51 Kanti, W. Pesan-pesan Karungut Sebagai Media Informasi Publik di Palangka Raya. http://kantiwalujo.blogspot.co.id/2008/12/pesan-pesan-karungut-sebagai-media.html (diambil 10 April 2018) . Puslibang APTEL SKDI. Badan Litbang SDM-Depkominfo. Jakarta (2008) Kristiandi. Makna dan Fungsi Kesenian Rakyat "Reog Tradisi" dalam Konteks Ritual Upacara Adat Mondosiyo di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar. Karanganyar (2006) Kurniawan, Anton. Survey Tentang Pendidikan Karakter Melalui Mata Pelajaran Seni Budaya Tingkat SMP Negeri di wilayah Kecamatan Wonosari. Skripsi. UNY, Yogjakarta (2014) Lichona. Educating for Teacher. Penerjemah Juma Abdu Wawaungo. Remaja Rosdakarya. Bandung (2012) Marzuki Bangsaki. Pengembangan Soft skill Berbasis Karakter Melalui Pembelajaran IPS Sekolah Dasar. Disampaikan dalam Seminar Nasional di Madiun 1 April 2012 (2012) Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter. Bumi Angsara. Jakarta (2011) Muriyat, Suwarno. Budaya Dayak Ngaju dalam Karungut Sansana Bandar Huntip Batu Api. (Disertasi, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Pascasarjana, Universitas Negeri Malang) Malang (2015) Michel R. Karungut Dayak Ngaju: Dengan Tergesa Sang Anak Burung Tiung Itupun Bergegas Kembali Pulang ke Kampung Halaman di Malang Selatan http://michaelrisdianto.blogspot.co.id/2016/03/karungut-dayak-ngaju-dengan-tergesa.html (diambil 11 April 2018). Malang (2017) Miles, Matthew B., dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia-UI Press. Jakarta (1992) Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Remaja Rosdakarya. Bandung (2007) Moleong, Lexy J., 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Bandung (1994) Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Depdikbud. Jakarta (2010) Rosidi, Ajip. Satra dan Budaya.Pustaka Jaya. Jakarta (1995) Sardiman,A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Grafindo. Jakarta (2006) Semiawan, Conny.. Pendidikan Seni dalam Pendidikan Nasional, APSI. Bandung (2006) Setiawan Agus. Kesenian Karungut Suku Dayak Kalimantan Tengah. https://nusantaranews.co/keseniankarungut-suku-dayak-kalimantan-tengah/ (diambil: 10 April 2018). Kalteng Post. Palangka Raya (2016) Siti, Arnisyah. Nilai Pendidikan Karakter Dalam Syair Karungut Dayak Ngaju Kalimantan Tengah dan Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMAN 1 Katingan Hulu. Tesis tidak dipublikasi. Universitas Sebelas Maret: Solo (2017)
52 Soedarso SP. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Apresiasi Seni. Saku Dayar Sana. Yogakarta (1990) Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Pustaka Pelajar. Yogjakarta (2003) Suanda, Endo. 2006. Kesenian dan Pluralitas Kultur. APSI Bandung Suparlan. Pendidikan Karakter. https://suparlan.org/2/pendidikan-karakter (diambil 11 April 2018). Jakarta (2012) Wardani, Cut Kamaril. Pendidikan Seni Berbasis Budaya Dalam Meningkatkan Multikecerdasan. APSI. Bandung (2006) Wibowo, A. Pendidikan Karakter, Srategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Pusaka. Yogyakarta (2012)
53 FILOSOFI “PENYANG HINJE SIMPEI” DALAM PENGUATAN KARAKTER Carolina Fransiska¹ Limbun² ABSTRAK Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mendeskripsi pendidikan yang ditinjau dari perspektif filosofi “Penyang Hinje Simpei”. Adapun pendekatan yang digunakan didalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif. Ditinjau dari sipatnya, maka penelitian ini termasuk jenis etnografi, yang berarti menguraikan dan menapsirkan suatu budaya atau sistem kelompok sosial, dimana peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (a) wawancara, (b) observasi, (c) dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis interaktif dari yang meliputi: reduksi, penyajian, verifikasi dan simpulan. Hasil penelitian menemukan: nilai-nilai yang terdapat di dalam filosofi “Penyang Hinje Simpei” adalah nilai “kebersamaan”. Kebersamaan yang dimaksud adalah (a) kebersamaan dalam berpikir dan (b) kebersamaan dalam bertindak. Kata Kunci: Penyang Hinje Simpei, Penguatan Karakter PENDAHULUAN Didalam bukunya, Hasanah (2013) dan Marzuki, (2012) menulis bahwa “pendidikan tidak hanya menekankan pada penyediaan proses dan penyediaan fasilitas yang hanya mengarah pada penguasaan ilmu pengetahuan saja, tetapi memfasilitasi juga pada tumbuhkembangnya karakter yang mulia”. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Martin Luther King (dalam Kamiran, 2012) yang mengatakan bahwa “intelligence plus character... that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter... adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya)”. Menurut Lickona (2012) “karakter itu dimanifestasikan seseorang dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan menghargai orang lain”. Pengertian karakter tersebut sesuai dengan pendapat Wynne (dalam Ersis, 2014) yang mengatakan “karakter menandai dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari”. Karena itu yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan mendidik yang diperuntukkan
54 bagi generasi selanjutnya (Doni, 2007). Selanjutnya dikatakan, tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik. Pendapat tersebut sesuai dengan pernyataan Kurniawan (2014) yang mengatakan bahwa “pada dasarnya nilai-nilai pendidikan karakter merupakan pengembangan dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia. Salah satu prinsip hidup bahkan menjadi filosofi yang selalu diterapkan didalam setiap aspek kehidupan masyarakat suku Dayak Ngaju, bahkan telah menjadi semboyan atau motto dari kabupaten Katingan yang dikenal dengan “Penyang Hinje Simpei”. Apabila diartikan kedalam bahasa Indonesia, maka Penyang Hinje Simpei yang berarti “hidup rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama”. Nilai-nilai kehidupan yang demikian sampai saat ini masih dipelihara dan diimplementasikan didalam kehidupan masyarakat suku Dayak. Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mendeskripsi pendidikan yang ditinjau dari perspektif filosofi “Penyang Hinje Simpei”. METODE Adapun pendekatan yang digunakan didalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif, dan sesuai dengan pendapat Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2007) yang mengatakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Hal ini sesuai dengan pernyataan Strauss dan Corbin (2003), yang menegaskan bahwa penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak boleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Ditinjau dari sipatnya, maka penelitian ini termasuk jenis etnografi, yang berarti menguraikan dan menapsirkan suatu budaya atau sistem kelompok sosial, dimana peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (a) wawancara, (b) observasi, (c) dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis interaktif dari Milles dan Huberman (1992) yang meliputi: reduksi, penyajian, verifikasi dan simpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Istilah “pengelolaan” identik dengan “manajemen”, sehingga pengelolaan itu sendiri dapat diartikan sebagai proses: perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan, dan pengawasan (Mantja, 2002). Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan dapat diartikan juga sebagai fungsi-fungsi yang berhubungan dengan bagaimana membuat suatu perencanaan, bagaimana melaksanaan perencanaan atau melaksanakan kegiatan, dan bagaimana melakukan pengawasan terhadap apa yang dilaksanakan. Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat George Terry (1977) menyatakan: “Management is a distinct proses consisting of pallning, organizing, actuating, and controlling, performed to
55 determine and accomplish stated objectives by the use of human being and other resources”. Ungkapan tersebut sesuai dengan pendapat Sion (2010) yang menyebutkan bahwa pengelolaan atau manajemen adalah proses memberdayakan dan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimiliki, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya non manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Berikut ini adalah nilai-nilai karakter yang terdapat didalam filosofi “Penyang Hinje Simpei”. Berdasarkan kajian ditemukan dua nilai kebersamaan yang terdapat didalam filosofi “Penyang Hinje Simpei”, yaitu kebersamaan dalam berpikir dan kebersamaan dalam bertindak. Kebersamaan dalam berpikir memiliki makna bahwa segala sesuatu yang akan dilakukan harus dipikirkan dengan matang dan secara bersama-sama. Prinsip ini menjelaskan bahwa hasil berpikir orang banyak lebih baik dibandingkan dengan hasil berpikir perorangan. Sehubungan dengan prinsip tersebut, maka sebelum melaksanakan suatu kegiatan termasuk kegiatan pendidikan, dikalangan suku Dayak Ngaju selalu diawali dengan penyusunan rencana yang dilakukan secara bersama-sama. Menurut teori manajemen atau pengelolaan, perencanaan merupakan tahapan pertama dan sangat penting dilakukan dalam pengelolaan suatu kegiatan. Hal ini disebabkan bahwa perencanaan bukan saja sebagai dasar melakukan sebuah kegiatan, tetapi perencanaan juga dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Henry Fayol (dalam Sarwanto, 1991) yang mengatakan “Planning harus merupakan kegiatan pertama dari seluruh proses manajemen (primary activity), karena perencanaan merupakan syarat mutlak untuk dapat melaksanakan manajemen yang baik, dan memberikan pedoman, pegangan dan arah, di mana hal tersebut selalu menjadi kegiatan pertama untuk dilakukan”. Penerapan prinsip Penyang Hinje Simpei dalam perencanaan dilakukan dengan mengedepankan prinsip kekeluargaan, kebersamaan yang selanjutnya bermuara kepada sebuah persatuan dan kesatuan yang kokoh. Kegiatan yang demikian sesuai dengan prinsip pengelolaan/manajemen yang dikemukakan oleh Fayol (dalam Siagian, 1994) yang memaparkan tentang pentingnya semangat tim yang selanjutnya dikatakan bahwa “semangat kerjasama tim akan memberikan rasa kesatuan pada organisasi dan yang kecilpun harus membantu mengembangkan semangat”. Terkait dengan perencanaan dalam konteks tulisan ini masyarakat Dayak selalu mengedepankan kebersamaan dalam memikirkan hal-hal sebagai berikut: (a) menentukan secara bersama tentang tujuan yang ingin dicapai atau cita-cita atau harapan yang ingin diwujudkan, , (b) menentukan bagaimana cara agar supaya tujuan atau harapan bersama itu dapat diwujudkan, , (c) menentukan dan menyiapkan sumberdaya apa saja yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tersebut secara bersama-sama untuk mencapai tujuan, (d) menetapkan sistem penilaian atau cara untuk mengetahui sejauhmana tujuan atau harapan yang telah dicapai, (e) serta bagaimana tindak lanjut berikutnya agar apa yang dicapai akan menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang. Disamping nilai kebersamaan dalam filosofi “Penyang Hinje Simpei” terdapat juga salah satu nilai karakter yaitu kebersamaan dalam bertindak. Kebersamaan dalam bertindak tergambar didalam sendi-sendi kehidupan misalnya pada saat upacara adat, kegiatan pertanian, kegiatan keagamaan, kegiatan sosial, membantu pada saat kegembiraan, dan ada kedukaan.
56 PENUTUP Berdasarkan data dapat disimpulkan nilai-nilai yang terdapat di dalam filosofi “Penyang Hinje Simpei” adalah nilai “kebersamaan”. Kebersamaan yang dimaksud adalah (a) kebersamaan dalam berpikir dan (b) kebersamaan dalam bertindak. Sehubungan dengan simpulan tersebut maka disarankan agar semua pihak selalu menanamkan nilai-nilai filosofi “Penyang Hinje Simpei” ini didalam kehidupan masyarakat dayak pada umumnya dan kepada generasi muda. DAFTAR PUSTAKA Alue Dohong. 2009. Kearifan Lokal Dayak Dalam Perlindungan Flora dan Fauna http://aluedohong.blogspot.co.id/2009/05/kearifan-lokal-dayak-dalam-perlindungan.html (diambil 4 Agustus 2017) Buchari dan Donni. 2002. Ekonomi Manajemen Bisnis. Alfabeta: Jakarta Depdikbud. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Eko Handoyo dan Tijan. 2010. Model Pendidikan Karakter Berbasis Konservasi: Pengalaman Universitas Negeri Semarang. Widya Karya Press – Semarang. Cribbin J. James. 1981. Kepemimpinan (Strategi mengefektifkan organisasi ). New York’. George Robert Terry. 1968. Principle of Management. Universitas Michigan: Irwin. Halim, Abduldkk.2003.Sistem Pengendalian Manajemen Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN James A.F. Stoner. 1996. Manajemen Jilid II. Prehalindo: Jakarta Herujito, Yayat, M. 2001. Dasar-dasar Manajemen. Grasindo: Jakarta Mantja, W. 2002. Manajemen Pendidikan Dalam Era Reformasi. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 7 UM. Malang.
57 NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KEARIFAN BUDAYA LOKAL TRADISI “WARA NAPING SALIMBAT DI PESISIR SUNGAI BARITO KALIMANTAN TENGAH Ira vivi suanti ABSTRAK Wara adalah Upacara adat yang sangat sakral bagi masyarakat dayak Dusun di Kalimantan Tengah, yang Mana upacara Adat Wara ini adalah Upacara adat kematian yang dilakukan masyarakat Kalimantan Tengah, untuk mengantarkan arwah leluhur ketempat yang paling akhir yaitu lewu tatau atau surge dan diakhiri dengan acara Naping Salimbat (Rakit Bambu) yang diisi dengan sesajen dan akan dihanyutkan di aliran sungai Barito , yang melukiskan kepergian roh menuju lewu tatau (Surga). Tradisi Wara Naping Salimbat ini adalah Tradisi yang dilakukan oleh Masyarakat Dayak Dusun di wilayah Kabupaten Barito Selatan, karena itu sangat lah penting dalam pelaksanaan pendidikan hendaknya diperkenalkan kepada siswa siswi (SD,SMP,SMA ) agar banyak peminat untuk tetap melestarikan dan menjaga crikhas suku dayak Dusun Kabupaten Barito Selatan Provinsi Kalimantan Tengah. Artikel ini termasuk jenis artikel ilmiah non penelitian,dengan metode penulisan adalah kepustakaan, dimana metode ini dilaksanakan dengan mencari bahan dari sumber sumber yang menunjang yang berkaitan dengan penulisan artikel ini dengan tujuan penulisan : 1. Mengungkap prosesi Wara Naping Salimbat, 2. Untuk mengetahui Kebudayaan Suku Dayak Dusun di Barito Selatan, 3. Nilai nilai pendidikan dalam tradisi Wara Naping Salimbat. Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Wara, Naping Salimbat. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu Negara Multikultural terbesar di dunia, hal ini dapat dilihat dari kondisi geografisdan agama yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini , jumlah pulau yang ada di diwilayah Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, dengan jumlah penduduk melebihi 200 jiwa , terdiri dari 300 suku yang menggunakan hamper 200 bahasa yang berbeda, dan menganut agama dan kepercayaan yang beragam. Kebudayaan adalah salah satu asset penting bagi sebuah Negara berkembang , yang mana kebudayaan tersebut adalah sebuah simbol karya daerah, asset kas daerah, yang biasa dijadikan sebagai tempat wisata dan juga karya ilmiah dan lainnya. Dalam suku dayak Dusun Barito selatan yang selalu mengedepankan budaya leluhurnya, sehingga budaya tersebut dijadikan ritual ibadah mereka dalam menyembah
58 sang pencipta yang dilatar belakangi kepercayaan tradisional disebut Kaharingan, sebagai bukti ragam budaya Indonesia yaitu tradisi Wara Naping Salimbat . METODE Metode penulisan adalah kepustakaan, dimana metode ini dilaksanakan dengan mencari bahan dari sumber sumber yang menunjang yang berkaitan dengan penulisan artikel. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Roth (1986) yang menyebutkan “untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat yang tepat guna memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat dan dimanfaatkan”. PEMBAHASAN Masyarakat Dayak Dusun di Kalimantan Tengah memiliki upacara adat yang sangat sakral. Upacara tersebut dinamakan wara. Upacara sakral ini mirip dengan upacara ngaben yang biasa dilakukan masyarakat Hindu di Bali. Upacara ini bagi penganut agama Hindu Keharingan di Kalimantan Tengah merupakan salah satu dari sekian banyak upacara adat yang memiliki nilai ritual dan sakral yang sangat tinggi, khusus yang ditemui dalam upacara adat kematian. Masyarakat Dayak membedakan manusia dalam tiga dimensi siklus, yaitu manusia sebelum lahir, manusia setelah lahir yang dinamakan alam kehidupan (dunia) dan manusia setelah kehidupan (alam surga atau syurga loka). Siklus ini selalu ditandai dengan berbagai upacara adat yang berurutan sejak seorang manusia masih dalam kandungan hingga setelah meninggal dunia.Menurut kepercayaan masyarakat Dayak yang memeluk kepercayaan Keharingan upacara ini memiliki nilai ritual tertinggi dibandingkan dengan upacara adat sebelumnya. Dalam upacara ini, roh yang sebelumnya menunggu di Gunung Lumut salah satu tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat Dayak di pedalaman sungai Tewei (Teweh) dipanggil kembali untuk menerima sesajen dan pensucian sebelum dihantar ke syurga loka (tempat suci). Upacara adat wara adalah upacara adat kematian yang dilakukan oleh masyarakat Kaharingan untuk mengantarkan arwah leluhur ke tempat paling akhir yang disebut lewu tatau (surga) . Wara merupakan ritual upacara dalam rangka membagikan bagian harta benda kepada arwah kakek, nenek atau orangtua atau saudara dari keluarga – keluarga penyelenggara upacara wara yang telah meninggal satu atau dua tahun yang lalu. Pembagian harta benda tersebut dilambangkan dalam bentuk sesajen berupa makanan dan minuman sesuai makanan kebiasaan arwah orang yang diupacarai tersebut. Upacara Wara biasanya berlangsung selama tujuh hari tujuh malam.
