Penakluk Ujung Dunia
Karya Bokor Hutasuhut
Djvu, convert & Ebook : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://cerita_silat.cc/
Penakluk Ujung Dunia
Ayahanda Bokor menjadi mubaliq Islam di Tanah Batak.
Karena itu, dia suka ikut menyusup hutan belantara, mendaki
bukit dan lembah Bukit Barisan. Menyusup melewati Pintu
Pohan, Parhitean, naik ke Tangga dan tembus ke Simalungun.
Juga kembali melalui Dairi ke Tanah Samosir.
Dalam perjalanan, sering ngobrol sepanjang malam dengan
para tetua, wakil masa silam, masih primitif, sederhana, tapi
simpatik. Dengan para tetua itu. Bokor setempat tidur dan
para tetua terus bercerita
Di hutan, lembah, dan ngarai sudah biasa saja. Bertemu
harimau dan binatang buas lain tak soal lagi. Dan, suatu kali,
di suatu hutan, di atas dedahanan rimbun terdapat sarang
tawon ruang pun memanjat poitu berusaha mengisap madu
itu. Tapi, seseorang lantas ikut naik, memanjat pohon yang
sama yang setelah bibir berdecap mengucap jampi, beruang
itu menyisih .
Dan, "Penakluk Ujung Dunia" berkisah pada sulitnya
memperoleh lahan. Perang warga sering berkecamuk. Lantas
Ronggur mencoba menerobos Sungai Titian Dewata untuk
mencari daerah baru. Kepergiannya dikutuk karena melawan
tradisi. Dan, setelah dia kembali dan berhasil menemukan
daerah baru, justru dia akan dihukum gantung karena
Ronggur tetap saja sudah melawan tradisi kepercayaan yang
sudah hidup turun temurun.
Sungguh menawan dan indah ....
PENAKLUK UJUNG DUNIA
Oleh: Bokor Hutasuhut Hak Pengarang dilindungi undang-
undang Desain Kulit: Sriwidodo
Cetakan Pertama 1964 PT Pembangunan-Jakarta Cetakan
Kedua 1988
Penerbit: PT Pustaka Karya Grafika Utama Jakarta
Sekilas Pengarang:
BOKOR HUTASUHUT, lahir di Balige, Tanah Batak, Sumatra
Utara 2 Juni 1934. Dalam catatan masuk HIS, hari lahir itu
berubah menjadi 2 Juni 1933. Menurut ayahnya, H.A.M.
Mangaraja Gende Hutasuhut, perubahan itu perlu jika ingin
sekolah. Dalam catatan itu juga tercatat nama benar Buchari
Hutasuhut agar kelak menjadi pengarang tafsir Quran.
Sejak 1953 sudah menulis cerita pendek ke berbagai
majalah sastera dan media budaya. Selain buku ini, juga
sudah terbit buku "Tanah Kesayangan" dan "Datang Malam".
Kini berdomisili di Medan.
Kata Pengantar
Bokor Hutasuhut punya gaya bercerita yang merupakan
gabungan sifat formal dan bebas. Formalitasnya, formalitas
tutur kata bahasa lisan menurut tradisi Batak. Sedangkan
kebebasannya, kebebasan penghayatan kebudayaan modem
dari tradisi sastra modern.
Ia sangat sadar bahwa ia sedang menyelami dan
melukiskan kehidupan masyarakat Batak yang unik tradisional
kepada pembaca sastra modern pada umumnya. Ketelitiannya
di dalam melukiskan detail-detail ia gabungkan dengan rasa
harmoni seni dalam bercerita mengenai watak manusia, plot,
segi memandang persoalan sebagai sastrawan modern.
Sehingga hasilnya bukanlah sekedar laporan anthropolis -
akademis, tetapi suatu karya sastra segar dengan latar
belakang pengaruh tradisi kebudayaan Batak. Begitulah ia
muncul sebagai sastrawan dengan gaya yang unik di antara
sastraivan modern yang lain di Indonesia.
Ia bukan photo copy kebudayaan Batak, tetapi orang Batak
tulen yang menjadi sastrawan Indonesia. Ia telah selesai
melakukan wawancara dengan tradisinya dan dengan
dinamika modern dari Indonesia Raya, lalu duduk dan menulis
novel ini. Alangkah hidup detail-detail dari lukisannya. Satu
pertanda bahwa ia mengerti betul-betul apa yang ia tuliskan.
Marilah kita sekarang menikmatinya.
Rendra
1
Satu-satu para lelaki keluar rumah, memenuhi panggilan
suara gong yang dipalu sesekali dekat unggun api yang ada di
halaman perkampungan. Wajah para lelaki yang bermunculan
di mulut pintu, memancarkan rasa marah dan mendendam.
Senja baru saja berlalu. Di langit bintang gemerlapan. Tapi,
tidak ada bulan. Hingga cahaya unggun api yang samar,
cukup punya arti. Nyalanya meliuk ditiup angin. Para lelaki itu
membentuk lingkaran seputar unggun api. Tapi, di sebelah
hulu, belum seorang pun mengambil tempat. Sengaja
dikosongkan.
Angin pegunungan berhembus. Lebih dulu meliukkan pucuk
bambu duri yang ditanam orang sekitar kampung, langsung
menjadi pagar kampung. Bambu duri itu, ditanam melingkar.
Mengikuti lingkaran rumah dan di tengah dikosongkan.
Halaman kampung menjadi luas, tempat penghuni kampung
selalu berkumpul di saat yang perlu. Di saat Kerajaan Marga
yang mendiami kampung itu mengadakan musyawarah.
Wajah para lelaki tambah jelas kelihatan, setelah cukup
dekat unggun api. Wajah yang cukup matang dan keras, yang
dimasak kerasnya hidup sehari-hari, wajah yang menampung
sinar matahari penuh. Dan, memecahkan tanah batu untuk
dijadikan persawahan.
Gong masih dipalu sesekali. Para lelaki tambah banyak
berkumpul. Tapi, satu sama lain, tampaknya saling diam. Dari
jauh kedengaran suara ratap para perempuan. Kemudian
kelompok manusia itu menjadi tambah hening, tidak ada yang
berkerisik, sewaktu enam orang lagi lelaki datang mendekat.
Salah seorang di antaranya menyandang ulos-batak ragi-
hidup, kepalanya dibeliti bolat-an berwarna tiga jalin-menjalin:
merah, putih, dan hitam. Tangan kanan memegang
tungkotpanaluan, yang hulunya berukirkan wajah dan kepala
manusia, serta dihiasi rambut manusia. Di pinggang, terselip
pisau gajah-dompak. Pertanda dia Raja Panggonggom, yang
memegang kekuasaan adat dan hukum tertinggi di
perkampungan itu, di marga yang mendiami kampung itu.
Yang berjalan di sebelah kanannya, memakai bolatan juga.
Tapi, warnanya hanya merah dan putih berjalinan, pertanda
dia Raja Ni Huta. Juga dia menyandang ulos-batak, tapi
raginya berbeda dengan yang dipakai oleh Raja
Panggonggom. Raja Ni Huta yang memakai bolatan ini,
pengerah tenaga rakyat, dan langsung memimpin para Raja Ni
Huta dari kampung lain, yang masih semarga dengan mereka.
Di sebelah kiri Raja Panggonggom, berjalan seseorang yang
memakai bolatan warna merah saja, pertanda dia Raja
Nabegu, pemegang pimpinan para panglima dan para
hulubalang perkasa. Dia juga menyandang ulos-batak, tapi
raginya berbeda dengan ragi yang disandang fyaja
Panggonggom dan Raja Ni Huta. Sedang di tangannya,
tergenggam tombak yang hulunya berukirkan kepala manusia.
Di belakang mereka bertiga, mengiring pula Raja Partahi,
Raja Namora, dan Datu Bolon Gelar Guru Mafla-sak. Raja
Partahi dan Raja Namora, memakai bolatan warna putih,
pertanda mereka pemegang perbekalan marga. Sedang Datu
Bolon Gelar Guru Marlasak menyandang kulit monyet yang
sudah kering, sedang mulutnya terus-terusan menguyah sirih
dan meludah. Mereka mengambil tempat di sebelah hulu,
yang sejak tadi dikosongkan. Tempat mereka lebih tinggi dari
yang lain. Di tangan kiri Raja Panggonggom, tergenggam
sebilah pisau yang ujungnya berlumur darah merah. Sebelum
duduk, lebih dahulu dia menancapkan tungkotpanaluan ke
tanah. Semua mata diarahkan padanya berusaha mengikuti
gerak-geriknya. Kuping sudah, siap mendengar yang hendak
diucapkannya.
Setelah mengangkat tangan kanan, dia mengaju tanya,
"Apakah sudah semua lelaki hadir di sini?"
Setiap suku kata ditekankan kuat-kuat. Suaranya yang
beruntum keluar dengan cepat, pewarta bahwa dia sedang
marah. Matanya merah nyala. Sedang dari kejauhan, tetap
kedengaran sesayup sampai ratap perempuan, yang meratap
kan kepiluan hati, hati yang berduka. Ratap inilah yang.
membuat wajah para lelaki itu bermuraman, muram
mengandung marah yang menuntut dibalaskan. Cepat saja
diketahui bahwa tidak seorang pun perempuan hadir di antara
para lelaki yang mengitari unggun api itu.
"Sudah semua," sahut seseorang, yang langsung berdiri
dari duduknya, kepalanya memakai bolatan warna hitan,
tangannya menggenggam tombak berukirkan kepala manusia,
tapi tidak berhiaskan rambut, pertanda dia panglima marga
atau hulubalang marga.
"Apakah sudah berkumpul semua pemuda di sini?"
tanyanya pula melanjut.
"Belum," sahut seseorang, yang juga memakai bolatan
warna hitam, dan menggenggam sebuah tombak, tapi
bolatannya lebih kecil dari orang pertama. Pertanda dia,
hulubalang muda.
"Siapa yang belum hadir?" tanya raja.
"Si Ronggur."
"Si Ronggur belum hadir? Ke mana dia pergi?"
Tidak ada yang menyahut. Raja Panggonggom lalu
mengatakan, "Ayoh, pergilah salah seorang dari kamu
memanggilnya. Apakah harus aku yang pergi memanggilnya?"
Hulubalang Muda cepat berdiri. Terus pergi melaksanakan
perintah. Dia berlari dengan langkah yang panjang dan cepat.
Kembali Raja Panggonggom duduk. Tongkat panaluan,
pusaka nenek moyang turun-temurun dielusnya seketika.
Tubuhnya yang sudah tua itu masih membayangkan bekas
bentuk tubuh yang tegap di masa muda, disaputi kulit hitam
yang cukup matang. Wajahnya yang berkerut-kerut,
keningnya yang lebar, dan sinar matanya masih tetap
bercahaya, bernadakan kepercayaan akan diri sendiri.
Para lelaki yang duduk di sampingnya, juga sudah agak
tua. Di hadapannya, para lelaki yang masih muda, punya otot
tubuh yang tegap dan masih berada di puncak kekuatan.
Walau ada di antara mereka yang agak kecil, namun garis di
wajahnya, ototnya, kulitnya yang hitam, segumpal daging
yang dapat dipercaya kesehatan dan kekuatan yang
terkandung di dalamnya. Sedang para pemuda, yang
tubuhnya setiap hari masih terus membentuk sebuah tubuh
yang wajar, dan dari wajahnya memancar kebeningan tapi
bercampur-baur dengan kematangan, sesuatu pertanda
ketangkasan.
Sambil duduk, Raja Panggonggom menggerutu, "Kita harus
menunggu anak itu lagi."
Tidak seorang pun yang berani menambahi cakapnya. Tapi,
wajah Raja Nabegu, yang duduk sejajar dengannya, menjadi
merah padam, seperti merasakan sesuatu kesalahan, kenapa
Ronggur tidak bisa hadir sebelum golongan raja hadir di sana.
Dari jauh kelihatan dua orang pemuda mendekat.
