ZZZZZ
2 Masa Sekolah
3 Masa SekolAH Penulis : SITI AFSAH Cover Designer : SITI AFSAH Layout : SITI AFSAH Editor : SITI AFSAH Hak cipta dilindungi undang-undang Pasal 18 UU Hak Cipta Penerbit : SITI AFSAH Jln. Flamboyan Aekkanopan - Sumatera Utara
4 DAFTAR ISI Pertemuan Di Kelas 1 SD ................................................... 5 Perjalanan Semasa Kelas 2 SD ......................................... 21 Jatuh Cinta Di Kelas 3 SD ................................................ 41 Kebobrokan Dikelas 4 SD ................................................. 63 Kesedihan Di Kelas 5 SD .................................................. 83 Perpisahan Kelas 6 SD .................................................... 111 Bertemu Lagi Saat SMP ................................................. 123 Sekelas Saat SMP ............................................................ 138 Pemilihan Ketua Kelas Saat SMP .................................. 149 Jumat Bersih Saat SMP .................................................. 173 Aksis Bulliying Saat SMP ............................................... 199 Dilapangan Sekolah SMP ............................................... 211 Yang Tak Diinginkan Keberadaan Nya Saat SMP ...... 223 Masa Putih Abu-Abu ...................................................... 235
5 Pertemuan Di Kelas 1 SD Valdo POV.... Kata orang...perkenalan dengan lingkungan sekolah di mulai dari kelas 1. Bagiku itu hal yang benar. Semua pertemuan dengan teman serta guru baru terjadi di kelas 1. Ah iya. Mungkin aku belum bilang. Kira-kira aku masuk sekolah SD pada tahun ajaran 2011. Dan itua lah awal mula kita bisa bertemu dengan temantemanku. Tahun 2011 Dahulu aku di beri pilihan. Aku ingin memakai seragam yang lengan pendek atau lengan panjang. Lucu memang. Disalah satu toko yang ada di pasar tradisional, Aekkanopan. Mamak, Ayah dan diri ku sendiri memilih
6 salah satu seragam yang akan di pakai untukku dikemudian hari. lya sih aku tinggal di Sumatera Utara. "Mbak. Mau pakai seragam lengan pendek atau lengan panjang?" Tanya mamak sembari mencari ukuran seragam yang pas di pakai untukku. "Lengan pendek mak," jawabku padanya. Aku sudah memantapkannya dalam hati. Kalau SD mau pakai seragam lengan pendek. Pas di coba tuh celananya, eh malah ukurannya yang gak ada. Sampai mamak ku bertanya pada mbak-mbak penjaga toko. "Mbak. Ada ukuran celana yang ini gak?" Tanya mamakku pada penjaga toko. "Waduh gak ada Bu. Adanya ukuran yang ibu cari itu celana panjang. Jadinya gimana bu?" Jawab mbak-mbak itu memberi tahu mamakku setelah mengecek stok persediaan di toko tempatnya bekerja. Sedangkan sang empu hanya melirik dan menanyakan apa yang akan kupilih.
7 "Ya udah pake lengan panjang aja mak. Lanjutin aja sampe SD," ucapku memberikan jawabannya. Setelahku pikir-pikir. "Ya udah mbak. Seragam putihnya yang lengan panjangnya 1, celana putih 1, celana merahnya 1," Mamak ku memberi tahu mbak penjaga toko itu agar memberikan pesanannya. Sementara aku hanya menunggu saja. Ah menyusahkan saja. Tapi gak apa-apa sih. Kalo udah niat, lanjutin sampai akhir. Sekitar 2 minggu kemudian aku mulai masuk SD. Disana aku bertemu teman lama sekaligus teman baru. Dan kalian pasti tahu sendiri. Kalau anak bocah masuk kelas 1 pasti mak nya yang bakalan riweh. Anaknya mah gak. 1 hari aku ditemenin mamak di depan kelas. Tapi hari berikutnya gak.
8 Hal pertama yang ditanyakan pada kelas 1 dulu pastinya adalah sudah bisa membaca atau belum. Dan aku langsung berkata ya. Kenapa? Karena dari umur 2 tahun aku sudah di masukan ke Bimba A I U E O. Dan pada umur 5 tahun aku di masukan ke paud dekat rumah. Saat aku bimiba. Aku udah di jejali oleh soal-soal kelas 1. Bahkan jika aku tidak bisa mengerjakannya, pasti sudah di marahi oleh guruku saat bimba dulu. Hari pertama pula, sebelum belajar kita di suruh mengelilingi sekolah. Untuk mengenali lingkungan sekolah. Setiap kelas kami kunjungi satu persatu. Berkenalan pula dengan wali kelas di kelas 1 sampai 6. Ada enak dan gak enaknya jadi anak baru dan adik kelas. Dianggap paling kecil dan belum berkuasa. Itulah yang di rasakan dari dulu. Kelas 1 ku terbagi dua. Yaitu kelas 1-A dan kelas 1-B. Dan aku belajar di kelas 1-A. Wali kelas? Oh tentu saja Ibu Bina Sinaga. Lalu di kelas 1-B, wali kelasnya adalah Ibu Atik. Walau sudah tua dah beberapa tahun
9 lagi akan pensiun. Dia sangat telaten dalam mengajari murid muridnya. Dulu waktu paud. Ada salah satu temanku yang bercerita. Kalau Ibu Bina Sinaga itu galak saat mengajar dan aku ketakutan mendengarnya. Tapi nyatanya. Di saat aku di ajari olehnya, rasanya biasa saja. Guru wajar marah pada muridnya. Kalau murid tidak mematuhi perintah guru, pasti ia akan marah. Guru marah karena ada sebab tertentu, atau kita yang berbuat salah hingga ia marah pada sang murid. Ketahuilah. Guru ingin memberikan yang terbaik bagi muridnya. Ia mendidik kita hingga bisa hingga berhasil mencapai cita-citanya. Guru hanya sebatas membuka jalan kehidupan menuju masa depan. Selebihnya kita yang menapaki dan menjalani, kemana arah yang akan kita tuju. Itu yang aku ketahui dari dahulu. Sahabat? Tentu aku punya. Namanya Azmi dan Kristian. Dia adalah sahabatku dari kelas 1 SD. Kami sering bersama. Banyak hal yang kami lakukan. Karena
