The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Slamet Kadarisman, 2022-04-03 06:03:18

Penakluk Ujung Dunia-Bokor Hutasuhut

Penakluk Ujung Dunia-Bokor Hutasuhut

dengan orang lain, dengan Lolom bahwa perjalanan itu akan
kandas di karang kecelakaan. Tapi, biarpun begitu, tidak wajar
rasanya, perjalanan yang bermaksud baik itu dikotori
seseorang yang memang sengaja mau bunuh diri.

"Apa kau katakan budak manis? Apakah kau tidak dengan
sengaja mengotori hidup si Ronggur? Dengan wajahmu yang
manis, kau telah menggoda dan menjerumuskan seorang
sahabatku ke lembah kehinaan. Jatuh cinta pada seorang
budak, karena setiap saat kau menggodanya dan kata orang,
kau sedang bunting. Kalian telah bersetubuh sebelum
meminta izin dari Mula Jadi Na Bolon, dari para orang tua, dari
kerajaan, dan datu bolon. tanganlah berkata aku membawa
sial padamu. Nasibmu jauh lebih celaka dari nasib kita semua.
Aku kalah berjudi, Ronggur jatuh cinta, kau penggoda
keparat."

"Siapa mengatakan itu padamu, Lolom?" tanya Ronggur
keras

“Kau masih bertanya. Itulah berita yang tersiar luas di
antara penduduk. Lain tidak. Aku juga mempercayainya. Aku
juga tidak dapat mempercayai bila seseorang yang melayari
sungai ini, masih mengatakan akan mencari tanah
habungkasan. Bagiku itu omong kosong dan dusta paling
besar. Karena itu, marilah sama-sama mati, kawan. Bawalah
aku. Aku yang mau bunuh diri."

Seketika Ronggur terdiam. Tidak menyahut. Kemudian
Lolom melanjutkan, "Kenapa kau diam, Ronggur? Karena
tepat apa yang kukatakan?"

Ronggur masih diam. Lolom terkekeh lupa akan
masalahnya sendiri. Tio sudah hendak mendayung perahu,
tapi dicegah Ronggur dengan membenamkan kemudi ke air.
Akhirnya Ronggur mengatakan:

"Lolom, sayang sekali apa sebabnya kau mau ikut dengan
kami. Kalau alasanmu berbeda dari alasan yang kau katakan

itu, betapa gembira hatiku menerima kehadiranmu. Betapa
aku berterima kasih karena kau mau menemani aku seraya
bersedia memikul segala akibatnya."

Lolom masih tertawa di pinggir sungai. Kemudian Ronggur
melanjutkan:

"Aku mau buktikan Lolom bahwa yang kuimpikan atau yang
diwartakan mimpiku padaku, benar. Aku akan menemui tanah
habungkasan. Sungai ini akan membawaku ke tanah landai
yang subur. Sendirinya pula aku akan buktikan bahwa
kepercayaan yang tertanam di hati kita selama ini mengenai
sungai ini salah."

"Jangan mencari dalih lagi," kata Lolom menghentak.
"Sudah kukatakan aku tidak dapat mempercayainya, walau
kau kawanku. Kita akan sama-sama mati bila kita sama-sama
melayari sungai ini. Yang kuminta padamu, bawalah aku biar
ada temanku sama-sama mati. Aku takut mati sendiri. Itu saja
soalnya."

"Tapi, aku tidak mencari kematian dengan sengaja," jawab
Ronggur dengan suara kuat. "Perjalanan yang kumulai ini
bertujuan baik. Hasilnya kelak akan kuserahkan pada semua
orang, agar semua orang terlepas dari ancaman yang selalu
mengikuti hidupnya, berperang karena setapak tanah,
bersibunuhan karena setetes air parit. Karena itu dan karena
aku tahu pepatah lama, seseorang penjudi yang kalah, dialah
yang bernasib sial. Seseorang yang dengan sengaja mau
bunuh diri padanya akan datang malapetaka. Karena aku tidak
mau bunuh diri, karena aku tidak mau mencari ma lapetaka,
tapi sebaliknya, sewajarnya pula aku menolak permohonanmu.
Agar nasib sialmu, agar kutukan dewata padamu karena kau
mau bunuh diri tidak turut menimpa kami. Kami masih tetap
mengharapkan dan memohon agar dewata menunjuki jalan
kami. Yang kelak hasilnya akan dikecap setiap orang. Tidak
wajar mengorbankan nasib orang yang begitu banyak, masa
datang orang banyak, karena kau seorang. Karena itu, carilah,

tempuhlah sendiri, dan datangilah sendiri ajal yang akan
merenggutkanmu dari kehidupan ini!"

Sambil tertawa dan perutnya berguncang-guncang, Lolom
mengatakan:

"Ronggur, ke mana perginya akal sehatmu yang selama ini
kau punyai? Ya, memang kau masih menggunakan akal sehat
itu. Yaitu, menerjunkan diri ke ujung dunia agar bangkai
kalian tidak dapat dikuburkan. Agar kubur kalian tidak ada jadi
pertinggal di dunia ini. Nah, aku pun bermaksud begitu.
Penjudi yang kalah main, kalau mati tidak wajar menunjukkan
kuburnya agar tidak ada lagi tempat bagi mengunjungnya,
menagih hutang. Begitu pula agar tidak ada tempat bagi
sanak saudara, bagi anak yang masih kecil, tempat
mencampakkan segala penjelasan di atas pusaraku, karena
aku segala penjudi yang kalah, membuat hidup mereka
menjadi morat-marit." Waktu Lolom berkata, perahu sudah
mulai dikayuh

Ronggur dan Tio. Dan, waktu Lolom sadar bahwa kencang
perahu tambah tak dapat diikutinya lagi, walau dia sudah
berlari-lari di tepian, dengan pengap-pengap dia memohon:

"Ronggur, apa yang harus kuperbuat? Aku takut mati kalau
aku sendiri yang menghadapinya. Dan, kalian tidak mau pula
membawa aku serta, aku yang sudah rela mati. Hendak
mereka jadikan aku budak. Ronggur, kau dengarkah aku?"
ratapnya mulai meninggi, "sampai hatikah kau melihat aku
manjadi budak?"

Ratapan si Lolom yang tambah meninggi, membuat
Ronggur tertegun. Kembali dia berhenti mendayung.
Menyuruh Tio berhenti pula mendayung. Dia mencampak
pandang ke daratan. Matanya menyala merah. Tapi, dia
berusaha agar marahnya tidak meledak. Lalu, dia berkata
dengan kuat lagi tajam:

"Lolom, kau kawanku sejak kecil. Kau telah menghina aku.
Tapi, bagiku itu tidak mengapa. Untuk ikut serta dalam
perjalanan ini kau tidak boleh. Aku tidak bersedia
mengorbankan perjalanan ini pada nasib sial yang akan
menimpamu. Karena kau memang sengaja mencari kematian."

"Lantas, apa yang harus kuperbuat?" tanya Lolom pula
melanjut dan memotong cakap Ronggur.

"Kalau berjudi bagimu sangat baik. Agar kau tahu dan
menyadari bahaya main judi. Pesanku padamu, janganlah dulu
bunuh diri. Kelak aku akan membawa berita padamu bahwa
tanah habungkasan telah kutemui. Kau boleh pindah ke sana
dan kau kembali menjadi orang merdeka. Sekarang biarlah
dulu kau rasakan betapa sakitnya menjadi budak orang lain.
Agar kau tahu betapa nikmatnya mimpi akan kemerdekaan.
Dan, agar kau tahu, betapa berharganya sebuah
kemerdekaan, sehingga kau tidak mau lagi
mempermainkannya di perjudian."

"Begitu percaya kau Ronggur bahwa kau akan menemui
tanah habungkasan."

"Mimpiku telah mewartakan padaku. Dan perasaanku
selama ini, yang turut merasakan pahitnya derita seorang
budak, pahitnya perasaan diri sendiri justru harus membunuh
orang lain, karena orang lain itu pun ingin hidup lalu berusaha
menguasai setapak tanah, mempunyai setetes air parit telah
memaksa aku harus mencapai tanah habungkasan. Untuk bisa
terlepas dari belenggu itu, dari penjara perasaan yang
meracuni diri sendiri, semua terletak pada hasil perjalanan
ini."

"Dan, bila kau pun nanti turut menanggungnya, merasakan
pahitnya menjadi seorang budak, maka kau pun akan
mendoakan agar perjalanan ini memperoleh hasil seperti yang
diharapkan. Harapanmu terletak pada hasil perjalanan ini.
Agar kau bisa kembali menjadi seorang yang merdeka.

Bertobatkah, karena doa seorang yang tobat, sangat
didengarkan Mula Jadi Na Bolon."

Sebelum Lolom sempat mengatakan sesuatu, Ronggur
telah melanjutkan:

"Di samping itu, bila kau memang ingin berbakti,
wartakanlah pada orang semargamu bahwa anggapan mereka
akan perjalanan kami ini tidak benar sama sekali. Suruhlah
mereka bersiap menerima sebuah warta kebenaran. Yang
mungkin berbeda malah menantang kepercayaan yang
mereka anut selama ini. Agar tidak terguncang perasaan
mereka bila kelak menerima warta penemuanku atas tanah
habungkasan."

Ronggur dan Tio kembali mendayung. Dengan tercengang
Lolom melepas mereka. Dan, sesudah dia sadar bahwa perahu
Ronggur sudah menjauh dan melaju, kembali dia meratap dan
menangis. Tapi, disela tangis itu dia mengharapkan, agar
Ronggur dan Tio berhasil, sehingga dia bisa kembali menjadi
orang merdeka. Harapan masih ada walau masih begitu
samar, karenanya dia belum mau mati.

Perahu terus melancar. Bulan mulai memancar di langit
mencurahkan sinar ke bumi. Menjadi suluh bagi Ronggur dan
Tio mengikuti jalur sungai. Secara perlahan arus sungai mulai
terasa. Tanah datar yang terdiri dari tanah batu di kiri-kanan
sungai. Hanya satu-satu pepohonan tumbuh di tepian. Tidak
berdaun rindang. Meranggas.

Setelah merasakan bahwa mereka sudah cukup jauh dari
perkampungan, Ronggur mendaratkan perahu. Memilih
tempat bermalam. Si belang disuruh berjaga. Perahu
ditambatkan. Memang begitu selalu, selagi perahu dikayuh, si
belang kebanyakan tiduran. Kalau malam, dia yang berjaga, di
saat Ronggur dan Tio melepas lelah. Dan, bila pagi terbit lagi,
mereka akan melanjutkan perjalanan itu.

Setiap hari arus sungai tambah terasa. Dan, tetap
diperhatikan dan dipelajari Ronggur. Menurut keterangan
bekas Datu Bolon, bila arus bertambah deras, dia harus
bertambah hati-hati. Bila suara gemuruh air sungai berban-
tingan ke dinding batu mulai kedengaran, dia harus mulai
mencari mulut gua yang diceritakan Datu Bolon, yang
menganga bergaya mau menelan.

Tekadnya harus bertambah bulat dan kukuh memasukinya.
Atau, memulai jalan darat. Karena itu, tidak jarang Ronggur
melengketkan telinga ke permukaan air, untuk merasakan
getar air. Dan, setiap Ronggur mengerjakannya sambil
memejamkan mata, setiap itu pula T io memperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Dan, hatinya bergoncang dalam dada. Bila
Ronggur kembali mengangkat kepala, T io akan menarik napas
yang panjang, tapi diusahakan agar tidak kedengaran pada
Ronggur.

Pada hari selanjutnya, mereka telah tiba ke batas yang
boleh ditempuh manusia. Walau matahari tidak terik, dan
masing-siang, namun Ronggur mendaratkan perahu ke pinggir
sungai. Lalu menyuruh Tio menghidupkan api. Pertanda
mereka akan bermalam di sana.

Dia pergi ke tempat ketinggian, mendaki sebuah pundak
bukit, mengadakan peninjauan. Sejauh mata memandang
yang dilihat hanya batu padas saja. Sedang sungai seolah
terus menuju satu arah yang jauh, menerjang terus ke perut
bukit. Menembus bukit. Itulah mula gua yang diceritakan
bekas Datu Bolon. Arus sungai sudah cukup deras. Satu dua
batu jangkar sudah dijatuhkan Ronggur, agar kelajuan perahu
dapat dikendalikan.

Kembali dia ke tempat Tio, yang mencampakkan pandang
padanya, pandang yang meminta penjelasan. Tapi, Ronggur
tidak mengucapkan, sepatah kata. Kediam-diaman. Perasaan
masing-masing saling mengajuk nasib yang menanti mereka,
bila mereka mulai melewati batas itu besok pagi.