"Apakah kau tidak mendengar gong dipalu? Apakah kau
tidak mengetahui, apa arti gong yang dipalu dengan pukulan
satu-satu? Apakah kau harus diajar untuk mendengar dan
mengartikannya lagi? Bukankah kau sudah diajari Raja
Nabegu?" tanya Raja Panggonggom cepat, ma-nyambut
kehadiran mereka.
"Aku dapat mendengar dan mengartikannya, Paduka Raja,"
jawab pemuda itu.
"Kenapa kau tidak terus mematuhi panggilan? Kenapa kau
melalaikannya? Apakah tubuhmu itu tidak dialiri darah merah
yang diwariskan Almarhum ayahmu lagi?"
"Masih, Paduka Raja."
"Tahukah kau bahwa ayahmu tidak pernah mengabaikan
panggilan gong pusaka ini? Terlebih bila gong dipalu satu-
satu? Ataukah dengan sengaja kau melambatkan
kedatanganmu karena kau bukan seorang lelaki? Jawab
pertanyaanku dengan jujur. Supaya para arwah nenek
moyang dan dewata tidak marah."
"Paduka Raja, dalam tubuhku mengalir darah yang
diwariskan ayahanda almarhum. Kupingku mendengarkan
suara gong pusaka, malah langsung membakar semangatku."
"Kalau begitu, kenapa kau terlambat datang? Atau, kau
memang sengaja mengabaikan panggilannya?"
"Aku tidak mengabaikannya, Paduka Raja. Tapi, aku
sedang memikirkan, bagaimana aku harus melaksanakan
perintah yang akan ditugaskan padaku. Dan apa yang harus
kuucapkan dalam pertemuan ini, bila saat musyawarah
diadakan."
"Nah, kalau begitu dengar dulu kataku."
Raja Panggonggom menebarkan pandang ke sekitar.
Menatap wajah demi wajah dengan pandang tajam, lalu,
"Semua lelaki yang ada di hadapanku, yang pada tiap
tubuhmu mengalir darah merah warisan nenek moyang,
merahnya, api semangat yang tidak boleh dipadamkan.
Barulah kau dapat dikatakan seorang lelaki yang menghormati
nama baik nenek moyangmu, nama baik rajamu, nama baik
kampung, margamu, dan marga kita. Dan, barulah pula kau
wajar dihormati sebagai seorang lelaki."
Orang terdiam mendengarkan. Pada tiap wajah makin jelas
kelihatan pancaran sesuatu cahaya yang tidak mau
dipadamkan. Mata tiap orang menjadi merah dan gusar.
Tubuh mereka berkeringat olehnya. Otot yang tegap itu
menjadi mengencang, dibakar perasaan dalam hati.
"Pada tangan sebelah kiriku," lanjut Raja Panggonggom,
"tergenggam sebilah pisau, yang tadi pagi sengaja ditusukkan
orang, orang dari marga lain, ke dada salah seorang dari
antara kamu, dari antara kita, sehingga dia meninggal.
Mayatnya sekarang terlentang kaku di Sopo Bolon. Sekitar
mayatnya duduk melingkar para perempuan. Meratap
berkepanjangan. Tentu kamu turut mendengar ratap mereka,
ratap yang menangiskan sebuah perpisahan, perpisahan yang
timbul karena perbuatan orang lain. Para perempuan itu
berduka. Tapi, bagi kita para lelaki, tidak saja kepiluan
mendatangi diri. Yang menekan hati, lebih berat mendatang
dari penghinaan yang dengan sengaja diarahkan marga lain
yang membunuh Ama ni Boltung itu. Penghinaan yang harus
ditantang dengan sikap jantan, dengan darah merah yang
memancarkan cahaya semangat yang tak akan padam pada
tiap wajah kita. Ketahuilah, ratap para perempuan itu, sesuatu
yang mengharapkan penuntutan balas. Kita terkutuk, bila kita
tidak menuntut balas. Dan, kita tidak berhak lagi disebut dan
dihormati sebagai lelaki, bila penghinaan yang sangat nista ini
kita terima begitu saja."
Suara mendengung pada kelompok yang ada di depan raja.
Berakhir dengan meledaknya ucapan, "Perintahkan dengan
cepat, apa yang harus kami perbuat. Sebuah penghinaan
harus segera dilenyapkan. Supaya orang lain tidak berani
mengulanginya terhadap marga kita!"
"Ya, memang untuk itu kita berkumpul malam ini."
Ronggur berdiri. Matanya dilayangkan pada kelompok
pemuda, kemudian pada kelompok para lelaki. Lalu tertumpu
akhirnya ke tempat para raja.
"Ada yang hendak kau katakan?" tanya Raja
Panggonggom.
"Ya. Kalau paduka raja mengijinkan aku berbicara,"
suaranya tegas dan pasti. Kuat meledak. "Bicaralah____"
"Paduka Raja, dapatkah Paduka Raja menceritakan pada
kami, kenapa marga lain itu menancapkan ujung pisaunya ke
dada Ama ni Boltung?"
"Pisau itu mereka tancapkan ke dada Ama ni Boltung,
karena persoalan pembagian air yang harus dialirkan ke
sawah. Juga karena pertengkaran mengenai perbatasan
sawah. Yang menyerang Ama ni Boltung, tidak seorang saja.
Tidak kurang dari lima orang ma lah. Mereka menyerang
sekaligus, hingga Ama ni Boltung yang sudah kita kenal
keberanian dan ketangkasannya berkelahi, rubuh ke atas
tanah. Tapi, janganlah kita beranggapan bahwa Ama ni
Boltung terlalu lalai menghadapi musuhnya. Dia masih sempat
membawa korban. Tidak kurang dari dua orang yang
menyerang dirubuhkannya, dicabutnya nyawa mereka dengan
ujung pisau. Dan, seorang lagi luka pada tangannya.
Arwahnya tentu ditempatkan para dewata di tempat para
hulubalang perkasa, tempat terhormat."
"Kuhormati kepahlawanan Ama ni Boltung," sahut Ronggur,
"tapi yang paling perlu kita pikirkan sekarang, mula atau
sebab timbulnya perkelahian itu. Dari keterangan Paduka
Raja, dapatlah diketahui bahwa soalnya timbul karena
pembagian air dan perbatasan sawah. Soal yang sudah terlalu
sering menimbulkan pertengkaran, yang sudah terlalu sering
mengakibatkan pecahnya perang antara satu marga dengan
marga lain, antara satu lu hak dengan luhak lain. Yang
menjadi pokok persoalan sekarang menurut pendapatku,
hendaknya kita menelaah, kenapa persoalan begitu rupa
tambah sering kita hadapi. Tambah sering mengganggu
ketenteraman hidup? Mengganggu kerukunan hidup di pantai
Danau Toba ini?" Semua terdiam. Juga raja.
Ronggur melanjutkan, "Soalnya, karena semakin sempitnya
tanah yang dapat kita garap. Tadi siang, aku jalan-jalan
sampai ke kaki bukit, yang tanahnya bercampur batu. Sudah
sampai ke sana perluasan sawah. Tanah batu yang cukup
keras itu mereka pecahkan dengan cangkul yang diayunkan
kedua tangan mereka. Mereka melinggis pinggiran gunung
batu, membangun sebuah parit saluran air. Lihatlah, betapa
sungguhnya tiap orang dan marga yang ada di sekitar danau
ini mempertahankan hidupnya. Mereka orang yang berani
hidup. Y ang taat melaksanakan pesan nenek moyang masing-
masing, melanjutkan hidup keluarga dan marga."
"Cukup," kata raja, "kami juga sudah mengetahui itu. Kami
juga turut bekerja. Tangan kami juga turut lecet karena
mengayun pacul ke tanah berbatu. Keringat kami juga turut
membasahi tanah batu, supaya batu menjadi lumat agar bisa
menghasilkan padi."
"Paduka Raja," kata Ronggur pula tak mau henti, "jadi, soal
sebenarnya sudah kita ketahui. Tanah yang dapat kita
kerjakan masih tanah yang dulu juga. Tidak bertambah luas.
Tapi, tiap suku tambah berkembang biak. Berarti, tambah
banyak mulut yang harus diberi makan dari hasil tanah yang
itu juga. Ini sudah terang menambah kesulitan hidup. Karena
itulah, setiap orang menggunakan akal licik untuk memperoleh
setapak tanah. Orang tambah berebut pada air parit yang
dangkal agar sawahnya lebih dan dapat lebih banyak
menghasilkan padi. Inilah mula persoalan! Harus awal soal ini
yang diatasi agar hal yang bisa menimbulkan perkelahian dan
peperangan yang menumbuhkan luka dan duka di tiap hati
dapat dihilangkan."
"Apa maksudmu?" tanya Raja Panggonggom.
"Kita harus mencari - ya, mencari daerah baru tempat
perluasan marga."
Dengungan suara pun bangkit di tengah orang banyak.
"Usulmu memang bagus," sahut Raja Panggonggom
mengatasi dengung suara itu. "Tapi, ke mana kita harus
mencari tanah garapan baru? Sekitar kita, melingkar gunung
batu yang tandus lagi tinggi. Kita tidak tahu, berakhir di mana
gunung ini. Kita tidak dapat tahu, apakah masih ada tanah
datar di seberang pegunungan ini. Pegunungan ini berlapis-
lapis, pagar alam yang sengaja dibuat para dewata, supaya
kita tidak melintasi dan melewatinya. T iap puncak dijaga para
dewata, yang menjelma menjadi binatang buas. Penjaga ini
tidak senang pada orang yang berani melintas di sana, karena
mengganggu ketenteraman para dewata yang tidak tampak
oleh mata kita. Binatang buas akan membunuh tiap orang
tanpa ampun. Siapa yang mau membunuh diri dengan
pekerjaan sia-sia itu? Karena itu, bagaimanapun, kita harus
mempertahankan tiap jengkal dan tiap tapak tanah yang kita
pusakai dan kuasai. Dan, harus berusaha pula meluaskannya.
Caranya terserah pada kekuatan kita. Habis perkara."
Ronggur tidak langsung menyahut, namun sinar wajahnya
masih tetap memancarkan sikap keyakinan. Lebih dulu
ditatapinya wajah para raja, kemudian wajah para lelaki,
beralih pula pada wajah pemuda sebayanya. Lalu katanya
dengan suara perlahan tapi pasti: "Menurut cerita nenek
moyang, yang dituliskan pada pustaka, setiap sungai akan
bermuara ke tanah landai. Karena itu, kita akan mengikuti
sungai."
"Sungai mana?" cepat Raja Panggonggom memotong.
"Sungai Titian Dewata, yang bermula dari salah satu teluk
danau."
Dengung suara bangkit di tengah kelompok lebih gemuruh
dari tadi. Wajah Raja Panggonggom memancarkan sinar
kemarahan, apalagi orang tua yang duduk di belakangnya
yang menyandang kulit kera yang sudah dikeringkan. Dan,
yang juga sejak tadi terus-menerus mengunyah sirih. Sambil
meludah merasa jijik atas ucapan Ronggur, dikenal bernama
Datu Bolon Gelar Guru Marla-sak. Setiap orang jadi
merasakan, telah dipermainkan Ronggur. Tapi, Datu Bolon itu
lebih merasakan, Ronggur sudah memancing kemarahan para
dewata. Kutuk dewata akan tiba.
Tapi, dengan sikap bijaksana yang melekat pada Raja
Panggonggom, dia dapat mengatasi luapan marahnya, lalu
mengatakan:
"Ronggur, kau masih terlalu muda, Anakku! Sungai Titian
Dewata itu lain dari sungai biasa. Sungai Titian Dewata,
berakhir di ujung dunia. Sengaja diciptakan dewata untuk
Titian Para Dewata menuju matahari, tempat Mula Jadi Na
Bolon bersemayam. Jadi, kita tidak dapat mengikuti Sungai
Titian Dewata bila hendak mencapai tanah landai. Sungai
Titian Dewata, jalan arwah kita kelak ke dunia lain, ke hidup
lain, di mana para dewata dan arwah nenek moyang
bersemayam di sekita/ Mula Jadi Na Bolon. Tempat terhormat.
Hendaknya, semua rakyatku, tiba ke sana, agar hidupnya di
dunia lain itu berbahagia."