59 Arti Naping Salimbat Arti Naping Salimbat adalah Naping Salimbat dalam bahasa Dayak Dusun adalah menghayutkan rakit yang dibuat dari bambu dialiran sungai barito, yang melukiskan kepergian roh menuju Lewu Tatau Ad(Surga) pada hari ketujuh. Arti Pendidikan Karakter Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia menanamkan pembentukan karakter melalui pendidikan sejak tahun 2010 termuat yang dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter. Pendidikan karakter yang ditetapkan kementrian pendidikan yang berjumlah 18 nilai atau karakter yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Nilai atau karakter tersebut adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Pendidikan karakter sebagaimana kita ketahui, adalah pendidikan yang menanamkan kebiasaan (habituation) kepada manusia ataupun siswa tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik, dan biasa melakukannya (psikomotor). Ratna Megawangi (dalam Najib, 2016: 62) mengungkapkan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Daryanto (2013: 64) mengartikan pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab. Berdasarkan berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah semua usaha yang dilakukan oleh personil sekolah, orang tua dan masyarakat kepada anak-anak untuk mendidik, menanamkan, dan mengembangkan karakter luhur sehingga mereka dapat mengambil keputusan dengan bijak untuk mempraktikkan dalam kehidupannya dan memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Peduli lingkungan didefinisikan sebagai sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Dapat dikatakan karakter peduli lingkungan yaitu suatu sikap yang dimiliki oleh seseorang yang berupaya untuk memperbaiki dan mengelola lingkungan sekitar secara benar sehingga lingkungan dapat dinikmati secara terus menerus tanpa merusak keadaannya, serta menjaga dan melestarikan sehingga ada manfaat yang berkesinambungan. Karakter peduli lingkungan merupakan karakter yang wajib diimplementasikan bagi sekolah di setiap jenjang pendidikan. Semua
60 warga sekolah harus mempunyai sikap peduli terhadap lingkungan dengan cara meningkatkan kualitas lingkungan hidup, meningkatkan kesadaran warga sekolah tentang pentingnya peduli lingkungan serta mempunyai inisiatif untuk mencegah kerusakan lingkungan. Pendidikan karakter peduli lingkungan ditanamkan sejak dini kepada siswa sehingga dapat mengelola secara bijaksana sumber daya alam yang ada di sekitar, serta untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan generasi penerus yang akan datang. Ketika karakter peduli lingkungan sudah tumbuh menjadi mental yang kuat, maka akan mendasari perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter peduli lingkungan pada dasarnya membantu guru dalam penanaman karakter siswa tentang kepedulian mereka terhadap lingkungan. Pendidikan karakter peduli lingkungan dapat menjadi tolok ukur kepedulian serta kepekaan siswa kepada lingkungannya. Kepedulian dan kepekaan siswa terhadap. Pemerintah kembali mengeluarkan peraturan presiden nomor 87 tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter. Kebijakan nasional pendidikan karakter dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tata cara dan pelaksanaan Tradisi adat Wara Naping Salimbat Upacara Wara dipimpin oleh Wadian Wara yang berperan sebagai penghubung antara manusia dengan arwah . Wadian Wara dibantu oleh pelayan-pelayannya yang disebut Pangading. Mereka melakukan upacara demi upacara, misalnya ; makan diau (memberi makan arwah), dan nutui lalan diau nuju gunung lumut (mengantar arwah dalam perjalanan ke surga). Adapun Tata urutan Prosesi pelaksanaan Adat Wara Naping Salimbat adalah sebagai berikut: (a) Hari pertama adalah ngamaner wara artinya menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan roh yang diupacarai kepada wadian wara. (b) Proses pada hari kedua sampai hari ke tiga adalah keluarga penyelenggara menerima tamu baik dari desa sendiri maupun dari desa sekelilingnya, yakni tokoh-tokoh masyarakat. (c) Hari keempat acara Babea-Babebe yakni acara membuat ansak berupa anyaman bambu sedemikian rupa sebanyak arwah yang diupacarai wara, untuk tempat sesaji. (d) Hari kelima adalah acara newek karewau atau penusukan kerbau (acara adu berani menikam kerbau) yang merupakan klimaks dari rentetan upacara ini. Penusukan kerbau dilakukan oleh petugas dari keluarga–keluarga yang diupacarai dengan ditusuk menggunakan lading atau badik atau pisau lancip sedangkan kerbaunya diikat pada Pantogor yakni patung arwah yang diupacarai yang terbuat dari kayu ulin setinggi lebih kurang 3 meter yang ditancap di tanah lapang. Begitu menariknya upacara adat ini, biasanya yang datang bukan lagi dari
61 lingkungan satu desa atau desa tetangga. Tak jarang ada pula penduduk dari kabupaten lain yang mengirimkan wakilnya untuk ikut adu keberanian menikam kerbau. Acara ini mirip dengan matador di Spanyol. Hanya bedanya melawan kerbau, bukan Banteng. Menurut ketentuan adat, setiap peserta yang mengalami cedera atau korban jiwa dalam pertarungan ini tidak dapat menuntut jaminan kecuali sebuah piring porselen putih. Biasanya peserta yang tampil di gelanggang adalah orang pilihan atau yang memiliki kelebihan tertentu. Oleh karena itu sangat jarang ada kasus korban jiwa dalam pertarungan melawan kerbau ini. Selesai pembunuhan kerbau dilanjutkan dengan memasak dan makan bersama tamu undangan. Sesaji yang telah ditaruh di atas ansak seperti yang disebut diatas dan harta benda lainnya diantar ke kuburan oleh masing-masing keluarga pada hari keenam. Pekuburan tempat bersemayamnya tulang-belulang nenek moyang kaum keluarga warga Dayak Dusun Kalahien disebut Si’at yang rata-rata diberi atap dengan 4 tiang penyangga dan diakhiri dengan pelepasan salimbat (rakit bambu) yang melukiskan kepergian roh menuju Lewu Tatau (Surga) pada hari ketujuh. Upacara Wara dari hari pertama sampai hari kelima biasanya diiringi dengan ritual main judi dan sabung ayam ala Liau (roh yang telah meninggal) antara manusia dengan Roh yang telah meninggal, serta permainan Tinak Santukep. Perlambangannya adalah agar roh mendapatkan kemakmuran di Lewu Tatau (surga) Biasanya peserta yang tampil di gelanggang adalah orang pilihan atau yang memiliki kelebihan tertentu. Oleh karena itu sangat jarang ada kasus korban jiwa dalam pertarungan melawan kerbau ini. Selesai pembunuhan kerbau dilanjutkan dengan memasak dan makan bersama tamu undangan. Sesaji yang telah ditaruh di atas ansak seperti yang disebut diatas dan harta benda lainnya diantar ke kuburan oleh masing-masing keluarga pada hari keenam. Pekuburan tempat bersemayamnya tulang-belulang nenek moyang kaum keluarga warga Dayak Dusun Kalahien disebut Si’at yang rata-rata diberi atap dengan 4 tiang penyangga dan diakhiri dengan pelepasan salimbat (rakit bambu) yang melukiskan kepergian roh menuju Lewu Tatau (Surga) pada hari ketujuh. Upacara Wara dari hari pertama sampai hari kelima biasanya diiringi dengan ritual main judi dan sabung ayam ala Liau (roh yang telah meninggal) antara manusia dengan Roh yang telah meninggal, serta permainan Tinak Santukep. Perlambangannya adalah agar roh mendapatkan kemakmuran di Lewu Tatau (surga) Nilai Nilai Pendidikan Dalam Tradisi Adat Wara Naping Salimbat Upacara adat ini merupakan aset budaya Dayak di Kalimantan Tengah yang memiliki nilai nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi siswa siswai (SD,SMP,SMA), banyak hal yang bias diambil dari kegiatan ini, salah satunya adalah adanya mupakat tidak saja hanya satu desa akan tetapi dari desa desa lain juga mengirimkan utusannya untuk mengikuti acara ini, kemudian adanya rasa kebersamaan dalam ikatan persaudaraan , mengingat acara ini dilangsungkan cukup lama memakan waktu dan juga biaya. Dari sisi
62 agama nilai Relegi sangat terasa pada saat acara ini berlangsung, rasa cinta terhadap orang orang yang dikasihi meskipun orang tersebut sudah meninggal dunia. acara Wara ini merupakan salah satu dari sekian banyak upacara adat yang sangat menarik dan perlu dilestarikan., upacara adat ini merupakan aset wisata yang masih terpendam di Kalimantan Tengah. PENUTUP Kehidupan masyarakat dayak Dusun, terutama yang masih menganut ajaran Agama Hindu Kahariangan sangat percaya pada leluhur mereka, apapun yang ditinggalkan oleh leluhur mereka itulah yang wajib dikerjakan dan mereka juga beranggapan bahwa bila hal ini tidak dikerjakan maka orang orang yang mereka kasihi masih belum sampai ke sorga, kemudian mereka juga percaya bahwa bila hal ini tidak dikerjakan, maka mereka adalah orang orang yang berdosa karena sebagai orang yang masih hidup sudah selayaknya melaksanakan ritual ini agar orang orang yang sudah meninggal bisa sampai ke lewu tatau ( sorga ), system kekerabatan suku dayak yaitu menggunakan system parental (ayah dan ibu). Adapun saran yang hendak penulis sampaikan pada Artikel ini adalah : 1. Hendaklah suku dayak Dusun lebih diperkenalkan dan juga lebih diperluas wawasan masyarakat umum yang tinggal di Kalimantan Tengah agar dapat mengerti salah satu Kebudayaan Kalimantan Tengah. 2. Dalam pelaksanaan Pendidikan hendaknya pihak terkait melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Selatan, lebih memperkenalkan kepada siswa siswi (SD,SMP,SMA ) pada mata pelajaran SBDP, sehingga ada banyak peminat yang tetap melestarikan dan jaga menjaganya sebagai suatu cri khas Kabupaten Barito Selatan. 3. Dalam penyajiannya, hendaklah penyampaian materinya lebih singkat dan juga jelas, dengan tidak menghilangkan pokok pokok penting dalam pembahasan sehingga masyarakat mudah mengerti dan tanggap. 4. Jika dipekenalkan melalui Pendidikan, maka Imed dalam pikiran masyarakat yang beranggapan bahwa acara wara lebih menonjolkan pada kegiatan Judi dan minuman akan berangsur angsur menghilang . DAFTAR PUSTAKA Johon weintre 2009. Beberapa peninggalan kehidupan dayak .Kekayaan ritual dan keaneka ragaman pertanian di hutan Kalimantan Barat . Makalah study lapangan Universitas Tanjung Pura Pontianak http:/yohanesssupriyadi.blogspot.com/2008/03/nyangahatn.html.Diunggah tanggal 8 mei 2005 Dayak Barito. Di unggah tanggal 24 mei 2012 Melayuonlien.com : di unggah tanggal 7 mei 2015 Kemdiknas. (2010). Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Pedoman Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Khan Yahya. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak Kualitas Pendidikan: Yogyakarta. Pelangi Publishing.