Ronggur dan Tio, pada pagi berikut melihat matahari
muncul dari satu kekosongan, tepat dari belahan jalur sungai.
Jadi tidak dari pundak Dolok Simanuk-manuk lagi, seperti yang
mereka kenal. Namun mereka meneruskan perjalanan juga.
Mulut tambah terkatup. Terus saja Ronggur mencampakkan
pandang ke kejauhan. Tetap meneliti keadaan. Wajahnya
bersikap menantang dan begitu tegang. Tangannya pasti
menggenggam ulu kemudi.

Mereka tidak perlu lagi mengayuh. Arus sungai sudah dapat
menghanyutkan perahu malah terlalu liar. Hingga batu jangkar
sudah tiga biji dijatuhkan. Telapak tangan Tio yang sudah
lecet dan keputihan, susut karana terus-terusan direndam air,
sekarang bisa mengasoh. Tangannya mengelus leher si belang
yang duduk di sampingnya. Dia mencari kekuatan hati dari
elusan itu. Atau, melontarkan perasaan yang tertekan.

Tapi, hari itu mereka tidak menemui sesuatu. Hanya arus
sungai yang bertambah kencang. Mereka masih selamat.
Walau sudah jauh melewati batas yang boleh didatangi
manusia.

Dikejauhan, bila diperhatikan benar, desiran arus sungai
kedengaran bangkit, mendesis. Dari jalur sungai dikejauhan,
bulan muncul. Menyinari kiri-kanan sungai yang tidak punya
tanda kehidupan. Tandus dan kosong. Bila mereka mendarat
ke pinggiran lagi, mereka temui sebuah lobang alam pada s isi
sungai yang agak tinggi, terbuat dari batu alam. Lobang yang
bersisi berlantai dan beratap batu. Dalam lobang, tidak seperti
lobang alam yang pernah mereka temui, tidak ada sepenggal
kayu atau bekas api. Tidak pernah didatangi manusia
layaknya. Dingin. Buru-buru Tio menghidupkan api. Beberapa
potong kayu diangkutnya dari perahu. Nyala api menari-nari di
dinding batu, di atap batu.

Tengah malam. Awan hitam merayap dan menjalar, lalu
menutupi wajah bulan. Keadaan sekitar menjadi pekat. Angin
kencang datang dari hulu sungai. Membangkitkan riak yang

tidak dapat dikatakan kecil, cukup gelisah permukaan sungai.
Satu-satu halilintar mengkilap membelah bumi. Diiringi suara
guntur yang mau memecahkan segala, menyengkak. Si belang
mendekat pada Tio. Memanaskan diri dekat api. Bersabung
halilintar dan guruh, hujan turun seperti dicurahkan dari
langit. Permukaan sungai naik. Riak sungai menjadi besar dan
tambah gelisah. Seperti marah karena ada orang yang berani
berlayar melewati batas yang sudah ditentukan.

Dalam saat begitu, perubahan alam begitu rupa
menimbulkan prasangka dalam diri, yang menumbuhkan
berbagai ragam anggapan, pertanda mula kecelakaan yang
akan menimpa diri. Semuanya serba asing dan menakutkan,
atau semua serba seperti menakut-nakuti. Ronggur pergi ke
tepian sungai memperkokoh ikatan tambatan perahu. Lantas
pergi ke atas gua alam itu, menatap ke sekitar. Kepekatan
menyeluruh menelan segala. Kekelaman yang abadi. Baru
beberapa saat yang lalu, keadaan udara cukup terang
benderang oleh sinar bulan yang nyaman.

Begitu cepat suasana alam berubah. Beberapa saat dia
berdiri di sana, memperhatikan sekitar dan mempelajari arah
dan mata angin yang menggalau. Tio yang tepat berada di
bawahnya, tidak mengetahui bahwa Ronggur tepat berada di
atasnya. Dipisah langit-langit gua yang terbuat dari batu alam.
Kulit tangannya masih tetap pucat dan menyusut.

Selagi Ronggur tidak ada dekatnya, dia merasa sepi atau
merasa takut. Dia selalu begitu, walau dia tahu Ronggur tidak
pergi jauh. Dia merasa lebih tenteram bila Ronggur di
dekatnya, walau tidak mengatakan sesuatu, selain hai yang
penting saja. Seperti: "Besok pagi kita melanjutkan perjalanan
sebelum matahari terbit. Tidurlah, selimuti dirimu dengan kulit
binatang berbulu. Biar terasa panas."

Mendengar cakap yang sepenggal itu saja, sudah
melonggarkan perasaan tertekan. Dan, dia tidak akan
menyahut, tapi melaksanakan yang dimaksudkan Ronggur.

Malam itu Ronggur agak lama baru kembali. Perasaan sak
wasangka tambah mencekam diri, karena dia tahu bahwa
mereka sudah berada di daerah yang berbahaya, daerah yang
belum pernah dimasuki manusia. Tio bangkit dari duduknya.
Dengan membungkuk dia menuju mulut gua. Hendak melihat
ke mana Ronggur pergi atau di mana Ronggur berada. Tapi,
ketika itu juga, tubuhnya tertumbuk ke tubuh Ronggur yang
berdada telanjang. T io terpekik karena terkejut. Lalu mundur.
Ronggur tersenyum, lalu mengatakan, "Pergilah tidur. Tidak
apa-apa. Besok, bila badai telah teduh, kita akan meneruskan
perjalanan."

Tio malu akan ketololan dan ketakutannya. Dia menyesali
diri kenapa dia harus terpekik. Dari goleknya dia melihat
Ronggur mengeringkan tubuh. Telapak tangan ditelempapkan
ke tubuh, lalu dikaiskan. Butiran air berjatuhan. Kemudian
Ronggur berjongkok dekat api. Mendekatkan telapak tangan
ke jilaman api. Begitu dekat hingga Tio yang melihatnya
merasa ngeri, kalau tangan itu akan hangus terbakar. Tidak
disadarinya matanya dapat ditangkap pandangan Ronggur.
Sambil memalingkan pandang Ronggur berkata, "Kau belum
tidur juga? Belum mengantuk?"

Tio menyurukkan kepala ke bawah kulit binatang. Dalam
hatinya dia merasa geli atas kelakuan Ronggur, Sedang
Ronggur merasa geli pula atas kelakuan Tio yang
menyurukkan kepala ke bawah selimut buru-buru, yang
dengan sendirinya kakinya menjadi telanjang. Kulit binatang
itu tidak cukup panjang untuk menyelimuti tubuhnya
sekaligus. Ronggur tersenyum, seperti Tio sendiri, tersenyum
di bawah selimut kulit berbulu.

Di luar hujan, angin, kilat, dan guruh masih bersabung. Si
belang sekali ini sudah tertidur. Permukaan sungai menaik,
riak sudah membesar sudah menyerupai ombak danau.
Namun perasaan keadaan sekitar, dia tahu, air tidak mungkin
menggenangi mulut gua di mana mereka berada. Dia

menggolekkan diri. Suara mendesis yang bersumber dari
sungai itu sangat menyayat atau menyengat pendengaran.
Suara yang timbul atau seolah datang dari dunia jauh, dunia
lain. Ronggur menutup kedua belah kupingnya, memejamkan
mata dengan paksa.

Cahaya putih sudah menerobos dari mulut lobang waktu
Ronggur membuka mata kembali. Api sudah padam. Dalam
gua menjadi dingin kembali, angin yang bersabung dan hujan
yang menderu di luar belum henti.

Tapi, sudah mulai me lemah. Desis lidah air masih terus
mengganggu pendengaran. Waktu kepalanya dijulurkan dari
mulut lobang untuk mengetahui keadaan cuaca, dia pun tahu,
bahwa cuaca masih tetap seburuk kemaren. Walau matahari
sudah terbit dan agak tinggi, namun bias cahayanya tidak
dapat menembus awan yang bergumpal dengan sempurna.

Dengan malas Ronggur kembali masuk ke dalam lobang.
Membaringkan diri. Tio belum bangun. Juga si belang. Ma lah
menggulungkan tubuhnya sampai bengkok untuk melawan
dingin. Didengarnya kelepak lemah di langit-langit gua.
Tambah lama tambah banyak. Matanya diliarkan menatap
langit-langit. Kelepak itu berasal dari lobang-lobang kecil yang
banyak di langit-langit gua. Perlahan dia bangkit, takut kalau
kelepak lemah itu henti. Dia mendekati salah satu lobang
kecil.

Heh, pikirnya. Di sini banyak kampret. Enak dimakan. Lalu
dia mengambil sebatang kayu. Dengan kayu itu, dicoloknya
tiap lobang. Kampret berjatuhan. Patah sayap. Asik dia
dengan pekerjaannya. Merasa bersyukur, justru karena dia
tahu, daging kampret enak dimakan.

Di samping itu, lalu dia dapat memastikan bahwa sesuatu
yang bernyawa masih ada di sana. Kampret itu ditumpukkan.
Tidak tahu dia Tio sudah bangun. Terus menghidupkan api.
Menjerangkan air yang ditampung dari pinggir sungai. Waktu
nyala api me loncat-loncat dan menari-nari di dinding gua,

Ronggur berpaling. Tio tersenyum tapi tertunduk.
Disambutnya juga senyum itu, lalu: "Di sini banyak kampret.
Bakarlah. Enak juga dimakan."

Kampret itu mereka panggang, langsung dengan bulunya.
Cepat benar sudah masak. Sambil meneguk air simar palia
yang pahit kental lagi panas, rasa dingin dan kantuk cepat
menghilang, mulut mengunyah daging kampret yang manis.
Bila angin dan hujan reda, mereka akan meneruskan
perjalanan. Yang terasa tidak punya akhir dan ujung.

Ingatan Ronggur cepat meloncat. Cepat dia mengaju
tanya: "Tio, di mana kau bikin pundi-pundi tempat bibit itu?
Sudah berapa hari tidak kulihat."

Tio memegang pinggangnya yang agak menonjol. Pundi-
pundi itu diikatkan di pinggangnya. Tio menjaga bibit itu
dengan baik. Bibit pertama yang akan mereka tanam di tanah
habungkasan. Atau, padi yang bisa mengurangi rasa laparnya
bila mereka memang jatuh ke ujung dunia. Jajan arwahnya
dalam perjalanan menghadap Mula Jadi Na Bolon.

"Kau menjaganya dengan baik kalau begitu." kata Ronggur.
Tio menundukkan kepala, Ronggur menyambung: "Teruskan
jaga baik-baik. Bila angin dan hujan teduh, kita meneruskan
perjalanan. Di tanah habungkasan yang kita tuju, bibit itu
sangat penting dan perlu bagi kita. Jangan sia-siakan.
Teruslah jaga baik-baik."

Cakapnya punya kepastian seolah mereka akan menemui
tanah habungkasan yang dimimpikan. Tio diam saja
mendengarkan. Padanya, menemui tanah habungkasan atau
menemui ajal, sekarang telah menjadi sama. Dia telah
menunjukkan kesetiaan sebagai budak pada tuannya. Atau,
dia sebagai perempuan, telah menunjukkan kesetiaan hingga
berani pergi ke mana saja, bersama seorang lelaki yang
dipercayainya kejujuran dan keberaniannya. Dan, dia telah
berani memilih perjalanan tanpa nasib, meninggalkan nasib
yang malarig di belakang. Itu saja pun baginya cukuplah.

Karena itu dia hanya menelan air liur mendengar omongan
Ronggur yang punya kepastian itu.

Cahaya yang menerobos ke dalam gua tambah terang juga,
berangsur secara perlahan. Angin tambah melemah dan hujan
sudah mulai teduh. Tapi, desis air yang menyayat
pendengaran itu tetap juga. Ronggur dan Tio bersama si
belang cepat-cepat meninggalkan gua, lalu memulai
perjalanan lagi. Menyusuri sungai. Si belang menggoyangkan
tubuh, membuang butir-butir air yang melengket pada
bulunya. Dia melengking kecil, atau suara lengkingan itu
tersekat dalam kerongkongan.

Perubahan pada kedua tepi sungai tambah nyata, tambah
beda dengan tepian sungai yang sudah mereka lewati. Air
sungai terus menerus mengarah ke satu bukit yang seolah
tegak berdiri, terhunjam ke dada bumi, menghadang sungai.
Tapi, air terus menerobos.

Tepian sungai menjadi tambah tinggi juga, terbuat dari
batu alam yang hitam. Tambah lama tambah berbentuk
semacam terowongan. Itulah gunung Batu yang diterobos air
sungai yang arusnya bertambah deras. Air yang
bertemperasan ke dinding tepian batu, berdesis dan muncrat
ke sana kemari. Gelisah tidak pernah henti. Sudah lebih dari
lima batu jangkar dijatuhkan Ronggur, namun kelajuan perahu
terus bertambah kencang. Seperti tidak terkendalikan.

