The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Celine Manurung, 2023-05-18 09:10:47

novel anak sekolah

NOVEL MASA MASA SEKOLAH

101 masalah sih aku duduk sama Nanda. Walau dia anak yang spesial dari pada murid-murid yang lain, tapi bagiku tak masalah. Dia sudah sekelas denganku selama 3 tahun. Namun saat melihat dia duduk dengan teman sebangkunya yang baru dan saling bercanda, hal itu membuatku cemburu sekali. Cemburu? Buat apa aku cemburu? Memang aku ini siapanya dia? Pacar saja bukan. Sudahlah, jangan terlalu berharap, nanti yang ada sakit hati. 02SN. Setiap tahunnya aku selalu mengikuti perlombaan itu. Kali ini untungnya lawanku hanyalah anak-anak baru yang masih belum hapal jurusnya. Keuntungan besar bagiku yang sudah senior. Hihi, senangnya. Kyyaaa...usahaku kali ini tidak sia-sia juga. Memang benar ya, kalau setiap tahunnya aku tak bertemu senior dari perguruan karate yang sama.


102 Membuatku bisa mendapatkan juara yang lebih bagus lagi. Soal kelas...semester 2 ini diadakan pemilihan ketua kelas lagi dengan cara voting. Dari pihak laki laki...mereka menunjuk Aku, sedangkan dari pihak perempuan yang ditunjuk oleh Nadia. Voting kami seri, namun Bu Ayu memintaku dan Saya maju kedepan kelas. "Jadi bagaimana? Yang mau menjadi ketua kelas yang baru itu, Desi atau Valdo?" Tanya Bu Ayu pada kami berdua. "Valdo aja bu, yang jadi ketuanya," jawab Nadia. "Gimana Valdo?" Tanya Bu Ayu memastikan lagi. "Ya sudah bu, gak apa-apa. Saya siap jadi ketua kelasnya," jawabku spontan. "Baiklah. Dengan begini, hasil votingnya Valdo yang menjadi ketua kelas dan Nadia menjadi wakil ketua


103 kelas," ucap Bu Ayu mengumumkan keputusan hasil voting. Semua bersorak saat hasil keputusan diumumkan. Ada yang senang ada yang tidak. Terutama anak perempuan. Mereka tak masalah jika itu hasil keputusannya, yang penting Nadia jadi pemegang kekuasaan kelas walau hanya menjadi wakil ketua kelas saja. "Nah Valdo, jika kamu kesulitan saat menjadi ketua kelas. Kamu minta tolong sama Desi saja ya. Karena dia udah senior saat menjadi ketua kelas," ujar Bu Ayu. "Baik bu," tanggapku sambil melihat sosoknya yang duduk dibangku yang jauh dari bangkuku berada sekarang. Dan dimulailah hari-hariku yang menyebalkan saat menjadi ketua kelas. Di saat harus menghadapi anak anak yang bandel dan susah diatur. Akhhhh kadang aku jengkel sendiri dengan anak laki di kelas atur. yang susah di atur.


104 Sabar. Tahan. Jangan emosi. Kalo aku emosi, kelas bakal ancur. Tapi berkat bantuan Desi, bebanku menjadi ketua kelas terasa lebih ringan. Dari pada Nadia. Dia malah ikut-ikutan main dan berisik disaat kelas riuh. Jadi wakil ketua kelas kok gak becus banget ngurusin anak-anak di kelas. Aku lebih percaya sama Desi kalau dia wakilnya. Tapi rasanya itu gak mungin. Namun berkat aku disuruh melihat Desi sebagai sosok senior saat menjadi ketua kelas. Aku terus saja memanggilnya senior ketimbang memanggil namanya. Bahkan kedua sahabatku pun langsung mengerti kalau aku membicarakan senior, maka aku sedang mmembicarakan Desi. Terima kasih Desi. Berkat mu, kini aku mengerti dan tahu, bahwa menjadi ketua kelas itu bukanlah hal yang mudah. Namun penuh dengan tanggung jawab yang besar dan menjadi ketua kelaspun juga harus tegas. Jika tidak, ya tidak. Itu peraturanku selama menjabat menjadi ketua kelas di semster 2 ini.


105 Setiap harinya aku harus mengurus murid-murid yang bandel, agar mereka tetap diam selama tak ada guru di kelas. Sering juga diriku merasa seperti pengembala kambing yang harus menggiring hewan ternaknya itu kembali ke dalam kandangnya, jika mereka keluar dari kandangnya. Semoga otak kalian paham apa yang ku maksud. Dan ada kejadian juga saat Bu Ayu ada rapat sekolah, kami jadi jam kosong tanpa guru. Walau sudah ku suruh diam, tapi mereka tak mau dengar. Aku emosi saat itu pula gara-gara mereka. Wisnupun tidak bisa menenangkan emosiku yang sudah menjadi-jadi. Saking tak bisa tahan lagi dengan kegaduhan ini, akupun maju kedepan kelas dan mencari tongkat pramuka yang biasanya disembunyikan disamping pojok lemari guru yang ada dikelas. Semua teman perempuan sudah ngeri ketakutan, di saat aku berdiri depan kelas sambil memegang tongkat pramuka.


