The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Slamet Kadarisman, 2022-04-03 06:03:18

Penakluk Ujung Dunia-Bokor Hutasuhut

Penakluk Ujung Dunia-Bokor Hutasuhut

"Tidak dapat kupastikan, Anakku. Karena hasil tenungku
sampai saat ini tetap berpendapat bahwa sungai itu tidak
jatuh ke ujung dunia. Karena pendapat ini jugalah membuat
bapak disisihkan orang. Tapi, kenyataan keadaan sungai itu
tidak dapat dipungkiri."

"Nah, kalau begitu yang kita hadapi hanyalah arus sungai
yang menggila. Boleh jadi arus menggila karena sungai
melalui riam yang banyak ditemui pada sesuatu sungai."

"Juga tidak dapat bapak jawab. Karena arus sesuatu riam
tidak akan begitu kencang dan begitu menggila."

"Boleh jadi riamnya lebih dalam."

"Boleh saja kita berpendapat begitu."

"Karena itulah, aku harus melayarinya dengan perahu yang
jauh lebih besar dari biduk. Dan, sewaktu melintasi arus
sungai harus menggunakan tenaga pembantu. Tidak cukup
kemudi saja menahan kencangnya perahu. Tapi, harus
menggunakan batu pemberat."

"Maksudmu?"

"Batu sebesar kepala manusia atau sebesar kepala kerbau
kita ikat. Talinya kita ikatkan pada buritan perahu. Setiap
melintasi arus yang tambah kencang, setiap itu pula batu itu
kita jatuhkan ke dalam air sebagai penahan. Agar perahu tidak
dihanyutkan arus dengan sesuka hatinya."

Orang tua itu menundukkan kepala. Mengiakan lalu
mulutnya mengatakan: "Satu pikiran yang baik."

"Nah, dengan akal begitulah aku bermaksud melayari
Sungai Titian Dewata sampai ke muara. Dan, darimu,
kumohonkan doa restu. Agar kami direstui dan diberkati para
dewata dan arwah nenek moyang, begitu pula arwah
almarhum ayah."

"Bapak akan membantumu, Anakku," kata orang tua itu
seraya pundak Ronggur ditepuk-tepuk.

"Anakku, perjalanan ini tidak mudah. Kau akan menghadapi
rintangan kepercayaan orang yang ada di sekitarmu. Karena
itu kekuatan jiwa dan tekad yang padu harus kau punyai dan
kau pupuk selalu dalam hati."

"Baik, Bapak. Tapi, doakanlah agar anakmu ini selamat
dalam perjalanan."

Orang tua itu merasa gembira bercampur bangga karena
ada orang yang sependapat dengan dia. Karena, untuk
pertama kali sete lah bertahun-tahun ada orang meminta
pertolongan doa restunya. Tenaga gaib yang dipunyainya.
Matanya bersinar. Dadanya diangkat, sedang mulutnya
mengatakan dengan suara pasti:

"Anakku, beritahukan pada bapak kelak, kapan kau hendak
memulai perjalanan itu. Ah, kalaulah bapak masih muda,
masih punya tenaga yang kuat, bapak akan turut
bersamamu."

"Doa Bapak yang akan mengiringi langkahku, kurasa lebih
besar manfaatnya dari apa saja." kata Ronggur. "Dan, aku
mau mempersiapkan peralatan yang kuperlukan dulu. Sebuah
perahu yang agak besar, yang punya dasar yang lebih datar
dari perahu biasa. Beberapa gulungan tali ijuk yang kuat.
Sesudah ini s iap semua, perjalanan itu akan kumulai. Dan, aku
akan datang memberitahukannya pada Bapak."

Ronggur meminta diri. Orang tua itu melepaskannya
menerjang kelam malam yang pekat. Mata orang tua
menyinarkan cahaya kemenangan, berusaha menembus
segala kegelapan yang menyungkup keadaan sekitar.

Si belang berlari-lari di samping Ronggur, sambil
mengibaskan ekor.

Malam sudah jauh, dibaliknya pagi.

ccdw-kzaa

3

Kabut pagi masih rendah menyungkup tanah. Ronggur
sudah berada di halaman bersama T io dan si belang. Tangan
kanan Ronggur menggemggam kampak, tangan kirinya
menggenggam tombak. Di tubuhnya membelit tali ambalang.
Di pundaknya disandangkan sumpit bertali, yang berisikan alat
kecil.

Pundak Tio juga menyandang sumpit bertali yang berisikan
beras. Tangannya juga menggenggam kampak dan tombak.
Matanya sering tertumpu ke pinggang Ronggur yang
menyelipkan panggada. Mereka tampaknya akan mengadakan
perjalanan yang tidak dapat dikatakan pendek masanya.

Ronggur melangkah cepat, panjang, dan menembus kabut.
Tio tetap mengiring dari belakang bersama si belang. Si
belang sering menggonggong, meregangkan tubuh seperti
mengendorkan urat yang dibekukan dingin pagi berkabut
rendah. Tapi, tampaknya, dari gerak-geriknya si belang
gembira. Karena seperti tahu bahwa mereka akan
mengadakan perjalanan yang lama dan jauh dari lingkungan
perkampungan. Orang tidak ada di halaman.

Langsung rombongan kecil itu mengarah ke kaki bukit
sebelah barat. Jalanan terus menanjak. Perkampungan
tambah tertinggal di bawah. Masih juga dibalut kabut, tapi
sudah tambah menipis dengan bertambah tingginya hari.

Lewat perkampungan danau, kabut di sana lebih tebal,
lebih kental, dan rendah. Air yang biru tidak dapat dilihat
pandang, begitu pula Pulau Samosir dan T uktuk Sigaol. Semua
teggelam ke perut kabut. Mereka terus melangkah. Bergegas.

Kabut yang rendah tambah terangkat. Untuk kemudian
secara perlahan mulai menyisih dari tanah. Matahari memberi
sinar, suluh abadi yang dikenal mereka sejak masa kanak.
Permukaan danau, secara berangsur perlahan, tepian Pulau
Samosir dan Tuktuk Sigaol, bertambah lama bertambah jelas
tampak. Akhirnya keputihan yang pekat tadi yang merupakan
satu bundaran yang tidak berujud, sekarang sudah tampak
is inya.

Air danau biru tenang di pagi hari tanpa angin. Samosir dan
Tuktuk Sigaol berhadapan. Di sebelah lain Tuktuk Tarabunga
menjulur ke depan, seperti hendak menjangkau Samosir. Ini
semua dapat dilihat setelah melalui tingkatan sawah yang
padinya sedang bunting, dedaunan padi yang menghijau.
Pada tempat tertentu tampak tumpukan bambu duri yang
melingkar. Pertanda perkampungan. Asap sudah mengepul
dari kampung itu, pertanda pengisi kampung sudah bangun
dari tidurnya. Satu dua biduk berlayar di permukaan danau,
penangkap ikan yang bekerja semalaman mengayuh menuju
pantai.

Mereka meneruskan langkah, jalanan menanjak. Setiap
saat, tambah jauh mereka di atas, dan perkampungan serta
danau, tambah jauh berada di bawah. Langkah mereka begitu
cepat diayunkan. Tergesa tampaknya. Karena ingin cepat tiba
ke tempat yang dituju. Tidak banyak mereka mengeluarkan
kata.

Matahari tambah tinggi berlayar di langit dan sinarnya terus
menerus tambah terik. Angin yang berdesir di lidah ilalang
yang tinggi, lalu ilalang itu bergoyangan, sudah mulai bangkit.
Lidah ilalang yang bergoyangan, terkadang menyayati daging
mereka dengan tipis. Terasa pedih juga bila sayatan kecil itu
dibasahi keringat. Terkadang mereka seperti tenggelam di
padang ilalang yang cukup tinggi. Untuk tampak kembali pada
tempat di mana ilalang agak rendah. Biasanya, si raja hutan,
bersembunyi di sana menanti mangsa. Itu yang membuat

Ronggur tetap was-was. Di tangannya terus tergenggam
tombak dan kampak, siap sedia dipergunakan.

"Sebelum matahari condong ke barat, kita sudah harus
menuruni lembah berhutan yang ada di salah satu lekuk
danau. Agar kita tidak kemalaman mencari tempat bermalam,"
kata Ronggur. "juga untuk memilih dahan pohon yang baik
untuk tempat tidur."

Tio tidak menyahut. Langkahnya tambah dipercepat dan
diperpanjang, dilincahkan sebagai sahutan.

Matahari terus berlayar di langit dan mereka terus
melangkah di bumi. Lidah si belang terjulur merah dan
berbuih. Dia tidak menggonggong lagi, tapi terus mengikuti
tuannya.

Dari tempat ketinggian, mereka menatap ke sekitar.
Pandang bebas diarahkan ke mana suka, hanya ke arah
belakang yang kandas pada pegunungan. Barat, melalui
tingkatan dinding teluk, didasarnya hutan yang mereka tuju.
Utara, danau yang biru. Beriak-riak. Dari sana tampak lebih
jelas lagi, di teluk di mana Sungai T itian Dewata bermula.

Mata Ronggur lama tertancap ke sana. Alis matanya
terangkat. Dalam hati terucap kata: akan kutembus kau
sampai ke muara. Melihat Ronggur bersikap begitu, dada Tio
bernadakan lagu lain, ketakutan bercampur baur dengan
penyesalan, kenapa sungai itu harus diadakan dewata.

Kelompok bambu duri pertanda perkampungan tambah
banyak dapat mereka lihat dari sana. Tercecer bertumpuk di
sana sini. Bermula dari pantai danau, berakhir ke kaki bukit.
Sawah menghijau oleh dedaunan padi yang sudah panjang
dan sudah bunting.

Mereka menuruni lembah berhutan yang tidak berapa luas.
Tapi, cukup hijau. Mereka sudah dapat mencium bau
dedaunan yang segar, berair, dan teduh. Dedaunan yang
rapat didukung pepohonan yang tumbuh di sana, menampung

sinar matahari, hingga tanahnya tetap teduh dan berair.
Dedaunan gugur me lapisi permukaan tanah. Jaringan dahan
dan rantingnya, mendukung dedaunan, permadani yang
lembut, buatan alam.

Tapi, Ronggur sudah tahu bahwa mulai panen tahun muka,
kerajaan marganya sudah memutuskan membuka hutan itu
untuk dijadikan tanah persawahan. Tapi, bersamaan dengan
niat itu kerajaan marga lain juga telah memutuskan untuk
membuka hutan itu untuk dijadikan tanah persawahan
marganya. Kerajaan marga lain yang juga mendengar berita
itu dengan tandas pula menyatakan maksud masing-masing.
Untuk membuka hutan itu lalu membagi-bagikan tanahnya
bagi warga marganya. Akhirnya setiap kerajaan marga yang
berdekatan, harus mengadakan pertemuan kerajaan, untuk
membicarakan masalah hutan itu. Sampai sekarang memang
belum ada satu marga pun yang mempunyainya. Tapi, setiap
marga merasakan bahwa kerajaannya punya hak atas hutan
itu. Kalau hutan itu dibuka, marganya harus memperoleh
bagian.

Begitulah, sudah beberapa kali dilangsungkan sidang
kerajaan dengan kerajaan. Di induk kampung marga Ronggur
juga sudah pernah diadakan pertemuan. Tapi, hasilnya masih
tetap sama: belum memperoleh kata mupakat. Satu marga
mengusulkan, boleh marganya tidak memperoleh tanah
bagian, tapi sebagai pembayar bagiannya kerajaan lain harus
memberikan kerbau pada kerajaannya. Masalah itu memang
hangat dibicarakan. tapi, belum sampai ke taraf yang
menentukan. Yang bisa membuat satu luhak berkelahi dengan
luhak lain. Bila satu luhak telah menang, yang di tempati
beberapa marga, antara marga sendiri pun akan ada
pertengkaran. Yang mungkin pula menimbulkan peperangan
marga.

Jadi, dari tanah hutan yang tidak seberapa luas itu, bisa
saja timbul peperangan yang berturut-turut. Pada mulanya

peperangan luhak, lalu melanjut pada yang lebih kecil,
peperangan kerajaan marga.

Suatu kerajaan yang memperolehnya, akhirnya dapat
memindahkan beberapa keluarga ke sana. Tanah perluasan
buat sementara. Karena luasnya tidak seberapa. Hanyalah
tempat singgahan sementara sebelum tiba ke saat yang
ditakutkan Ronggur. Namun untuk merebutnya, kemungkinan
pecahnya peperangan begitu besar. Dan, atas putusan
kerajaan Ronggur, untuk membuka hutan itu, tanpa
memperdulikan kepentingan kerajaan marga lain, sudah jelas
garisnya: peperangan tidak terelakkan lagi, bila marga lain itu
tetap merasakan bahwa kerajaannya punya hak juga atas
hutan itu. Hendaknya, pikir Ronggur, dia bisa lebih dulu
menemui tanah habungkasan, sebelum peperangan dari
perebutan hutan itu meledak.

Mereka menurun ke lembah berhutan dielus angin sore
yang nyaman.