Pendengaran terus dipertajam Ronggur, namun suara
gemuruh belum ada kedengaran. Karena, pikir Ronggur, bila
air sungai jatuh ke akhir dunia, tentunya menimbulkan suara
gemuruh yang dahsyat. Karena itulah, dia masih meneruskan
penyusuran itu. Bahaya, atau ujung dunia, masih jauh. Atau,
mula dari impiannya, tanah subur yang landai.

Batu jangkar sudah tujuh buah dijatuhkannya. Tali
temalinya bertegangan diseret perahu. Dan, kelajuan perahu
terus bertambah. Tapi, dapat dikuasai karena dibantu batu
jangkar itu. Bila arus bertambah kencang, batu jangkar terus

dijatuhkan. Begitu seterusnya. Melanjutkan perlawanan
terhadap arus sungai yang setiap saat bertambah kencang
juga.

Pancing yang diumpankan Tio tidak pernah lagi mengenal
Ikan bertambah jarang atau memang tidak ada sama sekali.
Ronggur hanya tinggal menunggui kemudi. Kelokan sungai
yaitu patah tambah sering mereka temui. Dan pada setiap
akhir kelokan riam sungai teap ditemui. Pada tiap riam, air
sungai gelisah warna putih melambung ke atas. Pada riam
yang lebih curam, walau dinding perahu sudah tinggi dibuat,
bisa juga temperasan masuk ke dalam perahu. Tio cepat
menimbanya, membuangnya kembalinya ke sungai. Dan,
terkadang wajah Ronggur sendiri disembur air, yang terus
memegang kemudi, tanpa mau melepaskan seketika saja pun
selagi perahu terus berlari dibawa arus.

Tepian sungai yang terbuat dari batu alam bertambah
tinggi juga. Pada puncaknya yang masih bisa dijangkau mata
tidak ada sesuatu yang tumbuh, selain dari tumbuhan kerdil
yang tidak berdaun hijau. Begitu curam dinding batu itu. Ada
kalanya sinar matahari seperti tidak sampai pada permukaan
sungai karena disungkup kedua dinding batu yang bertemu
puncaknya. Air sungai menjadi lebih dingin dan hitam. Sekitar
menjadi taram-temaram.

Mereka tidak bisa lagi dengan leluasa melihat matahari.
Membuat mereka terkadang tidak dapat mengetahui
peredaran waktu dengan pasti. Dan, keadaan begitu
bertambah jauh menyusuri sungai, bertambah memanjang.
Namun mereka tetap berlayar. Sebuah kata pun tidak ada
yang diucapkan. Mata terus-terusan ditancapkan ke depan.

Segala perasaan dikerahkan meraba yang menanti di
depan. Air yang bertemperasan pada dinding batu tambah
mendesis dan menyayat pendengaran. Tahulah Ronggur suara
desisan air yang menyayat pendengaran itu, bermula dari air
yang bertemperasan ke sisi sungai dan lebih hebat pada salah

satu tikungan. Celah dinding sungai di atas bertambah kecil
juga. Seperti mereka berada dalam satu lembah yang sempit
diapit kedua sisinya yang tinggi.

Arus sungai terus menerus bertambah kencang dan tambah
menggila. Air membiru sudah seperti menghitam. Sudah lebih
sepuluh batu jangkar yang mereka jatuhkan. Kelanjutan
perahu terus juga menggila. Air seperti membulat. Dari warna
biru permukaan yang sudah menghitam itu, tahulah Ronggur
bahwa sungai amat dalam.

Suara air yang bertemperasan ke dinding batu, terus
menerus mengisi pendengaran, terasa sangat membosankan.
Terlebih pula tidak ada yang menyelingi. Begitu menyiksa
terasa. Biarpun dia tahu bahwa sungai sangat dalam, tapi
pada tikungan yang dilalui terkadang ada juga batu muncul ke
permukaan air, menghadang. Mereka harus hati-hati
melewatinya. Bila terdampar ke sana, perahu akan pecah
remuk, dan nasib sudah teraba bentuknya. Air yang
bertumbukan dengan batu mencuat itu menjadi gelisah dan
liar. Bertemperasan. Tidak sedikit terlempar ke dalam perahu.
Perut perahu menjadi tergenang air. Tio harus cepat
menimbanya. Peralatan mereka menjadi basah. Dada dipukul
detak hati yang tambah mengencang. Tapi, wajah Ronggur
terus menantang ke depan. Meneliti dan menduga sesuatu
yang sedang menanti.

Mereka tidak ada lagi menemui gua alam. Begitu pula
tepian sungai yang landai, jadi, kalau cahaya yang menerobos
dari celah dinding sungai di atas itu me lemah, mereka hanya
bisa menambatkan perahu ke salah satu tungkul batu yang
mencuat. Mereka lalu tidur dalam perahu tanpa unggun api.
Selain kayu bakar tidak ada, menghidupkan api dalam perahu
berarti bunuh diri. Karena itu, mereka harus menahan dingin
malam yang menyiksa.

Tio di hulu perahu Ronggur di buritan, di tengah si belang.
Dalam saat begitu, pandang mereka sering ketemu. Cepat

dipalingkan. T idak mereguk air panas lagi di pagi hari. Hanya
air sungai yang dingin diteguk sehabis cuci muka. Tio
menyelimuti diri dan juga si belang, yang selalu mendekat
padanya dengan lengkingnya yang tersekat dalam
kerongkongan.

Dan, mereka akan meneruskan perjalanan lagi, menempuh
jalur sungai yang tidak dapat teraba, ke mana diri akan
dibawanya, bila utusan cahaya kembali menerobos celah
dinding sungai di atas itu.

Bila temperasan air yang melemparkan air ke perut perahu
tidak ada, yang berarti pekerjaan Tio tidak ada, dia selalu
melemparkan pandang ke depan dan menggunakan segala
perasaan. Begitu pula Ronggur yang berada di buritan perahu.
Tikungan bertambah sering ditemui. Arus sungai tambah
menggila. Dinding sungai bertambah tinggi dan tandus.
Suasana tambah menekan. Jiwa tambah terasa dihantam
habis-habisan.

Tio tidak terus-terusan atau tidak tekun lagi menatap ke
depan saja. Sudah sering dia berpaling ke belakang menatapi,
Ronggur. Tapi, Ronggur seperti tidak me lihatnya. Mata
Ronggur terus memandang ke depan. Walau terkadang hanya
tertumpu ke dinding batu pertanda sebuah tikungan.
Terkadang Tio berdiri meregangkan tubuh yang kaku, tapi
cepat saja Ronggur menyuruhnya agar duduk kembali. Agar
tatapannya tidak terhalang. Atau, agar kepala Tio tidak
tersangkut pada salah satu lingkungan dinding sungai yang
terkadang begitu rendah.

Mulanya sangat lemah sekali. Tambah lama tambah nyata.
Wajah Ronggur agak pucat juga dibuatnya. Bibirnya
gemetaran. Tio tertunduk. Arus sungai menggila Batu jangkar
sudah lebih duapuluh biji dijatuhkan. Namun perahu seperti
diseret dan dilarikan setan saja kencang nya. Suara yang
lemah itu, yang bangkit di depan itu, tambah nyala:
mengguruh. Mengancam nadanya, mengancam siapa saja

yang berani mendekat. Namun Ronggur belum mendaratkan
perahu. Dia masih meneruskan pelayaran.

Urat saraf Tio seperti lumpuh karena terus-terusan ditekan
suasana ketegangan. Walau air tidak tertumpuk pada salah
satu batu yang mencuat di permukaan sungai, namun riak air
sudah seperti gelombang. Pecah. Memercik ke sana ke mari.
Banyak terlempar ke dalam perahu. Tapi, Tio tidak bisa lagi
menimbanya. Perahu terangguk-angguk dan tergoncang.

Tiba-tiba saja biasan cahaya mencurah ruah, celah dinding
melebar di atas. Tapi, tingginya alangkah jauh lagi curam.
Seperti tidak terdaki layaknya. Ronggur menatap ke depan
dan pendengarannya terus dipertajam. Suara gemuruh di
depan tambah jelas. Tiba-tiba saja Tio menghantamkan
tangan ke haluan perahu, sambil berteriak:

"Ronggur, mendaratlah. Apakah kau mau bunuh diri?"

Berbaur akhirnya dengan suara gemuruh di depan dan
desis air dan suara riak sungai yang menari gila. Namun
Ronggur tidak memperdulikan atau tidak mendengarkan.
Matanya sebentar melihat ke kiri dan ke kanan, cepat bertukar
tempat. Lalu terus ke depan. Begitu liar. Suara gemuruh itu
seperti suara dari sesuatu benda yang jatuh ke satu tempat
yang amat dalam.

"Ronggur, kau tidak mendengarkan aku? Mendaratlah ke
tepi. Jangan teruskan lagi mengikuti sungai. Tidak dengar
suara gemuruh yang mengancam itu?"

Masih tidak diperdulikannya. Tio terus menjerit,
melengking. Dalam jeritannya sering dia memanggil nama
almarhum ayah bundanya. Sering dia menyebut nama dewata,
memohonkan ampun atas keangkuhan mereka berdua. Yang
telah berani menantang ketentuan dewata. Dengan tidak
berapa dikuasa iya pula, meledak teriakan panjang dari
mulutnya:

"Ronggur, dengarlah aku. Aku cinta padamu . . . ." lalu
tangisnya berkepanjangan, "Ronggur, jagalah dirimu, diri kita
berdua . . . ."

Perahu tambah dalam dan kuat anggukannya. Dan,
Ronggur mengangkat kepala mendengar jeritan Tio itu, yang
meledak dari dasar hatinya.

Air sungai tambah membulat dan berlari kencang, dulu
mendahului riaknya. Tiba-tiba saja tangan Ronggur
mengayunkan tali ke dinding sebelah kanan. Talinya tetap
sangkut pada sebuah gundukan batu yang mencuat agak
panjang dan besar, kokoh tertanam. Dapat dipercaya. Dinding
sungai agak landai tapi tetap mendaki ke atas.

Sewaktu Tio merasakan bahwa perahu mereka tergoncang
kuat karena ada yang menarik dan ada yang menahan, dia
mengangkat kepala. Kedua pelupuk matanya, pipinya basah
kuyup oleh air mata. Perahu sudah tertambat dan sudah
terhenti walau arus sungai berusaha melarikannya. Dia
menatapi Ronggur dengan biji mata yang tergenang air mata,
isaknya belum henti.

"Hapuslah mata dan pipimu," kata Ronggur. "Kering-
kanlah. Aku tidak sanggup melihat mata yang digenangi air
mata yang bening. Kita masih harus menempuh perjalanan
yang jauh. Kau lihat dinding sebelah kanan itu? Kita harus
mendakinya ke atas. Supaya kita dapat tahu yang ada di
depan. Kita harus meninjau dari sana. Tapi, sebelum itu,
kuatkan dulu hatimu bahwa kau sanggup mendakinya. Marilah
dulu makan daging kering. Biar kita punya tenaga. Kemudian
bambu itu isilah dengan air. kita memerlukan air barangkali di
atas sana. Mungkin tidak ada air di sana."

Tio mengerjakan semua yang dimaksud Ronggur. Sedang
Ronggur tambah memperkuat tambatan mengikat
pinggangnya dengan tali, sedang ujung satu lagi dibebaskan,
dan sebuah gulungan lagi disandang, dia mulai mendaki. Tapi,
cepat dihentikan T io dengan teguran, "Si belang bagaimana?"

"Biarlah tinggal dulu di perahu. Kita perlu mengadakan
peninjauan. Atau, kita memang sudah harus mendarat di sini.
Kau perlu turut ke atas agar ada nanti yang menarik
peralatan-peralatan kecil ke atas. Aku akan turun lagi.
Mengikat peralatan itu dan membawa si belang ke atas."

Di pinggangnya diselipkan penggada dan kampak
digenggam. Tio membelitkan bungkusan yang berisikan bekal.
Lebih dulu dielusnya leher si belang, baru dia mendarat.
Tajam lidah batu alam seperti menusuk telapak kakinya, yang
sudah beberapa hari basah saja. Si belang menggonggong
kecil, lehernya digoyang-goyangkan.

Ronggur maju menanjak sambil terus membuat semacam
anak tangga pada batu padas. Tidak vertikal. Agak mencong
jalannya tapi terus mendaki setapak demi setapak. Tio
memegang ujung tali satu lagi yang ujungnya dikaitkan pada
pinggang Ronggur sebagai pegangan. Supaya ada tempatnya
bergantung kalau dia tergelincir. Atau, tali itu bisa ditahannya
kalau Ronggur sendiri yang tergelincir. Tangga demi tangga
dibuat Ronggur dan didaki, yang terus diikuti Tio. Suara yang
menakutkan dan mengancam itu terus bergema. Terkadang
Tio menatap ke bawah melihat perahu mereka yang
terangguk-angguk, di perutnya si belang menatap ke arah
mereka sambil menjulur lidah.

