TRANSFORMASI BUDAYA Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I NYOMAN SUAKA Pustaka Larasan 2016
ii TRANSFORMASI BUDAYA Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika Penulis I Nyoman Suaka Tata Letak Slamat Trisila Rancang Sampul Ibed Surgana Yuga Penerbit Pustaka Larasan Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B Denpasar, Bali 80116 Ponsel: 0817353433 Pos-el: pustaka_larasan@yahoo.co.id Cetakan Pertama: Desember 2016 ISBN 978-602-1586-81-5
iii PRAKATA Puji syukur dipanjatkan ke hadapan Tuhan Yang Mahakuasa karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nya, buku ini bisa terwujud. Buku ini diberi judul, Transformasi Budaya: Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika. Sebagai produk budaya, karya sastra kini tidak saja dinikmati melalui media lisan dan tulisan, tetapi juga melalui media audiovisual dan digital. Transformasi ini sekaligus sebagai tantangan dan peluang dunia kesusastraan sehingga menarik dikaji karena sejalan dengan era pengetahuan berbasis teknologi informasi. Para penggiat film dan sinetron menilai, karya sastra merupakan lahan subur dan menjadi benih unggul untuk difilmkan dan disinetronkan. Filmisasi karya sastra telah lama merambah industri hiburan di Indonesia. Berbagai komentar bermunculan, tentu ada yang pro dan kontra tentang filmisasi dan sinetronisasi karya sastra. Antara sastra dengan film, walaupun menggunakan media berbeda, akan tetapi dapat bersinergi dengan baik. Bahkan, banyak sutradara, penulis skenario yang juga seorang sastrawan. Pembaca karya sastra pun semakin bergairah ingin tahu hasil transformasi budaya itu, walaupun terkadang kecewa. Buku ini menyajikan beberapa novel laris yang diadaptasi menjadi film dan sinetron, seperti Salah Asuhan, Sukreni Gadis Bali, Sengsara Membawa Nikmat, Azab, dan Sengsara, Sitti Nurbaya, Laskar Pelangi, Ronggeng Dukuh Paruk, Surat Kecil untuk Tuhan dan lainnya. Fokus uraiannya seputar narasi (penceritaan), transformasi, dan tanggapan khalayak kritis dalam bingkai budaya populer. Masalah teknis perfilman tidak dijumpai dalam buku ini. Masalah tersebut kurang relevan dibahas karena akan keluar dari sastra sebagai teks sumber, di samping keterbatasan kemampuan penulis.
iv Pembicaraan karya sastra selama ini memprioritaskan kajian dari sudut struktur internal teks. Hanya sebagian kecil yang meneliti konteksnya di luar sastra, apalagi karya sastra yang diadaptasi ke dunia film atau sinetron. Peluang inilah yang memotivasi saya untuk membahas sastra dalam konteks film dan televisi lewat sinema elektronika (sinetron). Pada kesempatan ini, saya menyampaikan terima kasih kepada Direktur Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Pusat Jakarta, atas bantuan DVD sinetron Sitti Nurbaya sebuah dokumen budaya yang tak ternilai harganya. Terima kasih kepada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Jakarta atas kiriman artikel, resensi novel yang difilmkan dan disinetronkan. Ucapan senada juga disampaikan kepada sastrawan, budayawan, sutradara dan penulis skenario, Putu Wijaya, serta sastrawan Taufik Ismail. Kedua narasumber ini banyak menginspirasi, sehingga analisis kritis dan gagasannya ikut mewarnai uraian buku ini. Ucapan terima kasih kepada dosendosen di Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana, dosen dan mahasiswa di IKIP Saraswati Tabanan dan pihak-pihak yang telah memberikan dorongan, terutama tim penerbit Pustaka Larasan sehingga buku ini hadir dihadapan pembaca Saya menyadari buku ini banyak kelemahannya. Ibarat pepatah, tak ada gading yang tak retak. Hal ini semata-mata karena keterbatasan kemampuan yang ada pada diri saya. Saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan buku ini di masa yang akan datang. Semoga buku ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi kepentingan ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan sastra dan budaya populer. Tabanan, September 2016 Penulis.
v KATA PENGANTAR Abad sudah berganti, zaman sudah berubah. Era perekonomian pun telah bergeser. Manufaktur dan jasa tidak lagi menentukan dalam pertumbuhan ekonomi. Kini muncul apa yang disebut ekonomi kreatif, sebuah wacana aktivitas yang telah membuka cakrawala baru dalam denyut ekonomi dunia dewasa ini. Ekonomi kreatif adalah wujud dari upaya mencari solusi bagi pembangunan yang berkelanjutan. Iklim perekonomian yang berdaya saing dan keharusan memiliki sumber daya yang aktual. Dalam suasana seperti itu, kreativitas seni perlu ditumbuhkan, inovasi teknologi harus diciptakan dan semangat wirausaha (interprenership) yang mampu menghasilkan nilai ekonomi perlu dikembangkan. Kreativitas seni, berasal dan lahir ide serta pikiran manusia, Ia bermodalkan ide-ide kreatif, talenta dan keterampilan yang senantiasa harus ditumbuh-kembangkan. Walau demikian tidak berarti bahwa manusia (Indonesia) memiliki kebebasan mutlak menuangkan kreativitasnya tanpa batas. Kreativitas tetap punya aturan, nilai-nilai dan tanggung jawab. Hasil kreativitas itu akan dinikmati oleh masyarakat yang juga memiliki aturan, nilai-nilai dan tanggung jawab terhadap lingkunganya, terhadap kebudayaanya, serta terhadap negara dan bangsa. Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan deposit budaya dalam bentuk karya sastra yang perlu diolah. Deposit ini merupakan mata tambang utama dalam ekonomi kreatif yang tiada habisnya. Masalah utamanya ialah deposit budaya dalam bentuk karya-karya sastra itu tidak terpelihara/tidak terjaga dengan baik. Di pihak lain sumber daya manusia yang menjadi mediator bagi pengembangannya dalam ekonomi kreatif belum disiapkan secara serius dan optimal, kata lain dari sangat kurang jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap pembangunan kebudayaan khususnya terhadap indutri budaya masih sangat rendah. Dalam hubungan itulah saya menyambut baik kerja keras yang dilakukan Dr. I Nyoman Suaka, M.Si yang telah menulis
vi buku Transformasi Budaya: Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika. Buku ini menggugah kesadaran kita betapa pentingnya karya-karya sastra diolah menjadi sebuah produk industri berupa film dan sinetron. Karya kreatif seperti ini tidak hanya berguna sebagai upaya alih media semata–mata, tetapi juga lebih dari itu ia berdampak ekonomi, karena melalui produk industri budaya tersebut, secara langsung akan menghasilkan nilai tambah. Dr. Mukhlis PaEni Ketua Lembaga Sensor Film RI Periode 2009–2015
vii DAFTAR ISI Prakata …………………………………………………………………………….. Kata Pengantar ………………………………………………………………..... Karya Sastra sebagai Lahar Subur untuk Film dan Sinetron…. 1. Filmisasi Karya Sastra…………………………............................ 2. Pro dan Kontra…………………………………................................ 3. Sinetronisasi Karya Sastra……………………........................... 4. Tinjauan Akademis…………………………….............................. Sinetron Salah Asuhan Kembali ke Ide Pengarang……................. 1. Polemik di Media Massa………………………............................ 2. Film dan Sinetron……………………………….............................. 3. Karakter Tokoh…………………………………............................... 4. Proses Penerbitan………………………………............................. Sinetron Si Midun, Sengsara Membawa Nikmat Inspirasi dari Novel ……………………………........................................................................ 1. Inspirasi dari Novel ……………………………............................ 2. Masalah Harta Warisan…………………………......................... 3. Azab dan Sengsara ...................................................................... 4. Gaya Penceritaan ......................................................................... Sinetron Sitti Nurbaya : Versi Klasik dan Modern…….................. 1. Kisah Klasik…………………………………….................................. 2. Ideologi Budaya…………………………………............................. 3. Strategi Budaya…………………………………............................... Memperebutkan Sukreni Gadis Bali setelah Gagal Difilmkan… 1. Skenario Film…………………………………….............................. 2. Sastrawan Pujangga Baru………………………........................ iii v 1 2 4 8 10 15 16 20 23 25 29 30 34 36 38 40 42 46 48 51 52 54
viii 3. Sinopsis Sukreni Gadis Bali……………………......................... 4. Arja Teater Tradisional…………………………........................... Film Sang Penari dari Ronggeng Dukuh Paruk………….................. 1. Nilai-nilai Tradisi………………………………............................... 2. Legenda Penari Ronggeng………………………....................... 3. Latar Politis……………………………………................................... 4. Dekonstruksi dan Apresiasi……………………........................ Film Laskar Pelangi : Layar Lebar dan Layar Kaca……................. 1. Budaya Populer…………………………………............................... 2. Novel ke Film …………………………………................................. 3. Dokumen Budaya……………………………….............................. 4. Industri Hiburan…………………………………............................ Novel Cyber dalam Film Surat Kecil untuk Tuhan………............... 1. Sastra Cyber…………………………………….................................. 2. Komentar Sastra Cyber…………………………........................... 3. Kisah Nyata……………………………………................................... 4. Tema dan Amanat………………………………............................. 5. Proses Kreatif…………………………………….............................. Dinamika Sinetron : Antara Kultural dan Industrial…................ 1. Adegan Kekeraan…………………………………........................... 2. Citra Wanita………………………………………............................. 3. Kualitas Industrial dan Kultural…………………................... Tayangan Cerita Sinetron Dibalik Bujuk Rayu Iklan…................. 1. Khalayak Pemirsa……………………………….............................. 2. Aspek Ekonomi dan Politik Media…………….….................. 3. Sinetron dan Komersialisasi……………………....................... Sinetron sebagai Media Alterntif Pembelajaran Sastra….......... 1. Media Pembelajaran………………………………........................ 2. Siswa dan Orang Tua……………………………........................... 3. Sastra Indonesia Alternatif ...................................................... 56 59 62 62 65 69 72 77 78 80 84 86 94 94 97 98 101 104 108 108 111 113 117 118 120 127 129 129 134 136
ix Analisis Kritis Sutradara dan Sastrawan .......................................... 1. Sastra dan Film Seiring Sejalan…………………..................... 2. Sikap Kritis Sutradara……………………………......................... 3. Sikap Kritis Sastrawan……………………………....................... Transformasi Budaya dari Novel ke Audiovisual………................ 1. Membaca Novel, Menonton Sinetron……………................. 2. Alur, Latar, dan Penokohan………………………....................... 3. Kajian Komparatif….………………………................................... 4. Perubahan Teks…………………………………............................. Daftar Pustaka……………………………………………................................ Indeks …………………………………………………………………………........ Tentang Penulis ........................................................................................... 139 139 142 149 151 152 153 159 162 171 177 182
x
1 Sastra Lahan Subur untuk Film dan Sinetron Karya sastra novel, cerita pendek (cerpen) dan drama merupakan “benih unggul” untuk dijadikan cerita film atau sinetron. Sastra juga menjadi “lahan subur” untuk diadaptasi menjadi cerita sinetron. Karya film dari novel tidak saja terjadi di Indonesia tetapi jauh sebelumnya telah terjadi di negaranegara Barat. Novel-novel karya John Grisham, seperti The Firm, The Belican Brief dan The Cleint telah difilmkan dan telah dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Selain Grisham, masih banyak novelis yang karya-karyanya diangkat ke layar lebar, seperti Borris Pasternak, Ernest Hemingway, Winstom Groom, Louisa May Alcott, Jean Austin, J.K. Rowling, Umberto Eco, dan Mario Puzo. Film Forrest Grump dari novel karya Winston Groom disutradari oleh Robert Zemeckis mampu memecahkan rekor box office. Keberhasilan film ini, menurut Alfiadi dan Fadlilah (1997:15) tak dapat dilepaskan dari peranan novel tersebut. Penonton mengenal film Forrest Gump dari novelnya. Selanjutya film ini juga memberikan imbas balik pada novel tersebut. Edisi pertama dari novel ini yang pertama kali diluncurkan pada bulan Oktober 1994, telah mengalami empat kali cetak ulang sampai pertengahan 1995. Pada tahun 1939, David O. Selzenick membeli hak cipta novel Gonna With the Wind, karya Margaret Mitchell. Film ini kemudian berhasil sebagai film terbaik dan meraih Piala Oscar. Pembuatan film berdasarkan novel ini tidak hanya karya-karya mutakhir melainkan juga karya sastra klasik. Hadyansah dalam Karkono (2013) menyebutkan, sejarah perfilman dunia, khususnya Hollywood, mencatat sembilan puluh persen karya skenario film dan televisi berasal dari proses pengadaptasian. Film Harry Potter yang merupakan adaptasi dari
Transformasi Budaya 2 I Nyoman Suaka novel karya J.K. Rowling, film The Lord of The Rings diadaptasi dari novel berjudul sama karya Tolien tahun 1954. Film Dr Zhivago diadaptasi dari novel karya Borris Pasternak. Bagaimana di Indonesia, apakah terjadi hal serupa? 1. Filmisasi Karya Sastra Sejarah perfilman di Indonesia mencatat bahwa film Darah dan Doa merupakan hasil transformasi budaya dari karya sastra ke film. Film ini dibuat berdasarkan sebuah cerita pendek (empat halaman) karya Sitor Situmorang. Sitor pada suatu kesempatan datang ke rumah Usmar Ismail membawa beberapa halaman cerita yang mengisahkan pengalaman seorang perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sedang bergerilya. Kisah ini mirip seperti pengalaman tentara Merah Tiongkok, “The Long March,” yang menyebabkan Usmar Ismail memfilmkan cerita itu. Usmar Ismail sang sutradara mengaku tertarik dengan kisah ini, karena menceritakan secara jujur kisah manusia Indonesia dengan tidak menjadi film propaganda (Ismail, 1983:169-170 dan Warta thn VIII, No. 1 Januari-Maret 2007). Film Darah dan Doa sangat beruntung karena mendapat kehormatan diputar di rumah kediaman Presiden Sukarno. Darah dan Doa berkisah tentang tokoh Sudarto seorang guru sebelum revolusi 17 Agustus 1945 yang dengan sadar ikut angkat senjata sebagai prajurit yang baik sehingga menjadi Kapten. Sudarto adalah tentara yang penuh tanggung jawab dan turut hijrah ke Sarangan sesudah Perjanjian Renville. Di tempat yang baru ini, dia berkenalan dengan seorang gadis Jerman. Hubungannya dengan gadis itu tidak disetujui oleh temannya hingga pecah peristiwa Madiun. Peristiwa Madiun itu menimbulkan goncangan batin yang tidak tertahankan, karena dia harus menumpas kawan-kawannya yang lama dalam suatu pertarungan yang tak kenal ampun. Ketika mendapat perintah agar kembali ke Jawa Barat, Sudarto masuk ke dalam hutan rimba dan jurang. Dalam perjalanan itu, Sudarto jatuh cinta pada seorang juru rawat yang kemudian tewas oleh peluru Belanda.
