The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by halim.ali, 2022-12-01 00:35:05

E PROSIDING ICDETAH 3.0 2022

Prosiding ICDETAH 3.0 latest

51

Dari informan ditemukan juga kesalahan bahasa yang disebabkan pengaruh idiolek
seseorang. Pengaruh idlolek (ciri khas seseorang menggunakan bahasa) menyebar atau
pemakainya bertambah karena pengaruh gengsi bahasa, Kesalahan tersebut muncul dari
seseorang yang statusnya besar pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat. Kata-kata
yang mengalami kesalahan yang diakibatkan pengaruh gengsi tersebut adalah : sangkin,
mangkin, dan sebagainya.

Selain kata-kata tersebut di atas, dijumpai lagi kata-kata yang menyimpang dari kaidah
bahasa yang baku. Kesalahan tersebut jelas secara utuh berasal dari penutur bahasa itu sendiri,
di mana kosa kata bahasa ibunya secara spontan masuk dalam kalimat-kalimat yang diujarkan
sehingga bagi orang lain yang bukan penutur dari bahasa ibu yang bersangkutan terjadi
kesalahfahaman kurang efektifnya bahasa). Kata-kata yang dimaksudkan tersebut adalah
seperti berikut:

Kosa kata bahasa Jawa Seharusnya
Siji satu
Loro dua
Telu tiga
Monggo silahkan

Orak nandi kuwe sudah mandi kamu
Piro berapa
Mas abang
Mbak yu kakak
Opo iki apa ini
Mambu kuwe bau kamu
Ya ben ya biar
Ya uwes ya sudah
Ngombe minum
Uwes mangan kuwe sudah makan kamu
Dé'e dia
Wedang minum
Ngamen meminta-minta

Jelas dari kata-kata tersebut pengaruh bahasa ibu masyarakat Jawa terhadap
pemakaian bahasa Indonesia masih terasa ada. Bahkan kalau dilihat dari politik bahasa

52

nasional hal ini masih merupakan satu kendala yang dialami pemasyarakatan pemakaian
bahasa Indonesia secara baik dan benar. Karena itu diharapkan masyarakat Jawa yang ada di
Kecamatan Binjai Utara dapat mengubah sikap dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik
dan benar.

Kata-kata seperti di atas yang masih merupakan kosa kata bahasa Jawa hendaknya dapat
dihindari dari pemakaian bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang merupakan satu
bahasa yang sifatnya elastis, tetapi dalam keelastisannya tersebut bukan berarti bebas
menggunakan kosa kata di luar kosa kata yang sudah ditetapkan dalam bahasa Indonesia. Hal
yang demikian itu dapat kita lihat dalam kamus besar bahasa Indonesia. Bagi pemakai bahasa
Indonesia umumnya, khususnya masyarakat Jawa hendaknya dapat menghindari pemakaian
kosa kata yang bukan sebagai kosa kata bahasa Indonesia. Hal ini dapat menghambat
pertumbuhan atau pemasyarakatan pemakai bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bila dikaitkan dengan pengaruh bahasa ibu mereka. Setiap orang pasti dipengaruhi
bahasa yang pertama dimilikinya (bahasa ibunya), tinggal bagaimana orang yang memakai
bahasa itu dapat menghindari pengaruh bahasa ibunya ditentukan oleh kemampuan yang
bersangkutan untuk mengikuti kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi Negara tidak dibenarkan
dicampuradukkan dengan kosa kata yang berasal dari bahasa daerah ataupun bahasa asing,
selagi kosa kata tersebut belum dinyatakan sebagai kosa kata yang baku dalam bahasa
Indonesia.

Berbahasa pada dasarnya adalah suatu interaksi, yaitu interaksi linguistik. Dalam hal
bahasa tulis interaksi tersebut melibatkan penulis dan pembaca, sedangkan bahasa lisan
melibatkan pembicara dengan pendengar. Keduannya berhubungan satu dengan lainnya.
Penulis menyampaikan ide atau gagasannya melalui tulisannya, sementara pembaca mencoba
memahami isi atau arti tulisan itu dengan membacanya. Sementara dalam bahasa lisan
seorang pembicara menuangkan ide atau gagasannya melalui ujaran yang disampaikannya,
sedangkan pendengar mencoba memahaminya melalui bahasa yang melalui bahasa yang
disampaikan itu pula. Satu hal yang perlu kita pikirkan bahwa komunikasi itu dapat berjalan
dengan baik (apa yang disampaikan pembicara) dapat diterima pendengar atau dapat
dipahami tentu tidak bisa terlepas dari bahasa yang digunakan Bahasa yang dipakai atau
digunakan itu harus sesuai dengan kaidah bahasa, di samping bahasa yang digunakan itu
sama-sama dikenal oleh pembicara dan pendengar. Tidak akan terjadi komunikasi kalau salah
seorang dari mereka tidak memahami bahasa yang digunakan. Adanya stumulus maka ada
respon, dengan catatan bahasa yang digunakan itu sama-sama dikenal oleh kedua belah
pihak

Setiap orang berusaha agar apa yang disampaikan dapat dipahami dengan baik dan
memberikan kesan informative sesuai dengan apa yang diharapkan, seorang penulis atau
pembicara akan berusaha memanfaatkan sarana bahasa dengan sebaik-baiknya. Kalaupun ada
orang yang tidak mau tau dengan masalah ini, berarti yang bersangkutan itu sama sekali tidak
mengetahui pentingnnya bahasa dan tidak tau arti berkomunikasi. Kata dan ungkapan harus
kita pilih sedemikian rupa untuk membawa makna yang kita maksudkan Kita harus
menghindari pemakaian kata yang tidak dikenal atau tidak bisa dipahami lawan bicara kita,
karena hal yang demikian itu menimbulkan kesalahpahaman, bahkan terjadi
ketidakkompakan antara pembicara dengan pendengar. Dengan pemakaian bahasa yang
harmonis hubungan sesama manusia dapat bertambah erat, sebaliknya pemakaian bahasa

53

yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dapat menimbulkan perpecahan di
antara pemakai bahasa tersebut.

4. SIMPULAN DAN SARAN

4.1. SIMPULAN

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

4.1.1 Ditemukan pengaruh bahasa ibu terhadap pemakaian bahasa Indonesia oleh masyarakat
Jawa di Kecamatan Binjai Utara disebabkan :

a. Masyarakat Jawa di Kecamatan Binjai Utara masih banyak menggunakan bahasa ibu untuk
menyampaikan ide atau gagasannya di antara sesamanya, sehingga kebiasaan yang demikian
itu terbawa-bawa dalam situasi lain yaitu ketika menggunakan bahasa Indonesia.

b. Masyarakat Jawa yang ada di Kecamatan tersebut masih banyak yang tidak mengetahui
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga mereka tidak ada usaha untuk
menggunakan bahasa yang lebih baik.

4.1.2 Latar belakang masyarakat Jawa yang tinggal di kecamatan Binjai Utara
mempergunakan bahasa Indonesia yang salah karena adanya faktor gengsi, maka meniru
perkataan dan perbuatan-perbuatan orang yang statusnya lebih tinggi sekalipun itu salah. Hal
yang demikian itu dapat kita lihat dari pemakaian kata yang mengalami gejala bahasa
evintisis (penambahan fonim ditengah kata), seperti kata mangkin, seharusnya semakin.

4.2. Saran
Dari hasil penelitian ini disarankan agar pemakai bahasa ibu dari setiap etnis yang ada di
nusantara ini dapat membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia di mana saja pun,
di samping tidak menghilangkan budaya etnik yang dimilikinya (bahasa daerah), karena
budaya etnik adalah pemerkaya budaya nasional.

4.2. Saran
Dari hasil penelitian ini disarankan agar pemakai bahasa ibu dari setiap etnis yang ada di
nusantara ini dapat membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia di mana saja pun,
di samping tidak menghilangkan budaya etnik yang dimilikinya (bahasa daerah), karena
budaya etnik adalah pemerkaya budaya nasional.

54

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. ( penye ). 2000. Tata bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Alwashilah, Chaedar. A Pokoknya Menulis. Bandung: Kiblat Buku Utama
Badudu, J.S. 1983. Membina Bahasa Indonesia Baku I. Bandung: Pustaka Prima
Badudu, J.S. 1984. Inilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Jakarta: Gramedia
Chaer, Abdul. 1983. Tata Bahasa Praktis. Jakarta: Bhratara
Comri, Bernard. 1989. Languange Universal and Linguistik Typologi. Oxford: Black Well
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . 1976. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
Yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Halim, Amran. Editor. 1976. Politik Bahasa Nasional I. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Halim, Amran. Editor. 1976. Politik Bahasa Nasional II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Ende, Flores: Nusa Indah
Keraf, Gorys. 1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Ende, Flores: Nusa Indah
Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Kearns, Kate. 2000. Semantics. London: Macmillan
Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Linguistik ( terj. I. Soetikno ). Jakarta: Gramedia Pustaka
Suwardi. 1977. Etimologi. Jakarta: Mutiara
Sugono, Dendi. 1987. Berbahasa dengan Benar. Jakarta: Puspa Suara
Tarigan, Hendry Guntur. 1985. Pengkajian Morfologi. Bandung: Angkasa

55

ILLOCUTION ACTIONS IN INDONESIAN CHILDREN IN THE AGE OF 11 YEARS
INSPIRED FROM SELBGRAM'S LANGUAGE: COGNITIVE PSYCHOLINGUISTIC

STUDY OF DEVELOPMENT

Gustianingsih1, Dardanila2, Dwi Widayati3, Rosliana Lubis4, and Ali 5

1Department of Sastra Indonesia, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Sumatera Utara, Medan,
Indonesia, 2Department of Sastra Indonesia, Faculty of Cultural Sciences, Universitas Sumatera

Utara, Medan, Indonesia, 3Department of Sastra Indonesia, Faculty of Cultural Sciences, Universitas
Sumatera Utara, Medan, Indonesia, 4Department of Sastra Indonesia, Faculty of Cultural Sciences,
Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia,5 FKIP Universitas Islam Sumatera Utara, Medan,

Indonesia

ABSTRACT

The problems of this research are (1) How is the Indonesian 11 year old illocutionary utterance
inspired by the celebgram speech?, (2) How does the Piaaged Cognitive Development theory view
this speech event as related to language acquisition for 11 year olds (3) What is a positive solution for
neutralize the negative speech of 11-year-old children who are inspired by the celebgram speech.?
This research is a qualitative research with 5 research subjects aged 11 years. Data collection is done
by recording as a basic technique and the follow-up technique is the listening-engagement technique
and the conversation-free listening technique.Data analysis was carried out using the matching
method. The basic technique used is the basic technique of sorting the determining elements (PUP)
and the follow-up technique, with the comparison and equating technique (HBS), with adult speech.
After being analyzed, the presentation of the results of the data analysis is used informally. The
analysis was carried out with a description of the explanation in simple words, easy, and still using
technical terminology. The results of this study, describe (1) Indonesian language illocutionary
utterances for 11 year olds inspired by celebgram utterances are more adult utterances that are not
filtered by 11 year olds (2) The Piaaged Cognitive Development View views these speech events as
related to language acquisition for 11 year olds, that children's language development is determined
by mature cognitive and environmental factors.General concept that covers all forms of recognition,
including observing, assessing, paying attention, guessing, imagining, guessing, and assessing the
speech of people from the child's immediate environment. Cognition is the ability to imagine and
describe objects or events in memory and act on the description of children's language acquisition
with mature cognitive. From the cognitive condition that develops, the child's language acquisition
also develops. The development of a child's language acquisition on the one hand, if not accompanied
by parents exclusively, can also have a negative and positive impact. It can be understood that
cognition is a term used by psychologists to describe all mental activities related to perception,
thought, memory, and information processing that enable a person to acquire knowledge. (3) positive
solution by linking cognitive theory of development and development of language acquisition. The
author will act as a motivator by instilling positive cognitive in order to obtain positive cognitive
development which also occurs in 11 year old children; Self-motivation through children's stories,
leadership training, arts and sports, and parenting education.

Keywords: Illocutionary speech acts, Indonesian language, cognitive developmental psycholinguistics.

I. PENDAHULUAN

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menyebabkan
pesatnya pengguna media sosial. Informasi yang dibagikan tidak hanya informasi bersifat umum,
melainkan informasi bersifat pribadi seperti foto, video, dan identitas diri. Pada tahap tersebut, media
sosial dapat membuat informasi pribadi yang dibagikan memasuki ranah publik yang dapat diakses
oleh orang lain. Salah satu media yang saat ini banyak diminati adalah instagram. Media sosial
instagram merupakan media sosial berbasis internet skala internasional yang berfungsi untuk

56

mengunggah foto dan video. Didominasi tidak hanya remaja saja, kini tuntutan untuk menggunakan

teknologi, juga berdampak pada kalangan anak-anak, sehingga memengaruhi pemerolehan bahasa dan

kemampuan berpikirnya. Padahal, pengguna instagram tidak diperkenankan bagi anak berusia di

bawah 13 tahun. Konten yang sudah beredar dan disimpan oleh pengguna atau orang lain tidak dapat

dihilangkan, walaupun pengguna sudah menghapus konten aslinya.

Sejak pemerintah menegaskan, bahwa segala aspek diutamakan dengan cara online memberi

dampak yang besar. Mulai dari orang dewasa hingga anak-anak sudah dapat menggunakan internet

melalui handphone, laptop dan alat komunikasi lainnya, dengan kemajuan teknolgi yang semakin

canggih ini, masyarakat dapat dengan mudah untuk mengakses apa yang dibutuhkan dengan waktu

yang relatif cepat, serta dengan cara penggunaannya. Satu sisi mendukung untuk melek internet,

namun kesibukan masing-masing membuat pengawasan sering terabaikan. Anak menerima informasi

dari selebgram dengan latar belakang berbeda-beda, akan mengikuti tanpa mengetahui makna bahasa

tersebut. Alasan yang menyebabkan media sosial menjadi sesuatu yang menarik bagi anak-anak,

karena dianggap sebagai penguatan identitas dengan teman-temannya.

Ada banyak dampak dari perkembangan media sosial ini, baik dampak positif maupun negatif
terhadap perubahan sosial anak. Media sosial membuat anak menjadi “orang asing” di tengah-tengah
keluarga, mengubah pola hidup, mendatangkan kebiasaan-kebiasaan baru, bahkan kebutuhan akan
teknologi sebagai bentuk orang hipnotis canggih yang mampu mengubah perilaku dan cara mereka
berkomunikasi dengan orang lain (Istiyanto, 2016: 59).

Kemudahan yang banyak ditawarkan media sosial sekarang ini, menjadikan kebutuhan primer
yang setiap hari keberadaannya harus ada hampir setiap waktu dalam kegiatan sehari-hari.
Berkomunikasi pun, tidak perlu mengeluarkan energi dan biaya yang terlalu besar, karena tidak perlu
bertatap muka dan pergi ke suatu tempat khusus secara langsung. Akhirnya, pengguna instagram
kalangan anak-anak memeroleh banyak kosa kata baru seperti viral, hits, netizen, gelay, jamet, koy,
dan sebagainya.

Motif Penggunaan Media Sosial Instagram di Kalangan Remaja” berpendapat, bahwa
instagram adalah media sosial yang mampu memenuhi kebutuhan seseorang, yakni kebutuhan
kognitif, afektif, integrasi pribadi, integrasi sosial dan berkhayal. Pengguna media berusaha mencari
sumber media yang paling baik dalam usaha memenuhi kebutuhannya (lihatWitanti, 2017) Kebutuhan
ini, didasarkan karena hasrat seseorang untuk memahami dan menguasai lingkungannya. Disamping
itu, kebutuhan ini juga dapat memberi kepuasan atas hasrat keingintahuan dan penyelidikan seseorang.

Media Sosial Instagram juga dapat menyebabkan fenomena Cyberbullying”. Perkembangan
media sosial yang sangat pesat turut menimbulkan beberapa dampak pada setiap segi kehidupan bagi
orang dewasa maupun bagi anak-anak usia 11 tahun (band. Uswatun, dkk (2019).

Seperti yang diungkapkan Winduwati,dkk (2020),Instagram merupakan platform yang
menyajikan citra diri individu. Kehadiran instagram membuat orang ingin memberikan citra yang
baik mengenai dirinya. Tanpa disadari, instagram menjadi candu di mana pengguna terus
membagikan foto dan memperlihatkan aktivitasnya kepada followers. Ada pula istilah baru dalam
media sosial yaitu, Deleting Toxic (Detox). Instagram adalah fenomena orang merasa penggunaan
Instagram menjadi negatif bagi dirinya baik secara fisik maupun mental. Instagram dapat menjadi
platform yang baik, jika dipergunakan dengan baik, seperti menjadi platform untuk menghasilkan
uang melalui online shop atau endorsement, menjalin hubungan dengan teman lama, keep in touch
dengan teman-teman yang jauh, dan lain-lain. Namun, instagram dalam kondisi tertentu dapat
menjadi toxic, jika berakibat buruk kepada penggunanya, seperti menghilangkan harga dan
kepercayaan diri dengan membanding-bandingkan diri dengan orang lain, menjadi cemas, susah tidur,
depresi, iri dengan kehidupan orang lain, dan lain-lain. Anak usia 11 tahun : “Iiii... gak suka gelay
bingits. Kek netizenlah”.

2. KONSEP DASAR DAN TEORI
2.1 Selebgram

Fenomena selebgram mungkin sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang, karena saat ini
sudah banyak selebgram di Indonesia. Selebgram merupakan akronim dari dua kata yaitu, “Selebriti”
dan kata “Instagram”. Selebgram tidak jauh berbeda dengan selebriti pada umumnya. Perbedaan

57

antara selebgram dengan selebriti pada umunya hanya terletak pada medianya. Jika kebanyakan
selebriti terkenal, karena kemunculannya dilayar kaca, seorang selebgram terkenal karena
eksistensinya dalam media sosial instagram dan menjadi idola pengikutnya.

David, Grant Mc Cracken (dalam Humaira 2015: 67) berpendapat, selebgram atau selebriti
instagram atau dalam istilah lain dapat dikenal dengan Celebrity Endorser. Selebgram merupakan
orang-orang yang menikmati pengakuan publik oleh sebagian besar kelompok orang tertentu dan
mereka memiliki keunikan yang berbeda yang terkadang menggunakan pengakuan itu atas nama
konsumen baik dengan tampil bersama dalam iklan.

2.2 Anak-anak
Secara umum, anak adalah seseorang yang dilahirkan dari perkawinan antara seorang

perempuan dengan laki-laki. Anak merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru. Masa depan
bangsa dan negara masa yang akan datang berada di tangan anak sekarang. Semakin baik kepribadian
anaknya, maka baik pula kehidupan masa depan bangsa. Begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu,
penentuan kepribadiannya dikenali sedini mungkin.

Menurut UU No.44 thn 2008 Pasal 1 angka 4 “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun”. Depkes RI (2009) juga menjelaskan, masa kanak-kanak adalah 5–12 tahun.
Pada usia ini, kemampuan anak dalam mengenal dan menguasai perbendaharaan kata mengalami
perkembangan yang pesat. Anak mampu memiliki keterampilan mengolah informasi yang diterima,
serta berpikir dan menyatakan gagasannya.