Kemajuan pendakian itu lambat sekali. Namun tetap pasti.
Mereka sudah di pertengahan pendakian. Dari sana sudah
dapat kembali mereka tatap keluasan langit, yang untuk
beberapa hari lamanya tidak mereka lihat. Tak ubahnya
mereka seperti baru keluar dari satu lobang alam yang kelam
lagi sunyi, yang tidak memberi kesempatan pada mereka
untuk menatap keluasan langit. Walau sinar matahari
melemah, namun merasa lemah juga mata menatap yang
sudah sering ditatap tapi yang buat beberapa hari tidak
ditatap. Tapi, keadaan tetap sunyi. Tidak ada pertanda
kehidupan.

Yang ada hanya gemuruh yang menakutkan, yang
mengancam, tidak memberi kegembiraan. Dan arah matahari
dan lemahnya sinar, Ronggur tahu, hari sudah sore. Sebelum
gelap mereka sudah harus sampai di puncak. Karena itu, dia
sering membesarkan hati Tio, agar bisa lebih mendaki
tanjakan.

"Sebentar lagi, sebentar lagi," selalu katanya, "kita sudah
sampai ke atas. T idak jauh lagi. Teruslah mendaki. Tapi, hati-
hati, agak licin di sini."

Mereka harus bercakap kuat-kuat. Tidak bisa perlahan-
lahan, agar dapat ditangkap pendengaran. Keringat meleleh
dari tubuh masing-masing. Seperti memancur. Sudah cukup
haus Tio, namun Ronggur melarang meminum air sekali
banyak-banyak.

Betapa bersukur hati Ronggur, waktu tangannya sudah
dapat menggapai puncak yang dituju. Tapi, perasaan lega itu
tidak lama mengisi ruang dada.

Setiba di puncak, tahulah mereka yang ditemui, hanya
sejalur batu tandus dan di sana-sini berlidah tajam. Di kanan,
lembah putih, seperti diselaputi sesuatu dan tidak punya dasar
tampaknya. Di sebelah kiri, lembah yang dasarnya sungai
yang menggila arusnya. Ke arah depan dan belakang, jaluran
batu padas yang lebarnya hanyalah barang sedepa. Tidak
lebih.

Itu pun tidak jauh-jauh ditatap, karena ada sesuatu yng
menyungkap, putih kental seperti kabut. Atau, awan rendah.
Tidak bertepi dan tidak bermula. Angin meniup. Penemuan ini
membuat hati terpukau. Di depan sekali suara mengguruh itu
menanti.

Matahari memancarkan sinar kemerahan yang lemah, tidak
mampu menembus keputihan yang mengental.

Tidak ada satu suara pertanda kehidupan, tapi suara yang
mengancam kehidupan dengan liar mengguruh di depan.

Berlagak mau melumpuhkan dan mematikan tekad hati yang
sepadu-padunya.

Tio lantas saja memeluk tubuh Ronggur dengan gemetar.
Gigi gemelatukan. Tubuh menggigil. Ronggur membiarkan.
Karena dia pun seperti kehilangan semangat. Tekad hati yang
padu menjadi cair. Satu sama lain tidak bisa mengeluarkan
pendapat. Bisu. Senja tambah samar, cepat kelam. Tidak
berapa lama tari warnanya menghias langit.

"Kita akan mati lemas di sini," kata Tio pelan sekali.

Ronggur menoleh kepadanya seenak tanpa mengatakan
sesuatu. Pada sinar matanya, tidak ada lagi sinar cahaya
percaya diri. Mati. Namun tanpa bicara, dia membimbing
tangan Tio, bergerak ke depan perlahan-lahan. Geraknya
seperti gerakan yang bermula dari kedalaman. Melangkah
begitu saja, sempoyongan, tanpa percaya diri. Melangkah
berserah diri.

Sesekali mereka hendak tergelincir jatuh ke bawah, ke
jurang tanpa dasar. Karena, jalannya begitu licin. Ronggur
berjalan di depan. Tio di belakang, menggenggam tali lebih
kuat dan begitu dekat di belakang Ronggur. Dia gamang.
Lidah batu yang tajam menusuk telapak kaki. Terasa ngilu.
Mereka terus melangkah.

Sesayup sampai, salak si belang dari dasar sebelah kiri
kedengaran. Seperti mengantar mereka ke tempat tujuan
akhir. Dapat juga mereka temui tempat yang agak luas sedikit,
sekira tiga empat depa luas jaluran di sana. Mereka
memutuskan untuk bermalam di sana. T idak ada yang dapat
dibakar. Sekeliling begitu dingin membeku. Tio tidak berani
jauh-jauh dari Ronggur.

Sebelah atas mereka, awan rendah menyungkap. Mereka
rasakan langit begitu dekat. T idak tampak bintang atau bulan.
Awan rendah menyungkap semua atau memang langit begitu
rendah. Tambah lama menjadi hitam. Kental. Berlagak mau

menyelimuti segala. Sampai payah bernapas. Ronggur tidak
dapat tidur walau tubuh cukup capek dan payah. Semalaman
matanya terus terbuka.

Pada satu saat angin bertiup dari arah depan. Butiran air
halus memerciki tubuh mereka, dipikirnya hujan turun. Suara
gemuruh, desis air sungai yang bertemperasan ke dinding
sungai, lagu tunggal yang abadi, tapi menakutkan.
Melumpuhkan perasaan yang ada dalam diri. Lagu kematian
yang hendak mengantarkan para arwah ke tempat abadi,
dunia jauh lagi as ing.

"Apakah hujan?" tanya Tio.

"Aku tidak tahu. Tapi, kita sudah basah. Air begitu tipis.
Tidak pernah hujan begini tipis."

Kembali mereka diam. Akhirnya dapat diketahui Ronggur,
Tio jatuh tertidur sambil menggulungkan atau melipatkan
kakinya dekat ke dadanya, melingkar.

Ronggur terus membuka mata. Berusaha mengikuti
perobahan alam kalau memang perobahan itu ada. Lama-lama
hitam pekat itu beralih pula. Seperti ada utasan cahaya putih,
tapi begitu lemah. Sekitar, sekira empat lima depa, dapat
kembali ditatap. Tapi, sampai di situ saja. Lagi-lagi Tio
mengaju tanya, "Apakah sudah pagi?"

"Aku tidak tahu, Tio. Tapi, kepekatan yang menghitam itu
sudah kembali agak memutih. Namun mata hanya dapat
menembus sekira empat lima depa saja."

"Barangkali kita sudah terjebak," kata Tio pula.

"janganlah berkata begitu. Tapi, tetaplah waspada,"
katanya menasihati walau diri sendiri bimbang. Ada juga
dirasakannya kebenaran yang diucapkan Tio itu.

"Ke mana lagi kita harus pergi?" tanya Tio pula.

"Tabahlah," sahut Ronggur. "Sekalipun kita harus kembali
ke tempat asal, ke tempat Mula jadi Na Bolon, tapi marilah
dengan tabah mendekatinya."

Tio terdiam. Sedang Ronggur setelah dicekam habis-
habisan oleh perasaan takut, akhirnya muncul kembali, secara
berangsur, kepercayaan akan diri sendiri. Kemurnian cita yang
digenggam kembali memberi suluh pada keyakinan. Bilapun
Mula Jadi Na Bolon murka, tapi dengan alasan kenapa dia
harus mengarungi Sungai Titian Dewata, tentu dapat
melembutkan hati Mula Jadi Na Bolon yang pengasih
penyayang itu, pikir Ronggur.

"Kalau kita surut, tentu tidak bisa melawan arus yang
menggila," kata Tio pula.

"Ya, aku tahu," sahut Ronggur, "kita tidak bisa lagi
menempuh jalan sungai."

"Kita terjebak di s ini."

"Tidak terjebak. Tapi, kita telah melaksanakan tugas
kehidupan. Marilah tabah menerima upahnya, ganjarannya,"
bujuk Ronggur.

Tio terdiam. Beberapa saat kembali hening. Ronggur
mencampak pandang ke sebelah kiri, mencari tangga yang
dibuatnya semalam. Kembali dia teringat pada s i belang, pada
perahu, pada peralatan yang masih tinggal di sana. Lalu
diputuskan, dia harus menjemput si belang dan peralatan
serta perahu itu kembali.

Kalaupun ajal tiba, dia mau menghembuskan napas dengan
tenang di perut perahu itu. Perahu itu seperti rumah dan
tempatnya terakhir. Dengan perahu itu dia akan mendatangi
tempat Mula Jadi Na Bolon. Semua peralatan itu akan menjadi
saksi di depan Mula Jadi Na Bolon, tentang tujuan citanya.

Dia mulai menuruni anak tangga yang dibuatnya semalam.
Tio memegang ujung tali di atas. Bila perintah datang, melalui

goyangan tali yang digoncang Ronggur, Tio mengulurkan tali
lebih panjang. Sesampai di bawah, Ronggur mengikat
peralatan kecil. Dengan berteriak sekuatnya, sekerasnya,
disuruhnya agar Tio menarik.

Tio menarik. Kemudian menjatuhkan tali lagi ke bawah.
Ronggur mengikat perahu baik-baik. Mengisi air pada bambu
tempat air yang dilobangi ruasnya, tapi ruas sebelah bawah
tidak dilobangi. Air bisa tersimpan baik di sana. Kemudian
dituntunnya si belang. Kembali dia mendekat ke atas. Meraba-
raba. Terkadang harus digendongnya si belang. Si belang
seperti tahu marabahaya yang sedang mereka hadapi. Dia
menuruti segala petunjuk Ronggur dengan baik.

Setiba dipuncak, bersama dengan Tio, ditarik mereka
perahu ke atas. Perlahan-lahan agar tidak terbanting ke tebing
bukit batu, yang bisa membuat perahu pecah. Mereka
masukkan semua barang bawaan ke perut perahu. Tapi,
kampak terus digenggam, sedang di pinggang menyelip
panggada. Dia tambah yakin lagi pada diri sendiri. Perjalanan
itu tidak boleh surut dan tidak boleh henti. Harus terus maju.
Sampai tiba ke tempat yang menentukan.

Diputuskan akan terus mengikuti jaluran batu yang tidak
berapa luas itu ke depan. Ronggur di depan. Tio di belakang.
Mereka pikul perahu, jalan sempit terkadang, luas terkadang.
Keadaan masih tetap sama. Hanya beberapa depa dapat
ditembus pandang. Kabut tebal atau awan rendah
menyungkup segala dengan putihnya yang padu.

Tambah maju ke depan, suara gemuruh itu bertambah
jelas. Dan, alas yang mereka pijak seperti mempunyai getaran
kecil. Digoncang sesuatg tenaga yang maha kuat dan dahsyat.
Membuat hati kembali tertekan. Namun dengan tabah serta
keberanian yang bangkit perlahan-lahan, Ronggur terus
memelopori perjalanan rombongan yang kecil itu. Menuju
tempat yang menentukan, mimpinya benar atau memang
mimpi itu godaan setan jahat. Si belang mengikuti langkah

Ronggur, dekat sekali di belakangnya. Si belang tidak berani
mendahului ke depan. Tidak menggonggong. Hanya
melengking kecil.

Cahaya putih yang lemah itu menjadi tambah lemah lagi.
Keadaan sekitar kembali menghitam. Ruang hampa. Kembali
mereka mencari tempat istirahat. Air tipis halus itu, sudah
terus-terusan menghambur dari asalnya yang tidak tahu di
mana.

Ronggur mengosongkan peralatan mereka dari perut
perahu. Kemudian, perahu dibalikkan. Disuruhnya Tio dan si
belang berondok ke sana, agar tidak terus-menerus diperciki
air tipis. Dia sendiri tetap di luar. Tidak hentinya melihat
sekitar, walau yang dapat ditembus pandang hanya beberapa
depa saja.

Dingin mencekam. Ronggur tidak tahu, Tio menggigil juga
dalam sungkupan perahu, kedinginan. Wajah dan bibirnya
menjadi pucat. Tapi, Tio tidak mau mengatakan. Tidak ada
sumber panas yang bisa menyamankan sedikit.

Kembali warna putih yang lemah itu mendatang dari segala
arah. Tapi, begitu lemah. Kembali mereka melanjutkan
perjalanan, mengikuti jaluran setapak itu. Keadaan cuaca
masih tetap seperti semula. Terkadang jaluran itu mendaki,
tapi terkadang menurun, untuk mendatar lagi. Jalanan
bergelombang. Terkadang melurus, tapi tidak jarang
memenggok ke kiri dan ke kanan.

