201 oleh Tioma saat mereka sudah berdiri tepat di hadapan Tasya. Gadis yang baru saja membentak mereka itu menunduk lemah. Mungkin merasa bersalah. "Aelah, Tas! Gak usah ngerasa bersalah gitu deh. Kita gak papa, serius loh!" Celetukan itu berasal dari mulut Tioma. Gadis yang selalu berhasil mencairkan suasana genting kembali hangat saat berkumpul dan berada dalam kondisi seperti ini. Tasya mengangkat wajah. Tatapan teduh yang ia dapat dari isang sahabat membuat sudut bibirnya berkedut membentuk senyum tipis. "Ah, lo berdua emang teman the best gue deh! Thanks, guys!" Tasya langsung menghambur dan memeluk kedua sahabatnya. Ketiga sahabat itu pun berpelukan sambil menyalurkan rasa nyaman masing-masing. Sebuah energi positif dan hal lumrah dalam pertemanan perempuan.
202 "Kita kan bff, Kat! Masa masalah kecil gitu aja mau marah, enggak dong!" sahut Indah. Mereka mengurai pelukan dengan senyum cerah di wajah masing-masing. Tasya mundur selangkah bersama senyum geli yang sedari tadi tertahan di bibir. "Iya deh, iya!" "Guys, gue ada ide supaya tuh cewek kapok. Gue tau tuh cewek emang gak baik. Lo berdua tau ...," Ujaran yang keluar dari bibir Tioma berhasil mendapat lirikan penuh tanya dari Katrin dan Indah. Tioma menatap serius dua sahabatnya secara bergantian. Helaan napas berat terdengar darinya sebelum melanjutkan ucapan. "Beberapa hari yang gue juga sempat pergokin dia di jalan sama Pernando," bebernya. lalu "Pernando?!" Indah membelalakkan bola mata saat Tioma selesai berceloteh. Reaksinya memang selalu berlebihan setiap ada yang membahas Pernando,
203 gebetannya itu. Dan tadi, di cerita Tioma ada nama Pernandk menyelinap di sana. "Yup!" Tioma mengangguk kalem. Melihat raut pasi di wajah Indah, sudut bibirnya berkedut jahil. Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk mengerjai sahabatnya itu. "Tapi waktu itu gue gak samperin mereka, sih. Malas. Gak tau juga mereka ngapain di sana padahal udah malam!" katanya lagi penuh karangan. Saat itu juga ia mendapat delikan tajam dari Indah. Susah payah Jessie menahan tawa. "Kurang ajar! Awas aja tuh cewek!" desis Indah dengan tatapan tajam seolah sedang melihat mangsa. Emosi Tasya kembali tersulut lepas mendengar cerita itu. "Wah, kita harus bertindak nih kayaknya. Sebelum cewek gatel itu bertindak semakin jauh. Bisabisa, cowok kita direbut lagi sama dia!" ujar Tasya menggebu-gebu, Indah mengangguki. Gadis itu tak kalah ambisiusnya dengan Indah jika sudah menyangkut hak kepemilikan mereka. Baginya,
204 tak ada yang boleh menyentuh apalagi sampai menikmati apa yang menjadi hak miliknya. Sementara itu, Jessie yang berada di tengah-tengah dua gadis yang kini saling beradu tatapan maut itu melotot binar. Wah, sepertinya akan ada game dahsyat nih! Gadis tukang rusuh itu memang selalu semangat empat lima jika sudah menyangkut hal seperti ini. Dalm hati ia bangga pada dirinya sendiri karena berhasil memancing emosi dua sahabatnya sekaligus. "Gimana kalo kita serang sahabat dia," usul Tioma, yang langsung mendapat lirikan dari kedua sahabatnya. "Maksud lo, Qori? Si pendiam itu?" Tasya menebak dengan kerutan dahi. Sedikit tersentak, lalu kemudian menyunggingkan senyum miring. "Ide yang bagus." Tasya dan Tioma serentak menoleh pada Indah, gadis yang baru saja berbicara barusan.
