151 Tak terasa, cowok itu sudah sampai di depan gerbang sekolah. Dia pun segera mengayuh sepedanya lebih kencang lagi, sehingga membuatnya melaju begitu cepat masuk ke dalam area sekolah. Sekolah masih kelihatan sepi, hanya ada beberapa murid yang berlalu lalang di koridor sekolah. Itu yang tampak di indera penglihatan Valdo saat memasuki area sekolah ini. Valdo menghentikan kayuhan sepedanya tepat di parkiran sekolah. Bertepatan dengan berhentinya berputar roda sepeda, dari arah samping sebuah roda sepeda lain datang menabrak roda sepedanya. Meski hanya, sedikit. "Eh?!" pekik keduanya pelan tanpa sadar. Valdo mendongak dan mendapati wajah yang sudah tak asing lagi di penglihatannya selama empat hari belakangan ini. Kedua manik matanya saling bertatapan dengan manik mata gadis yang datang menabrak sepedanya itu. Senyumnya mengembang begitu saja
152 kala menyadari bahwa gadis itu juga ternyata sedang menatapnya sambil tersenyum manis. Ada sedikit rasa malu-malu kucing yang tiba-tiba terbesit di benaknya dan seperti sesuatu menggelikan sedang menggelitik perutnya. Penampilan gadis itu sekarang berbeda dengan penampilannya tiga hari kemarin. Rambut yang biasanya dikuncir, kini sengaja dijuntai ke bawah. Sehingga, rambut sebahu milik gadis itu ditambah sedikit poni menambah aura kecantikannya kala angin datang dan mengibas-ibaskannya. Hingga acara tatap-tatapan itu berakhir begitu saja dengan kedatangan si manusia tengil, sang perusak suasana. Siapalagi kalau bukan Anggi, lalu disusul oleh cewek bawel itu di belakangnya. "Woy, ada apaan nih? Kok, tatap-tatapan gitu?!" Anggi datang mengacaukan suasana dengan masuk dan memberhentikan sepedanya di tengah-tengah Valdi
153 dan Qori. Kedua alisnya yang bertautan menatap bingung dua orang itu. Valdo dan Qori tentu saja terlonjak kaget dan langsung mengalihkan tatapannya masing-masing ke arah samping. Malu. Eci yang berada di paling belakang memutar bola matanya. " Yaelah, Anggi. Palingan juga sekarang lagi jatuh cinta. Ganggu aja, deh," celetuknya asal yang malah terdengar seperti sebuah cibiran di gendang telinga Rendi. Anggi terkekeh, lalu manggut-manggut mengiyakan ucapan Eci barusan. "Iya juga, ya!" Karena hal itu, Eci langsung mendapat delikan tajam dari Valdo. Cowok itu seolah tidak suka dengan cara bicaranya. Kedua tangannya terkepal erat di bawah sana. "Apa, liatin gue kayak gitu?! Mau marah?" timpal Eci galak ketika melihat Valdo menatapnya seperti itu.
154 Lantas, Valdo menggelengkan kepala. "Enggak," elaknya dengan wajah polos. Eci menggerlingkan matanya kesal, lalu turun dari sepedanya dan menghampiri Qori. "Qori, cabut yok!" ajaknya yang langsung diangguki oleh Qori. "Di sini, banyak yang enggak jelas. Kalau berlamalama di sini, bisa-bisa kita makin enggak jelas juga. Ya, kan?!" ucapnya lagi yang terdengar seperti sebuah sindiran. "Bukannya, lo emang enggak jelas?!" Valdo yang asal menyeletuk, langsung mendapat delikan tajam dari Eci dan dengusan kesalnya. Apa-apaan maksud cowok itu? Jadi menurut dia, gue selama ini enggak jelas?! Wah, benar-benar parah, tuh cowok! "Do, maaf ya, gue gak sengaja tadi!" ucap Qori pada Valdo dengan wajah penuh permintaan maafnya sebelum gadis itu benar-benar pergi.
155 Valdo yang tadinya hanya menampilkan wajah datar saja, perlahan-lahan menyunggingkan senyuman manisnya untuk menanggapi permintaan maaf cewek itu. "No problem!" ujarnya. Mendapat kata maaf dari cowok itu tentu Qori tersenyum senang bukan main. Dengan wajah yang berbunga-bunga, cewek itu berujar, "makasih!" Eci mendengus kesal melihatnya. "Apa-apaan sih, Qori! Pake minta maaf lagi sama tuh cowok. Kalau gue, sih, OGAH!" tukas Eci yang dengan terang-terangan mencibir Valdi. Di depan cowok itu pula. Sungguh tidak ada takut-takutnya. "Yuk, Qori!" Dia menarik pergelangan tangan Qori agar menjauh dari tempat itu. Mau tak mau, Qori mengikutinya dari belakang karena ditarik. Cewek itu hanya pasrah saja, mengikuti kemana saja Eci membawanya.
156 Kedua gadis itu pun berlalu dari parkiran, meninggalkan Anggi dan Valdo yang masih mematung di sana. Jika Anggi yang terus-menerus memperhatikan kedua gadis itu yang semakin menjauh dari pandangan mereka, maka berbeda lagi dengan Valdo yang hanya diam. Tatapannya kosong lurus ke depan. Wajahnya kembali menjadi datar. Setelah kedua gadis itu menghilang di perbelokan koridor sana, barulah Anggi mengalihkan pandangannya ke arah Valdo. Dia menatap bingung Valdo yang hanya diam mematung. "Woy, Do! Melamun mulu," cibirnya meneriaki cowok itu yang tentu berhasil membuat Valdo tersadar dari lamunannya. Valdo hanya menatap Anggi sekilas, lalu beranjak turun dari sepedanya. Memarkirkan sepeda tersebut dengan baik dan benar di tempat parkiran yang masih kosong. Namun, pergerakan cowok itu langsung terhenti dengan pertanyaan Anggi selanjutnya.
