terkadang, dan bulir yang belum berisi itu bergoyangan
perlahan, tangkainya kokoh mendukung. Kemudian bulir itu
semakin merunduk ke tanah, merunduk menguning kemudian
dipanen. Saat mardege tiba. Lalu hasil panen itu disimpan ke
dalam lumbung, yang didirikan tidak jauh dari sawah
percobaan itu.
Ronggur dan Tio harus memperbesar dangau kecil itu. Mau
dijadikan lumbung padi. Kekayuannya mereka ambil dari
hutan sekitar yang begitu dekat. Atap daun nipah yang tidak
mudah bocor, yang banyak ditemui di muara sungai. Padi
yang menguning, kemudian dipanen. Saat mardege tiba. Lalu
hasil panen itu disimpan ke dalam lumbung, yang didirikan
tidak jauh dari sawah percobaan itu.
Mereka tahu, hasil panen percobaan itu tidak akan habis
mereka makan sampai tiga kali jangka musim panen, bila
untuk mereka berdua saja. Lagi pula, musim panen lebih
pendek masanya di tanah habungkasan itu dari yang mereka
kenal di kampung halaman.
Ronggur dan Tio, sambil melepas lelah dari kerja berat di
sawah semusim panen itu, seharian mengadakan perjalanan
menyusuri tepi pantai. Setiap tambah jauh mereka berkayuh,
setiap itu pula, malah berlipat ganda luas air yang mereka
temui. Tidak bertepi dan tidak berujung. Bermula dari
keluasan dan berakhir pada keluasan. Membuat perasaan
lebih kagum lagi atas ciptaan alam yang hebat dan sempurna
itu.
Ciptaan Mula Jadi Na Bolon, dan hati tambah berterima
kasih atas tuntunan Mula Jadi Na Bolon, hingga mereka bisa
tiba ke sana. Dan, Ronggur tahu, bila luas danau begitu rupa
dihadiahkan pada orang di kampungnya, mereka tidak perlu
lagi mengadakan pancang sebagai batas di danau, sebagai
pertanda bahwa pancang itu perbatasan antara satu marga
dengan marga lain tepi danau mana yang boleh di tempati
suatu marga menangkap ikan. Juga pelanggaran perbatasan
di danau di kampung halaman, sering menimbulkan
perselisihan dan pertengkaran, yang bisa menimbulkan
sesuatu peperangan.
Di danau yang maha luas itu, setiap orang dari setiap
marga mana saja pun, boleh pergi ke mana suka. Menangkap
ikan sekuat tenaga. Modal yang pokok hanya satu, kemauan
bekerja. Sekitar yang bermula dari keluasan itu dan berakhir
pada keluasan itu, menjanjikan kebahagiaan pada setiap
orang, melanjutkan hidup berkeluarga dan keturunan.
Rangsang lain mulai mempengaruhi pikiran Ronggur. Janji
harus ditepati, katanya selalu. Janji yang selalu mengingatkan
kampung halaman, yang mempertajam perasaannya akan
bahaya yang mengancam kerukunan hidup di kampung
halaman. Rindu pada ibu, pada bekas Datu-Bolon yang sudah
tua itu, keinginan untuk me lepaskan mereka dari berbagai
rupa ancaman.
Dia harus mewartakan berita penemuannya itu ke tengah
keluarganya, ke tengah marganya yang sudah mencoret
namanya dari silsilah marga, karena itu janji. Pada
pendengarannya, tambah sering mendengung suara bekas
Datu Bolon yang sudah tua itu, "Anakku, bapak yakin, kalian
akan menemui tanah habungkasan. Walau begitu pahitnya
penerimaan orang di sekitarmu atas cita-citamu, janganlah
kau berkecil hati. Seorang manusia yang ditunjuk dewata
menemui kebenaran, harus dengan tabah pula menyampaikan
warta kebenaran itu pada orang yang ada di sekitarnya. Agar
manusia itu dapat pula mencicipi nikmatnya. Walau pada
mulanya mereka menentangnya, dan menganggap diri yang
dikurnia dewata seorang gila. Mereka tidak perlu dihancurkan,
tapi perlu diinsafkan agar mereka tahu, lalu dapat merasakan
kenikmatan yang terkandung dalam kebenaran itu. Untuk
kelanjutan hidupnya, kelanjutan keluarganya, hingga akhirnya
turut merasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh
kebenaran itu. Karena itu anakku, bila kau menemui tanah
habungkasan di rantau, kau harus kembali kemari membawa
berita ria itu. Berjanjilah anakku, janji seorang lelaki. Karena
janji yang dibuat lelaki, janji yang akan tetap ditepati."
"Aku berjanji, Bapak."
"Terima kasih, Anakku," kata orang tua itu, lalu
melanjutkan, "Anakku, sesuatu penemuan yang bisa membuat
orang gembira dan berbahagia, bila keserakahan diri atau
dendam yang bersarang dalam dada, memaksa dan membuat
orang yang menemui itu tidak mewartakan-nya pada orang
lain, yang memerlukannya, sehingga orang lain tidak dapat
menikmati arti dan nilai penemuan itu akan berkurang, malah
beralih pada penemuan itu akan mengutuki diri. Karena itu,
agar kerjamu tidak sia-sia, janji yang kau buat sebagai lelaki,
penuhilah pula sebagai lelaki yang berhati jantan."
"Aku bapak," katanya. Lantas selanjutnya dia mengatakan,
"Doakanlah aku bapak, agar anakmu ini dilindungi Mula Jadi
Na Bolon."
"Doa dan restuku akan selalu mengiringi perjalananmu."
Dengungan percakapan itu tambah nyata dan jelas.
Memaksanya harus kembali ke kampung halaman,
mewartakan penemuan itu. Harus kembali mengarungi sungai
ke hulu, melawan arus. tapi, telah dapat diduganya, untuk
terus melawan arus, sangat susah.
Karena itu, dia sudah membayangkan bahwa mereka akan
menembus jalan darat. Dari pengenalan akan pundak bukit,
dan usaha menaklukkannya, dari pengenalan akan celah
pertemuan bukit dan usaha untuk menembusnya, dia sudah
dapat menggambarkan suasana perjalanan itu dalam kepala.
Perjalanan yang tentunya memayahkan, tapi perjalanan untuk
memenuhi janji yang dibuhul sebagai lelaki bersikap jantan.
Ronggur telah menentukan kapan mereka memulai
perjalanan pulang itu. Tio diam saja mendengarkan sambil
menundukkan kepala. Berhadapan dengan kebisuan Tio, yang
tidak menyahut itu, Ronggur lalu berkata, "Apakah kau tidak
ingin mewartakan berita ini pada sanak keluarga? Pada setiap
orang, yang selalu diancam bahaya di kampung halaman?
Agar mereka dapat bebas dari ancaman yang selalu menakut-
nakuti mereka itu?"
"Bukan itu alasannya. Bukan itu," sahut Tio.
Wajah Tio agak pucat waktu tengadah padanya. Darah
Ronggur tersirap dibuatnya.
"Tio, wajahmu pucat. Seperti orang sakit. Kau sakit?"
"Tidak. Tidak sakit."
"Kenapa wajahmu sepucat itu? Apa yang terjadi?" Wajah
Tio seperti menanggungkan sesuatu. Bibirnya gemetaran. Tio
merasakan sesuatu menggeliat dalam perutnya. Tambah lama
tambah sering dan menimbulkan perasaan nyeri. Sesuatu
tekanan mendesak hendak melalui kerongkongan, berupa
rintihan dan jeritan. Tapi, ditahan. Namun, sesuatu rintihan
lepas juga dari celah bibir yang dikatupkan, digigit oleh gigi
sendiri. Tapi, masih tetap berusaha tersenyum, bila
pandangnya bertemu dengan pandang Ronggur.
Akhirnya Ronggur tahu, sesuatu akan terjadi. Barulah sadar
arti perobahan bentuk tubuh istrinya, yang akhir-akhir ini
begitu nyata dan jelas. Sambil tersenyum dan duduk dekat
Tio, Ronggur mengatakan, "Kita memang masih belum bisa
memulai perjalanan pulang. Kita harus menanti di sini. Biarlah
perjalanan pulang ditangguhkan untuk beberapa lama."
Cepat Ronggur pergi memetik daun ampapaga, yang
banyak tumbuh di pematang sawah di antara rerumputan.
Daun ampapaga itu di dikeringkan di panas matahari. Bila
sudah kering, direbus, airnya sangat baik buat minuman
seorang ibu yang hendak dan baru melahirkan. Dan, dingin-
dingin ditelempapkan ke perut Tio dan kening. Dijerangkan
terus menerus air panas dalam periuk tanah. Dan, dia tidak
mau lagi pergi jauh-jauh dari dekat Tio, walau Tio selalu
mengatakan, "Aku tidak apa-apa. Tidak usah repot. Pergilah
berburu, atau menangkap ikan."
Ronggur pura-pura tidak mendengarkan. Disunggingkan
senyum sebagai sahutan. Dalam kepala terbayang seorang
anak lelaki yang sehat. Lelaki yang kelak sanggup mengolah
tanah yang bidang menjadi persawahan. Lelaki yang dapat
memelopori orang menjelajah hutan belantara yang abadi itu.
Hendaknya kehijauan daun padi dapat mengimbangi hijaunya
daun pepohonan, agar orang tidak takut kelaparan, juga
diharapkan agar anaknya seorang lelaki yang sanggup meniti
gelombang yang besar di danau luas itu. Mencapai daerah
baru.