205 "Qori, lo gak bosan apa tiap hari berkutat sama buku meluluh? Sesekali tatap muka tampan gue kek, gue pastikan lo pasti terklepek-klepek sama pesona gue." Celetukan dari seorang murid lelaki di bangku belakangnya sungguh menganggu konsentrasi Qori yang tengah membaca buku. Gadis itu mengangkat wajah. Matanya ia pejamkan sambil menarik napas dalam-dalam, lalu mengerjapkannya kembali bersamaan dengan embusan napas kasar. Meski emosi tengah menguasai dirinya, sebisa mungkin ia terlihat baik-baik saja. Kesabarannya perlahan menipis menghadapi sosok lelaki yang sedari tadi merecokinya itu. Membuatnya risih. Kepalanya sedikit ia tolehkan ke belakang. Hal yang mendapat sambutan hangat dari Anggi si cowok gila itu. Hanya raut datar yang ia tampilkan. "Lo jadi orang bisa-"
206 Ting! Omelannya menggantung di udara saat handphone miliknya yang tergeletak di atas meja mengeluarkan bunyi. Segera ia memperbaiki posisi duduknya kembali dan mengambil hp nya untuk dicek. Sebuah chat masuk di aplikasi WhatsApp-nya. Dahinya mengerut lepas membaca pesan dari sebuah kontak yang tak tersimpan di kontaknya. Kira-kira begini isi chat-nya. Cepat lo ke belakang sekolah sekarang, atau lo bakal habis di rumah nanti! Tampak Qori menghela napas berat. Tanpa dicari tahu pun, pesan itu. ia sudah bisa menebak siapa di balik pengirim Qori bingkas bangun dari duduknya setelah menyimpan buku yang dibacanya tadi ke dalam laci. Lebih baik ia menemui mereka atau kesialan yang lebih
207 besar akan ia dapatkan saat di rumah nanti. Cukup, Qori lelah untuk itu. "Eh, mau kemana lo?" Pertanyaan dari Anggi yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya, ia hiraukan. Gadis itu malah mempercepat langkahnya keluar dari kelas. Dengan kerutan bingung, lelaki itu bergumam, "Aneh banget!" Anggi masih menyoroti sisa-sisa kepergian Qori di balik pintu kelas. "Sini lo, cepatan! Lambat banget jalannya kayak siput aja loh!" Indah langsung menghadiahinya bentakan saat tengah berjalan ke arah mereka. Qori hanya bisa menghela napas diam saat Indah menjemput dan menarik dirinya ke hadapan teman temannya tanpa perasaan. Gadis itu bahkan sampai terseot-seot tak mampu menyamai langkahnya dengan langkah Indah.
208 "Ini dia guys, anaknya!" ujar Indah pada kedua temannya sembari mendorong bahu Qori ke tengah tengah mereka. Seolah Qori sedang diserahkan pada seseorang saja rasanya. Tasya, Indah dan Tioma saling pandang lalu menyungging senyum jahat. Mereka lalu mengerubungi Qori dan mengurung gadis itu dengan memojokkannya ke tembok. Qori yang tak tahu apa-apa hanya bisa memundurkan diri padahal sudah mentok sampai di situ. Ia dapat merasakan aura bahaya tengah mengancamnya. Tasya lagi melirik kedua temannya bergantian. "Enaknya diapain guys?" "Kak, jangan! Jangan bully saya, plis!" Qori yang sudah konek dengan suasana yang ada langsung gelagapan. Ia menggigil takut, bayang-bayang itu kembali terlintas di pikirannya membuatnya kalut.
209 Seolah tak mengindahkan permohonan gadis itu, ketiganya malah menampilkan wajah ceria. Seolah sangat menikmati wajah pucat pasi sang mangsa. "Jangan banyak bicara lo! Sekarang, lo harus nanggung perbuatan sahabat dajal lo itu. Rasakan ini!" Tasya maju dan menyerang rambutnya. Sementara Indah dan Tioma maju memegang pergelangan tangan gadis itu supaya memudahkan pekerjaan Tasya. Tak hanya sampai di situ saja, Tasya sampai menampar pipinya berkali-kali dan menendang perutnya dengan brutal. Tak menghiraukan aduan kesakitan yang keluar dari bibir gadis itu, Tasya malah semakin semangat melampiaskan amarahnya. Hingga merasa puas, barulah mereka melepaskan mangsa kecilnya itu. Mereka berlalu begitu saja setelah menghempaskan Qori ke tanah dengan kasar. Benar benar tak berperikemanusiaan. "Gimana, enak kan? Makanya gue saranin dari sekarang, cepat-cepat lo minggat dari sekolah ini!"