63 PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEGIATAN SENI BUDAYA DI SDN 8 MENTENG PALANGKA RAYA Nenni Triana ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsi penguatan pendidikan karakter melalui kegiatan seni budaya. Pendekatan penelitian yang digunakan adaah kualitatif. Hasil penelitian adalah bagi anak-anak sekolah SDN 8 Menteng, contoh sikap saling menghargai yang diterimanya di masyarakat sekitarnya akan membentuk karakter tersendiri. Penguatan Pendidikan karakter yang didapat dari keluarga semakin kuat dengan tambahan sikap lingkungan sekolah yang mendukung dan mengajarkan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Kata Kunci : Penguatan karakter, seni budaya, adat istiadat PENDAHULUAN Sebagaimana fungsi utama dari pendidikan karakter yang diungkapkan oleh Zubaidi (2011) adalah pembentukan dan pengembangan potensi. Zubaidi berpendapat bahwa pendidikan karakter adalah membentuk dan mengembangkan potensi siswa agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku sesuai dengan falsafah pancasila. Selain itu Zubaidi menjelaskan tujuan kedua dari pendidikan karakter berfungsi sebagai perbaikan dan penguatan. Dijelaskan bahwa pendidikan karakter diharapkan memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Ketiga, Zubaidi memfungsikan pendidikan karakter sebagai penyaring, yaitu bahwa pendidikan karakter akan mampu memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa dan karakter bangsa yang bermartabat (Zubaidi, 2011:18). Plato, mengatakan bahwa: “If you ask what is the good of education, in general, the answer is easy, that education makes good men, and that good men act nobly”. yang jika terjemahkan secara bebas berarti bahwa jika anda bertanya apa yang baik dari pendidikan, secara umum, jawabannya mudah, bahwa pendidikan membuat manusia menjadi yang baik, dan bahwa manusia yang baik akan bertindak mulia. Prayitno dan Manullang (2011) mengatakan bahwa “The end of education is character”. Ini berarti bahwa seluruh aktivitas pendidikan haruslah berakhir dan bermuara kepada pembentukan karakter. Selaras dengan fungsi utama pendidikan karakter yang diungkapkan di atas, tulisan ini lebih menekankan kepada pendidikan karakter anak-anak sekolah di SDN 8 Menteng Kota
64 Palangka Raya - Kalimantan Tengah. Fokusnya adalah anak-anak sekolah yang beretnis Dayak yang membawa nilai-nilai seni budaya dan adat istiadat Dayak yang sudah melekat padanya yang harus berbaur dengan anak sekolah lain dari beraneka suku dan budaya yang berlainan. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang mana data yang dikumpul dan dianalisis adalah berupa kata-kata. Sumber data adalah orang-orang atau informan yang mengetahui benar tentang seting penelitian. Data dikumpul dengan wawancara dan didukung dengan dokumen tasi dan observasi. Data yang dikumpul kemudian dianalisis dengan model analisis interaktif. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pendidikan berbasis nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan adalah proses pendidikan yang memanusiakan manusia. Penanaman nilai-nilai tersebut akan melahirkan generasi emas yang berkarakter Pancasilais berbasis budaya nasional Indonesia. Sebagaimana tujuan utama dari Peraturan Presiden Nomor 87 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter yaitu membangun dan membekali peserta didik sebagai generasi emas Indonesia tahun 2045 dengan jiwa Pancasila dan pendidikan karakter yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan, maka penekanan utama dari program pemerintah ini adalah terwujudnya peserta didik yang berjiwa Pancasila dan terbentuknya karakter seluruh peserta didik yang kuat dan khas Indonesia. Membangun karakter generasi emas yang dicanangkan pemerintah pada dimensi pola pikir tidak hanya mengutamakan pendekatan praktis dan teoritis tetapi juga pendekatan esensi dengan penalaran suprarasional. Penalaran suprarasional mengandung etika dan estetika. Inilah yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi “think rightly, act rightly and live rightly”. Sekalipun menggunakan pendekatan praktis dan teoritis jangan sampai kehilangan etika dan estetika. Jadi, pendekatan praktis, teoritis dan esensi berada pada perspektif yang sama. Karakter tidak dapat diinterpretasi sebagai jumlah dari sifat-sifat, melainkan karakter adalah kepribadian. “The essence of education is to recognize truth. All branches of learning are like rivers. The spiritual learning is the like ocean. All rivers go and merge into the ocean. When they merge in the ocean, the rivers lose their individually completely” (Sathya, 2002:83). Karakter harus dilihat sebagai sifat-sifat menyeluruh dari sebuah kepribadian, yang mewarnai seluruh perilaku seseorang. Inilah esensi dari sebuah konsep karakter. Karena inti dari pendidikan adalah mengenali karakter / kepribadian (kebenaran) dari beraneka ragam karakter lain secara individu. Ketika budaya asli dalam hal ini budaya dan adat istiadat Dayak dibawa dengan kuat dalam bermasyarakat dalam hal ini masyarakat di lingkungan SDN 8 Menteng Palangka Raya, eksistensinya menjadi lebih muncul karena kekhasan dan kedisiplinan yang berbeda namun dirasakan bersama manfaat
65 dan kebaikannya. Dengan memperkuat akar budaya asli Dayak yang dibawa sekolah dari suku Dayak dan membawanya berbaur serta menggabungkannya ke tengah-tengah masyarakat yang multikulturalis maka munculnya nilai-nilai baru yang diakui masyakarakat sebagai nilai kebaikan bersama. Karakter unggul harus dimulai dari proses penerimaan diri pada lingkungan sekitarnya. mengembangkan sikapnya yang positif terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban positif kepada budaya lainya dari masyarakat sekitar akan mempermudah anak-anak dalam memperkuat karakter khas yang berpotensi sebagai karakter unggul. Satu hal yang harus dihindari dari anak-anak sekolah dari suku Dayak yang bangga dengan budaya dan adat istiadatnya adalah sikap yang berlebihan. Sikap yang menganggap bahwa hanya nilai-nilai budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi dan memandang rendah budaya lain. Karena sikap ini akan menjadi bumerang, menimbulkan kecurigaan dari budaya dan pihak lain yang berakibat pada perpecahan dan penolakan. Harrel (2004:10) menyebut karakter sebagai “attitude”. In your life attitude is everything. Your attitude today, determine your success tomorrow. What ever you do in life, if you have positive attitude, you’ll always be 100 percent. Dalam hidup ini sikap atau prilaku akan menentukan segalanya. Sikap anda hari ini, akan menentukan kesuksesan pada hari selanjutnya. Apapun yang dilakukan dalam hidup, jika memiliki sikap positif maka tidak akan mengalami kesulitan dalam kehidupan. Sikap adalah persepsi positif atau negatif yang menjadi motivasi perbuatan. Sikap positif melahirkan sifat optimis, sabar, tekun dan selalu siap bekerja. Sikap negatif melahirkan perbuatannya bersifat pesimis, kritik destruktif, bersungut-sungut bahkan sampai ke tingkat frustrasi. Peale (2000:5) mengatakan sikap positif sebagai wujud dari positive thinking. Sikap positif memposisikan seseorang mudah diterima oleh orang lain. Henderson (1999:306) mengatakan “The crucial factor in accomplishing the purpose of a good school is the good teacher”. Seorang guru yang baik dalam hal ini orang tua di rumah yang mengajari anaknya adalah adalah faktor penting dalam mencapai tujuan. Itulah sebabnya seorang guru termasuk orang tua harus mampu membekali anak-anak yang masih labil dengan penjelasan efek samping dari sebuah pembelajaran termasuk belajar seni budaya dan dan adat istiadat asal warisan orang tuanya. Borg (2010:15) mengatakan, change your thingking, change your life. Pola pikir orang tua terhadap pendidikan karakter anak yang dibesarkan tidak pada komunitasnya harus diterus dirubah dan dikembangkan mengikuti situasi dan kondisi. Cara berpikir orang tua juga akan merubah cara berpikir anak-anaknya, apalagi anak-anak yang tidak dibesarkan pada komunitas aslinya yaitu Dayak. Untuk melahirkan generasi emas dari anak-anak sekolah, pemerintah pusat melalui Mendikbud telah memberikan tanggung jawab kepada sekolah untuk mengelola kegiatan belajar siswa, baik berlangsung di dalam kelas, lingkungan masyarakat, dan dalam keluarga. Intinya, konsep belajar anak diganti, tidak hanya belajar di kelas, melainkan juga konsep lain yang menyenangkan, yakni mencari ilmu di luar sekolah. Disinilah peran orang tua sangat menentukan. Peran lingkungan sekitar harus mendukung kreatifitas anak-
66 anak sekolah dari suku. Bagi anak-anak sekolah dari suku asal Dayak, satu-satunya ilmu yang pasti yang bisa diberikan kepada anak adalah seni budaya dan adat istiadat yang sudah melekat padanya. Anak-anak sekolah dari suku harus diajarkan bermain musik tradisional seperti kecapi, garantung,seruling dan jenis kesenian daerah Dayak lainnya. Salah satu kegiatan intra kurikuler adalah dengan mengajarkan seni budaya lokal dan mempraktekkan adat istiadat bawaan yang dianut dan dipahami oleh orang tuanya, seni budaya dan adat istiadat bawaan sekolah dari suku ini kelak akan membuat anak-anak sekolah dari suku Dayak ini mencintai seni budaya asalnya meski tidak lagi tinggal dan bermukim di kampung asli Dayak. Orang tua harus merubah pola pikirnya bahwa seni budaya yang didaerah asalnya hanya biasa-biasa saja, namun ketika dibawa dan dikembangkan di daerah lain, seni budaya dan adat istiadat ini akan membuat anak-anak terangsang untuk terus bertanya mencari tahu karena anak-anak sekolah belum terbiasa melihat seni budaya yang berasal dari daerahnya. Rasa keingintahuan anak-anak sekolah di kota seperti di SDN 8 Menteng Palangka Raya lebih besar bila dibandingkan dengan anakanak dari asal seni budaya itu yaitu anak-anak di suku Dayak yang berada di pedalamana atau komunitas seni tersebut. Kemampuan berolah seni lokal kedaerahan di tempat yang bukan asalnya akan membuat anak-anak menonjol dan muncul sebagai pembeda ketika berbaur di tengah masyarakat. Apresiasi yang didapatkannya akan semakin memperkuat jiwa kreativitasnya untuk terus mengasah kemampuannya. Hal ini secara positif akan mempengaruhi prestasi-prestasi di bidang lainnya karena anak-anak sudah terbiasa dengan proses belajar di luar sekolah untuk mendapatkan penghargaan di luar komunitasnya, anakanak akan menjadi biasa tampil beda dalam prestasi. Menanamkan dan menumbuhkan jiwa seni kedaerahan pada anak khususnya anak-anak sekolah dari suku Dayak dengan memberikan latihan musik daerah Dayak seperti latihan Gong, kecapi atau jenis musik lainnya sejatinya adalah mendorong anak-anak untuk berkreatifitas secara individu. Perangkat musik Dayak yang terdiri dari beberapa jenis alat musik akan membuat anakanak terbiasa mengharmonikan irama. Individualisasi setiap anak akan jelas terlihat, karena tanpanya mustahil harmonisasi tercapai. Individualisasi dalam seni budaya untuk harmonisasi ini akan membentuk watak anak-anak sekolah dari suku untuk mandiri. Hal ini jelas tertuang dan diamatkan dalam dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 8 tentang Hak dan Kewajiban Masyarakat dinyatakan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”. Dalam pasal 9 dinyatakan juga bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat dalam pasal di atas adalah kelompok warga negara Indonesia non-pemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Proses itulah yang merupakan keaktifan dan kesungguhan seseorang, hal tersebut sangat berperan dalam mengejar ilmu. Konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan memproses informasi yang disampaikan oleh guru atau teks. Alih-alih pembelajaran adalah
67 konstruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan personal (De Kock, Sleegers, dan Voeten, 2004). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Von Glaserfeld (1987), pendiri gerakan konstruktivis, konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Semua pikiran kita didasarkan pada pengalaman kita sendiri, dan oleh karenanya bersifat subyektif. Adat istiadat yang merupakan kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya akan bergeser dan berkurang makna dan pelaksanaannya ketika adat dan istiadat itu ingin diterapkan di tempat lain. Bagi anak sekolah SDN 8 Menteng yang berasal dari beraneka ragam suku, adat dan istiadatnya, maka pengimplementasian adat istiadat Dayak itupun mengalami pergeseran dan perubahan menyesuaikan kondisi terbarunya dan subyektifitas pelaksananya menjadi mutlak. Manusia mewarisi kecenderungan berperilaku dengan cara tertentu yang berasal dari generasi-generasi terdahulu berdasarkan pada latar evolusi dan biologi manusia (Salkind, 2009: 104). Menurut Bruner, perkembangan pada diri manusia itu bersifat unik, yakni berbeda dari hewan-hewan lainnya, karena adanya konteks kultural tempat perkembangan manusia terjadi. Berkaitan dengan hal tersebut, Dewey (1938) mengatakan bahwa pengetahuan itu bukanlah sesuatu yang permanen, melainkan sesuatu yang bergantung pada aktivitas, sebuah proses penemuan. Seperti dipertegas oleh Piaget (1972) bahwa "to understand is to discover, or reconstruct by rediscovery”. Memahami itu berarti menemukan, atau merekonstruksi melalui menemukan kembali. Hal tersebut memungkinkan seseorang di masa mendatang menjadi orang yang potensial untuk kreatif dan produktif, yang tidak hanya sekedar melakukan pengulangan-pengulangan. Lebih lanjut ditegaskan oleh Von Glaserfeld (1984) ”Learners construct understanding. They do not simply mirror and reflect what they are told or what they read. Learners look for meaning and will try to find regularity and order in the events of the world even in the absence of full or complete information”. Pembelajar itu membangun pengertian. Mereka tidak hanya membayangkan dan merefleksikan apa yang mereka katakan atau apa yang mereka baca. Para pembelajar mencari maksud/makna dan mencoba menemukan aturan dan urutan peristiwa/kejadian dari suatu kekosongan atau ketidaklengkapan sebuah informasi. Menurut Woolfolk (1993), pembelajar secara aktif membangun pengetahuannya sendiri; otak/pikirannya menjembatani masukan dari luar untuk menentukan apa yang ingin dipelajarinya; belajar itu merupakan aktivitas mental, bukan penerimaan pasif dari sebuah pengajaran. Irwan Abdullah (2006) menerangkan bahwa kebudayaan akan selalu terikat dan berhubungan dengan hal-hal fisik seperti geografis. Contohnya saja budaya Jawa pasti dan
68 sudah pasti berkembang di Pulau Jawa. Maka dari itu ia menyebutkan bahwa geografis merupakan sebuah landasan dalam menentukan atau mendefinisikan budaya lokal. Geertz (1981) dalam bukunya Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia juga menyebutkan bahwa perbedaan iklim dan kondisi geografis merupakan hal yang mempengaruhi kemajemukan budaya lokal di Indonesia. Karena nilai-nilai seni budaya akan menjadi pengetahuan dasar pembentukan karakter yang tidak dapat di transfer begitu saja dari orang tua kepada anak-anaknya, anak-anak sekolah dasar seperti di SDN 8 Menteng harus menginterpresentasikan sendiri dan memprosesnya sendiri agar berkembang terusmenerus. Bagi anak-anak sekolah suku Dayak, pola kehidupan orang tua yang susah untuk dicontoh telah membentuk karakter pribadi anak dengan proses pembelajaran tanpa teks dengan meniru secara alamiah prilaku-prilaku arif orangtuanya. Karena proses membentuk karakter dari sikap meniru keteladan adalah proses tercepat dan termudah dalam melakukannya. Hal ini ini sesuai dengan menurut pendapat Parsudi Suparlan (dalam Choirul Mahfud, 2005) yang mengatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah alat, wahana atau setara pengertian ideologi/faham, fungsinya untuk meningkatkan harkat martabat manusia. Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat termasuk di lingkungan sekolah. Dalam kehidupan anak-anak sekolah di SDN 8 Menteng Palangka Raya masing-masing anak dengan seni budaya dan adat istiadatnya mampu tetap menjaga kredibilitasnya tanpa merasa terganggu dengan anak dari suku lain. Masing-masing anak sekolah tetap bisa unjuk kebolehan dalam kegiatan sekolah dan diantara mereka tetap bisa menerima dengan baik. Menjalani kehidupan bersama dengan perbedaan ini justru menambah wawasan baru dan sikap saling menghargai. Bagi anak-anak sekolah SDN 8 Menteng, contoh sikap saling menghargai yang diterimanya di masyarakat akan membentuk karakter tersendiri. Penguatan karakter yang didapat dari keluarga semakin kuat dengan tambahan sikap lingkungan sekolah dimana anak-anak itu berinteraksi di dalamnya. PENUTUP Proses keaktifan dan kesungguhan anak-anak itulah yang akan membentuk dan membangun karakter unggul anak di kemudian hari. Membentuk dan membangun kembali nilai-nilai seni budaya lokal di sekolah haruslah dilakukan dengan penyesuaian-penyesuain terhadap kondisi di lingkungan sekolah tersebut agar seni budaya itu tetap bisa diterima ditengah-tengah masyarakat multikultural seperti masyarakat di perkotaan. Dengan demikian ketika seni budaya itu diajarkan dan ditransfer ke generasi penerus dalam hal ini anak-anak sekolah dapat dengan mudah diterima dan diikuti sehingga proses internalisasi nilai-nilai seni budaya dan adat istiadat lokal tersebut dapat memperkuat pendidikan karakter anak-anak sekolah.
