101 PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KELAS Kirisman ABSTRAK Penguatan Pendidikan Karakter berbasis kelas merupakan gerakan pendidikan karakter yang dikelola guru di kelas pada saat pelaksanaan pembelajaran untuk memperkuat karakter melalui proses pembentukan, transformasi, transmisi, dan pengembangan potensi peserta didik dengan cara harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi dan numerasi), dan olah raga (kinestetik) sesuai falsafah hidup Pancasila. Dalam Implementasinya, peranan guru mengelola kegiatan di kelasnya dengan mengintegrasikan 5 nilai utama penguatan pendidikan karakter yaitu religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong-royong dan integritas ke dalam kegiatan pembiasaan baik secara rutin maupun spontanitas.Kajian ini adalah kajian kualitatif deskriptif yaitu bertujuan untuk mendeskripsikan pendidikan karakter berbasis kelas. Kata kunci :penguat pendidikan karakter, berbasis kelas. PENDAHULUAN Indonesia bercita-cita melahirkan generasi cemerlang yang mampu bersaing secara global.Jalan menuju cita-cita itu telah diretas, yakni dengan menerapkan pendidikan karakter kepada generasi muda. Fenomena kenakalan remaja usia sekolah yang cenderung meningkat menjadi kekhwatiran banyak pihak, generasi mendatang bukan menjadi generasi emas, tetapi generasi yang menjadi sampah masyarakat dan bahkan merusak bangsa seperti pencandu narkoba, tawuran, ikut demo anarkis, pemabuk, pemerkosa atau setelah dewasa menjadi koruptor. Permendikbud nomor 20 tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan dinyatakan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) gerakan pendidikan dibawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah pikir, olah rasa dan olah raga dengan pelibatan dan kerjasama antar satuan pendidikan, keluar dan masyarakat menjadi sampah masyarakat dan bahkan merusak bangsa seperti pencandu narkoba, tawuran, ikut demo anarkis, pemabuk, pemerkosa atau setelah dewasa menjadi koruptor. Permendikbud nomor 20 tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan dinyatakan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) gerakan pendidikan dibawah tanggung jawab satuan narkoba, tawuran, ikut demo anarkis, pemabuk, pemerkosa atau setelah dewasa menjadi koruptor. Permendikbud nomor 20 tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan dinyatakan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) gerakan pendidikan dibawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta
102 didik melalui harmonisasi olah hati, olah pikir, olah rasa dan olah raga dengan pelibatan dan kerjasama antar satuan pendidikan, keluar dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Agar Penguatan Ppendidikan Karakter (PPK) di sekolah / madrasah dapat dikelola secara optimal, maka pelaksanaannya harus diintegrasikan melalui peraturan dan tata tertib sekolah, proses belajar mengajar di kelas, dan kegiatan ekstrakurikuler. Selain itu, para pendidik juga wajib memberikan keteladanan atau karakter yang baik untuk peserta didiknya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka masalah dirumuskan sebagai berikut : Apapengertian PPK Berbasis Kelas? Dan tujuan penulisan adalah :MendeskripsikanPPK Berbasis Kelas. METODE Artikel ini merupakan merupakan hasil penelitian kualitatif, karena datanya berupa kata-kata dari orang yang diperoleh secara alamiah (Sugiyono, 2013). Penelitian kualitatif sering disebut sebagai penelitian naturalistik karena penelitian dilakukan pada kondisi yang alami (natural setting). Karena itu data yang dikumpulkan, dianalisis, diinterpretasikan, dan disimpulkan adalah data yang berupa kata-kata atau pernyataan orang-orang. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) Berbasis Kelas Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional masingmasing bangsa berdasarkan pada dan dijiwai oleh kebudayaannya. Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berdasarkan kepada kebudayaan bangsa dan berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Pendidikan karakter merupakan salah satu fragmen dari sistem pendidikan Indonesia yang semuanya bermuara pada tercapainya kemajuan bangsa Indonesia. Pendidikan yang saat ini melewatkan dan mengabaikan beberapa dimensi penting dalam pendidikan yaitu olah raga (kinestetik), olah rasa (seni) dan olah hati (etik/spiritual) (Effendy, 2016). Yang kita kembangkan selama ini adalah dimensi akademis, bagaimana cara memperoleh nilai dan kognitive yang baik. Sistem yang sedemikian ini menjadikan peserta didik buta akan nilai dan rasa akan sikap sosial dan etika. Persoalan semacam ini sering sekali ditemukan pada lingkungan kota, dimana lingkungan sosial budaya peserta didik jauh dari sikap simpati dan empati satu sama lain. Sikap indivdualis dan egois mengebiri norma-normal yang harusnya ditegakkan sebagai hakitat dari manusia sebagai makhluk sosial. kelaspada saat pelaksanaan pembelajaran untuk memperkuat karakter melalui proses pembentukan, transformasi,transmisi, dan pengembangan potensi peserta didik dengan cara harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olah rasa(estetik), olah pikir
103 (literasi dan numerasi), dan olah raga (kinestetik) sesuai falsafah hidup Pancasila. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) berbasis kelas dilakukan dengan: a. Mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam proses pembelajaran secara tematik atau terintegrasi dalam mata pelajaran sesuai dengan isi kurikulum. b. Merencanakan pengelolaan kelas dan metode pembelajaran/pembimbingan sesuia dengan karakter peserta didik. c. Melalukan evaluasi pembelajaran/pembimbingan. d. Mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuaia dengan kebutuhan dan karakteristik daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Pengembangan Nilai-Nilai Karakter Permendikbud nomor 57 tahun 2018 B. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) berbasis kelas merupakan gerakan pendidikan karakter yang dikelola guru di Implementasi PPK Berbasis Kelas Begitu kompleksnya implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) berbasis kelas. Maka diperlukan kesungguhan guru dalam memahami metode pembelajaran dan kreatif dalam memilih model pembelajaran.Oleh karena itu diperlukan komitmen dari para guru untuk selalau belajar dan meng-update pengetahuannyasesuai dengan perkembangan. Permendikbud nomor 57 tahun 2018 pasal 6 ayat 2 dinyatakan bahwa Pendekatan berbasis kelas dilakukan dengan: a. mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam proses pembelajaran secara tematik atau terintegrasi dalam mata pelajaran sesuai dengan isi urikulum; b. merencanakan pengelolaan kelas dan metode pembelajaran /pembimbingan sesuai dengan karakter peserta didik; c. melakukan evaluasi pembelajaran/pembimbingan; dan d. mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik. Adapun beberapa kegiatan yang dipersiapkan dandilakukan guru di kelas adalah sebagai berikut:
104 1. Pengintegrasian PPK dalam kurikulum Pengintegrasian Penguatan Pendidikan Karakter dalam utama PPK ke dalam proses pembelajaran dalam setiap mata pelajaran yangdiajarkannya khususnya dalam merancang silabus,RPP dan penilaian.Pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai utama karakter dimaksudkan untuk menumbuhkan danmenguatkan pengetahuan, menanamkan kesadaran, dan mempraktikkan nilai-nilai utama PPK. Guru dapatmemanfaatkan secara optimal materi yang sudah tersedia di dalam kurikulum secara kontekstual denganpenguatan nilai-nilai utama PPK. Gerakan PPK dilaksanakan dengan berbasis struktur kurikulum yang sudah ada dan mantab dimiliki oleh sekolah, yaitu salah satunya pendidikan karakter berbasis kelas (Albertus, 2015). PPK berbasis kelas difokuskan ke dalam tiga hal, antara lain: a. Mengintegrasikan proses pembelajaran di dalam kelas melalui isi kurikulum dalam mata pelajaran, baik itu secara tematik maupun terintegrasi dalam mata pelajaran b. Memperkuat manajemen kelas, pilihan metodologi dan evaluasi pengajaran c. Mengembangkan muatan lokal sesuai dengan kebutuhan daerah. Langkah-langkah menerapkan PPK melalui pembelajaran terintegrasi dalam kurikulum, dapat dilaksanakandengan cara: a. melakukan analisis KD melalui identifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam materi pembelajaran; b. mendesain RPP yang memuat fokus penguatan karakter dengan memilih metode pembelajaran dan pengelolaan(manajemen) kelas yang relevan; 3. PPK Melalui Pilihan dan Penggunaan Metode Pembelajaran. Penguatan Pendidikan Karakter terintegrasi dalam kurikulum dilakukan melalui pembelajaran di kelas denganmenggunakan metode pembelajaran yang tepat.Guru harus pandai memilih agar metode pembelajaran yang digunakan secara tidak langsung menanamkanpembentukan karakter peserta didik.Metode pembelajaran yang dipilih harus dapat membantu guru dalam memberikan pengetahuan dan keterampilanyang dibutuhkan peserta didik. Melalui metode tersebut diharapkan siswa memiliki keterampilan berpikir kritis(critical thinking), berpikir kreatif (creative thinking), kecakapan berkomunikasi (communication skill), dan kerjasama dalam pembelajaran (collaborative learning). 4. PPK Melalui Pembelajaran Tematis Penguatan Pendidikan Karakter melalui pembelajaran tematis adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukanoleh satuan pendidikan dengan mengalokasikan waktu khusus untuk mengajarkan nilai-nilai tertentu.Tema-temayang mengandung nilai utama PPK diajarkan dalam bentuk pembelajaran di kelas ini diharapkan semakinmemperkaya praksis PPK di sekolah. Satuan pendidikan mendesain sendiri tema dan prioritas nilai pendidikankarakter apa yang akan mereka tekankan.
105 5. PPK Melalui Gerakan literasi. Gerakan literasi merupakan kegiatan mengasah kemampuan mengakses, memahami, mengolah, danmemanfaatkan informasi secara kritis dan cerdas berlandaskan kegiatan membaca, menulis, menyimak, danberbicara untuk menumbuhkembangkan karakter seseorang menjadi tangguh, kuat, dan baik.Dalam konteks kegiatan PPK berbasis kelas, kegiatan-kegiatan literasi dapat diintegrasikan ke dalam kegiatanpembelajaran dan mata pelajaran yang ada dalam struktur kurikulum. Setiap guru dapat mengajak peserta didikmembaca, menulis, menyimak, dan mengomunikasikan secara teliti, cermat, dan tepat tentang suatu tema atautopik yang ada di berbagai sumber, baik buku, surat kabar, media sosial, maupun media-media lain. 6. PPK Melalui Layanan Bimbingan dan Konseling Guru BK sangat berperan dalam Penguatan Pendidikan Karakter , yang dapat dilakukan melalui pendampingandan program bimbingan dan konseling. Guru BK hendaknya tidak terfokus hanya membantu peserta didik yangbermasalah, akan tetapi membantu semua peserta didik dalam pengembangan ragam potensi, meliputipengembangan aspek akademik, karier, pribadi, dan sosial.Bimbingan dan konseling di sekolah dilaksanakan secara kolaboratif dengan para guru mata pelajaran, tenagakependidikan, maupun orang tua dan pemangku kepentingan lainnya.Keutuhan layanan bimbingan dan konseling diwujudkan dalam landasan filosofis bimbingan dan konseling yang memandirikan, berorientasi perkembangan,dengan komponen-komponen program yang mencakup (1) layanan dasar, (2) layanan responsif, (3) perencanaanindividual dan peminatan, dan (4) dukungan sistem (sesuai Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 tentangBimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah). Pengintegrasian dalam mata pelajaran bertujuan untuk memperkenalkan nilai-nilai pendidikan karakter pada siswa sehingga mereka menyadari akan pentingnya nilai-nilai tersebut dan menginternalisasikan nilai-nilai ke dalam tingkah laku siswa sehari-hari melalui proses pembelajaran. Pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran dapat dilihat dari silabus dan RPP yang digunakan guru sebagai pedoman dalam mengajar (Utami, 2014). Ketika mata pelajaran ilmu pengetahuan alam, nilai religius muncul ketika guru mengajarkan materi lingkungan yaitu semua yang ada dilingkungan adalah ciptaanNya dan wajib untuk dijaga yang berarti terintegrasi dengan nilai cinta lingkungan. 1. Kemendiknas (2010) dalam Utami (2014) menyatakan bahwa elaksanaan nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga
106 administrasi ketika berkomunikasi dengan siswa dan menggunakan fasilitas sekolah. Nilai Nasionalisime Implementasi PPK berbasis kelas pada pengembangan nilai-nilai nasionalis dapat berupa pembiasaan menyanyikan lagu Indonesia Raya di awal proses belajar mengajar, menyanyikan lagu daerah di akhir proses belajar mengajar dan juga penanaman nilai nasionalis melalui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Melalui kegiatan ini siswa diharapkan memiliki jika nasionalis yang tinggi dan cinta akan tanah air. Nasionalisme adalah suatu paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara atas kesadaran keanggotaan/warga negara yang secara potensial bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsanya. 2. Nilai Kemandirian Kemandirian siswa menjadi salah satu kunci pokok peberhasilan Program Pengembangan Karakter. Siswa sekolah darah pada rentang usia 5-12 tahun merupakan usia ideal dalam rangka mempengaruhi agar setiap siswa mempunyai sikap dan nilai kemandirian. Mandiri diartikan dapat menyelesaikan persoalan yang didahapi dengan bijak sesuai dengan ranah usianya. Di dalam kelas, kegiatan yang dapat menunjang pengembangan nilai ini adalah pemberian opsi atau pilihan kepada siswa, bisa merupakan tugas akademis maupun yang bersifat nonakademis. Pilihan merupakan Implementasi gotong royong dapat berupa kegiatan bersih-bersih kelas, kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan sikap kerja sama yang baik antar siswa dan sikap gotong royong. 3. Nilai Integritas Integritas secara rinci dapat dijelaskan sebagai upaya siswa agar selalu dianggap bertanggung jawab dan selalu dipercaya baik melalui perkataan maupun perbuatan.Sumaatmadja, (2005) menjelaskan bahwa pada prinsipnya anak sebagai individu dan calon anggota masyarakat merupakan potensi yang berkembang dan dapat dikembangkan.Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap individu memiliki empat dasar mental yaitu meliputi dorongan ingin tahu (sense of curiosity), minat (sense of interest), dorongan ingin melihat (sense of reality), dorongan menemukan sendiri hal-hal dan gejala-gejala dalam kehidupan (sense of discovery). PENUTUP Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa : 1. Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) berbasis kelas merupakan gerakan pendidikan karakter yang dikelola guru di kelaspada saat pelaksanaan pembelajaran untuk
