu. Apalagi UU
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan, penghitungan suara
di tempat pemungutan suara harus selesai pada hari yang sama dengan hari
pemungutan suara. Meskipun, jika penghitungan suara belum selesai dapat
diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan
suara, potensi kelelahan fisik dari petugas tetap akan saja berpeluang terjadi.

Pengalaman di Pemilu 2019 memperkuat hal tersebut. Disebutkan, faktor
kelelahan dan sakit bawaan membuat sebanyak 894 petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 5.157 petugas KPPS sakit. Tentu, selain
mempermudah pemilih dalam memberikan hak pilihnya, penyederhanaan surat
suara pada akhirnya diharapkan juga mempermudah kinerja petugas dalam proses
penghitungan dan rekapitulasi suara aparat pemilihan, khususnya petugas KPPS
yang menjadi ujung tombak dari penyelenggara Pemilu.

Kondisi ini membuat Komisi Pemilihan Umum mencoba sejumlah langkah
inovasi dan upaya perbaikan ke depan. Anggota Komisi Pemilihan Umum Evi Novida
Ginting, seperti yang diutarakan di Kompas, 28 Januari 2022, menyatakan

7

keprihatinan dengan apa yang terjadi pada Pemilu 2019. Untuk itu, KPU
mempersiapkan pemanfaatan teknologi, seperti penggunaan Sistem Informasi
Rekapitulasi Elektronik (Sirekap). Pada Pilkada 2020 lalu, KPU mulai memperkenalkan
Sirekap untuk meringankan kerja KPPS dan mengurangi potensi manipulasi dalam
rekapitulasi.

KPU juga mencoba melakukan perancangan ulang terhadap desain surat
suara sebagai upaya untuk menyederhanakan dan memudahkan pemilih agar tidak
lagi dihadapkan pada kerumitan surat suara yang berjumlah lima. Hal ini untuk
menghindari kesulitan yang dialami pemilih dan penyelenggara Pemilu. KPU sendiri
sudah melakukan upaya menyederhanakan surat suara menjadi tiga atau dua lembar
surat suara saja. Pemilu presiden, DPR, DPD digabungkan dalam satu surat suara.
Satu lembar surat suara lagi digunakan untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Upaya ini kemudian dibarengi dengan simulasi yang dilakukan beberapa
kali oleh Komisi Pemilihan Umum. Dengan penyederhanaan surat suara, diharapkan
surat suara tidak sah semakin berkurang. KPU juga meyakini, penyederhanaan surat
suara ini bisa membuat pemilih tidak memakan waktu lama menggunakan hak
pilihnya.

Langkah KPU menyederhanakan surat suara ini juga disambut positif publik.
Mengutip jajak pendapat Kompas pada Juni 2021 dimana mayoritas responden
(82.2 persen) setuju dengan upaya Komisi Pemilihan Umum mengkaji
penyederhanaan desain surat suara untuk Pemilu 2024.

Dari sisi pemilih, kemudahan ini penting karena mengingat pengalaman di
Pemilu 2019, tidak jarang ditemui pemilih kesulitan membedakan lima surat suara,
yakni untuk Pemilu Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota. Hal ini belum lagi dengan kesulitan pemilih menentukan pilihannya,
terutama terkait nama-nama calon legislatif di surat suara.

Sikap publik yang cenderung mendukung penyederhanaan surat suara
umumnya memang untuk menciptakan kemudahan pemilih menggunakan hak
pilihnya di bilik suara nanti. Titik beratnya memang pada hal kemudahan pada isu
penyederhanaan surat suara. Sementara untuk isu metode pemberian suara,
responden cenderung tetap memilih pemberian suara dengan cara mencoblos.

Dalam upaya mendesain surat suara, Komisi Pemilihan Umum akan tetap
berpegang pada prinsip yang sudah digariskan dalam regulasi Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Selain itu, upaya mendesain surat
suara ini juga berpegang pada prinsip penting dalam mendesain surat suara, yakni
efisien dan efektif. Hal ini sesuai dengan enam hal penting yang dikemukan oleh
The Electoral Knowledge atau ACE Project.

Enam prinsip tersebut adalah, pertama, memberikan informasi yang jelas
mengenai instruksi metode pemberian suara di surat suara. Sebagai sontoh “berikan
tanda kepada partai politik/kandidat yang kamu pilih”. Kedua, meninjau kembali
ketentuan pembatasan satu tipe spesifik dalam menandai surat suara dan melarang
berbagai metode penanda lainnya. Sebagai contoh metode pemberian suara hanya
dengan memberi tanda “X” atau nomor, sedangkan metode lainnya dilarang.

Ketiga, memastikan ulang ukuran dari kotak atau ruang untuk memberikan

8

preferensi pilihan tersedia dalam ukuran yang memadai atau besar untuk
memudahkan pemilih. Keempat, memastikan surat suara memiliki informasi yang
memadai mengenai kandidat dan partai politik untuk membentuk pemilih dalam
menentukan pilihannya. Kelima, meninjau ulang pilihan huruf dan ukuran huruf
yang digunakan apakah memudahkan pemilih dalam membaca surat suara. Keenam,
untuk Pemilu serentak, memberikan kode warna pada surat suara dapat
meminimalisir kebingungan pemilih dalam memberikan suaranya.

Untuk itulah kemudian Komisi Pemilihan Umum menginisiasi sebuah rencana
redesain surat suara dengan sejumlah pertimbangan yang melatarbelakangi, yakni
pertama, beban kerja Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang
tinggi, sehingga badan ad hoc terutama KPPS yang mengalami kelelahan secara fisik
bahkan meninggal, sehingga ke depan perlu diminimalisir potensi beban yang berat
bagi petugas di lapangan.

Kedua, tingginya angka surat suara yang tidak sah pada Pemilu Tahun 2019
menjadi pertimbangan bagi KPU untuk mengkaji ulang desain surat suara dengan
harapan mengurangi potensi pemilih yang kesulitan maupun bingung dengan
banyaknya surat suara.

Ketiga, kesulitan pemilih dalam memberikan suara karena banyaknya surat
suara yang mengakibatkan tingginya suara tidak sah. Hal ini seperti yang dipertegas
dengan temuan dari survei LIPI 2019 dan survei Litbang Kompas 2021 di atas.
Keempat, berdasarkan survei yang dilakukan oleh litbang kompas 2021, sebanyak
82.2 persen responden menyatakan setuju jika KPU membuka alternatif desain
surat suara dengan jumlah surat suara yang lebih sedikit. Hal ini tentu menjadi
pertimbangan bagi KPU untuk melakukan kajian terhadap rencana redesain surat
suara.

Kelima, kajian hasil survei Pusat Penelitian Politik LIPI 2019, yang bertajuk
“Survei Pasca Pemilu 2019: Pemilu Serentak dan Konsolidasi Demokrasi”
menyebutkan, sebanyak 74 persen responden menyatakan pemilu serentak dengan
mencoblos lima surat suara (Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota) menyulitkan pemilih. Sebanyak 96 persen responden setuju bahwa
sebagian besar perhatian publik tertuju pada proses Pemilu Presiden dibandingkan
dengan Pemilu Legislatif.