69 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anita, E., Woolfolk. 1993. Educational Psychology. Jakarta: Allyn dan Bacon Borg, James. 2010. Mind Power; Change your Thinking, Change your Life. New York: Pearson. Choirul Machfud, 2005, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. De Kock, A., Sleegers, P., and Voeten, M.J.M. (2005). New learning and choices of secondary school teachers when arranging learning environments. Teaching and Teacher Education, 21, 799-816. Derry Dewey, John. 1938. Experience and Education. London & New York: Macmillan. Geertz,H. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Edisi Indonesia. Jakarta: FIS UI Harrel, Keith. 2004. Attitude is Everything. NY: Collins Business. Henderson, Stella van Petten. 1999. Introduction to Phylosophy of Education. New York: Book Publishers. Peale, Norman Vincent. 1996. Berpikir Positif. Terjemahan FX Budiyanto. Jakarta: Bina Aksara. Piaget, 1972. Teori Perkembangan Kognitif Piaget, dalam Sujiono dkk 2008, Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta : Universitas Terbuka Prayitno & Belferik Manullang. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Grasindo. Salkind, N.J. (2009) Teori-teori Perkembangan Manusia: Sejarah Kemunculan, Konsep Dasar, Analisis Komparatif, dan Aplikasi, Penerjemah M. Khozim, Bandung: Nusa Media. Sathya, Sai.2002. A Compilation of The Teaching of Sathya Sai Baba on Education. Sathya Sai Book Center of America. Von Glasersfeld, E. (1987). The construction of knowledge: Contributions to conceptual semantics.Seaside, CA: Intersystems Publications. Von Glassersfeld, (1989). Cognition, Construction of Knowledge and Teaching. Synthese, 80 (1), 121-140 Von Glasersfeld, E. (1995). Radical constructivism: A way of knowing and learning. London &Washington: The Falmer Press. Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group
70 KEMAMPUAN GURU DALAM PENGOPERASIAN APLIKASI RAPORT K-13 SEKOLAH DASAR GUGUS II DI KECAMATAN TEWANG SANGALANG GARING Yahya Pahriadi ABSTRAK Perkembangan dunia computer dan teknolog informasi dewasa ini telah mempengaruh ipola kerja dan aktivitas setia individu. Tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Guru-guru di zaman era digital sepertis ekarang ini dituntut untuk bisa melengkapi kemampuan diri dengan keterampilan computer dan penggunaannya dalam proses pembelajaran dan juga dalam tugas-tugasa dministrasi khususnya dalam pengelolaan nilai ,nilai sikap sosial dan spiritual, pengetahuanserta keterampilan. Namun, bebera pakendala yang termasuk di dalamnyaadalahusia yang tidak muda lagi, terkadang menjad masalah bagi guru-guru untuk memanfaatkan compute dalam tugas-tugasnya khususnya dalam pengelolaannilai. Untuk menjawab permasalahan ini, melaksanakan pelatihan dansosialisasi penggunaan kompu terbagi guru-guru melalui kegiatan BIMTEK dan(KKG) Kelompok Kerja Guru, Gugus II Kecamatan Tewang Sangalang Garing. Dari 5 sekolah diambil 3 sekolah sebagai tempat penelitian, yaitu SDN-3 Pendahara, SDN-2 Pendahara dan SDN-1 Pendahara. Ketiga sekolah in dipilih sebaga imitra antara lain karena perkembangan dunia computer dan teknologi diketiga sekolahini cukup signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan dasar computer terhadap guru-guru peserta pelatihan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelatihan menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap keterampilan dasar computer bagi guru-guru peserta pelatihan. Kata kunci :Komputer, Penilaian, BIMTEK PENDAHULUAN Kecanggihan dunia modern yang tidak bisa terlepas dari peran compute rsecara perlahan-lahan menuntut kecakapan serta kesiapan setiap individu yang produktif di zaman iniu ntuk bisa menguasainya. Guru-guru dituntu tuntuk tidak hanya bisamenguasai bidang ilmunya masing-masing, juga harus bisa menguasai cara pengoperasian computer dan mengakses fasilitas teknologi informasi untuk membantu pengembangan tugas-tugas pembelajaran khususnya penilaian[2] sebagaimana juga diatur dalam Permendiknas No.16/2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi guru [3]. Bahkan Ujian Kompetensi guru dilaksanakan berbasis computer dan guru diminta melengkapi data
71 pribadinya secara online pada data pokok pendidikan (dapodik). tahun, yang jelas merekati dakpernah mengenal computer padama samuda mereka. SDN-1Pendahara, SDN-2 Pendahara dan SDN-3Pendahara. beralamat di kelurahan Pendahara, kecamatan Tewang Sangalang Garing. Perkembangan computer di tempat ini cuku pesat. Salah satu penyebabnya adalah keluarahan Pendahara terletak strategiss ebagai pintu masuk ibukota kecamatan yang dihubungkan langsung oleh 2 jalan raya menuju IbukotaKabupaten Katingan hanya dengan jarak kurang lebih 30 km. Hal ini menja disalah satu perhatian bahwa pastinya setiap perkembangan dunia computer di tahun-tahun mendatangakan berpengaruhsecaralangsung dancepat pada kehidupan warga Kelurahan Pendahara. Berdasarkan hal-hal tersebut, dunia pendidikan khususnya sekolah-sekolah dasar yang ada di kelurahan ini agar semakin melengkapi unsur-unsurny dengan perkembanganperkembangan dunia computer tersebut. Bagi guru-guru berusiamuda yang telah mengenal komputerpa dasaa tsekolah dan kuliah mungkin tidakakan mengalami kesulitan, namun bagi guru-guru yang telah berusi alebih tua yang tidak pernah mengenal computer selama hidupnya, halin ijelasakan menja dikendala. Kenyataan tersebut bisa ditemukan oleh penulis ketika melakukan survei di tiga sekolah yaitu SDN-1Pendahara, SDN-2 Pendaharadan SDN-3Pendahara. 80% guru di masing-masing sekolah tersebut mengaku masih mengalami kesulitan dalam mengoperasikan computer danbahkan ada yang tidak pernah menggunakan computer dan hanya mengandalkan bantuan orang lain dalam mengerjakan tugas administrasinya. METODE Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitati dengan sampel 17 siswa. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis uji beda dua mean (uji t) sampel berpasangan. Bila mana nilai t hitung lebih besar dari pada nilai t tabel maka hipotesis null ditolah dan sebagai konsekuensinya hipotesis alternative diterima.Uji-t berpasangan (paired t-test) adalahsalahsatumetodepengujianhipotesisdimana data yang digunakantidakbebas (berpasangan). Ciri-ciri yang paling seringditemuipadakasus yang berpasanganadalahsatuindividu (objekpenelitian) mendapat 2 berarti bahwa selisih sebenarnya dari kedua rata-rata tidak sama dengan nol. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data ditemukan bahwa nilai t hitung lebih besar dari pada nilai t tabel yaitu 0,564 > 0,342 hal ini menunjukan bahwa antara kemampuan awal atau pre tes dengan kemampuan setelah pelatihan atau nilai pos tes menunjukan perbedaan yang signifikan. Hasil yang demikian dapat dikatakan bahwa pengaruh latihan computer sangat signifikan
72 atau berarti bagi para peserta pelatihan itu sendiri. Jadi apabila latihan dilaksanakan dengan baik dengan perencanaan dan fasilitas yang memadai maka ada kemungkinan memberian hasil yang optimal yaitu meningkatnya keterampilan peserta dalam menggunakan komputer. Sehubungan dengan hasil penelitia ini dapat dijelaskan bahwa keterampilan guru memang dapat ditingkatkan melalui kegiatan pelatihan. Kegiatan pelatihan yang baik apabila direncanakan dengan waktu yang cukup lama serta dengan faslitas yang memadai atau mencukupi sesuai dengan jumlah atau kebutuahn peserta. Dengan kata lain keterampilan dasar computer yang meliputi: Microsoft Word, Microsoft Excell akan berhasil apabila didukung oleh sumberdaya yang cukup. Keberhasilan pelatihan ini dapat dilihat dalam persentase dimana 80% dari jumlah guru yang semula tidak terampil menggunakan computer setelah pelatihan berkurang sekitar 25%. Ditemukannya pengaruh latihan terhadap kemampuan computer guru-guru peserta pelatihan dapat dimengerti bahwa pelatihan merupakan strategi yang efektif dalam upaya meningkatkan kemampuan computer dasar bagai para guru. Melalui latihan para peserta tentu akan dapat mempraktikkan secara langsung tentang bagaimana melakukan teknik-teknik yang mendasar dalam mengoperasikan computer. Jadi untu dapat mengoperasikan computer tidak cukup hanya dengan mendenga atau melihat, tetapi harus dilakukan kegiatan mencoba dan mempraktikannya secara langsung. Dengan demikian melalui pelatihan computer ternyata guru-guru yang berada di SDN-1Pendahara, SDN-2 Pendahara dan SDN-3Pendahara di kelurahan Pendahara, kecamatan Tewang Sangalang Garing sudah mulai memiliki kemampuan dasar dalam mengoperasikan computer. PENUTUP Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pelatihan keterampilan dasar komputer (Microsoft Word, Microsoft Excell) dan teknologi informasi yang dilakukan dalam penelitian dapat memberikan hasil yang positif bagi peserta. Berdasarkan hasil tersebut disarankan kepada para pembuat kebijakan untuk mengalokasikan dana dan membuat program pelatihan yang sama untuk masa datang. DAFTAR PUSTAKA Peraturan Badan Standar Nasional No. 0043/P/BSNP/I/2017. Mulyana, A.Z. 2010. Rahasia Menjadi Guru Hebat. Grasindo, Jakarta. Permendiknas No.16/2007. Jogiyanto. 2008. Metodologi Penelitian Sistem Informasi. Andi Offset, Yogyakarta. Chriestie E.J.C Montolalu ([email protected]) Yohanes A.R. Langi ([email protected])
73 PENGGUNAAN ISTILAH BAHASA INGGRIS DALAM NASKAH DINAS YANG BERKARAKTER Febrina Natalia ABSTRAK Perkembangan budaya di tengah derasnya arus globalisasi, khususnya di era digital atau Revolusi Industri 4.0 saat ini telah menyentuh dan mengubah banyak aspek kehidupan manusia, khususnya dalam perkembangan bahasa, informasi dan gaya hidup. Aspek budaya yang mengalami perubahan paling signifikan adalah bahasa. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Definisi ini menegaskan fungsi vital bahasa sebagai alat komunikasi. Perkembangan budaya khususnya fenomena bahasa tidak hanya memberikan pengaruh langsung kepada masyarakat secara umum, ranah pemerintahan pun yang notabene sebagai pelaksana dan fasilitasi dalam penyusunan kebijakan nasional pengembangan, pembinaan, dan pelindungan Bahasa dan Sastra Indonesia (Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019), juga secara tidak langsung merasakan pengaruh fenomena multibahasa yang dapat dilihat dalam tata bahasa naskah dinas. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tentang penggunaan istilah bahasa Inggris dalam 30 jenis naskah dinas yaitu surat, undangan, dan laporan. Beberapa aspek yang menjadi objek kajian adalah: (1) jenis istilah bahasa Inggris yang digunakan pada naskah dinas dan (2) alasan yang melatarbelakangi penggunaan istilah bahasa Inggris ditinjau dari aspek sosiolinguistik. Kata kunci: bahasa Inggris, naskah dinas, sosiolinguistik PENDAHULUAN Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk komunikasi manusia (Wardhaugh, 1977: 3). Definisi bahasa yang serupa juga dinyatakan oleh Blount (1974: 51, menurut Sapir) bahwa bahasa adalah simbol pengalaman yang sempurna, bahwa dalam konteks perilaku yang sebenarnya, bahasa tidak dapat dipisahkan dari tindakan dan bahasa adalah pembawa suatu ekspresi dan nuansa yang merupakan fakta psikologis yang berlaku secara universal. Blount juga menyatakan bahwa budaya seseorang tercermin melalui bahasanya. Menurut Hammers dan Blanc (2000: 10), fungsifungsi bahasa bersifat universal tetapi bentuk-bentuk linguistiknya berbeda-beda antar bahasa dan budaya. Pada titik tertentu, bahasa adalah salah satu variabel yang mendefinisikan budaya. Selain itu, bahasa tidak dapat dipisahkan dari aspek perilaku lainnya. Ketika bahasa diproses oleh seorang individu, bahasa akan selalu berbaur dengan proses kognitif dan afektif (Hammers dan Blanc, 2000: 10).
74 Terkait dengan budaya, ada beberapa kemungkinan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Salah satunya adalah bahwa struktur sosial dapat memengaruhi atau menentukan struktur dan / atau perilaku linguistik (Wardhaugh, 2006: 10). Hubungan kedua yang mungkin secara langsung bertentangan dengan yang pertama: struktur linguistik dan / atau perilaku dapat memengaruhi atau menentukan struktur sosial. Hubungan ketiga yang mungkin adalah bahwa pengaruhnya bersifat dua arah: bahasa dan masyarakat dapat saling memengaruhi (Wardhaugh, 2006: 10). Oleh karena itu kita harus siap untuk melihat ke dalam berbagai aspek hubungan yang mungkin antara bahasa dan masyarakat yang dalam kajian ini dapat dilakukan dengan pendekatan sosiolinguistik. Menurut perspektif Gumperz (1971: 223) dalam (Wardhaugh, 2006: 11), sosiolinguistik adalah upaya untuk menemukan korelasi antara struktur sosial dan struktur linguistik dan untuk mengamati setiap perubahan yang terjadi. Menurut Holmes (1992: 16) dalam (Wardhaugh, 2006: 11) tujuan sosiolinguistik adalah untuk bergerak ke arah teori yang memberikan penjelasan tentang bagaimana bahasa digunakan dalam suatu komunitas, dan alasan penggunaan bahasa tersebut. Sosiolinguistik juga berkaitan dengan penyelidikan hubungan antara bahasa dan masyarakat dengan tujuan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang struktur bahasa dan bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi; tujuan yang serupa dalam sosiologi bahasa adalah upaya untuk menemukan bagaimana struktur sosial dapat lebih dipahami melalui studi bahasa, misalnya, bagaimana fitur linguistik tertentu berfungsi memberikan karakter pengaturan sosial tertentu (Wardhaugh, 2006: 13). Hudson (1996: 4) dalam (Wardhaugh, 2006: 14) telah menggambarkan perbedaan sebagai berikut: sosiolinguistik adalah kajian bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat. Sehubungan dengan perkembangan budaya, Indonesia merupakan negara dengan multibahasa dan ragam komunitas. Sebagaimana dinyatakan oleh Chaer (2007: 65), ada mobilitas tinggi dalam masyarakat multibahasa serta kecenderungan orang untuk menggunakan dua atau lebih bahasa, apakah itu digunakan sebagian atau sepenuhnya sesuai kebutuhan. Fakta bahwa Indonesia memiliki banyak bahasa menyebabkan kontak antara bahasa dan budaya bersama dengan fenomena linguistik. Oleh karena itu, sebagian besar orang Indonesia menjadi penutur bilingual atau multibahasa. Menurut Chaer dan Agustina (2004), fenomena alih kode dan campur kode umumnya digunakan oleh penutur bahasa Indonesia. Mereka juga menyatakan bahwa penggunaan alih kode dan pencampuran kode sering terjadi baik dalam percakapan lisan dan teks tertulis. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan istilah bahasa Inggris dalam beberapa jenis naskah dinas yaitu surat, undangan dan laporan. Terdapat 30 (enam puluh) dokumen naskah dinas yang dipilih secara sengaja yaitu 10 (sepuluh) dokumen surat, 10 (sepuluh) dokumen undangan, dan 10 (sepuluh) dokumen laporan. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji dua aspek yaitu: (1) jenis istilah bahasa