Tepi hutan. Kesejukannya telah memberikan kesegaran
bagi mereka yang sehari penuh dipanggang sinar matahari.
Ronggur duduk melepas lelah pada teduhan sebuah pohon.
Menelentangkan diri. Menutup mata. Memperbaiki jalan
pernapasan. Si belang, mendudukkan diri tidak jauh darinya.
Lidahnya terjulur ke luar. Berbuih. Ronggur kembali duduk,
lantas mengatakan:

"Tolong berikan padaku nasi yang kau bawa itu
sebungkus."

Tio cepat memberikan. Diambilnya sebungkus untuknya.
Memberi beberapa jemput untuk si belang.

"Bila selesa i makan, kumpulkanlah ranting kering. Untuk
bahan bakar api unggun malam hari," kata Ronggur lagi.

Tio mengiakan.

"Hari sudah sore. Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Di sini cepat gelap. Sebaliknya," kata Ronggur pula, "kita
memilih dahan tempat bermalam. Agar terhindar dari
gangguan binatang buas. Membuat lobang pada salah satu sisi
jurang tidak sempat lagi."

Lagi-lagi T io mengiakan.

Ronggur memilih dahan yang baik untuk tempat tidur, yang
bercabang dua, cukup besar, dan tidak vertikal, tapi mendatar.
Tidak terlalu bulat. Agak gepeng sedikit. Di mana tubuh enak
ditelentangkan. Di bawah dahan mereka bakar api unggun,
agar nyamuk tidak banyak mengganggu. Juga bisa mengusir
dingin malam. Dahan yang dipilih Ronggur untuknya dan
untuk T io tidak berjauhan.

"Si belang di mana tidur?" tanya Tio.

"Biarlah di tanah. Penciumannya cukup tajam. Bila bahaya
datang, dia sudah dapat mencium dari jarak jauh. Dia akan
terus menggonggong lalu membuat kita bangun. Lantas
memberi bantuan."

Begitu tergesa mereka menyiapkan sesuatunya. Tio tidak
hanya mengumpulkan reranting. Dahan yang patah dari
sesuatu pohon dipotong, lalu dibawanya ke bawah pohon
tempat mereka bermalam.

Ronggur pergi menyusuri tepian hutan. Ditatapi Tio terus
sampai Ronggur hilang ke antara pepohonan atau tenggelam
kerimbunan rerumputan yang tinggi. Baru Tio memulai
mengonggokkan ranting di lapisan bawah diatasnya dahan.
Dihidupkannya api. Mula-mula dibakar ranting. Potongan
dahan kayu yang sebesar betisnya dionggokkannya kenyala
api menjilam. Tidak sekali banyak. Tapi, sedikit demi sedikit
supaya api tidak mati. Dan tetap ada nyala menjilam. Bara
memanas di bawah bila sudah ada dahan sebesar betis yang
habis dimakan api.

Ya, pikirnya. Ronggur dapat diibaratkan seperti api unggun.
Tingkah lakunya yang dapat dilihat atau yang muncul
kepenglihatan, yang dikatakan sikap jantan yang berani,
masih menyimpan bara kehidupan yang cukup besar
didasarnya. Sehingga apa yang dilihat itulah, sesuatu yang
dipikirnya dan dirasakannya punya kebenaran, tak seorang
pun dapat menghalanginya untuk mengerjakannya.

Begitu pula dengan tekad perjalanannya yang akan
menempuh Sungai Titian Dewata tak satu pun kekuatan baik
melalui kemesraan dan kasih, baik melalui ancaman bahaya
yang mungkin ditemuinya, yang dapat mencegahnya,
mengendorkan maksudnya. Walaupun itu berarti dia akan
merombak kepercayaan yang sudah tertanam di dasar hati
penduduk turun-temurun, atau dia sendiri akan musnah.
Seperti api unggun itu sendiri, bila hendak memadaminya,
harus turut baranya dipadamkan baru tidak mengandung
panas lagi, mengandung bahaya lagi yang bisa membakar dan
menghanguskan.

Dari jauh sudah kedengaran siulan Ronggur datang
mendekat. Ronggur melihat api yang sudah menyala dan
memberi kilatan cahaya pada sekitar, yang cepat menjadi
kelam. Dedaunan yang merimbun menampung cahaya
matahari yang sudah lemah, senja. Sambil tersenyum Ronggur
berkata:

"Kau pandai menyalakan api. Di tikungan jalan tikus
menanjak sana, sudah kutemui kumpulan pohon maranti batu.
Tapi, belum kutemui maranti batu yang cukup tua, yang baik
dijadikan perahu. Pohon yang kuperlukan harus cukup tua lagi
besar. Sedang panjang batangnya yang lurus hendaknya
melebihi tiga depa. Tapi, bagaimanapun kumpulan pohon
maranti batu yang masih muda itu, sudah menjadi pertanda
bahwa di hutan ini akan kutemui pohon yang kuperlukan."

“Harus pohon maranti batu?" tanya Tio menyeling.

“Ya. Semua perahu yang baik dibuat dari jenis kayu itu.
walau susah mengerjakannya karena kayunya cukup keras.
Tapi meranti batu tidak mudah busuk walau direndam dalam
air dan dipanggang terik matahari. Lagi, daya apungnya
sangat baik."

Kemudian Tio terdiam. Matanya seperti bermimpi. Menatap
entah ke mana saja. Dan, Ronggur melanjutkan:

“Sewaktu aku meneruskan perjalananku lebih ke atas,
kutemui pula parit kecil. Airnya bening. Di tepi parit banyak
kulihat bekas jejak binatang buruan. Jadi, kita tidak akan
kekurangan daging di sini. Tahukah kau di sebelah hulu parit,
banyak pohon aren liar tumbuh. Sudah ada yang tua. Kau
harus menebang pohon aren yang sudah tua itu. Memintal
ijuknya menjadi tali. Harus cukup besar, kalau bisa sebesar
pergelangan tangan. Harus pula panjang. Sangat kuperlukan
nanti dalam perjalanan. Itulah kerjamu."

“Aku akan mengerjakan," sahut Tio. Dalam hati selalu
mengiring tanya, kuperlukan dalam perjalanan. Apakah
Ronggur pergi sendiri, tidak mengajaknya? Betapa pun
ancaman yang tumbuh dari maksud perjalanan itu, namun T io
bila memang Ronggur harus berangkat juga, dia ingin ikut.

“Besok pagi benar, bangunlah. Kita harus mengadakan
pengintaian. Membunuh beberapa ekor binatang itu, agar ada
daging persediaan. Jangan lebih dulu menebang kayu. Suara
kampak yang berlaga dengan pohon kayu bisa menakutkan
binatang. Binatang akan pergi menjauh."

Tio mendengarkan. Begitu yakin dia bahwa kemana pun dia
pergi, bila bersama Ronggur, mereka tidak akan mati
kelaparan. Keberaniannya, akalnya yang cukup banyak,
kekuatan tubuhnya memberi jaminan.

Tapi, bila diingatnya bahwa Ronggur akan menyusuri
sungai Titian Dewata mencapai muara, maka itu sangat lain
soalnya. Walaupun tubuh Ronggur cukup tegap menyimpan

tenaga yang kuat, akalnya banyak, namun untuk menghadapi
ketentuan dewata, semuanya itu tidak berarti. Kalau dewata
berkehendak, apalagi kalau dilanggar ketentuannya, siapa
pula dapat menantangnya?

Entah kenapa perasaan takut itu tambah hari tambah
dalam mencekam di hatinya. Namun dia tidak mengatakan.
Kurang wajar rasanya dia menasihati perjalanan yang sudah
diputuskan Ronggur harus ditempuh. Tapi, apakah Ronggur
tidak dapat membaca apa yang tersirat dicerlang matanya?

Malam hari. Binatang rimba mulai bernyanyi. Jengkrik
dengan kerisiknyayang nyaring dan di kejauhan gonggong dan
salak anjing liar selalu membuat si belang mendongakkan
kepala. Mendengarkan dan meraba sumber suara itu.

Ronggur menyuruh Tio mengikatkan tubuh ke dahan kayu
yang bercabang, berbentuk gepeng, agar tidak jatuh sewaktu
diri lelap tidur. Tapi, ikatannya jangan dipintal mati. Harus bisa
dibuka dengan cepat. Karena mungkin saja diperlukan pada
saat tertentu,. Ronggur juga mengikatkan tubuhnya ke dahan
tempatnya tidur. Si belang di bawah, dekat unggun api.

Dalam hayalnya Ronggur sudah menggambarkan bentuk
perahu yang hendak dibuatnya. Sudah di reka-rekanya bahwa
dasar perahu harus mendatar, jangan melancip.

Biarlah tidak bisa dikayuh cepat. Biarlah perahu agak
lamban jalannya. Tapi, bisa mengikuti arus sungai walau
melalui riam. Dinding perahu harus agak tinggi agar tidak
dimasuki temperasan air yang memercik. Ya, pikirnya,
penimba air harus dibawa serta. Yang dibuat dari bambu.

Malam begitu dekatnya. Nyala menjilam dari unggun api.
Tambah jauh malam nyala itu tambah mengecil. Ronggur
turun ke bawah. Menimpakan beberapa potong lagi
dedahanan ke atas api. Hingga jilam yang mau padam tadi,
lalu tampak bara membara, kembali menyala. Jilam-nya begitu
tinggi. Sekitar menjadi terang dan panas. Si belang duduk di

tanah dekat api melihat jilam api yang terkadang meliuk ditiup
angin lalu.

"Perahu yang kubuat," lanjut Ronggur berbicara pada diri
sendiri setelah dia kembali me letakkan diri dan mengikat
tubuhnya ke dahan kayu itu. Harus bisa memuat penumpang
sebanyak tujuh orang paling sedikit. Dasar perahu harus lebih
lebar dari perahu biasa, agar tidak mudah oleng waktu
melintasi riam sungai. Juga agar mudah menjaga
keseimbangan. Sudah dibayangkan, siapa yang akan
diajaknya serta. Akan diminta kesediaan mereka
menemaninya. Dan, ke dalam yang tujuh orang itu, tidak
termasuk Tio.

Perjalanan yang menanggung risiko begitu berat, bukanlah
pekerjaan perempuan. Lagi, Tio perlu dekat ibu. Membantu
mengerjakan sawah bila saat panen tiba. Siapa ttliu, boleh jadi
perjalanan itu sangat panjang.

Dikiranya pula, bila setiap hari dia mengerjakan perahu,
dalam dua kali purnama tenggelam dan terbit lagi sudah bisa
selesai. Berarti sepulangnya dari hutan itu, padi telah
menguning di sawah. Sehabis panen, dia akan memulai
perjalanan itu. Seketika, teringat dia atas maksud kerajaan
marganya untuk membuka hutan itu menjadi tanah
persawahan.

"Ah," pikirnya pula, "dari orang yang sangat dekat dengan
Raja Panggonggom, diperolehnya keterangan bahwa s iasat itu
baru gertakan saja pada kerajaan marga sekitar. Untuk
menduga sampai di mana kesungguhan kerajaan marga lain
itu untuk menguasai hutan itu.

"Tapi, betapa pun," pikirnya pula, "hutan itu akan dibuka
orang juga. Dan, darinya timbul satu ancaman pada
ketenteraman hidup. Karena setiap kerajaan marga
merasakan sama-sama berhak atas hutan yang kecil itu."

"Tio, kau sudah tidur?" tanyanya. Tidak ada sahutan. "Ah,"
pikirnya, "Tio sudah tidur."

Dan, dia masih belum bisa memejamkan mata. Pikirannya
terus berbicara dan bercerita dan mereka-reka bentuk masa
datang. Dia tidak tahu pasti, kapan dia jatuh tertidur. Kokok
ayam hutan membangunkan mereka. Cepat Ronggur turun
dari dahan. Begitu pula Tio. Setelah meregangkan tubuh
beberapa saat, menguapkan mulut. "Enak tidurmu malam
tadi?" tanya Ronggur.

Tio hanya menundukkan kepala. Sekitar masih remang.
Masih pagi benar. Tapi, bila mereka pergi ke pinggir hutan,
tahulah mereka bahwa matahari sebenarnya sudah muncul di
atas pundak Dolok Simanuk-manuk yang dapat mereka tatap
dari mulut teluk. Dedaunan yang rimbun menghalangi sinar
matahari jatuh menimpa wajah mereka. Cepat-cepat Ronggur
mengajak Tio mendekat ke parit yang dikatakannya semalam.
Perlahan-lahan mereka mendekat, seolah-olah tidak
menimbulkan buny i. Walau melalui ranting-ranting kering yang
berserakan di atas tanah.

Ronggur menunjukkan sekumpulan pelanduk yang sedang
minum dan bermain-main di parit kecil itu.

"Lihat," bisik Ronggur. "Bidiklah yang sebelah sana, yang
kepalanya berbelang putih. Aku membidik yang kakinya
berbelang."