10 Kristian badannya yang paling besar. Jadi kami berdua senang sekali memeluknya. Seperti memeluk boneka beruang yang sangat besar. Ah senangnya bisa berpelukan kaya Teletabis. Punya teman yang paling di benci? Tentu aku punya. Namanya Iwan dan Bagas. Sebenarnya nama anak ini ada panjangannya. Tapi aku membatasi privasi. Tidak mau lebih. Kalian cukup tahu saja, agar aku yang memyimpan dendamnya. Dendam yang sekarang masih ada. Jika aku melihat wajahnya. Pasti rasanya jijik dan enek. Punya teman saat bimba? Punya kok. Bahkan sampai sekarang bareng. Namanya Fatih, Rina dan Desi. Merekalah sebenarnya temanku dari kecil. Kadang kalau ada tugas, kita sering ngerjain bareng. Tapi karena kelas 1 kita pisah. Fatih sekelas dengan ku. Sementara Rina dan Desi di kelas sebelah. Desi ada sedikit gangguan. Dia sering step, orang tuanya tidak mau kalau Desi di kelas sendirian. Setidaknya ada salah satu saudaranya yang mendampingi, agar jika terjadi
11 sesatu...kakaknya bisa membantunya. Memang fisiknya lemah dari kedua kakak kembarnya yang lain. Tapi itu tak masalah bagiku. Jika ada sesuatu pasti aku akan membantu mereka. Tapi aku langsung panik kalau Desi sakit. Punya gak sih teman pas paud yang satu SD? Punya kok. Bahkan banyak banget. Ada Akmal, Rasya, Xirbiy, Kurniawan, Adil, Najma dan lain-lain. Ah iya. Aku hampir lupa. Dulu aku sering banget berantem sama Nanda. Namanya juga cowok. Pasti kalo berantem pukul-pukulan. Aku tuh sebenarya gak suka banget sama Nanda. Dia tuh sombong pake banget. Dikit dikit bilang kalo dia tuh orang kaya lah, ini lah, itu lah. Sampe rasanya aku tuh enek dengernya. Kadang aku diemin tuh omongannya. Eh dia malah ngelunjak. Padahal dia yang pukul duluan, aku mah bales aja. Harusnya aku yang nangis, emalah dia yang nangis. Kan gaje. Ngeselin banget sih. Nih lagi Uzi. Udah tau sakit pas ujian tengah semster ganjil dan gak masuk. Eh dia malah minta
12 contekan ulangan ke aku. Gobloknya aku malah ku kasih hasil ulanganku pada dia buat belajar. Mana maknya lagi yang minta. Ya mamak marah-marah lah sama aku. "Mbak kenapa di kasih kertas ujiannya udah tau ada nilainya. Nanti di contek sama dia gimana hayo?" Mamak sudah marah-marah saja padaku. Mana masih di sekolah lagi. Ish nyebelin. Dan pada akhirnya. Kertas itu kembali kepadaku dan tidak di contek olehnya. Senyum maknya itu loh yang nyebelin. Udah tau nyontek. Eh malah senyum kaya gak bersalah. Ada-ada aja. Pernah gak sih kesel sama temen perempuan pas kelas 1? Pernah. Aku gak tau namanya siapa. Aku benarbenar lupa. Tapi yang aku tahu dia dulu sekelas denganku. Pernah sekali dia gak sengaja nusuk pake pensil yang tajem ampe aku nangis. Eh ujung-ujungnya dia di marahin sama Bu Bina Sinaga. Ada juga hal lain. Dia pernah bawa HP ke sekolah. Udah tau gak boleh. Masih aja di bawa. Aku beberin aja ke Bu Bina Sinaga kalo dia bawa HP.
13 Akhirnya dia di marahin lagi sama Bu Bina Sinaga. Sebenarnya aku agak merasa bersalah. Coba aja aku diem. Pasti dia gak di marahin sama Bu Bina Sinaga. Tapi mau gimana lagi. HP nya aja bunyi pas lagi belajar. Yah ketauan lah. Sayangnya dia pindah sekolah di semester 2. Aku jadi lupa siapa namanya. Terlalu lama untukku ingat. Satu yang pasti kalau aku masih ingat wajahnya. Kalau ada kesempatan aku ingin bertemu dengannya lagi. Aku ingin minta maaf dengannya. Kuharap dari sepotong ingatanku bisa membantu ungkapan maafku padanya. Perjalanan begitu cepat di lalui. Sebenarnya masih banyak kenangan di semester 1 ini. Tapi tak mungkin aku ceritakan semua. Waktu dan memori ingatan ku cukup terbatas. Tak semuanya bisaku ungkapkan dalam tulisan kata-kata ataupun rangkaian kalimat. Kalau boleh aku akan mempercepatnya sampai ke semester 2 saja. Kalau selanjutnya akanku ceritakan lagi. Di semester 1 aku menadapatkan peringkat pertama di kelas. Jujur saja aku senang. Tapi harap kalian
14 ketahui. Tugas terbaikku dalam bidang keterampilan selalu di bantu oleh orang tuaku. Sementara dalam hal ujian tertulis maupun lisan, aku sendiri yang mengerjakannya. Sempat aku mendapatkan nilai 0 karena pemberian pengerjaan tugas yang telalu sedikit dan diri ku yang kelimpungan mengerjakannya. Orang tua memang marah. Tapi rasa malu yang membuatku sedih. Tahun 2011... Di semester dua ini ada yang keluar dan ada pula yang masuk menjadi anak baru di sekolahku. Salah satu temanku yang pindah adalah dia yang namanya sudahku lupa. Lalu teman baru ku bernama Fauzan dan Noval Rasyid. Noval ini adalah salah satu anak dari guru di sekolah. Pak Trimo, itu lah ayahnya. Beliau adalah guru yang baik. Anaknya sekelas denganku. Namun tidak dengan kepintaranya. Sejak kecil aku di ajarkan, kalau nilai itu di atas segalanya. Ambisi dan obsesi itu semua berada di hatiku