107 memperkuat karakter melalui proses pembentukan, transformasi,transmisi, dan pengembangan potensi peserta didik dengan cara harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olah rasa(estetik), olah pikir (literasi dan numerasi), dan olah raga (kinestetik) sesuai falsafah hidup Pancasila. 2. Dalam implementasi PPK berbasis kelas, kegiatan yang dipersiapkan dandilakukan guru di kelas adalah sebagai berikut: 1. Pengintegrasian PPK dalam kurikulum 2. PPK melalui manajemen kelas 3. PPK melalui pilihan dan penggunaan metode pembelajaran 4. PPK melalui pembelajaran tematis 5. PPK melalui kegiatan literasi Penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Pelu diadakan perbaikan yang progresif demi kesempurnaan makalah ini, dapat berupa sumber yang digunakan, tata bahasa dan kalimat maupu nstruktur dan format kepenulisannya. Untuk itu diperlukan kritis dan saran yang membangun. DAFTAR PUSTAKA Hendrawan. Saryono, Djoko. Supriyono. 2016. Konsep dan Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ibrohim. 2017. Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran MIPA. Malang: Universitas Negeri Malang Koesoema, Doni. Suhardi, Didik. Muhammad, Hamid. 2017. Modul Pelatihan Penguatan Ibrohim. 2017. Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pembelajaran MIPA. Malang: Universitas Negeri Malang Koesoema, Doni. Suhardi, Didik. Muhammad, Hamid. 2017. Modul Pelatihan Penguatan Pendidikan Karakter Bagi Guru.Vol. 2. Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Peraturan Presieden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Utami, A. Titi. 2014. Pelaksanaan Nilai Religius Dalam Pendidikan Karakter di SD Negeri 1 Kutowinangun Kebumen. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Widodo, Joko. Kalla, Jusuf. 2014. Kerta Nyata 2 Tahun Kerja Nyata JOKOWI-JK. Arisanti, R. (2018). IMPLEMENTASI PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER (PPK) DALAM MEMBANGUN KECERDASAN INTERPERSONAL SISWA KELAS V SDN KAUMAN 2 MALANG (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
108 Using Flashcards for Teaching English Vocabulary in Elementary School Kitri Rahmanti Wahjuningsih Usadiati ABSTRACT In learninglanguage,vocabulary has an important role. Students who have manyvocabularies will be easier to understand about the meaning of language. In teaching learning process of vocabulary, teachers have to be creative to make students more active and interested. Teachers may use a media which relates to the subject and goal of the students to learn vocabulary. In teaching English vocabulary, especially for students of elementary school, flashcards may be used help them interested and motivated. Key words: teaching vocabulary, flashcard, elementary school students INTRODUCTION In English, there are four basic skills, they are listening, speaking, reading and writing. The four English language skills are very important for students in order to understand and are able tcommunicate in English in facing the global era The four skills are supported by language elements of structure, vocabulary, pronunciation, and spelling. Vocabulary is one of the important language elements the students should have.Vocabulary includes collection of words. The words are known not only as individual words, but also as a group of words that have meaning. Richard (1997:182) stated that “Vocabulary is content and function words of a language that are learned so thorough that they used in performance of any communication act”. Daller(2007:1) also stated that “Vocabulary is now considered integral to just about every aspect of language knowledge. It is a live and vital area of innovation in academic approach and research”. Teaching English, especially English vocabulary to children, Elementary School is not easy for teachers because it is different from teaching vocabulary to adults due to theirdifferent character and motivation; and teaching English at elementary level must be done patiently. The teaching of English for young learners should emphasize the principle of playful learning. Children like to learn through something which makes them interested. Therefore, the teacher must create creative and interesting activities to make the students enjoy, interested and active in learning process so they will not get bored or just sitting doing nothing. According to Scott and Yterberg (1990), children have an amazing ability to absorb language through play and other activities which make the learning activity enjoyable. It is
109 also common sense that if an activity is enjoyable, it will be memorable and the students will have a sense of achievement which will develop motivation for further learning. There are many methods and techniques to make learning and teaching enjoyable and interesting. Some of them are by using media such as game, picture, cards, film, song, etc. One kind of media that can be used by the teacher for conducting an interesting learning for young learners is flashcard. A flashcard is a card that is used as a learning aid. Flashcards are widely used as a learning drill which can improve young learners’ interest in learning. By using flashcards, young learners are given something simpler than other media which have been used. Moreover, young learners also can build their own imaginary from the pictures they see. REVIEW OF RELATED LIERATURE Vocabulary According to Richard (2001:4), vocabulary is one of the most obviouscomponents of language and one of the first things applied linguistic turned their attention to.According to Hornby (1974: 959), vocabulary is total number of words which (with rules for combining them) make up a language. Webster (1993: 327) said that vocabulary is “A list of group of words and phrases, usually in alphabetical order.” From the definitions above, we conclude that vocabulary is a language component that is important in English, and vocabulary is a stock list of words that is used individually or in a group arranged which has meanings. Teaching Vocabulary According to Cross (1991: 11-13) the procedure of teaching vocabulary can be divided into three stages, they are: a) Presentation In this stage, the teachers can use various techniques which are recommended in the previous discussion. However, the teachers have to be careful in selecting the techniques that they used in teaching activity; b) Practice In the second stage, the teacher give exercises to the students in order to practice the subject items being learnt, making completion, matching, words classification, etc. those are several types of exercise that can be used by the teacher in this stage; c) Production In this stage the students are expected to apply the newly learn vocabulary through the speaking activities or writing activities.
110 Flashcards Flashcards is one of media to teach English, especially vocabulary. There is no single definition about flashcard, but there are some relevant explanations by some experts about the meaning of flashcard. According Haycraft (1978:102) flashcards are cards on which words and/or pictures are printed or drawn. According to Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995: 94), flashcard is a card with the word or words and sometimes a picture drawnon it. Flashcards are a powerful memory tool write questions on one side of the cards and the answer onthe other side (Edwards, 2006:98). So, it can be taken a general view that flashcards are cards with a word or words, number, or a picture on it for use in the classroom by teacher and students that help to learn and memorize new words. According to Gelfgren (2012: 3), there are some types of flashcards: 1. Quiz Card It is a card that can be used to vary the methods used to test students’ skills, making the test into a fun game. 2. Role Play Cards It is card that may encourage the students to learn in a fun way. Here, the students can use their existing vocabulary and learn new words in a foreign language. For an example : 3. Flashcards with Associations, Synonyms, and Opposites These kinds of flashcard develop both vocabulary and language fluency. It is believed that this way can independently develop students’ vocabulary faster and more stimulating than having the teacher explain the word. Here are the examples from synonym and opposites: a. Synonym flashcards Teacher usually uses this flashcard for teaching young learner. The teacher should use a new word for the synonym. This card is very easy for children to understand. Role Play Card In the morning, you come late to attend the English class because of missed the bus. When you come to class, the lesson has been begun. You have to say sorry to your teacher
111 b. Opposite flashcards This card is same as the synonym card, it is easier when the teacher teaches young learner and introduce the new vocabulary in classroom. This card can be used for playing game. For example the teacher asks one student to open one card and another student guess the opposite of the card. c. Association flashcards This card is suitable with the topic, for example, the teacher gives the topic about fruit. Thus, the teacher should prepare association of flashcards such as a banana, an apple, a cherry, etc. Association means a set of an object. 4. Flashcards about numbers and times It contains the numbers and time. For example 1, 2, 3, etc (for flashcard number) and three o’clock, four o’clock, etc (for flashcards times). Here are the examplesfrom flashcards number and time : a. Flashcards number
112 b. Flashcards time 5. Flashcards for dictation and reading Flashcards can easily be made by the teachers. According to Gelfgren (2012: 1) teachers just have to prepare internet access, printer, A4 paper in different colors, laminating machine, laminating pockets, scissors, rubber bands, and magnetic paper or tape.For example: reading card (use), dictation card ( u - - ). The example: The Function of Flashcards Flashcards are so useful to help the teacher in the English learning. By using flashcards, the teacher is easier to explain of material and give example clearly. This is because the students can see a picture that is appropriate with the theme so the students are easier to receive the explanation from the teacher. The use of flashcard in the English teaching learning process is to help the teacher (Suyanto, 2008:109). It is elaborated that flashcards are used to make the students to : a. be familiar and stable with singular and plural concept b. be familiar and stable with numbers c. be familiar and stable with a few and a lot of concept d. getthe students attention using extract pictures with appropriate vocabulary and color e. get variation in the teaching learning process.
113 Procedure to Use Flashcards According Suyanto (2008), the procedure for the teacher to apply flash cards in teaching vocabulary is as follows: a. sit comfortably facing the students. b. arrange the flashcards in the order the teacher would like to present them. c. start with the first flashcard, hold it up so students can clearly see thefront. d. show the flashcard front to students that consist of words cards and said in English and ask the students to repeat after several times to make sure that they could say it in a correct pronunciation. e. give question to them by showing flashcards one by one randomly. f. if the students give an incorrect response or no response, tell them the correct answer, and place these flash cards in a pile on your right side. g. after finished showing the students all of the flash cards, the teacher may continue the flash card teaching session by using the stack of incorrectly answered card. The Use of Flashcards in Teaching Vocabulary The use of flashcards in learning as a strategy for teaching vocabulary can be resting way of teaching, because flashcards contain pictures, words, or symbols, or the real shape of the things’ name. Usually flashcards are used for teaching vocabulary as the basic knowledge to be understood better before the others. It will be best if this media is used for teaching young learners or beginner learnersin elementary level, because these levels of education are still focusing on enriching the vocabulary. This media will help them better. When the teacher tell them a name of thing, they do not have to imagine the shape of the thing, let the teachers show them the picture, then, they will know the shape of the thing’s name. So, they will get a clear understanding or shape of the thing. Flashcards used in the classroom can express the object of a topic, the color of the topic, and pronunciation of the object. For children in the classroom, using flashcard is more interesting that they are paying attention to the teacher. In practicein the classroom, we should have (1) a planned flashcards, (2) semi – planned flashcards, or (3) unplanned flashcards. For the first planned flashcards, the teacher should get the topic of any object such as things at home, things at classroom, transportation, job, and others. The teacher should prepare the topic before they use other planned flashcards. The teacher prepares about the flashcards and how to pronounce of the flashcard, how to use flashcard correctly, and prepares the exercises. For semi – planned flashcards, the teacher should use interesting topics for the children to be more interesting and pay attention to the teacher when the teacher is explaining. The teacher may ask the students about the flashcard, for example “can you guess the object of the flashcard?” It is important to consider the purpose. Unplanned flashcards come up naturally in the flow of classroom activity and are spontaneously activated by response.
114 The Advantages of Flashcards Flashcards are one of visual aid which can be used in teaching and learning process. They help the students to understand the material given by their teacher. According to Haycraft (1978: 102) and Cross (1991: 120) there are some advantages of using flashcards in language teaching. They are namely: 1) can be used for consolidating vocabulary 2) motivating and eye-catching 3) effective that can be used for any level of students 4) can be taken almost everywhere and anywhere 5) can be arranged to create logical grouping of the target words 6) cost effective/inexpensive 7) provide visual link between L1 and the target language 8) can be used for practicing structure and word order or for a variety of games. Elementary School Students English has been taught in elementary school in Indonesia as a local content subject, but in 2013 curriculum, it has been an alternative local content of the school curriculum. However, most of elementary schools in Indonesia still include English as a local content subject as before the validation of the curriculum in 2013. Generally, English has been taught in grade IV to VI, but some elementary schools, mostly in big cities, it is taught from grade I to VI. The function of teaching English at elementary school is to introduce English as a foreign language to the young learners in order to make them be able to communicate in simple English since they are in young age. Reason for teaching English to young learners is also described by Nishida (2002: 83) that around 7-10 years of age is the best time for language learning. In any event, after that age, it becomes difficult to acquire a language elementary school students are extremely interested in new things and are at a stage where they can naturally absorb other cultures through language. Moreover, Cameron (2001: 1) stated that children often seem less embarrassed than adults at talking in a new language, and their lack of inhibition seems to help them get more native-like accent. Based on those reasons, teaching English for young learners is started as early as possible. They also should be exposed to English environment as many as possible. It can be concluded that the teaching and learning of English in elementary school provides the students’ English language competencies in the golden age (the age that children can learn anything easily). In the golden age period, their brains are still flexible so that they are able to learn anything, including languages.