Tio mengiakan dengan anggukan. Bersama mereka
mengayunkan tombak yang cepat melayang. Lalu, tertancap
ke sasaran. Karena terkejut, pelanduk lain melarikan diri.
Sedang pelanduk yang dikenai tombak melengking dan
berusaha melarikan diri beberapa jauh, membawa luka di
tubuh yang mengucurkan darah. Untuk itu, si belang cepat
bangkit dan mengadakan pengejaran. Digigitnya kaki pelanduk
itu sampai tidak berdaya. Sampai rubuh ke tanah. Kemudian si
belang menggonggong, mewartakan kepada tuannya di mana
pelanduk tergeletak.

Ronggur dan Tio cepat mendekat. Mereka kuliti binatang
itu. Dagingnya mereka potong tipis-tipis. Mereka jemur di atas
batu yang langsung menampung sinar matahari penuh tanpa
dihalangi dedaunan. Sehari itu, si belang disuruh menjaga
agar tidak dicuri burung gagak.

Rongur memilih dinding jurang yang baik digali untuk
membuat lubang perlindungan, tidak jauh dari parit kecil agar
mudah mengambil air. Berdua mereka menggali. Mulut lubang
dibuat besar, hingga bisa masuk dengan leluasa. Sedang
ruang dalam agak luas. Mereka bisa menyangkutkan ulos-
batak sebagai batas tempat tidur masing-masing. Sampai jauh
malam mereka mengerjakan lubang itu. Peralatan mereka
simpan di sana. Begitu pula dengan daging hasil pemburuan
tadi pagi yang harus dijemur besok harinya, karena belum
cukup kering untuk disimpan.

Mereka gembira karena sudah memperoleh daging yang
dibutuhkan dan sudah punya lubang perlindungan. Ronggur
bisa tidur nyenyak malam itu, begitu pula T io. Di mulut lubang
si belang tidur-tiduran. Seperti menjaga kemungkinan adanya
gangguan binatang buas.

Pagi itu, Ronggur melanjutkan mencari kayu. Dia
menyuruk-nyuruk di bawah rerantingan, menyibak rerumputan
yang terkadang berduri dan melukai tubuhnya dengan garis-
garis kecil. Tapi sudah dapat menitikkan darah untuk
kemudian membeku

Agak jauh di tengah hutan, baru ditemui pohon yang dicari.
Besar batang pohon, tiga kali pelukannya. Panjang batang
pohon yang tegak lurus, sekira tiga depa. Diperiksanya batang
pohon itu baik-baik, hingga dia yakin bahwa pohon itu sudah
cukup tua. Dikulitinya batang pohon sekira sejengkal, lalu
tampak kayu yang sudah berminyak. Kemudian dipanjatnya.
Diperiksa, apakah tidak terlalu banyak mata kayunya. Tahulah
dia bahwa kayu itu cukup baik dijadikan perahu. Langsung
saja Ronggur mulai mendahaninya, agar waktu tumbang nanti

tidak menyangkut pada pepohonan lain yang bisa
menimbulkan cacat pada pohon itu. Tanah di sekitar pohon itu
dibersihkan.

Sesudah selesai menjemur daging hasil buruan semalam
dan menyuruh si belang menjaga, Tio langsung menebang
aren yang sudah tua. Batangnya dibelah. Umbi aren
diasingkan untuk ditumbuk, kemudian direndam dengan air,
lalu ditapis untuk diasingkan tepungnya Yang baik, dimakan
pengganti beras. Belahan pohon aren dijemur di bawah terik
matahari, di tanah yang tidak terlindung. Ijuknya cepat
berlepasan satu sama lain bila pohonnya sudah kering. Ijuk
yang berlepasan itu bisa dipintal menjadi tali yang cukup kuat.

Begitulah mereka saling mengerjakan tugas masing-
masing. Bila daging sudah mulai habis, kembali mereka
mengadakan pemburuan. Sedang persediaan beras
tampaknya tidak berkurang-kurang karena persediaan tepung
umbi aren.

Dari dedahanan kayu yang ditebang Ronggur, yang
panjang lagi kurus, dua tiga biji dipilihnya untuk dijadikan
galah. Katanya sekali waktu pada Tio, galah itu sangat
diperlukan dalam melayari sungai. Bila air sungai tidak berapa
dalam bisa digunakan membantu jalannya perahu, dengan
mencucukkan galah ke dasar sungai lalu menyorongkan. Atau,
mendorongkan perahu yang mau terhempas ke tepian berbatu
dengan menjolokkan galah ke pinggir sungai berbatu.

Dua biji lagi kayu yang tidak berapa besar ditebang
Ronggur. Batang pohon itu dipotong. Ujungnya dilancipkan
kemudian dipacakkan ke tanah. Bersilangan.

Persilangan itu diikat dengan rotan kuat-kuat. Dibuatnya
pula pacakan begitu dua lagi. Sedang batang pohon maranti
batu yang sudah tumbang itu, diukurnya. Tepat sepanjang
yang diperlukannya. Lebihnya dibuang. Dengan dibantu Tio,
Ronggur menaikkan batang pohon maranti batu itu ke atas

pacakan yang berupa galangan itu. Di sana batang pohon itu
dikulitinya, ditelanjangi.

Di atas pacakan itu Ronggur mulai membuat perahu. Di
atas pacakan, batang pohon itu bisa dibalik-balikkan. Ronggur
harus hati-hati memilih, bagian batang mana yang harus
dijadikan dasar perahu. Dari sebelah mana harus dimulai
penukilan membentuk semacam lobang di batang kayu itu.
Dia harus memilih dasar perahu yang terbuat dari bagian
batang yang tidak banyak mata kayunya. Mata kayu biasanya
mudah lepas dari kesatuan kayu dan bila sudah lepas, perahu
akan bocor.

Bentuk lobang yang dibuat Ronggur di batang kayu itu,
yang nanti menjadi tempat pemenumpang, pada bagian hulu
dan buritan tidak berapa dalam. Tapi, di bagian perut lebih
dalam dan luas. Setelah bentuk lobang itu agak nyata,
Ronggur beralih pula menukil bagian luar. Membentuk
semacam dinding yang baik, mengambil tuntutan dari bagian
dalam perahu. Dasarnya sengaja diperluas.

Bila dasar perahu dan dinding perahu bertambah terbentuk,
kapak tidak berapa dipergunakan Ronggur lagi.
Dikeluarkannya tuhil, alat yang yang terbuat dari batu yang
tajam muncungnya. Dengan tuhil Ronggur melanjutkan
membentuk lobang atau memperhalus bekas makanan
kampak. Tuhil itu ditancapkan lebih dulu, kemudian hulunya
diketok perlahan. Dia harus memperhatikan benar, berhati-
hati, agar dinding perahu tidak terlalu tipis lalu mudah pecah.

Begitu pula dasarnya. Tapi, tidak pula boleh terlalu tebal.
Agar perahu tidak berat atau agar daya apung perahu cukup
baik dan punya keseimbangan. Karena itu, tebal kedua sisi
dinding perahu, diusahakan agar sama. Pada bagian buritan
dan hulu perahu, dipahatnya semacam ukiran,
menggambarkan kepala harimau. Satu menghadap ke depan,
satu lagi menghadap ke belakang. Langsung bersatu dengan
tubuh perahu.

Buritan dan hulu perahu, dindingnya tebal dibuat di sana,
justru karena di buritan dan di hulu perahulah terletak tenaga
sesuatu perahu tersimpan. Bila buritan dan hulu perahu retak
atau pecah, sendirinya saja bagian perut perahu akan pecah.

Waktu saat memintal ijuk tiba, setelah pohon aren yang tua
habis ditumbangkan Tio di tempat itu, tahulah Tio, betapa
susahnya memintal ijuk pohon aren. Ijuk yang keras sering
menusuk kulit telapak tangan, sehingga bisa mengucurkan
darah. Kulit telapak tangan berlecetan di sana-sini. Kemudian
melahirkan kulit baru yang lebih tebal dan lebih tahan
menghadapi ijuk. Tapi, kasar.

Alat pemintal, ialah dua potong kayu sebesar pergelangan
tangan. Dibuat bersilang. Kayu bersilang itu diputarkan pada
tumpukan ijuk yang dicerai-beraikan. Dan, sudah kering
sehingga ijuk mengikut pada putaran kayu itu. Ijuk yang
mengikut itu, yang diusahakan sebesar yang dikehendaki dan
sudah cukup panjang diikatkan pada pepohonan yang ada di
sekitarnya. Lalu dimulainya memutar-mutarkan kayu bersilang
tadi ke tumpukan ijuk. Ijuk yang memanjang, yang sudah dua
jalur itu, disatukan. Dipilin tangan demikian rupa sehingga
berbentuk tali yang jalin-menjalin, hitam, dan kokoh. Tahan
air. T ahan panas matahari, asal saja jangan dibakar api.

Tio harus mencari pohon aren baru untuk ditebang. Dia
harus menyusur lebih ke hulu parit lagi. Pohon aren yang
setumpuk itu sudah pada tumbang. Dan, ijuknya sudah
dipintal menjadi tali. Tapi, Ronggur mengatakan tali yang
dipintalnya masih kurang banyak. Karena itu, dia harus
mencari pohon aren lagi. Menebang. Membelahnya.
Menjemur. Menyisihkan umbinya. Merendam ke air. Menapis
agar diperoleh tepungnya. Bila batang aren sudah kering,
melepaskan ijuknya dari batangnya. Mencerai-beraikan.
Kemudian memintalnya menjadi tali.

Tio menyuruki rimbunan kekayuan yang agak rendah,
mencari pohon aren. Dari jauh sudah terlihat daun aren yang
panjang itu. Ke sana dia menuju.

Setiba di bawah pohon aren itu, betapa gembira dia karena
dia menemui sarang babi hutan. Anak babi hutan lima ekor,
matanya masih sipit. Dielusnya perlahan tubuh anak babi yang
masih lembut. Yang masih punya bulu begitu halus dan
menggelikan telapak tangan.

Tiba-tiba dia sadar bahwa menemui sarang babi hutan
yang mempunyai anak yang masih kecil, juga mengandung
mara bahaya yang mengancam di samping kegembiraan.
Induk babi yang baru melahirkan dan masih menyusukan
tentu cukup galak dan tetap diiringi jantannya.

Waktu dia berpaling, didengarnya dengusan babi dari
semak yang ada di atasnya. Sadarlah dia, itu dengusan induk
babi. Dilihatnya keadaan sekitar, tidak menguntungkan. Tidak
ada batang kayu yang dekat yang bisa dipanjat untuk
menghindar bila babi itu menyerang. Sebelah kanannya, jalan
tikus yang sempit. Sebelah kedua sisinya, belukar. Dari
depannya, suara dengusan babi.

Tapi, masih ada semacam dinding tanah sebelum
menembus ke jalan tikus itu. Bila dia mundur ke sana dan
mengadakan pertahanan, yang harus dihadapinya hanyalah
satu arah saja, yaitu depannya. Padahal babi hanya bisa
menyerang dari satu arah. Dengusan napas babi tambah
mendekat.

Dibulatkannya tekad, dia harus menghadapi segala
kemungkinan. Dia harus menghadapi serangan babi itu. Jalan
menyingkir sudah tidak ada. Walau dia tahu seekor babi hutan
tidak akan terus jatuh ketika pukulan pertama mengenai
tubuh atau kepalanya. Babi itu akan menyeruduk maju ke
depan, menyerang sampai mangsanya terjepit. Muncungnya
yang panjang kemudian akan ditusukkan ke bagian tubuh
yang lunak. Dan, bila babi jantan itu sudah bertaring,

taringnya akan digunakan mencabik-cabik daging mangsanya.
Menggigil juga dia.

Sambil mundur perlahan, matanya tetap awas dan terus
diarahkan ke sumber dengusan. Tapi, pikirannya masih dapat
mengingat bahwa bila babi menyerang selalu membabi buta.
Langsung saja menyergap ke depan tanpa rem. Dalam saat
begitu, seseorang yang lincah dan tidak gugup, dengan
meloncat ke kiri atau ke kanan, bisa mengelak serangan. Bisa
mengelak serangan babi sambil menggunakan kesempatan itu
menghantamkan panggada atau kampak yang ada di tangan.

Tiba-tiba si belang menggonggong. Begitu nyaring
suaranya. Taringnya ditunjukkan, putih tajam dan kukuh.
Dalam hati, Tio mengharap Ronggur dapat mendengar dan
mengerti maksud gonggongan si belang. Dua ekor babi
sekaligus sudah berada di hadapannya, di tempat terbuka
yang sempit.

Seekor dari babi itu sudah bertaring, yang jantan. Mata
kedua babi itu merah menyala. Keduanya mengais-ngais
tanah, bergaya, mengambil ancang-ancang memulai
serangan. Tio terus mundur sampai mendekat ke satu sudut
tanah tinggi yang keras. Matanya terus awas, mengikuti sikap
dan gerak-gerik babi yang dua ekor itu. B ila babi menyeruduk
maju tanpa rem, di saat dia harus melompat ke kiri atau ke
kanan, dia harus terus cepat pula mengayunkan kampak yang
ada di tangannya, sambil harus terus awas menantikan
serangan babi yang seekor lagi.