106 Dengan satu hentakan tongkat pramuka hingga permukaan keramikpun pecah, mereka baru pada diam dan tak berkutik. "KALIAN NGOTAK DIKIT DONG. BU AYU-KAN UDAH BILANG JANGAN BERISIK. KELAS KITA INI KEDENGERAN SAMPAI DEPAN TAU. DITAMBAH KALIAN KELUAR KELAS SAMBIL LARI-LARI. EMANG GAK KEDENGERAN APA LANGKAH KAKI KALIAN SAMPE BAWAH. UDAH DEH, JANGAN BIKIN BU AYU MALU GARA-GARA KELAS BERISIK DOANG," teriakku dengan emosi. Mereka hanya bisa terpaku diam. Bukan. Mereka hanya diam sebentar lalu berisik lagi. Aku tak kuat mendengar kegaduhan ini. Aku juga tak mau membuat Bu Ayu marah dan malu pada guru-guru yang lain. Cukup. Aku ingin marah lagi, tapi tangan yang memegang tongkat ini sudah ditahan oleh Azmi agar tak


107 membuat retak dilantai makin parah dan tak melebar. Satu keramik saja sudah retak namun belum hancur. Apalagi kalau aku hentakan tongkat itu kelantai akan menambah kerusakan. "Udah Do, jangan buang-buang tenaga buat mereka yang gak dengerin kata-kata lu. Lebih baik lu duduk diam dan liatin aja. Nanti mereka juga yang dimarahin sama Bu Ayu," bujuk Nida agar aku kembali duduk dibangku milikku Lelah, aku lelah. Mereka tak yang mendengarkan kata kataku. Ditambah akhir-akhir ini, para guru sering rapat karena sebentar lagi ada perlombaan kebersihan sekolah yang akan di nilai langsung oleh suku dinas pendidikan. Hingga kelas jadi sering tak ada guru walau diberi tugas oleh mereka. Sebagai salah satu anak yang paham dalam mengerjakan tugas Matematika saat itu. Aku sering dikejar-kejar oleh teman-teman untuk mengetahui jawaban dari soal-soal yang sulit.


108 Sesak dan tak bisa berfikir. Walau aku sering berpindah tempat duduk ke salah satu bangku punya teman agar bisa terbebas dari anak-anak yang lain, tapi tetap saja mereka terus mengejarku hingga tugas itu selesai dikerjakan. Aku hanya bisa bebas dari mereka jika tugas itu selesai dikerjakan dan diberikan ke mereka sebagai bahan contekan. Kepalaku langsung pusing dan lelah saat sudah terbebabs dari mereka. Seakan diriku telepas dari kekangan sangkar burung yang sempit. Namun ada hal yang membuatku merasa simpati pada seniorku ini. Dia harus mengerjakan tugas yang belum dikerjakan saat baru selesai berlatih untuk penyambutan wakil Dinas Pendidikan yang sebentar lagi datang untuk menilai sekolah ini. Aku sudah ikhlas dia dengan Rafael. Malah aku mendukung Rafael jika mau dekat dengan Desi. Dulu aku pernah berkata padanya.


109 "Desi, jangan sia-siain perasaan cowok. Mereka gak mau digantung kaya gini. Kalo kamu mau sama Rafael, ya udah kejar aja. Mungkin nanti kamu bakal diterima sama dia" Sudahlah. Untuk sesaat aku ingin berbuat baik pada Rafael. Sesama laki-laki, aku paham rasanya digantungin perasaanya sama perempuan. Dulu dia tak berharap atau lebih bisa di bilang cuek pada Desi, tapi kini berbanding terbalik. Lambat laun semua kembali seperti semula. Tak ada yang tersakiti dan disakiti. Ujung-ujungnya Desi ditolak lagi dan lagi oleh Heru. Dan aku? Masih terus berharap pada Romarta yang entah dia akan menyukaiku atau tidak. Libur lebaran sudah di depan mata. Kami libur hanya dua minggu, lalu masuk sekolah selama seminggu utuk persiapan menggambil rapot dan libur lagi untuk tahun ajaran baru selama 2 minggu saja.


110 Di kelas 5 ini, yang paling aku pelajari adalah tentang rasa kehilangan seorang guru dan betapa beratnya menjadi seorang ketua kelas. Ini baru permulaan bagiku untuk kedepannya. Lalu...bagaimana kedepannya? Apa aku masih bisa merasakan ketenangn atau kesedihan ini? Apa aku bisa terus sekelas dengan mereka? Semoga saja bisa sekelas dengan mereka lagi.


111 Perpisahan Kelas 6 SD Perpisahan adalah suatu ungkapan yang paling menyedihkan dan begitu pahit bagi semua orang. Ada suatu pertemuan maka ada suatu perpisahan. Sama halnya yang terjadi padaku sekarang. Perjalanan kami selama masa SD akan berakhir jika sudah kelas 6. Semua ujianpun sudah sering di lewati demi mencapai kelulusan. Namun, sebelum mencapai kelulusan itu, kami sempat merencanakan acara perpisahan atau merujuk seperti suatu liburan, bahkan panitiannya pun telah dibuat. Para panitia terdiri dari mak-mak yang aktif disekolah. Sudah jauh-jauh hari kami mempersiapkan banyak hal, seperti mencari referensi kolam dan waktu yang tepat untuk berlibur. Hari Kamis, tanggal 25 April 2016. Waktu itu, setelah melaksanakan Ujian Sekolah yang terakhir,


112 kami bersorak kegirangan. Pintu kelulusan sudah didepan mata dan sebentar lagi acara jalan-jalan kami dimulai. Tapi sebelum itu terjadi...kami dikumpulkan ditengah tengah lapangan, untuk diberikan suatu pengumuman khusus, yang merajuk ke rencana jalanjalan nanti oleh para panitia, seperti barang-barang apa saja yang perlu dibawa dan sebagainya. Kami dan para guru juga, sempat berfoto bersama dilapangan sekolah. Kapan lagi kita bisa foto bersama seperti ini. Jadi selama ada kesempatan...ya harus diabadikan. Ah, satu lagi. Kami juga berfoto dikelas masing-masing. Foto itu kami jadikan kenangkenangan, bahwa kelas itu pernah di singgahi selama ini untuk belajar sampai akhir. Seminggu kemudian, bertepatan hari Jum'at, tanggal 3 Mei 2016. Pagi-pagi sekali, kami berkumpul di depan jalan raya dekat rumah Fais, agar bis yang akan dipakai, bisa langsung jalan tanpa harus susah-susah keluar dari gang sempit. Kami juga sudah disuruh


113 menggunakan kaos yang waktu itu diberikan oleh para panitia. Ada 2 bis dengan ukuran sedang dan kecil. Bis pertama diisi oleh seluruh anak kelas 6A. sedangkan bis kedua, diisi oleh seluruh anak kelas 6B. Namun sayangnya, ada beberapa teman kami bisa ikut acara jalan-jalan ini. yang tak bisa ikut acara jalan-jalan ini. Para panitiapun, juga sudah membagikan bangku bagi kami selama didalam bis. Ada deretan yang 2 bangku dan ada deretan yang 3 bangku. Aku sebangku dengan Amel. Bis kamipun berangkat jam 6 pagi. Ada alasan tersendiri, kenapa kami melakukan perjalanan pagi. Agar kami bisa sampai sebelum shalat jum'at dan tak terkena macet, sebagai salah satu alasan bagi kami melakuakan perjalanan pagi. Aku masih ingat. Sebelum berangkat, kami membaca doa terlebih dahulu, agar selama diperjalanan kami selamat. Doa ini dipimpin oleh mamak-nya Fais.