157 "Bener, yang diucapkan Eci tadi?!" tanya Anggi memastikan yang langsung mendapat tatapan bingung dari Valdo. Sekan mengerti tatapan yang dilayangkan Valdo terhadapnya, Anggi pun melanjutkan perkataannya. "Lo suka sama Qori ?" Awalnya, Valdo tampak melongoh tidak percaya dengan pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya itu. Ada-ada saja! Namun, Valdo kembali berekspresi datar. Cowok itu membalikkan badannya dan melangkah menjauh dari parkiran sekolah. Anggi yang tertinggal sendirian di parkiran melongoh dengan mulut yang terbuka lebar. "Lo, kok gue..." Anggi melayangkan pandangannya ke sekeliling dan mendapati bahwa tinggal dirinya lah yang masih ada di sana. Langsung saja cowok itu berlari mengejar Valdo yang kini sudah hampir menghilang di perbelokan koridor.
158 "Lo, Do, kok gue ditinggal? Tungguin, atuh!" teriaknya yang sama sekali tidak digubris oleh cowok itu. Valdo terus melangkahkan kakinya hingga langkahnya terhenti di sebuah depan pintu ruangan kelas. Valdo masuk ke dalam dan mendapati suasana kelas yang masih sepi. Hanya beberapa murid yang ada di dalam termasuk dua orang gadis yang duduk di depan bangku mereka. Hal pertama yang Valdo dapat ketika masuk ke dalam kelas tersebut adalah tatapan sinis dari Eci. Dia hanya membalasnya dengan menampilkan wajah datar andalannya. Dia berjalan melangkah ke bangkunya menghiraukan tatapan Eci dan menghempaskan bokongnya begitu saja ke bangku. Tak lama, Anggi datang menyusulnya dengan napas ngos-ngosan dan wajah yang dibanjiri keringat. Lah, gitu aja kok keringatan? Padahal nih ya, jarak ruangan kelasnya dengan parkiran tadi enggak jauh-jauh amat! Heran Valdo dalam hatinya.
159 "Gue dengar hari ini, sehabis istirahat kedua ada pemilihan organisasi kelas, ya?" tanya seorang murid perempuan pada kedua temannya. Murid bernama Chaca itu, teman sekelas Eci sendiri, duduk di samping Eci dan Qori. Meski mereka bicara begitu pelan, tetapi Eci ataupun Qori pasti masih bisa mendengar percakapan mereka walau terdengar samar. Eci yang baru saja menyendokkan satu sendok bakso ke dalam mulutnya, langsung mengalihkan fokusnya pada tiga orang murid yang juga sedang makan di samping meja mereka. Dia memasang telinganya baik-baik, mencoba menguping pembicaraan ketiga murid itu. Sepertinya, topik pembicaraan mereka berhasil membuat Eci tertarik. Sementara Qori yang duduk di sebelahnya hanya fokus pada soto yang sedang dilahapnya sekarang. Perut gadis itu sudah tidak bisa diajak berkompromi lagi. Baru jam pertama pelajaran tadi, bunyinya sudah berbunyi meminta makanan.
160 Ya, betul! Kini, kedua gadis itu sedang berada di kantin sekolah sekarang. Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu. Bersamaan dengan bunyinya bel, kedua gadis itu pun langsung berlarian keluar kelas menuju kantin. Dan, di sinilah mereka sekarang, duduk di antara ribuan manusia berseragam baju batik SMPN 1 KUALUH HULU yang di-colaborasi dengan celana/rok biru. Tak lama, murid lain berambut keriting yang duduk di samping kiri Chaca angkat bicara. "Iya, betul! Bu Netti sendiri yang bilang kemarin," celetuknya. Kalau enggak salah, gadis si pemilik rambut keriting itu bernama Ira. Murid yang satunya lagi mengangguki penuturan Ira barusan. Namanya, Elvi. Kedua gadis itu-Ira dan Elvi -teman baik Chaca. "Iya, gue juga dengar kemarin Bu Netti ngomong gitu."
161 Kedua bola mata Chaca membulat dengan raut wajah yang berbinar. "Kira-kira, siapa ya, yang cocok jadi calon ketua kelas kita?! Siapa tau aja, kita bisa usulin ke Bu Netti. lya, kan?" tanya gadis itu lagi pada kedua temannya. Ira dan Elvi tampak sedang berpikir. Eci semakin menajamkan pendengarannya dengan sesekali melirik ketiga gadis itu lewat ekor matanya. Bahkan, saking seriusnya gadis itu menguping, bakso yang ada dalam mulutnya belum ditelan juga. Oh, ralat, belum dikunyah! Lalu, tak lama, kedua gadis itu berucap. Masingmasing mengeluarkan pendapatnya tentang siapa yang cocok menjadi ketua kelas mereka. Elvi duluan yang menyeletuk. "Kalau gue sih, cocoknya Valdo yang jadi ketua kelas. Terus sekretarisnya gitu, kayaknya... Qori deh!" Begitu pendapatnya.
162 Sontak, kedua bola mata Eci membulat saat itu juga. Apalagi ketika mendengar nama Valdo disebut-sebut sebagai salah satu calon ketua kelas. What? Eci enggak salah dengar, kan?! Yakali cowok itu, apa bagus-bagusnya coba jadi ketua kelas? Songong, iya! Mending, gua aja. Tetapi Eci belum bereaksi juga saat itu. Belum mengeluarkan protesannya yang sepanjang jalan kenangan. Cewek itu masih setia mendengarkan obrolan mereka, akan reaksi apa yang akan ditunjukkan Ira selanjutnya. "Iya, gue juga gitu." Ira mengangguki. "Soalnya nih ya, gue liat-liat, Valdo sama Qori itu cocok banget. Sama sama pinter lagi!" katanya dengan terang-terangan memuji dua orang itu. Sesekali menatap kagum Qori bergantian dengan Valdo yang duduk bersama Anggi di bangku depan mereka.