Saat kelahiran semakin dekat, dan perasaan nyeri tambah
memaksa Tio merintih, sering juga membuat Ronggur harus
mengatakan dalam kebingungan, "Apa yang harus kuperbuat?
ke mana harus kucari dukun?"
Dari sela rintihannya, Tio menyahut, "jangan repot.
Semuanya akan menjadi beres, berjalan dengan baik." Balik
Tio yang menasihati dan menenteramkan hati Ronggur.
Setelah melengkingkan sebuah pekikan yang panjang lagi
nyaring, Tio lalu memelas, dan segumpal daging telah
ditayang Ronggur dengan hati-hati. Dipotongnya jabang bayi
dengan bambu yang ditajamkan pada kedua sisinya. Bayi
dimandikan. Tio diberinya minum air ampapaga. Kening Tio
yang berkeringat, dilap Ronggur dengan sayang. Anak lelaki
meneriakkan suaranya pertama, seperti warta pada dunia
bahwa dia telah lahir. Tak lama kemudian, Tio sudah dapat
senyum. Menoleh ke bayi yang baru dilahirkannya, seorang
lelaki, cukup umur, cukup merah. Begitu sehat. Tangisnya
pertama menantang gemuruh ombak yang memecah di
pantai. Atau, ombak itu menggamitnya, agar memulai
perjalanan, meniti ombak demi ombak yang begitu besar.
Hari berikutnya, anak kecil itu sudah digendong Ronggur
sambil dinyanyikannya. T idak jarang, Tio harus senyum pada
Ronggur dalam saat begitu bahagia. Kekerabatan dan
keakraban berumah tangga tambah terjalin. Tio sudah
menjadi seorang ibu, Ronggur sudah menjadi seorang ayah,
ibu dan ayah dari anak lelaki yang sehat. Bergaya seorang
yang akan cukup kuat dan punya ketahanan serta keberanian.
Bertambah hari, dan bertambah usia si anak, Ronggur
sudah menggendong si anak ke tepi pantai bersama Tio.
Ronggur selalu mengatakan, "Tataplah dengan mata
kanakmu, luasnya danau yang ada di depanmu, yang menanti
dayungmu berkayuh di permukaannya, meniti ombak demi
ombak yang bergulung-gulung memecah di pantai, mencapai
pantai lain. Tio, katanya, anak kita akan menjadi seorang
pengarung danau yang maha luas ini kelak."
Bila telah dua kali purnama timbul dan tenggelam, maka
Ronggur pun kembali mengatakan, "Tio, sudah waktunya kita
memulai perjalanan kembali ke kampung halaman.
Memberitakan dan mewartakan, akan penemuan-tanah
habungkasan, dan danau yang maha luas ini."
Tio tidak membantah. Dia akan tetap mendampingi
Ronggur, ke mana saja pun. Bermulalah perjalanan itu.
Mulanya menyusuri sungai ke hulu . . ..
ccdw-kzaa
8
Setelah menyediakan segala sesuatu yang perlu dalam
perjalanan, mereka pun memulai perjalanan pulang. Tiga
pundi padi yang bernas dibawa serta, akan mereka tunjukkan
sebagai bukti pada orang di kampung halaman. Bahwa padi
yang mereka bawa sepundi dulu sudah menjadi tiga pundi.
Sedang yang ditinggalkan di tanah habungkasan masih banyak
benar. T idak habis dimakan sekeluarga dalam jangka tiga kali
panen.
Beberapa potong kulit binatang buruan yang halus hulunya
dan sudah dikeringkan dibawa serta. Mereka berusaha, agar
yang dibawa, seringan mungkin dan yang perlu saja dalam
perjalanan. T io, selalu menggendong anaknya di punggung.
Mulanya mereka menyusuri sungai ke hulu. Sampai tiba ke
lempat arus mulai menderas dan susah dikayuh. Baru mereka
mulai menempuh jalan darat. Memenggal-meng-gal hutan
belantara, yang dilingkungi hamparan dedaunan hijau lebat,
permadani alam yang tebal lagi abadi. Jadi, perjalanan pulang
itu pun, sendirinya pula usaha merintis jalan darat, yang kelak
dapat digunakan jalan pulang pergi antara kampung halaman
dan tanah habungkasan, dan lebih aman daripada menyusuri
Sungai T itian Dewata.
Mereka sering berhenti di satu tempat sampai dua tiga hari,
mempelajari pintasan jalan yang lebih mudah ditempuh.
Begitu pula mengadakan tanda tertentu pada sesuatu pohon,
yang dipanjat Ronggur untuk menentukan arah tempuh.
Mempelajari jalur lembah dangkal yang banyak dalam hutan,
dan memilih tanjakan yang tidak menaik untuk didaki.
Tambah jauh mereka menyusup ke pedalaman hutan, bukit
dan lembah tambah banyak mereka temui. Lembahnya
tambah dalam dan perbukitannya tambah tinggi. Tanah di
lembah dipelajari Ronggur baik-baik. Melalui pengenalannya
akan tanah, tahulah dia, tanah itu sangat baik dijadikan
perladangan atau persawahan, bila kekayuan hutan sudah
ditebang. Sedang pundak perbukitan yang juga ditumbuhi
kekayuan tua, bukanlah bukit batu seperti bukit tandus di
kampung halaman. Tapi, bukit tanah yang gembur, hitam
mengandung kesuburan. Tidak tanah tipis melapisi batu alam.
Tidak jarang pula mereka temui parit kecil yang bermula
dari sesuatu dinding bukit yang bercelah. Airnya begitu bening
dan dingin. Sejuk. Pada sesuatu mata air begitu, Ronggur
selalu mengadakan tanda.
Dalam merintis jalan itu, Ronggur selalu berusaha agar
mereka dapat tiba kembali ke tempat air terjun itu. Tapi, di
tengah hutan tidak jarang mereka bertemu dengan kumpulan
binatang buruan yang enak dagingnya. Dan, tidak jarang pula
mereka harus mempertahankan diri dari serangan binatang
buas: harimau, beruang, dan kelompok gajah. Penciuman si
belang banyak membantu keselamatan rombongan kecil itu.
Bila si belang meringis dan mengarahkan penciumannya ke
satu arah terus-terusan, cepat mereka mengalih langkah.
Menyisih dari tempat sesuatu binatang buas, sarang binatang.
Tapi, tidak jarang Ronggur dengan dibantu si belang, harus
mengadakan perlawanan mempertahankan diri, kalau
kepergok. Dalam saat begitu, Tio memeluk anaknya, sambil
berjaga.
Mereka terus menyuruk di bawah hamparan dedaunan
hijau yang abadi itu. T erus berusaha mengarahkan langkah ke
tempat air terjun itu. Dari sana baru mereka tentukan, pundak
bukit yang memanjang sebagai pagar dan batas tanah dataran
tinggi kampung halaman dengan tanah habungkasan, yang
harus ditaklukkan. Atau, celah bukit mana yang harus
diterobos menuju kampung halaman. Dedahanan kekayuan
yang berjalinan mendukung dedaunan lebat, menghambat
sinar matahari menimpa tanah. Sehingga terasa, jangka siang
hari, agak pendek di bawah naungan yang tebal itu.
Anak mereka yang sudah mendekat ketiga purnama
usianya, dan sudah dapat melempar senyum di saat dia
merasa senang, tidak dapat melempar senyum, sebaik dia
turut mendengar suara air terjun yang mengguruh.
Tapi, bila lama-lama mereka berada di sana dan tidak ada
sesuatu yang menyakiti tubuhnya, dia tersenyum kembali.
Sedang Ronggur mengarahkan tatapan si anak ke air terjun
yang memutih kapas itu.
Apa yang ditakutkan Ronggur pada mulanya masih tetap
tidak terjadi. Batu jaluran yang ditembus air sungai yang
terjun, masih tetap kokoh pada tempatnya. Tidak terjadi
reruntuhan. Tapi, gemuruhnya tetap menderu. Dan, benda
putih diambangkan ke atas terus menerus. Bila lama kelamaan
ditatapi jatuhnya air itu dan kuping biasa kembali mendengar
suara mengguruh itu, yang menyerupai aum harimau, mereka
namakan air terjun itu, Sampuran Harimau.
"Tio," kata Ronggur, setelah beberapa lama mereka
terpukau di tempatnya tegak.
Tio memaling wajah pada Ronggur tanpa sahutan.
"Kita istirahat di sini untuk beberapa hari. Melepas lelah.
Dari sini kita akan mulai mendaki kaki pegunungan,
menaklukkan pundak demi pundak bukit, dan berusaha
menerobos celah bukit. Jalan memotong ke kampung
halaman. Perjalanan begitu tentu berat. Karena itu, perlu kita
istirahat untuk beberapa hari. Agar tenaga kita pulih kembali."
"Harus di sini kita istirahat?" tanya Tio.
"Ya, agar mudah kita memperoleh air. Lagi pula dinding
bukit sebelah sana, terdiri dari batu alam yang tidak keras.
Mudah digali. Untuk dijadikan lobang perlindungan. Aku akan
memburu binatang buruan, agar cukup daging untuk dimakan
nanti dalam perjalanan. Di pundak bukit gundul itu, payah
ditemui binatang buruan."
Mereka menggali lobang perlindungan yang agak luas. Agar
memberi ruang yang lapang bagi mereka. Ronggur dan Tio
bekerja sama menggalinya. Anak mereka ditidurkan di tanah
beralaskan kulit binatang buruan yang lembut. Di sampingnya
duduk si belang seperti menjaga. Ekornya dikibaskan, agar
tidak ada serangga hinggap ke wajah anak yang sedang tidur
nyenyak itu. Menjelang senja Ronggur dan Tio berhenti
menggali lobang. Mata mereka patok menatapi permainan
warna pelangi aneka rupa berpadu dengan air yang memutih
kapas. Sambil menggendong anaknya, Ronggur mengatakan,
"Lihat, lihat Tio. Betapa indah. Tari warna yang sempurna.