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 3 Dalam kesedihan itu, dia pergi dan menyusup ke kota, tetapi Sudarto tidak dapat mengendalikan diri untuk tidak singgah ke tempat gadis Jerman yag dikenalnya di Sarangan dulu. Kelalaian itu menyebabkan Sudarto ditangkap dan dijebloskan ke penjara dan dianiaya oleh Belanda. Dia baru keluar penjara setelah penyerahan kedaulatan, untuk turut serta merayakan kedatangan Presiden Sukarno di Jakarta. Akan tetapi, ketika Sudarto kembali ke pondoknya, peluru maut telah menembus badannya. Dia ditembak mati oleh salah seorang kawannya dari Sarangan. Tembakannya itu karena balas dendam atas kejadian peristiwa Madiun. Jauh sebelum Darah dan Doa, memasuki dasawarsa ketiga abad ke-20 karya sastra lisan khususnya cerita rakyat menemukan media transformasi baru yang mutakhir. Ketika itu tahun 1926 lahir film Lutung Kasarung sebuah cerita rakyat asal Sunda. Film ini diproduksi oleh perusahaan Java film Co. pimpinan Heuveldrop, seorang berkebangsaan Belanda. Lutung Kasarung dapat dianggap sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia yang diperankan oleh aktor dan aktris pribumi. Alasan pemilihan cerita Lutung Kesarung untuk difilmkan karena diyakini sebagai cerita rakyat yang sangat populer di masyarakat Jawa Barat. Ketika divisualisasikan dalam gambar hidup, film ini sempat mengalami masalah. Pengambilan gambarnyamenuai kritik dari para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat Sunda. Para ulama keberatan mempertontonkan putri-putri Sunda bertelanjang separuh dada dalam busana adat tradisional ketika berakting. Menurut Mukhlis PaEni dalam Kongres International Folklore Asia 7–9 Juni 2013 di Yogyakarta, hampir saja pengambilan gambar Lutung Kasarung dihentikan. Akhirnya Bupati Bandung ketika itu, Wiranata Kusuma turun tangan. Bupati mendatangi satu persatu ulama dan tokoh masyarakat yang mengkritisi Lutung Kasarung. Bupati juga secara langsung menjadi sponsor film tersebut. Ia mengizinkan anak gadisnya dan mengerahkan putri-putri kerabatnya untuk bermain dalam film Lutung Kasarung. Belum cukup sampai di situ saja, Bupati Wiranata Kusuma mengizinkan rumah dan aset-aset pribadinya sebagai lokasi shooting. ”Andai sekarang masih ada pejabat seperti
Transformasi Budaya 4 I Nyoman Suaka Wiranata Kusuma pastilah Industri film nasional kita maju seperti industri film di negeri lain,” ujar Mukhlis PaEni yang juga mantan ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia. Film Lutung Kasarung (1926) sebenarnya adalah sebuah film bisu, karena teknologi perfilman kita saat itu belum secanggih film Hollywood. Akan tetapi semua percakapan tanpa suara itu, subtansi, pesan, dan dialognya dapat didengar bukan melalui indra pendengar penontonnya. Melalui perasaan dan hati nuraninya, semua ucapan dan percakapan tanpa suara itu adalah dialog abadi yang sudah terekam dalam kolektif memori masyarakat penontonnya (PaEni, 2013). Produser Heuveldrop tampaknya membiarkan para penonton berdialog sendiri melalui sastra rakyat yang dimiliki dalam ingatan tradisi lisannya. Sementara visualisasi gambar hidup yang dilihatnya secara faktual memberinya pembenaran terhadap cerita Lutung Kasarung sebagai sebuah prosa kehidupan. Film Lutung Kasarung dapat dianggap sebagai sebuah upaya awal mentransformasikan cerita rakyat melalui media visualisasi gambar. Upaya ini bukan tanpa hambatan, baik berupa subtansi visualisasi maupun teknis, karena ternyata Lutung Kasarung hanya bisa dinikmati oleh penonton Sunda, dan Lutung Kasarung pun tidak bisa ditayangkan di luar tanah Pasundan karena hambatan yang serius. Bioskop bisu Lutung Kasarung membutuhkan gambelan Sunda sebagai pengiring dan instrumen itu tidak bisa diperoleh di luar Jawa Barat. Dari segi bisnis tampaknya Lutung Kasarung tidak menghasilkan keuntungan karena untuk produksi selanjutnya sang produser terpaksa harus mencari dana tambahan. 2. Pro dan Kontra Filmisasi dan sinetronisasi sastra di tengah-tengah masyarakat dan sastrawan, ternyata menimbulkan sikap pro (menerima) dan kontra (menolak). Karya sastra sebagai benih unggul itu, ketika ditanam di lahan yang subur belum tentu menghasilkan ”tanaman yang segar dan berbuah ranum.” Para pengarang, sastrawan, penonton film dan sinetron sering kecewa menyaksikan kualitas film atau sinetron hasil adaptasi itu.
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 5 Pengarang Amerika yang juga meraih hadiah nobel bidang sastra, Ernest Hemingway, sempat kecewa menyaksikan film yang diadaptasi dari karya-karyanya. Ia sanggup mengganti biaya produksi film itu, asalkan filmnya tidak jadi diputar (Eneste, 1991:10). Sastrawan Indonesia, Motinggo Busye, juga kecewa menyaksikan film Malam Jahanam yang diambil dari naskah drama karyanya sendiri. Berawal dari kekecewaan itu, akhirnya Busye menekuni dunia film. Sastrawan Armin Pane melakukan protes terhadap film Antara Bumi dan Langit karena cerita film itu tidak sesuai lagi dengan naskah asli hasil karyanya. Sastrawan Ahmad Tohari tidak mengizinkan film Darah Mahkota Ronggeng untuk diputar karena film yang diadaptasi dari novel hasil karyanya, Ronggeng Dukuh Paruk, berisi adegan porno, mesum, dan mengundang birahi. Padahal karya aslinya hanya mengungkapkan kesenian ronggeng di sebuah dusun terpencil di tengah budaya tradisi, antara mitos dan realitas. Akan tetapi, ketika novel ini kembali difilmkan oleh sutradara Ifa Ifansyah dengan judul Sang Penari, pengarang Ahmad Tohari menerima dengan senang hati. Bahkan dia memuji bahwa film tersebut sesuai dengan amanat yang ingin disampaikannya yakni tentang peristiwa G 30 S yang menimpa masyarakat melalui tim kesenian ronggeng. Dibandingkan cerita dalam novel, yang menonjol dari film ini adalah visualisasi kejadian tahun 1965 yang menimpa warga Dukuh Paruk. Ahmad Tohari, pengarang novel tersebut merasa puas dengan film Sang Penari (diskusi Ahmad Tohari di Balai Bahasa Yogyakarta, 17 Juni 2013). Ia sendiri dalam novel RDP (1982) tidak membuat deskripsi yang jelas tentang adegan penyiksaan atas warga Dukuh Paruk. Dalam visualisasi film diperlihatkan beberapa adegan yang mendukung latar gerakan komunis seperti, pemakaian topi para petani dicat warna merah, pemakaian sabit atau arit, ungkapan dewan revolusi, USDEK, dan keterlibatan tentara dalam menumpas mereka yang dituduh terlibat. Ungkapan USDEK terkait dengan Manifesto Politik (Manipol) yang diungkapkan oleh Presiden Sukarno pada pidato tanggal 17 Agustus 1959. Istilah USDEK sendiri merupakan singkatan dari
Transformasi Budaya 6 I Nyoman Suaka Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpim dan Kepribadian Indonesia. Pidato ini terkenal dengan Manipol Usdek sebagai ideologi resmi dan haluan negara waktu itu (Oktorino, dkk. 2009:246). Ideologi ini disosialisasikan ke masyarakat luas dan dalam visualisasi film dapat dibaca pada atap rumah dengan mengecat bagian-bagian genteng warna putih sehingga membentuk kata USDEK. Berbeda dengan Sang Penari, kisah Sudarto dalam Darah dan Doa yang terinspirasi dari cerpen adalah kisah sedih yang memilukan penonton. Sudarto bukan pahlawan dalam arti biasa, tetapi dia adalah seorang manusia Indonesia yang terlibat dan terseret oleh arus revolusi. Ternyata, penonton film tersebut tidak semua merespons dengan baik. Pihak perwira Angkatan Darat ketika itu menyalahkan sutradara karena film tersebut tidak menceritakan keperwiraan, tetapi melukiskan kelemahan seorang anggota tentara. Pada tahun 1950-an baru saja revolusi fisik selesai, terdengar keluh kesah dari mantan-mantan pejuang yang merasa dirinya tidak dihargai. Selanjutnya mereka berupaya mengambil tindakan untuk melarang beredarnya film Darah dan Doa. Film tersebut, menurut sang sutradara Usmar Ismail, merupakan filmnya yang pertama karena film tersebut diselesaikan secara teknis kreatif dan ekonomis oleh anak-anak Indonesia. Dalam salah satu musyawarah bersama Dewan Film Indonesia, hari shooting pertama film Darah dan Doa yaitu tanggal 30 Maret, telah ditetapkan sebagai Hari Film Nasional yang kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Film Nasional (Intisari, Thn I, No.1, 17 Agusus 1963). Dengan demikian, cerpen karya Sitor Situmorang ini dan legenda Lutung Kasarung membuktikan bahwa sejak awal kesusastraan Indonesia menjadi ide dasar cerita film. Akhir-akhir ini ini penulis novel Andrea Hirata mengaku sangat puas dan takjub setelah menonton film Laskar Pelangi (Sutradara Riri Reza) yang merupakan adaptasi dari novel karyanya sendiri. “Terus terang bagi saya Laskar Pelangi adalah sebuah memoar, sebuah kisah masa kecil dalam film. Ini yang sulit saya gambarkan bagaimana kebahagiaan saya,” kata Andrea Hirata dalam acara
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 7 konferensi pers peluncuran film Laskar Pelangi di Jakarta (Mandala, 26 September 2008). Film Laskar Pelangi yang diadopsi dari novel judul sama karya Andrea Hirata mampu menolak asumsi kecenderungan budaya populer yang menampilkan tema-tema percintaan, kemewahan, dan antirealitas. Film ini mampu membantah simbol budaya pop yang mengikuti kecenderungan popularitas dan kehidupan serba glamour oleh tokoh-tokoh manusia, sederhana, jujur, tulus, gigih, penuh dedikasi, ulet, sabar, dan takwa. Dalam konteks cerita ini, kemiskinan tidak berkorelasi langsung dengan kebodohan. Kemiskinan harus dilawan dengan metode pendidikan yang tepat guna. Pemerintah melalui dinas pendidikan dan semua pihak agar berpartisipasi aktif sehingga terbangun nilai-nilai pendidikan di tengah arogansi uang dan kekuasaan materi. Perlawanan melawan kemapanan pendidikan telah diperjuangkan SD Muhammadiyah lewat Laskar Pelangi dengan menarik dan mengelitik, tanpa emosi mengoreksi ketimpangan realita pendidikan. Sebaliknya, sastrawan Akhdiat Kartamihardja keberatan, setelah menyaksikan film Atheis yang didasarkan pada novelnya. Kartamihardja menganggap bahwa amanat novel tidak terungkap dalam film. Ketika akan disinetronkan (Elfialdi, 2007:3), Kartamihardja kembali kecewa. Penghargaan terhadap novel ini ketika itu sangat rendah hanya dihargai satu juta rupiah. Ironisnya lagi, jumlah ini tidak diterima secara utuh karena dibagi dua dengan penerbit Balai Pustaka. Setelah merundingkan dengan sastrawan lainnya, Kartamihardja menolak tawaran PT Kalbuku Videotama Production untuk mesinetronkan film tersebut. Elfialdi dan Fadlilah (2007 : 17–18) menyebutkan pada umumnya novel-novel yang dfilmkan merupakan karya-karya populer. Hal ini tidak terlepas dari persoalan industri hiburan. Tujuan utama industri ini adalah mengeruk keuntungan. Pengarang Indonesia yang karya-karyanya banyak difilmkan adalah Mira W, Marga T dan Hilman Hariwijaya. Beberapa novel Mira W yang telah difilmkan adalah, Di Sini Cinta Pertama Bersemi, Ketika Cinta Harus