Mereka mengikutinya dengan tabah. Tapi, harus lebih hati-
hati, jalanan bertambah licin. Air tipis tambah tetap
berhamburan dari sumbernya. Suara gemuruh di depan yang
membosankan itu, tetap mengguruh. Si belang tidak berani
lagi berjalan sendiri. Dia harus dimasukkan ke perut perahu,
didukung. Beban bertambah berat. Di saat tubuh mulai
melesu. Di saat kepercayaan terakhir mulai merenggang dari
tubuh T io.

Sambil mengisak, Tio meminta, agar mereka menghentikan
perjalanan. Dia mendudukkan diri begitu saja. Tempat itu
agak luas sedikit. Sehingga mereka bisa agak leluasa sedikit
bergerak. Namun harus tetap hati-hati. Karena basah, licin.

"Ada apa Tio?" tanya Ronggur sambil mendekat. Tio
menundukkan kepala. Mengisak terus. Wajahnya memucat.
Bibirnya gemetar. Dingin. Sambil duduk di depan Tio, Ronggur
mencari dagunya. Diangkatnya perlahan dengan telapak
tangan yang menggetar juga karena basah. Ditatapnya wajah,
bibir, dan mata Tio yang memucat sayu

"Kau capek Tio?" Belum ada sahutan.

"Katakanlah."

"Katakanlah."

Tapi, begitu bening dan terasa agung. Ronggur tidak dapat
memancarkan sinar merah lagi di matanya.

"Marilah menanti hari esok di s ini, bila hari esok masih ada.
Marilah menanti apa saja di sini, apa saja," Tio lalu
menundukkan kepala. Melepaskan dagunya dari telapak
tangan Ronggur. Air berhamburan terus, membasahi tubuh
mereka. Tio mulai menggigil. Si belang juga. Terus
membulatkan tubuh dalam perahu, tidak berani turun.

"Katakanlah, apa yang harus kita kerjakan lagi Tio," kata
Ronggur melemah. "Aku telah membawamu ke tempat yang
hampa ini. Apakah kita harus pulang ke kampung halaman,
yang telah melemparkan aku, yang tidak menerima aku lagi
menjadi warganya? Nasib telah tertentu di sana, nasib yang
malang menanti diri. Katakanlah Tio, aku akan mengikutinya.”

"Marilah berhenti di sini," sahut Tio akhirnya. "Kupikir tidak
ada lagi gunanya kita meneruskan perjalanan ini. Marilah
pasrah di s ini. Berserah dengan hati bulat ke tangan Mula Jadi
Na Bolon. Bawalah daku padanya sebagai sembahanmu, agar

Mula Jadi Na Bolon tidak marah padamu." Suaranya begitu
lemah.

Tio menjatuhkan diri ke ujung kaki Ronggur. Sambil
mengisak dia mengatakan, "Janganlah kembali ke sana. Walau
apa yang telah kita temui. Marilah berpasrah diri di depan
Mula Jadi Na Bolon. Barangkali, ya barangkali, aku yang
membawa kenahasan ini padamu. Maafkanlah aku, Ronggur."

Perlahan, kembali Ronggur mengangkat dagu Tio.
Mendudukkannya. Ditatapnya lama biji mata yang sayu itu.
Jari jemarinya meraba pergelangan Tio. Lalu dengan hentakan
kasar, direnggutkannya gelang yang dipakai Tio, pertanda dia
seorang budak belian. Gelang itu dicampakkan Ronggur
sekuat tenaga. Jauh-jauh. Tio sudah merdeka kembali.
Berhadapan dengan kenyataan ini hatinya jadi bersorak
gembira. Air mata yang menggenangi pelupuk matanya tidak
bersumber dari kepiluan dan ketakutan lagi. Tapi, bermula
dari perasaan gembira.

"Kau merdekakan aku, Ronggur? Sungguh?"

"Ya, seperti kau lihat. Tidak ada sembahan kubawa ke
hadapan Mula jadi Na Bolon, selain diri sendiri."

Tio terdiam. Lalu dilanjutkan Ronggur, "Kalaupun kita mati,
mati bersama, sebagai orang yang sama hak, sama-sama
orang merdeka."

Arwah nenek moyang Tio akan menerima arwahnya di
tempat yang baik. Matinya, mati seorang manusia yang
merdeka, terhormat. Dia tambah mendekatkan bibirnya ke
bibir Ronggur. Sesuatu benda hangat tapi lembut menyentuh
bibirnya, melengket di sana beberapa saat. Lupa kepahitan,
lupa siksaan, lupa hal yang menghadang di depan. Terayun
dan dibuai sebuah lagu yang selama ini terpendam di
dasarnya. Sekarang berlomba bermunculan, membuai mereka
berdua.

"Ronggur," kata Tio dengan tegas, "marilah melanjutkan
perjalanan. Kita tidak boleh pulang. Kita harus maju. Sampai
tahu kepastian yang akan kita temui."

Ronggur tersenyum. Lalu, "Kita harus istirahat dulu di sini.
Sudah terlalu kelam untuk melanjutkan perjalanan. Lagi pula
kita telah menemui yang kita cari di sini. Boleh jadi, di sini
akhirnya."

"Tidak, tidak ada akhir," kata Tio tegas, "semuanya,
permulaan yang tidak punya akhir. Hanya permulaan."

Ronggur tersenyum. Tio tersenyum. Telapak tangan Tio
masih terus mengelus rambut Ronggur yang basah, dari
mulutnya keluar kata, "Aku cinta padamu . . .."

"Tio," bisik Ronggur, "maukah kau, bila kita mati, aku akan
mengatakan pada Mula Jadi Na Bolon bahwa arwahmu
bukanlah sembahanku. Tapi, istriku. Istri yang paling setia.
Yang tabah bersama suami mengarungi kehidupan, karena
ada cita tergenggam di tangan dan di hati. Berani mengarungi
segala kemungkinan, karena mau turut mempertaruhkan
keyakinan suaminya."

Tio menangkap leher Ronggur, lalu menciumi bibir Ronggur
lagi dengan bertubi-tubi.

"Marilah bersujud ke hadapan Mula Jadi Na Bolon.
Memohon ampun atas keangkuhanku, yang telah
membawamu ke tempat ini. Ke tempat para dewata
bersemayam." Tio memperbaiki duduknya. Ronggur
memimpin doa:

Mula Jadi Na Bolon

Asal mula dari segala kehidupan

Padanya kembali karena dia yang punya

Terimalah kedatangan kami

Hambamu

Karena keangkuhan yang berbenah dalam diri
Kami telah tiba di s ini Melanggar peraturanmu!

Ronggur menggenggam tangan Tio, lalu dilanjutkan:

Karena darimu mula cinta
Napasmu sangkala cinta
Satukanlah aku dan Tio
Suami isteri yang dihidupi api cinta
Tebarkanlah api cinta
Tiuplah api cinta
Membakar dada kami
Dari saat ke saat tanpa akhir!

Kembali mereka berdua berdekapan, seperti tidak mau
dipisah lagi, baik ruang, baik waktu. Dan, air tipis itu, terus-
terusan berhamburan. Sekitar menjadi kelam kembali.
Bersama mereka menyuruk ke perut perahu yang dibalikkan.

Karena cinta telah punya laut dan pelabuhan, batas ruang
dan waktu tidak berarti lagi. Si belang keluar dari sungkupan
perahu. Berjaga di luar perahu.

ccdw-kzaa

6

Ronggur terbangun. Menggigil kedinginan, walau dia dan
Tio berpelukan di bawah telungkupan perahu. Perlahan

diungkapnya pinggir perahu, lalu dijulurkannya kepala melalui
celah, yang sudah ditopang oleh batu yang diganjalkan.

Dia telah mengenal kabut pegunungan dan danau sejak
kecil. Tapi, kabut yang begini rupa tebalnya dan lamanya
belum pernah ditemui sebelum itu. Atau, awan rendah belum
pernah melingkupi tanah serendah itu. Langit seperti di atas
kepala saja dan dapat dijangkau tangan. Tapi, bila tangan
digapaikan ke atas, yang ada hanyalah kehampaan yang tidak
bertepi.

Perlahan me lepaskan pelukan Tio. Waktu itulah Tio
bangun. Bermalas-malas. Kembali tangannya dilingkarkan di
leher Ronggur, lalu seperti! anak kecil, dia menciumi pundak
Ronggur. Dari mulutnya perlahan berbisik, "Kenapa kau buru-
buru bangun? Apalagi yang mengejarmu? Bukankah sudah
semua kita lalui dan sekarang kita hanya tinggal menantikan
yang akan terjadi, permulaan dari segalanya?"

Ucapan manja bercampur kekanakan, membangkitkan iba
Ronggur. Tapi, dengan tegas dia menyahut, "Semalam atau ya
saat lalu, kita sudah berpendapat bahwa kita tidak akan
melihat dan mengecap saat lain lagi. Kita sudah beranggapan
bahwa tidak ada lagi hari, tapi sampai kini masih hidup dan
mengenal hari."

"Apa sudah pagi?" tanya Tio.

"Aku tidak tahu. Tapi, katakanlah dulu sudah pagi. Hingga
waktu lewat, hari lalu, dan waktu kini, hari yang kita nantikan
kemaren. Hari yang kita harapkan membawa perobahan pada
nasib yang mendatangi diri. Atau, perobahan pada yang
hendak kita temui. Lihatlah sekitar. Masih disungkup kabut
atau awan rendah yang masih tebal. Cahaya putih yang lemah
sudah ada lagi, hanya masih begitu lemah. Masih seperti saat
la lu."

"Wajahmu capek kelihatan," kata Tio.

"Tidak mengapa. Dibaliknya terkandung kegembiraan dan
harapan selalu."

"Kita masih mengharapkan?"

"Selalu. Harapan, satu-satunya api yang dapat membakar
semangat hidup. Tapi, janganlah pergunakan harapan untuk
harapan saja. Harapan harus dapat melahirkan sesuatu yang
berwujud dalam kenyataan kerja."

"Cakapmu tidak dapat kuartikan," kata Tio. Tapi, Tio
tersenyum. Merapatkan kepalanya ke pundak Ronggur.

Mereka mencuci muka dengan melapkan tangan saja
karena wajah mereka tetap basah. Dengan mengulurkan lidah,
beberapa titik air dapat ditelan sebagai sarapan pagi.

Ronggur berusaha menatap sekitar, namun pandangnya
masih tetap disungkup diputihan. Perlahan dirasakannya angin
bangkit. Di arah darimana bermula angin itu. Tio terus
merapatkan tubuhnya ke tubuh Ronggur, karena dia tetap
kedinginan yang tambah lama tambah bermaksud
membekukan diri. Panas tubuh mereka berdua yang merapat,
bisa sebagai bedeng, bisa menimbulkan panas.

"Lihat," kata Ronggur kemudian, "apa kau pikir itu?"

"Apa maksudmu?" tanya Tio.

"Lihat. Tidak kau lihat? Lihat ke bawah sana. Lurus ke
depan."

Tampak oleh mereka berdua sebuah benda putih yang kecil
tapi bundar, putih dan lebih putih dari semua, bergerak
dengan lamban seperti bermalas-malas. Namun tetap naik
atau berusaha naik ke atas, mengatasi segalanya. Begitu putih
hingga memijarkan sinar, tapi sinar lemah. Sinar yang
dipancarkannya sedang mengadakan perlawanan atau
berusaha menghancurkan kabut putih atau awan rendah itu.
Untuk menyingkirkannya. Agar bisa dapat dilihat mata apa
sebenarnya yang ada di sana, seperti itulah gayanya. Deru

yang terus menderu di depan memberi gendang layaknya.
Tidak mati-mati. Biar sesaat pun. Kuping benda bundar putih
tidak memperdulikannya.

Benda putih bundar itu merangkak perlahan, mendaki ke
ketinggian. Mata mereka terus mengikuti gerak ma las dari
benda putih yang bundar itu. Hati mereka menjadi tambah
menduga. Mereka belum pernah melihat tamasya alam begitu
rupa. Sesuatu benda putih yang bundar mengadakan
perlawanan terhadap sesuatu yang melingkupi segala dengan
warna putih, tapi tidak berwujud. Bundarnya, hampir
menyerupai bundar matahari yang mereka kenal, sewaktu
ditutupi awan di langit. Tapi, mereka tahu, matahari tetap
berada di atas.

Mereka tidak pernah memikirkan bahwa pada satu saat dan
tempat yang berobah, rnatahari bisa dilihat seperti berada di
bawah. Namun mata mereka terus mengikuti gerak lamban
dan malas dari benda putih yang semakin tinggi itu. Mulut
mereka ternganga. Bila butiran air tambah menebal melengket
di wajah, di rambut hingga menyusahkan mata untuk
menatap, sekali hapus saja akan hilang tapi cepat melengket
di sana butir air yang lain. Mulanya tipis. Lama kelamaan
menjadi tebal. Dan, bila sudah menebal, dihapus dengan
telapak tangan.