210 Sebelum matanya tertutup, Qori sempat melihat sekilas Indah yang tengah memandang remeh ke arahnya.
211 Dilapangan Sekolah SMP Valdo dan kedua temannya---Fahri dan Anggi-- baru saja berganti baju di toilet khusus. Baju putih biru itu kembali terpakai rapi di badan mereka masingmasing. Ah, tepatnya di badan Valdo, sedangkan Fahri dan Anggi dengan sengaja mengeluarkan baju mereka. Mereka bertiga sedang berjalan melewati koridor sekolah. "Eh, lagi ngapain tuh?" celetuk Fahri tiba-tiba seraya menunjuk sebuah objek yang dimaksud. Langkah Valdo dan Anggi seketika terhenti. Dua lelaki itu mengikuti arah telunjuk Fahri. Sebuah pemandangan tak biasa dari tengah lapangan. Rusuh. Tampaknya dua orang yang sedang bertengkar. Kini
212 sedang dikerumuni oleh anak-anak. Saking ramainya, Valdo sampai tidak melihat siapa dua orang tengah gulad itu. "Samperin, yuk! Kepo gue," ucap Anggi diangguki oleh Fahri. Dua bocah itu tampak sangat bersemangat. Valdo memutar bola mata malas. Seperti ini jadinya jika punya teman yang hidupnya suka kepo dan ikut campur urusan orang lain. Huh, menyebalkan! Belum sempat Valdo memprotes atau bahkan sepatah pun, dua anak dajal itu sudah menyeretnya hingga tak bisa berontak. Yang Valdo lakukan hanya bisa pasrah--- menghela napas---ketika dua temannya terlalu bersemangat. "Eh, ada apaan, nih?" Fahri bertanya pada seorang siswi yang dia yakini teman seangkatannya.
213 Gadis itu menoleh dan menjawab, "Oh, itu Kak Katrin lagi jambak-jambakan sama Eci, anak kelas 7-5," katanya terlampau santai. "Hah? Eci?!" pekik Anggi. Ketiga murid itu membelalakkan bola matanya. Fahri dan Anggi saling pandang. Valdo tak kalah kagetnya saat mendengar nama Eci ikut terseret dalam keributan ini. Tanpa pikir panjang, Valdo langsung menerobos masuk lautan manusia itu. "Heh, Do! Lo mau ke mana?!" teriak Anggi, tetapi diabaikan oleh Valdo. Anggi dan Fahri memilih menyusul Valdo membelah kerumunan. "Eh, minggir! Kita mau lewat!" Anggi tak jarang mendorong atau membentak jika ada orang yang menghalangi jalan mereka. Fahri dibuat geleng-geleng kepala dengan sikap tak sabaran Anggi. Harap maklum ygy!!!
214 Meski awalnya agak sulit, tetapi pada akhirnya Valdo berhasil. Hingga kini, dia diperhadapkan dengan sebuah pemandangan yang membuatnya tambah melotot. Bukan, bukan melotot kaget karena melihat Eci sedang jambak-jambakan dengan Tasya. Justru pertengkaran itu sudah selesai ketika seseorang menerobos masuk merelai mereka. Akan tetapi, Valdo melotot marah melihat Edo---yang jelas-jelas pacarnya Tasya---lebih memilih menenangkan Eci dibanding Tasya. Sialan! Bukan hanya Tasya yang kini seperti orang kesetanan tak rela melihat kelakuan Edo---gadis itu sedang ditenangkan oleh kedua sahabatnya. Valdo pun demikian. Valdo mengepalkan kedua tangan erat sampai buku-buku di tangan cowok itu tampak menonjol. Rahang tegasnya pun mengeras kokoh pertanda api membara membakar jiwa cowok itu. Emosi sedang menguasai Valdo. Oke Valdojujur. Dia sedang cemburu
215 saat ini. Rasa itu berhasil merasuknya hingga kehilangan akal sehat. Hingga ketika dia tidak tahan lagi menyaksikan hal itu, Valdo memilih beranjak dari sana. Bersama sejuta emosi. "Lah, Do. Mau ke mana lagi?!" Dan, kedua temannya yang baru saja sampai menatap bingung kepergian Valdo yang baru saja menepis tangan Fahri saat ingin menahannya. Dua dajal itu saling menatap. Kerutan bingung jelas jelas tampak di wajah keduanya. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan kembali untuk menyusul sahabat mereka dan menanyakan langsung kepadanya ada apa. "Kat, itu anaknya!" seru Tioma sembari menunjuk Eci yang sedang berjalan di koridor bersama Qori --sedang menuju ke arah mereka. Tasya dan kedua temannya sendiri berdiri di ujung koridor. Tasya bersidekap dada, menolehkan pandangan
216 mengikuti arah telunjuk Tioma. Bibirnya menyungging senyum tipis dengan delikan tajam menatap penuh kebencian sosok itu. Tasya dan kedua temannya menghampiri Eci. Mereka hendak melabrak juniornya itu. Tentu Katrin tidak akan membiarkan seseorang hidup dengan tenang setelah mengusik kebahagiaan satu-satunya. Eci, orang yang merebut Indra darinya. Karena Eci, Edo berubah. Edo cenderung cuek dan berlaku kasar padanya. Semua itu berubah semenjak Indra mengenal Eci. Langkah Eci dan Qori terhenti saat tiga orang datang menghadang jalan mereka. Tiga orang berdiri di depannya sambil bersidekap dada membuat Eci menghela napas dilanjut memutar bola mata malas. Mereka lagi, mereka lagi, batin Eci lelah. Qori yang berdiri di samping Eci menatap Eci dan Tasya secara bergantian. Dia bertanya-tanya dalam hati, ada apa lagi dengan kedua gadis itu. Hingga ketika bola matanya tak sengaja bertemu dengan bola mata Indah, cepat-cepat Qori memalingkan wajah. Jantungnya