15 selama ini. Nilai 100 dan yang paling sempurna. Itulah yang aku inginkan. Jika ada teman yang melebihi dariku. Maka aku paling benci dengan hal itu. Frustasi dan menyesal karena tak bisa mendapat yang aku gapai. Itu yang terus terngiang-ngiang di saat aku telah gagal. Semua yang berbau kekalahan membuatku merasa benci. Nadia ya. Dia selama ini membuatku agak bimbang sebenarnya. Ada dimana waktu itu aku sebangku olehnya. Kita sering bercanda hingga aku jatuh di atas tubuhnya dan wajah nya melihat ke arahku. Semua bersorak menggodaku. Tapi itu membuatku malu. Mulai saat itu, aku berhenti menyukainya. Aku berjanji pada diriku sendiri hanya menganggapnya sebagai teman perempuan saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Bulan Februari. Bulan paling sedih pada 1 tahun penuh itu. Bulan dimana nenek yang paling aku cintai tiada. Malam hari aku di bangunkan. Wajahku berseriseri saat di bangunkan oleh orang tuaku. Diriku berpikir berhasil bangun pagi dan harus bersekolah. Tapi
16 nyatanya aku mendapat kabar jika nenek kesayanganku tiada. Aku terdiam sesaat. Batinku berfikir berulang kali. "Nenek? Nenek yang mana mak. Kan nenek aku banyak," ucapku meminta penjelasan. Wajah panik mamaku sudah kentara di sana. Rasa sedih, kalut, dan panik serta bingung terpampang disana. Padahal dia berada di saan saat eangku tiada. "Nenek Rukiya nak. Emang nenek kamu siapa lagi?" sesaat jiwaku tertohok. Aku bingung mau menangis atau tidak. Air mataku tidak menetes. Sedihku tidak bisa di ungkapkan. "Sekarang ade sama kakak cepet mandi. Kita langsung ke rumah nenek abis ini," perintah mamakku. Dia sebenarnya sedih. Aku tau itu. Tapi ia tahan sampai di rumah nenek. Sementara ayah? la membantu mengurus surat-surat kematian nenek dan kuburan pakai untuk memakamkan nenekku.
17 Karena itu lah. Satu hari di bulan November 2011 aku tidak masuk sekolah. Saatku sampai di rumah nenek. Aku sudah melihat kain putih menutupi wajahnya. Sungguh. Kata saudar-saudara yang lain, nenekku tersenyum. Seolah-olah ia seperti tertidur dan tersenyum dengan indah. Namun nyatanya senyum itu terakhir kali aku melihatnya. Pilihanku saat itu. Tidak akan melihat wajah tenang nenekku. Jika tidak. Rasa sedihku menjadi-jadi. Seminggu setelah beliau tiada, aku merasa ada yang kurang. Orang yang paling tua atau nenek yang selalu memarahi cucunya kini telah tiada. Meninggalkan kenangan indah dalam hati kami. Dan dari situlah aku mulai belajar apa yang namanya rasa kehilangan seorang yang di cintai. Senyumnya, marahnya, peraturan yang selalu di terapkan olehnya, masih teringat jelas di memoriku. Aku ikhlas kok. Dia tiada karena sakitnya yang sejak lama sudah semakin parah. Jika mamak dan tantetante sudah ikhlas maka akupun juga begitu. Selamat
18 jalan nenek. Kenanganmu selalu teringat jelas di memoriku. Waktu terus berganti. Hari berganti menjadi minggu. Minggu berganti menjadi bulan. Bulanlah yang terus menjalankan kisahnya. Semua yang terjadi akan terus membuatku terus mengingat. Kenangan indah semasa semester 1 dan 2 ini. Tak semuanya kumengerti dan pahami. Banyak kendala yang juga terus berganti. Memang ingatanku masih kuat akan kelas 1. Tapi jika di suruh meraba ingatan masa lalu, pastinya akan kabur dan tidak jelas. Walauku ingat masa-masa umur 2 tahun, mungkin aku tak akan bisa menceritakannya. POV END Kini pengambilan rapot kenaikan kelas sedang berlangsung. Semua orang tua berbondong-bondong mengambil rapot anak mereka. Tak terkecuali rapot
19 Valdo dan juga sahabatnya. Memang pengambilan rapot di kelas mereka .Di kelas sedang ramai orang tua yang menunggu giliran pengambilan rapot. Valdo memilih untuk keluar kelas, saat tau nilainnya yang bagus dan mendapatkan peringkat 1 lagi di kelas. Lagi pula mamak lagi ngobrol sama mamanya Nida. Sekarang Valdo melamun di depan balkon sekolah. Sedih sih. Tapi, kalau sudah biasa mau bagaimana lagi. Perpisahan pasti akan terjadi. Entah itu sekarang atau nanti. Riski. Teman yang dulu ia cintai, kini pindah karena urusan keluarga. Dan teman sekelas juga ada yang tidak naik kelas. Bahkan ada yang keluar sekolah. "Hey...ngapain ngelamun?" tanya Kristian pada sahabatnya yang sedang terdiam saja dari tadi. "Ah tidak kok. Hanya mengingat kejadian selama ini," jawab Valdo dengan wajah agak kaget. Ia berusaha
20 menyembunyikan kegelisahannya selama ini pada sahabatnya sendiri. "Katamu. Nanti kita sekelas lagi gak ya. Aku, kamu dan Azmi. Apa kita bisa sekelas lagi?" Lirinya mengimbangi. "Mungkin bisa. Liat aja nanti," ucap Kristian memberikan keberanian untuk sang sahabat. "Baiklah," senyum Valdo terpatri di bibirnya. Semasa kecil memang itulah yang dia inginkan. Selalu bersama sahabatnya dan tak akan berpisah. "Ya udah, ayo. Mama sama mamak udah turun dari tadi," ajak kristian pada sahabatnya. Mereka berjalan sambil menuruni tangga sekolah. "Semoga kita bisa sekelas lagi ya tian. Aku tak mau berpisah dari mu"
21 Lalu bagaimana kedepannya ya. Apa kita bisa terus bersama lagi? Entahlah. Hanya Allah dan guru yang tau segala keputusannya. Dan kita para murid hanya bisa mengikuti hasil keputusan yang akan di berikan oleh guru serta pihak sekolah Perjalanan Semasa Kelas 2 SD Tahun 2012... Tahun baru maka tahun ajaranpun baru. Valdo dan teman-temannya berkumpul dilapangan. Berdiri tegak menghadap tiang yang menjulang tinggi, tak lupa sang saka merah putih yang berkibar dengan gagahnya. Yap. Upacara yang berlangsung dari pukul 06.30 hingga selesai itu mengharuskan semua siswa baru maupun siswa lama dan para guru berdiri di lapangan sekolah. Upacara pertama setelah libur tahun ajaran baru membuat para murid memasang telinga untuk mendengar setiap arahan dari para guru bagi siswa kelas 1 maupun siswa pindahan.