Si belang masih terus menggonggong dengan nyaring dan
bersikap menanti. Karena itu, babi itu belum menyerang.
Gonggong si belang cepat berhenti karena babi jantan
menyerang si belang. Si belang melompat ke samping. Babi
jantan terdorong ke depan. Si belang cepat melompat ke
punggung babi itu. Si belang sudah berada di punggung babi.

Tapi, sebelum si belang memperoleh posisi yang baik, babi
itu masih sempat mempergunakan taringnya sehingga leher si

belang kena dan mengeluarkan darah. Tapi, si belang tidak
lagi melepaskan pundak babi jantan itu. T aringnya yang tajam
dan kukuh ditancapkan ke bagian punggung leher babi. Babi
itu menggelepar dan berlari dengan berputar untuk
menjatuhkan si belang dari pundaknya. Namun si belang tidak
melepaskan gigitannya lagi. Darah babi muncrat. Namun,
belum ada pertanda babi itu mau mengalah. Akhirnya, babi itu
berlari ke satu batang pohon yang besar, mendorongkan
pundaknya agar si belang terjepit. Dengan kaki belakangnya,
si belang menahan dorongan itu. Taringnya tambah dalam
ditancapkan ke daging babi.

Babi betina melihat babi jantan dalam keadaan payah mulai
mengambil ancang-ancang akan menyerang. Waktu itu,
secepat kilat tangan Tio mengayunkan kampak, berusaha
menghantamkan ke bagian punggung leher babi. Tapi, yang
kena bagian punggung belakang saja.

Babi itu cepat berpaling. Panggada yang ada di tangan Tio
diayunkan beruntun, menghantam kepala babi itu. Tapi, babi
itu terus maju mendorong, mendesak T io ke sisi tanah tinggi.
Terkadang didorong ke rimbunan lalang yang ada di sekitar.
Tio tetap berusaha menjaga arah mundur. Tapi, justru karena
serangan babi itu yang terkadang berubah arah, sekali waktu
dia tergelincir juga. Dia tersandar ke pohon aren yang berduri
tajam. Duri pohon aren menusuk punggungnya. Terasa sakit.

Cepat babi itu mundur ke belakang dan cepat pula
melompat ke depan bermaksud menjepit T io ke batang pohon
aren. Tapi, secepat itu pula Tio mengelak. Namun, betisnya
sempat disambar babi dengan muncungnya. Luka menggaris,
darah mengucur.

Tio memperbaiki posisi sambil menghantamkan panggada
ke sana ke mari, menghalangi jalan maju babi itu. Sekarang,
Tio sudah bersandar ke dinding tanah tinggi yang keras.
Kembali babi itu mengambil ancang-ancang mundur beberapa

langkah. Tio berhenti mengayunkan panggada. Seperti
melengah.

Dan, saat ini dipergunakan babi dengan menyeruduk cepat
ke depan. Saat genting. Dan, Tio cepat mengelak ke samping.
Kepala babi terhantam ke dinding tanah tinggi yang keras.
Kampak yang tadi tertancap di pundak babi menjadi lepas.
Cepat dipungut Tio, lalu menghantamkan kampak ke leher
babi yang belum sempat berpaling. Akhirnya babi itu tidak
berdaya sama sekali. Tergeletak di tanah dengan mata yang
masih memancarkan sinar kemarahan.

Kaki belakang si belang semakin lemah menahan dorongan
babi jantan. Pantatnya sudah mulai kena ke batang pohon. Tio
masih begitu payah. Napasnya satu-satu dan tubuhnya mandi
keringat. Betisnya terasa pedih mengucur darah. Hingga dia
untuk beberapa saat tinggal melihat saja. Napasnya tersengal.
Urat sarafnya begitu tergoncang.

Dan, secara perlahan diketahuinya, si belang sedang
berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan bersamaan
dengan mengendornya urat saraf itu. Bersikap mengayun
kampak, Tio maju perlahan. Tapi, waktu itulah sebuah tombak
yang sudah cukup dikenalnya tertancap ke perut babi.

Ronggur telah ada di sana dengan tubuh berkeringat.
Matanya menyala marah. Ototnya mengencang. Ujung tombak
satu lagi dipegang Ronggur kuat-kuat, hingga mata tombak
tambah dalam tertanam ke perut babi. Kemudian Ronggur
memerintahkan agar si belang melompat dari pundak babi.
Begitu si belang me lompat menjauh, secepat itu pundak babi
dihantam Ronggur dengan kampak. Babi itu akhirnya rubuh ke
tanah. Tergeletak di tanah dengan gelepar lemah.

Ronggur melihat Tio terduduk di tanah dengan napas
tersengal. Di dekat seekor babi betina yang terkapar. Si
belang masih menggonggong babi yang tidak berdaya itu
dengan moncong berlumur merah darah babi. Tapi, lehernya
luka kena taring babi.

Dengan senyum, Ronggur mendekati T io. Lalu tahulah dia,
betis Tio luka, punggungnya bergaris-garis bekas tusukan duri.

Tanpa diminta Ronggur, Tio terus saja menceritakan mula
perkelahian dengan babi itu.

"Kau telah mengadakan perlawanan yang cukup berani dan
berarti. Di saat kita kehabisan daging, di situ pula kau
merubuhkan babi yang dagingnya enak. Tapi, lukamu perlu
cepat diobati. Begitu juga luka s i belang," ucap Ronggur.

Tio masih tetap terduduk. Masih merasa capek. Dan,
merasa malu dia dilihat Ronggur dalam kepayahan.

Ronggur mengangkat dagunya perlahan. Mata mereka
bertemu. Ronggur kembali menghadiahkan senyum. Hanya
begitu.

Cepat Ronggur menjauh. Mencari dedaunan untuk ramuan
mengobati luka Tio dan si belang. Ramuan dedaunan itu
dilekatkannya ke luka Tio dan si belang. Seketika terasa mulut
luka itu perih hingga T io harus menjerit kecil, sedang si belang
melengking perlahan. Ronggur mengelus punggung si belang
agar tabah, sedang pada Tio dihadiahkan senyum manis.

"Tidak berapa lama akan tidak terasa apa-apa. Lukamu
akan cepat sembuh. Ramuan itu membunuh bisa. Lagi pula
lukamu tidak berapa dalam, juga luka si belang."

Cepat Ronggur menghidupkan api. Kedua ekor babi itu
dibakar sampai kulitnya hangus. Kemudian isi perut babi itu
dibuang. Baru kemudian daging babi itu dipotong kecil-kecil.
Dijemur di panas matahari supaya kering dan tahan disimpan.
Sedang anak babi yang lima ekor itu akan mereka bawa
pulang ke kampung, dipelihara menjadi babi peliharaan yang
jinak. Tio menjalin rotan, membuat sarang babi yang sekaligus
menjadi kurungan bagi anak babi itu.

Malam harinya, mereka lanjutkan memanggang daging babi
itu dalam gua. Sepotong paha diberikan kepada si belang

sebagai hadiah, la asik menyabik-nyabiknya di mulut lobang
perlindungan.

Perahu yang dikerjakan Ronggur tambah berbentuk dan
mulai mengarah ke tarap penyelesa ian. Tali yang dipintal Tio
sudah beberapa depa dan sudah ada lima gulungan besar
yang selesai. Kulit binatang buruan sudah pada mengering.
Hendak mereka bawa pulang. Begitu pula anak babi yang lima
ekor itu sudah punya bulu yang agak kasar, matanya sudah
terbuka, dan jinak. Bila Tio berma in dengan anak babi itu,
tidak diingatnya lagi betapa perasaannya waktu menghadapi
kedua ekor induk binatang itu.

Sedang luka di betisnya sudah sembuh, hanya tinggal
bekas kecil saja. Begitu pula luka di leher si belang, tinggal
segaris saja, tapi tidak, ditumbuhi bulu lagi.

Ronggur sudah selesai menghaluskan bekas tuhilannya.
Pada penglihatan mata, kedua sisi dinding perahu, begitu pula
perbandingan berat hulu perahu dan buritan perahu, sudah
sama. Perahu yang cukup besar yang bisa memuat tujuh
orang penumpang bersama peralatan. Dengan tali yang
dipintal Tio, Ronggur mengikat perahu itu pada hulunya.
Batang pohon maranti batu yang dulu begitu berat, sekarang
sudah ringan. Ronggur dan Tio menurunkan perahu itu dari
galangan.

Kemudian mereka menarik tali itu dan terseretlah perahu.
Di dalam perahu, semua peralatan bersama kelima anak babi
dimuat. Karena jalanan menurun dan dedaunan membusuk di
lapisan tanah, mereka tidak menakutkan dasar perahu bolong
dibuat batu. Tanah begitu lembut dan berair. Si belang
mengikut dan menggonggong. Mereka langsung menuju
tepian danau yang ada di mulut teluk, jadi, mereka tidak
pulang melalui jalan darat.

Setiba di tepi danau, Ronggur dan Tio mengosongkan
perahu. Mereka harus menguji keseimbangan perahu dulu
dengan mengapungkan di permukaan danau. Dan, tahulah

dia, apa yang bagi penglihatan mata sudah punya
keseimbangan yang sama, setelah diuji masih mempunyai
perbedaan. Haluan perahu terlalu berat. Walaupun Ronggur
sudah duduk di buritan perahu, haluan itu masih bergaya mau
tenggelam. Perahu yang begitu rupa, tidak baik dibawa
berlayar.

Ronggur menipiskan bahagian haluan lagi. Membuang
bagian yang tidak berguna. Setelah itu selesai, perahu kembali
diapungkan. Tahu pulalah dia bahwa bagian sisi kanan
perahu, lebih berat dari sisi kiri, sehingga perahu selalu oleng
ke kanan. Kembali perahu didaratkan. Sisi kanan perahu harus
lebih direndahkan dan ditipiskan pada bahagiannya yang
masih tebal. Sampai tercapai keseimbangan. Jadi, mereka
harus bermalam lagi untuk beberapa malam di tepi danau,
sebelum perahu rampung benar. Juga mata kayu yang ada di
dasar perahu yang tidak dapat dielakkan sejak mula, ternyata
dapat ditembus air. Ronggur lalu merekatnya dengan getah
pohon damar.

Bila keseimbangan perahu telah diperoleh, kembali segala
peralatan dimuat ke dalam perahu, bersama kelima ekor anak
babi itu, juga si belang. Mereka menuju pulang.

Mereka berkayuh dan berkayuh. Karena dasar perahu agak
luas terasa pendayungan agak berat. Tapi, tidak dihiraukan.

Senja hari. Tari warna berma in di riak danau. Ronggur
mencampakkan pandang jauh, ke teluk di mana bermula
Sungai T itian Dewata sudah ada. Tapi, bagi T io sendiri setelah
mengayuh perahu di permukaan danau, kembali dia teringat
bahwa saat berpisah dengan Ronggur sudah semakin dekat.
Apakah Ronggur akan kembali lagi? Wa lau dia tahu bahwa
sesuatu ancaman sedang menanti Ronggur, namun dia masih
mengharapkan, hendaknya Ronggur dapat kembali dengan
selamat.

Bila lekuk teluk telah dilewati, mereka telah berada di
danau bebas, malam sudah melingkup segala. Ronggur

menyuruh Tio agar duduk di haluan perahu, memperhatikan
jalan, apakah ada perahu lain yang bersilangan dengan
mereka. Sepanjang malam mereka terus berkayuh di
permukaan danau yang tenang dan tidur. B intang gemerlapan
di langit. Bulan mencurah cahaya. Permukaan danau kembali
memantulkannya ke langit. Suasana yang romantis.

Tapi, antara mereka berdua, kebisuan yang meraja. Tio
lebih banyak diam dan tenggelam ke dasar perasaannya:
bagaimana kelak kalau Ronggur sudah berangkat? Apakah
orang masih memperlakukannya dengan baik? Sedang
Ronggur diamuk satu kepercayaan bahwa dia akan
menaklukkan Sungai Titian Dewata bahwa dia yakin, Sungai
Titian Dewata akan membawanya ke tanah landai lagi subur.
Tanah yang diimpikan setiap orang.

Bertambah larut malam, secara berangsur, perlahan, bulan
semakin mengundurkan diri. Maka sekitar diselubungi
kegelapan. Tapi, kemudian di ufuk timur, menggaris cahaya
putih. Subuh baru telah lahir bersamanya lahir hari baru
dengan harapan baru. Sinar matahari telah meng-kuakkan
tabir kegelapan, maka terhamparlah depan mereka
persawahan yang bermula dari tepian danau, berakhir pada
kaki pegunungan batu.

"Tio, padi telah menguning di sawah. Kita tidak punya
waktu mengasuh lagi. Harus terus turun ke sawah memotong
padi," kata Ronggur.

"Ya, aku tahu."

"Dan, sehabis memotong padi, saatku berangkat tiba.
Mardege, ada baiknya diserahkan saja pada orang lain. Aku
tidak bisa lagi berlama-lama mengundurkan saat
keberangkatanku."

Tio hanya menundukkan kepala.