75 Inggris yang digunakan pada naskah dinas dan (2) alasan yang melatarbelakangi penggunaan istilah bahasa Inggris dalam naskah dinas ditinjau dari aspek sosiolinguistik. Kode dapat berupa bahasa atau variasi atau gaya bahasa; istilah campur kode menekankan hibridisasi, dan istilah alih kode menekankan perpindahan dari satu bahasa ke bahasa lain. Pengalihan kode adalah ketika seseorang bergerak bolak-balik antara dua bahasa yang berbeda dalam kalimat atau wacana yang sama (Fromkin, Hyams dan Rodman 2003: 577). Kelas kata yang berbeda digunakan saat alih kode, tetapi kelas kata yang paling umum digunakan adalah kata benda, diikuti oleh kata kerja, kata keterangan dan kata ganti (Håkansson 2003: 125). Pengalihan kode adalah kajian dalam bidang sosiolinguistik dan dipandang sebagai variasi bicara yang berkaitan dengan perilaku kelompok (Håkansson 2003: 126). Seseorang menggunakan alih kode ketika ia berpindah dari bahasa yang berbeda. Terkadang bilingual beralih kode ketika mereka tidak tahu kata atau ekspresi dalam satu bahasa (Byram dan Brumfit 2000: 83). Pengalihan kode juga digunakan ketika mereka tidak memiliki pengetahuan tentang satu topik dalam salah satu bahasa mereka atau ketika bahasa yang mereka gunakan tidak memiliki item atau padanan terjemahan kata yang sesuai (Grosjean 1982L: 149-150). Beberapa orang juga menandakan hubungan, status dan situasi saat mengalihkan kode (Byram dan Brumfit 2000: 83). Bilingual juga biasanya secara sengaja mengalihkan bahasa untuk tidak melibatkan orang-orang tertentu dalam percakapannya. (Grosjean 1982: 320). Pada saat yang sama, seseorang juga mengalihkan kode untuk menunjukkan emosi seperti contohnya ketika sedang marah (Grosjean 1982: 152). Seseorang yang monolingual dapat beralih antara misalnya percakapan informal dan formal sementara bilingual dapat memilih antara varietas yang berbeda dalam satu bahasa, mengubah bahasa atau melakukan keduanya (Grosjean 1982: 128). Beberapa bilingual memiliki kompetensi yang sama dengan penutur tunggal dalam bahasa mereka, karena bilingual menggunakan bahasa mereka untuk fungsi dan tujuan yang berbeda dan dengan orang yang berbeda (Byram dan Brumfit 2000: 82). Tujuan pembicaraan, teman bicara, topik adalah beberapa situasi di mana bilingual memilih bahasa mereka (Grosjean 1982: 283). Alih kode dan campur kode adalah fitur paling penting dan proses bicara yang dipelajari dengan baik di komunitas multibahasa. Definisi terhadap dua istilah ini berbedabeda, tetapi keduanya menggunakan istilah “kode” yang diadopsi oleh ahli bahasa dari bidang teknologi komunikasi (Gardner-Chloros, 2009: 11), merujuk pada “suatu mekanisme untuk transduksi sinyal yang jelas antara sistem”. Oleh karena itu, istilah “kode” sering digunakan saat ini oleh ahli bahasa sebagai “istilah umum untuk bahasa, dialek, gaya, dan lain-lain (Gardner-Chloros, 2009: 11). Selanjutnya, istilah pengalihan mengacu pada pergantian antara varietas yang berbeda yang digunakan oleh bilingual / bidialektal selama interaksi percakapan. Kategorisasi formal, menurut Jelena (2011: 22)
76 berdasarkan Poplack (1980: 605) mendefinisikan tiga jenis alih kode: (1) tag (kutipan), (2) intersensial, dan (3) intra-sentensial. Menurut Romaine (1995), tag (kutipan) dapat didefinisikan “tunduk pada batasan sintaksis minimal”, oleh karena itu penyisipan ke dalam ucapan monolingual tidak melanggar aturan sintaksis. Ini menyiratkan bahwa peralihan intersentensial dan intrasentensial mencerminkan kemahiran bahasa yang lebih tinggi, tidak seperti dalam pergantian tag (kutipan). Peralihan intersensial “melibatkan peralihan dari satu bahasa ke bahasa lain di antara kalimat-kalimat: satu kalimat utuh (atau lebih dari satu kalimat) diproduksi seluruhnya dalam satu bahasa sebelum ada peralihan ke bahasa lain”. Di sisi lain, pengalihan intrasentensial terjadi “dalam kalimat atau fragmen kalimat yang sama” (Jelena, 2011 menurut Myers-Scotton, 1993: 3—4). Sementara itu, alih kode adalah fenomena ketika ada dua atau lebih bahasa yang ada dalam suatu komunitas dan itu membuat penutur sering berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain (Hornberger & McKay, 2010). Sementara itu, Muysken (2000) juga menjelaskan bahwa pencampuran kode biasanya dibagi menjadi tiga jenis utama - penyisipan (kata atau frasa), pergantian (klausa) dan leksikalisasi kongruen (dialek) - dan kemunculan varian pencampuran kode yang paling umum dalam masyarakat adalah penyisipan pencampuran kode. (1) Penyisipan: Penyisipan adalah proses pencampuran kode yang dipahami sebagai sesuatu yang mirip dengan meminjam: penyisipan kategori leksikal atau frase asing ke dalam struktur yang diberikan. (2) Bergantian: Terjadi di antara klausa yang berarti bahwa pergantian digunakan ketika pembicara mencampur bahasanya dengan frase. (3) Leksikalisasi kongruen adalah pengaruh dialek dalam penggunaan bahasa. METODE Metode kualitatif digunakan dalam mengkaji penelitian ini yang berarti penelitian ini bersifat empiris di mana data tidak dalam jumlah, melainkan dalam bentuk elaborasi kalimat. Ada beberapa langkah dalam menganalisis data. Pertama, data dipilih secara sengaja yang menghasilkan 30 (tiga puluh) jenis naskah dinas yaitu masing-masing 10 (sepuluh) dokumen surat, 10 (sepuluh) dokumen undangan dan 10 (sepuluh) dokumen laporan. Kedua, jenis istilah bahasa Inggris yang digunakan pada naskah dinas dikategorikan berdasarkan teori (1980: 605) dan Muysken (2000). Ketiga, mengkaji alasan yang melatarbelakangi penggunaan istilah bahasa Inggris dalam naskah dinas ditinjau dari aspek sosiolinguistik. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari 30 (tiga puluh) dokumen naskah dinas, ditemukan sebanyak 35 (tiga puluh lima) penggunaan istilah bahasa Inggris yang semuanya masuk dalam kategori alih kode intransensial dan campur kode insersi/ penyisipan. Alih kode intrasensial yang berarti alih kode terjadi ketika pergantian dalam satu wacana antara dua bahasa, di mana peralihan
77 terjadi dalam sebuah kalimat, sedangkan pencampuran kode semua dikategorikan ke dalam penyisipan karena proses pencampuran kode yang dipahami sebagai sesuatu yang mirip dengan peminjaman kata: penyisipan kategori leksikal atau frasa asing ke dalam struktur yang diberikan. Istilah bahasa Inggris yang digunakan dalam naskah dinas tersebut adalah: (1) e-mail, (2) contact person, (3) handphone, (4) coffee morning, (5) capacity building, (6) dresscode, (7) coffee break, (8) snack, (9) rundown, (10) tentative, (11) schedule, (12) route, (13) leading sector, (14) stressing, (15) keynote speech, (16) focused group discussion, (17) review, (18) closing, (19) check-in/ check-out, (20) website, (21) Master of Ceremony, (22) softcopy, (23) file, (24) launching, (25) workshop, (26) meeting, (27) welcome party, (28) social media, (29) upload , (30) fun games, (31) outbond, (32) event , (33) speaker, (34) update , dan (35) online. Fenomena alih kode dan campur kode yang terjadi dalam naskah dinas ini sesuai dengan teori Håkansson (2003: 125) bahwa kelas kata yang paling umum digunakan adalah kata benda sejumlah 30 (tiga puluh), diikuti oleh 2 (dua) kata kerja dan 3 (tiga) kata keterangan. Hal serupa juga ditegaskan Romaine (1995: 125) bahwa kata benda adalah kata yang paling banyak digunakan karena relatif bebas dari batasan sintaksis. Sedangkan aspek sosiolinguistik yang digunakan dalam kajian ini adalah: (1) target naskah dinas yang dalam hal ini adalah pembaca, dan (2) ranah atau topik dari nota dinas yang disampaikan. Mengingat seluruh dokumen yang menjadi data dalam penelitian ini merupakan naskah dinas resmi pemerintah yang berupa surat, undangan dan laporan, maka kelompok pembaca dan ranah atau topik dokumen naskah dinas ini adalah: (1) unsur pemerintah daerah yang meliputi unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (FKPD), Satuan Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (SOPD) dan Instansi Vertikal, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), para akademisi dari universitas di Kalimantan Tengah, serta unsur Organisasi Kemasyarakatan (non pemerintah). Mengkaji latar belakang pembaca naskah dinas tersebut, maka muncul beberapa alasan mengapa pembuat konsep naskah dinas menggunakan istilah bahasa Inggris yang dalam penelitian ini mengacu pada campur kode dan alih kode. Pertama, dalam pencampuran kode, penutur bilingual tampaknya menerapkan beberapa kata atau frasa dari bahasa asing (potongan-potongan satu bahasa lebih kecil dari klausa), sedangkan bahasa lainnya (kode) berfungsi sebagai bahasa dasar. Kedua, penutur bilingual mencampur kode ketika tidak ada topik yang berubah, begitu pula situasinya (Gumperz: 1982). Sementara terkait dengan latar belakang penggunaan alih kode, menurut Grosjean (1982): orang yang beralih bahasa harus memiliki tujuan, seperti untuk mengutip seseorang, memenuhi syarat pesan, menguatkan atau menekankan, menyampaikan kerahasiaan, kemarahan dan adanya gangguan, menandai dan menekankan identitas kelompok (solidaritas), mengecualikan seseorang dari percakapan, mengubah peran pembicara, meningkatkan status, menunjukkan otoritas, atau menunjukkan keahlian. Bilingual atau multibahasa memiliki beberapa alasan tertentu untuk mencampurkan atau mengalihkan bahasa mereka. Secara umum, alasannya meliputi: (1) otak secara
78 otomatis mengambil alih, (2) keinginan untuk menyesuaikan diri/ beradaptasi, (3) keinginan untuk mendapatkan sesuatu, (4) keinginan untuk mengatakan sesuatu secara rahasia, dan (5) membantu dalam penyampaian pemikiran. Hoffmann (1991) menjelaskan beberapa alasan mengapa bilingual dan multibahasa beralih atau mencampur bahasa mereka, mulai dari berbicara tentang topik tertentu, mengutip orang lain, bersikap tegas tentang sesuatu, interupsi (memasukkan penghubung kalimat), pengulangan yang digunakan untuk klarifikasi, maksud dari mengklarifikasi konten pembicaraan kepada lawan bicara/ pendengar/ pembaca dan mengekspresikan entitas grup. Setelah menganalisis penggunaan campur kode dan alih kode dalam kata-kata yang ditulis secara resmi, ditemukan bahwa semua istilah bahasa Inggris tersebut memiliki terjemahan bahasa Indonesia yang tepat yang sesuai dengan konteks kalimat. Dengan kata lain, sangat masuk akal untuk menggunakan kata bahasa Indonesia daripada kata bahasa Inggris. Lalu mengapa? Ada beberapa alasan yang telah diidentifikasi mengapa pembuat konsep naskah dinas lebih memilih untuk menggunakan campur kode dan alih kode: (1) untuk menekankan pesan: ingin menarik perhatian audiens (dalam hal ini pembaca) terhadap sesuatu yang disampaikan, (2) untuk meningkatkan status penulis/ pengundang karena nota dinas tersebut disampaikan oleh pejabat tinggi pemerintah, (3) untuk menunjukkan otoritas dan keahlian: pembaca kemungkinan akan menaruh hormat pada pengetahuan atau keahlian penulis/ pengundang pada naskah dinas, (4) untuk mengklarifikasi sesuatu:, ditemukan bahwa alih kode dan campur kode diulangi untuk memperjelas sesuatu yang penting, dan (5) untuk mengasumsikan khalayak tertentu akrab dengan istilah bahasa Inggris karena sebagian besar istilah tersebut sering digunakan dalam percakapan lisan sehari-hari dan teks tertulis. Dengan kata lain, penggunaan campur kode dan alih kode sedapat mungkin dihindari selama istilah asing memiliki padanan terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia atau jika penulis atau penutur tetap ingin menggunakan istilah asing karena beberapa alasan; kata dalam bahasa Indonesia harus didahulukan kemudian diikuti oleh istilah bahasa Inggris di dalam tanda kurung. PENUTUP Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua alih kode yang digunakan dalam dokumen naskah dinas dikategorikan ‘intrasentensial’ sedangkan semua campur kode dikategorikan ‘penyisipan’. Sedangkan alasan penggunaan campur kode dan alih kode dilihat dari aspek sosiolinguistik adalah untuk (1) menekankan pesan, (2) meningkatkan status pembicara, (3) menunjukkan otoritas dan keahlian pembicara; (4) mengklarifikasi hal-hal penting, dan (5) berasumsi bahwa pembaca akrab dengan istilah bahasa Inggris yang digunakan. Mengingat kembali bahwa peran pemerintah sebagai pelaksana dan fasilitasi dalam penyusunan kebijakan nasional pengembangan, pembinaan, dan pelindungan Bahasa dan Sastra Indonesia sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019, maka kesadaran dalam menggunakan dan bangga dalam berbahasa Indonesia seyogyanya dimulai dari pemerintah yang di antaranya tergambar dalam naskah dinas.
79 DAFTAR PUSTAKA Bokamba, E. 1988. Code-mixing and Grammatical Theory: A Cross-inguistic Study. A Cross- Linguistic Study. Paper Presented at the 21st Chicago Linguistic Society Meeting, University of Chicago. Blount, Ben G. 1974. Language, Culture, and Society. Massachusetts: Winthrop Publishers. Inc. Brezjanovic-Shogren, Jelena. 2002. Analysis of Code-Switching and Code-Mixing among Bilingual Children: Two Case Studies of Serbian-English Language Interaction. Wichita State University. Chaer, A. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, A. dan L. Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Gardner-Chloros, Penelope. 2009. Code-Switching. Cambridge Press. Gumperz, J. J. 1982. Discourse Strategies. Cambridge: Cambridge University Press. Hoffmann, C. 1991. An Introduction to Bilingualism. London: Longman. Hornberger, N. H., & S. McKay, S. L. 2010. Sociolinguistics and Language Education. Great Britain: Short Run Press. Hughes, B. et al. 2006. “Reconsidering Language Identification for Written Language Resources”. In Proc. of the 5th Edition of the International Conference on Language Resources and Evaluation (LREC 2006). Genoa, Italy. Mahootian, S. 2006. “Code Switching and Mixing”. In K. Brown (Editor). Encyclopedia of Language & Linguistics. Oxford: Elsevier. Muysken, P. 2000. Bilingual Speech: A Typology of Code-Mixing. United Kingdom: Cambridge University Press. Nababan, P. W. J. 1993. Sociolinguistics: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka. Poplack, Shana.1980. Sometimes I’ll start a sentence in Spanish y termino en español: Toward a typology of code-switching. Linguistics . 18: 581--618. Sartini, Ni Wayan. 2014. “Revitalisasi Bahasa Indonesia dalam Konteks Kebahasaan”. Dalam Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. Vol. 27. No. 4. Tahun 2014. Saville-Troike, M. 1986. The Ethnography of Communication: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell. Stockwell, P. 2002. Sociolinguistics: A Resource Book for Students. London: Routledge. Wahab, Abdul. 2006. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press. Wardhaugh, Ronald. 1977. Introduction to Lingustics. University of Toronto. Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolingustics. Blackwell Publishing. Yuliana, et.all. 2015. Code-mixing and Code-switching of Indonesian Celebrities: A Comparative Study. LINGUA CULTURA Vol.9 No.1 May 2015 Forslund, Kajsa. 2009. Aspects of bilingualism. Spring: Högskolan i Halmstad