115 DISCUSSION English skill is not an easy subject to be learned. Learners may face some problems, such as lack of vocabulary, so they will be difficult to use the language in both spoken and written communication. Besides lack of vocabulary, spelling and pronunciation can be the other problems that learners faced during teaching and learning process. Vocabulary is words of the language. In line with its definition, vocabulary becomes the essential aspect which is needed to be taught before the other aspects of English language, such as phonology, semantic, pragmatic, and syntax. Vocabulary also represents one of most important skills necessary for teaching and learning a foreign language because it becomes the basis for the development of all other skills, speaking, listening comprehension, writing and reading comprehension, spelling and pronunciation. It becomes the main tool for the students in their attempt to use the language effectively. When listening to music or reading the English text books, they will always need to use and to operate with words. Besides, teaching vocabulary is a significant factor in language teaching because words play an important role in expressing our feelings, emotions, and ideas to others during communication. It can be an evident that communication is mutual relationship between the speakers and the hearers or between the writers and the readers. If the hearers or the readers have insufficient knowledge of vocabulary, they will be difficult to understand the message sent by the speakers or the writers. In English Language Teaching (ELT) classroom, if the students have insufficient knowledge of vocabulary, they will be difficult to understand the English textbook or their teachers’ explanation. The purpose of using flashcards is to make easier for students to learn spelling by reading the cards first. Ready-made cards with text can be great way to prepare for lessons. Text cards can be a great tool for both teachers and students. The teacher will notice that it is easy to learn with text cards. For example in teaching activity, the teacher should prepare the topic and the teacher asks the students to read text in the card. After wards the students read the text but have wrong pronunciation. Thus, this can be a great chance for the teacher gives good pronunciation. CONCLUSION Flashcards are one of instructional media that can be used in every student’s level with the adapted topic. it helps learners to memorize the words easily. Making the teaching learning process enjoyable is one of creativity of teachers. By using the variation types of flashcard can help teachers in designing various teaching activities and creating a fun atmosphere. It will get a better result on students vocabulary mastery accompanied by teachers’ creativity in utilizing the media.
116 REFERENCES Cameron, Lynne. 2001. Teaching Language to Young Learners. Cambridge: Cambridge University Press Cross, D. (1991). A practical handbook of language teaching. London: Cassel Daller, E & O’Roarke J, VA. (2007), Vocabulary Building, Columbus, Otl: Zanev-Bkasev Edwards,Stephen. 2006. 50 Ways to to Improve Your study Habits. Kuala Lumpur: Golden Book Center. Scott, W. A. and Ytreberg, L. H. 1990. Teaching English to Children.New York: Longman Inc. Gelfgren, Veronica. 2012.Fun with Flashcards: 150+ Ideas for using flashcards in the classroom. Swedish, 2012. ISBN 978-952-5733-09-9 Gardner, R. C. 2002. Motivation and Second Language Acquisition. University of Western Ontario Press. Gordon, Tatiana. 2007. Teaching Young Children a Second Language. Westport, Connecticut, London: Praeger. Haycraft, J. 1978.An introduction to English language teaching . England : Longman Hornby. 1974. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. New York: University Press. Suyanto, Kasihani K. E. 2008. English for Young Learners. Jakarta: BumiAksara. Merriam and Webster. 2003. Merriam-Webster Collegiate Dictionary. New York: Merriam-Webster Inc. Nishida, Narumi. 2002. Elementary School English Education. Tokyo. Richard, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching.Cambridge: Cambridge University Press. Richard, W.H. 1997. Vocabulary Instruction In A Balanced Reading Program. The Reading Teacher, 52 (18).
117 PENGARUH MEDIA PEMBELAJARAN KOMIK SCIENCE UP PENDIDIKAN PADA MATERI PEMANASAN GLOBAL TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS VII DI SMP NEGERI 14 PALANGKA RAYA Amalia Yulianti1 , Supramono1 , Yula Miranda1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media pembelajaran komik science uppendidikan terhadap hasil belajar siswa. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan bentuk eksperimen semu. Rancangan penelitian ini adalah pretest-posttest control groupdesign.Sampel penelitian berupa 46 orang siswa kelas VII SMP Negeri 14 Palangka Raya dengan 25 orang siswa kelas VIIA sebagai kelompok eksperimen dan 21 orang siswa kelas VIIB sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data diukur menggunakan soal tes dan lembar observasi. Data hasil belajar ranah kognitif dianalisis menggunakan uji-t, peningkatan hasil belajar dianalisis menggunakan N-gain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media komik science up berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, ditunjukkan berdasarkan hasil analisis uji-t dengan nilai thitung (3,76) > ttabel (2,07) pada taraf signifikansi 5% yang menyatakan ada pengaruh media pembelajaran komik science up pendidikan pada materi pemanasan global terhadap hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar siswa yang dianalisis dengan uji N-gain menunjukkan bahwa rerata skor 0,40 dengan kriteria peningkatan sedang. Kata Kunci: Komik Science Up, Hasil Belajar, Pemanasan Global PENDAHULUAN Buku guru dan siswa sebagai sumber belajar IPA dalam pembelajaran sesuai kurikulum 2013 sebenarnya sudah memadai. Akan tetapi, masih terdapat kekurangan terutama pada tema pemanasan global, contohnya sub materi tentang penyebab pemanasan global dan penanggulangan pemanasan global belum terpapar dalam buku. Padahal kedua sub materi tersebut sangat diperlukan siswa untuk memahami penyebab terjadinya pemanasan global dan langkah nyata yang efektif dalam menanggulangi pemanasan global. Hal ini hanya menitikberatkan pada penguasaaan konsep penyebab pemanasan global dan penanggulangan pemanasan global, sehingga kedua hal tersebut perlu untuk disampaikan secara lebih detail. Penyampaian materi pemanasan global tentu memerlukan sebuah media pembelajaran, yakni berupa perangkat tambahan yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Komiksebagai salah satu media cetak yang dapat menjadi alternatif media pembelajaran karena memiliki beberapa keunggulan dibanding media lain sejenisnya. Seperti dapat mendorong siswa untuk belajar dalam menguasai materi sesuai dengan
118 kecepatan masing-masing. Hal ini menyebabkan komik memiliki fungsi tidak hanya sebagai sumber belajar yang bersifat suplemen tetapi juga sebagai sumber belajar mandiri. Siswa dapat menggunakan komiksebagai buku pendamping untuk belajar mandiri, baik di rumah maupun di sekolah. Sehingga siswa akan lebih mudah dan semakin terdorong untuk mempelajari materi pemanasan global. Adanya komikini diharapkan juga dapat membantu guru dalam menyampaikan materi kepada siswa. Sesuai dengan hasil penelitianMuniran dan Ridzal (2017)menyatakan bahwa penggunaan media komik mampumembantu membuka potensi-potensi yang tersembunyi serta berkontribusiterhadap minat baca siswa disetiap jenjang.Menurut Alaba (2007) dalam jurnal penelitian ilmu terapan menyatakan bahwa penggunaan media komik dan film kartun dapatmenambah kreatifitas siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media pembelajaran komik science uppendidikan terhadap hasil belajar siswa. METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan bentuk eksperimen semu. Rancangan penelitian ini adalah pretest-posttest control groupdesign. Sampel penelitian ini adalah kelas VII yang berjumlah dua kelas, yakni VIIA sebagai kelas eksperimen yang dibelajarkan dengan menggunakan media komik science up dan VIIB sebagai kelas kontrol yang dibelajarkan tanpa media komik. Pengumpulan data dilakukan dengan cara tes objektif melalui pretest-posttest. Data hasil penelitian berupa data hasil belajar siswa. Data dianalisis secara statistik menggunakan: (1) uji-t untuk mengetahui pengaruh penggunaan media komik science upterhadap hasil belajar; dan (2) n-gain untuk melihat peningkatan hasil belajar siswa. Tabel 1: Rancangan Penelitian Kelas Pretest Perlakuan Posttest Eksperimen (E) O1 X1 O2 Kontrol (K) O3 X2 O4 Keterangan: E : Kelas Ekperimen K : Kelas Kontrol X1 : Perlakuan dengan menggunakan media komik science up X2 : Perlakuan tanpa media komik O1 : Hasil pretest kelas eksperimen
119 O2 : Hasil postest kelas eksperimen O3 : Hasil pretest kelas control O4 : Hasil postest kelas control HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil penelitian ranah kognitif berupa pretest dan posttestmenunjukkan bahwa hasil pretest siswa pada kedua kelompok sampel belum mencapai KKM yang ditetapkan oleh sekolah, yakni 65. Hal ini dikarenakan siswa kedua kelompok sampel belum diberikan pembelajaran materi pemanasan global, oleh karena itu hasil pretest hanya merupakan gambaran pengetahuan awal siswa mengenai materi konsep yang akan diajarkan. Posttestdiberikan setelah dilaksanakan pembelajaran dengan tujuan untuk mengukur hasil belajar siswa di ranah kognitif (pengetahuan). Nilai rata-rata hasil posttest kedua kelompok sampel berturut-turut, yakni kelompok ekperimen sebesar 78,20 dan kelompok kontrol sebesar 67,55. Hal ini dikarenakan siswa kedua kelompok sampel sudah diberikan pembelajaran materi pemanasan global. Perbandingan nilai rata-rata pretest dan posttest kedua kelompok sampel disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1. Gambar 1: Diagram perbandingan nilai rata-rata pretest dan posttest Peningkatan hasil belajar siswa ranah kognitif dianalisis menggunakan uji N-gain. Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil rata-rata pretest 58,56dan hasil ratarata posttest 78,20. Kelas eksperimen mengalami peningkatan hasil belajar sebesar 0,40 dengan kriteria peningkatan yang sedang. Data peningkatan hasil belajar secara umum disajikan dalam Tabel 2 berikut. 58.56 78.2 46.23 67.55 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Pretest Posttest Nilai Rata-rata Eksperimen Kontrol
120 Tabel 2: Hasil Uji N-gain Data Kelas Eksperimen VIIA Pretest Posttest ∑ Peserta Didik 25 21 Rata-rata 58,56 78,20 N-gain 0,40 Kriteria Sedang Uji-t dilakukan untuk mengetahui ada pengaruh atau tidak dari media komik science up pemanasan global terhadap hasil belajar. Setelah dilakukan uji hipotesis thitungselanjutnya dikonfirmasi ke ttabelpada taraf signifikansi 5%. Jika thitung> ttabel maka ada pengaruh media komik science up pemanasan global terhadap hasil belajar kognitif siswa atau Ha diterima. Namun jika thitung< ttabel maka tidak ada pengaruh media komik science up pemanasan global terhadap proses dan hasil belajar siswa atau Ha ditolak. Hasil analisis uji-t secara ringkas disajikan dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3: Hasil Uji Hipotesis Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Komponen Uji Hipotesis Posttest Eksperimen Kontrol Rata-rata 78,20 67,55 Varians 100,25 84,44 thitung 3,76 ttabel 2,07 Komikscience updalam penelitian ini merupakan salah satu media pembelajaran menarik yangdapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan media transfer ilmu bagisiswa sehingga tercipta proses belajar mengajar yang dinamis. Hal ini sesuaidengan pendapat Sudjana dan Rivai (2011) bahwa komik termasuk media yangbiasa digunakan dalam proses pembelajaran dan tergolong media grafis, selain itukelebihan media komik adalah menambah perbendaharaan katapembacanya,menarik perhatian serta menumbuhkan minat baca pembacanya. Hasil belajar ranah kognitif siswa menunjukkan bahwa sebelum dibelajarkan dengan media komik science up pada materi pemanasan global, hasil belajar siswa belum memenuhi KKM. Setelah dibelajarkan dengan media komik science up pada materi pemanasan global, hasil belajar siswa sudah memenuhi KKM. Hal ini diperkuat dengan hasil uji-t menunjukkan bahwa thitung3,76> ttabel2,07, pada taraf signifikansi 5% berarti Ha diterima dan H0 ditolak. Hal ini didukung oleh penelitian Siti Masithoh (2012) yang menyatakan bahwa media komik dapat meningkatkan pengetahuan kognitif siswa dalam memahami dan menguasai materi Biologi. Perbedaan hasil belajar yang terjadi antara kelas
121 eksperimen dan kelas kontrol bukanlah karena suatu kebetulan, tetapi perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan perlakuan guru dalam menggunakan media komik selama proses pembelajaran berlangsung. Media komik memiliki beberapa kelebihan yang mendukung siswadalam proses pembelajaran, yakni menuntun siswa untuk belajar sesuai kecepatan belajar mereka masing-masing tanpa bergantung jam belajar di sekolah. Siswa yang menggunakan media komik sebagai suplemen untuk belajar, menyusul ketertinggalan di kelas dengan belajar mandiri. Siswa juga diajak untuk berpikir logis dan secara berulang-ulang sehingga materi yang diserap lebih maksimal. Siswa juga dituntut untuk aktif dalam pembelajaran (Aqib, 2013). Contoh dalam bentuk gambar, foto, atau skema yang menarik ikut meningkatkan kemauan siswa untuk belajar lebih keras. Hasil peningkatan belajar siswa ranah kognitif dilakukan dengan menganalisis hasil pretest dan posttest kelas eksperimen menggunakan uji N-gain. Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil rata-rata pretest 58,56dan hasil rata-rata posttest 78,20. Kelas eksperimen mengalami peningkatan hasil belajar sebesar 0,40 dengan kriteria peningkatan yang sedang. Menurut Hake (1999), peningkatan hasil belajar umumnya tercapai antara rentang skor 0,3-0,6. PENUTUP Media pembelajaran komik science up materi pemanasan global berpengaruh terhadap hasil belajar siswa di kelas VII SMP Negeri 14 Palangka Raya. Ini diperkuat dengan hasil uji-t yang menunjukkan bahwa thitung3,76 > ttabel2,07.Peningkatan hasil belajar siswa yang dianalisis dengan uji N-gain menunjukkan bahwa rerata skor 0,40 dengan kriteria peningkatan sedang. DAFTAR PUSTAKA Alaba, Sofowora Olaniyi. 2007. The Use of Educational Cartoons and Comics in Enhancing Creativity in Primary School Pupils in Ile-ife, Osun State, Nigeria. Journal of Applied Sciences Research. h. 913. Aqib, Zainal. (2013). Model-model, Media, dan Strategi Pembelajaran Konstekstual (Inovatif). Bandung: Yrama Widya. Muniran, Faezal & Ridzal, Muhammadd. Yusof. 2017. Using comics and graphic novels inschool and libraries to promote literacies. Diunduh pada tanggal 02 Januari 2017, dari http://dspace.fsktm.um.edu.my/bitstream/1812/298/1/11Faezal&Ridzal_my_JS.pdf. Masithoh, Siti. 2012. Pengaruh Penggunaan Media Komik Terhadap Hasil Belajar Kognitif Siswa Pada Konsep Sistem Pencernaan Makanan. Jakarta: Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Sudjana, Nana & Rivai, Ahmad. 2011. Media Pembelajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Hake. 1991. Analyzing Change/Gain Scores.Diunduh pada tanggal 26 Juli 2017, darihttp://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf.