217 langsung berdegup dua kali lebih cepat. Sensasi aneh langsung menggerogoti hatinya. Seringai tipis yang terukir di wajah Indah membuat Qori bergidik. Seringai itu seolah tertuju padanya seorang. Qori sudah trauma dengan senyum mematikan seperti itu apalagi didapat dari orang yang sama. Dia hanya bisa berdoa dalam hati semoga Eci masih dalam keadaan baik-baik saja setelah ini. Berurusan dengan Indah CS adalah sebuah kesialan dan mimpi buruk yang tak pernah diharapkan murid-murid SMPN 1 KUALUH HULU. Semuanya buyar ketika Tasya tiba-tiba menarik paksa Eci masuk tengah lapangan. Berkali-kali Eci memberontak, akan tetapi usahanya gagal karena kedua lengannya sudah dicekal terlebih dahulu oleh Indah dan Tioma. Alhasil, Eci hanya bisa pasrah. Qori menyusul dari belakang. Hendak membantu Eci. Namun, ketika mendapat tatapan maut dari Indah, Qori langsung menciut.
218 Hingga ketika mereka tiba di tengah lapangan dan disaksikan oleh murid satu sekolahan. Tasya menghempaskan tangan Eci dengan tak berperasaan. Tatapannya kian menajam, menatap Eci seolah dia adalah mangsa siap santap. Eci menatap sekitar. Kini, mereka sudah menjadi pusat perhatian. Dalam sekejap lapangan sudah berbentuk lingkaran dikerumuni oleh murid-murid. Mereka berada di tengah-tengah lingkaran manusia. Untuk pertama kalinya, Eci merasa risih. Biasanya dia akan semangat empat lima dan menunjukkan kehebatannya jika diajak ribut seperti ini. Tetapi tidak untuk kali ini. "Kenapa bawa gue ke sini?" tanya Eci to the point, tak ingin memperpanjang masalah. Dia sangat malas untuk berdebat saat ini. Mungkin karena beberapa bulan belakangan ini hari-harinya diisi dengan debat. Tasya terkekeh sinis. Raut wajahnya menunjukkan sebuah kebencian yang mendalam. Eci tidak tahu apa itu.
219 "Lo mau tau kenapa gue bawa lo ke sini?" Suara Tasya begitu lantang, sengaja supaya semua orang tau apa yang ia katakan. "Gue mau kasih tau ke semua murid kalo lo itu PHO. Perusak Hubungan Orang," kata Tasya lagi tak kalah lantang dan lebih sarkas dari sebelumnya. Tiga kata terakhir dengan sengaja Tasya tekankan. Bisik riuh di sekitar langsung ramai mengusik Edo pendengaran Eci yang hanya diam menatap Katrin tanpa ekspresi. Tidak banyak yang tahu akan kemarahan yang ditunjukkan gadis itu. Hanya kedua tangan yang mengepal kuat di bawah sana sehingga tak tampak jelas. Seringai yang lagi terukir di bibir Tasya tampaknya sedikit mengusik. Eci terpancing. Emosinya memuncak. Senyum mengejek yang sungguh menjengkelkan. "Sialan. Apa maksud lo ngatain gue PHO?! Gue bukan PHO, anjing!" seru Eci marah, maju dan langsung
220 menerjang Tasya---menjambak rambut gadis itu tanpa belas kasihan. "Anjing, lepasin rambut gue... sakit, akhhh!" Tasya tak tinggal diam. Dia membalas Eci dengan ikut menarik rambut gadis itu. Aksi jambak-jambakan pun terjadi. Tak terelakkan. Suasana kian panas, mengundang hura-hara murid murid. Lapangan kian penuh lautan manusia. Bahkan bisa melebihi penonton yang menyaksikan sebuah konser. Jika Indah dan Tioma semangat empat lima menyoraki Tasya, berbanding terbalik dengan Qori yang menatap prihatin Eci yang kini penampilannya sudah kacau balau bak orang gila. Saat hendak membantu gadis itu, tepatnya melerai perkelahian Eci dan Tasya. Indah memelototinya tajam. Qori menciut. Diam seperti patung di tempat. Menggerutu dalam hati karena tak bisa melakukan apapun untuk membantu sahabatnya. Hingga pertengkaran itu berakhir ketika sang ketua osis datang masuk ke tengah keduanya yang tengah panas panasnya bergulat. Beberapa murid mencibir
221 kesal saat sang ketua osis mengintruksi mereka untuk bubar. Namun, tak urung juga mengikuti perintah ketua osis karena tak ingin berurusan dengan guru Bk setelah ini. "Eci, kamu enggak papa, kan?" tanya Edo khawatir. "Enggak usah khawatir, Kak," balas Eci tersenyum. Hal yang membuat emosi Tasya memuncak dua kali lipat saat Edo lebih mencemaskan Eci dibanding dirinya. Dia hendak maju menyerang Eci kembali. Namun, kedua temannya langsung mencekal pergelangan tangannya. Juga kata-kata yang keluar dari bibir Edo saat menatapnya datar berhasil membungkam Tasya. "Lo enggak bisa, ya, sekali aja enggak buat masalah. Tadi gue udah peringatin, kan, jangan ganggu Eci lagi? Lo tuh kekanakan tau enggak, Tas," ujar Edo kecewa. "Lo belain dia, Edo?" Mata Tasya berkaca-kaca.