Sikap Ronggur masih mau berbicara lagi. Tapi, Raja
Panggonggom memberi isarat, agar dia duduk. Tidak memberi
kesempatan bicara lagi. Orang tambah merasa dipermainkan
Ronggur. Karena perintah itu, Ronggur harus duduk,
memendam semua yang ada di dalam hati. Gong sudah tidak
dipalu orang lagi sehingga ratap perempuan dari Sopo Bolo
tambah jelas kedengaran.
Raja Panggonggom kembali berbicara, "Kita tadi dengan
sengaja telah membuka satu percakapan yang cukup panjang.
Tapi, percakapan itu tidak langsung penyebab kita kumpul di
sini, saat ini. Lihat, pisau yang tergenggam di tangan kiriku ini.
Darah Ama ni Boltung masih melekat di sini, masih basah
malah. Alangkah sia-sia, suatu kemurtadan, kalau kita tidak
menuntut balas, kalau kita tidak menghapus corengan arang
yang di buat orang di wajah marga kita. Karena kita tidak mau
disebut orang murtad, orang yang dikutuk arwah nenek
moyang, terutama pula setelah suruhan kita diusir oleh marga
yang membunuh Ama ni Boltung itu, sidang kerajaan hari ini
memutuskan: mengumumkan perang dengan marga yang
membunuh Ama ni Boltung!"
"Huraa . . . .!" para lelaki dan pemuda bertempik sorak
menyambut putusan raja, sehingga suara ratap perempuan
tenggelam.
"Apakah seluruh rakyatku, seluruh hulubalangku, dapat
menerima dan mendukung putusan ini?"
"Kami akan laksanakan dengan gigih," jawab serentak.
Setelah Raja Panggonggom duduk, Raja Nabegu berdiri.
Wajahnya lebih tegas dan ganas dari Raja Panggonggom.
Sewaktu dia berbicara, wajahnya menjadi merah dan matanya
menyinarkan cahaya marah yang tidak terpadam-kan.
Suaranya deras mengalir dan mengguntur:
"Para hulubalang, pendukung kehormatan marga. Padamu
sekarang terletak tugas untuk menghapus corengan arang dari
wajah kita masing-masing. Tunjukkanlah kebe-ranianmu,
tunjukkanlah kehulubalanganmu. Rapat kerajaan hari ini, Raja
Partahi, Raja Namora, dan Raja Ni Huta, akan membantu para
hulubalang marga dari bidang masing-masing. Janganlah sia-
siakan segala bantuan ini! Jadi, mulai ma lam ini, diumumkan
awal peperangan dengan marga yang sangat angkuh itu.
Tangkaplah mereka di mana saja berjumpa. Bunuh kalau
melawan. Musnahkan kampungnya, rampas, lalu jadikan
kampung perluasan bagi marga kita! Tawan rajanya! Jadikan
budak setiap keturunannya . . . .!" Kelompok kembali
bersorak.
"Para perempuan." kata Raja Nabegu selanjutnya, "setelah
mengebumikan mayat Ama ni Boltung besok pagi, akan
dikerahkan Raja Ni Huta menyediakan batu sungai peluru
ambalangmu. Raja Namora, akan menyediakan makanan
bagimu. Raja Partahi, akan menyediakan alat peperangan
untukmu. Sedang Raja ni Huta, dari kampung sekitar,
kampung yang didiami marga kita juga sebagai kampung
perluasan, sebentar lagi akan berkumpul di sini. Mereka
sekarang sedang menyiapkan segala sesuatu mengumpulkan
pasukan untuk membantu kita. Mereka, adik-adik kita yang
setia."
Kelompok kembali bersorak dan bertepuk tangan.
"Ada di antara kalian yang tidak setuju dengan perintah ini,
dengan putusan sidang kerajaan ini?"
Tidak ada sahutan. Ronggur menundukkan kepala. Pada
bayang pandangnya, sudah tergambar darah merah basah
menetes dari tiap tubuh, beberapa mayat bergelimpangan di
tanah.
"Kau Ronggur!" tegur Raja Nagebu, "masihkah kau seorang
pemuda?"
"Seperti tampak Paduka Tuan."
"Kalau kau pemuda, tentu kau akan melaksanakan tugas
pemuda."
"Ya. Walaupun usulku ditolak, sebagai pemuda marga, aku
akan turut melaksanakan tugas. Apa sekalipun!"
"Bagus, bagus, asahlah kapakmu! Tajamkan mata
tombakmu! Perkuat tali ambalangmu. Perbaiki perisaimu!"
Lalu, dia kembali duduk.
Raja Panggonggom kembali berdiri. Menatap bala tentara
yang sudah penuh semangat. Raja Partahi dan Raja Namora
sudah menyisih dari khalayak ramai. Pergi menyembelih
beberapa ekor babi dan mengeluarkan alat perang dari tempat
simpanan. Sedang Raja Ni Huta telah menyediakan peralatan
gondang, lengkap dengan pemain. Raja Panggonggom lalu
mengatakan:
"Bapa Paru Bolon Gelar Guru Marlasak. Tenunglah dengan
kekuatan batinmu! Panggillah para arwah nenek moyang
melalui kekuatan sihirmu agar mereka membantu kita dalam
peperangan. Panggillah para dewata agar memberkati seluruh
laskar kita. Supaya kita berada di pihak yang menang, bisa
mengalahkan musuh, dan supaya semangat terus mengapi
tanpa mau padam sebelum musuh ditundukkan, dijadikan
budak belian."
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak berdiri. Maju ke tengah
khalayak dan di sana membuka parhalaan. Kemudian
bersemadi entah beberapa lama, duduk bersila di atas tanah.
Kemudian, ludahnya yang merah karena mengunyah sirih,
disemburkan ke sekitar. Kemudian membaca jampi-jampi,
mulutnya bergerak-gerak.
Di saat itu, Raja Partahi, Raja Namora, dan Raja Ni Huta,
telah kembali duduk di tempat semula.
Setelah memberikan tanda, mulai berdiri, Datu Bolon
meneriakkan dengan suaranya parau:
mahluk halus penjaga rumah,
mahluk halus penjaga tanah
yang tidak dapat dilihat mata
semangat poyang tujuh keturunan
kupanggil kau, datanglah bersama kami
bapak pargaul pargonci,
palulah gondang somba-somba
Gondang pun dipalu, gondang somba-somba. Orang pada
berdiri, bersiap-siap mau manortor. Di belakang Datu Bolon,
tempat kerajaan baru khalayak ramai. Kepala mereka
menunduk-nunduk, memberi hormat pada arwah halus yang
tadi dipanggil, Datu Bolon menemani mereka membasmi
musuh. Tangan yang dua, dirapatkan dikening, bersujud.
Habis itu, Datu Bolon meminta agar dimainkan pula
gondang Mula jadi na Bolon sebagai penghormatan yang
mutlak terhadap pencipta asal kehidupan dan yang kepadanya
akan kembali segala yang hidup. Cepat pula diiringi Gondang
Bataraguru, agar Dewata Bataraguru memberi kekuatan jiwa
bagi mereka dalam menghadapi musuh, kekuatan jiwa dalam
menghadapi saat yang genting, sehingga mereka tidak
mengenal menyerah. Lalu menyusul Gondang Balabulan, agar
Dewata Balabulan, memurkai dan mengutuk musuh.
Melumpuhkan semangat musuh agar tidak berani menghadapi
laskar mereka. Lalu Gondang Debata Sori mengikutinya agar
dewata Sori memberi kebijaksanaan bagi para hulubalang
dalam menyusun strategi perang. Dan, memberi keselamatan
bagi mereka semua. Habis itu, menyusul Gondang Habo-
naran, yaitu yang menunjukkan bahwa mereka memang
berada di pihak yang benar. Setiap yang berpihak pada
kebenaran, pasti akan menang. Gondang Sitio-tio, memohon
pada seluruh dewata, agar merahmati mereka, baik dalam
pertempuran, begitu pula untuk selanjutnya. Sebagai penutup,
dima inkan Gondang Husahatan, supaya tiba ke tempat yang
dicitakan, sampai kepada kemenangan akhir.
Datu Bolon mengakhiri tortor itu dengan menjampikan
pantun kemenangan:
Mendaratlah perahu meniti ombak ketanah landai
berangkat kita ke medan perang pantang pulang sebelum
menang Semua, baik kerajaan, begitu pula para hulubalang,
dan laskar menyambut dengan sorak-sorai dan gemuruh.
Orang kembali duduk ke tempat masing-masing. Tapi, Datu
Bolon masih di tengah lingkaran, kemudian mengatakan,
"Bawalah ke mari seekor ayam jantan putih yang sudah
bertaji."
Raja Ni Huta cepat memberikan yang diminta Datu Bolon.
Datu Bolon langsung menjampi ayam itu. Kemudian,
dipulasnya leher itu, sehingga menitikkan darah. Cepat-cepat
dia mendekati kelompok kerajaan, lalu menyuruh mereka
mereguk darah ayam yang masih mentah itu, langsung dari
leher ayam yang dipulasnya. Kembali sorak-sorai.
Bangkai ayam diletakkan di tengah kelompok. Kembali dia
bersemadi, entah berapa lama. Dalam saat begitu, gondang
dipalu orang perlahan-lahan, hampir tidak kedengaran. Di saat
begitu ratap perempuan dari Sopo Bolon kembali terdengar.
Meratapi mayat Ama ni Boltung.
Seperti tidak tersangkakan, Datu Bolon meloncat dari
jongkoknya sambil berteriak dan memekik. Kemudian berdiri
tegak lurus, lalu mengatakan:
"Besok pagi bila fajar pertama terbit, serbulah musuh.
Seranglah mereka dari segala arah. Desak mereka sampai ke
tepi kampung induk marganya. Kamu bisa menerobos
pertahanan kampung induknya dari arah timur. Di sana bambu
duri pagar desa, masih muda. Kamu bisa menyusup dari sana
ke tengah kampung tanpa dihalangi duri bambu yang rapat
dan keras. Kucar-kacirkanlah mereka! Tawan setiap lelakinya
yang masih hidup! Begitu pula para perempuan, jadikanlah
budak belian. Bunuh kalau melawan atau berusaha melarikan
diri!" Orang kembali bertempik sorak.
Ayam jantan putih tadi, mereka bakar langsung dengan
bulunya sekali ke dalam api unggun. Di saat dagingnya belum
masak benar, Datu Bolon telah membagikannya pada
golongan raja, sebagai wakil para dewata memakan daging
sembahan.
Pada tengah malam, Raja Ni Huta dari kampung sekitar
yang masuk pangkat adik, lengkap dengan pasukan, telah tiba
di sana. Raja Panggonggom menyambut mereka, dengan
basa-basi kerajaan.
Raja Ni Huta yang pangkat adik itu, kemudian melaporkan
bahwa mereka sudah siap sedia melaksanakan perinlah dan
pangkat abang mereka. Lalu mereka mengambil tempat. Para
laskarnya bersatu dengan laskar yang sejak tadi ada di sana.
Raja Ni Huta yang tujuh orang itu, yang berarti ada tujuh
kampung lagi masuk lingkungan kerajaan marga itu, duduk
dekat raja, di tengah lingkaran. Setiap Raja Ni Huta pangkat
adik itu, memakai bolatan juga, tapi warna putihnya lebih kecil
dari Raja Ni Huta yang berdiam di induk kampung marga.
Lalu, kedengaran Raja Panggonggom berkata:
Rotan ras rotan singorong mengikat keutuhan marga
bersatu raja dan hulubalang menjunjung martabat marga Raja
Ni Huta yang tertua menyahut: Berbaris kami seperti gajah di
hutan balantara perintah raja menjadi suluh kami abdi abadi '.
Raja Panggonggom melanjutkan:
Tujuh sisiku
menghadap tiap penjuru
indah mimpiku
hulubalang perkasa punyaku
Khalayak ramai serentak menyahut:
Kami genggam tombak
tombak pusaka godang
bila raja bersama khalayak
bahagia rakyatnya
Lalu gondang pun kembali dipalu. Raja Ni Huta yang tujuh
orang itu manortor bersama, yang diiringi oleh seluruh rakyat
yang mereka bawa. Tortor yang menunjukkan kesetiaan. Lalu,
Raja Panggonggom turun dari tempatnya, menyelempangkan
ulos-batak ke tiap pundak Raja Ni Huta yang tujuh itu.