122 STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS PTERIDOPHYTA DI HUTAN DESA PATAI KECAMATAN CEMPAGA KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR Siti Atikah ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keanekaragaman jenis tumbuhan Pteridophyta di hutan Desa Patai Kecamatan Cempaga Kabupaten Kota Waringin Timur. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan metode yang digunakan adalah metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis Pteridophyta yang telah ditemukan di lokasi penelitian berjumlah 11 jenis yang tercakup dalam 9 marga. Jenis Pteridophyta yang paling banyak individu ditemukan adalah Stenochlaena palustris berjumlah 139 individu dan jenis yang paling sedikit individu adalah Asplenium nidus berjumlah 10 individu. Berdasarkan indeks nilai keanekaragaman jenis Shannon-Wienner yaitu 2,0989 menunjukan bahwa keanekaragaman jenis tergolong sedang. Kata Kunci: Keanekaragaman, Tumbuhan Paku, Pteridophyta PENDAHULUAN Keberadaan tumbuhan Pteridophyta di alam sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Tumbuhan Pteridophyta memiliki banyak manfaat bagi masyarakat serta dunia pendidikan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Manfaat tumbuhan pteridophyta antara lain : sebagai tanaman hias, contohnya Adiantum (suplir), Platycerium sp. (paku tanduk rusa), Asplenium nidus (paku sarang burung), Nepholepis dan Alsophila glauca (paku tiang). Manfaat sebagai bahan obat-obatan seperti Equisetum (paku ekor kuda) yang mempunyai fungsi diuretik, (melancarkan pengeluaran urine) dan Selaginella (obat luka). Manfaat sebagai bahan-bahan makanan seperti sayuran, misalnya Stenochlaena palustris (kelakai) dan Pteridium aquilinum (paku garuda). Manfaat sebagai pupuk hijau, seperti Azolla pinnata yang bersimbiosis dengan ganggang biru Anabaena azollae yang mampu mengikat gas nitrogen (N2) bebas. Bermanfaat sebagai penggosok atau ampelas, seperti tumbuhan paku Equisetum sp. sebagai salah satu bahan dalam membuat karangan bunga, seperti Lycopodium cernum (Dwi, 2009) Kerusakan ataupun kehilangan habitat akibat terjadinya kebakaran lahan dan alih fungsi lahan dalam skala besar berdampak terhadap menurunnya populasi suatu jenis tumbuhan atau bahkan musnahnya suatu jenis tertentu pada wilayah itu. Oleh karaena itu, upaya-upaya untuk menjaga kelestaraian jenis perlu dilakukan, dan salah satu upaya
123 awalnya adalah studi tentang keanekaragaman jenisnya. Terjadinya perubahan lingkungan baik oleh aktivitas manusia maupun akibat bencana alam seperti terjadinya kebakaran lahan dan banyaknya area kebun kelapa sawit, seringkali mempengaruhi keberadaan tumbuh-tumbuhan khususnya tumbuhan Pteridophyta di kawasan hutan Desa Patai sehingga perlu dijaga kelestariannya. Dari hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 5 maret 2016 diperoleh gambaran awal tentang jenis-jenis tumbuhan anggota Pteridophyta yang penyebarannya sebagian tumbuh di tanah (Asplenium platyneuron, Nephrolepis bisserata) dan sebagian lagi tumbuh epifit (Drymoglossum pilosselloides, Drynaria quercifolia). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keanekaragaman jenis tumbuhan Pteridophyta di hutan Desa Patai Kecamatan Cempaga Kabupaten Kota Waringin Timur. METODE Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif dan metode survei. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016 sampai bulan Januari 2017. . Teknik pengumpulan data menggunakan teknik purposive sampling, karena kondisi vegetasi di wilayah penelitian tidak homogen. Wilayah penelitian dibagi menjadi 7 lokasi dan pada setiap lokasi di buat transek sepanjang 250 m. Selanjutnya pada setiap transek dibuat plot berukuran 20x20 m secara zigzag sebanyak 5 plot. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis keragaman pteridophyta di hutan desa Patai Kecamatan Cempaga Kabupaten Kotawaringin Timur secara lengkap disajikan pada Tabel berikut. Tabel 1: Analisis keragaman jenis Pteridophyta di hutan Desa Patai. No Nama Jenis K KR% F FR% INP H’ 1 Asplenium nidus 7,14 1,73% 0,42857 1 5,56% 7,29% 2,0 989 2 Nephrolepis hirsutula 21,43 5,19% 0,85714 3 11,11% 16,30% 3 Drymoglossum piloselloides 36,43 8,82% 0,57142 9 7,41% 16,23% 4 Phyrosia lanceolata 17,14 4,15% 0,57142 9 7,41% 11,56% 5 Nephrolepis bisserata 68,57 16,61% 0,85714 3 11,11% 27,72% 6 Davallia trichomanoides 9,29 2,25% 0,57142 9 7,41% 9,66% 7 Lyccopodium cernum 14,29 3,46% 0,71428 9,26% 12,72%
124 6 8 Drynaria quercifolia 16,43 3,98% 0,57142 9 7,41% 11,39% 9 Pteridium sp. 46,43 11,25% 0,85714 3 11,11% 22,36% 10 Lygodium scandens 76,43 18,51% 0,71428 6 9,26% 27,77% 11 Stenochlaena palustris 99,29 24,05% 1 12,96% 37,01% Total 412,87 7,71428 6 Keterangan : K : Kerapatan (Ha) KR : Kerapatan Relatif F : Frekuensi FR : Frekuensi Relatif INP : Indeks Nilai Penting H’ : Indeks Keanekaragaman Tabel 5 menunjukan bahwa nilai total kerapatan dan frekuensi kehadiran jenis-jenis tumbuhan Pteridophyta adalah 412, 87 dan 7,714286. Pada saat penelitian jenis Pteridophyta yang memiliki nilai INP tertinggi adalah Stenochlaena palustris sebesar 37,01% dan INP terendah adalah Asplenium nidus yaitu 7,29%. Berdasarkan analisis keanekaragaman jenis menggunakan indeks Shannon-Wienner diperoleh nilai keanekaragaman jenis Pteridophyta di hutan desa Patai yaitu 2,0989. Nilai indeks keanekaragaman jenis ini menunjukan bahwa keanekaragaman jenis tergolong sedang. Jenis dan jumlah total individu pada masing-masing transek secara lengkap disajikan pada Tabel berikut. No. Nama Jenis Transek Total I II III IV V VI VII 1 Asplenium nidus 5 0 3 2 0 0 0 10 2 Nephrolepis hirsutula 13 2 6 4 3 2 0 30 3 Drymoglossum piloselloides 10 0 15 0 17 0 9 51 4 Phyrosia lanceolata 4 0 2 0 0 7 11 24 5 Nephrolepis bisserata 10 7 0 15 20 19 25 96 6 Davalia trichomanoides 5 4 0 0 0 2 2 13 7 Lycopodium cernuum 3 5 2 3 0 0 7 20 8 Drynaria querciforia 8 0 5 0 0 3 7 23 9 Pteridium sp. 15 0 9 7 20 8 6 65
125 Tabel 2: Jenis dan Jumlah Total Individu Data pada tabel 6 menunjukan bahwa jumlah individu untuk masing-masing jenis Pteridophyta sangat bervariasi demikian pula dengan jumlah total individu pada masingmasing transek. Jumlah total individu yang paling rendah terdapat pada transek VI yaitu sebanyak 58 individu dari 8 jenis, karena pada transek VI terdapat kebun karet milik warga sehingga sering sekali tumbuhan Pteridophyta di bersihkan. Sedangkan jumlah total individu paling tinggi terdapat pada transek I yaitu sebanyak 133 dari 11 jenis, karena pada transek I masih hutan lebat dengan jarak antar pohon 2-4m sehingga terdapat banyak tumbuhan Pteridophyta didalamnya. Total seluruh individu jenis pada seluruh transek adalah 578 individu dari 11 jenis Pteridophyta. Hasil penelitian pada kawasan hutan desa Patai diperoleh 11 jenis Pteridophyta. Jenis-jenis Pteridophyta yang diperoleh adalah Asplenium nidus, Nephrolepis hirsutula, Drymoglossum piloselloides, Phyrosia lanceolata, Nephrolepis bisserata, Davallia trichomanoides, Lyccopodium cernum, Drynaria quercifolia, Pteridium sp. ,Lygodium scandens dan Stenochlaena palustris. Pteridophyta yang diperoleh pada kawasan hutan desa Patai menggambarkan adanya keanekaragaman pada tingkat jenis. Penelitian ini dilakukan di 7 transek dan masing-masing transek terbagi menjadi 5 plot. Jumlah jenis Pteridophyta yang ditemukan adalah 11 jenis. Jumlah jenis termasuk sedang jika dibandingkan dengan jumlah jenis yang telah diidentifikasi di wilayah Katingan yaitu sekitar 17 jenis (Eka, 2016). Hal ini diduga berkaitan dengan sering terjadinya kebakaran hutan dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang keberadaan tumbuhan Pteridophyta di hutan desa Patai. Keanekaragaman komposisi takson untuk tingkat marga secara rasio termasuk tinggi karena dari 11 jenis Pteridophyta yang ditemukan mewakili 10 marga. Keanekaragaman takson tingkat suku ternyata sangat rendah, karena 11 jenis Pteridophyta 9 diantara memiliki suku yang sama yaitu Polypodiaceae demikian pula untuk keanekaragaman takson tingkat bangsa dan kelas termasuk sangat rendah. Menurut Birsyam (1992), kebanyakan jenis Pteridophyta dapat hidup dan berkembang biak dengan baik pada tipe tanah podzolik dataran tinggi dan kisaran pH tanah yang disukai berkisar 4,5-7,0, sedangkan kawasan hutan desa Patai dengan pH tanah yang berkisar 3,5 – 6,5. Dengan pH tanah yang ada di lokasi penelitian memungkinkan untuk berbagai jenis Pteridophyta dapat hidup dan berkembang, namun dengan sering terjadinya bencana alam seperti kebakaran hutan dan kurangnya kesadaran masyrakat tentang keberadaan Pteridophyta sehingga membuat keberadaan Pteridophyta yang ada di hutan Desa Patai semakin menipis. Data perhitungan indeks keanekaragaman (Tabel 4) adalah 10 Lygodium scandens 25 35 0 22 0 15 10 107 11 Stenochlaena palustris 35 40 27 15 8 2 12 139 Total 133 93 69 68 68 58 89 578
126 2,0989, hal ini menunjukan bahwa indeks keragaman jenis Pteridophyta di lokasi penelitian termasuk sedang karena penyebaran tumbuhan paku di hutan desa Patai masih dalm proses perkembangan. Data tentang jumlah individu per jenis Pteridophyta pada setiap transek menggambarkan bahwa untuk jenis Asplenium nidus ditemukan pada transek I, III dan IV dengan jumlah 10 individu. Jenis ini adalah yang paling sedikit ditemukan di hutan desa Patai karena jenis ini tumbuh epifit sehingga poenyebaran sporanya sangat sulit, dan kebanyakan penduduk setempat mengambil Pteridophyta jenis ini dari hutan untuk dijadikan tanaman hias sehingga semakin sedikit di temukan di hutan desa Patai. Nephrolepis hirsutula ditemukan pada hampir setiap transek yaitu transek I,II,III,IV,V dan VI dengan jumlah 30 individu. Drymoglossum piloselloides ditemukan pada transek I, III, V dan VI dengan jumlah 51 individu. Phyrosia lanceolata ditemukan pada transek I,III,VI dan VII dengan jumlah 24 individu. Nephrolepis bisserata ditemukan hampir pada semua transek dengan jumlah 96 individu. Davallia trichomanoides ditemukan pada transek I, II, VI dan VII dengan jumlah 13 individu. Lycopodium cernum ditemukan pada transek I, II, III, VI dan VII dengan jumlah 20 individu. Drynaria quercifolia ditemukan pada transek I, III, VI dan VII dengan jumlah 23 individu. Pteridium sp. ditemukan pada hampir semua transek dengan jumlah 65 individu. Lygodium scandens ditemukan pada transek I, II, IV, VI dan VII dengan jumlah 107 individu. Stenochlaena palustris ditemukan pada semua transek dengan jumlah 139 individu hal ini karena jenis Stenochlaena palustris memiliki daya adaptasi yang tinggi, sehingga dapat hidup dimana-mana, diantaranya, di tanah lembab, di bawah pohon, di pinggiran sungai, di atas tanah bahkan ada yang menempel di batang pohon. Data frekuensi relatif menunjukan bahwa Stenochlaena palustris menduduki nilai frekuensi tertinggi yaitu 37,01%. Hal ini menggambarkan bahwa Pteridophyta jenis Stenochlaena palustris sangat berpotensi untuk tumbuh dan berkembangbiak di kawasan hutan desa Patai. Nilai frekuensi terendah 5,56% terdapat pada jenis Asplenium nidus. Hal ini berarti perlu dilakukan pembudidayaan dan menjaga kelestarian agar populasinya stabil. Nilai kerapatan tertinggi adalah jenis Stenochlaena palustris 24,05% sedangkan nilai kerapatan terendah adalah jenis Asplenium nidus 1,73%. Indriyanto (2006) mengungkapkan bahwa indeks nilai penting merupakan parameter kuantitatif untuk menyatakan tingkat penguasaan spesies-spesies di dalam suatu komunitas tumbuhan. Pada saat penelitian jenis Pteridophyta yang memiliki nilai INP tertinggi adalah jenis Stenochlaena palustris sebesar 37,01% dan INP terendah adalah jenis Asplenium nidus sebesar 7,29%. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa jenis Pteridophyta yang telah ditemukan di lokasi penelitian berjumlah 11 jenis yang tercakup
127 dalam 9 marga. Jenis Pteridophyta yang paling banyak individu ditemukan adalah Stenochlaena palustris berjumlah 139 individu dan jenis yang paling sedikit individu adalah Asplenium nidus berjumlah 10 individu. Berdasarkan indeks nilai keanekaragaman jenis Shannon-Wienner yaitu 2,0989 menunjukan bahwa keanekaragaman jenis tergolong sedang. DAFTAR PUSTAKA Birsyam, I.I. 1992. Botani Tumbuhan Rendah. Bahan Ajar. Tidak diterbitkan. Bandung : FMIPA ITB. Dwi dan Amrida. 2009. Identifikasi dan Klasifikasi Tumbuhan Paku. Palembang : Universitas PGRI. Tim Penyusun. 2012. Badan Pusat Statistik Kotawaringin Timur. Diakses pada 22 maret 2016. http://www.bps.kotim.co.id Tim Penyusun. 2012. Data Profil Desa Patai. Patai : Kabupaten Kotawaringin Timur.