Perahu terus dikayuh. Menari bersama riak danau. Bila
gelombang membesar, Ronggur tinggal tersenyum karena

gelombang danau tidak dapat mengolengkan perahunya. Dan,
serpihan air yang dilemparkan ombak tidak dapat memasuki
perahu.

Belum siang benar, mereka telah tiba ke tepian danau
perkampungan. Orang mencampak pandang pada mereka.
Para penangkap ikan me lihat mereka. Ronggur belum dapat
mengartikan, kenapa mereka pada membisu, tidak gembira
menyambut kedatangannya bersama perahu yang dibuatnya
sendiri. Kalau tidak ditegor lebih dulu, itupun

ccdw-kzaa

4

Hari itu juga, sebelum Ronggur sempat mengasuh, utusan
kerajaan datang, menyuruh Ronggur menghadap ke Sopo
Bolon. Ibunya melepaskan dengan tatapan pilu, begitu pula
Tio. Ronggur melangkah dengan dada diangkat. Orang sudah
banyak memanen padi di sawah. Dia lalu di sana. Menyapa di
sana-sini, dan memperoleh jawaban sekedarnya saja. Tidak
seorang pun menanya tentang perahunya dan kapan dia
berangkat. Tampaknya setiap orang enggan bersapaan
dengan Ronggur.

Tapi, semua itu tidak berapa diacuhkan Ronggur, atau
memang dia belum tahu sebabnya.

Selagi Ronggur dan Tio membuat perahu di hutan, orang
sudah saling berbisik membicarakan maksud Ronggur hendak
melayari Sungai Titian Dewata mencapai muara. Pada
umumnya orang tak dapat menyetujui maksud itu. Tapi,
sebagian besar, terutama rakyat yang langsung berada di
bawah lindungannya sebagai Raja Ni Huta, tidak ada yang
berani terang-terangan mengeluarkan pendapat. Sebagian
lagi, ada yang mengejek, walaupun tidak secara terang-
terangan, masih sembunyi.

Satu sama lain saling mengeluarkan pendapat bahwa
Sungai Titian Dewata, menuju matahari terbit. Tempat para
dewata dan arwah menghadap Mula jadi Na Bolon. Bila
seseorang berani melewati batas yang sudah ditentukan
sampai di mana boleh seseorang berlayar, itu berarti sudah
melanggar ketentuan dewata. Dewata akan murka dan
menghancurkan orang yang berani melanggar peraturannya.
Matahari, tempat Mula jadi Na Bolon mengedari dunia setiap
saat, untuk melihat manusia yang mengerjakan hal yang baik,
begitu pula dari matahari Mula jadi Na Bolon, melihat orang
jahat membuat kejahatan untuk diganjar kelak di hidup lain.

Dan, karena maksud perjalanan itu menantang
kepercayaan rakyat yang sudah tertanam turun-temurun,
sebagian merasa kasihan melihat Ronggur, tapi sebagian lagi
merasa terhina. Karena ada seorang manusia yang hendak
meruntuhkan atau sama sekali tidak mengindahkan
kepercayaan yang mereka anut. Kasihan dan ejek.

Di Sopo Bolon, Ronggur telah dinantikan kerajaan yang
lengkap. Segala Raja Ni Huta dari tiap kampung yang didiami
marga mereka telah ada di sana. Dia terus tahu, sidang
kerajaan akan diadakan hari itu. Raja Panggonggom sudah
duduk di tempat dengan wajah murung, pertanda warta yang
kurang baik. Di kiri kanan Raja panggonggom, duduk berjajar
Raja Partahi, Raja Namora, Raja Nabegu. Di belakang mereka,
duduk para Raja Ni Huta. Hanya Raja Ni Huta dari induk
kampung marga yang duduk sejajar dengan Raja
Panggonggom. Pada tempat tertentu, hadir pula Datu Bolon
Gelar Guru Marlasak. Diapit oleh para tua kampung, yang
selalu dipanggil menghadiri sidang kerajaan, bila yang hendak
dibahas hal penting.

Ronggur duduk di barisan Raja Ni Huta. Orang pada diam
sewaktu Ronggur memasuki ruang Sopo Bolon. Semua mata
diarahkan padanya. Mulut tidak mengucapkan sepatah kata.
Memperoleh lalapan dari tiap mata itu, membuat Ronggur

agak kaku juga sikapnya. Tapi, sewaktu matanya tertumpu
pada orang tua yang duduk di sudut yang agak remang itu,
yaitu bekas Datu Gelar Guru Marsait Lipan, perasaan kaku itu
berangsur menghilang dari tubuhnya. Orang tua itu
menyambutnya dengan senyum yang dibalasnya selintasan.
Untuk pertama kalinya orang tua itu menghadiri sidang
kerajaan dengan terang-terangan. Dari suasana dalam Sopo
Bolon, tahulah Ronggur bahwa sidang akan membahas
sesuatu hal yang sangat penting tampaknya.

Ruangan tetap hening. Sewaktu Ronggur mengalih
pandang tahulah dia bahwa Raja Panggonggom terus menerus
menancapkan pandang ke arahnya. Memperhatikan gerak-
geriknya. Lalu Raja Panggonggom mengangkat tangan yang
sebelah kanan, menjemput tongkat panaluan dari tempatnya.
Tongkat itu digenggam, dito-pangkan agar berdiri tegak lurus.
Pertanda pertemuan dimulai.

"Semua kerajaan, pagar kesatuan marga, orang tua yang
bijaksana, yang bertanggung jawab akan kelanjutan hidup
marga dan keturunan kita kelak, kami undang hari ini
menghadiri pertemuan kerajaan di Sopo Bolon ini. Karena, ada
sesuatu hal yang sangat penting kita bicarakan dan bahas
bersama."

Hadirin pada diam semua. Menyimak yang diucapkan Raja
Panggonggom. Terutama Ronggur.

"Hal itu," lanjut Raja Panggonggom, "tampaknya
mengancam, dan bermaksud merubuhkan sesuatu yang kita
percayai. Yang bisa menimbulkan kegaduhan yang tidak kecil
di kalangan rakyat. Malah menurut sebagian orang, akan
mendatangkan mara bahaya pada seluruh rakyat dan
kerajaan."

Melalui ucapan Raja Panggonggom sebagai kata
pembukaan rapat, tahulah Ronggur bahwa hal yang akan
dibicarakan bersangkut-paut dengan maksud perjalanannya
menembus Sungai Titian Dewata. Karena itu, hatinya tambah

gedebak-gedebuk, menantikan putusan rapat. Atau, jalannya
pertemuan itu. Apakah ada orang yang bisa diharapkannya
untuk membela maksud perjalanannya itu, lalu
menyokongnya? Apakah mereka semua akan menjadi musuh,
yang menantang maksud perjalanan itu?

"Karena hal ini sangat menentukan," lanjut Raja
Panggonggom, "kami berpendapat harus melalui musyawarah
lengkap yang boleh mengambil putusan tertentu terhadapnya,
sehingga putusan itu nanti menjadi pendapat kita yang
mutlak, yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Camkanlah baik-
baik pentingnya maksud pertemuan ini."

Raja Panggonggom berhenti sebentar. Dia menarik napas.
Setelah mencampakkan pandang pada Ronggur, dia
melanjutkan:

"Ronggur, kami dengar kabar kau sudah menyelesaikan
perahu yang akan kau pergunakan menyusuri Sungai Titian
Dewata untuk mencapai muara. Karena kau bermaksud akan
mencapai tanah habungkasan. Apakah berita itu benar?"

"Benar, Paduka Raja," sahut Ronggur.

"Nah, sidang yang terhormat, yang disampaikan orang itu
ternyata benar. Ronggur sudah mengakui terus terang
sehingga jalan rapat tidak terlalu repot dan berbelit. Untuk itu,
kita harus mengucapkan terimakasih padanya. Ronggur, coba
ceritakan pada kami, kenapa kau begitu bernafsu hendak
mencari Sungai T itian Dewata?"

Ronggur disuruh berdiri. Dan, setelah mencampakkan
pandang ke sekitar, dia lalu membeberkan hal yang kan
dialam i marga mereka kelak bila tanah habungkasan tidak
ditemui. Karena itu, dia berpendapat, tanah habungkasan itu
harus dicari. Dia yakin, katanya selanjutnya, seseorang yang
berani melayari Sungai T itian Dewata sampai ke muara berarti
akan sampai ke tanah landai yang subur. Tanah yang
dimimpikan tiap orang. Karena itu, dia mengharap agar

kerajaan memberi izin padanya untuk menyusuri sungai itu
sampai ke muara dan membolehkan beberapa orang menjadi
kawannya. Sungai T itian Dewata tidak berakhir di ujung dunia,
katanya tegas.

Seketika Ronggur berhenti. Rapat hening. Hanya wajah
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak yang menjadi merah padam
mendengar semua omongannya. Dari s ikapnya tampak bahwa
dia sama sekali tidak mengingini mendengarkan ucapan
Ronggur.

Ronggur melanjutkan, "Aku telah memilih kayu yang paling
baik jenisnya. Daya apung perahu sangat baik. Dasarnya lebih
lebar dari perahu biasa. Tidak mudah oleng waktu melalui
arus riam sungai. Percikan air tidak mudah masuk ke perahu
karena dinding perahu kubuat agak tinggi."

"Sudah siap semua yang ingin kau ucapkan?" tanya Raja
Panggonggom.

"Sudah, Paduka Raja!" jawab Ronggur lalu kembali duduk
bersila di lantai.

"Ronggur, tahukah kau bahwa perjalananmu itu sangat
berbahaya?"

"Benar Paduka Raja!" sahut Ronggur. "Perjalanan ini
menghadapi risiko yang tidak kecil. Tapi, seseorang yang
berusaha mencapai sesuatu kebajikan akan selalu menghadapi
risiko. Tak ubah seperti mengerjakan sawah. Pada mulanya
kita harus berani membuang tenaga dan waktu untuk
mencangkul tanah. Lama sesudah itu baru tanah memberi
hasil pada kita."

Dalam hati kecilnya Raja Panggonggom menghormati sikap
terus terang dan keberanian yang dimiliki Ronggur. Tapi,
karena maksud perjalanan itu sendirinya pula membelakangi
kepercayaan rakyat dan kepercayaan sendiri, maka soalnya
menjadi lain.

"Ronggur, maksudku tidak di situ saja. Tidakkah kau tahu
bahwa Sungai Titian Dewata itu sungai yang jatuh ke ujung
dunia? Sungai Titian Dewata jalan para dewata dan arwah
menghadap Mula Jadi Na Bolon."

"Paduka Raja, memang padaku diajarkan kepercayaan
begitu rupa. Tapi, karena maksud perjalanan ini tidaklah untuk
kesenangan perseorangan saja, tapi bertujuan untuk
kepentingan bersama, izinkanlah aku untuk memikul segala
risiko itu bila yang kurasakan dan kupikirkan itu salah!"

"Bagaimana pendapatmu tentang Sungai T itian Dewata?"

"Paduka Raja, aku selalu digoda mimpi. Mimpi itu selalu
mengajak aku agar memulai satu perjalanan, yaitu menyusuri
Sungai Titian Dewata. Mimpi itu mewartakan bahwa bila aku
melayarinya, aku akan tiba ke tanah landai di muara sungai.
Tanah landai itu begitu luas. Bisa menampung kebutuhan kita
dan keturunan kita kelak akan persawahan. Turun temurun.
Selanjutnya mimpi itu selalu mengatakan padaku, bila aku
tidak memulai perjalanan itu, aku seorang manusia yang telah
menyia-nyiakan satu kesempatan. Aku orang yang tidak dapat
dikatakan seorang lelaki."

"Apakah kau tidak mungkin digoda setan?" potong Raja
Panggonggom.

"Paduka Raja, bila warta mimpi itu tidak dapat kutunjukkan
dalam kenyataan, berartilah aku digoda setan. Tapi, berilah
kesempatan padaku untuk membuktikannya atau aku sendiri
akan musnah. Aku telah rela menerima dan memikul segala
risiko itu."

Datu Bolon Gelar Guru Marlasak cepat berdiri. Dadanya
naik turun dengan cepat. Wajahnya memancarkan sinar
kemarahan. Mulutnya cepat-cepat mengeluarkan kata:
"Ronggur! Menurut kepercayaan kami, menurut hukum yang
diwariskan kepada kami, kau pasti akan mendapat bencana.
Jadi, sebelum bencana itu menimpa dirimu, ada baiknya kau

mengurungkan niat itu. T api, kau juga harus tahu karena yang
kau tantang itu hukum dewata. Kemarahan dewata tidak saja
menimpa dirimu, tapi semua marga akan dikutuknya.
Kerukunan keluarga akan hancur. Padi di sawah akan tidak
menjadi. Kalau cuma kau yang dikutuk dewata tidaklah
menjadi soal besar. Tapi, ini menyangkut seluruh marga kita.
Kerajaan kita akan berakhir pada suatu yang menyedihkan,
justru karena keinginanmu untuk mengharungi Sungai Titian
Dewata. Tidakkah dapat kau rasakan ancaman mara bahaya
yang akan timbul dan menimpa warga marga itu?"