2.3. Psikolinguistik
Psikologi berasal dari bahasa Inggris pscychology. Kata pscychology berasal dari bahasa

Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu.
Berdasarkan pengertian psikologi dan linguistik pada uraian sebelumnya dapat disimpulkan, bahwa
psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik perilaku yang tampak maupun
perilaku yang tidak tampak.

Menurut Chaer (2003: 5) Psikolinguistik menguraikan proses-proses psikologi yang
berlangsung. Jika, seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu
berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia.

Secara lebih rinci, Chaer (2003: 6) menyatakan, psikolinguistik menerangkan hakikat struktur
bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu
memahami kalimat-kalimat
dalam pertuturan itu.

2.4. Tindak Tutur Ilokusi
Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga

dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak
ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Tindak ilokusi sangat sukar
diidentifikasikan karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur,
kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian tindak ilokusi
merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.

Tindak ilokusi (illocutionary act) adalah pembuatan pernyataan, tawaran, janji, dan lain-lain
dalam pengujaran dan dinyatakan menurut daya konvensional yang berkaitan dengan ujaran itu atau
secara langsung dengan ekspresi-ekspresi performatif (Levinson dalam Cahyono, 1995:224). Ketika
penutur mengucapkan suatu tuturan, sebenarnya dia juga melakukan tindakan, yaitu menyampaikan
maksud atau keinginannya melalui tuturan tersebut. Gambaran yang lebih jelas mengenai tindak
ilokusi akan terlihat dalam analisis sebuah tuturan berikut.

Wijana (1996:18-19) berpendapat bahwa tindak ilokusi adalah tindak tindak tutur yang
mengandung maksud dan fungsi daya ujar. Tindak tersebut diidentifikasikan sebagai tindak tutur yang
bersifat untuk menginformasikan sesuatu dan melakukan sesuatu, serta mengandung maksud dan daya
tuturan.
Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa petutur,
kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak ilokusi ini
merupakan bagian yang penting dalam memahami tindak tutur.

58

Sementara Chaer dan Leonie (2010:53) menyatakan bahwa tindak ilokusi adalah tindak tutur yang
biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak ilokusi ini biasanya
berkenaan dengan pemberian izin, mengucapkan terimakasih, menyuruh, menawarkan dan
menjanjikan.
Uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi
menyampaikan sesuatu dengan maksud untuk melakukan tindakan yang ingin dicapai oleh
penuturnya pada waktu menuturkan
Sesuatu kepada mitra tutur.

2.4.1. Tuturan Asertif
Darmayanti (2014: 137) menyatakan, tuturan asertif pada umumnya direalisasikan atau

diterapkan dalam wujud kalimat deklaratif berupa pemberian informasi. Tuturan ini, berfungsi
memberi tahu atau menginformasikan orangorang mengenai suatu fakta, simpulan, penegasan, dan
pendeskripsian.

Yayuk (2016: 136) tuturan asertif atau disebut juga tuturan representatif, yaitu tuturan yang
berhubungan dengan menyatakan sesuatu. Tuturan ini, mengaitkan penuturnya akan kebenaran atas
apa yang diujarkan. Bentuk tuturan ini, biasanya dilakukan seseorang saat menyatakan sesuatu atau
mengemukakan pendapat, mengklaim, berspekulasi, dan melaporkan. Penanda tuturan asertif adalah
modalitas, yaitu barangkali, mungkin, tepat sekali, dan betul.

Djatmika (2016: 17) assertive atau representative segala hal yang bekaitan dengan tuturan
baik yang benar atau salah. Tuturan tersebut, sering kali ditandai dengan kahadiran verba seperti,
menyatakan, mengatakan, menjelaskan, menguraikan, menceritakan, menuturkan, mengomentari,
menyetujui,
memberikan informasi, dan lain-lain.

2.4.2. Tuturan Direktif
Menurut Yule (2006: 93) tuturan direktif, adalah jenis tuturan yang digunakan oleh penutur,

untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tuturan ini, menyatakan apa yang terjadi pada
keinginan penutur atau mitra tutur. Tuturan ini, meliputi perintah, permohonan, pemesanan,
pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif atau negatif. Pada waktu menggunakan
tuturan direktif, penutur berusaha menyesuaikan realita.

Menurut Djatmika (2016: 17) tuturan direktif digunakan untuk membuat orang kedua
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu tuturan untuknya, maka seorang penutur akan
menggunakan tuturan berjenis directive. Kata kerja yang digunakan untuk merepresentasikan tuturan
ini, di antaranya adalah memerintah atau menyuruh, memesan, memberikan instruksi, menasihati,
meminta, menyarankan, melarang, mengundang, mengornfirmasi, dan sebagainya.

2.4.3. Tuturan Komisif
Menurut Partana (2010: 83) tuturan berjanji atau komisif adalah tuturan yang diucapkan oleh

penutur kepada mitra tutur tentang kesediaannya untuk berbuat sesuatu atau mengucapkan janji.
Perbuatan dalam tuturan ini, dilakukan pada waktu yang akan datang. Pelaksanaan tuturan komisif
didasarkan atas keadaan yang mendesak, supaya mitra tutur mempunyai kepercayaan kepada penutur.
Tuturan komisif, ditandai dengan tuturan iya, sungguh, pasti, insha
Allah, ya sudah, aku akan.

Wicaksono (2015: 76) tuturan komisif adalah tuturan yang berfungsi untuk menyatakan niat
melakukan suatu tindakan bagi orang lain atau suatu pekerjaan. Niat itu dilakukan dalam kondisi
ketulusan dengan pelaku tindakan betul-betul penutur sendiri yang melakukan tindakan. Tindakan
tersebut belum dilakukan, dan akan dilakukan pada masa mendatang. Tindak tutur komisif berjanji
adalah suatu tindakan bertutur yang dilakukan oleh penutur dengan penyatakan janji kepada mitra
tutur akan melakukan suatu pekerjaan yang dimintai orang lain.
2.4.4. Tuturan Eksresif

Tuturan ekspresif mengacu pada penutur yang menunjukkan sikap atau perasaannya.
Contohnya, berterima kasih atau meminta maaf. Tindak tutur ekspresif terjadi, apabila seorang
penutur mengungkapkan perasaan kondisi emosinya kepada orang kedua atau lawan tutur, maka
tuturan yang digunakan bersifat ekspresif. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang berasal

59

dari diri si penutur. Contohnya, keadaan penutur yang sedang tidak enak hati atau bad mood yang
berasal dari luar. Misalnya, perilaku atau tindakan dari pihak lawan tutur kepada si penutur yang
membuat pengaruh terhadap kondisi emosional si penutur. Tindak ekspresif sering ditandai dengan
verba mengucapkan belasungkawa, menghina, berterima kasih, memuji, mengejek, memberikan salam,
mengucapkan salam perpisahan, meminta maaf, menyalahkan dan sebagainya (Djatmika, 2016: 18).

2.4.5. Tuturan Deklaratif
Tuturan deklaratif, mengacu pada penutur yang melakukan perbuatan yang mengubah

kenyataan yang ada di dunia, contohnya melakukan proses ritual atau memberi nasihat Searle (dalam
Jumanto, 2017: 69).

Menurut Searle (dalam Rani, 2006: 162) kategori tuturan deklaratif merupakan tindak ilokusi
yang sangat spesifik. Tindak deklaratif dilakukan oleh seseorang yang memiliki tugas khusus untuk
melakukannya dalam rancangan kerja institusional. Sebagai contohnya, hakim yang mempunyai tugas
menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, seorang pejabat tinggi atau orang yang mempunyai
kedudukan meresmikan sebuah acara resmi, seorang pendeta yang menikahkan sepasang calon
pengantin.

3. HASIL DAN DISKUSI
3.1 Tuturan Ilokusi Bahasa Indonesia yang Terinsfirasi dari Tuturan Selebgram pada Media
Sosial Instagram

Media sosial merupakan alat bantu dalam menyalurkan informasi dari seorang kepada individu
atau kelompok orang. Instagram merupakan media sosial keempat dengan pengguna terbanyak
sebanyak 1 miliar pengguna di dunia. Instagram mempunyai 500 juta pengguna aktif per hari, dan
400 juta pengguna aktif per hari di story Instagram (Harsono, Lisa 2020: 85).

Instagram dapat menjadi platform yang baik jika dipergunakan dengan baik, membantu
penggunanya yang berasal dari kalangan anak-anak menerima informasi kosa kata baru dan
menambah wawasannya. Penulis menganalisis ke tiga akun selebgram yang menjadi objek penelitian,
yaitu pada akun @Kgl (knlv), @ayksmp, dan @Smrgdn bahasa yang mereka lontarkan memberikan
hiburan bagi pengikutnya. Akun @Kgl (knlv) selebgram ini, sering menilai sesuatu di postingannya
dengan kejujuran dan menggunakan perbandingan yang mudah dipahami. Akun @Smrgdn, sering
memberikan motivasi terhadap pengikutnya. Akun ini, banyak diminati pengikutnya, karena sering
membuat konten yang membuat orang lain terhibur dengan bahasa maupun tindakannya. Berikut
tuturan akun @Kgl (knlv) yang penulis catat dan telah penulis analisis.

(1) Tuturan Asertif
Tuturan asertif, mengaitkan penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Bentuk tuturan ini,
biasanya dilakukan seseorang waktu menyatakan sesuatu atau mengemukakan pendapat, mengklaim,
berspekulasi, dan melaporkan. Tuturan ini, berfungsi memberi tahu atau menginformasikan orang-
orang mengenai suatu fakta, simpulan, penegasan, dan pendeskripsian.

Pada tuturan asertif, penutur menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan tuturan, baik yang
benar atau salah. Tuturan tersebut, sering kali ditandai dengan kahadiran verba seperti, menyatakan,
menjelaskan, menguraikan, menceritakan, menuturkan, mengomentari, menyetujui, memberikan
informasi, dan lain-lain.

(1.a) Dialog akun @Knlv dengan salah seorang artis perempuan inisial “NS” yang
bertanya cara menyikapi sikap, ketika diri dihina.

NS: “Gimana caranya, biar diri enggak tersinggung pas dibilang gendut?”
@Knlv: “Gendut gak apa-apa, yang penting muka lu adem.

Kalau gendut demek, meletek gitu kan.
Lu juga, jangankan orang ngatain, lu ngaca juga males.
Kalau gue kan, gendutnya enak gitu, ya. Ngerti enggak, lu?
Gendut gue enggak yang terlalu darr.. derr..dorr banget.
Enggak boleh gitu, harus insecure.

60

Lu pede aja, gigi elu bolong, gigi busuk, tetep alive,
Gak peduli. Muka lu bolong, lu gak pake bedak.

Bikin lu, jadi pengen ngelakuin hal lebih, deh.
Kalau lu enggak insecure, itu bikin lu terjaga, bikin lu stay
lu engga akan berkembang.
Insecure tuh, ya, rasa takut.
Kalau lu udah enggak mulai resah, maka lu nggak akan (ada) improvment”
(@Knlv: 20 Januari 2022).

Tuturan akun (1.a) @Knlv termasuk dalam jenis tuturan asertif, terlihat dari tuturan @Knlv di
bagian:

“Enggak boleh gitu, harus insecure. Lu pede aja, gigi elu bolong, gigi lu busuk, lu tetep gak peduli.
Muka lu bolong, lu gak pake bedak. Bikin lu, jadi pengen ngelakuin hal lebih, deh. Kalau lu enggak
insecure, itu bikin lu terjaga, bikin lu stay alive, lu engga akan berkembang. Insecure tuh, ya, rasa
takut. Kalau lu udah, enggak mulai resah, maka lu nggak akan (ada) improvment.”

(1.b) Dialog akun @Knlv dengan salah seorang artis perempuan inisial “NS” yang bertanya tips
bahagia kepada @Knlv .

NS : “ Bagi tips bahagia dong!”

@Knlv : “ Kalo gue lagi bahagia, ya, bahagia.
Kalo gue lagi sedih, ga bisa tuh, langsung bersyukur.
Gue lagi nangis, nih. Ayo, bersyukur!
Gue liat rekening gue. Lu pikir, air mata gue balik naik?!
Enggak! Justru, gue bakalan tetep nangis.
Jadi, gue mikirnya kaya, semua tuh sementara.
Everything will end. Air mata gua akan berhenti.
Kebahagiaan gue akan berakhir.
Kesibukkan gue akan berakhir.
Kebosenan gue juga akan berakhir.
Jadi, nikmati aja flownya, karna semuanya ga lama banget,

karna semuanya hanya sementara, yang lama banget tu,
kejombloan gue doang.

Bahagia itu relatif, enggak ada tips bahagia.
NS tuh, engga bahagia hidupnya.
Dia hidupnya seneng, ntar seneng, ntar dia ngambek.
Ntar di sedih, ntar dia nangis.
Ntar dia girang, kayak orang gila.
Pasti lu, ngelihat, dia bahagia, kan?
Uhh NS hidupnyeee, enggak ada nih kamera. Biasa aje. Dia ngobrol normal
mukanya cengar-cengir, enggak senyum-senyum, gw pun, begitu.
Enggak semua.
Bener kata kak Rachel. Bener kata Maroon 5 (Five).
Hidup itu, enggak selama-lamanya rainbow and butterflye.
Jadi, enggak ada tips bahagia” (@Knlv, 28 Desember 2021).

Tuturan akun(1.b) di atas @Knlv juga termasuk dalam jenis tuturan asertif, terlihat dari tuturan

@Knlv di bagian:
“Kalo gue lagi sedih, ga bisa tuh, langsung bersyukur.
Gue lagi nangis, nih. Ayo, bersyukur! Gue liat rekening gue. Lu pikir, air mata gue balik naik?!
Enggak! Justru, gua bakalan tetep nangis.
Jadi, gue mikirnya kaya, semua tuh sementara.”

61

Akun @Knlv menuturkan tuturan apa adanya, sesuai fakta, bahwa ketika seseorang sedih,

nalurinya akan keluar dengan sendirinya. Ia akan tetap menangis, meskipun orang-orang berusaha

memberikan dukungan dan semangat. Hal itu, tidak akan berpengaruh besar bagi seseorang yang

memang berada dalam kondisi terpuruk. Seorang artis ternama pun, ketika ia sedih ia tidak akan

mampu menyembunyikan kesedihan itu, walaupun ia memiliki harta, dan kemewahan. Hal itu,

dituturkan oleh akun @Knlv di bagian “ Bahagia itu relatif, enggak ada tips bahagia. NS tuh, engga

bahagia hidupnya.”

Tuturan selebgram akun @Knlv di atas ingin menyampaikan, untuk menjadi seseorang yang

bahagia sesuai kriteria itu relatif. Tidak ada dasar yang jelas yang ukuran bahagia. Artis yang punya

kemewahan sekalipun, ia tidak selalu merasakan bahagai, maka buatlah bahagia versi diri masing-

masing. Bahasa asing pun, tetap dituturkan akun @Knlv untuk mewakili opininya Jika,

penggemarnya mengikuti argumen @Knlv di atas, besar kemungkinan orang lain tidak perlu menjadi

diri orang lain, ia akan menemukan jati dirinya sendiri.

(1.c) “Karena, tidak ada pencipta yang tidak menerima ciptaan-Nya.

Yang ada, hanya ciptaan yang tidak menerima penciptanya.”

(@Smrgdn: 8 Februari 2021)

Tuturan selebgram @Smrgdn pada (1.c) juga termasuk ke dalam tuturan asertif juga, karena akun

@Smrgdn ingin menyampaikan kepada pengikutnya, bahwa Tuhan selalu menerima

cipataan-Nya dalam kondisi apapun. Hanya saja, sebagai seorang hamba, manusia sering melupakan-

Nya. Tuturan bijak ini, akan memberikan kognitif yang bagus bagi followers kembali mengingat

Tuhan.

Selebriti instagram akun @Smrgdn memiliki pengikut cukup banyak, akun ini sering membuat

konten-konten yang menghibur dan memberi tuturan bijak.

(2) Tuturan Direktif
Tuturan direktif adalah jenis tuturan yang digunakan oleh penutur untuk menyuruh orang lain
melakukan sesuatu. Jenis tuturan ini, menyatakan apa yang terjadi keinginan penutur atau mitra tutur.
Tuturan ini, meliputi perintah, permohonan, pemesanan, pemberian saran, dan bentuknya dapat
berupa kalimat positif atau negatif. Terlihat jelas, pada tuturan itu, akun @ayksmp ia menyarankan
orang-orang untuk menjadi pekerja wanita malam (PSK).

Jika, akun ini selalu mengajak orang-orang menjadi seperti apapun yang ia tuturkan, maka
khususnya pengikut kalangan anak-anak mereka akan mencoba mencari tau, apa arti dan seperti apa,
pekerja wanita malam, tanpa pengawasan orang yang lebih dewasa, maka anak-anak akan
menemukan video atau informasi yang belum cocok untuk diterima oleh anak usia 11 tahun.

(2.a) “Enak, ya, dikelilingi perempuan-perempuan cantik. Makanya jadi banci dong.”

“Tetaplah berpura-pura, karna yg sok polos itu?
Aslinya kayak binatang menggonggong.”

“Hati-hati sama laki-laki sekarang, bilangnya normal.
Padahal penyuka sesama jenis, termasuk aku.”

“Mari, menjadi wanita malam!” (@ayksmp : 2022)

(2.b) Anak Usia 11 tahun: Awaslah, kau! Kayak anjeng kau kutengok lama-lama.
Remaja Usia 15 Tahun: Mulut kaulah, macam gak pernah disekolahkan.
Anak Usia 11 Tahun: Suka-sukakulah.

(Ia pergi dari rumah sambil membanting pintu dengan keras.)
Remaja Usia 15 Tahun: Mau ke mana, kau?
Anak Usia 11 Tahun: Mau ngelonte!
Tuturan (2.b) di atas menuturkan kata-kata kasar, ternyata kakak perempuannya mengatakan, bahwa
adiknya memang sering mengikuti beberapa selebgram, satu di antaranya adalah akun @ayksmp.

62

Beberapa kosa kata kasar yang dilontarkan memang sudah lama diketahui, namun kebiasaan anak usia
11 tahun ini, semakin menjadi-jadi, diungkapkan oleh kakaknya.

Hal ini disebabkan, terinspirasi dari konten-konten selebgram bertutur kasar pula. Akhirnya,
anak ini terbiasa melontarkan kata-kata seperti itu. Anak ini, tidak lagi memperhatikan makna
tuturannya atau mitra tuturnya. Untuk anak usia 11 tahun, tuturan seperti di atas, sangat memengaruhi
perkembangan berbahasa dan kepribadiannya. Artinya, bahasa dan tuturan selebgram memberi
dampak besar untuk tuturan anak-anak usia 11 tahun di muka bumi ini Anak-anak merasa,
menuturkan tuturan kasar atau tidak sopan merupakan hal yang lumrah, tidak perlu ada rasa sungkan
atau kekuatiran.