22 >Kelas 2B... Deretan bangku yang berpasangan itu sudah mulai di isi oleh para siswa. Entah sekedar duduk di bangkunya maupun di mejanya. Banyak yang bersenda gurau ataupun sekedar berbicara dengan temantemannya begitupula dengan Valdo. "Do. Kita sekelas lagi," ucapan sang sahabat. Azmi berjalan mendekatinya didampingi oleh Wanda. "Hehe...kukira, kita tak akan sekelas lagi. Percuma dong aku merenung waktu itu," cibir Valdo dengan cengengesan. "Hah...seharusnya dari tadi kek bilang kalo kita kelas 2B. Jika seperti ini...namanya bolak balik aja," keluh Nida pada kedua sahabatnya. "Sudahlah. Yang penting bisa duduk di bangku dan mendapatkan tempat untuk belajar," Azmi melihat lihat kelas. Entahlah apa dia akan suka dengan kelas ini.
23 Seperti biasanya. Waktu masuk kelas baru, pasti akan ada perkenalan ulang. Entah pada guru maupun teman yang awalnya tidak sekelas. Semua melakukannya satu per satu. Tak ayal, ada wajah yang sangat di kenali maupun yang tak dikenali. Salah satunya kakak kelas yang tidak naik kelas. Ayub dan Doni. Merekalah kakak kelas yang disebutkan tadi. Ya...walau hanya berbeda 1 tahun. Rasanya ini tidak menyenangkan. Apa perlu dipanggil kakak atau dipanggil nama saja? Entahlah. Untuk wali kelas sudah pasti ada yaitu Bu Dewi. Ia lah wali kelas dari kelas 2B. Kalau kelas 2A...sudah pasti Bu Dewi. Entah pengocokan dari sekolah membuatnya harus mengajar di kelas 2. Padahal, dulu rumornya dia mengajar di kelas 6. Sudahlah. Pelajaran tetap berlanjut seperti biasanya. Tak usah basa basi seperti kelas satu. Kini kita di suguhkan oleh beberapa persyaratan dari guru untuk pelajaran
24 selanjutnya. Seperti sampul buku yang di bedakan setiap mata pelajaran, jumlah buku yang akan di gunakan untuk belajar, pembagian ketua kelas serta anggotanya dan pembagian jadwal piket. Satu yang pasti. Setiap hari pertama sekolah, pasti pulang cepat. Sungguh hal yang menyenakan bagi para murid. Sebenarnya tidak juga pulang cepat. Tapi jika di hitung...kelas 1-2 pulang Jam 9, sedangkan kelas 3-6 pulang jam 12 siang. Itu peraturan dari sekolah. Mau di bantah? Oh nilai yang akan menjadi taruhannya. Masa tetaplah masa. Waktu tetaplah waktu. Namun bagaimana jika sebuah persahabatan bisa goyah karena pertengkaran kecil yang cukup mengikis hati. Seperti saat ini. Sebuah kelompok yang mengharuskan Valdo dan Azmi bersama. Entah permasalahan apa yang membuatnya bertengkar seperti ini? Awal mula seperti apa yang mengakibatkan pertengkaran kecil itu terjadi?