163 "Fiks, jadi nanti Valdo yang ketua kelasnya, terus Qori sekretarisnya. Ihh, so sweat banget, sih!" kata Chaca diakhiri dengan pekikan girangannya. Rasanya, Eci ingin mual saat itu juga. Memuntahkan semua makanan yang ada dalam perutnya. Pendapat ketiga murid itu yang sepakat akan menjadikan Valdo sebagai ketua kelasnya membuat Eci muak. Apanya yang bisa diandalkan dari cowok yang bertanggung jawab seperti Valdo? tidak Yang ada, kelas nantinya malah tambah kacau, berantakan dan tidak terawat. Murid-muridnya juga pasti nakal-nakal semua. Eci yang baru membayangkannya saja sudah bergidik ngeri, bagaimana kalau hal itu sampai kejadian benaran? Eci menggelengkan kepalanya. Tidak, tidak boleh! Kemudian, dengan emosi yang memuncak, Eci bangkit dari duduknya dan menggebrak meja. Membuat semua murid yang ada di kantin saat itu, mengalihkan pandangannya ke arah Eci. Mereka menatap Eci
164 bingung. Banyak yang bertanya-tanya pelan, "ada apa?" dan yang lainnya hanya membalas pertanyaan temannya dengan mengedikkan bahu tak tahu. Qori yang duduk di samping Eci, terkejut bukan main. Gadis itu langsung menghentikan kegiatan makannya dan beralih menatap Eci yang kini tampak emosi. Eci kenapa lagi? Apalagi yang akan dia perbuat? "HEH, MAKSUD LO BERTIGA MAU AJUIN VALDO JADI CALON KETUA KELAS, APA?! HAH?!" tuding Eci sambil menunjuk-nunjuk ketiga gadis itu. Valdo yang baru saja menyendokkan suapan terakhir nasi goreng ke dalam mulutnya, mendongakkan kepala kala seseorang menyebut-nyebut namanya. Awalnya, dia bersikap biasa-biasa saja ketika semuanya kaget Eci menggebrak meja. Pikirnya, gadis itu mungkin kesurupan lagi. Dan satu lagi, untuk apa juga ia memperhatikan gadis itu? Unfaedah banget!
165 "Cuih, apa cocok-cocoknya coba, cowok itu dijadiin calon ketua kelas?! Yang ada kelas malah tambah ribut nantinya. Orangnya, kan, bukan tipe orang yang bertanggung jawab!" dengus Eci. Dengan sengaja meninggikan suara saat dua kalimat terakhir. Tujuannya untuk menyindir Valdo. "Mending juga gue!" ujarnya lagi dengan percaya dirinya. Eci melirik Valdo sekilas dengan kedua tangan bersedekap dada. Melihat wajah merah padam cowok itu membuatnya tersenyum penuh kemenangan dan semakin semangat untuk memanasmanasinya. "Apa-apaan sih, lo, Eci ! Ya, suka-suka kita dong. Yang pilih juga kita, bukan cuman lo doang!" sanggah Chaca menatap Eci heran. "Iya, lagian kenapa, sih, lo kok segitu bencinya sama Valdo?" tambah Ira.
166 "Eh! Lo, lo pade diam ya, berisik tau enggak!" bentak Eci sambil menunjuk ketiga gadis itu. Ketiga murid itu mendengus kesal, lalu bungkam. Mereka memilih untuk mengalah. Ya, lebih baik mereka mengalah atau adu mulut ini tidak akan pernah berakhir berhubung Eci orangnya cerewet. Tak tahan lagi dengan semua perkataan omong kosong Eci, Valdo bangkit dari duduknya dan ikutan menggebrak meja. Kini, semua pasang mata beralih menatap cowok itu dengan bingung. Banyak yang bertanya-tanya, ada apa lagi ini? Wajah cowok itu merah padam dengan rahang kokoh yang mengeras. Mata elang miliknya menatap Eci begitu tajam, tapi itu tentu tak membuat Eci menciut sedikit pun. Kemudian dengan emosi yang memuncak, ia menghampiri meja gadis itu dan mendekatinya. "Maksud lo apa ngomong kayak tadi?" tanya Valdo ketus dan terdengar tajam.
167 Bukannya takut, Eci malah bertepuk tangan sambil bersorak heboh. "WAH, WAH, WOW!!!KAYAKNYA ADA YANG PANAS, NIH. SIAPA, YA?!" teriaknya yang sesekali melirik Rendi sekilas seolah menyindir cowok itu "HAREDANG, HAREDANG, HAREDANG... PANAS, PANAS, PANAS..." Kemudian, cewek itu bernyanyi yang langsung diikuti oleh semua penghuni kantin. Suasana kantin pun berubah menjadi riuh, semuanya ikutan bernyanyi bahkan ada yang sampai naik ke atas meja dan berjoget. "DIAM!!!" teriak Valdo yang sudah geram dengan semuanya. Alhasil, suasana pun kembali berubah menjadi hening. Semuanya menciut kala Valdo berteriak menyerupai raungan seekor harimau yang sedang kelaparan.
168 Dada Valdo bergerumuh hebat dengan napas tidak beraturan. Menatap benci sosok perempuan yang berdiri songong di hadapannya. Tentu saja dia tahu sindiran itu ditujukan kepada siapa. Siapa lagi kalau bukan dirinya? Sialan! Memangnya, dia pernah bilang atau menghasut teman temannya untuk menjadikannya sebagai ketua kelas?! Enggak, kan? Jadi apa maksud cewek itu menyindirnya? Lagian dia juga enggak gila ketua kelas, tuh! "Maksud lo, apa?" tanyanya lagi sembari menatap Eci dengan dagu yang diangkat tinggi-tinggi. "Maksud gue ...?" Eci tertawa sumbang membalas menatap remeh cowok itu. Lalu kembali berucap, "Lo itu enggak pantes jadi ketua kelas. Karena apa? Lo itu orangnya enggak bertanggung jawab. Kayaknya, lebih mending gue, deh!"
169 Rahang Valdo mengeras mendengar penghinaan dari cewek itu. Namun pada akhirnya, dia memilih mengalah. Sepertinya, sekarang bukan waktu yang tepat untuk berdebat dengan cewek tolol seperti Eci. "Ya udah, lo aja. Lagian gue juga gak butuh." "Ya, bagus dong!" celetuk Eci senang karena berhasil membuat cowok itu marah sehingga dia tidak mau jadi ketua kelas. Dia semakin mengembangkan senyuman penuh kemenangannya ketika cowok itu berbalik badan dan berlalu dari tempat itu. Namun rupanya, kesenangan Eci tidak bertahan cukup lama. Karena, melihat Eci pergi dan tidak ingin menjadi calon ketua kelas, tentu hal itu membuat Chaca dan kedua temannya kesal. Ketiga cewek itu mempermalukan Eci di depan umum. Berakhir, Eci ditertawai satu kantin. Berbagai macam cibiran diterimanya. Dia kena batunya.