Keenam, KPU memandang memang ada potensi yang menyulitkan dan
memerlukan waktu lama bagi pemilih untuk membuka dan melipat surat suara dan
kemudian memasukkan ke dalam kotak suara (rata-rata 6 menit per pemilih).
Ketujuh, pertimbangan efisiensi karena dengan redesain surat suara otomatis akan
berdampak pada jumlah surat suara. Dengan jumlah surat suara yang berkurang
akan diikuti juga dengan jumlah kotak suara yang juga berkurang. Tentu ini menjadi
langkah yang positif menuju efisiensi di pelaksanaan Pemilu ke depan.

Terkait efisiensi sendiri, KPU sudah melakukan simulasi terkait upaya
redesain surat suara ini. Selain memudahkan pemilih, redesain surat suara juga
akan berdampak besar pada penghematan anggaran. Khususnya terkait pengadaan
kertas, biaya cetak surat suara, dan biaya produksi kotak suara. Dari simulasi anggaran
yang dilakukan KPU, perubahan dari lima surat suara menjadi dua surat suara,

9

misalnya, akan menghemat 61,17 persen kebutuhan kertas. Redesain surat suara
juga berdampak pada penghematan biaya cetak surat suara, karena dari lima surat
suara menjadi dua surat suara. Potenis hematnya bisa sampai 33,81 persen dari
pembiayaan percetakan.

Selain menghemat kebutuhan kertas dan biaya cetak surat suara, dengan
desain surat suara menjadi 2 (dua), maka akan berdampak pada jumlah kebutuhan
kotak suara. Merujuk hitungan KPU, dengan redesain surat suara, maka akan
berdampak pada penyusutan kebutuhan jumlah kotak suara. KPU mencatat ada
potensi penghematan sampai 60 persen dari biaya produksi kotak suara. Potensi
penghematan ini akan makin besar jika nantinya jumlah pemilih per TPS ditambah,
misalnya dari 300 pemilih menjadi 400 pemilih, maka ada potensi penghematan
biaya produksi kotak suara mencapai 76,43 persen.

Hal ini menjadi gambaran bagaimana desain surat suara memiliki potensi
mengubah anggaran pengadaan surat suara, kotak suara, jumlah TPS, dan tentu
pada akhirnya juga jumlah petugas di lapangan tiap TPS. Jadi tujuan efisiensi dan
efektifitas pemilu menjadi tercapai melalui penyederhanaan surat suara ini.

10

11

Untuk itu, Komisi Pemilihan Umum menyusun kajian dan penelitian terkait
penyederhanaan surat suara untuk Pemilu 2024. Hal ini kemudian ditindaklanjuti
dengan melakukan simulasi terkait draf desain penyederhanaan surat suara dengan
model 3 dan 2 lembar surat suara yang dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara pada
20 November 2021. Kemudian juga simulasi dengan model 3 dan model 1 lembar
yang dilakukan di Provinsi Bali pada 2 Desember 2021 dan di Sumatera Utara pada
15 Desember 2021.

Dalam simulasi desain penyederhanaan suarat suara ini, Komisi Pemilihan
Umum sekaligus melakukan simulasi terkait lembar rekapitulasi. Hal ini terkait
upaya penyederhanaan juga lembar rekapitulasi. Dalam simulasi desain
penyederhanaan surat suara, Komisi Pemilihan Umum juga mengkaji durasi waktu
dari masing-masing simulasi untuk dibandingkan mana desain penyederhanaan
surat suara yang lebih sesuai dan mendekati sejumlah target yang dicanangkan di
atas terkait penyederhanaan surat suara.

Selain simulasi, Komisi Pemilihan Umum juga memperkuatnya dengan Forum
Group Discussion (FGD) untuk memperkaya temuan-temuan dari simulasi desain
penyederhanaan suarat suara. Buku ini adalah rangkuman dari rencana Komisi
Pemilihan Umum mengkaji desain penyederhanaan surat suara, dari mulai konsep
desain surat suara sampai pada upaya simulasi. Hasil simulasi juga disajikan dalam
buku ini sebagai bagian dari diseminasi ke publik terkait upaya-upaya Komisi
Pemilihan Umum mengkaji dan membangun desain penyederhanaan surat suara.

Semoga upaya penyederhanaan desain surat suara ini bisa menjadi awal
sekaligus bahan bagi penyelenggara pemilihan umum ke depan untuk mengawalnya
agar tujuan dari penyederhanaan surat suara bisa tercapai pada pemilu-pemilu
mendatang. Ujungnya adalah bagaimana kemudian membuat pemilih lebih mudah
dalam memberikan suara. Dengan kemudahan pemilih diharapkan dapat menjaga
suara pemilih dan pada akhirnya juga berdampak pada kualitas Pemilu itu sendiri.

12

BAB II
SEBUAH CATATAN

TENTANG
SURAT SUARA

PEMILU

13

BAB II
SEBUAH CATATAN TENTANG DESAIN SURAT SUARA

PEMILU

Aturan Hukum Penyederhanaan Administrasi Pemungutan dan Penghitungan
Suara dalam Pemilu Serentak Tahun 2024

Oleh Muhammad Ihsan Maulana
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif

Desain Pemiihan Umum (Pemilu) serentak dengan 5 surat suara pada Tahun
2019 membawa dampak yang sangat signifikan terhadap teknis penyelenggaraan
pemilu, khususnya dalam konteks administrasi pemungutan dan penghitungan suara.

Tidak heran, pada Pemilu 2019, kerumitan tersebut memberikan dampak
dan menjatuhkan korban penyelenggara pemilu dengan total terdapat 894 petugas
yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit yang disampaikan oleh
KPU dalam Refleksi Hasil Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dan Persiapan
Penyelenggaraan Pemilihan Serentak. Sekalipun penyelenggaraan pemilu serentak
tahun 2019 sudah dilakukan penambahan terhadap waktu rekapitulasi melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 20/PUU-XVII/2019 yang menguji Pasal
383 ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasca penyelenggaraan Pemilu serentak 5 Kotak di 2019, MK melalui Putusan
No 55/PUU-XVII/2019 menegaskan bahwa dalam memilih model keserentakan,
pembentukan UU harus harus memperhitungkan dengan cermat semua implikasi
teknis atas pilihan model yang tersedia, sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam
batas penalaran yang wajar, terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang
berkualitas.

Pilihan model keserentakan selalu memperhitungkan kemudahan dan
kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud
pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pasca Putusan MK tersebut, menurut penulis terdapat
2 hal yang dapat dilakukan. Pertama, Pembentuk UU harus mengubah dan memilih
keserentakan pemilu yang tidak lebih rumit dari Pemilu 5 Kotak.

Kedua, perlu adanya penyederhanaan teknis kepemiluan atas pilihan model
yang tersedia, sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang
wajar. Hal ini terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas.

Melihat situasi konsensus politik yang terjadi saat ini, pembentuk UU memilih
untuk tidak melakukan revisi terhadap UU Pemilu. Sehingga penyelenggaraan pemilu
serentak yang akan dilangsungkan di tahun 2024, akan mengikuti pola dan model
yang sama dengan pemilu serentak tahun 2019, yakni dengan 5 surat suara. Melihat
hal demikian, maka opsi kedua menjadi syarat penting untuk perbaikan
penyelenggaraan pemilu serentak di tahun 2019.

Penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR harus mendesain
penyelenggaraan pemilu serentak 5 surat suara dengan penyederhanaan teknis

14

kepemiluan, sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang
wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas.