Pertemuan itu tidak bubar sampai pagi hari. Mereka terus
margondang dan terus manortor. Para hulubalang, bersama
Raja Nagebu, telah selesai menyusun strategi dan taktik
peperangan sesuai dengan petunjuk Datu Bolon. Tuak dan
daging babi terus dihidangkan sampai hampir setiap orang
sempoyongan. Dalam bergembira itu, terlupa terjun besok
pagi ke kancah pertempuran.
Ronggur selalu menyisih dan meminum tuak seperlunya
saja, menghalau dingin dari tubuh sehingga keseimbangan
pikirannya tetap terpelihara. Dia melihat orang yang sedang
menari, orang yang sedang bernyanyi, orang yang sedang
dibius semangat, untuk memasuki nasib yang tidak terduga.
Dia tahu pasti, beberapa orang di antara mereka akan jatuh
menjadi korban dalam peperangan. Mati! Semua bayangan
kemungkinan ini mempengaruhi pikiran dan perasaannya.
Tapi, semua itu harus ditekan. Dia harus turut, malah
menjunjung putusan kerajaan. Usulnya ditolak! Tapi,
semangat usul itu tetap berakar dalam hati.
Bersama terbitnya fajar pagi yang memancar dari balik
puncak Dolok Simanuk-manuk, para lelaki yang marah itu,
yang sudah dibius semangat itu, bergerak menuju sasaran,
memusnahkan musuh. Sambil bertempik dan bersorak. Di
depan sekali berjalan para hulubalang. Kemudian kerajaan. Di
sayap kanan dan kiri para laskar. Mengisi seluruh lapangan
terbuka, yang punya tanah tipis dan di bawahnya batu alam
yang keras. Kemudian menurun ke sawah yang baru dibajak.
Mereka dihadang musuh pada sebuah sungai kecil. Pasukan
dari marga lain itu, juga membawa senjata seperti yang
mereka bawa. Jarak antara kedua pasukan itu dipisah sebuah
sungai kecil yang airnya dangkal. Kerajaan dari marga lain itu,
turut bersama laskarnya. Tak ubah seperti kerajaan marga
mereka sendiri. Lengkap dengan Datu Bolonnya. Manusia di
seberang kali sana pun bertempik sorak. Mengacung-
acungkan senjata tajam. Wajah manusia itu tak ubah seperti
wajah mereka sendiri, marah, mendendam.
Batu yang dilemparkan ambalang, berterbangan di udara.
Kemudian jatuh mencari sasaran, kepala manusia. Dari segala
arah kedengaran pekik dan jeritan, hardik dan hasutan.
Bercampur baur dengan udara yang terik. Seolah matahari
mau membakar setiap tubuh manusia dan bumi. Debu
mengepul ke udara di tempat kering. Lumpur berhamburan
lalu mengotori wajah manusia di tempat basah. Tempik dan
sorak, pekik, hardik, dan hasutan terus menerus bergema.
Pasukan kedua marga yang sedang marah itu, sorong-
menyorong. Tidak ada yang mau kalah. Jarak antara
keduanya bertambah dekat. Ambalang tidak digunakan lagi.
Langsung tombak, panggada, dan kampak dipukulkan dan
ditangkis perisai. Siapa yang jatuh, jatuh tersungkur tanpa
diperdulikan, malah menimbulkan kegembiraan bagi orang
yang dapat merubuhkannya. Kedua pasukan marga itu sudah
sama-sama terjun ke dalam sungai. Di sana mereka
bersicucukan, bersihantaman, dan bersipu-kulan dengan
segala macam taktik dan cara. Matahari terus bersinar terik.
Pasukan kedua marga itu sama banyak, sama kuat, dan sama
berani.
Sehari itu keadaan pertempuran tidak berobah. Beberapa
orang yang luka di bawa ke garis belakang oleh para
perempuan. Beberapa-orang yang mati dibawa ke garis
belakang juga, tapi tidak sempat ditangisi. Anak-anak pun
sudah turut serta. Mengumpulkan batu, yang segera diberikan
pada para lelaki pemegang ambalang. Tapi, batu itu tidak
sempat lagi dilemparkan dengan ambalang, langsung
dilemparkan tangan. Dan terkadang tidak jarang, anak itu
turut terjun ke tengah pertempuran untuk memukul atau
dipukul.
Bila senja tiba, kedua pasukan marga itu saling
meninggalkan daerah pertempuran. Mereka disambut gendang
dan tortor para orang tua, para perempuan, para gadis di
induk kampung. Daging babi, tuak, terus diedarkan membakar
semangat bertempur. Datu Bolon terus-menerus menjampi.
Lalu, memberi nasihat baru.
Dan, bila fajar terbit lagi, mereka kembali terjun ke daerah
pertempuran. Di tengahnya, Ronggur mengamuk ke kiri dan
ke kanan. Ronggur bersama beberapa pemuda menyusup ke
depan, berusaha mengkucar-kacirkan daerah musuh. Susupan
mereka ini cepat diikuti gelombang kedua, ketiga, dan
keempat, yang membuat pertahanan musuh tembus. Musuh
kelabakan. Tapi, yang hendak dikucar-kacirkan itu, tidak mau
menyerah begitu saja. Mereka juga mengadakan perbaikan
pada pertahanannya dengan cepat. Lalu mengadakan pukulan
balasan. T api, pasukan marga Ronggur mengadakan desakan
yang terus-menerus, bertubi-tubi, sehingga garis pertahanan
musuh mulai dipukul mundur. Sampai akhirnya mendekat ke
kampung musuh.
Malam itu pasukan marga Ronggur tidak kembali ke induk
kampung. Mereka terus mengepung induk kampung musuh.
Pagi berikutnya pasukan marga Ronggur menyerbu induk
kampung musuh dari sebelah timur, seperti yang dinasihatkan
Datu Bolon. Melalui bambu duri yang masih muda, mereka
menerjang ke tengah kampung, dengan pekikan yang
melengking.
Dengan segala tenaga yang ada, marga yang diserbu itu
mengadakan perlawanan. Ikut sudah para perempuan, baik
yang tua begitu pula yang masih gadis. Tampaknya tidak akan
habis perlawanan itu sebelum mereka mati semua. Mampus
semua.
Dari tempat ketinggian, sekali waktu Ronggur melihat, anak
gadis Raja Nabegu kampung yang mereka serbu, turut
mengadakan perlawanan. Rambutnya yang panjang terurai
lepas. Dibasahi oleh keringat. Dilihat biji mata Ronggur sendiri,
sudah ada dua tiga orang pasukan marganya ditumbangkan
anak gadis itu. Dengan satu loncatan jarak jauh, Ronggur
sudah berada di hadapan perempuan itu. Mata perempuan itu
memancarkan sinar merah, mengapi, hendak menelan
Ronggur bulat-bulat. Perempuan itu memukulkan penggada ke
arah Ronggur. Tapi, Ronggur mengelak dengan melompat,
dan peng-gadanya sendiri mengenai tengkuk perempuan itu
sampai jatuh ke tanah. Dalam hati Ronggur berucap
“Sungguh perempuan pemberani!"
Juga, sekali waktu menumbangkan seseorang yang sedang
membidikkan tombaknya ke arah Raja Panggonggom
marganya. Sewaktu Raja Panggonggom dan pengawalnya ke
arah lain. Cepat Ronggur menyergap orang itu. Tapi,
tangannya sendiri, lengannya, luka. Namun musuhnya dapat
ditumbangkannya dengan menghantamkan penggada ke
kepala musuh. Otak meleleh dari luka. Raja Panggonggom
melihat ini semua.
Luka di lengannya cepat dibalut Ronggur. Lalu terjun lagi
ke tengah pertempuran yang dahsyat itu.
Asap pun mulai mengepul. Rumah sudah mulai dibakar.
Padi dari lumbung desa diangkut, juga harta rampasan
perang. Para lelaki yang belum mati, begitu pula para
perempuan yang belum mati, ditawan. Untuk dijadikan budak
belian. Yang sampai keturunannya kelak akan tetap dan tidak
bisa terangkat dari martabat budak. Tidak akan berhak lagi
mengadakan pekerjaan adat. Harus patuh setiap saat
mengerjakan apa saja yang diperintahkan tuannya.
Kampung berdekatan dengan induk kampung itu sudah
dibakar. Perang sudah berakhir. Kekalahan dipihak marga
yang diserbu. Para rakyatnya yang masih hidup sudah
ditawan, dirantai.
Ronggur teringat pada perempuan yang ditumbangkannya.
Cepat dia menuju ke sana. Keringat melelehi seluruh
tubuhnya. Entah kenapa hatinya mengharapkan agar
pukulannya hendaknya tidak terlalu keras. Dia mengharapkan,
hendaknya perempuan itu masih hidup. Dia mau
menawannya.
Merasa bersyukur dia, perempuan itu masih merintih. Cepat
dia mengambil air lalu diusapnya wajah perempuan itu dengan
air. Kemudian diberinya minum. Didengarnya suara gadis itu
perlahan mengatakan:
"Aku harus bersama kalian, hai lelaki margaku.
Pertahankan martabat marga kita. Sampai mati!"
Ronggur tersenyum mendengar rintihan itu. Dia dapat
menghargai keberanian dan semangat perlawanan yang
dipunyai perempuan itu.
Matahari sore dengan lembut memancarkan sinar, seperti
sudah turut lesu menyaksikan peperangan yang baru saja
berakhir dan banyak menimbulkan korban. Menjadi sumber
rintihan, air mata, dan dendam. Dengan pekik kemenangan
pasukan laskar marga Ronggur menuju pulang ke induk
perkampungan. Sambil melangkah mereka lagukan nyanyi
kemenangan. Tangan menarik para tawanan. Sebagian
disuruh mengangkut harta rampasan.
Nanti akan dibagi-bagikan pada tiap keluarga, terutama
pada keluarga yang suaminya atau anak lelakinya jatuh
sebagai pahlawan di medan laga. Lebihnya akan dimasukkan
ke dalam lumbung desa.
Ronggur menarik tali yang mengikat perempuan yang
ditawannya. Perempuan itu selalu meronta dan ingin
melepaskan diri. Ronggur tersenyum saja dan terus menarik
tali dengan tabah.
Di gerbang kampung, para perempuan, lelaki yang sudah
tua, dan lelaki yang luka menyambut mereka. Begitu pula
anak-anak yang masih digendong, disuruh ibunya
melambaikan tangan ke arah ayah, abang mereka yang
pulang dari peperangan sebagai pemenang. Sedang para
perempuan yang tidak dikunjungi suaminya lagi, tidak
dikunjungi anak lelakinya lagi, karena mati dalam
pertempuran, pergi bersama ke Sopo Bolon mengasingkan diri
dari orang yang sedang bergembira. Di sana mereka meratap
dengan lemah. Diusahakan agar tidak mengganggu
kegembiraan para pahlawan yang menang perang. Agar tidak
mengotori rasa gembira pada Mula Jadi Na Bolon dan seluruh
para dewata serta arwah nenek moyang, karena mereka telah
dipilihnya menjadi pemenang, yang dengan sendirinya
mengangkat martabat marga dan raja mereka. Sendirinya pula
daerah taklukan mereka bertambah luas. Kampung marga
yang mereka kalahkan, akan dijadikan kampung perluasan
bagi marga mereka. Sawahnya akan diambil dan dibagi-
bagikan.
Upacara kemenangan pun diadakan. .Beberapa ekor babi
dipotong lagi dan darahnya diminum bersama. Gondang dipalu
dan tortor kemenangan ditarikan orang bersama-sama.
Sebagai penutup upacara Raja Panggonggom mengucapkan
terima kasih pada seluruh laskarnya. Baik yang sudah mati
begitu pula pada yang masih hidup. Harta rampasan dibagi.