Begitu indah kalau hujan tidak turun atau kalau kabut tidak
menyungkup."
Tio mengikuti telunjuk jari Ronggur.
Nanar mereka menatapi tari warna pelangi yang aneka
ragam itu, mengagumi lukisan alam yang sempurna. Beberapa
ekor burung terbang di udara, menuju hutan belantara luas,
mencapai sarang. Sayang sekali, cicitnya tenggelam ditelan
gemuruh air terjun yang jatuh, tidak kedengaran.
Pada hari berikutnya, tinggal Tio saja yang meluaskan
mulut lobang perlindungan dan memperluas ruang dalam.
Ronggur sudah pergi berburu bersama si belang. Bila anaknya
haus, meminta ditetekkan, dia duduk berjuntai di mulut gua.
Mencampakkan pandang ke sekitar, di bawahnya tanah
habungkasan yang mereka temui. Oi sebelah kanan, air
terjun, dan mengitari itu semua, kaki bukit memanjang lagi
tinggi, bukit gundul.
Sejak lahir anak itu sudah disusukannya dan sudah berapa
lama itu berlangsung. Tapi, bila saat menyusukan tiba, dan
mulut anak itu sudah mengisap-isap muncung buah dadanya,
sesuatu perasaan selalu menggeliat dalam dada, rasa keibuan,
sumber kasih sayang abadi bagi seorang anak yang lahir dari
rahimnya. Tahulah dia, kenapa ada nyanyian alam terpendam
pada dedaunan yang berdesir bila disentuh angin lalu, tahulah
dia, kenapa pekikan keras lagi sakit waktu melahirkan sang
anak bercampur nikmat. Tidak jarang dalam saat begitu, dia
memicingkan mata menikmati kesempurnaan rasa bahagia di
saat mulut anaknya mengisap muncung buah dadanya.
Sedang mulutnya akan mendendangkan lagu seorang ibu,
lagu yang menyuarakan perasaan kasih sayang:
Pejamlah mata sayang seorang
kenapa harus kerisik seperti
dedaunan berhalau ditiup angin lalu
dunia terhampar di ujung kakimu
Pejamlah mata anakku seorang
menanti bapak kembali pulang
dari tengah hutan belantara
binatang buruan tersandung dibahu
Pejamlah mata intanku sayang
bila malam jatuh, bulan gemintang
kudekap kau pelukanku hangat
Pejamlah mata buah hati bunda
subuh tiba mula hari baru
berjuta utasan cahaya matahari
menyinari padang kembaramu
Tidak jarang Ronggur pergi berburu seharian. Dia sangat
giat mengumpulkan daging binatang buruan. Sesekali
dijinjingnya ikan yang dipancingnya. Sedang mulutnya akan
cepat mengatakan, "kita harus banyak menyediakan daging.
Boleh jadi di pundak pegunungan gundul sana, payah
dijumpai binatang buruan."
Mereka potong tipis daging binatang buruan itu. Kemudian
mereka panggang di atas bara sampai kering. Sedang di siang
hari, Tio menjemurnya di bawah sinar matahari, agar cukup
kering dan tahan lama.
Bila Ronggur tidak pergi berburu, dia tambah sering
mencampak pandang ke air terjun itu dengan berlama-lama.
Begitu tekun. Suatu perasaan merangsang dirinya, terbayang
di wajahnya. Dia tidak dapat mengucapkan melalui bentuk
kata yang cukup tepat. Tapi, dia telah merasakan. Tio selalu
memperhatikannya di saat begitu. Dan, Ronggur merasakan,
alangkah susahnya dia untuk mengucapkan yang sedang
bergolak di dadanya, yang ditimbulkan air terjun itu. Sekali
waktu Tio mengganggunya dari menung menatapi air terjun
itu, "Bertambah hari, kulihat abang bertambah tekun
melihatnya. Tak bosan."
Sambil mengalih pandang pada Tio yaYig berdiri dekatnya,
Ronggur menyahut, "memang benar dugaanmu, Tio."
"Tapi, aku merasa takut digertak suaranya yang terus
menerus mengguruh itu. Kalau tidak bersama abang, aku
tidak kerasan di s ini."
Lama Ronggur menumpu pandang ke mata Tio. Lama
bibirnya bergerak-gerak, namun seucap kata belum melepas
dari bibirnya.
"Ada apa Bang?" tanya Tio. Membangunkan Ronggur dari
kebisuannya.
"Aku tidak tahu Tio," sahutnya. "Ada sesuatu yang
kurasakan. Yang timbul dari air terjun ini. Perasaan itu
melumpuhkan segala ketakutanku pada air terjun itu. Malah
dibuatnya sesuatu rasa bersyukur."
"Kenapa begitu?"
"Perasaan itu seperti membisikkan padaku bahwa a ir terjun
ini mengandung suatu manfaat. Menjanjikan sesuatu
kebahagiaan pada manusia."
"Manfaat apa?" tanya Tio terbodoh.
"Manfaat bagi kehidupan manusia."
Seketika mereka bertatapan tanpa mengucapkan kata. Biji
mata Tio begitu bening tapi jelas tampak tidak mengandung
pengertian akan apa yang diucapkan Ronggur. Sedang
Ronggur kemudian mengalih pandang ke air terjun itu, sambil
mengatakan, "kurasakan, justru karena adanya air terjun ini,
membuat arus sangat deras. Karena tempat jatuhnya begitu
tinggi dan curam, binatang air yang menakutkan dan buas itu
tidak bisa datang ke Danau Toba."
"Itu boleh jadi," sahut Tio berusaha mengerti. "Di samping
itu, masih ada manfaat lain dikandung air terjun ini."
"Apa lagi?" tanya Tio mendesak. Akhirnya dia sendiri ingin
mendengarkan yang dirasakan Ronggur.
"Kurasakan air terjun ini mempunyai suatu tenaga yang
sangat besar dan kuat. Selalu perasaanku berkata begitu.
Dan, bila tenaga yang terkandung di air terjun ini digunakan
manusia untuk kehidupannya, maka hidup manusia akan lebih
berbahagia. Orang kelak akan dapat menggunakannya untuk
kehidupannya. Sekarang memang yang kita lihat, darinya
timbul bencana saja. Coba kalau diri diterjunkan bersama air
terjun pasti lumat. Darinya timbul anggapan selama ini,
Sungai Titian Dewata jatuh ke ujung dunia. Hingga tak
seorang pun selama ini berani menyusurinya untuk mencapai
tanah habungkasan. Tapi, nanti, entah kapan, bila orang
menggunakan tenaga yang terkandung di air terjun ini, maka
tenaga yang disimpan air terjun ini bisa memberi arti yang
bernilai bagi -kehidupan manusia."
Tidak dapat Tio membumbui cakap Ronggur. Namun dia
tidak membantah seperti kebiasaannya yang tidak mau
membantah cakap Ronggur, walau dia tidak dapat
mengartikannya.
"Karena itu," kata Ronggur selanjutnya, “jangan lagi takut
padanya. Jangan lagi kutuk dia. Tapi, haruslah merasa
bersukur karena dia ada. Bersukurlah, karena dia menjanjikan
sesuatu kebahagiaan bagi kehidupan manusia di masa
datang."
Tio mencampak pandang ke tempat air terjun itu jatuh. Air
yang jatuh berputar pada lingkaran berbentuk kolam, arusnya
gelisah membentuk suatu pusingan yang cepat, yang bisa
menenggelamkan lalu menghancurkan sesuatu yang jatuh ke
sana. Tio merasa ngeri melihatnya. T io takut dibuatnya. T api,
semua perasaan itu ditekannya habis-habis, agar dia tidak
membantah yang dikatakan dan dirasakan Ronggur. Malah dia
ingin turut merasakan yang dirasakan Ronggur, tapi
perasaannya belum juga merasakannya.
Setelah beberapa hari istirahat dan tenaga mereka sudah
pulih kembali, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Jalanan
yang harus ditempuh, langsung mendaki bukit. Sesekali
menyusur di tebingnya, mencapai sesuatu celah, lalu
menembusnya untuk kemudian terus lagi mendaki sampai
pundak bukit ditaklukkan. Perjalanan yang memayahkan.
Perjalanan mereka agak lambat. Dalam sehari, terkadang
hanya sepundak atau dua pundak bukit saja yang dapat
mereka taklukkan. Ronggur selalu memilih celah bukit tempat
bermalam, agar terlindung dari serangan angin yang cukup
kuat. Tio menggendong anak mereka. Sedang Ronggur
memikul peralatan. Si belang mengikut di belakang, atau
terkadang berlari di depan. Menggonggong dan menggunakan
penciumannya.
Dengan mengenali pundak bukit mencari celah pertemuan
bukit, rombongan kecil itu terus mendaki pundak demi pundak
bukit yang berlapis-lapis, menuruni lembah batas perbukitan
yang berlapis-lapis itu untuk mendaki lagi. Tidak mengenal
lelah, tidak mau henti sebelum matahari tenggelam. Dan,
akhirnya lapisan bukit itu dapat ditaklukkan. Lalu lembah
dataran tinggi, yang dilingkari lapisan bukit demi bukit
melingkar dan memanjang, lembah kampung halaman, telah
berada kembali di hadapan pandang. Di tengahnya, tenang,
bersama kebiruannya yang damai, danau kesayangan,
mengitari Pulau Samosir. Di sekitar tepian danau, bertumpuk
rimbunan bambu duri, pertanda perkampungan.