Tidak disadari mereka, entah berapa lama mereka
tenggelam dalam keadaan begitu. Tidak disadari mereka,
kenapa pandang mereka terpaut mengikuti gerak perlahan
yang menanjak itu. Mereka belum dapat menduga, warta yang
akan timbul darinya. Mereka memang tidak tahu lagi, apalagi
yang harus mereka hadapi. Hati berdenyut juga walau sudah
punya tekad, bersedia menerima segala tiba.

Detak hati yang menandakan diri anak manusia biasa. Dari
tubuh Ronggur sendiri, segala perasaan mencurah keluar,
mengikuti perjalanan benda bundar yang lemah itu. Dalam
saat begitu rupa, dia memerlukan kelembutan yang bermula

dari tubuh Tio. Dia tambah mengeratkan pelukannya ke
pinggang Tio. Kalau mati, marilah mati berpelukan, kata
hatinya ke diri sendiri. Dia tidak mau mengatakannya pada
Tio, takut kalau Tio menjadi takut, dan merasa ngeri. Tio
mendekatkan pipinya ke pipi Ronggur. Mata mereka terus
mengikuti gerak perlahan yang terus menanjak di depan
bermalas-malas, dengan tidak mau tahu pada mereka berdua
yang mengikuti geraknya terus menerus.

Perlahan sekali sehingga tidak terasa, sungkupan awan
rendah bercampur kabut tambah menipis juga dari sekitar.
Perobahan yang tidak tersadari. Mulut jurang sungai tambah
berbentuk. Begitu pula mulut jurang di sebelah kanan. Si
belang turut duduk dekat mereka, tidak bergerak. Melihat ke
arah yang mereka tatap. Lidahnya dijulurkan. Seperti menanti
sesuatu yang menentukan akan tiba.

Tebing jurang tambah menghitam, namun dasarnya belum
tampak atau memang tidak punya dasar. Apakah benda putih
itu akan menyuluh jurang yang tidak berdasar? Pandang
sudah bisa mereka campakkan barang sepuluh depa ke
depan, ke samping dan ke sekitar. Tambah jauh jarak yang
dapat ditangkap pandang.

Bila cuaca bertambah terang, si belang mulai sering
melangkah ke depan dan ke belakang, seperti melemaskan
otot. Tapi, cepat Tio memanggil kembali, takut kalau si belang
terjerumus ke mulut jurang yang belum tampak dasarnya.

Benda bundar yang putih itu bertambah tinggi juga.
Bertambah garang cahaya yang memancar darinya. Mereka
ikuti terus dengan tabah. Jarak yang dapat ditangkap pandang
bertambah jauh dan luas. Jauh ke belakang dapat dilihat
Ronggur, di sana tebing tidak berapa curam. Bisa dituruni, bila
hendak turun ke lembah di seberang kanan. Tapi, dasarnya
belum tampak sama sekali. Tapi, suatu harapan telah
menggeliat dalam hatinya. Tebing yang tidak berapa curam itu

menurut perhitungannya, bisa dituruni secara perlahan. Tidak
berapa sulit malah.

"Ronggur," pekik Tio meninggi sambil mempererat
pelukannya ke pinggang Ronggur, "itu matahari! Itu matahari!
Mula hidup! Itu matahari!"

Cepat Ronggur berpaling. Terbelalak mata mereka melihat
sinar yang tambah terang. Sungkupan kabut dan awan rendah
tambah menipis dan terangkat.

"Dan, - dan —" dengan gugup, gugup sekali, karena tidak
menduga walau itu yang dicari dan diharapkan, karena
dengan itu mereka telah dibebaskan dari kungkungan yang
mencekam dan mengancam. Karena dengan itu, mereka telah
menemui, jauh di bawah, melalui tingkatan pundak bukit,
terhempang kehijauan yang sangat luas. Kehijauan yang
maha lebat lagi datar.

Dapat ditangkap dengan pandang sekarang, itu dedaunan
dari pucuk pepohonan yang tinggi. Pucuk dedaunan itu seperti
berombak ditiup angin lalu, angin pagi. Angin pegunungan.
Sejauh mata memandang, yang dapat dilihat kehijauan yang
merata, lebat berimbun.

"Ronggur, itulah tanahmu. Ronggur, itulah tanah
habungkasanmu. Ronggur, itulah yang ditunjukkan mimpi dan
perkataan gaib dalam mimpimu. Dia telah membawamu ke
tanah habungkasan yang maha luas."

Ronggur gugup. Tidak dapat menyahut dengan segera.
Matanya menitikkan air bening. Semangatnya kembali hidup
secara perlahan. Api dalam dirinya kembali menyala atau bara
yang untuk beberapa saat tertimbun oleh debu, sekarang
debu itu telah menyisih sehingga merahnya bara kembali
rrienjilamkan panas menyala, membuat suhu tubuhnya
menjadi naik. Dapat dirasakan Tio. Lalu dia mengatakan
perlahan:

"Tio, tidak tanah itu saja yang ditunjukkan mimpi padaku.
Tidak tanah habungkasan itu saja."

"Apa lagi?" tanya Tio terbodoh.

Lama Ronggur menumpa pandang ke biji matanya, lalu,
"Juga kau. Kau, sayang!"

Pandang lama bertemu, lalu Ronggur melingkarkan
tangannya ke tubuh Tio dengan ketat, yang sekarang, sudah
bisa pula melemas.

"Tio, marilah mengucapkan sukur pada Mula Jadi Na Bolon,
yang telah mengirim matahari untuk kita, yang membuat kita
dapat melihat tanah habungkasan yang dijanjikannya dan
membuat aku dapat dengan jelas melihat wajahmu,
menanamkan pandang ke dasar bening matamu."

Mereka bersujud ke arah matahari. Perlahan, Ronggur
menegakkan Tio dari sujudnya. Setelah memberi kecupan
pada bibirnya, dia mengatakan pula, "Itu bukan tanahku,
Istriku. Tapi, juga tanahmu. Tanah kita berdua. Tanah anak
kita. T anah keturunan kita, yang pasti banyak dan akan terus
berkembang. Tapi, juga tanah orang lain, yang mau bungkas
ke sana."

Beberapa saat keduanya terdiam. Tapi, kata Ronggur
kemudian, "Perjalanan kita masih jauh. Kita harus menyelidiki
keadaan tanah di sana. Apakah baik dijadikan tanah
persawahan. Apakah hutannya banyak menyimpan binatang
buruan. Tapi, sebelum itu, sebelum kita memulai perjalanan
ke sana, izinkanlah aku mengatakan sesuatu kata yang telah
lama terpendam di hati, "aku cinta padamu Tio."

Tio menggigit bibir. Matanya menitikkan air bening. Sambil
tersedu karena terharu, dia menelungkupkan kepala ke dada
Ronggur yang bidang. Ronggur membiarkannya begitu
beberapa saat. Tidak mengganggu. T angannya terus menerus
mengelus rambut Tio yang panjang lagi lembut dan lemas,
tapi basah.

"Kita akan terus mengikuti aliran sungai menuju tanah
landai," kata Ronggur kemudian, "lihat terus ke sebelah timur
sana, sesuatu garis putih yang membelah kehijauan, ialah
terusan Sungai T itian Dewata."

Tio mengikuti arah yang dimaksudkan Ronggur. Melalui
dinding batu yang tidak berapa curam, mereka dapat melihat
gundukan perbukitan di sebelah kanan.

"Itulah jalan yang baik ditempuh," kata Ronggur.

Lalu dia mengikat pinggangnya dengan tali. Dia turun
sendirian ke gundukan tanah pertama. Membuat anak tangga.
Jalan ke gundukan pertama, agak curam. Tapi, dari sana, dia
ketahui, menurun ke gundukan kedua, lebih landai. Begitu
seterusnya, sampai tiba ke tanah datar di bawah. Kembali dia
memanjat. Lalu menyuruh Tio turun, sedang ia memegang
ujung tali, ujung yang lain diikatkan ke pinggang Tio.
Kemudian diturunkannya satu-satu peralatan, Tio menerima di
bawah, sampai akhirnya perahu sendiri. Kemudian dia sendiri
turun sambil menuntun si belang.

Mereka sudah sama berada di gundukan pertama, yang
mempunyai tanah, tapi masih begitu tipis, tanah melapisi
batu. Untuk pertama kali kembali mereka lengkap bersama
alatnya, termasuk si belang, memijak tanah, setelah beberapa
hari terendam di air, kemudian terdampar ke batu padas,
dibasahi titikan air yang terus menghujani mereka. Serpihan
air tipis yang menghujani itu tidak sampai lagi ke sana. Sudah
bisa mereka berjemur di sana, mengeringkan tubuh dan
memanaskan tubuh. Si belang menggoncangkan tubuh,
mengibaskan ekor biar cepat kering. Mereka tentukan untuk
bermalam di sana. Hari sudah sore.

Rumput kering, dijalin begitu rupa, hingga agak besar. Lalu
dibakar menghidupkan api. Betapa nikmatnya panas jilam api,
setelah beberapa lama tidak merasainya.

Malam itu keinginan Ronggur untuk meniup seruling
memuncak. Lagu yang mesra ditiupnya perlahan. Gemuruh air
dibalik bedeng terus kedengaran, sekarang seperti melengkapi
irama seruling yang ditiup Ronggur. Tidak menakutkan dan
mengancam lagi. Malah seperti menjadi pertanda. Agar
seseorang yang menyusuri sungai jangan meneruskan
penyusuran lagi, tapi agar memulai menempuh jalan darat.
Kemudian Tio mengiringi tiupan seruling itu dengan nyanyi:

Bila bulan di awan purnama
Di tepi danau aku menanti
Wajahmu menghias tanda masa
Mengajak daku ke dunia mimpi

Ronggur berhenti meniup seruling, dia melanjutkan
nyanyian itu:

Pohon aren di belah dua
Tempat berayun monyet berdua
Janji telah memadu
Pinang sebelah dibagi dua

Lalu berdua mereka melanjutkan:

Terbang engkau elang
Hinggap di kayu rindang
Ke mana engkau sayang

Kasihku tetap mendendang

Kemudian hanya T io melanjutkan sedang Ronggur kembali
meniup seruling:

Kalaulah benar warta impian
Ditimang beta dengan sayang
Sinar purnama empuk menayang
Haribaanmu lagu impian

Tio meletakkan kepala ke pangkuan Ronggur. Memejamkan
mata dengan manja. Api unggun yang kecil itu terus menari
dan menari. Si belang duduk menjauh, memaling pandang.
Malam terus melanjut.

Pagi terbit lagi. Pemandangan seperti pagi kemaren. Bola
putih itu pada mulanya lemah sinarnya dan berada seperti di
bawah mereka. Kemudian secara berangsur perlahan,
keadaan sekitar bertambah terang.

Sehabis sarapan pagi mereka melanjutkan perjalanan.
Seperti taktik kemaren juga. Begitulah secara perlahan dan
hati-hati, akhirnya sampai juga mereka ke tanah landai di
bawah. Di atas kepala, memayung dedaunan hijau, sedang
kemaren dedaunan itu masih berada di bawah mereka,
perobahan tempat mengadakan perbedaan.

Sinar matahari hanya dari celah dedaunan saja sampai ke
tanah. Tanah cukup lembab dan basah. Dilapisi dedaunan
yang gugur sudah membusuk. Membentuk lapisan tanah yang
lembut dan berair. Kaki mereka terbenam sampai ke lutut
terkadang. Membuat mereka agak susah bergerak. Tapi, di

sana bisa mereka tarik perahu bersama peralatan lain, tanpa
takut dasar perahu bolong.

Mereka meneruskan perjalanan yang agak melingkar,
karena suara gemuruh bertambah hebat dan terasa
menggoncangkan. Berpedoman pada ingatan pemandangan
kemaren sore di mana terusan sungai berada, agar kembali
tiba ke sungai. Si belang berlari ke sana ke mari dan
menggonggong. Kekayuan yang tinggi dan besar batangnya
seperti tiang abadi yang bergaya mendukung langit, agar tidak
runtuh lalu menimpa bumi serta penghuninya. Getaran bumi
tambah terasa. Tergoncang.

Di satu tempat di arah depan, sinar matahari lebih leluasa
tiba ke tanah. Ke sana mereka menuju, walau suara gemuruh
tambah jelas dan memekakkan telinga. Dan, betapa ternganga
mulut mereka melihat benda itu. Sesuatu benda putih
mengapas putih melambung ke atas. Kemudian jatuh ke
bawah bergulung-gulung, itulah air terjun yang tidak hentinya
menerjunkan diri. Membuat dedaunan sekitarnya
bergoyangan, membentuk telaga yang agak luas pada tempat
jatuhnya, tapi airnya berputar dengan cepat. Di sana-sini
terbentuk curup di lingkungan yang gelisah itu yang bisa
menenggelamkan apa saja yang jatuh ke tengah curup itu.