25 "Azmi. Mana uang kelompok yang kemaren aku minta?" Tanya Valdo dengan cara baik-baik. "Jangan sekarang Do. Aku lagi gak ada uang nih. Uang yang aku bawa aja buat jajan di kantin, dan itu juga paspasan. Besok aja ya," tolak Najma agar memberika iuran untuk tugas kelompoknya nanti. "Besok. Kemarin kamu bilang sekarang. Kan dari kemaren aku udah bilang kalo iurannya bakal di minta hari ini. Kenapa kamu tak membawanya, hah? Kamu saja tidak mengerjakannya, cuman aku yang ngerjain. Itu juga udah di bantuin sama mamakku. Kalau gak niat bilang dong," sindir Valdo yang mulai kesal. Pasalnya hanya dia seorang yang mengerjakan tugas kelompok. Dan saat di mintai iuran kelompok, hanya sedikit anggota kelompok yang membayarnya. "Ya udah nih kalo gak percaya liat aja sendiri. Di bilangin cuman bawa duit pas-pasan, ngeyel banget. Ambil aja tuh duit. Biar aku istirahat gak usah makan," Azmi yang sudah kesal langsung melemparkan uang
26 saku yang di punya ke hadapan sahabatnya . Walau sekedar 2 ribu rupiah. Hal itu mampu menyulut emosi Valdo semakin menjadi-jadi. "Gak usah kaya gitu juga kali. Kenapa duitnya di lempar. Kan aku minta baik-baik," sulutan air mata mulai menggenangi matanya. Sudah berusaha menahannyapun tetap percuma. Ya, ketua kelompok ini. Valdo ini. Tak bisa di perlakukan tidak seenak jidat jika mengenai harga diri. Ia kembalikan lagi uangnya dengan cara di lempar sama seperti yang sahabatnya lakukan tadi. "Kau tadi saja mintanya...hiks...memaksakan. Ya udah...hiks...aku kasih lah," hal yang sama pun terjadi dengan Azmi. Tak terima sangkalannya di tolak mentahmentah oleh sahabatnya. la justru mengeluarkan air mata penuh amarah. Lempar-lemparan uang sebesar 2 ribu itu membuat kelompoknya gaduh. Walau kelompoknya ditempatkan paling ujung, hal itu mampu menarik perharian sang
27 wali kelas yang baru datang langsung ke tempat kelompoknya berada sekarang. Keluh kesah itu di dengarkan oleh sang guru. Walau hanya mendengarkan, beliau justru memberikan nasihat dengan suaranya yang lembut agar mereka segera berbaikan dan tak melakukan kegaduhan seperti tadi lagi. "Maafkan aku. Seharusnya diriku sadar jika sahabatku benar-benar tak mempunyai apa yang aku minta. Tapi diriku ini malah memintanya dengan penuh paksaan. Walau ini perintah mamakku...tapi setidaknya kalian juga menghargai kerja kerasku," kini hanya kata maaf yang keluar dari mulut Valdo. Ia menyeka air mata yang sempat membasahi pipinya itu. "Aku juga minta maaf atas perbuatan yang tak semena mena seperti tadi. Aku tersulut emosi sehingga tak menyadari apa yang seharusnya kupenuhi. Tapi aku malah marah padamu yang sudah berusaha keras demi kelompok kita," ucap kata maaf dari Azmi mampu membuat kebahagiaan Valdo bangkit.
28 Jabat tangan menandakan kadaan yang membaik. Begitu pula dengan persahabtan yang sempat goyah itu. Sebagai sahabat Kristian juga merasakan kerenggangan. Tapi dia tetap menjaganya sebaik mungkin agar tak ada perpecahan antara mereka bertiga. Mungkin satu masalah sudah usai. Namun masalah lain datang hingga membuat Valdo bimbang. Salah satu tugas yang mengharuskan mereka membuat patung yang terbuat dari tanah liat. Sudah semenjak beberapa hari lalu sang guru memberikan perintah agar tugasnya selesai tepat waktu. Namun...tidak bagi Ayub dan Azmi. Mereka tahu jika Valdo yang membawa beberapa patung lebih banyak untuk tugas, hingga meminta satu untuk di kumpulkan. Bodohnya dia malah memberikan patung tersebut kepada teman serta sahabatnya itu. Walau sudah di perintahkan oleh mamak-nya dengan penih titah mutlak.
29 Mengungkapkan? Tidak. Dia tak mengungkapkannya. Malahan dia menuliskan keluh kesahnya itu pada buku diary kesayangannya. Aku sangat sedih hari ini. Bukan. Bukan sedih. Tapi aku juga takut dimarahi mamakku. Aku sudah memberikan semua patungku pada Ayub dan juga Azmi. Jika aku harus dimarahi maka aku akan menerimanya. Sekali lagi aku minta maaf mamak. Itulah yang ia tuliskan dalam buku diarynya itu. Walau dia harap rahasianya tidak diketahui. Tapi saat pulang sekolah, mamak membuka buku diarynya dan langsung memarahinya di sekolah. "Kan mamak udah bilang. Jangan dikasih. Kenapa masih di kasih, hah? Udah tau di bikinya cape. Sekarang gimana? Masa minta di balikin. Haduh," Mamak-nya sudah marah marah. Tak ayal sang anak hanya mencucapkan kata maaf sahaja untuk mengungkapkan penyesalannya itu.
30 Sebagai seorang ibu pastilah ia tak sanggup untuk memarahi putranya sendiri. Ia harus mengikhlaskan patung yang sudah di buatnya susah payah untuk putranya kepada orang lain. Sudahlah. Sekarang patung itu sudah di pajang dengan rapih di lemari sekolah dan dirumah. Mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi. Tapi satu hal yang membanggakan bagi dirinya. Patung yang telah di buatnya bersama sang putra. Berhasil dipajang dilemari sekolah. Itu membuktikan kenapa nilai keterampilan putranyalah yang paling tinggi dari nilai pendidikannya. Perjalanan memang belum usai. Tapi persahabatan sudah di ujung tanduk dikala salah satu dari ketiga sahabat ini akan ada yang pindah. "Do, Tian. Kayanya aku bakal pindah deh pas nanti semesteran," suara nan sendu keluar dari mulut sang sahabat yang paling besar badannya dari ketiganya. "Hah. Apa? Pindah. Kenapa Tian mau pindah?" Valdo memberikan banyak pertanyaan pada sang sahabat. Apa
31 ini akhir dari segalanya? Apa ini kenyataan yang inginkan? dia "Iya. Kenapa tiba-tiba? Padahalkan disini banyak teman," cecar Rehan meminta jawaban pada sang sahabat. "Disini setiap ada ulang tahun pasti akan dirayakan di sekolah. Pasti itu juga membuat kita harus membawa kado. Kalau setiap hari atau tahun terus diadakan acara ulang tahun di sekolah. Pasti ayahku tidak bisa membelikan kado untuk mereka yang berulang tahun," keluh Najma memberikan penjelasan. "Lagi pula di kampung...biaya hidupnya lebih murah. Setiap tahun tidak perlu mengeluarkan kado ulang tahun," lanjutnya menjelaskan. Para sahabatnya mengerti maksud dari Valdo. Namun apa hal itu wajar? Mereka tidak bisa memaksakan kehendak yang orang lain buat untuk dirinya sendiri. Mau tidak mau mereka harus mengikhlaskannya untuk pergi.