114 Selama perjalananpun, tak ada yang seru. Ada yang asik sendiri, ada yang bercanda dengan temannya, ada yang mabar game online, ada yang main hp, ada yang tidur sambil mendengarkan musik melalui headset dan ada yang mabuk kendaran. Rata-rata temanku yang mabuk kendaran adalah perempuan. Kalau tidak salah waktu itu yang mabuk adalah Felis dan Zahwa. Para panitia panik di saat mereka berdua mabuk. Untung dari Aekkanopan, para panitia sudah membawa obat-obatan untuk antisipasi seperti ini. Kalian tahu. Kenapa setiap bis kebanyakan memutar lagu dangdut? Aku yang mendengarnyapun sampai bosan. Hingga akhirnya para paitiapun mengajak kami karokean, agar tidak bosan. Iya sih karokean, tapi kalau yang diputar lagu Rock...yang nyanyi malah cuman para Rockers doang. Ya sudah, yang penting gak gabut.


115 Akhirnya kamipun sampai di kolam renang sekitar jam 10 pagi. Kami disuruh berkumpul di dalam Parkiran. Aku selalu ingat, disaat kita melakukan sebuah game yang diberikan oleh para panitia. Kalian pasti tahu game rebutan kursikan. Nah, disini saat kelas 6A bermain rebutan kursi, sebagian anak anaknya sudah tersingkirkan. Hanya tersisa aku, Agung dan Edi. Sungguh, disana tersisa aku satusatunya anak perempuan yang belum tersingkirkan. Namun siapa sangka, kalau aku tersingkirkan oleh Edi yang lebih dahulu merebut kursinya. Jam 11-pun kami langsung diberikan makan siang. Tak lama kok. Setelah makan siang, semua anak lakilaki pada shalat jum'at di masjid terdekat dari kolam renang. Sembari menunggu anak laki-laki kembali... para perempuan dibagikan tiket masuk. Bukan hanya itu. Para panitia menyuruh kita untuk merenung tentang jasa-jasa para guru terhadap kami.


116 Tentang para guru yang rela berkorban demi kami agar berhasil. Begitu besar bakti dan jasanya bagi masa depan kami. Hal yang bisa kupikirkan saat itu adalah kenangan tentang Pak Rusli. Sebuah kenangan yang mampu membuatku tak bisa berhenti menangis. Bagiku...beliaulah yang berhasil menciptkan kenangan paling singkat dan begitu indah, hingga menyakitkan. Sudah puas dengan menangis, kami langsung di ajak bernyanyi oleh para panitia. Kalian tahu. Lagu yang dinyanyikan, membuatku merasa kembali pada tahun 90-an. Ya iyalah, orang yang dinyanyiin itu lagu "kemesraan". Aku ingat sekali, yang menyayikan lagu itu adalah mominya Desi. Suaranya ya ampunnnnn, merdu banget. Susana yang awalnya sedih, malah jadi bahagia kembali. Jadi waktu itu, hp mamak-nya Fais hilang. Terus yang dituduh, ada Nada, Akmal dan Melan. Mereka dimarahi habis-habisan. Bahkan, kukira ini benar-benar


117 terjadi. Tas Nada juga sudah digledah. Dan benar saja. Hp mamaknya Fais ada di tasnya Nada. Semuanya panik. Nada menangis, sementara bundanya gak menyangka akan hal itu. Saat sedang panas panasnya...ternyata ini hanyalah sebuah prank, karena ketiga anak itu berulang tahun di bulan Mei. Akmal yang baru datang sambil bawa tas-pun langsung membantingnya. Padahal dia sudah panik, tapi ini semua hanyalah prank belaka. Setelah acara prank itu selesai, kita langsung main tukar kado yang direncanakan dari awal. Kami disuruh mengelilingi kado-kado yang terletak di tengah-tengah lingkaran. Kado yang paling menarik perhatianku adalah kado yang paling besar. Aku bahkan harus berebut kado itu dengan Amel, namun dia kalah cepat dariku. Kertas koran yang membungkus kado itupun hapir sobek semua akibat rebutan dengan Amel. Jadi dia harus mengalah dariku dan memilih kado yang lain lagi.


118 Nah, itulah awal kenangan dari perpisahan kelas 6. Tapi ada satu lagi yang patut di ingat. Yaitu perpisahan kelas 6 disekolah. 2 Bulan kemudian.... Pihak sekolah berencana, akan mengadakan pelepasan untuk anak kelas 6. Kami disuruh melakukan latihan selama 3 hari di sekolah, agar tampil maksimal untuk untuk acara itu. Mulai membuat formasi barisan. Menyanyikan lagu untuk para guru nantinya dan sebagainya. Hari Kamis, tanggal 27 Juni 2016. Tepat hari itu, kami mangadakan pelapasan untuk anak kelas 6. Pihak sekolah menyuruh kami, yang perempuan untuk memggunakan kebaya. Sedangkan yang laki-laki, disuruh menggunakan kemeja putih, dasi dan celana hitam. Kami disuruh berkumpul disekolah jam 7 pagi.