128 The Effect of Giving Recess Time to Increase Students’ Focus Indriani Nadila ABSTRACT Finland is known as the best country in education side. They have several strategies to support the teaching and learning process. One of those strategies is giving recess time to refresh the students and push students’ boredom level. The objective of this study was to investigate the effect of this strategy when applied in classroom in an Elementary school in Palangka Raya which consist of active students who have high level of boredom. This research used Nonrandomized Groups Posttest-Only Control Group Design. The result of this research showed this strategy could be applied in classroom. It successfully decreased students’ boredom level and made students more focus on the lesson. It means students need to refresh their brain when follow the teaching and learning process. Keywords: recess, teaching and learning process, elementary school INTRODUCTION Nowadays is called as millennium era, when everything is changed to be better way and technology is more often used. In this era, people have to compete each other to achieve the goals which have been stated. In order to overcome that condition, people have to have good education background. In short, education is an important key to face this era. There are many ways to develop education in each country. In Indonesia, especially, education is a noticed features that proved by curriculum development which done for several years in order to overcome problems that exist in education field of Indonesia and prepare generation which are ready to face era like nowadays. Education in Indonesia itself developed in a system which based on Kazik (1969) has components which are relatable each other in a unity and can be used to achieve the goals which have been stated. There are three components which can be found in Indonesia education: objectives, components, and the process. Curriculum is a supported component which is used to support the main components of education system. In the developed curriculum government give more attention to the characters and spiritual development of the students so Indonesia can have not only generation who are good in academic but also have characteristic based on Pancasila. Beside curriculum and the system, education in Indonesia also decided into three main levels which has different of age, ability, and period. Those are primary school, secondary school, and higher school. These level of education are appropriate with
129 Undang-UndangNomor 20 concerning National Education System chapter 1 general provisions of article 1 paragraph 8 which stated that level of education is a stage of education which is set based on students level development, goal which must be achieved, and developed ability. By using this law as reference, the government decided the level of education into three level, primary school which include of elementary and junior high school for nine years or called “WajibBelajar 9 tahun”, secondary school for three years, and higher school which is continuation of secondary school which has objective to prepare learners into community members who have good academic’s ability and professional who are able to apply, develop, and create science, technology, and art. The division of these educational level influence number of schools in Indonesia. According to Ministry of Educational and Culture(2018), there were 148.244 Elementary Schools, 38.960 Junior High Schools, and 27.205 High Schools. Based on the data, could be seen that Primary School is more than secondary school. In this condition, Primary School certainly need many teacher, and other supported components to face the number of students and make them as learners who have good academic ability and characters accordance which stated curriculum goals. Raysidi (1993) stated that Primary School is a social institution which given specific task to carry out systemtic basic education. In the other words, in Primary School, students not only learn how to read and write but also develop their basic ability that achieve optimal intellectual, social, and personal aspects. Primary school students are different than other students in ability, characters, and psychology. By range of age started of six until twelve years old as stated that the students will develop many aspects such as academic, independency, emotion, social interaction ability. Teachers also have to understand the students completely and are able to arrange appropriate strategies which can be used in classroom in order to crate fun teaching and learning process. However, there is students’ behavior which can be an obstacles for teacher in the classroom. As the children, students in primary school have higher level boredom and decrease their interest to follow the learning process. This decreased of interest makes them cannot focus to follow the learning process and tend to encourage the students to do other activities in order to relieve their boredom. Unfortunately, that condition can inhibit the teaching learning process and makes teacher hard to achieve the goals which was stated in the lesson plan. Anthony Pellegrini in his book Recess: Its Role in Education and Development stated that recess has positive effect to overcome this problem. After his study in some Elementary Schools in USA, Pellegrini (2005) stated that recess, even in short time, can makes students be more focus in the classroom. In contrast, they will be less in focus when their recess is postponed. This strategy also applied in Finland, which we know as the best country in Education side. The main objective of this study was investigated this the effectiveness of this strategy if
130 applied in Indonesia classroom. In order to achieve the objective, the researcher formulated the research problems as: “What is the effect of apply recess time in classroom? METHOD The research design used was Nonrandomized Groups Posttest-Only Control Group Design which a class was given a treatment, called experiment group, and another class was control group and did not get the treatment. However, there was no random assignment of subject to the groups.The researcher chose the groups based on own criteria.The subjects of this research were two classes consist of sixteen grade two Golden Christian School students with range of age started of seven until eight years old. The researcher chose this classes by using purposive sampling technique and because these classes consist of the most active students in grade two. This research was conducted in English, Science, and Civic Education for four weeks. There were three stages of this research. At first stage, the researcher focused to choose the experiment and control groups. There are three classes in grade two, and the researcher eliminated a class and focused on two classes left. Then the researcher observed which class would be experiment class and control group. These students in two classes were balance in behavior and interest. After the researcher decided the experiment and control groups, the experiments group was given the treatment. Every thirty-five minutes, they were given recess for five minutes. The students could do many things, such as played, drew, and chatted during the recess time with rule the students could not go out from the class. Whereas, in control group the students were not given recess time. The last stage was observation. After the treatment was given, the researcher observed the students attitude when followed the learning process. And recorded it in the journal. It repeated for four weeks. FINDING After finished the observation and analyzed the data, the result was be found. Students who were given recess time for five minutes each thirty-five minutes were more focus and interested to follow the lesson, and the teacher could finished the lesson accordance with the lesson plan. In the other hand, control group show that the students would be bored and did others activities after thirty-five minutes followed the lesson. The results also showed that that strategy can be applied in classroom in Indonesia. The main objective of this strategy is not the recess time, but the way to refresh their brain. Schwartz in Teach like Finland (2017) stated that important to give the brain recess time to elaborate information which was given.
131 CONCLUSION Based on this research, it is important for teachers to consider giving the recess time in classroom to refresh the students’ brain. There are many ways to refresh the brain, Schulte in Overwhelmed (2014) stated a method called pulsing, switching between work and recess. Schulte explained how he took recess time after worked for a half and an hour. Pulsing in class can formed in free time for playing, writing, or drawing. According to Timothy D. Walker in his book Teach likeFinland (2017) there are three requirements for choosing activities during recess time: level of happiness, independence, and novelty. REFERENCE Walker. T. D. (2017) Teach Like Finland. New York: W.W. Norton & Company. Pellegrini, A. D., & Bohn, C. M. (2005). The role of recess in children's cognitive performance and school adjustment. Educational researcher, 34(1), 13-19. Kharizmi, M. (2019). Kesulitansiswasekolahdasardalammeningkatkankemampuanliterasi. JurnalPendidikanAlmuslim, 7(2). Fadhilaturrahmi, F., & Ananda, R. (2017). EvaluasiPembelajaran IPS BerbasisTaksonomi Bloom DuaDimensi di SekolahDasar. JurnalBasicedu, 1(2), 12-21. Taufiq, A. HakikatPendidikan di SekolahDasar. Sani, R. A. (2013). Inovasipembelajaran. Jakarta: BumiAksara. INDONESIA, P. R. (2006). Undang-undangRepublik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentangsistempendidikannasional. Supardi, U. S. (2015). Arahpendidikan di Indonesia dalamtatarankebijakandanimplementasi. Formatif: JurnalIlmiahPendidikan MIPA, 2(2).
132 INSTRUCTIONAL MEDIA IN TEACHING ENGLISH TO YOUNG LEARNERS (A Case Study of an Elementary School Teacher in Palangka Raya) Bella Ayu Fitria ABSTRACT This study aimed to describe the teacher’s preparation and to explain the instructional media in the classroom. This study used qualitative case design and employed observation, interview and data analysis to obtain the data. The result of this study showed that the teacher did two kinds of preparation the instructional media, reading the materials and choosing the media. In conclusion, instructional media was not optimally done by the teacher and it needed to be improved. Therefore, the teacher needed to participate in a training program to optimize the teacher’s instructional media. Keywords : instructional media, teyl INTRODUCTION There are many factors influencing the effective and efficient of learning. Two of them are the media and the characteristics of the students. Smaldino et al., (2006) argue when media is used for instructional purposes and utilized to canalize teacher-students communication, it categorized as instructional media. Nevertheless, used of the instructional media seems not effective in teaching English to young learners in Indonesia (Mutohhar, 2009). The effectiveness of media is not about the media or not in the classroom, but it deals with how to optimize the instructional media in the classroom. According to a study conducted by Mutohhar (2009), many elementary school teachers in Indonesia deliver their material in such a way but makes the students still bored, not enjoying the learning process. Many of the teachers only used the provided media in the schools and used it to show the materials only without transferring the knowledge in attractive ways to the students. This phenomenon appears because some of them think that a good media is expensive media and sophisticated media which needs cost much money. Whereas, Mutohhar (2009) argues that a good media is media which is suitable for the topic, material, the students, and practical to use. In other words, a good media doesn’t need to be expensive, it just needs to be reusable, and so it can help the teacher to create an effective instruction in the classroom. METHOD This study was a case study which aimed to find out the instructional media, from the preparation until the problems that he encountered and how teacher dealt with it, and to
133 capture the phenomenon of the real situation in an elementary school without intervention from the writer. Yin (2003) argued that case study method is “preferred strategy when ‘how’ or why questions are being posed, when investigator has little control over events and when the focus is on a contemporary phenomenon within some real-life context”. This study was conducted in an elementary school in Palangka Raya, Central Kalimantan. The school was selected to be the research site because of the location of the school and the level accreditation of the school. The school has A level of accreditation, but the location of the school is not like the other elementary schools which has A level of accreditation. The school is located in a suburban area, not in downtown area like many A level elementary schools location. The respondent was a specialist teacher of the school. According to Slattery & Willis (2009) specialist teacher is a teacher who only teaches English in several classes. There was no specific requirement for the teachers to be involved in this study, except teaching English only and using instructional media in teaching learning process. In collecting data, this study employed three types of data, those are observation, interview and document analysis. Those multiple types of data are the varied nature of qualitative data which can help the writer to establish the complexity of the phenomenon (Creswell, 2008). Observation was employed to get information about instructional media in the classroom. In observing the classroom, the writer employed a non-respondent observation, where participating in the observation is aforbid act for the writer to get portray of real situation (Frankael & Wallen, 2012) and took a role as a complete observer who “is probably least likely to affect the actions of the group being studied”. The observation was conducted three times in the classroom. In this study, interview was used to find out about teacher’s philosophy and how the teacher reflected his philosophy on his teaching media. An in-depth interview was employed, so the questions could be developed as needed. The interview itself was conducted formally and informally. Formal interview was employed after the whole of the observations, while the informal interview was employed before and after each observation. Document analysis was also employed in this study. Document analysis was aimed to give explanation about the preparation that teacher did in classroom and to help the writer know whether the teaching learning process goals were accomplished as the teacher’s plan or not in using the instructional media. The document analyzed in this study was the teacher’s lesson plans which were asked before the observations. To analyze the data, this study used steps that purposed by Creswell in analyzing qualitative study, which are divided into several steps: (1) collecting data, (2) preparing data for analysis, (3) reading through data, (4) coding the data and (5) coding the text for description and text for themes to be used in the research report.