Transformasi Budaya 8 I Nyoman Suaka Memilih, Masih ada Kereta yang Akan Lewat, Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, Cinta Cuma Sepenggal Dusta, Bilur-bilur Penyesalan, Biarkan Kereta itu Lewat, Arini dan Lembah Dosa. Dua novel karya Mira W, juga telah disinetronkan, yaitu Trauma Masa Lalu dan Sekelam Dendam Marisa. Novel-novel karya Marga T yang telah difilmkan adalah Karmila, Badai Pasti Berlalu, Untukmu Nana, Ranjau-ranjau Cinta, dan Saskia. Beberapa novel karya pengarang remaja Hilman Hariwijaya yang telah difilmkan, antara lain Tangkaplah Daku Kau Kujitak, Makhluk Manis dalam Bis, Topi-topi Centil, Idih, dan Udah Gede. Film-film yang diangkat dari novel-novel populer itu sempat digandrungi penonton Indonesia khususnya kawula muda. Ketika itu tidak berlebihan dikatakan kalau film Indonesa telah mampu menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Di era tahun 1970-an film tersebut sangat laris, tidak saja diputar di bioskop ibu kota, tetapi juga di bioskop-bioskop kota provinsi dan kabupaten. Bahkan juga diputar di desa-desa di lapangan terbuka dengan risiko misbar (gerimis bubar). Artinya, ketika film diputar kalau datang gerimis apalagi hujan maka penonton bubar. Kini bioskop jauh berkurang jumlahnya, hampir tidak ada lagi bioskop di daerah-daerah. Film ke desa-desa pun tidak kedengaran lagi karena sudah ada film televisi (sinetron) di rumah-rumah penduduk. 3. Sinetronisasi Karya Sastra Sejalan dengan perkembangan teknologi infiormasi dan komunikasi khususnya media televisi maka karya sastra Indonesia juga memasuki dunia sinetron (sinema elektronika). Beberapa novel, seperti Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan (Abdoel Moeis), Si Doel Anak Betawi (Aman Datuk Majoindo), Sengsara Membawa Nikmat (Tulis Sutan Sati), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (Hamka) dan Sukreni Gadis Bali (Anak Agung Panji Tisna) telah diadaptasi menjadi sinetron. Sinetron-sinetron tersebut cukup memikat perhatian pemirsa dan masyarakat sastra Indonesia, kecuali sinetron Sukreni Gadis Bali yang berlatar di Singaraja, Bali itu, kurang mendapat sukses ketika disinetronkan.
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 9 Sinetron menjadi primadona hiburan masyarakat sejak kondisi perfilman nasional mengalami keterpurukan pada dekade 1990-an. Menurut Yusuf (2008:11), kondisi ini seiring dengan menggeliatnya industri pertelevisian dan menjamurnya era selebritis instan bentukan televisi. Sinetron merajai program televisi. Penggertian sinetron sendiri merupakan konsep yang sederhana bisa didefinisikan sebagai sandiwara bersambung yang disiarkan oleh stasiun televisi. Di Indonesia, istilah ini pertama kali dicetuskan oleh sastrawan dan penulis skenario Arswendo Atmowiloto. Penyebutan sinetron sesungguhnya khas istilah Indonesia. Dalam bahasa Inggris, sinetron disebut opera soap (opera sabun), sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela. Novel Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli yang tergolong karya sastra bermutu tinggi (high culture) sangat menarik perhatian para pelaku budaya populer. Novel ini pernah difilmkan tahun 1941 dan beberapa kali disinetronkan. Novel Sitti Nurbaya pernah diadaptasi menjadi sinetron oleh sutradara, Dedi Setiadi dan penulis skenario, Asrul Sani. Sinetron tersebut ditayangkan TVRI Stasiun Pusat Jakarta tanggal 7 September 1991, 14 September 1991, 21 September 1991, dan 28 September 1991 setiap malam Minggu. Tayangan tersebut kemudian diputar ulang keesokannya setiap Minggu siang selama empat episode (Kompas, 5 September 1991). Tayangan ini diputar kembali setiap Minggu malam pukul 24.00 WIB selama Januari 2011 di TVRI Pusat Jakarta. Novel Sitti Nurbaya kemudian kembali disinetronkan oleh sutradara Encep Masduki produksi MD Intertaiment. Sinetron versi baru itu tetap mengambil judul Sitti Nurbaya ditayangkan Trans TV, 10, 17, 24, dan 31 Desember 2004. Sinetron ini kemudian menjadi komoditi ekspor karena ditayangkan di stasiun TV 3 Malaysia pada tanggal 6, 7, 8, dan 9 Oktober 2008. Stasiun TPI juga menayangkan sinetron Sitti Nurbaya garapan sutradara Rizal Putra Sirait dan penulis skenario, Siswanto dengan versi berbeda pada tanggal 28 November 2007. Sinetron yang diproduksi PT Laura Film ini ditayangkan dalam paket acara Sinema Asyik TPI. Terakhir cerita Sitti Nurbaya ditayangkan dalam acara Opera Van Java di stasiun TV 7, tanggal 18 Agustus 2009, bersifat komedi parodi.
Transformasi Budaya 10 I Nyoman Suaka 4. Tinjauan Akademis Transformasi budaya dalam wujud transposisi teks dari karya sastra ke film dan sinetron kini mulai menjadi objek kajian akademis. Para peneliti mulai bergeser dan tertarik dengan filmisasi dan sinetronisasi karya sastra baik klasik maupun modern. Hal ini merupakan langkah inovatif dan kreatif seiring dengan perkembangan teknologi informasi. Beberapa peneliti yang telah melakukan hal tersebut yakni. 1. Penelitian Budianta (2008) menggunakan pendekatan postkolonial dalam mengkaji kapitalisme melalui teks sastra, film dan sinetron. Penelitiannya berjudul ”Representasi Kaum Pinggiran dan Kapitalisme”, bersifat interteks dengan mengkaji lima teks yang terdiri atas dua karya sastrawan Aman Datuk Majoindo, yaitu novel Boejang Bingoeng dengan novel Si Doel Anak Betawi. Analisis kedua teks sastra ini dikaitkan dengan teks audiovisual film Si Doel Anak Betawi dan Si Doel Anak Modern karya sutradara Sjuman Djaya dan serial sinetron Si Doel Anak Sekolahan tayangan RCTI dengan sutradara Rano Karno. Menurut Budianta, kelima teks yang diteliti itu tidak bisa dilihat sebagai wacana yang utuh, terutama tentang kapitalisme. Akan tetapi, kelimanya menampilkan tanggapan terhadap satu aspek dari kapitalisme, seperti pengunaan uang sebagai alat tukar, dampak materialisme dalam era pembangunan, atau kritik terhadap gaya hidup metropolitan. Selanjutnya, apabila dilihat dari genrenya dalam tatanan ekonomi, empat dari kelima teks tersebut merupakan produk budaya yang mempunyai nilai komersial tinggi, sedangkan cerita Boejang Bingoeng menolak menggunakan sistem pertukaran uang (Foulcher dan Day, 2008:292). 2. Sinetron Salah Asuhan yang diadaptasi dari novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis pernah diteliti oleh Sarjono (1996). Sinetron tersebut pernah ditayangkan oleh stasiun SCTV Jakarta pada Maret 1994 dengan cerita yang
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika 11 I Nyoman Suaka berbeda dari novel aslinya. Sarjono memasalahkan, apakah transformasi cerita tersebut merupakan penyimpangan atau kewajaran. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa tayangan sinetron Salah Asuhan itu bukan merupakan penyimpangan. Perubahan-perubahan, tambahan, atau pengurangan yang terjadi pada sinetron yang disutradarai Ami Prijono itu berkaitan dengan fungsi teks yang baru sebagai transformasi teks yang lama. Perubahan itu, menurut penulis tidak hanya berkaitan dengan fungsi teks yang baru, tetapi tayangan sinetron tesebut justru berhasil menggali ide asli pengarang Abdoel Moeis. Dalam hal ini, produser dan sutradara menampilkan cerita asli Salah Asuhan, bukan cerita dalam novel yang sudah mendapat revisi dari redaktur Balai Pustaka. Beberapa episode novel ini sempat diubah, terutama karakter tokoh Corrie karena dinilai telah menghina pemerintah kolonial waktu itu. Akhirnya redaktur Balai Pustaka, terutama orang Belanda mengubah cerita Salah Asuhan menjadi seperti yang ada dalam novel. Sinetron ini menyimpang dari konteks cerita novel terbitan Balai Pustaka. Penyimpangan ini justru menghasilkan sinetron yang berkualitas dan berhasil keluar sebagai sinetron terbaik dalam Festival Sinetron Indonesia (FSI) tahun 1994. 3. Eneste (1991) meneliti karya sastra Indonesia, khususnya novel yang diangkat ke dalam layar film. Ia menyebutkan istilah ekranisasi untuk pelayarputihan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Ekranisasi berarti mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan dengan mengubah imaji linguistik menjadi imaji visual. Selanjutnya, menurut Eneste, ekranisasi memungkinkan perubahan unsur-unsur cerita, alur, penokohan, latar, suasana, gaya, tema dan amanat novel di dalam film. Sehubungan dengan penelitian tersebut, Eneste (1991: 68) memberikan beberapa saran yaitu, sebaiknya para