119 Sungguh. Para anak laki-laki telihat tampan saat itu, sedangkan para perempuan tampil dengan sangat cantik. Mereka menggunakan polesan rias diwajah hingga begitu menawan. Bahkan diriku juga pangling dengan tampilan mereka yang sungguh berbeda hari itu. Acara dimulai dari para adik kelas yang menarikan tarian sambutan untuk tamu undangan sekolah. Lalu menerbangkan balon dengan kaitan foto perkumpulan anak-anak kelas 6 serta para guru saat itu. Kelas 6 serta para tamu undangan dipersilahkan duduk ditempat yang sudah disediakan. MC dari acara ini adalah Pak Hombing dan Bu Yuni. Semua susunan acara di tampilkan. Hampir saja lupa. Acara ini juga menyediakan bazar, jadi para tamu yang ingin membeli makan sudah tersedia disana. Kami menyanyikan lagu Himne Guru dan Terima Kasihku. Lagu yang sungguh mengandung sedih itu, menimbulkan tangisan. Ditambah, Nasya yang


120 membacakan puisi lagi dengan nada yang tercekat akibat menangis. Membuat siapa saja ikut merasakan makna dalam setiap ucapannya itu. Tak ayal, para guru yang mendengarnya pun ikut menangis. Ucapan terima kasih bagi mereka adalah suatu hal yang cukup membahagiakan. Mereka terus membimbing kami, hingga berhasil seperti sekarang. Mereka juga tau perjalanan kami selama menjadi murid di sini. Susah senang, pernah mereka rasakan bersama kami. Langkah terakhir dari semua ini, kami disuruh bersalaman pada para guru. Ucap permohonan maaflah yang kami uturakan saat itu. Sambil memberikan sebuah bunga mawar pada mereka, kami juga meneteskan air mata saat berada didepan sosok yang selama ini mengajar dengan penuh keteguhan. Satu persatu guru, sudah kami salami. Kami sudah diperbolehkan untuk pulang karena sudah siang. Tersisa salam perpisahan untuk kedua sahabat yang telah menemaniku selama ini.


121 "Kita jadi gak sering ketemu lagi deh," sesal Wisnu pada kami. "Gak papa kok. Kitakan bisa chatan. Kalo kangen juga bisa ngumpul," ucapku memberi semangat pada Wisnu. "Tapi gw bakal kangen kalian," bulir air mata sudah memasahi pipi Dila. Dia benar-benar membuatku ingin menangis lagi. "Lu jangan nagis nagapa Nu. Bikin gw juga pengen ikutan nagis aja," rengek Nida saat melihat sahabatnya menangis. Kami bertiga berpelukan untuk terakhir kalinya. Pelukan yang akan selalu dirindukan oleh kami. Semua kenangan serta perjalanan yang sudah kami lewati bersama, harus diberhentikan samapi sini saja. Pelukan yang sudah terlepaskan itu, membuatku juga harus melepaskan kesenangan ini. Hari ini, kita bisa berkumpul untuk yang terakhir kalinya. Mungkin esok, kita tak akan bertemu lagi. Tautan tangan yang kini juga


122 terlepas...mengingatkanku akan melepaskan kepergian Azmi untuk terakhir kalinya pada beberapa tahun yang lalu. Bagiku...guru serta sahabat telah mengajarkanku banyak hal. Apa artinya perjuangan serta setia kawan, juga pernah kurasakan. Pahitnya kegagalan serta suatu perpisahan, telah kujalani selama ini. Rizwan, Wisnu, bahkan Azmi sekalipun adalah sahabat terbaikku. Bisakah suatu hari nanti kita bertemu lagi? Bisakah kesenangan ini terulang kembali? Aku tak bisa melepaskan mereka. Sungguh, banyak sekali kenangan yang harus aku lepaskan selama bersama mereka. Deai? Bahkan aku belum sempat meminta maaf padanya sampai hari kelulusan ini. Bertatap mukapun sudah sangat jarang terjadi. Aku melangkah ke luar menuju pintu gerbang. Perjalanan ini adalah bukti dari terakhir kalinya aku bisa melihat gedung sekolah ini.


123 Selamat tinggal sekolah SDN 112298. Sekolah yang selama ini telah menjadi tapakan awal demi masa depanku. Sungguh, aku begitu bangga karena dulu pernah menorehkan prestasi untuk sekolah ini. Selamat tinggal kenangan. Kau sudah mengisi kehidupan yang suram ini dengan begitu banyak warna. Selamat tinggal semuanya. Bertemu Lagi Saat SMP Pagi yang cerah, wajah pun ceria. Mungkin seperti itulah ungkapan yang cocok untuk remaja laki-laki yang satu ini. Namanya Valdo. Dia begitu tampak bersemangat sekali pagi ini. Hari ini adalah hari pertamanya menginjakkan kaki di bangku SMP setelah melaksanakan MOS (Masa Orientasi Siswa) beberapa


124 hari yang lalu. Seragam putih biru itu, kini sudah melekat rapi di tubuhnya. Melihat penampilannya yang sudah tampak rapi di depan cermin besar, barulah dilangkahkannya kaki itu keluar dari kamar dan menginjakkannya menuruni anak tangga satu-persatu. Sesampainya di lantai bawah, Valdo menghentikan sejenak langkahnya dan mengarahkan pandangannya ke arah meja makan. Senyum Valdo mengembang kala mendapati seorang pria yang kira-kira berumur 40 tahunan yang tak kalah rapinya darinya. Kalau dilihat dari tampangnya, sepertinya dia seorang pengusaha yang sukses. Dan di sampingnya, duduk seorang wanita paruh baya yang kira-kira seumuran dengan pria tersebut. Kehadiran Valdo mungkin sudah ditunggu-tunggu sejak tadi. Dengan senyuman yang terus terpancar di bibirnya, Valdo melangkahkan kakinya ke arah meja makan tersebut. Tak lupa, memberi salam kepada kedua orang itu yang tak lain adalah orang tuanya sendiri. Dari sejak kecil, Valdo sudah diajarkan dan dibekali sopan santun


125 oleh orang tuanya. Jadi wajar, jika dia terlihat sopan dan ramah. "Selamat pagi, Yah, Mak!" sapa Valdo kepada kedua orang tersebut sembari mendudukkan bokongnya di sebuah kursi samping ayahnya, sehingga posisinya sekarang berhadapan dengan ibunya. "Selamat pagi, Valdo!" balas wanita paruh baya itu yang tak lain adalah Mamaknya sendiri. Namanya Ratna. "Wah, wah, wah! Valdo keliatannya rapi dan tampan hari ini ya, Mak." Rido, ayah Valdo, menggeleng gelengkan kepalanya. Takjub melihat penampilan putranya saat ini yang tak seperti biasanya. Valdo hanya menanggapinya dengan kekehan khasnya. Cowok itu mengambil roti yang sudah diberi selai di atas meja, lalu dimakannya dengan lahap. Menghiraukan percakapan kedua orang tuanya yang tiada henti memujinya.