134 DATA PRESENTATION AND DISCUSSION Preparation the Instructional Media To find out the preparation done by the teacher, this study employed interview as the main instrument, while teacher’s lesson plans and classroom observation results were analyzed as the additional instrument which could support the findings from the interviews. In this study, it was found that the teacher did two kinds of preparation the instructional media in the classroom. Those preparations were mastering the materials and designing or selecting the instructional media. For both preparation, the teacher did it one night before teaching in the classroom. In the first preparation, the teacher did not find any difficulties to master the materials. The teacher uttered that he read the materials one night before teaching to ensure that the teaching learning activities on the next day would be on the right track. This preparation was reflected well on the observations because during the observations, the teacher confidently delivered the materials. Differs from the first preparation, in the second preparation the teacher encountered several problems. Those problems were limited time; difficulty in selecting instructional media; negative belief towards instructional media; lack of availability of instructional media; and negative belief towards the system. With the limited facility in the school and the financial support that also affected how teacher selected the instructional media, the teacher only used instructional media which were available at school. Because to used other instructional media or copy some pages of the materials would cost much money which the teacher did not have. Instructional Media in the Classroom To discover the instructional media in his classroom, the writer observed the teacher’s class three times. The observations were conducted in three consecutive meetings to see the real situation while the teacher used her instructional media and to see the dynamic of instructional media. In this study, it is found that from seven types of instructional media which are common to be used in the classroom, the teacher only utilizes two media, the media are whiteboard and course book. The first media utilized by the teacher is whiteboard. Whiteboard has several benefits in teaching. Meanwhile, in the observations and interviews, the teacher only utilized the whiteboard for four purposes, such as notepad, as explanation aid, as public workbook and as picture frame. The first purpose of board as notepad. By using whiteboard, the teacher could write the materials and some important words on it. The students also could see it clearly form the back. By using whiteboard, the teacher also could elicit information and wrote some examples which could help students to understand the materials. The second purpose of whiteboard in teaching English to young learners in teacher’s classroom is as explanation aid. Whiteboard as explanation aid means that the whiteboard can be used as a medium
135 explain the concept of the materials which are not easy to be understood by the students. The third purpose of whiteboard as public workbook. Public workbook means the teacher can write the exercise on the board and the students and the teacher can discuss it together. The last purpose of whiteboard by the teacher in the observation is using the whiteboard as picture frame. According to Harmer (2007) whiteboard can be used by teacher to draw something, the draw does not need to be artistic but if it can help teacher to explain the concepts of the lesson or the words. The second media utilized by the teacher in teaching in the classroom is course book. As the only source of the materials, in all of the observations, course book held important role in the teaching learning process. In this study, the course book were used as source of exercise and source of materials. The importance of course book was not balanced with the available course book in the school. To fix the availability issue, the teacher decided to write the exercises and the materials on the board. Despite the result of interview and observation, this study also used lesson plans as data. The lesson plans scored in this study were only two, whereas the teacher taught three lesson in the observations. The lesson plan was assessed through a rubric which has eight categories on it, such as standards; objectives; materials, instructional media; introduction; procedures; assessment and closure. The assessment of document analysis is based on four scores: 1 (beginning); 2 (developing); 3 (accomplished) and 4 (exemplary). From the lesson plan scoring, it can be concluded that the teacher had accomplished well about his teaching. Most of the components in the lesson plan were clearly stated and similar to what he did in the classroom. Unfortunately, the other components given limited attention by the teacher, such as list of materials which were not stated on the lesson plans the procedures of teaching that did not clearly stated and assessments which did not match with the assessment that she did in the classroom. CONCLUSIONS The research had attempted to answer questions related instructional media in teaching English to young learners. Firstly the teacher did two kind of preparations instructional media which were still not optimum. The preparations dealt with preparing the materials and selecting the instructional media. The teacher succeed in mastering the materials but in terms of creating varied activities, this decision was not wise. By only spending a night before teaching, the teacher tended to create the same activities in every meeting. Second, the instructional media in the classroom are depended to the types of instructional media she used and was not optimized. There was a little variation in the media. Whereas, she could used the media more if he spent more time to create meaningful teaching learning activities and spent less time overthinking other factors. Overall, these findings of this study verified that the instructional media of an elementary school teacher needs improvement. The teacher did the preparations and used the instructional media but
136 those were still in minimum way. Although there were lack of instructional media availability and some issue that diverted the teacher’s concern in teaching, the teacher could optimize the preparations by spending less time to overthinking about them. REFERENCES Aini, W. (2013). Instructional Media in Teaching English to Young Learner: A Case Study in Elementary Schools in Kuningan. Journal of English Education 2013, 1(1), 196- 205 Brown, H.D (2001). Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. Englewood Cliffs: Prentice Hall Clark, R. (1999). Developing Technical Training: A Structured Approach for Developing Classroom and Computer-Based Instructional Materials. Washington, D.C: International Society for Performance Improvement. Creswell, J. W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Research (4th Ed.). Pearson: Boston Fraenkel & Wallen. (2012). How to Design and Evaluate Research on Education. New York: McGraw Hill Gabrielatos, C. (2004). Session Plan: The Coursebook as a Flexible Tool. IATEFL Teacher Trainers and Educators SIG Newsletter 1/2004, 28-31 Harmer, J. (2007). The practice of English and language teaching. London: Pearson. Mutohhar. (2009). Teaching English for Young Learners (TEYL) Misunderstanding about TEYL in Elementary School. Retrieved on August 6, 2014, from: http://id.scribd.com/doc/97613317/Teaching-English-for-Young-Learners-Teyl Onansanya, S.A. (2004). Selection and Utilization of Instructional Media for Effective Practice Learning. Institute Journal of Studies in Education, 2(1) 127-133 Pinter, A. (2011). Teaching Young Language Learners. New York: Oxford Rodliyah, R.S (2009). Teaching English to Young Learners: How They Learn and the Pedagogical Implication. Retrieved on August 06, 2014, from: http://file.upi.edu./direktorei/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_INGGRIS/19730805200212 2- ROJAB_SITI_RODLIYAH/paper_kopendas.pdf TEFL Survival Site (2012). What Is Realia? And Why Should I Use It?. Retrieved from http://www.teflsurvival.com/teaching-aids.html/ Yin, R.K. (2002). Case Study Research: Design and Methods. (3rd ed.). London:
137 NILAI-NILAI PENILAIAN SIKAP YANG TERKANDUNG DALAM SEMBOYAN PENYANG HINJE SIMPEI DI SD NEGERI 1 PENDAHARA Olberto ABSTRAK Semboyan kabupaten adalah "Penyang Hinje Simpei" (bahasa Ngaju) yang artinya adalah Hidup Rukun dan Damai untuk Kesejahteraan Bersama. Kenyataannya dalam pendidikan nilai-nilai dalam Penyang Hinje Simpei (bahasa Ngaju) yang artinya adalah Hidup Rukun dan Damai untuk Kesejahteraan Bersama dalam penilaian sikap kurikulum 2013 di SD Negeri 1 Pendahara belum terintegrasi penguatan karakter peserta didik dalam pembelajaran melalui kegiatan penguatan pendidikan karakter berbasis kelas, berbasis budaya sekolah, dan berbasis masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti obyek yang alamiah di mana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif /kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. penilaian di SD Negeri 1 Pendahara dilakukan untuk mengetahui pencapaian kompetensi sikap pada kurikulum 2013, penilaian tidak hanya digunakan pada hasil belajar peserta didik, tetapi juga pada proses belajar. Nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Penyang Hinje Simpei dalam penilaian sikap pada dasarnya semua peserta didik berkarakter baik sesuai dengan Nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalam Penyang Hinje Simpei. Kata kunci : Nilai-nilai,Penilaian sikap,Penyang Hinje Simpei PENDAHULUAN Kabupaten Katingan adalah salah satu kabupaten di provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten yang beribu kota di Kasongan ini memiliki luas wilayah 17.800 km² dan berpenduduk sebanyak 146.439 jiwa (hasil Sensus Penduduk I ndonesia 2010). Semboyan kabupaten adalah "Penyang Hinje Simpei" (bahasa Ngaju) yang artinya adalah Hidup Rukun dan Damai untuk Kesejahteraan Bersama. Kabupaten ini terdiri dari 13 kecamatan 154 Desa dan 7 Kelurahan. Karakteristik daerah-daerah di Pulau Kalimantan pada umumnya adalah keberadaan sungai dan hutan yang terbesar di seluruh wilayah. Seperti itu juga yang tampak pada Kabupaten Katingan,Kabupaten yang pada tahun 2002 masih menjadi bagian dari Kabupaten Kotawaringin Timur. Namun salah satu yang menonjol dari wilayah yang dialiri Sungai Katingan, sungai terbesar kedua di Kalimantan Tengah adalah kekayaan hasil hutan ikutan berupa rotan. Katingan merupakan salah satu daerah penghasil rotan terbesar di I ndonesia. pemanfaatan lahan utama di Kabupaten Katingan terdiri dari
138 perkampungan, industri, sawah, tanah kering, kebun campuran, perkebunan, hutan, hutan kosong dan rusak, perairan dan lainnya. Kabupaten Katingan memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah. Akan tetapi, pertumbuhan penduduk yang semakin pesat menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam ikut meningkat pula. Kenyataannya dalam pendidikan nilai-nilai dalam Penyang Hinje Simpei (bahasa Ngaju) yang artinya adalah Hidup Rukun dan Damai untuk Kesejahteraan Bersama dalam penilaian sikap kurikulum 2013 di SD Negeri 1 Pendahara belum terintegrasi penguatan karakter peserta didik dalam pembelajaran melalui kegiatan penguatan pendidikan karakter berbasis kelas, berbasis budaya sekolah, dan berbasis masyarakat. Diantara penguatan pendidikan karakter berbasis budaya sekolah adalah kegiatan literasi, sedangkan diantara penguatan pendidikan karakter berbasis kelas adalah pembelajaran tematik yang menggunakan kompetensi abad 21, terutama 4C yaitu kemampuan berpikir kritis (critical thinking), kolaborasi (collaboration), kreativitas (creativity), dan komunikasi (communication)-serta keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/ HOTS). Patut disyukuri bahwa para guru di SD Negeri 1 Pendahara telah berupaya untuk mengintegrasikan penguatan karakter peserta didik tersebut dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran dengan mempertahankan Semboyan kabupaten "Penyang Hinje Simpei" (bahasa Ngaju) yang artinya adalah Hidup Rukun dan Damai untuk Kesejahteraan Bersama dalam menghadapi perubahan zaman millennial karena perkembangan zaman yang begitu pesat dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal Penyang Hinje Simpei dalam penilaian sikap peserta di SD Negeri 1 Pendahara. Terkait penguatan karakter, penilaian proses dan hasil belajar memiliki peran yang sangat penting terutama sebagai acuan untuk memetakan capaian karakter peserta didik dalam pembelajaran. Harapannya, melalui proses penilaian yang komprehensif akan dapat pula dimunculkan profil Penyang Hinje Simpei (bahasa Ngaju) yang artinya adalah Hidup Rukun dan Damai untuk Kesejahteraan Bersama yang menggambarkan kekuatan karakter dan keunikan peserta didik. Dalam penilaian aspek sikap yang dilakukan secara terencana dan sistematis yang dilakukan untuk memantau proses, kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar melalui penugasan dan evaluasi hasil belajar. Didesain untuk memudahkan guru dalam perencanaan, pelaksanakan, pengolahan, dan pelaporan serta memanfaatkan hasil penilaian aspek sikap dalam membentuk karakter peserta didik di era millennial. Saat ini isu pendidikan karakter dan globalisasi pendidikan menjadi hal yang demikian penting untuk dibicarakan. Pendidikan karakter merupakan suatu dasar dalam pendidikan di Indonesia yang masuk pada era melinium. Pendidikan karakter adalah pondasi utama menuju arah perbaikan yang lebih baik dalam Pendidikan Nasional.
139 METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti obyek yang alamiah di mana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif /kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2016: 9). Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Dalam penelitian ini, peneliti bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Kabupaten Katingan Penyang Hinje Simpei dalam penilaian sikap penilaian Kurikulum 2013. Data yang dideskripsikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan pemanfaatan hasil penilaian oleh pendidik di sekolah yang menjadi objek penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian sikap aktifitas pendidik untuk memperoleh informasi deskriptif mengenai perilaku peserta didik. Sistem penilaian di SD Negeri 1 Pendahara dilakukan untuk mengetahui pencapaian kompetensi sikap pada kurikulum 2013, penilaian tidak hanya digunakan pada hasil belajar peserta didik, tetapi juga pada proses belajar. Artinya, pemanfaatan penilaian tidak hanya sekedar mengetahui hasil belajar, tetapi juga bagaimana penilaian mampu meningkatkan kemampuan peserta didik dalam proses belajar. Penilaian yang dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu penilaian akhir pembelajaran (assessment of learning), penilaian untuk pembelajaran (assessment for learning), dan penilaian sebagai pembelajaran (assessment as learning). Penilaian yang digunakan lebih mengutamakan assessment as learning dan assessment for learning dibandingkan dengan assessment of learning, Assessment of learningadalah penilaian yang dilakukan oleh pendidik setelah proses pembelajaran berakhir. Tujuan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui pencapaian hasil belajar setelah proses pembelajaran berakhir. Contoh penilaian sumatif, ulangan akhir semester, ujian sekolah, dan ujian nasional merupakan.Assessment for learning merupakan penilaian selama proses pembelajaran berlangsung, digunakan untuk melakukan perbaikan proses belajar mengajar. Pendidik memberikan umpan balik terhadap proses belajar peserta didik, memantau kemajuan belajar peserta didik. Contohnya penugasan, presentasi, proyek merupakan.Assessment as learningmempunyai fungsi yang mirip dengan assessment for learning, yaitu sebagai formatif, dilaksanakan ketika proses pembelajaran berlangsung. Perbedaannya, assessment as learning melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan penilaian tersebut. Peserta didik diberikan kesempatan untuk belajar menilai dirinya sendiri. Contohnya penilaian diri sendiri dan penilaian antar teman merupakan.Kurikulum 2013 menggunakan penilaian autentik.
140 Gambar1 Skema Penilaian Sikap Penilaian Sikap Penilaian sikap yang dilakukan di SD Negeri 1 Pendahara bertujuan untuk mengukur sikap peserta didik, Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Penyang Hinje Simpei yang ditanamkan dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah yang ditempuh dalam implementasi penilaian sikap adalah sebagai berikut. Menyusun rencana penilaian sikap sosial dan spiritual Silabus dalam setiap mata pelajaran sudah memiliki Kompetensi Inti (KI-1 dan KI2) dan Kompetensi Dasar (KD Guru-guru merumuskan indikator pencapaian kompetensi yang diturunkan dari kompetensi dasar sikap sosial dan spiritual. Indikator pencapaian kompetensi ini akan dijadikan patokan dalam mengukur tingkat ketercapaian KD sosial dan spiritual.KI-1 dan KI-2 pada silabus seluruh mata pelajaran tidak mencantumkan kompetensi dasarnya. Setiap guru di SD Negeri 1 Pendahara memilih sikap sosial dan spiritual yang merupakan nilai-nilai Penyang Hinje Simpei yang akan ditanamkan pada saat proses belajar mengajar dan pada akhirnya akan dievaluasi setelah proses belajar mengajar berlangsung atau pada setiap akhir semester. Pelaksanaan penilaian sikap Penilaian sikap di SD Negeri 1 Pendahara dilakukan oleh guru mata pelajaran, dan guru kelas, dengan menggunakan teknik observasi selama proses pembelajaran dan di luar kegiatan pembelajaran. Setiap perilaku peserta didik yang di atas rata-rata dan di bawah rata-rata dicatat oleh guru dalam jurnal. Dalam penilaian sikap, selain menggunakan teknik observasi, juga menggunakan teknik penilaian diri sendiri dan penilaian antar teman. Penilaian diri sendiri bertujuan untuk melatih kejujuran peserta didik dalam menilai sikap yang dimilikinya. Di samping itu, penilaian diri sendiri, dapat digunakan oleh guru untuk perbandingan dengan penilaian hasil observasi guru. Penilaian antar teman, selain sebagai pembanding terhadap hasil observasi guru, juga bertujuan untuk melatih peserta didik dalam kejujuran dan rasa tanggung-jawab.