(2.c) “Senggol dong sluuur!”
“Jangan sampe Kendor!”
“Uwasyiik”
“Tariiik sluur”
“Jangan dighosting!” (@Smrgd 2021).

Tuturan (2.c) di atas pada akun @Smrgdn termasuk dalam jenis tuturan direktif, terlihat dari tuturan
@Smrgdn itu memberikan perintah untuk orang lain, melakukan hal yang serupa dengannya. Berjoget
di depan umum, menuturkan tuturan yang tidak sopan terhadap mitra tutur yang lebih tua darinya.

Pada tuturan (2.c) di atas juga terkesan adanya ketidakseriusan pada saat menuturkan tuturan
terhadap mitra tutur yang berusia lebih tua dari dirinya. Penutur tidak menghargai, ditunjukkan
dengan bahasa yang tidak dimengerti mitra tuturnya. Hal ini, banyak ditiru anak-anak usia 11 tahun.
Setiap kali, Ibu, Bapak atau saudara mereka mengajaknya berkomunikasi, jarang sekali, anak- anak
itu serius, karena terinspirasi dari selebgram idolanya yang tidak serius.

(3). Tuturan Ekspresif
Tuturan ekspresif, yaitu tuturan yang bentuk tuturannya menyatakan atau menunjukkan sikap

psikologis penutur. @Smrgdn menghibur keluarga yang ditinggalkan oleh almarhumah, agar tabah
menerima keadaan.

(3.a) “Dia datang dengan kasih, dan dia pergi dengan kasih.That is a really good fight. Thank you so
much.Is really nice to know you, and we pray for you.”

Tuturan (3.a) pada akun @Smrgdn di atas termasuk dalam jenis tuturan ekspresif, terlihat dari
tuturan @Smrgdn menunjukkan kesedihan, kehilangan sosok seorang sahabat yang meninggal dunia.
@Smrgdn merasa bersyukur pernah mengenal sahabatnya itu. Dia berdoa semoga almarhumah
membawa kasih Tuhan. Tuturan ini, merupakan tuturan ekspresif, yaitu tuturan yang bentuk
tuturannya menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur @Smrgdn menghibur keluarga
yang ditinggalkan oleh almarhumah, agar tabah menerima keadaan.
Tuturan dan bahasa yang dituturkan @Smrgdn merupakan bentuk kepedulian, duka cita yang dapat
ditiru oleh orang lain. Bahasa asing yang dituturkan sebagai cara mewakili perasaan dan membuat
orang lain mencari tahu makna bahasa asing itu sendiri.

Pemerolehan bahasa yang diterima dari salah satu akun selebgram membuat anak-anak
mencampurbaurkan antara bahasa sehari-hari dengan bahasa yang diikuti. Namun, dari nilai rasa, kosa
kata yang diterima tidak sesuai dengan konsumsi anak usia 11 tahun. Salah satu akun selebgram yaitu,
@Kgl sering melontarkan kata-kata kasar untuk mengomentari seseorang.

Hal ini pula, yang sering ditiru oleh penggemarnya dari kalangan anak-anak. Mereka merasa
tuturan dengan nada tinggi dan kasar dianggap keren, walaupun tidak paham mengenai makna tuturan
yang mereka lontarkan ke mitra tuturnya. Penulis berpendapat, jika anak ini terus membiasakan diri
untuk menjadikan menonton konten @Kgl sebagai rutinitas, tidak menutup kemungkinan, anak ini
pun, akan terbiasa mendengarkan bahasa dan gaya tutur selebgram tersebut, dan besar kemungkinan
pula, anak ini akan meniru dan menyerupai tingkah laku tokoh idolanya, karena dianggap bahasa
selebgram ini sebagai pedoman bertutur.

63

3.2. Pandangan Kognitif Perkembangan Terhadap Tuturan Anak Usia 11 Tahun Yang Terinsfirasi
Dari Tuturan Selebgram

3.2.1 Pengertian Kognitif
Istilah kognitif berasal dari kata cognition, yang berarti knowing atau mengetahui, yang dalam arti
luas berarti perolehan, penataan, dan pengunaan pengetahuan.(SyahMuhibbin). Secara sederhana,
dapat dipahami bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan yang dimiliki anak untuk berfikir
lebih kompleks, serta kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Dalam perkembangan
selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu ranah psikologis manusia meliputi
perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pengolahan informasi, pemecahan masalah
dan keyakinan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih utuh, berikut disinyalir beberapa pendapat
ahli.
Menurut Chaplin dalam Dictionary of Psycologhy karyanya, kognisi adalah konsep umum yang
mencakup seluruh bentuk pengenalan, termasuk di dalamnya mengamati, menilai, memerhatikan,
menyangka, membayangkan, menduga, dan menilai. Sedangkan menurut Mayers menjelaskan bahwa
kognisi merupakan kemampuan membayangkan dan menggambarkan benda atau peristiwa dalam
ingatan dan bertindak berdasarkan penggambaran ini. (Desmita,2016:98). Dari pengertian di atas
dapat dipahami bahwa kognisi adalah istilah yang digunakan oleh ahli psikologi untuk menjelaskan
semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan
informasi yang memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan.

3.2.2 Tahap – tahap Perkembangan Kognitif
Seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dan psikologi anak, Jean Pieget
mengklasifikasikan perkembangan kognnitif anak menjadi 4 tahap, antara lain,:
1) Tahap Sensory Motor ( berkisar antara usia sejak lahir sampai 2 tahun) Gambarannya, bayi
bergerak dari pergerakan refleks instinktif pada saat lahir sampai permulaan pemikiran simbolis.
2) Tahap Pre-Operational (berkisar antara 2-7 tahun) Gambarannya, anak mulai
mempresentasikan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. (kata dan gambar menunjukan adanya
peningkatan pemikiran simbolis)
3) Tahap Concrete Operarational (berkisar antara 7-11 tahun) Gambarannya, anak dapat berpikir
secara logis mengenai hal yag konkret dan mengklasifikasikan benda kedalam bentuk yang berbeda.
4) Tahap Formal Operational (berkisar antara 11-15 tahun) Gambarannya, remaja berfikir
dengan cara yang lebih abstrak, logis, dan idealistis (Desmita, 2016:101)

3.2.3 Faktor – faktor Penunjang Perkembangan Kognitif dan Perkembangan Bahasa Anak Usia 11
Tahun

Berdasarkan hasil studi Piaget, terdapat lima faktor yang mempengaruhi seseorang pindah tahap
perkembangan intelektualnya. Kelima faktor itu adalah: kematangan (maturation), pengalaman fisik
(physical experience), pengalaman logika matematika (logico-methematical experience), transmisi
sosial (social transmission), dan ekuilibrasi (equilibration) yang memengaruhi perkembangan bahasa
anak.
1) Kematangan yaitu proses perubahan fisiologis dan anatomis, proses pertumbuhan tubuh, sel-
sel otak, sistem saraf dan manifestasi lainnya yang mempengaruhi perkembangan kognitif.
Kematangan mempunyai peran yang penting dalam perkembangan intelektual. Hal ini ditunjukkan
oleh hasil beberapa penelitian yang membuktikan adanya perbedaan rata-rata usia anak pada tahap
perkembangan yang sama pada satu masyarakat dengan masyarakat lain yang berbeda. Kematangan
ini juga memengaruhi pemeroleham Bahasa anak yang diperoleh dari dunia maya. Anak usi 11 tahun
telah memiliki gajed sebagai media komunikasi sesame usianya. Kematangan ini juga membawa anak
seolah sederajad dengan para selebgram yang berusia di atas 17 tahun.
2) Pengalaman fisik yaitu pengalaman yang melibatkan seseorang untuk berinteraksi dengan
lingkungan fisik, memanipulasi obyek-obyek di sekitarnya dan membuat abstraksi dari obyek tersebut.
Melalui pengalaman fisik akan terbentuk pengetahuan fisik dalam diri individu, karena pengetahuan
fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda yang ada "di luar" dan dapat diamati dalam

64

kenyataan eksternal. Salah satu perkembangan fisik yang mempengaruhi perkembangan kognitif
adalah perkembangan otak dalam memperoleh Bahasa dari orang- orang terdekat anak. Dunia selebriti
saat ini sedang digandrungi anak-anak usia 11 tahun. Bertambah matangnya otak, dikombinasikan
dengan kesempatan untuk mengalami suatu pengalaman melalui rangsangan dari lingkungan menjadi
sumbangan terbesar bagi lahirnya kemampuan-kemampuan kognitif pada anak. Artinya,
perkembangan kognitif menjadi optimal jika ada kematangan dalam pertumbuhan otak serta ada
rangsangan dari lingkungannya dalam memperoleh Bahasa yang sedang tren dalam dunia maya.
Tidak hanya orang dewasa yang pesat perkembangan bahasanya, tetapi anak usi 11 tahun turut ikut
berkembang dalam tuturan sehari-hari Bersama rekan seusianya.
3) Pengalaman logika matematika yaitu pengalaman membangun hubungan-hubungan atau
membuat abstraksi yang diperoleh dari hasil interaksi terhadap obyek. Dengan pengalaman logika
matematika akan terbentuk pengetahuan logika matematika dalam diri individu. Pengetahuan logika
matematika merupakan hubungan-hubungan yang diciptakan subyek dan diperlakukan pada obyek-
obyek pemerolehan bahasa para selebgram tersebut. Pemerolehan bahasa yang diperoleh anak melalui
media sosial terkadang mengalahkan logika kita orang dewasa terhadap bahasa yang telah melekat
dalam otak anak usia 11 tahun dan dijadikan sebagai perkembangan bahasa yang modern dalam
dunianya.
4) Transmisi sosial yaitu proses interaksi sosial dalam menyerap unsur-unsur budaya yang
berfungsi mengembangkan struktur kognitif. Hal ini dapat terjadi melalui informasi yang datang dari
orang tua, guru, teman, media cetak dan media elektronik. Dengan adanya transmisi sosial akan
terbentuk pengetahuan sosial dalam diri individu. Pengetahuan sosial merupakan pengetahuan yang
didasarkan pada perjanjian sosial, suatu perjanjian atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia.
Pengetahuan sosial dan pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang isi yang bersumber dari
kenyataan yang ada "di luar", sementara pengetahuan logika matematik mengkonstruksi keadaan
nyata tersebut melalui pikiran. Pikiran anak telah terbentuk dengan satu transmisi sosial dunia modern
dalam memperoleh bahasa tingkat tinggi para selebgram yang sangat menyenangkan anak usi 11
tahun tersebut. Terkadang anak-anak lupa bahwa tuturan mereka sudah tidak sesuai lagi dengan
usianya, seperti: “Kak, dia memang kek gitu. Kalau dicakapi orangtuanya, dia suka ngejek pake
joget-joget ngeluarin lidahnya, padahalkan, kak, gayanya kayak uwak-uwak asik bejoget aja, kayak
orang mabok, ya, kan, Kak. Hahaha...”
5) Ekuilibrasi yaitu kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama periode
ketidakseimbangan. Ekuilibrasi merupakan suatu . Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk
mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi. Pada proses ini
mengintegrasikan faktor-faktor kematangan, pengalaman fisik, pengalaman logika matematika, dan
transmisi sosial dengan pemerolehan bahasa dari lingkungan terdekat anak, menjadi satu pemerolehan
bahasa yang baru dalam tuturan selebgram. Dalam proses kognitif anak usia 11 tahun dalam
mengikuti tuturan selebgram sebenarnya satu sisi memiliki kognitif yang positif karena mampu
mengikuti tuturan yang modern melalui jejaring sosial dunia selebgram, namun di sisi lain ada tuturan
yang negatif turut terinsfirasi dalam tuturan anak usia 11 tahun tersebut. Seharusnya anak usia 11
tahun mendapat pendampingan orang tua dalam mengikuti perkembangan media sosial.

3.3 Solusi Positif untuk Menetralisir Tuturan Negatif Bahasa Selebgram Terhadap Tuturan
Anak Usia 11 Tahun

Fenomena bahasa yang dituturkan anak usia 11 tahun di atas bukanlah satu-satunya yang terjadi.
Ada banyak kasus yang serupa dan mungkin lebih parah di beberapa daerah. Banyak cara yang
diusahakan, supaya anak-anak tetap berada di dalam koridor seusianya. Kecanggihan teknologi dan
temuan para peneliti nyatanya tidak dapat menjamin anak-anak akan tetap berada dalam pengawasan
orangtua.

Kesadaran dalam diri anak-anak haruslah menjadi hal yang utama, karena kesadaran inilah yang
melindungi mereka dari arus globalisasi, serta bahasa yang baru diterima dan mampu memilah-milih
mana yang dapat dipergunakan. Dirasa perlu menawarkan solusi untuk meminimalisir tuturan negatif
yang dituturkan anak usia 11 tahun di atas, yaitu bekerjasama dengan masyarakat, orangtua, rumah
spiritual, dan komunitas motivasi anak muda.

65

Memuji anak-anak yang memiliki tokoh idola, tetapi juga memberi saran untuk memilih tokoh
idola yang dekat dengan agama. Masyarakat setempat juga diajak untuk berperan sebagai pengawas.
Jika menemukan anak-anak yang bertutur kata kasar, tidak sopan, memaki dengan nama-nama hewan,
maka masyarakat yang mendengar wajib memberikan nasihat ataupun langsung melaporkan kepada
pembina Rumah Tahfidz. Nantinya, anak tersebut akan diberi tindakan lanjutan. Pastinya dengan
kedisiplinan yang tidak menciptakan trauma.

3.3.1 Motivasi Diri Melalui Cerita Anak
Pada dasarnya anak usia 11 tahun, berada pada fase memiliki keingintahuan lebih dan disebut

sebagai pencoba, karena terkadang suatu hal bahaya sekalipun ingin dicoba. Termasuk, dalam hal
mengamati konten-konten selebgram yang belum menjadi konsumsi usia mereka.

Melalui cerita dan motivasi serta menanamkan sikap positif pada kognitif anak usia 11 tahun
tersebut akan terpatri dalam otaknya dan akan mengikuti perkembangan kognitif yang positif pula.
Sangat diyakini, rutinitas seperti ini, akan mengikis pengaruh negatif yang sudah lama diperoleh dari
bahasa selebgram yang kemudian dituturkan mereka. Tidak hanya sekadar cerita, ada banyak pesan
moral yang disampaikan. Penanaman nilai-nilai kebaikan, akan menjadi faktor pembentukan dan
perkembangan bahasa dan kognitif anak usia 11 tahun tersebut. Tanpa merasa menggurui, diri kita
jadikan sebagai teman, sahabat yang disenangi.

3.3.2 Pelatihan Kepemimpinan (Leadership)
Seorang pemimpin merupakan sosok penting yang mampu memengaruhi orang-orag yang berada

di sekitar. Pelatihan kepemimpinan dapat dilakukan dengan cara terlibat kerjasama dalam suatu
kegiatan atau aktivitas apapun. Dalam proses kerjasama, terdapat unsur-unsur komunikasi, seperti
diskusi, ide pemikiran dan solusi pemecahan masalah. Jiwa kepemimpinan akan dibentuk sejak usia
dini.

Solusi ini menjadi suatu cara, supaya orangtua yang minim pengetahuan pola asuh, dapat
menirunya di rumah masing-masing. Tentu, ketika melakukan mini riset ini, penulis tidak langsung
berhasil, seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, akan ada kegagalan sebelum
keberhasilan mengubah mereka sesuai perencanaan, tetapi ketekunan, perbaikan, dan keyakinan akan
membawa perubahan besar.

3.3.3 Kesenian dan Olahraga
Olahraga pada hakikatnya adalah miniatur kehidupan. Pernyataan ini mengandung maksud,

bahwa esensi-esensi dasar dari kehidupan manusia dalam keseharian dapat dijumpai pula dalam
olahraga. Olahraga mengajarkan kedisiplinan, jiwa sportif, tidak mudah menyerah, jiwa kompetitif
yang tinggi, semangat bekerjasama, mengerti akan aturan dan berani mengambil keputusan kepada
seseorang.

Tulisan ini tidak hanya menawarkan solusi olahraga saja, kesenian juga ditawarkan. Sangat
diyakini jika anak-anak ini diberi fasilitas dan dukungan moral maupun material, kelak anak-anak ini,
akan menjadi manusia yang menghargai orang lain dan tentunya membawa perubahan besar dalam
hal berkomunikasi dengan bahasa yang santun, karena meskipun aktivitas ini akan dilakukan, nilai-
nilai keagamaan, budi pekerti harus melekat dan menjadi jati diri anak negeri yang mencintai bangsa
dan tanah airnya, khususnya segi bahasa di kanca ternama.

3.3.4 Edukasi Pola Asuh
Usia 11 tahun merupakan usia yang sangat menentukan kepribadian seorang anak. Pada usia ini,

dasar-dasar kepribadian anak akan terbentuk. Anak-anak, juga dapat mengalami salah satu krisis dasar
kepribadian. Jika, mereka mendapat pendidikan yang benar, akan terbentuk dasar-dasar kepribadian
yang kuat. Sebaliknya, jika mendapat pendidikan yang salah, maka akan terbentuk dasar kepribadian
yang tidak baik.

Mengasuh dan mendidik anak, merupakan bagian dari peran orang tua untuk menciptakan
lingkungan sosial yang kondusif. Pola asuh adalah cara pendekatan orang dewasa kepada anak dalam
memberikan bimbingan, pengaruh dan pendidikan, supaya menjadi manusia dewasa yang mandiri
(Santoso, 2004: 125).

66

Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan masyarakat, karena keluarga adalah keluarga
kecil yang memiliki unsur-unsur internal yang sangat eksklusif dibandingkan dengan masyarakat.
Dilihat dari segi sosial, keluarga merupakan satu kesatuan hidup (sistem sosial), dan keluarga
menyediakan situasi belajar. Sebagai sistem sosial, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ikatan
kekeluargaan membantu anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi,
kerjasama, disiplin, tingkah laku yang baik (Hasbullah, 2001: 87).

Dewantara, K. H ( dalam Made, I Lestiawati 2013: 4) berpendapat, keluarga merupakan wadah
pembentukan nilai-nilai, baik nilai sosial, budaya, maupun nilai mentalitas. Pendidikan utama dalam
keluarga memegang peranan yang sangat menonjol, orang tua merupakan model yang ditiru oleh anak.
Keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan sosial.

Santoso (2004: 3) mengungkapkan, terdapat tiga pendekatan yang digunakan oleh orang tua
dalam pengasuhan yaitu pendekatan otoriter, permisive, dan demokratis. Pola asuh yang diterapkan
oleh orang tua menunjukkan pengasuhan yang berbeda-beda, yaitu dengan menggunakan pendekatan
otoriter, permisif dan demokratis. Pola asuh demokratis ditandai oleh komunikasi yang terbuka,
sedangkan pola asuh otoriter, menekankan adanya pembatasan-pembatasan. Orang tua yang otoriter
cenderung berkomunikasi dengan anak melalui perintah. Komunikasi hanya terjadi satu arah sehingga
anak tidak mendapat kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Orang tua otoriter bersandar pada
hukuman (punishment) yang dapat saja menyakitkan, aturan yang ketat, dan tidak memerlukan
pendapat anak untuk mengambil suatu keputusan.
Pola asuh permisif yang serba membolehkan oleh orang tua, sering melakukan pengabaian terhadap
anak, membiarkan anak melakukan keinginannya dan memanjakan anak. Berbeda dengan pola asuh
otoritatif, di pola asuh demokratis orang tua mampu menciptakan komunikasi yang interaktif,
menghargai pendapat anak, aturan-aturan yang dibuat sesuai dengan kesepakatan bersama dan
memberikan bimbingan yang positif.