Tanah persawahan rampasan juga ditentukan jatuh ke tangan
siapa. Pun, dengan suka rela dimintakan pada setiap orang
yang mau pindah ke kampung yang ditaklukkan itu. Diizinkan
mereka mendirikan rumah di situ. Jadilah kemudian kampung
itu menjadi kampung perluasan marga. Yang harus tunduk ke
induk kampung. Pada tiap kampung sebagai pelaksana adat
dan penyelenggara hukum, ditunjuk beberapa orang yang
cukup berjasa menjadi Raja Ni Huta. Raja Panggonggom
melirik secara khusus pada Ronggur, lalu, "Ronggur, dalam
pertempuran kau telah menyelamatkan nyawa kami. Sekarang
giliran kami membalas jasamu yang besar itu. Katakanlah,
kehendakmu!"
Ronggur memohonkan agar padanya diberi kekuasaan
untuk terus menawan tawanannya, menjadikannya sebagai
budak untuk membantu ibunya yang sudah tua mengerjakan
urusan rumah, mencabuti rumput sawah bila saatnya tiba.
Justru karena Ronggur tidak punya adik perempuan. Dia anak
tungga l.
Permintaan itu dikabulkan. Dikatakan pula, Raja Ni Huta
induk kampung musuh yang ditaklukkan itu, dikuasakan pada
Ronggur. Tapi, karena dia belum berumah tangga, jadi belum
cukup dewasa dalam peralatan adat dan hukum, ditunjuk
seseorang menjadi walinya, yang disetujui Ronggur sendiri.
Sawahnya yang ada dekat induk kampung marganya
diserahkan pada kerajaan. Sebagai gantinya diberikan
kepadanya sawah yang dulu dimiliki Raja Nabegu dari marga
yang mereka kalahkan.
Sejak hari itu, Ronggur dikenal orang sebagai Raja Ni Huta
Muda merangkap Hulubalang Muda.
Untuk beberapa hari, orang masih tetap dipengaruhi
suasana kegembiraan menang perang. Pesta kemenangan
dilangsungkan tiga hari tiga malam. Walaupun pesta sudah
selesai, ingatan orang masih tetap terpaut ke sana. Di sana
sini Ronggur mendengar orang mengatakan:
"Dengan cara beginilah kita harus menguasai tanah
persawahan subur yang ada di sekitar danau untuk
melanjutkan keturunan."
Beberapa orang ampangardang, baik dari marga sendiri
begitu pula dari marga lain yang masih banyak bertabur di
sekitar danau, menghapal jalannya pertempuran lalu
memindahkannya ke bentuk yang dapat dinyanyikan. Mereka
tebarkan dari mulut ke mulut sambil memetik kecapi.
Beberapa nama pahlawan timbul, menjadi tokoh keberanian
dan ketangkasan serta kesetiaan termasuk nama Ronggur
sendiri.
Tapi, Ronggur sendiri, sehabis pesta kemenangan itu cepat-
cepat mengerahkan rakyat yang suka rela pindah ke induk
kampung musuh yang dikuasakan padanya. Membangun
perumahan baru di atas puing-puing reruntuhan. Oleh tugas
yang banyak dan memang dia sendiri ingin cepat melupakan
saat menanjakkan marganya ke tingkat yang lebih tinggi dan
meningkatkan kedudukan dirinya sendiri, cepat dilupakannya.
Memang dia sudah menjadi Raja Ni Huta Muda dan
Hulubalang Muda, orang tidak berani lagi atau tidak wajar lagi
menyebut nama kecilnya. Orang selalu menyebut atau
memanggilnya dengan Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang
Muda.
ccdw-kzaa
2
Rumah baru sudah berdiri pengganti rumah yang dulu
terbakar. Darah yang tercecer ke lumpur sawah sudah
bercampur baur dengan tanah menjadi pupuk di musim
mendatang. Tidak tampak lagi warna merahnya. Kuburan
yang digali tempat abadi bagi orang yang mati, sudah
ditumbuhi rerumputan hijau. Padi di sawah sudah bunting.
Masa merumputi sudah lewat. Pekerjaan orang kembali
senggang. Saat yang baik bagi pemuda pergi martandang ke
kampung paman mencari jodoh.
Anak-anak sudah ada berlahiran, pengganti yang mati
dalam peperangan. Jumlahnya lebih banyak malah. Para gadis
belajar memintal benang dan bertenun. Bila bulan purnama,
menumbuk padi di halaman perkampungan sambil bernyanyi,
dan menerima datangnya partandang. Anak lelaki diajar
membaca dan menulis huruf Batak. Cerita kepahlawanan
disampaikan pada mereka. Juga mereka diajari memanjat
pepohonan tinggi supaya tidak gamang. Yang agak besar,
diajari menggunakan senjata.
Lambat-laun kehidupan kembali tenang. Yang membuat
ingatan orang sudah menipis pada peperangan yang baru
lewat. Tapi, pada mereka sampai juga berita dari sekitar
danau: marga anu berperang dengan marga satu lagi. Lu hak
anu berperang dengan luhak satu lagi. Sumber malapetaka
tetap sama: air parit dan batas tanah. Orang yang kalah
dijadikan budak. Tapi, yang sempat melarikan diri,
memencilkan diri ke tanah tandus di kaki bukit, menjadi orang
buruan. Orang buruan ini membuat rumahnya di dinding bukit
dan gua.
Jadi, bagi Ronggur, ketenangan yang sekarang dikecap
marganya masih tetap mengandung sesuatu kemungkinan
yang menakutkan. Setiap warta pecahnya perang antara satu
marga dengan marga lain selalu membuatnya berduka. Karena
itu, dia lebih banyak menyendiri. Bila temannya sebaya sudah
banyak berumah tangga, dia belum. Walau sudah sering
diminta ibunya, dia masih tetap menampik.
Perlakuannya pada wanita tawanannya berbeda dengan
perlakuan orang lain yang punya budak terhadap budak
masing-masing. Dia masih tetap memandang dan
memperlakukannya sebagai manusia yang punya hak. Tapi,
keyakinan yang digenggamnya ini belum berani dia
menyampaikannya pada orang lain. Masih merasa takut dia,
masih merasa kecil dia menurut anggapannya, melawan
tradisi yang sudah tertanam dan berurat akar di hati manusia
yang ada di sekitarnya.
Karena memperoleh perlakuan yang baik itu, akhirnya Tio,
wanita tawanan itu, merasa senang juga. Padanya tetap
diberikan Ronggur kebebasan bergerak. Dia boleh pergi ke
padang-padang luas, mengembara, dan berburu bersama
anjingnya si belang. Tak ubah seperti kebebasan yang ada
pada orang merdeka.
Dan, Ronggur tidak merasa kuatir kalau budaknya itu
melarikan diri. Dia yakin kalau memperoleh perlakuan yang
baik budak itu tidak akan melarikan diri.
Namun perasaan terpencil tetap menguasai diri Tio, justru
karena gadis yang sebaya dengannya dari suku Ronggur tidak
mengawaninya. Ini jugalah yang mendesaknya agar setiap
hari pergi jauh dari kampung ke tempat terpencil yang jarang
dikunjungi orang. Di sana dia menghabiskan hari.
Tio menyendiri sampai ke kaki bukit. Dari situ dia dapat
melihat danau di bawah. Dan, sesuatu keinginan selalu timbul
di dadanya, ingin pergi jauh. Namun keluh akhirnya
mematikan keinginan itu. Dia dibenturkan kembali pada
kenyataan bahwa dia bukan orang merdeka. Kalau lari saja?
Ronggur sudah berbuat baik terhadapnya. Merasa kurang
enak baginya untuk menghianati seseorang yang
menghormati dirinya'dengan sewajarnya. Lagi pula kalau dia
lari, Ronggur lelaki yang paling jahanam, akan mengejarnya
ke mana saja. Dia akan dapat ditangkap Ronggur.
Berburu bisa membuat Tio asyik. Atas bantuan si belang,
Tio dapat mengetahui tempat seekor pelanduk bersembunyi,
tempat kawanan burung berondok. Dengan mata tombaknya
yang pasti arahnya, dengan lemparan ambalanganya yang
deras, dia bisa membunuh binatang buruan itu. Kemudian
membawanya pulang.
Ronggur selalu tertawa lebar bila dia pulang dengan hasil
buruan. Ronggur tidak segan-segan melemparkan pujian yang
menurut perasaan T io terkadang terlalu menyanjung. Dengan
lahap Ronggur akan memakan daging binatang buruan itu,
yang dibakar dan dipanggang.
Hari itu, Tio sedang mengikuti arah seekor elang terbang,
setelah menyambar seekor induk ayam dari kampung.
Terkadang harus berlari kecil mengikuti elang yang terbang di
atas. Matanya terus-menerus menangkap elang hitam yang
terbang, lalu terus mengikuti arah elang itu pergi. Di hatinya
timbul niat, dia harus membunuh elang yang seekor itu, yang
sudah banyak menyambar ayam kampung. Pertanda elang itu
akan hinggap belum ada walau mendekat ke kaki bukit.
Seolah elang itu datang dari balik gunung dan hendak kembali
ke balik gunung, yang belum pernah ditempuh manusia.
Di saat putus asa mulai mencekam hati, elang itu
mengadakan putaran. Berkeliling pada satu lingkaran.
Pertanda elang itu mau hinggap. Dapat dipastikan Tio bahwa
pohon yang tinggi lagi rimbun dedaunannya, pada salah satu
dahannya, di situlah sarang elang itu. Elang itu mengarah ke
lembah, di mana batang pohon besar itu tertancap ke tanah.
Tio terus mendekat menuruni jenjang lembah.
Si belang sudah mengerti bahwa mereka sedang
mengadakan perburuan. Elang itu cepat menukik ke bawah
setelah mengadakan putaran entah beberapa lama. Dan,
waktu itulah, kepaknya mengenai salah satu dahan,
sambarannya jatuh ke tanah. Elang itu mengikutkan
sambarannya ke bawah. Saat yang baik itu tidak dilewatkan
Tio. Cepat dia mengayun ambalangnya. Lalu melepaskan
peluru. Seketika napasnya serasa terhenti melihat peluru
ambalangnya mengenai sasaran atau tidak.
Sayang sekali peluru ambalangnya hanya mengenai buntut
elang. Karena terkejut elang itu buru-buru mengepakkan
sayapnya. Mau terbang. Tapi, dari arah lain sebuah tombak
terbang cepat. Langsung tertancap ke dada elang. Elang itu
jatuh ke tanah bersama gelepar lemah, gelepar akhir. Wajah
Tio menjadi merah padam dan merasa kesal bercampur malu,
kenapa peluru ambalangnya tidak mengenai dada elang jtu.
Atau, kenapa dia tidak menggunakan tombaknya? Sebuah
tawa meledak di antara rimbunan ilalang. Si belang berlari
cepat ke tempat suara itu bersumber. Lalu, Ronggur sudah
ada di hadapan Tio.
Bersama senyum kemenangan, Ronggur berkata: "Sudah
mampus penyambar ayam yang paling jahanam ini."
Tio masih terpaku pada tempatnya. Merasa malu akan
ketololannya. Ronggur memanggilnya agar datang mendekat.
Baru dia bergerak.
"Lihat," kata Ronggur. "Muncung tombakku tertancap di
dadanya."
"Aku tahu, Hulubalang Muda," sahut Tio. Suaranya halus
dan menggetar.
Ronggur menatapi T io lama-lama hingga T io menundukkan
kepala menatap tanah.
"Tapi, peluru ambalangmu sangat deras dan bagus
arahnya. Buntut elang kena membuat elang tidak bisa cepat
terbang. Di saat itulah aku mengayunkan tombakku. Kalau
buntutnya tidak kena ambalangmu, belum tentu muncung
tombakku bisa tertancap di dadanya."
"Hulubalang Muda terlalu melebih-lebihkannya," sahut Tio.
"Itu yang sebenarnya. Dan, kau Tio," mata Ronggur lama
menatap wajah gadis itu, matanya, lalu, "maukah kau berjanji
akan melaksanakan permintaanku?"