141 Pemanfaatan dan tindak lanjut Nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Penyang Hinje Simpei dalam penilaian sikap pada dasarnya semua peserta didik berkarakter baik sesuai dengan nilainilai yang terkandung di dalam semboyan Kabupaten Katingan Penyang Hinje Simpei. Filosofi merupakan suatu kebenaran yang dianggap benar. Untuk diketahui bahwa filosofi Huma Betang (Rumah Betang) di Kalimantan Tengah sangat menjunjung tinggi perdamaian dan anti-kekerasan serta hidup toleransi yang tinggi antar-umat beragama. Lebih spesifiknya nilai-nilai yang terkandung di dalam Huma betang tersebut melingkupi empat pilar yaitu kebersamaan, kejujuran, kesetaraan, dan sikap saling menghargai satu sama lain (toleransi) Empat pilar dalam Huma Betang yaitu sebagai berikut: a. Nilai kebersamaan adalah sikap saling bergotong royong. Contohnya dalam menjaga dan memelihara ladang yang akan dibakar terlebih dulu disekeliling lahan atau lading dibersihkan (malanda) supaya tidak menjalar ke lading/lahan orang lain dan dalam mengerjakan pekerjaan ladang menanam padi (menanam parei). b. Nilai kejujuran adalah sikap yang baik artinya tidak ada kebohongan didalamnya atau dengan kata lain dengan tidak berbohong kepada orang lain baik dari hal yang kecil sampai hal yang besar. Contohnya bila seseorang bertanya siapa nama anda? Maka harus dijawab dengan jujur. c. Nilai kesetaraan adalah sikap dalam hal kesederajatan yang sama antara satu dengan yang lain. Contohnya dimana dalam Huma Betang tersebut mempunyai hakdan kewajiban yang sama antara satu dengan yang lain. d. Toleransi adalah sikap menghargai perbedaan atau pun latar belakang orang lain. Contohnya dalam Huma Betang yang berbeda Agama satu sama lain(4).Nilai-nilai dalam Huma betang ini terlihat dalam falsafah Belom Bahadat (hidup beradat) dan semangat isen mulang. Pengertian dari Belom Bahadat adalah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kalimantan Tengah khususnya Dayak Ngaju, adat istiadat mengajarkan bahwa setiap orang harus Belom Bahadat artinya “Hidup Beradat”. Ketentuan Belom Bahadat tersebut berlaku bagi setiap insan, yang diajarkan mulai dari masa anak-anak, masa remaja, masa akil balig/pemuda. Belom Bahadat juga dituntut kepada orang dewasa atau terhadap mereka yang kaya atau miskin maupun terhadap mereka yang berpangkat atau warga masyarakat biasa. Selain berfungsi sebagai rumah adat, Huma Betang memiliki filosofi kehidupan yang sangat dalam dan mendasar bagi masyarakat Dayak. Filosofi Huma Betang diantaranya adalah : a. Hidup Rukun dan Damai.
142 Walau Terdapat Banyak Perbedaan Huma betang dihuni oleh 1 keluarga besar yang terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan, namun mereka selalu hidup rukun dan damai.Perbedaan yang ada tidak dijadikan alat pemecah diantara mereka.Seiring dengan berkembangnya zaman, masyarakat Dayak sudah mulai meninggalkan rumah adatnya dan beralih kepada tempat tinggal yang lebih modern. Walaupun demikian keharmonisan tidak hanya terjadi di Huma Betang. Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah selalu menjaga keharmonisan itu dengan cara saling hormat menghormati dan juga sikap toleransi. b. Bergotong Royong. Perbedaan yang ada tidak membuat penghuni Huma Betang memikirkan kelompoknya sendiri. Mereka selalu bahu membahu dalam melakukan sesuatu, misalnya apabila ada kerusakan di Huma Betang. Mereka bersama-sama memperbaikinya, tidak memandang agama ataupun suku. Tidak hanya di Huma Betang, Seluruh masyarakat Kalimantan Tengah diharapkan juga bahu-membahu dalam membangun daerahnya tidak memandang suku bahkan agama. c. Menyelesaikan Perselisihan dengan Damai dan Kekeluargaan. Pada dasarnya setiap penghuni rumah menginginkan kedamaian dan kekeluargaan. Apabila ada perselisihan akan di cari pemecahnya dengan cara damai dan kekeluargaan. Begitu pula di Huma Betang, masyarakat Dayak cinta damai dan mempunyai rasa kekeluargaan yang tinggi. d. Menghormati Leluhur. Setelah masuknya agama-agama baru seperti Hindu, Kristen, dan Islam, banyak masyarakat Dayak berganti kepercayaan.Walaupun demikian masih ada sebagian dari mereka yang menganut agama nenek moyang yaitu Kaharingan. Untuk menghormati leluhur mereka, masyarakat suku Dayak melakukan upacara adat. Upacara adat tersebut terdiri dari ritual membongkar makam leluhur dan membersihkan tulang belulangnya untuk kemudian disimpan di dalam sandung dan pambak yang telah dibuat bersama-sama.Nilai-nilai yang akan selalu melekat pada diri setiap masyarakat Kalimantan Tengah dalam arti kata, nilai-nilai yang ada didalam Huma Betang tersebut bukan hanya sekedar warisan akan tetapi untuk dikelola oleh masyarakat Kalimantan Tengah. Walaupun tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Huma Betang akan punah seiring berjalannya waktu dan arus globalisasi dan modernisasi yang disebut dengan era millenial. Di atas perilaku yang baik ada perilaku yang sangat baik, dan di bawah perilaku yang baik ada perilaku yang kurang baik. Peserta didik yang berperilaku “sangat baik” diberikan penguatan agar dipertahankan. Bagi peserta didik yangberperilaku “baik” diberikan motivasi untuk lebih baik lagi, sedangkan untuk peserta didik yang memiliki
143 perilaku yang “kurang baik”, diberikan teguran, nasihat, dan peringatan. Sikap sosial dan spiritual yang dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan kepada peserta didik dan orang tua tiap akhir semester/tahun, dalam bentuk predikat: Sangat baik (A), Baik (B), dan kurang baik (C), disertai dengan deskripsi dari masing-masing predikat tersebut, sesuai dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing peserta didik selama satu semester. Permasalahan dalam implementasi Sistem penilaian kurikulum 2013 ada beberapa permasalahan tentang penilaian sikap di lapangan, antara lain: masih ada guru merasa kesulitan dalam mengimplementasikan penilaian sikap, termasuk membuat deskripsi sikap, baik sikap sosial maupun sikap spiritual. Guru merasa kesulitan untuk menilai sikap peserta didik secara objektif. Selain sikap peserta didik yang bisa berubah-ubah, juga penilaian guru terhadap seorang peserta didik satu sama lain bisa berbeda, tergantung kepada sikap yang ditunjukan oleh peserta didik kepada masing-masing guru. Penilaian diri yang dilakukan peserta didik untuk menilai dirinya sendiri bisa jadi bias tentang keobjektivitasannya. Termasuk penilaian antar teman, belum bisa menjamin bahwa nilai yang diberikan oleh seorang peserta didik terhadap temannya itu bersifat objektif. Dibutuhkan kejelian dan ketelitian setiap guru untuk membuat suatu kesimpulan terhadap sikap peserta didik yang sesungguhnya. PENUTUP Nilai-nilai yang terkandung dalam semboyan Penyang Hinje Simpei dalam Penilaian sikap kurikulum 2013 di SD Negeri 1 Pendahara dengan filosofi huma betang dilaksanakan hidup rukun dan damai,bergotong royong,menyelesaikan perselesian dengan damai dan kekeluargaa, menghormati leluhur. Penilaian sikap dilaksanakan dari mulai perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Pada tahap perencanaan, guru menyusun indikator pencapaian kompetensi dasar, yaitu indikator untuk mengukur keberhasilan pencapaian kompetensi dan menentukan jenis sikap sosial dan sikap spiritual yang akan ditanamkan pada diri peserta didik. Penilaian sikap dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, penilaian diri, dan penilaian antar teman. Hasil penilaian sikap dilaporkan kepada peserta didik dan orang tua dalam bentuk predikat A (amat baik), B (baik), dan C (kurang baik), disertai dengan deskripsinya.Implementasi penilaian pengetahuan dilakukan mulai perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Pada tahap perencanaan yang dilakukan oleh guru adalah penetapan tujuan, penyusunan kisi-kisi, menetapkan teknik penilaian, penyusunan soal-soal, dan pembuatan pedoman penilaian. Pada tahap pelaksanaan, guru-guru melaksanakan penilaian harian, penilaian tengah semester, dan penilaian akhir semester, sesuai dengan perencanaan. Pada tahap tindak lanjut, guru-guru membuat laporan penilaian pada setiap akhir semester atau akhir tahun. Permasalahan yang dihadapi, guru merasa terkendala dalam menentukan nilai sikap peserta didik secara objektif, sebab sikap peserta didik yang cenderung berubah-ubah setiap saat. Penilaian diri dan penilaian antar temanpun hasilnya sulit untuk diukur tingkat keobjektifitasannya.
144 Selain itu, pada saat membuat laporan hasil penilaian, masih ada guru yang kesulitan dalam mendeskripsikan nilai sikap. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. (2009). Revitalisasi Penilaian Pembelajaran. Bandung: PT Refika Aditama. Arifin, D dan Arifin, P. (2010). Menuju Guru Profesional. Bandung : Pustaka Al-Kasyaf. Azwar, S. (2017). Reliabilitas dan Validitasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baharauddin. dan Wahyuni, E.N. (2015). Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hamalik, O. (2006). Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hasan, B. (2010). Perencanaan Pengajaran Bidang Studi. Bandung: Pustaka Ramadhan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Manajemen Implementasi Kurikulum 2013, Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Panduan Penilaian Oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan Untuk Sekolah Menengah Pertama, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. Kunandar. (2015). Penilaian Autentik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada Pers. Mulyasa, E. (2005). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.Mulyasa, E. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. (2014). Guru dalam Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. (2015). Revolusi Mental dalam Pendidikan. Bandung: PT Remaja Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar Penilaian Pendidikan. Sugiyono, (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D.Bandung: Alfabeta Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. M. Norsanie Darlan. Pembangunan Daerah Berbasis Kearifan Lokal (Huma betang ). Aquarius Hotel Palangka Raya: M. Norsanie Darlan. Pembangunan Daerah Seminar Nasional yang disenggarakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMP), 2012. Maresty E, Zamroni Z. Analisis nilai-nilai budaya Huma Betang dalam pembinaan persatuan kesatuan bangsa siswa SMA di Kalimantan Tengah. Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS 4: 67–79, 2017. Nila Riwut. Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur). Palangka Raya: Pustaka Lima, 2003. Tjilik Riwut. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR Publishing, 2007. Usop TB. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Kalimantan Tengah Yang Berkesinambungan. 6: 8, 2011. Yosia Nugrahaningsih. Proses Komunikasi Masyarakat Dayak Ngaju Dalam Rangka Melestarikan NilaiNilai Hidup Huma betang Studi di lingkungan masyarakat Dayak Ngaju di Desa Buntoi KaliPascasarjana Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret: 2013.
145 ANALISIS PERILAKU GENERASI MILENIAL TERHADAP BELANJA ONLINE PADA ERA MODERN Indra Priyanto ABSTRAK Generasi milenial merupakan generasi yang sangat berpengaruh dalam hal penggunaan internet.. Tujuan pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh kegunaan, estetika, interaksi, dan bauran pemasaran pada perilaku pembelian secara online baik secara parsial maupun simultan. Jenis penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif (explanatory research). Penelitian ini dilakukan pada pelanggan toko online Shoppe yang berjumlah sebanyak 118 responden. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel kegunaan, interaksi, estetika, dan bauran permasaran pada perilaku konsumen generasi milenial terhadap pembelian online pada era modern baik secara parsial dan simultan. Kata Kunci: Milenial, Era Modern PENDAHULUAN Perkembangan teknologi saat ini mencapai pencapaian yang signifikan salah satunya yaitu maraknya tema revolusi industri 4.0 dan pengaplikasiaannya. Revolusi industri 4.0 menjadi salah satu acuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas termasuk dalam hal bisnis. Berbagai kegiatan saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi seperti penggunaan dalam hal internet. Internet menjadi sebuah kebutuhan pada saat ini karena kegunaannya dalam mencari berbagai hal yang diinginkan, berbagi informasi, mengobrol, bekerja, belanja, permainan, dan sebagainya. Perkembangan pengguna internet saat ini didominasi oleh generasi milenial. Indonesia dengan generasi milineal yang lahir pada tahun 1980-1999 (Krbova dan Tomas, 2015) menjadikan generasi yang dekat dengan teknologi (Constantinides, 2010; Lachman dan Deborah, 2013). Dapat dijelaskan bahwa generasi milenial terbiasa dengan menggunakan internet untuk kegiatan sehari-hari (San et al., 2015). Hasil survei yang dilakukan asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 menjelaskan bahwa sekitar 80% atau sekitar 25 juta pengguna internet di Indonesia berusia 25-29 tahun dan sekitar 72% pengguna berusia 30-34 tahun. Dominasi pengguna internet tersebut merupakan kelahiran di era 1980-1999. Survei tersebut menunjukkan bahwa generasi milenial menjadi pengguna yang paling dominan dalam penggunaan internet (Kompas,2016).