Penyederhanaan teknis kepemiluan pada pemilu serentak 2024 dapat
dilakukan dengan melakukan penyederhanaan administrasi pemungutan dan
penghitungan suara. Misalnya saja mengubah desain surat suara agar lebih sederhana
dari 5 (lima) surat suara menjadi 1 (satu) surat suara untuk memudahkan pemilih.
Langkah ini akan berdampak pada penyederhanaan surat suara, Berita Acara
Pemungutan dan Penghitungan Suara, Catatan Hasil Penghitungan Suara, Sertifikat
Hasil Penghitungan Suara.

Penyederhanaan administrasi pemungutan dan penghitungan suara mampu
mengurangi beban penyelenggara dan mampu mengurangi panjangnya waktu dalam
melakukan penghitungan dan rekapitulasi suara pemilu serentak 5 kotak.
Penyederhanaan administrasi pemungutan dan penghitungan suara harus dilakukan
melalui instrumen hukum yang ada. Pasalnya, UU Pemilu banyak mengatur soal
administrasi pemungutan dan penghitungan suara yang berdampak pada fleksibilitas
penyederhanaan administrasi tersebut.
Pengaturan Administrasi Pemungutan dan Penghitungan Suara di UU Pemilu

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu)
mengatur cukup banyak tentang teknis tata kelola penyelenggaraan pemilu. Salah
satunya adalah administrasi pemungutan dan penghitungan suara. Pasal 353 dan
Pasal 386 UU Pemilu menjadi satu aturan yang perlu ditinjau jika ingin melakukan
penyederhanaan terhadap administrasi pemungutan dan penghitungan suara.
Pengaturan teknis yang diatur di dalam UU Pemilu berdampak pada fleksibilitas
penyelenggaraan dalam hal penentuan format surat suara dan tata cara pemberian
suara. Pasal 353 UU Pemilu terkait ketentuan pemberian suara yakni :

15

Ketentuan Pasal 353 UU Pemilu juga dikunci dengan Pasal 386 UU Pemilu
yang mengatur suara dapat dikatakan sah apabila memenuhi ketentuan yang diatur
di dalam Pasal 386. Pasal 386 menyebutkan :

Jika melihat ketentuan Pasal 353 dan Pasal 386 UU Pemilu dibuatkan ke
dalam list tabel maka dapat terlihat syarat yang harus ada di dalam surat suara,
yakni:

16

Melihat tabel di atas, meskipun UU Pemilu hanya menyebutkan terkait cara
dalam pemberian suara di pemilu, namun ketentuan di atas membawa implikasi
pada desain dan bentuk surat suara yang harus tersedia. Selain itu ketentuan pasal
386 UU Pemilu juga mengunci bahwa surat suara harus ditandatangani oleh Ketua
KPPS dan metode pemberian suara harus dilakukan dengan cara dicoblos.

Misalnya saja untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maka di dalam surat
suara wajib ada nomor, nama, foto paslon dan tanda gambar partai politik. Sementara
untuk Pemilu DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang harus ada
dalam surat suara adalah nomor partai, tanda gambar partai dan nama calon.

Jika melihat ketentuan Pasal 353 UU Pemilu dan praktik yang terjadi pada
pemilu serentak tahun 2019, tidak heran jika surat suara untuk memilih anggota
DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menjadi sangat besar dan
banyak. Pemberian suara yang kompleks ditambah surat suara yang banyak bisa
menjadi pemicu pemilih kebingungan dalam menyalurkan pilihannya, misalnya saja
di pemilu serentak tahun 2019 terdapat 17.503.953 suara tidak sah untuk tingkat
DPR RI.

Selain melihat ketentuan pemberian suara dalam UU 7/2017, menarik juga
melihat agaimana sebetulnya perkembangan pemberian suara dari penyelenggaraan
pemilu legislatif sejak tahun 2004. Termasuk juga mekanisme pemberian suara
dalam pemilu yang pada praktiknya pernah mengalami beberapa perkembangan
pengaturan. Berikut merupakan tabel perkembangan perubahan pemberian suara
dari penyelenggaraan pemilu legislative dari tahun 2004-2019.

17

Berdasarkan perkembangan pemberian suara di atas, terlihat bahwa
pengaturan pemberian suara dari pemilu ke pemilu semakin spesifik dan mengunci
teknis tata kelola penyelenggaraan. Namun semakin spesifiknya pengaturan di dalam

18

UU terkait pemberian suara tidak mengantisipasi kerumitan penyelenggaraan pemilu
serentak dengan 5 kotak dan potensi pengembangan teknologi dalam pungut hitung
yang dilakukan oleh KPU.

Jika melihat pada tabel di atas, ketentuan yang diatur di dalam UU 10/2018
untuk teknis pemberian suara jauh lebih umum dan dapat diterjemahkan lebih lanjut
di dalam Peraturan KPU. Hal ini akan memudahkan KPU untuk mengatur bagaimana
pemberian suara dan desain surat suara yang sesuai dengan penggunaan teknologi
di KPU.

Misalnya saja di pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020, terdapat penerapan
teknologi SIREKAP sebagai inovasi baru untuk penerapan teknologi dalam
pemilu/pemilihan untuk transparansi dari TPS dan alat bantu untuk publikasi dan
rekapitulasi tingkat kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.

Berbeda dengan pilkada yang praktik pemberian suara dan peserta pilkada
tidak sebanyak peserta pemilu legislatif, sehingga desain surat suara tidak sangat
berdampak. Hal ini berbeda dengan pemilu legislatif. Pada Pemilu 2019 saja, setidaknya
terdapat 16 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal, penyesuaian teknologi
akan sangat bergantung pada desain surat suara yang sudah dibatasi ketentuannya
di dalam UU Pemilu.

Ketentuan pasal 353 dan 386 dikaitkan dengan sistem pemilu proposional
daftar terbuka ditambah penyelenggaraan pemilu serentak 5 kotak justru memperumit
pemilih dalam proses pemberian suara di TPS. Kerumitan ini jelas tidak sesuai
dengan prinsip pemberian suara, yakni memudahkan pemilih, memberikan akurasi
dalam penghitungan suara, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Ke depan
untuk perbaikan teknis penyelenggaraan, khususnya pada aspek pemberian suara
dan penentuan suara sah, sebaiknya diatur melalui peraturan teknis penyelenggara.

Berbeda dengan surat suara dan tata cara pemberian suara dengan cara
mencoblos. Pasal 389 ayat (1) UU Pemilu terkait dengan hasil penghitungan suara

19

di TPS/TPSLN dituangkan ke dalam berita acara pemungutan dan penghitungan
suara serta ke dalam sertifikat hasil penghitungan suara pemilu dengan menggunakan
format yang diatur dalam peraturan. Hal ini lebih memberikan fleksibilitas pengaturan
karena memberikan kewenangan kepada KPU untuk mengaturnya.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penyederhanaan administrasi
pemungutan dan penghitungan suara untuk Pemilu serentak tahun 2024 terdapat
beberapa hal yang perlu diubah dengan melihat sumber kewenangan yang ada.