32 "Jika itu kemauanmu. Kami akan mengikhlaskannya," Valdo mengungkapkan perasaannya. "Pastinya kami akan merindukanmu. Sesekali mainlah kesini ya," peringat Nida pada sahabatnya. "Pastinya. Aku juga akan merindukan kalian" Waktupun berlalu. Pengambilan rapot semester 1 tahun ajaran 2012/2013 telah dilaksanakan. Kini ketiga sahabat itu berada disisi yang berbeda. "Eh ayah Tian. Tiannya ada dimana?" Tanya Valdo pada bapak sang sahabat. "Owh. Dia ada dibawah sama ibunya," jawab ayahnya Tian memberi tahu keberadaan putranya. Valdo yang mengetahui itu langsung lari terbiritbirit turun kebawah. Pasalanya dia berada di lantai 2, sedangkan sahabatnya di lantai 1. Perbedaan itu membuatnya harus terburu-buru. Karena sebentar lagi dia harus pulang dan tak akan bertemu dengan sahabatnya lagi.
33 Langkah kakinya semakin cepat di saat ia sudah menemukan sahabatnya itu berjalan di lorong sekolah. "Tian," panggilnya sembari mendekat pada sahabatnya itu. Ia langsung memeluk badan besar milik sahabatnya. Tangis haru ia keluarkan. Perpisahan pertama dari persahabatnya itu membuat ia sedikit menyesal. Kenapa harus Tian? Kenapa bukan yang lain. "Maafin aku...hiks...kalau ada salah ya. Aku...hiks...akan merindukan mu. Sering-seringlah kemari. Mungkin aku...hiks...tak akan mengetahui kabarmu. Tapi melalui ayahmu. ..hiks...mungkin bisa mengetahui keadaanmu saat ada di kampung," ucapan yang mengandung bawang membuatnya tak bisa membendung kerinduannya. "Pasti. Pasti aku akan merindukanmu. Kalau aku kembali ke sini rasanya tidak mungkin," kata-kata membuat sahabatnya putus asa. Pelukannya berakhir. Tatapan bingung dan kecewa itu yang diperlihatkan pada wajah ayu milik Valdo.
34 "Kenapa?" "Karena aku akan mondok. Jadi mungkin jarang pulang" "Kenapa kau tak bilang," Valdo memukul kecil lengan atas milik sahabatnya itu. Tangis berubah menjadi tawa. Tak mau terlalu merasakan kesedihan dan kepedihan kedua sahabat itu bercanda untuk yang terakhir kalinya. "Apa Kristian sudah tau?" "Sudah. Tadi saat ketemu, aku langsung bilang ke dia" "Syukurlah. Setidaknya aku bisa tenang," ungkapan tenang itu. Apa mampu menutipi kesedihan ini? "Tian. Ayo kita berangkat. Ibu udah nunggu dari tadi," ajak ayah Tian pada putranya. "Ah, iya yah. Sebentar," cegah Tian pada ayahnya.
35 "Terima kasih untuk selama ini ya Do. Jangan lupain aku. Jangan pernah. Semoga kita bisa bertemu lagi. Aku pergi dulu ya Do," pamit Tian pada sahabatnya. "Hati-hati di jalan Tian," ucap Valdo melepas kepergian sahabatnya. Kini lorong sekolah yang sering di pakai lalu lalang oleh orang-orang, menjadi sebuah saksi bisu dari perpisahan antara kedua sahabat itu. Tepat di depan lorong di luar ruangan labotorium yang terpajang lemari hiasan penuh piala maupun kerajinan murid-murid. Di situ pula tempat terakhir kali mereka bertemu. Tangan yang dulu bergenggaman. Tangan yang sejak dulu bersalaman mau pun berjabat jika terjadi kesalahan. Kini tangan itu pula yang melepas kepergian sahabatnya. Lambaian tangan adalah simbol perpisahan. Itulah yang Valdo tahu dari dulu. "Mamak, apa aku bisa ketemu Tian lagi?" Tanyanya pada mamak dengan rasa kalut.
36 "Bisa. Di suatu hari nanti, kalian akan bertemu lagi kok. Sudah ya. Sekarang kita pulang," ajak mamak pada Valdo. "Baiklah" Hari ini Valdo mendapatkan 2 perasaan yang membuatnya tercampur aduk. Senang dan sedih. Itu yang sedang dia rasakan. Senang? Dia mendapatkan peringkat 2 di kelas. Sedih? Dia harus melepaskan genggaman tangannya dari sang sahabat yang sudah ada bersamanya 1 tahun setengah. "Haruskah seperti ini" Tahun 2013... Semester 2 pun sudah dimulai beberapa minggu yang lalu. Walau terbilang cepat tapi rasanya sedikit ada yang berbeda. Entah pelajaran ataupun keadaan persahabatan ikut berubah.
37 "Gak ada Tian...rasanya ada yang kurang ya. Rizwan," gumam Valdo merasa rindu. "Sudahlah. Walau sekarang gak ada dia, tapi kita udah lengkap bertiga lagi karena ada Wisnu-kan," bujuk Rizwan pada sahabatnya. "Hey. Jangan jadikan aku sebagai pelampiasan dong. Kan aku juga pengen bersahabat bukan karena paksaan," sindir Wisnu sembari mengerucutkan bibirnya. "Iya, iya. Gak akan kaya gitu lagi kok," Rizwan merujuk sahabat barunya itu. "Atutu...sahabatku ini marah ya. Maaf ya," bukannya memperbaiki masalah. Valdo malah menyentuh pipi Wisnu. "Udah ah ayo. Jalan ke kantin," Wisnu langsung jalan duluan di depan sahabatnya yang lain. "Asik...di traktir Wisnu," sorak Valdo kegirangan.