222 Beberapa kali meneguk saliva susah payah. Kata-kata Indra lagi dan lagii berhasil melukai hatinya. Sorot matanya saat menatap Anggi penuh luka dan kekecewaan. "Bukan urusan lo!' ketus Indra dan langsung membawa Eci berlalu dari sana. "Sialannn!" pekik Tasya marah, mengumpati kepergian dua remaja itu. Sementara Eci hanya diam saja. Tak melawan saat Edo membawanya pergi. Raganya memang bersama Edo, tetapi pikirannya melayang entah kemana. Tadi dia melihat Valdo sekilas di antara kerumanan itu. Cowok itu menyaksikan semuanya. Hingga berlalu pergi dengan pandangan kosong tak terbaca. Entah kenapa Eci merasa bersalah pada cowok itu padahal tak melakukan kesalahan apapun.
223 Yang Tak Diinginkan Keberadaan Nya Saat SMP "Congrats," ujar Valdo tiba-tiba di tengah perjalanan mereka menuju kelas. Beberapa saat dia dan Qori keluar dari ruang guru. Mereka sedang berjalan di koridor yang cukup sepi. Terhitung hanya beberapa murid yang melintas di sana. Langkah Qori terhenti. Gadis yang berjalan lebih dulu itu berbalik badan---menatap sesosok lelaki yang berdiri tak jauh dari hadapannya dengan sedikit gurat bingung di kening. "Buat?" tanya Qori. Valdo mengulum senyum yang tertahan sedari tadi, lalu berkata, "Pertama, karena lo peringkat dua dalam kelas. Yang kedua, lo terpilih menjadi partner gue di Olimpiade tingkat kabupaten nanti."
224 Sejenak Qori terenyuh dengan ucapan cowok itu. Hingga kemudian membalas dengan senyum tipis. "Hm, thanks. Kamu jauh lebih jago. Si juara kelas," tuturnya merendah, balik memuji. "Mohon kerjasamanya, partner." Senyum di bibir Valdo kian lebar. Cowok itu mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Qori, sampai-sampai membuat gadis itu berjingkat ke belakang---menahan napas dalam diam. Seringai kecil turut hadir di bibir Valdo saat melihat kegugupan Qori di kedua bola matanya, sebelum lelaki itu beranjak pergi. Sementara Qori mematung di tempat dengan desiran aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya. Sungguh menggelitik. Qori tidak tahu kenapa. Namun, semakin jauh Valdo melangkah---semakin jauh jarak yang terbentang di antara mereka---maka rasa geli aneh itu semakin terasa jelas. Seperti ada sesuatu yang terikat di antara mereka. Semacam... kontak batin.
225 "Perasaan macam apa ini?" gumam Qori dengan pandangan gamang. Menatap sisa kepergian Valdo sambil memegang dada yang juga ikutan berdegup kencang. Entah kenapa batin Qori seakan berontak untuk beranjak dari sana dan mengejar Valdo. Akan tetapi, kalah oleh otak yang memaksa untuk tetap bertahan di sana. Terkadang, hati dan pikiran memang tak selaras. Hati menginginkan ini dan pikiran menginginkan itu, begitu pun sebaliknya. Meski harus tetap memakai logika di setiap keadaan sebelum mengambil tindakan, namun sesekali juga harus merasakan bagaimana jika mengikuti apa kata hati. Tidak selamanya logika yang harus jadi pedoman, karena beberapa hal yang tak bisa dipecahkan secara logistik. Namun, juga bukan berarti harus selalu mengikuti kata hati, karena ia pun bisa menjerumuskan tanpa terduga.