Transformasi Budaya 12 I Nyoman Suaka pengarang novel dan penonton film menyadari sepenuhnya perbedaan bahasa, ukuran, nilai novel dan film. Sikap ini dibutuhkan untuk menghindari ketidakpuasan pengarang bila novelnya difilmkan, dan menghindari ketidakpuasan penonton menyaksikan film yang didasarkan atas novel. Sebaiknya para penonton film, menonton tidak untuk mencocokkan film ekranisasi dengan novelnya. Sikap semacam ini untuk menghindari kekecewaan para penonton film karena filmnya tidak seasli novelnya. 4. Pramono meneliti tentang film Naga Bonar yang kemudian bermetamorfosa menjadi karya sastra dalam wujud master scene. Jenderal Naga Bonar sebagai karya sastra diterbitkan pertama kali pada tahun 1988 oleh Pustaka Karya Grafika Utama. Menurut Pramono (2011:172) sebagai karya sastra Jenderal Naga Bonar kurang memperoleh tanggapan kritikus. Hal ini dibuktikan dengan langkanya pembahasan tentang karya sastra tersebut. Kondisi ini memberi arti bahwa Jenderal Naga Bonar dalam bentuk karya sastra hanya sebagai dokumen tertulis setelah mereka menonton filmnya. Kenyataan ini hampir sama kasusnya, seperti film November 1828 karya Teguh Karya yang difilmkan pada tahun 1978. Adapun alasan kaum akademisi kurang meberi perhatian, karena disebabkan sifat cair dan kepopuleran karya tersebut, yang selama ini dihindari kritikus ilmiah. Pramono di bagian akhir kajiannya menyinggung tentang penerimaan masyarakat terhadap Jenderal Naga Bonar dari sudut film, karya sastra dan sinetron. Dari perspektif film, Jenderal Naga Bonar mendapat sambutan dari penonton karena kualitas film dan isi ceritanya sangat baik. Mengutip pendapat Said, Pramono (2011: 172) menyebutkan, film ini memberi kesegaran pemaparan revolusi yang lebih realistis yang disajikan oleh permainan cantik dari para aktornya. Konflik Jenderal Naga Bonar tidak dibungkus dalam bentuk tragedi seperti layaknya cerita-cerita pada umumya tetapi dibungkus dengan model komedi yang menampilkan
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 13 keluguan, kenakalan, kebersahajaan, dan kepasrahan. Dari perspektif karya sastra ternyata Jenderal Naga Bonar kurang memperoleh perhatian seperti dalam bentuk film, tetapi dilihat dari segi penjualan Jenderal Naga Bonar sebagai karya sastra tidak termasuk gagal. Hal ini terlihat pada jumlah penjualannya sebagai buku tergolong cukup besar. Bahkan dalam sejarah penjualan karya sastra Indonesia barangkali masuk dalam kelompok terbesar. Menurut data novel Jendral Naga Bonar berhasil dijual sebanyak 10.000 eksemplar dalam waktu dua bulan. 5. Penelitian Sitti Nurbaya dalam bentuk sinetron dua versi dilakukan oleh Suaka (2013) didasarkan atas pertimbangan bahwa sinetron Sitti Nurbaya versi TVRI dan Trans TV ini mengundang polemik di masyarakat. Sutradara dan produser sinetron ini mendapat pujian dan cacian, bahkan sampai ditantang berkelahi oleh pemirsa. Pemirsa lainnya mengancam agar menghentikan tayangan sinetron Sitti Nurbaya karena dinilai merendahkan martabat warga Minangkabau. Cerita novel Sitti Nurbaya sangat melegenda dan bersifat monumental di hati masyarakat Indonesia yang pluralistik. Kisah klasik ini mengungkapkan persoalan kehidupan yang sangat kompleks menyangkut politik kolonial, adat budaya Minangkabau, kearifan lokal, dan perjuangan feminisme yang sangat relevan dibahas dalam konteks kekinian. Hasil transformasi Sitti Nurbaya ke sinetron dua versi itu, menurut Suaka (2013) menghasilkan transposisi teks budaya yakni, dekonstruksi, distorsi, dan apresiasi. Tayangan Sitti Nurbaya Trans TV bersifat mendekonstruksi dan mendistorsi teks sumber (novel). Dekonstruksi merupakan pelintasan teks berupa perusakan dengan jalan menghapus, mencoret dan menyilang unsur-unsur cerita asli Sitti Nurbaya. Distorsi merusak teks sumber dengan maksud politis melalui permainan tanda yang bersifat sinisme atau lelucon. Transformasi yang besifat apresiasi ditemukan pada
Transformasi Budaya 14 I Nyoman Suaka sinetron Sitti Nurbaya versi TVRI karena tidak melakukan perusakan teks sumber. Sebaliknya, sinetron tersebut mampu memberikan penghargaan sebagai ajang nostalgia karena cerita tersebut sangat terkenal bagi masyarakat Indonesia. Sebagai karya sastra, beberapa uraian di atas akan dibahas lagi lebih mendalam dalam bab-bab berikut seperti Salah Asuhan, Sitti Nubaya, Laskar Pelangi, Rongeng Dukuh Paruk. Masih relevan dengan topik buku ini, yakni transformasi novel ke fim dan sinetron juga disinggung Azab dan Sengsara, Sengsara Membawa Nikmat, dan Sukreni Gadis Bali.
15 Sinetron Salah Asuhan Kembali ke Ide Pengarang Karya-karya pengarang Abdoel Moeis tidak berlebihan kalau dikatakan sebagai dokumen budaya yang menarik untuk dikaji. Peristiwa yang ditampilkannya adalah keadaan masyarakat Indonesia pada masa penjajahan dan perjuangan menentang kolonial Belanda dengan segala liku-likunya. Walaupun karya sastra sebagai hasil imajinasi, tetapi peristiwa yang dilukiskannya itu merupakan gambaran masa lampau dengan segala adat istiadat, budaya, politik dan suasana masa itu. Apa yang ditulis Abdoel Moeis waktu itu, terasa aktual sekali saat ini walaupun zaman telah memasuki abad ke-21. Ide-idenya terasa segar, tidak ketinggalan zaman. Karyakarya Abdoel Moeis menarik minat para budayawan dan pemerhati kebudayaan massa. Novel Salah Asuhan pernah difilmkan oleh sutradara Asrul Sani (1972) dan disinetronkan oleh sutradara Ami Prijono (1994). Novel Surapati pernah difilmkan tahun 1972 oleh Tidar Jaya Film. Naskah yang digunakan disusun oleh Budiawan Cs, yang juga tidak berbeda dengan alur cerita dalam novel Surapati karya Abdoel Moeis. Ketika itu ada dua produser film (Tidar Jaya Film dan Sarinande Film) yang sama-sama ingin mengangkat cerita Surapati ke dalam layar perak. Tidar Jaya Film berdasarkan naskah Budiawan Cs. sedangkan Sarinande Film
Transformasi Budaya 16 I Nyoman Suaka menggunakan naskah cerita novel Surapati karya Abdoel Moeis. Kedua produser film ini sempat bersengketa, karena masing-masing memfilmkan cerita yang sama. Pihak Persatuan Produser Film Indonesia (PPPFI) menyampaikan masalah tersebut kepada Lembaga Sejarah dan Antropologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lembaga tersebut menyimpulkan bahwa, naskah versi Tidar Jaya Film, ternyata mempunyai nilai-nilai historis yang lebih kuat dan lebih murni dibandingkan naskah novel Abdoel Moeis. Karya Moeis ini, menurut lembaga penilaian tadi, lebih banyak menceritakan sejarah hidup dan perjuangan tokoh Untung Surapati secara fiktif atau ahistoris (Kompas, 12 Juni 1972 dan 13 Juni 1973). Perbedaan ini menurut hemat penulis, karena latar belakang penulisan. Naskah yang digunakan oleh Tidar Jaya Film disusun berdasarkan aturan penulisan sejarah, sedangkan naskah Moeis ditulis dengan kriteria sebuah karya sastra. Tentunya unsur imajinatif tidak bisa diabaikan dalan karya sastra novel, sehingga wajar saja tim penilai dari Lembaga Sejarah dan Antropologi Depdikbud dibawah koordinator Drs. Djemen M.Sc. menilai naskah Budiaman Cs. lebih otentik. Di samping, penulisnya sendiri adalah seorang dosen sejarah IKIP Bandung. 1. Polemik Media Massa Novel Surapati oleh Abdoel Moeis sempat menjadi polemik di surat kabar (Bintang Timur, 15 Septerber 1963, Kompas, 12 dan 13 Juli 1972, dan Sinar Harapan, 29 Mei 1972). Dalam polemik itu, Moeis dituduh sebagai plagiat. Novel Surapati yang disusunnya itu, beberapa episodenya mempunyai kesamaan dengan buku yang berjudul sama, karangan Melati van Java (Budiawan dalam Kompas, 2 Juni 1972). Linda Bong membandingkan karangan Moeis (Surapati dan Robert Anak Surapati) dengan buku berjudul Dari Boedak Djadi Radja karagan F. Wiggers, terbitan Albert co Betawi 1898 dalam bahasa Melayu Betawi. Linda Bong benyak mengutip kalimat-kalimat dalam novel Moeis yang ada kesamaannya dengan karya F. Wiggers (Bintang Timur, 15 September 1963). Dari tuduhan yang kurang mengenakkan terhadap Moeis,
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 17 terdapat tanggapan yang cukup menyejukkan dari Edward Linggar yang dimuat Kompas 22 Mei 1972. Dalam tulisannya yang berjudul, “Sekitar Persamaan antara ‘Surapati’ Abdoel Moeis dengan ‘Surapati’ Karangan Melati van Java”. Edward mengatakan, kita mudah berprasangka bahwa “pembongkaran” atas Abdoel Moeis ini merupakan rangkaian dari “move gerakan Pramoedya Ananta Toer dengan Lekranya dalam menjatuhkan para pengikut Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Sebelumnya, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) berhasil “menggulingkan” H.B. Jassin, pendukung Manikebu dalam persoalan Hamka. Pengarang Hamka juga dituduh sebadai plagiat atas novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal van der Wijk. Edward Linggar menambahkan, bisa jadi kasus Moeis tidak bertendensi politik, namun soal literer belaka. Linda Bong sendiri menulis pembahasannya itu sebagai pelaksanaan tugas yang diberikan dosennya, Pramoedya Ananta Toer. Linda Bong adalah mahasiswi Fakultas Sastra Inggris Universitas Res Publica. Pramoedya yang kemudian memuatnya di Bintang Timur (Kompas, 22 Mei 1972). Sayangnya, tuduhan yang menyudutkan Moeis ini datangnya setelah ia meninggal (17 Agustus 1959). Hal ini juga dialami oleh penyair Chairil Anwar yang dituduh sebagai plagiat atas beberapa sajaknya. Seandainya ia masih hidup, maka akan diketahui masalah yang sebenarnya. Namun kalau membaca novel Surapati, maka pada akhir cerita (bagian penutup), pengarangnya mencantumkan tulisan seperti kutipan dibawah ini. “Demikianlah riwayat kehidupan Surapati yang terambil catatan sejarahnya dari buku-buku sejarah, yaitu Babad Tanah Jawa, Geschiedens Van N.I oleh Dr. F. W. Stapel, Sejarah Indonesia – Sanusi Pane, Si Untung – Melati van Java” (halaman 208). Penulis-penulis sejarah itu, menurut Moeis, antara yang satu dengan yang lain agak bertentangan dalam uraiannya. Untuk itu pengarang melakukan pemandangan dan menimbulkan kesimpulannya sendiri (halaman 208). Dengan demikian, penulis menilai bahwa karya Moeis itu tidaklah tepat disebut sebagai hasil