Pertama, aturan di dalam UU Pemilu yang sudah mengatur secara konkrit
dan hanya dapat diubah melalui perubahan UU Pemilu atau dikeluarkannya Perpu,
yakni Pasal 353 ayat (1) huruf a, b, dan c tentang pemberian suara dengan cara
mencoblos dan Pasal 386 ayat (1), ayat (2), ayat (3) surat suara dinyatakan Sah.

Kedua, melakukan perubahan terhadap dasar hukum yang bersumber dari
UU Pemilu tetapi sudah didelegasikan ke Peraturan KPU, yakni Pasal 386 ayat (4)
tentang pedoman teknis pelaksanaan pemberian suara; Pasal 387 ayat (4) tentang
format penulisan penghitungan suara; dan Pasal 389 ayat (1) tentang berita acara
pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertifikat hasil penghitungan
suara pemilu yang telah ditindaklanjuti di dalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun
2019 Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019
Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum.

Regulasi Pemberian Suara Pemilu dan Implikasi Terhadap Pengembangan
Sistem Informasi Rekapitulasi

Sistem Informasi Rekapitulasi (SIREKAP) memiliki tiga tujuan utama yaitu
: (1) Efisiensi tata kelola penyelenggaraan pemilu dari segi biaya maupun waktu
rekapitulasi penghitungan suara yang memerlukan waktu cukup lama ketika dilakukan
secara manual berjenjang; (2) Meminimalisir potensi electoral fraud yang terjadi
dalam proses rekapitulasi perolehan suara dalam bentuk mengubah hasil pemilu;
(3) Mendorong transparansi rekapitulasi perolehan suara dalam pemilu yang dapat
diakses oleh berbagai pihak kapanpun dan dimana pun secara real time.

Ketiga tujuan tersebut akan dapat tercapai jika penggunaan SIREKAP
diimbangi dengan perubahan teknis penyelenggaraan Pemilu. Pasalnya di dalam
teknis penyelenggaraan pemilu, beberapa ketentuan seperti metode pemberian
suara yang diatur sangat spesifik di UU Pemilu, desain surat suara, jenis atau model
salinan surat suara hingga teknis penyelenggaraan lainnya hampir tidak mungkin
mengikuti model pemilu 2019.

Praktik di negara lain dalam membuat peraturan teknis penyelenggaraan
menarik untuk dicermati dan menjadi refleksi bagi Indonesia. Misalnya saja di
Filipina dan Kenya. Kedua negara yang menerapkan SIREKAP ini perlu dilihat
ketentuan regulasi yang mengaturnya. Di Filipina dalam Republic Act No. 9369 An
Act Amending Republic Act No. 8436 Undang-Undang Yang Mengizinkan Komisi
Pemilu Untuk Menggunakan Sistem Pemilu Otomatis Pada Pemilu 11 Mei 1998
Nasional Atau Lokal Serta Latihan Pemilu Nasional Dan Lokal Berikutnya, Untuk
Mendorong Transparansi, Kredibilitas, Kewajiban, Dan Ketepatan Tujuan.

20

Filipina membuat undang-undang tersendiri untuk mengatur pemilu otomatis
atau ecounting dalam pemilihan di negaranya. Menariknya di dalam Section 2 poin
5 terkait surat suara hanya menyebutkan bahwa Surat Suara adalah dokumen yang
memuat perolehan suara calon di setiap TPS di kota/kotamadya. Dan di Section
15nya juga mendefinisikan secara ringkas apa yang dimaksud dengan surat suara,
yakni komisi akan menetapkan format tampilan elektronik dan/atau ukuran dan
bentuk surat suara resmi, yang memuat judul posisi yang akan diisi dan/atau usul
yang akan dipilih dalam inisiatif, referendum atau pemungutan suara.

Selain itu, di section 18 tentang prosedur dalam pemungutan suara. UU
Filipina memberikan keleluasaan kepada KPU akan mengatur tata cara dan tata cara
pemungutan suara yang mudah dipahami dan diikuti oleh para pemilih, dengan
antara lain memperhatikan kerahasiaan pemungutan suara. Bahkan dalam penentuan
prosedur penghitungan di dalam section 21 tentang Prosedur penghitungan. Komisi
akan menentukan cara dan prosedur penghitungan suara di bawah sistem otomatis:
Asalkan, selain dari hasil yang disimpan secara elektronik.

Praktik di Filipina dapat menjadi contoh bagaimana UU Pemilu otomatis
memberikan panduan umum untuk teknis penyelenggaraan dan aturan teknisnya
didelegasikan kepada KPU Filipina untuk mengatur sesuai dengan panduan umum
yang sudah diatur.

Senada dengan Filipina, regulasi di Kenya juga menunjukan bagaimana
praktik pengaturan teknis penyelenggaraan dilimpahkan kepada penyelenggara
untuk mengaturnya. Pada Elections Act No. 24 Of 2011 Section 109 Regulation Kenya
pada aspek regulasi, misalnya. Komisi dapat membuat peraturan secara umum agar
pelaksanaannya lebih baik tentang tujuan dan ketentuan undang-undang kepemiluan
mereka, dan khususnya, tetapi untuk umum hal tersebut di atas, dapat membuat
peraturan untuk menentukan tempat dan cara pemberian suara dan konstruksi
serta penskalaan kotak suara dan mengatur penerbitan surat suara untuk pemilih.

Filipina dan Kenya dapat menjadi gambaran bagaimana pengaturan teknis
penyelenggaraan kepemiluan dapat didelegasikan kepada KPU sebagai penyelenggara
pemilu. Tujuannya untuk mempermudah penyelenggara dalam menyesuaikan
kebutuhan teknis khususnya berkaitan dengan pemanfaatan teknologi.

21

Penerapan SIREKAP pada pemilu dan pemilihan serentak yang sangat
komplek di tahun 2024 membutuhkan teknologi untuk mempermudah kerja
penyelenggara, sehingga SIREKAP sangat diperlukan untuk memangkas lamanya
waktu rekapitulasi yang lama. Diperlukan penyesuaian teknis penyelenggaraan
pemilu untuk dapat menggunakan SIREKAP.

UU Pemilu perlu mendelegasikan kewenangan pengaturan teknis
penyelenggaraan pemilu kepada penyelenggara pemilu. Tujuannya agar penyelenggara
pemilu dapat menyesuaikan dengan kebutuhan teknis dan penerapan SIREKAP di
Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024.

Rekomendasi Kebijakan yang Dapat Diambil dalam Pemilu Serentak 2024
Melihat kompleksitas dan kerumitan penyelenggaraan Pemilu serentak Tahun

2024 yang juga beririsan dengan penyelenggaraan pilkada, maka diperlukan
penyederhanaan teknis kepemiluan atas pilihan model yang tersedia, sehingga
pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk
mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas :

1. Perlu ada perubahan di dalam UU Pemilu, khususnya pada Pasal 353 ayat
(1) huruf a, huruf b, dan huruf c serta Pasal 386 ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) dengan mengubah mekanisme pemberian suara dari mencoblos menjadi
alternatif pilihan yang disepakati sepanjang proses pemberian suara
menganut prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara,
dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilu. Misalnya saja mengubah dari
metode mencoblos menjadi memberikan tanda berupa angka.

2. Dikarenakan pembentuk UU tidak melakukan revisi terhadap UU Pemilu,
maka perubahan substansi pasal demikian dapat dilakukan melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Uji Materil ke Mahkamah
Konstitusi dengan mempertimbangkan implikasi yang ada.