226 "Bar, aku ranking delapan. Aku masuk sepuluh besar. Kamu ranking berapa?" Tasya menghampiri Jepri ke tempat duduknya. Dengan wajah ceria memperlihatkan nilai-nilainya yang lumayan bagus di lembar penilaian pada buku rapor. Pembagian rapor baru saja terjadi beberapa menit lalu. Wali kelas mereka sendiri yang membagikan. Jepri menyungging senyum tipis melihat pencapaian sang pacar. Dia mengusap lembut surai hitam gadis itu dan berkata, "Pinter," pujinya. "Makasih," cicit Tasya dengan nada suara semanja mungkin. "Iya, dah, lo juara berapa Jepri? Jangan bilang juara dua dari belakang lagi," ujar Pernando tiba-tiba datang menimpali, mengalihkan perhatian sepasang kekasih yang tengah mengobrol itu. Raut mengejek yang terpampang di wajah Pernando membuat Jepri melayangkan tatapan berang.
227 Giginya menggeram tertahan. "Sialan," desis Jepri tak terima. "Terima aja, sih, Jep. Enggak usah pake emosi elah. Pernando cuma bercanda loh " Edo, si juara kelas, ikut bergabung dalam obrolan mereka. Tiba-tiba datang menyeletuk dan masuk di tengah-tengah mereka. Lebih tepatnya duduk di atas meja dekat Jepri dan mengelus pundak cowok itu. "Bercandanya gak lucu!" dengus Jepri memberenggut kesal. Masih belum terima. Napas cowok itu terdengar begitu kasar. Belum pernah mereka melihat Jepri sekesal ini sebelumnya jika mereka mengatainya seperti itu. Bahkan sebelum sebelumnya, Jepri enjoy-enjoy saja. Memasang cengir lebar. Berbanding terbalik dengan saat ini. Cowok itu cenderung emosional. Jepri kesal bukan tanpa alasan. Hanya saja, dia sedikit malu pada sang pacar yang bisa masuk sepuluh besar sementara dia tidak sama sekali. Dia berada di posisi seperti yang dikatakan Pernando
228 sebelumnya. Rentang ranking mereka terlampau sangat jauh. "Ish, udahlah Jep. Dengerin tuh kata Edo," cetus Katrin menyikut lengan sang pacar membuat Jepri kembali berdecak. "Iya, Tasya sayang. Siapa sih yang keselll!" ujar Jepri gemes. "Tuh, mukanya! Dahlah, aku malas. Aku mau ke kantin sama Edo, Tioma dulu," kata Tasya. Setelah menuding wajah Jepri dengan telunjuk, dia melenggang pergi begitu saja mengikut Indah dan Tioma yang sudah berjalan lebih dulu keluar kelas. Selepas kepergian tiga gadis itu, raut wajah Jepri kembali cerah.
229 "Cie, selamat tahun ajaran ini juara satu lagi. Lo emang the best, Edo," seru Jepri menyoraki Indra dengan pujian. "Thanks, hehe." Edo menyengir. Dalam hati salah tingkah mendapat pujian seperti itu. "Edo gitu loh, masa lo raguin dia," celetuk Pernando mengalihkan perhatian Jepri padanya. "Yeee, lo sama aja sama dia bangsat! Pinternya sama sama enggak ngotak. Lo juara dua lagi, kan, tahun ini? Udah ketebak, sih." Jepri memojokkan Pernando dengan semburan fakta dan hanya bisa membuat cowok itu terkekeh pada akhirnya. Kekehan ringan yang terkesan mengejek memenuhi ruang tamu di sebuah rumah. Sebuah buku yang lebih terlihat seperti lembar penilaian dilempar dengan kasar ke meja kaca. Tak peduli jika buku itu bisa saja sobek.
230 Lalu, kepala pria paruh baya itu terangkat. Sebuah tatapan dingin dia tunjukkan pada seorang gadis remaja yang sedang berdiri dengan kepala tertunduk di hadapannya. Rongga dadanya selalu terasa panas setiap kali melihat muka remaja itu. Ada begitu banyak amarah yang menumpuk di kepala ingin dia semburkan keluar. "Ck, jadi ini katanya yang bisa belajar sendiri?" Dengus sinis itu kembali menyapa telinga Eci yang sudah kebal akan apapun. Rasanya sudah tidak tahan lagi kali ini. Namun, Eci hanya bisa bungkam ketika sang ayah mengintimidasinya. Tatapan pria itu selalu mendominasi di setiap situasi sehingga tak ada celah bagi Eci untuk mengeluarkan bunyi. "Mana hasil yang bisa memuaskan ayah?! Katanya, enggak perlu bantuan ayah, kan? Jadi, ini namanya bisa sendiri. Bahkan masuk dua puluh besar saja kamu tidak mampu Eci!" bentak Beni, sang ayah, di akhir kalimat. "Ck, dasar anak bodoh!" cibir Beni lagi.