Ketiga pola asuh yang telah dipaparkan di atas, dirasa lebih setuju jika orang tua menggunakan
pola asuh demokrastis, karena pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan
kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua tipe ini juga bersikap
realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap berlebihan yang melampaui kemampuan anak.
Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu
tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

Keluarga yang menerapkan pola asuh demokratis menerapkan aturan yang jelas, konsisten,
membiarkan anak mengetahui apa yang diharapkan oleh anak, sehingga anak mengetahui bahwa
orang tua cukup memperdulikan kebahagiaan dan kesejahteraan anak. Pola pengasuhan demokratis
didasarkan atas saling menghormati, kerjasama, saling mempercayai, bertanggung jawab bersama,
persamaan sosial. Selain itu adanya kebebasan dan ketertiban, artinya anak bebas memilih sekaligus
menerima konsekuensinya.

Adapun ciri-ciri perlakuan orang tua yang demokratis, yaitu: (1) Sikap kepercayaan dan
kontrol tinggi, (2) Bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, (3) Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat dan pertanyaan, serta (4) Memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan
yang baik dan buruk, Sigelma dan Shaffe (dalam Made, I Lestiawati 2013: 5).
Mengedukasi pola asuh orang tua terhadap anak sangat penting untuk melihat perkembangan
kognitif anak dana perkembnagan pemerolehan Bahasa agar seimbang dan positf

Edukasi pola asuh demokratis akan menjadi solusi menetralisir pemerolehan bahasa negatif
dari selebriti instagram yang diikuti oleh anak-anak selama ini. Mereka merasa kecanduan melihat
konten-konten selebgram, karena sebagai pengalihan dari pola asuh yang tidak benar diterima mereka,
oleh sebab itu, anak-anak merasa menemukan tempat ternyaman untuk merasa bahagia, ramai dan
dapat tertawa. Memberikan dan menanamkan pola asuh terhadap kognitif anak usia 11 tahun dan
orang tua untuk turut mengembangkan sikap positif dan kognitif yang positif pula. bahwa pola asuh
yang selama ini salah, harus diperbaiki.

67

SIMPULAN

Tuturan ilokusi baasa Indonesia anak usia 11 tahun yang terinfirasi dari tuturan selebgram tergambar
dari tuturan asertif, dkrektif dan ekspresif. Tuturan itu ada yang positif , tetapi ada juga yang bernada
negative, seperti mencaci maki teman dan menghardik orang tua sendiri. Anak usia 11 tahun
sebenarnya tidaklah menunjukkan bertutur seperti selegram yang bertutur orang dewasa dan bebas
dari unsur rasa bahasa negatif .

Kognitif Perkembangan Piaged memandang perkembangan pemerolehan bahasa anak usia 11
tahun itu dari dua sisi yang berbeda. Satu sisi adalah perkembangan kognitif anak usia 11 tahun
menunjukkan perkembangan pemerolehan bahasa yang baik, di sisi lain ada kontrol yang minim
terhadap perkembangan pemerolehan bahasa anak jika dilihat tuturan anak meniru tuturan selebgram
yang negatif. Kematangan, pengalamman fisik, pengalaman logika matematika serta ekuilibrasi
kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama periode ketidakseimbangan. Ekuilibrasi
merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan
akomodasi. Pada proses ini mengintegrasikan faktor-faktor kematangan, pengalaman fisik,
pengalaman logika matematika, dan transmisi sosial dengan pemerolehan bahasa dari lingkungan
terdekat anak, menjadi satu pemerolehan bahasa yang baru dalam tuturan selebgram. Dalam proses
kognitif anak usia 11 tahun dalam mengikuti tuturan selebgram sebenarnya satu sisi memiliki kognitif
yang positif karena mampu mengikuti tuturan yang modern melalui jejaring sosial dunia selebgram,
namun di sisi lain ada tuturan yang negatif turut terinsfirasi dalam tuturan anak usia 11 tahun tersebut.
Seharusnya anak usia 11 tahun mendapat pendampingan orang tua dalam mengikuti perkembangan
media sosial .

Solusi positif untuk menetralisir tuturan negatif anak usia 11 tahun dapat diajukan dengan
cara motivasi diri melalui cerita anak, pelatihan kepemimpinan (leadership),Kesenian dan olah raga,
serta edukasi pola asuh positif.

DAFTAR PUSTAKA

Andri Wicaksono, dkk.2015.Teori Pembelajaran Bahasa (Suatu Catatan Singkat).Yogyakarta:
Garudawacha.

Astuti Ruli.2017.Buku Ajar Bahasa Indonesia MI/SD.Sidoarjo, Jawa Timur: Umsida Press.

Budury, Syiddatul, dkk.2020.“Media Sosial dan Kesehatan Jiwa Mahasiswa Selama Pandemi Covid-
19”.Keperawatan Jiwa, 8 (4): 551-553.

Chaer, Abdul. 2003.Psykolinguistic, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2007.Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul.2010.Kesantunan Berbahasa.Jakarta: Rimba Cipta.

Damayanti, D.A.2014. “Tindak Tutur Kiai Mengenai Syarah Penjelasan”.Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Sastra, 11(2): 58-70.

Djatmika.2016.Mengenal Pragmatik Yuk!?.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fallianda.2018.“Kesantunan Berbahasa Pengguna Media Sosial Instagram: Kajian
Sosiopragmatik”.Etnolingual, 2 (1): 35-54.

Fitri, Sulidar.2017.“Dampak Positif dan Negatif Sosial Media Terhadap Perubahan Sosial

Anak”.Jurnal Kajian Penelitian Pendidikan dan Pembelajaran, 1 (2): 118-123.

68

Harsono, Lisa dan Septia Winduwati.2020.“Detox Instagram Pada Self-Esteem Pengguna”.Koneksi, 4
(1): 85-87.

Hasbullah.2001.Dasar-dasar ilmu pendidikan.Jakarta: Rajawali.
Irfan, A.M Taufan Asfar, dkk.2019.“Teori Behaviorisme”. Keilmuan Pendidikan, 1 (2): 1-32.
Istiyanto, S.B.2016.“Telepon Genggam dan Perubahan Sosial Studi Kasus Dampak Negatif Media

Komunikasi dan Informasi Bagi Anak-Anak di
Kelurahan Bobosan Purwokerto Kabupaten Banyumas”. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana

Komunikasi Indonesia,1(2): 58–63.

Jannah, Nur. 2015. “Teori Behaviorisme” (Online). https://www.kompasiana.com/nurjannah. Diakses
Tanggal 12 Maret 2022.

Jumanto.2017.Pragmatik : Dunia Linguistik tak Selebar Daun Kelor edisi 2. Yogyakarta: Morfolingua.

Kamilah, Humaira, Yanto, dan Sapta Sari.2015.“Fenomena Gaya Hidup Ala Selebgram pada
Mahasiswa di Instagram”.Professional FIS UNIVED, 7 (2):

61-72. Kota, BPS Tebing Tinggi.2022.Kota Tebing Tinggi dalam Angka. Tebing Tinggi.BPS
Kota Tebing Tinggi.

Mahsun.2005.Metode Penelitian Bahasa.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Made, I Lestiawati.2013.“ Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kemampuan Sosial Anak

Usia 6-7 Tahun”. Jurnal Ilmiah VISI P2TK PAUDNI, 8 (2): 1-9.

Natsir, Nurasia.2017.“Hubungan Psikolinguistik dalam Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa.
Jurnal Retorika, 10 (1):20-29.

Partana, Paina.2010.“Pola Tindak Tutur Komisif Berjanji Bahasa Jawa.” Jurnal Widyaparwa, 38(1):
80-95. Pembinaan, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.1994.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

Prihatiningsih, Witanti.2017.“Motif Penggunaan Media Sosial Instagram di Kalangan Remaja”.
Communication, 8 (1): 51-65.

Rahardi, K.2005.Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Rani, Abdul, dkk.2006.Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang:
Bayu Media Publishing.

Riadi, Muchlisin.2020.“Tindak Tutur: Pengertian, Fungsi dan Jenis-jenis” (Online).

https://www.kajianpustaka.com/2020/07/tindak-tutur.html. Diakses pada Tanggal 27 September

2022.

Rusminto, Nurlaksana Eko.2012.Analisis Wacana Sebuah Kajian Teoretis dan Praktis.Bandar
lampung: Universitas Lampung.

Santoso, S.2004.Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini: Pendidikan Indonesia

Masa Depan.Jakarta: UNJ Press.

Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi.1987.MetodePenelitian Penyunting. Jakarta: LP3ES.

69

Sudaryanto.1993.Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistik.Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto.2015.Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa:Pengantar Penelitian

Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Sugiyono.2018.Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: CV Alfabeta.

Soraya, Ade.2019.“Pengaruh Instagram Terhadap Gaya Hidup Mahasiswa dalam Menggunakan
Media Sosial” (Skripsi).Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU.

Tarigan, H.G.2015.Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tipa, Ayu Uswatun, Citra Putri Wijayanti, Melinda Puspitasari.2019.“Krisis Kesantunan Berbahasa di
Media Sosial Instagram Sebabkan Fenomena Cyberbullying”(Online).
http://www.seminar.uad.ac.id/index.php/saga/article/viewFile/3306/702. Diakses pada Tanggal
26 Agustus 2021.

Wardhani, IGAK dan Wihardit, Kuswaya.2008.Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas
Terbuka.

Yayuk, Rissari.2016.“Wujud Kesantunan Asertif dan Imperatif dalam Bahasa Banjar”.Jurnal Ranah,
5 (2): 133-141.

Yeni Maulina, dan Elvina Syahrir.2018.“Kajian Psikolinguistik: Pemerolehan Bahasa pada
Anak”.Jurnal Saree, 2 (1):1-10.

Yule, George.2006.Pragmatik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

70

PEMERIAN EMOSI DALAM PANTUN SATU CERMINAN BUDAYA
MASYARAKAT MELAYU

Nordiana Binti Ab Jabar & Suraya Sukri
Fakulti Teknologi Kreatif dan Warisan

Universiti Malaysia Kelantan
[email protected]

1.0 PENGENALAN

Pantun adalah sejenis puisi tradisional masyarakat melayu yang wujud sejak zaman masyarakat
melayu tidak tahu membaca dan menulis lagi. Pantun dicipta sebagai suatu bentuk pengucapan untuk
menyampaikan fikiran dan perasaan terhadap seseorang ataupun mengenai sesuatu perkara di samping
bertujuan untuk menyindir, berjenaka, dan memberi nasihat serta untuk suka-suka. Pantun merupakan
bentuk puisi tradisional yang terdiri daripada empat baris serangkap, empat perkataan sebaris,
mempunyai rima ab,ab dengan beberapa variasi dan pengecualian. Tiap-tiap rangkap terbahagi kepada
dua iaitu rangkap pembayang dan rangkap maksud. Setiap rangkap tidak dapat berdiri sendiri dan
biasanya rangkap-rangkap tersebut memerlukan beberapa rangkap lain untuk melengkapkan
keseluruhan idea.

Umumnya pantun adalah sejenis puisi tradisional yang telah wujud pada zaman dahulu lagi secara
turun-temurun oleh masyarakat Melayu. Mengikut sejarah perkembangan kesusasteraan tradisional
mengatakan bahawa kewujudan pantun semasa masyarakat Melayu tidak tahu membaca dan menulis
lagi. Dengan ini, pantun dicipta sebagai pengucapan kepada golongan masyarakat yang berbentuk
sindiran, nasihat, dan pengajaran. Hal ini dikatakan demikian kerana pantun adalah satu perantaraan
yang diguna pakai oleh masyarakat zaman dahulu dalam menyampaikan sesuatu tanpa menyindir
perasaan atau emosi orang lain dan untuk meluah perasaan yang dialami oleh mereka. Sehubungan itu,
pantun merupakan puisi tradisional yang mempunyai empat baris. Pada baris yang pertama dan kedua
ialah pembayang dan baris yang ketiga dan keempat adalah maksud atau makna yang dibawa dalam
penjelasan pantun. Setiap rangkap tidak mampu untuk berdiri sendiri dan memerlukan penjelasan
pada peringkat yang terakhir bagi melengkapkan keseluruhan idea yang ingin dijelaskan. Selain itu,
pantun mempunyai rima dalam setiap baris iaitu a,b,a,b.

Pada tahun 1989, menurut Harun Mat Piah mendefinisikan pantun adalah berdasarkan eleman
dalaman dan juga luaran ataupun struktur visualnya. Eleman dalaman yang dijelaskan perlulah
mempunyai unsur estetik dan isi iaitu tema dan juga persoalan yang berkaitan dengan makna yang
dibawa. Unsur estetik ini dapat dilihat dalam dua aspek iaitu pertama penggunaan lambang dan juga
simbol yang terdapat dalam pantun yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Melayu mengikut
tanggapan dan pandangan dunia masyarakat Melayu pada zaman dahulu. Kedua ialah hubungan
diantara pasangan pembayang dengan pasangan maksud sama ada konkrit mahupun abstrak. Menurut
Za’ba pula, ialah kaedah yang tertua dan pada awalnya adalah milik kepada masyarakat Melayu.
Beliau menjelaskan sebelum kehadiran surat-menyurat, masyarakat Melayu telah pandai berpantun
dan kebiasaanya mereka sering membalas pantun sesama sendiri.

Sehubungan dengan itu, pantun sememangnya mempunyai unsur keindahan dan nilai estetikanya
yang tersendiri. Hal ini dikatakan demikian kerana setiap daripada bait rangkapnya membawa kepada
keindahan dalam menjelaskan sesuatu penyampaian maksud dan penggunaan nada atau irama yang
sangat indah. Dengan ini, bentuk pantun juga merupakan saluran yang paling berkesan dalam
meyampaikan sesuatu kepada masyarakat. Perkara ini disebabkan penggunaan pemilihan kata secara
halus yang menjadikan pantun mempunyai keunikkannya yang tersendiri. Nilai estetika yang terdapat
dalam pantun juga berupakan satu yang amat berkesan dan berguna untuk disebarkan kepada orang
ramai. Oleh itu, Kebanyakkan simbol dan juga makna yang dalam pantun juga menimbulkan unsur
keindahannya yang tersendiri kerana pantun Melayu klasik sarat dengan estetika yang tinggi.

Pantun melayu Kasih Setia Budi karya Abang Seruji Abang Muhi telah diterbitkan oleh Dewan
Bahasa Dan Pustaka Kuala Lumpur 2015. Merupakan karya yang terbaik dalam bidang puisi
tradisional. Abang Seruji Abang Muhi merupakan penulis puisi yang kaya dengan unsur keindahan
dan nilai moral yang baik untuk masyarakat. Abang seruji Abang Muhi mula menulis puisi setelah

71

mendapat dorongan rakan-rakan sekerja dan memasuki pertandingan menulis pantun pada 2010 di
peringkat negeri Sarawak. Pantun-pantun yang ditulis terdiri daripada pantun budi, pantun
pengacaraan majlis dan pantun keagamaan. Pantun kasih setia budi ditulis sebagai tanda terima kasih
kepada pemimpin Negara yang telah membawa Sarawak ke puncak kejayaan. Abang seruji
menggunakan bahasa yang indah dalam penulisan pantun. Penggunaan bahasa yang baik dapat
menarik perhatian pembaca dalam menghayati maksud sebenar yang ingin disampaikan. Abang Seruji
menulis pantun kasih setia budi ini hasil daripada pengalamannya yang mengendalikan sebuah majlis.
Maka terhasillah pantun pengacaraan majlis yang menunjukkan bahawa bahasa yang terdapat dalam
pantun amat bersopan santun.

Namun begitu, berdasarkan pantun kasih setia budi karya abang Seruji Abang Muhi, kajian
berkenaan rencam emosi dalam pantun melayu dijalankan berdasarkan emosi-emosi yang terdapat
dalam pantun-pantun tersebut. Terdapat pelbagai emosi yang tersirat dalam pantun kasih setia budi
karya Abang Seruji Abang Muhi yang jelas memaparkan emosi-emosi di dalam pantun terbitannya.
Antara emosi yang terdapat dalam pantun ialah emosi gembira, sedih, dan sebagainya.

Perkataan emosi berasal daripada bahasa Latin iaitu emovere membawa maksud keluar atau
bergerak. Dalam hal ini bergerak membawa maksud kecenderungan bertindak kepada perkara yang
sebenar. Manakala OSHO (2008) menyatakan emosi berasal dari kata motions yang membawakan
maksud tidak pernah diam dan kekal. Dahlia (2016) memetik bahawa Emosi jarang diungkap melalui
kata-kata, namun lebih sering diungkap melalui isyarat. Kunci untuk memahami perasaan orang lain
adalah mampu membaca simbol nonverbal, yang meliputi nada bicara, gerak-geri, ekspresi wajah dan
sebagainya (Goleman, 1995). Ahli psikologi memfokuskan tiga komponen utama dalam emosi: (1)
perubahan fisiologis pada wajah, otak, dan tubuh, (2) proses kognitif seperti interpretasi suatu
peristiwa dan (3) pengaruh budaya yang membentuk pengalaman dan ekspresi emosi. Goleman (1995)
memaparkan bahawa manusia telah memiliki dasar-dasar emosi atau telah memiliki emosi primer
semenjak mereka dilahirkan.

Kajian yang akan dijalankan mengunakan pendekatan psikologi kebudayaan yang mengkaji emosi
yang terdapat dalam rangkap pantun yang mengunakan simbol-simbol tertentu yang melambangkan
sesuatu perkara. Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori
komunikasi. Dalam era globalisasi hari ini, interaksi manusia semakin berpecah-belah merentasi
ruang dan masa termasuk agama. Interaksi antara manusia dan pelbagai latar belakang budaya
menggalakkan pembuat dasar untuk membangunkan pengetahuan asas yang boleh digunakan untuk
lebih memahami orang yang mempunyai latar belakang.

2.0 PERNYATAAN MASALAH
Permasalahan yang wujud disini ialah proses rencam emosi dalam pantun ini mampu memberi
nilai moral kepada masyarakat. kajian ini bertujuan melihat emosi yang terdapat di dalam pantun
melayu yang ingin disampaikan oleh pengarang. Emosi-emosi yang terdapat dalam pantun mampu
memberi kesan yang baik kepada pembaca. Kajian dijalankan ini adalah berdasarkan pernyataan
masalah yang wujud. Namun begitu, dalam pantun kasih setia budi, kajian dilakukan terhadap pantun
budi oleh Abang Seruji Abang Muhi. Pantun ini menjelaskan nilai moral yang perlu dijadikan
pengajaran dalam kehidupan bermasyarakat. Pelbagai emosi yang dapat dicontohi dan citra
masyarakat yang terdapat dalam pantun setia budi mampu membentuk masyarakat yang baik dan
harmoni.
3.0 OBJEKTIF KAJIAN

Objektif yang terdapat dalam kajian ini ialah:
i. Menjelaskan pemikiran pengarang dalam memaparkan simbol emosi dalam Pantun Kasih
Setia Budi.
ii. Mengenalpasti emosi-emosi masyarakat dalam memberi kesan positif kepada pembaca.
iii. Menganalisis kesan emosi yang digunakan dalam pantun kepada masyarakat.