80 KEBIJAKAN KEPALA SEKOLAH INKLUSIF SDN 4 PALANGKA MENGATASI KELANGKAAN GURU PEMBIMBING KHUSUS Hartani¹ BedhaTamela² ABSTRAK Pendidikan Inklusi adalah pendidikan untuk semua. Jadi semua anak berhak mendapat pendidikan berkualitas sesuai dengan bakat, minat dan potensinya tanpa diskriminasi. Dalam pengelolaan pendidikan inklusi seharusnya memiliki minimal satu Guru Pendamping Khusus( GPK) yang berlatar belakang lulusan pendidikan Luar Biasa ( S1 PLB). Namun kenyataannya di Kalimantan tengah khususnya di SDN 4 Palangka hanya ada satu yang berlatar belakang S1 PLB dan itupun berstatus sebagai kepala sekolah. Agar pengelolaan pendidikan dapat berlangsung dengan baik maka kepala SDN 4 Palangka membuat kebijakan melalui kerjasama dengan orang tua ABK ,Dinas Pendidikan kota Palangka Raya, PLA dan SLB, yakni mengangkat Guru Pendamping meski latarbelakangpendidikannya non PLB. Dengan syarat guru pendamping harus mengikuti rangkaian pelatihan dan magang yang di kelola langsung oleh kepala SDN 4 Palangka. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mewujudkan tujuan pendidikan umumnya dan upaya mencapai visi, misi dan tujuan SDN 4 Palangka. Kata Kunci :Pendidikan Inklusi, Guru Pendamping Khusus PENDAHULUAN Sejak keluarnya Permendiknas No. 70 tahun 2009, secara bertahap mulailah kota bahkan provinsi yang ada di Indonesia mencanangkan sebagai kota ataupun provinsi inklusif. Termasuk diantaranya kota Palangka Raya, sendiri telah menjadi kota inklusif . Yang secara hukum di tetapkannya Peraturan Walikota Plangka RayaNomor 26 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus, Pendidikan Inklusif dan Pusat Sumber di Kota Palangka Raya maka semua sekolah di kotaPalangka Raya wajib menerima anak usias ekolah baik yang normal maupun mengalam hambatan ( disabelitas). Hal senadadiperkuat pula denganditerbitkannya SK KepalaDinasPendidikan Kota Palangka Raya Nomor420/770.a/870.Um-Peg/VII/2019 tentangpenunjukan sekolah penyelenggara pendidikaninklusif jenjang sd di kota Palangka Raya.Di dalam SK tersebut , jenjang TK/ Paud 7, jenjang SD 7 danjenjang SMP 4 sekolah. METODE Artikel ini termasuk jenis artikel ilmiah non penelitian, karena itu teknik penulisan yang digunakan adalah teknik studi pustaka, yaitu mengkaji bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan permasalahan yang ditelaah. Pernyataan tersebut sesuai dengan
81 pendapat Roth (1986) yang menyebutkan “untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat yang tepat guna memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat dan dimanfaatkan”. Dengan demikian pustaka yang dikaji untuk menyusun tulisan ini adalah sumber-sumber pustaka yang berhubungan dengan “Guru PembimbingKhususdan Guru Pendamping” Sebagaisalahsatukomponen yang harusadadalampengelolaanpendidikanInklusif di SDN 4 PalangkakotaPlangka Raya. Menurut Hasan (2002) pelaksanaan studi kepustakaan dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu: 1. Mengetahui jenis pustaka, yang dibutuhkan, 2. Mengkaji dan mengumpulkan bahan pustaka, dan 3. Menyajikan studi kepustakaan. Pada tahap pertama penulis harus dapat mengetahui dan membedakan sumber pustaka, yaitu ada sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Kedua sumber ini dapat digunakan oleh penulis dalam melakukan kajian dan analisis terhadap permasalahan yang ditelaah. Selanjutnya perlu dipahami juga sipat isi dari sumber pustaka yang terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Hal ini berarti didalam menyelesaikan artikel ini, penulis menggunakan sumber tertulis dan juga sumber tidak tertulis, serta menggunakan juga sumber yang bersipat primer maupun yang bersipat sekunder. Selanjutnya pada tahap kedua adalah melakukan kajian dan pengumpulan bahan pustaka yang biasa disebut bibliografi atau kartu kutipan. Kemudian tahap yang terakhir adalah memaparkan atau menyajikan hasil kajian pustaka itu sendiri baik dalam bentuk kutipan langsung maupun dalam bentuk kutipan tidak langsung. HASIL DAN PEMBAHASAN Guru Pembimbing Khusus atau GPK adalah guru yang bertugas sebagai konsultan pembelajaran anak berkebutuhan khusus di lingkungan lembaga pendidikan inklusif. GPK menjadi penghubung antara orang tua dengan guru kelas baik dalam pembuatan rancangan, pelaksanaan, maupun evaluasi dari program layanan pendidikan. (https://pinplb.com/gpk/).Dengan demikian maka GPK adalah guru yang bertugas mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam proses belajarmengajar di kelas reguler yang berkualifikasi Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau yang pernahmendapatkan pelatihan tentang penyelenggaraan sekolah inklusi. Guru PembimbingKhusus adalah guru yang memiliki kualifikasi /latar belakang Pendidikan Luar Biasa (PLB)yang bertugas menjembatani kesulitan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan gurukelas/mapel dalam proses pembelajaran serta melakukan tugas khusus yang tidakdilakukan oleh guru pada umumnya.Pada penyelengggaraan sekolah inklusi dibutuhkan insrument input memadai sebagaipenunjang keberhasilan program iklusifitas. Keberhasilan penyelenggaraan sekolah inklusi, sangat ditentukan oleh stekholder, pemangku tugas sebagai pelaksana sekolah inklusif. Maka merupakan suatu keharusan
82 mereka adalah orang-orang yang paham akan inklusif itu sendiri, dalam artian mereka adalah orang-orang yang ahli dibidangnya. Disamping itu, peran dari Guru Pembimbing Khusus juga merupakan faktor penentu keberhasilan dalam mewujudkan sekolah inklusif. Hal ini dikarenakan, Guru Pembimbing Khusus (GPK) merupakan guru yang terlibat dan berhadapan langsung dengan Anak Berke -butuhan Khusus (ABK) di sekolah inklusif. Jika suatu sekolah telah menyelenggarakan sekolah inklusi, suatu yang mustahil akan berhasil jika tidak adanya GPK sebagai ujung tombak keberhasilan penyelenggaraan sekolah inklusi. SDN 4 Palangka Adalah salah satu sekolah jenjang SD yang beralamat di jln Kinibalu, kelurahan Palangka kota Palangka Raya. SDN 4 Palangka memiliki 205 siswa dan 21 diantaranya teridentifikasi adalah ABK dengan hambatan Autism, HDHD, kesulitan belajar membaca, dan ketergantungan gadget. SDN 4 palangka adalah salah satu SD penyelenggara pendidikan Inklusif di kotaPalangka Raya. Guru Pembimbing Khusus (GPK) sebagai center of education yang mempunyai tugas penting dalam pendampingan anak berkebutuhan khusus, mempunyai tugas dan peran dalam penyelenggaraan sekolah inklusi yang dijabarkan dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009 yang meliputi: (1) menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran, (2) membangun system koordinasi antara guru , pihak sekolah dan orang tua peserta didik, (3) melaksanakan pendampingan anak berkelainan pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas/guru mata pelajaran/guru bidang studi, (4) memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkelainan yang mengalamihambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remidi ataupun pengayaan, (5) memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan membuat catatan khusus kepada anak-anak berkelainan selama mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru, (6) memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkelainan. Adanya kewajiban berupa tugas, tentunya juga harus dibarengi adanya hak yang harus diperoleh oleh Guru Pembimbing Khusus (GPK) menyangkut pelaksanaan tugastugasnya. GPK perlu pengakuan atas tugas yang dilaksanakan, baik berupa SK sebagai GPK dari dinas terkait dalam hal ini Dinas Pendidikan setempat. Selanjutnya juga pengakuan atas jam mengajar di sekolah inklusi yang berhubungan langsung dengan Angka Kredit sebagai bahan untuk kenaikan pangkat. Disisi lain, GPK disamping bertugas di Sekolah Luar Biasa (SLB) sebagai sekolah induknya, mereka juga harus datang ke sekolah inklusi yang menjadi tanggung jawabnya. Tidak jarang, jarak yang ditempuh tidaklah dekat, artinya tidak bisa hanya dengan berjalan kaki. Berkaitan dengan hal tersebut tidak dipungkiri mereka harus mengeluarkan biaya perjalanan, hal ini diharapkan menjadi perhatian, khususnya dari pemangku tugas yang diberi wewenang dalam penyelenggaraan sekolah inklusi.
83 Hal lain yang juga mesti jadi perhatian bagi penyelenggara sekolah inklusi adalah, penerimaan dan pengakuan warga sekolah terhadap keberadaan Guru Pembimbing Khusus (GPK) di sekolah inklusi. Kehadiran mereka dinantikan dan dibutuhkan oleh warga sekolah khususnya guru kelas dan guru mata pelajaran. Mereka dalam bertugas bukan berdiri sendiri, namun saling berkolaborasi dalam menangani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).Tidak jarang terjadi misunderstanding antara pihak sekolah inklusif mengenai peran dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) di sekolahnya. Tanggung jawab terhadap anak berkebutuhan khusus dikelasnya tetap dipegang oleh guru kelas, bukan diserahkan sepenuhnya kepada GPK. Melainkan antara guru kelas dan GPK saling bekerjasama dalam melayani anak berkebutuhan khusus, mulai dari mengidentifikasi anak, mengasesmen anak, sampai kepada menyusun Program Pembelajaran Individual (PPI) bagi anak tersebut. Program Pembelajaran Individual (PPI) ini terkadang juga tidak semua anak berkebutuhan khusus membutuhkannya. Disinilah GPK berperan yaitu sebagai tempat berbagi pengalaman bagi guru kelas dan guru mata pelajaran, karena tidak semua guru di sekolah reguler paham siapa dan bagaimana menghadapi Anak Berkebutuhan Khusus serta apa pembelajaran yang dibutuhkan mereka sesuai dengan kekhususan anak tersebut. Rendahnya peran berupa kinerja guru inklusif, dalam hal ini GPK, guru kelas dan guru mata pelajaran, diperkuat oleh temuan penelitian yang dilakukan oleh Tim Helen Keller Internasional (2011) di beberapa provinsi, salah satunya Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Menjelaskan bahwa guru dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan hanya melalui program sosialisasi. Dalam konteks birokrasi program sosialisasi lebih ditujukan untuk persamaan persepsi dalam pelaksanaan suatu program daripada peningkatan kompetensi. Artinya guru belum mendapat bekal kompetensi yang memadai dalam mengajar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) pada sekolah penyelenggara inklusi. Sekolah inklusi adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada Anak Berkebutuhan Khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak pada umumnya di kelas yang sama. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi perlu didukung oleh tenaga pendidik keahlian khusus dalam proses pembelajaran dan pembinaan anak-anak berkebutuhan khusus secara umum. Salah satu tenaga khusus yang diperlukan adalah Guru Pembimbing Khusus (GPK). Dalam Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pedoman Implementasi Pendidikan Inklusi, ada 8 (delapan) komponen yang harus mendapatkan perhatian dari pemangku kepentingan (stakeholder) sekolah inklusif, yaitu : (1) peserta didik, (2)kurikulum, (3) tenaga pendidik, (4) kegiatan pembelaran, (5) penilaian dan sertifikasi, (6) manajemen sekolah, (7) penghargaan dan saksi, (8) pemberdayaan masyarakat. Tenaga Pendidik yang terdapat dalam point ke tiga adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusi.
84 Tenaga pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran, (Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang bertugas mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam proses belajar mengajar di kelas reguler yang berkualifikasi Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau yang pernah mendapatkan pelatihan tentang penyelenggaraan sekolah inklusif. Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang memiliki kualifikasi /latar belakang pendidikan luar biasa yang bertugas menjembatani kesulitan Anak Berkesulitan Belajar (ABK) dan guru kelas/mapel dalam proses pembelajaran serta melakukan tugas khusus yang tidak dilakukan oleh guru pada umumnya. Subagya (2011). Dengan demikian, mengingat pentingnya peran dan tugas dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dalam penyelenggaraan sekolah inklusif, yang mencakup segala permasalahan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah. Maka antara kewajiban dan hak mereka semestinyalah adanya keseimbangan. Sesuatu yang telah seimbang, alhasilnya akan dipetik sesuai dengan yang diharapkan. Dengan adanya anggaran tersendiri bagi Guru Pembimbing Khusus (GPK) sesuai kapasitasnya sebagai GPK, maka sekolah inklusi yang sebenarnya akan terwujud, bukan sekedar pelabelan dan formalitas semata. Penomena yang terjadi SDN 4 Palangka aalah satu- satunya guru yang latar belakang pendidikan S1 PLB aalah kepala sekolah. Seangkan kepala sekolah tidak mungkin merangkap menjadi GPK. Oleh karena itu maka kepala SDN 4 Palangka membuat suatu kebijakan yang ilaksanakan bersama dengan orang tua siswa adalah mengangkat guru penamping atau shadow teacher . Guru pendampingberbedadengan guru pembimbing. shadow teacher (guru bayangan) adalah istilah yang lazim digunakan untuk menyebut mereka yang berperan sebagai pendamping ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Dikenal pula istilah aid teacher (guru bantu) untuk ini. Mereka terdiri dari para profesional, baik yang berlatar studi Pendidikan Luar Biasa (PLB) maupun guru atau pekerja biasa yang bahkan sama sekali belum pernah mengenal PLB.(https://www.kompasiana.com/simurai/55289155f17e617f638b4595/shadow-teacherantara-riil-dan-bayangan). Di SDN 4 Palangkalebih popular dengannama guru pendamping. Yang mana sebelum itugaskan menjai guru penamping, para calon guru penamping tersebut dilatih. Pelatihan dan magang selama satu bulan baru kemudian menamping ABK.Di dalam melaksanakan tugasnya setiap hari, guru penamping selalu dibimbing, diarahkan dan dilakukan monitoring dan evaluasi. Mengingat guru- guru pendamping tersebut latar belakang peniikannya bukan PLB. Dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus yang terintegrasi seperti sistem pendidikan inklusif, shadow teacher atau guru pendamping menjadi salah satu sarana atau tenaga yang cukp penting. Pentingnya peran shadow teacher dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah untuk membantu anak dalam mencapai target pendidikan yang telah dirancang guru kelas. Sesuai dengan peranannya, shadow teacher seyogyanya