231 Eci yang tak terima dikatai seperti itu mengangkat wajah dan menatap nyalang sang ayah. "Stop hina Eci kayak gini! Dari awal ayah enggak pernah peduli sama Eci. Ayah enggak pernah jadi ayah yang seperti Eci inginkan. Ayah selalu minta Eci untuk jadi sempurna padahal ayah sendiri enggak pernah tahu Eci kehidupannya seperti ayah. Bahkan ayah enggak tahu Eci di luaran sana seperti apa!" "Ayah egois!" teriak Eci di depan muka lelaki itu, bola mata sudah berkaca-kaca hingga tangisannya tak terbendung lagi. Rasa-rasanya semua unek-unek Eci keluar saat itu. Sedikit rasa lega. Bebannya sedikit lebih ringan dari sebelumnya. "Anak kurang ajar!" Rahang Beni mengeras. Dia menatap penuh benci sosok remaja di depannya yang tak lain adalah putri semata wayangnya, darah dagingnya sendiri. Eci yang barusan membentaknya mengingatkan Beni pada sosok
232 Eci kecil yang begitu dia benci. Bayangan masa lalu itu kembali menghampiri Beni membuatnya kalang kabut. Emosi tak terkontrol. "Anak kurang ajar!" Tangan Beni terangkat ke udara. Melayang ke arah Eci, namun ... "Apa?! Ayah mau tampar Eci? Tampar aja, Yah! Tampar Eci sepuas ayah kalo itu mau ayah!" kata Eci terbawa emosi. Hampir saja menggampar anak itu andai saja dia tidak segera sadar. Dadanya naik turun. Deru napas tidak beraturan. Mata gelapnya penuh amarah dan dendam masa lalu. "Nyesel saya punya anak kayak kamu. Kenapa kamu enggak mati ikut ibu kamu saja. Sudah menyusahkan, enggak ada gunanya pula!"
233 "Mulai sekarang kamu ada dalam kekangan ayah! Kamu enggak boleh keluar dari rumah tanpa seijin ayah. Paham, kamu?!" Lepas memarahi sang anak, Beni berlalu begitu saja naik ke lantai dua. Masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan raut kasar. Tidak Eci ketahui bahwa pria dewasa itu menangis tersedu-sedu dalam kamar. Menyesali setiap kata yang sudah terlontar dari bibirnya untuk Isang anak. Sungguh, dia tidak punya niat lain selain menceramahi anak itu karena nilainya yang di bawah rata-rata. Hanya saja tadi dia terpancing emosi ketika Eci meneriakinya. Sementara Eci di lantai bawah pun sama rapuhnya. Gadis itu menjatuhkan dirinya ke lantai berkarpet. Menenggelamkan wajahnya di atas meja kaca lalu menangis tersedu-sedu. Kata-kata sang ayah sungguh melukai hatinya. Saat sedang sedih-sedihnya tiba-tiba Eci merasakan elusan lembut di puncak kepalanya. Dia mengangkat
234 wajah dan mendapati tatapan teduh di kedua bola mata Bu Iem yang sedang menatapnya sendu. Eci langsung berdiri dan menghambur ke pelukan wanita paruh baya itu. Dia menumpahkan semua keluh kesahnya dalam pelukan Bi Iem. Seolah hanya wanita paruh baya itu yang menjadi sandaran ternyaman Eci. "Bi, bawa Eci pergi dari neraka ini," gumam Eci di selasela tangisnya. Bi Iem menyeka air mata yang tiba-tiba mengalir begitu saja dari matanya. Jangan mengira Bi Iem tidak menyaksikan perdebatan antara ayah dan anak itu. Dia melihat semuanya. Bahkan mendengar semua pembicaraan mereka. Hatinya teriris mendengar kata kata dari bibir Beni. Tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi. "Non Eci, yang sabar, ya."