126 "Anak siapa lagi dong?" Ratna membanggakan diri sembari menaikturunkan alis. "Anak ayah-lah, anak siapa lagi?" celetuk Rido tak mau kalah dari istrinya. "Ayah sama Mamak ini apa-apaan, sih? Selalu aja begitu, gak bosen apa?" Akhirnya, Valdo angkat bicara juga setelah sempat memilih untuk diam saja. Sepertinya, cowok itu sedikit kesal dengan sikap kedua orang tuanya. Rido terkekeh pelan. "Lagian, mamak kamu tuh, resek banget, Do. Masa enggak mau ngalah dari ayah," adunya pada Valdo yang kemudian melahap roti di depannya. "Apaan sih, Yah," ujar Ratna cemberut. Aduh, mulai lagi nih. Ahh, kabur aja, deh. Valdo memutar bola matanya malas. Lalu meneguk segelas susu yang masih anget dengan sedikit terburu


127 buru, hingga dalam hitungan detik, susu itu habis diteguknya. Setelahnya, Valdo beranjak dari duduknya. "Ya udah, Valdo pamit duluan ya, Yah, Mak," pamit Valdo sembari menyalami tangan kedua orang tuanya. "Valdo, udah selesai sarapanya?" tanya Ratna ketika tangannya disalam oleh Valdo. "Udah, Mak," jawab Valdo singkat. "Mau Mamak buatin bekal?" tawar Ratna menatap Valdo penuh harap. Berharap anak itu tidak menolak tawarannya. Namun sepertinya, ekpetasi tidak sesuai dengan kenyataan. Ucapan dari anak itu membuatnya berdecak sebal. "Gak usah Mak, entar Valdo terlambat lagi," tolak Valdo yang diakhiri dengan kekehan khasnya. Hanya sebuah alasan, tentu. Sebenarnya, dia sedang memburu waktu sekarang. Jam sudah menunjukkan pukul 06.45 menit. Itu artinya, kesempatan Valdo supaya bisa tiba di sekolah tanpa embel-embel


128 'terlambat' hanya berkisar 30 menit saja, karena bel berbunyi pukul 07.15 menit. Tak ingin membuang buang waktu lagi, Valdo berbalik badan dan berlalu dari ruang makan tersebut. Sementara Rido yang melihat wajah masam sang istri karena barusan tawarannya ditolak oleh Valdo, menggerling jahil. "Valdo, mau ayah anterin ke sekolah?" tawar Rido sedikit berteriak karena kini jaraknya dengan Valdo sudah semakin menjauh. Sementara Ratna memutar bola matanya sambil mendengus kesal. Dalam hati, dia berharap agar Valdo tidak menolak tawaran suaminya sama seperti dirinya. "Gak perlu, Yah," teriak Valdo dari ambang pintu. Dia menghampiri sepeda miliknya yang terparkir di samping mobil sang ayah. Valdo naik ke atasnya dan mulai mengayuhnya dengan lincah. Dengan kayuhan sepeda yang lincah tersebut, membuatnya melaju di


129 jalan poros dengan amat sangat cepat. Perlahan-lahan, meninggalkan pekarangan rumahnya. Hingga tak terasa, dia sudah sampai di depan gerbang SMPN 1 KUALUH HULU. Valdi pun mulai memperlambat kayuhannya pada sepeda. Dari kejauhan, tampak Andi, sahabatnya, sudah menunggunya di depan gerbang. Dia pun kembali mempercepat kayuhan sepedanya dan menghampiri Andi. "Pagi, Ndi!" sapanya dengan senyuman yang mengembang di bibirnya. Bukannya membalas sapaan sahabatnya, Anggi malah diam terpaku dan takjub melihat penampilan Valdo hari ini. Mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut Valdo, tak ada yang disisakannya dilihat. "Do, ini ... benaran lo?" tanya Anggi masih tak percaya. Lalu di detik berikutnya, cowok itu berteriak heboh. "Widih, Do, sejak kapan lo bisa secakep ini?


130 "Biasa aja, kali, liatnya!" jawab Valdo santai. Anggi masih dalam sesi keterkagumannya. Sementara Valdo memutar bola matanya malas. Baginya, Anggi dan kedua orang tuanya sama-sama lebay, bahkan mungkin terlalu lebay. Dan Valdo tidak menyukai itu. "Ya udah, masuk yuk!" ajak Valdo acuh yang hanya dibalas dengan anggukan kepala dari Anggi. Kedua remaja lelaki itu pun sama-sama melangkahkan kakinya masuk ke dalam lingkungan sekolah. Berjalan bersisian. Hal pertama yang mereka lihat adalah sekolah yang sudah tampak ramai dipenuhi oleh murid-murid berseragam putih biru sama seperti mereka. Di sana sini dipenuhi dengan kegaduhan murid-murid. Sepanjang koridor sekolah, kedua remaja itu menjadi pusat perhatian murid-murid seangkatan mereka. Semua pasang mata tertuju pada mereka


131 berdua, tanpa berkedip sekalipun. Rupanya, ketampanan yang dipancarkan oleh kedua murid itu telah menyita perhatian murid-murid yang lainnya, terutama para siswi. Dan Anggi, cowok yang terkenal player itu, tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk menabur pesona. Cowok itu berjalan sambil mempertunjukkan berbagai macam gaya yang tentu berhasil membuat cewek-cewek berteriak baper. Sementara Valdo, cowok itu berjalan normal seperti biasanya saja. "Sumpah! Gue gak nyangka, baru pertama masuk sekolah udah diliatin kayak gini," celetuk Anggi seraya tersenyum sumringah melihat sekitarnya yang terus memperhatikan keduanya. "Dih, biasa aja kali." Valdo mencibir kesal. Sejujurnya, dia risih dengan keadaan seperti ini. Dia tidak suka menjadi bahan perhatian.