"Aku sudah ditakdirkan akan melaksanakan sebaik mungkin
segala perintah Hulubalang Muda."
"Dengarkan baik-baik," kata Ronggur seraya memegang
bahu anak gadis itu, "sejak saat ini kuminta, agar kau tidak
memanggil aku dengan sebutan Hulubalang Muda atau Raja
Ni Huta Muda lagi. Sebutlah namaku. Ronggur. Cukup begitu."
Pundak Tio cepat turun naik, tapi masih diusahakannya
mengatakan, "Bukankah itu menurunkan derajat Hulubalang
Muda?"
"Sama sekali tidak! Kau harus melaksanakannya!"
"Bagaimana nanti kalau didengar orang kampung dan ibu?"
"Peduli apa dengan mereka? Sebut namaku, habis perkara.
Kalau mereka menegur kau, katakan aku yang menyuruhmu.
Yang mengurus mereka ialah aku."
Tio tambah tertunduk. Wajahnya memerah. Ronggur
menjauh. Walau sesuatu rasa menggelusak dalam dada.
Si belang sudah memagut tubuh elang dengan
muncungnya. Membawanya ke dekat mereka berdua. Si
belang kembali menjauh. Lalu, si belang memagut ayam yang
disambar elang tadi dan membawanya ke dekat Ronggur dan
Tio. Lalu, menjauh lagi.
"Tio, keluarkanlah isi perut elang dan ayam ini. Biar
kunyalakan api. Dagingnya tentu enak dimakan."
Tio berlari kecil membawa elang dan ayam itu ke parit kecil
dekat situ yang mengalirkan air pegunungan yang jernih.
Dibersihkannya perut kedua binatang itu. Kemudian
dibawanya ke tempat Ronggur menghidupkan api. Lalu, mulai
membakarnya lengkap bersama bulu-bulunya.
Ronggur menelentangkan tubuh di atas tanah batu yang
cukup keras, di bawah pohon yang rindang. Perutnya terasa
kenyang. Si belang masih mengunyah tulang belulang elang
dan ayam yang diberikan kepadanya. Mata Ronggur agak
mengantuk. Matahari bersinar keras. Cukup terik. Tidak jauh
darinya, Tio duduk melihat si belang. Yang kemudian
mendekat kepadanya sambil mengibaskan ekor. Tidur di ujung
kakinya. Tio mengelus leher si belang dengan lembut. Lalu,
mulutnya tidak dapat lagi dikuasainya untuk tidak
menyanyikan sebuah lagu, berpantun:
Sanduduk di kaki bukit
di atas batu
ditimpa sinar matahari
itulah siang melilit bumi
sanduduk di kaki bukit
di atas batu
ditimpa sinar rembulan itulah malam, redup mengalun
saat siang dan malam
antara terik dan nyaman
mentari dan gemintang
bagi beta tidak berbeda
karena hatiku
terkenang padamu
Ronggur membiarkan Tio menyanyi walau hatinya merasa
rawan. Tentu, pikir Ronggur, Tio teringat pada masa
kemerdekaannya. Matahari tambah lama jadi melemah. Di
bawah mereka melalui tingkat tanah yang terus menurun,
perkampungan demi perkampungan dan berakhir pada tepian
danau.
Oleh nyanyi T io kembali Ronggur teringat akan permintaan
ibunya, begitu pula atas usul Raja Panggonggom, agar dia
berumah tangga. Agar langsung memegang Raja Ni Huta di
kampungnya, agar nama Muda dari belakang Hulubalangnya
dihilangkan. Dia disuruh ibunya pergi ke Samosir, ke kampung
paman.
Tetapi, cepat pula ingatan itu dibarengi bahwa kalau dia
berumah tangga, itu berarti istrinya nanti akan melahirkan
anak. Kemudian anak ini akan menjadi dewasa, lalu kawin
lagi. Untuk melahirkan anak lagi. Dalam tiga keturunan saja,
jumlah keturunannya bisa berlipat ganda. Tentu hasil yang
dapat diberikan tanahnya akan terasa kurang menghidupi
keturunannya.
Dia merasa takut. Bila persoalan yang mencekamnya itu
diluaskan pada keadaan sekitarnya dan dia tambah merasakan
marabahaya yang sedang menantikan, yang mengintai dengan
taringnya yang tajam, meruntuhkan kerukunan kehidupan
mereka di tepi danau. Pada suatu saat, pikirnya, akan tiba
saat itu, yaitu orang bertambah banyak sedangkan tanah yang
dapat digarap masih tetap itu juga. Hasilnya akan terasa atau
memang kurang untuk membekali orang yang hidup di sekitar
danau. Hal begitu sudah tentu akan lebih banyak
mengobarkan perkelahian, peperangan, dan sendirinya pula
akan lebih banyak kepiluan dan dendam bersarang di hati
manusia. Dia menakutkan masa itu.
Dia selalu memikirkan, apa usaha yang dapat ditempuh
untuk melenyapkan ancaman dari masa itu? Ronggur cepat
bangun dari goleknya. Tio menatap ke arahnya. Ronggur
menundukkan kepala. Tapi, dari mulutnya lalu meledak kata,
"Tio, kenapa kau tidak belajar memintal benang dan
bertenun? Kau sudah harus mengurangi kegemaranmu pergi
mengembara. Kau harus belajar memintal dan bertenun,
seperti gadis lain."
Warna duka membayang di wajah Tio. Yang tidak disangka
Ronggur mulanya.
"Ada yang salah?" tanya Ronggur pula.
Tio tetap terdiam dan tertunduk.
Barulah Ronggur sadar bahwa seorang gadis yang
berderajat budak tidak dibolehkan belajar memintal dan
bertenun. Menenun ulos-batak ialah pekerjaan para gadis
yang merdeka. Perlahan-lahan, tapi pasti, Ronggur
mengatakan, "Tio, kau harus belajar memintal dan bertenun
Aku akan meminta izin pada Raja Panggonggom”
Pada biji mata Tio menyinar cahaya kegembiraan. Lalu,
"Betul kau bolehkan aku memintal dan bertenun? Betul kau
akan meminta izin pada Raja Panggonggom? Aku akan
bertenun seperti gadis lain dari margamu ?"
"Ya, akan kuusahakan sampai dapat”
Karena gembira, tidak disadari Tio, dia memeluk Ronggur
sambil mengatakan dengan kegembiraan. “Ah, betapa
bersyukur aku. Betapa berbahagia. Aku.. aku akan menenun
ulos untukmu. Ulos yang paling halus raginya. Yang paling
baik campuran warnanya”
Ronggur membiarkan Tio begitu. Sampai akhirnya Tio sadar
sendiri. Lalu, melepaskan pelukannya perlahan-lahan. Kembali
dia dihadapkan pada kenyataan. Ronggur diam saja melihat
perubahan kelakuan Tio itu. Sedang matanya dengan mesra
menancap ke biji mata Tio. Tio menundukkan kepala
perlahan-lahan. Begitu pula akhirnya Ronggur. Beberapa saat
terdiam.
Matahari bertambah lemah sinarnya. Tidak terik lagi.
Ronggur menatap ke sekitar, lalu dengan suara pasti dia
mengatakan, "Tio, mari ke pundak bukit pertama. Ada yang
hendak kutunjukkan padamu."
Mereka mendaki tanjakan bukit sampai tiba ke pundak
pertama. Dari sana jelas tampak oleh mereka lengkungan
tepian danau. Pada salah sebuah teluk dapat diketahui
Ronggur bahwa di situlah bermula sungai Titian Dewata.
Telunjuknya mengarah ke teluk itu sambil mulutnya
mengatakan, "Tio, di sanalah bermula sungai T itian Dewata."
"Aku tahu," kata T io, "aku sudah pernah dibawa almarhum
ayah dan ibu ke sana."
"Garis putih yang membelah dada persawahan yang sedang
menghijau, lalu menghilang atau seperti masuk menyusup ke
perut pegunungan sebelah timur, itulah jaluran sungai. Dapat
kau lihat dan perhatikan garis putih itu?" tanya Ronggur.
"Dapat."
"Menurut cerita orang tua, sungai itu berakhir ke ujung
dunia. Barang siapa yang berani me layari sungai ke muara
atau berusaha mencapai muara, tidak akan kembali lagi.
Karena jatuh ke tebing ujung dunia. Arwahnya akan dikutuki
dewata. Tapi, sungai itu jalan arwah kita kelak, menuju
tempat Mula jadi Na Bolon."
"Tahu juga aku," sahut Tio.
Ronggur diam seketika. Terus menatap ke arah sungai.
Sedang Tio melirik ke biji mata Ronggur yang menyinarkan
sesuatu arti. Ronggur mengaju tanya padanya:
"Apakah kau juga sependapat dengan mereka bahwa
sungai itu berakhir di ujung dunia itu?"
"Begitulah kata mereka. Ada apa kiranya?"
"Apakah kau tidak bisa punya pendapat sendiri?"
"Apa maksudmu?"
"Apakah kau tidak sering membaca pustaka di rumah
ayahmu dulu?"
"Sering. Sering sekali. Aku bisa membaca dan menulis
dengan baik."
"Menurut cerita yang ada di sana, setiap sungai menuju
tanah landai dan subur."
"Ya, memang begitu."
"Entah bagaimana, aku berpendapat bahwa sungai itu pun
akan tiba ke tanah landai yang subur, juga sudah kuselidiki
dalam pustaka yang tua bahwa sungai itu tidak ada dikatakan
berujung di akhir dunia."
"Kepercayaan yang diwariskan kepada kita mengatakan,
sungai Titian Dewata berakhir ke ujung dunia. Buktinya
sampai sekarang tidak ada orang yang berani melintasi daerah
yang telah ditentukan, sampai ke mana bisa seseorang
nelayan menangkap ikan. juga sungai ini, lain dari sungai yang
la in."
"Kalau begitu, kau pun sependapat dengan mereka."
"Begitu menurut cerita mereka. Aku tidak dapat
mengatakan yang lain. janganlah marah padaku."
Ronggur terdiam. Keheningan mengambang di antara
mereka. Tidak ada yang berkata. Angin turun, angin sore yang
nyaman.
"Tapi, timbul bisikan dalam hatiku, sungai itu pun sama
dengan sungai yang lain," kata Ronggur;
"Kenapa kau beranggapan bahwa sungai ini lain?" tanya Tio
memecah sunyi, "apakah kau berniat hendak melayarinya
membuktikan kebenaranmu?"
Tapi, Tio menjadi takut pada ucapannya itu. Dia takut kalau
Ronggur benar-benar melayari sungai itu. Yang berarti bunuh
diri. Dia akan tinggal di dunia ini. Dia akan jatuh ke tangan
orang lain yang pasti akan memperlakukannya sebagai budak
biasa. Kebebasan akan benar-benar direnggutkan orang.
"Ya, aku memang mau melayarinya," sahut Ronggur tanpa
memperhatikan wajah Tio yang menjadi pucat. "Sudah lama
niat ini menguasai dadaku," lanjutnya pula, "tapi, aku
melayarinya bukan bermaksud untuk membuktikan bahwa aku
berada di pihak yang benar. Aku mau berusaha mencari tanah
garapan baru, daerah perluasan, tanah hubungkasan."
"Itu berarti bunuh diri. Arwahmu akan tidak diterima
dewata," potong Tio.
Perasaan takutnya tambah mencekam. Dia mengharap
dapat menggagalkan maksud Ronggur dengan ancaman
begitu. T api, Ronggur cepat pula mengatakan:
"Dengar dulu yang kumaksud. Tahukah kau Tio bahwa
tanah selingkar danau ialah tanah subur? T ahukah kau, setiap
tahunnya manusia yang hidup di sini yang memerlukan tanah
garapan bertambah banyak juga? Akhirnya tanah yang tadinya
terasa luas, setiap tahunnya bertambah sempit. Dan, akan
terus bertambah sempit. Akibatnya akan bertambah banyak
pertengkaran yang memungkinkan pecahnya peperangan.
Seperti perang antara margamu dengan margaku."
Tio tertunduk. Wajahnya menjadi muram dan sedih.