85 lebih memahami kondisi dan perkembangan kemampuan anak. Dalam pelaksanaannya, shadow teacher berada di samping anak dan mengamati perkembangan anak setiap hari selama anak beraktivitas di sekolah. Lebih dari itu, shadow teacher tidak hanya berperan sebagai pendamping anak di sekolah, tetapi juga turut memantau perkembangan anak di rumah.Kendati shadow teacher selalu mendampingi anak di sekolah, bukan berarti mereka bertugas sebagai pembantu yang mengerjakan tugas-tugas anak. Shadow teacher berfungsi sebagai fasilitator yang menjembatani anak dengan guru utama di sekolah, di antaranya dengan meminta perlakuan khusus demi terwujudnya kemajuan kemampuan anak. Beberapa kebutuhan khusus tersebut misalnya adalah meminta waktu untuk belajar di ruang sumber atau ruang pendidikan khusus yang memang disediakan sekolah untuk anak, jika suatu waktu anak mengalami distraksi atau tidak dapat menyesuaikan diri dengan suasana di dalam kelas biasa. Shadow teacher juga bisa meminta guru utama untuk meringankan standar kelulusan bagi anak jika anak terlihat begitu kesulitan menyesuaikan diri dengan teman sekelasnya dalam pencapaian akademik. Ketika guru utama telah memberikan standar pencapaian yang berbeda, shadow teacher juga harus member masukan mengenai parameter evaluasi yang diberikan guru utama terhadap anak juga harus berbeda. Sehingga, apa yang dievaluasikan kepada anak relevan terhadap apa yang telah anak pelajari. Shadow teacher juga memiliki kewajiban untuk mengulang pengajaran kepada anak. Pengulang pengajaran atau remedial teaching tidak harus dilakukan secara menyeluruh, melainkan cukup dengan menstimulus anak untuk mengetahui apa saja yang sudah didapatnya dari proses belajar di kelas. Kemudian, shadow teacher cukup mengulang penjelasan tentang bagian yang belum dikuasai anak.Selain hal membantu dalam hal akademik, shadow teacher juga harus membantu anak bersosialisasi dengan teman sebayanya dan guru utama. Mereka dapat memberikan informasi kepada guru utama dan murid lain terkait perkembangan anak, misalnya tentang komunikasi anak dan apa saja yang terlihat belum dipahami guru utama dan teman sebayanya. Hal ini bisa disempurnakan lagi dengan menunjukkan cara menangani anak di dalam kelas dan secara bertahap mengurangi ketergantungan anak pada shadow teacher. Dengan demikian, guru utama bisa mengambil alih peran sepenuhnya tanpa shadow teacher dan diharapkan anak dapat belajar di sekolah tanpa harus didampingi shadow teacher lagi. Keterikatan peran shadow teacher dengan anak tidak hanya mencakup kerjasama shadow teacher dengan guru utama, melainkan juga dalam hubungan yang terbuka antara orang tua dan shadow teacher. Dalam hal ini, kedua pihak dapat saling bertukar informasi mengenai perkembangan kemampuan anak dalam bidang akademik maupun sosial. Keterbukaan ini dibutuhkan karena seringkali ketidakmampuan tertentu yang sepele di rumah justru tampak dan menjadi kendala di sekolah.Komunikasi yang dilakukan orang tua dengan shadow teacher harus intensif. Shadow teacher harus
86 melaporkan perkembangan anak di sekolah, demikian pula orang tua harus melaporkan perkembangan anak saat di rumah. Informasi yang saling dibagi antar kedua belah pihak tidak boleh ditutup-tutupi, apalagi jika karena alasan “gengsi” atau “malu”. Laporan yang jujur justru akan semakin memudahkan shadow teacher atau orang tua untuk terus membuat program yang bisa mengembangkan kemampuan anak.Secara garis besar, kerjasama dan keterbukaan antar tenaga pendidik sangat diperlukan. Baik orang tua, guru utama, maupun shadow teacher harus saling terbuka dalam berbagi informasi perkembangan anak, sehingga anak bisa menerima penanganan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya serta membantu memaksimalkan kemampuannya. PENUTUP Pendidikan Inklusif adalah pendidikan yang mengakomodasi semua peserta didik tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Melalui pendidikan inklusifanak dengan berbagai hambatan mendapat hak untuk memperoleh pendidikan yang layak.Agar pendidikan yang layak dapat diterima oleh semua anak, maka sekolah harus mampu mengelola segala sumberdaya yang ada untuk mencapai mutu pendidikan yang lebih baik.Salah satunya adalah adanya Guru Pembimbing Khusus (GPK).Karena GPK tidak ada maka kepala SDN 4 Palangka membuat kebijakan dengan mengupayakan pengangkatan guru pendamping untuk sekolah inklusif yang dibiayai oleh orang tua ABK.Sehingga ABK terlayanidenganbaik. Kepada para pemangku kebijakan diharapkan lebih memperhatikan pengelolaan program pendidikan inklusif yang salah satunya dengan membuka formasi penerimaan CPNS untuk GPK.Mengoptimalkan kerjasama SLB sebagai pusat sumber serta meningkatkan peran orang tua dalam pengembangan program sekolah. DAFTAR PUSTAKA KementerianPendidikanN,asional 2010. ModulPelatihanPendidikanInklusif, KemitraanIndoneisa – Australia. KementerianPendidikandanKebudayaan, 2014.StrategiumumpembudayaanpendidikanInklusif di Indonesia. https://www.harianhaluan.com/news/detail/46562/guru-pembimbing-khusus-dalam-inklusi https://pinplb.com/gpk https://www.kartunet.com/peran-seorang-shadow-teacher-19/ https://www.kompasiana.com/simurai/55289155f17e617f638b4595/shadow-teacher-antara-riil-dan-bayangan
87 HUBUNGAN SUPERVISI PENDIDIKAN DENGAN APLIKASI PEMBELAJARAN MODEL GABUNGAN ANTARA CERAMAH DAN KERJA KELOMPOK DI SDN 1 MARANG Nekopely ABSTRAK Dalam pengembangan kompetensi guru di SDN 1 Marang sangat diperlukan penelitian yang intens dari berbagai aspek. Untuk mengatasi masalah itu diperlukan model atau cara sehingga memperoleh hasil yang maksimal , tenaga pendidik harus memiliki kemampuan khusus masuk dalam proses pembelajaran. Tugas kepala Sekolah sangat diperlukan sekali untuk menertifkan tenaga kependidikan baik adminitrasi maupun proses pembelajaran. Untuk mengatasi masalah penelitian lewat artikel ini dengan judul supervisi pendidikan terhadap aplikasi pembelajaran model metode ceramah dan kerja kelompok kepala sekolah SDN 1 Marang tahun pelajaran 2019. Lokasi Penelitian tentang artikel dengan subjek Peneliti adalah Guru dan tenaga kependidikan tahun 2019 semester genap. Faktor yang di teliti aspek positif peninjauan oleh supervisi pendidikan terhadap aplikasi pembelajaran model metode ceramah dan kerja kelompok kepala sekolah SDN 1 Marang tahun pelajaran 2019. Yang di supervisi guru kelas tentang adminitrasi . Perangkat , perangkat pembelajaran , cara mengajar, dalam kelas. Sehingga guru tau kelebihan dan dapat memperbaiki diri dalam bentuk yang di supervisi oleh Kepala Sekolah dan Pengawas.Berdasarkan hasil penelitian tentang artikel ini dapat disimpulkan bahwa teliti supervisi pendidikan terhadap aplikasi pembelajaran model metode ceramah dan kerja kelompok kepala sekolah SDN 1 Marang tahun pelajaran 2019. Sangat membantu saat proses pembelajaran sehingga supervisi tersebut tetap ada , dan ada tindak lanjut sehingga proses tersebutMembuat kemajuan dan dapat memperbaiki dan proses tersebut membuat siswa mendapat kemajuan dalam belajar di dalam maupun luar kelas. Kata Kunci : Supervisi Pendidikan, Pembelajaran Model Gabungan PENDAHULUAN Akhir dari rangkaian proses belajar mengajar adalah tes akhir suatu mata pelajaranyang dilakukan melaluisoalujian,tesakhir cawu,tesakhir semesteratau tesujian kenaikan kelas bagisiswa kelasenam sekolah dasar.Didalam menghadapi tes ujian kenaikan kelas bagi siswa Kelas V sekolah dasar perlu adanyarefreshing terhadap materi aja yang telah diterima oleh siswa selama mengikuti proses belajar mengajar. Bagaimanakah caranya agar siswa tidak melupakan materi pelajaran yang telah diteriman yaag siswa nantinya siap menghadapi ujian kenaikan kelas yang siapa tahu tidaksiapharusmerekahadapi. Bagaimanakah membua tsuatu materiajar agar tidak terlupakan oleh anak didik.Dalam halini guru harus mencari metode untuk mengingatkan segala memori dibenak siswa yang telah mereka terima.Guru harus bisa membangkitkan kembali memor itu. Salah satu metode pengajaran yang bisa membuat anak bisadan harus
88 mengingat kembali materi pelajaran yang telah mereka terima adalah carabelajar aktif model pembelajaran Gabungan mode lCeramah danKerja Kelompok. Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan tersebut diatas maka dalam penelitian ini penulis mengambil tema “Upaya Meningkatkan Kinerja Guru Mengajar Matematika DiKelasV Melalui Metode Belajar Aktif Model Gabungan ceramah dan kerja kelompok di SDN 1 Marang . METODE Penelitian yang akan penulis lakukan berfokus pada masalah tindakan guru materi pelajaram matematika dengan menerapkan konsepsi carabelaja raktif model pembelajaran Gabungan modelCeramah dan Kerja Kelompok. Jenis penelitian yang akan igunakan tergolong pada penelitian tindakan kelas (classroom action reaserch) yang berkolaborasi dengantindakan sekolah,dimana penulis selak penelitihanya melakukan observasidi kelas dan guru mater pelajaran matematika melakukan tindakan kelas,penelitian ini biasa lazim disebut penelitia indakan kolabaratif. Penelitian indakan kelas dan penelitian tindakan sekolah mampu menawarkan pendekatan dan prosedur baru yang lebih menjanjikan dampak langsung dalam bentuk perbaikan dan peningkatan profesionalisme guru dalam mengelola proses belajar dikelas atau implementasi berbagai program disekolah dengan mengkaji berbagai indikator keberhasilan proses dan hasil pembelajaran yang erjadi padasiswa.Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Stenhause di Hopkin 1993dalam Kasbollah bahwa:"PenelitianTindakan membuat guru dapat meneliti dan mengkaji pembelajaran yang ia lakukan dikelas sehingga permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan aktual.Dengan demikian gurudapat langsung berbuat sesuatu untuk memperbaiki praktik-praktik pengajaran yang kurang berhasil agar menjadi lebih baik dan lebih efektif. Dalam hal ini guru dilatih untuk dapat mengendalikan kehidupan profesinya sertaterlibat dalam pengambilan keputusan secara profesional." SelainituEbbuf`(1285)dalamKasbollahmengemukakanbahwa: " HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun data hasil penelitian padasiklusI adalah sebagai berikut: Tabel.NilaiUjianPadaSiklusI Respond en Nilai Point B KB 1 70 √ 2 60 √ 3 70 √ 4 80 √ 5 80 √ 6 40 √
89 7 70 √ 8 50 √ 9 80 √ 10 40 √ 11 70 √ Jumlah 710 7 4 Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan metode belajar aktif model Gabungan Ceramah dan Kerja Kelompok pada materi pelajaran diperoleh nilai rata-ratasis wa adalah 66,80 dan ketuntasan belajar mencapai 64,00% atau ada7 siswa dari11siswa sudah tuntas belajar.Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar,karena siswa yang memperoleh nilai≥ 65 hanya sebesar 65,71% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa banyak yang lupa dengan materi pelajaran yang telah diajarkan selama hampir satu semester ini. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus II dilaksanakan di kota Palangka Raya dengan jumlah siswa 11 . Dalam hal ini bentuk penelitian bertindak sebagai guru, Adapun proses belajar mengajar.peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus ,sehingga kesalahan atau kekurangan padasiklus I tidak terulang lagi pada siklus II. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi soal ujian II dengant ujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan.Instrumen yang digunakan adalah soal ujian II.Adapun data hasil penelitian padasiklus II adalah sebagai berikut. Table4.NilaiTesFormatifPadaSiklusII Respond en Nilai Point B KB 1 80 √ 2 70 √ 3 60 √ 4 70 √ 5 60 √ 6 70 √ 7 70 √ 8 80 √ 9 70 √ 10 70 √ 11 50 √ Jumlah 750 620 8 3 Dari tabel diatas diperoleh nilai rata-rata siswa adalah 68,57% dan ketuntasan belajar
90 mencapai77,14%atau ada2 siswa dari siswa sudah tuntas belajar.Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. PENUTUP Penggunaan metode ceramah dan kerja kelompok dapat meningkatkan hasil belajar siswa di SDN-1 Marang Kota Palangka Raya. DAFTAR PUSTAKA Bahrum, W., (998). Kompetensi guru naskah mata kuliah penelitian, unsyiah, Medan. Johnson, W.R. (1982). The principalshipof competention and function. Row publishere, New York, USA. Roseshine, S (1988). Competition studies of pupils CV Rajawali, Jakarta Yoesoef, T.D., (1997). Profesi pendidikan, unsyiah Banda Aceh. Oteng Sutisna. ( 2004). Penyusunan Satuan Pelajaran Untuk Praktek Mengajar. Bandung: Angkasa. S Margono. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Santoso, S. (2002). Pendidikan di Sekolah Dasar. Jakarta: Citra Pendidikan. Solehuddin, M. (2000). Konsep Casar Pendidikan Prasekolah. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
91 PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN KONSEP LIMBAH DAN PEMBELAJARANNYA MENGGUNAKAN MODEL PBM DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI SISWA Indriati ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk :Mendeskripsikan kepraktisan perangkat PBM dan mendeskripsikan keefektifan perangkat PBM berdasarkan hasil penilaian : kognintif, proses, psikomotor, keterampilan sikap dan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Penelitian research & developmentini menggunakan model pengembangan ADDIE. Populasi penelitian adalah siswa SMP Negeri 5 Kurun. Sampel menggunakan siswa kelas IX SMP Negeri 5 Kurun. Uji small group evaluationdan field trial menunjukkanpengelolaan pembelajaran sangat baik (skor rerata 3,77 dan 3,77), ketuntasan meningkat (delta skor rerata 23,56 dan 19,40), proses belajar baik (skor rerata 91,11 dan 89,67), sikap spritual dan sosial sedang dan baik (skor rerata 89,27), psikomotor baik (skor rerata 91,87 dan 93,75) serta keterampilan BTT baik (skor rerata 95,00 dan 90,00) dan respon siswa secara umum baik. Kata Kunci : Model PBM, Keterampilan Tingkat Tinggi PENDAHULUAN Pembelajaran di kelas selama ini sudah sering menggunakan pembelajaran kooperatif. Tetapi kelas masih belum pernah dioreintasikan pada pembelajaran yang memuat masalah autentik dilingkungan sekolah. Selain itu guru menggunakan perangkat pembelajaran yang dibuat oleh berdasarkan sumber dari penerbit buku untuk pembelajaran di SMP Negeri 5 Kurun. Model PBM adalah salah satu pembelajaran yang didukung oleh teori konstruktivisme (Nur,2011). Siswa diharapkan dapat membangun pengetahuannya secara aktif didukung dengan fasilitas dan lingkungan belajar siswa. Hal tersebut terkait dengan PBM yang mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah disekitar lingkungan belajar siswa. Pembelajaran berbasis masalah yang seterusnya akan disingkat PBM merupakan model pembelajaran inovatif yang memberi kondisi belajar aktif kepada siswa dalam kondisi dunia nyata (Yamin, 2012). Hal tersebut tercermin dari tahapan pembelajarn model PBM yang mengarahkan siswa untuk berpikit tingkat tinggi dan kreatif. Menurut Rosnawati (2005) kemampuan berpikit tingkat tinggi dan berpikir kreatif merupakan indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi.