132 Brukkk! Sial! Eci yang baru saja hendak melangkahkan kakinya keluar dari kelas bersama Qori, sahabatnya, malah menabrak tubuh seseorang, sehingga membuatnya terjungkal ke belakang dan tersungkur di lantai kelas. "Aduhhh!" ringisnya ketika merasakan pergelangan tangannya yang terasa sakit karena menjadi penahan bobot tubuhnya. "Astaga, Eci! Kamu enggak kenapa-napa, kan?!" Qori menghampirinya dan membantunya berdiri. "Enggak kenapa-napa gimana, sakit ini...!!!" tukas Eci sewot sambil membersihkan debu rok birunya. yang ada di rok birunya. "Punya mata enggak, sih?! Kalau punya, pake! Jalan tuh, liat-liat!"


133 Ucapan sarkas yang terlontar dari bibir seorang cowok yang berdiri di depannya membuat Eci mengangkat wajah. Eci pastikan, cowok itu yang menabraknya. Dahinya mengerut dengan ucapan sarkas dari cowok itu. Apa maksudnya berkata seperti itu? Awalnya, Eci tampak biasa-biasa saja. Namun, ketika netranya bersitatap langsung dengan netra cowok itu, bola matanya membulat kaget. "Elo?!" ucap keduanya bersamaan. Eci dapat menangkap raut keterkejutan dari cowok itu juga, sama seperti dirinya. "Ngapain lo di sini?" tanya Eci sarkas. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Dagu diangkat tinggi-tinggi, menatap angkuh cowok yang ada di hadapannya. Cowok itu melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukan Eci. "Suka-suka gue-lah. Ini, kan, sekolah gue juga," sahut Valdo enteng.


134 Sementara Qori dan Anggi mengerutkan dahinya tidak mengerti dengan arah pembicaraan dua orang ini. Mereka menatap Valdo dan Eci secara bergantian. Cukup mereka menjadi penonton setia saja. Hingga tibatiba, Anggi menyeletuk. "Kok, ada bau-bau permusuhan, ya!" ucap Anggi sambil mendengus-ngendus layaknya kucing yang mencium bau ikan asin. Membuat Valdo dan Eci memutar bola matanya. Tiba-tiba, tatapan Eci berubah garang pada cowok itu. Sudah dua kali cowok itu menabraknya, pertama kali ketika hari pertama MOS. Waktu itu, dia tidak mau meminta maaf padanya, padahal jelas-jelas cowok itu yang datang menabraknya. Apa kali ini kejadian itu akan terulang kembali? Tidak, tidak, tidak!


135 Eci menggeleng-gelengkan kepalanya. Hal itu tidak boleh tidak terjadi lagi. Anggap saja, kemarin itu toleransi darinya. Tapi kali ini, cowok itu harus meminta maaf dengan berlutut di kakinya. Harus! "Karena lo udah nabrak gue, jadi..." Eci sengaja menggantungkan ucapannya, membuat cowok itu menatapnya dengan satu alis yang terangkat ke atas. "Jadi?" Eci tersenyum miring, baru melanjutkan kata katanya tadi. "Lo minta maaf sama gue dengan cara berlutut di kaki gue. Paham?!" katanya dengan penuh penekanan di setiap kata yang diucapkannya. "Hah?" Kedua bola mata Valdo nyaris keluar dengan mulut yang terbuka lebar, seolah terkejut dengan ucapan cewek itu. Namun di detik berikutnya, cowok itu meledakkan tawanya hingga menggelegar di ruangan kelas tersebut. Anggi yang berdiri di sampingnya


136 tertawa terbahakbahak, padahal aslinya tidak tahu apa alasan dan penyebab dibalik tawa Valdo. Ikut-ikutan saja. "Napa ketawa-tawa? Lo kira, lucu?!" tanya Eci galak. "Enggak, sama sekali," ucapnya lagi, menjawab pertanyaannya sendiri. Tawa Valdo mereda, tetapi Anggi belum juga. Cowok itu malah semakin terbahak, bahkan dia sampai memegangi perutnya yang sudah mulai terasa sakit akibat tertawa terlalu lama. Valdo melirik ke sampingnya, lalu menjitak kepala cowok itu dengan keras. "UDAH, GOBLOK!" ucap Valdo dan Qori secara berbarengan. Semuanya seketika terdiam. Anggi melirik Valdo dengan tatapan yang sulit diartikan, begitu pun dengan Eci yang juga melirik Qori. Membuat Valdo ataupun


137 Qori sama-sama heran dan lagi-lagi kompak berkata, "kenapa?". Keduanya saling bertatapan dan melempar pandangan satu sama lain. Keduanya langsung tersadar. Baik Eci ataupun Anggi, sama-sama memalingkan wajahnya ke samping. "Kompak banget, yaelah?" tanya Eci. "Jodoh kali, ya!" celetuk Anggi asal, dan bodohnya malah dibalas dengan anggukan ragu-ragu dari Eci. "Mungkin." "Lo berdua aneh banget, deh!" gumam Valdo pelan. Merasa keadaannya yang malah menjadi akward membuat Valdo malah memilih untuk pergi bersama Anggi. "Nggi, cabut yok!" ajaknya. "Yok!" Anggi mengangguki. Sebelum benar-benar pergi, sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas, Valdo sempat