Tio merapatkan tubuhnya pada Ronggur. Tapi, mata terus
ditancapkan pada benda jatuh itu. Kala di bawah arusnya
melingkar dan membikin kepala pusing bila lama-lama
menatapnya, la mengalir dengan besarnya ke arah timur.
Itulah kelanjutan sungai.

Mereka menyisih cepat dari sana. Merasa takut kalau batu
yang membentuk jaluran kejatuhan air itu akan runtuh lalu
menimpa mereka. Jalanan terus menurun.

Seperti menuruni pundak perbukitan, tapi sudah ditumbuhi
kekayuan yang tua. Di sana-sini dedaunan gugur membentuk
lapisan tanah yang lembut.

Di arah depan kembali kedengaran suara gemuruh, tapi
tidak sekuat yang tadi lagi. Arus sungai kembali menggila,
membuat mereka tidak langsung berkayuh melalui sungai.
Tapi, tetap mengikut pinggiran sungai. Kembali mereka temui
air terjun, jarak jatuhnya lebih pendek dan lebih landai dari
yang pertama. Sehingga busa air tidak terlalu hebat sewaktu
jatuh.

Dengan memilih jalan agak melingkar mereka menurun
terus ke bawah. Sampai akhirnya berada di tempat jatuhnya
air kedua. Mereka menatap ke atas, benda putih mengkabut
bermula dari air jatuh pertama. Terus mereka menghilir
mengikuti tepian sungai. Sampai akhirnya arus sungai tidak
beriam lagi. Menurut perhitungan Ronggur sudah dapat
memulai pelajaran dari sana. Tapi, karena hari sudah agak
sore, mereka memutuskan untuk bermalam di sana.

Si belang melompat ke depan. Masuk semak. Biarpun Tio
memanggilnya. Beberapa saat kemudian, si belang keluar dari
semak mengejar seekor kijang, la meloncat ke depan. Dan,
tercengang melihat Tio dan Ronggur. Ronggur tidak
melewatkan kesempatan baik itu. Dengan tombaknya cepat
dia membunuh kijang yang tercengang itu. Kijang terguling ke
tanah, ujung tombak tertancap di dadanya.

Sambil menguliti, Ronggur mengatakan, "Kalau begitu, di
sini banyak binatang buruan. Kita tidak menguatirkan mati
kelaparan. Lagi masih begitu jinak binatang itu. Tidak punya
prasangka pada manusia yang memburunya "

"Lihat," kata Tio pula. "Itu pohon aren. Umbinya bisa kita
jadikan bahan makanan. Pengganti beras. Bila beras habis."

Tambah tahulah mereka tanah yang mereka temui itu,
mempunyai tumbuhan yang bersamaan dengan tumbuhan
yang ada di bidang tanah yang mereka tinggalkan.
Binatangnya juga begitu. Mereka tebang beberapa pohon
aren. Mereka ambil umbinya. Lalu mereka jemur, dan tumbuk

lalu direndam lagi kemudian ditapis untuk mengambil
tepungnya. Untuk beberapa hari mereka tinggal di situ.

Walaupun sudah menghilir arus sungai masih kencang.
Sungai terus menerus membelah hutan belantara. Terkadang
sungai seperti ditutupi dedaunan hijau yang merimbun di
atasnya. Sehingga sinar matahari tidak sampai ke permukaan
sungai.

Dan, mereka harus lebih hati-hati menjaga kemudi. Tidak
bisa berdiri dengan leluasa. Dedahanan terlalu rendah
terkadang. Beberapa buah batu jangkar masih dijatuhkan,
menjaga keseimbangan kelajuan perahu. Tio lebih banyak
memperhatikan sekitar, karena dia belum perlu mengkayuh.
Tapi, biarpun begitu perasaan Ronggur begitu pasti bahwa
mereka akan tiba ke tanah yang lebih landai dan lebih baik.

Dengan melampaui riak air yang terkadang menghempas
ke batu yang muncul di sana-sini, melalui riam yang liar di
tikungan sungai yang patah. Tapi, sekitar mereka sekarang
berwarna hijau dan tanah mengambangkan bau kesuburan.
Dari celah renggangan dedaunan, sinar matahari terus
memberi suluh abadi. Bila cahaya itu melemah, tahulah
mereka, hari sudah mengarah sore. Cepat mereka
meminggirkan perahu. Memilih dahan kayu yang baik untuk
tempat bermalam. Mereka tidak menguatirkan kehabisan
bahan bakar. Di sana-sini berletakan ranting kering,
bergeletakan dahan kering yang patah dari batangnya. Untuk
digantikan dahan lain mendukung dedaunan yang lebih hijau,
segar lagi lebat.

Kemana saja mata diarahkan, tetap tertumpu pada pohon
yang besar lagi tinggi, seperti raksasa dalam dongeng,
menjelma kepada penglihatan, ibarat penopang langit agar
tidak jatuh ke atas tanah. Ronggur dapat merasakan bahwa
batang kayu yang besar itu dapat digunakan selanjutnya
untuk kepentingan kehidupan.

Perjalanan diteruskan menuju ke timur, menghilir sungai.
Perasaan dalam dada masing-masing, seperti berlomba keluar
untuk disuarakan, meneriakkan kegembiraan. Untuk mencari
bentuk kata, kata yang paling sesuai diucapkan dengan yang
dirasakan dalam hati, yang ditiupkan musik alam ke dalam diri
atau untuk menyiutkan nada musik yang memadat dalam
rongga dada. Arus sungai tambah perlahan. Beberapa buah
batu jangkar sudah diangkat ke atas. Tapi, masih ada juga
dijatuhkan.

Ronggur selalu menghirup udara dalam-dalam. Ingin dia
menghirup habis segala kebebasan yang diberikan alam
padanya, namun dia tidak sanggup menghabiskannya. Bila
mereka menemui gua alam di tepi sungai, dan bila mereka
bermalam di sana dan biasanya lebih lama daripada bila
mereka tidur di dahan, Ronggur meniup seruling dan Tio
bernyanyi. Sedang si belang berlari kian kemari,
menggonggong dan menyalak, memelopori sebuah perburuan
bila fajar pagi tiba.

ccdw-kzaa

7

Bertambah hari, mereka menghilir sungai. Arus sungai
tambah perlahan. Batu jangkar sudah diangkat. Luas sungai
tambah lebar. Tapi, mereka belum perlu mengayuh. Arus
masih dapat menghanyutkan perahu walau dengan perlahan.

Ronggur selalu mengukur dalamnya sungai dengan tali
yang di ujungnya diikat batu sebagai pemberat. Di depannya
tali yang terbenam, itulah dalam sungai. Bila mereka bosan
dengan sungai, mereka mendarat ke tepian.

Sering Ronggur memanjat kayu yang tinggi, menatap dari
arah mana mereka datang dan menduga hendak ke mana
mereka dibawa sungai yang diikuti itu. Pundak pegunungan

bertambah jauh di belakang sudah membiru. Melalui
pengenalan akan pundak pegunungan, Ronggur dapat
menduga bahwa di balik pegunungan yang semakin menjauh
itu, di situlah kampung halamannya.

Bila mereka hendak pulang ke sana melalui jalan darat,
mereka harus menaklukkan pundak bukit itu, atau menembus
celah pegunungan yang terdapat pada pertemuan bukit yang
memanjang. Lalu menatap ke arah hilir sungai, hutan lebat
hijau di mana-mana menampung penglihatan.

Selalu dibuatnya tanda pada pohon kayu yang dipanjatnya.
Di garis batangnya melingkar. Sedang pada tepi sungai,
ditanamnya batu besar dan disambungkannya pada salah satu
bagiannya.

Pancing yang diumpankan Tio selalu mengena. Pancing
tidak perlu berlama diumpankan. Dalam waktu singkat ikan
sudah ada yang menyambar. Ikan yang cukup besar. Bila
dipanggang bara api bisa padam. Karena lemaknya.

Terkadang sampai berhari-hari mereka mengadakan
pemburuan, bila bosan dengan ikan sungai. Binatang buruan
begitu banyak dan jinak. Si belang sudah mulai gemuk.
Bulunya tebal berlinang. T api, satu hal makin mereka rasakan,
udara bertambah panas. Walau mereka berada di naungan
pepohonan rindang, udara panas itu tetap mengganggu,
membuat Ronggur tidak kerasan memakai sehelai kain atau
kulit binatang di bagian dadanya. Dibiarkannya dada
telanjang.

Setiap hari tepian sungai bertambah luas. Pepohonan tidak
lagi di tepian sungai seperti di hulu. Sudah agak menjauh.
Tanah luas yang berlumpur semakin lebar mengikuti jalur
sungai. Arus sungai tambah perlahan. Membuat mereka harus
mengayuh terkadang.

Dan, tanah berlumpur yang mengiring jaluran sungai,
tambah luas. Ronggur selalu menelitinya dengan seksama.

Digenggamnya tanah itu. Diperhatikan lunaknya. Terkadang
diciumnya dengan hidung, apakah bau lumpurnya sama
dengan bau lumpur yang ada di kampung halaman. Tapi, dari
lumut lumpur dia tahu bahwa tanah yang mereka temui itu
lebih lemak dan subur dari tanah di kampung halaman.

Sedang di hutan yang semakin menjauh dari tepian sungai
itu, mereka temui pohon yang berbuah. Buahnya lain dari
buah mangga yang mereka kenal di kampung halaman. Lebih
enak dan lezat. Membuat mereka terkadang seharian hanya
memakan buahan saja.

Hanya udara yang bertambah panas itu saja yang membuat
mereka agak merasa tidak senang. Udara seperti itu tidak
pernah mereka temui di sekitar kampung halaman, walaupun
matahari cukup terik. Ini tidak. Walau terkadang matahari
dilindungi awan, panas itu masih tetap terasa. Membuat tubuh
mereka selalu berkeringat, tapi cepat kering disapu angin lalu.
Tubuh seperti berminyak jadinya. Lengket dan tidak
mengenakkan perasaan. Membuat mereka sering terjun ke
dalam sungai, berenang, dan menyelam, agar keringat
melengket itu bisa menghilang untuk datang dan untuk
dihilangkan lagi.

Alangkah terkejutnya mereka, pada suatu hari, sewaktu
Ronggur berenang mengikuti perahu yang menghilir,
sekelompok binatang yang sedang berendam di tanah lumpur,
bergerak, lalu mengejar. Cepat Tio mengatakan, "Ronggur,
awas. Cepatlah ke perahu."

Ronggur berenang sekuat tenaga. Binatang itu memburu.
Perahu agak oleng sewaktu Ronggur menaikinya dari satu sisi.
Lalu terus mengayuh. Binatang itu terus mengejar. Jalan satu-
satunya untuk mempertahankan diri, Ronggur menyuruh Tio
terus mengayuh, sedang dia, dengan mempergunakan
kampak, tombak, memukuli setiap ada binatang datang
mendekat ke perahu, mencucuknya. Panggada juga turut
digunakan.

Satu dua ada yang mati di antara binatang itu. Terapung.
Binatang itu belum pernah mereka lihat. Begitu pandai
berenang. Mulutnya menganga lebar hendak menelan saja.
Ekornya bergerigi dan begitu keras tampak. Walaupun belum
pernah mengenalnya namun naluri mereka dapat memastikan
bahwa binatang itu binatang air yang membahayakan.

Binatang yang mati dan dihanyutkan arus mereka tangkap.
Dagingnya kurang enak dimakan. Karena itu daging binatang
itu mereka biarkan saja membusuk. Tapi, kulitnya cepat kering
dan dapat dilipat, begitu halus. Karena itu kulit binatang itu
mereka bawa. Bisa dibuat menjadi kantong tempat
menyimpan alat. Bila digantungkan di pinggang
kelembutannya selalu mengikutkan gerak-gerik pinggang.

Ronggur tetap memperhatikan dan mempelajari perobahan
bentuk tepi sungai. Air sungai tidak sebening di hulu lagi.
Sudah mulai keruh dan kotor. Tidak tahu mereka dari mana
datangnya air keruh itu. Kenapa air yang tadinya begitu
bening, bisa berobah menjadi keruh.

Pepohonan semakin jauh dari tepian sungai. Digantikan
gelagah dan daun nipah. Lumpurnya bertambah lembut dan
bertambah dalam dasarnya. Bertambah ke hilir bertambah
banyak anak sungai bersatu dengan sungai itu.

Bila mereka terus melalui tanah lumpur itu mendekat ke
tepian hutan yang semakin jauh, sebelum tiba ke tepi hutan,
lebih dulu ada tanah yang hanya ditumbuhi ilalang. Tanah
juga lembut. Gembur, bagus untuk ditanami.

"Inilah dia," kata Ronggur. "Inilah tanah yang kita cari.
Tanah landai yang sudah lama kumimpikan. Lihat, tepi hutan
tidak berapa lebat. Bisa ditebang pohonnya untuk dijadikan
persawahan."