"Datu Bolon Gelar Guru Marlasak, yang kuhormati
kebenaran tenungnya. Yang kuhormati arwah halus penjaga
diri dan yang dapat dipanggilnya untuk membisikkan sesuatu
pendengarannya. Aku selalu memperhitungkan dan tetap
merasakan, bencana yang mungkin meruntuhh-an
kelangsungan hidup marga. Justru karena memperhitungkan
hal itulah aku mengambil kesimpulan, tanah habungkasan
perlu dicari. Diusahakan menemukan. Aku percaya bahwa
Datu Bolon pun memikirkan hal itu. Soalnya bila Datu Bolon
meninjau dari sudut gaib, aku melihat dari kenyataan sesuatu
perhitungan yang hasilnya pasti tiba."

"Kalau begitu, tidak ada lagi sesuatu hal yang bisa
mengurungkan niatmu," kata Datu Bolon menyindir.

"Begitulah rasanya," jawab Ronggur dengan tabah dan
tenang. "Seperti tidak ada sesuatu kekuatan yang dapat
menghentikan orang mengisi perutnya," sindirnya pula dengan
halus dan tenang.

"Ronggur," tiba-tiba suara Raja Nagebu meninggi, dengan
hentakan kasar mengatakan, "Apa yang menggoda hatimu?
Apakah kau dengan perjalananmu yang akan menimbulkan
bencana dan yang telah menimbulkan huru-hara terpendam di
kalangan rakyat dan para hulubalang, yang menanti saat
meledak sehingga ketenteraman hidup terganggu dan kucar-
kacir, masih kau katakan untuk memperjuangkan kelanjutan

hidup marga dan keturunan? Atau, kau memang sengaja
mencari nama, menunjukkan bahwa kau lebih berani dari
setiap hulubalang kita, sehingga patentengan menantang
hukum dewata? Ronggur menantang hukum dewata bukanlah
keberanian, tapi ketololan."

Seketika dia diam. Wajahnya bertambah merah. Lalu
melanjutkan, "Ronggur, bidang sawah yang diserahkan atau
dipercayakan kerajaan padamu cukup luas lagi subur. Biar kau
mengambil seorang istri atau lebih, kemudian istrimu itu
melahirkan anak banyak, kau belum perlu menguatirkan
makanan untuk mereka. Hasil sawahmu memberi jaminan.
Jelaslah sebenarmya kau mengimpikan sesuatu yang maha
mulia dialamatkan pada dirimu."

"Paduka Raja Nagebu, pemegang tampuk dan penggerak
para hulubalang perkasa. Maksudku jauh dari dugaan tuanku.
Kalaulah yang kuimpikan bisa nyata dalam kenyataan tidak
bermaksud aku disebut penemunya. Sekali-kali tidak. Juga aku
tahu, bila untukku sendiri dan jaluran keturunanku langsung,
sawah yang dikuasakan padaku memang cukup memberi
nafkah. Belum perlu menguatirkannya. T api, pokok persoalan
sekarang di sini bukanlah aku, tapi kita semua. Marga kita.
Tahukah paduka raja bahwa banyak dari marga ya'ng hanya
punya tanah beberapa bidang dan hanya dapat menghasilkan
padi yang cukup untuk makanan sekedarnya saja? Dan
mereka terus saja melahirkan anak, anak yang perlu kita beri
makan. Dan tahulah paduka raja bahwa permintaan bantuan
dari lumbung desa setiap tahunnya bertambah banyak juga?
Sehingga kita tidak bisa lagi mengadakan pesta pujaan
terhadap Mula Jadi Na Bolon dengan besar-besaran? Inilah
semua yang jadi persoalan. Jadi, bukan diriku dan bukan pula
hanya diri tuanku saja."

Keadaan menjadi sunyi. Dalam saat itu, Raja Panggonggom
mengadakan sidang kecil dengan para Raja Partahi, Raja
Nagebu, Raja Namora, dan Raja Ni Huta dari induk kampung.

Kemudian mereka panggil pula Datu Bolon Gelar Guru
Marlasak. Mereka berbicara perlahan, tapi dari tiap wajah
memancar kesungguhan. Jelas tampak mereka sedang
mengambil ketentuan dan keputusan rapat, yang akan
diumumkan pada seluruh marga, sebagai undang-undang
kerajaan yang tidak boleh dibantah.

Tiba-tiba saja Panggonggom menyuruh bekas Datu Bolon
Gelar Guru Marsait Lipan, berbicara pada hadirin,
menceritakan kegagalannya dulu mengharungi Sungai Titian
Dewata.

"Bapak bekas Datu Bolon, yang pernah meminta izin pada
almarhum ayah kami, yang mewariskan kedudukan Raja
Panggonggom pada kami, untuk mengharungi Sungai Titian
Dewata. Menurut pustaka kerajaan, almarhum ayah kami
memberi izin pada bapak untuk mengharungi sungai tersebut.
Bagaimanakah hasilnya?"

Orang tua itu berbicara perlahan, "Memang benar Paduka
Raja bahwa aku pernah meminta agar diberi izin mengharungi
Sungai Titian Dewata. Tapi, yang kutemui berbeda dengan
hasil tenungku. Kami mengalami kegagalan."

"Selanjutnya, bagaimana?" tanya Raja Panggonggom.

"Ayah Ronggur memperoleh cedera dalam perjalanan itu.
Dia temanku. Dia tidak pernah lagi pulang."

"Sesudah itu?"

"Aku sendiri pulang ke mari. Karena almarhum ayah paduka
raja, sabahat karibku, tetap juga menerimaku kembali. Tapi,
tidak lama kemudian kami mengadakan pemburuan. Di s itulah
mendapat kenahasan. Almarhum ayah paduka raja diserang
seekor harimau dengan tiba-tiba, sehingga beliau memperoleh
luka yang mengakibatkan kewafatannya. Dalam igaunya selalu
mengatakan, "Pembalasan dewata telah datang. Pembalasan
dewata telah datang!"

"Apakah tidak mungkin, apa yang dimaksudkannya itu
karena mengizinkan bapak mengharungi Sungai T itian Dewata
dan menerima bapak pulang kembali?"

"Tidak dapat kupastikan. Tapi, boleh juga begitu
maksudnya."

"Hadirin semua, terutama kau Ronggur, telah
mendengarkan satu pengakuan dari seseorang yang pernah
mengharungi Sungai Titian Dewata, yang menimbulkan
kemarahan para dewata. Apakah setelah mendengar
pengakuan ini kau masih bermaksud meneruskan niatmu?
Berilah jawaban, Ronggur!"

Ronggur terdiam beberapa saat. Dia dihadapkan sudah
pada saat yang menentukan. Bintikan keringat melebihi
keningnya. Akhirnya dia mengatakan:

"Paduka yang bijaksana, apakah karena satu kegagalan,
sesuatu maksud baik harus dibatalkan? Apakah tidak hanya
satu kebetulan saja hal nahas itu mendatang?"

"Kutanya padamu, Ronggur, apakah kau masih bermaksud
meneruskan niatmu atau mengurungkan setelah mendengar
pengakuan bekas Datu Bolon yang sudah disisihkan orang dari
kehidupan ramai? Lain tidak! Dia membawa kenahasan bagi
kerajaan."

Ronggur terdiam. Belum memberi sesuatu pilihan yang
menentukan. Golongan raja kembali mengadakan sidang kilat.
Lalu sebelum Ronggur memberi keputusan, Raja
Panggonggom mengatakan:

"Kita telah sama mendengarkan cerita bahwa Ronggur
hendak mengharungi Sungai Titian Dewata untuk mencari
tanah habungkasan. Maksud yang baik. Tapi, Ronggur telah
melupakan riwayat nenek moyang dan berusaha merombak
kepercayaan yang kita anut atau menurut kata Datu Bolon
Gelar Guru Marlasak, telah menghina kepercayaan yang kita
anut." Hening sejenak.

"Saran yang dapat kami ajukan pada Ronggur, dan menjadi
undang-undang bagi kita semua, ialah bila Ronggur
meneruskan niat itu, tidak seorang pun dari warga yang
dibolehkan mengikuti dan membantu perjalanannya. Bila dia
mulai me langkah dari gerbang kampung memulai perjalanan,
maka dia tidak berhak lagi mencantumkan marga kita di
belakang namanya. Begitu pula gelar Raja Ni Huta Muda, gelar
Hulubalang Muda dicabut kembali!"

"Dia tidak boleh memakai nama kerajaan kita untuk
melindungi diri dari kutukan dewata, dari gangguan setan, dan
dari gangguan perampok di tengah jalan. Kalau ada orang
yang membunuhnya dalam perjalanan, marga kita tidak akan
menganggap serangan itu serangan yang langsung pada
marga kita. Ronggur sendiri yang harus memikul risikonya.
Sawah yang telah dipercayakan padanya disita kerajaan.
Ibunya yang sudah tua akan dibelanjai langsung oleh lumbung
desa. Dirangsum ala kadarnya!"

"Syarat ini kami ajukan justru karena kami berpegang pada
satu kepercayaan: siapa saja yang mengikuti perjalanan
Ronggur, siapa saja yang membantunya mengharungi Sungai
Titian Dewata, jalan para dewata dan para arwah menuju
matahari terbit tempat Mula Jadi Na Bolon bersemayam, akan
turut dikutuk oleh dewata. Biarlah kami dan marga kita
disebut pengecut, namun melawan dewata kita tidak mau.

"Jadi kami umumkan pada semua Raja Ni Huta, agar tidak
membolehkan rakyat yang ada dikampungnya membantu dan
mengikuti perjalanan Ronggur. Kalau kau Ronggur tidak dapat
menerima syarat ini, hendaknya urungkan dan batalkan
niatmu sebelum terlambat. Bila kau mengalami kegagalan
kemudian kau pulang ke kampung ini, kau akan tidak
dianggap anggota marga lagi. Kau akan ditangkap dan
dijadikan budak belian. Kami tidak mau mengulangi kenahasan
yang pernah menimpa almarhum ayah kami, untuk menimpa

diri kami sendiri. Pikirkan baik-baik Ronggur. Dan, berilah
jawaban di tempat ini juga."

Keadaan menjadi hening. Pada kening Ronggur menitik
keringat. Bekas Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan
menundukkan kepala. Tidak sanggup mengangkat kepala. Di
wajah Datu Bolon Gelar Guru Marlasak dan Raja Nagebu
membayang kepuasan. Para Raja Ni Huta lain dengan takjim
menerima undang-undang Raja Panggonggom. Pada wajah
dan sikapnya tergambar bahwa mereka akan
melaksanakannya sebaik mungkin.

Sejak tadi di luar Sopo Bolon, hujan turun menderu.
Bersabung dengan petir dan kilat.

"Ronggur, katakanlah pilihanmu, biar kami tahu mengambil
sikap," kata Raja Panggonggom memecah kesepian.

Ronggur masih tertunduk juga. Belum berdiri untuk
menyatakan pilihan.

"Ronggur, kau tidak dapat memberikan keputusan? Kau
merasa takut dan bimbang? Karena itu kami sarankan,
janganlah sekali-kali mencoba untuk menentang kepercayaan
yang kita anut bersama, janganlah menghina diri sendiri," kata
Datu Bolon Gelar Guru Marlasak. Nada suaranya mengejek.
Membakar dada Ronggur. Dengan wajah merah serta sinar
mata yang manyala, akhirnya Ronggur berdiri dengan
menghentak: "Semua pertaruhan yang dibebankan ke
pundakku aku terima. Aku, ibuku, tidak berhak lagi memanen
padi dari sawahku yang sedang menguning. Karena itu,
secepat mungkin aku akan berangkat. Dengan satu janji, bila
aku menemui tanah habungkasan yang landai lagi subur, hasil
penemuan itu akan tetap kuhadiahkan bagi margaku, bagi
kalian semua."

Suaranya mengguntur mengalahkan suara petir yang
bersabung di luar Sopo Bolon. Orang semua mengangkat
kepala dibuatnya. Dan, sehabis mengucapkan pilihan itu,

Ronggur terus meninggalkan ruang Sopo Bolon. Perasaannya
terbakar, dadanya panas, walau udara begitu dingin. Dia
menerjang ke tengah hujan, angin, dan halilintar yang
bersabung dengan petir.

Terus melangkah melewati sawah yang pematangnya
menjadi licin, mencapai kampung di mana dia sebelum itu
memegang tampuk Raja Ni Huta Muda dan Hulubalang Muda.
Tapi, dia tidak memperdulikan keadaan alam itu, dia terus
melangkah cepat di atas pematang yang licin. Tidak mau
berteduh ke dangau yang ada di tengah sawah. Orang yang
berhenti memotong padi dan berteduh di dangau melihatnya
begitu saja.

Gonggong si belang menyambut di tangga rumah. Pintu
rumah cepat dibuka Tio. Dilihatnya Ronggur basah kuyup.
Ibunya cepat mengangkat wajah, menatap padanya. Otot
Ronggur mengeras, wajahnya memerah. Pertanda berita yang
kurang baik.