3. Perlu adanya perubahan terhadap Peraturan KPU No 9 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019
Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum
untuk mempermudah Berita Acara Pemungutan dan Penghitungan Suara,
Catatan Hasil Penghitungan Suara, Sertifikat Hasil Penghitungan Suara.

22

Mencari Format Desain Surat Suara Pemilu Serentak
Oleh Heroik M Pratama
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Surat suara merupakan perangkat terpenting dalam pemilihan umum. Melalui
surat suara, karakter dasar dari sistem politik demokratis, yakni partisipasi dan
representasi dapat tercapai dengan baik. Hal ini karena surat suara merupakan
sarana pertemuan antara pemilih dengan kandidat/partai politik, sarana bagi pemilih
untuk menentukan pilihan politiknya atau menentukan siapa yang akan mewakilinya
di kursi pemerintahan, hingga sarana untuk mengkonversi suara pemilih ke kursi
perwakilan di eksekutif atau legislatif.

Sebagai instrumen utama dalam pemilu, surat suara perlu didesain sebaik
mungkin guna menghasilkan pemilu yang bebas, adil, dan demokratis. Desain surat
suara, paling tidak berdampak pada dua aspek penting di pemilu yakni: pertama,
the ability of voters to understand the choices of candidates or parties running in the
election and select their choice in a valid manner atau kemampuan pemilih untuk
mengenali kandidat atau partai yang menjadi peserta pemilu dan agar pemilih dapat
memberikan suaranya dengan cara yang benar atau “sah”. Untuk itu beberapa elemen
penting di surat suara, seperti logo partai, nama/foto kandidat, serta intruksi
mengenai tata cara pencoblosan menjadi elemen informasi penting di surat suara.

Kedua, desain surat suara akan berdampak pada the accuracy of counting of
votes atau akurasi dalam proses penghitungan suara. Surat suara yang tidak didesain
dengan baik, seperti kotak/gambar kandidat/partai politik yang kecil dan berdekatan
dengan partai/kandidat lain, membuka ruang untuk pemilih memberikan suaranya
lebih dari satu kotak yang berujung pada surat suara tidak sah. Dengan kata lain,
aspek terpenting dalam mendesain surat suara adalah memudahkan pemilih dalam
memberikan suaranya.

The Electoral Knowledge Network atau ACE Project menyarankan lima hal
penting yang perlu diperhatikan dalam mendesain surat suara yang efisien dan
efektif, diantaranya sebagai berikut:

1. Memberikan informasi yang jelas mengenai intruksi metode pemberian
suara di surat suara. Sebagai contoh “berikan tanda kepada partai
politik/kandidat yang kamu pilih”

2. Meninjau kembali ketentuan pembatasan satu tipe spesifik dalam menandai
surat suara dan melarang berbagai metode penanda lainya. Sebagai contoh
metode pemberian suara hanya dengan memberi tanda “X” atau nomor,
sedangkan metode lainnya dilarang

3. Memastikan ulang ukuran dari kotak atau ruang untuk memberikan preferensi
pilihan tersedia dalam ukuran yang memdai atau besar untuk memudahkan
pemilih

4. Pastikan surat suara memiliki informasi yang memadai mengenai kandidat
dan partai politik untuk membantuk pemilih dalam menentukan pilihannya

5. Meninjau ulang pilihan huruf dan ukuran huruf yang digunakan apakah
memudahkan pemilih dalam membaca surat suara

23

6. Untuk pemilu serentak, memberikan kode warna pada surat suara dapat
meminimalisir kebingungan pemilih dalam memberikan suaranya

Urgensi Mengubah Desain Surat Suara
Perubahan desain surat suara pemilu memang perlu mengedepankan

kemudahan pemilih dalam memberikan suaranya dan memberikan keadilan bagi
partai politik/kandidat peserta pemilu. Namun demikian, jika disederhanakan,
perubahan desain surat suara di pemilu dapat dipengaruhi oleh dua faktor utama.

Pertama, perubahan sistem pemilu yang berdampak pada perubahan metode
pemberian suara. Perubahan sistem pemilu proporsional daftar tertutup ke daftar
terbuka, misalnya, yang perlu mencantumkan nama kandidat dalam surat suara
yang sebelumnya desain surat suara hanya mencantumkan logo/simbol partai politik
untuk ditandai oleh pemilih.

Perubahan desain proporsional tertutup dan terbuka pernah terjadi Indonesia
ketika beralih dimana sebelumnya sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999, Indonesia
menerapkan sistem proporsional tertutup. Namun di Pemilu 2004 undang-undang
pemilu yang ada mulai mengatur ketentuan pencantuman daftar nama calon anggota
legislatif dan menjelang Pemilu 2009 keluar putusan Mahkamah Konstitusi yang
memurnikan penerapan sistem proporsional terbuka.

Begitu juga dengan perubahan metode pemberian suara dengan model
preferential vote seperti yang diterapkan di Australia, misalnya, yang membutuhkan
desain surat suara dengan kotak yang cukup besar untuk penulis menuliskan angka
bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.

Kedua, perubahan desain surat suara disebabkan oleh persoalan yang
ditimbulkan dari desain surat suara sebelumnya. Persoalan yang ditimbulkan bisa
beranekaragam. Di Inggris, misalnya, desain surat suara sebelumnya tidak cukup
memberikan informasi yang memadai mengenai tata cara pemilih memberikan
suaranya yang berdampak pada kebingungan pemilih dalam memberikan suara,
serta tidak sedikit banyak pemilih mengeluhkan desain surat suara yang terlalu
panjang di pemilu lokal.

Perselisihan hasil pemilu presiden di Amerika Serikat pada tahun 2000,
misalnya, salah satunya disebabkan oleh desain surat suara di negara bagian Florida
yang dianggap merugikan pemilih dan salah satu kandidat. Desain surat suara di
negara bagian Florida berbentuk kupu-kupu yang kemudian dikenal dengan istilah
butterfly ballot karena memiliki dua sisi yang berisikan nama-nama calon presiden
dan wakil presiden. Untuk memberikan suara dalam surat suara tersebut Tata cara
pemberian suara dalam surat suara tersebut adalah dengan memberikan tanda pada
kolom tengah yang memisahkan dua sisi surat suara tersebut.

24

Gambar 1
Desain Surat Suara Pemilu Presiden Amerika Serikat 2000

di Negara Bagian Florida

Persoalan muncul ketika banyak pendukung dari calon presiden dan wakil
presiden yang diusung Partai Demokrat, Al Gore dan Joe Lieberman, salah
memberikan suaranya. Dalam hal ini pemilih seharusnya memberikan tanda pada
kolom lingkaran yang berdekatan dengan nama Al Gore dan terdapat angka 5 (lihat
gambar) untuk memilih Al Gore. Akan tetapi sebagian besar pemilih Al Gore
memberikan tanda pilihannya pada kolom lingkaran Partai Reform untuk memilih
Pat Buchanan. Hal ini disebabkan desain kolom lingkar untuk pemilih memberikan
pilihannya saling berdekatan antara pasangan calon presiden dan wakil presiden
setiap partai politik dan tidak adanya intruksi atau informasi mengenai metode
pemberian suara di desain surat suara tersebut.