4.0 METODOLOGI KAJIAN

Kaedah kajian yang diguna pakai dalam kajian ini berdasarkan konsep kualitatif iaitu mengkaji
rencam emosi dalam Pantun Melayu Kasih Setia Budi. Seterusnya, pengkaji menggunakan kaedah

72

perpustakaan, pemerhatian, dan analisis dokumen bagi menyorot kajian-kajian lalu daripada sumber
buku, kajian ilmiah, artikel dan jurnal bagi memperoleh pandangan yang menyeluruh mengenai kajian
yang dikaji.

Kaedah kualitatif merupakan kaedah yang bertujuan mengenal pasti sesuatu kajian dan cara dalam
pengumpulan data. Kaedah ini dapat memberi kemudahan kepada pengkaji dalam mencari bahan-
bahan atau maklumat. Pendekatan kualitatif adalah penyelidikan yang menggunakan analisis data bagi
menyelidik ciri-ciri yang ada dalam sesuatu kajian. Ia juga adalah koleksi, analisis dan tafsiran cerita
komprehensif dan data visual untuk mendapatkan gambaran tentang suatu fenomena tertentu
menggunakan kaedah-kaedah kajian kualitatif didasarkan kepercayaan yang berlainan dan direka
bentuk untuk tujuan daripada kaedah-kaedah kajian kualitatif. Kajian ini juga berbentuk deskriptif dan
bertujuan menganalisis Pantun Melayu Kasih Setia Budi.

Kajian ini menfokuskan kepada teori simbolik dibawah pendekatan semiotik. Dalam semiotik
terdapat tokoh iaitu Ferdinand De Saussure dan Chares Wiiam Morris.Teori ini mengkaji berkenaan
makna kata „Tanda”. Dengan mengunakan teori ini mampu melengkapkan kajian pengkaji dengan
lebih efisyen dan sempurna.

Sanoda Anak Anyal ,2007:1 . Semiotik merupakan pengenalan yang penting dan berkesan untuk
memulakan suatu pengenalan pada teori dan teater. Menurut Fortier M (1997) dalam buku Theory
/Theatre an Introduction, menyatakan bahawa dalam mengkaji teori semiotik sekurangkurangnya dua
perkara yang harus diberi perhatian. Pertama adalah pemahaman mengenai tanda dan makna. Dalam
pemahaman mengenai tanda dan makna penekanan pada linguistik atau bahasa harus ditekankan.
Perkara kedua adalah disebabkan oleh penekanan terhadap bahasa dan perlambangan keatas aktiviti
yang lebih menonjol. Perwatakan adalah salah satu contoh yang boleh menjadi tanda yang akan
membawa makna melalui bahasa dan aktiviti yang dilakukan. Fortier. M (1997) juga menyatakan
bahawa, semiotik atau semiologi juga merupakan salah satu kajian terhadap tanda yang merangkumi
perkataan, imej dan kelakuan. Kebanyakan kajian terhadap semiotik pada kurun ke-20 meminjam dan
merujuk kepada prinsip yang dipegang oleh Ferdinan de Saussure iaitu berkaitan definisi yang beliau
buat terhadap sistem tanda.

Bagi Saussure, beliau mendefinisikan tanda sebagai mempunyai dua bahagian. Pertama adalah
pelambang (signifier) iaitu yang merupakan fenomena yang membolehkan kita melihat material
tersebut. Manakala yang kedua adalah yang dilambang (signified) yang merupakan konsep yang
digunakan oleh pelambangan tadi. Namun begitu kedua – dua bahagian ini adalah saling berkaitan
diantara satu dengan yang lain.

Pendapat Saussure yang telah diterangkan oleh Fortier . M (1997) juga turut diperakui oleh
Raman Selden melalui penulisan bukunya yang bertajuk “Panduan Pembaca Teori Kesusasteraan
Sezaman” yang diterjemahkan oleh Umar Junus (1989). Melalui penulisan tersebut, Selden
menyatakan bahawa Saussure telah menyangkal idea yang menyatakan bahawa bahasa adalah satu
kumpulan kata yang telah dikumpulkan sepanjang masa dan berfungsi untuk merujuk kepada benda
dalam dunia. Beliau juga menyatakan bahawa Saussure tidak bersetuju dengan pendapat tersebut.

Berdasarkan pendapat Selden (1989) lagi, Saussure juga menyatakan bahawa „kata‟ adalah bukan
simbol yang merujuk kepada rujukan, tetapi adalah „tanda‟ yang terdiri daripada dua bahagian.
Bahagian tersebut adalah merupakan „bentuk‟ iaitu tanda yang tertulis atau diucapkan, dinamakan
sebagai penanda (signifier). Manakala konsep adalah yang „difikirkan‟ apabila „bentuk‟ diucapkan
dan dikenali sebagai yang dilambangkan (signified).

5.0 DAPATAN KAJIAN DAN PERBINCANGAN

5.1 Emosi Sedih

Dalam karya sastera, makna simbol itu tersembunyi di sebalik kata atau pengungkapan yang juga
disebut sebagai pengungkapan secara tersirat. Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain
di luar kewujudan bentuk simbolik itu sendiri. Dalam bahasa komunikasi simbol biasanya diistilahkan
dengan lambang yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan
masyarakat. Perlambangan meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal, dan objek yang
maknanya disepakati bersama-sama dalam masyarakat. Simbol menekankan pada kesepakatan,

73

kebiasaan atau konvensi masyarakat yang melandasi hubungan arbitrari antara penanda dan petanda.
Tanda simbolik sepenuhnya berdasarkan kepada kesepakatan masyarakat. Masyarakat dalam lingkup
yang berbeza memahami tanda dengan makna yang berbeza. Simbol adalah ungkapan “tanda” suatu
objek berdasarkan konsep tertentu, biasanya asosiasi terhadap suatu gagasan umum. Contohnya
mengangguk yang bererti setuju atau mengiakan, menggeleng bererti tidak, tidak terdapat hubungan
dengan erti yang dimaksudkan.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahawa dalam fikiran individu, kata-kata dikeluarkan
menggunakan bahasa yang biasa namun rapat dengan persekitarannya. Dengan demikian, kebolehan
untuk mengeluarkan sesuatu kata dalam bentuk simbol dan kiasan merupakan kebiasaan dalam
masyarakat. Tatiana A. Denisova (2011: 90) menyatakan pendapatnya tentang orang Melayu dari
zaman dahulu memang mempunyai kebijaksanaan. Beliau membuktikan bahawa ada pengarang
chronicle memasukkan suatu cerita ajaib atau mitos dalam karyanya. Perkara ini dapat dilihat
berdasarkan contoh di bawah :

Buah langsat kuning mencelah,
Keduduk tidak berbunga lagi,
Sudah dapat gading bertuah,
Tanduk tidak berguna lagi.

(Muhammad Idris.2013.Universiti Utara Malaysia

Pantun ini menyatakan kepada yang ditujukan tentang rasa kesal, kecewa dan duka cita. Jelas di
sini bahawa pantun menyembunyikan maksud atau perasaan dengan penyusunan kata-kata yang indah.
Si penutur pantun mungkin mengharapkan agar dia dapat dihargai dan tidak dilupakan begitu saja
dengan kehadiran orang baru. Didalam penulisan pantun melayu, pelbagai cara pemikiran yang
terdapat dalam penulisan yang mengandungi pelbagai mesej, nilai,emosi dan sebagainya. Dalam
kajian ini, beberapa jenis pantun melayu telah diteliti dan dalam penilitian ini mendapati bahawa
terdapat pelbagai gaya pemikiran yang menonjolkan pelbagai emosi samaada terdapat dibahagian
pembayang ataupun dibahagian maksud.

Menerusi pantun nasihat terdapat emosi sedih yang berfungsi untuk memberi kesedaran kepoada
pembaca dan masyarakat agar tidak melakukan perkara yang memudaratkan serta menghindari sikap
buruk di dalam diri setiap manusia. Pemikiran yang terdapat dalam pantun nasihat melambangkan
emosi sedih yang berbentuk nasihat dan untuk tujuan memberi pesanan atau sebagainya. Emosi yang
bersesuaian dalam pembentukan sesebuah pantun mampu memastikan pemikiran yang terdapat dalam
pantun dapat dicapai dengan baik. kajian Nik Rafidah Nik Muhammad Affandi ialah mengenai kajian
pembentukan emosi kanak-kanak melalui bahan bacaan sastera yang dikaji . Emosi adalah suatu yang
wajar hadir dalam kehidupan manusia kerana tanpa emosi hidup seseorang akan menjadi kosong dan
membosankan. Perasaan gembira atau sedih, suka atau duka, marah atau saying ,berani atau takut, dan
pelbagai perasaan yang wujud dalam diri manusia akan mempengaruhi tindakan,persepsi dan aktiviti
kehidupan seharian.

5.2 Emosi Gembira

Gembira atau bahagia adalah suatu emosi yang digambarkan oleh setiap individu sekiranya hidup
dalam ketenangan tanpa ada masalah serta tanpa adalah sengketa sesama sendiri. Emosi gembira
sering kali diselitkan di dalam penggunaan pantun dan penciptaan pantun. Hal ini kerana, emosi
gembira yang ingin disampaikan sehingga mampu mengubah serangkap atau lebih kata-kata yang
puitis. Emosi bahagia yang terdapat di dalam pantun mampu mempengaruhi golongan pembaca
dengan memberi kata-kata yang mampu memberi kebahagiaan. Emosi bahagia atau gembira yang
diselitkan di dalam pantun akan disertakan dengan pembayang yang menggunakan perlambangan
dalam sesuatu objek yang ingin disampaikan. Hal ini kerana, perlambangan yang diberikan mampu
memastikan pengkarya mahupun pembaca berfikir sendiri dengan persamaan perlambangan objek
tersebut dengan kehidupan seharian. Penggunaan unsur flora dan fauna seperti bunga tersenyum,
angina berlari mampu memberi maksud perlambangan yang sesuai dengan suasana yang ingin

74

disampaikan Antara contoh pantun emosi gembira yang menggunakan perlambangan semiotik pada
maksud mahupun pembayang:

Apa digulai orang di ladang,
Pucuk kacang bersela2,
Apa untung anak dagang,
Hari petang tangga berhela.

Kalau nak tahu rumpun padi,
Lihatlah rumput di permatang,
Kalu nak tahu diuntung kami,
Lihatlah laut petang-petang.

(Zainal Abidin Bakar.DBP.1984)

Pantun di atas dipetik dari Kumpulan Pantun Melayu susunan pantun yang dikategorikan sebagai
pantun percintaan ini mempunyai maksud dan kisah yang jelas mengenai seseorang yang merindu
kekasihnya pada waktu petang. Kisah percintaan, perpisahan dan rindu-rinduan seperti ini memang
banyak terdapat di dalam pantun Melayu. Tetapi soalnya mengapa perasaan rindu itu semakin hebat
dirasai pada hari petang hingga ke tahap petang-petang hancur hati. Pantun ini adalah salah satu
pantun yang memperlihatkan hubungan waktu atau peralihan hari dengan emosi manusia.
Mengapakah emosi seseorang terusik pada waktu petang? Ini mungkin akibat dari dua faktor. Pertama,
pada waktu petang lazimnya orang akan duduk berehat setelah penat bekerja di sebelah pagi. Di
dalam keadaan sibuk bekerja biasanya kita melupakan hal lain atau sebarang masalah yang mungkin
dihadapi. Tetapi apabila tidak membuat apa-apa, pelbagai perkara mula memenuhi ruang fikiran. Di
sinilah datangnya kenangan dan rasa rindu kepada orang yang dikasihi.

Ke dua pada waktu petang matahari tidak lagi terang benderang. Mata hari yang cerah
dianggap sebagai keadaan cuaca yang baik dan diasosiasikan dengan suasana ceria. Kecerahan atau
keceriaan ini menghilang pada waktu petang. Hari semakin redup dikaitkan dengan kemuraman dan
kesedihan. Dalam hubungan yang sama kita melihat bagaimana teknik penataan cahaya digunakan di
dalam pementasan teater untuk membina suasana gembira atau sedih. Oleh itu tidak hairanlah jika
orang yang berjauhan dengan kekasih merasa amat rindu apabila hari petang. Pencipta pantun sering
menggunakan peralihan hari bagi menggambarkan perasaan selain petang, waktu pagi, tengah hari,
senja dan malam juga digunakan bagi membawa pengertian tertentu. Berkait rapat dengan waktu atau
peralihan hari ialah keadaan cuaca dan pertukaran musim.

Selain itu,pemikiran yang terdapat dalam pantun pengacaraan pula berbeza daripada pantun
nasihat yang menerapkan emosi gembira. Emosi gembira dalam pantun pengacaraaan majlis bertujuan
untuk menarik para tetamu mendengar dan terhibur dalam menghadiri sesebuah majlis. Pemikiran
yang terdapat dalam pantun pengacaraan majlis memberi kesan terhadap pendengar dan tujuan untuk
menghiburkan tetamu dan undangan yang berkongsi kegembiraan meraikan sesebuah majlis. Simbol-
simbol emosi didalam setiap jenis pantun adalah amat penting bagi menyesuaikan suasana dan tempat
yang ditetapkan. Pemikiran pengarang dalam membentuk beberapa jenis pantun adalah bergantung
kepada isu yang disampaikan serta kesesuaian suasana. Kegembiraan yang dipaparkan didalam
pantun seperti “ kicauan burung” atau “senyuman matahari” memberi emosi positif kepada
pendengar . walaupun ayat yang digunakan adalah tidak logik namun pengunaan gaya bahasa
metafora yang memberi pewrlambangan terhadap sesuatu perkara termasuk emosi mampu menyentuh
hati para pendengar serta pembaca.

5.3 Emosi Marah

Menurut psikologi, terdapat beberapa rumusan tentang marah antaranya ialah marah itu
merupakan perubahan dalam diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam demi
menghilangkan gemuruh di dalam dada sehingga mereka berkata dalam definisinya kemarahan yang
teramat sangat. Ada beberapa pengertian marah yang diutarakan pakar misalnya menurut C.P. Chaplin,

75

Anger (marah, murka, berang, gusar; kemarahan, kemurkaan, keberangan, kegusaran) adalah reaksi
emosional takut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi
lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat
pada sistem saraf otonomik, khususnya oleh reaksi darurat pada bahagian simpati; dan secara implisit
disebabkan oleh reaksi serangan lahiriah, baik yang bersifat verbal atau lisan. Antara contoh pantun
yang terdapat emosi marah serta diberi perlambangan kepada sesuatu objek dapat dilihat pada pantun
di bawah:

Petik buah kelapa muda
Hendak dijual kepada peniaga
Kalau sikap gedik mengada
Jangan berangan jadi pekerja

Pak Pandir cetek akalnya
Tapi lagak pandai semua
Baik memang biar berpada
Binasa jika dipijak kepala

(Muhammad Idris.2013.Universiti Utara Malaysia)

Berdasarkan pantun di atas dapat dirumuskan bahawa pelbagai maksud yang dapat dirungkai pada
pembayang dan maksud pantun yang bertujuan memberi tuju kepada sesuatu. Pantun rangkap pertama
berkenaan teguran dalam perlakuan yang akan dibenci sekiranya berlebih-lebihan. Pengkarya
mengkritik perlakuan individu yang perlu menjaga adab sekiranya melakukan sesuatu pekerjaan.
Disini dapat dilihat bahawa perlakuan yang ditonjolkan melambangkan keperibadian seseorang.
Perlambangan kepada peniaga dan pekerja menunjukkan bahawa adab dalam urusan jual beli yang
keterlaluan dalam memujuk urusan jual beli serta amalan pekerja yang tidak menjaga adab dalam
pekerjaan perniagaan. Perlambangan yang disesuaikan pada pantun akan menarik minat pembaca
untuk menganalisis serta memahami isi tersirat yang ingin disampaikan.

5.4 Emosi Menyindir

Definisi sindiran ialah membawa maksud perkataan yang diucapkan untuk mengata atau
mengejek orang dengan cara tidak terus terang. Masyarakat melayu mempunyai kebijaksanaan dalam
menggunakan pantun peribahasa sebagai alat untuk memberi pengetahuan yang berkesan kepada
pembaca dalam pelbagai aspek. Pantun peribahasa sebagai alat menyindir merupakan antara salah
satu bukti kebijaksanaan masyarakat melayu dalam menggunakan pantun untuk menyindir serta
memberi pengajaran yang baik kepada masyarakat supaya masyarakat sedar tentang kesalahan serta
kesilapan yang dilakukan. Pengkarya juga dilihat memberi simbol kepada suasana dan kata tersirat
pada pembayang bagi memastikan nahasnya dalam teguran supaya sentiasa dijaga agar tidak
mengguris hati sesiapa. Selain itu, kelebihan sindiran menggunakan pantun juga adalah dapat
memastikan pengkarya berkarya dalam memberi sindiran dengan cara yang halus. Antara contoh
pantun sindiran melayu karya Azman Hamza, 2010 yang menghasilkan pantun-pantun sindiran
dengan menggunakan pelbagai tema menarik adalah seperti di bawah:

Jika dilurut padi masak,
Jatuh ke tanah berderai-derai;
Jika takut dilambung ombak,
Jangan berumah ditepi pantai.

(Azman Hamzah,2010: 5)

Berdasarkan pantun di atas dapat dilihat bahawa teguran dan nasihat yang disampaikan dengan
beradab tanpa menggunakan bahasa-bahasa yang kesat. Maksud pantun di atas ialah jika tidak berani
menghadapi risiko pada hari mendatang, haruslah mengelak daripada melakukan sesuatu perbuatan.
Hal ini kerana sekiranya risiko yang diambil pada awalnya tidak mampu mengubah kejadian yang

76

bakal berlaku. Ombak dan pantai menjadi objek perlambangan kepada maksud sebenar yang ingin
disampaikan. Namun, walaupun menggunakan perlambangan pembaca dan pengkarya mampu
berfikir sendiri maksud yang ingin disampaikan tanpa perlu menganalisis dengan teliti. Teori semiotik
yang terdapat dalam pantun sindiran ini dapat dilihat dari segi penggunaan bahasa, suasana, objek
perlambangan dan sebagainya.Maka jelaslah, melalui pantun sindiran ini, perlambangan kata bagi
sesuatu objek yang diselitkan pada rangkap pantun sama ada pembayang mahupun maksudnya sendiri
mampu memastikan nasihat, teguran serta pengajaran dapat disampaikan dengan baik dan bermanfaat.