235 Masa Putih Abu-Abu Halo... Perkenalkan nama aku adalah Rivaldo Hasibuan biasa dipanggil Valdo. Pada kesempatan kali ini aku mau bercerita sedikit tentang masa-masa SMAku yang penuh suka dan duka. Dari sebelum memasuki masa–masa yang kebanyakan orang bilang paling berkesan yaitu masa SMA, aku sendiri sudah banyak mendengar cerita dari kakak kelas tentang betapa seru dan bahagianya masa–masa itu. Masa di mana saat memasuki remaja dan pasti punya banyak pengalaman yang seru dan menyenangkan. Putih abu-abu atau masa SMA disebut-sebut sebagai masa yang paling indah, masa-masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Ada yang mengatakan masa SMA itu adalah masa pencarian jati diri. Masa SMA memang penuh dengan lika-liku remaja, dari cerita cinta, persahabatan, kekonyolan, hingga kenakalan. Banyak hal yang terjadi yang justru
236 melatih pola pikir dan tindakan aku untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik. Selama SMA, aku jadi semakin kenal sama diri aku sendiri, jadi lebih tau apa yang aku suka dan tidak suka, dan jadi lebih percaya diri. Selain itu, aku juga jadi mengerti arti pertemanan yang tulus itu bagaimana. Waktu SMA aku bertemu dengan teman-teman yang berasal dari SMP yang berbeda-beda dan kita dipertemukan di dalam satu sekolah yang sama, sekolah yang tentunya didamba-dambakan oleh kebanyakan anak-anak SMP yaitu SMA Muhammadiyah 9 Aekkanopan. Pertama kali memasuki dunia putih abuabu di SMA Muhammadiyah 9 Aekkanopan kali muncul pertanyaan-pertanyaan di dalam benakku. Selain itu muncul pertanyaan dibenakku apakah masa putih abuabu adalah masa-masa paling menyenangkan seperti yang ada di film-film? Ah sudahlah… Saat SMA aku memilih jurusan Ipa, aku pertama kali masuk di kelas X Mipa 1, di sini aku memiliki teman-teman baru dan tentunya cerita baru. Banyak
237 likaliku yang aku dan teman-teman aku hadapi. Mulai dari naksir kakak kelas, biasalah drama-drama adik kelas. Saat SMA juga tidak jauh-jauh dari mata pelajaran eksak, mata pelajaran favorit anak Mipa haha. Ngomong-ngomong tentang pelajaran eksak, jadi ingat guru aku yang mengajar matematika wajib. Beliau orangnya sangat kritis. Ngomong-ngomong soal teman waktu SMA, bisa dibilang aku hanya memiliki beberapa teman yang benar-benar dekat. Ohiya, aku sama temanku sebut saja Bagus dan Dani sering izin keluar kelas waktu pelajaran supaya tidak bosan. Jujurly aku anaknya bosanan di kelas. Jangan dicontoh ya guys. Sumpah deh waktu paling seru itu kelas 12 awal di mana teman-teman kelasku kaya udah klop banget, mungkin karena udah setahun bareng waktu kelas 11. Banyak banget tingkah laku aneh yang mereka ciptakan, mulai dari main pengantin-pengantinan, nobar bareng di kelas, jogetjoget bareng, nyanyi-nyanyi bareng dan masih banyak lagi. Sebenarnya masih banyak banget kenangan
238 waktu SMA, tentu itu akan menjadi memori terindah dalam hidup aku. Terima kasih buat temen-temen aku, dari kelas 10, 11, hingga 12. Terima kasih juga buat temen-temen aku yang sering nebengin aku waktu pulang sekolah, honestly waktu itu aku belum bisa bawa motor hehe. Makasih banget. Terima kasih juga buat guru-guru yang sudah memberikan pelajaran hidup. Makasih banget, serius, gaboong. Terima kasih juga buat temen yang ada saat aku down, entah karna nilai ulangan aku jelek, karna hal-hal tidak penting, atau atau karena... patah hati Semoga kalian sukses. Terima kasih sudah menyumbangkan cerita masa SMA-ku yang semua tertuang menjadi satu memori yang begitu indah, tentunya kenangan di masa SMA tidak akan pernah terlupakan dan tidak mudah dilupakan. Sukses buat kalian!
239 BIODATA PENULIS Siti Afsah. Lahir pada tanggal 18 mei 2004 di Lubuk Pakam,Sumatera Utara Indonesia. Penulis anak pertama dari bapak Rahmadhani dan ibu Fauziah Nur. Penulis tamatan dari SDN 112280 Aekkanopan, SMPN 1 Kualuh Hulu, SMAN 1 Kualuh Hulu dan sekarang menjadi Mahasiswa Di salah satu universitas terbaik sumatera utara UNIVERSITAS NEGERI MEDAN fakultas ilmu Pendidikan Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Penulis dapat dihubungi melalui : E-Mail : [email protected] Facebook : SITI AFSAH Instagram : AFSAH18 Whatsapp : 082169165849
240