146 Shoppe merupakan salah satu situs belanja online yang berkembang di Indonesia yang telah berhasil menarik konsumen Indonesia dalam satu tahun setelah pertama kali diluncurkan pada 2015 (Tribunbisnis, 2019). Upaya yang dilakukan oleh situs Shoppe untuk memasuki pasar belanja online Indonesia memperoleh penghargaan pemasaran 2017 sebagai kategori kampanye pemasaran terbaik (Tribunbisnis, 2019). Shopee merupakan perusahaan e-commerce yang berada di bawah naungan Garena (berubah nama menjadi SEA Group), merupakan perusahaan internet di Asia Tenggara. Shopee menjalankan bisnisnya dengan konsep Customer to Customer (C2C) yaitu sebuah konsep dengan menjual dari konsumen ke konsumen akhir. Shoppe menyediakan seperangkat aplikasi secara online untuk dapat memfasilitasi penjual dan konsumen paling akhir. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk : Mengetahui apakah yang dimaksud dengan Perilaku Belanja Online;Mengetahui apa yang yang dimaksud dengan Generasi Milenial; Mengetahui bagaimana pengaruh secara parsial dan simultan dari variabel kegunaan, interaktivitas, estetika, dan bauran pemasaran terhadap perilaku pembelian secara online. Penelitian terdahulu merupakan bahan pendukung pada penelitian ini secara empiris. Berikut penelitian sejenis yang meneliti tentang generasi milenial dalam hal perilaku pembelian secara online. Pada penelitian Constantinides (2010) menyatakan bahwa sifat dasar perilaku konsumen online internet didasarkan oleh pengalaman pada belanja online. Pada penelitian Baeva (2011) menjelaskan bahwa konten web merupakan elemen yang spesifik memengaruhi sikap pelanggan terhadap belanja online dan membentuk niat yang lebih tinggi untuk membeli online, sedangkan dalam faktor yang berorientasi pelanggan, kepercayaan adalah elemen pengalaman web spesifik utama yang memengaruhi sikap pelanggan terhadap belanja online. Istilah pembelian online atau belanja online telah digunakan untuk menggambarkan aktivitas saat berbelanja atau membeli melalui Internet. Bajpai dan Lee (2014) menyatakan bahwa “pembelian online adalah bagian dari perdagangan elektronik yang memungkinkan pelanggan untuk membeli produk dengan memanfaatkan layanan online melalui World Wide Web”. Menurut Suki dan Suki (2013), belanja online tidak hanya membeli produk atau layanan, tetapi juga memungkinkan konsumen untuk mencari informasi melalui interaksi langsung dengan toko online. Studi tersebut menggambarkan perilaku generesi milenial pada era modern ini akrab dengan jalur internet untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Millenials atau kadang juga disebut dengan generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X, yaitu orang yang lahir pada kisaran tahun 1980-2000an. Maka ini berarti millenials adalah generasi muda yang berumur 17-39 pada tahun ini (2019). Millenials sendiri dianggap spesial karena generasi ini sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, apalagi dalam hal yang berkaitan dengan teknologi. Generasi millenials memiliki ciri khas tersendiri yaitu, mereka lahir pada saat TV berwarna, handphone juga internet sudah diperkenalkan, sehingga generasi ini sangat mahir dalam teknologi.
147 Penggunaan web merupakan sebuah kemampuan untuk menemukan hal yang ingin dicari termasuk informasi dan kebutuhan dengan upaya yang minimal Constantinides (2010). Hal tersebut mencerminkan bahwa penggunaan web merujuk pada tingkat efisiensi dan efektivitas (Kühn et al., 2015). Pada konsep kegunaan web juga termasuk adanya elemen kemudahan dalam navigasi dan pencarian (Constantinides, 2010). Pada penggunaan web juga merancang kemudahan tentang tata letak dan navigasi mencari informasi secara online dan mengurangi kesulitan yang dihadapi konsumen pada saat berbelanja online (Hausman dan Siekpe dalam Adnan, 2014). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kegunaan web merupakan kemudahan dan efektivitas dalam mencari hal yang diinginkan dengan kondisi yang minimal. Pada estetika menjadi indikator penting dalam penyediaan situs e-commerce terutama dalam hal kredibilitas penyedia belanja online (Constantinides, 2010). Daya tarik yang memikat pada situs web menjadi hal yang menarik bagi pelanggan (Uzun dan Poturak, 2014). Konsumen akan tertarik dengan situs yang memiliki tampilan kreatif dan profesional. Hal ini juga sebagai bukti bahwa situs tersebut dipercaya sehingga situs profesional harus membayar lebih untuk membuat tampilan yang menarik untuk situs webnya. Interaksi pada situs web merupakan sebuah layanan yang dapat memfasilitasi pengguna internet dapat berkomunikasi dengan perusahaan maupun pengguna online lainnya (Constantinides, 2010). Interaksi merupakan suatu kondisi yang sangat umum pada situs internet terutama saat berkonsultasi pada pembelian secara online (Li, 2014). Adnan (2014) menjelaskan bahwa dalam interasi terdapat dua unsur yaitu berinteraksi dengan perusahaan penyedia situs online maupun dengan pengguna online lainnya. Interaksi tersebut mencakup masalah yang dihadapi oleh konsumen, layanan purna jual, dan berbagi pengalaman saat berbelanja online. Layanan yang baik dapat menyebabkan kepuasan pada pelanggan sehingga menciptakan loyalitas pada situs web tersebut (Shergill dan Chen, 2005). Bauran pemasaran menjadi hal yang sangat memengaruhi proses pembelian online yang diikuti oleh pengaruh situasional yang mencakup waktu, uang, dan lingkungan sosial (Baeva, 2011). Constantinides (2010) menjelaskan bahwa bauran pemasaran (4P) termasuk pemenuhan adalah kontributor penting bagi pengalaman web. Peneliti terdahulu juga telah fokus pada efek bauran pemasaran terhadap perilaku pembelian online (Li, 2014). Constantinides (2010) juga telah mengidentifikasi komponen bauran pemasaran pada elemen pengalaman web yang terdiri dari : komunikasi, pemenuhan, produk, harga, dan promosi. METODE Berdasarkan tujuan penelitian yang ditetapkan, maka jenis penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian penjelasan atau eksplanatori. Menurut Singarimbun (2006) yang dimaksud dengan penelitian penjelasan adalah penelitian yang menyoroti hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan
148 sebelumnya. Penelitian penjelasan juga dinamakan penelitian pengujian hipotesis. Pada penelitian jenis ini, hipotesis yang telah dirumuskan akan diuji untuk mengetahui adanya hubungan dan pengaruh antara variabel-variabel dalam penelitian mengenai kegunaan, estetika, interaksi, dan marketing mix pada perilaku pembelian secara online pelanggan aplikasi belanja Shoppe. Penelitian ini dilakukan pada pelanggan online Shopee Indonesia. Peneliti menyebar kuesioner pada fans page Shopee Indonesia pada sosial media seperti facebook, instagram, dan youtube. Fans page pada sosial media tersebut merupakan tempat untuk berbagi informasi terkait aplikasi Shopee Indonesia. Tempat tersebut menjadi tempat yang sangat mudah untuk mencari pelanggan setia Shopee dikarenakan mencari informasi produk, program diskon Shopee, dan sebagainya. Alasan memilih media sosial tersebut juga dikarenakan mempertimbangkan kemudahan untuk bertemu pembeli online Shopee Indonesia terutama generasi milenial. Pada penelitian ini menggunakan 118 responden penelitian. Skala pengukuran yaitu dengan menggunakan skala Likert. Pada penelitian ini terdapat 2 variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen pada penelitian ini yaitu kegunaan (X1), estetika (X2), interaksi (X3), bauran pemasaran (X4). Variabel dependen pada penelitian ini yaitu perilaku pembelian online (Y). Merujuk pada Constantinides (2010) Kegunaan merupakan kemampuan untuk menemukan sesuatu yang dicari pada web kemudian mengetahui apa yang harus dilakukan selanjutan dengan melakukan upaya yang minimal. Indikator kegunaan pada penelitian ini yaitu kenyamanan, navigasi situs, arsitektur informasi, proses pemesanan atau pembayaran, fasilitas pencarian, kecepatan situs dan aksestabilitas. Pada variabel Estetika (X2) menurut Constantinide (2010) merupakan sejauh mana pelanggan menemukan hal yang menarik dan memikat. Indikator pada estetika yaitu desain situs web, kualitas penyajian, elemen desain, dan gaya/suasana. Variabel interaksi (X3) menurut Constantinides (2010) merupakan penyediaan layanan yang dapat berinteraksi dengan pelanggan maupun pengguna online lainnya. Indikator yang digunakan yaitu layanan pelanggan, interaksi dengan personel perusahaan, kustomisasi, dan efek jaringan. Pada bauran pemasaran (X4) menurut Constantinide (2010) merupakan aspek pemasaran untuk dapat menarik pelanggan ke belanja. Indikator yang digunakan yaitu komunikasi, pemenuhan pemesanan, produk, harga, dan promosi. Variabel dependen pada penelitian ini yaitu perilaku pembelian secara online (Y) yaitu aktivitas dalam mencari dan membeli barang/jasa secara elektronik melalui internet dengan indikatornya belanja online, perbandingan harga, dan ketersediaan produk yang luas. Tujuan dari penggunaan alat analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi berganda yang dilengkapi dengan asumsi klasik.
149 HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang diperoleh pada penelitian ini berjumlah 118 responden yang merupakan pelanggan dari toko belanja online Shopee. Mayoritas responden pada penelitian ini adalah perempuan berjumlah 66 orang responden (55.9%) dari 118 orang. Responden pada penelitian mayoritas berumur 27-31 tahun yang berjumlah 64 orang (54,2%). Sarjana merupakan jenjang pendidikan mayoritas pada penelitian ini dengan jumlah 64 orang responden (54,2%). Mayoritas responden membeli pada jenjang waktu 1 bulan dengan jumlah 51 responden (43,2%). Produk pakaian merupakan mayoritas produk yang dibeli dengan jumlah responden 45orang (38,1%). Pada penelitian ini menggunakan Analisis Regresi Berganda, sebelum menggunakan analisis tersebut harus terdapat uji asumsi klasik. Hasil uji klasik menyatakan bahwa analisis bisa memenuhi untuk menggunakan analisis regresi linier berganda. Berikut ini adalah hasil pengujian analisis regresi berganda yang terdapat variabel bebas dan variabel terikat. Varibel bebas pada penelitian ini yaitu kegunaan (X1), estetika (X2), interaksi (X3), dan bauran pemasaran (X4). Variabel terikat yaitu Perilaku belanja Online (Y). Berikut ini ringkasan hasil uji analisis regresi pada tabel 1, 2, dan tabel 3. Tabel 1. Hasil Pengujian Uji t (Parsial) Model Unstandari zed Coefficient s Standardiz ed Coefficien ts t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 0.282 1.058 0.266 0.79 1 Kegunaan (X1) 0.092 0.045 0.193 2.053 0.04 2 Estetika (X2) 0.196 0.085 0.223 2.293 0.02 4 Interaksi (X3) 0.082 0.035 0.233 2.387 0.01 9 Marketing Mix (X4) 0.142 0.64 0.202 2.221 0.02 8 a. Dependent Variabel : Perilaku Belanja Online Sumber : Data Diolah Tahun 2018 Tabel 2. Hasil Pengujian Uji F (Simultan)
150 Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Regression 199.590 4 49.898 30.352 0.000a Residual 185.766 113 1.644 Total 385.356 117 a. Predictors : (Constant), Marketing Mix, Interaksi, Kegunaan, Estetika b. Dependent Variable : Perilaku Belanja Online Sumber : Data Diolah Tahun 2018 Tabel 3. Hasil Pengujian R Square Model R RSquare Adjuste d R Square Std. Error of The Estimate 1 0.720 0.518 0.501 1.282 a. Predictors : (Constant), Marketing Mix, Interaksi, Kegunaan, Estetika Sumber : Data Diolah Tahun 2018 Tabel 1 menjelaskan tentang hasil uji t secara parsial diketahui persamaan regresi : Y = 0,282 + 0,193X1 + 0,223X2 + 0,233X3 + 0,202X4 + 1.058(e). Pada tabel 2 menjelaskan tentang hasil uji secara simultan. Nilai Fhitung sebesar 30,352. Nilai Ftabel (α = 0.05 ; db regresi = 4 : db residual = 113) adalah sebesar 1,968. Oleh karena Fhitung > Ftabel yaitu 30,562>1,968 atau nilai Sig. F (0,000) < α = 0.05 maka model analisis regresi secara simultan adalah signifikan. Hal ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel terikat (perilaku belanja online) dapat dipengaruhi secara signifikan oleh variabel bebas yaitu kegunaan , estetika, interaksi, dan bauran pemasaran. Pada tabel 3 menjelaskan besaran kontribusi menggunakan koefisien determinasi yang diperoleh pada nilai RSquare sebesar 0.518. Nilai tersebut menjelaskan bahwa variabel bebas pada penelitian ini mempengaruhi variabel terikat yaitu perilaku belanja online yaitu sebesar 51,8%, sedangkan sisanya 48,2% dipengaruhi variabel lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Pengaruh secara simultan variabel bebas (Kegunaan, estetika, interaksi dan bauran pemasaran) pada Perilaku Pembelian Online. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa variabel bebas kegunaan, estetika, interaksi, dan bauran pemasaran berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap perilaku belanja online. Hal tersebut mempunyai arti bahwa dengan menggunakan variabel tersebut para pelanggan Shopee telah sangat mudah dalam menggunakan aplikasi, estetika yang menarik, interaksi yang mudah dan bauran pemasaran yang dapat memudahkan dalam