Mereka bertatapan untuk kembali mencampak pandang ke
lembah perkampungan yang sudah sekian lama ditinggalkan.
Ronggur mengambil anak mereka dari gendongan T io. Tangan
anak itu dituntunnya menunjuk ke arah perkampungan sambil
mulut Ronggur berkata, "Itulah kampung nenek moyangmu,
ananda."
Mereka menarik napas lega, terutama Tio. Dan, karena
udara kembali dingin, mereka telah memakai kulit binatang
buruan yang halus bulunya. Terlebih anak mereka. Diselimuti
baik-baik sehingga tidak merasakan udara dingin. Dalam
hayalnya Tio telah mengatakan pada diri sendiri bahwa dia
akan membawa sisa anggota keluarga marganya ke tanah
habungkasan, agar bisa bebas dari nasib jelek yang menimpa
marga. Dia membayangkan betapa bahagia keluarga
marganya, mengecap nikmat udara kemerdekaan, setelah
sekian lama harus menjadi budak orang lain.
Tiba-tiba saja Ronggur memecah kesunyian itu, "Tio, satu
perjalanan panjang, menembus Sungai Titian Dewata,
mengarungi rimba alam abadi, telah kita laksanakan dengan
berhasil. Walaupun dengan susah payah. Tapi, di hadapan
kita, menanti tugas baru. Kita harus menaklukkan dan
menguasai alam pikiran orang di kampung halaman, yang
mempercayai bahwa Sungai Titian Dewata berakhir ke ujung
dunia. Bila hasil perjalanan ini kita sampaikan pada mereka,
maka sendi kepercayaan mereka berarti digoyang. Pekerjaan
begitu tidak akan mudah. Merombak keyakinan seseorang,
menggantinya dengan kepercayaan baru tidaklah kerja
mudah. Akan jauh lebih payah daripada menaklukkan pundak
bukit yang cukup tinggi. Karena itu, kau harus tabah nanti
menerima segala sikap yang mengejek dan menantang. Yang
mungkin menyakitkan hati, atau membahayakan jiwa. Tapi,
ketahuilah Tio, aku cinta padamu. Kaulah seorang perempuan
yang telah berani menemani aku menempuh satu perjalanan
yang menantang keyakinan orang sekitar yang telah turun
temurun menguasai alam pikiran mereka. Kau telah
mengorbankan alam pikiranmu sendiiri untuk mengikuti
jejakku. Aku berhutang budi padamu dan aku cinta padamu."
Lama Tio terdiam. Kemudian dengan tidak dapat
dilawannya, dia telah menyandarkan kepala ke bahu Ronggur.
Dia mengisak di sana. Tanpa mengatakan sesuatu. Ronggur
mengelus rambutnya dengan sebelah tangan, sedang tangan
sebelah lagi, menggendong anaknya.
Perlahan Tio mengangkat kepalanya. Bertatapan dengan
Ronggur. Kemudian sama-sama mereka mencampak pandang
ke lembah di bawah, lembah perkampungan. Tangan kiri
Ronggur menggendong anaknya, tangan kanannya memeluk
pinggang Tio. Oi ujung kaki duduk si belang menjulurkan
lidah, menatap ke arah yang sama.
"Ronggur," kata Tio, “maukah kau membawa sisa warga
margamu ke tanah habungkasan?"
"Tentu, sudah tentu," jawab Ronggur, "mereka anak
manusia seperti kita. Mendambakan bahagia dalam hidupnya.
Dan di samping itu, mereka jaluran paman anakku. Jaluran
famili yang harus kuhormati, apalagi anakku."
Orang di kampung halaman sebenarnya telah lama
melupakan mereka berdua. Tidak menjadi bahan percakapan
lagi. Kenangan terhadap mereka bertambah tipis lalu
menghilang bersama bertukarnya penanggalan hari,
tenggelam, dan timbulnya kembali purnama. Orang
melupakan mereka dengan ucapan yang tumbuh dari
kepercayaan mereka:
"Dikutuk dewata dan para arwah. Matinya, mati terkutuk.
Arwahnya akan disumpahi Mula jadi Na Bolon."
Sedang ibu Ronggur, karena terus menerus menanggung
rindu dan tidak tahan mendengar ejekan yang diarahkan pada
anaknya dan padanya sendiri, karena dia seorang ibu yang
melahirkan anak durhaka, tidak berapa lama setelah Ronggur
dan Tio berangkat dulu, pulang ke tempat asalnya, ke
hadapan Mula Jadi Na Bolon.
Pada mulutnya, ibu tua itu masih mengharapkan anaknya
cepat kembali. Tapi, setelah beberapa kali purnama tenggelam
dan terbit lagi, dan anaknya tidak pulang juga, membuat
kemauan hidup melemah. Lalu, berakhirlah hidupnya.
Orang percaya, arwahnya akan tidak diterima Mula Jadi Na
Bolon dengan baik. Di saat mati, dia tidak punya apa-apa.
Hingga dia dikebumikan tanpa upacara dan gondang. Para
dewata tidak akan datang menjemput arwahnya ke tempat
yang baik me lalui Sungai Titian Dewata. Karena para dewata
tidak diberi tahu atas kematiannya, melalui pukulan gondang
yang dipalu dan mengorbankan beberapa ekor babi serta
ayam putih.
Tapi, bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan, tidak
bosannya, setiap hari mencampakkan pandang ke arah
matahari terbit. Meneliti pundak bukit dan celah bukit yang
ada di sebelah timur. Dia masih tetap percaya, Ronggur dan
Tio akan kembali membawa berita ria. Pertanyaan yang
sebenarnya berupa ejekan yang diajukan orang padanya,
selalu disahutnya dengan baik.
"Sudah pulangkah Ronggur dari tanah habungkasan?
Sudah ditemuinya tanah habungkasan yang dijanjikan setan
itu? Kapan pulang, si anak durhaka itu?"
"Dia akan pulang membawa berita ria bahwa tanah
habungkasan yang dijanjikan para dewata telah ditemuinya.
Ronggur anak yang memperoleh petunjuk secara langsung
dari dewata. Dia anak yang berbahagia."
"Apa kau katakan? Para dewata mengganti setan? Patutlah
ramalan tenungmu tidak ada yang benar."
"Bukan setan yang menggoda. Tapi, dia telah dilahirkan
untuk menyampaikan kehendak dan pesan dewata."
Orang lalu tertawa. Kemudian orang itu me lanjutkan,
"Bukankah kau yang membuat ayah si Ronggur menemui ajal,
karena kau ajak dia menyusuri Sungai T itian Dewata?"
“Kami mengalami kegagalan yang mengakibatkan
kecelakaan itu. Aku akui, tekadku kurang kokoh waktu itu. Aku
meloncat dari biduk membuat keseimbangan biduk hilang.
Ayah Ronggur menemui ajal karena kecelakaan itu."
Mendengar sahutan begitu, orang menjadi ramai tertawa
lalu pergi sambil berkata, "Orang gila. Si tua gila."
Tapi, lama kelamaan orang tidak mau lagi mengganggu,
mencakapinya. Orang membiarkan menatap ke arah matahari
terbit setiap pagi. Orang tidak mengacuhkannya lagi. Malah
orang sudah sependapat, dia seperti tidak ada lagi. Orang
tidak memanggilnya ke pertemuan marga dan ke sidang
kerajaan marga.
Berita yang datang dari kampung sekitar, baik mengenai
perdamaian, begitu pula mengenai peperangan yang terus-
menerus meletus, antara satu marga dengan marga lain,
antara satu suku dengan suku lain, dan antara satu lunak
dengan luhak lain tidak disampaikan orang padanya.
Malah waktu marganya sendiri harus berperang karena
memperebutkan hutan di teluk danau itu, yang berakhir atas
kemenangan marganya, waktu itu pun, tenaganya tidak
diminta orang membantu marga. Marga yang dikalahkan
marganya itu, akhirnya harus membayar upeti pada kerajaan
marga. Membuat marga mereka menjadi lebih berkuasa, kuat,
dan kaya. Persawahan dan perkampungan tambah banyak
mereka kuasai. Orang yang kalah, yang dapat dihancurkan
kerajaan marganya, bila tertangkap, dijadikan budak belian.
Sedang yang sempat melarikan diri, pergi ke kaki bukit
terpencil, ke tanah batu yang sama sekali tidak baik dijadikan
persawahan, menjadi orang buruan. Sedang kerajaan marga
yang tidak sempat dihancurkan, lalu meminta damai sete lah
melepaskan haknya atas apa yang diperebutkan, harus pula
membayar upeti pada kerajaan marga mereka.
Orang tua itu membiarkan rambutnya panjang. Sehingga
sudah sampai di pundak. Memutih uban. Pipinya cekung.
Wajahnya bertambah lancip. Tapi, sinar matanya tetap
mengandung sinar kepercayaan. Tidak melesu. Dan, pagi itu
sinar mata tambah bening dan bersinar. Dijauhan ada tiga
benda kecil dilihatnya bergerak-gerak di kaki bukit sebelah
timur. Setiap saat benda yang bergerak itu mendekat atau
menurun ke lembah perkampungan mereka.
Matahari bersinar terang. Tidak ada awan di langit. Tanpa
disadarinya dia bertempik dan berlari ke tengah kampung,
sampai orang pada tercengang. Terlebih karena dia
meneriakkan, "Mereka telah kembali. Ronggur telah kembali
dari tanah habungkasan. Mereka sedang menuruni kaki
gunung sebelah timur."