92 METODE Jenis penelitian ini merupakan Research & Development (R & D) yang mengembangkan perangkat pembelajaran konsep limbah untuk siswa SMP.Menurut Arends (2012) dalam Model PBM peran guru adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. Selain itu guru juga melakukan Scaffolding, yaitu suatu kerangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual. Model PBM tidak dapat terjadi tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara secara terbuka. Prosedur penelitian dalam penerapan perangkat, kegiatan pengembangan perangkat pembelajaran pada penelitian ini mengadopsi model ADDIE namun hanya sampai tindak implementasi sajayang telah disesuaikan dengan keperluan dalam pengembangan perangkat pembelajaran yang akan digunakan oleh peneliti cukup sampai. Limatahapanterdiri darikerangka kerjamasing-masing dengantujuan sendiriyang berbedadan fungsi dalamperkembangandesain instruksional. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari pengembangan pembelajaran mengunakan model PBM pada berpikir tingkat tinggi. Mendapatkan hasil data sebagai berikut : 1. Pengelolaan pembelajaran, (2) Ketuntasan, (3) Proses belajar, (4) spiritual dan social, (4) Psikomotor, (5) Berpikir Tingkat tinggi. Pada awal dari mendapatkan hasil Validitas desain dianalisa secara deskriptif kualitatif, kepraktisan dan efektifitas desain dianalisa secara deskriptif kuantitatif. Hasil validasi desain oleh 3 validator ahli menunjukkan desain cukup valid (skor rerata 78,33%) dan dilakukan adaptasi sesuai kebutuhan. Uji one to one evaluationmenunjukkan positif terhadap bahan ajar dan LKS. Uji small group evaluationdan field trial menunjukkanpengelolaan pembelajaran sangat baik (skor rerata 3,77 dan 3,77), ketuntasan meningkat (delta skor rerata 23,56 dan 19,40), proses belajar baik (skor rerata 91,11 dan 89,67), sikap spritual dan sosial sedang dan baik (skor rerata 89,27), psikomotor baik (skor rerata 91,87 dan 93,75) serta keterampilan BTT baik (skor rerata 95,00 dan 90,00) dan respon siswa secara umum baik. Yang ditampilkan tabel mewakili dari hasil data keseluruhan, salah satunya pada hasil ketuntasan, dan berpikir tingkat tinggi. Hasil data yang diperoleh pada Uji Lapangan saja. Ringkasan Data Ketuntasan Individual dan Klasikal yang diperoleh dari Hasil Pre Test dan Post Test pada Uji Lapangan (Field Trial) No Inisial Rata-Rata Pretes Rata-Rata Postes N Gen 1 AN 62.78 88.33 0.69
93 No Inisial Rata-Rata Pretes Rata-Rata Postes N Gen 2 BGY 72.78 90.00 0.63 3 DRS 69.44 90.00 0.67 4 DN 75.00 95.56 0.82 5 HY 77.22 90.00 0.56 6 KI 82.78 91.00 0.45 7 KN 86.11 100 1.00 8 MU 71.67 96.67 0.88 9 NF 79.44 100 1.00 10 NVE 76.67 96.67 0.86 11 PT 71.11 90.00 0.65 12 RR 70.00 87.22 0.57 13 RN 81.11 95.00 0.74 14 SP 62.22 87.22 0.66 15 SN 71.67 95.00 0.82 16 TA 72.78 85.56 0.47 17 TES 74.44 95.56 0.83 18 UAR 65.00 95.00 0.86 19 WA 68.33 83.33 0.47 20 FM 78.33 100 1.00 21 WL 71.67 91.67 0.71 22 RK 69.44 93.33 0.78 Rata-rata 62.63 86.19 0.73 Sumber : Hasil Olah Data persentase siswa yang tuntas pada pre test selama 3 kali pertemuan atau pada LP Pengetahuan 1, 2, dan 3 hanya sebesar 0% dengan rata-rata 62,63%. Dari data ini menunjukkan kemampuan awal siswa ternyata masih rendah dan belum mencapai
94 ketuntasan klasikal yang telah ditentukan, hal ini disebabkan karena pada materi produk limbah merupakan sesuatu yang baru bagi siswa. Pada pos test, peresentasi siswa yang tuntas sebesar 100% dengan rata-rata 86,19% artinya ketuntasan klasikal sudah mencapai batas yang ditetapkan. Hasil dari N Gen dengan nilai rata-rata 0,73 dengan kategori baik. Tabel 4.26. Rata-rata Penilaian Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Pada Pertemuan 1 Pada Kegiatan LKS 1 Nama siswa Kriteria RataRata Kategori 1 2 3 4 5 6 7 8 AN 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 100 Baik BGY 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 100 Baik DRS 9,38 12,50 9,38 9,38 12,50 9,38 9,38 9,38 81,25 Baik DN 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 100 Baik HY 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 100 Baik Rata-rata 96,25 Baik Sumber : Hasil Olah Data Keterangan: 76-100% = baik ; 56-75% = sedang ; 40-45% = kurang ; <40% = buruk (Arikunto, 2010) Kriteria: 1. Membuat rumusan masalah 2. Membuat hipotesa 3. Membuat rencana percobaan 4. Membuat langkah-langkah kerja 5. Membuat rancangan tabel hasil pengamatan 6. Melaksanakan percobaan 7. Menganalisa data 8. Membuat kesimpulan Tabel 4.27. Rata-rata Penilaian Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Pertemuan 2 Pada Kegiatan LKS 2 Uji Lapangan (Field Trial) Nama siswa Kriteria RataRata Kategori 1 2 3 4 5 6 7 8 AN 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 9,38 96,88 Baik BGY 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 100 Baik DRS 9,38 9,38 9,38 9,38 9,38 9,38 9,38 12,50 78,13 Baik DN 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 100 Baik
95 Nama siswa Kriteria RataRata Kategori 1 2 3 4 5 6 7 8 HY 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 12,50 100 Baik Rata-rata 95,00 Baik Keterangan: 76-100% = baik ; 56-75% = sedang ; 40-45% = kurang ; <40% = buruk (Arikunto, 2010) Kriteria: 1. Membuat rumusan masalah 2. Membuat hipotesa 3. Membuat rencana percobaan 4. Membuat langkah-langkah kerja 5. Membuat rancangan tabel hasil pengamatan 6. Melaksanakan percobaan 7. Menganalisa data 8. Membuat kesimpulan Tabel 4.28. Rata-rata Penilaian Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Pada Pertemuan 3 Pada Kegiatan LKS 3 Uji Lapangan (Field Trial) Nama siswa Kriteria RataRata Kategori 1 2 3 4 5 6 AN 16,67 16,67 16,67 16,67 16,67 16,67 100 Baik BGY 16,67 16,67 16,67 16,67 16,67 16,67 100 Baik DRS 16,67 12,50 16,67 12,50 16,67 16,67 91,67 Baik DN 16,67 16,67 16,67 16,67 16,67 16,67 100 Baik HY 16,67 16,67 16,67 16,67 16,67 16,67 100 Baik Rata-rata 98,33 Baik Keterangan: 76-100% = baik ; 56-75% = sedang ; 40-45% = kurang ; <40% = buruk (Arikunto, 2010) Keterangan: 1. Membuat rumusan masalah 2. Membuat hipotesa 3. Merancang/mendesain limbah menjadi sebuah produk 4. Membuat langkah-langkah kerja 5. Melaksanakan pembuatan produk dari limbah 6. Menganalisa hasil desain produk dari limbah Analisis kepraktisan perangkat pembelajaran diperoleh melalui data hasil penilaian keterlaksanaan RPP dan respons siswa. Deskripsi hasil analisis kepraktisan perangkat pembelajaran pada uji lapangan disajikan sebagai berikut. 1) Keterlaksanaan RPP Hasil analisis keterlaksanaan RPP pada uji lapangan menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran menggunakan MPBM dapat mendorong keterlaksanaan RPP dengan kategori “sangat baik” .Temuan ini didukung oleh penelitian Herlina (2014) & Usmiyatun (2014) yang melaporkan bahwa kemampuan guru mitra dalam mengajarkan perangkat pembelajaran pada ketiga tahapan RPP (pendahuluan, kegiatan inti dan penutup) tergolong
96 baik. Hal serupa juga dilaporkan oleh Yudianto, Nur & Basuki (2013) yang menyatakan bahwa keterlaksanaan RPP pada SMP dengan menggunakan pembelajaran kooperatif dapat terlaksana dan tergolong baik. 2) Respons Siswa Hasil analisis respons siswa pada kelompok kecil dan uji lapangan menunjukkan bahwa respons positif Pada uji lapangan bahwa 100 % siswa menyatakan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran bedasarkan masalahdapat meningkatkan kerjasama dalam kelompok saya. 95 % menjadi lebih mudah memahami materi pelajaran, pembelajaran dengan menggunakan model Pembelajaran bedasarkan masalah membuat belajar menjadi lebih mudah dan tidak membosankan, dapat membantu teman yang kesulitan dalam memahami pelajaran, sedangkan hasil 91 % siswa Saya menyenangi pelajaran Prakarya dengan menggunakan model Pembelajaran bedasarkan masalah, memiliki kemauan yang tinggi untuk memanfaatkan waktu belajar dengan baik, siswa menjadi lebih mudah bertanya kepada guru atau teman untuk memahami pelajaran, dapat menguasai beberapa istilah ilmiah dalam materi pelajaran. 86% siswa berani mengemukakan pendapat. Temuan ini didukung oleh penelitian Nisa (2013) & Firdaus dkk (2014) yang menyatakan bahwa pembelajaran Prakarya dapat mendorong siswa untuk memberikan respons positif terhadap pembelajaran. 3) Aktivitas Siswa Hasil analisis uji lapangan menunjukkan bahwa keaktifan siswa menonjol pada 4 dari 7 parameter yang diamati. Keempat parameter aktivitas yang dapat menonjolkan keaktifan siswa pada meliputi duduk berkelompok, mengerjakan LKS, mengumpulkan data/informasi (percobaan), dan membuat hasil karya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran MPBM dapat mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran (student centered). Temuan ini didukung oleh penelitian Ayatusa’adah (2013) & Herlina (2014) yang melaporkan bahwa pembelajaran PBM dapat mendorong siswa SMP untuk lebih aktif. A. Efektivitas Perangkat Pembelajaran 4) Hasil Belajar Kognitif Produk Analisis hasil belajar kognitif produk pada uji lapangan menunjukkan tiga hal. Pertama, tidak semua siswa tuntas pada pretest dan postest, persentase siswa yang tuntas pada pre test selama 3 kali pertemuan atau pada LP Pengetahuan 1, 2, dan 3 hanya sebesar 0% dengan rata-rata 62,63%. Hasil dari N Gen dengan nilai rata-rata 0,73 dengan kategori baik. Dari data ini menunjukkan kemampuan awal siswa ternyata masih rendah dan belum mencapai ketuntasan klasikal yang telah ditentukan, hal ini disebabkan karena pada materi produk limbah merupakan
97 sesuatu yang baru bagi siswa. Pada pos test, peresentasi siswa yang tuntas sebesar 100% dengan rata-rata 86,19 artinya ketuntasan klasikal sudah mencapai batas yang ditetapkan. Oguz (2008) dalam Suparmi (2013) menjelaskan bahwa pembelajaran konstruktivis memberi pengaruh signifikan terhadap hasil belajar. Senada dengan Ahmeed & Mahmood (2010) yang menyatakan bahwa siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif mengalami peningkatan pengalaman belajar dan hasil belajar. Ketiga, hasil uji homogenitas menggunakan uji Bartlett menunjukkan bahwa pemberian perlakuan yang sama menggunakan perangkat pembelajaran MPBM dapat memberikan hasil yang serupa (homogen) pada kelas yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran MPBM dapat membantu siswa dalam mencapai ketuntasan hasil belajar (individual dan klasikal). 5) Hasil Belajar Kognitif Proses Analisis kinerja proses pada uji lapangan menunjukkan bahwa seluruh kelompok memperoleh penilaian dengan kategori “baik”. hasil belajar selama proses pembelajaran yang diperoleh dari LKS pada uji lapangan (Field Trial) konsep limbah tergolong dalam katergori baik dengan persentase sebesar 78,60%. Hasil tersebut telah memenuhi harapan guru (peneliti) dan sesuai dengan National Science Education Standard (The National Research Council/NRC, 1996) bahwa pengembangan profesional guru sains perlu mengaplikasikan pengetahuan ke dalam pengajaran melalui penyelidikan. Kegiatan penyelidikan menurut Trowbridge & Bybee (1990) merupakan kegiatan yang berperan dalam mengembangkan keterampilan proses siswa. Menurut Rusman (2012), guru harus menggunakan proses pembelajaran yang akan menggerakkan siswa menuju kemandirian, kehidupan yang lebih luas, dan belajar sepanjang hayat. Lingkungan belajar yang dibangun guru harus mendorong cara berpikir reflektif, evaluasi kritis, dan cara berpikir yang berdayaguna. Pengidentifikasian variabel-variabel percobaan merupakan langkah selanjutnya yang dilakukan untuk dapat melakukan penyelidikan MPBM sehingga variabel bebas, variabel respons dan variabel kontrol dapat ditentukan. Siswa kemudian menyusun prosedur kerja sebagai rancangan awal mereka dalam melakukan percobaan. Firdaus (2014) mengemukakan bahwa siswa tidak hanya dituntut untuk bekerja dengan tangan atau tubuhnya dalam kegiatan praktikum, akan tetapi kegiatan tersebut diawali dengan kegiatan berpikir yang tampak pada cara siswa dalam merancang sendiri langkah kerjanya. Senada dengan pendapat Nur (2000) yang mengungkapkan bahwa proses pembelajaran dapat dibuat sangat bermakna apabila siswa diberikan kesempatan untuk menemukan dan menerapkan sendiri pembelajaran tersebut melalui rancangan pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran MPBM pada uji lapangan kelas IX dapat mendorong siswa untuk melakukan kinerja proses dengan baik.Temuan ini didukung oleh
98 penelitian Sarmani (2014) yang melaporkan bahwa PBM dapat meningkatkan kinerja ilmiah siswa. Senada dengan penelitian Cinar & Bayraktar (tanpa tahun) yang melaporkan bahwa pembelajaran menggunakan PBM dapat mengasah keterampilan proses sains siswa. Begitupula dengan pendapat Boud (1987) dalam Hillman (2003) yang menyatakan bahwa pemecahan masalah dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab dan solusi permasalahan melalui kinerja proses/praktik. 6) Keterampilan Sikap Hasil analisis uji lapangan pada menunjukkan bahwa keterampilan sikap spritual dan sikap sosial berupa menunjukkan rata-rata tergolong kategori baik. Penilaian keterampilan sosial bekerja sama dilakukan ketika siswa terlibat dalam kegiatan diskusi, percobaan dan pembuatan hasil karya. Keberhasilan suatu proyek/kegiatan menurut Nur (2011) dapat dicapai apabila setiap anggota kelompok dapat berperan serta dan mampu bekerjasama dengan baik tanpa terfokus pada satu atau dua orang siswa. Akcay (2009) dan Awang & Ramly (2008) menyatakan bahwa PBM mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan dalam berkomunikasi. Temuan tersebut didukung oleh penelitian Lestari (2012) yang melaporkan bahwa pembelajaran berkelompok dapat mengembangkan keterampilan sosial siswa. Penelitian Herlina (2014) juga menyatakan bahwa PBM dapat mengasah keterampilan sosial siswa SMP dalam bekerja sama dan menghargai pendapat teman. Senada dengan Akinoglu & Tandogan (2007) yang menyatakan bahwa keterampilan sosial, penyebaran informasi, dan aktivitas siswa dapat dikembangkan pada pembelajaran kooperatif seperti PBM. 7) Kinerja Psikomotor Siswa Analisis kinerja psikomotor penilaian psikomotor saat proses kegiatan pembelajaran pertemuan pertama berlangsung mengunakan pembelajaran konsep limbah. Penilaian psikomotor pada uji lapangan (Field Trial) kelas IX menunjukkan rata-rata 93,75% tergolong kategori baik, saat proses kegiatan pembelajaran pertemuan kedua berlangsung mengunakan pembelajaran konsep limbah. Penilaian psikomotor pada uji lapangan (Field Trial) kelas IX menunjukkan rata-rata 90% tergolong kategori baik dan saat proses kegiatan pembelajaran pertemuan ketiga berlangsung mengunakan pembelajaran konsep limbah. Penilaian psikomotor pada uji lapangan (Field Trial) kelas IX menunjukkan rata-rata 94,29% tergolong kategori baik. Seluruh mendapatkan penilaian yang baik jika dilihat dari rentang skor yang diperoleh dengan batas skor maksimal dan disesuaikan dengan rubrik penilaian. Menurut Amir (2010), angka penilaian yang diberikan kepada siswa dapat menggambarkan kinerja belajar siswa secara utuh. Mardapi (2012) menambahkan bahwa dalam penilaian kinerja psikomotor, kebenaran gerakan, waktu yang diperlukan, dan keselamatan kerja perlu diperhatikan. 8) Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi
99 Kategori untuk keterampilan berpikir tingkat tinggi pada siswa menunjukkan sebanyak 22 orang Dari hasil ini dapat disimpulkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa sudah baik. Hasil ini sejalan dengan temuan yang dilaporkan Reta (2012), Purmaningrum (2012), Africano (2008) dan Supramono (2005). Keterampilan berpikir dengan menggunakan model PBM juga dapat ditingkatkan seperti hasil temuan Africano (2008) yang melaporkan penerapan pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran Prakarya dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa kelas IX SMP Negeri 1 Ngantang. Supramono (2005) juga menyimpulkan bahwa pengembangan model perangkat PBM telah mampu meningkatkan keterampilan berpikir siswa. Kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan model perangkat pembelajaran menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Nur (2011) yang menyatakan model PBM membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikirtingkattinggi. Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan tahapan berpikir analisa kritis, dan kemampuan siswa untuk melakukan ini bergantung pada : 1) desain tujuan instruksional; 2) alat ukur progress kemajuan siswa; dan 3) motivasi belajar siswa (Byrnes & Dunbar, 2014). Siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis berbeda dengan siswa yang memiliki bakat untuk berpikir kritis, dan penelitian membuktikan bahwa keterampilan berpikir kritis dapat dibentuk. Siswa yang telah mencapai tahap tertinggi dalam keterampilan berpikir kritis dapat menyamai siswa yang memang terlahir dengan bakat kemampuan berpikir kritis dalam pemecahan masalah (Yang & Chou, 2008). PENUTUP Kesimpulan pada penelitian pengembangan ini yaitu penelitian telah berhasil mengembangankan perangkat pembelajaran dengan dihasilkannya prototipe perangkat pembelajaran yang telah direvisi. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengembangan perangkat pembelajaran konsep limbah menggunakan model PBM keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa. Perangkat pembelajaran konsep limbah disarankan untuk dapat dimanfaatkan secara maksimal dan dikembangkan lebih lanjut, oleh guru dan terlebih lagi dapat membantu guru dalam menyusun dan mengembangkan perangkat pembelajaran Prakarya dengan konsep yang lain. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta. Depdiknas. 3013. Peraturan Mentri Pendidikan Dasar Menengah No 54 Tahun 2013 Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menenngah. Jakarta:Depdiknas Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah No. 54 Tahun 2013. Jakarta: Depdiknas
100 Nusa Idaman Said.(2011). Pengelolaan Limbah Domestik.Jakarta:BPPT. Nur,Mohamad.2011. Strategi-strategi Belajar. Surabaya:Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa. Nur,Mohamad.2013. Pendidikan dan Latihan Pembelajaran Inovatif dan Pengembangan Perangkat Pembelajran Bermuatan Keterampilan Berpikir dan Perilaku Berkarakter. Surabaya:Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa. Retno.2008. Pengertian Elekrokoagulasi dan Pengolahan Limbah. (https://core.ac.uk/download/files/379/11735109.pdf, diakses 17 Febuari 2016). Yamin, Martinis. 2012. Desain Baru Pembelajaran Konstruktivisme Teori dan Aplikasi Pembelajaran Dalam Pembentukan Karakter. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R&D.Jakarta: Alfabeta. Widoyoko, S.Eko, Putro. 2015. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Pustakan Pelajar. Yogyakarta Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:Kencana Prenada Media Group. Sudjana, N.2004. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.