170 "Eci, lo tuh apa-apaan, sih?! Lo liat, kan, Valdo-nya jadi pergi!" murka Chaca. Eci mengerutkan keningnya. "Lah, kok gue yang disalahin, sih?" tanyanya bingung seolah tak paham dimana letak kesalahannya. "Gara-gara lo, Valdo enggak mau jadi ketua kelas tau?!" Ira ikutan mencibir. "Kan, masih ada gue!" "Mimpi lo!" "Uhhhhhh!" Ketika semua orang menertawakan Eci, berbeda dengan Qori. Gadis itu menghela napas kasar sambil geleng-geleng kepala. Dia pikir kejadian ini adalah pelajaran yang cocok buat Eci ke depannya agar tidak terlalu sombong. Dia juga berharap semoga dengan kejadian ini, Eci perlahan berubah. Amin!
171 "Dari jumlah voting terbanyak, maka ibu putuskan ... yang menjadi ketua kelas, Valdo dan wakilnya adalah Dani. Adapun sekretarisnya adalah Qori dan bendaharanya adalah Indah. Selamat buat kalian berempat. Ibu harap kalian berempat bisa saling bekerja sama." kata Bu Netti setelah melakukan voting, suara terbanyak siapa yang paling banyak. Diam-diam, Valdo mendengus kesal saat lagi dan lagi cowok itu yang kembali terpilih menjadi ketua kelas. Awalnya, dia sempat menolak untuk dicalonkan, tetapi karena desakan dari teman-temannya juga ancaman dari Bu Netti yang akan mengurangi nilainya nanti, maka mau tak mau, cowok itu mengiyakan juga. Valdo pasrah. Saat itu, dia cuman bisa berdoa semoga tidak ada yang memilihnya seorang pun. Namun di luar dugaan, justru sebagian besar penghuni kelas memilihnya dan berakhir cowok itu yang menjadi ketua kelas. Sial! "Loh, Bu! Kok, yang jadi ketua kelasnya Valdo, sih?" protes Eci. Masih tak terima.
172 Jika pada dasarnya teman-teman yang lain senang setuju dengan organisasi kelas yang baru saja terbentuk, maka berbeda lagi dengan Eci. Cewek itu berdecak kesal ketika tidak ada satu pun yang memilihnya menjadi bendahara kelas. Dan yang membuatnya lebih emosi lagi, ketika mendengar nama Valdo disebutkan sama Bu Netti sebagai ketua kelas. Sial, dia telah kalah sama cowok itu! dan Bu Netti menatap Eci dengan dahi yang mengerut. "Emang kenapa? Valdo anak baik-baik, pinter, rajin pula?!" tanya balik Bu Netti. "Ya, enggak cocok lah, Bu!" sanggahnya lagi. "Enggak cocok, gimana?" tanya Bu Netti lagi. Mulai kesal. "Ya, enggak-" "Wuh, bilang aja lo iri, kan?!" teriak Chaca dari bangku belakang.
173 Baru saja ingin melayangkan protesnya, cewek sialan itu kembali menyela ucapannya dan kembali berhasil membuatnya malu. Lagi-lagi, dia ditertawakan murid satu kelas. Jumat Bersih Saat SMP Pagi cerah yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Valdo bersama Anggi memasuki lingkungan sekolah bersamaan. Langkah kaki kedua lelaki remaja itu menyusuri koridor sekolah yang panjang. Anggi dengan gaya tebar pesonanya dan Valdo dengan gaya cool andalannya. Tak lupa senyum manis melelehkan siapapun yang melihatnya terus terpancar di wajah dua lelaki itu. Seragam olahraga berwarna hijau yang dikenakan murid-murid SMPN 1 KUALUH HULU tampak
174 mencolok dan mendominasi hari itu. Wajar saja, karena jumat bersih selalu berkaitan dengan nuansa hijau. Sepanjang koridor, hanya kata-kata pujian yang terdengar dari murid-murid SMPN 1 KUALUH HULU untuk Valdo dan Anggi. Paras dua remaja itu benarbenar telah mencuri perhatian teman-temannya. Di ujung koridor sana, tampak Idris dan Fahri yang sedang melambai-lambaikan tangannya ke arah Valdo dan Anggi. Ralat, lebih tepatnya Idris sedang dadah dadah dengan gaya noraknya. Berbanding terbalik dengan Fahri yang hanya diam saja kayak patung. "WOY, Do! Nggi!" teriak Idris menyapa dengan suara toanya, membuat Fahri yang berdiri di sampingnya mengumpat kasar. Berbeda dengan Valdo dan Anggi yang mengulas senyum membalas sapaan dari Idris. "Shit!" Fahri mengusap telinganya yang berdegung, lalu menggeplak kepala Idris cukup keras. "Lo bisa gak teriak-teriak? Ini sekolah, bukan hutan. Kalo lo mau teriak-teriak ke hutan sana," dengus Fahri kesal.
175 "Awh! Ogah, lo aja sana!" Sambil mengaduh kesakitan, Idris mencibir tak terima. "Lah, yang teriak-teriak tadi kayak monyet siapa?!" balas Fahri sewot, tak ingin kalah. "Gue, sih." Idris menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali sambil memasang cengiran tanpa dosa. Dia melirik Fahri malu-malu. Fahri merotasikan bola matanya malas. Kedua tangan. lelaki itu menyilang di depan dada, melirik sinis Idris. "Ya berarti itu lo, goblok!" semprotnya jengkel. "Iya, gue juga tau dodol!" Idris tak kalah nge-gasnya. Fahri memejamkan matanya mencoba meredam emosinya. Mengerjap pelan bersaman dengan helaan napas kasar keluar dari mulutnya.Fahri beralih menatap Idris penuh permusuhan. Wajah cowok itu tampak memerah marah, sebentar lagi sepertinya akan meledak.