Pemikiran yang seterusnya yang terdapat simbol emosi dalam pantun melayu ialah emosi
menyindir iaitu yang terdapat didalam pantun pak pandir yang mengisahkan berkenaan kebodohan
orang melayu dahulu yang tidak berfikir terhadap masa depan. Dalam pantun ini,pemikiran yang
disampaikan oleh pengarang dengan mengunakan kata sindiran yang mengandungi emosi menyindir
seperti “ malang pak pandir” pada setiap rangkap bagi menekankan emosi menyindir. Terdapat
pelbagai kata perlambangan yang membawa maksud tertentu dengan cara berlapik.pemikiran
pengarang dalam menerapkan emosi dalam setiap jenis pantun adalah bertujuan untuk memastikan
penyampaian yang disampaikan dapat difahami oleh pembaca dan pendengar. Perlambangan ayat
yang terbalik seperti “seperti kayu”, pengunaan bahasa kiasan banyak terdapat dalam pantun
menyindir. Seperti kayu memberi perlambangan emosi seorang yang tidak cerdik dan menurut sahaja
apa yang dipinta diberi perlambangan sebagai kayu yang tidak mempunyai perasaan walaupun
dipatah-patahkan ataupun dibaling.

Menurut Riana Puji Lestari(2011) dalam tesis beliau yang bertajuk Pengaruh Kecerdasan Emosi
Dan Perilaku Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman dari Universitas Trisakti ,Indonesia. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kecerdasan emosi dan perilaku belajar terhadap tingkat
pemahaman perakaunan . kecerdasan emosi diukur dengan lima dimensi iaitu pengenalan diri,
pengendalian diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.

5.5 Emosi Malu

Definisi malu adalah Bersinonim dengan segan, aib, silu, bera, canggung, janggal. Malu adalah
sesuatu personaliti yang tidak berani atau sebagainya. Malu dalam Islam amat dititikberatkan pada
golongan wanita. Sifat malu merupakan benteng diri dari melakukan sesuatu perkara yang mampu
merosakkan diri dan keperibadian. Malu adalah satu perasaan negatif yang timbul dalam diri
seseorang akibat daripada kesedaran diri mengenai perlakuan tidak senonoh yang dilakukan oleh
dirinya sendiri. Setiap orang yang normal mempunyai perasaan malu. Tetapi setiap masyarakat
mempunyai pandangan yang berbeza mengenai malu. Sehubungan itu, pendapat mengenai apa yang
dimaksudkan malu, apa yang mendatangkan malu serta tindakan yang harus untuk mengatasi perasaan
malu berbeza-beza dari satu masyarakat ke satu masyarakat yang lain. Ini adalah kerana dalam konsep
malu dan segan ini sebenarnya terkandung satu sistem nilai dan kepercayaan sesebuah masyarakat itu.
Dari segi kehidupan bermasyarakat, perasaan malu itu berkaitan dengan maruah, harga diri dan air
mukanya seseorang. Orang yang beroleh malu bermaksud bahawa maruah, harga diri dan air mukanya
telah tercemar. Dalam keadaan ini, kedudukan sosialnya telah terjejas dan menjadi rendah.
Ketercemaran ini berpunca daripada perlakuannya sendiri dan juga disebabkan oleh tekanan sosial.

Malu dianggap sebagai tanda harga diri kerana dikatakan seseorang itu dapat merasai maruah
dan harga dirinya apabila beliau mempunyai perasaan malu. Sehubungan itu, malu merupakan sesuatu
yang sihat bagi orang yang bermaruah kerana perasaan ini sebenarnya dapat mendorong seseorang
untuk menjaga maruah dan harga diri. Bagi mereka yang tidak mempunyai perasaan malu, mereka
lazimnya dianggap orang yang tidak tahu harga diri. Pemerian untuk mereka ini ialah “Tidak tahu
malu” dan “muka tebal”. Orang yang tidak tahu malu biasanya merupakan kejian orang ramai dalam
masyarakat Melayu. Perasaan malu sebagaimana yang dikaitkan dengan maruah, dan harga diri amat
penting dipupuk kepada anggota-anggota masyarakat. Dengan memberi kesedaran mengenai perasaan
malu yang ada pada diri seseorang itu boleh menjadi penghalang atau benteng yang penting untuk
anggota masyarakat agar tidak melakukan sesuatu yang dianggap menyeleweng. Daripada itu malu
boleh dikaitkan dengan fungsi kawalan sosial seperti apa yang akan dibincangkan di bawah:
Contohnya ialah :

77

Begini baju begitu baju,
Baju saya panjang lima,
Begini malu begitu malu,
Apa yang tiba saya terima.

(Azman Hamzah,2010: 5)

Berdasarkan pantun di atas dapat dilihat dari segi perlambangan yang diberikan kepada objek baju
dan malu. Baju yang terdapat pada pembayang dibaris pertama dan ke dua contohnya Begini baju
begitu baju, Baju saya panjang lima memberi maksud perlambangan kepada malu yang dapat dilihat
pada baris tiga dan empat di bahagian maksud. Persamaan perlambangan dapat dilihat sengaja
diselitkan oleh pengkarya agar pembaca dan pendengar pantun dapat berfikir sejenak dengan
persamaan yang diberikan kepada kedua-dua objek tersebut. Emosi malu yang perlu ada dalam setiap
individu haruslah diamalkan bagi memastikan kehidupan sentiasa berada dalam keadaan selamat dan
terjamin serta maruah dan harga diri juga dapat dipelihara dengan sebaik mungkin. Pemikiran
pengarang mengenai simbol emosi malu dalam pantun melayu dapat dilihat pada pantun
merisik,meminang dan sebagainya. Emosi malu,segan dan menghormati terdapat dalam pantun yang
disampaikan oleh pengarang bertujuan perkara tertentu. Pemikiran yang terdapat dalam pantun
tersebut adalah untuk mengambarkan rasa hormat dan rendah diri bagi mendapatkan sesuatu dengan
cara meminta izin empunya badan. Pengunaan bahasa yang digariskan oleh pengarang dalam pantun
merisik adalah sopan dan baik. Perlambangan seperti kumbang,menyunting bunga dan sebagainya
adalah perlambangan bagi niat yang ingin disampaikan tanpa diluahkan secara terus. Emosi yang
sopan melambangkan budi bahasa yang tinggi yang menyanjung adat istiadat melayu yang
mementingkan kesopanan serta berbudi bahasa. Tema yang bersesuaian mengikut tujuan pantun yang
disampaikan adalah penting mengikut suasana dan tempat yang ingin dituju.

5.6 Emosi Kasih Sayang ( nasihat )

Definisi kasih sayang ialah suatu sikap saling menghormati dan mengasihi semua ciptaan Tuhan
baik makhluk hidup mahupun benda mati seperti menyayangi diri sendiri berlandaskan hati nurani
yang luhur. Kita sebagai warga negara yang baik sudah sepatutnya saling memupuk rasa kasih
sayang terhadap orang lain tanpa membezakan saudara , suku, ras, golongan, warna kulit, kedudukan
sosial, jenis kelamin, dan tua atau muda. Keluarga adalah sebagai suatu kesatuan dan pergaulan yang
paling awal. Sebagai satu kesatuan merupakan gabungan dari beberapa orang yang ditandai oleh
hubungan genelogis dan psikologi yang saling ketergantungan dengan karakteristiknya yang berbeza.
Jadi keluarga menggambarkan ikatan atau hubungan di antara anggota keluarganya yang diikat
dengan berbagai sistem nilai.

Kasih sayang merupakan satu perasaan yang boleh dirasai dari hati ke hati sesama insan yang
telah dianugerahkan oleh Allah S.W.T. Hal ini dikatakan demikian kerana kasih sayang adalah
perasaan yang hadir dalam diri seseorang terutamanya kasih sayang ibu dan bapa kepada anak-
anaknya. Kasih sayang juga ialah nilai estetika yang dapat dilihat dari konteks yang sangat besar
kerana perasaan seperti ini tidak mampu wujud dalam keadaan yang saling dan tidak mengenali antara
satu sma lain selain daripada kasih sayang yang kekal abadi iaitu Allah S.W.T., nabi dan juga kedua
ibu dan bapanya. Berdasarkan pantun yang menggunakan nilai estetika iaitu kasih sayang antaranya
ialah “tanam halia di tepi kubang, kawasan semak menangkap landak, ibu yang mulia selalu bimbang,
takut anak menyalahi kehendak”. Pantun ini merupakan salah satu contoh pantun yang mempunyai
nilai kasih sayang di antara seorang ibu kepada anaknya yang terdapat dalam pantun yang bertemakan
satu keluarga satu syurga karya Jusoh Ahmad. Nilai estetika dapat dilihat dengan sikap ibu yang
sering mengkhuatiri akan kehidupan anaknya apabila melakukan sesuatu kesalahan yang boleh
memakan diri. Hal ini juga dikatakan demikian kerana kasih sayang ibu yang sangat berkualiti dan
tidak mampu untuk menandingi perasaan dari pada seorang ibu. Jadi, keperibadian ibu kepada
anaknya merupakan sesutau perkara yang abadi hingga akhir hayat.

Keluarga dalam bentuk apa pun pada hakikatnya merupakan persekutuan hidup, dalam kedudukan
inilah lahir berbagai fungsi keluarga. Keluarga merupakan bahagian daripada kelompok kecil yang

78

terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang merupakan sebahagian dari masyarakat dan bangsa, oleh karena
itu kekuatan suatu negara berdasarkan kepada kekuatan keluarga.

Rumah kecil tiang seribu,
Rumah besar tiang sebatang,
Kecil-kecil ditimang ibu,
sudah besar ditimang gelombang

(Azman Hamzah,2010:33)

Secara keseluruhannya laut digunakan di dalam pantun untuk menyampaikan pemikiran ,
memberi nasihat dan pedoman hidup. Dalam pantun ini akan terdapat gambaran laut sebagai simbol
perjalanan hidup manusia. Menempuh hidup disamakan dengan mendayung perahu atau melayari
bahtera di lautan. Manusia akan menempuh pelbagai peristiwa, suka dan duka, bahagia dan sengsara
umpama pelbagai perkara yang ditemui di dalam pelayaran. Cabaran dan dugaan yang dilalui
digambarkan sebagai ombak, gelombang, badai dan batu karang yang mengganggu perjalanan. Setiap
orang perlu berhati-hati di dalam hidupnya seperti mana seorang pelaut mesti berhati-hati di tengah
lautan. Kehidupan yang hancur disamakan dengan kapal yang karam. Laut adalah cabaran yang mesti
ditempuh oleh seorang yang telah dewasa seperti mana yang dinyatakan di dalam pantun ini.

Pemikiran yang terdapat dalam pantun kasih sayang adalah untuk memaparkan rasa kasih dan
sayang melalui pengunaan pantun.Emosi kecintaan dapat dilihat dalam pantun kasih sayang.
Pengarang menyampaikan dengan bahasa yang mendayu-dayu serta meraih perhatian yang mampu
menarik perhatian pembaca. Pengunaan bahasa cinta seperti “ korban cinta” “lautan api” mudah
didapati dalam pantun kasih sayang. Tujuan pengarang akan lebih jelas dengan pengunaan bahasa-
bahasa romantiK yang bersesuaian dengan tema pantun itu sendiri. Namun begitu, pantun kasih
sayang mempunyai pelbagai cabang iaitu kasih sayang sesama manusia,kasih sayang kepada Negara,
sekolah dan sebagainya. Penyesuaian subjek dititiberatkan pengarang agar maksud dan emosi yang
disampaikan terus dihayati oleh pembaca.

6.0 Kesan Emosi kepada Khalayak

6.1 Individu

Di dalam penulisan pantun, terdapat beberapa emosi yang mempengaruhi tema dalam setiap puisi.
Kesan emosi dalam pantun memberi kesan kepada individu yang mendalami dan menghayati
sesebuah pantun yang dibaca. Antara kesan emosi kepada individu adalah melalui pengajaran dan
nilai murni yang disampaikan mampu memberi landasan yang baik kepada pembaca. Kesan yang
dapat dilihat melalui emosi kepada individu yang pertama ialah dari segi dalaman, iaitu cara
penerimaan individu itu sendiri. Penyampaian yang disampaikan adalah sama namun kefahaman
individu adalah berbeza. Sekiranya sesorang itu mempunyai hati yang lembut serta mengetahui
bahasa sastera yang kaya dengan maksud tersirat mereka mampu merasai emosi pengarang yang ingin
menyampaikan maklumat atau nasihat yang terdapat didalam pantun itu sendiri.

Kata-kata yang baik dan merayu mampu menjadikan individu akan lebih tertarik dengan pantun
dan mengubah gaya hidup mereka ke arah yang lebih baik. Selain itu,kesan emosi kepada individu
juga dapat dilihat dari segi luaran iaitu individu itu sendiri mengubah gaya hidup serta cara
berkomunikasi. Terdapat pelbagai emosi menarik di dalam pantun antaranya emosi gembira yang
terdapat dalam pantun pengacaraan majlis. Menerusi pantun pengacaraan majlis,terdapat emosi yang
mampu membuat pengacara dan penonton sendiri berasa gembira dengan kata-kata aluan yang baik
diselitkan serta puji-pujian yang mampu mengelikan hati penonton dan tetamu majlis. Ayat gurau
senda yang terdapat didalam pantun pengacaraan majlis mampu menghadirkan emosi gembira
terhadap tetamu yang hadir. Emosi dalam pantun diterapkan adalah berfungsi untuk menghiburkan
dan memastikan pembaca mampu menghayati dan mendalami penyampaian yang ingin disampaikan
selain untuk menghiburkan pembaca dan pendengar. Antara contoh pantun pengacaraan majlis ialah:

79

Bukan kacang sebarang kacang,
Kacang melilit di pohon turi,
Bukan datang sebarang datang,
Datang menyambut tuan bestari.

Lafaz bismillah awal bicara,
Mudah-mudahan majlis berseri,
Dihari indah kita bersua,
Semoga ikatan kekal abadi.

(Abang Seruji Abang Muhi,2015)

Pantun di atas menunjukkan bahawa selain emosi gembira yang diselitkan, terdapat juga nasihat
dan pengajaran yang disampaikan bagi memastikan setiap individu sentiasa mengamalkan hubungan
yang baik sesama manusia walaupun tidak bersua. Kesan emosi yang dapat dilihat kepada individu
ialah, individu itu sendiri akan berfikir sejenak bahawa setiap pertemuan itu akan tercipta satu
hubungan yang jika dipelihara akan kekal hingga ke akhir hayat. Rangkap pertama pula menekankan
berkenaan kata alu-aluan dan jemputan yang penuh hormat dan adab yang akan menimbulkan satu
perasaan emosi terhadap individu bahawa mereka akan terasa lebih dihargai dan dihormati. Oleh itu,
setiap emosi yang terdapat di dalam pantun mampu mempengaruhi minda individu atau pendengar itu
sendiri walaupun berbeza pemahamannya. Menurut Aminudin Mansor(2012),Kesusasteraan yang
menjadi nadi kepada tamadun bangsa mestilah boleh myumbang ke arah pembinaan budaya yang
besar. Pengkaji telah melihat dari segi-ciri kesusasteraan yang memperlihatkan wawasan yang jelas
dan benar,mempertahankan kehalusan seniman,mengadunkan pandangan alamnya dan garapan seni
yang tinggi,beranalisis dalam penerokaan setiap aspek keinsananya, boleh menghayati pergolakan
jiwa dan emosi,gaya bahasa karya sastera. Oleh sebab itu, pengkaji akal budi melayu adalah suatu
usaha yang mengasyikkan dan menyeronokkan. Justeru penulisan akal budi ini seharusnya dilakukan
dari semasa ke semasa serta pengemurnian dilakukan pada peringkat sekolah lagi melalui pendidikan.
Falsafah pemikiran akal budi dalam kalangan pelajar dapat dilihat melalui pantun yang merupakan
asas kepada usaha meningkatkan kekuatan rohani,intelek, emosi dan jasmani.

6.2 Kesan kepada Masyarakat

Kesan emosi yang terdapat di dalam pantun melayu kepada masyarakat ialah dapat dilihat dari
segi perpaduan dan kerjasama yang berlaku dalam kalangan masyarakat. Dalam pantun Melayu
terdapat emosi pengajaran dan nasihat menasihati sesama masyarakat. Masyarakat akan lebih peka
sekiranya cara pemyampaian yang ingin disampaikan disampaikan dalam bentuk yang lebih menarik
berbanding dengan cara penyampaian secara terus. Pantun menjadi objek penyampaian maklumat
terhadap masyarakat dengan pengunaan bahasa yang baik dan sopan. Masyarakat juga akan lebih
menerima dengan hati yang terbuka serta cara penerimaan nasihat dan pesanan yang disampaikan
dalam pantun juga dapat diamalkan sepanjang hayat. Dapat dlihat di dalam pantun budi yang
mengisahkan berkenaan budi antara manusia yang mampu mencerminkan akhlak yang baik kepada
masyarakat. Dalam pantun budi,terdapat pelbagai emosi yang ditonjolkan bagi menjadikan
masyarakat mengambil iktibar,pengajaran serta inisiatif bagi menjadikan nasihat yang disampaikan
sebagai dorongan kepada kehidupan. Pengunaan bahasa yang baik dalam pantun melayu menjadikan
cara penyampaian nasihat yang terdapat dalam pantun budi mampu menyampaikan isi penting kepada
masyarakat. Pengarang sengaja menyelitkan pelbagai emosi di dalam pantun ciptaan mereka agar
masyarakat lebih peka dan lebih menerima perkara yang ingin disampaikan. Antara contoh pantun
budi yang terdapat dalam buku pantun kasih setia budi yang ditulis oleh abang seruji abang muhi ialah

Sayang selasih berdahan tinggi,
Burung jelantik mencari makan,
Menjunjung kasih setia budi,
Budi setitik jadi kenangan.

(Abang Seruji Abang Muhi,2015)

80

Merujuk pantun budi di atas terdapat emosi penyampaian yang baik kepada masyarakat agar lebih
peka terhadap budi dan sentiasa mengenang dan membalas budi sesama sendiri. Pantun budi amat
sesuai kepada masyarakat untuk dijadikan sebagai pengajaran dan nasihat dalam kehidupan. Perkaitan
kata sayang dalam pantun memberikan simbol kepada masyarakat agar sentiasa sayang menyayangi
di antara satu sama lain dalam berbudi . Nilai yang baik diterapkan dalam pantun agar setiap pantun
yang ditulis oleh pengarang dapat dihayati oleh pembaca dan pendengar dengan lebih jelas dan
sebaiknya. Menurut kajian Wahyu Widhiarso (2012) Mengenai Struktur Semantik Kata Emosi Dalam
Bahasa Indonesia. Dinyatakan bahawa emosi diertikan sebagai perasaan yang muncul akibat dari
suatu rangsangan dari dalam dan dari luar. Emosi yang pelbagai seperti emosi sedih, emosi marah,
emosi Bahagia dan bentuk emosi lainnya. Emosi dalam bahasa awamnya seringkali dipakai untuk
mendeskripsikan kemarahan saja, namun sebenarnya emosi memiliki erti yang lebih luas dan
mewakili pelbagai perasaan emosi berkaitan dengan psikologi seseorang dan rasa hati.