Orang bertemperasan ke luar rumah lalu terus pergi ke
gerbang kampung sebelah timur. Menatap dengan patok ke
arah yang dimaksud orang tua itu. Mereka juga memang
melihat ketiga titik yang bergerak itu. Belum pernah seorang
manusia pergi ke sana. Karena gunung itu gunung angker
menurut kepercayaan mereka. Apalagi bila orang menurun
dari pundaknya, tempat matahari muncul.
Pagi itu juga kerajaan marga mengadakan sidang.
Diputuskan untuk mengirim kurir penunggang kuda,
menyelidiki keadaan sebenarnya. Kalau memang itu
rombongan Ronggur supaya dibawa pulang.
Sebanyak tiga orang penunggang kuda bergerak. Mereka
bawa juga dua ekor lagi kuda, yang tidak punya beban. Hati
tiap orang tambah gemuruh. Setiap orang melahirkan
anggapan dan duga demi duga. Apa yang akan terjadi. Atau
apa yang telah terjadi? Warta apa yang akan datang?
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, masih mengatakan bahwa
itu bukan rombongan Ronggur. Tapi, binatang liar lagi buas.
Percakapan menjadi simpang siur. Namun setiap orang lebih
menginginkan bersikap menanti, apa yang akan disampaikan
penyelidik yang sudah dikirim kerajaan.
Sampai sore orang semua tinggal menanti. Tidak ada yang
turun ke sawah. Tidak ada yang turun ke danau. Tiap orang
seperti terpacak di tempat masing-masing.
Bila senja telah mulai memerah di langit, mencampakkan
sinar yang beraneka warna ke permukaan danau, mereka
sudah dapat melihat kepulan debu mengepul ke udara.
Penyelidik penunggang kuda sudah pulang. Kuda yang dua
ekor lagi sudah ada penunggangnya. T ambah lama, bersama
dengan bertambah merahnya warna senja, rombongan itu
bertambah dekat. Orang terus saja dapat mengenali bahwa
penunggang kuda yang keempat, Ronggur. Di belakangnya
Tio menggendong bayi. Sedang dipangkuan Ronggur, si
belang menjulurkan lidah.
Suasana tambah tertekan. Setiap orang terdiam. Setiap hati
tambah bertanya. Anak yang sudah disangka mati dikutuk
dewata, telah kembali ke tengah mereka. Anak yang dikenal
kecakapan, ketabahan, keberanian, dan kekuatan serta
keuletannya, tapi sayangnya pula anak yang telah dicoret dari
silsilah marga karena digoda setan, dan berusaha
meruntuhkan kepercayaan mereka yang bisa membuat
dewata marah, telah kembali di tengah mereka. Tanpa kurang
sesuatu.
Ronggur melompat dari punggung kuda. Setelah menuntun
Tio turun dari pundak kuda, lalu terus mendekat ke orang
banyak. Dia tidak langsung menuju ke tempat raja yang juga
hadir di sana. Tapi, mendekat pada orang tua yang berambut
panjang putih itu. Mereka memberi sembah. Lalu dari mulut
Ronggur keluar kata:
"Bapak, Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan, yang tidak
pernah salah tafsir tenungnya. Dengan bantuan doa Bapak,
anakmu ini telah menemukan tanah habungkasan yang sangat
luas lagi landai, juga menemui sebuah danau yang tidak
bertepi tapi airnya asin. Namun sangat banyak ikan. Dataran
yang landai, ditumbuhi pohon kelapa berjajar, seperti pagar
tepian danau. Di punggungnya, hutan belantara yang sangat
hijau lagi luas, memberi imbangan akan luasnya danau yang
ada di depannya. Tanah di sana sangat baik dijadikan
persawahan. Bukan tanah tipis menyaputi batu alam. Hutan
menyimpan binatang buruan yang jinak. Orang yang pergi ke
sana, tidak perlu takut kehabisan makanan. Orang yang pergi
ke sana, tidak perlu berkelahi karena setitik air parit. Di sana
kedamaian akan tercipta, karena setiap orang rajin bisa
membuka tanah persawahan sesuka hatinya. Lagi pula, apa
yang kita takutkan bahwa penduduk akan sangat padat
sedangkan tanah begitu sempitnya karena penemuan tanah
habungkasan ini tidak jadi persoalan lagi. Setiap orang bisa
punya anak berpuluh-puluh, namun tidak perlu takut
kekurangan tanah. Tanah, alangkah gembur dan subur.”
"Di manakah itu, Anakku?" tanya orang tua itu ber-napsu.
"Di seberang ujung dunia. Sebenarnya bukan ujung dunia,
Bapak. Sungai Titian Dewata pada salah satu tempat, memang
mempunyai arus yang sangat deras. Karena ada air terjun, air
harus menuruni sebuah lembah yang sangat curam. Tapi,
itulah pula mula tanah landai, tanah habungkasan. jadi,
Sungai Titian Dewata tidak pernah putus. Setelah air terjun,
Sungai Titian Dewata terus mengalir, membelah dada hutan
belantara yang sangat lebat dan rimbun itu."
"Anakku, berapa keluarga yang dapat di tampung tanah
habungkasan yang kau temui itu?"
"Berapa keluarga? Ah, cobalah bapak bayangkan, sejauh
mata memandang hanya tanah yang landai yang tampak,
tanah yang hijau tidak bertepi. Sampai bertemu dengan kaki
langit. Jadi aku tidak dapat mengatakan berapa keluarga.
Tapi, semua keturunan si Raja Batak dapat di tampungnya
sekaligus dan bersama keturunan yang akan datang tanpa
menakutkan bahwa tanah garapan akan habis. Tanah di sana
tidak akan habis."
Sambil menitikkan air mata bening karena gembira, orang
tua itu lalu mengatakan:
"Anakku, kau telah melaksanakan petunjuk dewata,
sehingga lahir dalam melaksanakan petunjuk dewata,
sehingga lahir dalam kenyataan. Setiap orang seharusnya
mengucapkan terima kasih padamu dan pada Mula Jadi Na
Bolon yang telah menciptakan tanah habungkasan itu.
Pertempuran yang sering terjadi antara satu marga dengan
marga lain atau antara satu luhak dengan luhak lain, yang
kemudian menimbulkan luka serta duka yang dalam dan lebih
kejam lagi yang menimbulkan kemelaratan dan golongan
tertindas, akan tidak perlu berulang. Setiap orang akan
memperoleh kebebasannya kembali mengerjakan tanah,
bukankah begitu, Anakku?"
"Ya, Bapak."
"Terimalah ucapan terima kasihku padamu, Anakku."
Orang banyak, baik penduduk biasa, pun kerajaan,
semuanya terdiam mendengarkan percakapan itu. Tapi, dari
mata Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, memancar sinar
kebencian dan dendam. Tiba-tiba saja dia berkata, suaranya
terus lantang:
"Ronggur, kau telah mengatakan segala dusta. Apakah
buktinya bahwa kau telah menemukan tanah habungkasan
seperti yang kau dustakan?"
Ronggur mengeluarkan pundi yang tiga itu, yang padinya
begitu bernas, lalu, "Waktu aku berangkat dulu dari sini,
hanya sepundi kubawa. Sekarang aku bawa tiga pundi padi
yang bernas. Sebenarnya hendak kubawa lebih banyak. T api,
karena perjalanan begitu jauh, lagi pula harus melalui pundak
bukit dan celah bukit, aku memutuskan membawa tiga pundi
saja sebagai bukti. Tapi, di tanah habungkasan, kutinggalkan
padi bagi keperluan orang yang mau pindah ke sana dalam
taraf pertama. Menjamin keperluan mereka sebelum saat
panen tiba. Saat panen lebih pendek di sana daripada di sini.
Padi lebih cepat matang. Lihatlah, betapa bernasnya padi ini."
'Ke mana pergi gelang yang dipakai si Tio pertanda dia
budak?. Dan, anak siapa yang digendongnya itu? Anakmu?
Kau mengawini atau memilih seorang budak menjadi ibu
anakmu?"
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak tersenyum mengejek.
Wajah Ronggur memerah padam. Dengan suara menghentak,
"Tio telah menjadi isteriku, perempuan yang paling setia dan
tabah. Kami telah dipersatukan Mula Jadi Na Bolon secara
langsung, sewaktu kami tiba ke tempat jatuhnya air Titian
Dewata untuk pertama kalinya. Demi menghormati kesetiaan
dan ketabahannya, aku jadikan dia istriku. Dialah isteri paling
setia. Dia telah kubebaskan. Dia tidak akan pernah menjadi
budak lagi."
"Aku tidak mempercayai cakapmu. Tiga pundi soal
gampang. Bisa saja kau curi dari lumbung orang. Tapi, kau
telah mengatakan bahwa Sungai Titian Dewata tidak jatuh ke
ujung dunia, jadi persoalan. Kau telah menghancurkan
kepercayaan kami. Kau telah mengawini seorang budak belian
yang diharamjadahkan orang merdeka. Kau telah membuat
segala pekerjaan keji dan mengatakan kata yang keji. Inilah
persoalan yang sangat berat. Pada orang yang melakukannya,
dapat dijatuhkan hukuman. Dan, itu semua, kutuduhkan
padamu dan aku meminta pertimbangan khalayak dan
kerajaan, agar memilih bentuk hukuman yang pantas
ditimpakan padamu. Kalau tidak, para dewata akan murka.