Studi Reidy dan Buckley (2015) yang berjudul “Ballot Paper Design, Evidence
From an Experimental Study at the 2009 Local Elections” menunjukan desain surat
suara di pemilu lokal di Irlandia berdampak pada ketidakadilan terhadap kandidat
peserta pemilu. Dengan menggunakan data hasil Pemilu Lokal 2009 di Irlandia,
Reidy dan Buckley (2015) membuktikan adanya kecenderungan kandidat yang
menempati posisi di tengah surat suara dengan nomor urut yang pertengahan,
menghadapi tantangan dan berujung pada perolehan suara yang rendah. Untuk
menetralisis efek tersebut, studi yang ditulis oleh dua akademisi dari University Cork
ini ini merekomendasikan untuk penempatan nama kandidat dilakukan secara acak.

Bagaimana dengan Indonesia?
Perubahan desain surat suara di Indonesia nampaknya perlu

dipertimbangkan. Meskipun tidak terjadi perubahan sistem pemilu di Indonesia,
namun adanya penyelenggaraan waktu pemilu presiden dan wakil presiden
bersamaan dengan pemilu DPD, DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
atau pemilu serentak sedikit menimbulkan persoalan yang salah satunya disebabkan
oleh desain surat suara.

Pemilu serentak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2019 dengan
desain surat suara memisahkan setiap level pemilu. Dalam hal ini terdapat lima
surat suara yang terdiri dari surat suara pemilu presiden dan wakil presiden, surat

25

suara pemilu DPR, surat suara pemilu DPD, surat suara pemilu DPRD provinsi, dan
surat suara pemilu DPRD kabupaten/kota.

Desain surat suara dan metode pemberian suaranya dari setiap surat suara
tersebut berbeda-beda. Untuk pemilu presiden dan wakil presiden desain surat suara
berisikan foto pasangan calon, nomor urut pasangan calon, nama pasangan calon,
foto pasangan calon, dan simbol partai politik pendukung pasangan calon. Adapun
metode pemberian suaranya dengan mencobolos pada salah satu kotak yang memuat
keterangan pasangan calon tersebut.

Desain surat suara pemilu DPD berisikan nama calon, foto calon, dan nomor
urut calon. Adapun metode pemberian suaranya serupa dengan pemilu presiden
dengan mencoblos pada kotak yang berisikan informasi calon DPD. Sedangkan
pemilu DPR dan DPRD memuat simbol partai politik, nomor urut partai politik, dan
nama-nama calon anggota legislatif yang didaftarkan oleh partai dengan jumlah yang
berbeda-beda sesuai dengan jumlah alokasi kursi per-daerah pemilihan. Adapun
metode pemberian suara untuk pemilu DPR dan DPRD ini ialah pemilih dapat
mencoblos logo partai atau nama-nama calon yang tertera.

Secara umum nampaknya desain surat suara yang ada sudah cukup
memberikan informasi yang memadai kepada pemilih dalam memberikan suaranya.
Namun, jika merujuk pada survei Pusat Penelitian Politik LIPI di tahun 2019
menyebutkan, sebanyak 74 persen responden menyatakan pemilu serentak dengan
mencoblos lima surat suara (presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota) menyulitkan pemilih.

Kesulitan ini terkonfirmasi dengan adanya disparitas perolehan surat suara
tidak sah antara pemilu presiden dengan pemilu legislatif yang cukup siginifikan.
Berdasarkan data yang dipublikasikan KPU pada saat penetapan hasil rekapitulasi
perolehan suara nasional Pemilu 2019, tercatat surat suara tidak sah pemilu presiden
hanya 2,37 persen atau 3.754.905 suara.

Sedangkan suara tidak sah untuk pemilu DPR empat kali lipat dari surat
suara tidak sah pemilu presiden, yakni 17.503.953. Begitu juga dengan surat suara
tidak sah di pemilu DPD yang mencapai 19,02 persen atau setara dengan 29.710.175.
Tingginya surat suara tidak sah di pemilu legislatif juga terjadi di DPRD Provinsi.
Sebagai contoh, surat suara tidak sah di DPRD Provinsi Jawa Barat adalah 15,4
persen dari total suara yang masuk.

26

Sekalipun memilih atau tidak memilih merupakan hak politik masyarakat,
akan tetapi desain pemilu serentak lima surat suara sedikit banyak berkontribusi
terhadap kesulitan pemilih dalam memberikan suaranya. Dalam surat suara pemilu
presiden dan wakil presiden dengan terdapat gambar pasangan calon tentunya
memudahkan pemilih. Situasi berbeda dengan surat suara pemilu legislatif yang
hanya berisikan simbol partai dan nama-nama calon anggota legislatif dengan desain
surat suara yang cukup besar.

Survei Pusat Penelitian Politik LIPI 2019, yang bertajuk “Survei Pasca Pemilu
2019: Pemilu Serentak dan Konsolidasi Demokrasi” menunjukan, sebanyak 96
persen responden setuju bahwa sebagian besar perhatian publik tertuju pada proses
pemilu presiden dibandingkan dengan pemilu legislatif.

Situasi tersebut sangat kontradiktif dengan tujuan dari pemilu serentak itu
sendiri yang tercantum dalam putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 dengan dua tujuan
utama, yakni efisiensi dalam bentuk kemudahan pemilih dalam memberikan suaranya
dan munculnya coattail effect atau hadirnya straight ticket voting dimana pemilih
memberikan suaranya kepada partai politik di pemilu legislatif yang berasal dari
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka pilih di surat suara pemilu
presiden.

Faktanya, PDI Perjuangan dan Gerindra selaku dua partai politik pengusung
utama dua pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak memperoleh suara
signifikan di Pemilu DPR.

27

Pada sisi lain, desain lima surat suara di pemilu serentak 2019 jelas-jelas
menambah beban kerja penyelenggara pemilu, khususnya KPPS dalam melakukan
penghitungan suara manual di tempat pemungutan suara. Tidak sedikit anggota
KPPS yang harus menyelesaikan proses penghitungan lima surat suara tersebut
memakan waktu lebih dari 24 jam yang berujung pada banyaknya petugas KPPS
yang sakit dan berujung pada kematian.

Hasil kajian lintas displin yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada atas
meninggal dan sakitnya petugas Pemilu 2019 menunjukan:

1. Median beban kerja petugas pemilu berkisar antara 20-22 jam pada hari
pelaksanaan pemilu; 7,5 hingga 11 jam untuk mempersiapkan TPS; dan 8
hingga 48 jam untuk mempersiapkan dan mendistribusikan undangan;

2. Ada sekitar 30 persen Petugas TPS di DIY yang melaporkan adanya kejadian
yang mengganggu jalannya pemilu;

3. Sekitar 20 persen kejadian yang mengganggu jalannya pemilu terkait dengan
administrasi yang rumit, perhitungan suara, dan pengetahuan petugas yang
secara spesifik dapat diminimalisir dengan manajemen bimbingan teknis
(BIMTEK) yang lebih baik;

4. Ada 9 persen keluhan dari petugas pemilu terkait dengan manajemen logistik;
5. Dari total 212 petugas pemilu di DIY, baik yang sehat maupun sakit, 80

persen petugas menilai bahwa tuntutan pekerjaan penyelenggaraan pemilu
tergolong tinggi. Di samping itu, sebanyak 83 persen dari 212 petugas pemilu
memiliki keterlibatan kerja yang tinggi. Akibatnya, mereka mengalami
kelelahan ketika bertugas. Hal tersebut ditunjukkan dengan 74 persen petugas

28

yang menganggap mereka berada dalam kategori kelelahan sedang hingga
tinggi.