138 membisikkan sesuatu kepada Eci ketika tepat berada di samping cewek itu. "Jangan pikir gue mau nurutin permintaan konyol lo itu! Mimpi!" Dia menyeringai ketika melihat sekilas bagaimana wajah marah yang ditampilkan cewek itu setelah membisikkannya. Sementara Eci mengepalkan kedua tangannya di bawah sana. Matanya menyorot tajam lurus ke depan. Cowok itu berhasil membuat emosinya kembali tersulut. "VALDO AWAS YA, LO!!!!!! Sekelas Saat SMP Setelah pelaksanaan upacara bendera yang berlangsung kira-kira sejam ini, semua murid bubar dari lapangan dan berlarian masuk ke dalam kelas masing masing. Berbeda dengan dua murid perempuan ini, Eci dan Qori. Kedua gadis itu malah berlari ke arah toilet. Maafkan saja,


139 pasalnya sudah sedari tadi keduanya menahan air kecil yang harus dibuang. Setelah membuang air kecil, kedua gadis itu pun keluar dari bilik yang dipakainya masing-masing dan berjalan beriringan melewati koridor yang cukup panjang. Maklumi saja, kelasnya yang paling ujung dikarenakan duduk di kelas 7-5. Tak banyak perbincangan yang terdengar di antara keduanya selama perjalanan. Hingga tiba-tiba, seorang perempuan yang sedang lari terburu-buru ke arah toilet tak sengaja menabrak punggung Qori. "Woy, kalo jalan jangan bersisian dong! Udah liat, koridor sempit. Untung aja masih gue tabrak," omel perempuan itu sambil mendorong-dorong bahu Qori yang barusan ditabraknya. Eci yakin, perempuan ini kakak kelasnya. "Wehhh, santai aja dong, Kak. Jangan main kasar gitu, dong!" Eci yang tak terima sahabatnya diperlakukan seperti itu, membalasnya pula dengan hal yang sama mendorong bahu perempuan itu.


140 Perempuan itu mendelik tajam kepada Eci. "Gue gak ada urusan sama lo, ya! Jadi, gak usah ikut campur!" katanya sambil menunjuk-nunjuk Eci, "awas, lo!" Setelah berkata demikian, perempuan itu melanjutkan langkah kakinya ke arah toilet. Meninggalkan Eci yang kini sedang menyumpah serapahinya. "Woy, main pergi aja, lo! Lagian, jadi kakak kelas songong banget, sih!" cibir Eci menggebu-gebu. "Udah, Eci. Yuk, jalan lagi!" Qori mengusap lembut bahunya, mencoba menenangkan gadis itu dari emosinya. Sedikit mendorong tubuh Eci agar lanjut berjalan ke depan. Tapi berat tubuh gadis itu yang melebihi beras sekarung, alhasil tetap berada di posisinya. Malah, Qori yang terdorong ke belakang. "Tapi, Syah... Dia itu-" Eci hendak melayangkan protesnya, tetapi Qori sudah lebih dulu menyela ucapannya.


141 "Udah, lupain aja!" sela Qori seraya menatap Eci dengan tatapan penuh keyakinan. Eci menatapnya dongkol. Lalu cewek itu menghembuskan napas panjang dengan bibir yang mengerucut kesal. "Yok!" Dengan langkah ogah-ogahan sambil menghentak hentakkan kaki ke lantai, Eci melenggang pergi dari tempat itu bersama Qori. Emosinya belum sepenuhnya tersalurkan dan Eci masih butuh tempat pelampiasan. Sementara Qori menggeleng gelengkan kepalanya sambil terkikik geli melihat raut wajah lucu yang ditampilkan Eci. Kedua murid perempuan yang masih menyandang status murid baru itu pun melangkahkan kakinya berlalu dari sana.


142 "Oh ya, btw kita sekelas sama siapa aja, ya, nanti?" tanya Eci sambil menatap Qori yang kini sedang berjalan di sampingnya. "Ada cogan gak, ya?!" sambungnya dengan mata yang berbinar. "Eci, Eci!" Qori hanya menanggapi ucapan Eci dengan gelengan kepala sambil menyunggingkan senyuman tipisnya. Dia rasa temannya ini sedang berlelucon. "Emang salah? Enggak, kan?" Eci menatap Qori bingung. Pasalnya, cewek itu. selalu tampak biasa-biasa saja setiap dia membahas cogan. Ya, maklumi saja! Qori hanya anak rumahan. yang polos. Bisa dibilang, Qori kurang pergaulan, bahkan cewek itu hanya punya satu teman yang tak lain adalah Eci sendiri. Mungkin, karena hal itu sifat pendiam dan kalem cewek itu terbentuk. Berbeda sekali dengan Eci yang bawelnya minta ampun, juga aktif di semua aplikasi media sosial.


143 "Serah lo, deh!" ucap Qori datar. Ucapannya terdengar seakan pasrah dan tidak mau tahu dengan topik pembicaraan sahabatnya. Kedua gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Riuhnya suasana kelas langsung masuk ke dalam indera pendengaran keduanya. Awalnya tampak biasa biasa saja, apalagi ketika beberapa murid laki-laki yang dengan terang-terangan memuji dirinya cantik. Tentu, hal itu membuat Eci tersipu malu bukan main, sedangkan Qori bersikap biasa-biasa saja. Namun, ketika matanya tak sengaja bertatapan dengan seseorang yang duduk di bangku kedua dari depan barisan kiri, tepatnya bangku yang ada di belakang tempat duduknya bersama Qori, membuat mata gadis itu membulat kaget. Ngapain lagi cowok resek itu di sini? Jangan bilang, mereka sekelas?! No, no, no! Itu enggak mungkin.


144 Dengan emosi yang kembali memuncak, Eci menghampiri murid laki-laki yang duduk di bangku belakangnya itu. "Ngapain lo di sini?!" tanya Eci songong. "Yaelah, Neng! Datang-datang, kok, langsung marah marah, santuy dong!" celetuk sebuah suara, tepatnya dari itu. seorang cowok yang duduk di samping cowok resek Eci memutarkan bola matanya sambil berkata ketus, "Lo diam, ya! Gue gak ada urusan sama lo!" "Dan satu lagi, jangan panggil gue Neng. Nama gue Eci, bukan Neneng atau apalah itu semacamnya!" peringatnya pada Anggi lalu beralih menatap cowok resek itu. "Astajim, Neng. Kamu berdosa banget," dramatis cowok itu sambil memegangi dada sebelah kirinya seolah dia orang tersakiti. Kayak di film-film indosiar, gitu!