"Janganlah bersedih. Aku tidak bermaksud membongkar
yang sudah lewat. Tidak bermaksud aku mengingatkanmu ke
saat kejatuhan margamu. Tidak! Tapi, aku mau mengatakan,
karena kurasa kau dapat merasakannya, yang akan menimpa
manusia yang hidup di sekitar danau di hari mendatang, bila
tanah habungkasan tidak ditemui. Pertengkaran karena
setapak tanah, karena setitik air parit, akan tambah banyak
terjadi. Ini sudah pasti. Cobalah turut mendengar berita
bahwa setelah perang antara margamu dengan margaku
selesai, sudah berapa kali lagi peperangan terjadi di antara
marga? Kalau tidak salah, sudah ada tiga gelombang
peperangan antara marga satu dengan, marga lain. Dan,
peperangan itu akan bertambah banyak lagi timbul di masa
mendatang. Jadi, sebelum saat itu tiba, harus ada usaha
mencari tanah habungkasan. Orang yang berani dan
bertanggung jawab akan masa datang, harus mulai sekarang
memulai kerja ke arah itu, merintis jalan, dengan berani
menantang segala aral-melintang, berani menantang segala
cerita yang bersifat menakut-nakuti. Berani menantang
sesuatu yang dirasakan ialah satu kepercayaan bagi
kebanyakan orang. Karena aku merasakan persoalan itu,
kupikir, aku harus turut memikul bebannya, walaupun
nyawaku sendiri menjadi taruhannya."
Seketika Ronggur berhenti. Tio tidak membumbuhi cakap
Ronggur yang panjang itu. Dibiarkannya Ronggur
meneruskan:
"Sudah sering Tio, aku diganggu mimpi. Mimpi
menghimbau aku selalu dari tempat jauh, dengan suaranya
yang nyaring. Mengajak aku memulai perjalanan mengikuti
sungai. Sampai ke mana dia tiba. Dalam mimpi itu selalu aku
dibawanya ke suatu tempat yang teduh. Penuh pepohonan
dan tanahnya begitu landai. Dan, dalam mimpi itu, aku
menemui sebuah danau yang sangat luas, jauh lebih luas dari
Danau Toba yang kita kenal ini. Tanah yang kutemui dalam
mimpi itu begitu gemburnya. Tidak seperti tanah di s ini, tanah
tipis yang menyaputi batu alam yang keras. Itu yang selalu
menemani tidurku. Merangsangku di saat jaga."
Wajah Tio bertambah pucat. Dengan suara tersengal-
sengal, dia mengatakan:
"Barangkali itu godaan setan jahat. Kau perlu berobat pada
dukun. Berobatlah cepat-cepat. Jangan sampai kekuasaan
setan tertanam didirimu."
"Tidak Tio. Wajah orang yang melambai aku dalam mimpi
itu dan menuntun jalanku mirip sekali dengan wajahku. Kata
orang, wajah almarhum ayah, mirip sekali dengan wajahku.
Apakah tidak mungkin, arwah almarhum ayah yang datang
padaku, memanggil aku, menunjuk tanah habungkasan yang
subur padaku?"
"Ronggur," untuk pertama kalinya Tio menyebutnya hingga
Ronggur merasakan satu desiran menyinggung hatinya,
"barangkali, itu setan yang menyaru."
"Tidak Tio. Orang yang digoda setan, akan merasakan
tubuhnya kurang sehat. Aku kau lihat sendiri, tetap sehat dan
pikiranku tetap waras."
"Ronggur," kata Tio lagi, "aku merasa takut! Aku takut!"
"Janganlah takut, selagi aku di dekatmu."
"Aku takut mendengar ceritamu. Cerita itu, mula duka
cerita yang akan mendatangi diriku."
"Jangan berkata begitu."
Tio begitu saja menyandarkan kepalanya yang terhisak ke
bahu Ronggur, menelungkup di sana. Dibiarkan Ronggur, Tio
berbuat begitu. Entah berapa lama.
Sore dengan perlahan beralih pada senja. Pada mulanya
warna Jingga, kemudian bertambah merah, lembayung
tambah jelas. Tari warna bermain di wajah danau, di riak
danau. Angin tambah lemah. Mereka menuju pulang.
Orang yang berpapasan dengan mereka tidak berapa
mereka perdulikan. Tio mengikuti langkah Ronggur yang
panjang dan cepat diayunkan. Si belang kadang berlari di
depan mereka. Kemudian berlari lagi ke belakang. Sambil
menggonggong.
Dan, hati Ronggur tambah digoda perjalanan yang harus
dimulainya. Dia sudah harus mengadakan persiapan untuk
perjalanan itu. Pada pikirannya, dia sudah memilih teman
yang akan diajak turut serta. Yang sendirinya menantang dan
menghadapi segala kemungkinan. Meruntuhkan satu
kepercayaan. Tapi, mungkin juga satu perjalanan yang akan
mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi, mungkin juga mula
kelanjutan hidup keturunan, bermarga.
Ibunya menyambut kedatangan mereka berdua di ambang
pintu. Mereka sudah sering pulang terlambat. Dengan cepat
ibunya menyediakan makanan dan Tio membantu. Mereka
makan bersama. Jadi pada rumah itu, tidak terdapat atau
dengan sengaja diadakan keharusan bahwa seorang budak
harus belakangan makan, yaitu memakan sisa tuannya.
Ronggur tidak mau begitu. Sedang ibunya tidak berdaya
melawan kehendak Ronggur, walaupun itu bertentangan
dengan adat. Ibunya pun merasa senang pada kelakuan Tio,
yang menurul pertimbangannya masih tetap membawakan
sifat dan kelakuan sebagai anak raja.
"Ibu," kata Ronggur sesudah makin seraya melap mulut.
"Ceritalah kembali ibu, di mana sebenarnya ayah dikuburkan.
Ceritalah karena apa ayah meninggal dulu. Karena sakit,
karena kecelakaan dalam perburuan atau .... Dalam mimpiku,
selalu aku bertemu dengan seseorang yang wajahnya mirip
benar dengan wajahku. Orang itu selalu mengajak aku agar
memulai suatu perjalanan. Mengikutkan arus Sungai Titian
Dewata sampai ke muara. Bukankah ibu mengatakan bahwa
wa|ahku mirip benar dengan wajah almarhum ayah?"
Ibunya tak langsung menyahut, lerpaku mendengarkan.
Dengan mata terbelalak akhirnya dia mengatakan, "Apa
katamu, Ronggur? Apa katamu?"
"Orang itu selalu mengajak aku, agar memulai perjalanan
mengikuti arus Sungai Titian Dewata sampai ke muara. Bila
aku katanya tidak mau melaksanakan permintaannya. dia
akan selalu berduka. Kerja yang dimulai di masa hidupnya,
katanya akan sia-sia."
"Jangan lagi berkata begitu, Anakku. Jangan lagi. Ibu takut
mendengarnya. Dan, ibu sudah tua."
"Ibu, ceritalah. Di mana sebenarnya kubur ayah? Sampai
begini besarku, ibu tidak mau mengatakan dan aku belum
pernah berziarah ke kuburnya untuk meminta doa restu.
Bukankah aku bisa dikatakan orang, dikatakan para arwah,
anak durhaka, karena tidak pernah menziarahi kubur
ayahnya?"
Wajah ibunya tambah jelas memancarkan perasaan
ketakutan. Keheningan menguasai ruang. Tarikan napas
ibunya yang satu-satu lagi dalam jelas kedengaran. Tarikan
napas yang terputus-putus.
"Ibu, ceritalah. Kalau tidak, aku akan pergi mencari
sendiri."
Ibunya mengangkat wajah. Tegak. Tapi, melesu lagi, lalu:
"Anakku, aku juga tidak tahu pasti, di mana sebenarnya
kuburan almarhum ayahmu. Pergilah tanya bekas Datu Bolon
Gelar Guru Marsait Lipan. Dia yang tahu! Dialah teman
ayahmu yang terakhir pergi jauh dari kampung kita ini. Dan,
yang pulang kemudian, hanya bekas Datu Bolon Guru Marsait
Lipan. Ayahmu tidak pernah lagi pulang. Kau tentu tahu,
tempat tinggal Datu Bolon itu sekarang."
Cepat Ronggur bangkit dari duduknya. Setelah
membelitkan ulos ke lehernya, dia terus berangkat. Ibunya
dan Tio melihat saja. Kemudian ibu Ronggur menatap Tio,
yang juga pada wajahnya bergantungan sesuatu ragam
perasaan.
"Ibu, aku juga turut merasakan yang Ibu rasakan. Tadi
dikatakannya padaku, dia akan pergi memenuhi panggilan
mimpinya, panggilan negeri jauh. Aku sudah berusaha
mencegah. Tapi, Ibu tentu lebih tahu dariku bahwa dia tidak
dapat dihalangi. Bukankah sudah sifat Ronggur begitu?"
"Apa katamu? Kau sebut namanya? Nama Hulubalang Muda
kau sebut?"
Tio terkejut. Dia sadar bahwa yang dihadapinya ialah ibu
Ronggur. Dia tertunduk. Dihempaskan kembali pada derajat
yang tidak berharga, yang tidak boleh menyebut nama
tuannya. Didengarnya perempuan itu menghardik setelah
lebih dulu menarik napas yang panjang lagi dalam:
"Berani kau menyebut namanya? Apa kau pikir dia sama
derajat dengan kau?"
Seolah orang tua itu, perempuan itu, karena marah sudah
lupa pada masalah yang sebenarnya dihadapi.
Tio menggerutu pada diri sendiri. Kenapa lidahnya terus
sefasih itu menyebut nama Ronggur. Dari tunduknya dia
menyahut:
"Dia yang menyuruh aku, memaksa aku harus menyebut
namanya, Bu. Tidak mau dan tidak dibolehkannya aku
memanggilnya dengan Raja Ni Huta atau Hulubalang Muda."
"Dia menyuruhmu menyebut namanya? Itu kau
katakan?"
"Benar, Bu. Bukan keinginanku."
"Benar begitu?"
"Benar, Bu."
"Tentu Ronggur sudah digoda setan. Sudah diizinkannya
seorang budak belian makan bersama, sekarang diberinya
pula keizinan pada seorang budak belian menyebut namanya.
Apakah dia tidak .tahu tentang martabatnya yang begitu
tinggi? O, Mula jadi Na Bolon, lindungilah anakku dari godaan
setan."
Perempuan tua itu serasa dipukul kepalanya dan ulu
hatinya. Napasnya sesak. Tapi, dengan tersengal-sengal dan
berusaha mengangkat kepala, dia menatap Tio, lalu:
"Aku tahu bahwa perangaimu baik, Tio. Tapi, kau tidak
sepantasnya menyebut namanya. Jangan lagi sebut namanya.
Penuhilah permintaanku ini. Bagaimana kalau tetangga
mendengar kau menyebut namanya di depanku? Maukah kau
memenuhi permintaanku ini?"
"Akan kuusahakan, Bu."
"Berjanjilah demi dewata."
"Aku berjanji."
Baru kembali ibu yang sudah tua itu teringat akan masalah
yang sebenarnya dihadapinya. Perasaan marah kembali
mencair, lalu perasaan takut mencekam dadanya.
Ronggur sudah melintasi halaman perkampungan.
Menerobos gerbang perkampungan. Di pematang sawah yang
kecil lagi licin dia melompat-lompat memilih jalan yang baik.
Dia kenal pada jalan itu. Dia tak perlu takut karena tergelincir.
Langsung dia menuju dangau kecil yang terpencil di satu
ladang. Tanpa dipanggil, si belang mengikutinya. Tidak
disuruhnya supaya si belang pulang. Dibiarkannya si belang
mengikuti. Gelap malam tidak diperdulikan.
Setelah melompati sebuah parit yang agak lebar, kemudian
menyuruh si belang melompatinya, mereka sudah berada di
tanah perladangan yang di petak-petaki tanah yang
ditinggikan sebagai batas dan langsung pula menjadi pagar.
Supaya kerbau tidak merusakkan tanaman yang ada di ladang.