Transformasi Budaya 18 I Nyoman Suaka plagiat. Sebab, pengarangnya telah menyebutkan sumber aslinya dan bagian-bagian lain cerita itu adalah karya kreatif Abdoel Moeis sendiri. Ia menulis novel itu sekitar tahun 1914 dan dimuat dalam surat kabar Kaum Muda secara bersambung. Berawal dari sini cikal bakal kepengarangan Moeis mulai tampak, di samping menulis beberapa artikel yang tersebar di beberapa surat kabar waktu itu. Novel Surapati ini kemudian baru terbit tahun 1950 oleh Balai Pustaka setelah kemerdekaan. Sebab, cerita ini tidak mungkin terbit pada masa penjajahan kolonial Belanda. Buku Robert Anak Surapati sebenarnya menjadi satu dengan novel Surapati. Atas kesepakatan penerbit, cerita itu dikeluarkan sebagai buku yang terpisah dari cerita induk. Guna kelancaran isi cerita, maka di dalam buku Robert Anak Surapati terpaksa diambil sebagian kecil dari buku Surapati, yaitu yang berhubungan dengan pertemuan dan pergaulan Robert dengan ayahnya (prakata buku Robert Anak Surapati, 1982). Karya Moeis yang paling populer sampai saat ini adalah Salah Asuhan. Novel tersebut sampai saat ini sudah dicetak ulang untuk keduapuluh empat kalinya, sejak diterbitkan pertama tahun 1928. Buku Salah Asuhan pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan dimuat sebagai kisah bersambung dalam Kedjawen (terbitan Balai Pustaka) di Batavia Centrum pada masa praperang. Judulnya Kalem Ing Katresnan yang artinya, tenggelam dalam percintaan. Kemampuan Moeis dalam bidang kebudayaan khususnya di bidang kebahasaan dan kesusastraan sangat mengagumkan. Terbukti dari karya-karya aslinya itu, ia lebih menonjolkan bidang kebudayaan baik kebudayaan tradisi maupun modern. Perpaduan dua kebudayaan ini dia alami langsung. Pertama, ia lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat dengan lingkungan yang masih bersifat tradisional waktu itu. Kedua, ia aktif di Jawa dalam pergerakan politik (Sarekat Islam) dan menentang kolonial Belanda sehingga bergaul dengan orang-orang yang berpikir maju. Terlebih lagi, Moeis pernah pergi ke negeri Belanda untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Pengalamannya itu memberikan wawasan pada dirinya tentang kebudayaan modern. Penguasaan bidang bahasa dan sastra yang merupakan unsur
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 19 penting bidang kebudayaan, tidak diragukan lagi pada diri Moeis. Ia tidak saja menguasai bahasa Melayu (Indonesia) dengan baik, tetapi juga beberapa bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Hal itu dibuktikan dari karya-karya terjemahannya seperti yang telah disebutkan tadi. Bahkan ia adalah orang Indonesia pertama yang diangkat menjadi klerek (juru tulis) pada Departement Onderweijs (Departement Pendidikan) Belanda di Jakarta. Hal ini dikarenakan kemampuan Moeis berkomunikasi dengan bahasa Belanda cukup baik. Melalui karya-karyanya dapat diketahui bahwa ia menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan. Apa yang ditulisnya itu, tidak saja untuk pembaca di tanah air, tetapi juga untuk pembaca di luar negeri. Sebab karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Novel Salah Asuhan telah diterjemahkan oleh pengarang asing ke dalam bahasa Jepang, bahasa Cina, dan bahasa Inggris, Novel Surapati diterjemahkan ke dalam dalam bahasa Rusia, bahasa Kazakh, dan bahasa Kirgis. Menurut Pramoedya Ananta Toer, anakanak Lithaunia menyatakan kegembiraannya dapat berkenalan dengan Indonesia melalui Novel Surapati karya Abdoel Moeis (Harian Rakyat, No. 2383, tahun IX, 4 Juli 1959). Hal ini berarti, Moeis ikut memperkenalkan kebudayaan dan perjuangan bangsa Indonesia di luar negeri. Dalam novel Salah Asuhan, Abdoel Moeis mempertentangkan perbedaan adat dan kebudayaan antara Barat dan Timur (khususnya Minangkabau) dalam soal perkawinan. Konflik kawin campur (Indonesia-Belanda) beserta akibatnya juga digambarkan dalam novel Surapati dan Robert Anak Surapati. Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan sengaja mengakhiri kisah kedua tokoh utamanya, Hanafi dan Corrie. Corrie seorang gadis Eropa meninggal dalam penyesalan yang berkepanjangan dan Hanafi pemuda Minangkabau mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri setelah minum racun. Tokoh Untung dan Suzane dalam novel Surapati juga tidak mengalami kebahagiaan. Namun, Untung di dalam sejarah Indonesia seperti ditulis Ricklefs (1983) dan De Graaf (1989) adalah seorang budak belian yang berasal dari Bali. Perkawinan campuran antara Untung dengan Suzane (Belanda)
Transformasi Budaya 20 I Nyoman Suaka tidak direstui oleh Edeler Moor, ayah Suzane. Untung ditangkap dan dipenjarakan, sedangkan Suzane yang sedang hamil dibuang ke sebuah teluk di Jakarta. Setelah melahirkan ia dipulangkan oleh ayahnya ke negeri Belanda. Dalam novel Robert Anak Surapati, pemuda Robert, hasil perkawinan antara Untung dengan Suzane bimbang untuk memilih mana yang lebih baik. Memihak ayah (Indonesia) atau memihak ibu (Belanda). Keraguan-raguan ini sebagai akibat perkawinan campuran dan fenomena kebudayaan Barat dan Timur. Robert, ternyata memilih ibunya, kebangsaan Belanda. “Aku orang Belanda,” Demikian terungkap dalam novel Abdoel Moeis ini. Pengenalan terhadap kebudayaan Barat seperti yang digambarkan Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan bersumber pada peristiwa besar pada tahun 1901 dengan dicanangkannya politik Etis. Gagasan politik ini, menurut Nieuwenhuys (dalam Sugondo, 1997: 12), memperbesar harapan emansipasi bagi pengarang Indonesia pada khususnya dan kelompok berpendidikan Barat pada umumnya. Politik Etis adalah kebijakan pemerintah Belanda yang bertumpu pada suatu Ideologi yang beranggapan bahwa masyarakat jajahan dapat disejahterakan hanya jika masyarakat tersebut dimodernisasikan dengan mempergunakan kebudayaan Barat. Dengan demikian, politik tersebut dimaksudkan untuk menyatukan orang pribumi dan Belanda dalam satu masyarakat dan kebudayaan Barat. 2. Film dan Sinetron Walaupun karya-karyanya itu disusun pada awal abad ke-20, namun memasuki abad ke-21 ini kisah-kasih dalam novel-novel itu terasa aktual kembali. Tidak saja masyarakat pecinta Sastra Indonesia yang tertarik dengan ketiga novel itu, juga insan perfilman dan artis sinetron. Bahkan sinetron Salah Asuhan yang ditayangkan Surya Citra Televisi (SCTV) dinobatkan sebagai sinetron mini seri terbaik dalam Festival Sinetron Indonesia (FSI) tahun 1994 dengan artis-artis pendukung, seperti Ida Iasha, Dolly Marten, Shahnaz Haque, Rita Zahara, dan Marissa Haque sebagai produser. Adegan sinetron Salah Asuhan diawali dengan kaki dan tangan
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika 21 I Nyoman Suaka beberapa pemuda aktivis pergerakan terikat oleh rantai. Mereka berjalan sepanjang pasar Solok di Sumatra Barat. Salah seorang dari mereka dengan sorot mata yang tajam menatap penduduk yang tak berdaya untuk melakukan apapun menyaksikan semua itu. Tiba-tiba, pemuda itu lari, seorang serdadu Belanda menembakkan senapannya. Pemuda yang berkopiah itu terhuyung, dan sempat berjalan beberapa langkah. Akhirnya pemuda tadi jatuh terkapar. Pemuda itu sempat menyelipkan selembar selebaran protes ke tangan seorang ibu yang tengah belanja di pasar. Selebaran itu berisi protes tentang pajak yang dipugut oleh pemerintah kolonial Belanda. Adegan tersebut berbeda dengan halaman pertama buku Salah Asuhan yang mengambarkan percakapan antara tokoh utama Hanafi dengan Corrie. Percakapan itu terjadi di pinggir lapangan tenis, di bawah pepohonan yang rimbun. Cerita awal dalam buku tersebut dapat disaksikan dalam film layar lebar yang disutradarai Asrul Sani dengan produser Andhi Ashar. Beberapa aktor dan aktris terkenal masa itu yang terlibat dalam Film Salah Asuhan adalah Dicky Zulkarnaen, Rima Melati, Ruth Pellupesi, dan Fifi Young. Perbedaan alur awal tersebut bisa jadi agar tayangan sinetron lebih menarik perhatian dengan melibatkan emosi penonton secara dramatis. Hal ini mencerminkan pula bagaimana sutradara Ami Prijono bersama penulis skenario Alex Soeprapto menafsirkan Salah Asuhan. Menurut, Ami Prijono (Tempo, 12 Februari 1994), novel karya Abdoel Moeis ini bukan sekadar cerita tentang percintaan segi tiga dengan latar belakang konflik psikologi antara pribumi dan nonpribumi, tetapi juga sebuah cermin perjuangan menentang kolonial. Di balik cinta segi tiga itu pun, muncul persoalan kebudayaan Timur dengan Barat serta kompleks psikologi para tokoh-tokohnya. Produser sinetron Marissa Haque ingin menyajikan cerita Salah Asuhan yang asli, tidak sekadar mengikuti novelnya. Wajah asli Corrie dalam novel yang beredar merupakan wajah dan karakter yang sudah disensor yang dilakukan oleh Kepala Volkslectuur (kini penerbit Balai Pustaka) saat itu. Prof. Dr. A. Teeuw, Guru Besar Kesusastraan Melayu dan Indonesia pada Universitas Leiden pernah
Transformasi Budaya 22 I Nyoman Suaka menanyakan sensor itu langsung kepada Prof. Drewes. Kepala Volkslectuur, Drewes mengakui memang ada pemotongan beberapa adegan saat Corrie berada di rumah pelacuran. Chudori (dalam Tempo, 12 Februari 1994) menilai, transformasi novel Salah Asuhan ke sinetron cukup sukses karena sutradara Ami Prijono berhasil menerjemahkan karya yang bersandar pada kekuaan kata, ke karya audiovisual yang bersandar pada kekuatan gambar yang bergerak. Untuk mempertahankan latar suasana perjuangan waktu itu sekitar tahun 1920-an, Prijono tidak saja mengangkat tokoh-tokoh yang ada dalam novel Salah Asuhan, tetapi juga menambahkan tokoh Hamidan. Tokoh pemuda yang tidak hadir dalam novel itu adalah seorang pemuda Melayu. Pemuda ini lah satu-satunya aktivis pergerakan yang berkawan dengan Hanafi, yang telah dijauhi oleh kawan-kawannya. Melalui tokoh Hamidan (yang diperankan oleh Ikang Fauzi) sangat tampak perjuangan sosial politik dalam sinetron. Penambahan tokoh dalam filmisasi dan sinetroniasi novel adalah hal yang lumrah dilakukan oleh sutradara untuk lebih menghidupkan cerita. Hal ini juga dilakukan sutradara Dedy Armand dalam sinetron Sitti Nurbaya dengan tokoh baru, Ria Permata Sari yang diperankan oleh Carisa Putri. Demikian juga, dalam sinetron yang sama garapan sutradara Asrul Sani, muncul tokoh istri Bagindo Sulaeman. Tokoh ini dalam novel tidak ada, hanya diceritakan pengarang Marah Rusli telah meninggal (Suaka, 2013) Tokoh protagonis Hanafi adalah pemuda Solok, Sumatra Barat yang mendapat pendidikan Eropa. Dampak pendidikan itu, Hanafi menganggap bangsanya sebagai orang kampung yang ketinggalan zaman. Istri Hanafi sebelum menikah dengan Corrie, gadis peranakan Prancis dengan Minang ini adalah Rafiah. Istrinya ini tidak mampu melawan suaminya yang kebelanda-belandaan. Dalam sinetron Salah Asuhan dengan enam episode itu, Hanafi diperankan Dolly Martin, Rafiah oleh Shahnaz Haque, Corrie diperankan oleh Ida Iasha. Menurut pengamat film, Choudori (Tempo, 12 Februari 1994) tentang akting para pemain sinetron Salah Asuhan, ia menyebutkan penilaiannya sebagai berikut.