38 "Enak aja. Bayar sendiri," Wisnu langsung menolaknya. "Kan tau sendiri aku gak bawa uang," Valdo menatap Wisnu penuh harap. "Udah-udah. Kan Wisnu yang ngajak, berarti dia yang traktir," Azmi menengahi. "Asik... Wisnu traktir... Wisnu traktir," sorak kegembiraan Valdo membuat kedua sahabatnya itu tersenyum geli. Jika sudah beberapa minggu berarti tersisa beberapa bulan mendekati pengambilan rapot semester 2. Kalau ditanya hal yang menyenangkan selama kelas 2...kayanya gak ada deh. Tapi bagi Valdo, hal menyebalkan kembali hadir dalam hidupnya. Bertemu dengan musuh bebuyutannya. Ya, dia kembali sekelas dengan Eksha dari awal Kelas 2. Cari ribut? Kadang dia menyebalkan kadang tidak.
39 Abaikan Eksha saja. Aroma kenaikan kelas sudah tercium dengan kuat. Namun hal yang menyenangkan tak juga bisa dirasakan. Mungkin bisa di kenang, mungkin juga tidak. Kristian memang baik pada Valdo. Namun kenangan itu hanya sebatas di kelas 2 saja. Pengambilan rapot kenaik kelas menjadi hari terakhir Valdo bertemu dengan Kristian. Dia pindah ke kampungnya. Sejak itu dia tak mendapatkan informasi lagi tentang Kristian berada sekarang. "Jadi. Kita akan sekelas lagi atau tidak?" Seru Azmi kali ini menanyakannya. "Entahlah. Aku pasrah. Walau tak sekelas...kita bisa bertemu saat istirahat kan," senyum devil keluar dari bibir Valdo. Obsesi terhadap temannya sudah dia hilangkan.
40 "Pasrah kok bilang-bilang. Payah nih. Dah ah, ayo ke bawah," ajak Wisnu sembari merangkul kedua sahabatnya itu. "Jika kita bertengkar...harus ada penengah di antara kita ya. Jangan sampai terpecah belah," Wisnu mengingatkan. "Liat aja nanti. Buktinya pas Azmi marah...aku yang nenangin. Inget, aku ini pawangnya Azmi," seru Valdo membanggakan dirinya. "Pawang, pawang. Palamu pawang. Sini kau. Akan kugetok palamu itu," Rizwan mulai geram dengan Valdo. "Sudah. Sudah. Kalian ini. Ayo!!" Wisnu langsung menarik keduanya untuk turun ke bawah. Ah...sudah di akhir saja. Apa akan merenung? Malas sekali. Kenaikan kelas ya kenaikan kelas. Perpisahan masih lama. Masih kelas 2 ini. Semoga tidak ada perpisahan lagi.
41 "Aku berdoa semoga kelas 3 tidak sekelas lagi dengan Eksha," batin Valdo berdoa agar keinginannya terkabul. Permohonan yang sederhana namun tak seindah bayangan. Sudah muak? Liat aja nanti. Jatuh Cinta Di Kelas 3 SD Tahun 2013... Kelas 3 bagiku...merupakan hal yang penuh dengan kejutan. Bertemu dengan teman baru, karena pihak sekolah mengubah peraturan yang dimana beberapa anak dari
42 SDN 02 bergabung ke SDN 01. Entah seterusnya akan seperti ini atau SDN 02 benar-benar tidak akan ada lagi. Ah benar juga. Kali ini aku sekelas lagi dengan kedua sahabatku, Azmi dan Wisnu. Tak lupa sang musuh bebuyutan, Eksha harus sekelas lagi denganku. Entah keberuntungan atau kesialan apa yang sudah menimpa ku, hingga kami sekelas lagi. Aku bersyukur bisa sekelas dengan kedua sahabat ku, namun tidak dengan musuh bebuyutanku. Kelas 3 tahun ini memiliki 2 kelas, yaitu 3-A dan 3B. Aku? Kali ini aku masuk kelas 3-A, yang wali kelasnya Ibu Dewi. Pelajaran di mulai seperti biasanya. Masuk pukul 6:30 dan berkhir pukul 12:00 bagi kelas 3 sampai kelas 6.
43 Seminggu setelah tahun ajar baru ini di mulai...beredar suatu rumor yang mengatakan bahwa akan ada murid pindahan yang terlambat masuk di hari pertama sekolah. Memang aneh. Ia telat masuk sekolah saat yang lain sudah mendapatkan ilmu pelajaran selam satu minggu penuh. Tunggu dulu!! Apa jangan-jangan keponakan salah satu teman kerja ayahku adalah anak baru itu? Tepat sekali, dugaan kubenar. Hari Kamis dia datang dan duduk paling belakang. Namanya Desi. Dia anak perempuan. Kusimpulkan, dia anak mami. Sikapnya begitu manja. Mentang-mentang dia anak tunggal, sudah sebesar ini masih bersikap manja. Jelalahnya dia memanggil ibunya dengan sebutan momy. Ya allah...usianya sudah 9 tahun dan sudah kelas 3 SD. Tapi
44 kenapa dia masih minta di temani oleh momy-nya itu. Padahal popinya itu seorang TNI Angkatan Laut. Harusnya sikapnya gak klemar-klemer kaya gini. Sesaat aku melihat Azmi yang notabennya adalah mantan teman satu TK dari Desi. Apa aku korek informasi dari dia saja ya? "Hei Azmi. Kau bilang anak baru itu teman satu TK mu dulu kan?" "Iya, lalu kenapa? Kau suka dia? Kusarankan kau tidak usah menyukainnya. Dia itu pindah ke kelas ini karena ada Wardah. Dan lihat itu si Rafael. Dia sudah mengklaim bahwa Desi adalahnya miliknya dari sebelum anak ini masuk sekolah" "Eh...siapa yang suka. Lagian anak mami kaya gitu aku sukain. Aku hanya sekedar tanya. Tidak usah di lebih lebihkan" "Baiklah"
45 Canggung dan malu. Itu yang aku rasakan sekarang saat ditanya oleh Azmi seperti tadi. Kulihat dari jauh anak baru itu yang mulai beradaptasi dengan murid perempuan yang lain. Cara berbicara yang cukup berbeda karena menggunakan bahasa Jawa. "Ck. Rival baru," decak ku penuh kekesalan saat melihat nilai rapotnya yang lumayan bagus. Kata orang...cinta tumbuh karena sudah terbiasa. Benar saja. Aku mulai jatuh cinta dengan Desi, anak baru itu. Kini dia terpilih menjadi Sekretaris dan duduk sebangku dengan Denis. Namun aku apalah. Hanya murid biasa yang tak bisa menandingi mereka berdua. Orang tua mereka yang sama-sama kaya. Sementara aku? Hidup saja susah. Apa lagi harus berpacaran. Sudahlah...lebih baik menjomblo. Tapi kalau boleh jujur. Aku ingin mengungkapkan kebahagian ini. Di saat hanya ada aku dan dia saja. Seperti hari Jumat ini. Saat latihan karate yang wajib selain ekskul sekolah.