145 Eci menghiraukannya. Fokus cewek itu hanya pada cowok resek itu. "Jangan bilang, kita sekelas?!" tanyanya dengan mata memicing menatap cowok itu. Cowok itu memutarkan bola matanya jengah. Kemudian dengan berpura-pura, membuka satu persatu halaman buku dan mulai membacanya yang entah sejak kapan sudah berada di mejanya. Seolah acuh dengan kedatangan dan pertanyaan dari cewek itu. Eci yang merasa dikacangi sama cowok itu menggeram kesal. Salah satu hal yang paling dibenci Eci dalam hidupnya adalah dikacangi seseorang. Katanya kalau dikacangi, kayak enggak dihargai, tau! Kemudian dengan berani, Eci merebut buku itu dari tangan cowok itu dengan paksa. Tentu hal itu membuat cowok itu menggeram tertahan. "Kalau ada yang nanya tuh dijawab, jangan malah dikacangin. Lo tau kan, dikacangin itu enggak enak? So, jawab pertanyaan gue!" omel Eci.


146 Valdo memejamkan matanya guna mengontrol emosi yang hampir saja meledak-ledak. Kudu ekstra sabar buat menghadapi cewek kayak Eci yang keras kepalanya minta ampun banget. Lalu mengangkat wajah dan menatap cewek itu dengan dahi yang mengerut dalam. "Penting banget, buat lo tau?" tanyanya dengan satu alis terangkat ke atas. Skakmat. Eci terdiam beberapa saat. Oh, ralat! Bukan terdiam, tetapi dengan mulut yang terbuka terbata-batatidak tahu mau menjawab apa. Cowok itu benar-benar berhasil membuatnya tak berkutik. Tetapi sebisa mungkin, cewek itu menetralkan kembali raut wajahnya. "Ya... Ya haruslah!" jawab Eci nyolot. "Apa faedah-nya buat lo?!" Eci kembali bungkam. Kenapa cowok itu selalu benar?


147 "Kalau gue bilang iya, emang kenapa?" Seketika kedua bola mata Eci melebar mendengar pertanyaan cowok itu yang malah terdengar seperti sebuah pernyataan. "Ja-jadi, lo... kita ..." "Ya, kita sekelas!" Double shit! Percakapan di antara keduanya kemudian terputus dengan kedatangan seorang guru perempuan yang masuk ke dalam ruang kelas mereka. Eci langsung beranjak menuju ke tempat duduknya. Sementara Valdo tampak memperbaiki posisi duduknya. Dilihat dari tampangnya, dapat disimpulkan bahwa guru itu adalah wali kelas mereka. Senyum cerah yang terus terpancar di bibirnya seperti virus yang menyebar ke semua murid-murid yang a ada dalam tersebut. ruangan kelas


148 "Selamat pagi, anak-anak!" sapanya dengan ramah ketika sudah berdiri tepat di depan kelas. Dengan antusias, semua murid menjawab, "Selamat pagi, Bu!" Bu Netti, salah satu guru Bahasa Indonesia di SMPN 1 KUALUH HULU, tersenyum tipis melihat reaksi yang diberikan anak walinya. Ya, guru muda itu ditugaskan dan ditempatkan oleh Bapak Kepala Sekolah untuk menjadi wali murid kelas 7-5 selama satu tahun ajaran ke depan. "Oke, anak-anak berhubung hari ini hari pertama pembukaan tahun ajaran baru, jadi untuk beberapa hari ke depan proses belajar mengajar sepertinya tidak akan dilaksanakan dengan aktif," ucap Bu Netti panjang lebar. "Nah, karena kita juga belum saling kenal ... maka di hari pertama ini, kita habiskan dulu dengan sesi perkenalan. Oh ya, nama ibu sendiri Netti


149 Simangunsong, panggil Bu Netti aja. Paham?!" "Paham!" jawab murid kelas 7-5 serentak. Kemudian, satu persatu murid-murid maju ke depan dan memperkenalkan diri mereka masing-masing. Perkenalan dimulai dari bangku depan barisan ujung kiri. Yang mana, artinya jatuh pada Qori. Qori maju ke depan dan memperkenalkan dirinya, lalu disusul oleh Eci. Begitu terus sampai perkenalan selesai. Jam pertama itu pun hanya dihabiskan dengan sesi perkenalan saja. Pemilihan Ketua Kelas Saat SMP Valdo kembali berangkat sekolah lebih awal pagi ini. Dia tampak bersemangat seperti hari-hari biasanya. Cowok itu menikmati semilir angin yang menerpa-nerpa


150 wajahnya di pagi buta ini sambil terus mengayuh sepeda melintasi jalan raya yang belum kena macet. Sejuknya udara pagi sepertinya telah membuat Valdo ketagihan untuk berangkat lebih awal ke sekolah. Ngomongngomong soal sekolah, dia sudah resmi menjadi seorang siswa di SMPN 1 KUALUH HULU selama tiga hari kemarin dan hari ini adalah hari keempatnya. Enggak kerasa juga, ya? Kata Bu Netti kemarin, hari ini akan diadakan pemilihan organisasi kelas 7-5. Organisasi kelas yang dimaksud, yakni pemilihan ketua kelas beserta wakilnya, sekretaris beserta wakilnya, dan yang terakhir, bendahara, orang yang bertugas mengumpulkan dana kelas. Valdo berharap semoga di pemilihan kali ini, dia tidak terpilih atau pun dicalonkan sama teman-temannya untuk menjadi ketua kelas. Cukup sudah dirinya menjabat sebagai ketua kelas terakhir saat kelas 6 SD dulu. Valdo tak ingin hidupnya terus dikekang dengan peraturan. Valdo hanya ingin hidup normal selayaknya remaja lain pada umumnya. Oke, itu aja!


Click to View FlipBook Version