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 23 1. Dolly Martin yang memerankan Hanafi yang angkuh dan rendah diri karena statusnya sebagai kaum pribumi, tidak mampu mengangkat kompleksitas karakter tersebut. Martin muncul sebagai suami masa kini yang ngepop. Tingkahnya terhadap istri sungguh menjengkelkan dan hanya bisa berkeluh kesah soal “adat dan lembaga yang menggadai jiwaku,” 2. Shahnaz Haque sebagai Rapiah dan sebagai pemain baru tidak terlalu jelek. 3. Ida Iasha sebagai Corrie secara mengejutkan bermain paling baik dan paling wajar dari semua aktris dan aktor dalam sinetron tersebut. 4. Rita Zahara sebagai ibu Hanafi bermain secara profesional. Salah satu adegan yang paling berkesan dalam sinetron Salah Asuhan adalah ketika Hanafi minta agar Corrie bertandang ke rumahnya, dan ia minta jawaban segera. Bila tidak, ia akan bunuh diri, lalu mencekik lehernya sendiri. Kemudian kamera mengambil fokus Corrie yang menggelengkan kepala sambil tersenyum. Tidak ada adegan cengeng yang cenderung murahan. Sutradara, Prijono dengan pas menggambarkan bagaimana Corrie yang menaruh perhatian kepada Hanafi, tetapi tetap dalam kepalanya ia sangsi, layakkah ia menikah dengan pemuda itu (Tempo, 12 Februari 1994: 70-71). Akhirnya, Chudori menyimpulkan bahwa secara umum sutradara Prijono telah sukses membuat sebuah novel menjadi gambar bergerak, menampilkan gambar yang indah, menggunakan bahasa simbol dan dialog yang singkat dan proporsional. Dalam hal ini, sinetron Salah Asuhan lebih menarik daripada film layar lebar yang berjudul sama karya Asrul Sani. Dalam sinetron disuguhkan cerita versi asli pengarag Abdoel Moeis bahwa, Corrie menjadi penyanyi klub malam. Banyak pemuda memuji kecantikannya. Namun, ia mati ditembak oleh salah seorang pemujanya karena cemburu. 3. Karakter Tokoh Karakter tokoh Corrie dalam sinetron jauh berbeda dengan versi novel. Dalam buku yang mendapat sensor dari penerbit
Transformasi Budaya 24 I Nyoman Suaka Volkslectuur dilukiskan Corrie sempat menjadi pekerja sosial rumah yatim piatu. Ia diserang penyakit kolera dan akhirnya meninggal. Versi dalam buku ini yang kemudian diadaptasi menjadi film garapan sutradara Asrul Sani. Adaptasi ini pun di beberapa episode mengalami perubahan antara yang di buku dengan film. Dalam film Salah Asuhan diceritakan Hanafi dan Corrie pernah sekolah di Eropa, tetapi di dalam novel Abdoel Moeis disebutkan keduanya pernah sekolah di Betawi (Jakarta). Dalam film, tampak Hanafi dan Corrie berduaan di Lembah Anai, sedangkan dalam novel tidak ada adegan semacam itu. Setelah Corrie pergi ke Betawi, Hanafi akhirnya kawin dengan Rafiah. Suatu hari Hanafi digigit anjing gila, sehingga perlu berobat ke Betawi. Di Betawi, akhirnya Hanafi bertemu kembali dengan Corrie dalam film. Perjumpaan mereka di Betawi bukan disebabkan digigit anjing gila, tetapi karena Hanafi sedang liburan ke Betawi. Kemudian, ketika Corrie meninggal dunia, Hanafi kembali ke Sumatra Barat. Dalam novel, Abdoel Moeis melukiskan pertemuan Hanafi dengan keluarganya terjadi di Pasar Malam di Padang. Dalam film yang di sutradarai Asrul Sani melukiskan pertemuan tersebut terjadi di pantai. Walaupun terjadi beberapa variasi antara novel dan film pada hakikatnya tema dan amanat novel Salah Asuhan masih terungkap dalam film. Perbedaan karakter tokoh tidak saja muncul di film dan sinetron, tetapi juga pada novel Salah Asuhan. Perbedaan tersebut antara naskah yang ditulis oleh pengarangnya dengan buku yang telah diterbitkan. Pelukisan tokoh Corrie berlainan sekali antara naskah asli dengan yang ada dalam novel sehingga memiliki catatan khusus dalam sejarah sastra Indonesia. Sjafei Radjo Batuah dalam tulisannya yang berjudul “Di Balik Tirai Salah Asuhan” (Pustaka dan Budaya, November–Desember 1964) menyebutkan, naskah karya Moeis ini mengalami perbedaan sebelum lolos dari Volkslectuur. Dalam cerita Salah Asuhan sebagaimana terdapat dalam buku yang diterbitkan, peranan Tante Lien tampak tidak begitu penting sebagai nenek comblang. Oleh karena itu, belum berhasil menjebak Corrie dalam perangkapnya. Kalau Corrie akhirnya bercerai juga dari Hanafi, hal tersebut hanyalah semata-mata karena tuduhan yang
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 25 tidak terbukti bahwa Corrie telah bertindak serong dengan lelaki lain atas perantara Tante Lien. Corrie difitnah oleh Hanafi sehingga terpaksa menyingkir dari Batavia ke Semarang untuk bekerja pada sebuah panti asuhan. Akhirnya Corrie meninggal di rumah sakit karena diserang penyakit kolera. Dalam cerita ini, jalan kehidupan Corrie mendapat simpati seolah-olah meninggal sebagai pahlawan. Pelukisan tersebut, menurut Batuah (1964), bagaikan siang dan malam dengan jalan peristiwa dalam naskah asli yang ditulis Abdoel Moeis. Corrie sebenarnya gadis pesolek yang sangat menyukai pergaulan bebas. Ia sering bergaul dengan seorang pemain keroncong bernama Jance. Mereka malahan pernah berada dalam satu kamar tidur berdua. Gaya hidup Corrie yang mewah sangat menberatkan Hanafi dalam menopang baiay rumah tannganya. Pertengkaran tentang hal tersebut menjadi salah satu sebab perceraiannya, di samping baru terasa perbedaan bangsa setelah mereka bersuami istri. 4. Proses Penerbitan Salah Asuhan Perubahan jalan cerita seperti itu, menurut Muhamad Akhir Moeis, putra bungsu Abdoel Moeis, karena ayahnya dalam kesulitan hidup waktu itu sehingga terpaksa mengalah. Akhir Moeis menambahkan, ayah tak mau hidup dibantu kakek sendiri, walaupun kakak tertua saya dalam keadaan sakit. Kompromi pun akhirnya harus ditempuh (Tempo, 12 Februari 1994). Sikap kompromis Moeis terlihat pada suratnya yang diajukan kepada Volkslectuur. Menurut Akhir Moeis, ketika menulis buku Salah Asuhan ayahnya sedang dalam masa pembuangan di Garut, Jawa Barat. “Perjuangan ayah berat sekali. Di Garut hidupnya sangat susah, tanpa penghasilan. Kakak saya tertua yang lahir di sana meninggal karena penyakit tetanus. Pada saat itulah ibu mengingatkan ayah untuk meneruskan naskah Salah Asuhan yang ditulis di Belanda dan baru setengah jadi,” ujar Akhir Moeis (Femina, 3–9 Februari 1994). Mengenai sikap kompromis ayahnya, Akhir Moeis (Femina, 3–9 Februari 1994) menilai “ayah manusia biasa, bukan manusia super yang mati konyol. Melihat istrinya sengsara, anaknya meninggal, akhirnya ayah kembali ke realita.” Dalam keterangan
Transformasi Budaya 26 I Nyoman Suaka kepada wartawan Famili, Nyonya Soemarsih, istri Abdoel Moeis menceritakan, dalam keadaan sengsara ia melahirkan anaknya yang pertama dengan bantuan dukun bayi. Berita kelahiran ini cepat tersebar di kalangan keluarga Sarekat Islam. Tidak sedikit yang datang menjenguk dengan membawa beras, jagung, dan ada pula yang memberi uang (Famili, 7–21 Februari 1983). Melihat penderitaan mereka itu, menimbulkan rasa sedih dan gembira di dalam diri Nyonya Moeis. “Jangan sakit hati dan merasa dihinakan dengan pemberian ini, terima saja, keadaan kita memang begini adanya.” Ujar Abdoel Moeis menimpali perasaan istrinya (Famili, 7–21 Februari 1983). Bayi yang baru dilahirkan ini mendadak demam panas yang sangat tinggi dan kaget-kagetan disertai kejang. Sebagai mantan siswa kedokteran, Abdoel Moeis mengerti apa yang diderita bayinya, tetapi ia tidak berani memberitakan kepada istrinya. Dalam keadaan panik, Abdoel Moeis ke Cibatu, menemui temannya yang telah menjadi dokter. Namun dokter Sarwono pun tidak biasa menolongnya lagi dan anaknya meninggal karena tetanus yang dideritanya waktu itu belum ada obatnya. “Bapak sendiri yang membopong jenazah bayi ke makam, dengan pinjaman kain tetangga,” tutur Nyonya Abdoel Moeis dengan sedih (Famili, 7–21 Pebruari 1983). Kisah sedih dan pilu yang dirasakan Abdoel Moeis ini akhirnya meluluhkan hatinya, sehingga naskah Salah Asuhan mengalami perubahan. Akhir Moeis mengatakan ayah saya ingin menggambarkan wanita Indo zaman itu, tidak diterima dimanamana, baik pihak Belanda maupun di pihak pribumi. Cerita asli yang disusun Moeis tentang Corrie adalah gadis pesolek yang menyukai kehidupan bebas. Versi itu, menurut Abdoel Moeis tidak terlalu jauh dari cerita yang dikisahkan ibunya kepadanya (Tempo, 12 Februari 1994). Menurut Nyonya Abdoel Moeis, seperti yang dituturkan anaknya, Akhir Moeis, novel Salah Asuhan yang diterbitkan badan Volkslectuur memang tidak seperti yang disalinnya. Nyonya Moeis sendiri masih ingat dengan naskah suaminya yang ia salin sendiri (Tempo, 12 Februari 1994).
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 27 Volkslectuur badan penerbit Belanda itu, tidak suka dengan karakter Corrie yang seperti itu, karena dianggap bisa merusak citra orang Belanda. Abdoel Moeis diminta mengubah naskah itu. Sastrawan, politikus, dan wartawan yang sesungguhnya antiBelanda tersebut, tidak bisa berbuat banyak karena kesulitan hidup waktu itu. Abdoel Moeis akhirnya mengalah pada keinginan Belanda (Femina, 3–9 Februari, 1994). Chudori dan Irawanto dalam tulisannya berjudul “Mencari Wajah Asli Corrie” (Tempo, 12 Februari 1994) mengatakan, wajah (karakter) Corrie de Busse dalam novel Salah Asuhan yang beredar luar di masyarakat adalah karakter yang sudah diubah. Perubahan tersebut dilakukan oleh Profesor Drewes, Kepala Volkslectuur. Drewes tidak ingin gadis Eropa kelihatan terlalu negatif. Guru besar Kesusastraan Melayu dan Indonesia Universitas Leiden, Belanda, A. Teeuw mengatakan, seandainya naskah itu tidak mendapat campur tangan untuk disesuaikan dengan selera Volkslectuur, maka sebagai hasil sastra buku itu akan banyak mendapat perhatian yang wajar. Ia menyayangkan naskah Salah Asuhan itu disensor badan Volkslectuur (Sjafi Radjo Batuah, 1964). Novel ini dikarang oleh Abdoel Moeis pada permulaan tahun 1927, setelah ia baru saja dijatuhi hukuman eksternir dari daerahdaerah luar Jawa dan Madura. Rupanya konsep karangan itu sudah bulat menyeluruh dalam pikirannya, karena karangannya dapat diselesaikan dalam waktu 20 hari dengan tulisan tangan. Setelah lama menunggu, tiba-tiba datang seorang pegawai dari Balai Pustaka (Volkslectuur) yang membawa kabar bahwa, harus diadakan revisi dalam cerita Corrie, setelah meninggalkan suaminya. Perintah untuk merevisi itu pun dipenuhi oleh Moeis. Dalam naskah aslinya, Corrie yang pada mulanya hidup bebas dan pernah menjadi pelacur kemudian mati ditembak pengagumnya. Bagian ini diubah seperti cerita sekarang ini, Corrie setelah meninggalkan suaminya pergi ke Semarang dan bekerja di sebuah panti asuhan. Beberapa hari kemudian, Moeis mengirim surat lagi ke badan Volkslectuur, karena lama tidak ada kabar dari penerbit Belanda itu. Saat itu, persediaan makanan dan keperluan lain bagi keluarga Moeis sangat mendesak. Dengan uang satu rupiah, Nyonya Moeis
Transformasi Budaya 28 I Nyoman Suaka mengatur uang itu dengan jalan membelikan kain agak kasar untuk dibuat rok anak-anak yang kemudian dijualnya. Hasilnya hanya cukup untuk keperluan dapur agar tetap bisa memasak. Saat penderitaan itu, anaknya pun lahir. Untuk popok bayi, cukup menyobek sehelai kain yang hanya beberapa lembar yang dimiliki Ibu Moeis. Banyak orang datang yang menyatakan rasa prihatin. Di antara mereka itu menyarankan agar Moeis minta ampun pada Belanda dengan imbalan agar diberi jabatan yang tinggi. Akan tetapi, Moeis tetap pada pendiriannya meskipun hidupnya sengsara. Ia dengan tegas mengatakan, “Apa artinya minta ampun, minta ampun berarti mengakui punya salah. Mengapa harus minta ampun?” Nyonya Moeis mengakui, sebagai wanita dia kadang-kadang tidak tahan terlalu menderita dan dibayangi rasa was-was. Ia sering gelisah sehubungan dengan aktivitas suaminya dalam politik dan pergerakan. Ketika bayi yang dilahirkan telah berusia 7 bulan datang surat dari Jakarta yang mengabarkan pengiriman uang imbalan (honorarium) novel Salah Asuhan. Dengan kegembiraan yang meluap-luap, keesokan harinya. Moeis bersama istrinya pergi ke Garut naik delman. Untuk ongkos delman pun mereka tidak punya uang lagi dan dijanjikan membayarnya belakangan, setelah menerima honor. Sesampainya di kantor pos, mereka sangat kecewa karena hari itu hari besar. Semua kantor tutup. Selanjutnya Moeis menemui Asisten Residen Kota Garut, untuk meminta dispensasi agar dapat mengambil uangnya hari itu juga. Asisten Residen mengabulkan permintaan itu, meskipun sesungguhnya dalam rapat-rapat sering sekali berbantahan dan berbeda pendapat. Honor yang diterimanya dari novel Salah Asuhan sebesar Rp2.500. Uang itu kemudian dibelikan segala keperluan seperti tanah, rumah sampai perhiasan untuk pengganti yang telah dijual.