176 "Kalo udah tau kenapa masih pake nanya segala, bambang!" balas Fahri kesal, menekankan setiap kata yang keluar dari bibirnya. Sekarang, tercium bau-bau peperangan adu mulut di antara kedua remaja lelaki itu. Fahri yang bermulut pedas dan Idris yang tidak mau mengalah. Mereka dua kepribadian yang seharusnya tidak boleh ada dalam satu lingkungan yang sama. "Ya gue mau-mau aja," ujar Idris sewot, satu alisnya terangkat ke atas. "Emang kenapa? Masalah buat lo?!" Hal itu malah terlihat seperti tatapan penuh ejekan di mata Fahri. Langsung saja dengan emosi yang sudah di ujung tanduk, Fahri kembali menghadiahi kepala Idris tabokan yang cukup keras. "Masalah lah, goblok!" Gigi Fahri bergelematuk geram. "Itu sih, derita lo!" Hampir saja balon panas di kepala Fahri meledak. Namun sayangnya, adu mulut keduanya terpaksa
177 berakhir dengan kedatangan Valdo dan Anggi di hadapan keduanya. Baik Idris maupun Fahri sama-sama bungkam. Hanya senyum lebar yang terukir di bibir dua remaja itu menyambut kedatangan kedua sahabat mereka. "Pagi, broooo!!!" Idris maju paling depan dan bertos ria ala cowok pada Valdo dan Anggi. Fahri hanya mengikuti apa yang dilakukan Idris. "Wihhhh, tumben-tumbenan nih lo berdua dah di sekolah jam segini?!" tanya Anggi heboh pada kedua sahabatnya itu. Pertanyaan itu lebih tepatnya mengarah pada Idris, karena biasanya cowok itu akan datang ketika bel masuk sudah hampir berbunyi. Pengecualian hari Selasa, karena cowok itu ada piket membersihkan ruangan kelas. "Yeee, lo kata cuman Valdo doang yang bisa? Gue juga kali..." cetus Idrsi sembari melirik Valdo berniat menyindir cowok itu. "... sekalian cuci mata," lanjut
178 Idris dengan suara pelan. Cowok itu menatap ketiga sahabatnya sambil memasang tampang menyengir tanpa dosa. "Yeeee, murid dajjal lo, njing!" cetus Anggi meledek, hendak menggeplak kepala Idris. Namun, dengan cepat cowok itu menghindar. "Kayak lo, kan?!" Valdo yang sedari tadi diam pun angkat bicara. Tatapan sinis lewat ekor mata yang tertuju pada Anggi seolah sedang menyindir sahabat sedari SDnya itu. "Bangsat lo, Di!" umpat Anggi bergumam, hingga nyaris terdengar di telinga ketiga temannya. Wajah cowok itu berubah masam, tidak bersemangat seperti tadi. Senyuman yang tadi menghias wajah tampan cowok itu pudar. Valdo yang seakan mengerti perubahan raut wajah sahabat yang satunya itu langsung menyenggolnya ke samping. "Yeee, baperan amat sih, lo! Dasar tukang ngambek," cibirnya meledek Anggi. Tak lupa senyuman
179 meremehkan sengaja tertampang di wajah untuk menjahili cowok itu. "Au ah, gelap!" cetus Anggu dengan suara parau. Anggi membuang muka dengan bibir yang mengerucut sebal. Tuh kan, anaknya beneran ngambek! Ketebak, sih! "Tau nih si Anggi!" timpal Idris ikut andil menjahili cowok itu. "Minta di-cipok kali tuh bibir makanya monyong ke depan." Perkataan Idris berhasil membuat Anggi melotot. Dia menatap tidak percaya cowok itu dengan tangan yang refleks menutup mulut. Lebih tepatnya bibir. "Astagfirullah anjim, Idris bangsat anak dajjal! Gue masih normal, ye! Lo kalo mau belok jangan ngajak ngajak gue, njirrr! Gini-gini, gue masih suka tempe dari pada pisang ya, jangan ngadi-ngadi lu!" ujar Anggi panjang lebar menuding Idris yang enggak-enggak dan berakhir menjadi sebuah ceramahan.
180 "Yeee, emang lo doang! Gue juga masih suka cewek kali!" balas Idris menyemprot. "Sttt, Nggu! Kalo ngomong tuh pelan-pelan, goblok! Liat kan... kita jadi pusat perhatian sekarang!" seru Valdo menghentikan perdebatan adu mulut antara Idris dan Anggi. Tatapan tajam Valdo yang dilayangkan untuk Anggi, seolah sebuah teguran agar lain kali dia jangan asal bicara. Lihat, sekarang mereka jadi pusat perhatian karena ucapan Anggi yang menyinggung tentang maho tadi. Anggi, lalu diikuti oleh Idris dan Fahri menatap sekelilingnya. Kedua bola matanya membulat seketika. Benar! Mereka jadi pusat perhatian sekarang. Lalu, cowok itu beralih menatap Valdo dengan raut penuh salah. Anggi menggigit bibir bawahnya, menyadari Valdo masih menatapnya tajam. "Hehe... sorry! Gue kan gak tau bakal kayak gini," elak Anggi.
181 Valdo memutar bola matanya malas. Cowok itu lalu memilih melangkah pergi dari sana. Meninggalkan ketiga temannya yang masih tampak berdebat. Langkah kakinya membawanya masuk ke dalam kelas. "Lo nih, Dris sama Anggi... kelakuannya kek homo!" tuding Fahri, mencibir. "Jijik gue liat lo berdua." Masih dengan sedekap dadanya, Fahri bergidik ngeri menatap kedua sahabatnya itu. Lalu, Fahri memilih menyusul Valdo yang sudah berlalu pergi dari pada terus-terusan meladeni Idris dan Anggi yang sama-sama tidak waras. "Sialan tuh, anak!" umpat Idris menatap nyalang kepergian Fahri. Dia tidak terima cowok itu mengatainya maho. Lalu tatapannya beralih pada cowok yang ada di sampingnya. Idris menatap Anggi lamat-lamat, menelisik penampilan cowok itu dengan saksama. Bergidik ngeri lalu kembali berseru. "Kalaupun gue beneran homo, gue pilih-pilih juga kali. Ya kali, gue mau sama cowok kerdil kayak dia," celoteh Idris dengan mata melirik Anggi lewat ekor mata berniat menyindir cowok itu.