Dilompatinya pula tanah tinggi itu. Dikejauhan sudah kelihatan
cahaya pelita yang menerobos dari celah dinding. Tempat
tujuan. Dia tambah menegaskan langkah.
Tangannya mengetuk pintu dengan lemah. Suara parau
menyuruhnya masuk ke ruang dangau. Ruang tengahnya
begitu kecil. Orang tua itu sedang mengunyah sirih. Di sebelah
kanannya, terletak tempat sirih yang terbuat dari kulit kera. Di
depannya lesung pelumat s irih. Pada kedua lengan tangannya
membelit kayu hitam, akar kayu yang dihitamkan dengan
segala macam minyak dan lemak, beru kirkan bentuk ular
sedang menjalar. Diberi pula berhiasan suatu benda
mengkilat, seperti matanya. Bercahaya ditimpa sinar pelita
yang lemah.
‘Pakaian datu’, pikir Ronggur. Pakaian itu tidak
ditanggalkannya walaupun orang tidak pernah lagi datang
padanya minta diobati, minta pertolongan melihat nasib,
meminta agar arwah nenek moyang dipanggil melindungi
orang yang meminta tolong padanya. Juga kerajaan tidak
pernah lagi memintanya untuk menenung sesuatu maksud
kerajaan, apakah berhasil baik atau tidak.
Mata orang tua itu tajam menumpu ke wajah Ronggur.
Pada dadanya, kemudian diketahui Ronggur, bergantungan
potongan gading gajah, taring, dan kuku harimau. Yang
pernah dibunuhnya. Baik dalam suatu perkelahian, begitu pula
dalam perburuan.
Setelah memberi salam, Ronggur duduk di lantai seperti
orang tua itu sendiri, berhadap-hadapan.
"Ada apa, Anakku?" tanya orang tua itu.
"Bapak, izinkanlah aku mengajukan beberapa pertanyaan,"
kata Ronggur.
"Silakan, Nak. Bapak akan menolongmu sebisa mungkin."
"Kata ibu, kalau aku mau tahu kubur almarhum ayah, dan
kenapa almarhum ayah menemui saat meninggalnya, aku
harus menanyakannya pada Bapak. Hanya Bapak kata ibu
yang mengetahui dengan pasti. Orang lain tidak. Ibu sendiri
pun tidak."
Orang tua itu menegakkan kepala, tidak menyangka
pertanyaan begitu. Lalu kembali dia mengaju tanya:
"Ibumu menyuruh kau datang padaku?"
"Ya, Bapak. Ibu menyuruh aku menemui Bapak."
"Ibumu tidak pernah menceritakannya padamu?"
"Tidak, tidak pernah."
Orang tua itu menarik napas yang dalam.
"Anakku, selama ini kupikir, ibumu mendendam padaku.
Lalu mengalirkan dendam itu ke tubuhmu. Kemudian kau
membenci aku, atau berusaha untuk menuntut balas. Kiranya,
ibumu tidak mau menceritakan. Dan, tidak menanam dendam
ke dadamu. Maafkan kesalahanku itu."
"Apa maksud Bapak?" tanya Ronggur pula.
Orang tua itu memperbaiki duduknya.
"Anakku, kalau dikatakan bahwa kecelakaan itu punya mula
dan sebab, maka mula dan sebab kecelakaan itu harus
diletakkan di pundakku. Aku juga harus mendukungnya. Dan,
bila sesuatu hukuman yang harus ditimpakan pada orang yang
memulai malapetaka itu, maka hukuman itu pun seharusnya
ditimpakan padaku."
"Kenapa Bapak berkata begitu?"
Lebih dulu orang tua itu menumpukan pandang ke mata
Ronggur. Begitu dalam.
"Bapak juga sudah lama memikirkan bahwa pada satu saat,
mulut manusia yang harus kita beri makan akan bertambah
banyak. Sehingga hasil yang dapat diberikan tanah yang ada
di sekitar kita tidak akan mencukupi. Begitulah bapak memulai
pertenungan. Menanyakan arwah gaib yang tidak dapat dilihat
mata. Bapak menanyakan pada mereka di mana dapat ditemui
tanah habungkasan yang subur. Agar pertengkaran karena
setapak tanah dan yang bisa meledakkan satu peperangan
bisa diatas i. Hasil tenung itu mengatakan pada bapak, ikutilah
Sungai T itian Dewata."
Orang tua itu terbatuk sebentar. Setelah mengunyah sirih
lalu meludah dari celah lantai, dia melanjutkan.
"Hasil pertenungan itu kuceritakan pada ayahmu. Dia juga
sepakat denganku. Tanah perluasan harus dicari dan
ditemukan. Ayahmu begitu percaya akan hasil pertenungan
bapak dan begitu percaya akan kekuatan gaibku. Maka kami
pun mulai mengadakan perjalanan mengikuti Sungai Titian
Dewata tanpa memperoleh halangan dari kerajaan. Waktu itu
bapak masih memegang kekuasaan mutlak sebagai Datu
Bolon Kerajaan. Dan, bapakmu hulubalang yang dihormati
kerajaan karena keberaniannya. Kami pun memulai
perjalanan, mengikuti jalur sungai. Tapi, apa yang kami
temui? Pada suatu tempat tertentu, setelah berhari-hari
berkayu, di kiri kanan kami hanyalah batu alam melulu, di
tengahnya air sungai mengalir. Bertambah hari bertambah
deras. Air seperti mau membulat. Hingga akhirnya biduk yang
kami tumpangi tidak terkendalikan. Sebuah terowongan batu,
semacam gua, air menuju ke sana. Mulut gua itu menganga
seperti mau menelan. Karena tidak tahan menerima kenyataan
ini, yang berbeda dengan hasil tenungku, bapak cepat
melompat ke pinggir sungai sambil berteriak: 'Ama ni
Ronggur, cepat tinggalkan biduk'. Tapi, sewaktu bapak
melompat itu keseimbangan biduk hilang. Bapakmu dan biduk
lalu dihanyutkan arus yang menggila. Dihantamkan ke dinding
batu yang keras. Pecah di sana. Sebuah lengkingan yang
panjang menggema. Itulah lengkingan yang paling akhir. Yang
bapak rasakan menyuruh bapak cepat meninggalkan tempat
itu. Namun bapak masih menantikan ayahmu untuk beberapa
hari. Tapi, dia tidak pernah lagi muncul. Tidak pernah lagi
kembali. Suara air yang bertemparasan ke dinding sungai
yang terbuat dari batu alam yang hitam, berkerisik dan kuat,
menyanyikan kemenangannya dan kegagalan serta kekalahan
kami”
Orang tua terdiam sebentar. Seperti berusaha mengingat
sesuatu. Sedang Ronggur khusuk mendengarkan.
"Akhirnya bapak percaya bahwa ayahmu sudah menjadi
korban atas kemurkaan dewata. Tenungku salah, Anakku.
Tafsir tenungku tidak benar. Membuat salah seorang
sahabatku menjadi korban."
Suara orang tua itu menjadi tambah parau. Dari matanya
meleleh titikan air bening. Kerongkongannya tersendat. Di
antara isaknya dia masih mengatakan dengan suara parau:
"Maafkanlah kesalahanku, Anakku. Dan, sejak itulah bapak
tidak pernah lagi dipanggil kerajaan mengadakan
pertenungan. Tidak pernah lagi orang datang meminta
bantuan. Bapak disisihkan dari pergaulan sehari-hari. Bapak
terpencil. Tapi, pada upacara besar yang dilangsungkan di
halaman perkampungan, bapak tetap juga mengikutinya. Tapi,
tempat bapak di tengah rimbunan bambu duri agar orang
tidak melihat bapak. Dari tempatku yang tersembunyi itulah
bapak melihat dan mendengar usulmu, agar orang mencari
tanah habungkasan mengikuti arus Sungai Titian Dewata.
Bapak mendengar usulmu, Anakku."
Orang tua itu menundukkan kepala.
Wajah Ronggur di samping merasakan perasaan duka, tapi
bercampur baur dengan perasaan bangga dan gembira. Justru
karena ada juga orang yang bisa atau turut merasakan apa
yang dirasakannya. Turut memikirkan apa yang dipikirkannya.
Dan, berusaha mencari tanah habungkasan. Memang mereka
menemui kegagalan. Tapi, apakah satu kegagalan harus
dihukum dengan kutuk dan dendam?
‘Tidak’, sahut Rongur sendiri atas segala pertanyaan yang
timbul dalam dirinya. Segala percobaan yang berusaha
mendekati kebaikan dan mengupas kebenaran, walau
menemui kegagalan sekali, lalu menimbulkan korban yang
tidak kecil harus dihormati. Setelah memperoleh kesimpulan
ini, Ronggur mengatakan:
”Bapak, jadi bapak mendengar usulku? Dan, telah lebih
dulu memikirkannya bersama almarhum ayah?"
“Benar. Aku mendengar usulmu. Ah, yang tampak oleh
mataku, waktu kau berbicara itu dengan suara yang lantang
berani, seperti almarhum ayahmu sendiri, waktu dia dulu turut
membela hasil tenungku. Agar kerajaan tidak menghalangi
keberangkatan kami."
"Bapak, aku menghormati pendapat bapak tentang
perlunya tanah habungkasan. Kegagalan yang ditemui bapak,
darinya atau padanya tidak sewajarnya dialamatkan dendam.
Malah kegagalan itu harus dibuat menjadi batu loncatan.
Ditoleh sedemikian rupa sehingga sumber kegagalan pertama
dapat dilintasi. Sampai ditemui satu kemenangan."
"Seharusnya begitu, Anakku. Tapi, orang yang ada di
sekitar kita, yang punya kepercayaan bahwa Titian Dewata
sungai dewata, kemudian mengetahui kegagalanku dan
meninggalnya ayahmu, kepercayaan mereka tambah menebal
juga. Malah bapak sendiri lalu disisihkan dari pergaulan. Hasil
tenungku tidak diperlukan orang lagi."
"Itu risiko, Bapak. Risiko yang harus kita terima. Tapi,
janganlah karena itu kita lantas menanggalkan satu cita yang
tumbuh dalam dada kita. Cita yang baik."
"Apa maksudmu, Anakku?"
Ronggur menarik napas yang dalam. Lalu, dengan suara
pasti dia mengatakan, "Sudah tiba saatnya, aku harus
melanjutkan pekerjaan yang gagal itu. Aku harus dapat
mengatasinya. Aku harus melanjutkannya."
Orang tua itu menatapi dan membiarkan Ronggur
berbicara.
"Kata Bapak, melayari sungai dengan biduk?"
"Y a."
"Kalau begitu harus diusahakan melayarinya dengan
perahu. Yang lebih besar dari biduk. Dasar perahu harus agak
luas dibuat agar tidak mudah terbalik waktu melawan arus
atau melalui arus."
"Pikiran yang baik," kata orang tua itu. "Tapi, ada baiknya
kau pikirkan bahwa sesuatu sungai biasa, pada pangkalnya
mempunyai arus yang kencang. Tapi, sungai ini lain. Pada
pangkalnya tidak berapa deras arusnya. Tapi, lambat laun
tambah ke hilir, menjadi deras arusnya. Bukankah itu pertanda
bahwa sungai itu memang lain dari sungai biasa?"
Ronggur terdiam.
"Arus itu," kata orang tua itu pula, "dapat dikatakan cukup
menggila. Dinding batunya begitu keras. Kalau perahu
terhantam ke sana pasti pecah. Dan, penumpangnya akan
dihanyutkan arus tanpa ampun. Tidak sempat berenang ke
tepian. Bukankah arus menggila itu memang satu pertanda
bahwa sungai akhirnya memang jatuh ke satu tempat yang
maha dalam, yang menurut kata orang di sekitar ialah ujung
dunia?"
Ronggur masih terdiam. Keningnya berkerut. Lalu, dia
mengaju tanya pula: "Jadi, apakah menurut pendapat bapak,
setelah mengalami kegagalan bahwa Sungai Titian Dewata
memang jatuh ke ujung dunia?"
Orang tua itu mendongakkan kepala.