Dan, mengutuk marga ini. Marga yang kuat perkasa lagi kaya
ini, marga yang dikurnia oleh dewata."
Kerajaan yang lengkap cepat saja mengadakan sidang.
Dalamm rapat kerajaan, suara Datu Bolon memegang peranan
yang penting. Karena persoalan, soal kepercayaan.
“Kita akan dikutuk para dewata dan arwah nenek moyang,
bila kita mau mendengar cakap dusta ini. Kita dulu
memutuskan, akan menangkap si Ronggur, akan
menjadikannya budak belian, bila dia kembali ke kampung
halaman ini. Tapi, sekarang tuntutanku tidak sampai di situ.
Karena dia telah mendustai kita dan dia telah membebaskan
seorang budak marga tanpa persetujuan sidang kerajaan,
tuntutanku:
Menangkap dan menghukum si Ronggur bersama budak
belian itu. Hukum mati. Ini perlu, agar para dewata yang telah
melindungi kita, yang telah membuat kita menang dalam
peperangan tidak memurkai kita. Bukankah kita sudah harus
bersyukur pada para dewata dan arwah nenek moyang,
karena sebaik kita mencoret nama Ronggur dari silsilah
marga, dan tak mau mendengarkan cakapnya, telah dua kali
marga kita mengalahkan marga lain dalam peperangan?
Hingga marga kita menjadi marga yang berkuasa, kuat, kaya,
dan dihormati setiap marga? Dan, luhak kita, menjadi daerah
taklukan kita?"
Segala saran yang dilancarkan Datu Bolon gelar Guru
Marlasak, mempengaruhi keputusan kerajaan. Lalu
mengeluarkan perintah, menangkap Ronggur dan Tio. Telah
diputuskan pula, besok pagi, akan dipalu canang ke tiap
kampung yang dikuasa i marga itu, untuk mengumpulkan
mereka, lalu sama menyaksikan hukuman mati yang harus
dijalani Ronggur bersama T io, karena mereka telah menghina
kepercayaan. Agar pengaruh yang dibiuskan Ronggur tidak
mempengaruhi orang untuk seterusnya.
Ronggur dan Tio diikat pada batang pohon mangga yang
besar. Bayi diletakkan di depan, mereka, langsung di atas
tanah. Dekatnya si belang. Apak kecil itu menangis sejadinya.
Tapi, tak seorang pun dibolehkan menyentuhnya.
Mendengar tangis bayi kecil itu, tidak saja perasaan Tio dan
Ronggur serasa disayat. Turut si belang menitikkan butir air
dari matanya. Tambah lama, suara anak menjadi parau. Si
belang mendekatkan moncongnya ke mulut anak itu. Lalu
lidahnya dijulurkan si belang. Disapukannya ke bibir anak.
Sampai basah. Lalu lidah anak itu menjilat bibirnya. Kemudian
lidah anak itu secara langsung disapu lidah si belang.
Sehingga air dari lidah si belang berpindah ke lidah anak itu.
Tangis anak itu mereda. Si belang meringis kecil, merasa
gembira dapat mendiamkan tangis anak itu. Bila matanya
dicampakkan ke arah T io dan Ronggur, si belang memperoleh
senyum terima kasih dari tuannya.
Segala alat yang dibawa oleh Ronggur dan Tio
ditumpukkan depan mereka, juga ketiga pundi padi itu. Semua
akan dibakar. Supaya bekas dari kejadian itu tidak tinggal
sedikit pun.
Tidak berapa lama setelah senja berganti malam, Raja
Panggonggom bersama pengiringnya, masih datang menemui
Ronggur, mengusulkan agar Ronggur mencabut kembali
semua yang telah diucapkannya.
Hukuman bisa dientengkan, tak perlu hukum mati, asal dia
mau. Tapi, Ronggur harus bersedia menjadi budak, begitu
pula Tio dan anaknya. Ronggur menolak sarat itu. Malah
dikatakannya:
"Aku tidak dapat membenarkan yang salah, begitu pula
sebaliknya. Yang benar harus kukatakan benar. Percayalah
padaku, Paduka Raja."
Tapi, Raja Panggonggom tidak mendengarkan. Bila fajar
pagi terbit hukuman mati itu akan dilangsungkan.
Cepat saja berita yang dibawa Ronggur dan Tio menjalar ke
mana-mana. Sampai ke kaki bukit tempat orang melarat,
tempat orang yang tidak berpunya, dan tempat
persembunyian orang buruan. Mereka menegakkan kepala
mendengar berita itu. Terutama setelah mereka memperoleh
penjelasan langsung dari bekas Datu Bolon, setelah saran
Ronggur ditolak kerajaan marga mereka.
Bekas Datu Bolon itu mengatakan pada mereka bahwa
yang mengetahui jalan ke tanah habungkasan itu hanyalah
Ronggur. Bila Ronggur mati dibunuh orang yang tidak dapat
mendengarkan penemuannya, maka tanah habungkasan itu
akan kembali hilang. Mereka semua akan menjadi orang yang
sia-sia turun-temurun. Mereka harus membela Ronggur dan
Tio, harus melepaskan mereka dari ancaman maut itu.
Orang melarat dan orang buruan yang tinggal di gua kaki
bukit itu akan selalu lari ke mana saja berpencar bila tentara
kerajaan marga Ronggur datang menangkap mereka, akhirnya
memutuskan:
Daripada mati dibunuh dan diburu di dada tanah batu yang
gersang, lebih baik mati menempuh jalan menuju ke tanah
habungkasan. Malam itu juga, sepuluh orang lelaki yang kuat
tubuhnya, menyelusup ke induk kampung marga Ronggur.
Lengkap dengan senjata masing-masing. Dari celah bambu
duri, mereka dapat melihat di mana Ronggur dan Tio diikat,
dijaga tiga orang pengawal. Unggun api sudah mulai
mengecil. Keadaan sunyi. Malam sudah jauh. Tiba-tiba saja si
belang menggonggong. Karena mencium bau orang yang
datang mendekat. Membuat ketiga pengawal itu terjaga.
Setelah mengitari kampung dan meneliti, akhirnya mereka
kembali tidur sambil menyepak si belang. Seseorang terus
mendekat ke tempat Ronggur, lalu membisikkan, "Ronggur,
suruh si belang diam."
Ronggur memberi isarat. Sehingga si belang duduk dekat
kakinya dan diam. Dan, sekali sergap saja, ketiga pengawal
yang sedang mengantuk itu tidak berdaya lagi. Mati terbunuh.
Tali temali yang mengikat Ronggur dan T io, mereka putuskan.
Mereka gendong bayi lalu mereka melarikan diri. Orang yang
tidak berpunya dan orang buruan telah menantikan mereka,
bersama bekas Datu Bolon di kaki bukit. Setelah mengucapkan
terima kasih, Ronggur bertanya, "Apa. yang harus kita
perbuat?"
Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan»berkata, "Berita yang
diturunkan para dewata padamu, harus kau sampaikan pada
setiap orang. Tanpa memandang dari marga mana mereka,
dari golongan mana mereka. Kalau sebagian orang tidak mau
merasakan arti yang dikandungnya, tidak dapat menerima
kebenarannya, maka orang yang mau mendengarlah yang
berhak menerima berkat darinya. Mereka inilah orang yang
tidak berpunya, orang buruan ini karena kalah perang, yang
mau mendengarkan berita penemuanmu. Merekalah yang
berhak menerima berkah darinya. Bawalah mereka ke tanah
habungkasan. Sehingga mereka dapat kembali mengecap
alam kebebasan. Dan, otot mereka yang kencang itu dapat
kembali digunakan mengolah tanah."
"Bapak juga harus ikut," kata Ronggur. "Bila mereka
menemui Bapak, Bapak juga hendak mereka tangkap dan
bunuh."
"Ya, Bapak akan ikut. Bapak juga walau dengan berjingkat,
ingin melihat tanah habungkasan dalam kenyataan, karena
aku sudah sering melihatnya dalam mimpiku. Aku ingin
melihat apa yang dibisikkan para dewata padaku."
Bergeraklah mereka malam itu juga. Memegang obor.
Menyuluh jalan jurang dan lembah dalam. Sedang di induk
kampung marga Ronggur, dipalu gong. Membangunkan setiap
orang. Mereka sudah tahu, Ronggur dan Tio bersama anaknya
dan si belang sudah lari. Sidang kerajaan dengan
berangsangan, belum pernah marga kita dihina orang begini
rupa. Ayo, tangkap mereka, bunuh setiap orang yang memberi
bantuan padanya.
Raja Nabegu memerintahkan Hulubalang yang terkemuka,
yang dipercayai beserta laskarnya yang terkenal keberanian
dan kekuatannya, mengejar dan menangkap Ronggur dan T io
kembali. Membunuh setiap orang yang memberi bantuan pada
Ronggur dan Tio.
Sedang Raja Panggonggom, memerintahkan anak lelakinya
yang sulung, anak lelaki Raja Nabegu dan Raja Ni Huta, turut
serta dalam rombongan yang harus menangkap Ronggur dan
Tio serta membunuh setiap orang yang memberi bantuan
padanya.
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, cepat mengusung bangkai
laskar marga yang telah mati ke Sopo Bolon. Di sana
disembayangkan, agar arwah laskar yang wafat itu mengutuk
perbuatan Ronggur dan Tio. Malah dimintanya, agar
mencelakakan Ronggur dan Tio bersama rombongannya.
Kepada ketiga anak raja itu, Raja Panggonggom memesankan
dan mengingatkan bahwa Ronggur punya cukup akal yang
licik. Dia harus diimbangi dengan kelicikan pula. Yang
diharapkan dipunyai oleh anaknya, yang kelak menggantikan
sebagai Raja Panggonggom bila dia wafat.