182 Setelah berkata demikian, Idris pun berlalu menyusul kedua temannya. "Lah, siapa juga yang mau sama dia?! Gue sih, ogah! Dih!" Anggi dengan banyak kerutan yang terbentuk di dahinya, terbengong-bengong di tempat. Dia gagal paham dengan maksud Idris berbicara seperti tadi. Maksud cowok itu apa? Apa dia pikir Andi juga mau sama dia?! Ck, mimpi! "Bangat, gue ditinggalin." Anggi mengumpat dengan suara pelan ketika menyadari tinggal dirinya yang ada di koridor tersebut. Dia menatap sekelilingnya. Murid murid banyak yang bisik-bisik, membicarakan tentang apa yang barusan Anggi CS perbincangkan. Anggi mulai merasa tak nyaman. Langsung saja cowok itu berlari mengejar ketiga temannya yang sudah masuk ke dalam kelas. "WOY!!! TUNGGUIN GUE, NJERRR!!!" teriak Anggi menggelegar di koridor.
183 Anggi memasuki kelasnya dengan napas memburu dan terengah-engah. Remaja lelaki itu berjalan lunglai menghampiri bangkunya dan langsung menghempaskan tubuhnya di sana. Dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi sembari menormalkan deru napasnya yang tak beraturan. Setelah itu, dia membalikkan kursi dan badannya menghadap bangku belakang. Dimana di bangku belakangnya adalah tempat duduk Idris dan Fahri. BRAK! "ANJER, LO BERTIGA! BISA-BISANYA NINGGALIN GUE DI KORIDOR SENDIRIAN!!!" seru cowok itu dengan nada lantang sembari menggebrak meja belajar Idris dan Fahri. Tampak, Idris dan Fahri yang berjengit kaget karena gebrakan tersebut. Pasalnya, kedua anak itu tidak menyadari kedatangan Anggi di kelas tersebut. Juga, mereka lagi asyik mabar sekarang.
184 Sontak, benda pipih merek realme tersebut terlepas dari genggaman Idris dan berakhir jatuh mengenaskan di lantai. Tentu hal itu membuat bola mata Idris membulat kaget. Fahri yang duduk di sampingnya pun tak kalah kagetnya. "TOLOL!" umpat Idris kasar dan beralih memungut handphone-nya tersebut dengan cepat. Idris mengeceknya, cowok itu menekan tombol mati dayanya. Huft! Idris menggusah napas lega yang malah terdengar kasar di telinga Fahri. Layarnya memang sedikit retak, tapi untung masih menyala. Ya, seenggaknya masih bisa dipakai main game lah! "Untunglah ... gue masih bisa sampai di kelas penuh selamat!" Sebuah suara familiar yang masuk ke dalam gendang telinga Idris membuat cowok itu mengangkat wajah dan mendelikkan matanya tajam pada Anggi.
185 "Napa lu?!" tanya Anggi dengan lagak songong karena merasa risih ditatap seperti itu. "NAPA LU, NAPA LU... TANGGUNG JAWAB LU, TOLOL!!!" bentak Idris naik pitam. Dia menatap Anggi penuh amarah. Bahkan, urat-urat di lehernya tampak menonjol. Kedua alis Anggi saling menekuk satu sama lain. Dia balik menatap Idris bingung. "Tanggung jawab apaan dah? Perasaan, gue kagak pernah hamilin orang, apalagi lu!" kata Anggi menyanggah ucapan Idris. "Dih, najis! Siapa juga yang mau dihamilin sama lo! Dasar homo!" Idris mencibirnya habis-habisan. "Tanggung jawab sama hp gue, lo!" lanjutnya menjelaskan. "Lah, hp lu gue apain lagi. Jangan aneh-aneh lu, Dris. .. Yakali, gue mau tanggung jawab benda mati. Gak lucu, Dris!" Anggi membalas dengan tertawa hambar.
186 Idris semakin tersulut emosi. Percayalah, dia tidak sedang bercanda sekarang. Dia menggertakkan giginya geram dengan kedua tangan yang sudah terkepal kuat di bawah sana. Tak lupa, tatapan tajamnya yang terus dilayangkan pada cowok itu seolah ingin menelannya mentah-mentah di detik itu juga. "ANGGIII!!! GARA-GARA LO HP GUE JATUH DAN SEKARANG LAYARNYA RETAK KAYAK GINI, BANGSAT!!! TANGGUNG JAWAB GAK LO!" murkanya berteriak lantang di depan wajah Anggi. Telunjuknya menuding-nuding cowok itu. "WAH, SI BABI PAKE NUDUH-NUDUH SEMBARANG!!! MANA PERNAH GUE JATOHIN HANDPHONE LU ANJING, SENTUH AJA KAGAK!!!" Anggi balas berteriak tak terima dituduh seperti itu oleh Anggi. "GARA-GARA LO YANG DATANG GEBRAK MEJA GUE PLUS GAK PAKE SALAM,
187 GOBLOK!!!" "LAH, HUBUNGANNYA APA, TOLOL!!!" "MASIH PAKE NANYA LAGI NIH SI ANJING! YA, KARENA LO YANG BIKIN GUE KAGET, HP GUE JATOH!!!" "SIAPA SURUH HP NYA GAK DIPEGANG BAIKBAIK?! ITU MAH SALAH LO DODOL, NGAPAIN MALAH BAWA-BAWA GUE?!!!" "WAH, SI GOBLOK! TANGGUNG JAWAB GAK LO?!!!" Idris menuntut. "GAK, GAK BAKAL!" kekeh Anggi. Dan pada akhirnya, pertengkaran adu mulut itu pun terjadi. Tidak ada yang mau mengalah. Baik Idris ataupun Anggi, sama-sama mempertahankan argumen masing-masing. Idris yang menuduh Anggi atas semua ini dan Anggi yang tidak mau disalahkan.