6.3 Kesan kepada Negara

Seterusnya ialah kesan emosi di dalam pantun kepada Negara ialah terdapat pelbagai emosi yang
digunakan pengarang dalam penciptaan pantun. Namun begitu,emosi yang digunakan dalam pantun
bukan sahaja untuk diselit tanpa ada fungsinya. Pelbagai fungsi emosi yang terdapat dalam pantun
melayu yang mampu memberi kesan yang mendalam antaranya kesan terhadap Negara. Kesan yang
dapat dilihat kepada Negara adalah dari segi pembangunan negara. Lantunan pelbagai pantun dalam
mengenang jasa-jasa pemimpin,pahlawan dan rakyat telah banyak didendangkan di mana-mana.
Pantun juga memberi perlambangan kepada negara bahawa Malaysia mempunyai kekayaan dalam
berbahasa. Masyarakat Malaysia terkenal dengan adab berbahasa yang lembut,bersopan santun dan
kaya dengan budi bahasa.

Pecampuran pelbagai kaum di Negara melahirkan pelbagai variasi emosi pantun yang mampu
memberi pelambangan identiti kepada Negara. Pertandingan pantun di peringkat antarabangsa juga
sering diadakan diantara negara-negara yang lain. Kesan daripada emosi yang terdapat dalam pantun
melayu kepada Negara lain mampu disampaikan secara terus maklumat yang terdapat dalam pantun
melambangkan identiti negara itu senditi yang mempunyai pelbagai jenis kaum,bangsa dan agama.
Martabat negara juga dapat diperkena kepada negara luar setaraf dengan negara maju dengan adanya
pantun yang mampu menarik perhatiaan emosi masyarakat dari negara yang lain. Antara pantun yang
penuh dengan bahasa yang mampu melahirkan emosi kagum dari negara-negara yang lain adalah
pantun pengacaraan majlis. Bahasa yang baik akan menjelmakan emosi yang positif dalam
menghayati pantun dalam kalangan pendengar. Antara contoh pantun pengacaraan majlis ialah:

Alamanda bunga kecumbung,
Bunganya kuning cantik berseri,
Kami gembira tuang berkunjung,
Doa diiring ikhlas dihati.

Cuaca tenang lautan teduh,
Perahu nelayan menuju kuala,
Mesra ikatan perpaduan kukuh,
Kunjuang tuan kami tak lupa.

(Abang Seruji Abang Muhi,2015)

Berdasarkan pantun di atas dapat dilihat dan difahami bahawa maksud yang ingin disampaikan
iaitu emosi gembira dalam adab menyambut tetamu yang berkunjung. Pada rangkap pertama jika
dilihat pada pembayang simbol bunga diberi kepada perlambangan emosi kegembiraan dan suasana
bunga yang dikatakan kuning cantik berserimemberi maksud perlambangan bahawa mengalu-alukan
kedatangan tetamu dengan suasana yang gembira dan riang. Selain itu Menurut,Kajian Marlina (2010)
mengenai pengaruh teknik dalam pendekatan pembelajaran dan kecerdasan emosi terhadap
kemampuan menulis puisi. Dinyatakan bahawa pantun adalah karya sastera yang mengungkapkan
perasaan emosi dan pemikiraan pemantun secara imaginasi dan disusun dengan bahasa. Kajian yang
mengatakan bahawa penulis pantun harus melibatkan perasaan emosinya bagi mendapatkan hasil

81

karya yang mampu menimbulkan emosi pembaca. Kemampuan adalah pengaruh dari jiwa yang
mempunyai pelbagai emosi.

KESIMPULAN

Kesimpulannya, puisi merupakan khazanah bangsa yang amat bernilai bagi masyarakat melayu.
Keindahan puisi dalam mengungkapkan seribu macam penyampaian menjadi lambang ke intelektual
minda yang kreatif dan menarik. Penggunaan puisi berbentuk pantun dalam meluahkan perasaan dari
sudut insaniah seseorang pengarang haruslah dipuji. Pemilihan kata dalam setiap puisi
memperlihatkan keharmonian dalam setiap pantun yang dicipta. Bukan sahaja bait-bait ayat yang
digunakan tetapi setiap maksud yang terkandung dalam ayat tersebut mempunyai maksud yang
mendalam.

Pantun melayu merupakan puisi yang berbentuk keperibadian seseorang yang mana banyak
menggunakan kata-kata yang indah dan baik bahasanya sebagai melambangkan keperibadian orang
melayu dalam berbicara. Cara penyampaiannya juga halus dan ditunjukkan kepada manusia dan
kepada keseluruhannya. Dengan ini karya puisi yang berbentuk pantun melayu ini harus dijaga dan
dikekalkan agar tidak terus dilupakan oleh generasi kini dan masa hadapan. Ini secara tidak langsung
dapat memberi panduan dan rujukan kepada generasi akan datang.

Dengan ini jelaslah bahawa, melalui pantun melayu kasih setia budi ini dapat dirumuskan
mempunyai pelbagai rencam emosi yang diberikan pelbagai perlambangan bagi memberi maksud
yang lebih mendalam. Secara keseluruhannya, dengan daya kreatif pengkarya mampu membuatkan
pembaca faham apa yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karya yang telah dihasilkan
dengan lebih baik.

RUJUKAN

Abang Seruji Abang Muhi 2015 “Pantun Kasih Setia Budi” penerbit Dewan Bahasa Dan Pustaka.
Tuan Haji Ahmad B.Usop 2004. “Pantun Budi” Dalam 1000 Pantun Dondang Sayang: Jabatan
Kebudayaan Dan Kesenian.

Aminudin mansor.2017. “Akal Budi Melayu” Dalam Pantun Dan Sajak: Penerbit Universiti

Kebangsaan Malaysia.

Ani Diana . “kajian semiotik pada kumpulan Cerpen Sekuntum Mawar Didepan Pintu”: Karya

Mohammad Arman A.Z.

Anwar Ridhwan.2013. “ Permikiran Sasterawan Negara Usman Awang”: Penerbit Perpustakaan

Malaysia.

Mohamad Azhar Abdul Hamid. 2004. “Kecerdasan Emosi Dan Rakan Sebaya Serta Hubungannya

Dengan Tingkah Laku Pelajar”

Mohammad Shaidan .2011.” Pejabaran Semiotik Dalam Puisi-Puisi Suhaimi Haji Muhammad”:

Penerbit Universiti Putra Malaysia.

Norita Ariffin. 2006. “ Nilai Budi Masyarakat Melayu Dalam Pantun”: Kumpulan Pantun Bingkisan

Perata Terbitanyayasan Karyawan Tahun 2011.

Nurhiza Mohamed .2010. “pengunaan simbol dalam peribahasa di Sekolah Rendah

Cantontmen”.

Sohaimi Abdul Aziz.2014. “Teori Dan Kritikan Sastera” Edisi Kedua.KualaLumpur:Dewan Bahasa

Dan Pustaka.

82

THE INDIAN-HINDUISM AND CHINESE-BUDDHISM ELEMENTS IN THE
MЁRANAO TANGIBLE AND INTANGIBLE ARCHAIC CULTURES

Prof. Dr. Sohayle M. Hadji Abdul Racman Graduate
Studies Department,

College of Social Sciences and Humanities,
Mindanao State University, Marawi City, Philippines

[email protected]
http://orcid.org/0000-0003-0533-343X

Abstract

The Mёranao (Maranao) group in Lanao del Sur in the Island of Mindanao is one of the 13
Muslim ethno-linguistic groups in the Philippines. The Mёranaos are Sunni Muslims and
adherents of Imām Shafii. Muslim Arabs, Malays, Indonesians, Indians, Sufis (mystics),
missionaries, traders, and adventurers introduced Islam to them in the 10th-13th centuries. The
Mёranaos are members of the Bangsamoro (Muslim Filipinos) consisting of more than 9
million. The ancestors of the Mёranaos were native inhabitants of Mindanao who had
intermarried with the Arab, Indian, Malay and Indonesian Muslims who migrated to
Mindanao Island. The Mёranaos’ tangible and intangible cultures if examined closely speak
volume of their origins. The said cultures if closely observe have Indian-Hinduism and
Chinese-Buddhism cultural elements. So far, in the recent scholarships, studies, and academic
researches show that there is not a single written literature that specifically focus on the
Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism cultural elements in the Mёranaos tangible and
intangible cultures, hence, a research gap. Thus, this research explores how the Indian-
Hinduism and Chinese-Buddhism cultures were introduced to Mindanao, Philippines. More
broadly, this research paper highlights the elements of Indian-Hinduism and Chinese-
Buddhism cultures in the Mёranaos’ tangible and intangible cultures. Hopefully, this research
paper fills in the research gap on the Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism cultural
elements in the Mёranaos’ tangible and intangible cultures.
Keyword: Mёranaos, Indian-Hinduism, Chinese-Buddhism, Shri-Vijayan Empire,
Madjapahit Empire

Introduction

Theoretically, the word Mёranao has evolved from two words such as Mai and Ranao. Mai is
the archaic name of Mindoro which is an Island located in the central part of the Philippines,
whereas Ranao is a Mёranao word for a lake, which in this case, is the Lake Lanao in the
Island of Mindanao. Mai was once inhabited by Muslim migrants who were Chinese and
Arabs whom were collectively called Mai. The Mai people had originated from China. In the
other theory, it suggests that the word Mai has also originated from ‘Ma’ which is a Chinese
shortened version for Muhammad (SAW). Thus, ‘Ma’ refers to the people whose religion is
the religion of Prophet Muhammad (SAW) which is Islam. When the Mai people had
migrated to Ranao which is the Lake Lanao, they were called Mairanao by its Islamized
Malay inhabitants, as time passes by, the Mairanao has evolved into Mёranao.

It can be inferred that some of the Mёranaos in Lanao today are descendants of the
said Mai people (Hadji Abdul Racman and Lulu, 2020). This explains why the Mёranaos
have Chinese-Buddhism elements in their cultures while at the same time keeping with them
their Islamic faith, Malay cultures and traditions.

83

Between the mid-6th and mid-4th centuries, Buddhism has spread in Asia, it primarily
began in India and then later it began spreading into Central Asia, Southeast Asia, West Asia
including the Ylaya (the archaic name of the Philippines), then to Malaysia, Indonesia
including Mongolia, China, Korea, and Japan, consequently, with its expansion in the said
regions, countries and nations, it is slowly integrating into the social fiber and cultural fabric
of its native inhabitants. By the 4th century, Buddhism has been integrated into the social
fabric among the inhabitants of Central Asia, Southeast Asia and East Asia.

The Mёranaos

The Mёranaos had pre-dominantly established settlement in the shorelines of Lake Lanao
now Lanao del Sur. The settlement period of the ancestors of the Mёranaos in Lanao areas is
not yet known. As the Mёranao folks narrate the only known archaic account associated with
Lanao is Bumbaran, a name given to the island of Mindanao by Rajah Indarapatra, an
Indianized prince from Sumatra, Indonesia. The Ranao is a Mёranao word which means lake,
hence, the Mёranaos are people dwelling nearby the lake. The areas surrounding the Pat a
Pangampong sa Ranao are the dwelling places of the Mёranaos. The Pat a Pangampong sa
Ranao can be literally translated as the four lake-based emirates surrounding the Lake Lanao,
hence, this explains the archaic name of the Lanao Sultanate. Geographically, the Mёranaos
are sporadically distributed and dispersed to different seacoasts in Mindanao, Illana Bay,
Malabang Bay, Kota Belud, Sabah, Malaysia and Indonesia. The Mёranaos diaspora into
other Southeast Asian countries took place before the colonial era in the Philippines in the
16th century (Hadji Abdul Racman and Lulu, 2021).

The Indianization of Asia

Undoubtedly, the Indian cultures had been integrated within the cultures of Southeast
Asia. As Amitay Acharya puts it,

Prior to the European colonial era, Southeast Asia were under the Indosphere of
greater India, where numerous Indianized principalities and empires flourished for several
centuries in what are now Thailand, Indonesia, Malaysia, Singapore, Philippines,
Cambodia and Vietnam. The influence of Indian culture into these areas was given the
term Indianization (Acharya 2022). French archaeologist George Coedes defined it as the
expansion of an organized culture that was framed upon Indian originations of royalty,
Hinduism and Buddhism and the Sanskrit dialect (Coedes, 1967). This can be seen in the
Indianization of Southeast Asia, the spread of Hinduism and the transmission of Buddhism.
Indian diaspora, both ancient and current, played an ongoing key role as professionals,
traders, priests and warriors (Smith, 1999). Indian honorifics also influenced the Malay,
Thai, Filipino and Indonesian honorifics (Sagar, 2004). Examples of these include Raja,
Rani, Maharlika, etc. which were transmitted from Indian culture to Philippines via
Malays and Sri-Vijaya Empire. The pre-colonial native Filipino script called Baybayin,
known in Visayan as badlit, as kur-itan/kurditan in Ilocano and as kulitan in
Kapampangan, was itself derived from the Brahmic scripts of India. Its use was recorded
in the 16th century by Miguel López de Legazpi (Morrow, 2008).

The Shri-Vijaya Empire and Majapahit Empire

According to Isidro Escare Abeto (1989),
Founded by Hindu Malays, the Shri-Vijayan (Sri-Vijaya) Empire rose to power in the
years 700 to 1000 A.D. About the end of the 8th century, this empire wielded its

84

sovereignty over [the] Malay Peninsula, parts Siam (now Thailand), Bandjarmasin,
Sukadana, Southern Sarawak and Brunei. The first group of the migratory Shri-Vijayans to
reach Ylaya (ancient name of the Philippines) came from Brunei and Bandjarmasin. They
passed through Borneo, and went to Sulu Archipelago and some islands in Visayas,
Philippines. The main purpose of this first group of Shri-Vijayan was to trade with the
native Ylayans (ancient people in the Philippines, presently known as Filipinos). Later,
when a principal of Sulu Archipelago became a tributary to the Shri-Vijayan Empire. Sulu
was developed into a commercial center in Southeast Asia. These Shri-Vijayans
introduced their Hindu culture and Buddhist religion to the Ylayan natives (ibid.).
The Indian-Hinduism cultures among the cultures of the inhabitants of Mindanao is
associated to the cultural influences of the Shri-Vijayan empire to the native inhabitants of
Mindanao.

According to Khan A.,
The Shri-Vijaya Empire controlled modern-day Indonesia and much of the Malay
Archipelago from the 7th to 12th centuries. The Shri-Vijaya Empire traded extensively with
India and China, incorporating Buddhist and Chinese political practices into their
traditions. When the Chola Empire from South India raided and took indirect control of
the Strait of Malacca in the 13th century, the ShriVijaya Empire lost influence.
Interactions among different peoples along trade routes led to syncretism, or
blending, of religious and political ideas. The Shri-Vijaya Empire, which controlled much
of the Malay Archipelago in the Indian Ocean from the 7th to 12th centuries, is a perfect
example of this cultural blending. The Malay Archipelago is a group of islands between
Indochina and Australia and includes modern-day Indonesia, East Malaysia, and the
Philippines.
The Shri-Vijaya Empire controlled two major passageways between India and
China: the Sunda Straits from the city of Palembang and the Strait of Malacca. This
control strengthened trade routes to China, India, and even Arabia.
Chinese records show evidence of Shri-Vijayan trade expeditions to the Song
dynasty as well as China’s acceptance of the Shri-Vijaya Empire as a vassal. As a vassal to
China, Shri-Vijaya acted as a mediator between China and other smaller states on the
Malay Archipelago. China considered it a great honor to bestow vassal status on another
empire ( ibid. 2022).
Isidro Escare Abeto (1989) explains that after the collapse of Shri-Vijayan Empire in
the 14th century, the Madjapahit Empire rose to power which was established by Raden
Widyaya. This empire consolidated its power over all of New Guinea, Borneo, and Indonesia.
It also extended its power to Philippines, Sulu Archipelago, and the Lanao Region in
Mindanao. Most probably both the Shri-Vijayan Empire and the Madjapahit Empire have
influenced the cultures of the Mёranaos in Lanao as well as the culture of the rest of the
inhabitants of the islands in the Philippines, and the Sulu Archipelago. Lanao was a tributary
state to Shri-Vijayan and Madjapahit Empires. Let us explore the Sanskrit-Indian cultures in
Lanao.

Tangible and Intangible Cultures

Tangible cultures refer to physical places and objects such as artifacts, specimen and material
cultures which were produced by a particular group of people or tribe, while intangible
cultures refers to stories, sayings, songs, languages, practices, ceremonies and celebrations of
a particular group of people or tribe, such intangible cultures can be experienced, seen and
observed. Meanwhile, archaic cultures refer to the old and classic cultures, it is the opposite
of contemporary and modern cultures.

85

Rationale

This research offers a fresh perspective about the cultures of Mindanao since it explores how
the Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism cultures were introduced to its native inhabitants,
particularly the Mёranaos. More broadly, this research paper examines ethnographically and
historically the elements of Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism cultures in the tangible
and intangible cultures of the Mёranaos in order to fill in the research gap on the Indian-
Hinduism and Chinese-Buddhism cultural elements in the Mёranaos’ tangible and intangible
cultures which are yet to be scholarly studied through this research, respectively.
Problematic statement
1. How did Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism cultures introduce to Mindanao,
Philippines?
2. What are the Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism elements in Mёranao tangible
and intangible archaic cultures?
Objectives
1. To highlight the introduction of Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism cultures to
Mindanao, Philippines, and
2. To identify the Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism elements in Mёranao
tangible and intangible archaic cultures.

Methodology
Historical Method

This research uses historical method. As a historian, the researcher has collected documents,
information and other sources that are required in the research inquiry (Shafer, 1974). The
researcher analyses historical events, and reviews primary and secondary data that are useful
in the research topic. The researcher systematically collects and objectively evaluates data
related to the historical events that concern this study. Being a historian, I investigated the
relevant historical sources, and evaluated it thoroughly, and explained my research findings,
and tested my research hypotheses to throw light to the current events. I used historical
sources to answer my research inquiry and then put my findings in writing.

Ethnography Method

As an ethnographer, I employed observations and records my observations of the Mёranaos’
intangible cultures which are manifested in their cultural, social, spiritual practices, political
and economic activities. In a cultural setting, I attentively listened to the Mёranaos’ thoughts
and ideas, and then recorded it. From my actual observations, I described the depths and
complexities of the Mёranao lifeways. I asked questions to people through informal and
formal interviews. Using ethnography method, I analyzed and used the wide-ranging material
cultures, and the tangible artifacts of the Mёranaos, and then connect my findings to my
research questions. I gathered relevant information and data to address my research inquiries.
The whole exercise of ethnography revolves within time and space, and basically, it asks the
chronological events that took place and where those events happened.