Di kala fajar pagi pertama menyingsing, bergeraklah orang
yang bertugas memburu rombongan Ronggur. Sedang
Ronggur, tetap menyuruh agar mengadakan tanda, jalan
mana mereka tempuh. Supaya orang yang memburu dapat
mengikuti jejak dan jalan mereka tempuh.
Rombongan terus bergerak. Orang yang memburu juga
terus bergerak. Tempik dan sorak, kemarahan dan hasutan,
dialamatkan pada rombongan Ronggur. Mereka harus
membunuh setiap anggota rombongan Ronggur dan menawan
Ronggur hidup-hidup, untuk dihadiahkan pada sidang
kerajaan. Untuk sama-sama dibunuh oleh tiap warga marga.
Matahari semakin tinggi. Pundak bukit pertama telah
ditaklukkan. Di sana mereka istirahat. Malah bermalam. Pada
pagi berikutnya, rombongan yang memburu telah tampak di
kaki bukit yang mereka taklukkan. Ronggur menyuruh, agar
orang menghidupkan api, mengepulkan asap. Menandakan
pada yang memburu bahwa mereka ada di sana.
Rombongannya merasa aneh juga terhadap tindakan begitu.
Maunya mereka menghilangkan jejak. Ini tidak. Malah
memberitahukan pada musuh di mana mereka berada. Tapi,
karena Ronggur sungguh-sungguh menyuruh, mereka
laksanakan juga dengan sebaik mungkin.
Bila rombongan yang memburu mulai mendaki bukit,
mereka pun mulai bergerak. Tanpa menjatuhkan batu untuk
menghancurkan yang memburu itu. Bila rombongan yang
memburu sudah berada di pundak bukit pertama, rombongan
Ronggur sudah kembali mendaki ke pundak bukit kedua.
Kedua rombongan dapat bertatapan, tapi dipisah lembah yang
dalam.
Matahari kembali melemah. Senja memerah. Kemudian
malam. Rombongan Ronggur istirahat. Begitu pula rombongan
yang memburu. Tidak ada yang berani melanjutkan perjalanan
di malam hari. Takut jatuh ke jurang dalam. Rombongan
Ronggur menghidupkan api unggun. Begitu pula rombongan
yang memburu. Dendam kesumat pada rombongan yang
memburu tambah menghebat, karena merasa diperma inkan.
Sedang Ronggur hanya tersenyum saja.
Bila fajar kembali terbit, rombongan yang diburu dan
memburu kembali bergerak. Begitu terus menerus. Tapi,
Ronggur tetap mengusahakan, agar kedua rombongan selalu
dipisah lembah. Juga diusahakan, agar rombongannya tidak
berada di dasar lembah, bila musuhnya berada di pundak
bukit, hingga musuhnya dapat menjatuhkan batu untuk
membunuh mereka. Begitu terus-menerus. Terkadang antara
kedua rombongan terjadi saling panggil-memanggil. Sambil
hasut menghasut.
Pada hari ketujuh, rombongan Ronggur telah melewati
celah pertemuan bukit, yang merupakan pintu ke tanah
habungkasan. Dari baliknya, dapat dilihat, di bawah melalui
pundak bukit yang menurun tanah habungkasan.
Setiba di balik bukit terus jurang dalam. Lapangan datar
hanya beberapa depa saja. Bermula terus jurang. Harus
memenggok ke kiri, beberapa jauh harus melalui di satu jalan
sempit, yang diapit oleh bukit dan dinantikan mulut jurang
menganga. Baru tiba kembali ke jalan yang agak luas, mula
jalan menurun yang baik menuju tanah habungkasan. Juga
dari sana dapat ditatap air terjun yang memutih. Setiap
anggota rombongan Ronggur kagum menatap tanah datar
yang luas dan hijau di bawah mereka. Setiap orang ternganga
melihat putihnya air terjun yang menerobos bukit sebelah
timur. Lalu setiap orang mengucapkan rasa terima kasihnya.
Dan, setiap orang yang memakai gelang pertanda budak,
disuruh Ronggur membuangnya dan menyampakkannya jauh-
jauh. Ke jurang dalam.
Ronggur menyuruh tiap orang berondok ke sisi bukit.
Mendaki sedikit ke atas. Tiap orang disuruhnya menyiapkan
senjata yang ada di tangan masing-masing. Kemudian orang
yang tidak bersenjata, disuruhnya memilih batu alam, yang
bisa digulingkan. Sedang dua tiga orang, disuruhnya pergi ke
mulut celah bukit. Menantikan rombongan yang memburu.
Memberi tanda pada mereka, agar rombongan yang memburu
itu mendatangi celah bukit.
Semua orang mengerjakan perintah Ronggur. Setiap orang,
baik perempuan. Lengkap senjata terhunus di tangan.
Rombongan yang memburu terus saja mengejar dengan
semangat meluap. Melewati celah bukit. Dan, mereka telah
ada di bawah rombongan Ronggur, pada satu tempat yang
tidak menguntungkan. Mereka terjebak sudah. Dengan
lantang, Ronggur berteriak, "Letakkan senjatamu. Kalau tidak
kamu sekalian akan kami bunuh. Di depanmu jurang dalam.
Boleh pilih, menyerah atau mati."
Rombongan yang memburu mengutuk pada diri sendiri.
Dengan terpaksa harus membuang senjata yang ada di
tangannya. Tapi, di saat begitu, anak Raja Ni Huta, mengambil
kesempatan. Cepat berpaling dan melayangkan tombaknya ke
arah Ronggur. Ronggur cepat berondok ke balik batu alam.
Dan, sebuah tombak balasan melayang ke bawah mengenai
anak Raja Ni Huta, yang lalu jatuh ke mulut jurang dengan
pekikan meninggi. Sekali lagi Ronggur berteriak, "Pilih antara
dua, menyerah atau mati. Kalian semua berada di tempat
yang tidak menguntungkan."
Anggota rombongan yang memburu itu, dengan terpaksa
mencampakkan semua senjatanya ke mulut jurang. Mereka
disuruh Ronggur menghadap ke arah jurang. Lalu kedengaran
suaranya meninggi:
"Kau para lelaki yang kuat. Tapi, yang tidak punya
kekuatan untuk menerima sesuatu warta kebenaran. Justru
karena warta itu bertentangan dengan kepercayaan yang kau
anut selama ini. Lihatlah sekarang dengan mala kepalamu
sendiri, di depanmu jauh di bawah sana, luasnya tanah hijau
yang landai, seperti yang kuceritakan padamu. Dan, di sebelah
kananmu itulah air terjun yang kukatakan."
“Lihatlah, apakah Sungai Titian Dewata berakhir ke ujung
dunia? Dan, benda memutih dikejauhan yang terus menerobos
ke timur, membelah kehijauan hutan belantara itu, kelanjutan
Sungai Titian Dewata, merambah jalan ke danau yang maha
luas, yang airnya asin, tapi banyak ikannya. Pergunakanlah
mata kepalamu. Dengarlah dengan kupingmu sendiri, derum
air terjun yang jatuh, warta dari mula kehidupan. Apakah
kalian masih belum percaya?”
Orang yang memburu pada terdiam dan tercengang.
Sekarang mereka dengan mata kepala sendiri, telah
menyaksikan kebenaran cerita Ronggur, di saat mereka
terjebak pula. Harus tunduk pada Ronggur. Mulut mereka
ternganga.
Hulubalang yang memimpin rombongan itu, berpaling ke
arah Ronggur. Setelah menundukkan kepala tanda memberi
hormat, dia mengatakan:
"Ronggur, kalau kau sekarang mau membunuh kami, kau
telah bisa melakukannya tanpa sesuatu halangan. Dan, itu
memang hakmu. Tapi matiku telah merasa senang. Justru
karena aku telah melihat kebenaran ceritamu. Aku akan tidak
menyangsikan hidup anakku lagi. Tanah luas masih tersedia
untuk mereka walaupun aku mati. Tanah habungkasanmu,
Ronggur."
Ronggur membiarkan Hulubalang itu terus berkata. Yang
melanjut dengan, "Kami telah me lihat air terjun yang kau
ceritakan. Ujung dunia yang kami sangka selama ini, mula
tanah datar yang maha luas. Hijaunya telah kutatap, dan bau
kesuburan yang mengambang darinya telah kuhirup. Kami
telah mengikuti ajaran yang salah, dan kami tidak punya
kelapangan hati mendengar warta kebenaran darimu. Untuk
itu kami sewajarnya menerima hukuman. Akulah yang
pertama harus kau bunuh. Aku pemimpin rombongan yang
mengejarmu ini."
Seketika keadaan hening. Lama Ronggur menatap
tawanannya yang hendak menangkap pada mulanya. Yang
sebenarnya juga anggota keluarganya. Sesuatu perasaan yang
bertentangan tumbuh dalam dada, sebagian ingin menuntut
balas, tapi sebagian lagi memberi pertimbangan lain. Dalam
keadaan begitulah Ronggur memanggil orang tua, bekas Datu
Bolon Gelar Guru Marsait Lipan ke dekatnya.
"Bapak," katanya, "apa yang harus kuperbuat sekarang?"
Lama orang tua itu terdiam. Baru mulutnya mengatakan,
"Nasib mereka berada di tanganmu. Kau bisa menentukan,
apakah mereka masih berhak hidup atau mati. Tapi, bagi
Bapak, ada sesuatu hal yang menguntungkan dalam saat ini.