29 Sinetron Si Midun Sengsara Membawa Nikmat S engsara Membawa Nikmat merupakan sebuah sinetron yang ditayangkan di TVRI pada tahun 1991. Sinetron ini diangkat dari sebuah novel karya Tulis Sutan Sati yang mengambil seting lokasi di beberapa daerah di Minangkabau. Pemain utama di sinetron ini, yaitu Sandy Nayoan, Desy Ratnasari, Septian Dwi Cahyono, Arief Rivan, Tina Melinda, Alwi AS, Achmad Nugraha, BHR Tanjung dan artis lainnya. Sinetron ini dikenal juga sebagai Film Si Midun dan kualitasnya sejajar dengan sinetron Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, dan Azab dan Sengsara ketika itu. Menyaksikan sinetronsinetron yang diangkat dari karya sastra klasik itu rasanya tidak berlebihan bahwa sinetron tersebut mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berlatar Minangkabau dengan iringan musik tradisional yang khas, Sinetron Sengsara Membawa Nikmat disutradarai Agus Wijoyono. Sebagai penulis skenario Asrul Sani dengan ide produksi
Transformasi Budaya 30 I Nyoman Suaka dari Sanggar Pelakon pimpinan Mutiara Sani. Sengsara Membawa Nikmat adalah kisah cinta yang mengharukan. Sinetron ini ditayangkan oleh TVRI dalam enam episode. Namun, pada intinya kisah ini menekankan pentingnya masyarakat berpegang teguh pada tradisi dengan menerima nilai-nilai modern yang relevan. Novel karya Tulis Sutan Sati ini bersifat didaktis, yaitu mempertahankan diri pada nilai tradisi di tengah godaan modernisasi, akan mendatangkan kenikmaaan dan kebahagiaan (Horison, XXXX/2006). Novel Sengsara Membawa Nikmat kurang diketahui para pelajar sehingga kehadirannya di layar televisi sangat mengagetkan setelah mendapat izin dari ahli waris pengarang, Erawati Tulis. 1. Inspirasi dari Novel Suksesnya sinetron Si Midun ini, tidak boleh dilepaskan dari cerita aslinya dalam novel karya pujangga Tulis Sutan Sati. Banyak pemirsa khususnya pemerhati sastra Indonesia ingin menyaksikan tayangan perdana sinetron tersebut, untuk mengetahui sejauhmana cerita novel yang terkenal ini, mampu mencapai sukses dalam sinetron. Sepintas cerita sinetron yang terinspirasi dari novel Sengsara Membawa Nikmat itu sebagai berikut. Seorang pemuda di salah satu desa di Minangkabau bernama Midun (diperankan Sandy Nayoan) dan sahabatnya Maun (Septian Dwi Cahyono). Midun adalah seorang pemuda yang merupakan seorang anak dari petani miskin. Ia berpenampilan sopan, taat beragama, dan jago silat sehingga ia sangat disukai oleh warga kampung. Namun, ada seorang pemuda yang iri kepadanya, yaitu Kacak (Arief Rivan), seorang kemenakan kepala desa yang bergelar Tuanku Laras. Kacak adalah seorang yang sangat sombong dan selalu bersikap semaunya karena merasa pamannya adalah seorang kepala desa. Berbeda dengan Kacak, Midun, anak sulung seorang petani miskin, justru selalu disegani banyak orang. Midun berpenampilan sopan, belajar mengaji, sekaligus memperlajari ilmu silat kepada guru mengajinya, Haji Abbas dan Pendekar Sulatan. Kemahirannya dalam ilmu bela diri itu pun, sama sekali tidak membuatnya dia sombong. Perilakunya tetap terpuji dan dihormati warga sekampung.
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika 31 I Nyoman Suaka Bagi Kacak, perilaku Midun itu sangat menyebalkan. Ia tak senang orang-orang di kampungnya menyukai dan memuji tabiat pemuda miskin itu. Lalu, dicari-carinya kesalahan Midun. Kacak sempat mengajaknya berkelahi. Akan tetapi, dengan sabar Midun berusaha menghindari perkelahian. Ia merasa lebih baik mengalah daripada ribut atau berkelahi dengan Kacak karena tidak ada manfaatnya. Namun, Kacak yang menganggap Midun sebagai musuhnya, justru menyerangnya lebih dulu secara membabi-buta. Berkat ilmu silat yang dimiliki pemuda penyabar itu, seranganserangan Kacak selalu dapat dihindarinya. Terlalu mudah bagi Midun mematahkan setiap serangan dari Kacak. Ketika diketahui bahwa Midun berhasil menyelamatkan istri Kacak yang nyaris tenggelam karena derasnya arus sungai, dendam Kacak makin berkobar. Ia mengangap Midun telah melakukan perbuatan kurang ajar dan telah berani memegang wanita yang bukan istrinya. Lalu, untuk kedua kalinya, Kacak berusaha menyerang pemuda yang telah menyelamatkan istrinya itu. Apa boleh dibuat, Midun meladeninya. Laki-laki sombong dan tak tahu diri itu, dengan mudah dibuatnya jatuh tergeletak. Akibat peristiwa itu Midun terpaksa menerima hukuman berupa keharusan mengerjakan apa saja yang diperintahkan Tuanku Laras. Orang yang mengawasinya selama ia menjalani hukuman itu tidak lain, yakni Kacak sendiri. Pukulan dan caci-maki keponakan kepala desa itu pun, terpaksa diterima Midun dengan pasrah. Tampaknya, Kacak sendiri belum juga puas melihat Midun masih berkeliaran di desa itu. Ia pun bertekad untuk membunuhnya. Secara diam-diam, ia menyuruh Lenggang, seorang pembunuh bayaran, untuk melakukan rencananya. Siasat pun diatur, ketika Midun dan Maun sahabatnya mencari warung nasi saat berlangsung pacuan kuda. Pemuda Lenggang orang suruhan Kacak tiba-tiba menyerang Midun dengan pisau terhunus. Beruntung Midun dapat menggelak. Terjadilah perkelahian yang membuat panik orang-orang di sekitarnya. Polisi kemudian datang menangkap mereka. Setelah di periksa, Maun yang tak bersalah, diizinkan pulang. Sebaliknya, Midun dinyatakan bersalah. Ia ditahan dan dibawa ke penjara Padang.
Transformasi Budaya 32 I Nyoman Suaka Kacak yang mendengar berita tersebut, merasa sangat senang. Orang yang ia anggap musuh itu, kini mendekam di penjara. Di penjara, Midun mengalami berbagai siksaan, baik yang dilakukan sipir-sipir penjara, maupun sesama tahanan lainnya. Belakangan, tahanan lainya tidak berani terhadap Midun, sesudah ia berhasil membuat jagoan di penjara itu bertekuk lutut. Dalam menjalani masa hukuman, Midun disuruh menyapu di jalan. Saat ia menyapu jalan, sebagai tugas sehari-hari, ia melihat seorang gadis duduk di bawah pohon kenari. Beberapa saat setelah wanita itu pergi, Midun melihat sebuah kalung berlian. Ia yakin, kalung itu milik wanita tadi. Segera ia menemuinya untuk mengembalikan benda berharga itu. Inilah awal perkenalan Midun dengan gadis yang bernama Halimah itu. Perkenalan mereka terus berlanjut. Midun akhirnya tahu keadaan Halimah yang sebenarnya. Ternyata, wanita itu kini tinggal bersama ayah tirinya. Hal itu terpaksa ia lakukan setelah ibu Halimah meninggal dunia. Ia sebenarnya ingin meninggalkan ayah tirinya. Halimah kemudian meminta pertolongan Midun agar membawanya kabur. Setelah Midun dinyatakan bebas, Midun segera membawa Halimah. Berkat pertolongan Pak Karto, seorang petugas yang bekerja sebagai pembantu penjara, Midun berhasil membawa wanita itu ke Bogor, menemui ayah Halimah. Dua bulan Midun tinggal bersama Halimah. Ia kemudian bermaksud mencari pekerjaan di Jakarta. Dalam perjalanan ia berkenalan dengan orang Arab bernama Syekh Abdullah AlHadramaut. Mengetahui maksud Midun pergi ke Jakarta, Syekh Abdullah memberi pinjaman uang untuk modal Midun berdagang. Dengan modal itulah, Midun memulai usahanya yang ternyata lambat-laun terus mengalami kemajuan. Ketika Midun hendak mengembalikan uang pinjamannya, jumlah yang harus dibayar ternyata sudah membengkak. Ia baru sadar jika orang Arab itu seorang rentenir. Tentu saja, Midun tak mau mengembalikan uang pinjamannya, dengan jumlah yang sedemikian besar. Namun, lintah darat itu ternyata mempunyai akal licik. Midun harus memilih, membayar uang pinjaman berikut bunganya atau merelakan Halimah menjadi istri Syekh Arab yang rentenir itu.
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 33 Halimah yang diperlakukan demikian oleh orang Arab itu, tentu saja marah dan menyatakan tidak sudi menjadi istrinya. Persoalan ini ternyata kembali harus melibatkan Midun berurusan dengan polisi. Pengaduan orang Arab itu yang membuat Midun kembali di tahan. Bebas dari tahanan, ia sempat pergi ke Pasar Baru. Tiba-tiba dilihatnya seseorang sedang mengamuk dan hendak membunuh seorang sinyo Belanda. Tergerak hatinya, Midun turun tangan dan berhasil menyelamatkan sinyo itu. Midun kemudian membawa Sinyo kepada orang tuanya yang ternyata Tuan Hoofdcommissaris. Sebagai ungkapan terima kasih, kepala komisaris itu memberi Midun pekerjaan sebagai juru tulis. Tak lama sesudah itu, ia pun melaksanakan niatnya untuk menikah dengan Halimah. Sementara itu, karena Midun memperlihatkan prestasi yang baik dalam pekerjaanya, ia diangkat sebagai manteri polisi Tanjuk Priok. Midun kemudian ditugasi untuk menumpas penyelundupan di Medan. Ketika sedang menjalani tugasnya, secara kebetulan, ia bertemu dengan Manjau, adiknya. Dari adiknya itulah ia mendengar kabar bahwa ayahnya telah meninggal. Harta kekayaan ayahnya yang tidak terlalu banyak itu habis untuk biaya hidup, dan sebagian lagi diambil oleh keponakan ayahnya. Kabar ini membuat Midun merasa sedih dan merasa terpanggil untuk kembali ke kampung halamannya. Sekembalinya dari Medan, ia mengajukan permohonan kepada Ketua Komisaris agar tugasnya dipindahkan ke kampung halamannya. Permohonan itu dikabulkan. Bahkan di tempat tugasnya yang baru, Midun diberi jabatan sebagai Asisten Demang. Berada di kampung halamannya, tentu saja membuat Kacak yang kini menjadi penghulu kampung, merasa serba salah. Belakangan terbukti, Kacak telah menggelapkan uang negara. Posisi Kacak kian terjepit. Ia pun kemudian ditangkap dan dijebloskan ke penjara Padang. Midun kemudian hidup bahagia bersama seluruh keluargannya, sengsara membawa nikmat. Membaca novel dan menyaksikan tayangan sinetronnya, tampak tiga hal penting yang ingin disampaikan pengarang dan sutradara. 1. Tokoh Midun memperoleh jabatan cukup tinggi dalam struktur pemerintahan jajahan sebagai mantri polisi di Tanjung Priok.