Menggabungkan Surat Suara Pemilu Presiden dan Legislatif
Berdasarkan kondisi objektif tersebut, menata ulang desain surat suara

menjadi salah satu alternatif pilihan guna merespon beberapa persoalan yang
ditimbulkan dari desain lima surat suara di pemilu serentak. Meskipun, jika merujuk
pada beberapa negara di Amerika Latin yang juga menyelenggarakan pemilu eksekutif
dan legislatif pada waktu yang bersamaan, tetap memisahkan surat suara pemilu
legislatif dan eksekutif. Namun, sebagian besar pilihan sistem pemilu proporsional
yang digunakan dengan menggunakan besaran alokasi kursi per-daerah pemilihan
di pemilu legislatif yang kecil.

Chili, misalnya, dengan desain pemilu serentak eksekutif dan legislatif dimana
sistem pemilu legislatif yang diterapkan adalah daftar terbuka seperti di Indonesia.
Akan tetapi besaran rata- rata besaran alokasi kursi per-daerah pemilihannya adalah
dua kursi. Begitu juga dengan Honduras yang desain suratnya suaranya terpisah
antara pemilu legislatif dan pemilu presiden, namun rata-rata alokasi kursi per-
daerah pemilihan adalah tujuh kursi. Sehingga desain surat suara untuk pemilu
legislatifnya tidak berisikan banyaknya nama calon seperti di Indonesia.

Gambar 2
Surat Suara Pemilu Honduras

Mengabungkan surat suara pemilu presiden dengan pemilu legislatif adalah
salah satu pilihan yang dapat dilakukan untuk merespon beberapa persoalan
ditimbulkan dari desain lima surat suara terpisah. Dengan digabungkanya surat
suara pemilu presiden dan legislatif, tingginya surat suara tidak sah di pemilu legislatif
yang diakibatkan sebagian besar fokus perhatian pemilih hanya untuk memberikan
surat suara di pemilu presiden saja dapat diatasi, karena dengan membuka satu

29

surat suara, pemilih dapat melihat langsung partai politik dan daftar calon di pemilu
DPR, DPD, dan DPRD.

Selain itu, penggabungan surat suara pemilu presiden dan pemilu legislatif
(DPR, DPD, dan DPRD) dapat menyederhanakan administrasi pemilu, utamanya
meringankan beban kerja penyelenggara pemilu dalam melakukan proses
penghitungan surat suara manual di TPS. Sebelumnya, proses penghitungan surat
suara dilakukan satu per-satu dari lima surat suara yang ada dan memakan waktu
yang cukup lama. Namun, dengan penggabungan surat suara pemilu legislatif dan
pemilu presiden dapat mempercepat proses penghitungan karena dengan membuka
satu surat suara dapat menghitung perolehan suara untuk lima pemilu sekaligus
yakni pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.

Pada sisi lain, penggabungan surat suara membuka ruang hadirnya coattail
effect dengan keselarasan antara pilihan pemilih di pemilu presiden dengan di pemilu
legislatif yang memilih partai politik yang berasal dari pendukung presiden. Sehingga
tujuan dari pemilu serentak untuk efisiensi pemilih dan efektifitas sistem
pemerintahan presidensial melalui coattail effect dapat tercapai.

Meski demikian, penggabungan desain surat suara ini berkonsekuensi pada
perubahan tata cara pemberian suara. Hal ini karena, jika mempertahankan metode
pemberian suara dengan mencoblos pada nama kandidat di pemilu legislatif di DPR
dan DPRD, berdampak pada besarnya desain surat suara yang harus tetap
mencantumkan daftar nama-nama calon anggota legislatif yang didaftarkan oleh
partai politik.

Guna menghasilkan desain surat suara yang lebih sederhana dan memudahkan
pemilih, salah satu bentuk metode pemberian suara yang dapat dilakukan ialah
dengan menuliskan nomor urut kandidat. Sehingga konsekuensinya perlu
menyediakan kotak kosong untuk menuliskan angka sebagai bentuk metode
pemberian suara. Secara spesifik berikut adalah beberapa model penggabungan
desain surat suara pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota.

30

31

BAB III
REKAM JEJAK
SURAT SUARA

PEMILU

32

BAB III
REKAM JEJAK SURAT SUARA PEMILU

Surat suara yang digunakan di pemilihan umum merupakan “alat kampanye”
terakhir dari kontestan pemilu untuk memengaruhi pemilih di bilik suara. Setelah
proses dan tahapan kampanye selesai, surat suaralah yang menjadi harapan paling
akhir bagi peserta pemilu untuk menarik hati dan simpati pemilih. Dalam sejarah
pemilihan umum di Indonesia, tampilan dan desain surat suara juga mengalami
dinamika.

Jika kita ikuti rekam jejak surat suara pemilu di Indonesia, hampir tidak
pernah lepas dari metode pemberian surat suara itu sendiri. Indonesia sendiri
mengalami dua metode pemberian suara, yakni menulis dan mencoblos. Metode
pemberian suara dengan cara menulis sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Pada
Pemilu 1955 yang dikenal sebagai pemilu pertama yang demokratis, sebenarnya
sudah memberikan peluang bagi pemilih untuk menggunakan metode menulis
dalam memberikan pilihan politiknya.

Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 Tentang
Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR yang menjadi dasar hukum pelaksanaan
Pemilu 1955. Di pasal 67 ayat 2 UU tersebut menyebutkan, pemilih memberikan
suara dengan menusuk tanda atau gambar. Hal lainnya juga disebutkan, pemilih
memberikan suara kepada seorang calon dengan menulis nomor serta nama dari
calon dalam ruangan (space) yang disediakan dalam surat suara. Untuk memudahkan
pemilih menulis nama calon yang dipilihnya, maka di setiap bilik suara dipasang
daftar calon tetap.

Pemilu 1955 sendiri dilakukan dalam dua tahap, yakni memilih anggota DPR
yang digelar pada 29 September 1955 dan memilih anggota Konstituante yang
digelar pada 15 Desember 1955. Dalam buku “Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi
Pemilu 1955” (2019) disebutkan bahwa pemilihan anggota DPR tahun 1955 diikuti
oleh 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perorangan.

Sementara pemilihan anggota konstituante diikuti oleh 39 partai politik, 23
organisasi massa, dan 29 calon perorangan. Dari masing-masing surat suara untuk
pemilihan DPR dan Konstituante tersebut, surat suaranya hanya berisi nomor urut
gambar partai dan nama calon perseorangan. Pemilih bisa menggunakan cara
mencoblos maupun menulis untuk memilih anggota DPR dan Konstituante seperti
yang tertuang dalam Pasal 67 ayat 2 UU 7/1955 di atas.

Metode pemberian suara di Pemilu 1955 sendiri memberikan dua alternatif,
yakni mencoblos atau menulisnya di surat suara. Tampak jika diperhatikan pada
bagian gambar surat suara Pemilu 1955 di bagian bawah kanan surat suara ada
kotak kecil yang diperuntukkan bagi pemilih untuk menuliskan pilihannya. Hal ini
menegaskan memilih dengan menulis bukan sudah pernah dipraktekkan di pemilu
pertama di Indonesia.