86

Hypothesis

The Indian-Hinduism and Chinese-Buddhism elements in the Mёranao tangible and
intangible archaic cultures was due to the influenced of Shri-Vijaya and Majapahit Empires
and such influenced was facilitated by the Malays, Chinese, and Indians who were Hindus
and Buddhists who came to Mindanao, Philippines in the 7th century or earlier.
Findings and discussion
Hinduism

Hinduism is “a religion originating on the Indian subcontinent and comprising several
and varied systems of philosophy, belief, and rituals. It refers to a rich cumulative tradition of
texts and practices, some of which date to the 2nd millennium BCE or possibly earlier. The
Indus valley civilization (3rd–2nd millennium BCE) was the earliest source of these traditions.
Its many sacred texts in Sanskrit and vernacular languages served as a vehicle for spreading
the religion to other parts of the world, though ritual and the visual and performing arts also
played a significant role in its transmission. From about the 4th century CE, Hinduism had a
dominant presence in Southeast Asia, one that would last for more than 1,000 years (Wendy
Doniger in Britannica, 2022).” Thus, the countries in Southeast Asia, Central Asia and East
Asia had been influenced by Hinduism and Vedic cultures including the Sanskrit language,
rituals, visual and performing arts. The Balinese performing arts in Bali, Indonesia has
originated from the Hindu-Vedic performing arts.

Buddhism

Buddhism is a “religion and philosophy that developed from the teachings of the Buddha, a
teacher who lived in northern India between the mid-6th and mid-4th centuries before the
Common Era. Spreading from India to Central and Southeast Asia, China, Korea, and Japan.
Buddhism has played a central role in the spiritual, cultural, and social life of Asia, and,
beginning in the 20th century, it spread to the West. Ancient Buddhist scripture and doctrine
developed in several closely related literary languages of ancient India, especially in Pali and
Sanskrit… (Giuseppe Tucci in Britannica, 2022).” Buddhism had been integrated into the
cultures of the people of Southeast Asia, Central Asia, West Asia, and East Asia such as
China, Korea, and Japan. Buddhism influenced the cultures of the inhabitants of Southeast
Asia, Central Asia, West Asia, and East Asia including the Bamiyan region of Afghanistan.
Bamiyan is known for its humongous Buddha structure that was carved out from the surface
of a rocky mountain.

The coming of the Chinese to the Philippines Chinese

Sangleyes was the name given to the Chinese in the Philippines which means ‘businessmen’
or ‘frequent visitors’. The Chinese were also called Intsik which is a Malay word for ‘encik’
(See, 2005). In the 9th century, the Chinese migrated to Manila, and by the 16th century, their
population grew exponentially. In the said century, many Chinese moved to Mindanao Island
as far as Dansalan now Marawi City. The Chinese in Dansalan established various businesses
in the areas of Banggolo. Many Chinese had been integrated into the Mёranao societies by
intermarriages with the Mёranao locals (Hadji Abdul Racman, 2012). Today, we can trace
some Mёranaos families with Chinese surnames.

Historically, the Chinese Filipinos are Filipinos of Chinese descent. They are mostly
originated from southern Fujian. These Chinese were born and raised in the Philippines
(Palanca, 2002). They comprise the largest overseas in Southeast Asia. The documented
Chinese migration to the Philippines began in the 16th century until the 19th century during

87

the Spanish era in the Philippines, at this time, the Chinese took part in the lucrative trade of
the Manila Galleon Trade which was controlled by the Spanish.

As for the earliest record on Chinese presence in the Philippines, quoting from Robert
B. Fox in his book, The Archeological Record of Chinese Influences in the Philippines,
published in 1967, Eric S. Casiño (1982) states that, the Tang wares were found in Babuyan
Island, an Island between Taiwan and Luzon, in the coasts of Ilocos and Pangasinan, Manila,
Bohol, Cebu, Jolo, and in Cagayan de Sulu. This is an indication that the Filipino-Chinese
contact had begun as early as Tang era in 618 until 906; and continued through the Sung era
in 960 until 1279, then to the Yuan era in 1260 until 1368, then follows the Ming era in 1368
until 1644 and later the Ching/Manchu era in 1644 until 1912.

These Tang wares were brought to the Philippines by Arab and Chinese traders in
China. The relations of the Arabs and Chinese with the natives in the Philippines had started
from the 7th century or earlier. Felipe Landa Jocano, a Filipino anthropologist, in his book,
Philippine Prehistory, An Anthropological Overview of the Beginnings of Filipino and
Culture published in 1975, says that the Arab traders brought the Tang wares from China to
the Philippines. The Arabs and their Chinese business allies had travelled to Philippines since
the Tang eras (618-906 AD). The Arab and Chinese traders in China brought Chinese
products and merchandise goods to the Philippines for barter and trade.

The red stars indicate the different places where the Tang wares
brought by Arabs to different islands in the Philippines in the 7th
century were found. These places are the coasts of Ilocos,
Pangasinan, Manila, and the islands of Bohol, Cebu, Jolo, and in
Cagayan de Sulu located near the North-west of Borneo.

88

Evidence on the coming of Vedic-Indians to the Philippines: The Golden Tara
Found in Wawa River in Agusan, Mindanao in 1971 by Belay Campos, a Manobo woman,
the Golden Tara is made of 21 karats gold, its weight is around 4 pounds, and its height is 7
inches. It was believed to be 1,000 years old. In a seated position, like how Buddha did, the
Golden Tara had a pompous headdress and adorned with lavish body ornaments. This
suggests that the ancient Filipinos had the ability and technological knowledge to create an
intricate masterpieces made of gold. The Golden Tara gives us knowledge on the strong
influenced of Hindu traditions. Thus, experts speculated that the Golden Tara is a Hindu
Goddess, Siva.

The Mindanao Island became part of the Shri-Vijaya, a Buddhist thalassocratic
Empire which had influenced the cultures of the people of Southeast Asia. Shri-Vijaya was an
important center for the expansion of Buddhism from the 7th to the 12th centuries A.D. The
Shri-Vijaya Empire has been replaced by the Hindu-Majapahit Empire in the 14th century
which had once dominated the Southeast Asia for over 200 years socially, politically and
economically. The Golden Tara speaks of a massive information on the tangible and
intangible cultures of the ancient Filipinos i.e., their religion, belief system, arts, clothing,
craftsmanship, technological advancement in metallurgy, and their extensive socio-political,
and economic relations with the other people outside the Philippines. Today, the Golden Tara
is displayed in the Field Museum of National History in Chicago.

The Close up view of Golden Tara, now kept in Chicago museum, US. Source:
common.
The pre-colonial Filipinos were advance in metallurgy and had technological
knowledge for forging metals including gold which they learned from the Indians due to trade
around 300 to 700 A.D. (Hadji Abdul Racman, 2022b).
The Sanskrit-Indian elements in Mёranao Literature: the Darangen
The Darangen which means to narrate in song is an ancient epic song of the Mёranaos in
Lanao, Mindanao. The Darangen “comprises of 17 cycles and a total of 72,000 lines. It

89

celebrates episodes from Mёranao history and the tribulations of mythical heroes. In addition
to having a compelling narrative content, the epic explores the underlying themes of life and
death, courtship, love and politics through symbol, metaphor, irony and satire. The Darangen
also encodes customary law, standards of social and ethical behavior, notion of aesthetic
beauty, and social values specific to the Mёranao. Darangen existed before the Islamization
of the Philippines in the 14th century and is part of a wider epic culture connected to early
Sanskrit traditions extending through most of Mindanao (UNESCO, 2022).”

There is a considerable Sanskrit elements in the narratives in Mёranao Darangen,
hence, this is an indicative of the widening-range of influence of Sanskrit-Indian cultures to
the native Mёranao inhabitants of Mindanao before the coming of Islam in the areas of
Mindanao.

The Sanskrit elements in Mёranao language

According to William Henry Scott (1984), the Mёranao language has a significant number of
Sanskrit-based terms.” Such as lasuna (garlic), handha/genda (garlic, shallot), patola
(cucumber), cukha (vinegar), kapas or gapas (cotton), gaja (elephant), garuda (eagle), nāga
(serpent), liksa (flea), pila (ant), merapati or marapatik (dove), muktika or muntiya (gem),
sutra (silk), kasturi (musk), harga (price), agama (religion), surga (heaven), naraka (hell),
bhasa (language), bala (force), samaya (covenant), moha or mokmuk (grief), and
sampratyaya or paratiyaya (conviction).

The mentioned above Sanskrit words are similar to the Mёranao words and their
meaning, this is an indication that the ancestors of the Mёranaos had acquired those Sanskrit
words from the Indianized-Malay or Indians who came to the Philippines during the
ShriVijaya and Madjapahit eras in the Philippines.

The Pagoda architectural designs in Mёranao structure

Pagoda is “a towerlike, multistory, solid or hollow structure made of stone, brick, or wood,
usually associated with a Buddhist temple complex and therefore usually found in East and
Southeast Asia, where Buddhism was long the prevailing religion. The pagoda structure
derives from that of the stupa, a hemispherical, domed, commemorative monument first
constructed in ancient India. The finial, the decorative crowning ornament of the stupa, likely
has roots in Hinduism, which predates Buddhism (Britannica, 2022).”

Indianized Malays in Nusantara (the old name of Malaysia and Indonesia) who were
followers of either Hinduism or Buddhism who came to Mindanao, Philippines in the 7th
century during the Shri-Vijaya Empire brought changes to the indigenous engineering
structures in Mindanao as observed in the Mёranao structures like the pagoda mosques.
Hence, when Islam was established in Mindanao, mosques were built having a pagoda design
structure resembling those of the pagodas in Southeast Asia, Central Asia, and East Asia.

90

Pagoda mosque

Mёranao mosque with pagoda designs. Circa 1700s. Source: Aga Khan Museum, Marawi
City

As juxtaposed to the archaic Mёranao pagoda mosque in Lanao is the
pagoda-Seokgatap of Bulguksa in South Korea. It was built in the 8th
century, made of granite stone. Source: By rinux -
https://www.flickr.com/photos/rinux/248966057/in/set-
72157594327215580/, CC BY-SA 2.0,
https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=7222463

91

The dragons (nāga) in various Mёranao archaic and contemporay artifacts
“Chinese dragons are powerful and benevolent symbols in Chinese culture, with supposed
control over watery phenomenon. Dragons are everywhere in China — in legends, festivals,
astrology, art, names, and idioms. In Chinese culture, dragons symbolize imperial power,
good fortune, power over weather and water, and a pioneering spirit.” The Chinese emperors
used the dragon as a symbol of power… Dragon emblems can be found in carvings on the
stairs, walkways, furniture, and clothes of the imperial palace. (Ho, 2021).” The Mёranaos
have so much dragons in their material cultures which show the strong influenced of the
Chinese belief on the dragons to theirs.
Panolong, an abstracted dragon
Panolong is a wood carving used as beam edges of the Mёranao torogan (royal house/palace)
and masjid (mosque). The Mёranao artisans use different tools in carving out the wood
surface to create it. Panolong enhances the design of the torogan and mosque by putting them
on the front and rear view of the torogan and mosque. The Chinese and Indian influences to
Mёranao tangible cultures can be depicted in a nāga (dragon) or S carvings as shown below.
Nāga is a group of serpent deities in Hindu and Buddhist mythology. Nāga is a Sanskrit term
which describes a mythical serpent or dragon in Asian literature. Gowing, (1979:143) argues
that the Moro nāga originated from Hindu-Malay culture. It symbolizes bravery, wealth and
power. Baradas (1968:136) says that some Mёranao old folks believed that nāga carvings on
a panolong brings lucks and charm to the household while it protects the household from evil
spirits, this belief however is pre-Islamic.
Panolong (nāga) or dragon on the Torogan (royal house)

Notice the unpainted wooden panolongs (nāga) and colored wooden
panolongs on the façade of a torogan. Somehow abstracted by using
different okir designs, the panolong come into being which is a
dragon. Photo source: common

92

Wat Nong Tong Phra Wihan Naga Roof Finials, Thailand. Source: Gerry Gantt Fine Art
Photos
Dragon sculptures are used as beam and roof ends of the Buddhist temples. Similarly, dragon
sculptures are used as beam ends of the Mёranao torogans (royal houses) and mosques.
A stone dragon sculpture in Thailand, notice that it is also used similar to the
panolongs (nāga/dragons) as used in the torogans of the Mёranaos

A dragon on the facade of a Buddhist temple in Thailand. Source: Indicated

93

The concrete panolongs (nāga) on the mosque’s facade

Concrete panolongs (nāga) on the mosque’s façade. Source: mine

Located along the highway in Ramain, Lanao del Sur. The facade of this
modern mosque has several concrete panolongs painted in gold. This mosque is also
accentuated with okir motif.

Wooden panolong (nāga) on the archaic Mёranao pagoda mosque

Panolongs (nāga) on the edges of the archaic Mёranao pagoda mosque’s wall.
Source: common

Prior to having a typical Arabic-Turkish style mosque with dome and minaret, which
is sometimes adorned with modern architectural motif, common in any mosque architecture
today; the mosques of the Maranaos in the old days between the 12th and 19th century used to
be a hut-style or the East and Southeast Asian three tiered Pagoda-style. This Maranao
archaic mosque has panolongs motif that were placed in its corner. Its designs show a string
of nāga (dragon), okir design motifs, and buraqs (heavenly winged horse-like creatures with
maiden head).

94

Panolong-like (nāga) on Mёranao musical instrument: kubing
Kubing (jaw’s harp) with nāga motif

Mёranao jaw’s harp with panolong (nāga) motif. Source: National museum of the
Philippines

The Mёranaos have various musical instruments such as set of kolintang ensembles
consisting of eight graduated small gongs, a debakan (drum), two larger gongs, and a
babandir, a medium size gong. The use of gong is an influenced of the Chinese to the Malay
inhabitants of Malay archipelago including Malaysia, Indonesia, and Philippines. In the old
days, during the courtship season, men used their jaw’s harp in making a melodious sound to
convey or express their love and appreciation to the lady that they admire.
Mёranao brassware arts with a nāga motif

A brass nāga/dragon used as a decorative motif for a sword casing extension. Source:
common

The Mёranao love for arts can be seen in their utilitarian tools such as this sword
casing accessories which is accentuated with a brass nāga/dragon and okir motif.
Two nāgas facing each other used as motifs on a Mёranao betel nut container

95

A Mёranao betel fruit container. Source: Ruby Lane
The old Mёranaos in the old days were used to chewing betel mixtures which are

made of a slice betel fruit, a betel leaf and a sticky lime. This betel nut chew container has
two dragons/nāga motifs facing each other.
A written amulet with Chinese dragon and Arabic scripts

The dragon (nāga) in Mёranao amulet. Source: the author’s collections
In the old days, the Mёranao old folks revered the nāga (dragon) as a powerful being

that possesses cosmic powers, hence, in their amulets, they incorporated the dragon into it,
which they believed it plays a vital role to make their amulet potent, effective and works.

96

Salapa (brass betel nuts container) with tires and dragons’ motif

A brass salapa (betel nut container) accentuated with dragons facing each other. Source:
common
Brass Layla, a large canyon with dragon motif

Brass layla (canyon) with dragon/nāga motif. Source: mine and common
Brass lantaka, a small canyon with dragon motif

Brass lantaka (small canyon) with dragon/nāga motif. Source: common

97

Brass gador (vase) with dragon motif

Mёranao brass gador (vase) with dragon or nāga motif. Source: Salcedo collection
Pieces of gadors as shown here are used as decorative items by the Mёranaos. Gadors

are essential parts of royal regalia, hence, during the crowning ceremonies of the royalties,
the gadors are displayed in front of the osonan (stage) where the crowning ceremonies are
held.
A Mёranao ceremonial brass baor (chest/box) with dragon motifs

Notice the two dragons motifs of this chest. Source: SMHAR

98

A Mёranao pagoda house with panolongs and dragons motifs

Notice the two dragons/nāga facing each other in this Mёranao pagoda house.
This pagoda house has panolong- dragons. Source: common

Sarimanok, a Hindu mythical rooster, bird or peacock in Mёranao tangible cultures

According to Kanna K. Siripurapu and Sabyasachi Das (2008), “in Hindu mythology, the
rooster is depicted as the vahana (vehicle) of the goddess Aditi/Bahuchara Mata, the mother
of all gods and the creator and guardian of all life.” In the Mёranao societies in the
countryside, many keep roosters not only as pets but they keep them for their ancestors whom
they believed that in the old days, their ancestors kept a particular rooster for its specific color
for a specific purpose, such color is either red, yellow, black white, orange, or tinunggus
(dotted) color feathered rooster which are responsible to ward off demons and evil spirits,
while they bring good luck, wealth, prosperity and longevity to the family. The Mёranaos
also keep roosters as vehicles and bridge to the unseen spirits and to their ancestors. These
pre-Islamic practices and belief system is called katuro sa manok.

Siripurapu and Das (2008) say, “It was fascinating to learn that chicken occupies a
very special place in ancient cultures of the world, including Jewish, Greek, Chinese, and
Indian — among others. The rooster often represents virulent male energy and aggression and
symbolizes both the breaking dawn (knowledge/good) and the waning darkness.”

The Mёranaos regarded the sarimanok as a legendary bird and has become an iconic
symbol of Mёranao art and Mёranao royalty. It is also depicted as a lumsad (rooster) and or a
mera (peacock) which having colorful wings and feathers, usually it holds a fish on its beak
and talons. The sarimanok’s head is profusely decorated with old silver coins, scroll, leaf, and
spiral motifs. During the crowning of the Mёranao royalties, the coronation stage is decorated
with a sarimanok which symbolizes grandeur, power, and authority of the royalties. It is
carved on wood, depicted in woven mats and textiles, or by inscription in brassware tray’s
surface or stylistically applied unto different kinds of surfaces. It is usually a free-standing
ornament piece of art made of brass, copper, wood, and other indigenous materials. The
Mёranao royal regalia is not complete without a sarimanok displayed in front of the stage
during the crowning of the royalties (Hadji Abdul Racman, 2022a). Gowing (1979) puts that
“…Southeast Asian peoples (such as the hornbill motif of the Iban of Borneo and the garuda
of Indonesia)…it is probably autochthonous, though various writers have attempted to see

99
Indian, Chinese, and even Persian and Islamic influences behind it.” Saber & Orellana, (1973)
put that the antiquity of birdfigures in Mёranao art are very old as were mentioned in the
Darangen as decorative emblems on the boats of the epic’s legendary heroes. Nagasura
Madale (1974b) puts that in the old copies of Darangen texts described a certain mera
bolawan (golden peacock) while in the latest version of Darangen texts used the term
sarimanok.

The Hindu culture revered peacock since it serves as a vehicle of a Hindu God.
Sarimanok motif became integrated into Mёranao arts prior to the coming of Islam to the
Philippines; it is deeply rooted from Indian culture and other old civilizations. Despite of the
strict prohibition of Islam on animal figure in art form, the sarimanok motif somehow
survived from this religious injunction.
Sarimanok used as a sangkad-a-payong (royal parasol accent or accessories)

Sarimanok on a sangkad-a-payong. Source: mine
Wooden sarimanok

Wooden sarimanok: Source: Choo Yut Ching in flickr Brassware sarimanok

100

Sarimanok on langkongan (kolintang case). Source: common

Notice the colorful head and tail of sarimanok on a kolintang case. Source: common
Mёranao Utilitarianism arts

Basically, sarimanok designs and motifs can be woven into textiles and fabrics or it
could be etched on various brassware decorative items and or chiselled on different wood
adornment.


Click to View FlipBook Version