Transformasi Budaya 34 I Nyoman Suaka 2. Novel ini telah membuka jalan bagi perkawinan antaretnik yang waktu itu sangat sukar dilakukan. 3. Midun secara formal sebagai pegawai pemerintah jajahan diangkat menjadi penghulu negeri, yaitu jabatan tradisional yang umumnya hanya disandang kaum tua. 2. Masalah Harta Warisan Selain Sengsara Membawa Nikmat, satu novel klasik yang berjudul mirip, Azab dan Sengsara juga telah ditransformasikan ke sinetron oleh sutradara Edwar Pesta Sirait. Menurut Sirait, tidak gampang mengangkat sastra klasik ke layar kaca. Kendala utama adalah menentukan seting tempat dan kostum yang dapat mendekati keadaan masa lampau (Republika, 21 September 1994). Sinetron Azab dan Sengsara diproduksi oleh PT Ciri Production House diangat dari novel judul sama karya Merari Siregar. “Kalau saya kembai ke seting tahun 1920-an murni, biayanya sudah pasti mahal sekali bisa mencapai Rp2 milyar sampai Rp3 milyar. Untuk membikin perkampuangan zaman dahulu di Sipirok Tapanuli Selatan, memerlukan sekitar 30 rumah besar yang sangat mahal. Mengingat kemampuan pasar, saya berusaha realistis sehingga Azab dan Sengsara hanya menghabiskan biaya produksi sekitar Rp500 juta,” ujar Sirait kepada media massa di bulan September1994. Kendala lain yang juga dirasakan oleh sutradara adalah kota Sipirok sekarang sudah sangat maju. Listrik dan aspal sudah masuk sampai ke pedalaman. Pada hal tahun 1920-an sesuai seting novel tersebut perkampungan tersebut masih sangat sederhana. Untuk menyiasatinya, terpaksa jalan yang beraspal tadi dilumuri pasir. Kameraman pun dituntut hati-hati mengambil setiap angle kamera agar jangan sampai menyimpang jauh dari keadaan waktu novel itu pertama kali beredar. “Terus terang saya tidak terlalu berambisi menjagokan segi artsitik Azab dan Sengsara, tapi saya lebih menonjolkan nilai moralnya, “ ujar Sirait (Republika, Rabu, 21 September 1994 halaman 5). Mengawali proses pengarapan sinetron ini, media massa ketika itu sempat memberitakan bahwa novel ini sempat diperebutkan oleh
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 35 beberapa sineas. Mereka adalah Agus Wijoyanto dari Televisi Repblik Indonesia (TVRI), H. Alfadin (PT Sal Putra Film) dan Edward Pesta Sirait (PT Ciri Producion House). Setelah proses waktu dua tahun lamanya, akhirnya Sirait memenangkan hak cipta novel itu yang besarnya Rp2,5 juta. Skenario sinetron Azab dan Sengsara ditulis oleh Bokor Hutasuhut juga seorang sastrawan. Penulis skenario ini cukup memahami budaya Sipirok dengan menuangkannya dalam bentuk sinetron lima episode. Setiap episode memerlukan durasi sekitar 1 jam. Shoting dinetron ini dilakukan selama 72 hari (7 Juni sampai 2 September 1994), lebih cepat dari rencana semula yakni tiga bulan. Untuk menggarap Azab dan Sengsara, sutradara menyiapkan 40 seting tempat di berbagai lokasi, seperti Sipirok, Padang Sidempuan, Sibolga, Brastagi, Bukittinggi, Padang, Balige, Prapat, dan Siantar. Belum cukup sampai di sana, lokasi shoting juga di beberapa daerah perkebunan di Sumatra Utara, Jambi, dan Medan. Sinetron ini didukung oleh artis, Sally Marcelina (sebagai Mariamin), Reynold Surbakti (Aminudin), Arthur Tobing (Sutan Baringin). Pemain lainnya, Tantawi Panggabean, Diana Yusuf, Zulkifli Chan, Tuty Daswipatri, dan Alex Latif. Diangkatnya novel Azab dan Sengsara telah memperpanjang barisan sinetronisasi karya sastra. Hal ini direspons dengan positif oleh masyarakat Sumatra Utara dan pemerhati sastra Indoneia. Bahkan Gubernur Sumatra Utara ketika itu, Raja Inal Siregar berjanji mendukung kegiatan yang sama di wilayahnya, kalau sinetron ini sukses dalam penayangan (Jawa Pos, 16 Agustus 1994) Seperti kisah-kisah novel seangkatan Balai Pustaka, sinetron Azab dan Sengsara juga bercerita tentang cinta dua anak manusia yang sedang kasmaran. Dua tokoh protagonis sinetron, Mariamin dan Aminudin memainkan peran percintaan di tengah dominasi adat istiadat setempat. Dalam masyarakat yang memegang teguh nilai tradisi, adat istiadat setempat sangat memengaruhi keseharian masyarakatnya. Menurut adat setempat, Aminudin berhak menikahi putri pamannya, Mariamin. Kebetulan juga Aminudin tidak bertepuk sebelah tangan, sebab Mariamin juga menyambut cinta rekayasa adat itu
Transformasi Budaya 36 I Nyoman Suaka dengan senang hati. 3. Azab dan Sengsara Kisah dalam novel, di sebuah kota kecil Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda, bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak, laki dan perempuan. Anak pertama seorang gadis, Mariamin yang memiliki paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua lakilaki yang berusia empat tahun. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup diselimuti kesengsaraan dan kesedihan. Walaupun demikian, semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak pernah mengeluh dan putus asa. Kisah sedihnya bermula setelah meninggal sang ayah, Sutan Baringin. Sebelum ayahnya meninggal kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta itu akhirnya lenyap habis diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan Baringin memiliki sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain. Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara, yaitu Baginda Mulia, tetapi Sutan Baringin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin malah memperkarakannya ke pengadilan. Sutan Baringin tidak mau mengaku saudara kepada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta warisan yang akan diberikan Sutan Baringin kepadanya akan ia terima. Sutan Baringin tetap tidak mau dan ingin memperkarakan saja ke pengadilan. Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Baringin. Akhirnya Sutan Baringin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Baringin dan berhak separuh atas warisan neneknya. Sutan Baringin tidak puas atas putusan itu. Ia mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk perkara tersebut memerlukan biaya yang besar. Harta berupa sawah dan ternak terjual habis. Di balik kasus tersebut, yang beruntung adalah Marah Sait karena mendapat uang jasa dari Sutan Baringin. Perkara
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 37 harta warisan itu dimenangkan oleh Baginda Mulia. Sutan Baringin tidak puas, perkara dilanjutkan ke Jakarta. Biaya tentu lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah sampai akhirnya ia menyesal karena tidak mau menerima saran istri agar berdamai dengan Baginda Mulia. Penderitaan yang dirasakan tidak saja menimpa Sutan Baringin, tetapi anak dan keluarganya ikut menanggung azab dan sengsara. Selain masalah harta warisan, sinetron ini juga menyentuh perasaan penonton dengan kesedihan Mariamin yang ditinggal pergi oleh kekasihnya Aminuddin ke Kota Medan. Hancurlah semua cita-cita dan harapan muda mudi ini yang telah terbina sejak lama. Di Medan, Aminuddin bekerja di perkebunan tembakau. Ia mencoba menyurati Mariamin karena lama tidak bertemu. Dalam suratnya Aminudin mengatakan hendak meminang Mariamin untuk dijadikan istrinya. Ia menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin. Akan tetapi, ayah Aminudin justru membawa perempuan lain ke Medan dengan alasan Mariamin bukan jodoh Aminudin. Apa yang dilakukan itu, bersumber dari ucapan seorang dukun yang dimintai pendapat oleh ayah Aminuddin. Dengan sangat terpaksa, kecewa, dan menyesal Aminuddin menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya karena cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat surat serta permohonan maaf kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak Aminudin untuk meninggalkan Mariamin, akan tetapi gara-gara sang dukun. Di Sipirok, Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang laki-laki hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga ke Medan oleh Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat birahinya. Mariamin takut penyakit Kasibun menular kepadanya. Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang kembali ke Sipirok. Di kota kecil inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Akhirnya Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan penderitaannya di dunia yang fana ini.
Transformasi Budaya 38 I Nyoman Suaka 4. Gaya Penceritaan Analisis yang dilakukan Sumarjo (Pikiran Rakyat, 24 Desember 1980) atas novel Azab dan Sengsara menyebutkan, karya Merari Siregar ini sebenarnya hanya mempunyai satu plot pendek saja yang mungkin bisa ditulis dalam sebuah cerita pendek. Plot cerita yang sederhana dan pendek ini ternyata ditulis dalam buku yang cukup tebal sekitar 180 halaman. Menurut kritikus sastra Sumarjo, hal ini disebabkan terlalu banyak melukiskan suasana hati, pemikiran dan bahkan tata adat tempat terjadinya cerita. Cerita yang pendek ini berjalan secara tersendat-sendat sehingga membuat pembaca modern agak jengkel mengikuti ceritanya, terasa lamban dan kurang menarik. Tak ada suspense (kejutan) sama sekali. Kisah berjalan secara datar, lamban dan membosankan. Lebih lajut, kajian Sumarjo menyebutkan, kesan bertele-tele cerita novel tersebut disebabkan beberapa hal. 1. Sisipan cerita sedikitnya tiga kali terjadi. Pada waktu dikisahkan adegan percintaan Mariamin dan Aminudin pengarang menyisipinya dengan kebangkrutan ayah Mariamin. Suasana kebangkrutan ini menghabiskan hampir separuh novel Azab dan Sengsara. Di sisi lain dikisahkan juga cerita tamsil yang cukup panjang. 2. Keterangan mengenai adat-istiadat Tanah Batak diuraikan secara panjang lebar. 3. Uraian yang mengandung ajaran moral tentang baiknya perkawinan berdasarkan suka sama suka dan bahayanya perkawinan yanag dipaksa orang tua. Akibat dari yang terakhir ini adalah pelacuran. 4. Penggambaran detil suasana pemandangan alam, suasana hati dan jalan pemikiran tokoh-tokohnya. Kajian kritikus tadi tidak berlebihan. Sebagian besar karyakarya angkatan Balai Pustaka memiliki penceritaan dan pelukisan suasana yang berkepanjangan seperti yang disebutkan Sumarjo. Dalam Sitti Nurbaya, misalnya, pelukisan tokoh Datuk Maringgih dari segi fisik dan lingkungan rumahnya juga terkesan berteletele, tetapi tetap menarik zaman itu. Kalau dibandingkan teknik
Dari Karya Sastra ke Film dan Sinema Elektronika I Nyoman Suaka 39 bercerita gaya modern yang serba praktis, hal tesebut mungkin tidak sesuai dengan zamannya yang berkesan menggurui atau mendikte pembaca. Pembaca kini ingin yang serba instan. Menyangkut teknik bercerita, pengarang modern pun ada yang memilih model seperti ini. Sebut saja Ahmad Tohari, beberapa karyanya juga melukiskan suasana perdesaan yang sangat cermat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Bekisar Merah, dan Jentera Bianglala. Deskripsi pelukisan latar cerita novel Ahmad Tohari cukup panjang, beberapa halaman untuk mendeskripsikan suatu tempat serta lingkungan sekitarnya. Akan tetapi tidak menimbulkan kesan bertele-tele. Teknik bercerita pengarang kelahiran Banyumas, Jawa Tengah ini, memiliki kelebihan karena mampu membius pembaca, seakan-akan pembaca diajak berada di lingkungan yang diceritakan. Akan tetapi, bagaimanapun penilaian terhadap novel Azab dan Sengsara, kelemahan itu dapat ditutupi dengan menyaksikan tayangan sinetronnya yang sangat indah dan memukau dari segi latar, adat-istiadat dan kehidupan masyarakat tempo dulu. Di sini akan berlaku dalil, bahwa sastra dan sinetron merupakan cermin kehidupan masyarakat.