Sebelum ditanya Ronggur dengan suara lantang karena
masih marah, menceritakan semua keputusan rapat dan
pilihannya sendiri. Ibunya jadi kaku tegang, seperti patung
tanpa nyawa. Tangan, kaki, tubuh Ronggur masih menggetar
tidak karena merasa dingin, tapi karena marah.

Tapi, sewaktu matanya tertumpu ke biji mata ibunya yang
berseri, yang mulai digenangi air bening tipis, dia sadar bahwa
orang tua itu telah dihadapkannya pada satu kenyataan, yaitu
kepahitan dan kegetiran hidup di saat hari tuanya. Yang
sepantasnya tidak wajar lagi hidupnya disusahi. Cepat
Ronggur mendekat, lalu menyembah sujud di kaki perempuan
tua itu. Di antara isaknya sendiri dia mengatakan:

"Maafkanlah aku, Bu. Maafkan anakmu ini. Aku telah
mempersusah hidupmu. Katakanlah Bu, aku tidak boleh pergi.
Aku harus menggagalkan niat perjalananku itu. Aku akan
menuruti ibu. Aku akan minta maaf pada kerajaan atas
kelancanganku. Katakanlah, apa yang harus kuperbuatl"

Perasaan marahnya telah mencair, menghadapi wajah dan
mata ibunya yang bersedih. Segala tekad menjadi kendur,
demi hasrat diri yang tidak mau melihat ibu kandung yang
sudah tua mengalami kesusahan. Tidak cepat ibunya
menyahut. Tangan ibunya yang sudah mengkerut, membelai
kepalanya yang masih basah. Mengusap perlahan sambil lalu
mengeringkannya. Kemudian mengatakan perlahan-lahan:

"Ronggur, kau tidak boleh mengurungkan niatmu lagi. Kau
tidak boleh membatalkan yang telah kau pilih. Kau telah
mengatakan dalam pertemuan raja dengan berani. Kau harus
meneruskannya, walau apa yang akan terjadi."

Seketika ibu tua berhenti, tapi disambung pula, suaranya
sudah tambah jelas dan tabah:

"Seperti terbangnya burung ambaroba, mengitari tebing
curam, mengikuti lingkaran pegunungan, mencari mata air
yang bening, tanpa memperdulikan arti haus dan dahaga,
karena anaknya di sarang, menginginkan setetes dua air
melalui kerongkongan kering. Harus begitu kau. Seorang lelaki
yang berani mengatakan maksudnya, tapi dapat disebut
jantan, bila berani tidak mengingkari janji. Jadilah, anakku
sulung anakku bungsu, seorang lelaki berhati jantanl Ibumu
ini, tidak mau anak lelaki berhati betina."

Perempuan tua itu tidak mengucurkan air mata lagi.
Perempuan tua itu tidak mengisak lagi. Telah tabah menerima
segala yang tiba. Telah rela melepas anaknya sulung, anaknya
bungsu, untuk pergi selamanya, mempertaruhkan keyakinan
diri. Segala air mata telah dihamburkan dari dasarnya sampai
kering.

Keheningan merayap di ruang mereka berada. Sendu. Tapi
dipecahkan suara halus yang bermula dari T io, "Bawalah daku
bersamamu. Bawalah daku, jangan tinggalkan daku."

Sambil berkata Tio mendekat, lalu duduk di sisi anak
beranak itu.

Perlahan, ibu Ronggur merenggangkan pelukannya dari
tubuh Ronggur. Perlahan pula, Ronggur melepaskan diri dari
pelukan ibunya. Lalu menatap dalam ke biji mata Tio, yang
tertancap ke biji matanya tanpa mengedip.

"Tio, dapatkah kau menduga kemungkinan yang bisa saja
menimpa diriku dalam perjalanan? Tahukah kau, apa yang
akan kutemui bila tafsiran mimpiku meleset?"

"Aku sudah tahu. Aku sudah maklum. Bila kelak kita tidak
bisa kembali lagi agar Mula Jadi Na Bolon tidak murka
padamu, katakanlah bahwa arwahku kau bawa serta sebagai
sembahanmu padanya."

Lama Ronggur menatapi wajah Tio yang sudah punya
kepastian sinarnya. Olehnya tekad Ronggur kembali pada
pijakan semula begitu kokoh. Tidak ada lagi satu kekuatan
yang dapat menghalangi maksudnya.

Angin di luar tambah kencang, hujan rasanya tidak akan
henti. Halilintar dan guruh terus bersabung. Angin melanggari
pucuk dan batang bambu duri, berkerisik dan bunyinya begitu
ngilu pada pendengaran. Di rumah itu orang terus sibuk.
Menyiapkan yang perlu mereka bawa. Bila fajar pagi terbit
pertanda hari baru tiba mereka sudah harus berangkat.

Ibunya menyelipkan pisau gajah lompak ke pinggang
Ronggur, pisau pusaka turun-temurun. Yang berukirkan kakek
kesatuan keturunan mereka yang langsung. Di tengah malam
buta, Datu Bolon Gelar Guru Marsait Lipan datang ke sana. Dia
menjampi Ronggur dan Tio, agar selamat dalam perjalanan.
Supaya terhindar dari godaan setan. Kemudian pada Ronggur
diberikannya ajimat yang terbuat dari besi putih, diukir dengan
huruf Batak. Juga pada Tio diberinya ajimat, terbuat dari
jalinan benang berwarna tujuh.

Mereka menyongsong terbitnya fajar.

ccdw-kzaa

5

Masih pagi benar. Udara cukup dingin. Tanah lembab
pertinggal hujan semalam. Dua tiga biji bambu duri
terbelintang di tengah jalan, tumbang. Di darat kabut tipis
saja. Hijaunya dedaunan dapat juga dilihat pandang.
Bertambah segar karena mengandung butir air. Tapi,
permukaan danau, jika bertambah jauh ke tengah, kabut
mengental. Beberapa depa saja dapat ditembus pandang.
Pulau Samosir Tuktuk Sigaol tidak tampak. Air danau alangkah
dinginnya.

Ronggur, Tio, dan si belang sudah berada dalam perahu.
Tempat begitu lapang. Pengayuh, galah, penimba air, sudah di
tempatnya. Tombak, kampak, panggada, ambalang, dan
sesumpit batu sungai yang keras. Beras sesumpit. Disumpit
lain daging kering. Juga mereka bawa mata pancing serta
talinya.

Pada leher Ronggur membelit ulos batak ragi purada yang
dibelitkan ibunya. Begitu juga pada leher Tio, dibelitkan ulos
batak ragi purada yang diiringi kata, "Belitkanlah pada
tubuhmu, di kala dingin mencekam. Pengganti tangan bunda .
. .." Hanya perempuan tua itu dan bekas Datu Bolon di tepian
danau mengantar mereka. Orang lain sudah dilarang untuk
mengantarkan mereka. Ronggur menatap pada ibunya,
sebelum perahu hilang ditelan kabut. Lalu pada orang tua itu,
melalui renggangan batang bambu duri, dicampakkan
pandang ke tengah kampung. Mencari bekas kehidupan masa
lalu di sana. Tingkah lakunya yang sopan serta ramah-tamah,
keberanian yang tidak gentar menghadapi sesuatu soal pada
saatnya, memikat hati orang di sekitarnya. Karena itu dia
banyak mempunyai teman.

Tapi, di saat dia harus meninggalkan perkampungan itu
untuk satu perjalanan yang belum tentu akhirnya, tak terduga

nasibnya, tidak seorang pun dari temannya yang dibolehkan
mengantarkan. Melepasnya. Tahulah dia, betapa pahit
perasaan mencekam hati untuk meninggalkan tanah tempat
lahir, dibesarkan, dan diasuh, punya teman, tapi tidak boleh
pamitan.

Di sebelah haluan perahu, Tio berdiri. Matanya jauh
mengedari tanah yang sudah cukup dikenalnya. Di mana dia
pernah disanjung puja, selagi martabat marganya belum
runtuh. Teringat pula saat kejatuhan marganya dan dia
sendiri, harus menjadi budak belian. Temannya sebaya banyak
yang mati di saat itu. Setetes dua air-mata membasahi pipi.
Cepat dihapus agar tidak sempat dilihat Ronggur.

Perahu bergerak perlahan meninggalkan tepian. Tangan
mereka membalas lambaian kedua orang tua yang
mengantarkan mereka. Sebelum pferahu ditelan kabut, tidak
hentinya lambaian dilepaskan dari tepian, tinggi melengking.
Si belang pun seperti tahu, perjalanan mereka sekali ini amat
panjang. Perlahan perahu memasuki daerah yang dilingkungi
kabut tebal. Perlahan pula tepian menghilang dari
pemandangan. Untuk digantikan warna putih saja pada
akhirnya. Tangan terkulai tak ada lagi yang hendak dilambai.

Tidak dilihat Ronggur lagi, ibunya mencampakkan diri ke
pohon hariara yang besar itu. Tersedu di sana. Meratap
panjang. Bekas Datu Bolon menyabari. Kemudian
menuntunnya pulang ke rumah.

"Mereka akan berhasil, mereka akan pulang membawa
berita baik dan menggembirakan," bujuk bekas Datu Bolon.
"Semua yang dikorbankan Ronggur untuk perjalanan ini akan
kembali padanya, malah lebih dari itu akan dipunyainya."

Perempuan tua itu menundukkan kepala, mengiakan, walau
sebenarnya dia tidak dapat meyakini bujukan itu.

Bila sinar matahari pagi telah muncul dari puncak Dolok
Simanuk-manuk, kabut tambah menipis lalu menghilang.

Kerajaan sudah tahu bahwa Ronggur bersama Tio telah
berangkat, maka Raja Panggonggom mencoret nama Ronggur
dari silsilah keturunan marga. Ronggur telah dianggap mati.
Riwayat Ronggur berakhir di s itu saja.

Perahu yang dikayuh Ronggur dan Tio maju perlahan. Tio
mendayung ke hulu. Ronggur di buritan langsung menjadi
pengemudi. Beberapa biji mata pancing yang sudah diumpani
dijatuhkan Tio ke danau. Sambil berkayuh, mereka
mengharapkan dapat pula sambil lalu menangkap beberapa
ekor ikan. Mereka berdua terus mengkayuh. Antara keduanya
belum mengucap sesuatu kata.

Perahu terasa berat dikayuh. Karena dasarnya agak lebar.
Haluannya tumpul. Menahan air atau menghempang kelajuan
perahu. Tapi, mereka masing-masing melaksanakan tugas,
walau perahu agak susah dikayuh dan walau hati masing-
masing masih diselubungi sakitnya perpisahan dengan kaum
kerabat, dengan tanah tempat dibesarkan, tanpa pamit.
Walaupun Tio tetap merasakan bahwa dia akan aman selalu
bila berdekatan dengan Ronggur, yang mempunyai otot yang
tegap, tekad hati yang bulat, keberanian yang jantan, sikap
ramah tamah, dan sopan santun yang manis, namun pada
saat itu, setiap perahu tambah jauh dikayuh, hatinya merasa
kecut juga mendatangi ajal yang ada di depan.

Tapi, dihiburnya diri, kalau dia tidak ikut, bukankah itu
berarti memberikan tubuhnya, hidupnya ke tangan nasib yang
telah tertentu belangnya, yaitu menjadi budak belian orang,
yang akan memperlakukannya seperti memperlakukan hewan.
Bukankah itu berarti penghinaan akan martabat diri, tidak
tahu menghargai diri sebagai manusia yang dapat
membedakan arti dan hakikat manusia merdeka dengan
budak belian?

Ah, katanya dalam hati sendiri, bila diri tahu perbedaan
antara menjadi seorang budak belian dengan manusia
merdeka dan diri tidak berpihak kemerdekaan itu, seseorang

yang tidak dapat mengucapkan terima kasih pada Mula Jadi
Na Bolon, yang telah menciptakannya menjadi manusia. T idak
menciptakannya menjadi hewan.

Satu keuntungan bagi tiap manusia, yang bisa
mempergunakan tiap kesempatan yang ada, untuk
membebaskan diri dari belenggu yang menindas harga diri itu.
Dan, kata Tio selanjutnya pada diri sendiri, kesempatan,
kupikir dan kurasakan, ada bila aku bersama Ronggur. Bila
aku memilih jalan yang ditempuhnya. Walau apa bentuk nasib
yang menanti di depan. Itulah risiko.

Manusia lahiratau dilahirkan memang untuk menghadapi
risiko, mengatasinya, lalU tercapailah idaman hati. Atau,
memang diri mampus karena tidak dapat mengatasi risiko itu.
Tapi, diri telah me laksanakan tugas kehidupan sebaik-baiknya.
Dan, itulah kehidupan. Kabut sudah terangkat, matahari
leluasa melemparkan sinarnya.

"Sentak pancing yang ada di sebelah kananmu!" teriak
Ronggur yang sekaligus membangunkan Tio dari renungan.
Tangannya cepat menggapai tali pancing. Tidak lama
kemudian, seekor ikan mas yang sudah cukup besar,
menggelepar di permukaan air.