Kau telah gagal mewartakan berita penemuanmu secara
langsung. Tapi, sekarang kau memperoleh jalan lain untuk
mewartakannya kepada orang lain di kampung halaman.
Dengan sendirinya pula mewartakan kepada kelompok marga
lain, marga yang masih merdeka."
"Bagaimana caranya, Bapak?"
"Tawanlah anak Raja Panggonggom, anak Raja Nabegu.
Kemudian suruh pulang Hulubalang itu dengan pengiring kecil.
Tugaskan padanya agar dia mewartakan pada kerajaan marga
atas kebenaran ceritamu, kebenaran penemuanmu. Bila
mereka tidak juga mempercayainya, maka nasib anak Raja
Panggonggom dan anak Raja Nabegu, akan sama dengan
nasib Raja Ni Huta."
Tersenyum Ronggur memperoleh saran itu. Lalu
disambutnya, "Saran yang baik. Dan akan kutambahkan
bahwa tidak marga kita saja yang berhak datang ke tanah
habungkasan. Semua marga berhak. Semua orang berhak.
Tidak memandang apakah dia seorang budak, raja atau apa
saja. Semua orang berhak memperoleh tanah, seluas dan
selebar yang sanggup dia kerjakan."
Orang tua itu menundukkan kepala mengiakan.
"Di samping itu," kata Ronggur pula, "aku harus menuntut
pada kerajaan marga, agar mengembalikan tanah
persawahanku, yang dulu disita kerajaan dariku. Itu sangat
penting. Karena bagaimanapun seperti adat kita, sejauh kita
merantau, namun bona nipasogit, tidak boleh dilupakan.
Sesuatu harta pusaka turun-temurun yang mulanya dirambah
nenek moyang, harus dijaga dan dipelihara. Juga segala harta
milik Bapak yang disita dulu, harus dikembalikan. Dan, Bapak
tahu aku telah mengambil T io menjadi istriku."
"Ya, Bapak tahu," sahut orang tua itu cepat. "Dan, itu
sangat baik."
"Karena itu, kesatuan marga Tio sudah menjadi moraku.
Mora yang harus kuhormati."
"Ya, memang begitu menurut adat kita."
"Lalu, aku harus menuntut pula bahwa semua keturunan
marga Tio, harus dibebaskan dari perbudakan. Siapa saja di
antara mereka yang punya hasrat pindah ke tanah
habungkasan harus dibolehkan. Tidak boleh dihalangi. Sedang
orang yang tidak bisa pindah karena sudah tua atau karena
alasan lain, harus dibebaskan dari perbudakan."
Orang tua itu tersenyum. Mengiakan.
Segala hasil pembicaraan disampaikan Ronggur dengan
suara lantang pada Hulubalang. Itulah sarat yang harus
disampaikan Hulubalang pada kerajaan marga. Yang
ditambahnya pula:
"Dalam jangka dua purnama, utusan kerajaan sudah harus
ada yang datang menemui mereka ke tanah habungkasan.
Mewartakan, apakah saran itu diterima atau tidak. Utusan
kerajaan marga, boleh kelak menempuh jalan yang mereka
tandai."
Hulubalang itu menyanggupi akan menyampaikan pesan.
Malah dengan sadar dia menambahkan, "Karena aku sendiri
telah melihat kebenaran ceritamu, kebenaran penemuanmu,
tanpa sarat itu pun, aku akan bekerja keras menginsafkan
orang. Berilah kesempatan padaku, untuk berbakti."
Lima orang dari anggota yang memburu itu, ditunjuk
Ronggur mengiringi Hulubalang menuju kampung halaman.
Yang lima orang itu pun telah bersedia menjadi saksi atas
kebenaran penemuan Ronggur. Sedang rombongan Ronggur,
ditambah pasukan kerajaan marga yang sudah insaf menuju
ke timur, ke tanah habungkasan.
Kemudian rombongan lain bertambah banyak menuju
tanah habungkasan. Selalu mereka mengadakan upacara di
pangkal sungai, mempertebal keyakinan bahwa mereka akan
dituntun para dewata dan arwah nenek moyang ke tanah
habungkasan. Baik melalui sungai atau jalan darat. Sejak itu,
nama tempat itu mereka sebut Porsea.
Jalan tempuhan, tambah lama, tidak hanya yang dirintis
Ronggur saja yang mereka kenal. Tapi, telah terbuka
tembusan jalan baru. Daerah lain tambah banyak ditemui. Bila
mereka sudah sampai di tempat yang mereka namakan
Parhitean, mereka terus pergi ke arah timur, akan tiba ke
tanah habungkasan yang ditemui Ronggur, di mana
rombongan Ronggur membuka perkampungan.
Bila mereka dari Parhitean menuju ke utara, mereka akan
tiba ke Daerah T angga. Dari sana dapat mereka tatap pundak
bukit yang tiga, lalu mereka namakan itu Tiga Dolok. Dari
sana terus menembus ke daerah Simalungun. Bila terus
menyusur bukit sebelah barat, bisa mereka buka dua
persimpangan. Satu menuju Tanah Karo, satu lagi menuju
Dairi-Pakpak. Dari Dairi, bisa turun kembali ke Pulau Samosir.
Dari T iga Dolok, dapat mereka kenal pundak bukit yang ada di
bagian pundak mereka, pundak bukit di lingkungan Danau
Parapat. jadi bila mereka menuju ke sana, kembali tiba ke
lingkungan Danau Parapat.
Dari Parhitean, bila mereka memenggok ke selatan, mereka
akan tiba ke Parsoburan. Terus ke selatan, sampai ke daerah
perbatasan Sumatera Barat, yaitu Rao-Rao. Bila mereka
meneruskan perjalanan, tiba ke dataran tinggi Bonjol. Sedang
bila kembali ke arah utara dari Rao-Rao, berarti turun ke
daerah Mandailing Raja. Menembus terus ke daerah Angkola-
Sipirok-Pahae dan tembus ke Silindung, Tarutung. Lalu bisa
kembali ke Toba.
Dari Mandailing, bila mereka terus menurun, mereka
menemui pula sebuah danau yang luas, airnya asin, berteluk
indah, pesisir Sibolga. Di sini mereka bertemu dengan
rombongan yang sejak Parsoburon terus mengarah Barat.
Dan, telah menaklukkan pegunungan Pangaribuan, menurun
ke pesisir Barus. Sedang rombongan yang berangkat dari
Pangoruran Samosir, bila menuju ke arah barat, akan
menaklukkan pegunungan sebelah barat. Mereka tiba ke
Pangkat, terus menurun dari sana ke pesisir Barus.
Dari pesisir Sibolga, bila mereka kembali mendaki
pegunungan utara, tembus pula ke Rura Silindung, Tarutung.
Dari sana, pundak pegunungan Toba telah dapat mereka tatap
dan kenal kembali. Dari Angkola, yaitu dari Tor Simago-mago,
bila menembus ke selatan teru s, akan tiba ke daerah dataran
yang luas. Padang Lawas. Terus ke selatan, mereka bisa
bertemu dengan orang yang berangkat menuju tanah
habungkasan yang ditemui Ranggur, daerah Asahan-Labuhan
Batu.
Kemauan mempertahankan dan melanjutkan kehidupan,
sampai bersedia mengorbankan pertarungan demi
peperangan, yang tidak sedikit mengorbankan nyawa, telah
dialihkan semangatnya untuk menaklukkan pundak demi
pundak bukit. Menerobos celah pertemuan bukit memanjang,
merambah jalan di bawah naungan dedaunan belantara yang
menghijau lebat, untuk menemui dataran luas, dataran lain,
berhutan subur, dan punya binatang buruan yang jinak lagi
banyak. Untuk menemui danau yang maha luas, yang
menyimpan ikan banyak. Airnya asin mengandung garam.
Semuanya untuk kelanjutan kehidupan dan
mengembangkannya.
ccdw-kzaa
Daftar Istilah
Ambalang= tali pelempar batu
Ama Ni Bolpung= ayah si Bolpung
Ampangngardang= juru perdamaian
Ampataga= nama sejenis tumbuhan biasa dipakai untuk
obat (luka)
Berandak= bersembunyi/berlindung
Bernas= berisi/berarti
Bolatan= destar
Bona Ni Pasolgit= kata ganti untuk kampung
halaman
Buhul = ikatan
Bungkas= pindah
Burung Ambaroba= burung pemakan padi, berdada
kuning
Curup= cerutu
Dibuhul= diikat
Dolok= gunung
Gelagah= rumput yg panjang
Habungkasan= tanah baru
Luhak= daerah
Mora= keluarga pihak isteri
Mula Jadi Na Bolon= T uhang Yg Maha Esa
Parhelaan= pesta adat (hela= menantu pria
Parhitaan= jembatan/perantara
Pargaul= luwes
Pargounci= grup yg memainkan gondang
Patentengan= sombong
.... tidak terbaca sobek...
Pisau Gajah Lompak= pedang sakti
Pohon Hariara= pohon beringin
Purada= jumbai-jumbai warna keemasan pada ulos
Raja Ni Huta= kepala kampung
Sampuran Harimau= air terjun si harimau
Sopo Bolon= rumah besar (rumah adat)
Sanduduk = rumput putri malu
Temterasan= lari kucar kacir
Terhempang= terhampar
Terpacak= tertanam/terpaku
Tuhil= pahat
Tongkat Panaluan= tongkat kepala adat (marga)
Ura= makanan khas Batak; terdiri dari bermacam daun
mentah, antara lain daun pepaya serta gula merah dan lain-
la in.
ccdw-kzaa