"Apakah kita sampai di sini saja?" tanya Tio.

"Tidak," sahut Ronggur. "Kita harus meneruskan
perjalanan. Menyusuri sungai. Kita harus tahu, sampai ke

mana sungai ini. di mana muaranya. Itu sangat penting. Di
muara tanah landai akan tambah lebar lagi."

"Biasanya," kata Tio, "sungai yang ada di kampung
halaman, yang tidak sebesar sungai ini, bermula dari kaki
bukit. Untuk bermuara ke danau. Apakah sungai ini juga akan
bermuara ke danau?"

"Danau apa?" tanya Ronggur pula.

"Aku hanya bertanya."

"Kebiasaan memang begitu. Tapi, belum dapat kupastikan
mengenai sungai ini,"' jawab Ronggur.

Lalu mereka meneruskan penyusuran. Bertambah ke hilir,
di samping arus semakin perlahan, ada semacam getaran
mengganggu jalan perahu. Ada kalanya perahu tidak dapat
laju biar setapak pun ke depan. Walau mereka mengayuh
sekuat tenaga. Ada semacam tenaga menahan.

Dan, di saat itu, permukaan sungai naik. Air menjadi sangat
keruh dan asin. T anah lumpur dan tumbuhannya, gelagah dan
daun nipah menjadi tergenang. Terkadang sampai ke pucuk
digenangi air. Ronggur memperhatikan ini semua. Lalu dapat
memastikan bahwa tanah lumpur yang di tepian sungai benar,
tidak baik dijadikan persawahan. Karena sering tergenang.
Bisa membuat padi busuk. Harus lebih ke atas lagi, ke tempat
yang tidak dapat memastikan, dari mana air itu datang.

Kenapa permukaan sungai menaik. Dan, sungai menjadi
menggeliat. Berombak. Membuat mereka takut pada mulanya.
Sehingga mereka harus buru-buru mendarat ke tepi. Langsung
mencari tanah yang agak tiriggi. Di sana mereka harus
menggali tanah membuat sumur. Supaya ada air tawar.
Sambil terus memperhatikan perobahan pada permukaan air.

Dan, setelah beberapa lama, air sungai susut lagi. Di saat
begitu arus sungai mengencang ke hilir. Sehingga enak
berlayar. Tidak perlu mendayung. Arus menghanyutkan

perahu. Untuk tiba pula pada keadaan, arus mati. Kemudian
datang pula saat permukaan air sungai naik. Perahu tidak bisa
dikayuh. Malah hendak disorong ke belakang, kembali ke hulu.

Berhadapan dengan keadaan baru ini, Ronggur bertambah
was-was. Saat sungai menaik permukaannya dan saat sungai
kembali ke tarap biasa, diperhatikan dan disesuaikan
waktunya. Dicocokkan dengan waktu peredaran bulan dan
bintang. Kemudian diputuskannya untuk terus melayari
sungai. Biar permukaan sungai menaik atau menyusut. Agar
tahu dengan pasti, apa sebabnya dan apa akibatnya pada
orang yang berlayar di saat begitu.

Mereka terus berlayar. Dan, saat permukaan sungai naik
telah tiba. Mereka harus mengayuh dengan sekuat tenaga.
Gelombang sungai mulai menggeliat. Tapi, terus mereka
lawan. Berkayuh dan berkayuh. Walau tidak ada ditemui
kemajuan. Malah mereka seperti disorong ke belakang.

Mereka terus melawan. Arus sungai menyongsong dengan
kuat. Perahu seperti dihanyutkan kembali ke hulu. Walau
mereka sudah berkayuh dengan sekuat tenaga. Tapi, mereka
berdua terus berkayuh melawan air yang menyongsong itu.
Walau malam sudah bertambah jauh, mereka terus di dalam
perahu dan terus mengayuh.

Menjelang subuh, terasalah permukaan sungai kembali
menyusut. Sehingga perahu mereka begitu lajunya
dihanyutkan kembali ke hilir. Di saat begitu, mereka dapat
melepas lelah. Sambil T io berkata, "Apa lagi yang akan terjadi,
dan apa lagi yang akan ditemui pada perobahan sungai?"

"Justru, itu yang perlu kita ketahui," jawab Ronggur.

Karena begitu capek, mereka tertidur. Kantuk telah
membawa mereka ke alam tidur, di mana keadaan sekitar dan
kejadian dapat dilupakan. Perahu terus dihanyutkan arus
sungai.

Sinar matahari sudah kembali menampari wajah alam dan
wajah mereka sendiri yang tertidur di perut perahu. Si belang
berada di haluan perahu, mencerminkan mukanya ke
permukaan air. Lalu menggonggong panjang, melihat
keluasan yang terhampar di depannya. Di sekitarnya.

Karena silau dan karena gonggong si belang, mereka
terbangun. Pada penciuman terasa keluasan dan kebebasan
udara. Tidak terkungkung sedikit pun. Alangkah terbelalaknya
mata Ronggur sewaktu di hadapannya, di sekitarnya, air yang
maha luas mengitari mereka, perahunya terapung dan
mengangguk-angguk diperma inkan riak. Pada sisi kanan, kiri
dan di hadapan, air itu bertemu dengan kaki langit demi kaki
langit. Di bagian punggung, jauh sudah, tepian, atau daratan
yang hijau. Buru-buru Ronggur menyuruh T io duduk, lalu:

"Lihat, lihat Tio. Kita menemui danau. Tapi, danau yang
maha luas. Airnya, alangkah asin. Tidak bisa diminum."

Tio memilin mata. Membelalakkan pandang. Sinar matahari
mencurah ruah. Kemudian dipantulkan air ke atas kembali.
Sehingga lebih silau.

"Danau, tapi danau yang sangat luas," akhirnya Tio
mengatakan dengan kagum. "Danau apa ini?"

"Aku tidak tahu."

"Marilah ke tepi. Kita tidak tahu ke mana berakhir air yang
maha luas ini," ajak Tio.

Cepat mereka mengayuh ke tepian. Tepian memutih
ditimpa sinar matahari penuh. Agak jauh kedalam bermula
jajaran pohon kurus panjang dan hanya di bagian puncaknya
ada daun kelapa. Nyiur. Berjajar memagar pantai.

Cepat Ronggur dan Tio mengayuh. Benda ditepian yang
menerima sinar matahari seperti menyala itu, pasir putih.
Beda dengan pasir pantai danau yang mereka kenal di
kampung halaman. Mereka mendaratkan perahu jauh ke

darat. Menambatkannya pada pokok kelapa. Tambah siang
ombak tambah membesar. Ronggur memanjat kelapa lalu
memetik buahnya yang masih muda.

Mereka minum air kelapa muda. Diseling T io, "Di sini kelapa
tidak akan habis. Sekuat kita memakainya, putiknya akan
cepat mendatang lagi dan berlipat ganda banyaknya."

Sambil menatap keluasan air. Yang bergelung-gelung
ombaknya dan memecah di pantai, dengan lagunya sendiri.
Berdesir angin yang melewati atau membuat daun nyiur
melambai. Burung putih berterbangan ke sana ke mari, menari
dengan gaya yang bagus dan begitu jinak. Tidak punya
prasangka pada Ronggur dan Tio. Sehingga sambil bermalas-
malas, Ronggur dapat melemparnya. Beberapa ekor kena dan
jatuh ke tanah. Si belang menjemputnya. Dengan
moncongnya si belang menggigit dan membawa ke tempat
mereka berdua duduk.

Pada tanah lumpur sekitar muara sungai, bertambah
rimbun pohon gelagah dan daun nipah, diselang seling pohon
bakau. Walaupun daun nipah sudah kering, namun tetap kuat
dan tampak berminyak. Dengan daun nipah itulah, mereka
buat atap sebuah dangau. Tiangnya agak tinggi dibuat dari
pohon bakau yang panjang dan lurus lagi kuat. jendelanya
jauh lebih besar dari jendela rumah yang ada di kampung
halaman. Karena udara panas.

Sekarang mereka sudah punya rumah kembali. Sekarang
mereka sudah punya danau yang sangat luas malah.
Walaupun airnya asin, namun sangat banyak mengandung
ikan. Ikan yang besar. Mereka lalu kenal juga binatang laut
yang ada di tepian yang juga enak dimakan. Sedang pada
hutan di sebelah punggung mereka, dan di tanah yang
ditumbuhi ilalang sebagai pinggiran hutan, banyak menyimpan
binatang buruan. Mulai dari burung, ayam hutan, kijang
sampai pada binatang buas yang ditakutkan: Harimau, gajah,

beruang, dan di tepian sungai berpaya, binatang air itu,
buaya.

Pada hari pertama Ronggur tetap memperhatikan mula dan
arah angin. Akhirnya dapat mereka ketahui, pasang air sungai
yang membuat permukaan sungai naik dan sungai punya arus
ke hulu, tidak menetap saatnya. Tergantung pada hari bulan.
Begitu pula saat sungai surut kembali.

Bila air sungai pasang, perahu agak tertahan menuju
muara. Tapi, bila air sungai surut perahu dilarikan arus ke
tengah danau yang maha luas itu. Waktu siang hari angin dari
arah danau luas bertiup ke darat. Waktu itu bila berkayuh
menuju tepian dari tengah, sangat baik. Arus ombak
menghanyutkan perahu ke tepian. Sedang waktu malam hari,
menjelang dini hari, angin daratyang bermula dari hutan di
punggung mereka, bertiup ke arah danau luas itu.

Waktu itu sangat baik untuk memulai pelayaran ke tengah
danau luas itu. Dan, bila pasang naik tanah lumpur itu
tergenang, terkadang sampai sedalam dada. Bila air surut
permukaan sungai merendah. Tanah lumpur itu, rawa itu
kembali tampak. Tapi, walaupun tanahnya lumpur dan lembut
karena selalu tergenang, tidak baik dijadikan persawahan.

Bila mereka hendak membuka sawah percobaan, harus
memilih tempat yang agak tinggi dan jauh dari pantai, jauh
dari tepi sungai, agak menusuk ke tengah hutan. Mereka
harus merambah hutan belukar agak ke pedalaman.

Mereka cari tumpukan tanah yang agak datar di hutan dan
ditumbuhi ilalang. Agar lebih mudah mengerjakan sawah
percobaan itu. Kemudian dari hulu sungai yang belum asin
airnya, dibuka aliran parit. Sehingga ada pengairan ke sawah
itu, di samping air hujan. Dekat sawah itu mereka dirikan
dangau, tempat istirahat atau bermalam, bila merasa malas
pulang ke rumah di tepi pantai.

Persemaian telah digarap. T anahnya cepat lembut. Setelah
beberapa lama tanah yang digarap itu digenangi air yang
dialirkan ke sana, tanah itu cepat menghitam,
mengambangkan kesuburan. Beberapa bidang lagi tanah telah
diolah menjadi sawah percobaan.

Waktu menancapkan cangkul ke dada tanah, tahulah
Ronggur dan Tio, tanah itu tidak melapisi batu. Tanah itu
begitu gembur. Cepat lunak dan cepat menjadi lumpur hitam
yang lembut, bila telah digenangi air. Tidak tersangkakan,
walau itu yang diharapkan, tanah begitu cepat menerima
taburan bibit. Kemudian bermunculan di atas tanah batang
padi yang gemuk hijau, menjanjikan akan mendukung bulir
padi yang bernas. Merunduk ke tanah karena berisi.

Usaha percobaan itu terus diluaskan ke tanah yang lebih
tinggi dan agak susah didatangi air parit. Di sana juga tanah
dengan cepat menerima taburan bibit. Walau tidak punya air
selain air hujan dan yang dikandung tanah. Itulah ladang,
huma, sawah kering. Ini semua menanam harapan yang lebih
sempurna dalam dada.

Tanah yang mereka temui tanah yang dimimpikan setiap
orang di kampung halaman, yang dapat mengurangi
pertentangan yang bisa timbul antara kaum semarga, antara
marga, antara suku dan antara luhak. Perang yang bisa terjadi
di antara mereka, yang mengakibatkan kematian dan
kemelaratan, bisa dihilangkan, bila tanah habungkasan ini
ditunjukkan pada mereka.

Bila batang padi telah bertumbuhan di sawah, di ladang
dengan hijau gemuk, kerja Ronggur dan Tio tinggal mencabuti
rerumputan, agar pertumbuhan batang padi tidak terganggu.
Pada malam hari, mengadakan penjagaan yang dibantu si
belang, agar rombongan babi hutan tidak turun dari hutan
merusak sawah dan ladang percobaan itu.

Kemudian batang padi yang hijau gemuk itu, telah dihiasi
bulir padi dengan mencuat ke atas tegak lurus. Ditiup angin


Click to View FlipBook Version