"Tangkap dengan jaring," kata Ronggur pula.

Tio mengikuti petunjuk itu. Dengan sebuah pukulan
panggada pada kepala, ikan itu melepaskan gelepar akhirnya.
Isi perutnya dibuang Tio. Disisikinya. Lalu dia bertanya pada
Ronggur:

"Kita apakan ikan ini? Kita ura?"

"Ya, ura saja. Banyak bikin asamnya. Biar cepat masak.
Tapi, harus rata. Biar masaknya rata pula."

Dengan sedih akhirnya Tio mengatakan, "Tapi, daun
pembungkusnya tidak ada."

Ronggur mencampak pandang ke pinggir danau. Cepat dia
menujukan haluan perahu ke tepian. Lalu me lompat dari
perahu ke tepian berpasir basah, langsung memanjat sebuah
pohon berdaun lebar. Beberapa tangkai dedaunan yang cukup
lebar dijatuhkan ke tanah. Cepat dipungut Tio. Ikan diasami.
Lalu dibaluri dengan kunyit. Kemudian dibungkus baik-baik.
Seolah tidak tertembus hawa.

Mereka melanjutkan perjalanan. Mereka tidak memenggal
perjalanan melalui tengah danau. Selalu mengikuti pantai.
Hingga perjalanan menjadi bertambah jauh. Beberapa kali
mereka berpapasan dengan penangkap ikan. Tapi, tidak
seorang pun dari penangkap ikan yang melambaikan tangan
dan menyapa mereka. Para penangkap ikan itu menatap
dengan dungu ke arah mereka. Lalu, cepat mengkayuh
sampan masing-masing, agar cepat jauh dari manusia yang
sudah digoda setan jahat itu. Sekarang Ronggur sudah dapat
mengartikan, kenapa orang tidak menegurnya dengan ramah
lagi.

Matahari tambah tinggi dan terik. Gelombang mulai
menggila. Perahu mulaii menunduk nunduk mengikuti alun
gelombang. Sampan penangkap ikan sudah sunyi dari danau.
Ronggur mengkayuh melalui ke tepian. Tepian yang dipilih
ialah lepian yang jauh dan kampung yang banyak bertebar
sepanjang pantai danau. Di sana mereka memasak nasi lalu
makan siang. Daging kering masih ada. Sedang ikan yang
diura itu, baru bebeiapa hari kemudian dapat dibuka dari
bungkusannya untuk dimakan.

Bila sinar matahari sudah tidak terik lagi, kembali mereka
melanjutkan perjalanan. Matahari leluasa melemparkan
sinarnya dan membakar mereka berdua, turut si belang, justru
karena perahu mereka tidak punya atap. Si belang tidak sering
lagi menggonggong, sudah lebih banyak diam dan tiduran di
perut perahu. Pada mulanya dia selalu menggonggong perahu
dan sampan yang berpapasan dengan mereka, tapi karena

orang yang ada dalam sampan atau perahu yang
digonggongnya tidak me lambaikan tangan, membalas
gonggongnya, akhirnya si belang sendiri pun tinggal diam saja
melihat mereka, sambil menjulurkan lidah.

Setelah dua hari berkayuh, tepian danau kembali dirimbuni
rumpun bambu duri dengan rapat. Pertanda perkampungan.
Titik putih yang besar itu, dapat mereka terka bahwa itu
kuburan nenek moyang yang pertama merambah mendirikan
perkampungan. Dapat mereka tentukan melalui titik putih itu
bahwa itulah gerbang perkampungan. Kuburan nenek moyang
yang pertama membuka satu perkampungan, selalu
dikebumikan di gerbang kampung. Titik kecil yang
bermunculan di sana menatap ke arah mereka, ada yang
menuding. Tapi, tidak ada yang melambaikan tangan.

Tio tidak memikirkan itu. Tapi, pada pikirannya mendatang
pengenalan bahwa mereka telah memasuki lekuk danau yang
pada salah satu tepiannya, bermula Sungai Titian Dewata. Dia
menarik napas yang dalam. Sedang Ronggur memperhatikan
permukaan air dengan awas. Meneliti awal sungai.

Pada mulut sungai banyak terdapat gugusan pasir hidup.
Perahu dan sampan nelayan yang terdampar ke sana karena
tidak hati-hati, secara perlahan-lahan akan ditelan pasir hidup
itu. Orangnya bisa selamat kalau pandai berenang. Pasir hidup
selalu berpindah tempat, bergerak dibawa arus. Jadi orang
yang berlayar di sana harus hati-hati. Tanda pasir hidup dapat
diketahui dari permukaan air danau yang agak memutih,
bercampur keruh, dan beriak.

"Percepatlah mengayuh T io," kata Ronggur. "Sebelum sore
benar, kita sudah harus memasuki mulut sungai. Biar kita
dapat terus menyusuri sungai sampai ke tempat yang jarang
perkampungannya. Juga agar dapat kita bedakan, antara
permukaan air yang aman dan jebakan pasir hidup. Kita tak
dapat menepi di sini. Terlalu rapat perkampungannya. Siapa
tahu, di antara mereka ada yang bermaksud jahat pada kita."

Tio mempercepat kayuhannya. Si belang kalau sudah capek
duduk, terkadang berjalan hilir mudik dalam perahu.
Mengibaskan ekor pada punggung Tio, begitu pula pada kaki
Ronggur. Tampaknya si belang seperti menyesal, karena tidak
dapat membantu tuannya.

Cahaya senja sudah bermain di permukaan air yang beriak.
Riak yang seperti disorong ke satu arah, punya arus, tapi
masih perlahan. Mula sungai. Riak itu, walau masih perlahan,
tetap bergerak, tetap disorong sesuatu tenaga untuk ditibakan
ke satu tempat.

Pada kedua tepian pangkal sungai, banyak orang berdiri.
Melihat mereka dengan dungu. Dari sekian banyak orang,
yang diketahui Ronggur sudah lain dari kesatuan marganya,
seorang pun tidak ada yang menyapa mereka. Tapi, orang
mencampak pandang ke arah mereka. Menonton tanpa
menggunakan perasaan. Oleh tatapan itu, oleh kebisuan itu,
Tio menjadi gelisah.

Si belang sudah pernah menggonggong ke arah mereka,
seperti menjenggak. Tapi, orang itu tetap juga di tempatnya.
Si belang akhirnya capek sendiri. Tio bolak-balik melihat pada
orang banyak, kemudian pada Ronggur yang terus mengayuh
dan menjaga kemudi dengan hati-hati.

"Ronggur, kau lihat mereka itu?"

"Ya, kulihat. Teruslah mengayuh, jangan ambil perduli."

"Tidak seorang pun dari mereka yang mengaju tanya pada
kita. Sedang mereka sudah berbeda marganya dari margamu.
Apakah mereka tidak bisa mengucapkan sepatah kata?"

"Kepercayaan mereka sama dengan yang dianut margaku.
Tidak mengapa. Teruskan mengayuh. Kepercayaan itu yang
melarang mereka untuk bercakap dengan kita. Atau,
kepercayaan itu membuat mereka bisu. Perasaan mereka
tumpul dibuatnya. Teruslah mengayuh. Sebelum jauh malam,

hendaknya kita sudah sampai ke tempat yang cukup jauh dari
perkampungan mereka."

"Mata mereka tidak bercahaya. Seperti mata ikan yang
mati. Aku ngeri melihatnya dan merasa terpukau berhadapan
dengan manusia yang begitu banyak, tapi yang begitu diam
dan bisu, seperti patung. Tidak berkerisik."

"Teruslah berkayuh, Tio. Biar cepat kita jauh dari tatapan
mereka. Agar godaan darinya tidak lama mempengaruhi tekad
diri."

Tio meneruskan mengayuh. Untuk akhir kalinya, si belang
sekali lagi menggonggong ke arah tumpukan orang yang diam
bisu itu, sebelum mereka menjauh benar. Arus sungai masih
lemah. Belum bisa menghayutkan perahu. Mereka masih harus
mengayuh kuat-kuat, agar perahu melaju.

Senja di langit bertambah tua. Merahnya mewarnai segala.
Dan, dari satu tempat yang ketinggian lagi sunyi, seseorang
memanggil nama Ronggur. Mulanya begitu lemah dan jauh.
Seperti suara setan yang bangkit dari dunia jauh. Ronggur
mendongakkan kepala, mencari dari mana suara itu datang. Si
belang mempertajam penciuman. Menggonggong. Disuruh T io
diam. Si belang mengikut.

Seseorang berlari di pematang sawah sambil melambaikan
tangan. Ronggur berhenti berkayuh. Diikuti Tio. Orang itu
sudah berada di tepian sungai. Setelah beberapa hari tidak
mendengar suara orang lain yang mencakapkan mereka,
rasanya, suara orang itu seperti hadiah yang besar, hadiah
yang membuat mereka gugup.

"Ronggur," kata orang itu, napasnya masih tersengal,
"bawalah aku bersama kalian. Aku mau turut."

Ronggur tambah terdiam. Hampir tidak dapat mempercayai
pendengarannya.

"Ronggur, kau dengarkah aku? Aku si Lolom. Kawanmu
sejak kecil. Aku mau turut."

"Kudengar kau, Lolom. Kudengar kau. Apa maksudmu?"
tanya Ronggur kembali. Dia belum yakin benar akan
pendengarannya.

"Bawalah aku bersama kalian. Aku mau turut. Tidak
bermaksud jahat aku. Bawalah aku."

Ronggur dan Tio tambah terdiam mendengarkan
permohonan orang itu, permohonan yang tidak diduga sama
sekali. Di saat mereka disisihkan dari sekitar, dari alam
kehidupan mereka sehari-hari, di saat itu pula seseorang dari
anggota masyarakat yang menyisihkan itu memohon pada
mereka, agar dibolehkan turut serta. Membuat Ronggur ingin
tahu, kenapa orang itu mau turut.

"Kenapa kau harus ikut?" tanya Ronggur.

"Aku tahu perjalananmu mendatangkan ajal. Tapi, aku
tidak perduli. Aku mau ikut. Karena aku memang dengan
sengaja mencari kecelakaan pada diri sial ini. Bawalah aku,
Ronggur. Sungguh sial nasib menimpa diriku. Aku kalah
berjudi. Sawahku sudah tergadai. Namun hutangku masih
bertumpuk."

"Jadi kau sengaja mau mencari malapetaka?"

"Ya, seperti kalian. Seperti kau. Tepikanlah perahu itu biar
masuk aku. Daripada aku membunuh diri, gantung diri, lebih
baik kurasa, lebih tenteram kurasa hati, bila ada teman sama-
sama mati. Karena aku takut sendirian menuju negeri jauh itu.
Bawalah aku, biar aku tidak merasakan kesunyian di saat
nyawa berpisah dari tubuh. Justru karena tahu ada teman
sama-sama mati."

"Kau pikir kami sengaja mencari kematian dengan melayari
sungai ini? Atau, sengaja mendatangi kecelakaan yang bisa

mengakibatkan kematian?" tanya Ronggur pula. Sinar
matanya memancarkan cahaya benci.

"Apa maksudmu?" kembali Lolom bertanya. "Bukankah kau
dengan sengaja mencari sumber malapetaka dengan melayari
Sungai T itian Dewata ini?"

"Tidak. Kami mau mencari penghidupan yang lebih
sempurna. Mencapai tanah luas tempat habungkasan," jawab
Ronggur tegas.

"Ah, jangan bersilat kata, Kawan. Kau sengaja mencari
kecelakaan, kematian, dan aku mau turut. Habis perkara,"
suara si Lolom mulai ringan dan lincah, tidak seperti semula
lagi.

"Kenapa kau berkata begitu, Lolom?"

"Karena kau Ronggur, jatuh cinta pada budakmu. Memang
budakmu itu manis. Bukankah karena tidak tahan
menanggung malu di dunia ini, kau me larikan diri dari
kehidupan ini dengan dalih mencari tanah habungkasan
bersama budakmu itu? Bawalah aku. Aku tidak bermaksud
mempengaruhi perasaan cinta yang tumbuh di hati kalian
berdua. Itu soalmu. Aku akan menutup mata dan mulut, di
saat kalian bercumbuan. Percayalah. Bawalah aku Ronggur.
Biar ada temanmu sama-sama mati. Biar ada pula temanku
sama-sama mati. Walaupun sebab kita berbeda. Kau karena
menyintai seorang budak. Aku karena kalah berjudi. Dari kita
sebenarnya sama sialnya."

Dengan hentakan kasar, Tio membenamkan pengayuh ke
air hingga air muncrat ke atas, lalu mulai mendayung.

"Perjalanan kami tidak wajar dikotori seorang penjudi yang
mau bunuh diri," jawab Tio kasar. "Perjalanan yang menuju
atau mencari tanah habungkasan."

Wajahnya memerah. Dan, ia tidak tahu, kenapa dia harus
mengatakannya. Sebenarnya dia sendiri memang sependapat


Click to View FlipBook Version