46 Inilah awal mula aku mulai jatuh cinta padanya. Sebenarnya...aku latihan di sini karena di paksa oleh mamakku. Dia janjian dengan momy dan Bunda Nada (teman saat mamak SMP dulu) yang anaknya sekarang sepantaran...ralat anaknya satu tahun lebih muda tapi seangkatan olehku. Latihan karate itu di mulai dari pukul 15:00 dan berakhir pukul 17:30 Namun mamak dan momy belum juga menjemput kami, karena ingin menjenguk ayah salah satu teman sekelas kami yang sedang sakit. Aku bisa saja pulang duluan. Toh rumahku dekat , lewat jalan pintas pun juga bisa. Tapi aku mempedulikan teman baruku ini. Pikiranku selalu bilang dia itu harus aku jaga. Dia anak baru di sini, belum tau jalan dan sebagainya. Aku takut dia kenapa-napa, seperti kecelakaan mungkin atau bahkan hilang diculik orang. Ah benar juga.
47 Satu per satu teman-teman seperguruan kami sudah pulang, menyisakan kami seorang. Bingung dan kalut. Dia sudah ingin pulang saja, namun tangannya selalu kucegat. "Mau kemana?" Tanya kupadanya. "Pulanglah" "Memang tau jalan pulang?" "Tau. Tinggal ikutin jalan pas dateng aja" "Kan momy suruh kita tunggu, lagian ini juga udah mau maghrib," cegahku agar dia tidak pulang sendiri. "Kemarikan sabukmu," pintaku. "Untuk apa?" Tanyanya bingung. Ia memberikan sabuknya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengikat ujung sabuknya dengan ujung sabuk milikku. Lalu kuikat setip ujung sabuk yang tak terikat itu ke tangan kanannya dan tangan kiriku..
48 "Kenapa di ikat?" "Agar kau tidak kabur sampai momy datang. Aku takut momy cari-cari kau. Nanti aku juga yang disalahin sama momy" Di saat Desi ingin kabur atau lari dariku. Maka aku akan langsung menarik sabuk itu. Masalahnya adalah kakak seperguruanku ada yang bersiul dengan penuh goda dan mengatakan beberapa hal yang membuatku malu. Mau bagaimana lagi...aku takut dia hilang, kan bikin repot orang aja. Tak berapa lama momy dan mamak datang menjemput. Aku langsung melepas sabuk itu dan membiarkan dia pulang. Aku bernafas lega, namun memupuk malu dengan kejadian seperti tadi. Kami berdua langsung berpamitan dengan kakak pembina, tak lupa dengan ayah serta bunda pelatih karate.
49 Bagi ku...Jumat itu adalah Jumat yang membuat ku mengingat hal manis selama 1 tahun penuh. Kesenanganku berakhir dengan hal yang mebuatku marah besar. Bagaimana tidak? Sahabatku Azmi selalu di ancam oleh Rafael, karena dia sebangku dengan Desi dan sering bercanda bersama. Hal itu membuat Rafael cemburu. Setiap istirahat...sahabatku selalu di ancam oleh Rafael. Aku muak dengan semua ini. Untungnya dia tidak sekelas denganku. Kalu tidak...sudahku jambak rambutnya itu hingga botak. Beraninya main ancaman. Kulaporkan pada guru mampus kau. Benar saja. Dia di marahi oleh Bu Dewi saat ada yang melapor padanya dan langsung diam tak berkutik bagai kucing yang di marahi tuannya. Haha, aku langsung tertawa puas. Setidaknya beban sahabatku berkurang satu. Ah...untuk sesaat rasa sukaku agak goyah di saat aku sebangku dengan Nurul. Dia membuatku nyaman.
50 Sangat nyaman. Kami sering bercanda saat jam pelajaran hingga di marahi Bu Dewi. Namun hal itu tetap membuatku harus berfikir dua kali. Aku tetap menyukai Desi dalam diam. Menatapnya dari jauh? Itu lebih baik dari pada harus di tolak secara mentah-mentah. Masalahnya dia masih menyukai Denis. Aku diam, aku bungkam. Tak peduli kalau aku selalu di goda oleh kedua sahabatku Azmi dan Wisnu untuk menyatakan cinta padanya. Sudahlah. Abaikan saja. Lebih baik aku anggap dia sebagai teman laki-laki biasa saja. Ujian semester 1 mulai mendekat. Sainganku dalam hal nilai sangatlah berat. Desi dan Denis sama-sama pintar. Mereka juga les pada Bu Dewi. Ternyata kekuatan orang dalam sangatlah kuat. Aku yang tak les dengan Bu Dewi dan hanya belajar sendiri hanya mendapatkan peringkat 4. Kesal dan marah. Apa