Hal yang sama juga dilakukan saat pelaksanaan pemilu lokal memilih DPRD
pada kurun tahun 1957-1958 yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun
1957. Surat suara yang digunakan pada semua daerah yang mengadakan pemilu

33

lokal tersebut sama dengan desain surat suara Pemilu 1955. Jika mengacu ini, artinya
pemilih di Indonesia tidak sekali menggunakan metode menulis dalam menentukan
pilihan politiknya.

Gambar 3
Surat Suara di Pemilihan Umum 1955

Kolom untuk memberikan pilihan dengan cara menulis
Sumber : Komisi Pemilihan Umum

Surat suara Pemilu 1955 di atas dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR (Pasal 67 Ayat 2).
Seperti yang disebutkan di atas, agenda pemilihan umum 1955 sendiri dilakukan
untuk memilih anggota DPR yang digelar pada 29 September 1955 dan memilih
anggota Konstituante yang digelar pada 15 Desember 1955. Jika mengacu gambar
di atas, satu surat suara berisi nomor urut dan gambar partai politik serta nama
calon perseorangan

Setelah Pemilu 1955, pemilu-pemilu berikutnya, khususnya yang diadakan
di era pemerintahan Orde Baru menggunakan metode mencoblos. Metode ini semakin
dikukuhkan sebagai satu-satunya cara pemberian suara di pemilu.

Kemudian di Pemilu 1971 mulai memperkenalkan konsep pemilu serentak,
yakni memilih anggota DPR nasional dengan DPRD berbarengan, juga diikuti dengan
desain surat suara yang terpisah.

Jika di Pemilu 1955 hanya satu kertas suara, baik untuk memilih anggota
DPR maupun anggota Konstituante. Di Pemilu 1971 mulai digunakan tiga surat
suara, yakni surat suara untuk DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Masing-
masing surat suara berisi nomor urut dan gambar 10 partai politik yang menjadi
peserta Pemilu 1971

34

Gambar 4
Surat Suara di Pemilihan Umum 1971

Sumber : Komisi Pemilihan Umum

Pemilu 1971 digelar dengan landasan hukum Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat. Hal ini terutama ditekankan pada Pasal 21
ayat 6. Surat suara yang digunakan di Pemilu 1971 berjumlah tiga surat suara,
masing-masing untuk memilih anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II. Setiap surat suara
berisi nomor urut dan gambar partai politik.

Setelah kebijakan fusi partai politik tahun 1973, pemilu-pemilu berikutnya
malah lebih sederhana lagi karena jumlah kontestannya jauh lebih sedikit. Kebijakan
fusi ini menggabungkan sejumlah partai ke dalam tiga kelompok, yakni satu golongan
karya dan dua lainnya sebagai partai politik. Praktis, di Pemilu berikutnya, yakni
Pemilu 1977 sampai Pemilu 1997, peserta pemilu hanya tiga, yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) Golongan Karya, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Desain surat suara pemilu era Orde Baru pun makin sederhana, jika
sebelumnya berisi 10 gambar partai politik beserta nomor urutnya, mulai Pemilu
1977 hanya berisi tiga gambar peserta pemilu. Pemilu 1977 digelar dengan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975 Tentang Perubahan Pertama
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota
Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat.

Kondisi ini bertahan hingga pemilu berikutnya di era Orde Baru yakni sampai
Pemilu 1997. Tak heran jika kemudian metode mencoblos begitu kuat tertanam
pada memori masyarakat Indonesia karena selama tiga dekade lebih pemilihan
umum yang digelar identik dengan pencoblosan, bahkan tak jarang jenis metode
sudah menggeser kata memilih itu sendiri.

35

Gambar 5
Surat Suara di Pemilihan Umum 1977-1997

Sumber : Komisi Pemilihan Umum

Memasuki era reformasi, mencoblos dipertahankan sebagai metode
pemberian suara di pemilu. Di Pemilu 1999 dengan jumlah kontestan yang makin
bertambah karena euforia reformasi, yakni mencapai 48 partai politik. Surat suara
pun kembali lebih besar dengan menampung nomor urut beserta gambar logo dari
semua partai politik peserta pemilu tersebut. Total jumlah surat suara tetap tiga,
yakni untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pemilu 1999 sendiri dilangsungkan dengan berpedoman pada Undang-
UNdang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum. Di Pemilu 1999
menggunakan tiga surat suara, yakni untuk pemilihan anggota DPR, DPRD I
(Provinsi), dan DPRD II (Kabupaten/Kota). Di setiap surat suara berisi nomor urut
dan gambar partai politik. Sementara untuk pemilihan presiden masih dilakukan
melalui MPR.

Gambar 6
Surat Suara di Pemilihan Umum 1999

Sumber : Komisi Pemilihan Umum

36

Apa yang dipraktekkan di Pemiu 1999 juga kembali dipertahankan di Pemilu
2004. Pemilu 2004 digelar dengan landasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilhan
Umum. Di Pemilu 2004 ini diikuti oleh 24 partai politik sebagai peserta pemilihan
umum. Selain tiga surat suara seperti yang dilakukan di Pemilu 1999, di Pemilu
2004 ini ada penambahan satu surat suara untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
yang desainnya sedikit berbeda dibandingkan tiga surat suara lainnya (DPR, DPRD
provinsi, DPRD kabupaten/kota). Khusus surat suara DPD, selain nomor urut dan
nama calon, juga harus ditampilkan foto dari calon anggota DPD.

Semua metode pemilihan tetap dilakukan denga cara mencoblos. Selain
empat suara pemilu legislatif, di Pemilu 2004 mulai diberlakukan juga pemilihan
langsung presiden yang digelar terpisah setelah pemilu legislatif. Desain surat suara
pilpres hanya mencantumkan nomor urut, nama, dan foto pasangan calon.
Pelaksanaan pemilihan presiden tahun 2004 dilakukan sebanyak dua putaran karena
di putaran pertama tidak ada pasangan calon presiden dan calon wkail presiden yang
meraih suara minimal 50+1persen. Jadi kemudian digelar putaran kedua untuk
mendapatkan pemenang pemilihan presiden dengan mengikutsertakan dua pasangan
calon peraih suara terbanyak pertama dan kedua.

Gambar 7
Surat Suara di Pemilihan Umum 2004

DPR PPWP Putaran 1 PPWP Putaran 2

Sumber : Komisi Pemilihan Umum

Hal berbeda ditemui di Pemilu 2009. Pemilu yang digelar dengan berpijak
pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD dan DPRD ini juga dilakukan secara terpisah antara pemilihan legislatif
(DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) dengan pemilihan presiden.

Surat suara pemilu legislatif berisikan nomor urut dan nama calon legislatif
serta nomor urut dan gambar partai politik. Sementara surat suara DPD

Pemilu yang diiikuti 38 partai politik ini menggunakan jumlah surat suara
yang sama dengan Pemilu 2004, yakni empat surat suara (DPR, DPD, DPRD provinsi,
DPRD kabupaten/kota). Di pemilu ketiga era reformasi ini metode memilih berubah
menjadi memberi tanda atau kemudian dikenal dengan sebutan mencontreng. Hal

37


Click to View FlipBook Version