188 Pertengkaran adu mulut itu mengundang emosi teman satu kelasnya. Mereka semua (murid-murid kelas 7-5) menatap risih juga tajam dua murid itu. Teriakan mereka berhasil menganggu ketenangan mereka bagi mereka yang melamun atau sedang melakukan aktivitas lain dan membuyarkan konsentrasi bagi mereka yang sedang fokus belajar. Tak terkecuali, Eci dan Chaca serta kedua temannya melayangkan tatapan menghunus sekaligus tak suka pada dua cowok itu. "WOY, LO BERDUA BISA DIAM GAK SIH?! BERISIK BANGET! KALO MAU RIBUT DI LAPANGAN SANA BIAR DITONTON SATU SEKOLAH!" teriak Eci dan Chaca kompak. Hal itu mengundang tatapan bingung dari murid kelas 7-5. Tak terkecuali Idris dan Anggi yang kini bungkam dan menatap dua cewek itu dengan dahi mengeryit.
189 Eci dan Chaca menyapukan pandangannya ke segala arah. Semua orang sedang menatapnya tanpa kedip. Hal itu membuat guratan bingung timbul di dahinya. "Kenapa?" tanya keduanya kembali kompak. "Tumben, mereka kompak!" bisik Idris di telinga Anggi dengan suara lantang. "Iya-iya. Heran gue!" Anggi mengangguki. Tentu hal tersebut membuat Eci dan Chaca tersentak dengan bola mata melotot. Keduanya saling pandang dan melempar tatapan menghunus satu sama lain. "HEH, CURUT! NGAPAIN LU NGIKUTNGIKUTIN GUE NGOMONG?!" sentak Eci dengan napas memburu. "Curut, curut... LO KALI YANG RUCUT!" Balasan dari Chaca mendapat sorakan dari kedua temannya, Elvi dan Ira. Hal itu membuat Eci semakin naik pitam.
190 "EH, RUCUT! HARUSNYA GUE YANG TANYA KAYAK GITU! NGAPAIN LO NGIKUT-NGIKUTIN GUE... LO PASTI SENGAJA KAN, LO SENGAJA COPAS KATA-KATA GUE!!!" teriak Chaca lagi balas menuding. "HAH?! APA?! COPAS?! Wlak!" Eci berlagak ingin muntah. "GUE GAK SEBODOH ITU YA, CURUT! LO PIKIR GUE ITU LO YANG SUKA COPASCOPAS. LO KALI YANG COPAS!" tuduh baliknya. "ENAK AJA, LO NUDUH GUE TUKANG COPAS! OTAK GUE LEBIH CERDAS KALI DARI LO!!!" "WAH, NGAJAK GELUD NIH, ANAK! SINI, MAJU LO KALO BERANI!!!" tantang Eci sembari menggulung kedua lengan pendek baju olahraganya ke atas seolah siap adu jotos dengan curut satu itu. "HAYUK, SIAPA TAKUT!" Tampak, Chaca yang melakukan hal yang sama dilakukan Eci. Gadis itu juga
191 ikutan menggulung lengan bajunya ke atas. Lalu kedua gadis itu masing-masing keluar dari barisan bangkunya. Keduanya berjalan dengan lagak angkuh ke depan kelas seakan melangsungkan adu jotos di sana. Hal itu mengundang sorakan dari teman sekelasnya. Mereka sudah berteriak seperti orang kesetanan. Anak anak cowok di barisan belakang yang tadinya mabar, kini naik ke atas meja dan bertepuk tangan menyoraki jagoan masing-masing. Ada juga yang menggebrak meja berkali-kali semakin menambah kebisingan di kelas tersebut. Anak-anak cewek pun tak tinggal diam. Banyak dari mereka yang sudah mengarahkan kamera handphone-nya ke arah depan, salah satunya Ira yang kini heboh sendiri. Sementara itu, di depan kelas sana, Eci dan Chaca yang sudah berdiri berhadapan saling melempar pandangan menghunus dan penuh permusuhan. Adu jotos siap dimulai. Mari kita hitung sampai hitungan ketiga bersama-sama! Satu.
192 Dua. Tiga. "HIYAKKKK!!!" teriak keduanya. Perkelahian ala cewek pun terjadi. Perkelahian apalagi selain acara jambak-jambakan?! Eci meraih rambut Chaca yang tergerai dan menjambaknya dengan kuat. Chaca pun tak tinggal diam. Dia pun meraih rambut Eci yang diikat menjadi satu dan menjambaknya tak kalah kuat. Suara ringisan keduanya memenuhi tempat itu. Namun itu, tak mengurangi rasa semangat dalam diri masing-masing untuk melumpuhkan lawannya. Malahan, mereka makin semangat karena mendapat dukungan dari teman sekelas. "ECI,ECI,ECI!" "CHACA, CHACA, CHACA!"
193 "AYOK, CHA, SERANG!!! YANG KUAT JAMBAKNYA!" "ECI, AYOK! JANGAN KALAH DONG SAMA SI CHACA!" Suasana kelas makin ramai. Bukannya memisahkan, teman sekelasnya malah menyoraki memberinya semangat. "Gue gak bakal biarin lo menang, sat!" bisik Eci di selasela dirinya menjambak rambut Chaca. Dia sendiri menghiraukan rasa perih di kepalanya karena jambakan Chaca tak kalah kuatnya. "Awh! Lo kira gue bakal ngebiarin lo juga! Mimpi!" Chaca menyeringai lalu memperkuat jambakannya pada rambut Eci membuat gadis itu pun mengaduh kesakitan. "Lu tuh yang kebanyakan mimpi!" sarkas Eci. "Lu, sat!" "Lu!"
194 "GUE BILANG LU GOBLOJ!!!" "LU, ASU!!!" "LU-" "APA-APAAN INI?!" Teriakan nyaring seseorang di ambang pintu membuat semua murid menoleh, tak terkecuali Eci dan Chaca . Kedua gadis itu menghentikan acara jambak-jambakannya meski dengan kedua tangan masih memegang rambut lawan dan menoleh secara bersamaan ke ambang pintu. Dua murid dengan rambut awut-awutan itu melotot kaget dan langsung melepas lawan satu sama lain. Teman sekelasnya yang menyorakinya tadi pun langsung duduk mantap di bangku masing-masing seolah tak terjadi apa-apa. Semua kepala menunduk takut. Valdo dan Pak Maruba berdiri di ambang pintu bersama tatapan tajamnya menyapu ke segala penjuru
195 ruangan kelas. Valdo mendelikkan matanya ke arah dua murid yang berdiri di depan kelas itu. Apa-apaan dua gadis itu? Bisa-bisa dirinya yang akan diamuk Pak Maruba setelah itu mengingat dirinya adalah ketua kelas. Mampus! Kebetulan saat Valdo sampai di kelas tadi, ada seorang siswa yang datang menjumpainya. Murid itu menyampaikan pesan bahwa Valdo dipanggil Pak Maruba. Katanya ada yang mau guru itu bicarakan padanya. Ternyata, Pak Maruba memanggilnya untuk menyuruh Valdo bersiap-siap mengikuti Olimpiade Sains Nasional yang akan diselenggarakan bulan Februari mendatang. Ya, Valdo diutus mewakili sekolahnya membawakan mata pelajaran ips. Selain itu, Pak Maruba juga memberi instruksi pada Valdo untuk mengarahkan teman sekelasnya membersihkan area lapangan basket mengingat hari ini adalah hari Jumat. Jadi ketika teman-temannya membuat kegaduhan dalam kelas, dia tidak tahu karena sedang berada di ruang kantor saat itu.
196 Valdo berjalan tergesa-gesa namun terlihat tegas menghampiri dua gadis itu. Emosinya untuk memaki maki keduanya sudah di ubun-ubun. "Lo berdua apa-apaan sihhhh, hah?!" tanya Valdo berbisik dengan nada geram. Dia berdiri di antara dua gadis itu. "Lo tau gak sih ... perbuatan lo ini bisa bikin Pak Maruba ngamuk sama gueeee!" lanjutnya frustasi. Eci meringis dalam hati mendengar ucapan cowok itu. Dia meliriknya sekilas dan dibalas dengan tatapan tajam olehnya. Hal itu membuat Eci kembali menunduk dengan raut penuh salah. "Ya, maafff! Gue kan, gak tau..." cicitnya dengan suara pelan. "Gue juga... sorry!" Chaca ikut menimpali. "Dah, terlambat!" sarkas Valdo. Cowok itu memutarkan bola matanya jengah.
197 "ECI, CHACA! KAMU BERDUA IKUT BAPAK KE RUANG BK ..." titah Pak Maruba menahan marah, menggantung ucapannya. Eci dan Chacamengangguk patuh. "Baik, Pak!" "Kamu, Valdo!" Lalu tatapan Pak Maruba beralih pada Valdo. Dia menatap tajam muridnya itu. Valdo yang sekan mengerti arti tatapan itu hanya bisa menghembuskan napas kasar. "Iya, Pak?" sahut Valdo lesuh. "BAPAK HUKUM KAMU BERSIHKAN LAPANGAN SENDIRIAN! ITU SEBAGAI HUKUMAN KAMU KARENA GAGAL MENERTIBKAN KELAS, PAHAM?!" Eci membulatkan matanya. Dia menatap Pak Maruba tak percaya dan penuh protes. "Loh, kok gitu sih, Pak? Valdo kan, gak salah apa-apa. Di sini kita yang
198 salah Pak! Lagi pula kan, Valdo gak ada di dalam kelas tadi!" ucap Eci panjang lebar, menjelaskan. Tapi namanya juga Pak Maruba. Bebal. Kalau sudah bilang satu akan tetap satu, tidak bisa dua. "No, no! Tidak ada bantahan ataupun protes!" tekan Pak Maruba dengan padangan tajam tertuju pada Eci. Eci lalu beralih menatap Valdo ke sampingnya. Ternyata cowok itu sedang menatapnya datar. Tak lama, Eci melihat tangan kanan cowok itu terangkat ke atas menunjuk dirinya lalu beralih ke lehernya membuat gerakan memotong di sana. Cowok itu memberi kode padanya kalau Eci akan mati di tangannya. Glek! Eci meneguk salivanya. Cewek itu menunduk takut. Kedua tangannya di bawah sana saling meremas. Dia sedang berada dalam masalah sekarang. Mampus! Eci pastikan hidupnya tidak akan tenang lagi setelah ini!
199 Aksis Bulliying Saat SMP "Sialan, berani-beraninya dia dekatin cowok gue. Gak tau kali ya, gue pacarnya Edo." Gadis pemilik bola mata berwarna biru itu mengepalkan kedua tangannya di bawah sana. Tatapan matanya yang tajam memandang muak sekaligus geram adegan yang baru saja terjadi tak jauh dari hadapannya. Di ujung koridor sana, ia melihat sang kekasih tengah berbincang hangat dengan adek kelas. Mereka mengobrol santai dengan sesekali guyonan menemani. Disaksikan sendiri oleh bola matanya juga kedua teman yang kini menyelinap di sampingnya, mereka terlihat akrab. Gadis itu mengeraskan rahang dan berlalu dari sana dengan tersulut amarah. Kedua temannya sama-sama
200 memperlihatkan raut kaget, lalu berjalan tergesa menyusul sang sahabat. "Tas! Tasya!" Panggilan itu menghentikan langkah gadis pemilik bola mata biru itu. "Apa sih lo, manggil-manggil!" Tasya, nama gadis yang masih tersulut emosi itu berbalik dan menampakkan raut garang. Sungguh, ia sensitif sekali saat ini. Bahkan kedua temannya pun ia bentak-bentak. Namun, saat ia sadar baru saja membentak sahabatnya, gadis itu mengubah raut wajahnya serileks mungkin. Kedua teman yang tengah berjalan ke arahnya berhenti dan saling menoleh, mungkin kaget dengan respons yang baru saja diberikan Katrin. "Sorry." Kata itu lolos begitu saja dari bibir ranumnya. Indah dan Tioma memaklumi hal itu. Dua gadis itu saling melirik lalu menampilkan senyum tipis. "No problem. Kita paham, kok," ujar Indah lalu diangguki